Keadilan Transisional

advertisement
Keadilan Transisional
Sebuah Tinjauan Komprehensif
Ruti G. Teitel
Elsam
2004
Keadilan Transisional, Sebuah Tinjauan Analitis-Komprehensif oleh Ruti G. Teitel
(Diterjemahkan dari Transitional Justice, Oxford dan New York: Oxford University
Press, 2000).
Penerjemah
Tim Penerjemah Elsam
Editor I/Penyelaras Terjemahan
Eddie Riyadi Terre
Editor II/Penyelaras Bahasa
Erasmus Cahyadi T.
Desain Sampul:
Layout:
Cetakan Pertama, Oktober 2004
Hak terjemahan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM
Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi
manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia di Indonesia.
This publication has been produced with the assitance of the European Union. The
contents of this publication is the sole responsibility of ELSAM and can in no way be
taken to reflect the views of the European Union.
Penerbit
ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519
E-mail: [email protected], [email protected]; Web-site: www.elsam.or.id
Prakata Seri
Setelah lebih dari 32 tahun hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang otoriter dengan
dukungan ideologi militerisme yang menindas, dan kembali memasuki era keterbukaan, reformasi
dan demokrasi, bangsa Indonesia sepertinya tidak peduli dengan apa yang terjadi pada masa lalu.
Bahkan perbincangan sistematis tentang upaya-upaya penyelesaian hukum dan politis belum
menjadi agenda utama banyak kalangan, baik DPR maupun pemerintah. Kalaupun ada, orang
cenderung bersikap pragmatis dan seadanya, sehingga mengabaikan prosedur dan sasaran yang
sesungguhnya. Kita pun belum memiliki perangkat yang memadai untuk menangani berbagai
dampak traumatik dari akibat pelanggaran HAM masa lalu. Sementara di sisi lain, dampak
traumatik tersebut semakin kelihatan seperti dalam munculnya aksi-aksi kekerasan masyarakat,
resistensi ataupun ketidakpatuhan (social disobedience), atau bahkan melalui keinginan dan upaya
untuk melepaskan diri dari negara RI
Salah satu masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini adalah bagaimana
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu secara tepat dan memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Bahasan mengenai penyelesaian pelanggaran berat HAM yang terjadi di
masa lalu seyogianya berada di dalam bingkai wacana “transitional justice” karena momentum
awal wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersebut adalah pergantian rezim dari
rezim Orde Baru yang otoriter menuju rezim baru yang lebih demokratis. Lalu, apa sebenarnya
transitional justice? Pertanyaan ini penting karena wacana transitional justice lebih luas daripada
“sekadar” penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran hak asasi manusia. Landasan moralnya
adalah pembentukan pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat dan hak asasi
manusia melalui langkah-langkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu ke tertib hukum,
sehingga menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang di masa depan.
Persoalannya adalah, apa dan bagaimana sikap kita terhadap tindakan pelanggaran HAM
masa lalu tersebut? Apakah dengan menghukum atau memaafkan? Apakah yang harus dibuat
untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut? Bagaimana dampaknya bila tidak terselesaikan?
Bagaimana nasib para korban? Dan bagaimana kita dapat menjamin untuk menghindari terjadinya
kekerasan atau pelanggaran HAM yang sama pada masa depan?
Banyaknya pertanyaan yang harus kita jawab bersama itulah yang menggugah kami,
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menerbitkan buku seri transitional justice
ini. Selama ini, debat wacana tentang masalah keadilan pada masa transisi selalu mengacu pada
literatur negara lain yang nota bene terbatas penggunaannya sebagai bahan komparasi semata.
Perkembangan literatur dan bahan bacaan tentang transitional justice dengan konteks Indonesia
untuk keperluan konsumsi umum memang masih sangat terbatas. Untuk itulah, seri ini hadir.
Untuk mengisi ruang kosong dalam wacana kajian umum tentang “bagaimana kita sebaiknya
menyikapi masa lalu” yang selama ini seolah-olah terpinggirkan.
Kiranya perlu dicatat bahwa berbagai tawaran dalam seri kali ini bukanlah dimaksudkan
sebagai semacam pedoman penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa lalu. Seri ini diterbitkan
dengan maksud untuk mengajak kita semua menyadari bahwa ada persoalan mendasar dan
mendesak yang harus kita benahi dalam praktek bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.
Mendasar, karena menyangkut harkat dan martabat manusia – yang menjadi korban kekerasan dan
pelaku kekerasan itu sendiri. Mendesak, karena yang dipertaruhkan adalah pelurusan sejarah,
eksistensi kekinian manusia, selain tentu saja masa depan kemanusiaan kita.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama adalah masalah kemanusiaan yang secara
prinsip merupakan masalah universal, bukan melulu menjadi masalah kajian satu bidang ilmu
tertentu. Itulah mengapa, kendatipun semua uraiannya menukik pada satu tema yang sama, namun
pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini sangat multidimensional dengan karakter
komprehensionalitas bahasan yang cukup kental. Sekaligus hal ini menggambarkan bahwa betapa
sangat rumitnya kekerasan masa lalu itu baik pada tataran teoritis maupun praktis. Tidak kurang di
sini ada pendekatan filosofis yang mencoba menelusup jauh ke dalam wilayah kelam kekerasan
itu. Ia mempertanyakan berbagai ide dasar, gagasan, konsep, keyakinan yang menjadi
pembungkus wajah keras masa lalu itu, termasuk mempertanyakan pertanyaan tentang kekerasan
itu sendiri. Ada pula pendekatan historis yang menawarkan penjelajahan ruang dan waktu dengan
menampilkan berbagai pengalaman negeri lain dalam penyelesaian tindak kejahatan hak asasi
manusia di masa lalu. Selain itu, ada pula yang membedahnya dengan pisau analitis – sebab
bagaimanapun, karakter kekerasan itu sendiri sangat beragam – namun tetap dalam bingkai
komprehensif. Itulah beberapa di antara berbagai pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini.
Akhirnya, selamat membaca.
Pengantar
Proyek pembuatan buku ini diinspirasikan oleh gelombang pasang liberalisasi pada
penghujung abad kedua-puluh. Pada awal 1980-an, sebuah perdebatan mengemuka
berkenaan dengan implikasi “keadilan transisional” terhadap prospek liberalisasi negaranegara. Pertanyaan soal “penghukuman atau impunitas”, apakah ada kewajiban untuk
menghukum dalam transisi demokratik, merupakan subjek dari sebuah pertemuan
tentang pengambilan kebijakan yang diselenggarakan pada tahun 1990 di Dewan
Hubungan Internasional di New York; dalam forum itulah saya diundang dan didaulat
untuk menyiapkan tulisan yang bermuatan soal dasar dan latar belakang
dilangsungkannya diskusi seperti itu.1 Pada waktu itu, saya menyimpulkan bahwa,
bertentangan dengan argumen moral soal penghukuman dalam alternatif-alternatif yang
abstrak, alternatif yang beragam untuk menghukum bisa mengungkapkan pesan normatif
dari transformasi politik dan aturan hukum, dengan tujuan melanggengkan demokrasi.
Dengan bubarnya Uni Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin, pertanyaan soal
keadilan transisional mendapatkan nilai urgensitasnya yang lebih tinggi lagi. Beberapa
dari kami yang telah ikut serta dalam perdebatan tentang transisi di negara-negara
Amerika Latin berpartisipasi dalam perdebatan yang dilangsungkan di Eropa Timur dan
Eropa Tengah. Di sana, perdebatan tentang penghukuman meluas hingga mencakupi
implikasi dari aksi-aksi penyapuan dekomunisasi yang seolah mewabah di rentangan
wilayah tersebut. Pada tahun 1992, saya menerima bantuan dana dari Institut
Perdamaian Amerika Serikat (U.S. Institute of Peace) untuk memulai proyek komparatif
ini dan untuk memberikan nasihat kepada pemerintah-pemerintah tentang isu keadilan di
masa transisi ini. Keikutsertaan saya dalam beberapa konferensi di wilayah-wilayah
tersebut membantu membentuk isu ini secara lebih tegas: “Political Justice and
Transition to the Rule of Law in East Central Europe”, yang disponsori oleh University
of Chicago dan oleh Central European University di Prague pada tahun 1991, dan
Konferensi Salzburg yang bertajuk “Justice in Times of Transition” pada tahun 1992,
yang diselenggarakan oleh Foundation for a Civil Society. Pada tahun 1993, dalam
sebuah konferensi, “Restitution in Eastern Europe”, yang diselenggarakan oleh Central
European University, saya mengemukakan gagasan yang kemudian dielaborasi lebih
lanjut dalam sebuah bab tentang keadilan reparatoris dalam buku ini. Pemikiran saya
tentang peran penyelidikan historis dibentuk oleh sebuah konferensi yang saya sendiri
turut membantu mengorganisirnya di Central European University, Budapest, pada
musim gugur tahun 1992, dan dielaborasi dalam sebuah makalah yang dibawakan pada
1
Lihat Ruti Teitel, “How Are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of
Past Human Rights Abuses?” (makalah yang disiapkan untuk Council on Foreign Relations New York,
N.Y., 17 Mei, 1990).
1
sebuah konferensi yang diselenggarakan pada tahun 1994 di Yale Law School dengan
tajuk “Delibarative Democracy and Human Rights”. Aspek-aspek komparatif lebih
lanjut dieksplorasi pada Seventeenth Annual German Studies Association, di mana saya
membawakan makalah berjudul “Justice in Transition in Unified Germany”. Studi
tentang preseden-preseden pasca-perang dipersubur dalam sejumlah simposia yang saya
juga turut bantu dalam pelaksanaannya selama beberapa tahun di Boston College Law
School, dengan dukungan dari Holocaust-Human Rights Research Project, termasuk
juga di New York Law School.
Saya menghabiskan kesempatan melakukan penelitian saya sebagai Senior
Schell Fellow di Yale Law School, di mana saya membawakan sebuah seminar tentang
buku ini dan menarik manfaat dari berbagai diskusi baik di dalam maupun di luar kelas.
Beragam porsi buku ini telah dipresentasikan pada Lokakarya Fakultas Yale Law
School, termasuk juga lokakarya di Boston College Law School, Cardozo Law School,
Columbia University Law School, University of Connecticut Law School, Cornell Law
School, New York Law School, dan University of Michigan Law School. Bagian dalam
bab kesimpulan dipresentasikan pada Lokakarya New York University Political Theory.
Bagian-bagian yang menguraikan bab tentang keadilan konstitusional telah didiskusikan
pada Georgetown University Law School Biennial Constitutional Law Discussion Group
(1995). Pada pertemuan The American Philosophical Association’s Eastern Division
(1996), saya menjadi partisipan dalam sebuah diskusi panel bertema “Justice,
Amnesties, and Truth-Tellings.” Beberapa isu dalam bab tentang peradilan pidana telah
dipresentasikan dalam sebuah kuliah khusus di mana saya secara khusus pula diundang
untuk memberikan kuliah tersebut di University of Frankfurt (Januari 1998). Bagianbagian berisikan bab tentang keadilan kriminal yang berkenaan dengan Eropa Timur
dipresentasikan pada pertemuan tahunan The American Association of International
Law (April 1998). Bagian-bagian yang menyangkut keadilan kriminal dan kebaikan budi
untuk mengampuni (clemency) dipresentasikan pada sebuah lokakarya di University of
Edinburgh (Juni 1998).
Banyak rekan dan sahabat telah memberikan bantuannya dalam bentuk komentar
yang berharga, nasihat, dan dorongan dalam proses penggarapan proyek ini. Pertama,
terima kasihku untuk para editor saya di Oxford. Saya berhutang budi kepada Jack
Balkin, Robert Burt, Paul Dubinsky, Stephen Ellmann, Owen Fiss, John Ferejohn,
George Fletcher, Richard Friedman, Ryan Goodman, Robert Gordon, Derek Jinks, Paul
Kahn, Harold Koh, Bill Lapiana, Larry Lessig, Klaus Lüderssen, Tim Lytton, Jack
Rakove, Andrzej Rapacynski, Michel Rosenfeld, András Sajó, Marcelo Sancinetti, Peter
Schuck, Tony Sebok, Richard Sherwin, Suzanne Stone, Ariel Teitel, dan dua pengamat
anonim. Ucapan terima kasih yang khusus saya tujukan kepada Zoe Hilden dan Jonathan
Stein atas nasihat mereka yang sangat membantu banyak dan atas masukan-masukan
mereka di bidang editorial. Saya paling berhutang budi atas dukungan dari Dekan Harry
Wallington di institusi saya sendiri, New York Law School, dan Dekan Anthony
Kronman di Yale Law School. Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada sejumlah
hakim pengadilan konstitusional atas keikhlasannya dalam memberikan kontribusi
terhadap riset saya ini, yaitu: Vojtech Cepl, Lech Garlicki, Dieter Grimm, Richard
Goldstone, dan Laszlo Solyum. Saya menghaturkan terima kasih kepada para mahasiswa
2
hak asasi manusia dalam rezim-rezim transisional di New York dan Yale Law School
atas diskusi dengan mereka yang sangat membantu terhadap berbagai gagasan dalam
buku ini. Saya berhutang budi kepada Camille Broussard dari Perpustakaan New York
Law School dan kepada asisten periset di New York dan Yale Law School, termasuk
Dana Wolpert, Sabrina Bagdasarian, Federica Bisone, Jayni Edelstein, Jonathan Holub,
Jessica LaMarche, Karen Owen, dan Naveen Rahman, atas bantuan mereka semua
dalam penelitian untuk buku ini.
Untuk sumbangannya dalam proses penelitian untuk penulisan buku ini, saya
menyampaikan terima kasih kepada Neil Kritz dari U.S. Institute of Peace, Dwight
Semler dan Ania Budziak dari Center for Constitutionalismin East Europe di University
of Chicago, Holly Cartner of Human Rights Watch, Robert Weiner dari Lawyers
Committee for Human Rights dan Ariel Dulitsky dari Center for Justice and
International Law. Saya juga sangat berterima kasih kepada Brenda Davis Lebron untuk
bantuan wordprocessing yang diberikannya dan kepada Belinda Cooper dan Leszek
Mitrus atas bantuan penerjemahannya.
Dukungan keuangan untuk penelitian buku ini disediakan oleh Ernst Stiefel Fund
di New York Law School, proyek bantuan dari U.S. Intitute of Peace yang disediakan
untuk jangka waktu 1992-1993 dan oleh The Orville H. Schell, Jr., Center for
International Human Rights di Yale Law School untuk tahun 1995 dan tahun 1996.
Terakhir, saya merasa berutang banyak sekali kepada almarhum Owen M.
Kupferschmid. Berbagai percakapan kami yang berkisar seputar masalah keadilan
pasca-perang dan dorongannya yang penuh cinta kasih telah menjadi inspirasi bagi saya
untuk memulai proyek ini.
Berhubung buku ini ditulis dalam tahun-tahun belakangan ini, maka ia juga
menjangkau serta menekankan kembali kejadian-kejadian yang membuat kita menahan
dan kemudian menarik nafas panjang di penghujung abad kedua-puluh. Namun,
kendatipun tulisan ini kita selesaikan, transisi terus saja berlangsung; sebagai contoh,
transisi Afrika Selatan keluar dari rezim apartheid tetap berjalan, dan ada juga temuantemuan penting dan kemajuan-kemajuan signifikan di Irlandia Utara dan di berbagai
tempat di berbagai belahan dunia ini. Perkembangan ini kemudian berdampak pada tak
terhindarkannya ketidaksempurnaan dari buku ini. Perkembangan-perkembangan
tersebut juga menguatkan relevansi dan vitalitas subjek pembahasan buku ini, dan pada
saat yang sama juga memperlihatkan sekaligus ketidakcukupannya dan kemungkinannya
untuk dijadikan sumber inspirasi bagi upaya-upaya selanjutnya.
New York City
Desember 1999.
R. G. T.
3
Daftar Isi
Prakata Seri
Pengantar
Daftar Isi
Pendahuluan
1.
Kedaulatan Hukum dalam Transisi
• Dilema Kedaulatan Hukum: Transisi Pasca-Perang
• Pergeseran Gambaran Legalitas: Transisi Pasca-Komunis
• Konstruksi Transisional tentang Legalitas
• Badan Pengadilan Transisional
• Praktik Ajudikatif Transformatif: Beberapa Kesimpulan
2.
Peradilan Pidana
• Dasar Argumen Peradilan Pidana dalam Masa Transisi
• Dilema Transisional dan Pergeseran Paradigma Nuremberg
• Penerapan Preseden Nuremberg di Pengadilan Nasional
• Keadilan Transisional dan Tatanan Hukum Nasional dalam Perspektif
Komparatif
• Sanksi Pidana Terbatas
• Peradilan Pidana Terbatas dan Konstruksi Transisi
• Amnesti Transisional
• Batasan Pengampunan di Negara Liberal: Kejahatan terhadap Kemanusiaan
• Paradoks Jangka Waktu
• Peradilan Pidana Transisional: Beberapa Kesimpulan
3.
Keadilan Historis
• Sejarah Hukum: Keadilan Historis dan Pengadilan Pidana
• Dilema Keadilan Politis
• Penghilangan dan Repesentasi
• Kebenaran yang Diciptakan: Epistemologi Kebenaran Resmi
• Politik Ingatan: Mengaitkan Rezim Sejarah dan Rezim Politik
• Kebenaran atau Keadilan: Kebenaran sebagai Pendahulu Keadilan?
• Keadilan Historis setelah Totalitarianisme
• Keadilan Historis dalam Bayang-Bayang Komunisme
• Kebebasan Informasi: Menegaskan Akses di Masa Depan
• Hukum Sejarah
• “Perdebatan Sejarawan”: Menarik Garis Pembatas Masa Lalu
• Memelihara Keadilan Historis Melalui Hukum
1
•
•
•
“Keadilan Puitik”: Narasi Transisi
Tentang Penyeberangan Sungai dan Laut, tentang Pembuangan dan
Kepulangan
Keadilan Historis Transisional: Beberapa Kesimpulan
4.
Keadilan Raparatoris
• Reparasi dalam Alkitab: Keluaran (Eksodus) dari Mesir
• Reparasi Pasca-Perang dan Kesalahan Perang Keseluruhan
• Wiedergutmachung dan Schilumim
• Perang Kotor, Penghilangan dan Rekonsiliasi: Peran Reparasi
• Reparasi dan Privatisasi setelah Komunisme
• Dilema Keadilan Reparatoris Transisional dan Kedaulatan Hukum
• Penundaan Keadilan Reparatoris: Dilema Perjalanan Waktu
• Persistensi Keadilan Reparatoris yang Belum Terselesaikan dan Politik
Kontemporer: Dilema “Affirmative Action”
• Dilema Transitory Tort
• Keadilan Reparatoris Transisional
5.
Keadilan Administratif
• Sodom dan Gomora: “Pembersihan” Dua Kota yang Jahat
• Merekonstruksi Amerika
• Pembebasan Melalui Hukum
• Epuracion dan Zuivering: Politik Penyingkiran
• Lustrace dan Bereinigung: Pembersihan Politik di Eropa Tengah dan Timur
• Demiliterisasi terhadap Negara Kemanan Nasional
• Demokrasi Militan
• Partai dan Rakyat
• Demokrasi Militan dan Negara Liberal
• Keadilan antar-Generasi
• Keadilan Administratif Transisional
6.
Keadilan Konstitusional
• Model-Model Utama
• Pergeseran dari Pemerintahan Otoriter
• Keadilan Konstitusional sang Pemenang
• Revolusi Damai dan Konstitusinya
• Konstitusi Amerika: Tinjauan Transisional
• Konstitusionalisme Transisional: Beberapa Kesimpulan
7.
Menuju Teori Keadilan Transisional
• Keadilan Transisional dan Jurisprudensi Transisional: Sebuah Paradigma
• Konstruktivisme Transisional
2
•
•
Sebuah Teori tentang Keadilan Transisional
Keadilan Transisional dan Identitas Liberal
Epilog
Catatan
Daftar Pustaka
Indeks
3
Pendahuluan
Dalam dekade belakangan ini, masyarakat di seluruh penjuru dunia – Amerika Latin, Eropa
Timur, bekas Uni Soviet, Afrika – berhasil menjatuhkan kediktatoran militer dan rezim
totaliter, dan menggantikannya dengan pemerintahan yang mengedepankan kebebasan dan
demokrasi. Pada masa-masa gerakan politik berskala besar untuk meninggalkan pemerintahan
non-liberal ini, timbul satu pertanyaan yang penting. Bagaimana seharusnya masyarakat
menyikapi masa lalu mereka yang kelam? Pertanyaan ini mengarah ke pertanyaan-pertanyaan
lainnya yang berkaitan dengan hubungan sikap terhadap masa lalu negara dengan masa
depannya. Bagaimana tercipta pemahaman sosial terhadap rezim baru yang berkomitmen pada
“kedaulatan hukum”? [Di sini ditawarkan penerjemahan rule of law dengan “kedaulatan
hukum” ketimbang “aturan hukum” atau “kepastian hukum”; “kedaulatan hukum” lebih
mewakili apa yang dimaksudkan oleh istilah itu dalam bahasa Inggrisnya, ed.] Keputusankeputusan legal mana sajakah yang memiliki signifikansi dalam perubahan? Apa saja,
andaikan ada, hubungan antara respon negara terhadap masa lalunya yang represif dengan
prospeknya untuk menciptakan tatanan yang demokratik? Apa potensi perundang-undangan
untuk mendorong liberalisasi?1
Pertanyaan tentang konsepsi keadilan dalam masa-masa transisi politik belum terjawab
dengan memuaskan. Perdebatan tentang “keadilan transisional” biasanya berada dalam
kerangka proposisi normatif bahwa berbagai respon legal yang dilakukan perlu dinilai
berdasarkan prospeknya untuk demokrasi.2 Dalam perdebatan yang sedang berlangsung
tentang kaitan hukum dan keadilan dengan liberalisasi, terdapat dua kubu pemikiran yang
saling bersaing, yaitu kaum realis dan kaum idealis, tentang kaitan antara hukum dan
perkembangan demokrasi. Kaum realis menganggap bahwa perubahan politik menjadi syarat
untuk terciptanya kepastian hukum, sementara kaum idealis menganggap bahwa diperlukan
langkah-langkah legal tertentu untuk mendahului transisi politik.
Perbedaan pandangan ini muncul dari bias keilmuan (politik vs hukum) atau dari
generalisasi pengalaman-pengalaman negara tertentu ke tingkat universal. Jadi, dalam teori
politik, pandangan dominan tentang proses transisi liberal menggambarkan suatu urutan yang
diawali perubahan politik. Oleh karena itu, respon transisional suatu negara dijelaskan
utamanya dengan batasan-batasan politik dan institusional yang relevan. Usaha mencapai
keadilan dalam masa-masa itu sama sekali tergantung pada konteks yang ada (epifenomenal)
1
Karya-karya selain studi kasus atau pendekatan regional sering kali terbatas pada momen historis tertentu. Lihat
misalnya John Herz (ed.), From Dictatorship to Democracy: Coping with the Legacies of Authoritarianism and
Totalitarianism, Westport, Conn: Greenwood Press, 1982 (berfokus pada masa pascaperang). Untuk pembahasan
klasik tentang masalah keadilan politis, lihat Otto Kircheimer, Political Justice: The Use of Legal Procedure for
Political Ends, Westport, Conn: Greenwood Press, 1980.
2
Lihat Bruce A. Ackerman, The Future of Liberal Revolution, New Haven: Yale University Press, 1992; Carlos
Santiago Nino, Radical Evil on Trial, New Haven: Yale University Press, 1996; John Herz, “An Historical
Perspective”, dalam Alice H. Henkin (ed.), State Crimes: Punishmentor Pardon, Queenstown, Md: Aspen
Institute, 1998. Untuk pendekatan komparatif, lihat esai-esai dalam Guillermo O Donnel et al. (eds.), Transitions
from Authoritarian Rule: Comparative Perpectives, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986. Lihat juga
Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Problems of Communist Euripe, Baltimore: Johns Hopkins University Press,
1996 (mengeksplorasi proses-proses transisi dan konsolidasi dari perspektif komparatif. Lihat misalnya Jaime
Malamud-Goti, “Transitional Governments in the Breach: Why Punish State Criminals?” Human Rights
Quarterly 12, No. 1 (1990): 1-16.
1
dan dapat dijelaskan dengan perimbangan kekuasaan. Hukum semata-mata produk dari
perubahan politik. Para realis politik biasanya meluaskan pertanyaan “mengapa negara
mengambil suatu langkah tertentu” menjadi “respon apa yang mungkin”.3 Teori demikian
menjelaskan mengapa keadilan transisional merupakan isu yang vital di negara-negara tertentu
dan tidak di negara yang lainnya.4 Perimbangan kekuasaan yang ada, yang mengarahkan
langkah-langkah transisi, dianggap menjelaskan respon legal yang ada. Namun, mengatakan
bahwa pemerintah-pemerintah akan “melakukan apa yang bisa mereka lakukan” tidaklah
menjelaskan berbagai ragam fenomena legal transisional. Bahkan, anggapan bahwa begara
melakukan apa yang bisa mereka lakukan, seperti pandangan kaum realis, hanyalah meluaskan
suatu penggambaran secara deskriptif menjadi kesimpulan normatif.5 Kaitan antara respon
negara terhadap masa transisinya dan prospeknya untuk liberalisasi tidak terjelaskan dengan
baik.
Sebaliknya, dari perspektif kaum idealis, pertanyaan tentang keadilan transisional
biasanya mundur ke konsepsi-konsepsi keadilan yang universal.6 Pemikiran-pemikiran tentang
keadilan retributif atau keadilan korektif tentang masa lalu dianggap menjadi syarat
tercapainya perubahan liberal. Pada tingkat abstrak, beberapa gambaran ideal tersebut
mungkin diperlukan untuk melakukan transisi liberal. Namun, teori seperti itu tidaklah
menjelaskan dengan baik kaitan antara hukum dengan perubahan politik. Pada akhirnya,
pendekatan tersebut mengabaikan ciri-ciri khas keaslian pada masa transisi.
Kedua kutub idealis vs realis tentang keadilan transisi ini, seperti pula teori liberal vs
kritis, berbeda dalam pandangannya tentang kaitan antara hukum dan politik. Dalam teori
liberal, yang dominan dalam hukum dan politik internasional,7 hukum dianggap tidak
terpengaruh oleh konteks politik8 sesuai konsepsi-konsepsi kaum idealis. Sementara, teori
3
Charles R. Beitz, Political Theory and International Relations, Princeton: Princeton University Press, 1979, 1566; R. B. J. Walker, Inside/Outside: International Relations as Political Theory, Cambridge: Cambridge
University Press, 1993, 123-24. Untuk ringkasan tentang pandangan realis dalam teori internasional, lihat John H.
Herz, Political Realism and Political Idealism, Chicago: Chicago University Press, 1951; Martin Wight,
International Theory: The Three Traditions, London: Leicester University Press untuk Royal Institute of
International Affairs, 1990; J. Ann Tickner, “Hans Morgenthau’s Principles: A Feminist Reformulation”, dalam
James Der Derian (ed.), International Theory: Critical Investigations, New York: New York University Press,
1995, 53, 55-57.
4
Lihat umumnya Linz dan Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation; O’Donnel et al.,
(eds.), Transitions from Authoritarian Rule (kumpulan esai yang umumnya berpendekatan regional). Lihat juga
Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratizaton in the Late Twentieth Century, Norman: University of
Oklahoma Press, 1991, 215; Stephan Holmes, “The End of Decommunization”, East European Constitutional
Review 3 (musim gugur 1994), 33.
5
Untuk argument serupa, lihat Huntington, Third Wave, 231.
6
Lihat Ackerman, Future of Liberal Revolution, 69-73; E. B. F. Midgley, The Natural Law Tradition and the
Theory of International Relations, New York: Barnes & Noble Books, 1975, 219-31, 350-51.
7
Anne-Marie Slaughter, “International Law and International Relations Theory: A Dual Agenda”, American
Journal of International Law 87 (1993), 205. Tradisi Liberal dalam Jurisprudensi melatarbelakangi pendekatan
tersebut.
8
Ekspresi paradigmatik tentang pandangan teori liberal tentang hukum dan politik dapat ditemukan dalam John
Rawls, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1993, dan John Rawls, “The Domain of the
Political and Overlapping Consensus”, New York University Law Review 64 (1989), 233. Tentang kaitan antara
teori tentang hak dan demokrasi, lihat Jeremy Waldron (ed.), Theories of Rights, Oxford: Oxford University
Press, 1984. Lihat juga Ronald Dworkin, Law’s Empire, Cambridge: Harvard University Press, 1986; Ronald
Dworkin, Taking Rights Seriously, Cambridge: Harvard University Press, 1977.
2
hukum kritis, seperti pendekatan kaum realis, menekankan kaitan erat hukum dengan politik.9
Sekali lagi, baik teori liberal maupun kritis memang dapat menjelaskan dengan baik tentang
sifat dan peran hukum dalam masa biasa. Namun, keduanya tidak dapat dengan baik
menjelaskan tentang sifat dan peran hukum dalam masa perubahan politik. Karena, keduanya
mengabaikan signifikansi klaim-klaim keadilan dalam masa-masa perubahan politik
mendasar. Keduanya juga gagal menjelaskan kaitan antara respon-respon normatif terhadap
ketidakadilan di masa lalu dengan prospek suatu negara untuk mengalami transformasi liberal.
Buku ini mencoba melampaui teori-teori yang kini berlaku umum untuk menyelidiki
peran hukum dalam masa-masa transformasi politik yang radikal. Ia memaparkan bahwa
respon-respon legal tersebut memiliki peran yang tidak biasa dan konstitutif dalam masa-masa
tersebut. Keadilan Transisional menggunakan metode induktif, dan menyelidiki berbagai
respon legal untuk menjelaskan konsepsi tentang hukum dan keadilan dalam konteks
transformasi politik. Keadilan Transisional diawali dengan menolak anggapan bahwa proses
pergerakan menuju sistem politik yang lebih liberal demokratik berkaitan dengan suatu norma
yang universdal atau ideal. Alih-alih, buku ini menawarkan cara pandang yang baru tentang
kaitan antara hukum dengan transformasi politik. Fenomena-fenomena penting yang
dibicarakan dalam buku ini berkaitan gelombang perubahan politik yang kini sedang berjalan,
termasuk transisi dari pemerintahan komunis di Eropa Tengah dan Timur serta bekas Uni
Soviet, juga dari pemerintahan militer yang represif di Amerika Latin dan Afrika. Sejauh
dipandang relevan, buku ini juga mengambil ilustrasi historis, mulai dari masa kebudayaan
kuno hingga masa pencerahan (Enlightenment), melalui Revolusi Prancis dan Amerika, hingga
masa pasca-perang di abad ke-20 dan saat ini.
Penelitian interpretatif ini dilakukan pada beberapa tingkatan. Pada satu tingkatan, saya
berusaha memberikan gambaran yang lebih baik tentang praktik transisional. Studi tentang
respon hukum dalam masa perubahan politik memberikan pemahaman positif tentang sifat
pertanggungjawaban atas pelanggaran di masa lalu. Pada tingkat yang lain, saya menyelidiki
hubungan normatif antara respon legal terhadap pemerintahan yang represif, konsepsikonsepsi tentang keadilan, dan intuisi kita tentang konstruksi negara liberal.
Masalah keadilan transisional timbul dalam konteks transisi – suatu perubahan dalam
tataran politik. Dengan memfokuskan penyelidikan pada tahapan “transisi”, buku ini mencoba
bergeser dari perdebatan tentang istilah “revolusi” yang sering kali digunakan oleh para
teoretisi dalam menganalisis peran hukum dalam perubahan politik.10 Alih-alih merupakan
tahapan terakhir dalam revolusi yang tidak terjelaskan, konsep transisi yang diajukan di sini
lebih luas dan lebih jelas. Batasannya adalah pada masa perubahan politik pasca-revolusi. Jadi,
9
Kumpulan penting esai-esai studi hukum kritis mencakup James Boyle, Critical Legal Studies, New York: New
York University Press, 1992, dan David Kairys, The Politics of Law: A Progressive Critique, New York:
Pantheon Books, 1990. Lihat juga Mark Kelman, A Guide to Critical Legal Studies, Cambridge: Harvard
University Press, 1986; James Boyle, “The Politics of Reason: Critical Legal Theory and Local Social Thought”,
University of Pensylvania Law Review 133 (1985), 685 (membicarakan realisme legal, teori linguistik dan teori
Marxis). Untuk tinjauan kritis tentang isu legal internasional, lihat Nigel Purvis, “Critical Legal Studies in Public
International Law, World Order, and Critical Legal Studies”, Stanford Law Review 42 (1990): 81. Untuk analisis
kritis tentang jurisprudensi Amerika, lihat Mark Tushnet, Red, White, and Blue, Cambridge: Harvard University
Press, 1988.
10
Lihat Ackerman, Future of Liberal Revolution, 11-14; Hannah Arendt, On Revolution, New York: Viking
Press, 1965, 139-78.
3
masalah keadilan transisional timbul pada jangka waktu yang terbatas, antara dua
pemerintahan.11
Tentu saja, karakterisasi di atas masih menyisakan pertanyaan, “transisi menuju apa?”
Apa saja yang mencirikan transisi? Dalam ilmu politik, terdapat perbedaan substansial tentang
arti istilah, tidak saja tentang “transisi”, namun juga batasan-batasan waktunya, “konsolidasi”,
dan pada akhirnya juga, “demokrasi” sendiri. Dalam satu paradigma, “transisi” dibatasi oleh
kriteria politik yang objektif, yang terutama bersifat prosedural. Jadi, untuk sementara waktu,
kriteria untuk transisi menuju demokrasi difokuskan pada pemilihan umum dan prosedur lain
yang terkait. Sebagai contoh, formulasi Samuel Huntington, yang mengikuti Joseph
Schumpeter, mendefinisikan demokratisasi pada abad ke-20 sebagai “apabila pengambil
keputusan kolektif yang terpenting dipilih melalui pemungutan suara yang jujur, adil dan
diselenggarakan secara periodik.”12 Bagi yang lain, transisi berhenti apabila semua kelompok
politik yang signifikan bersedia menerima kedaulatan hukum (rule of law). Selain kelompok
ini terdapat pula mereka yang memiliki pandangan tentang demokrasi yang cenderung
teleologis. Namun pendekatan teleologis ini mendapat kritik karena memiliki bias terhadap
demokrasi ala-Barat.13
Pada masa kontemporer, penggunaan istilah transisi diartikan sebagai perubahan ke
arah lebih liberal, yang serupa dengan pengertian yang digunakan dalam buku ini. Gejala
liberalisasi ini banyak tergambar dalam sejarah, pada periode lebih awal dalam abad ke-20,
dengan transisi demokratik di Jerman Barat, Italia, Austria, Prancis, Jepang, Spanyol, Portugal
dan Yunani.14 Hingga saat ini, para pemikir politik tidaklah secara eksklusif menggunakan
arahan normatif positif tersebut dalam pendefinisian mereka tentang istilah itu. Buku ini
menyelidiki signifikansi bahwa pemahaman kontemporer tentang transisi memiliki komponen
normatifnya yaitu dalam pergeseran rezim dari kurang demokratik menjadi lebih demokratik.
Fenomenologi transisi menuju demokrasi inilah yang menjadi subjek buku ini.
Tujuan saya di sini adalah mengalihkan fokus dari kriteria politik tradisional yang
dikaitkan dengan perubahan menuju demokrasi, dan mulai memperhatikan sifat dan peran
fenomena legal. Pendekatan konstruktivis yang diajukan dalam buku ini menunjukkan
pergeseran dari definisi transisi semata-mata dalam prosedur demokratik, seperti proses
pemilihan umum, ke arah penyelidikan yang lebih mendalam terhadap praktik-praktik lainnya
yang menunjukkan penerimaan demokrasi liberal dan kedaulatan hukum. Penyelidikan yang
dilakukan dalam buku ini membahas pemahaman normatif, melebihi pemerintahan oleh
mayoritas, yang dikaitkan dengan sistem kedaulatan hukum yang liberal dalam masa transisi
11
Lihat Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative
Conclusions about Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, 6 (mendefinisikan
transisi sebagai interval antara satu rezim politik dengan rezim politik lainnya); Juan J. Linz, “Totalitarian and
Authoritarian Regimes”, dalam Fred I. Greenstein dan Nelson W. Polsby (eds.), Handbook of Political Science:
Macropolitical Theory, Reading, Mass: Addison-Wesley, 1975, Vol. III, 182-83. Untuk pandangan klasik tentang
hal ini, lihat Robert Dahl, Polyarchy, New Haven: Yale University Press, 1971, 20-32, 74-80. Lihat juga
Huntington, Third Wave, 7-8, Richard Gunther, et al., “O’Donnel’s ‘Illusions’: A Rejoinder”, Journal of
Democracy 7, No.4 (1996), 151-53.
12
Lihat Huntington, Third Wave, 7.
13
Untuk kritik terhadap pandangan teleologis ini, lihat Guillermo O’Donnell, “Illusions and Conceptual Flaws”,
Journal of Democracy 7, No. 4 (1996), 160, 163-64, dan Guillermo O’Donnell, “Illusions about Consolidation”,
Journal of Democracy 7, No.2 (1996), 34.
14
Lihat umumnya Hertz, From Dictatorship to Democracy.
4
politik.15 Fenomenologi transisi ini mengarah pada kaitan erat dalam pergeseran normatif
tentang pemahaman keadilan dan peran hukum dalam konstruksi transisi. Tidak semua
transformasi menunjukkan tingkat “pergeseran normatif” yang sama. Bahkan transisi bisa
dianggap sebagai suatu spektrum yang berkaitan dengan rezim pendahulu dan sistem nilai
yang ada, yang bervariasi dari perubahan “radikal” hingga “konservatif.”
Pemahaman terhadap masalah yang ditimbulkan oleh pencarian keadilan dalam
konteks transisi ini memerlukan suatu diskursus yang spesifik yang ditentukan oleh dilemadilema yang khas dalam masa-masa tidak biasa ini. Dilema tentang batasan muncul dari
konteks keadilan dalam transformasi politik: hukum berada antara masa lalu dan masa depan,
antara melihat ke belakang dan melihat ke depan, antara retrospektif dan prospektif, antara
individu dan kolektif. Dengan demikian, keadilan transisional adalah keadilan yang dikaitkan
dengan konteks ini dan kondisi perpolitikan. Transisi menunjukkan pergeseran paradigma
dalam konsepsi keadilan; jadi hukum memiliki fungsi yang paradoksal. Dalam fungsi
sosialnya yang biasa, hukum menciptakan tatanan dan stabilitas, namun dalam masa tidak
biasa yang penuh gejolak politik, hukum menciptakan tatanan dan pada saat yang sama
memungkinkan transformasi. Dengan demikian, dalam masa transisi, institusi tradisional dan
predikat-predikat hukum yang biasa tidak bisa berlaku. Dalam masa-masa perubahan politik
yang dinamis, respon legal menimbulkan paradigma hukum transformatif yang sui generis,
khas dan unik.
Tesis yang diajukan dalam buku ini adalah bahwa konsepsi keadilan dalam masa
perubahan politik bersifat tidak biasa dan konstruktivis: ia membentuk sekaligus dibentuk oleh
transisi itu. Konsepsi keadilan yang ditimbulkannya bersifat kontekstual dan parsial: apa yang
dianggap adil dibentuk oleh ketidakadilan yang terjadi. Respon terhadap pemerintahan yang
represif memiliki arti ketaatan terhadap kedaulatan hukum. Sementara suatu negara
mengalami perubahan politik, peninggalan-peninggalan ketidakadilan di masa lalu
menentukan apa yang bisa dianggap transformatif. Hingga titik tertentu, timbulnya respon
legal tersebut merupakan transisi itu sendiri.
Dengan berlanjutnya pembahasan, akan tampak bahwa peran hukum dalam masa
transisi politik bersifat kompleks. Pada akhirnya, buku ini menarik dua kesimpulan: pertama,
tentang sifat hukum dalam masa-masa perubahan politik yang substansial, dan kedua tentang
peran hukum dalam mengarahkan transisi. Berbeda dari pandangan kaum idealis pada
umumnya, buku ini justru memperlihatkan bahwa hukum dibentuk oleh kondisi politik yang
ada. Namun, buku ini juga menentang pandangan kaum realis pada umumnya dengan
mengatakan bahwa hukum bukanlah semata-mata produk tetapi juga ikut membentuk transisi.
Kaitan antara respon-respon ini dengan masa-masa perubahan politik memajukan konstruksi
pemahaman masyarakat bahwa transisi sedang berlangsung.
Peran hukum dalam masa perubahan politik diteliti dengan melihat berbagai
bentuknya: hukuman, penyelidikan sejarah, pemberian ganti rugi, pencopotan dari jabatan, dan
penyusunan konstitusi. Dalam perdebatan keadilan transisional yang sedang berlangsung,
hukuman terhadap elemen-elemen rezim lama sering kali dianggap mutlak dalam transisi
demokrasi. Namun, penyelidikan tentang fenomenologi legal dalam masa perubahan politik
15
Observasi ini memiliki implikasi terhadap perdebatan-perdebatan tertentu dalam ilmu politik dan
konstitusionalisme dan mungkin memiliki afinitas dengan perdebatan jurisprudensial tentang apa yang
memberikan otoritas bagi hukum. Lihat Joseph Rae, The Authority of Law: Essays on Law and Morality, New
York: Oxford University Press, 1979, 214.
5
menunjukkan bahwa meskipun ada anggapan umum bahwa hukum memiliki kategori-kategori
yang khas dan tidak bergantung pada apa pun, tetapi terdapat kemiripan antara satu dengan
yang lain. Dalam buku ini, dijelaskan tentang peran operatif hukum dalam konstruksi transisi.
Praktik-praktik ini menawarkan cara untuk mendelegitimasi rezim politik yang lama dan
melegitimasi yang baru dengan membentuk oposisi politik dalam tatanan yang
mendemokratiskan.
Masing-masing bab dalam buku ini menyelidiki bagaimana berbagai respon legal
dalam masa-masa perubahan politik yang substansial memungkinkan konstruksi perubahan
normatif. Ajudikasi kedaulatan hukum membangun pemahaman tentang apa yang dianggap
adil. Penyelidikan kriminal, administratif dan sejarah menentukan siapa pihak yang bersalah.
Proyek pemberian ganti rugi mengembalikan hak-hak yang dilanggar oleh rezim lama kepada
para korban pada khususnya, selain masyarakat secara keseluruhan. Konstitusionalisme
transisional dan keadilan administratif membangun kembali parameter tatanan politik yang
berubah tersebut ke arah yang lebih liberal. Analisis yang disarankan di sini berfokus pada
fenomenologi hukum dalam masa perubahan politik, yang diistilahkan sebagai “jurisprudensi
transisional” (teori hukum transisional).
Bab I membahas kedaulatan hukum dalam masa transisi. Di negara-negara demokratik,
ketaatan terhadap kedaulatan hukum bergantung pada penerapan prinsip-prinsip yang
membatasi kegunaan dan penerapan hukum, namun ini bukanlah peran utamanya dalam masa
transisi. Dalam masa perubahan politik yang radikal, hukum mengalami goncangan, dan
kedaulatan hukum bukanlah sumber yang jelas terhadap norma ideal pada tingkat abstrak.
Dalam konteks jurisprudensi transisional, kedaulatan hukum dapat dipandang sebagai skema
nilai normatif yang secara historis dan politis terkait dan dielaborasikan sebagai jawaban
terhadap represi politik di masa lalu yang sering kali dilaksanakan atas nama hukum. Jadi
kedaulatan hukum transisional memiliki nilai-nilai yang khas dan mencirikan masa tersebut.
Sementara kedaulatan hukum umumnya menunjukkan prospektivitas hukum, hukum
transisional bersifat mapan dan fleksibel, melihat ke depan maupun ke belakang, karena ia
menolak nilai-nilai lama yang tidak liberal dan mengambil nilai-nilai baru yang liberal.
Meskipun kedaulatan hukum dan konstitusionalisme berkaitan dengan norma-norma yang
memandu pembuatan hukum dalam demokrasi, pemahaman ini kurang berlaku dalam masa
transisi. Meskipun terdapat banyak teori, konsep kedaulatan hukum maupun penyusunan
konstitusi tidaklah dianggap sebagai sumber norma mendasar yang diidealkan. Jurisprudensi
transisional dalam hal berbagai sistem hukum yang berbeda pada waktu yang berbeda, dan
menunjukkan keberagaman konsep kedaulatan hukum sebagai suatu tolok ukur dan kaitannya
dengan pelanggarannya di masa lalu.
Bab II membahas peradilan pidana dalam masa transisi. Pengadilan terhadap para
pelaku pelanggaran umumnya dianggap sebagai ciri mendasar dalam transformasi ke sistem
politik yang lebih liberal. Hanya proses peradilan yang dianggap sebagai kunci dalam
pergeseran normatif dari pemerintahan yang tidak sah ke pemerintahan yang sah. Namun
pelaksanaan kekuasaan penghukuman oleh negara dalam kondisi perubahan politik yang
radikal menimbulkan sejumlah dilema. Praktik pada masa transisi menunjukkan bahwa hal ini
jarang dilakukan, terutama pada masa kontemporer. Jumlah pengadilan yang kecil ini
menunjukkan dilema-dilema dalam menyikapi pelanggaran, yang sering kali sistemik dan
berskala besar, dengan menggunakan peradilan pidana.
