BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Daratan dan laut-laut di Indonesia membentuk kekayaan tumbuhan dan hewan yang paling beragam di dunia. Iklim tropis, posisi geografi yang melingkar di antara Asia dan Australia telah menghasilkan area fauna dan flora yang beragam (Supriatna, 2008). Keanekaragaman yang tinggi di Indonesia dapat dijumpai di dalam lingkungan hutan hujan tropis. Salah satu kekayaan hayati yang ada di indonesia adalah tarsius (Hariri, 2011). Tarsius merupakan primata nokturnal kecil yang dapat ditemukan di dataran kepulauan Asia Tenggara termasuk Indonesia yang tersebar di Sulawesi dan kepulauan sekitarnya, Kalimantan dan Sumatera. Genus Tarsius memiliki tiga grup spesies yang merupakan satwa endemik pada wilayahnya yaitu Philippines tarsier, Western tarsier dan Eastern tarsier (Yustian, 2007). Keunikan Tarsius menjadikannya sebagai komoditi perdagangan satwa eksotik yang potensial, sehingga populasinya terancam punah. Perdagangan gelap menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa ini disamping adanya ancaman dari deforestasi. Semakin berkurangnya populasi Tarsius sp., maka keberadaan satwa ini di Indonesia telah dilidungi oleh pemerintah sejak lama. Peraturan dari pemerintah 1 2 untuk melindungi satwa ini adalah Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 266 tahun 1931 dan Undang-Undang No. 5/1990 serta PP No. 7/1999 menjadikannya sebagai satwa yang dilarang untuk dimiliki, dipelihara dan diperjualbelikan secara bebas. International Union for Conservation of Nature (IUCN) juga menggolongkan spesies Tarsius ke dalam beberapa kategori misalnya T. palengensis dan T. sangirensis masuk ke kategori Endangered (EN), T. bancanus, T. dentatus (T. dianae) dan T. tarsier (T. spectrum) masuk ke kategori Vulnerable (VU) dan T. syrichta masuk ke kategori Near Threatened (NT). Berdasarkan jumlah sebarannya, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) memasukkan Tarsius ke dalam golongan Appendix II, di mana satwa tersebut persebarannya masih banyak, namun dapat berkurang apabila perdagangnnya tidak diawasi ketat (Mursidin, 2008). Usaha untuk mempertahankan keberadaan tarsius di alam liar, salah satunya dengan konservasi, baik secara in situ maupun ex situ. Namun pengembalian Tarsius ke habitat aslinya sesuai dengan persebarannya bukan hal yang mudah, karena secara morfologi Tarsius sulit dibedakan. Hal ini dikarenakan tingkat kesamaan antar spesies Tarsius sangat tinggi sehingga pengkajian diferensiasi antar spesies secara genetika molekuler menjadi salah satu solusi pemecahan masalah ini. Metode ini relatif lebih akurat karena mengkaji perbedaan dari tingkat genetik molekuler antar spesies Tarsius. Begitu juga dengan klasifikasi Tarsius berdasarkan morfologi dan vokalisasi akan lebih diteguhkan lagi apabila didukung dengan determinasi klasifikasi berdasarkan perunutan genetik molekuler. Eksplorasi molekuler untuk analisis genom 3 mitokondria berupa runutan DNA mitokondria T. bancanus telah dilakukan oleh Schmitz dkk. (2002). Deoxyribonucleic acid mitokondria (mtDNA) banyak digunakan untuk penelitian tentang kekerabatan dan evolusi karena memiliki kelebihan–kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh DNA nuklear, seperti: ukuran berukuran sekitar 16,5 kb, laju evolusinya cepat, hanya diturunkan dari garis ibu dan dapat diperoleh dari sampel yang telah lama atau mengalami degradasi (Rane, 2011). Kajian gen penyandi 12SrRNA pada Tarsius telah dilakukan Shekelle (2003) dan kajian molekuler daerah D-loop Tarsius sp. juga telah dilakukan oleh Widayanti dan Solihin (2007). Namun oleh karena persamaan nukleotida antar spesies pada kedua sekuen fragmen DNA mitokondria tersebut tinggi maka fragmen tersebut tidak dapat digunakan sebagai penanda genetik. Hasil pengkajian pada segmen gen ND3 (Widayanti dkk., 2011) dan gen COX2 (Widayanti dkk., 2010) dapat digunakan untuk membedakan antara Tarsius asal Lampung, Sumatera dengan asal Sulawesi, akan tetapi tidak dapat membedakan antar spesies Tarsius asal Sulawesi. Pengkajian pada gen Cyt b (Widayanti dkk., 2006) dapat digunakan sebagai penanda genetik walaupun hanya pada tingkat nukleotida saja (pada tingkat asam amino kurang mendukung). Pengkajian pada gen ATP8 (Widayanti, 2010) dapat digunakan untuk membedakan antara Tarsius asal Lampung, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Pada penelitian ini dipilih daerah gen penyandi NADH Dehydrogenase Subunit 6 (ND6) seperti pada penelitian yang dilakukan Moum dkk. (1994) yaitu 4 menggunakan gen ND6 untuk mengidentifikasi burung Common Guillemot dan Brtinnich Guillemot. Menurut Wang dkk. (2013) bahwa sekuen gen-gen pada DNA mitokondria dapat untuk mengidentifikasi Branchiostoma japonicum dan Branchiostoma balcheri. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji keragaman genetik gen penyandi NADH dehydrogenase subunit 6 (ND6) pada T. Spectrum dan T. Dianae dan menggungkap afiliasi Tarsius sp dengan kelompok primata lainya. Manfaat Hasil dari peneltian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar klasifikasi genetik Tarsius sp yang dapat membantu dalam usaha konservasi, pengembalian satwa sitaan dan hasil konservasi ex situ dapat dilakukan sebagaimana mestinya sesuai dengan habitat asli satwa tersebut.