TUGAS BIOSISTEMATIKA SATWA ENDEMIK INDONESIA DISUSUN OLEH : ARIE ARDIANSYAH NUGRAHA 183112620120106 FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA 2019 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lebih dari 17.000 pulau, yang terletak diantara dua benua dengan panjang garis pantainya sekitar 95.181 km. Kondisi geografis tersebut menyebabkan negara Indonesia memiliki peranan penting dalam membentuk karakter satwa unik yang hanya bisa ditemukan di Indonesia tidak ditempat lain (endemik). Menurut pengertiannya endemisme sendiri adalah gejala yang dialami oleh organisme untuk menjadi unik pada satu lokasi geografi tertentu, seperti pulau, lungkang (niche), negara, atau zona ekologi tertentu. Untuk bisa disebut endemik suatu organisme harus ditemukan hanya di suatu tempat dan tidak ditemukan di tempat lain. Di Indonesia terdapat 816 jenis satwa endemik, dari jumlah tersebut 71 jenis satwa sudah masuk dalam Red List IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resource), atau dengan kata lain 71 jenis satwa tersebut sudah masuk dalam kategori kritis. Satwa-satwa tersebut tersebar di beberapa kepulauan di Indonesia. Faktor paling tinggi yang mempengaruhi menurunnya jumlah populasi satwa ini adalah karena adanya faktor konflik dengan manusia seperti pembangunan yang membabat habis hutan, penangkapan satwa liar untuk peliharaan, perburuan satwa liar untuk kebutuhan produk fashion, sampai pembuangan limbah hasil produksi dan konsumsi yang mencemari lingkungan. Minimnya pendidikan tentang pentingnya keberadaan satwa-satwa ini untuk kelangsungan ekosistem. Indonesia menganut asas pemanfaatan kekayaan alam yang berupa keanekaragaman hayati secara lestari, seperti disebutkan dalan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada pasal 2 dinyatakan bahwa: konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Di Indonesia peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pelestarian keanekaragaman hayati telah mencukupi, namun implementasinya masih lemah dan kurang efektif. Dalam rangka mencegah kepunahan fauna yang saat ini sudah sangat sulit ditemukan di habitat alaminya. Upaya konservasi yang didasarkan pada tiga pilar Convention on Biological Diversity (CBD) yaitu perlindungan, pengawetan palsma nutfah dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian, perlu mendapatkan dukungan tidak hanya oleh pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Kegiatan konservasi ini pada dasarnya bertujuan untuk mencegah kepunahan keanekaragaman genetik, jenis dan ekosistem. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dalam makalah ini akan membahas tentang satwa-satwa endemik di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalahnya adalah: Satwa-satwa yang termasuk endemik di Indonesia, bagaimana klasifikasi dan distribusinya? 1.3 Tujuan Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk: Untuk mengetahui satwa-satwa endemik Indonesia, klasifikasi dan distribusinya. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Anoa (Babulus depressicornis) Gambar 1: Anoa (Babulus depressicornis) (sumber gambar: https://zt2downloadlibrary.fandom.com/wiki/Lowland_Anoa_(ZTABC_Team) Anoa merupakan satwa yang mirip dengan sapi atau kerbau (ruminansia liar) yang berukuran lebih kecil (cebol). Secara umum, anoa mempunyai warna kulit mirip kerbau (warna terang hingga gelap kecoklatan). Anoa juga memiliki bentuk kepala menyerupai kepala sapi (Bos), kaki dan kuku menyerupai banteng (Bos sondaicus). Pada kaki bagian depan (metacarpal) berwarna putih atau mirip sapi bali namun mempunyai garis hitam ke bawah. Tanduk mengarah ke belakang menyerupai penampang yang bagian dasarnya tidak bulat seperti tanduk sapi melainkan menyerupai bangun segitiga seperti tanduk kerbau. Fungsi dari tanduk tersebut adalah untuk untuk menyibak semak-semak atau menggali tanah, serta menunjukkan dominasi untuk bertahan hidup dari lawannya. Populasi satwa khas Sulawesi, anoa (Bubalus depressicornis), di kawasan hutan dan pegunungan di seluruh Sulawesi terus mengalami penyusutan karena perburuan maupun alih fungsi lahan menjadi tambang atau kebun sawit. A. Klasifikasi Anoa Klasifikasi taksonomi anoa (Bubalus spp.) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Subfamili : Bovinae Genus : Babulus Spesies : Babulus depressicornis, Bubalus quarlessi B. Distribusi Anoa Perkembangan distribusi anoa di wilayah daratan Sulawesi dan Pulau Buton, digambarkan dalam peta distribusi dibawah ini. Gambar 2. Peta Distribusi Anos di Pulau Sulawesi (Cristita, 2018) C. Status Konservasi Sejak zaman pemerintah kolonial Belanda, anoa termasuk satwa liar endemik Sulawesi yang dilindungi oleh Undang-Undang yaitu berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermings Ordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 134). Di dalamnya anoa dinyatakan sebagai satwa langka dan wajib dilindungi karena sebarannya sangat terbatas yaitu hanya di daratan Sulawesi dan Pulau Buton. Selain itu, satwa ini juga dilindungi oleh UndangUndang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Bahkan dalam IUCN Red List of Threatened Animal (The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) 2009, anoa dikategorikan sebagai satwa langka yang dikhawatirkan akan punah dan menurut CITES 2008 (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) anoa masuk dalam Appendix I yang berarti satwa tersebut dilindungi dan tidak diperjualbelikan. Perkembangan perlindungan dan pelestarian terhadap satwa ini, tidak berhenti hanya sampai di sini. Baru-baru ini, Dirjen PHKA bersama-sama dengan institusi terkait yang peduli dengan satwa anoa dan babi rusa mengadakan kesepakatan bersama dengan mengeluarkan sebuah dokumen tentang “Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa dan Babi Rusa 2010-2020”. Dalam keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2011 menjelaskan adanya 14 spesies prioritas satwa yang menjadi ukuran kinerja bagi Unit Pelaksana Teknis di daerah melalui peningkatan populasinya di alam sebesar 3% pada tahun 2010 – 2014, dan anoa termasuk dalam spesies satwa yang diprioritaskan. 2.2 Komodo (Varanus komodoensis) Gambar 3: Komodo (Varanus komodoensis) (sumber gambar: http://psychologyarticles.info/?e=komodo) Komodo (Varanus komodoensis) merupakan reptil endemik yang dapat ditemukan di lima pulau di Indonesia bagian timur, empat diantaranya berada di dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Keunikan komodo yang dianggap sebagai sisa reptil purba yang masih bertahan hidup sampai sekarang mendapatkan perhatian dari para peneliti dari dalam maupun luar negeri. Berbagai penelitian tentang komodo telah bayak dilakukan untuk melindungi kelestariannya, akan tetapi masih terdapat banyak ancaman yang secara langsung maupun tidak langsung mengancam populasi komodo di habitat alami. Ancaman tersebut antara lain perburuan satwa mangsa dan perusakan habitat asli. A. Klasifikasi Klasifikasi komodo dalam San Diego Zoo Library mengklasifikasikan komodo dalam klasifikasi satwa sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Reptilia Ordo : Squamata Family : Varanidae Genus : Varanus Species : Varanus komodoensis B. Distribusi Penyebaran komodo meliputi Pulau Flores bagian barat, Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar, Gilimotang dan Pulau Mada Sumbi. Penyebaran di Pulau Flores ada 2 bagian yaitu di bagian barat Pulau Flores mulai dari Labuan Bajo hingga Nanggili, di bagian Pantai Utara mulai dari Dampek sampai sebelah barat Riung. Survey komodo pada tahun 2000 mencatat jumlah sebanyak 1.009 komodo di Pulau Komodo dan 1.001 komodo di Pulau Rinca. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan survei yang diadakan tahun sebelumnya dimana populasi yang tercatat berkisar dari 1.062 - 1.772 komodo di Pulau Komodo dan 1.110 - 1.344 komodo di Pulau Rinca C. Status Konservasi Komodo ditetapkan sebagai satwa nasional yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 4 tahun 1992. Keberadaan komodo sangat dilindungi baik secara nasional maupun internasional karena dianggap penting dalam ilmu pegetahuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 Komodo masuk dalam daftar satwa yang dilindungi. Secara internasional, komodo oleh IUCN dikategorikan sebagai jenis yang berstatus Vurnerable dan masuk dalam Appendix I CITES. 