Jadi dalam konteks transisi, pemahaman konvensional tentang tanggung jawab
individual sering kali tidak dapat diberlakukan, sehingga mendorong terbentuknya format
6
legal yang baru. Sanksi parsial yang ditimbulkan, misalnya berada di luar kategori legal
konvensional. Perkembangan ini menawarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang
kaitan antara usaha pemulihan dengan pelanggaran, dan terutama beratnya pelanggaran yang
dilakukan oleh negara. Sanksi transisional menjelaskan kaitan antara konsep-konsep
pertanggungjawaban demokratik dan hak-hak individual daam kontribusinya untuk
pembangunan politik liberal.
Bab III, menyelidiki proses kerja keadilan historis. Setelah masa-masa pemerintahan
yang represif, masyarakat transisional sering kali mengadakan penyelidikan tentang sejarah
dan pertanggungjawabannya. Penyelidikan dan narasi sejarah ini memainkan peran penting
dalam transisi dari masa lalu ke masa kini. Pemaparan sejarah ini menggambarkan
peninggalan masa lalu represif suatu negara dan dengan demikian menarik garis yang
mendefinisikan ulang masa lalu dan merekonstruksi identitas politik suatu negara. Keadilan
historis transisional menggambarkan kaitan konstruktif antara rezim kebenaran dan rezim
politik, menjelaskan hubungan dinamis antara pengetahuan dengan kekuasaan politik.
Bab IV membahas keadilan dan dimensi reparatorisnya. Fokus keadilan reparatoris
transisional adalah reparasi atau perbaikan kesalahan yang telah dilakukan. Mungkin
merupakan bentuk transisi yang paling umum, banyaknya fokus pada keadilan reparatoris di
berbagai kawasan mencerminkan peran dan fungsi kompleksnya dalam masa-masa perubahan
politik radikal. Tindakan reparatoris tampak sebagai langkah menuju liberalisasi yang paling
penting, karena hal tersebut merupakan pengakuan terhadap hak-hak individual. Perlindungan
yang setara terhadap hak-hak individual merupakan dasar bagi negara liberal; maka, tindakan
perbaikan ini memainkan peran konstruktif yang penting bagi suatu negara yang berusaha
untuk menaati kedaulatan hukum. Dalam transisi ganda ekonomi dan politik yang mencirikan
gelombang perubahan politik yang mutakhir ini, reparasi memiliki peran politik yang eksplisit
untuk menengahi perubahan, dengan membentuk tonggak-tonggak baru dalam komunitas
politik di tengah-tengah masa transisi. Tindakan reparatoris transisional telah melampaui
peran konvensionalnya untuk memberikan ganti rugi saja, dan mendapatkan peran fungsional
dan simbolis yang terkait erat pada transformasi politik suatu negara.
Bab V menyelidiki keadilan administratif dan penggunaan hukum publik untuk
mendefinisikan kembali parameter keanggotaan politik, partisipasi dan kepemimpinan di
dalam komunitas politik. Sementara pembersihan dan pengurangan hak politik merupakan hal
yang lazim setelah revolusi, pertanyaannya adalah apakah ada prinsip-prinsip tertentu yang
memandu tindakan-tindakan tersebut dalam transisi politik. Lebih dari respon transisional
lainnya, tindakan kolektif politis yang eksplisit memberikan tantangan bagi terciptanya
kedaulatan hukum dalam rezim yang sedang meliberalkan diri. Keadilan administratif
menjelaskan potensi hukum untuk membangun kembali kaitan antara individu dan komunitas
politik dalam masa transisi. Pemberlakuan hukum-hukum publik tersebut mendefinisikan
batasan-batasan yang baru dengan dasar politik yang luas. Melalui keadilan administratif,
hukum publik digunakan untuk merespon rezim lama, dan membangun kembali tatanan politik
untuk menggantikannya. Respon ini merupakan contoh jurisprudensi transisional dalam
bentuknya yang paling radikal.
Bab VI mengeksplorasi konstitusionalisme transisional. Konstitusional transisional
memiliki peran konstitutif yang konvensional, namun juga memiliki peran transformatif.
Sementara kita biasanya menganggap konstitusi sebagai teks yang mendasar dan melihat ke
depan; dalam masa perubahan politik radikal, konstitusi bisa berupa teks dinamis yang
menengahi, sekaligus melihat ke depan dan ke belakang, dan mencakup berbagai modalitas
7
konstitusional dan tingkat-tingkat keterlibatan. Konstitusionalisme transisional, peradilan
pidana dan kedaulatan hukum memiliki kedekatan dalam kesalingterkaitan bahwa normanorma yang dilindunginya berkaitan dengan masa lalu, selain juga dengan tatanan politik yang
baru.
Bab Penutup menggabungkan dan menganalisis berbagai cara negara demokratik baru
merespon peninggalan ketidakadilan yang ada. Pola-pola yang ada pada berbagai format
legal16 menunjukkan suatu paradigma “jurisprudensi transisional”. Analisis di sini
menyarankan bahwa peran hukum bersifat konstruktif, dan jurisprudensi transisional timbul
sebagai bentuk paradigmatik yang khas dari hukum yang responsif dan konstruktif dalam
masa-masa tidak biasa yang penuh perubahan politik mendasar.17 Dalam jurisprudensi
transisional, konsepsi keadilan bersifat parsial, kontekstual dan berada di tengah dua tatanan,
legal dan politik. Terdapat norma-norma legal yang tidak tunggal, dan pemikiran ideal tentang
keadilan selalu merupakan kompromi. Jurisprudensi transisional berpusat pada penggunaan
hukum secara paradigmatik dalam konstruksi normatif rezim yang baru. Dengan mengabaikan
prinsip-prinsip preskriptif yang umum dalam teori hukum dan politik, kaitan dinamis antara
hukum dan perubahan politik yang dikemukakan di sini menentang retorika umum tentang
arah perkembangan politik. Studi tentang peran hukum dalam perubahan politik ini
menyarankan kriteria yang tidak dibatasi oleh kejujuran pemilihan umum, stabilitas institusi
atau perkembangan ekonomi sebagai indikator penilaian sistem demokrasi baru.18 Respon
legal merupakan pelaksana transisi dan sekaligus melambangkan transisi itu.
Buku ini menawarkan bahasa jurisprudensi yang baru yang berakar pada ketidakadilan
politik yang telah terjadi. Dengan memperhatikan sifat transisional jurisprudensi ini, dapat
dijelaskan sifat dan peran negara dalam masa perubahan politik yang radikal. Jurisprudensi
radikal juga memiliki dampak terhadap pandangan kita tentang sifat dan fungsi hukum pada
umumnya. Masalah keadilan pada masa transformasi politik memiliki dampak potensial
terhadap pergeseran norma-norma masyarakat dan dasar rezim konstitusional dan legal yang
sedang mengalami perubahan. Masalah keadilan transisional yang tidak terselesaikan dapat
menimbulkan implikasi yang berkepanjangan pada suatu negara.
Buku ini menawarkan perspektif yang baru untuk memahami signifikansi kontroversi
yang berkelanjutan yang kini memecah masyarakat kita. Pada akhirnya perubahan mutakhir di
16
Yang dimaksud dengan “format legal” adalah prinsip, norma, ide, aturan, praktik dan juga badan-badan
legislatif, administratif, ajudikasi dan penegakannya. Lihat Sally Falk Moore, Law as Process: An
Anthropological Approach, Boston: Routledge, 1978, 54. Tentang signifikansi format legal, lihat Isaac D. Balbus,
“Commodity Form and Legal Form: An Essay on the ‘Relative Autonomy’ of the Law”, Law and Society Review
11 (1977), 571-71.
17
Untuk pengantar pendekatan konstruktivistik, lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, New York: Anchor Books, Doubleday, 1966,
19 (menjelaskan pendekatan dari perspektif sosiologi). Tentang konstruktivisme dalam hukum, lihat Pierre
Bourdieu, “The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field”, Hastings Law Journal 38 (1987), 805,
814-40. Lihat juga Roberto Mangabeira Unger, False Necessity – Anti Necessitarian Social Theory in the Service
of Radical Democracy, New York: Cambridge University Press: 1987, 246-52 (menganalisis respon legal dan
institusional dalam “perubahan konteks”). Untuk studi tentang peran hukum dalam membangun komunitas, lihat
Robert Gordon, “Critical Legal Histories”, Stanford Law Review 36 (1984), 57. Lihat juga John Brigham, The
Constitution of Interest: Beyond the Politics of Rights, New York: New York University Press, 1996 (
membicarakan peran hukum dalam membangun gerakan politik).
18
Lihat pada umumnya Dahl, Polyarchy; David Held, Models of Democracy, Stanford: Stanford University
Press, 1987).
8
Amerika Latin, Eropa Tengah dan Timur, bekas Uni Soviet, Afrika dan juga sejarah transisi di
Eropa lainnya, menawarkan kesempatan untuk berefleksi tentang apa bentuk respon
demokratik dan liberal terhadap negara non-liberal, dan secara lebih luas, potensi hukum
dalam politik yang transformatif.
9
Bab I
Kedaulatan Hukum dalam Masa Transisi
Bab ini menyelidiki berbagai respon legal terhadap pemerintahan non-liberal dan prinsipprinsip “kedaulatan hukum” yang memandunya dalam masa-masa tersebut. Usaha untuk
menaati kedaulatan hukum dalam masa gejolak politik sering kali menimbulkan dilema.
Terdapat ketegangan antara kedaulatan hukum dalam masa transisi, yang sering kali melihat
ke belakang selain ke depan, mapan sekaligus dinamis. Dalam dilema ini, kedaulatan hukum
pada akhirnya menjadi kontekstual; alih-alih merupakan dasar tatanan hukum saja, ia juga
memediasi pergeseran normatif yang mencirikan masa-masa tidak biasa tersebut. Di negaranegara demokratis, pandangan kita adalah bahwa kedaulatan hukum memiliki arti ketaatan
pada aturan yang sudah ada, yang dipertentangkan dengan tindakan pemerintah secara
sewenang-wenang.1
1
Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press, 1944), 72 (“[P]emerintah
dalam semua tindakannya diikat oleh aturan yang ditetapkan dan diumumkan sebelumnya – aturan yang
memungkinkan untuk meramalkan dengan penuh kepastian bagaimana pemegang kekuasaan akan menggunakan
kekuasaannya dalam kondisi tertentu dan untuk merencanakan tindakan individual berdasarkan pada pengetahuan
ini”.) Untuk pembicaraan tentang pemahaman umum mengenai peran kedaulatan hukum di negara-negara
demokrasi sebagai batasan terhadap penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, lihat Roger Cotterell, The
Politics of Jurisprudence: A Critical Introduction to Legal Philosophy (Philadelphia: University of philadelphia
Press, 1989), 113-14, yang menjelaskan bahayanya memandang negara sebagai entitas yang mengatasi hukum.
Untuk penjelasan tentang kaitan antara hukum dengan demokrasi, lihat Jean Hampton, “Democracy and the Rule
of Law,” dalam Nomos XXXVI: The Rule of Law, ed. Ian Saphiro (New York: New York University Press, 1995),
13. Penjelasan klasik tentang syarat minimum legalitas ditemukan dalam Lon L. Fuller, The Morality of Law
(New Haven: Yale University Press, 1964), 33-34. Ronald Dworkin menawarkan pemaparan kontemporer yang
terpenting tentang teori kedaulatan hukum yang substantif. Lihat Ronald Dworkin, A Matter of Principle (
Cambridge: Harvard University Press, 1985), 11-12 (Dworkin berpandangan bahwa “konsepsi hak” dalam
kedaulatan hukum mensyaratkan, sebagai bagian dari pandangan ideal tentang hukum, bahwa aturan-aturan yang
tertulis mencakup dan melaksanakan hak-hak moral). Lihat juga Frank Michelman, “Law’s Republic”, Yale Law
Journal 97 (1988): 1493 (yang memaparkan interpretasi modern tentang pemerintahan oleh hukum melalui
reinterpretasi teori politik republikanisme kemasyarakatan (civil republicanism) .
Margaret Jane Radin menggambarkan dasar filsafat dari pendekatan-pendekatan modern terhadap
kedaulatan hukum dengan asumsi-asumsi berikut ini:
(1) hukum tersusun atas aturan-aturan; (2) aturan berada di muka (sebelum) kasus-kasus khusus,
lebih umum dari kasus-kasus khusus dan diterapkan terhadap kasus-kasus khusus; (3) hukum
bersifat instrumental (aturan-aturan tersebut dilaksanakan untuk mencapai tujuannya); (4)
terdapat pemisahan radikal antara pemerintah dan warga negara (ada pemberi aturan dan
pelaksananya, versus penerima aturan dan penaatnya); (5) manusia adalah pemilih yang rasional
yang mengatur tindakan-tindakannya secara instrumental.
Margaret Jane Radin, “Reconsidering the Rule of Law”, Boston University Law Review 69 (1989): 792.
Lihat umumnya Cotterell, Politics of Jurisprudence (yang memberikan pengantar tentang perdebatan tentang
sifat hukum); Allan C. Hutchinson dan Patrick Monahan, eds., The Rule of Law (Toronto: Carswell, 1987) (yang
mengumpulkan sejumlah esai tentang kedaulatan hukum); Roger Cotterell, “The Rule of Law in Corporate
Society: Neumann, Kirchheimer, and the Lessons of Weimar”, Modern Law Review 51 (1988): 126-32 (tinjauan
buku).
1
Namun revolusi memiliki arti ketiadaan tatanan dan stabilitas hukum. Dilema utama
dalam keadilan transisional adalah masalah kedaulatan hukum dalam masa perubahan politik
yang radikal. Dari definisinya, jelas bahwa pada saat-saat tersebut terjadi perubahan
paradigmatik yang mendasar dalam pemahaman tentang keadilan. Masyarakat sedang
berusaha keras untuk menjawab pertanyaan “bagaimana mentransformasikan sistem politik,
hukum dan ekonomi” mereka. Jika pada umumnya kedaulatan hukum memiliki arti
keteraturan, stabilitas dan ketaatan pada hukum yang mapan, sejauh mana masa-masa
transformasi sesuai dengan komitmen terhadap kedaulatan hukum? Pada masa-masa demikian,
apa yang bisa kita artikan dengan kedaulatan hukum?
Dilema tentang arti kedaulatan hukum sebenarnya tidak terbatas pada masa-masa
transformasi politik dan mencakup pula dasar negara liberal. Bahkan pada masa-masa biasa,
negara-negara yang demokrasinya stabil pun sering kali mengalami kesulitan untuk
mengartikan ketaatan pada kedaulatan hukum. Berbagai versi dilema kedaulatan hukum di
masa transisi ini tampak dalam masalah keadilan suksesor (successor justice, dalam konteks
tertentu diartikan juga sebagai “keadilan pemenang”, ed.), awal konstitusional dan perubahan
konstitusional.2
Dilema kedaulatan hukum ini biasanya muncul di lingkup-lingkup politik yang
konteroversial, di mana nilai perubahan legal mengalami ketegangan dengan nilai ketaatan
pada prinsip hukum yang menjadi preseden. Pada masa biasa, masalah ketaatan pada
kontinuitas legal ini dilihat sebagai tantangan yang ditimbulkan perubahan politik dan sosial
dalam jangka waktu yang panjang. Dengan demikian, ide tentang kedaulatan hukum sebagai
kontinuitas legal tercakup dalam prinsip stare decisis, suatu predikat ajudikasi dalam sistem
hukum Anglo-Amerika. Konsep kedaulatan hukum yang mendasari konstitusi kita
mensyaratkan kontinuitas, sehingga penghargaan terhadap preseden, dengan sendirinya
menjadi tidak dapat diabaikan”.3 Namun dalam masa transformasi, nilai kontinuitas legal
mengalami ujian yang berat. Pertanyaan tentang batasan normatif perubahan politik dan
hukum yang sah bagi rezim-rezim yang mengalami transformasi sering kali ditempatkan
dalam kerangka-kerangka dua kutub. Hukum sebagaimana tertulis dibandingkan hukum
sebagai hak, hukum positif dipertentangkan dengan hukum kodrat [kami memilih “hukum
kodrat” untuk menerjemahkan natural law, ketimbang “hukum alam”, ed.], keadilan
prosedural dengan keadilan substantif, dan lain-lain.
Tujuan saya di sini adalah untuk menempatkan kembali dilema kedaulatan hukum
dengan memperhatikan pengalaman berbagai masyarakat dalam konteks transformasi politik.
Perhatian saya bukanlah pada teori yang ideal tentang kedaulatan hukum pada umumnya.
Alih-alih, saya berusaha memahami arti kedaulatan hukum bagi masyarakat yang mengalami
perubahan politik berskala besar. Bab ini mendekati dilema kedaulatan hukum secara induktif
dengan menempatkan kembali pertanyaan tersebut ke dalam konteks legal dan politisnya. Kita
akan meneliti sejumlah kasus historis pasca-perang, dan juga preseden yang timbul dari
transisi yang lebih mutakhir. Meskipun dilema kedaulatan hukum biasanya timbul dalam
2
Untuk pembicaraan pengantar tentang tema-tema umum dalam konsep kedaulatan hukum dan
konstitusionalisme, lihat A. V. Dicey, Introduction to the Study of Laws of the Constitution (Indianapolis: Libery
Fund, 1982), 107-22. Lihat juga E. P. Thompson, Whigs and Hunters: The Origin of the Black Act (New York:
Pantheon Books, 1975).
3
Planned Parenthood v. Casey, 505 US 833, 854 (1992); Lihat Antonin Scalia, “The Rule of Law as the Law of
Rules”, University of Chicago Law Review 56 (1989): 1175 (yang menyarankan “kedaulatan hukum umum” di
atas “keinginan individual untuk berlaku adil”).
2
konteks kejahatan (criminal), isu-isu tersebut menimbulkan pertanyaan yang lebih luas tentang
cara-cara masyarakat dalam masa-masa perubahan politik yang mendasar mengubah
pandangannya tentang kaitan antara hukum, politik dan keadilan. Sebagaimana akan terlihat,
ajudikasi-ajudikasi tersebut akan menunjukkan pemikiran utama tentang konsepsi kedaulatan
hukum yang luar biasa dan nilai-nilai keadilan dalam masa-masa perubahan politik.
Dilema Kedaulatan Hukum: Transisi Pasca-Perang
Pada masa perubahan politik yang substansial, timbullah suatu dilema tentang ketaatan pada
kedaulatan hukum yang berkaitan dengan masalah keadilan suksesor. Sejauh mana
mengajukan unsur-unsur rezim lama ke pengadilan menunjukkan konflik inheren antara visi
keadilan predesesor dan suksesor? Dengan memperhatikan konflik ini, apakah peradilan
kriminal demikian bersesuaian dengan prinsip kedaulatan hukum? Dilema yang ditimbulkan
peradilan kriminal suksesor mengarah pada pertanyaan lebih luas menyangkut teori tentang
sifat dan peran hukum dalam transformasi menuju negara liberal.
Dilema transisional ini tampak dalam perubahan-perubahan sepanjang sejarah politik.
Ia tampak dalam pergeseran dari monarki ke republik pada abad ke-18, dan tampak kembali
dalam peradilan-peradilan pasca-Perang Dunia Kedua. Pada masa pasca-perang, masalah
tersebut menjadi subjek perdebatan hangat dalam lingkup jurisprudensi Anglo-Amerika, yaitu
antara Lon Fuller dan H.L.A Hart. Keduanya berangkat dari permasalahan keadilan setelah
runtuhnya rezim Nazi.4 Pembuatan teori pasca-perang demikian menunjukkan bahwa pada
saat-saat perubahan politik yang signifikan, pemahaman konvensional tentang kedaulatan
hukum menjadi perdebatan.5 Meskipun konteks transisional telah menimbulkan sejumlah teori
tentang arti kedaulatan hukum, pembuatan teori tersebut tidak membedakan pemahaman
kedaulatan hukum dalam masa-masa biasa dan transisional. Terlebih lagi, karya teoretik yang
timbul dari perdebatan tersebut sering kali mundur ke model-model besar dan teridealisasi
tentang kedaulatan hukum. Hal tersebut tidak dapat memperhatikan isu-isu tidak biasa yang
berada dalam cakupan jurisprudensi transisional. Pengakuan suatu domein jurisprudensi
transisional sendiri masih menimbulkan permasalahan tentang kaitan antara hukum dalam
masa transisi dengan pada masa biasa.
Perdebatan Hart-Fuller tentang sifat hukum ini berfokus pada sejumlah kasus
pengadilan kolaborator Nazi di Jerman setelah perang. Isu sentral pada pengadilan-pengadilan
Jerman pasca-perang adalah apakah mereka bisa menerima pembelaan yang berdasarkan
4
Lihat H. L. A. Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review 71 (1958); 593
(yang membela positivisme); Lon L. Fuller, “Positivism and Fidelity to Law – A Reply to Professor Hart”,
Harvard Law Review 71 (1958): 630 (yang mengkritik Hart karena mengabaikan peran moralitas dalam
pembentukan hukum).
5
Teori-teori lain tentang sifat kedaulatan hukum dalam karya-karya Franz Neumann dan Otto Kircheimer juga
mengambil masa ini sebagai titik tolaknya. Lihat Franz Neumann, Behemoth: The Structure and Practice of
National Socialism (Frankfurt am Main: Europäjsche Verlagsanshalt, 1977), 1933-44; Franz Neumann, The Rule
of Law: Political Theory and the Legal System in Modern Society (Dover: Berg Publishers, 1986); William E.
Scheuerman, ed., The Rule of Law under Siege: Selected Essays of Franz L. Neumann and Otto Kirchheimer
(Berkley: University of California Press, 1996). Untuk suatu eksposisi yang menarik tentang pandangan para
pakar tersebut, lihat William E. Scheuermann, Between the Norms and the Exception: The Frankfurt School and
the Rule of Law (Cambridge: MIT Press, 1994), yang mencoba menerapkan analisis Neumann dan Kirchheimer
ke dalam negara kesejahteraan kapitalis abad ke-20.
3
hukum pada masa Nazi.6 Sebuah isu lain yang terkait adalah apakah sebuah rezim pengganti
bisa mengadili seorang kolaborator, dan dengan demikian menyatakan tidak-sahnya hukum
yang berlaku pada masa terjadinya tindakan-tindakan yang dipermasalahakan tersebut. Dalam
“Problem of the Grudge Informer”, dimunculkan isu hipotetis yang diabstraksikan dari kondisi
pasca-perang: Rezim “Baju Ungu” telah dijatuhkan dan digantikan oleh pemerintahan
konstitusional demokratik, dan menimbulkan pertanyaan tentang apakah para kolaborator
rezim lama harus dihukum.7 Hart, seorang tokoh positivisme hukum,8 menyatakan bahwa
ketaatan pada kedaulatan hukum berarti mengakui pula bahwa hukum yang semula berlaku
pada masa rezim yang lama tetap valid. Hukum tertulis yang lebih awal, bahkan bila tidak
bermoral (immoral), tetap memiliki kekuatan legal dan harus diikuti oleh peradilan
sesudahnya hingga ia diganti. Dalam posisi positivis yang diajukan Hart, klaimnya adalah
bahwa prinsip kedaulatan hukum yang berlaku di masa pengambilan keputusan transisional
harus terus berlanjut – seperti di masa normal – dengan keberlakuan sepenuhnya hukum
tertulis yang ada.
Dalam pandangan Fuller, ketaatan pada kedaulatan hukum berarti melepaskan diri dari
rezim legal lama Nazi. Dengan demikian, para kolaborator Nazi harus dihukum berdasarkan
rezim legal yang baru: Dalam “dilema yang dihadapi Jerman dalam usahanya membangun
kembali institusi hukumnya yang berantakan ... Jerman harus mengembalikan penghargaan
kepada hukum maupun kepada keadilan ... [K]utub-kutub pandangan yang bertentangan
dihadapi dalam usahanya untuk mengembalikan kedua hal tersebut secara bersamaan.”
Sementara dikotomi kedaulatan hukum disusun dalam kerangka pemikiran tentang keadilan
prosedural melawan substansif, Fuller mencoba menyingkirkan konsepsi-konsepsi yang
bertentangan, dengan menawarkan pandangan prosedural tentang keadilan substantif.9
Menurut badan peradilan Jerman, terdapat dikotomi dalam kedaulatan hukum antara hak legal
prosedural dan hak moral. Dalam “kasus-kasus berat”, hak moral harus diutamakan. Dengan
demikian, pandangan hukum yang formalis, seperti ketaatan pada hukum putatif yang telah
ada (hukum positif) dapat diabaikan atas nama hak moral. Posisi hukum kodrat yang dipegang
dalam peradilan Jerman ini menunjukkan bahwa keadilan transisional mensyaratkan
pengabaian hukum putatif yang telah ada. Namun bagi Fuller, itu bukanlah pengabaian hukum,
karena “hukum” masa lalu itu tidak dapat dianggap sebagai hukum lagi karena tidak
memenuhi berbagai syarat prosedural.10
Namun perdebatan di atas tidak berfokus pada masalah khusus tentang hukum dalam
konteks transisi. Pada masa pasca-perang, timbul dilema tentang kontinuitas hukum dengan
masa rezim Nazi: Sejauh mana kedaulatan hukum menuntut adanya kontinuitas hukum?
Sebuah perspektif transisional tentang perdebatan pasca-perang ini akan menjelaskan apa yang
dimaksudkan dengan kedaulatan hukum. Perspektif itu adalah bahwa isi kedaulatan hukum
dijustifikasikan oleh konsepsi-konsepsi tentang hakikat ketidakadilan pada masa rezim
represif yang telah lampau. Sifat ketidakadilan ini menjadi pertimbangan dalam berbagai
6
Lihat “Recent Cases”, Harvard Law Review 64 (1951): 1005-06 (yang mengutip Jerman, Judgement of July 27,
1949, 5 Suddeutscher Juristen Zeitung (1950): 207 (Oberlandesgericht [OLG] [Bamberg]).
7
Lihat secara umum Fuller, Morality of Law, 245.
8
Untuk eksplorasi yang mendalam tentang arti positivisme hukum, lihat Frederick Schauer, “Fuller’s Internal
Point of View”, Law and Philosophy 13 (1994): 285.
9
Lihat Fuller, “Positivism and Fidelity to Law”, 642-43, 657.
10
Lihat Fuller, Morality of Law, 96-97.
4
alternatif, seperti kontinuitas sepenuhnya dengan rezim legal, diskontinuitas, diskontinuitas
selektif, dan sama sekali melepaskan diri dari hukum yang ada.
Bagi para positivis, kontinuitas sepenuhnya dengan rezim legal yang lama
dijustifikasikan dengan kebutuhan untuk mengembalikan keteraturan prosedural, yang di masa
lalu dianggap kurang terlaksana; nilai meta-kedaulatan hukum adalah due process, yang
dipahami sebagai keteraturan prosedural dan ketaatan pada hukum yang ada. Klaim hukum
kodrat untuk dikontinuitas legal juga dijustifikasikan oleh sifat rezim legal yang lalu, yaitu
konsepsi tentang tirani di masa lalu. Menyangkut pandangan hukum kodrat terhadap
kedaulatan hukum, pendekatan Fuller tampaknya lebih mendetail, karena ia mencoba
menawarkan pemahaman prosedural tentang nilai-nilai keadilan substantif. Dengan
imoralitasnya suatu rezim pendahulu, kedaulatan hukum perlu didasarkan pada suatu hal yang
melampaui ketaatan pada hukum yang telah ada.11
Sejauh mana ketaatan pada hukum yang dibuat pada masa rezim lama yang represif
konsisten dengan kedaulatan hukum? Sebaliknya, jika keadilan suksesor berarti pengadilan
terhadap tindakan-tindakan yang sesuai dengan hukum lama tersebut, sejauh mana
diskontinuitas hukum bisa dimandatkan dalam kedaulatan hukum? Konteks transisional
menggabungkan pertanyaan-pertanyaan tentang legalitas kedua rezim ini dan kaitannya satu
sama lain.
Dalam perdebatan pasca-perang, baik posisi hukum kodrat maupun positivis berangkat
dari sejumlah asumsi awal tentang sifat rezim legal pendahulu dalam masa yang tidak
liberal.12 Kedua posisi ini mendapatkan justifikasi dari peran hukum dalam rezim lama; namun
mereka berbeda pandangan tentang apa yang disebut prinsip legalitas yang transformatif.
Argumen positivis berusaha untuk memisahkan pertanyaan legitimasi hukum dalam rezim
pendahulu dan rezim kini. Respon terhadap tirani di masa lalu dianggap tidak terletak dalam
lingkup hukum, melainkan dalam lingkup politik. Jika terdapat muatan yang diberikan kepada
prinsip kedaulatan hukum, itu hanya berarti bahwa ia tidak boleh melayani kepentingan
politis. Argumen positivis untuk ketaatan yudisial terhadap hukum yang telah ada ini
bergantung pada asumsi-asumsi tertentu tentang sifat legalitas dalam rezim totaliter
pendahulu.13 Justifikasi untuk terus menaati hukum yang telah ada pada masa transisi adalah
bahwa dalam pemerintahan terdahulu yang represif, ajudikasi gagal mengukuhkan hukum
yang mapan itu. Dalam pandangan kaum positivis, ajudikasi transformatif yang berusaha
“melanggar” efek pandangan tentang legalitas yang mendukung pemerintahan otoriter akan
memiliki arti ketaatan pada hukum yang telah ada.
Posisi hukum kodrat memberikan penekanan pada peran transformatif hukum dalam
pergeseran menuju rezim yang lebih liberal. Dalam pandangan ini, hukum putatif di bawah
pemerintahan tirani tidak memiliki moralitas, dan dengan demikian tidak merupakan rezim
legal yang sah. Hingga titik tertentu, dalam teori legal normatif ini, yang mereduksi masalah
hukum dan moralitas, masalah transisional dalam hubungan antara dua rezim legal menjadi
lenyap. Demikian pula ajudikasi yang mengikuti hukum putatif juga tak bermoral karena
11
Lihat Fuller, ibid. Untuk pembicaraan tentang perdebatan positivisme-hukum kodrat, lihat Gustav Radbruch,
Rechtphilosophie (Stuttgart: Koehler, 1956); Gustav Radbruch, “Die Erneurung des Rechts”, Die Wandlung 2
(1947): 8. Lihat juga Markus Dirk Dubber, “Judicial Positivism and Hitler’s Injustice”, tinjauan Ingo Muller,
“Hitler’s Justice”, Columbia Law Review 93 (1993): 1807; Fuller, Morality of Law, 23.
12
Untuk tinjauan yang baik tentang perdebatan sejarah ini, lihat Stanley L. Paulson, “Lon L. Fuller, Gustav
Radbruch, and the ‘Positivist’ Thesis”, Law and Philosophy 13 (1994): 313.
13
Lihat Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, 617-18.
5
mendukung pemerintahan yang tidak liberal. Jadi, kasus para kolaborator tersebut dikatakan
sebagai “penyimpangan dalam administrasi keadilan.”14 Dari perspektif hukum kodrat, peran
hukum dalam masa transisi adalah untuk merespon kejahatan yang dilakukan di bawah sistem
peradilan yang lama. Karena peran judicial review dalam mempertahankan berlangsungnya
penindasan (topik ini dibicarakan dalam perdebatan Hart-Fuller),15 ajudikasi sebagaimana
masa-masa biasa tidak akan mencerminkan kedaulatan hukum. Teori hukum transformatif ini
mendorong pandangan normatif bahwa peran hukum adalah untuk mengubah arti legalitas
yang ada.16
Dalam perdebatan pasca-perang, timbul pertanyaan tentang konteks politik yang luar
biasa setelah berakhirnya masa pemerintahan totaliter. Namun, kesimpulan yang didapatkan
cenderung mengabstrakkan konteks dan menggeneralisasikan, seakan-akan menjelaskan
atribut yang mutlak ada dan berlaku umum tentang kedaulatan hukum, dan gagal menjelaskan
bagaimana masalah tersebut terkait dengan konteks transisional. Menempatkan kembali
masalah tersebut bisa memberikan penjelasan terhadap pemahaman kita tentang kedaulatan
hukum. Kita akan beranjak dari perdebatan pasca-perang ini ke perubahan politik yang lebih
mutakhir yang menggambarkan potensi transformatif hukum. Peristiwa-peristiwa tersebut
menunjukkan ketegangan antara konsepsi ideal tentang kedaulatan hukum dan kaitannya
dengan konteks perubahan politik yang luar biasa. Usaha untuk menjawab dilema tentang
bagaimana menaati kedaulatan hukum dalam masa-masa demikian akan mengarah pada
konstruksi alternatif yang menengahi konsepsi-konsepsi tentang kedaulatan hukum
transisional.
Pergeseran Gambaran Legalitas: Transisi Pasca-Komunis
Sisi-sisi gelap-tersembunyi dari revolusi pada masa lampau terungkap di ruang-ruang
pengadilan, tempat perdebatan tentang isi transformasi politik terus berlangsung. Sejumlah
kontroversi tentang peradilan kriminal yang dilakukan oleh suksesor menunjukkan dilema
kedaulatan hukum transisional. Dalam buku ini, saya akan berfokus pada dua kasus. Dalam
kasus pertama, sebuah hukum Hungaria mengizinkan pengadilan terhadap pelanggaran yang
terkait dengan penindasan brutal oleh Soviet terhadap pemberontakan di negara itu pada tahun
1956.17 Pada kasus lainnya, Jerman-bersatu mengadili para penjaga perbatasan yang
menembak warga sipil yang mencoba menyeberangi Tembok Berlin secara ilegal [semasa
Jerman masih merupakan dua negara: Jerman Timur dan Jerman Barat].
Kedua kasus tersebut melambangkan kebebasan dan represi. Tahun 1956 dianggap
sebagai tahun awal revolusi Hungaria, sementara Tembok Berlin dan keruntuhannya dianggap
sebagai simbol utama dominasi (dan keruntuhan) Soviet. Kasus-kasus tersebut
menggambarkan dilema yang terkandung dalam usaha untuk mengadakan perubahan politik
yang substansial melalui hukum dan dengan merombak hukum. Meskipun kedua kasus
14
Fuller, Morality of Law, 245.
Ibid.
16
Ibid., 648.
17
Lihat Zentenyi-Takacs Law: Law Concerning the Prosecutability of Offenses between December 21, 1944 and
May 2, 1990 (Hungaria, 1991), diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law of East and Central Europe 1
(1994): 131. Lihat juga Stephen Schulhofer et al., “Dilemmas of Justice”, East European Constitutional Law
Review 1, No. 2 (1992); 17.
15
6
tersebut tampaknya menggambarkan dua cara yang bertentangan untuk meyelesaikan dilema
kedaulatan hukum, mereka juga menunjukkan pemahaman serupa.
Setelah terjadi perubahan politik di tahun 1991, parlemen Hungaria mengesahkan
hukum yang memungkinkan pengadilan terhadap kejahatan yang dilakukan rezim
pendahulunya yang menumpas perlawanan rakyat di tahun 1956. Meskipun peristiwa tersebut
sudah lama terjadi, hukum tersebut mencabut statuta pembatasan waktu untuk pengkhianatan
dan kejahatan serius lainnya,18 dan dengan demikian pelanggaran tersebut dapat diadili
kembali. Perundang-undangan serupa juga disahkan di negara-negara lainnya di wilayah itu,
termasuk Republik Ceko.19 Masalah statuta pembatasan waktu ini biasanya timbul setelah
masa pendudukan yang lama, ketika negara berusaha mengadili kejahatan yang dilakukan
pada masa rezim pendahulunya. Jadi, dalam transisi pasca-perang di Eropa Barat, masalah
kedaulatan hukum yang timbul dari statuta pembatasan waktu baru timbul pada dekade 1960an,20 bukan pada masa tepat setelah perang berakhir. Kontroversi tentang hukum yang
mengatasi statuta pembatasan waktu menimbulkan pertanyaan yang lebih luas: sejauh mana
rezim baru terikat oleh hukum rezim lama?
Pengadilan konstitusional Hungaria menggambarkan dilema tersebut dalam dua kutub:
antara kedaulatan hukum yang dipahami sebagai prediktabilitas dipertentangkan dengan
kedaulatan hukum yang dipahami sebagai keadilan substantif. Dengan kerangka tersebut,
pilihan tampaknya tidak mungkin; namun, pada akhirnya hukum yang mengatasi statuta
pembatasan waktu dan rencana pengadilan terhadap kejahatan era 1956 ini dianggap tidak
konstitusional. Prinsip kedaulatan hukum memerlukan prospektivitas dalam pembuatan
hukum, bahkan bila pelanggaran pidana yang terberat oleh rezim lama harus dibiarkan begitu
saja. Opini tersebut diawali dengan pernyataan tentang dilema yang dihadapi pengadilan
tersebut: “Pengadilan konstitusional mengalami paradoks ‘revolusi kedaulatan hukum’.”21
Mengapa dikatakan sebagai paradoks? “Kedaulatan hukum”, menurut pengadilan tersebut,
berarti “prediktabilitas dan pandangan ke depan”.22 Dengan melihat prinsip prediktabilitas dan
memandang ke depan tersebut, larangan terhadap hukum pidana untuk menggunakan
perundang-undangan retroaktif, terutama ex post facto ... secara langsung berlaku. .... Hanya
dengan mengikuti prosedur legal yang formal, suatu hukum dianggap sah.”23
Pandangan dominan tentang kedaulatan hukum bagi Pengadilan Konstitusional adalah
“keamanan”.24 “Kepastian hukum menuntut ... perlindungan bagi hak-hak yang sebelumnya
sudah diberikan”. Hukum yang sedang direncanakan tersebut, yang akan memungkinkan
pengadilan bagi bagian dari rezim lama, jelas-jelas ex post dan dengan demikian mengancam
hak-hak individual untuk kedamaian. Dalam diskusinya tentang arti keamanan, pengadilan
menganalogikan hak untuk mendapatkan kedamaian dengan hak milik pribadi. Meskipun
18
Lihat umumnya Zentenyi-Takacs Law.
Lihat Decision of Dec. 21, 1993 (Republik Ceko, Pengadilan Konstitutional, 1993) (arsip Center for the Study
Constitusionalism in Eastern Europe, University of Chicago) (mengesahkan Act on the Illegality of the
Communist Regime and Resistance to It, Act No.198/1993 (1993).
20
Untuk pembicaraan tentang perdebatan statuta pembatasan waktu di Jerman, lihat Adalbert Rückerl, The
Investigation of Nazi Crimes, 1945-1978: A Documentation, terj. Derek Rutter (Heidelberg, Karlsruhe: C. F.
Muller, 1979), 53-55, 66-67.
21
Judgment of March 5, 1992, Magyar Kozlony, No.23/1992 (Hungaria, Pengadilan Konstitusional, 1992),
diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law of East and Central Europe 1 (1994): 136.
22
Ibid.,141.
23
Ibid.,141-42.
24
Ibid., 142.
19
7
perlindungan terhadap hal milik pribadi dapat diatasi oleh kepentingan negara, kepentingan
tersebut, menurut pengadilan, seharusnya tidak melanggar hak individual untuk kedamaian.
Dengan melindungi nilai “keamanan” dalam kedaulatan hukum dari pelanggaran oleh negara,
Pengadilan Konstitusional memberikan pesan penting bahwa hak-hak milik akan dilindungi
dalam transisi.
Dalam masa-masa biasa, pemikiran tentang kedaulatan hukum sebagai keamanan
dalam perlindungan hak-hak individual sering kali dianggap sebagai kunci, syarat minimal
keberadaan kedaulatan hukum dalam negara demokrasi liberal. Namun, dalam transisi
ekonomi dan legal di Eropa Tengah dan Timur, pemahaman ini merupakan transformasi yang
mendasar. Jika sistem hukum totaliter menghapus atau mengabaikan batas antara individu dan
negara, garis yang ditarik Pengadilan Konstitusional Hungaria ini memberikan pembatasan
baru bagi negara: hak individual untuk mendapatkan keamanan. Tekanan pada perlindungan
hak-hak individual ini, yang dikatakan telah dimiliki, dikonstruksikan dalam transisi. Aturan
ini memberikan pesan penting bahwa rezim yang baru akan lebih liberal daripada
pendahulunya.
Bandingkan dengan kasus kedua. Dalam babak kedua kasus suksesornya pada abad ini
[yang pertama adalah masalah Nazi, dan yang kedua adalah soal Jerman-bersatu], badan
Pengadilan Jerman sekali lagi menghadapi dilema kedaulatan hukum transisional dalam
pengadilan penjaga perbatasan Jerman Timur yang diadili karena penembakan di Tembok
Berlin sebelum unifikasi. Pertanyaan di pengadilan itu adalah apakah pembelaan yang
bergantung pada hukum rezim pendahulu dapat diterima. Pengadilan Berlin menempatkan
dilema tersebut dalam kerangka ketegangan antara “hukum formal” dan “keadilan” dan
menolak hukum bekas Jerman Timur karena “tidak semua hal benar karena secara formal
benar”. Membandingkan hukum masa komunis dengan hukum Nazi, pengadilan
menggunakan preseden pasca-perang yang menyatakan bahwa perundang-undangan yang
“jahat” tidak memiliki keabsahan sebagai hukum: “terutama masa rezim Nasional Sosialis di
Jerman memberikan pelajaran bahwa ... dalam kasus-kasus ekstrem, perlu diberikan
kesempatan untuk memberikan penghargaan lebih tinggi pada prinsip keadilan material di atas
prinsip kepastian hukum.” Secara prosedural, hak legal berbeda dengan hak moral. Sebagai
“kasus ekstrem”, kasus penjaga perbatasan ini dianalogikan dengan para kolaborator di masa
perang dan dengan demikian dipandu oleh prinsip adjudikatif yang sama.
Pengadilan transisional di Eropa Tengah dan Timur, meskipun menghadapi isu-isu
legal yang berbeda, memiliki masalah yang lazim bagi rezim suksesor: Apa implikasi terhadap
kedaulatan hukum dengan mengadili tindakan-tindakan yang “legal” di masa rezim yang
lampau? Seperti ditunjukkan oleh perdebatan pasca-perang di muka, pertanyaan ini
menimbulkan (paling tidak) dua pertanyaan lain lagi: yang pertama tentang legitimasi hukum
di masa rezim pendahulu maupun suksesor; dan, kedua tentang kaitan antara keduanya.
Perdebatannya selalu tentang kedaulatan hukum sebagai norma-norma yang mapan
dibandingkan dengan kedaulatan hukum yang transformatif. Dalam kasus-kasus mutakhir,
seperti dalam perdebatan pasca-perang, timbullah pemahaman transisional yang baru tentang
kedaulatan hukum. Kedua keputusan tersebut secara bersama-sama merupakan teka-teki yang
menarik. Bagi pengadilan Berlin, nilai kedaulatan hukum yang berlaku adalah apa yang benar
secara “moral,” sedangkan bagi pengadilan Hungaria, nilai kedaulatan hukum yang berlaku
adalah perlindungan hak-hak “legal” yang telah ada. Dalam satu kasus, kedaulatan hukum
mensyaratkan keamanan yang dianggap sebagai prospektivitas, dengan konsekuensi
8
pengampunan dari hukum pidana. Pada kasus yang lainnya, keadilan dipahami sebagai
pelaksanaan hukum secara setara. Apakah kedua pendekatan ini dapat dicari titik temunya?
Penyelidikan terhadap bahasa yang digunakan dalam kedua kasus suksesor tersebut
menunjukkan konsepsi kedaulatan hukum yang khas dalam masa transisi. Retorika yudisial
mengkonseptualisasikan masalah dengan memaparkan berbagai nilai kedaulatan hukum yang
bertentangan dan tampaknya tidak dapat dipertemukan: Satu nilai dianggap relatif, yang lain
dianggap esensial. Badan pengadilan transisional dalam kedua kasus tersebut
mengkarakterisasikan dilema yang mereka hadapi dengan mengimbangkan dua sisi kedaulatan
hukum: kedaulatan hukum sebagaimana dipahami pada umumnya versus kedaulatan hukum
menurut pemahaman transformatif. Nilai mana yang akan dominan dalam kesetimbangan
transisional ini akan bergantung pada konteks sejarah dan politik yang unik.
Dengan demikian, setelah berakhirnya totalitarianisme di Hungaria, pandangan
dominan tentang kedaulatan hukum adalah keamanan positif bagi para individu, yang berada
di luar jangkauan kekuasaan negara. Di Jerman-bersatu, kedaulatan hukum transisional
didefinisikan oleh jurisprudensi yang berlaku, yang merespon legalitas sejak masa fasisme.
Ketika pengadilan Jerman memutuskan bahwa kasus penjaga perbatasan itu dianggap sebagai
kasus “ekstrem”, ia menganalogkan pemerintahan komunis dengan Nazi. Dengan cara ini,
respon legal terhadap ketidakadilan masa Perang Dunia Kedua terus memandu ajudikasi
kontemporer dalam transisi dari masa pemerintah komunis. Seperti di masa pasca-perang,
pengadilan Berlin pasca-komunis menggunakan prinsip hukum kodrat yang melampaui
hukum lainnya. Setelah pemerintahan Nazi – suatu masa pemerintahan di mana aparat
keamanan yang represif bertindak melanggar hukum dan sistem hukum itu sendiri
disalahgunakan untuk menganiaya – perasaan dominan terhadap kedaulatan hukum adalah
untuk perlindungan yang setara dalam pelaksanaan keadilan. Keduanya adalah pemahaman
transformatif.
Meskipun tidak sesuai dengan teori idealistik, preseden transisional ini menunjukkan
bahwa tidak ada satu nilai tunggal dalam kedaulatan hukum yang mutlak diperlukan dalam
pergerakan menuju sistem politik yang lebih liberal. Pemikiran tentang nilai-nilai kedaulatan
hukum yang lebih transenden dalam masyarakat transisional di satu pihak sangat bergantung
pada konteks politik dan legal yang ada di negara itu, sementara di pihak lainnya, bergantung
pada peranan hukum pada masa rezim pendahulu. Terdapat perdebatan sengit antara para
pakar tentang pertanyaan ini. Banyak juga dihasilkan karya-karya komparatif mutakhir tentang
peran ajudikasi dalam pemerintahan yang represif pada masa Nazi di Jerman, junta militer
Amerika Latin dan apartheid di Afrika Selatan.
Memang terdapat banyak teori tentang peran potensial berbagai prinsip adjudikatif di
bawah pemerintahan tirani, bahkan studi empiris tentang peran badan peradilan dalam masa
represif. Namun prinsip-prinsip adjudikatif positivis maupun hukum kodrat tidak berkorelasi
dengan penerapan kedaulatan hukum yang lebih baik pada masa-masa tersebut. Dalam
berbagai konteks, para pakar mencapai kesimpulan yang beragam. Kesimpulan mereka
menunjukkan bahwa variasi strategi interpretif, baik positivis maupun hukum kodrat, tidak
dapat dengan sendirinya menjelaskan peran pengadilan di bawah pemerintahan yang represif.
Jadi, beberapa pakar mengklaim bahwa prinsip penafsiran bebas yang dipakai para hakim
Nazi mengarah pada dukungan bagi pemerintahan yang represif. Sementara beberapa pakar
lainnya menekankan jurisprudensi positivis yang dipahami sebagai pemisahan antara hukum
9
dan moralitas.25 Arti kedaulatan hukum sangat bergantung pada kaitannya dengan arti sosial
ketidakadilan di suatu wilayah dan responnya.
Perspektif transisional tentang kedaulatan hukum yang ditawarkan dalam buku ini juga
mencoba menjelaskan perbedaan yang membingungkan antara pandangan para filsuf
Amerika-Anglo Saxon dan Eropa-Kontinental tentang kaitan keberlakuan antara berbagai
filsafat hukum dengan represi, atau sebaliknya, dengan pemerintahan liberal. Bahwa
positivisme dikaitkan dengan represi atau dengan liberalisme – di dua tempat yang berbeda –
menjelaskan sifatnya sebagai respon transisional terhadap penggunaannya oleh para hakim
yang “jahat”. Maka, di Amerika Serikat, positivisme sering kali diasosiasikan dengan
jurisprudensi yang mendukung rezim tirani, sementara di Jerman, bukanlah positivisme,
melainkan interpretasi hukum kodrat yang diasosiasikan dengan sistem peradilan Reich.26 Di
satu pihak pemahaman konvensional tentang konsep tirani adalah ketiadaan kedaulatan
hukum, sementara di pihak lain kedaulatan hukum transisional dalam kasus-kasus modern
memberikan respon normatif yang khusus terhadap tirani kontemporer. Dari terbentuknya
dalam pemahaman kuno yang diistilahkan sebagai “isonomi”, idealisasi kedaulatan hukum
timbul sebagai jawaban terhadap tirani. Pada masa kuno, isonomi dibentuk sebagai jawaban
terhadap tirani yang dianggap menerapkan hukum yang sewenang-wenang dan memihak.
Karena tirani yang telah lewat dikaitkan dengan pembuatan hukum yang memihak dan
sewenang-wenang, maka pemahaman kuno tentang kedaulatan hukum menerima baik nilai
keamanan maupun keberlakuannya secara umum. Seperti pada masa kuno, ide kontemporer
tentang kedaulatan hukum dibentuk dalam konteks pergeseran dari pemerintahan yang represif
ke pemerintahan yang lebih liberal.27 Bila penganiayaan secara sistematis dilakukan atas nama
hukum, di mana tirani adalah penganiyaan yang dilakukan secara sistematis,28 respon legal
transisional adalah usaha untuk memperbaiki kesalahan tersebut melalui hukum.
Konstruksi Transisional tentang Legalitas
25
Bandingkan Ingo Müller, Hitler’s Justice: The Courts of the Third Reich (Cambridge: Harvard University
Press, 1991) 68, 71-78, dengan Dubber, Judicial Positivism and Hitler’s Injustice, 1819-1820, 1825. Lihat juga
Richard Weisberg, Vichy Law and the Holocaust in France (New York: New York University Press, 1996).
Untuk diskusi yang kaya akan gagasan, lihat Simposium, “Nazis in the Courtroom: Lessons from the Conduct of
Lawyers and Judges under the Laws of the Third Reich and Vichy France”, Brooklyn Law Review 61 (1995):
1142-45. Untuk diskusi tentang Afrika Selatan, lihat David Dyzenhaus, Hard Cases in Wicked Legal Systems:
South African Law in the Perspective of Legal Philosophy (New York: Oxford University Press, 1991), dan
Stephen Ellman, In a Time of Trouble: Law and Liberty in South Africa’s State of Emergency (New York:
Oxford University Press, 1992). Untuk pembicaraan tentang strategi interpretif badan pengadilan Amerika Latin,
lihat Mark J. Osiel, “Dialogue with Dictators: Judicial Resistance in Argentina and Brazil”, Law and Social
Inquiry 29 (1995): 481.
26
Untuk perbandingan yang luas tentang pendekatan Amerika dan Inggris, lihat Anthony J. Sebok,
“Misunderstanding Positivism”, Michigan Law Review 93 (1995): 2055. Untuk analisis jurisprudensi di bawah
rezim perbudakan, lihat Robert M. Cover, Justice Accused: Antislavery and the Judicial Process (New Haven:
Yale University Press, 1975), 26-29, 121-23. Untuk diskusi tentang jurisprudensi Nazi, lihat umumnya Muller,
Hitler’s Justice.
27
Untuk tinjauan sejarah, lihat Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago: Uninersity of Chicago
Press, 1960), 162-73. Untuk sejarah intelektual tentang Rechstaat Jerman, lihat Steven B. Smith, Hegel’s Critique
of Liberalism (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 145-48.
28
Untuk diskusi terkait tentang tirani dan hukum, lihat Judith N. Shklar, Legalism: Law, Morals, and Political
Trials (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 126-27.
10
Diskusi di atas mengarah pada pemahaman kedaulatan hukum yang berbeda, dan menjelaskan
suatu pemahaman tentang legalitas yang khas dalam masa transisi. Pemahaman tentang
kedaulatan hukum tersebut menjembatani jurang antara pemerintahan yang tidak liberal dan
liberal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai dan proses-proses tersebut menengahi
transisi. Diskusi ini akan berfokus pada tiga konsep mediasi yang ada, yaitu konstruksi sosial
tentang kedaulatan hukum, peran hukum internasional dalam mengatasi pemahaman hukum
domestik, dan akhirnya, nilai terdalam kedaulatan hukum yaitu untuk melampaui politik yang
mungkin berubah.
Peran Konstruksi Sosial
Salah satu konsep mediasi dalam kedaulatan hukum transisional adalah konstruksi sosialnya.
Yang penting dalam menentukan kedaulatan hukum adalah budaya hukum, bukan pemikiran
tentang keadilan yang abstrak dan universal.29 Pemahaman tentang kedaulatan hukum
transisional yang dikonstruksikan secara sosial ini tampak dalam ajudikasi pasca-komunis.
Dalam kasus penjaga perbatasan, pemahaman sosial tentang hukum yang berlaku digunakan
untuk menolak pembelaan legal mereka. Validitas hukum yang lama bergantung pada praktik
sosial pada suatu masa, seperti publikasi dan transparansi norma tersebut.30 “Juga di wilayah
bekas Jerman Timur, keadilan dan kemanusiaan digambarkan dan dinyatakan sebagai ideal.
Dengan ini, konsepsi tentang dasar hukum kodrat cukup dapat terpenuhi.”31
Kebijakan perbatasan, yang cenderung rahasia dan ditutup-tutupi bila warga asing
berada di wilayah tersebut, tidak memiliki transparansi yang biasanya dikaitkan dengan
hukum. Pengadilan Berlin menemukan bahwa tidak hanya kebijakan perbatasan tersebut
sesuai dengan pemahaman sosial yang berlaku umum tentang hukum, namun juga bahwa
pemahaman-pemahaman sosial yang berlaku umum tentang hukum di Jerman Timur serupa
dengan di Jerman Barat. Para penjaga itu berada di perbatasan geografis sekaligus yuridis.
Tampak bahwa peraturan tentang perbatasan ini tidak sah dengan budaya hukum yang ada.
Masalah serupa timbul di Pengadilan Konstitusional Hungaria, ketika ia menekankan nilai
keamanan dalam kedaulatan hukum sebagai kontinuitas hukum. Dalam konteks transisi
gejolak politik, badan peradilan mengkonstruksikan pemahaman kontinuitas legal. Persepsi
tentang kedaulatan hukum diciptakan oleh ketaatan pengadilan tersebut pada prosedur.
Apa yang menjadikan suatu hukum dianggap positif? Teori yang diterima luas tentang
kedaulatan hukum menyatakan bahwa salah satu syarat hukum adalah bahwa ia diketahui
masyarakat.32 Apakah pengetahuan tentang hukum serupa dengan publikasi? Dalam masa
transisi, sering kali terdapat celah antara hukum yang tertulis (law as written) dan hukum yang
diterima-pahami (law as perceived). Yang menjadikan suatu hukum dianggap positif adalah
keberterimaannya dalam masyarakat. Pemahaman ini memperluas, bahkan mendemokratiskan
sumber legalitas dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan budaya hukum.
29
Lihat Henry W. Ehrmann, Comparative Legal Cultures (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1976), 48-50; James
L. Gibson dan Gregory A. Caldeira, “The Legal Cultures of Europe”, Law and Society Review 30 (196): 55-62.
30
Untuk suatu pernyataan tentang syarat hukum demikian, lihat Fuller, “Positivism and Fidelity to Law”, 638-43.
Lihat juga Joseph Raz, The Concept of a Legal System: An Introduction to the Theory of Legal System (New
York: Oxford University Press, 1970) (yang merupakan usaha sistematis untuk menjelaskan syarat-syarat
hukum).
31
Judgment of Jan. 20, 1992, Juristenzeitung 13 (1992): 691, 695 (Jerman Barat, Landgreicht [LG], Berlin).
32
Lihat Raz, Concept of a Legal System, 214.
11
Bahkan, di era media kontemporer dewasa ini, bisa ada berbagai sumber hukum pada suatu
waktu, sekaligus beragam bentuk publikasi yang mengatasi hukum tertulis.33 Pemahaman
sosial di lingkup publik adalah aturan pengakuan untuk menilai sistem hukum rezim nonliberal, suatu pemahaman tentang hukum yang independen dari keputusan pemegang
kedaulatan, dan dengan demikian, kurang terpengaruh oleh gejolak politik. Dengan dipandu
oleh prinsip legalitas transisional ini, legitimasi dari hukum yang dibuat rezim pendahulu akan
tergantung pada pemahaman legalitas di tingkat masyarakat luas.
Pemahaman bahwa kedaulatan hukum dikonstruksikan secara sosial menawarkan
prinsip untuk menilai legalitas pada masa-masa peralihan antara kediktatoran dan demokrasi.
Pengakuan tentang adanya celah legitimasi antara hukum tertulis dan hukum yang dipahami
secara sosial memberikan cara untuk menjelaskan konstruksi hukum dalam pemerintahan nonliberal. Bahkan, dengan berkurangnya kepercayaan publik dalam suatu sistem politik, bisa
diharapkan bahwa celah ini akan melebar dan mendorong transisi.
Peran Hukum Internasional
Suatu konsep mediasi lain dari kedaulatan hukum transisional adalah hukum internasional.
Hukum internasional memposisikan institusi dan proses yang mengatasi hukum dan politik
domestik. Pada masa gejolak politik, hukum internasional menawarkan konstruksi hukum
alternatif yang bersifat kontinu dan tahan lama, meskipun mengalami perubahan politik yang
substansial. Pengadilan lokal menaati pemahaman internasional ini. Potensi pemahaman
terhadap hukum internasional ini menjadi kuat pada masa pasca-perang. Di Amerika Serikat,
terdapat perdebatan jurisprudensial tentang apakah Pengadilan Nuremberg dan Tokyo sesuai
dengan kedaulatan hukum. Hukum internasional berfungsi sebagai konsep mediasi untuk
menekan dilema kedaulatan hukum yang ditimbulkan keadilan suksesor pada masa transisi
dan untuk menjustifikasi legalitas Pengadilan Nuremberg dari kecemasan tentang
retroaktivitas.34
Pada masa kontemporer, hukum internasional sering kali digunakan sebagai cara untuk
menjembatani pergeseran pemahaman legalitas. Pada kasus-kasus pasca-komunis di muka,
kontroversi tentang usaha untuk menghidupkan kembali pengadilan politik masa lalu pada
akhirnya diselesaikan dengan merujuk pada konsep-konsep dalam hukum internasional.
Sebagai contoh, dalam tinjauannya tentang hukum yang mengusulkan untuk membuka
33
Lihat umumnya Bonaventura De Soisa Santos, Toward a New Common Sense: Law, Science, and Politics in
the Paradigmatic Transition (New York: Routledge, 1995) (yang memaparkan teori hukum dengan merujuk pada
kaitan hukum dan masyarakat yang dinamis).
34
Lihat Hans Kelsen, “The Rule against Ex Post Facto Laws and the Prosecution of the Axis War Criminals”,
Judge Advocate Journal (Musim Gugur-Dingin 1945): 8-12, 46 (yang membicarakan sifat jurisdiksi dalam
Tribunal Nuremberg dan pengadilan pasca-perang lainnya); Bernard D. Meltzer, “A Note on Some Aspects of the
Nuremberg Debate”, University of Chicago Law Review 14 (1947): 455-57. (“Penerapan secara kaku dan
otomatis aturan melawan retroaktivitas pada sistem hukum yang belum berkembang [seperti hukum
internasional] akan, tentu saja, memperlebar jurang atara perasaan moral yang berkembang di masyarakat dan
institusi legalnya yang terbelakang”). Lihat umumnya Stanley L. Paulsen, “Classical Legal Positivism at
Nuremberg”, Philosophy and Public Affairs 4 (1975): 132 (yang menyatakan bahwa penolakan pembelaan Nazi
oleh Tribunal Nuremberg dijustifikasikan oleh penolakannya terhadap positivisme legal klasik); Quincy Wright,
“Legal Positivism and the Nuremberg Judgment”, American Journal of International Law 42 (1948): 405
(menyatakan bahwa kritikan terhadap peradilan Nuremberg yang dianggap menerapkan hukum ex post facto
berakar pada teori hukum internasional positivis yang dipegang para pengkritik tersebut).
12
kembali kasus politik yang terkait dengan pemberontakan 1956, Pengadilan Konstitusional
Hungaria memutuskan bahwa pembukaan kembali kasus tersebut merupakan diskontinuitas
dengan hukum yang ada. Diskontinuitas demikian, menurut Pengadilan Konstitusional,
mengancam pemahaman tentang legalitas di masa suksesor; tidak boleh ada prinsip untuk
meninggalkan hukum-hukum tertentu saja secara selektif. “Legitimasi berbagai sistem
(politik) yang berbeda selama setengah abad terakhir tidaklah relevan ...; dari sudut pandang
konstitusionalitas hukum, ia bukanlah kategori yang signifikan.”35 Dalam tinjauan yudisial
berikutnya, pengadilan mengesahkan statuta baru yang memungkinkan pengadilan terhadap
kasus 1956 yang berkaitan dengan “kejahatan perang” dan “kejahatan terhadap kemanusiaan”
menurut hukum internasional.36
Kedaulatan hukum memerlukan adanya kontinuitas. Kontinuitas demikian dianggap
ada dalam norma hukum internasional, seperti Konvensi Jenewa yang Berkaitan dengan
Perlindungan Warga Sipil pada Masa Perang,37 yang norma-normanya mengatasi hukum
domestik. Keputusan serupa diambil di Polandia, yang membatalkan perpanjangan statuta
pembatasan waktu, kecuali terhadap pelanggaran yang dianggap melanggar hak asasi manusia
internasional.38 Anggapan bahwa hukum internasional diutamakan di atas hukum domestik
tidaklah jelas, karena Konstitusi Hungaria tidak menyatakan dengan jelas tentang prioritas
hukum internasional dibandingkan dengan hukum domestik.
Namun Pengadilan Konstitusional menunjukkan bahwa ia akan menafsirkan konstitusi
dipandu oleh norma-norma internasional, menyatakan bahwa “aturan-kedaulatan hukum
internasional yang diakui bersama akan diutamakan”. Beberapa konstitusi secara eksplisit
menyatakan adanya prioritas tersebut.39 Di berbagai negara di wilayah itu, hukum
internasional menjadi dasar untuk interpretasi yudisial terhadap kebijakan penghukuman,
karena norma-norma tersebut dianggap lebih utama dari hukum-hukum rezim lama yang telah
terpolitisasi. Dalam kasus penjaga perbatasan Jerman, keputusannya secara eksplisit
didasarkan pada hukum internasional.40
35
Judgment of March 5, 1992 (dikutip di catatan kaki 21 di muka)
Lihat Act on Procedures Concerning Certain Crimes Committed during the 1956 Revolution (Hungaria, 1993)
(arsip Center for the Study of Constitusionalism in Eastern Europe, University of Chicago).
37
Lihat “Geneva Convention Relative on the Protection of Civilian Persons in Time of War”, 12 Agustus 1949,
Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations
75, No. 973 (1950); 287; “Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and
Crimes Against Humanity”, 11 November 1970, Treaties and International Agreements Registered or Filed or
Reported with the Secretariat of the United Nations 754, No. 10823 (1970): 73.
38
Di Polandia, masalah statuta pembatasan waktu baru terselesaikan dengan konsensus konstitusional. Lihat
Konstitusi Republik Polandia, Pasal 43 (yang disahkan Dewan Nasional, 2 April 1997), yang menyatakan bahwa
sejauh suatu pelanggaran merupakan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan, mereka tidak diikat
oleh pembatasan waktu.
39
Resolution of the Hungarian Constitutional Court of Oct. 12, 1993 on the Justice Law (Kasus 53/1993) (arsip
Center for the Study of Constitutionalism in Eastern Europe, semula di University of Chicago). Lihat Konstitusi
Hungaria, Pasal 7 ayat 1 (“Sistem hukum Republik Hungaria ... menyesuaikan hukum nasional dan statuta negara
dengan kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional”). Bandingkan dengan Konstitusi Yunani, Pasal 28
ayat 1 (yang menyatakan bahwa kedaulatan hukum internasional diutamakan terhadap hukum domestik yang
berlawanan).
40
Lihat Border Guards Prosecution Cases (Jerman Barat, Bundesgerichtshof [BGH]), diterjemahkan dalam
International Law Reports 100 (1995): 380-82 (yang mempertimbangkan International Covenant on Civil and
Political Rights, 19 Desember 1966, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with
the Secretariat of the United Nations 999, No. 14688 (1976): 171 (yang menyatakan bahwa ketertiban domestik
36
13
Pada masa gejolak politik, hukum internasional berperan sebagai konsep mediasi yang
berguna. Penempatan dilema kedaulatan hukum dapat dengan mudah digeser dari
pertentangan antara positivisme dengan hukum kodrat. Dengan berdasar pada hukum positif,
namun juga menerapkan nilai-nilai keadilan yang dikaitkan dengan hukum kodrat, hukum
internasional dapat memediasi dilema kedaulatan hukum. Norma-norma hukum internasional
positif ditentukan melalui konvensi, traktat dan kebiasaan.41 Terlebih lagi, dengan mencakup
kejahatan yang paling mengerikan ke dalam lingkupnya, hukum internasional menawarkan
suatu sumber transendensi normatif. Sebagai gambaran adalah konsep kejahatan terhadap
kemanusiaan, yang dibicarakan lebih lanjut pada bab tentang peradilan kriminal, yang
menunjukkan dua nilai yang bertentangan dan sekaligus berkaitan, dalam respon normatif
universal terhadap penganiayaan dalam berbagai konteks kebudayaan.42 Sementara hukum
internasional mempertahankan pemahaman umum tentang kedaulatan hukum sebagai
kemapanan, ia juga memungkinkan transformasi. Dengan demikian, ia memediasi transisi.
Prinsip-prinsip hukum internasional berfungsi untuk mendamaikan dilema batasan minimal
hukum pada masa transformasi politik.
Kedaulatan Hukum sebagai Pembatasan terhadap Politik
Ciri utama kedaulatan hukum dalam masa perubahan politik adalah bahwa ia mempertahankan
adanya kontinuitas dalam format legal, sementara pada saat yang sama memungkinkan
perubahan normatif. Sifat hukum dan ajudikasi yang terpolitisasi pada masa sebelumnya
menjustifikasi adanya sedikit diskontinuitas dalam transisi. Pemahaman tentang kedaulatan
hukum yang anti-politik ini adalah tema umum dalam kontroversi transisional kontemporer
yang dibicarakan di muka. Pengadilan para penjaga perbatasan dikatakan sebagai “kasus
ekstrem”, yang menjustifikasi diabaikannya pertimbangan kedaulatan hukum yang biasa.43
Pengadilan Jerman mengangkat apa yang benar secara moral di atas kebenaran secara politis.
Kasus-kasus lain di wilayah tersebut menunjukkan interpretasi yudisial terhadap kedaulatan
hukum secara serupa. Invalidasi Hungaria terhadap hukum pengadilan 1956 membatasi
kebijakan anti-komunis yang terpolitisasi.
melanggar hak asasi manusia yang dilindungi oleh traktat internasional). Lihat umumnya Stephan Hobe dan
Christian Tietje, “Government Criminality: The Judgement of the German Federal Constitutional Court of 24
October 1996”, German Yearbook of Internatioanal Law 39 (1996): 523. Lihat juga Krisztina Morvai,
“Retroactive Justice Based on International Law: A Recent Decision by the Hungarian Constitutional Court”,
East European Constitutional Review (musim gugur 1993/musim dingin 1994): 33; “Law on Genocide and
Crimes against Humanity Committed in Albania during Communist Rule for Political, Ideological and Religious
Motives”, diterjemahkan dalam Human Rights Watch, Human Rights in Post-Communist Albania (New York:
Human Rights Watch, 1996), lampiran A (menjadi dasar untuk mengadili bekas Komunis).
41
Lihat Statute of the International Court of Justice, U. S. Statutes at Large 59 (1945): 1031, Pasal 38 (1). Untuk
pembahasan tentang pemahaman positivis, lihat Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice
(Dordrecht, Belanda; dan Boston: M. Nijhoff, 1991; didistribusikan di Amerika Serikat dan Kanada oleh Kluwer
Academic Publishers), 35-36. Peran kebiasaan dalam pembentukan hukum internasional dijelaskan dalam
Michael Akehurst, “Custom as a Source of International Law”, British Yearbook International 47 (1974-1975): 1.
Untuk diskusi terkait tentang elemen-elemen hukum positif dan hukum kodrat dalam hukum internasional, lihat
Shklar, Legalism: Law, Morals, and Political Trials, 126-28.
42
Lihat J. M. Balkin, “Nested Opposition”, Yale Law Journal 99 (1990): 1669 (tinjauan buku).
43
Lihat Judgment of Jan. 20, 1992 (dikutip di catatan kaki 31 di atas), 693.
14
Untuk mengesahkan hukum yang akan memperpanjang waktu untuk menuntut
kejahatan yang dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya, Pengadilan Konstitusional
Ceko menyatakan bahwa hukum tersebut akan membongkar kebijakan penghukuman dan
penerapan keadilan masa lalu yang terpolitisasi. Hukum tersebut akan menangguhkan
pembatasan waktu selama empat puluh satu tahun (jangka waktu antara 25 Februari 1948 dan
29 Desember 1989) untuk tindakan-tindakan yang semula tidak diadili atau dihukum karena
“alasan politis”.44 Jika di bawah rezim represif pelaksanaan keadilan dilakukan semata-mata
atas kepentingan politis,45 pandangan ini paling jelas dilawan dengan penerimaan suatu nilai
kedaulatan hukum yang jelas mencerminkan pandangan normatif yang terlepas dari kondisi
politik peralihan.
Konstruksi kedaulatan hukum transisional yang terbebas dari politik memiliki
sejumlah kedekatan dengan pemahaman kedaulatan hukum yang berlaku pada saat-saat
normal. Namun, konteroversi tentang keadilan transisional dalam konteks yang amat
terpolitisasi merupakan kasus yang berat untuk tetap taat terhadap kedaulatan hukum.
Meskipun terdapat perubahan politik yang radikal, tujuannya adalah kedaulatan hukum yang
tidak dimotivasi oleh politik. Jurisprudensi transisional memberikan harapan untuk mencapai
kedaulatan hukum yang anti-politik.
Badan Pengadilan Transisional
Pada masa transformasi politik, masalah legalitas terpisah dari masalah teori hukum
sebagaimana berlaku di negara-negara demokratis di masa biasa. Terdapat pertanyaanpertanyaan teknis di luar inti tentang legitimasi rezim yang baru, termasuk sifat dan peran
badan pengadilan transisional. Pilihan prinsip ajudikasi akan menimbulkan pertanyaan terkait
tentang di mana, sebagai masalah institusional, letaknya kerja-kerja transformatif: pada badan
pengadilan atau legislatif? Inilah pertanyaan yang akan dicoba untuk dijawab.
Dilema keadilan transisional timbul pada masa perubahan politik substansial. Jika
sistem hukum berada dalam perubahan, tantangan terhadap perubahan umum tentang
kedaulatan hukum tentu saja amat berat. Tantangan pada masa transisi pasca-perang tidaklah
seberat tantangan pada masa transisi dari pemerintahan komunis di masa kini, yang
merupakan masa transformasi ekonomi, politik dan sekaligus hukum. Pada masa ini,
pengadilan konstitusional yang baru dibentuk harus menanggung beban institusional untuk
menciptakan pemahaman baru terhadap kedaulatan hukum. Beban transformasi untuk menjadi
sistem yang taat kedaulatan hukum ini hingga titik tertentu diberikan kepada badan
pengadilan, terutama badan pengadilan konstitusional yang baru itu. Respon transformatif
serupa bisa dilihat pada transisi mutakhir yang lain, seperti di Afrika Selatan. Konstitusi
transisional Afrika Selatan membentuk Pengadilan Konstitusionalnya yang baru.46
44
Lihat Decision of Dec. 21, 1993 (dikutip di catatan kaki 19 di atas).
Untuk tinjauan tentang sifat pengambilan keputusan demikian dalam sistem politik non-liberal, lihat diskusi
tentang decisionism dalam Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty,
terjemahan George Schwab (Chicago: University of Chicago Press, 1985), 53-66.
46
Untuk penjelasan tentang awal perkembangan ini, lihat Herman Schwartz, “The New East European
Constitutional Courts”, Michigan Journal of International Law 13 (1992): 741. Lihat Ruti Teitel, “Post
Communist Constitutionalism: A Transitional Perspective”, Columbia Human Rights Law Review 26 (1994):
167. Untuk kumpulan esai tentang pengadilan konstitusional Eropa Timur, lihat Irena Grudzinska-Gross, ed.,
Constitutionalism in East Central Europe (Bratislava: Czecho-Slovak Committee of the European Cultural
45
15
Mungkin akan timbul pertanyaan apakah kontinuitas dengan rezim pendahulu adalah
suatu pertanyaan bagi para hakim masa transisi atau suatu pertanyaan politis yang perlu
diperdebatkan secara lebih luas. Ketika pertanyaan ini muncul pada transisi kontemporer
pasca-komunis, badan pengadilan mengambil tanggung jawab untuk mengambil keputusan.
Isu ini menjadi pertanyaan politik di Jerman-bersatu. Namun, dalam pertimbangannya tentang
sah tidaknya hukum Republik Demokratik Jerman (GDR) untuk kasus penjaga perbatasan,
Pengadilan Berlin mengabaikan kesepakatan politik antara kedua negara Jerman tersebut
(Jerman sebelum bersatu). Traktat Unifikasi mempertimbangkan kontinuitas hukum pidana
Jerman Timur, dengan syarat bahwa ia diterapkan bagi tindakan pidana yang dilakukan pada
masa sebelum reunifikasi. Namun, pengadilan menolak pembelaan para penjaga perbatasan
yang berdasarkan pada hukum Jerman Timur.47 Dengan demikian, pengadilan menunjukkan
independensinya dari legislatif dan agenda politiknya. Namun, respon transformatif terhadap
masalah politis tidak terlalu diperlukan di Jerman-bersatu, dibandingkan dengan negara-negara
lain di Eropa, karena konteks transisinya. Demikian pula, ketika Pengadilan Konstitusional
Hungaria menolak hukum pengadilan 1956, ia memberikan pesan yang jelas tentang
independensinya dari elemen-elemen politik negara itu.48 Keputusan-keputusan ini
mencerminkan pemahaman mendalam tentang kedaulatan hukum yang dibentuk oleh badan
pengadilan transisional yang berusaha mencapai independensi dari politik.
Para teoretisi politik sering kali membedakan rezim liberal dengan non-liberal atas
dasar konstitusi mereka; peran konstitusionalisme transisional dibicarakan lebih mendalam
pada bab 6. Namun, penelitian yang dilakukan di sini menunjukkan bahwa apa yang
menunjukkan sifat liberal dari suatu rezim politik bukanlah spesifiknya suatu tatanan
institusional tertentu, namun lebih pada sejauh mana terdapat pelaksanaan dan pemahaman
terhadap kedaulatan hukum. Meskipun konstitusi era komunis menggambarkan hak-hak,
umumnya hak-hak tersebut hanya ada di atas kertas dan jarang dilaksanakan. Jadi, setelah
komunisme, pengesahan piagam baru tentang hak asasi tidak akan memberikan transformasi
yang signifikan bagi kedaulatan hukum. Sebagai respon terhadap ketidakadilan ini, ada
sejumlah pengadilan konstitusional untuk melaksanakan konstitusi yang baru.49 Peran ini bagi
badan pengadilan adalah respon legal “kritis” yang secara jelas menandakan transformasi
terhadap sistem konstitusional demokrasi liberal.
Pengadilan konstitusional membantu transformasi menuju sistem kedaulatan hukum
dengan beberapa cara. Pertama, pengadilan timbul dari sistem kekuasaan negara yang
tersentralisasi; sebagai forum baru yang dibentuk secara khusus pada masa perubahan dan
transformasi politik, pembentuknya dengan sendirinya menandakan berakhirnya tatanan
politik masa lalu. Kedua, akses terhadap pengadilan konstitusional melalui litigasi
memberikan kemungkinan partisipasi dalam sistem demokrasi yang baru mulai berkembang.
Sejalan dengan waktu, akses ke pengadilan akan memungkinkan masukan dari masyarakat ke
dalam interpretasi konstitusional, memungkinkan pemahaman di tingkat masyarakat terhadap
pembatasan pemerintah dan perlindungan terhadap hak individual. Akses masyarakat ke
pengadilan untuk pelaksanaan hak-hak individual merupakan simbol potensial keterbukaan
Foundation, 1994). Lihat juga Konstitusi Afrika Selatan, Bab VII (dibicarakan pada bab tentang keadilan
konstitusional dalam buku ini).
47
Lihat Judgment of Jan. 20, 1992 (dikutip di catatan kaki 31 di atas).
48
Lihat Judgment of March 5, 1992 (dikutip di catatan kaki 21 di muka).
49
Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism”, 169-76.
16
pemerintahan yang baru.50 Ketiga, karena pengadilan konstitusional memiliki mandat eksplisit
untuk melakukan tinjauan yudisial, mereka adalah pengawal tatanan konstitusional yang baru.
Di banyak negara di Eropa, aturan jurisdiksional yang luas memungkinkan tinjauan yudisial
yang abstrak dan akses untuk tinjauan oleh para aktor politik, seperti presiden, atau oleh faksi
minoritas melalui badan legislatif.51
Pengadilan di wilayah tersebut aktif dalam menginterpretasikan norma-norma
konstitusional baru di bawah konstitusi yang ada, di bawah mandat umum untuk menjunjung
kedaulatan hukum. Sebagai contoh adalah tinjauan Pengadilan Konstitusional Hungaria
terhadap hukum tentang kebijakan pengadilan yang dijelaskan di muka.52 Pengadilan
konstitusional memiliki potensi untuk membatasi kekuasaan negara dan mendefinisikan ulang
hak-hak individual, sehingga menciptakan budaya hak. Melalui ajudikasi transformatif, badan
pengadilan transisional menerapkan prinsip tinjauan yudisial yang aktif terhadap perubahan
normatif dan sistem kedaulatan hukum yang lebih liberal.
Praktik adjudikatoris transformatif memunculkan pertanyaan penting: dengan
anggapan bahwa badan pengadilan transisional menanggung beban transformasi kedaulatan
hukum, hingga sejauh mana praktik tersebut bersesuaian dengan peran badan pengadilan di
negara-negara yang demokrasinya sudah mapan? Di negara-negara demokrasi pada masa
biasa, pengambilan keputusan kehakiman yang aktif (activist judicial) biasanya dianggap tidak
sah, karena dua alasan. Pertama, retroaktivitas dalam pengambilan keputusan kehakiman
bertentangan dengan kedaulatan hukum sebagai kemapanan hukum.53 Kedua, pengambilan
keputusan kehakiman dianggap mengintervensi demokrasi; tidak seperti pengambilan
keputusan di badan legislatif, pengambilan keputusan kehakiman tidak memiliki legitimasi
yang didapatkannya dari proses yang demokratis.54 Pertanyaannya adalah apakah penolakan
yang berdasar pada kondisi normal tersebut bisa pula diterapkan pada ajudikasi masa transisi.
Pandangan kita tentang tempat yang tepat untuk melakukan penyusunan hukum
bergantung pada asumsi implisit tentang demokrasi dan pertanggungjawaban demokratik yang
tidak bisa begitu saja diterapkan terhadap rezim non-liberal atau rezim yang sedang bergeser
dari pemerintahan demikian. Di negara-negara demokrasi mapan pada masa biasa, pandangan
kita adalah bahwa penyusunan hukum transformatif harus dilakukan oleh badan legislasi, dan
bukan oleh ajudikasi. Badan pengadilan tidak membuat hukum, karena pembuatan hukum
dengan cara tersebut dianggap tidak sesuai dengan demokrasi, yaitu pembuatan hukum oleh
badan perwakilan dengan persetujuan mayoritas.55
50
Lihat Ethan Klingsberg, “Judicial Review and Hungary’s Transition from Communism to Democracy: The
Constitutional Court, the Continuity of Law, and the Redefinition of Property Rights”, Brigham Young University
Law Review 1992 (1992): 62 (membicarakan akses yang sangat terbuka yang ditimbulkan oleh aturan Hungaria
yang sangat permisif). Negara tersebut bukanlah satu-satunya di wilayah tersebut yang memperimbangkan
partisipasi para aktor politik dalam litigasi konstitusional.
51
Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism,” 186-87.
52
Lihat Judgment of March 5, 1992 (dikutip di catatan kaki 21 di muka).
53
Lihat R. M. Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 84.
54
Ibid., 84, 138.
55
Menyangkut paradigma tradisional tentang badan pengadilan, lihat umumnya Martin Shapiro, Courts: A
Comparative and Political Analysis (Chicago: University of Chicago Press, 1981). Lihat juga Mauro Cappelletti,
The Judicial Process in Comparative Perspective (New York: Clarendon Press, 1989), 31-34 (mengamati bahwa
para hakim harus “membuat hukum” dengan menafsirkannya namun membedakan tugas ini dari tugas para
legislator, yang bertindak dengan prosedur yang berbeda). Untuk pernyataan klasik tentang peran badan
pengadilan dalam demokrasi, lihat umumnya Alexander M. Bickel, The Least Dangerous Branch (New Haven:
17
Pada masa transisi, masalah legalitas jauh lebih signifikan. Masa-masa transformasi
politik sering kali disertai dengan perubahan legal radikal. Gelombang perubahan politik yang
paling mutakhir, yang berkorelasi dengan transformasi ekonomi (pada perubahan pascakomunis) menuntut adanya reformasi hukum secara besar-besaran. Masalah konvensional
tentang ketiadaan pertanggungjawaban demokratik yang ditimbulkan oleh pembuatan hukum
oleh badan yudisial menjadi tidak terlalu penting dalam masa gejolak politik. Pada masa
demikian, badan legislatif transisional sering kali tidak dipilih melalui pemilihan yang bebas,
dan juga tidak memiliki pengalaman dan legitimasi sebagaimana dimiliki badan serupa di
masa-masa normal.56
Satu alasan lain mengapa badan pengadilan tidak dianggap sebagai badan pembuat
hukum adalah ketiadaan kompetensi dan kapasitas institusionalnya. Masalah ini timbul,
misalnya, dalam perdebatan pasca-perang tentang pembentukan kedaulatan hukum. Menurut
pandangan positivis, beban transformasi hukum dianggap sepantasnya ditanggung oleh badan
legislatif, sementara pandangan hukum kodrat memberikan beban tersebut kepada ajudikasi.
Namun, perdebatan pasca-perang ini tidak cukup memasukkan konteks transisional di
dalamnya. Karena masa-masa perubahan politik biasanya disertai dengan gejolak hukum,
kontroversi dalam masa-masa tersebut sering kali dicirikan dengan ketiadaan hukum yang
relevan.57 Terlebih lagi kontroversi pada masa-masa tidak biasa tersebut sering kali perlu
diselesaikan dengan waktu sesingkat-singkatnya.
Sementara dalam masa biasa, pembuatan hukum dengan mempertimbangkan kasus
demi kasus tampaknya terlalu lambat dan terlalu fleksibel, pada masa transisi, pengambilan
keputusan hukum oleh badan pengadilan sering kali bisa lebih cepat daripada oleh badan
legislatif, yang biasa diperlambat oleh kurangnya pengalaman dan karena terlalu
kompromistis. Terlebih lagi, dalam konteks gejolak politik, badan pengadilan sering kali lebih
kompeten dalam membahas penyelesaian kontekstual, kasus demi kasus, terhadap kontroversikontroversi transisional.58 Memang, pengambilan keputusan yudisial memungkinkan
perubahan substansial dan menjadi ciri ambivalensi hukum pada masa-masa demikian.
Pertanyaan tentang institusi mana yang paling kompeten dan sah bersifat kontekstual dan
tergantung pada sejarah ketidakadilan di negara yang bersangkutan.
Terakhir, ajudikasi transformatif dapat memperbaiki badan pengadilan itu sendiri.
Dengan mengubah prinsip dan praktik ajudikatif, institusi yang pada masa sebelumnya tunduk
(compromised) secara politis atau ideologis dapat memperbaiki dirinya. Dalam kasus-kasus
high profile, sebuah badan pengadilan yang semula tunduk itu dapat mengubah dirinya dengan
mengubah prinsip ajudikasi yang ia gunakan. Mekanisme institusional perbaikan diri ini
terutama penting bila badan pengadilan semula mendukung pemerintahan yang represif.59
Yale University Press, 1986); Jesse H. Choper, Judicial Review and the National Political Process (Chicago:
University of Chicago Press, 1980); dan John Hart Ely, Democracy and Distrust: A Theory of Judicial Review
(Cambridge: Harvard University Press, 1980).
56
Pada awal pergeseran politik, parlemen transisional biasanya merupakan peninggalan dari masa represif
sebelumnya. Lihat Andrew Arato, “Dilemmas Arising from the Power to Create Constitutions in Eastern
Europe”, Cardozo Law Review 14 (1993): 674-75.
57
Untuk pembicaraan ilustratif tentang transisi Rusia menuju berkurangnya kekuasaan Negara, lihat Stephen
Holmes, “Can Weak-State Liberalism Survive?” (makalah dipresentasikan di Colloquium tentang Teori
Konstitusional di New York University School of Law, musim semi 1997, arsip penulis).
58
Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism”, 182-85.
59
Lihat misalnya Müller, Hitler’s Justice, 201 (membicarakan badan pengadilan yang terkompromi di Jerman
pasca-perang).
18
Namun, bahkan bila badan pengadilan bukanlah institusi yang kompromistis, masih ada
implikasi berguna lain dari ajudikasi transformatif.
Teori ajudikasi yang dikaitkan dengan pemahaman tentang kedaulatan hukum pada
masa biasa tidak dapat diterapkan pada masa transisi. Pandangan umum kita tentang sifat dan
peran ajudikasi berkait dengan asumsi awal tentang kompetensi dan kapasitas badan legislatif
dan pengadilan di masa biasa, yang tidak bisa diterapkan untuk masa-masa yang tidak stabil.
Kasus-kasus yang dibicarakan di muka menunjukkan peran luar biasa bagi pengadilan dengan
menjalankan prinsip ajudikasi transformatif. Pada masa perubahan politik, perhatian pada
demokrasi dan legitimasi, yang dalam kondisi normal akan membatasi ajudikasi yang aktif
(activist adjudication), malah akan mendukung ajudikasi seperti itu sebagai alternatif terhadap
politisasi yang lebih besar terhadap hukum.
Praktik Ajudikatif Transformatif: Beberapa Kesimpulan
Bab ini diawali dengan memaparkan bahwa terdapat dilema khusus tentang ketaatan terhadap
kedaulatan hukum pada masa-masa perubahan politik. Pemahaman umum tentang kedaulatan
hukum sebagai ketaatan terhadap hukum yang telah mapan mengalami ketegangan dengan
pemahaman transformatif terhadap kedaulatan hukum. Saya akan membahas prinsip normatif
manakah dari kedaulatan hukum yang dikaitkan dengan ajudikasi pada masa perubahan
politik.
Pada masa tidak biasa ini, seperti dibicarakan di muka, norma-norma kedaulatan
hukum tidaklah universal. Ketegangan yang timbul dari masalah ketaatan terhadap kedaulatan
hukum pada masa itu diselesaikan dengan sejumlah konsep mediasi. Legalitas pada masa
tersebut dikonstruksikan secara sosial; sebagiannya, dibuat oleh hakim. Eksplorasi terhadap
preseden-preseden pada masa itu menunjukkan bahwa pemahaman terhadap kedaulatan
hukum dikonstruksikan di dalam konteks transisional. Dengan mencegah politisasi hukum,
prinsip kedaulatan hukum ini memandu pengambilan keputusan hukum interim (sementara) di
jalan menuju demokrasi.
Pengakuan terhadap prinsip ajudikasi transformatif dalam masa transisi politik
memiliki implikasi yang signifikan terhadap teori hukum yang lazim tentang kedaulatan
hukum. Pertama, pengakuan terhadap prinsip tersebut dapat memberikan jawaban yang
memuaskan, ketika teori hukum yang lazim gagal memperhatikan signifikansi berbagai
pemahaman normatif tentang kedaulatan hukum dalam masa transisi. Selain itu, kedaulatan
hukum transisional merupakan kritik implisit terhadap teori-teori dominan tentang sifat dan
peran hukum. Dalam teori politik liberal, suatu pedoman tentang kedaulatan hukum adalah
bahwa pembuatan hukum melalui ajudikasi dianggap sebagai hal yang netral dan otonom dari
politik.60 Pemahaman liberal ini ditantang karena dengan memperhatikan kondisi di mana
hukum transformatif berperan, yang mendefinisikan kedaulatan hukum berdasarkan kaitan
konstruktifnya dengan politik di masa lalu.
Prinsip ajudikasi transformatif mungkin memberikan tantangan lebih serius bagi teori
hukum kritis. Teori hukum kritis sering kali dikritik karena terlalu jauh mereduksi kaitan
hukum dan politik. Dengan demikian, pendekatan teoretik ini sering kali tidak mampu
60
Lihat misalnya Ronald M. Dworkin, Law’s Empire (Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press,
1986); Bruce R. Douglass, Gerald M. Mara dan Henry S. Richardson, ed., Liberalism and the Good (New York:
Routledge, 1990).
19
menjelaskan mengapa, atau dalam kondisi mana, hukum memiliki klaim terhadap masyarakat.
Meskipun teori hukum kritis mengklaim bahwa terdapat penurunan penurunan kedaulatan
hukum secara umum,61 pembicaraan di muka menunjukkan bahwa hal ini paling mungkin
terjadi dalam konteks politik transisi. Kedaulatan hukum transisional menegaskan peran bagi
ajudikasi yang sangat terpolitisasi. Dari perspektif teori hukum kritis, tantangan yang
diberikan oleh praktik ajudikatoris transformatif yang dibicarakan di sini adalah tantangan
yang diberikan oleh pembatasan aksi politik yang dilakukan oleh hukum.62 Jurisprudensi pada
masa tersebut membentuk transisi. Pemahaman normatif tentang hukum bervariasi secara luas
dengan konteks politik transisi. Dalam negara-negara demokrasi transisional, terdapat tempat
dan peran untuk keputusan hukum yang dipolitisasi secara terbatas. Proses legal
memungkinkan perubahan rasional dan terukur.