2.3 Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) Gambar 4: Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) (sumber gambar: http://pluspng.com/badak-png-9091.html) Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan spesies paling langka diantara 5 spesies badak yang ada di dunia. Badak jawa merupakan spesies paling terancam. Populasinya di alam liar hanya tinggal 50-an ekor dan hanya ditemukan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, ujung paling barat pulau Jawa. Populasi badak jawa pernah mengalami titik kritis pada tahun 1960-an, dimana hanya ditemukan sekitar 20 ekor. Sejak tahun 1980-an hingga saat ini perkembangan populasinya cukup stabil pada kisaran 40 - 60 ekor. Jumlah ini masih riskan dari kepunahan. Untuk menghindar dari bahaya kepunahan idealnya ada lebih dari 500 ekor badak jawa yang hidup di alam liar dengan sebaran habitat yang lebih luas. Saat ini habitat hidup badak jawa terbatas hanya di Taman Nasional Ujung Kulon. Di masa lampau badak jawa tidak hanya ada di pulau Jawa, melainkan tersebar hingga ke Asia daratan mulai dari Vietnam sampai ke Benggal, India. Perburuan besarbesaran disinyalir menjadi penyebab utama penyusutan populasinya. Di Indonesia sendiri pada abad ke-18 badak jawa pernah dianggap sebagai hama yang mengganggu tanaman perkebunan. Bahkan pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa saat itu pernah mengadakan sayembara dengan hadiah sebesar 10 gulden bagi siapa saja yang berhasil membunuhnya. Secara umum Badak Jawa memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut: 1. Bobot tubuhnya sekitar 900 - 2300 kg dengan tinggi tubuh 1,5 - 1,7 meter dan panjang tubuh dari moncong mulut hingga ekor bisa mencapai 4 meter. 2. Memiliki satu cula yang menyembul di atas hidungnya. Panjang cula sekitar 20 - 25 cm. Hanya badak jantan yang memiliki cula yang panjang, pada badak betina ukuran cula sangat kecil nyaris tidak tampak bahkan pada betina tertentu tidak memiliki cula. 3. Warna tubuh abu-abu gelap hingga hitam, semakin tua warna tubuhnya semakin gelap. Sedikit berambut di bagian telinga dan ekornya sedangkan tubuhnya tidak ditumbuhi rambut. A. Klasifikasi Nama ilmiah Badak Jawa adalah Rhinoceros sondaicus. Penamaan itu diambil dari bahasaYunani, “rhino” yang berarti hidung, “ceros”berarti cula. Sedangkan “sondaicus” merujuk pada kata “Sunda” yang berada di pulau Jawa. Dalam bahasa Inggris disebut Javan Rhino. Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Perissodactyla Famili : Rhinocerotidae Genus : Rhinoceros Spesies : Rhinoceros sondaicus B. Distribusi Sebelum memasuki abad ke-19, selain di Pulau Jawa, Badak Jawa ditemukan ditemukan hidup di daratan Asia. Beberapa penelitian melaporkan keberadaan satwa ini di Bengal, India, Banglades, Indocina, Cina Tenggara, semenanjung Malaya dan Sumatera. Di awal abad ke-20 masih dilaporkan terdapat Badak Jawa di Burma, Laos, Kamboja dan Vietnam. Badak jawa terakhir yang ada di luar Pulau Jawa terdapat di Taman Nasional Cat Tien Vietnam dan diketahui telah punah pada tahun 2011. Di Indonesia, sebelum abad ke-19 Badak Jawa dipastikan pernah hidup di Pulau Sumatera dari Aceh hingga ke Lampung. Sedangkan keberadaannya di Pulau Jawa tersebar hingga ke Jawa Tengah. Pada tahun 1833 masih ditemukan di Wonosobo. Titik lain yang diketahui pernah menjadi habitat Badak Jawa antara lain Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Papandayan, Gunung Ciremai dan Gunung Gede Pangrango. Bahkan dilaporkan juga satwa ini pernah ditemukan di Karawang. Keberadaan Badak Jawa di luar Ujung Kulon, terakhir tercatat ada di Karangnunggal Tasikmalaya, kala itu tahun 1834 seorang Belanda menembak badak tersebut dan hingga kini spesimennya tersimpan di Museum Zoologi, Bogor. Saat ini, Badak Jawa hanya ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon. Tidak semua kawasan taman nasional menjadi habitat badak. Satwa ini hanya hidup di beberapa titik tertentu saja. Beberapa daerah yang menjadi habitat badak antara