Di luar ajudikasi, perubahan normatif yang membangun legalitas baru dicapai dengan
bentuk-bentuk hukum lainnya. Jadi, peran sanksi pidana yang biasanya terbatas untuk
menghukum kesalahan individual lebih besar dalam masa transisi, seperti juga respon legal
terhadap kejahatan negara dan dengan demikian menyerang akar tidak legitimnya
pemerintahan pendahulu. Respon legal demikian berfungsi untuk mengutuk dan menunjukkan
penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Pada bab berikut ini, saya akan beralih ke
penggunaan peradilan pidana dalam masa transformatif.
61
Lihat Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition (New York: Harper and Row, 1978),
4-5; Richard L. Abel, ed., The Politics of Informal Justice (New York: Acdemic Press, 1982), 267; David M.
Trubek, “Turning Away from Law?” Michigan Law Review 82 (1984): 825.
62
Untuk eksplorasi tentang berbagai pemikiran yang bertentangan mengenai kedaulatan hukum dari perspektif
liberalisme dan teori hukum kritis, lihat umumnya Andrew Altman, Critical Legal Studies: A Liberal Critique
(Princenton: Princenton University Press, 1990).
20
Bab 2
Peradilan Pidana
Dalam bayangan publik, keadilan transisional lazim dikaitkan dengan pengadilan dan
penghukuman penguasa sebelumnya. Simbol-simbol kuat revolusi Inggris dan Prancis dari
pemerintahan monarki ke republik adalah pengadilan Raja Charles I dan Louis XVI. Setengah
abad setelah terjadinya simbol utama kekalahan Nazi di Perang Dunia Kedua adalah
pengadilan Nuremberg. Kemenangan demokrasi terhadap pemerintahan militer di transisi
Eropa Selatan diwakili oleh pengadilan terhadap para kolonel di Yunani. Pengadilan junta
Argentina menandakan akhir puluhan tahun pemerintahn represif di seluruh Amerika Latin.
Gelombang transisi kontemporer dari pemerintahan militer, di Amerika Latin dan Afrika,
demikian pula dari pemerintahan komunis di Eropa Tengah dan bekas blok Soviet, telah
memunculkan kembali perdebatan tentang apakah perlu dilakukan penghukuman.
Penghukuman mendominasi pemahaman kita tentang keadilan transisional. Bentuk
hukum terkeras ini melambangkan pertanggungjawaban dan kedaulatan hukum; tetapi,
dampaknya jauh melebihi peristiwa itu sendiri. Tinjauan terhadap masa transisi menunjukan
bahwa peradilan pidana yang dijalankan oleh pemerintahan pengganti atau suksesor
menimbulkan banyak pertanyaan sukar bagi masyarakat yang telah terkena akibat dari
kekerasan masa lalu itu, sehingga sering kali peradilan tersebut tidak dilaksanakan. Perdebatan
tentang peradilan pidana transisional diwarnai oleh dilema yang sukar: menghukum atau
memberikan pengampunan? Apakah penghukuman adalah tindakan yang melihat ke belakang
sebagai pembalasan, atau ekspresi pembaruan kedaulatan hukum? Siapa yang paling perlu
bertanggung-jawabuntuk represi yang telah terjadi? Sejauh mana tanggung jawab terhadap
represi dapat dibebankan kepada individu, dibandingkan kepada kolektif, rezim atau bahkan
seluruh masyarakat?
Dilema utama yang terkait erat dengan transisi adalah bagaimana cara bergeser dari
pemerintahan non-liberal dan sejauh mana pergeseran ini dipandu oleh pandangan
konvensional tentang kedaulatan hukum dan tanggung jawab individual yang dikaitkan
dengan demokrasi yang sudah mapan. Ketegangan inti yang timbul di sini adalah tentang
penggunaan hukum untuk memajukan transformasi, yang dipertentangan dengan perannya
dalam ketaatan terhadap legalitas konvensional. Sejauh mana peradilan pidana transisional
dikonseptualkan dan diajudikasi sebagai hal yang kontekstual terhadap masyarakat tertentu,
atau dipandu oleh kedaulatan hukum biasa yang dipergunakan demokrasi mapan? Dilema
utama ini bisa diperluas ke banyak dilema lainnya. Apa tatanan legal yang paling relevan?
Militer atau sipil? Internasional atau nasional? Dan, tanpa mempedulikan apa pun tatanan
legal yang relevan, sampai sejauh manakah pemahaman tentang pertanggungjawaban pidana
diproyeksikan ke belakang? Apakah seluruh proyek keadilan ini sama sekali bersifat ex post?
Siapa yang diminta pertanggungjawaban, dan untuk pelanggaran apa? Dilema-dilema transisi
ini dibicarakan dalam bab ini. Ini dibicarakan, dan dicapai kompromi transisioanl dalam
bentuk “sanksi pidana terbatas”, yang pada hakikatnya adalah bentuk penghukuman yang
simbolis.
1
Dasar Argumen Peradilan Pidana dalam Masa Transisi
Mengapa harus menghukum? Argumen utama untuk memberikan hukuman pada masa gejolak
politik bersifat konsekuensional dan melihat ke depan. Dikatakan bahwa dalam masyarakat
dengan masa lalu yang buruk yang baru saja keluar dari pemerintahan yang represif,
pengadilan suksesor memberikan dasar yang kuat untuk membangun tatanan liberal yang baru.
Pada masa-masa itu, sebagai variasi justifikasi hukum “utilitarian” yang konvensional, dasar
bagi memberikan hukuman adalah kontribusinya bagi kebaikan bersama.1 Namun tidak seperti
argumen konvensional untuk menghukum pada masa normal yang cenderung berfokus pada
pelaku atau dampak hukuman bagi masyarakat, misalnya sebagai penggentar, argumen untuk
menghukum pada masa transisi memiliki bentuk lain. Alih-alih memberikan argumen untuk
menghukum secaraafirmatif, argumennya diberiakan secara negatif – apa yang akan terjadi
bila tidak ada penghukuman? Di sinilah konteks politik khas dari masa transisi memainkan
peranan.
Sementara argumen menentang impunitas, yaitu argumen tentang akibat dari
kegagalan memberikan hukuman, juga digunakan pada masa biasa,2 argumen ini menjadi
lebih kuat pada masa transisi. Karena, dengan kondisi ketiadaan hukum pada masa
sebelumnya, jauh lebih banyak harapan terhadap tindakan-tindakan menuntut
pertanggungjawaban berdasarkan kedaulatan hukum. Ketidakadilan di masa lalu ini, perlu
diingat, sebagian besar dipicu dan didukung oleh negara. Dengan latar belakang ini, argumen
menentang impunitas mendapat arti yang baru. Dalam konteks ini, pelaksanaan peradilan
pidana dianggap merupakan cara terbaik untuk memperbaiki “keadilan” negara di masa lalu
dan memajukan transformasi normatif ke sistem yang taat kedaulatan hukum. Rezim yang
represif sering kali dicirikan oleh tindakan pidana, seperti penyiksaan, penahan secara
sewenang-wenang, penghilangan, eksekusi di luar hukum, yang semuanya didukung oleh
negara. Bahkan, bila kejahatan di masa lalu dilakukan oleh pelaku privat, negara sering kali
masih terimplikasi, baik melalui kebijakan penindasan, kegagalannya melindungi warga
negara, atau dalam menutupi tindakan pidana dan impunitas. Konteks transisi, terutama
tentang keterlibatan negara dalam tindakan pidana, memberikan argumen kuat untuk
menghukum dibandingkan impunitas. Namun, paradoks terjadi ketika konteks transisional
tersebut menimbulkan dilema signifikan terhadap penggunaan hukum pidana sebagi respon
yang efektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara.
Pemberian hukuman memiliki peran historis untuk melaksanakan norma-norma
kedaulatan hukum dalam konteks kesalahan negara di tingkat internasional. Argumen
mendasar untuk pengadilan suksesor memiliki sejarah yang panjang hingga abad pertengahan,
yang mengambil dari norma-norma hukum internasional konsep tentang keadilan terhadap
kekerasan politik yang tidak sah. Pengadilan sudah lama digunakan untuk menerapkan normanorma hukum internasional tentang ketidakadilan dalam perang. Pembebanan tanggung jawab
pidana terhadap pemimpin politik pendahulu karena mengadakan perang yang melanggar
hukum, atau mirip dengan itu, pemerintahan negara yang buruk, adalah benang merah
pengadilan suksesor terhadap tiran-tiran polis yang dijelaskan oleh Arisoteles dan pengadilan
1
Lihat Cesare Beccaria, On Crimes and Punishments and Other Writings, Cambridge: Cambridge University
Press, [1769], 1995; Jeremi Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation Vol. 2, Darien,
Conn: Hafner Publishing [1823], 1970 (berteori bahwa hukuman diperlukan untuk kebaikan bersama).
2
Lihat Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, New York: Oxford University Press, 1979, 400-01.
2
Raja Charles I serta Louis XVI, hingga pengadilan serupa pada masa kontemporer: Pengadilan
Nuremberg, pengadilan kejahatan perang Tokyo, pengadilan kolonel di Yunani dan
pengadilan junta militer Argentina.
Dalam sejarahnya, pengadilan suksesor berdasarkan pada konsep tirani yang
didasarkan pada pengkhianatan; pihak yang melanggar hukum dalam perang adalah pihak
yang kalah.3 Pemahaman awal tentang kaitan hukum pada keadilan ini diformulasikan kembali
di Nuremberg, ketika pengadilan digunakan untuk memberikan pesan normatif yang jauh lebih
besar daripada sekadar pengadilan terhadap rezim asing yang terkalahkan, untuk membedakan
kekerasan yang “adil” dari yang “tidak adil”. Pada masa kontemporer, peradilan pidana
suksesor digeneralisasikan keluar dari penggunaannya semasa pasca-perang ke transisi lain, di
mana kekuatan normatif utamanya adalah pengutukan terhadap kekerasan politik di masa
sebelumnya. Delegitimasi terhadap kekerasan yang dilakukan rezim pendahulu ini berada di
luar domain pengadilan pasca-perang. Pengadilan terhadap para pimpinan politik digunakan
untuk mengkonstruksikan arti ketidakadilan negara. Pemberian hukuman didukung dengan
dasar bahwa hal tersebut memajukan identitas politik suatu masyarakat dalam transisi sebagai
pemerintahan demokratis oleh negara yang menaati hukum. Teori kontemporer biasanya
menjustifikasi penghukuman dalam negara-negara transisi karena potensi perannya untuk
membangun tatanan politik baru yang demokratis.4
Pengadilan suksesor dikatakan memiliki fungsi politik untuk menarik garis batas antarrezim, memajukan sasaran politik transisi tersebut dengan mendelegitimasi rezim pendahulu,
dan melegitimasi rezim penggantinya. Pengadilan Raja Charles I dan Louis XVI, demikian
pula Nuremberg, pada dasarnya adalah tindakan politik. Seperti ditulis Michael Walzer,
“Kaum revolusioner harus menamatkan rezim lama: ini berarti bahwa mereka harus
melakukan proses ritual untuk ... secara terbuka mengutuk ideologi rezim lama.”5 Tentang
pengadilan Raja Louis XVI, Walzer menyatakan bahwa “regisida secara terbuka merupakan
cara yang amat kuat untuk memecahkan mitos-mitos rezim lama, dan dengan demikian,
merupakan titik berdirinya sistem yang baru.”6 Pengadilan terhadap raja tersebut memiliki arti
politik, dengan menunjukkan bahwa ia tidak berada di atas hukum.7 Melalui pengadilan
suksesor, hukum menerapkan kesetaraan semua orang di muka hukum, dan dengan demikian
melakukan pergeseran normatif yang mendasar dalam pergeseran dari monarki ke republik.
Pengadilan suksesor juga dibela dengan dasar serupa oleh Judith Shklar: “Pengadilan
sebenarnya bisa mencapai tujuan liberal, dengan mendorong nilai-nilai legalistik sedemikian
rupa untuk memberikan kontribusi pada politik konstitusional dan sistem hukum yang baik.”8
Dalam perkataan Otto Kirchheimer, pengadilan memungkinklan “pembangunan tembok yang
permanen dan jelas antara awal yang baru dan tirani yang lama.”9
3
Lihat David Lagomarsino dan Charles T. Wood, The Trial of Charles I: A Documentary History, Hanover, N.H:
University Press of New England, 1989, 25; Michael Walzer (ed.), Regicide and Revolution: Speeches at the
Trial of Louis XVI, terjemahan Marian Rothstein, New York: Cambridge University Press, 1974, 88.
4
Untuk argumen kontemporer, lihat Diane F. Orentlicher, “Settling Accounts: The Duty to Prosecute, Human
Rights Violations of a Prior Rezim”, Yale Law Journal 100 (1991): 2537.
5
Walzer (ed.), Regicide and Revolution, 88.
6
Ibid., 5.
7
Ibid., 78.
8
Judith N. Shklar, Legalism, Morals, and Political Trials, Cambridge: Harvard University Press, 1964, 145.
9
Otto Kirchheimer, Political Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends, Wesport, Conn:
Greenwood Press, 1961, 308.
3
Dalam banyak teori politik yang diterima, pengadilan suksesor dianggap memiliki
potensi untuk berperan penting dalam menarik garis antara tirani lama dan awal pemerintahan
baru. Peradilan pidana menawarkan legalisme normatif yang membantu menjembatani masamasa lemahnya kedaulatan hukum. Proses pengadilan memberikan cara untuk
mengekspresikan secara terbuka kutukan terhadap kekerasan di masa lalu dan legitimasi
kedaulatan hukum yang diperlukan untuk konsolidasi demokrasi di kemudian hari. Peradilan
pidana suksesor biasanya dijustifikasi oleh tujuan konsekuensialis tentang pembentukan
kedaulatan hukum dan konsolidasi demokrasi.10 Pandangan demikian yang khas pada masa
transisi ini dijelaskan di sini sebagai justifikasi “demokratis” terhadap hukuman yang
utamanya berdasar pada tujuan transisi. Proses peradilan pidana tepat digunakan untuk
menekankan pesan inti liberal tentang keutamaan hak dan kewajiban individual.
Peran pengadilan suksesor pada masa-masa demikian tidaklah terlalu mendasar, namun
lebih sebagai cara transisi. Penggunaan peradilan pidana untuk menarik garis antar-rezim
menimbulkan dilema yang sukar tentang kaitan antara hukum dan politik. Sementara
pengadilan dalam konteks politik ditujukan untuk mencapai tujuan politik – berkaitan dengan
pesan paling utama dari keadilan transisional untuk memberikan dasar bagi transisi politik,
untuk membantah norma-norma politik pendahulu dan untuk membangun tatanan politik yang
baru – hal-hal tersebut bertentangan dengan pemahaman konvensional tentang kedaulatan
hukum. Dilema inti tersebut berkaitan dengan ciri utama transisi: konteks politik pergeseran
normatif. Dilema yang ditimbulkan oleh pergeseran politik dari pemerintahan non-liberal
menjadi liberal ini sangat terkait dengan masalah retroaktivitas berbagai norma yang relevan
selama perubahan rezim dan penerapan aturan-aturan normatif rezim yang baru terhadap
tindakan rezim lama. Bila dilema ini diteliti lebih lanjut, konsekuensinya menjadi amat
paradoksal: agar pengadilan dapat memenuhi potensi konstruktif mereka, prosesnya harus
dijalankan dengan legalitas penuh seperti pada negara demokrasi yang telah mapan di masa
biasa, dan bila proses pengadilan tidak berjalan dengan adil, dampaknya bisa menjadi negatif,
memberikan pesan keadilan politis yang keliru dan mengancam demokrasi yang baru tumbuh.
Dengan demikian, pengadilan suksesor berada pada batasan yang tipis antara tercapainya
ketaatan pada kedaulatan hukum, atau risiko berlanjutnya keadilan politis. Kesukaran untuk
menyelesaikan dilema yang ditimbulkan oleh penggunaan hukum pidana untuk tujuan
kedaulatan hukum transisional ini menjelaskan mengapa banyak rezim pengganti yang tidak
menggunakan cara ini, dan menjelaskan timbulnya bentuk-bentuk sanksi pidana yang lebih
“terbatas.”
Pesan normatif transisional ini paling jelas terdengar melalui tatanan hukum
internasional, karena kekuatannya terletak pada mekanisme normatif dengan kapasitas untuk
menanggapi kekerasan politik luar biasa yang berada di luar tatanan hukum biasa. Dengan
demikian, ia cocok untuk mengekspresikan pesan transisional dari pergeseran normatif.
Anehnya, kekuatan ini merupakan sekaligus kelemahannya, karena sifatnya yang tidak biasa
ini, hingga titik tertentu, menempatkan di luar legalitas konvensional, dan dengan demikian,
tidak menaati pemahaman normal tentang kedaulatan hukum dalam memperkuat transformasi
demokratik.
10
Lihat Ruti Teitel, “How Are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of Past
Human Rights Abuses?” (makalah dipresentasikan sebagai latar belakang untuk diskusi di Council on Foreign
Relations, mengkritik bahwa demokrasi menjustifikasi kewajiban untuk menghukum), New York, 17 Mei 1990.
4
Warisan Nuremberg
Sejak Perang Dunia Kedua, pandangan tentang keadilan suksesor telah didominasi oleh nilainilai yang didapatkan dari pengadilan Nuremberg. Signifikansi pengadilan tersebut paling
mudah ditempatkan dalam konteks sejarah dan politisnya, dengan melihat keadilan
transisional pasca-Perang Dunia Pertama dan kegagalan kebijakan pengadilan nasionalnya.11
Kebijakan keadilan di Versailles melatarbelakangi kebijakan pengadilan di Nuremberg dan
menjelaskan mengapa pengadilan nasional dianggap terlalu politis dan tidak dapat bekerja.
Kegagalan pengadilan nasional pasca-Perang Dunia Pertama dianggap bertanggung-jawab
untuk timbul kembalinya agresi Jerman. Rasa bersalah yang berkaitan dengan perang dan
ditanggung oleh seluruh negeri dianggap mencegah transisi menuju demokrasi yang
berkelanjutan. Pandangan bahwa keadilan nasional bersifat terlalu politis ini menjadi latar
belakang kebijakan pasca-perang sebelumnya, dengan akibat yang akan terlihat sepanjang sisa
abad ke-20.
Melalui Pengadilan Nuremberg, inti dari respon pasca-perang menjadi norma yang
diterima. Seperti setelah Perang Dunia Pertama, mekanisme pertanggungjawaban adalah
pengadilan, dan pelanggaran utama yang dipermasalahkan adalah agresi. Namun, kesamaan
antara kedua pengadilan tersebut hanya sampai di situ. Perbedaan signifikan dari Nuremberg
adalah pertanggungjawaban tetap ada di tangan pihak sekutu; jurisdiksinya bukan nasional,
melainkan internasional. Dan, alih-alih menghukum sebuah negara, tujuannya adalah
membebankan pertanggungjawaban individual. Namun, kita akan melihat bahwa realitas
pengadilan Nuremberg bergeser dari mandatnya semula.
Warisan Nuremberg menjadi lebih rumit dengan celah yang tampak antara idealisasi
ilmiah tentang preseden tunggal ini dan realitas sejarahnya: setengah abad kemudian,
pembicaraan tentang pengadilan tersebut masih terdengar. Bagaimana keadilan dicapai di
Nuremberg, termasuk ketidaksesuaian dengan prosedur umum, menjadi identik dengan
keadilan suksesor. Sebuah anomali hukum pada waktu itu, pengadilan Nuremberg masih tetap
merupakan preseden yang menjadi anomali, dengan melihat praktik-praktik suksesor lainnya
di abad ini. Namun, satu cara untuk memahami signifikansi Nuremberg sebagai preseden
adalah dengan membedakan berbagai pemahaman tentang preseden tersebut, misalnya antara
Nuremberg sebagai proses, dalam sidang Tribunal Militer Internasional dan proses peradilan
pidana internasional, dan aspek doktriner, yaitu keputusan-keputusan yang disahkan. Diawali
dengan aspek preseden persidangan, di sinilah presedennya terlemah. Dalam lima puluh tahun
setelah Nuremberg, meskipun sering kali dibicarakan tentang baiknya tribunal serupa,
terutama di masa perang, jarang sekali dilaksanakan proses pengadilan, meskipun,
sebagaimana kita mendekati akhir abad ke-20, mulai tercipta momentum untuk pembentukan
pengadilan pidana internasional yang permanen.12
11
Untuk tinjauan tentang pengadilan-pengadilan nasional yang gagal, lihat George Gordon Battle, “The Trials
Before the Leipsic Supreme Court of Germans Accused of War Crimes”, Virginia Law Review 8 (1921): 1.
12
Komisi Persiapan Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional telah menyelesaikan tugasnya dengan
mengesahkan kerangka kerja untuk Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional. Lihat U.N. doc.
A/AC.249/1998/CRP.6-18, U.N. doc. A/AC.249/1998/CRP.21, U.N. doc. A/AC.249/1998/CRP.19, U.N. doc.
A/AC.249/1998/CRP.3/Rev.1. Hingga diterbitkannya buku ini [dalam versi Inggris, ed.], Sidang Diplomatik
Tingkat Tinggi PBB untuk Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional telah bersidang di Roma antara 15 Juni
sampai 17 Juli 1998, untuk memfinalkan dan menyetujui konvensi untuk pembentukan pengadilan tersebut. Lihat
5
Nilai kuat preseden Nuremberg bukanlah pada proses, namun pada cara ia membentuk
pemahaman umum tentang peradilan pidana transisional. Pada lima puluh tahun terakhir,
Nuremberg membentuk pemahaman ilmiah dominan tentang peradilan suksesor, dengan
pergeseran pendekatan dari proses nasional ke proses internasional, juga dari kolektif ke
individual. Peradilan pidana suksesor model Nuremberg merupakan forum yudisial, prosedur
pidana multinasional, dan juga pelanggaran seperti “kejahatan terhadap kemanusiaan” yang
sama sekali baru dan menginternasional. Pendekatan keadilan suksesor ini sangatlah
internasional berkaitan dengan pelanggaran yang relevan, dasar jurisdiksi dan prinsip legal.
Sebuah tinjauan historiografis menunjukkan dampak kuat preseden tersebut pada
literatur ilmiah, terutama tentang bagaimana pertanggungjawaban dikonseptualisasi dalam
hukum internasional. Tinjauan terhadap bibliografi tentang pertanggungjawaban bagi
kejahatan berat oleh negara menunjukkan bahwa literatur tentang respon internasional
terhadap kekejaman sejak Perang Dunia Kedua, terutama dalam bahasa Inggris, berkembang
dengan pesat, sementara studi komparatif tentang pengalaman nasional cenderung diabaikan.13
Secara historis, satu alasan untuk banyaknya studi tentang keadilan suksesor pasca-perang
adalah bahwa ia mencerminkan perkembangan hukum internasional yang paralel. Di masa
pasca-perang terjadi kerja sama yang tanpa preseden dalam Tribunal Militer Internasional di
Nuremberg, terbentuknya PBB, dan juga pengesahan berbagai konvensi dan resolusi tentang
kejahatan internasional.
Beratnya pelanggaran yang dilakukan para Nasional Sosialis (Nazi) dan kolaborator
mereka mendorong tercapainya konsensus internasional yang sebelumnya tidak pernah ada.
Optimisme dan momentum dari konsensus baru tentang kejahatan internaional tersebut, dan
juga kerjasama internasional dalam proses pengadilan, menimbulkan harapan untuk
terbentuknya badan hukum pidana internasional tentang penindasan oleh negara, yang akan
dilaksanakan oleh suatu tribunal internasional. Literatur hukum mencerminkan kemajuan
dalam struktur hukum internasional dan keputusan-keputusannya. Literatur hukum
internasional yang tumbuh pesat tentang respon terhadap penindasan oleh negara
mencantumkan tema-tema dan istilah dari suatu hukum pidana internasional yang mulai
tumbuh: dari cara pendefinisian kejahatan, signifikansi Tribunal Militer Internasional,
ekspansi jurisdiksi terhadap tindakan-tindakan tertentu, dan mungkin yang paling penting,
timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara yang baru dalam komunitas internasional.
Semua ini menjadi bidang kajian penting yang berlanjut hingga kini.
Namun justifikasi historis untuk menempatkan keadilan suksesor dalam kerangka
hukum internasional kini cenderung berkurang. Harapan masa pasca-perang untuk
berkembangnya hukum pidana internasional hingga kini belum terpenuhi. Antusiasme yang
muncul bersamaan dengan kemajuan hukum internasional menurun dengan kesadaran tentang
umumnya Cristopher Keith Hall, “The First Two Sessions of the U.N. Preparatory Commitee on the
Establishment of an International Criminal Court”, American Journal of International Law 91 (1997): 177; James
Crawford, “The ILC Adopts a Statute for an International Criminal Court, American Journal of International
Law 89 (1995): 404 (membicarakan rancangan statuta Komisi Hukum International [ILC] untuk membentuk
pengadilan pidana internasional); Bernhard Graefrath, “Universal Criminal Jurisdiction and an International
Criminal Court”, European Journal of International Law 1 (1990): 67 (membicarakan usaha PBB untuk
membentuk pengadilan pidana internasional). [Mahkaham yang dimaksud itu, yaitu Mahkamah Pidana
Internasional, saat ini telah didirikan, ed.]
13
Lihat Norman E. Tutorow (ed.), War Crimes, War Criminals and War Crimes Trials: An Annotated
Bibliography and Source Book, New York: Greenwood Press, 1986.
6
kurang efektifnya mekanisme internasional untuk merespon kekejaman. Sistem penghukuman
internasional (international penal law) tetap berada pada kondisinya yang tidak berkembang:
masih belum ada sistem hukum pidana internasional (international criminal code). Dan,
meskipun berulang kali diserukan pembentukan pengadilan pidana internasional atau bahkan
jurisdiksi internasional, forum tersebut masih belum dibentuk. Baru belakangan ini timbul
konsensus di masyarakat internasional yang mendukung prinsip pengadilan pidana
internasional yang permanen untuk dibentuk sebelum akhir abad ke-20.14
Namun, pemberian jurisdiksi kepada badan internasional terhadap pelanggaran pidana
selain genosida masih ditentang oleh banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Bahkan
dalam kontroversi hukum internasional yang berkaitan dengan hal-hal non-pidana, di mana
jurisdiksi internasional telah disepakati, tampaknya tidak akan tercapai kesepakatan.15 Dengan
demikian, kejahatan internasional yang telah didefinisikan belum tentu disertai oleh jurisdiksi
universal. Dengan ditempatkannya negara di Mahkamah Internasional sebagai aktor dan
dengan intensif untuk menjadikan negara tetap kebal terhadap tuntutan, struktur hukum
internasional kini belum membantu pelaksanaan konvensi menentang genosida dan jaminan
lainnya dari hukum internasional. Literatur yang menyerukan penambahan norma-norma
internasional dan mekanisme penerapan jauh lebih maju daripada parameter konsensus pascaperang dan sistem hukum internasional yang ada.16 Celah antara definisi kejahatan menurut
hukum internasional dan mekanisme penerapannya masih tetap lebar. Namun, meskipun
dengan sifatnya yang luar biasa, hukum internasional memberikan panduan normatif yang
sedikit banyak memediasi banyak dilema keadilan transisional.
Dilema Transisional dan Pergeseran Paradigma Nuremberg
Paradigma keadilan dan istilah-istilah hukum internasional yang diciptakan di Nuremberg,
meskipun memiliki kelemahan, masih tetap menjadi kerangka perdebatan tentang keadilan
suksesor. Dalam sistem hukum internasional, dilema keadilan suksesor berhasil diselesaikan.
Pandangan tentang ketidakmampuan keadilan nasional melepaskan diri dari politik timbul dari
sejarah kebijakan pasca-Perang Dunia Pertama, dengan dampak yang terasakan di kemudian
hari. Secara abstrak, dilema keadilan suksesor tampaknya paling bisa diselesaikan dengan
merujuk pada sistem hukum yang otonom. Sementara dalam skema hukum nasional,
pertanyaan tentang keadilan tampaknya tidak bisa dilepaskan dari politik, dari perspektif
hukum internasioanal, pertanyaan tentang keadilan dapat dipisahkan dari politik
internasional.17 Bahkan bila peradilan internasional seluruhnya bersifat ad hoc, seperti tentang
kekejaman dalam konflik Balkan, paling tidak ia dianggap kurang politis dibandingkan
alternatif-alternatif lainnya. Hukum internasional dianggap bisa mengangkat keadilan dari
konteks nasionalnya yang terpolitisasi.
Hukum Internasional dan Dilema Keadilan Retroaktif
14
Lihat catatan kaki 12 di atas.
Sebuah contoh yang buruk adalah penolakan Amerika Serikat terhadap jurisdiksi Mahkamah Internasional
dalam kasus yang diajukan Nikaragua. Lihat Nicaragua v. United States, 1984 ICJ 392 (1984).
16
Lihat Aryeh Neier, War Crimes: Brutality, Genocide, Terror, and the Struggle for Justice, New York: Times
Books, 1998.
17
Untuk komentator dengan posisi ini, lihat misalnya Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the
Banality of Evil, New York: Penguin Books, 1964.
15
7
Dilema transisional yang utama adalah bagaimana mengkonsepkan keadilan dalam konteks
pergeseran normatif besar-besaran. Masalah ini diredam oleh hukum internasional, karena
hukum internasional memberikan kontinuitas dalam hukum, dan terutama, standar
pertanggungjawaban. Jadi, pemantapan nilai-nilai hukum internasional pada masa pascaperang dianggap memberikan dasar jurisdiksional yang melampaui batasan hukum pidana
domestik. Hukum internasioanal tampaknya memberikan cara untuk mengatasi masalah
retrospektivitas yang endemik dalam keadilan transisional. Standar dan forum internasional
menjunjung kedaulatan hukum, sementara memenuhi pula prinsip keadilan dan imparsialitas.
Nilai aksi legal internasional yang mengikat dan menjadi preseden sering kali dianggap lebih
tinggi daripada tindakan domestik. Perbedaan hukum domestik berarti bahwa kejahatankejahatan tertentu akan bisa dihukum di negara-negara tertentu, namun tidak di negara
lainnya. Terlebih lagi, kejahatan yang benar-benar mengerikan, seperti pembantaian massal,
tidak bisa ditanggapi dengan baik oleh hukum nasional, karena kejahatan demikian
dikonseptualkan secara amat berbeda dengan pelanggaran serupa dalam hukum nasional.
Kejahatan-kejahatan tertentu, seperti penyiksaan, sering tidak bisa ditanggapi dengan
memuaskan atau tidak diakui oleh hukum nasional, meskipun gerakan untuk mencantumkan
standar-standar hukum internasional ke dalam hukum domestik mungkin dapat meredam
masalah ini. Hukum pidana internasional memberikan cara yang jelas untuk
mengkonseptualkan kemungkinan paradoksal tentang pertanggungjawaban rezim yang jahat di
bawah hukum.
Itulah sebabnya hukum pidana internasional membangun analogi historis keadilan
pasca-perang yang mendominasi pengadilan Nuremberg. Ia mendefinisikan keadilan di
Nuremberg, dengan pelanggaran yang paling utama: melakukan peperangan. Dan, menurut
piagam pembentukannya, tujuan pengadilan tersebut adalah untuk mengadili penjahatpenjahat perang terpenting untuk pelanggaran – yang terkait dengan perang. Dan forum untuk
pengadilan tersebut berbentuk tribunal militer internasional, dan pelanggaran utamanya adalah
agresi. Bahkan “kejahatan terhadap kemanusiaan”, kekejaman yang dilakukan terhadap warga
sipil, hanya diadili di Nuremberg apabila terkait dengan perang. Batasan yang penuh kehatihatian dalam pelaksanaan tribunal ini mempertahankan pandangan ketidakadilan negara
sebagai ketidakadilan yang dilakukan oleh negara asing. Garis tipis yang membatasi
pengadilan Nuremberg ini akan memiliki dampak yang akan membatasi potensi preseden
tersebut bagi keadilan transisional.
Dilema Kejahatan Dilakukan Negara tetapi Pertanggungjawabannya Bersifat Individual
Peradilan pidana transisional menimbulkan dilema besar tentang bagaimana membebankan
pertanggungjawaban pidana untuk pelanggaran-pelanggaran yang mengimplikasi negara
dalam kebijakan represif. Jurisprudensi internasional memberikan standar dalam bentuk
prinsip-prinsip Nuremberg. Diformulasikan setelah pengadilan tersebut atas permintaan
Sidang Umum PBB, “Prinsip Nuremberg” merupakan pemurnian dari keputusan-keputusan di
Nuremberg dan merupakan titik penting dalam konseptualisasi pertanggungjawaban untuk
kejahatan negara. Untuk pertama kalinya, tribunal dan pengadilan-pengadilan yang
menyusulnya secara jelas menyatakan bahwa tanggung jawab untuk kekejaman bisa
dibebankan kepada individu menurut hukum internasional: “Semua orang yang melakukan
8
tindakan yang merupakan kejahatan menurut hukum internasional harus bertanggung-jawab
dan dengan demikian mendapat hukuman”.18
Lebih lanjut lagi, dengan menolak pembelaan tradisional tentang tanggung jawab
individu terhadap kekejaman, Nuremberg secara dramatis memperluas potensi
pertanggungjawaban individual untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan negara. Sementara,
secara tradisional, kepala negara memiliki imunitas sebagai pemegang kedaulatan menurut
Prinsip Nuremberg, para pejabat publik tidak bisa melakukan pembelaan serupa berdasarkan
posisi jabatan mereka, namun tetap harus bertanggung-jawab atas perbuatan pidana mereka.19
Meskipun menurut aturan militer tradisional dalam struktur komando, “ketaatan pada
perintah” merupakan pembelaan, menurut Prinsip Nuremberg, orang yang melakukan
tindakan berdasarkan perintah dapat dituntut pertanggungjawabannya.20 Dengan
menghilangkan pembelaan “tindakan negara” dan “perintah atasan”, Prinsip Nuremberg
memberikan kejelasan pada kaburnya pertanggungjawaban yang merupakan ciri kejahatan
yang dilakukan di bawah rezim totaliter. Di bawah hukum perang, prinsip
pertanggungjawaban komando memberikan dasar untuk pembebanan tanggung jawab
terhadap atasan untuk pelanggaran bawahan. Dasar ini diperkuat oleh Prinsip Nuremberg yang
mencabut pembelaan imunitas dari kepala-kepala negara.
Titik ekstrem dalam pengadilan berdasar status setelah Nuremberg tergambar dalam
pengadilan kejahatan perang Tokyo untuk kekejaman yang dilakukan di Filipina, di mana
prinsip pertanggungjawaban komando diterapkan secara luas. Dalam pengadilan Tokyo,
Jenderal Tomoyui Yamashita dianggap bertanggung-jawab atas tindakan kekejaman yang
dilakukan pasukannya, dijatuhi vonis dan dieksekusi – semuanya tanpa bukti keterlibatan
personal atau bahkan pengetahuan terhadap tindakan yang dilakukan bawahannya. Namun,
pengadilan yang membahas kasusnya menganggap bahwa “ia seharusnya mengetahui”
pelanggaran hukum perang yang dilakukan di wilayah komandonya.21 Dari titik pandang
sejarah, standar kelalaian untuk pertanggungjawaban komando dalam kasus Yamashita
menjadi sui generis, suatu titik ekstrem dalam konsepsi pertanggungjawaban atasan untuk
18
PBB, Sidang Umum, International Law Commission: Report on the Principles of the Nuremberg Tribunal,
Prinsip I, A/1316 (1950).
19
Ibid. Prinsip III dari Prinsip Nuremberg menyatakan: “Fakta bahwa seorang pelaku tindakan yang merupakan
kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau pejabat pemerintahan yang
bertanggung-jawab tidak melepaskannya dari tanggung jawab menurut hukum internasional.”
20
Baik Nuremberg maupun kasus lain sesudahnya, kasus Einsatzgruppen, Trials of War Criminals before the
Nuremberg Military Tribunals under Control Council Law No. 10, Vol. 4-5 (Washington, DC: GPO, 19491953), menolak pembelaan kepatuhan pada perintah dan doktrin respondeat superior yang mengalihkan
tanggung jawab pada pemberi perintah. Doktrin “tanggung jawab absolut” sebaliknya, yang menyatakan bahwa
perintah atasan tidak pernah bisa menjadi justifikasi tindakan melanggar hukum, diajukan dalam Mitchell
v.Harmony, 13 How 115 (1851) dan kemudian dimuat dalam Prinsip Nuremberg pada Pasal 8. Dalam standar
ilegalitas yang diterima, jika seseorang yang bisa berpikir dengan baik bisa memahami bahwa perintah yang
diterimanya secara manifes ilegal, maka pembelaan kepatuhan ini ditolak. Prinsip IV dari Prinsip Nuremberg
menyatakan: “Fakta bahwa seseorang bertindak mengikuti perintah pemerintahnya atau atasannya tidak
membebaskannya dari tanggung jawab menurut hukum internasional, dengan syarat bahwa ia bisa melakukan
pilihan moral.”
21
Lihat Judgment in the Tokyo War Crimes Trial, 1948, dicetak ulang sebagian dalam Richard Falk, Gabriel
Kolko dan Robert Jay Lifton (eds.), Crimes of War: A Legal, Political-Documentary, and Psychological Inquiry
into the Responsibility of Leaders, Citizens, and Soldiers for Criminal Acts in Wars, New York: Ramdon House,
1971, 113. Jenderal Yamashita mengajukan banding ke Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang mengafirmasi
prinsip tersebut. Lihat In re Yamashita, 327 US I, 13-18 (1945).
9
kekejaman yang dilakukan bawahannya. Dalam pengadilan High Command dan Hostage
terhadap perwira tinggi Angkatan Darat Jerman, standar Yamashita ini ditolak, dan pengadilan
mewajibkan adanya pengetahuan dan partisipasi individual atau persetujuan terhadap tindakan
pidana, atau kelalaian pidana: “Tidak semua individu dalam struktur komando terkait dengan
tindakan kejahatan itu..... Pasti terdapat kesalahan pribadi.”22
Vietnam membangkitkan kembali perhatian ilmiah tentang masalah tanggung jawab
pimpinan terhadap kejahatan negara yang berat, dan menjadikan amat jelas tingginya unsur
politis yang terlibat dalam penggunaan secara permisif prinsip tanggung jawab komando.23
Kasus tentang kekejaman Mylai mengarah pada penyempitan prinsip tanggung jawab
komando. Harus terdapat kaitan antara kekejaman yang terjadi di wilayah yang merupakan
daerah kendali komandan tersebut dan adanya kesalahan pribadi di sisi komandan tersebut.24
Versi prinsip pertanggungjawaban komando yang demikian inilah yang kini dijunjung dalam
konvensi hukum internasional: kelalaian untuk mengambil tindakan untuk mencegah
pelanggaran menjadi salah satu syarat. Secara eksplisit menolak standar “ia seharusnya
mengetahui” dari Yamashita, dalam Pasal 86 dari Konvensi Genewa pasca-perang,
“pengetahuan” memberikan kewajiban untuk mengambil “semua tindakan yang
dimungkinkan” untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran.25
Hukum kemanusiaan internasional memberikan kerangka kerja dan bahasa normatif
untuk berpikir tentang keadilan suksesor.26 Kesalahan rezim bisa dikonseptualkan dan
diakomodasi oleh hukum perang. Jadi, prinsip pertanggungjawaban individual di Nuremberg
adalah prinsip yang kompleks, yang tampak dari evolusi prinsip tanggung jawab komando,
juga dalam cara prinsip tersebut memediasi pertanggungjawaban individu dan kolektif, seperti
hukum konspirasi, yang memungkinkan pengadilan terhadap individu karena keanggotaan
dalam kelompok tertentu.27 Namun, sukar untuk menyesuaikan hukum internasional dan
analogi militernya untuk mencantumkan seluruh isu keadilan suksesor. Paradigma
internasional menekankan pendekatan berdasar status bagi peradilan pidana suksesor, yang
umumnya mengaitkan status politik individual dengan konteks di dalam rezim. Namun standar
pertanggungjawaban yang luas, seperti dalam kasus Yamashita, menunjukkan bahwa
membebankan tanggung jawab kepada komandan atas tindakan bawahan mereka dapat
memberikan hasil yang buruk. Bila penuntutan didasarkan pada jabatan resmi sebagai dasar
tanggung jawab pidana, hal ini mengancam prinsip tanggung jawab individual.
22
United States v. Wilhelm von Leeb, dicetak ulang dalam XI Trials of War Criminals before the Nuremberg
Military Tribunals under Control Council Law No. 10, 462 (1950) (High Command Case); United Sates v.
Wilhelm List, dicetak ulang dalam XI Trials of War Criminals before the Nuremberg Military Tribunals under
Control Council Law No. 10, 1230 (1950) (Hostage Case).
23
Lihat umumnya Telford Taylor, Nuremberg and Vietnam: An American Tragedy, Chicago: Quadrangle Books,
1970. Lihat juga Falk, Kolko dan Lifton (eds.), Crimes of War, 177-415.
24
Lihat United States v. Calley, 46 CMR 1131 (1973). Lihat juga Gary Kamarow, “Individual Responsibility
under International Law: The Nuremberg Principles in Domestic Legal System”, International and Comparative
Law Quarterly 29 (1980): 26-27, untuk diskusi singkat tentang kasus Calley dalam konteks ini.
25
Protokol I, “Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Protection
of Victims of International Armed Conflicts”, 8 Juni 1977, Treaties and International Agreements Registered or
Filed of Reported with the Secretariat of the United Nations 1125, No. 17512 (1979): 609.
26
Untuk diskusi ilmiah, lihat Theodor Meron, War Crimes Law Comes of Age: Essays, Oxford: Clarendon Press,
1998.
27
Lihat Telford Taylor, The Anatomy of the Nuremberg Trials: A Personal Memoir, New York: Knopf 1992.
10
Setelah Nuremberg, pemahaman kita tentang penuntutan pertanggungjawaban oleh
rezim suksesor tidak pernah sama dengan sebelumnya. Prinsip-prinsip Nuremberg
memberikan perluasan potensi pertanggungjawaban pidana individual – di kedua sisi hierarki
pemegang kekuasaan. Jurisprudensi pasca-perang menandakan ekspansi mendasar tentang
potensi pertanggungjawaban pidana individual tanpa batas yang kaku. Ketiadaan batasan ini
bahkan diakui waktu itu. Sementara pengadilan dimulai dengan para penjahat perang utama,
tidak ada tulisan dalam Piagam Nuremberg yang membatasi pembebanan pertanggungjawaban
hanya kepada pejabat-pejabat tinggi Nazi. Sebaliknya, piagam tersebut secara eksplisit
menyatakan bahwa menuntut pertanggungjawaban para pemimpin barulah titik awal, dan
masih akan ada pengadilan-pengadilan yang menyusul.28 Dalam transformasi pasca-perang
tentang pemahaman tanggung jawab individual terhadap kejahatan berat negara, timbullah
dilema berikut ini: di satu sisi prinsip-prinsip yang disusun di Nuremberg secara mendasar
memperluas potensi tanggung jawab pidana individual, namun di sisi lain prinsip-prinsip
tersebut tidak memberikan dasar untuk menentukan, dari semua yang berpotensi bertanggungjawab, siapa yang harus diadili.
Ledakan masalah pertanggungjawaban pasca-Nuremberg ini memiliki dampak besar
yang belum semuanya terselesaikan. Bagi para analis politik dan ilmuwan hukum, Nuremberg
dianggap menimbulkan perubahan besar dalam pemahaman tentang tanggung jawab pidana
individual menurut hukum internasional, tetapi masih belum ada bayangan tentang bagaimana
perubahan tersebut menimbulkan dilema pertanggungjawaban. Ekspansi masalah
pertanggungjawaban kontemporer ini menimbulkan masalah besar bagi rezim penerus yang
sedang mempertimbangkan siapa yang akan mereka adili, dan untuk kejahatan apa. Bahkan,
masalah ini menjadi perdebatan ilmiah yang berkisar pada penghukuman di masa transisi,29
dengan alasan yang melampaui ciri-ciri khusus konteks politik transisi suatu begara, dan
merujuk pada perkembangan kontemporer dalam konseptualisasi pertanggungjawaban hukum.
Prinsip panduan yang bisa dipergunakan dalam hal ini hanyalah proporsionalitas.
Prioritasnya adalah untuk mengadili mereka yang “paling bertanggung-jawab untuk kejahatan
yang paling parah”, dimulai dengan mereka yang berada pada tingkat pertanggungjawaban
yang paling tinggi terhadap kejahatan yang paling mengerikan.30 Namun, seperti akan
dibicarakan lebih lanjut di bawah, proporsionalitas dalam tingkat abstrak belum bisa
menyelesaikan dilema yang timbul dari usaha untuk merespon kejahatan berskala besar yang
dilakukan oleh rezim represif, dengan menggunakan hukum pidana. Bahkan, seperti
ditunjukkan praktik transisional di bawah, prioritas untuk memberikan hukuman bukanlah
pemikiran yang universal, namun tergantung pada kondisi politik yang khas dari suatu
masyarakat, dan juga jangkauan pergeseran normatifnya.
Penerapan Preseden Nuremberg di Pengadilan Nasional
28
Ibid.
Seperti Jaime Malamud-Goti, Game without End: State Terror and the Politics of Justice, Norman: University
of Oklahoma, Press.
30
Helsinki Watch, War Crimes in Bosnia Hercegovina, Vol. I, New York: Human Rights Watch, 1992. (Laporan
Helsinki Rights Watch).
29
11
Meskipun penggunaan prinsip pertanggungjawaban militer bisa diterima dalam konteks pascaperang, dan transisi sering kali terjadi menyusul masa peperangan, namun transisi juga bisa
terjadi dengan cara-cara lain, dan standar Nuremberg tidak selalu dapat memandu keadilan
suksesor ini. Namun, kerangka kerja peradilan pidana internasional memiliki daya tarik yang
melampaui pengadilan-pengadilan pasca-perang, ke model-model lain keadilan suksesor.
Keadilan transisional berkaitan dengan analogi perang dan damai, dan demikian juga
hukum kemanusiaan internasional dan hukum domestik. Analogi militer ini tampak jelas bila
kebijakan pengadilan suksesor diawali dengan pengadilan terhadap pimpinan rezim terdahulu.
Memberikan dasar pertanggungjawaban pidana terhadap status politik merupakan
perkembangan logis dari analogi kejahatan perang ke pelanggaran yang dilakukan oleh
pemerintahan kediktatoran dan represif. Pandangan umum yang berlaku adalah bahwa setelah
pemerintahan non-demokratik, mungkin adil untuk membebankan pertanggungjawaban
kepada pemimpin tertinggi politik, namun keadilan transisional yang didasarkan pada
paradigma hukum internasional yang luar biasa dan hukum perang tampaknya bertentangan
dengan pandangan umum tentang peradilan pidana. Timbul pertanyaan tentang apakah
pertanggungjawaban untuk kesalahan yang dilakukan pada masa rezim represif bisa dengan
adil dibebankan kepada para pemimpin politik tertinggi suatu negara. Sejauh mana kekuasaan
politik dipegang oleh diktator, atau keberadaan rezim represif menjadi dasar untuk
pertanggungjawaban pidana? Mendasarkan pertanggungjawaban pidana pada dasar jabatan
resmi pelanggar akan bertentangan dengan pandangan umum tentang berlakunya hukum
pidana di negara-negara demokrasi dan memberikan tantangan bagi kedaulatan hukum.
Pengadilan suksesor sebenarnya jarang didasarkan pada hukum perang dan hukum
internasional. Transisi Amerika Latin dari pemerintahan militer adalah contoh kontemporer
yang unik. Di Argentina, kekalahan dalam Perang Malvinas menyebabkan keruntuhan
angkatan bersenjata dan memungkinkan transisi dari junta militer ke demokrasi, yang
berpuncak pada pengadilan terhadap para pemimpin junta untuk “kelalaian berat” dalam
menjalankan peperangan.31
Contoh kontemporer lainnya, setelah keruntuhan Soviet, transisi di wilayah tersebut
dibayangi oleh suatu perasaan tentang pendudukan, analog dengan kekalahan pasca-perang.
Jadi revolusi di Hungaria dan bekas Cekoslowakia berawal dengan peringatan perlawanan
terhadap invasi Nazi dan Soviet. Timbul pertanyaan kritis tentang keadilan transisional di
wilayah tersebut: Kediktatoran siapa? Keadilan siapa? Setelah keruntuhan komunis,
pertanyaan mendasar keadilan suksesor adalah sejauh mana represi dapat dipandang dalam
kerangka paradigma pasca-perang yang lazim – yaitu sebagai penjajah asing. Pada akhirnya,
pertanyaan tersebut mengalihkan tanggung jawab nasional ke tingkat individual. Demikianlah,
maka para pemimpin terdahulu dianggap bertanggung-jawab karena mereka berkolaborasi
dengan invasi Soviet ke negara-negara mereka. Pengadilan suksesor disusun pada titik balik
yang penting, menarik garis antara kebebasan dan represi, perlawanan dan kolaborasi. Ini
adalah garis yang sedang ditarik dan akan ditarik kembali dalam pengadilan-pengadilan di
wilayah ini.
Titik balik yang penting di bekas Cekoslowakia adalah tahun 1968. Pada gelombang
pertama pengadilan setelah revolusi, para mantan pemimpin partai diadili dengan tuduhan
pengkhianatan dan kolaborasi, dalam kerangka penyalahgunaan kekuasaan publik dalam
31
Proceedings of Las Malvinas Trial (arsip penulis).
12
represi terhadap pemberontakan Praha.32 Empat tahun kemudian, sebuah hukum baru yang
menyatakan komunisme “melanggar hukum” dan “tidak sah” memberikan dasar untuk
pengadilan lebih lanjut.33 Hukum tersebut menyatakan “menggabungkan kekuatan dengan
kekuatan asing” seperti membantu membantu pendudukan negeri itu pada tahun 1968 sebagai
pelanggaran. Jadi, mantan sekretaris Komite Sentral Partai Komunis, Vasil Bilák, dituduh
melakukan pengkhianatan karena mengundang angkatan bersenjata negara-negara Pakta
Warsawa ke Cekoslowakia pada tahun 1968. Namun, pada akhirnya, pengadilan tersebut
hanya sampai pada tahap penyidikan terhadap sejarah.34
Di Polandia, pertanyaan yang dominan dalam penyelidikan komisi parlementer
terhadap mantan pemimpin negeri tersebut, Jenderal Wojciech Jeruzelski,35 adalah apakah
penerapan hukum perang pada tahun 1981 untuk menghancurkan gerakan Solidaritas adalah
akibat dari tekanan Soviet atau memang karena kolaborasi dari pemerintah Polandia. Jika
keputusan Jeruzelski untuk menerapkan hukum perang merupakan hasil kesepakatan dengan
pemerintah asing, hal tersebut bisa menjadi dasar untuk tuduhan pengkhianatan.36 Pengadilan
lainnya dijalankan terhadap “kejahatan-kejahatan perang”, dianalogikan terhadap hukum
internasional.
Peradilan suksesor di Hungaria secara formal didasarkan pada pengkhianatan yang
didefinisikan sebagai kolaborasi dengan Soviet, dan terutama, dalam represi berdarah terhadap
pemberontakan 1956.37 Tinjauan konstitusional terhadap hukum tentang pengkhianatan di
Hungaria menyelesaikan masalah dilema yang ditimbulkan dari penggunaan hukum pidana
untuk mengutuk hal-hal yang semula didukung oleh rezim sebelumnya. Ketika pengadilan
konstitusional Hungaria menganggap hukum baru tentang pengkhianatan itu inkonstitusional
karena retroaktivitas,38 sebuah hukum baru yang membatasi pelanggaran yang bisa diadili
hanyalah “kejahatan perang”,39 memungkinkan proses pengadilan untuk berjalan berdasarkan
32
Lihat “Four Hardline Communists Investigated over 1968 Prague Invasion”, Reuters, 17 April 1990, tersedia di
Lexis, News Library, arsip Reuters; “August 1968 – Gateway to Power for Number of Politicians”, CTK National
News Wire, 18 Agustus 1998, tersedia di Lexis, News Library, arsip CTK.
33
Act on the Illegality of the Communist Regime and Resistance to It, Act. No. 198/1993 (Republik Ceko, 1993).
34
Lihat “Velvet Justice for Traitors Who Crushed 1968 Prague Spring”, The Telegraph, Praha 23 Agustus 1998
(melaporkan ketiadaan sanksi bahkan setelah penyidikan delapan tahun).
35
Lihat “Polish Politicians Ask for Trial for Martial Law Instigators”, Reuters, 9 Desember 1991, tersedia di
Lexis, News Library, arsip Reuters. Lihat juga Tadiusz Olszaski, “Communism’s Last Rulers: Fury and Fate”,
Warsaw Voice, 18 November 1992, tersedia di Lexis, News Library. Untuk kisah pengakuan Jeruzelski dan lainlainnya, lihat RFE/RL Daily Report No. 49, 12 Maret 1993. Lihat juga “Walesa to Testify on Martial Law”,
Polish News Bulletin, 25 Mei 1994, bagian politik.
36
Hingga terbitnya buku ini, Jeruzelski belum diadili karena alasan kesehatan. Lihat “Jeruzelski Will Not Be
Tried”, Polish News Bulletin, 9 Juli 1997, bagian politik. Namun, terungkapnya dokumen-dokumen yang
memberatkan mungkin akan memperkuat posisi pihak-pihak yang menginginkan pengadilan. Lihat
“Constitutional Accountability Commision Meets”, Polish News Bulletin, 26 Oktober 1994; “Russian Dissident
Accuses Jeruzelski”, Polish News Bulletin, 20 Mei 1998, bagian politik. Lihat juga Tad Szulc, “Unpleasant
Truths about Eastern Europe”, Carnegie Endowment for International Peace, Foreign Policy, 22 Maret 1996,
tersedia di Lexis, News Library.
37
Lihat Michael Shields, “Hungary Gets Ready to Try to Communist Villains of 1956”, Reuters, 5 November
1991, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. Lihat juga Jane Perlez, “Hungarian Arrests Set off Debate:
Should ’56 Oppressors be Punished?” New York Times, 3 April 1994, tersedia di Lexis, News Library.
38
Constitutional Court Decision on the Statute of Limitation, No. 2086/A/1991/14 (Hungaria, 1992).
39
Act on Procedures Concerning Certain Crimes Committed during the 1956 Revolution (Hungaria, 1993) (arsip
Center for the Study of Constitutionalism in Eastern and Central Europe, University of Chicago). Pada tanggal 3
November 1993, diperintahkan penyelidikan terhadap pembantaian 1956, “atas kecurigaan adanya kejahatan
13
analogi pada pengadilan-pengadilan pasca-perang. Ketika para pemimpin partai komunis
Rumania diadili dalam pengadilan yang sebenarnya tidak memenuhi prinsip kedaulatan
hukum, tuduhan yang dialamatkan kepada mereka adalah kejahatan perang menurut hukum
internasional. “Genosida” dituduhkan di pengadilan-pengadilan militer terhadap para
pemimpin utama yang menindas gerakan rakyat pada tahun 1989, meskipun pada akhirnya
tuntutan yang diberikan lebih ringan. Tuduhan “kejahatan terhadap kemanusiaan” juga
dialamatkan kepada mantan pejabat komunis di Albania pada masa transisi.
Suatu usaha bersama sedang berjalan untuk memperluas dan menormalkan
pemahaman pasca-perang tentang penindasan negara. Usaha ini tampak, misalnya, dalam
perkembangan hukum kemanusiaan internasional, di mana pemahaman tentang pelanggaran
berupa penindasan di masa perang diperluas hingga melampaui respon-respon internasional
menjadi tindakan-tindakan yang dilakukan dalam batasan negara.40 Hal ini juga terlihat dalam
jurisdiksi tribunal kejahatan perang internasional ad hoc di bekas Yugoslavia, demikian pula
dalam jurisdiksi rencana pengadilan pidana internasional. Dalam contoh-contoh kontemporer
tersebut, suatu pemahaman dinamis tentang “kejahatan terhadap kemanusiaan” bergerak dari
semula hanya terbatas pada konflik bersenjata hingga menjadi sinonim dengan penindasan.41
terhadap kemanusiaan”. Sejak disahkannya hukum tersebut, penangkapan, pengadilan dan penuntutan telah
berjalan. Lihat “Court Convicts Defendant for War Crimes in 1956 Uprising”, BBC Summary of World
Broadcasts, 18 Januari 1997, tersedia di Lexis, News Library. Lihat juga “Hungary Arrests More in 1956
Shootings Probe”, Reuters, 11 Februari 1994, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters.
40
Lihat misalnya “United Nations Convention on Prohibitions or Restrictions on the Use of Certain Conventional
Weapons Which May Be Deemed to Be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate Effects”, 10 Oktober
1980, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United
Nations 1342, No. 22495 (1983): 137; Protokol I, Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August
1949 and Relating to the Protection of Civilian Persons in Time of War, 12 Agustus 1949, Treaties and
International Agreements Registered of Filed of Reported with the Secretariat of the United Nations 75, No. 973
(1950): 287. Untuk analisis mendalam, lihat Theodor Meron, Human Rights and Humanitarian Norms as
Customary Law, New York: Oxford University Press, 1989 (menjelaskan konsep kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam konflik internasional dan internal).
41
Lihat Rome Statute of the International Criminal Court, U.N. doc. A/Conf. 183/9. 17 Juli 1998, Pasal 7
(mendefinisikan “kejahatan terhadap kemanusiaan” sebagai bagian dari “kekerasan yang luas atau sistematis
yang diarahkan kepada kelompok penduduk sipil apa pun”). Untuk ilustrasi, lihat umumnya Helsinki Watch, War
Crimes in Bosnia-Hercegovina (melaporkan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di wilayah Balkan).
Lihat Statute of International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Pasal 5, dilampirkan pada PBB,
Sidang Umum, Report of the Secretary-General Pursuant to Paragraph 2 of the U.N. Security Council
Resolution 808, S/25704 (1993), dicetak ulang dalam International Legal Materials 32 (1993): 1159, 1193-97.
Berbagai tindakan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah “pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, pemindahan paksa, pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, penindasan atas dasar politik, ras dan
agama, dan tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya”. Pemahaman Komisi Pakar adalah bahwa Tribunal
Internasional memiliki jurisdiksi atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Lihat PBB, Dewan
Keamanan, Final Report of the Commission of Expert Established Pursuant to Security Council Resolution 780,
S/1994/674 (1992), 13. Lihat juga Prosecutor v. Tadic, kasus No. IT-94-1-AR72, Decision on the Defense
Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction (Appeals Chamber, International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia, 2 Oktober 1995), dicetak ulang dalam International Legal Materials 35 (1996): 32. Namun,
sidang banding memberikan batasan terhadap interpretasi “pelanggaran berat” dan menekankan bahwa
pelanggaran demikian yang merupakan jurisdiksi haruslah merupakan bagian dari konflik bersenjata
internasional. Jurisdiksi tribunal mencakup kejahatan yang dilakukan bukan oleh agen negara, selama dilakukan
“dengan pengaruh” negara. Statuta tribunal ini dimuat dalam PBB, Dewan Keamanan, Report of the SecretaryGeneral Pursuant to Paragraph 2 of U.N. Security Council Resolution 808, (1993), dicetak ulang dalam
International Legal Materials 32 (1993): 1159. Pasal 2 tentang kompetensi Tribunal Internasional menyatakan:
14
Keunggulan hukum internasional dalam menciptakan pertanggungjawaban pidana,
terutama hukum pidana internasional yang digabungkan dalam kemajuan-kemajuan pascaperang, telah menjadikan hukum pidana internasional menjadi bahasa dominan dalam keadilan
suksesor. Meskipun kekuatannya tidak tampak dalam pengadilan-pengadilan internasional,
kekuatan normatifnya yang besar tampak dalam pemahaman yang meluas bahwa penindasan
oleh negara melampaui batasan hukum domestik dan memiliki pertanggungjawaban
internasional. Pengakuan tentang nilai-nilai umum ini menimbulkan semacam bentuk
pertanggungjawaban, dengan identifikasi dan pengungkapan adanya penindasan tanpa
memperhatikan batas negara.42 Bila suatu negara gagal melindungi warganya dari penindasan,
respon utama dari komunitas hak asasi manusia internasional adalah dengan
mendokumentasikan dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran berat. Pada tahun-tahun
belakangan ini, terdapat perkembangan penting dengan menguatnya mekanisme internasional
yang dirancang untuk menyelidiki dan mempublikasikan klaim kekejaman.
Pertanggungjawaban terhadap komunitas dunia muncul terutama dari pengungkapan secara
terbuka keberadaan penindasan di suatu negara. Jadi, jika dan ketika ia dibentuk, peran
tribunal pidana internasional yang permanen mungkin akan menjadi sebagai badan
penyelidikan dan pengaju tuduhan. Warisan terpenting dari preseden Nuremberg adalah
bahwa masalah pertanggungjawaban negara tidak akan lagi dibatasi oleh batas negara, namun
menjadi masalah tingkat internasional.
Keadilan Transisional dan Tatanan Hukum Nasional dalam Perspektif Komparatif
Meskipun skema internasional memiliki banyak daya tarik, pada umumnya rezim-rezim dalam
transisi berusaha untuk menormalkan proses pengalihan kekuasaan dengan mengintegrasikan
respon mereka dalam sistem hukum yang sudah ada. Pertanyaannya menjadi bagaimana
keadilan suksesor bisa menjelaskan perubahan rezim politik, dan terutama, bagaimana
mengakomodasi ciri utama transisi, yaitu pergeseran normatif yang ditimbulkan oleh
perubahan rezim politik. Respon transisional dalam hukum nasional memiliki watak beragam
dalam kemampuannya untuk mengakomodasi transformasi politik, karena proses juridis
tersebut dijalankan dalam legalitas yang berlaku. Sering kali, usaha untuk menuntut
pertanggungjawaban dari para pelaku pelanggaran di masa rezim pendahulu dapat menekan
sistem hukum domestik hingga ke batas-batasnya. Respon-respon terhadap kekerasan politik
yang luar biasa menguji prinsip-prinsip utama kedaulatan hukum yaitu keamanan dan
keberlakuan hukum secara umum.
Sejumlah pengadilan nasional mengikuti gelombang transisi politik. Sebelum Perang
Dunia Pertama, terdapat pengadilan untuk kekejaman yang dilakukan terhadap warga Armenia
“Tribunal internasional memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang melakukan atau memerintahkan
pelanggaran berat terhadap Konvnsi Jenewa 12 Agustus 1949”. Pasal tersebut kemudian memberikan rincian
pelanggaran. Pasal 7 mendefinisikan “kejahatan terhadap kemanusiaan” sebagai bagian dari “kekerasan yang luas
atau sistematis yang diarahkan kepada kelompok penduduk sipil apa pun”.
42
Sebagai contoh, Human Rights Watch telah mendokumentasikan pelanggaran yang terjadi di Yugoslavia nyaris
sejak dimulainya konflik, menerbitkan catatan yang mendetail dan menyerukan pengadilan terhadap kejahatan
perang. Lihat Helsinki, War Crimes in Bosnia-Hercegovina, Vol.1 dan 2.
15
di wilayah Kesultanan Ottoman.43 Setelah Perang Dunia Pertama, kesepakatan di Versailles
memungkinkan Jerman untuk melakukan pengadilan nasionalnya sendiri; namun pada
akhirnya jumlahnya amat terbatas. Setelah Perang Dunia Kedua, tindakan para Nazi dan
kolaborator mereka menimbulkan usaha keras untuk menuntut pertanggungjawaban.
Meskipun terdapat dominasi paradigma internasional dalam literatur ilmiah, respon legal
terhadap Nazi dan kolaboratornya pada umumnya bersifat domestik. Pengadilan terhadap
mereka yang terlibat dalam kekejaman selama Perang Dunia Kedua masih menjadi penyusun
utama preseden pertanggungjawaban pidana pada tingkat nasional.
Pengadilan-pengadilan nasional tersebut berlangsung selama hampir lima dekade,
dengan sistem-sistem hukum Common Law, sipil dan sosialis, dan berlangsung di hampir
semua negara tempat terjadinya kejahatan tersebut dan di negara lainnya.44 Terlebih lagi, di
seluruh Eropa, dampak hukum domestik dari transisi pasca-perang masih terasa. Di Jerman,
kasus yang terkait dengan Perang Dunia Kedua masih berkangsung dari dekade 1950-an
hingga kini.45 Di Prancis, pengadilan Klaus Barbie pada akhir dekade 1980-an masih diikuti
kasus lain yang diajukan terhadap kolaborator tingkat tinggi, seperti Paul Touvier dan Maurice
Papon.46 Belanda terus mengadili para kolaboratornya. Australia dan Kanada melakukan
pengadilan terhadap kolaborator Perang Dunia Kedua yang tinggal di wilayahnya pada akhir
dekade 1980-an.47 Di Inggris, War Crimes Act 1991 disahkan untuk memungkinkan
pengadilan terhadap tersangka kolaborator pada masa perang yang tinggal di wilayah tersebut.
43
Lihat umumnya Arnold J. Toynbee, Armenian Atrocities: The Murder of a Nation, New York: Tankian, 1975.
Lihat juga Dickran Boyajian, Armenia: The Case for a Forgotten Genocide, Wesrwood, N.J: Educational Book
Crafters, 1972.
44
Lihat Symposium, “1945-1995 Critical Perspectives of the Nuremberg Trials and State Acountability”, New
York Law School Journal of Human Rights 12 (1995): 453; Inge S. Neumann, European War Crimes Trials, ed.,
Robert A. Rosenbaum, New York: Carnegie Endowment for International Peace, 1951. Lihat umumnya
Randolph L. Braham (ed.), Genocide and Retribution, Boston: Kluwer-Nijhoff, 1983. Untuk daftar bibliografi
lengkap, lihat umumnya Tutorow (ed.), War Crimes, War Criminals, and War Crimes Trials; Neumann,
European War Crimes Trials. Lihat juga Owen M. Kupferschmid Holocaust and Human Rights Project Seventh
International Conference, “Judgements on Nuremberg: The Past Half Century and Beyond – A Pannel Discussion
of Nuremberg Prosecutors”, Boston College Third World Law Journal 16 (1996): 1993; Symposium, “Holocaust
and Human Rights Law: The Fourth International Conference”, Boston College Third World Law Journal 12
(1992): 1.
45
Lihat Adalbert Rückerl, The Investigation of Nazi Crimes: 1945-1978: A Documentation, terjemahan Derek
Rutter (Heidelberg, Karlsruhe4: C.F. Müller, 1979). Lihat “5,570 Cases of Suspected Nazi Crimes Remain
Open,” This Week in Germany, 3 Mei 1996 (melaporkan bahwa 106.178 orang telah diadili dan 6.494 diputuskan
hukumannya).
46
Mengenai pengadilan Klaus Narbie, lihat misalnya, Féderation Nationale des Déportés es Internés Réesitstant
et Patriotes v. Barbie, 78 ILR 125 (Fr. Cass. Crim., 1985). Pengadilan Paul Touvier untuk kejahatan terhadap
kemanusiaan diakhiri dengan hukuman seumur hidup. Lihat Alam Riding, “Frenchman Convicted of Crimes
against the Jews in ’44,” New York Times, 20 April 1994, Sec. A3; Judgment of Apr. 20, 1994, Cour d’assises des
Yvelines. Maurice Papon, dalam usia 87 tahun, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas perannya dalam deportasi
warga Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi. Tuduhan lain tentang kejahatan terhadap kemanusiaan diajukan
kepada Jean Leguay dan Rene Bousquet, namun keduanya meninggal dunia selama proses berjalan. Judgment of
Oct. 21, 1982, Cass. Crim. Lihat Bernard Lambert, Bousquet, Papon, Touvier, Inculpés de Crimes contre
I’humanite: Dossiers d’accusation (Paris: Federation Nationale des Déportés es Internés Résistants et Patriotes).
47
Lihat Timothy L.H. McCormack dan Jerry J. Simpsons, “The International Law Commission’s Draft Code of
Crimes against the Peace and Security of Mankind: An Appraisal of the Substantive Provisions”, Criminal Law
Forum 4 (1994): 1; Ronnie Edelman et al., “Prosecuting World War II Prosecutors: Efforts at an Era’s End”,
Boston College Third World Law Journal 12 (1992): 199.
16
Dalam gelombang transisi kedua di abad ke-20, di Eropa Selatan, terdapat pengadilan
suksesor terhadap junta Yunani dan Portugal.48 Pada gelombang ketiga transisi politik di
Amerika Latin dan Afrika, Argentina mengadili para komandan dan perwira militernya; dan di
Republik Afrika Tengah, “kaisar” tiran Jean-Bedel Bokassa diajukan ke Pengadilan. Pada
transisi dari pemerintahan komunis, terdapat beberapa pengadilan terhadap para pimpinan
tingkat tinggi di Rumania dan Bulgaria, dan di bekas Cekoslowakia, pengadilan terhadap
pejabat partai tingkat tinggi dan menengah. Di Jerman, terdapat pengadilan terhadap semua
tingkat, yang umumnya terkait pada penembakan-penembakan di Tembok Berlin.49
Keruntuhan Yugoslavia mendorong konflik dan kekejaman Bosnia dan diikuti oleh proses
pengadilan. Setelah runtuhnya rezim Marxis, Etiophia mengadili jajaran tertinggi rezim
pendahulunya.50 Sejak transisi politiknya, Rwanda melakukan pengadilan genosida.51
Kejahatan Negara, tetapi Peradilan Individual
Peradilan pidana transisional menimbulkan dilema penerapan prinsip tanggung jawab
individual terhadap kejahatan berat yang dilakukan pada masa pemerintahan non-liberal.
Setelah represi, masalah utamanya adalah bahwa negara harus merespon kesalahan yang
dilakukan rezim pendahulunya dan menuntut pertanggungjawaban. Bagaimana cara negara
bisa memediasi pergeseran normatif antara rezim dalam kondisi yang penuh paradoks dan
terkompromi, di mana terdapat keterlibatan negara dalam kejahatan di masa lalu? Dalam
kondisi demikian, apa kaitan antara tanggung jawab individu dan negara?
Dalam pergeseran setelah pemerintahan represif, luasnya penindasan pada masyarakat
non-demokratik sering kali menyebabkan kesulitan dalam usaha untuk menemukan keadilan.
Pertanyaan penting yang timbul dalam penentuan tanggung jawab pidana adalah: Siapa yang
diberikan prioritas? Apakah para pemimpin politik yang merupakan otak di belakang
penindasan, atau mereka yang di bawah yang secara langsung melakukan tindakan brutal
tersebut? Apakah sebaiknya kebijakan pengadilan suksesor mengadili semua pelaku
pelanggaran, atau apakah pengadilan yang selektif dapat dianggap adil? Dan, jika pengadilan
dilakukan secara selektif, atas dasar apa kebijakan tersebut bisa diterima?
48
Untuk pembicaraan tentang pengadilan Yunani, lihat Nikiforos Diamandouros, “Regime Change and the
Prospects of Democracy in Greece: 1974-1983, dalam Guillermo O’Donnel et al. (eds.), Transitions from
Authoritarian Rule: Comparative Perpectives, Baltimore: Johns Hpokins University Press, 1991, 138. Untuk
pembicaraan tentang transisi Portugal, lihat Kenneth Maxwel, “Regime Overthrow and the Prospects for
Democratic Transition in Portugal”, dalam Guillermo O’Donnel et al. (eds.), Transitions from Authoritarian
Rule: Southern Europe, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1991, 109-37. Lihat juga John H. Herz
(eds.), From Dictatorship to Democracy: Coping with the Legacies of Authoritarianism and Totalitarianism,
Wesport: Conn: Greenwood Press, 1982.
49
Lihat misalnya Border Guards Prosecution Case, International Law Reports 100 (1995): 366, 30. Untuk
pembicaraan tentang beberapa dari kasus tersebut, lihat Stephan Hobe dan Christian Tietje, “Government
Criminality: The Judgment of the German Federal Constitutional Court of 14 October 1996”, German Yearbook
of International Law 39 (1996): 523. Untuk tinjauan jurnalistik komparatif tentang berbagai respon di wilayah
tersebut, lihat Tina Rosenberg, The Hounted Land, New York: Random House, 1996.
50
Lihat “Symposium, 1945-1995 Critical Perspectives on the Nuremberg Trials and State Accountability,” New
York Law Shool Journal of Human Rifhts 12 (1995): 453 (tinjauan tentang pengadilan Etiophia).
51
Lihat “Trial of 51 on Rwanda Genocide Charges Opens in Byumba”, Agence France-Presse (Kigali), 18 Maret
1998. Lihat juga Payam Alchavan, “The International Criminal Court Tribunal For Rwanda: The Politics and
Pragmatics of Punishment”, American Journal of International Law 90 (1996): 501.
17
Di mana seharusnya kebijakan pengadilan bermula? Klaim normatif bahwa pemberian
hukuman akan mendorong kedaulatan hukum tidak dengan sendirinya menjustifikasi
menghukum semua pelaku pelanggaran. Bahkan, sasaran untuk membela demokrasi dan
memperkuat kedaulatan hukum dapat dicapai dengan sejumlah penuntutan yang berfungsi
sebagai contoh. Dalam praktiknya, akan terlihat bahwa selektivitas hingga titik tertentu tidak
dapat dihindarkan. Selektivitas itu didasarkan pada pertimbangan atas jumlah besar orang
yang terlibat dalam penindasan dalam sebuah negara modern, kekurangan sumber daya
yudisial dalam masyarakat transisional, dan tingginya biaya politik dan biaya-biaya lain dari
pengadilan suksesor. Dengan batasan-batasan demikian, pengadilan selektif atau
“percontohan”, tampaknya dapat memberikan suatu rasa keadilan.52 Namun batasannya amat
tipis. Suatu kebijakan pengadilan percontohan akan menimbulkan risiko melemahnya tujuan
demokratis dari pengadilan tersebut, dan malah memberikan kesan keadilan politis. Kebijakan
pengadilan selektif dapat mengancam kedaulatan hukum.
Siapa yang paling perlu dimintai pertanggungjawabananya atas kekerasan dalam
masyarakat yang tertindas? Bagaimana pertanggungjawaban pidana bisa dibagikan kepada
mereka yang memberikan perintah dan mereka yang melaksanakan perintah? Prinsip apa yang
bisa digunakan untuk melakukan hal ini? Pada umumnya, anggapan kita tentang tanggung
jawab pidana adalah bahwa mesti ada suatu kesalahan, kaitan antara kerugian di satu pihak
dan kesalahan individual di pihak lainnya.53 Namun, intuisi kita tentang tanggung jawab
pidana tidak tepat dipergunakan untuk memahami dilema transisional yang khas. Pengadilan
terhadap kejahatan yang dilakukan dalam konteks pemerintahan yang represif memberikan
implikasi tentang keberadaan pelanggaran sistemik, tanggung jawab pemerintah, seperti
pelanggaran tugas khusus, tanggung jawab para pejabat terhadap bawahannya, dan secara
lebih mendasar, tugas utama negara untuk melindungi warganya.54
Secara historis, mereka yang dianggap paling bertanggung-jawab untuk kesalahan di
masa lalu adalah para pemimpin politik tertinggi. Pengadilan suksesor kontemporer
menunjukkan kesulitan untuk menuntut pertanggungjawaban para pemimpin politik terhadap
pelanggaran-pelanggaran terberat dalam pemerintahan yang represif. Maka, dalam pengadilan
suksesor setelah runtuhnya komunis, usaha untuk menuntut pertanggungjawaban para
pemimpin politik berarti mengadili pelanggaran yang dilakukan tepat pada awal pemerintahan
yang represif, atau menjelang akhir kekuasaan rezim tersebut. Kembali ke pelanggaran yang
dilakukan pada saat pengambilalihan kekuasaan oleh komunis berarti mundur ke setengah
abad yang lalu. Mengadili kejahatan yang telah berlangsung lama menimbulkan kesulitan
untuk mendapatkan jurisdiksi dan berisiko menimbulkan ketidaktaatan pada prosedur yang
52
Untuk argumen mendukung pengadilan selektif, lihat Diane F. Orentlicher, “Settling Accounts: The Duty to
Prosecute Human Rughts Violations of a Prior Regime”, Yale Law Journal 100 (1991): 2537. Lihat juga
Guillermo O’Donnel dan Phillipe C. Schmitter, Transitions from Authiritarian Rule: Tentative Conclusions about
Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, 29-30 (membicarakan pengadilan
selektif di Yunani.
53
Lihat H.L.A, Hart, Punishment and Responsibility: Essays in the Philosophy of Law, Oxford: Clarendon Press,
1968.
54
Untuk eksplorasi terhadap beberapa dari pertanyaan tersebut, lihat Sanford Levinson, “Responsibility for
Crimes of War”, dalam Marshall Cohen et al. (eds.), War and Moral Responsibility, Princenton: Princenton
University Press, 1974, 104; Richard Wasserstrom, “The Responsibility of the Individual for War Crimes”, dalam
Virginia Held et al. (eds.), Philosophy, Morality, and International Affairs, New York: Oxford University Press,
1974, 47. Lihat juga Dennis F. Thompson, “Criminal Responsibility in Government”, dalam Roland Pennock dan
John W. (eds.), Chapman Criminal Justice: Nomos XXVII, New York: New York University Press, 1985, 201-40.
18
akan mengancam kemampuan pengadilan suksesor untuk menaati kedaulatan hukum. Dalam
hampir semua sistem hukum, baik Common Law, sipil maupun sosialis, tanggung jawab
dibatasi oleh waktu dalam statuta pembatasan waktu. Jadi, mengadili kasus-kasus yang telah
terjadi lama sebelumnya berarti tidak menaati aturan ini.
Bagi kejahatan-kejahatan yang paling mengerikan – genosida atau penindasan menurut
hukum internasional – norma-norma hukum internasional telah dimasukkan ke dalam hukum
nasional, dengan tujuan untuk memediasi masalah penyelesaian dilema sifat keadilan
transisional dalam sistem hukum domestik. Jadi misalnya di Hungaria, di mana terdapat
batasan waktu 30 tahun yang mencegah pengadilan terhadap mereka yang bertanggung-jawab
atas represi terhadap pemberontakan 1956, usaha untuk mencabut aturan tersebut dianggap
inkonstitusional dan ex post facto. Namun, diberikan pengecualian terhadap kejahatankejahatan paling serius – kejahatan perang menurut hukum internasional – yang dianggap
masih memiliki kekuatan normatif. Akomodasi serupa dilakukan di Polandia.55 Dilema
perubahan norma ini tampak dalam pengadilan terhadap pelanggaran berkaitan dengan
kebijakan perbatasan di Jerman-bersatu.
Tantangan berdasarkan legalitas umum, seperti asas retroaktivitas, dilawan oleh
norma-norma alternatif yang ditarik dari hukum internasional (yang dijelaskan pada bab
terdahulu tentang kedaulatan hukum). Pembatasan serupa mencegah pengadilan terhadap
mantan menteri dalam negeri Rumania, dan kepala polisi rahasia, untu kejahatan yang
dilakukan pada tahun 1954.56 Pada dekade 1990-an, mantan pejabat keamanan Polandia,
termasuk Kepala Kementerian Keamanan Publik, diadili untuk kejahatan-kejahatan yang
dilakukan antara tahun 1945 hingga 1952, berkaitan dengan penyiksaan dan pembunuhan
tahanan politik; karena masalah waktu, pengadilan terhadap kejahatan era-Stalin ini
membutuhkan pencabutan statuta pembatasan waktu oleh parlemen.57 Pada akhirnya
akomodasi ini terbatas, seperti di Hungaria, pada kejahatan perang yang dapat diadili
berdasarkan hukum internasional setelah jangka waktu yang panjang. Usaha serupa untuk
melanggar hukum pembatasan waktu di Republik Ceko didukung Pengadilan Konstitusional.58
Dalam mengambil keputusan ini, pengadilan menyatakan bahwa pilihannya sukar, yaitu antara
mendukung atau mengutuk legalitas rezim komunis yang lalu. Untuk menyelesaikan dilema
ini, ketaatan terhadap statuta pembatasan waktu dan legalitas masa lalu dianggap sebagai
masalah “prosedural”, sehingga memungkinkan pengadilan untuk terus berjalan atas nama
transformasi politik.
Mungkin kasus ekstrem dalam usaha untuk mengakomodasi respon pidana dalam
konteks represi totaliter adalah pengadilan Jerman terhadap mantan kepala polisi rahasia
Jerman Timur (Stasi), Erich Mielke. Ia dituntut pertanggungjawabannya terhadap tindakannya
55
Constitutional Court Decision on the Statute of Limitations, No. 2086/A/1991/14 (Hungaria, 1992),
diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law in Eastern and Central Europe 1 (1994): 129, 136. Lihat
Konstitusi Republik Polandia, Pasal 43.
56
Sebelum diadili untuk kasus pembunuhan, Alexandru Draghici melarikan diri ke Hungaria, yang menolak
mengekstradisinya, dengan mengutip statuta pembatasan waktu 30 tahun. Lihat “Romanian Court Delays Trial of
Ex-Securitate Boss”, Reuters, 28 Juni 1993, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters.
57
Pada bulan November 1991, parlemen Polandia mencabut statuta pembatasan waktu bagi kejahatan-kejahatan
yang dilakukan antara tahun 1946 dan 1952 untuk memungkinkan pengadilan pidana baru. Lihat “Former
Security Officers Go to Trial for Torturing Prisoners”, UPI, 13 Oktober 1993, tersedia di Lexis, News Library,
arsip UPI.
58
Law on the Illegality of the Communist Regime, Act No. 198/1993 (Republik Federal Ceko dan Slowakia,
1993).
19
di tahun 1931, ketika ia membunuh dua polisi pada hari-hari terakhir Republik Weimar –
kejahatan berusia 61 tahun!59 Namun, menuntut Mielke atas pelanggaran yang dilakukan pada
masa tersebut, lama sebelum ia menjadi tokoh komunis, hampir tidak memiliki kaitan dengan
pelanggaran yang ia lakukan kemudian. Preseden transisional ini menunjukkan kesulitan
mempertanggung jawabkan represi dalam pemahaman normal terhadap peradilan pidana.
Melakukan pengadilan terhadap jajaran tertinggi kepemimpinan untuk kejahatankejahatan yang mengerikan, di pihak lain, terbatas pada kekerasan yang terjadi pada saat-saat
terakhir kekuasaan komunis. Jadi, misalnya di Rumania, para asisten Nicolae Ceausescu
diadili karena peran mereka dalam usaha merepresi pemberontakan anti-komunis pada tahun
1989.60 Di Republik Ceko, diajukan tuntutan kepada ketua partai komunis, mantan kepala
pasukan keamanan Praha dan mantan menteri dalam negeri serta wakilnya atas represi brutal
terhadap demonstrasi pada tahun 1988 dan 1989.61 Di Rusia, satu dari sedikit proses
pengadilan yang dijalankan adalah pengadilan terhadap para pelaku kudeta militer (putsch)
Agustus 1991.62 Namun, pengadilan-pengadilan ini tampaknya tidak menyentuh akar
permasalahan. Pengadilan terhadap pelanggaran yang terjadi di saat-saat terakhir suatu rezim
tampaknya bukanlah pesan normatif yang kuat untuk menentang pemerintahan totaliter.
Pertanggungjawaban pidana telah berkembang pula atas dasar “pemerintahan yang
buruk”, yang setelah runtuhnya komunisme berarti kejahatan ekonomi. Pada transisi dari
ekonomi terpimpin ke sistem pasar bebas, pengadilan kejahatan ekonomi memiliki kekuatan
transformatif yang penting. Seperti juga pengadilan-pengadilan pada transisi dari
pemerintahan monarki di abad ke-18 menyerang institusi pemerintahan monarki, demikian
juga pengadilan suksesor di abad ke-20 ini digunakan untuk mendelegitimasi komunisme.
Pengadilan kejahatan ekonomi pasca-komunisme mengutuk nilai-nilai rezim terdahulu tentang
kaitan normatif antara ekonomi dan negara. Pengadilan terhadap mantan pemimpin dilakukan
untuk semua jenis kejahatan ekonomi: Pengadilan di Bulgaria adalah yang paling ambisius,
dengan menuduh mantan pemimpin negeri itu, Todor Zhivkov, sebagai pencuri.63 Dalam
pengadilan lainnya, mantan presiden Albania, Ramiz Alia, diadili untuk penyalahgunaan
59
Lihat, “Erich Mielke Sentenced to Six Years for 1931 Murders: Faces Other Charges,” This Week in Germany,
29 Oktober 1993, 2.
60
Lihat Adrian Dascalu, “Romania Jails Eight for 1989 Timisoara Uprising Massacre,” Reuters, 9 Desember
1991, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters.
61
Miroslav Stepan, mantan ketua partai komunis Praha, diadili dan divonis pada tahun 1990. Lihat “Prague’s ExParty Boss Guilty of Abuse of Power”, Chicago Tribune, 10 Juli 1990, § 1, hlm. 4. Para menteri dalam negeri –
Frantisek Kinel, Alojz Lorene dan Karel Vykypel – divonis pada bulan Oktober 1992. Lihat “Czechs Allow
Prosecution of Communist Crimes”, Reuters, 10 Juli 1993, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. Lihat
juga “August 1998 – Gateway to Power for Number of Politicians”, CTK National News Wire, 18 Agustus 1998,
tersedia di Lexis, News Library, arsip CTK.
62
Lihat Howard Witt, “Russians Whitewash Blame for 1991 Coup”, Chicago Tribune, 12 Agustus 1994, § 1,
hlm. 1. Apa yang semula dikoar-koarkan sebagai “pengadilan abad ini” ketika dimulai pada bulan April 1993,
berakhir dengan pembebasan salah satu tertuduh yang menolak menerima amnesti Februari 1994, dan menuntut
namanya dibersihkan.
63
Lihat “Ousted Bulgarian Gets 7-Year Term for Embezzlement”, New York Times, 5 September 1992, hlm. A2.
Lihat juga “Bulgarian Former Prime Minister Sentenced to Ten Years”, Reuters, 3 November 1992, tersedia di
Lexis, News Library, arsip Reuters. Namun, mahkamah agung negara tersebut membatalkan vonis tujuh tahun
tersebut dan membebaskan Zhivkov pada tahun 1996. Lihat U.S. Department of State, Human Rights Country
Reports (1997).
20
kekuasaan dan pencurian milik negara.64 Di Jerman, kepala federasi buruh Jerman Timur
diadili karena mencuri uang milik serikat dan dituduh melakukan “penipuan terhadap hak
milik sosialis”.65 Di Republik Ceko, mantan pemimpin komunis diajukan ke penyidikan
pidana berkaitan dengan penghindaran pajak.66 Pelanggaran ekonomi dipusatkan pada
pencurian “properti bersama”, meskipun properti demikian dan kejahatan serupa biasanya
tidak ada lagi dalam masa pasca-komunis.
Sebuah contoh lain adalah pengadilan di Moskow terhadap partai komunis.67
Meskipun terdapat preseden untuk memidana suatu organisasi, seperti di Nuremberg,
keputusan tersebut biasanya dijadikan dasar untuk melakukan pengadilan individual.68
Pengadilan individual didasarkan pada keanggotaan organisasi pidana. “Buah pikiran Bernay”,
demikian sebuah konsep dinamakan menurut pengacara yang merancang prosedur tersebut,
dikembangkan untuk mengatasi halangan praktis dan pembuktian untuk pengadilan terhadap
ribuan anggota SS atas kekejaman yang mereka lakukan. Dalam penggunaan prosedur pidana
yang tidak konvensional, pengadilan Moskow menguji batasan-batasan hukum pidana untuk
keadilan transisional. Sejauh praktik partai dapat ditunjukkan melanggar hukum dan korup,
usahanya adalah untuk menjadikan komunisme berada di luar lingkup pilihan politik yang sah.
Pengadilan serupa terhadap rezim pendahulu dilakukan di Ethiopia dalam transisi pascaMarxisnya.69
Bila pengadilan diadakan terhadap pelanggaran yang terkait dengan sistem ekonomi
lama yang sudah kehilangan pengaruh dengan perubahan rezim ekonomi, hal ini
menggambarkan pula masalah retroaktivitas yang mempengaruhi keadilan suksesor, karena
tidak memiliki prospektivitas legal. Pengadilan suksesor sering kali menimbulkan masalah ex
post facto dengan mengadili tindakan-tindakan lama yang baru dianggap sebagai pelanggaran,
dan tidak menaati prinsip prospektivitas atau melindungi legalitas konvensional serupa.
Meskipun rezim transisional sering kali berusaha untuk menuntut pertanggungjawaban
mantan pemimpinnya, dilemanya adalah sering kali pelanggaran terberat yang dilakukan
dalam masa itu tidak bisa dibebankan pada para pemimpin. Bahkan, sering kali sukar untuk
menemukan kaitan antara pimpinan politik dan pelanggaran-pelanggaran terburuk dalam
pemerintahan represif, sehingga dalam pengadilan suksesor, pemimpin hanya diadili untuk
pelanggaran lain yang tidak penting. Bila kebijakan peradilan pidana diarahkan untuk
mengadili kesalahan “kecil” para mantan pemimpin, pengadilan suksesor paling rentan
terhadap persepsi tentang keadilan yang terpolitisasi. Pengadilan demikian akan bertentangan
dengan intuisi kita tentang ketaatan terhadap kedaulatan hukum.
64
Lihat “Last Communist President Jailed for Five Years”, Agence France-Presse, 2 Juli 1994, tersedia di Lexis,
News Library, arsip Curnws.
65
Lihat “Former German Labor Boss Convicted of Fraud, Released”, Washington Post, 7 Juni 1991, hlm. A18.
66
Lihat misalnya, “Czech Republic: Slovakia Asked about Communist’s Tax Exemption”, Reuters, 30 Januari
1995, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters.