lain di daerah selatan taman nasional seperti Cibandawoh, Cikeusik, Citadahan dan Cibunar. Serta di semenanjung Ujung Kulon bagian utara seperti Cigenter, Cikarang, Nyiur, Nyawaan, Cimayang, Citerjun, dan Cijengkol. Gambar 5: Sebaran distribusi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) (Risnandar, 2018) C. Status Konservasi IUCN telah menetapkan status badak jawa sebagai critically endangered dan kemudian CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) menempatkan badak jawa dalam Appendix 1 yang berarti berdasarkan peraturan internasional tidak diperbolehkan adanya perdagangan produk ataupun turunannya. Populasi badak jawa saat ini hanya terdapat di kawasan TNUK yang diperkirakan hanya tinggal 47 ekor. 2.4 Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Gambar 6: Orangutan Sumatera (Pongo abelii) (sumber gambar: http://pngimg.com/imgs/animals/orangutan/) Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga kerabatnya, yaitu; gorila, simpanse, dan bonobo hidup di Afrika. Kurang dari 20.000 tahun yang lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari Pulau Jawa di ujung selatan sampai ujung utara Pegunungan Himalaya dan Cina bagian selatan. Akan tetapi, kini orangutan hanya ditemukan di Sumatera dan Borneo (Kalimantan). Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di alam menghadapi ancaman kepunahan, hingga menyebabkan spesies ini dimasukkan ke dalam status sebagai Critically Endangered oleh International Union for Conservation of the Nature. Sejak tahun 1931, orangutan sumatera telah dilindungi oleh Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 233, Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, lalu terbit Surat Keputusan Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/KptsII/1991 dan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan bahwa orangutan sumatera masuk ke dalam daftar satwa yang dilindungi di Indonesia. CITES (2014) sebagai konvensi atau perjanjian internasional di bidang perdagangan flora dan fauna liar menggolongkan orangutan sumatera ke dalam golongan Appendix I yang artinya satwa tersebut dilarang diperdagangkan oleh manusia mengingat keterancaman terhadap satwa tersebut sangat tinggi. Saat ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya. Populasi orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Populasi lain yang diperkirakan potensial untuk bertahan dalam jangka panjang terdapat di Batang Toru. Diperkirakan jumlah total populasi orangutan sumatera kini tinggal 6000 ekor. Orangutan sumatera memiliki rambut berwarna coklat kemerahan cerah yang panjang, lebat, dan tebal di seluruh permukaan tubuhnya kecuali muka, telapak tangan, dan telapak kaki. Rambut orangutan sumatera tipis, berbentuk membulat, dan secara mikroskopis mempunyai kolom pigmen gelap yang halus, serta sering patah di bagian tengahnya. Kantung tenggorokan orangutan sumatera berukuran kecil. Orangutan sumatera jantan memiliki pinggiran muka mendatar. Tungkai depan satwa ini lebih panjang daripada tungkai belakang. A. Klasifikasi Orangutan Sumatera Indonesia memiliki dua jenis orangutan, salah satunya adalah orangutan sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mammalia Ordo : Primata Family : Hominidae Genus : Pongo Species : Pongo abelii B. Distribusi Orangutan sumatera hidup di hutan tropik dataran rendah, rawa-rawa, hingga perbukitan yang mencapai ketinggian 1.500 mdpl, dengan batas-batas alam yang tidak dapat dilalui seperti sungai dan gunung dengan ketinggian lebih dari 2.000 mdpl. Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan Republik Indonesia (2007) menyatakan bahwa tidak semua kawasan hutan di Sumatera didiami oleh orangutan sumatera. Orangutan sumatera ditemukan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang terbentang dari Provinsi Daerah Istimewa Aceh sampai Sumatera Utara. 