67
Yuri Feofanov, “The Estabilishment of the Constitutional Court in Rusia and the Communist Party Case”,
Review of Central and East European Law 19, No. 6 (1993): 623-37. Untuk transkrip dalam bahasa Inggris
tentang konferensi pers di mana para penuntut menjelaskan tujuan dan strategi hukum pengadilan, lihat Official
Kremlin International News Broadcast, 6 Juli 1992, tersedia di Lexis, News Library. Untuk laporan jurnalistik,
lihat David Remnick, “The Trial of the Old Regime”, New Yorker, 30 November 1992, hlm. 104.
68
Lihat Taylor, Anatomy of the Nuremberg Trials, 35-36. Namun, pada akhirnya ada pergeseran ke proses
administratif. Lihat bab 5.
69
Proclamation Establishing the Office of Special Prosecutor, pembukaan, No. 22/1992 (Ethiopia, 1992).
21
Dalam pengadilan suksesor lainnya yang diadakan di tingkat nasional, proses
pengadilan tidak selalu diarahkan pada jajaran tertinggi, namun terhadap mereka yang
bertanggung-jawab karena melakukan pelanggaran terburuk. Kebijakan penghukuman ini bisa
menyentuh jajaran terbawah dalam negara represif, hingga para polisi dan anggota militer
yang secara langsung melakukan kekejaman. Sebuah contoh penting adalah “pengadilan
penyiksa” di Yunani pada tahun 1975.70 Sebuah contoh lebih mutakhir adalah pengadilan
terhadap para penjaga perbatasan di Jerman. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa terdapat
kesulitan untuk menjalankan peradilan suksesor dari perspektif kerangka kejahatan yang biasa.
Meskipun kebijakan penghukuman demikian dapat mengidentifikasi dan mengutuk
pelanggaran yang dilakukan rezim pendahulu, namun kasus-kasus tersebut menimbulkan
dilema kedaulatan hukum yang signifikan. Di satu sisi kasus-kasus tersebut menerapkan nilai
keberlakuan hukum secara umum dan setara, namun di sisi lain kasus-kasus itu juga mencoba
mencari celah dari aturan ini. Kesetaraan di muka hukum bersifat mutlak; dalam pengadilan
terhadap mereka yang terkait dengan pelanggaran di masa lalu, terdapat suatu selektivitas
dalam kebijakan pengadilan, yang merupakan dilema sentral dalam penggunaan hukum pidana
untuk membangun transisi demokratik.
Masalah Tanggung Jawab dalam Transisi
Pengadilan suksesor yang dibicarakan di atas menunjukkan bahwa sukar untuk
mengkonseptualkan dan menerapkan pemahaman biasa tentang tindakan pidana dalam hukum
domestik setelah berakhirnya rezim represif. Karena, peradilan pidana suksesor memunculkan
permasalahan tentang siapa yang menjadi subjek kebijakan penghukuman. Apa standar
pertanggungjawaban yang tepat digunakan dalam pergantian rezim, dari sentralisasi ke
kebebasan individual? Apakah sebaiknya sistem penetapan hukuman mengikuti model
pemahaman tanggung jawab yang ada dalam rezim totaliter dan otoriter? Atau hukum harus
menjadi transformatif dan mengikuti pemahaman tanggung jawab seperti di negara liberal?
Dan sejauh mana hukum pidana memiliki peran dalam pergeseran politik?
Pada akhir abad ke-20, ada indikasi bahwa terdapat ekspansi potensi
pertanggungjawaban pidana: Setelah Nuremberg, baik pemimpin maupun serdadu sama-sama
memiliki tanggung jawab untuk pelanggaran negara. Bagaimana mengkonseptualisasi
tanggung jawab dalam hierarki kekuasaan? Sejauh mana seharusnya pemimpin dan bawahan
dituntut pertanggungjawaban mereka untuk tindak pidana yang sama? Apakah pembebanan
tanggung jawab pidana kepada salah satu berarti bahwa pihak yang lain memiliki tanggung
jawab yang lebih kecil; apakah mengadili atasan berarti membebaskan bawahan, dan
sebaliknya? Sebagai masalah praktis, pada tingkat pembuktian, terdapat kaitan yang tak dapat
dibantah dalam pertanggungjawaban hukum para pemimpin dan bawahan mereka. Tanggung
jawab komando dapat dibuktikan dari atas, bergantung pada bukti adanya kebijakan yang
melanggar hukum di tingkat atas, atau sebaliknya, bila bawahan merujuk pada pembelaan
70
Di kalangan para analis hak asasi manusia, pengadilan “para penyiksa” Yunani dianggap sebagai model ideal
pengadilan suksesor. Lihat Orentlicher, “Settling Accounts”, 2598. Untuk tinjauan mendetail tentang Pengadilan
militer Yunani, Lihat Amnesty International, Torture in Greece: The First Torturer’s Trial, 1975, London:
Amnesty International, 1877. Untuk pembicaraan tentang pengadilan selektif Yunani, lihat O’Donnell dan
Schmitter, Transitions: Tentative Conclusions, 29-30.
22
ketaatan pada perintah atasan, dibuktikan dari bawah, dari bukti adanya kejahatan di tingkat
bawah.
Aspek problematik dalam keadilan transisional tergambar baik di pengadilan suksesor
pasca-perang maupun kontemporer, seperti pengadilan para anggota militer Argentina dan
pengadilan Jerman-bersatu yang terkait penembakan di Tembok Berlin. Secara historis,
pertanyaan tentang relativitas tanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukan
pemerintah yang represif timbul dari pengadilan nasional Jerman untuk kekejaman yang
terkait Perang Dunia Kedua. Kasus-kasus demikian memunculkan masalah bagaimana
membebankan tanggung jawab pidana dalam suatu spektrum politik. Sebagai contoh, dalam
kasus pembantaian brutal empat ribu orang di dekat perbatasan Lithuania, pengadilan daerah
Ulm mengalami kesulitan dalam menentukan tanggung jawab tersangka. Adolf Hitler dan
lingkaran terdekatnya dianggap sebagai “pelaku utama” tindakan pemusnahan tersebut,
sementara para tersangka dalam kasus itu dianggap sebagai “rekan dalam kejahatan” – yang
memberikan kontribusi terhadap tindakan para pelaku utama. Dalam kasus-kasus ini,
pengadilan nasional tampaknya memiliki pendekatan zero sum terhadap tanggung jawab
pidana, yang pada akhirnya membatasi pertanggungjawaban total terhadap kesalahan di masa
lalu.71
Masalah relativitas tanggung jawab dalam transisi ini tampak jelas dalam pengadilan
Jerman-bersatu terhadap penembakan hingga tewas di Tembok Berlin. Selama hampir
setengah abad, Tembok Berlin adalah simbol internasional utama represi komunis. Tempat
tersebut menyaksikan usaha-usaha untuk melarikan diri ke kebebasan dan penembakan atas
perintah negara, menggambarkan totalitas kekangan komunis, dan keruntuhannya
melambangkan perubahan politik masif di wilayah tersebut. Setelah runtuhnya tembok
tersebut, pertanyaannya adalah bagaimana membebankan tanggung jawab pidana ketika
represi dirancang oleh para pemimpin politik namun dilaksanakan oleh para penjaga.
Pengadilan terhadap kasus penembakan Tembok Berlin terlihat tidak berimbang,
karena banyak penjaga berpangkat rendah diadili sementara tidak ada tuntutan untuk
pertanggungjawaban dari pihak-pihak atasan. Dalam kasus utama, dua penjaga dijatuhi
hukuman karena melakukan penembakan hingga tewas di perbatasan, meskipun mereka
mengaku hanya mengikuti perintah.72 Penghukuman tersebut sebenarnya merupakan afirmasi
terhadap prinsip Nuremberg, yaitu bahwa pembelaan ketaatan pada perintah harus dikalahkan
oleh tanggung jawab individual; namun, hal ini tidak didukung dengan penerapan prinsip
serupa terhadap para atasan. Meskipun mantan pemimpin Jerman Timur, Erich Honecker dan
lima pejabat senior lainnya dituduh mengotaki kebijakan “tembak mati” di perbatasan, hampir
semua tuduhan dicabut.73 Sedikit tuduhan yang menghasilkan keputusan memberikan
71
Rückerl, Investigation of Nazi Crimes, 48, 137.
Lihat Judgment of Jan. 20, 1992, Juristenzeitung 13 (1992): 691, 692 (F.R.G. Landgericht [LG] [Berlin]),
Stephen Kinzer, “2 East German Guards Convicted of Killing Man as He Fled to West”, New York Times, 21
Januari 1992, rubrik internasional.
73
Meskipun mantan pemimpin komunis, Egon Krenz dan ideolog partai Kirt Hager juga menjadi tertuduh, sukar
untuk mendapatkan bukti yang mengaitkan mereka dengan penembakan. Willi Stoph, mantan perdana menteri,
dan Erich Mielke, mantan kepala polisi rahasia, dibebaskan dari pengadilan karena alasan kesehatan. Lihat
Stephen Kinzer, “Germany Frees Ailing Honecker, Who Flies to Chile”, New York Times, 14 Januari 1993,
rubrik internasional. Tuntutan terhadap Honecker kemudian dibatalkan. Streletz, Albrecht dan Kessler, didakwa
pada tanggal 16 September 1993, tetapi kemudian dibebaskan dari penjara karena alasan kesehatan. Lihat Rick
Atkinson, “3 Ex-East German Officials Sentenced: Former Top Communists Found Guilty in Deaths of
Refugees”, Washington Post, 17 September 1993; Leon Mangasarian, “East German Leaders Found Guilty of
72
23
hukuman minimal. Bila para arsitek utama kebijakan “tembak mati” suatu negara bebas dari
tanggung jawab, prinsip tanggung jawab individual menjadi tampak lemah. Pertimbangkanlah
mengapa demikian. Kasus penjaga perbatasan ini seharusnya menunjukkan bahwa terdapat
kaitan erat antara tanggung jawab komandan dan bawahan untuk kejahatan yang dilakukan
dalam pemerintahan yang represif secara sistematis. Dilema tanggung jawab individual ini
harusnya diselesaikan dengan membebankan tanggung jawab yang sama kepada dalang
maupun pelaku.
Dilema pasca-totaliter yang dijelaskan di atas juga tampak dalam transisi lainnya.
Setelah pemerintahan militer, bagaimana mengkonseptualisasi tanggung jawab hukum para
komandan dan bawahan untuk kekejaman dalam negara polisi? Bila satu orang
memerintahkan orang lain untuk melakukan kejahatan, siapa “pelaku” kejahatan tersebut?
Inilah pertanyaan utama dalam pengadilan suksesor di Argentina terhadap junta militernya.
Teori “tanggung jawab bersama” yang diajukan oleh pengadilan tingkat rendah menganggap
bahwa tanggung jawab atasan sama tingginya dengan tanggung jawab bawahan untuk
pelanggaran yang sama, menurut doktrin “kendali tindakan” yang berasal dari Jerman, yang
membebankan tanggung jawab pidana kepada pelaku langsung maupun tidak langsung. Maka,
junta tersebut dianggap bertanggung-jawab atas perannya sebagai perencana dan pemberi
perintah penyiksaan dan penghilangan, sebagai “pelaku tidak langsung”, sementara orangorang lain yang terlibat dianggap sebagai “pelaku langsung”.74 Namun, setelah banding,
“tanggung jawab bersama” ini dimodifikasi oleh Mahkamah Agung yang berusaha untuk
menerapkan pemahaman normal tentang tanggung jawab pidana terhadap kejahatan aparat
represi. “Keberadaan pada saat yang sama dua tingkat tanggung jawab kejahatan tidak
memiliki dasar,” menurut Mahkamah Agung, karena jika seseorang bertanggung-jawab
terhadap terjadinya suatu kejahatan, ia memiliki “kendali tindakan”, sehingga tidak ada
tanggung jawab sebagai pelaku “tidak langsung” pada posisi komandan. Dengan demikian,
para komandan dianggap sebagai “rekan dalam kejahatan” penindasan.75
Karakterisasi tanggung jawab pidana ini tampak aneh, karena para pelaku utama
represi negara malah dianggap sebagai agen. Preseden junta mengabaikan signifikansi peran
Wall Killings but Set Free, UPI, 16 September 1993, tersedia di Lexis, News Library, arsip UPI. Egon Krenz
diadili bersama lima anggota politbiro lainnya atas tuduhan pembunuhan dalam peristiwa Tembok Berlin. Krenz
dijatuhi vonis pada bulan Agustus 1997 untuk enam setengah tahun penjara. Dua pejabat tinggi politbiro lainnya
masing masing dihukum tiga tahun. Lihat “Senior East German Officers Jailed for Berlin Wall Killings”,
Deutscher Presse Agentur, 26 Maret 1998, tersedia di Lexis, News Library. “Hingga tahun 1997, terdapat 50
kasus yang dibawa ke pengadilan terhadap sekitar 100 serdadu, perwira dan pejabat pemerintah yang dituduh
berkaitan penembakan di Tembok Berlin. Dari jumlah itu, 55 telah mendapatkan vonis. Hampir semua
mendapatkan hukuman yang singkat atau ditunda. Edmund Andrews, “Honecker’s Succesor Jailed for Wall
Killings”, International Herald Tribune, 26 Agustus 1997, tersedia di Lexis, News Library. Untuk diskusi
doktrinal tentang kasus-kasus ini, lihat German Yearbook of International Law 36 (Berlin, 1993): 41. Untuk
laporan jurnalistik, lihat Rosenberg, Haunted Land.
74
Proses peradilan terhadap Jorge R. Videla et al. semula diajukan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata
mengikuti Dekrit No. 158. Judgment of December 9, 1986 bagian 308-314 (Federal Criminal and Correctional
Court of Appeals, Federal District of Buenos Aires), sebagaimana diterjemahkan dan dicetak ulang dalam
Alejandro M. Garro dan Henry Dahl, “Legal Accountability of Human Rights Violations in Argentina: One Step
Forward and Two Steps Backward”, Human Rights Law Journal 8 (1978): 417-18. Lihat Paula K. Speck, The
Trial of Argentine Junta: Responsibilities and Realities,” Inter-American Law Review 18 (1987): 491.
75
Judgment of December 30, 1986 bagian 23-29, 48-49 (Mahkamah Agung Argentina, Buenos Aires).
Sebagaimana diterjemahkan dan dicetak ulang dalam Garro dan Dahl, “Legal Accountability for Human Rights
Violations in Argentina,” 435-39.
24
pejabat tinggi dalam penindasan. Terlebih lagi, dampak dari pandangan ini amat kuat.
Meskipun para komandan tersebut hanya diancam untuk hukuman yang ringan, pengadilan
mereka sebagai “aktor tidak langsung” tampaknya memungkinkan pembatasan tanggung
jawab pada tingkat bawah, yang pada akhirnya dapat melemahkan kebijakan pengadilan
tersebut. Pengakuan terhadap tanggung jawab para komandan sebagai pelaku kebijakan
penindasan mendorong pembelaan “ketaatan pada perintah” oleh para bawahan, dan
menghindarkan diri dari tanggung jawab individual. Setelah perlawanan keras dari milter
terhadap proses pengadilan tersebut, pembelaan ketaatan pada perintah ini dihidupkan kembali
sebagai cara untuk membatasi jumlah potensial kasus yang dibawa ke pengadilan, dan hanya
memungkinkan tindakan “amat kejam” yang melangkahi perintah yang diberikan. Pada
akhirnya, proses pengadilan terhadap kasus-kasus demikian pun dihentikan.
Kegagalan program pengadilan suksesor di Argentina menggambarkan konsekuensi
berisiko dari usaha untuk memberikan hukuman dalam konteks ekspansi pemahaman
tanggung jawab kontemporer, namun dalam kondisi transisional. Tanpa prinsip pembatasan
yang jelas, sebagian besar anggota angkatan bersenjata negara tersebut terancam untuk
diajukan ke pengadilan, suatu bayangan yang menimbulkan instabilitas, sehingga pada
akhirnya, menghasilkan pemgampunan dan amnesti sistemik.76
Kebijakan pengadilan Argentina setelah masa pemerintahan militer sebenarnya rentan
karena bermula pada junta militer yang memerintah, namun terhenti pada jajaran bawah.
Demikian pula, kebijakan pengadilan Jerman setelah komunisme juga rentan karena gagal
mengadili mereka yang berada di jajaran atas. Kedua pengalaman pengadilan suksesor ini
menunjukan kesukaran untuk membangun pesan normatif perubahan menuju liberalisasi.
Penuntutan tanggung jawab individual untuk kejahatan yang dilakukan dalam kerangka represi
sistemik menimbulkan dilema pertanggungjawaban. Pertanyaannya adalah kepada siapa
dibebankan pertanggungjawaban setelah represi yang sistemik. Praktik suksesor yang
dibicarakan di sini menunjukan bahwa kejahatan sistemik tidak bisa dijawab dengan
pemahaman normal tentang tanggung jawab pidana dan prinsip pemandu yang relevan.
Tindakan kesalahan secara sistemik terjadi dalam spektrum kekuasaan dari pemimpin hingga
bawahan, menyulitkan pemberian sanksi pidana. Pada akhirnya, tingkat pertanggungjawaban
yang tepat harus didapatkan dari kebijakan yang memiliki andil terhadap pelanggaran, yang
mencirikan represi kontemporer.
Sanksi Pidana Terbatas
Praktik transisional selama setengah abad terakhir menunjukan bahwa selalu terdapat masalah
peradilan yang ditimbulkan dari pergeseran norma paradigmatik yang mencirikan transisi.
Kompromi terhadap keadilan ini memberikan batasan sekaligus memungkinkan pelaksanaan
kekuasaan penghukuman dalam transisi. Meskipun terdapat ekspansi dramatik dalam
pertanggungjawaban pidana pada tingkat abstrak, pelaksanaannya masih tertinggal jauh.
Praktik suksesor menunjukan suatu pola penyelidikan pidana yang dilanjutkan proses
pengadilan, namun dengan sanksi yang ringan atau tidak ada sama sekali. Sementara hukuman
76
Untuk tinjauan tentang bagaimana militer menyatukan kekuatan untuk melawan ancaman hukuman, lihat Jaime
Malamud-Goti, “Trying Violators of Human Rights: The Dilemma of Transitional Democratic Governments”,
dalam State Crimes: Punishment of Pardon, Queenstown, Md: Aspen Institute, 1989, 71-88.
25
secara umum dikonseptualkan sebagai praktik tunggal yang mencakup proses penentuan dan
penghukuman kesalahan, dalam sanksi pidana transisional, elemen-elemen penentuan dan
pemberian sanksi menjadi terpisah satu sama lain. Proses pidana parsial yang menyusul, yang
dikenal sebagai sanksi “terbatas” adalah yang membedakan peradilan pidana dalam transisi.
“Sanksi pidana terbatas” mencakup proses pengadilan yang belum tentu berpuncak
pada pemberian hukuman maksimum. Dalam sanksi terbatas, tahap-tahap penentuan
kesalahan dan pemberian sanksi dipisahkan. Bergantung pada batasan proses pemberian
sanksi, penyidikan bisa berakhir pada tuduhan, ajudikasi atau vonis. Terlebih lagi, vonis yang
diberikan biasanya ringan atau tanpa hukuman. Jadi, dalam masa transisi, sanksi pidana sering
kali dibatasi pada penyelidikan untuk membuktikan kesalahan. Pemberian keputusan tentang
adanya tindakan salah, bukan terhadap tertuduh ini merupakan ciri dari beberapa negara yang
menganut hukum sipil.77 Jadi, di Jerman, badan pengadilan memiliki tugas independen berupa
Aufklärungspflicht, “penyelidikan atau klarifikasi”, tentang adanya tindakan salah, yang
terpisah dari kebersalahan tertuduh.78 Namun, sanksi pidana terbatas melangkah lebih jauh
dalam peradilan transisional yang khas pada kondisi transisional.
Pembatasan sanksi pidana dalam transisi tergambarkan dalam sejarah: pada pengadilan
pasca-perang Dunia Pertama,79 dalam kasus-kasus Perang Dunia Kedua, dan pengadilan
pasca-kekuasaan militer di Eropa Selatan, dan juga peradilan pidana suksesor kontemporer di
Amerika Latin dan Afrika, dan yang paling mutakhir, gelombang perubahan politik di Eropa
Tengah setelah keruntuhan Soviet. Peradilan suksesor pasca-Perang Dunia Kedua merupakan
contoh baik pemberian sanksi pidana terbatas, meskipun ini adalah sisi yang kurang terkenal
dari pemahaman keadilan pasca-perang ini. Setelah diadakan Tribunal Militer Internasional
dan ketika pengadilan Allied Control Council No. 10 masih berjalan, terdapat perubahan
kebijakan penghukuman. Antara tahun 1946 hingga 1958, suatu proses peninjauan dan
pengampunan berakhir dengan pengurangan sanksi secara besar-besaran bagi para penjahat
perang Jerman. Banyak orang yang dijatuhi hukuman dalam pengadilan Control Council No.
10 oleh otoritas pendudukan praktis tidak dihukum, melalui program pengampunan yang
diawasi Komisioner Tinggi Amerika Serikat, John McCloy.80 Urutan serupa dapat diamati
pada pengadilan nasional Jerman. Dari lebih dari 1000 kasus yang diadili antara tahun 1955
dan 1969, kurang dari 100 terdakwa dijatuhi hukuman seumur hidup, dan kurang dari 300
mendapat hukuman yang lebih ringan.81
Bertahun-tahun kemudian, urutan serupa terjadi pula dalam transisi Eropa Selatan.
Pengadilan terhadap polisi militer di Yunani berakhir dengan hukuman yang singkat atau
dapat dikurangi. Posisi pemerintah adalah bahwa pengadilan dan pendakwaan sudah
memenuhi keadilan, dan sebaliknya, “pada tahap akhir, tanggung jawab politis yang tinggi
77
Lihat John Merryman, The Civil Law Tradition, Stanford University Press, 1985.
Lihat § 155 (II) StPO (pengadilan diwajibkan bertindak secara independen). Lihat German Code of Criminal
Procedure, Vol. 10 (C), “Principles of Proof”, John H. Langbein, Comparative Criminal Procedure: Germany,
St. Paul: West Publishing, 1977.
79
Lihat Sheldon Glueck, War Criminals: Their Prosecution and Punishment, New York: Knopf, 1944, 19-36,
untuk tinjauan sejarah tentang tindakan yang diambil terhadap penjahat perang Jerman menurut Perjanjian
Versailles. Lihat juga James P. Willis, Prologue to Nuremberg: The Politics and Diplomacy of Punishing War
Criminals of the First World War, Westport, Conn: Greenwood Press, 1982, 116-39, 174-76 (membicarakan
usaha penghukuman pasca-Perang Dunia Pertama).
80
Lihat Frank M. Buscher, The U.S. War Crimes Trial Program in Germany, 1946-1955, New York: Greenwood
Publishing Group, 1989, 62-64.
81
Lihat umumnya Herz (ed.), From Dictatorship to Democracy.
78
26
harus diutamakan”.82 Pola serupa tampak dalam transisi dari pemerintahan militer di Amerika
Latin. Segera setelah dekade 1980-an, pengadilan junta militer Argentina mulai melakukan
batasan terhadap pengadilan lebih lanjut, dan memberikan pengampunan.83 Sementara pada
awal transisi militer diancam oleh hukuman, secara progresif ancaman tersebut dikikis –
pertama melalui pengampunan oleh presiden, dan kemudian melalui keputusan legislatif yang
membatasi jurisdiksi dan memberikan amnesti umum (blanket amnesty). Pada akhirnya,
pengampunan presiden diberikan secara luas kepada semua orang yang dituduh melakukan
kekejaman, termasuk para pemimpin tertinggi junta militer. Amnesti diterima sebagai hal yang
umum di seluruh wilayah benua tersebut, misalnya di Cili, Nikaragua dan El Salvador, yang
dampaknya akan dibicarakan lebih lanjut dalam bab ini.
Kisah ini terulang lagi dalam pengadilan suksesor setelah keruntuhan komunis.
Sepuluh tahun setelah revolusi, dan di seluruh wilayah Eropa, terlihat penerapan sanksi yang
terbatas. Dalam pengadilan penjaga perbatasan Jerman, penangguhan penjatuhan hukuman
menjadi norma,84 demikian pula di Republik Ceko. Di Romania, para mantan pemimpin
komunis dan polisi yang dipenjara berkaitan dengan pembantaian pada bulan Desember 1989
dibebaskan dalam jangka waktu dua tahun, baik karena alasan kesehatan atau karena
pengampunan dari presiden. Di Bulgaria, usaha terpenting untuk melakukan penghukuman
gagal; Todor Zhivkov tidak menjalani hukumannya untuk kasus pencurian, sementara orangorang lainnya mendapatkan pengampunan. Di Albania, sebuah hukum amnesti memberikan
kekebalan bagi banyak mantan pemimpin rezim lama yang dihukum untuk penyalahgunaan
kekuasaan, termasuk presiden komunis terakhir negara itu. Selama sekitar lima tahun transisi
di wilayah tersebut, arah perkembangan menunjukkan lemahnya penerapan tahap terakhir
kebijakan penghukuman ini. Sebagaimana terlihat dari sejarah, terdapat batasan de facto
terhadap sanksi pidana.
Fenomena yang sama terlihat di wilayah-wilayah lainnya. Di Korea Selatan pascakediktatoran, para presiden yang didakwa melakukan korupsi akhirnya diampuni setelah
82
Amnesty Internasional, Torture in Greece, 65. Diamandouros, “Regime Change and the Prospects for
Democracy in Greece: 1974-1983”, 138-64, 161.
83
Lihat “Argentine Seeks Rights-Trial Curb: Alfonsin Urges a Time Limit on Prosecution for Abuses under
Military Rule”, New York Times, 6 Desember 1986, rubrik internasional. Lihat juga “200 Military Officers Are
Pardoned in Argentina”, New York Times, 8 Oktober 1989, rubrik internasional, hlm. 12. Tentang gelombang
kedua pemberian pengampunan, lihat Shirley Cristian, “In Echo of the ‘Dirty War’ Argentines Fight Pardons”,
New York Times, 28 Desember 1990, rubrik internasional, hlm. A3. Lihat juga Americas Watch, Truth and
Justice in Argentina: An Update, New York: Human Rights Watch, 1991; Carlos Nino, “The Duty to Punish Past
Abuses of Human Rights Put into Context: The Case of Argentina”, Yale Law Journal 100 (1991): 1619.
Perkembangan terakhir di Argentina bertentangan dengan gejala ini. Lihat “President Says He Won’t
Veto Repeal of Amnesty Laws”, Agence France-Presse, Buenos Aires, 26 Maret 1998; Marcela Valente,
“Rights-Argentina: Dissatisfaction with Repeal of Amnesty Laws”, Inter Press Service, Buenos Aires, 25 Maret
1998.
84
Untuk tinjauan tentang kasus penjaga perbatasan, lihat Micah Goodman, “After the Wall: The Legal
Ramifications of the East German Border Guard Trials in Unified Germany”, Cornell International Law Journal
29 (1996): 727. Lihat juga “Former Albanian President Has Sentence Cut by Three Years”, Agence France
Presse, 30 November 1994, tersedia di Lexis, News Library, arsip AFP; Henry Kamm, “President of Albania
Rebuffed on Charter”, New York Times, 1 Desember 1994, tersedia di Lexis, News Library; “28 Communist
Officials Tried for Antoconstitutional Activity”, CTK National News Wire, 21 September 1994, tersedia di Lexis,
News Library, arsip CTK (vonis terhadap mantan menteri keuangan Cekoslowakia Zak dan Ler); “Romanians
Protest over Communist Bosses Release”, Reuters World Service, 21 September 1994, tersedia di Lexis, News
Library, arsip Reuters.
27
sebentar menjalani hukuman. Di Cili, meskipun terdapat hukum yang mengecualikan militer
dari pengadilan, pengecualian ini bersyarat pada kerja sama para perwira tersebut dalam
penyelidikan pidana yang berkaitan dengan pelanggaran pada masa pemerintahan militer.85
Ancaman sanksi langsung dihilangkan asal mereka bersedia mengaku melakukan kesalahan.
Hal yang sama juga terjadi di Afrika Selatan pasca-apartheid: pemberian amnesti terhadap
kejahatan politik masih memberikan kesempatan untuk penyelidikan terhadap pelanggaran di
masa lalu dan melakukan proses pengadilan yang terbatas.86
Respon hukum kontemporer lainnya, seperti tribunal internasional ad hoc yang
dibentuk untuk mengadili genosida dan kejahatan perang, mencerminkan perkembangan yang
serupa. Tribunal pidana internasional yang dibentuk untuk mengadili kekejaman yang terjadi
di bekas Yugoslavia dan Rwanda menunjukkan pemahaman terhadap sanksi terbatas ini.87
Usaha untuk mencapai keadilan dalam perdamaian yang rapuh memiliki konsekuensi
signifikan untuk penerapan hukum pidana secara efektif, yaitu kemungkinan untuk melakukan
pengadilan dan memberikan sanksi, sehingga membatasi sanksi pidana dalam kondisi
demikian. Misalnya, ketiadaan proses penahanan terhadap tertuduh, dan ketiadaan kendali
terhadap bukti dan adanya batasan yang terkait dengan pengadilan kejahatan perang,
menyebabkan tribunal internasional sering kali tidak memiliki pilihan selain melakukan
penyelidikan dan mengajukan tuduhan – dan hanya sampai di situ. Jadi proses internasional
tersebut menimbulkan suatu model baru: suatu prosedur gabungan antara tuduhan dan
dakwaan yang mencerminan sanksi terbatas. Dalam prosiding superindictment (dakwaan
paling berat) yang disediakan dalam aturan-aturan tribunal, semua bukti yang tersedia
dikumpulkan dan dibacakan secara publik,88 dan dakwaan tersebut dikonfirmasi, meskipun si
tertuduh tidak hadir, dan dengan demikian secara terbuka menentukan kebenaran tentang
peristiwa yang dipermasalahkan dan mengutuknya. Proses ini memungkinkan penentuan
kesalahan di balik pelanggaran tersebut, dan juga mengesahkan keputusan yang formal dan
publik.
Peradilan Pidana Terbatas dan Konstruksi Transisi
Pertimbangkanlah signifikansi sanksi pidana terbatas bagi transisi politik. Mengapa, meskipun
dengan hasil terbatas dari pengadilan suksesor yang dibahas di muka, tetap ada persepsi umum
85
Lihat Human Rights Watch Americas, Unsettled Business: Human Rights in Chile at the Start of the FREI
Presidency, New York: Human Rights Watch, 1994, 1-4.
86
Lihat Azanian Peoples Organisation (AZAPO) and Others v. President of the Republic of South Africa and
Others, 1996 (8) BCLR 1015 (CC) (menjunjung konstitusionalitas undang-undang amnesti); Lourens du Plessis,
“Amnesty and Transition in South Africa”, dalam Alex Boraine et al. (eds.), Dealing with the Past: Truth and
Reconciliation in South Africa, Cape Town: Institute for Democracy in South Africa, 1994.
87
Tribunal tersebut dibentuk untuk tujuan “pengadilan terhadap orang-orang yang bertanggung-jawab terhadap
pelanggaran serius hukum kemanusiaan internasional yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun
1991. Lihat Report of the Secretary-General Pursuant to Paragraph 2 of the U.N. Security Council Resolution
808, S/25704 (1993).
88
Lihat International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International
Humanitarian Law Committed in the Territory of Former Yugoslavia Since 1991: Rules for Procedure and
Evidence, aturan 61, dicetak ulang dalam International Legal Materials 33 (1994): 519. Istilah superindictment
digunakan untuk kepentingan internal tribunal. Lihat Graham Blewitt, wakil penuntut untuk Tribunal Yugoslavia,
wawancara dengan penulis, Waldorf Astoria Hotel, New York, 7 April 1995.
28
bahwa di Tribunal Nuremberg, Pengadilan Militer Yunani, dan Pengadilan Federal Buenos
Aires, keadilan telah tercapai? Meskipun tidak diberi hukuman maksimum, sanksi pidana
transisional tampaknya menjadi simbol kedaulatan hukum.
Intuisi kita tentang pemberian hukuman adalah dengan menjustifikasikannya dalam
keterkaitannya dengan pelanggaran spesifik dan hukuman terhadap pelaku individual,
sementara sanksi pidana terbatas dijustifikasi secara umum untuk tujuan-tujuan yang
melampaui kejahatan spesifik, dalam kondisi transisional. Sementara intuisi kita adalah bahwa
sifat dan peran sanksi pidana itu kaku, dan stabilitas dianggap sebagai norma inti kedaulatan
hukum, sanksi transisional menunjukkan peran dinamik peradilan pidana dalam memajukan
perubahan normatif. Praktik pemberian hukuman dalam masa-masa ini memajukan
kepentingan transformasi dalam kondisi transisi. Dalam sanksi pidana terbatas, hukum
memediasi transisi. Tujuannya adalah untuk melihat ke belakang dan ke depan, retrospektif
dan prospektif, diskontinu dan kontinu. Pemisahan dari rezim pendahulu diajukan dengan
praktik-praktik pemberian hukuman; mengadili kesalahan pendahulu berarti meninggalkan
kesalahan-kesalahan tersebut. Bahkan bila masalah pertanggungjawaban untuk kejahatan masa
lalu tidak sepenuhnya diselesaikan, penentuan kejahatan-kejahatan di masa lalu dapat
memajukan tujuan-tujuan penting yang berkait dengan pemberian hukuman, seperti klarifikasi
kejahatan lama yang menimbulkan kontroversi.89
Sanksi terbatas memungkinkan penyelidikan dan pengutukan terhadap kejahatan masa
lalu. Proses pidana dipergunakan untuk menyelidiki, menentukan dan mengutuk kesalahan
dengan signifikansi lebih luas daripada sekadar kontroversi khusus antara para pelaku suatu
pelanggaran tertentu dan korbannya, ke seluruh masyarakat luas yang mengalami pergolakan
politik. Fungsi klarifikasi dari penyelidikan pidana transisional, yaitu tujuan “epistemik”-nya,
berasal dari arti “penuntutan” (prosecution) dari abad ke-16, yaitu untuk mengetahui fakta
secara jelas, untuk memperoleh detail-detail dari suatu permasalahan.90 Penyelidikan pidana
formal memungkinkan penemuan fakta tentang suatu kejahatan yang kontroversial, dilakukan
dalam proses pidana dengan standar pengetahuan yang tinggi dan melalui prosedur publik
yang formal. Pada masa gejolak politik, pelanggaran yang dilakukan pada masa pemerintahan
sebelumnya memiliki dimensi publik yaitu kebijakan negara, sehingga penyelidikan pidana
memungkinkan sebuah negara untuk membangun masa lalu negara yang disepakati bersama
melalui ritual publik kolektif. Dan, meskipun pengetahuan yang didapatkan dari catatan
pengadilan atau penyelidikan pidana tampaknya lebih terbatas daripada pencatatan sejarah
yang lebih mendetail, ia masih tetap berguna dalam masa transisi. Peradilan pidana
transisional memungkinkan suatu bentuk penyelidikan yang sangat terkendali dan terbatas
terhadap masa lalu. Melalui proses pengajuan tuntutan, rezim suksesor di suatu negara secara
efektif mengendalikan arah penyelidikan sejarah, menjelaskan masa lalu politik yang gelap
dari suatu negara. Bahkan dalam bentuknya yang terbatas, sanksi pidana transisional
memajukan kepentingan untuk menentukan dan mengutuk pelanggaran di masa lalu.
Sanksi transisional yang terbatas ini menawarkan resolusi pragmatis terhadap dilema
utama transisi, yaitu masalah pertanggungjawaban individual untuk pelanggaran sistemik yang
dilakukan pada masa pemerintahan terdahulu yang represif. Timbulnya sanksi terbatas ini
89
Lihat Joel Feinberg, Doing and Deserving – Essays in the Theory of Responsibility, Priceton: Princeton
University Press, 1970. Lihat juga Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds of Liberty, New York: Oxford
University Press, 1084.
90
Lihat Oxford English Dictionary, edisi kedua, pada entri “prosecution”.
29
menunjukkan cara pikir yang lebih fleksibel tentang apa kegunaan penghukuman, dengan
menunjukkan kesalahan tanpa harus membebankan kesalahan atau hukuman. Sementara
dalam teori penghukuman (penal theory) yang umum, justifikasi retributif yang berkaitan
dengan hukuman dianggap sebagai praktik yang menyatu-padu, sanksi dalam transisi
mendorong pemikiran kembali tentang teori penghukuman dan justifikasinya dengan
mengaitkannya lebih dekat dengan berbagai tahapan dalam proses pidana. Sanksi transisional
menunjukkan cara alternatif untuk pemikiran ide retributif.91
Meskipun sanksi transisional dicirikan oleh keterbatasan hukuman, pengalaman di atas
menunjukkan bahwa tujuan utama, yaitu penjatuhan hukuman, dapat dicapai dengan
pemberian hukuman yang ringan – bahkan simbolis. Tujuan retributif utama yang diajukan
oleh proses kriminal yang terbatas adalah pengakuan dan stigmatisasi kejahatan di masa lalu.
Pengutukan terhadap kejahatan di masa lalu memiliki dimensi transformatif. Kejahatan yang
secara terbuka diungkap dan dijelaskan penanggung-jawabnya, dapat mengisolasi pelakunya
dan membebaskan masyarakat secara kolektif melalui proses transformasi yang terukur.
Tindakan sederhana mengungkap kejahatan dapat menstigmatisasikan dan mendiskualifikasi
mereka yang bertanggung-jawab dari lingkup publik dan privat, jabatan kepemimpinan politik
atau semacamnya dalam rezim yang baru. Pengungkapan demikian secara tegas
mengkonstruksikan pelanggaran-pelanggaran ke dalam lingkup publik dan membebankan
tanggung jawab terhadap peristiwa-peristiwa tersebut pada rezim pendahulu. Pada kondisi
perubahan politik yang radikal, beberapa tujuan yang dicoba dicapai oleh proses pidana
konvensional dapat dicapai dalam bentuknya yang lebih terbatas. Sanksi terbatas ini mencakup
pula sanksi kemasyarakatan (civil sanction), yang dibicarakan lebih lanjut pada bab 5.
Kegunaan sanksi terbatas memberikan pelajaran bagaimana tanggung jawab pidana
dikonseptualkan dalam konteks transisional. Meskipun kita lazimnya menjustifikasi hukuman
dengan merujuk tindakan yang dilakukan oleh tersangka pelakunya,92 dalam masa transisi,
pertanyaannya adalah apakah ada teori tanggung jawab individual yang bisa menjembatani
pergerakan dari rezim represif ke rezim yang lebih liberal. Sanksi transisional yang terbatas
merupakan jembatan tersebut. Ketiadaan hukuman atau sanksi yang berat menunjukkan
pemahaman yang lebih kompleks tentang tanggung jawab pidana dalam penerapan prinsip
tanggung jawab individual dalam konteks pertanggungjawaban pidana yang dikaitkan dengan
kejahatan sistemik dalam pergeseran dari pemerintahan represif.
Pengakuan terhadap batasan tanggung jawab individual didapatkan dengan peniadaan
aspek penghukuman dalam proses. Penerimaan secara umum pengurangan atau peniadaan
hukuman dalam masa-masa demikian menunjukkan pengakuan terhadap berkurangnya tingkat
kesalahan dan tanggung jawab pidana yang terkait yang diasosiasikan dengan pemerintahan
non-demokratik, dengan dampaknya terhadap penerapan prinsip-prinsip tanggung jawab
hukum dalam transisi. Akhirnya, ketika institusi dan proses peradilan pidana tidak memiliki
legitimasi yang biasanya dikaitkan dengan kedaulatan hukum, model pidana parsial paling
tidak menunjukkan bahwa atribut-atribut kedaulatan hukum tetaplah berlaku. Sanksi terbatas
memberikan solusi praktis terhadap dilema transisi yang ditimbulkan oleh penggunaan hukum
pidana untuk mengadakan pergeseran normatif yang dikaitkan dengan pemerintahan yang
lebih liberal.
91
Lihat Sanford H. Kadish, “Foreword: The Criminal Law and the Luck of the Draw”, Journal of Criminal Law
and Criminology 84 (musim dingin/semi 1994): 679, 698.
92
Lihat umumnya Hart, Punishment and Responsibility.
30
Amnesti Transisional
Praktik-praktik yang dibicarakan di sini mengarah pada pemberian pengampunan dalam
respon hukum pidana terhadap kejahatan negara dalam rezim lama. Bahkan, pembatasan
proses pidana sering kali terlihat dalam pemberian amnesti umum terhadap kejahatan negara
masa lalu: amnesti transisional. Bahkan, pergeseran politik kontemporer menunjukkan paling
tidak pada suatu tingkat deskriptif, adanya kaitan antara transisi dan amnesti. Dilema tentang
apakah perlu dilakukan penerapan hukum pidana tidak timbul dengan sendirinya, namun
setelah perang, pertikaian internal, kediktatoran, atau pemerintahan represif lainnya, dan pada
saat demikian, transisi sering kali timbul dari negosiasi, dan dalam konteks ini, peradilan
pidana sering kali menjadi alat tawar-menawar, dengan kesepakatan untuk memberikan
amnesti sebagai syarat untuk meliberalkan tatanan politik. Jadi, dari awal mula, amnesti
memiliki peranan dalam mendorong transformasi politik.
Dilema Perdamaian atau Keadilan
Pertimbangkanlah bagaimana usaha pencapaian perdamaian dan rekonsiliasi sesuai dengan
usaha pencapaian keadilan. Bagaimana mendamaikan kedua tujuan tersebut?93 Dilema
perdamaian atau keadilan memiliki banyak bentuk dalam transisi, baik dikaitkan dengan
perang, konflik internal atau pergantian rezim. Mungkin contoh terjelas ketegangan yang
ditimbulkan dari usaha untuk mencapai perdamaian atau keadilan tampak pada saat perang
atau tepat setelah selesainya; selama masa permusuhan, sering kali terdapat pertentangan
antara kedua tujuan tersebut, karena ancaman pertanggungjawaban pidana membayangi
kelancaran pembicaraan perdamaian. Dilema ini tampak jelas dalam perdebatan historis
Perang Dunia Kedua tentang persidangan penjahat perang yang kemudian akan diadakan di
Nuremberg. Hal ini muncul lagi dalam perdebatan kontemporer tentang pengadilan kejahatan
perang berkaitan dengan pertikaian di wilayah bekas Yugoslavia.94 Konflik Balkan secara
lugas menunjukkan dilema yang timbul dalam pelaksanaan usaha-usaha untuk mencari
keadilan dan perdamaian secara bersamaan. Misalnya, timbul masalah paradoksal untuk
mengadili para pimpinan politik yang melakukan kejahatan perang sementara mereka adalah
rekan dalam perundingan dalam kerangka PBB.
Pertanyaan ini menjadi semakin penting dengan terbitnya tuduhan internasional
terhadap pemimpin Serbia Bosnia, Radovan Karadzic, dan komandan militernya, Ratko
Mladic, meskipun kerja sama mereka dalam perundingan perdamaian masih tetap diharapkan.
Di satu pihak, keadilan tidak boleh mengalah pada politik, dan karena itu muncullah tuduhan
tersebut, namun bila perundingan damai berakhir dengan amnesti, akan terdapat anggapan
bahwa hal itu merupakan hasil politisasi. Contoh ini menggambarkan pandangan pro dan
93
Untuk diskusi tentang kaitan peradilan pidana internasional dengan perdamaian dalam konteks konflik Balkan,
lihat Ruti Teitel, “Judgment at the Hague”, East European Constitutional Review 5, No. 4 (musim gugur 1996).
94
Lihat Elaine Sciolino, “U.S. Names Figures to Be Prosecuted over War Crimes”, New York Times, 17
Desember 1992, rubrik internasional; Roger Cohen, U.N. in Bosnia, Black Robes Clash with Blue Hats”, New
York Times, 23 April 1995, hlm. A3.
31
kontra terhadap peradilan pidana dalam transisi. Jika penjahat perang bukanlah pihak yang sah
dalam perundingan perdamaian, sejauh mana peradilan pidana dilaksanakan dalam masa
perang? Sementara melanjutkan perundingan damai dengan tertuduh atau terdakwa penjahat
perang di tengah-tengah dilaksanakannya usaha pencarian keadilan bisa dianggap sebagai
usaha pembujukan politik. Sebaliknya, memulai proses pengadilan pada kondisi demikian bisa
memberikan dampak buruk pada usaha pencapaian keadilan, menandakan standar hak asasi
manusia yang rendah.
Namun, tetaplah ada peran bagi keadilan dalam pertikaian, meskipun sering kali tidak
dapat dikonkretkan. Pembicaraan saja tentang proses peradilan bisa berperan sebagai
penggentar dalam konflik tertentu: misalnya, sidang Prancis mengenai pengadilan tentara
Jerman pada masa Perang Dunia Pertama;95 demikian juga ancaman hukuman yang
dikeluarkan pada masa Perang Dunia Kedua. Ketika pihak Sekutu menyadari adanya
kekejaman, sebelum perang berakhir, Deklarasi Moskow memberikan peringatan bahwa
Sekutu akan “mengejar mereka yang bersalah hingga ke ujung dunia dan menyeret mereka ke
depan meja pengadilan”.96 Hingga sejauh mana peringatan keras ini memiliki nilai
penggentar? Pertanyaan ini menjadi penting dalam ancaman pemberian hukuman yang lebih
kontemporer di Balkan, karena tetap saja terjadi pelanggaran seperti pembantaian di
Srebrenica.