2.5 Tarsius (Tarsius fuscus) Gambar 7: Perbedaan morfologi jenis-jenis tarsius yang terdapat di Sulawesi (Mansyur, 2012) Tarsius merupakan salah satu primata terkecil dan beberapa di antara anggota spesiesnya merupakan satwa endemik Sulawesi yang terancam punah dan dilindungi. Tarsius memiliki rambut tebal dan halus yang menutupi tubuhnya. Warna rambut bervariasi, tergantung dari jenis, yaitu merah tua, coklat hingga keabuabuan. Tarsius yang berasal dari Sulawesi memiliki ciri khas bila dibandingkan dengan jenis lain yaitu adanya rambut warna putih di belakang telinga dan rambut penutupnya berwarna abu-abu. Panjang tubuh 85 - 160 mm, dan panjang ekornya 135 - 275 mm. Berat tubuh tarsius jantan dewasa sekitar 75 - 165 g. Panjang kaki jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan panjang tangan bahkan panjang tubuh secara total. Hal ini berkaitan dengan cara bergeraknya, yaitu meloncat. Di Sulawesi terdapat 11 jenis tarsius, yaitu T. tarsier, T. fuscus, T. sangirensis, T. pumilus, T. dentatus, T. pelengensis, T. lariang, T. tumpara, T. wallacei dan 2 jenis yang diketahui dari jenis berbeda. A. Klasifikasi Klasifikasi Tarsius fuscus adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Primata Famili : Tarsiidae Genus : Tarsius Species : Tarsius fuscus B. Distribusi Tarsius banyak ditemukan di luar hutan lindung atau area perbatasan hutan antara hutan primer dengan hutan sekunder, hutan sekunder dengan perkebunan masyarakat serta areal perladangan atau pertanian. Sedangkan pohon tidur atau sarang tarsius umumnya ditemukan di sekitar hutan sekunder dan perladangan dengan vegetasi yang rapat. Pohon tidur atau sarang tarsius lebih banyak menempati jenis-jenis pohon Bambusa sp., Ficus sp., Imperata cylindrica, Arenga pinnata dan Hibiscus tiliaceus, kelompok tarsius di hutan primer lebih sering memilih tempat tidur di rongga-rongga pohon yang berlubang terutama pohon Ficus sp., pandan hutan, bambu, dan umumnya jenis berongga, terlindung dari sinar matahari dan agak gelap. Kawasan hutan Pattunuang (dahulunya merupakan Taman Wisata Alam sebelum diintegrasikan menjadi taman nasional) di sepanjang hutan riparian Bisseang Labboro (Bislab) dan Gua Pattunuang, mulai dari HM 1000 sampai HM 2500 termasuk lokasi yang bagus untuk pengamatan tarsius. Gambar 8: Peta distribusi genus dan spesies Tarsiidae (Mansyur, 2012) C. Status Konservasi Sejak tahun 1931, tarsius sudah dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 266 tahun 1931, diperkuat dengan Undangundang No. 5 tahun 1990, serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 yang dikeluarkan tanggal 10 Juni 1991. Tarsius juga termasuk dalam daftar satwa yang dilarang untuk diperdagangkan dalam daftar Appendix II CITES. Kategori terbaru IUCN Red List of Threatened Species 2008 telah memasukkan tarsius dalam kategori Critically Endangered (kritis) untuk spesies tarsius yang baru diidentifikasi, yaitu T. tumpara di Pulau Siau. Hal ini disebabkan karena spesies ini berada di suatu pulau yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi tarsius. Status T. fusucus sampai saat ini masih tergolong dalam vulnerable dalam Red List yang dikeluarkan oleh IUCN 2011. Akan tetapi status ini dapat berubah apabila penelitian mengenai tarsius terus dilakukan dan populasi jenis ini dapat diperkirakan maka tidak menutup kemungkinan statusnya akan meningkat menjadi Endangered. 2.6 Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) Gambar 9: Jalak Bali (Leucopsar rothschildi), (sumber gambar: https://unsurimba.blogspot.com/2018/09/suara-burung-jalak-bali.html) Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah burung endemik Pulau Bali, dan distribusinya sampai tahun 2005 hanya ada di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Jalak Bali menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di TNBB, karena banyak terjadi pencurian.Burung jalak Bali memiliki beberapa ciri seperti warna bulu yang putih di hampir semua tubuhnya, kecuali pada kali dan juga pipi muka. Sedangkan untuk mata burung jalak Bali memiliki warna cokelat tua. Kemudian burung ini juga memiliki jambul pada kepalanya sehingga akan membuat burung ini menjadi terlihat cantik. Untuk paruh pada burung ini juga berbentuk runcing dan juga memiliki panjang kurang lebih 2 sampai dengan 5 cm. A. Klasifikasi Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Aves