Ketika pertikaian hendak berakhir, hal lain dalam dilema perdamaian atau keadilan
muncul pula. Terutama dalam “keadilan sang pemenang”, seperti pengadilan pasca-perang,
sering diperlukan pengimbangan kepentingan perdamaian dan keadilan. Konflik antara kedua
kepentingan itu tampak dalam tuntutan yang diformulasikan dalam pengadilan pasca-perang,
seperti di Nuremberg, di mana individu dituduh bertanggung-jawab untuk melakukan
pelanggaran “perang agresif”. Konsepsi dominan tentang pelanggaran pidana di Nuremberg
dalam konteks perang atau damai menggarisbawahi sasaran ganda pengadilan tersebut untuk
mencapai keadilan dan perdamaian.97 Namun, alih-alih penggunaan peradilan pidana untuk
mecapai keadilan, jauh lebih banyak terlihat penggunaan pengampunan oleh kekuasaan pidana
untuk memajukan transisi politik.
Amnesti dalam Demokrasi
Pengalaman historis maupun kontemporer menunjukkan kaitan erat antara amnesti dan
transformasi liberal. Amnesti transisional sering mendahului, atau menyertai perubahan politik
menuju ke arah liberal. Sebuah gambaran dari masa kuno tampak dalam konstitusi Athena
tentang rekonsiliasi setelah kekalahan Athena dalam Perang Peloponesia. Pemerintahan
oligarki transisional dan pengembalian demokrasi (meskipun bukan demokrasi dalam arti
modern) menimbulkan pertanyaan tentang apakah, dan sejauh mana, perlu diadakan
penghukuman terhadap rezim despotik sebelumnya. Peristiwa rekonsiliasi kuno ini
dilaksanakan dengan kesepakatan berikut ini: “[T]idak seorang pun boleh mengingat
pelanggaran masa lalu oleh siapa pun kecuali yang Tiga Puluh, Sepuluh, Sebelas dan para
95
Lihat Jacques Dumas, Les Sanctiones Penales des Crimes Allemands, Paris: Rousseau et cie., 1916.
“The Moscow Declaration on German Atrocities, 1943”, dicetak ulang dalam Falk, Kolko dan Lifton (eds.),
Crimes of War, 73.
97
Untuk tinjauan tentang usaha keras untuk mengajukan tuntutan tentang perang agresif, lihat Taylor, Anatomy of
the Nuremberg Trials, 37-39.
96
32
pemimpin Piraeus, dan bahkan tidak seorang pun dari mereka ini bila mereka berhasil dibawa
ke tingkat penyelidikan.”
Dalam contoh klasik ini, pergeseran dari peperangan dan pemerintahan tirani ke
demokrasi dilakukan dalam amnesti luas, namun tidak universal. Terdapat batasan penting
terhadap amnesti: “Pengadilan terhadap pembunuhan harus dilakukan sesuai dengan tradisi
dalam kasus apabila seseorang telah membunuh atau melukai orang lain.”98 Dalam
mengecualikan kasus yang memungkinkan pembalasan dendam, atas alasan pribadi atau
keagamaan, parameter amnesti tersebut dibatasi pada kasus yang memiliki kaitan politik.
Sebagaimana akan terlihat, syarat-syarat dalam amnesti kuno ini akan muncul kembali dalam
amnesti hingga periode kontemporer – karena amnesti transisional, seperti pengadilan
transisional, ditujukan untuk merespon dan menolak kebijakan politik rezim lama.
Pada masa modern, mungkin kasus amnesti transisional yang paling menonjol adalah
Spanyol pasca-Franco. Setelah masa pemerintahan fasis, Spanyol tidak melakukan pengadilan
suksesor sama sekali, namun tetap berhasil mengkonsolidasikan pemerintahan demokratik:
jadi, kebijakan amnesti Spanyol menjadi paradigma tentang potensi amnesti dalam transisi
politik.99 “Membiarkan berlalu apa yang sudah berlalu” merupakan inti amnesti Spanyol:
setelah masa pemerintahan otoriter selama empat puluh tahun, amnesti menjadi kesepakatan
untuk melupakan masa lalu yang telah jauh. Amnesti tersebut diberikan secara luas dan umum
bagi aktor negara dan non-negara, dalam pemerintahan kediktatoran dan perang saudara.
Seperti pada transisi lebih awal di Eropa, di Amerika pada dekade 1980-an, semangat
amnesti cukup kuat. Di berbagai negara di wilayah tersebut, Cili, Uruguay, El Salvador, Haiti
dan Guatemala, amnesti terhadap pemerintahan militer yang represif merupakan pendahuluan
terhadap perubahan politik, perdamaian dan rekonsiliasi. Amnesti Amerika Latin ini
menunjukkan peran mereka dalam transisi yang dinegosiasikan.100 Janji pemberian amnesti
terhadap pelanggaran masa lalu berhasil mengatasi kebuntuan politik dan memungkinkan
liberalisasi.101 Jadi, misalnya, dalam transisi ternegosiasi di Uruguay, Haiti, El Salvador dan
Guatemala, satu kartu penting dalam perundingan adalah janji untuk memberikan amnesti
terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia selama pemerintahan militer. Kekuasaan
untuk mengadili dipertukarkan dengan perdamaian. Kesepakatan yang dicapai dengan junta
98
Lihat Aristoteles, The Athenian Constitution, diterjemahkan dengan pengantar dan catatan oleh P.J. Rhodes,
Harmondsworth: Penguin, 1984, bab 34-41-1.
99
Lihat José Maria Maravall dan Julian Santamaria, “Political Change in Spain and the Prospects for
Democracy”, dalam Guillermo O’Donnell et al. (eds.), Transition from Authoritarian Rule: Southern Europe,
Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1991, 71-108. Lihat umumnya Raymond Carr dan Juan Pablo
Aizpurtía, Spain: Dictatorship to Democracy, edisi kedua, London: Allen and Unwin, 1981. Untuk pembelaan
terhadap amnesti Spanyol, lihat Fernando Rodrigo, “The Politics of Reconciliation in Spain’s Transition to
Democracy” (makalah dipresentasikan pada Conference on Justice in Times of Transition, Salzburg, Maret
1993).
100
Tentang El Salvador dan Uruguay, lihat catatan kaki 103. Tentang Haiti, lihat Le Moniteur, Journal Offociel
de la Republique d’Haiti Order (Arrète) of 2/6/90, yang memberikan amnesti total dan sepenuhnya kepada
mereka yang antara 17 September 1988 dan 7 Februari 1990 terlibat dalam kejahatan dan pelanggaran terhadap
keamanan nasional. Tentang amnesti Kolombia, lihat Javier Correa, “La Historia de las Amnistias y los Indultos:
Volver a Empezar”, dalam Los Cominos de la Guerra y la Paz, Vol. 1 La Reinsercìon, Bogotá: Fondo Editorial
Para la Paz, 1990.
101
Lihat Howard W. French, “In Salvador, Amnesty vs. Punishment”, New York Times, 16 Maret 1993, rubrik
internasional; Howard W. French, “Offer of Amnesty Removes Obstacle to Accord in Haiti”, New York Times,
14 April 1993, rubrik internasional.
33
dibayar dengan amnesti umum. Setelah kesepakatan tersebut dicapai, timbul perdebatan
tentang lingkup amnesti yang akan diundang-undangkan.102
Dalam proses perundingan perdamaian El Salvador yang diadakan di bawah lindungan
PBB, meskipun amnesti tidak secara eksplisit dimuat dalam kesepakatan damai, seminggu
setelah kesepakatan ditandatangani, pada tanggal 16 Januari 1992, Undang-Undang
Rekonsiliasi Nasional disahkan. Singkatnya jarak waktu tersebut menandakan bahwa amnesti
disepakati secara diam-diam dalam proses perdamaian.103 Kesepakatan serupa memungkinkan
transisi di Uruguay, di mana langkah-langkah amnesti dilaksanakan dalam beberapa tahap.
Naval Club Pact, yang memberikan amnesti bagi para penanggung-jawab pelanggaran hak
asasi manusia, disepakati oleh anggota perwakilan politik negara itu dalam negosiasi
mengenai syarat transisi ke pemerintahan sipil. Kesepakatan ini kemudian diratifikasi oleh
parlemen dalam Undang-Undang Perdamaian Nasional, yang disahkan pada tahun 1986.
Akhirnya, empat tahun kemudian, Undang-Undang yang Menghapuskan Klaim Negara untuk
Menghukum Kejahatan Tertentu, yang jauh lebih luas, diajukan untuk diadakan
referendum.104 Amnesti hasil kesepakatan seperti ini, yang merupakan hasil negosiasi transisi,
menunjukkan kepentingan-kepentingan yang dipertaruhkan dalam usaha pencapaian keadilan
melalui pemidanaan. Dalam transisi ternegosiasi, baik wakil militer maupun oposisi politik
yang terlibat dalam konflik sama-sama memiliki kepentingan pribadi untuk mendapatkan
kekebalan dari pengadilan. Di negara-negara lain di wilayah ini, bentuk-bentuk pemgampunan
lain diberikan bersama dengan transisi. Meskipun pada awalnya terdapat pengadilan terhadap
junta di Argentina, sejumlah undang-undang menghentikan proses tersebut.105
102
Lihat “The Deal: Amnesty Law Expected to Clear Junta Very Soon”, New York Times, 21 September 1994,
hal. A17.
103
Keputusan legislatif No. 486, 3/22/93, El Salvador (22 Maret 1993), menyetujui Undang-Undang Amnesti
Umum untuk Konsolidasi Perdamaian. Lihat Todd Howland, “Salvador Peace Starts with Misstep”, Christian
Science Monitor, 7 Februari 1992. John J. Moore Jr., “Problems with Forgiveness: Granting Amnesty under the
Arias Plan in Nicaragua and El Salvador”, Stanford Law Review 43 (1991): 733. “Ley de Reconciliacion
Nacional” (Undang-undang Rekonsiliasi Nasional), Keputusan No. 145-96 tertanggal 23 Desember 1996, dicetak
ulang dalam Guatemala Constitutional Court Decision on Amnesty, Nos. 8-97 and 20-97, at. 19-20 (7 Oktober
1997), instrumen dasar untuk rekonsiliasi dengan orang-orang yang terlibat dalam konflik bersenjata, dengan
menghapuskan semua tanggung jawab pidana bagi kejahatan-kejahatan politik yang dilakukan dalam konflik
bersenjata; dan menghapuskan tanggung jawab untuk kejahatan lainnya, terkecuali genosida, penyiksaan, atau
penghilangan paksa.
104
Lihat Law No. 15.848 (Uruguay), “Ley de Caducidad de la Pretension Punitiva del Estado (Undang-Undang
yang Menghapuskan Klaim Negara untuk Menghukum Kejahatan Tertentu), Pasal 1. Disepakati bahwa, sebagai
konsekuensi dari peristiwa-peristiwa yang timbul dari persetujuan antara partai-partai politik dan angkatan
bersenjata yang ditandatangani pada bulan Agustus 1984, dan untuk menyelesaikan transisi ke tatanan
konstitusional sepenuhnya, negara mencabut haknya untuk memidana kejahatan-kejahatan yang dilakukan hingga
tanggal 1 Maret 1985, oleh anggota militer atau polisi atas alasan politik atau memenuhi tugas dan menaati
perintah dari atasan selama masa de facto; Americas Watch, Challenging Impunity: The Ley de Caducidad and
the Referendum Campaign in Uruguay, New York: Human Rights Watch, 1990. Lihat juga Shirley Christian,
“Uruguay Votes to Retain Amnesty for the Military, New York Times, 17 April 1989, rubrik internasional, hlm.
A8; Martin Weinstein, Uruguay-Democracy at the Crossroads, Boulder: Westview Press, 1984.
105
Lihat Due Obedience Law; Law No. 23.049 (Argentina, 1984). The Full Stop Law; Law No. 23.492,
diberlakukan pada tanggal 24 Desember 1986, dan Due Obedience Law; Law No. 23.523, diberlakukan pada
tanggal 8 Juni 1987.
Setelah diberlakukannya undang-undang ini, melalui keputusan presiden, Pardon No. 1002 (7 Oktober
1989) memerintahkan bahwa semua proses hukum yang dijalankan mengenai kasus pelanggaran hak asasi
manusia dihentikan.
34
Perundingan amnesti transisional sering kali dilakukan untuk menstabilkan dan
memantapkan transisi. Namun, hal ini memiliki arti paradoks, yaitu bahwa amnesti
disyaratkan oleh kepentingan politis masyarakat yang mengalami transisi. Dengan demikian
tampak bahwa syarat-syarat untuk tidak mengadakan pengadilan sering kali tidak berbeda dari
syarat-syarat untuk mengadakan pengadilan pula. Amnesti, terutama bila diberikan secara
bersyarat dan individual, dapat berfungsi mirip hukuman. Peniadaan pengadilan, seperti juga
ancaman pengadilan, dapat menjadi aturan politik transisional yang efektif. Misalnya, setelah
Perang Saudara Amerika, amnesti diberikan dengan syarat bahwa Konfederasi tetap setia
kepada persatuan.106 Di Afrika Selatan, kesepakatan untuk menghentikan pemerintahan
apartheid menjadi syarat bagi amnesti untuk pelanggaran “politik” dalam pemerintahan
sebelumnya.107 Promotion of National Unity and Reconciliation Bill memberikan amnesti
dengan syarat pengakuan terhadap pelanggaran yang telah dilakukan. Tujuan eksplisitnya
adalah persatuan masyarakat. Harga yang harus dibayar tersebut mencerminkan karakter
politis dan instrumental dari amnesti transisional dan kaitannya dengan rekonsiliasi
masyarakat, demikian pula pengembalian ketaatan pada kedaulatan hukum. Pada masa
gejolak, pertimbangan peradilan pidana merupakan bagian dari perhitungan politik yang lebih
luas. Memberikan hak-hak politik bagi para pelaku pelanggaran sebagai pertukaran terhadap
dukungan bagi persatuan yang baru dan stabilitas politik mencerminkan sasaran konvensional
pemberian hukuman untuk menjamin keberlangsungan kedaulatan hukum. Dengan demikian
amnesti dapat memajukan sasaran normatif dalam transisi politik.
Keadilan, Pengampunan, Politik dan Kedaulatan hukum
Penghukuman atau impunitas? Kembali ke perdebatan awal dalam bab ini, peran penting
amnesti dalam transisi mengarah ke pertanyaan lebih luas tentang kaitan pengampunan
terhadap kedaulatan hukum, terutama dalam masa transisi. “Pengampunan” (clemency)
memiliki arti yang luas, termasuk amnesti dan pemaafan (pardon). Meskipun ada yang
membedakan istilah-istilah tersebut karena konotasinya, atau waktu pemberiannya (setelah
atau sebelum keputusan), istilah tersebut biasanya sering dipertukarkan penggunaannya.
Amnesti transisional memberikan tantangan sulit sebagaimana telah diklaim di awal bab ini,
yaitu bahwa pemberian hukuman mutlak diperlukan untuk konsolidasi demokratik. Menurut
argumen yang berkeras untuk memberikan hukuman, dikatakan bahwa revolusi yang baik
106
Lihat umumnya Jonathan Truman Dorris, Pardon and Amnesty under Lincoln and Johnson: The Restoration
of the Confederates to Their Rights and Privileges, 1861-1898, Westport, Conn: Greenwood Press [1953], 1977.
107
Lihat Konstitusi Sementara Afrika Selatan (1993) Epilogue on National Unity and Reconsiliation. Lihat §
20(2)(c) Promotion of National Unity and Reconciliation Act 34 of 1995, seperti diperbaiki dalam Promotion of
National Unity and Reconciliation Act 87 of 1995. Komisi harus memutuskan apakah suatu pelanggaran tertentu
dapat dikaitkan dengan sasaran politik sesuai definisi dengan dasar apakah pelanggaran tersebut disarankan,
direncanakan, diarahkan, diperintahkan, atau dilakukan di Afrika Selatan antara bulan Maret 1960 hingga
Desember 1994, oleh atau atas nama organisasi politik yang dikenal secara publik, gerakan pembebasan, agen
negara atau anggota pasukan keamanan, dan dengan melihat pada kriteria khusus yang dijabarkan dalam
Reconciliation Act. Kriteria tersebut mencakup penyidikan terhadap motif, konteks, bobot dan tujuan
dilakukannya pelanggaran, apakah pelanggaran tersebuit dilakukan atas perintah langsung atau persetujuan, dan
apakah pelanggaran tersebut dilakukan untuk kepentingan pribadi atau “masalah pribadi, permusuhan atau rasa
benci terhadap korban”, § 20(3)(f)(ii). Lihat umumnya Allister Sparks, Tommorow is Another Country: The
Inside Story of South Africa’s Road to Change, New York: Hill and Wang, 1995.
35
tidaklah berakhir dengan amnesti, karena kegagalan suatu masyarakat untuk menuntut
tanggung jawab dari para pelaku pelanggaran adalah kelanjutan dari praktik “impunitas” di
masa lalu, dan menggagalkan proses liberalisasi.108 Impunitas ini tetap berlanjut dalam transisi
antar-rezim, kecuali dihentikan dengan pemberian hukuman. Bentuk keadilan ini dikatakan
mutlak diperlukan untuk pengembalian kedaulatan hukum. Menurut argumen ini, amnesti
transisional merupakan “penjualan” keadilan kepada kepentingan politik sementara, yang pada
ujungnya merugikan prospek demokrasi.
Namun terdapat pula argumen kebalikannya: pembatasan kekuasaan penghukuman,
yang menandakan kembalinya ketaatan pada kedaulatan hukum.109 Dalam hal ini, klaim
normatif tersebut tampaknya terlalu dipaksakan kaitannya dengan realitas. Pengamatan bahwa
praktik amnesti dikaitkan secara de facto dengan transisi dianggap sebagai kaitan antara
pernyataan normatif tentang penggunaan kekuasaan pengampunan dan kedaulatan hukum
yang liberal.
Ketika permasalahan amnesti diperdebatkan dalam konteks utamanya yakni transisi,
tantangan-tantangan terhadap amnesti transisional mengasumsikan bahwa penangguhan
kekuasaan penuntutan melanggar inti kedaulatan hukum yang terkait dengan demokrasi
mapan. Namun, pembatasan penggunaan kekuasaan pidana tidaklah terbatas pada masa
transisi saja. Yang kurang jelas adalah di mana letak posisi amnesti transisional dalam
pandangan kita tentang pemberian pengampunan pada umumnya? Apa standar yang relevan?
Siapa yang berhak memberikan amnesti? Dengan prinsip apa? Hak dan kewajiban apa saja
yang terkait? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan titik awal untuk mengevaluasi
amnesti transisional.
Pertimbangkanlah argumen hukum internasional untuk memberikan hukuman, yaitu
bahwa kewajiban untuk menghukum dianggap berasal dari berbagai norma konvensional dan
kebiasaan.110 Namun, skema remedial hukum internasional, yang dibentuk dalam kerangka
hak-hak individual, tidak mengkonstruksi hukuman sebagai hak yang akan memberikan
kewajiban untuk dilaksanakan oleh negara. Dan, bahkan apabila argumen tersebut didasarkan
pada analogi dengan negara demokrasi mapan, penggunaan hukuman, seperti akan dibicarakan
di bawah, tetaplah digunakan dengan kehati-hatian dalam hampir semua sistem hukum. Dalam
sistem hukum internasional, konvensi-konvensi tersebut pun dianggap sudah cukup terpenuhi
dengan tindakan remedial selain hukuman. Dalam keputusan penting yang meninjau kasus
impunitas di Amerika Latin, Pengadilan Inter-Amerika memutuskan bahwa kewajiban untuk
melindungi warga negara dari penindasan dapat dilaksanakan dengan tindakan remedial lain,
seperti penyelidikan dan pemberian ganti rugi.111 Namun, dalam keputusan lain yang
mengevaluasi hukum amnesti Argentina dan Uruguay, Komisi Hak Asasi Manusia InterAmerika memutuskan bahwa amnesti terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia
melanggar berbagai kewajiban negara menurut Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika untuk
108
Untuk argumen utama yang menentang amnesti yang menyertai gelombang transisi kontemporer ini, lihat
Aryeh Neier, “What Sould Be Done about the Guilty”? New York Review of Books, 1 Februari 1990, hlm. 32.
109
Lihat Stephen Holmes, “Making Sense of Postcommunism” (rancangan untuk New York University Program
for the Study of Law, Philosophy and Social Theory), 10-13; Samuel Huntington, The Third Wave:
Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
110
Lihat Orentlicher, “Settling Accounts”, 2537; Naomi Roth-Arriaza, “State Responsibility to Investigate and
Prosecute Grave Human Rights Violations in International Law”, California Law Review 78 (1990): 449.
111
Lihat Velásques-Rodrígues Judgment, Inter-Am. Ct. H.R., Ser. C., No. 4 (1988).
36
melindungi dan menjamin hak asasi manusia, dan juga hak para korban untuk menuntut
keadilan.112
Di luar argumen hukum internasional tentang kewajiban untuk menghukum adalah
argumen tradisional menurut sistem hukum negara-negara demokrasi mapan. Namun, seperti
akan dibicarakan di bawah, argumen-argumen tersebut tidaklah memberikan kewajiban untuk
menghukum dalam transisi, namun memang memberikan dasar yang baik untuk mengevaluasi
amnesti transisional. Seperti tampak jelas, bahkan dalam kondisi normal, kedaulatan hukum
tidaklah berarti penerapan peradilan pidana secara mutlak, dan alasan-alasan untuk
memberikan pengampunan, seperti juga dalam masa transisi, sering kali bersifat politis.
Argumen retributif untuk memberikan hukuman bukanlah demi kepentingan masyarakat di
masa depan, melainkan dengan memperhatikan pertimbangan moral yang terkait dalam
tindakan-tindakan yang terkait. Sebuah tulisan yang terkenal dari Immanuel Kant berhipotesis
tentang masyarakat di pulau gersang yang hendak membubarkan diri, yang sedang
mempertimbangkan apakah akan memberikan hukuman, dan apakah masyarakat itu memiliki
kewajiban untuk menghukum “semua orang yang pernah membunuh” sehingga “semua orang
akan ... mendapatkan upahnya sesuai dengan tindakannya dan dengan demikian ... hutang
darah tidak akan mengotori masyarakat tersebut.”113 Bahkan masyarakat yang akan bubar pun
memiliki kewajiban untuk membebankan pertanggungjawaban individual, untuk
menghilangkan tanggung jawab moral dari seluruh masyarakat luas. Klaim Kantian untuk
memberikan hukuman dalam masyarakat yang akan bubar ini menguji justifikasi untuk
memberikan hukuman dalam konteks di mana tidak terdapat tujuan kepentingan masa depan
yang ditekankan bila terdapat kontinuitas sosial, yang tampak dalam kondisi transisional. Dari
perspektif retributif, tidak menghukum berarti masyarakat menanggung tanggung jawab
kolektif, dengan konsekuensi legitimasi institusi peradilannya. Peradilan pidana memainkan
peranan tidak hanya dalam menggariskan tanggung jawab individual dan kolektif, namun juga
melegitimasikan institusi peradilan; dengan demikian ia menarik garis antara dua rezim.
Membebankan tanggung jawab individual akan mengangkat tanggung jawab kolektif dari
rezim lama dan melegitimasi kembali otoritas negara.
Sementara argumen retributif memiliki klaim yang kuat tentang kewajiban untuk
menghukum, ia tidak menjelaskan dengan baik pandangan tentang peran hukuman dalam
sistem hukum, baik dalam masa biasa maupun masa transisi.114 Pemahaman tentang kaitan
antara hukuman dengan kedaulatan hukum bervariasi secara luas dalam berbagai budaya
hukum. Dalam sistem civil law, prinsip legalitas menuntut adanya penerapan hukuman secara
nyaris mutlak. Namun, dalam sistem common law, anggapan tentang legalitas ini tidak sama:
norma mendasarnya adalah kekuasaan penuntutan yang tidak diterapkan pada kekuatan
112
Lihat Report No. 28/92, Cases 10.147, 10.181, 10.240, 10.262, 10.309, 10.311, Argentina’s Annual Report of
the Inter-American Commision of Human Rights 1992-1993, 41b, OAS doc. OES/Ser.4L/UV/II.83/doc. 14/Corr.
1 (1993). Lihat juga Robert Goldman, “Amnesty Laws, International Laws, and the American Convention on
Human Rights”, The Law Group Docket 6, no. 1 (1989): 1.
113
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, terjemahan Mary Gregor, New York: Cambridge University
Press, 1991, 183.
114
Lihat Teitel, “How are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of Past Human
Rights Abuses?” Namun ada pula pakar yang mendasarkan justifikasi untuk kebijakan pengampunan dengan
pertimbangan retributif yang berdasar pada ketiadaan hukuman. Lihat Katherine Dean Moore, Pardons: Justice,
Mercy, and the Public Interest, New York: Oxford University Press, 1989.
37
sepenuhnya, dan keadilan dalam sistem ini ditinjau dari perhatian spesifik terhadap kasuskasus.115
Dengan demikian, pengampunan pada masa normal bisa menjadi titik awal untuk
menilai amnesti transisional. Pengampunan dalam masa biasa memiliki keserupaan dengan
amnesti transisional dalam sifat politisnya. Di negara-negara demokratis, pengampunan atau
amnesti (seperti amnesti legislatif atau pajak) biasanya dikaitkan dengan perpindahan
kekuasaan politik dalam pergantian administratif yang biasa. Ini menunjukkan analogi antara
perubahan administratif biasa dan pergantian rezim politik dalam transisi. Amnesti, seperti
juga hukuman, adalah praktik yang menunjukkan kedaulatan – menunjukkan siapa pemegang
kekuasaan politik. Dengan demikian, penangguhan hukuman, seperti juga penjatuhannya,
mendefinisikan transisi politik. Sifat dan peran politis yang penting dari pengampunan diakui
dan bahkan didefinisikan oleh pemisahan kekuasaan secara institusional, misalnya, pemisahan
kekuasaan pengampunan dari kekuasaan kehakiman. Pada masa biasa, para aktor politik
memegang kekuasaan pengampunan. Dalam sistem konstitusi Amerika, misalnya, kekuasaan
pengampunan, yang mengikuti kepemilikan kekuasaan serupa oleh raja, dipegang oleh
eksekutif.116 Bahwa kekuasaan pengampunan tidak berada pada badan yudikatif, namun pada
eksekutif, yang diberikan dengan dasar kasus demi kasus dan dipertimbangkan secara spesifik,
menunjukkan sifatnya yang politis. Pemisahan kekuasaan penghukuman dan pengampunan
tidak hanya terdapat pada sistem hukum Anglo-Amerika. Dalam sistem konstitusional
Amerika Latin, diferensiasi kekuasaan tersebut lebih tampak lagi. Dalam sistem hukum
Amerika Utara, kekuasaan untuk menuntut dan mengampuni berada pada eksekutif dan
berkaitan dengan kepentingan kebijakan; dalam sistem Amerika Latin, kekuasaan untuk
menuntut berada pada badan peradilan, sementara kekuasaan untuk mengampuni berada pada
eksekutif.117 Pemisahan kedua kekuasaan ini menekankan fungsi politik pengampunan.
Tatanan institusional negara demokrasi mapan menunjukkan usaha untuk memisahkan proses
peradilan dan pengampunan. Sementara keadilan adalah wilayah kekuasaan pengadilan dan
diterapkan berdasar standar dan justifikasi prinsip-prinsip konstitusional, pengampunan
termasuk dalam wilayah kekuasaan cabang-cabang politik yang digunakan untuk memajukan
kepentingan politik,118 dan secara eksplisit dijustifikasi dalam kerangka transisi, seperti
perdamaian dan rekonsiliasi.119
Bahkan meskipun pengampunan dianggap sebagai bagian integral kedaulatan hukum
dalam masa normal, terdapat pula perbedaannya yang signifikan dengan pelaksanaannya pada
masa perubahan politik Terdapat frekuensi pemberian amnesti yang lebih tinggi, bersamaan
dengan pembatasan terhadap penggunaan kekuasaan untuk memberikan sanksi pidana. Setelah
115
Lihat John Merryman, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Tradition of Western Europe
and Latin America, Stanford: Stanford University Press, 1985; William T. Pizzi, “Understanding Prosecutorial
Discretion in the United States: The Limits of Comparative Criminal Procedure as an Instrument of Reform”,
Ohio State Law Journal 54 (1993): 1325.
116
Lihat Moore, Pardons: Justice, Mercy, and the Public Interest 790-86; “The Conditional Presiden Pardon”,
Stanford Law Review 28 (1975): 149; Daniel T. Kobil, “The Quality of Mercy Strained: Wrestling the Pardoning
Power from the King”, Texas Law Review 69 (1991): 569.
117
Lihat Irwin P. Stotzky (ed.), Transition to Democracy in Latin Amerikca: The Role of the Judiciary, Boulder:
Westview Press, 1993.
118
Lihat Jeffrie G. Murphy dan Jean Hampton, Forgiveness and Mercy, Cambridge: Cambridge University Press,
1988, 162-86 (tentang sifat dan kaitan pengampunan dengan keadilan).
119
Sebagai contoh, pengampunan kepresidenan Argentina dijustifikasi dengan kepentingan “harmoni sosial”
yang jelas-jelas politis.
38
pemerintahan yang represif, amnesti transisional menimbulkan masalah struktural tentang
pelanggaran-pelanggaran di mana negara memiliki andil besar. Timbul pertanyaan: apakah
adil bagi suatu pemerintahan, bahkan rezim yang baru, untuk menggunakan kekuasaan
penghukuman atau pengampunan. Suatu variasi dalam masalah ini tampak dalam tulisan John
Locke dan Kant abad ke-18, yang menolak pengampunan, karena penyalahgunaannya dalam
pemerintahan monarki. Sementara dalam keadaan alami (state of nature), hak untuk
memberikan hukuman (dan untuk tidak menghukum) ada pada komunitas, kontrak sosial
mengalihkan hak tersebut kepada pemegang kedaulatan. Pada demokrasi mapan, kekuasaan
pengampunan biasanya dipegang oleh pemegang kedaulatan, namun pada saat krisis politik,
kekuasaan tersebut tampaknya diambil alih kembali oleh warga negara.120 Jadi, setelah
Revolusi Prancis, kekuasaan pengampunan ditangguhkan, karena ia dikaitkan dengan
penggunaan kekuasaan oleh raja secara sewenang-wenang dan tidak sah. Dalam contoh lain,
terbatasnya kekuasaan pengampunan dalam eksekutif Amerika121 secara gamblang
menggambarkan transisionalitas dalam definisi konstitusional terhadap kekuasaan untuk
memberikan amnesti dan batasan-batasannya yang ditentukan dari pengalaman sejarah
penggunaannya.
Peninggalan sejarah represi di masa lalu membantu membentuk otoritas negara
terhadap kekuasaan penghukuman dan pengampunan. Bahkan, hal di atas menunjukkan bahwa
ketiadaan legitimasi dalam institusi mempengaruhi syarat untuk pelaksanaan baik
penghukuman maupun pengampunan dalam transisi. Sejumlah besar pemberian amnesti dalam
masa transisi menunjukkan bahwa kontinuitas institusional dalam bentuk apa pun dari
pemerintahan represif di masa lalu ke pemerintahan yang baru akan melemahkan otoritas
rezim penerus untuk melakukan proses pengadilan. Pelaksanaan kekuasaan penghukuman oleh
rezim penerus sering kali dianggap sebagai kelanjutan kebijakan politis dari masa
pemerintahan non-liberal. Bila pergantian rezim tidak berlangsung bersama dengan reformasi
peradilan, pengadilan suksesor dilemahkan dengan “tu quoque” (tangan kotor).
Sifat luar biasa dari peradilan suksesor menunjukkan kondisi peradilan yang
terkompromi dalam masa transisi, berkaitan dengan keterlibatan negara dalam kejahatankejahatan yang terkait, berkaitan dengan keterlibatan negara dalam kejahatan-kejahatan yang
terkait, dan ketiadaan institusi peradilan yang benar-benar sah. Pengakuan bahwa hal-hal
tersebut merupakan prasyarat bagi terciptanya keadilan mungkin bisa menjelaskan banyaknya
amnesti di Amerika Latin, karena di wilayah ini, badan peradilan amat tercemar oleh
keterlibatannya dalam represi di masa lalu, dan tidak mengalami reformasi setelah transisi.
Dalam kondisi demikian, institusi peradilan tidak memiliki legitimasi, dengan konsekuensi
yang buruk bagi keabsahan hukuman yang diberikannya. Dalam konteks ini, pemberian
pengampunan mungkin memiliki legitimasi yang lebih besar, terutama bila diberikan oleh
aktor-aktor politik yang baru dipilih, seperti eksekutif atau legislatif. Jadi, banyaknya amnesti
dalam kondisi transisional menunjukkan sesuatu yang penting tentang kedaulatan hukum yang
menjadi prasyarat pemberian hukuman secara sah.
Kaitan erat antara hukuman dan amnesti tampak dalam parameter amnesti transisional
yang mencakup kejahatan politik, yang menjadi batasan pemberian hukuman secara sah dalam
120
Lihat A. John Simmons, “Locke and the Right to Punish”, Philosophy and Public Affairs 20 (1991): 319.
Lihat Alexander Hamilton, The Federalist No. 69, ed. Jacob E. Cooke, Middletown, Conn: Wesleyan
University Press (merasionalisasi kekuasaan pengampunan eksekutif yang membandingkannya dengan
kekuasaan raja).
121
39
masa transisi. Transisi politik menjadi prinsip penentu amnesti. Misalnya, hukum amnesti El
Salvador mencakup “tidakan-tindakan termasuk kejahatan politik atau kejahatan dengan
konsekuensi politik atau kejahatan biasa yang dilakukan oleh tidak kurang dari dua puluh
orang”.122 Promotion of National Unity and Reconciliation Bill Afrika Selatan mendefinisikan
pelanggaran-pelanggaran yang dapat diberikan amnesti sebagai berikut, “tindakan yang
dikaitkan dengan sasaran politik”. Amnesti transisional pada garis politik memiliki risiko
serupa dengan yang dijelaskan pada awal bab ini – hantu keadilan yang dipolitisasi.
Sebagaimana kebijakan penghukuman memiliki risiko menjadi bagian dari siklus mengalihkan
tanggung jawab tentang kesalahan, kebijakan pengampunan atas dasar politik pun demikian.
Baik hukuman maupun amnesti dapat berperan secara konstruktif dalam
mendefinisikan transisi politik. Namun ada pula batasan kedaulatan hukum dalam praktik
amnesti transisional, prinsip-prinsip penting tentang pelaksanaan kekuasaan pengampunan
secara sah. Beberapa dari batasan tersebut berkaitan dengan prosedurnya. Amnesti-diri sendiri,
yaitu yang diberikan oleh rezim pendahulu, seperti oleh militer Argentina, pada umumnya
dianggap tidak sah dan dibatalkan dalam transisi.123 Lebih lanjut lagi, baik hukuman maupun
amnesti harus mengikuti prosedur biasa dan dilegitimasi oleh publik. Amnesti “demokratis”,
yaitu yang dipertimbangkan oleh masyarakat dan disepakatai melalui konsensus,
mencerminkan usaha untuk melegitimasi pemberian pengampunan dalam transisi. Prototipe
klasik amnesti demokratis berasal dari Athena Kuno, di mana pengampunan diputuskan
melalui pemungutan suara,124 melalui proses “adeia” yang membutuhkan dukungan enam ribu
orang sebelum pengampunan disepakati. Setelah perang saudara di Athena, amnesti pada
tahun 403 S.M. disahkan melalui suara mayoritas dan diberikan kepada semua orang yang
terlibat dalam perang saudara. Amnesti transisional sering kali dinegosiasikan oleh wakilwakil dari rezim lama dan oposisi. Meskipun kesepakatan amnesti bisa disusun melalui proses
tawar menawar dan non-legislatif, ia harus disahkan melalui proses yang lebih partisipatoris
selama masa transisi. Dalam transisi kontemporer, seperti juga di Athena kuno, plebisit dan
pelaksanaan kedaulatan langsung memberikan keabsahan bagi amnesti transisional.
Melalui proses demokratik, amnesti memiliki pertanggungjawaban politik; prosesproses politik yang menyertai amnesti legislatif, yang memungkinkan pertimbangan secara
luas tentang sifat dan sigifikansi kejahatan negara di masa lalu. Misalnya proses referendum di
Uruguay, juga proses persidangan parlementer di Afrika Selatan.125 Proses pertimbangan
amnesti ini sendiri memiliki andil terhadap kepentingan hukum dalam proses transisi, karena
dalam perdebatan yang ada, sering kali diadakan kesaksian dan dengar pendapat tentang
temuan-temuan yang berkaitan dengan pelanggaran di masa lalu. Proses demokratik ini berarti
bahwa mereka lebih transparan dan dipertimbangkan secara lebih matang daripada hukum
122
Decision on the Amnesty Law, Proceedings No. 10-93, El Salvador, Supreme Court of Justice, 1993.
Lihat Law No. 23.040 (27 Desember 1983) (membatalkan Law No. 22.924 karena inkonstitusional).
124
Lihat Aristoteles, The Athenian Constitution; Martin Oswald, From Popular Souvereignty to the Souvereignty
of the Law: Law, Society, and Politics in Fifth Century Athens, Berkley: University of California Press, 1986;
Thomas Clark Loening, The Reconciliation Agreement of 403/402 BC in Athens, Its Content and Aplication,
Stuttgart: Franz Steiner Verlag, 1987.
125
Tentang perdebatan Uruguay mengenai “Ley de Caducidad” lihat Challenging Impunity: The Ley de
Caducidad and the Referendum Campaign in Uruguay, An Americas Watch Report, Americas Watch Commitee,
1989, 15-16. Di Afrika Selatan, perdebatan amnesti menjadi bagian perdebatan parlementer tentang pengesahan
konstitusi 1993 negara tersebut. Lihat Promotion of National Unity and Reconciliation Act 34 of 1995, Juta’s
Statutes of the Republic of South Africa, vol. 1 (1997).
123
40
konvensional. Jadi, bahkan tidak memberikan hukuman bisa mencapai sasaran-sasaran
transisional, seperti klarifikasi dan pengutukan kesalahan-kesalahan rezim lama.
Amnesti transisional dibentuk oleh kedaulatan hukum dengan cara-cara lainnya. Selain
batasan prosedural di atas, baik dalam pelaksanaan penghukuman maupun tidak melakukan
penghukuman, terdapat komitmen terhadap perlindungan setara oleh hukum. Prinsip
perlindungan setara secara konstitusional memberikan batasan pada amnesti-amnesti, bahkan
yang diberikan dengan alasan politis. Perlindungan setara berarti perlakuan yang sama dalam
kasus-kasus serupa, dan tidak menggunakan dasar yang tidak dapat dijustifikasi, seperti ras,
agama, atau klasifikasi serupa, sehingga bukanlah hal yang kontroversial bahwa kategorikategori demikian tidak menjadi dasar untuk pemberian atau penolakan pengampunan.126
Perlindungan konstitusional setara memberikan batasan lebih lanjut terhadap politisasi
peradilan pidana. Sementara politik merupakan dasar yang diperbolehkan untuk memberikan
pengampunan, terdapat batasan terhadap pemberian amnesti atas dasar pandangan politik,
sehingga mencegah pemberian amnesti atas dasar politik partisan. Sementara pemberian
amnesti kepada semua pihak akan berarti memberikan amnesti kepada lebih banyak orang, ia
memajukan kedaulatan hukum dan legitimasi dalam pemberian pengampunan.
Dalam argumen mendasar untuk memberikan hukuman dalam transisi, amnesti sering
kali dikatakan menunda proses pengembalian kedaulatan hukum. Namun, seperti dibicarakan
di atas, bahkan pada sistem demokrasi yang stabil, kekuasaan peradilan pidana tidak
diterapkan pada kekuatannya yang maksimal. Tentu saja, dalam negara demokrasi mapan,
praktik pengampunan dilakukan dalam konteks ketaatan terhadap kedaulatan hukum secara
lebih luas; sementara amnesti transisional dilakukan setelah masa-masa hukum diabaikan
secara luas. Namun, amnesti transisional harus dievaluasi berdasarkan konteks kedaulatan
hukum luar biasa dalam kondisi peradilan transisional, di mana institusi peradilan masih
terkompromi. Amnesti transisional memiliki legitimasi terkuat bila dihasilkan dari proses
demokratik, seperti referendum langsung. Pengambilan kebijakan amnesti tidak berarti
melupakan kesalahan di masa lalu, seperti sering kali disyaratkan oleh penyidikan kasus demi
kasus seperti dalam proses pidana. Baik penghukuman maupun amnesti memiliki peran
sistemik dalam konstruksi transisi politik. Pada akhirnya, amnesti dan hukuman adalah dua
sisi dari mata uang yang sama: ritus legal yang secara terbuka dan kuat menunjukkan
perubahan kedaulatan yang ada dalam transisi politik.127 Praktik amnesti dan penghukuman
transisional memainkan peran penting dalam konstruksi periode politik tersebut. Baik
penghukuman maupun amnesti membantu mendefinisikan pergeseran rezim, karena dengan
menunjukkan pelanggaran di masa lalu mereka membantu mengkonstruksikan sejarah politik.
Praktik-praktik transisional ini mendefinisikan batasan politik: diskontinuitas dalam transisi –
“sebelum dan sesudah”, dan juga berperan dalam menunjukkan kontinuitas dalam transisi.
Batasan Pengampunan di Negara Liberal: Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Suatu batasan terhadap kekuasaan politik untuk mencegah penghukuman dalam negara yang
sedang menuju demokrasi adalah “kejahatan terhadap kemanusiaan”, karena pelanggaran ini
126
Lihat Bordenkircher v. Hayes, 434 US 357, 364 (1978).
Untuk pandangan terkait tentang alternasi ritual, lihat René Girard, Violence and the Sacred, Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1977.
127
41
tidak memiliki parameter jurisdiksi konvensional. Ajudikasi untuk kejahatan terhadap
kemanusiaan membatasi dan mengutuk praktik penindasan politik oleh negara yang lama,
suatu batasan yang tampaknya kebal terhadap politik nasional. Dengan demikian, pengadilan
terhadap pelanggaran ini memiliki kekuatan sebagai berlakunya kedaulatan hukum. Hal ini
tampak dalam usaha untuk memasukkan respon hukum transisional ke dalam pengadilan
pidana internasional yang permanen. Pendefinisian kejahatan terhadap kemanusiaan ini
mengkonstruksikan norma-norma konstitusional yang menjadi inti kedaulatan hukum. Ia
membedakan negara yang sedang menuju demokrasi dengan negara-negara non-demokratik.
Di sini tampak potensi normatif terbesar peradilan transisional.
Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan bentuk penindasan yang paling buruk,
yang melampaui batas-batas nasional dan merupakan pelanggaran terhadap seluruh
masyarakat internasional. Dikodifikasi untuk pertama kalinya setelah Perang Dunia Kedua
melalui Piagam Nuremberg, kejahatan terhadap kemanusiaan didefinisikan sebagai
pelanggaran berat, seperti pembunuhan, pengusiran paksa dan penyiksaan, yang diadakan
pada saat peperangan terhadap warga sipil, dan juga “penindasan atas dasar politis, rasial atau
keagamaan”.128 Melampaui kejahatan perang, piagam Nuremberg memiliki jurisdiksi terhadap
penindasan yang dilakukan negara terhadap warganya sendiri. Pelanggaran demikian dianggap
melampaui batas-batas hukum nasional dan melanggar hukum semua negara, dan dengan
demikian dapat diadili oleh sebuah tribunal internasional. Namun, meskipun terdapat
konsensus tentang jurisdiksi internasional, karena pada waktu itu prinsip tersebut masih
merupakan hal yang baru dan terdapat kecemasan tentang retroaktivitas, pengadilan kejahatan
terhadap kemanusiaan dibatasi pada kejahatan yang terkait dengan perang. Jadi, meskipun
secara formal merupakan tuntutan yang terpisah, kejahatan terhadap kemanusiaan
digabungkan dengan kejahatan perang lainnya.129
Arti sentral kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai “pelanggaran yang
mempengaruhi seluruh umat manusia” tampak jelas ketika respon terhadap kekejaman negara
melintasi batas negara ke arena internasional. Sejarahnya ini dimulai sejak sebelum proses
pasca-perang. Protes dan intervensi internasional muncul, misalnya, setelah perang YunaniTurki pada tahun 1827, dan pada awal dekade 1900-an, “atas nama kemanusiaan” terhadap
penindasan di Rumania dan Rusia. Setelah Perang Dunia Pertama, sebuah komisi bersidang
tentang metode peperangan, yang menentukan pelanggaran terhadap “hukum dan kebiasaan
perang yang berlaku dan hukum-hukum kemanusiaan yang mendasar” dan “memperingatkan”
bahwa semua orang dari negara-negara musuh yang bersalah atas pelanggaran terhadap
hukum dan kebiasaan perang atau hukum kemanusiaan dapat mendapatkan tuntutan
pidana”.130 Pada tahun 1917, kejahatan yang hendak dituntut serupa dengan yang kemudian
128
“Charter of the International Military Tribunal”, 8 Agustus 1945, Treaties and International Agreements
Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 82 (1945): 279.