Ordo : Passeriformes Famili : Sturnidae Genus : Leucopsar Spesies : Leucopsar rothschildi B. Distribusi Penyebaran Jalak Bali mencapai daerah Bubunan sekitar 50 km sebelah timur kawasan TNBB dan Desa Manistutu sebelah selatan kecamatan Negara. Kondisi iklim dan musim berbuah dari tanamantanaman tertentu yang ada di sekitar TNBB sangat menentukan daerah jelajah Jalak Bali. Pada kondisi iklim normal dan curah hujan cukup, Jalak Bali cenderung menetap di bagian barat dan utara kawasan TNBB antara lain di daerah Batu Licin, Lampu Merah sampai Teluk Kelor dan Lembah Batu Gondang. Pada musim kering Jalak Bali sering ditemui mencari makan di lembah-lembah sempit Teluk Brumbun atau disekitar pemukiman Tegal Bunder C. Status Konservasi Sejak tahun 1966 Jalak Bali dimasukkan ke dalam kategori kritis (Critically endangered) oleh IUCN Red List of Threatened Species. Selain itu, CITES memasukkan burung tersebut ke dalam Appendix I. Jalak Bali dilindungi Pemerintah Indonesia dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970, kemudian juga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Konservasi Jalak Bali di TNBB telah dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, BirdLife International, dan American Association of Zoological Park and Aquarias (AAZA), sejak tahun 1987-2000. Usaha yang dilakukan adalah peningkatan pengamanan di TNBB, penyuluhan pentingnya masyarakat mendukung pelestarian Jalak Bali dan pelepasliaran Jalak Bali di TNBB. BAB III KESIMPULAN Di Indonesia terdapat 816 jenis satwa endemik, dari jumlah tersebut 71 jenis satwa sudah masuk dalam Red List IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resource). Berikut 6 jenis satwa endemik Indonesia diantaranya: No. Spesies 1 Babulus depressicornis Status Konservasi Distribusi Oleh IUCN dimasukkan kedalam Distribusi anoa di kategori terancam punah (EN). wilayah daratan Sulawesi Terdaftar dalam Appendix I CITES. dan Pulau Buton. 2 Varanus komodoensis Oleh IUCN dikategorikan sebagai Penyebaran komodo jenis yang berstatus Vurnerable meliputi Pulau Flores (VU) dan masuk dalam Appendix I bagian barat, Pulau CITES Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar, Gilimotang dan Pulau Mada Sumbi. 3 Rhinoceros sondaicus Oleh IUCN dikategorikan sebagai Saat ini, Badak Jawa jenis yang berstatus Critically hanya ditemukan di Endangered (CR) dan Terdaftar Taman Nasional Ujung dalam Appendix I CITES. 4 Pongo abelii Kulon. Oleh IUCN dikategorikan sebagai Orangutan jenis yang berstatus sumatera Critically ditemukan di kawasan Endangered (CR) dan Terdaftar Taman Nasional Gunung dalam Appendix I CITES. Leuser yang terbentang dari Provinsi Daerah Istimewa Aceh sampai Sumatera Utara. 5 Tarsius fuscus Oleh IUCN dikategorikan sebagai Hutan - hutan Sulawesi jenis yang berstatus Critically Utara hingga Sulawesi Endangered (CR) dan Terdaftar Selatan dalam Appendix I CITES. 6 L. rothschildi Oleh IUCN dikategorikan sebagai Taman jenis yang berstatus Critically Barat (TNBB) Endangered (CR) dan Terdaftar dalam Appendix I CITES. Nasional Bali DAFTAR PUSTAKA 1. Astirin, O. P. (2000). Problems of Biodiversity Management in Indonesia. Biodiversitas, Journal of Biological Diversity, 1 (1); 36–40 2. Christita, Margaretta & Mayasari, Anita & Suryaningsih, Rahma & Arini, Diah & Tri Joy Simamora, Adven & , Jafred.D.Halawane & Kinho, Julianus & Suryawan, Ady yes. (2018). Pendidikan Konservasi Satwa Endemik Sulawesi Anoa (Bubalus spp.) Melalui Anoa School Outreach di Sulawesi Utara. 3. Arini, D. I. D. 2013. Anoa dan Habitatnya di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado, Indonesia. 61 hal. 4. Chrismiawati, Marliana. (2008). Identifikasi Karakteristik Sarang Berbiak Komodo (Varanus komodoensis) Di Loh Buaya Pulau Rinca Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. 5. Risnandar C. 2018. Badak Jawa. Ensiklopedi Jurnal Bumi 6. Mansyur F. I,. 2012. Karakteristik Habitat Dan Populasi Tarsius (Tarsius fuscus) Di Resort Balocci Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan. https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/60892/9/E12fim.pdf