129
Lihat Taylor, Anatomy of the Nuremberg Trials, 8-20.
130
Lihat umumnya Egon Schwelb, “Crimes against Humanity”, British Yearbook International 23 (1946): 178
(menggambarkan perkembangan konsep sejak Konvensi Den Haag, 1907). Untuk diskusi internasional tentang
pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan, lihat Roger S. Clark, “Crimes against Humanity at Nuremberg”,
dalam Johns Ginsbergs dan V.N. Kudriavstev (eds.), The Nuremberg Trial and International Law, (Norwell,
Mass: Kluwer Acdemic Publishers, 1990, 177-78 (mengutip Commission on the Responsibility of the Authors of
War and on Enforcement of Penalties) (laporan yang dipresentasikan pada Konferensi Pendahuluan tentang
Perdamaian, dicetak ulang dalam Pamflet No. 32, Carnegie Endwment for International Peace). Lihat juga James
Willis, Prologue to Nuremberg: The Politics and Diplomacy of Prosecuting War Criminals of the First Worl
War, Westport, Conn: Greenwood Press, 1982.
42
diberikan dalam instrumen pasca-Perang Dunia Kedua: pembunuhan, penyiksaan dan
penindasan berdasar ras terhadap minoritas oleh pemerintahnya sendiri. Pada saat perencanaan
Piagam London dan Control Council Law No. 10, Komisi Kejahatan Perang PBB
mendefinisikan istilah Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagai “tindakan massal secara
sistematik”, dalam arti:
Kejahatan yang baik karena tingkatnya atau karena kekejamannya atau karena jumlah besarnya
atau karena pola serupa dilakukan di berbagai tempat dan waktu, dapat membahayakan
komunitas internasional atau mengguncang kesadaran umat manusia, memerlukan intervensi dari
negara-negara selain negara tempat terjadinya kejahatan tersebut, atau yang warganya menjadi
korban.
Secara historis, jurisprudensi ini menjelaskan penghilangan batasan kekuasaan negara atas
dasar hak-hak individual.
Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan ilustrasi paling jelas dan paling ideal
tentang potensi hukum untuk mengadakan transisi normatif. Hukum menjadi paling signifikan
apabila jurisdiksi terhadap suatu pelanggaran dikeluarkan dari wilayah tempat terjadinya dan
dengan demikian menghilangkan pengaruh politik lainnya. Pemikiran ini tampak bila negaranegara melakukan respon terhadap kekejaman dalam cara-cara yang mengabaikan batas
negara; jadi, bentuk respons ini sendiri merupakan pelaksanaan norma keadilan yang
transenden. Setelah penggunaannya selama bertahun-tahun, ajudikasi untuk kejahatan
terhadap kemanusiaan menjadi identik dengan respon terhadap penindasan di masa modern.
Ciri utama dari penindasan politik adalah bahwa ia melampaui kejahatan biasa dan
menimbulkan respon internasional. Dalam bentuk modernnya, kejahatan terhadap
kemanusiaan bukanlah semata-mata serangan negara terhadap warga negara asing, namun
pelanggaran yang dilakukannya terhadap warganya sendiri, atau menganggap warga
negaranya sendiri sebagai musuh, sehingga mendestabilisasi tatanan internasional bahkan pada
masa damai. Prinsip jurisdiksional yang dapat diterapkan akan melampaui batasan tradisional
teritori dan pembatasan waktu. Kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap sebagai
pelanggaran terhadap seluruh umat manusia, dan dengan demikian dapat diadili oleh semua
negara, yang menimbulkan prinsip jurisdiksional lain yang terkait, yaitu: “universalitas”.
Sementara pelanggaran pidana harus diketahui dan dituliskan dalam hukum, agar tidak
melanggar prinsip mendasar yaitu retroaktivitas, kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap
sebagai pelanggaran “menurut negara-negara beradab” dan dengan demikian bisa dihukum
bahkan tanpa legislasi lebih dahulu. Pengecualian kejahatan terhadap kemanusiaan dari
larangan legislasi retroaktif telah diratifikasi sebagai bagian dari Konvensi Eropa untuk
Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi. Pasal 7 (2) mengecualikan pengadilan
kejahatan terhadap kemanusiaan dari batasan retroaktivitas: “Pasal ini tidak menolak
pengadilan dan penghukuman terhadap semua orang untuk semua tindakan, yang pada waktu
dilakukannya, dianggap sebagai kejahatan menurut prinsip umum hukum yang diakui oleh
negara-negara beradab”.131
Prinsip universalitas pada kejahatan terhadap kemanusiaan dicontohkan oleh
pengadilan Adolf Eichmann atas kejahatan yang ia lakukan di Eropa pada Perang Dunia
131
“European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms”, 4 November 1950,
Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations
312, No. 2889 (1955): pasal 7 (2).
43
Kedua. Meskipun pengadilan dilakukan puluhan tahun setelah terjadinya pelanggaran, di
negara Israel, itu tidak dianggap melanggar prinsip retroaktivitas maupun teritorialitas.132
Kalau menurut prinsip teritorialitas tradisional, komunitas yang mengalami pelanggaran harus
ada di wilayah terjadinya kejahatan, maka kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap sebagai
kejahatan atau pelanggaran terhadap seluruh komunitas umat manusia. Pemahaman serupa
tentang universalitas mendasari proses kejahatan terhadap kemanusiaan kontemporer.133 Pada
pengadilan kejahatan Perang Dunia Kedua yang dilakukan belakangan, seperti yang
disidangkan di Kanada, jurisdiksi diberikan kepada kejahatan yang “bisa diadili di Kanada”
pada saat terjadinya.134 Pengadilan di Spanyol untuk kasus kejahatan terhadap kemanusiaan
yang dilakukan di Argentina dan Cili berdasarkan pada pemahaman universalitas yang
serupa.135 Penerapan konsep jurisdiksi universal memiliki arti proyeksi ke belakang sekaligus
prospektivitas yang konstruktif. Konstruksi ini merupakan bagian dari legalitas transisional,
karena ia menyelesaikan dilema pergeseran normatif sambil menaati prinsip kedaulatan
hukum konvensional yaitu stabilitas dan kontinuitas hukum.
Dengan kaitan politik yang ada pada penindasan, ajudikasinya sering kali mengambil
salah satu dari dua bentuk: atau pelanggaran tersebut diadili di negara lain, yang memiliki
jurisdiksi dengan kondisi politik yang lebih liberal, seperti dibicarakan di atas, atau diadili di
tempat kejahatan tersebut terjadi, namun setelah jangka waktu tertentu. Dalam salah satu dari
kedua konteks itu, pengadilan terhadap pelanggaran, yang mungkin dipengaruhi oleh kondisi
politik, tidaklah didorong oleh keduanya, dan menunjukkan persistensi respon hukum terhadap
pelanggaran berat dan kekuatan normatifnya.
Paradoks Jangka Waktu
Pertimbangkanlah fenomena pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak mengenal
batas waktu. Kasus-kasus tersebut mengaitkan lebih dari satu rezim, menarik benang merah
politik melalui tempat dan waktu, dan memelihara perasaan tanggung jawab terhadap
kesalahan di masa lalu yang pada akhirnya membangun identitas politik negara yang bertahan
lama. Kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dibatasi oleh prinsip-prinsip jurisdiksional yang
lazim, seperti batasan waktu. Terdapat selang waktu hampir setengah abad antara
pemerintahan teror Nazi dan komunis dan pengadilan suksesor masing-masing, yang mungkin
tidak sesuai dengan intuisi normal kita tentang cara kerja peradilan pidana.136 Lebih dari
132
Government of Israel v. Adolf Eichmann, Keputusan Mahkamah Agung (1962), bagian 11-12.
Lihat Tadic, dicetak ulang dalam International Legal Materials 35 (1996): 32.
134
Lihat Criminal Code, R.S.C., bab c-46, § 6 (1.91) (Kanada, 1985), diperbaiki dalam bab 37, 1987 S.C. 1105.
135
Ini juga merupakan pemikiran House of Lords. Lihat UK House of Lords In re Pinochet, dicetak ulang dalam
Opinions of the Lords of Appeal for Judgment in the Cause (15 Januari 1999), tersedia di
http://www.parliament.the-stationery.off...pa/Id199899/Idjudgmt/jd 990115/pin01.htm. Terdapat pula pengadilan
lain dengan pendekatan jurisdiksional yang serupa. Lihat juga “Orden de PrisiÏŒn provisional incondicional de
Leopoldo Fortunato Galtieri, Juzgado Número Cinco de la Audiencia Nacional Española” (25 Maret 1997),
tersedia di http://www.derechos.org/nizkor/arg/espana/autogalt.html.
136
Tentang masalah selang waktu dan respon legal, lihat David Matas, Justice Delayed: Nazi War Criminals in
Canada, Toronto: Summerhill Press, 1987; Peter Irons, Justice at War: The Story of Japanese American
Internment Cases, New York: Oxford University Press, 1983; Harold David Cesarani, Justice Delayed, London:
Mandarin, 1992; Allan A. Ryan, Jr., Quiet Neighbors, San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, 1984. Lihat juga
133
44
setengah abad setelah terjadinya, pengadilan terhadap kasus Perang Dunia Kedua diadakan di
seluruh Eropa, Kanada dan Australia. Usaha peradilan kriminal lazimnya dihentikan seiring
perjalanan waktu, yang dicerminkan dengan adanya batasan waktu dalam hampir semua
sistem hukum, bahkan untuk kejahatan-kejahatan berat. Hanya beberapa negara yang
mengikuti sistem hukum Anglo-Amerika tidak memiliki batasan demikian bagi kejahatankejahatan yang berat.
Perdebatan tentang apakah kejahatan terhadap kemanusiaan perlu dibatasi oleh waktu
yang umumnya berlaku bagi kejahatan lainnya diletakkan dalam konteks proses pasca-perang,
ketika pada tahun 1965, menurut hukum yang pada waktu itu berlaku, di mana batasan
waktunya adalah dua puluh tahun. Di Jerman, meskipun terdapat usaha parlmenter untuk
menghentikan pengadilan, statuta pembatasan ditunda dua kali, dengan alasan bahwa selama
masa pendudukan, pengadilan Jerman tidak memiliki kedaulatan untuk mengadili. Akhirnya,
pada tahun 1979, jawaban terhadap pertanyaan substantifnya tidak bisa lagi ditunda: sejauh
mana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat disetarakan dengan kejahatan biasa, dan dengan
demikian bisa dibatasi jangka waktunya, ataukah kejahatan-kejahatan itu merupakan
pelanggaran luar biasa yang berada di luar parameter jurisdiksi normal? Setelah perdebatan
panjang, keputusannya adalah untuk membatasi praktis semua pengadilan yang terkait dengan
perang, kecuali yang melibatkan “pembunuhan mendasar”, yaitu pembunuhan yang dilakukan
dengan tujuan rasial atau sadis137 dengan motif untuk penindasan, seperti diimplikasikan
dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada tingkat internasional, dilema ini dituntaskan
dengan pengesahan konvensi PBB tentang Ketidakberlakuan Batasan Statutoris terhadap
Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan.138 Standar jurisdiksional khusus yang
berlaku pada kejahatan terhadap kemanusiaan akan dimasukkan ke dalam hukum nasional.
Jadi, misalnya di Prancis, “kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah satu-satunya pelanggaran
yang dikecualikan dari statuta pembatasan waktu yang ketat di negara tersebut.139
Intuisi kita adalah bahwa keinginan politis untuk melakukan pengadilan akan
berkurang setelah jangka waktu yang lama. Namun, dalam kasus pengadilan kejahatan
terhadap kemanusiaan, yang terjadi adalah kebalikannya. Signifikansinya tidak berkurang oleh
waktu. Pertimbangkanlah mengapa ini terjadi. Sifat penindasan politik, terutama keterlibatan
negara dalam pelanggaran ini, memiliki dampak terhadap efek perjalanan waktu. Penindasan
secara sistemik bertentangan dengan asumsi pembuktian dan jurisdiksional berkaitan dengan
perjalanan waktu. Bila negara terlibat dalam pelanggaran, berbagai aspek penting dari
pelanggaran sering kali ditutup-tutupi dan tidak diketahui publik pada saat terjadinya, dan baru
muncul setelah waktu yang lama: bukan hanya identitas para pelakunya, namun yang lebih
penting, fakta-fakta dan karakter pelanggaran itu sendiri. Terlebih lagi, implikasi negara dalam
Ronnie Edelman et al., “Prosecuting World War II Prosecutors: Efforts at an Eras’s End”, Boston College Third
Law Journal 12 (1991): 199.
137
Lihat Federal Supreme Court in “Criminal Cases” Vol. 18, 37 (Jerman) (menafsirkan Pasal 211 Penal Code
yang mendefinisikan pembunuhan). Pelanggaran domestik yang relevan dalam hukum Jerman adalah
pembunuhan yang dilakukan dengan “motif mendasar”. Lihat Robert Monson, “The West German Statute of
Limitations on Murder: A Political, Legal, and Historical Explanation”, American Journal of Comparative Law
30 (1992): 605.
138
“Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes against Humanity”,
U.N. General Assembly Resolution 2391 (XXIII), 11 November 1970.
139
Lihat Law No. 64-1326, 29 Desember 1964 (Dalloz, Code Penal 767, 1970-1971). Lihat juga Journal Official
de la Republique Francaise, 29 Desember 1964, 11.788; Pierre Mertens, “L’Imprescribilité des crimes de guerre
et des crimes contre I’humanité,” Revue de Droit Penal et de Criminologie 51 (1970): 2004.
45
pelanggaran, dan juga dalam usaha untuk menutupinya, meningkatkan kemungkinan politisasi
terhadap kebijakan penghukuman. Dalam pengadilan pasca-Perang Dunia Kedua, dorongan
politik untuk mengadili meningkat, berkurang dan meningkat lagi seiring perjalanan waktu.
Tepat ketika perang berakhir, masih terdapat keinginan besar untuk mencapai keadilan
dari pihak Sekutu, namun kemudian dengan adanya Perang Dingin dan pergeseran politik,
dorongan ini menyusut. Perjalanan waktu memiliki arti pergantian rezim yang akan
memungkinkan usaha pencarian keadilan. Misalnya, transisi menuju demokrasi pada dekade
1980-an di Bolivia memungkinkan ekstradisi ke Prancis dan pengadilan terhadap antek Nazi,
Klaus Barbie, lebih dari empat dekade setelah kekejaman-kekejaman yang ia lakukan.140
Perubahan rezim sering kali mendorong pembuktian, seperti dengan memberikan akses pada
arsip pemerintah dan sumber lain tentang rezim pendahulu, sehingga memungkinkan
tercapainya keadilan. Misalnya, perubahan politik di bekas blok komunis berarti akses lebih
banyak pada arsip KGB dan partai komunis, menghasilkan arus informasi yang
memungkinkan pengadilan. Akhirnya, bukti baru muncul secara kebetulan setelah jangka
waktu tertentu. Misalnya, beberapa peristiwa kebetulan mengarah pada pengadilan nasional di
Jerman, ketika pada pertengahan dekade 1950-an di kota Ulm ditemukan secara kebetulan
keterlibatan Nazi pada masa lalu dalam suatu kasus non-pidana.141 Penemuan ini mendorong
penyelidikan yang akhirnya berpuncak pada program pengadilan Perang Dunia Kedua di
Jerman.
Dalam contoh lain yang lebih mutakhir, dua dekade setelah pemerintahan junta di
Argentina, pengakuan seorang anggota angkatan laut tentang kejahatan terhadap kemanusiaan
yang ia lakukan (penghilangan) membuka kembali peristiwa-peristiwa masa tersebut. Apa
yang disebut sebagai “Efek Scilingo”142 ini mendorong penyelidikan baru terhadap
penghilangan dan penangkapan kembali terhadap para pemimpin junta.
Sifat persisten pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan menunjukkan bahwa
perjalanan waktu dalam hal ini bekerja secara paradoksal dan bertentangan dengan intuisi
normal kita. Bahkan setelah beberapa generasi, rezim penerus tetap mengadili kejahatan rezim
lama, meskipun tidak dengan sanksi yang berat. Jurisprudensi persistensi pengadilan ini tidak
dijelaskan dengan baik oleh argumen peradilan pidana tradisional. Dengan bertambahnya usia
para korban dan pelaku, tujuan retributif menjadi kehilangan signifikansinya. Dengan
persidangan puluhan tahun setelah terjadinya pelanggaran, proses tersebut nyaris tidak
memajukan tujuan penghukuman tradisional (traditional penal) untuk penggentaran atau
perbaikan. Terlebih lagi, bahkan tujuan keadilan yang memandang ke depan, seperti untuk
membangun demokrasi, menyusut karena berbagai perubahan politik telah menjadi
sasarannya.
Namun, perdebatan tentang apakah proses penghukuman kejahatan terhadap
kemanusiaan perlu dilanjutkan setelah jangka waktu yang lama menunjukkan pengakuan
terhadap beratnya pelanggaran tersebut dalam spektrum pelanggaran. Pada perdebatan PBB
tentang Konvensi Ketidakberlakuan Batasan Statutoris terhadap Kejahatan Perang dan
Kejahatan terhadap Kemanusiaan, pencabutan batasan waktu dijustifikasi pada dasar
140
Lihat Barbie, 78 ILR 125.
Rückerl, Investigation of Nazi Crimes, 48.
142
Lihat Martin Abregu, La Tutela Judicial del Derecho de la Verdad en la Argentina, 24 Revista IIDH (1996),
II, 12-15.
141
46
“kekejaman” yang luar biasa dari kejahatan tersebut.143 Dalam perdebatan Jerman tentang
statuta pembatasan waktu, perpanjangan waktu dijustifikasi secara normatif, berdasarkan pada
beratnya kejahatan. Pada perdebatan lebih lanjut tentang pengadilan, penghargaan bagi
kehormatan para korban, dan juga implikasi pengampunan terhadap perlindungan hak-hak
mereka secara setara di muka hukum, menjadi tujuan yang sering terdengar.144 Perasaan
“sekarang atau tidak sama sekali” dan keinginan untuk memberikan perlindungan yang setara
bagi hak-hak para korban terlihat dalam peran penting mereka dalam peradilan berkaitan
dengan perang pada akhir masa tersebut. Ini terlihat dalam pengadilan pasca-perang yang
tertunda terhadap Klaus Barbie, Paul Touvier dan Maurice Papon di Prancis. Hal serupa
terjadi di Inggris, di mana para kelompok korban menunjukkan keberadaan para tersangka
pelaku kejahatan perang Nazi kepada otoritas pemerintahan Inggris.145 Peran para korban
dalam peradilan transisional bervariasi secara dramatik dalam berbagai budaya hukum. Dalam
hukum kontinental, para korban melakukan penuntutan, di mana mereka berperan sebagai
penuntut privat, seperti dalam prosedur partie civile di Prancis dan querellante di Amerika
Latin. Dalam hukum Anglo-Amerika, partisipasi pihak privat dalam proses pidana dianggap
bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan dan mengancam kedaulatan hukum.146
Respon hukum di sini bekerja dengan cara simbolis, mengekspresikan suatu pesan
yang menunjukkan ketaatan negara pada kedaulatan hukum.147 Perkembangan hukum
internasional selama bertahun-tahun memperluas definisi kejahatan terhadap kemanusiaan
lebih lanjut lagi hingga penindasan modern. Pada gilirannya, hal ini memberikan batasan bagi
kedaulatan negara, yang bahkan mencakup kedaulatan negara untuk memberikan atau tidak
memberikan hukuman. Konseptualisasi penindasan diawali dengan pandangan “objektif” yaitu
status para korban yang dilindungi. Sehingga secara historis, kejahatan tehadap kemanusiaan
didefinisikan dengan status warga sipil dalam kondisi perang dan pelanggaran yang mencakup
penindasan etnik, keagamaan dan rasial. Konseptualisasi kontemporer lebih luas, karena ia
tidak hanya terbatas pada perlakuan terhadap warga negara asing, namun juga mencakup
pelanggaran yang dilakukan terhadap warga negara yang sama bahkan dalam kondisi damai,
sehingga melindungi warga dari penindasan berdasarkan ras, etnik, agama atau politik. Jadi,
dalam pengadilan pada tahun 1987 terhadap Klaus Barbie, kepala Nazi di Lyons masa
pendudukan, karena memerintahkan deportasi ke kamp-kamp pembunuhan, isu kritisnya
adalah apakah anggota kelompok resistance (pejuang gerilya) yang bersenjata, korban yang
143
United Nations, Ecosoc, Commission on Human Rights, sesi ke-22, Question of Punishment of War Criminals
and of Persons Who Have Committed Crimes against Humanity: Question of the Non-Applicability of Statutory
Limitations to War Crimes and Crimes against Humanity, diserahkan oleh Sekretaris-Jenderal, 1966, hlm. 84.
144
Untuk tinjauan tentang argumen Jerman untuk mencabut statuta pembatasan waktu terhadap pembunuhan era
Perang Dunia Kedua, lihat Martin Clausnitzer, “The Statute of Limitations for Murder in the Federal Republic of
Germany”, International and Comparative Law Quarterly 29 (1980): 478; Monson, “The West German Statute
of Limitations on Murder”, 618-25. Lihat juga Jaime Malamud-Goti, “Punishment and a Rights-Based
Democracy”, Criminal Justice Ethics 3 (musim panas/gugur 1991). Tentang peran para korban dalam usaha
penghukuman, lihat Jeffrie G. Murphy, “Getting Even: The Role of the Victim”, dalam Ellen Frankel Paul et al.
(eds.), Crime, Culpability and Remedy, Cambridge, Mass: Blackwell, 1990, 209.
145
Lihat “Questions of Justice”, The All-Party Parliamentary War Crimes Group 1, debat parlementer, House of
Lords Official Report 1079 (1990).
146
Lihat Young v. Vuitton, 481 US 787, 811-12 (1987). Lihat juga George Fletcher, With Justice for Some:
Victims’ Rights in Criminal Trials, Reading, Mass: Addison-Wesley, 1995.
147
Tentang otoritas moral korban, lihat Skhlar, Legalism: Law, Morals, and Political Trials.
47
statusnya sebagai warga sipil yang dilindungi tidak jelas, akan dilindungi oleh cakupan
“kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Pada akhirnya menurut mahkamah agung Prancis, pertanyaan relevannya adalah bukan
status para korban, namun tujuan tindakan yang dilakukan para tertuduh. Yang menunjukkan
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tujuannya untuk menindas.148 Penindasan
didefinisikan oleh pengadilan sebagai tindakan yang dilakukan secara sistematis atas nama
“negara yang mempraktikkan kebijakan supremasi ideologis”.149 Dalam contoh kontemporer
lainnya, doktrin perlindungan dari tribunal kejahatan perang internasional ad hoc tidak hanya
mencakup masa pasca-perang, namun melampaui batasan antara penduduk sipil dan
kombatan, perang dan damai. Jurisprudensi transisional tentang kejahatan terhadap
kemanusiaan berevolusi dari sekadar status atributif – ke motif penindasan.150
Pemahaman kontemporer tentang tindakan-tindakan tidak manusiawi pada akhirnya
berfokus pada kebijakan negara, dan dengan demikian menjelaskan mengapa, meskipun
terdapat selang waktu yang panjang, kejahatan terhadap kemanusiaan tetap dianggap perlu
mendapatkan hukuman. Meskipun keterlibatan negara tidak dijadikan sebagai syarat,
penindasan merupakan kejahatan yang sedemikian berat, sehingga bahkan jika negara tidak
terlibat secara terbuka, pelanggaran tersebut dilakukan dengan latar belakang kebijakan
pemerintahan. Dalam elaborasinya yang paling mutakhir, dalam kodifikasi untuk pengadilan
pidana internasional permanen, kejahatan terhadap kemanusiaan didefinisikan dengan
“serangan yang luas atau sistematis terhadap kelompok penduduk sipil apa pun”.151 Kebijakan
penindasan memiliki arti liabilitas atau pertanggungjawaban kolektif, dengan konsekuensi
yang berlanjut terhadap identitas politik negara sepanjang waktu. Penindasan melampaui
korban-korban secara individual dan pelaku, dengan implikasi bagi masyarakat secara
keseluruhan.
Bila negara terlibat dalam penindasan, hal-hal mendasar tentang peradilan pidana
menjadi terancam; persekongkolan, usaha menutup-nutupi kebenaran, dan halangan lainnya
mempengaruhi kemungkinan untuk mencapai keadilan. Kejahatan terhadap kemanusiaan
menunjukkan dampak peran negara dalam kesalahan di masa lalu sebagai elemen penting
kondisi peradilan yang terkompromi pada masa transisi. Bahkan, faktor ini bisa banyak
menjelaskan mengapa timbul ketegangan apabila rezim penerus tidak merespon ketidakadilan,
148
Barbie, 78 ILR 139-40. Lihat juga Jugement de Maurice Papon (21 April 1998) (didakwa melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan).
149
Barbie, 78 ILR 128.
150
Lihat Statute of the International Tribunal for the Former Yugoslavia, 1173. Lihat juga Tadic, dicetak ulang
dalamn International Legal Materials 35 (1996): 32, 48-73.
151
Pasal 7 dari Rome Statute of the International Criminal Court meluaskan definisi “kejahatan terhadap
kemanusiaan” seperti berikut ini:
[T]indakan berikut ini bila dilakukan sebagai bagian dari serangan yang luas atau sistematis, dilakukan
terhadap kelompok masyarakat sipil manapun, dalam bentuk: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c)
perbudakan; (d) pengusiran atau pemindahan paksa terhadap penduduk; (e) pemenjaraan ...; (f)
penyiksaan; (g) pemerkosaan, perbudakan seksual ...; (h) penindasan terhadap kelompok atau kolektif
yang diidentifikasi atas dasar ... politik, rasial, nasional, etnik, budaya, agama, jender ...; (i)
penghilangan paksa manusia; (j) kejahatan apartheid; dan (k) tindakan tidak manusiawi lainnya yang
memiliki karakter serupa ...
Rome Statute of the International Criminal Court, U.N. Diplomatic Conference of Plenipotentiaries on the
Establishment of an International Criminal Court, Pasal 7, U.N. doc. A/ Conf.183/9 (17 Juli 1998)
48
di mana hal itu sendiri merupakan salah satu petunjuk kondisi tidak ideal dari keadilan
transisional. Dalam pergantian rezim, masalah tersebut mengarah pada konstruksi pemahaman
tentang tanggung jawab pidana yang berlanjut yang dikenal sebagai “impunitas”. Anggapan
tentang pelanggaran yang berkelanjutan ini (bila tidak ada hukuman) merekonseptualisasi
pelanggaran tersebut. Lebih lanjut lagi, logika ini menjustifikasi pencabutan batasan waktu
konvensional terhadap pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti juga pemikiran
analog dalam hukum pidana biasa yang menjustifikasi pencabutan batasan waktu terhadap
pelanggaran seperti penipuan atau konspirasi yang melibatkan pejabat negara, karena
keterlibatan negara memiliki konsekuensi yang membatasi kemungkinan tercapainya keadilan.
Masalah ini menjadi lebih parah dalam rezim penindas bila mereka yang seharusnya menjadi
pelaksana keadilan malah menjadi pelanggarnya.
Bila negara terlibat dalam penindasan, kesetaraan dan keamanan di bawah hukum
menjadi terancam. Dengan demikian, signifikansi respon transisi melampaui kasus individual
untuk mengekspresikan pesan normatif tentang perlindungan yang setara, yang merupakan
dasar kedaulatan hukum. Pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan membantu
mengkonstruksikan pergeseran normatif transisional dengan mengutuk represi di masa lalu
sambil sekaligus memperkuat pengembalian keamanan dan kesetaraan menurut hukum.
Implikasi normatif respon legal ini melampaui masa transisi. Pengadilan atas kejahatan
terhadap kemanusiaan menunjukkan signifikansi berlanjut respon negara terhadap penindasan.
Pada akhir abad ke-20, penindasan sebagai kebijakan sistematis tidak diragukan lagi dianggap
sebagai paradigma tirani modern. Dalam jurisprudensi kejahatan terhadap kemanusiaan,
sanksi terkuat hukum merupakan respon kritis terhadap kebijakan represif di masa lalu. Bila
penindasan di masa lalu “disahkan” oleh hukum, pengadilan terhadapnya menunjukkan
perbedaan normatif dan pergeseran ke legalitas yang baru. Peradilan pidana digunakan untuk
menunjukkan perbedaan antara pemerintahan liberal dan non-liberal. Penerapan hukuman
untuk kejahatan terhadap kemanusiaan memberikan perlindungan bagi hak-hak yang terkait
pada perbedaan kontemporer antara pemerintahan otoriter dan liberal. Peradilan pidana
suksesor bisa membantu menjelaskan signifikansi pengadilan kontemporer lainnya. Jadi,
sebagai contoh, dalam jurisprudensi konstitusional Amerika, diskriminasi yang disponsori
negara mendapatkan perhatian konstitusional yang paling ketat. Pentingnya pengadilan
terhadap kejahatan yang berkaitan dengan masalah ras ini, bahkan setelah selang waktu yang
panjang, bisa dipahami dalam konteks sejarah Amerika yang mengalami diskriminasi rasial
yang disponsori negara, yang menimbulkan masalah keadilan transisional yang belum
terselesaikan. Bahkan bila pelanggaran rasis disponsori secara pribadi, hal itu mengingatkan
orang pada penindasan yang didukung negara di masa lalu, dan menimbulkan kemungkinan
tanggung jawab kolektif yang berlanjut, dengan potensi konsekuensi sosial yang parah kecuali
bila ada respon yang transformatif.152
Peradilan Pidana Transisional: Beberapa Kesimpulan
Peradilan pidana transisional tidak hanya memajukan tujuan-tujuan hukuman yang
konvensional dalam negara yang taat kedaulatan hukum. Peran peradilan pidana dalam saat
152
Ilustrasi mutakhir tentang hal ini adalah pengadilan ketiga terhadap pembunuhan Medgar Evers. Mississippi v.
Byron De La Beckwith, 702 S2d 547 (Miss., 1997), cert. denied, 525 vs 880 (1998).
49
transisi, seperti ditunjukkan pengalaman di atas, melampaui penghukuman konvensional. Ia
melampaui unsur-unsur yang lazim terdapat dalam peradilan pidana, seperti penggentaran,
yang telah terdapat dalam reformasi politik dan dimajukan oleh proses itu, yang menyertai
transisi, di mana perubahan dalam struktur institusional negara mempengaruhi pertimbangan
konsekuensi dari tindakan yang mungkin akan dilakukan. Namun, peradilan transisional
memajukan tujuan lainnya yang khas pada perubahan politik, seperti memajukan tercapainya
kedaulatan hukum dalam masa transisi.
Tujuan-tujuan inilah yang menimbulkan dilema tentang peran hukum dalam masa
perubahan politik: utamanya, bagaimana mendamaikan perubahan normatif dengan ketaatan
pada legalitas konvensional. Dilema ini dituntaskan dalam praktik transisional di atas dengan
membatasi hukuman dalam proses parsial dan simbolik, suatu dasar perubahan yang
dikendalikan dengan baik. Sanksi transisional ini memiliki peran kompleks dalam
transformasi politik: hukum ikut membangun transisi, mengutuk tindakan salah di masa lalu –
bahkan sambil ia meninggalkannya di masa lalu – sementara memperkuat ketaatan pada
kedaulatan hukum. Transisi bervariasi dalam hal sejauh mana beragam transisi itu mendorong
transformasi norma yang lebih substansial. Jika rezim lama dipertahankan oleh kebijakan
penindasan yang dirasionalkan oleh sistem “hukum”, pertimbangan inilah yang ditentang oleh
respon hukum kritis. Melampaui peran hukum pidana konvensional dalam menunjukkan
keberlakuan dan melindungi nilai-nilai yang telah ada,153 hal yang membedakan respon pidana
transisional adalah usahanya untuk mengadakan dan memperkuat perubahan normatif. Usaha
ini terlihat jelas dalam fokus khusus respon transisional dari berbagai negara untuk
“membongkar” kekerasan politik masa lalu melalui proses penyelidikan dan penuntutan, dua
ritual pengetahuan kolektif yang memungkinkan pengutukan terhadap pelanggaran di masa
lalu.154
Respon kritis terhadap penindasan di masa lalu ini menjelaskan bahwa kebijakan
adalah buatan manusia, dan dengan demikian dapat diperbaiki. Dengan pengetahuan tentang
kesalahan di masa lalu dan pembebanan tanggung jawab kepada individu pelaku,
kemungkinan untuk perubahan menuju demokrasi bisa tercapai. Dengan cara ini, sanksi
pidana transisional membebaskan rezim penerus dari kesalahan-kesalahan pendahulunya di
masa lalu. Melalui proses hukum yang teritualisasi soal pencaplokan atau pelepasan,
penerimaan dan penolakan, kehilangan dan penerimaan, masyarakat bergerak ke arah yang
lebih liberal, melalui proses yang memungkinkan transformasi dan kemungkinan penebusan
kesalahan.155
Suatu bentuk peradilan pidana, seperti ditunjukkan praktik transisional, merupakan
ritual dari negara-negara yang sedang menuju demokrasi, karena melalui praktik ini normanorma dikemukakan ke masyarakat. Melalui proses yang dikenal dan ketat, ditariklah suatu
garis, membebaskan masa lalu, yang memungkinkan masyarakat untuk bergerak maju.
Meskipun hukuman secara konvensional dianggap cenderung retributif, dalam masa transisi,
tujuannya adalah korektif, tidak hanya kepada pelaku individual tetapi ke masyarakat secara
luas. Tujuan ini dilihat dalam sikap terhadap pelanggaran politik sistematis, misalnya dalam
persistensi untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan – pelanggaran politik yang
menindas, yang merupakan respon kritis terhadap pemerintahan non-liberal melalui hukum
153
Lihat Joel Feinberg, Doing and Deserving, Princenton: Princenton University Press, 1970.
Lihat Girard, Violence and the Sacred.
155
Lihat umumnya Hart, Punishment and Responsibility, 170-73.
154
50
pidana. Terlebih lagi, sementara penghukuman konvensional dianggap memecah-belah
masyarakat, dalam transisi, ketika penghukuman dilakukan, ia dilakukan secara terbatas untuk
memungkinkan tercapainya sistem politik yang liberal. Dengan demikian, proses pidana
memiliki kedekatan dengan respon nonkriminal lainnya, yang dibicarakan dalam bab-bab lain,
yang menyusun keadilan transisional.
Dalam keadilan transisional, dilema kedaulatan hukum menjadi penting karena kondisi
yang luar biasa dari perubahan politik yang radikal. Namun masa-masa itu tidak terputus dari
masa sebelumnya, namun secara jelas menggambarkan masalah-masalah yang biasanya
kurang transparan dalam sistem peradilan yang lebih mapan, dan dengan demikian,
jurisprudensi transisional bisa menjelaskan pemahaman kita tentang kebijakan peradilan
pidana secara lebih umum. Yang paling signifikan, pengalaman di muka menunjukkan potensi
hukum pidana tidak hanya sebagai instrumen stabilitas, tetapi juga untuk perubahan sosial.
51
Bab 3
Keadilan Historis
Bab ini mengeksplorasi respon historis terhadap peninggalan kekejaman di masa lalu dan
pertanyaan tentang peran apa yang dimainkan oleh pertanggungjawaban historis dalam transisi
menuju demokrasi. Transisi – dari sefinisinya – menunjukkan adanya diskontinuitas sejarah.
Perang, revolusi dan pemerintahan represif merupakan masa-masa gelap dalam sejarah suatu
bangsa yang mengancam kontinuitasnya. Pertanyaan yang timbul adalah: secara deskriptif,
bagaimana masyarakat memperlakukan masa-masa cacat sejarah tersebut? Sejauh mana peran
respon historis terhadap pemerintahan otoriter di masa lalu? Dan secara normatif, dalam hal
apa pertanggungjawaban historis merupakan hal yang korektif dan mendorong liberalisasi?
Suatu pandangan yang populer di kalangan analis politik kontemporer adalah bahwa
penyidikan dan dokumentasi sejarah yang mengasimilasikan masa lalu yang buruk merupakan
hal yang diperlukan untuk mengembalikan kolektivitas pada masa-masa perubahan politik
yang radikal. Klaim mereka adalah bahwa dengan menemukan “kebenaran” tentang
kesalahan-kesalahan negara di masa lalu, seperti melalui konstitusi baru atau pengadilan
suksesor, hal tersebut membantu untuk meletakkan dasar bagi tatanan politik yang baru.
[P]emerintahan penerus memiliki kewajiban untuk menyelidiki dan menentukan fakta-fakta,
sehingga kebenaran diketahui dan dijadikan bagian dari sejarah suatu bangsa ... Perlu ada
pengetahuan dan pengakuan: peristiwa-peristiwa di masa lalu harus diakui keberadaannya secara
resmi dan diungkapkan secara terbuka. Pengungkapan kebenaran .... merespon tuntutan untuk
mendapatkan keadilan dari para korban dan memfasilitasi rekonsiliasi nasional.1
Seperti klaim normatif konstitusi dan pengadilan di masa transisi, klaim normatif untuk
menyusun dokumentasi sejarah yang resmi adalah bahwa ia memungkinkan pergeseran
menuju tatanan yang lebih liberal. Penyusunan sejarah kolektif tentang masa lalu yang represif
dianggap meletakkan dasar yang diperlukan untuk masyarakat demokratis yang baru.
Dikatakan bahwa proses ini mutlak diperlukan untuk transisi menuju demokrasi: sejarah
transisional yang diarahkan pada masa depan yang lebih baik menggambarkan suatu proses
dialektis dan progresif. Pandangan ini mewarisi semangat dari masa lalu, dari masa
pencerahan – Immanuel Kant hingga Karl Marx, yang menganggap bahwa sejarah bersifat
menguniversalkan dan memberikan penebusan. Dalam pandangan ini, sejarah adalah pengajar
dan hakim, dan kebenaran sejarah itu sendiri merupakan keadilan. Pandangan tentang potensi
liberalisasi dari sejarah inilah yang mendorong argumen kontemporer untuk
pertanggungjawaban sejarah dalam transisi. Namun, asumsi bahwa “kebenaran” dan “sejarah”
Alice H. Henkin, “Conference Report”, dalam State Crimes: Punishment or Pardon, dalam Alice H. Henkin
(ed.), Queenstown, Md: Aspen Institute, 1989, 4-5. Terdapat banyak penganjur pandangan ini dalam komunitas
diplomatik dan hak asasi manusia. Lihat misalnya Margaret Popkin dan Naomi Roht-Arriaza, “Truth as Justice:
Investigatory Commissions in Latin America”, Law and Social Inquiry 20 (Musim Dingin 1995): 79. Lihat juga
José Zalaquett, “Balancing Ethical Imperatives and Political Constraints: The Dilemma of New Democracies
Confronting Past Human Rights Violations”, Hastings Law Journal 43 (1992): 1425; Timothy Garton Ash, The
File: A Personal History, New York : Random House, 1997.
1
1
adalah hal yang satu dan yang sama2 menunjukkan suatu kepercayaan tentang adanya suatu
sejarah yang otonom dan objektif tentang masa lalu, di mana konteks politik masa kini tidak
memiliki peran dalam pembentukkannya. Namun, teori modern tentang pengetahuan sejarah
menentang konsepsi ini.3 Bila sejarah disusun secara interpretatif,4 tidak ada pemahaman atau
“pelajaran” yang tunggal, jelas dan mutlak tentang masa lalu, namun yang ada adalah
pengakuan terhadap sejauh mana pemahaman tentang sejarah bergantung pada kondisi politik
dan sosial.
Bagian-bagian dari sejarah dalam masa demikian, seperti akan ditunjukkan di bawah,
tergantung tidak hanya pada peninggalan sejarah dan politik di suatu wilayah, namun juga
pada konteks khas transisi tersebut. Pandangan ideal tentang sejarah transisional sebagai
“dasar”, atau sebagai titik awal, mengabaikan tinjauan sejarah yang sudah ada. Tinjauan
sejarah yang disusun pada masa transisi tidaklah berdiri sendiri, namun didukung oleh narasi
nasional yang telah ada. Latar belakang berupa ingatan kolektif yang sudah ada menentukan
suatu masyarakat. Kebenaran transisional dikonstruksikan secara sosial dalam proses ingatan
kolektif. Seperti tercermin pada praktik-praktik masyarakat dalam masa tersebut, tinjauan
sejarah tidaklah terlalu bersifat mendasar sebagaimana ia bersifat transisional.
Masa transisi adalah bagian dari sejarah yang diciptakan secara sadar. Masa tersebut
adalah masa penciptaan sejarah dalam suatu konteks yang cenderung terpolitisasi dan
didorong oleh kepentingan politik. Politik memiliki implikasi epistemiknya. Kaitan erat antara
penyalahgunaan kekuasaan dan pengendalian pengetahuan dijelaskan secara mendalam oleh
Friedrich Nietzsche dan Michel Foucault.5 Namun, bahkan intuisi modern menolak
penyelidikan sejarah yang secara eksplisit dipolitisasi, karena hal tersebut bertentangan
dengan pandangan ideal suatu filsafat sejarah yang dianggap merdeka dari pengaruh politik.
Jadi, penyelidikan sejarah dalam masa transisi merupakan tantangan yang sukar. Sifat sejarah
yang dipolitisasi, terkait dengan pemerintahan represif, diungkapkan oleh respon-respon
dalam transisi. Meskipun tinjauan-tinjauan sejarah masing-masing dikaitkan dengan rezim
politik yang berbeda, penggunaan pengetahuan dalam politik biasanya dikaburkan oleh para
pemegang kekuasaan. Narasi sejarah selalu ada; semua rezim dikaitkan dan dikonstruksikan
oleh suatu rezim “kebenaran”.6 Perubahan rezim politik dengan demikian berarti perubahan
serupa dalam rezim kebenaran.
Ingatan kolektif adalah proses merekonstruksi masa lalu dengan cara pandang masa
kini.7 Namun, proses rekonstruksi ini memiliki bentuknya yang khas pada masa transisi. Pada
Lihat R.G. Collingwood, The Idea of History, New York: Oxford University Press, 1994.
Lihat Peter Novick, That Noble Dream: The “Objectivity Question” and the American Hostorical Profession,
Cambridge: Cambridge University Press, 1988. Tentang narasi sejarah, lihat Hayden White, The Content of the
Form: Narrative Discourse and Historical Representation, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1987, 13.
4
Lihat H.G. Gadamer, Truth and Method, New York: Crossroad, 1989.
5
Untuk diskusi lebih mendalam tentang peran ingatan dalam pembentukan masyarakat, lihat Friedrich Nietzsche,
On the Genealogy of Morals, terjemahan Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale, New York: Vintage Books,
1967; Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977, terjemahan Colin
Gordon et al., New York: Pantheon Books, 1980.
6
Lihat Foucault, Power/Knowledge.
7
Untuk karya mendasar tentang konstruksi ingatan kolektif, lihat Maurice Halbwachs, On Collective Memory,
terjemahan Lewis A. Coser, Chicago: University Press, 1992. Dari perspektif sosiologi, lihat Iwona IrwinZarecka, Frames of Remembrance: The Dynamics of Collective Memory, New Brunswick, N.J: Transaction
Publishers, 1994; Natalie Zeman Davis dan Randolph Stern (eds.), “Memory and Countermemory”,
Representation 26 (1985); Jonathan Boyarin (ed.), Remapping Memory: The Politics of Timespace, Minneapolis:
2
3
2
masa-masa transformatif, kaitan antara konstruksi sejarah kolektif dan politik dicoba untuk
diputuskan sekaligus dikaitkan dengan erat. Konstruksi sejarah pada masa-masa transformasi
politik diciptakan dengan menarik garis diskontinuitas, namun pada saat yang sama, tetap ada
kontinuitas sejarah dan politik hingga titik tertentu. Sejarah transisional memiliki narasinya
sendiri, namun mengaitkan dan mengambil benang-benang sejarah yang telah ada.
Perimbangan antara diskontinuitas dan kontinuitas, sebagaimana akan terlihat, adalah hal yang
mendefinisikan praktik penciptaan sejarah transisional, membuatnya perlu dilakukan dengan
hati-hati, sementara sekaligus memberinya potensi transformatif yang sesungguhnya.
Suatu pemahaman tentang bagaimana politik yang sedang mendemokratiskan dirinya
mempengaruhi konstruksi sejarah pada masa transformasi politik yang substansial pada
akhirnya dapat memberikan pemahaman lebih baik tentang peran sejarah dalam masa biasa.
Pertanyaan tentang tinjauan sejarah pada masa perubahan politik yang mendasar adalah bagian
dari pertanyaan yang lebih luas tentang bagaimana masyarakat menciptakan kebenaran yang
disepakati bersama. Konsensus epistemik dalam masyarakat dianggap diciptakan oleh
mekanisme transmisi kebudayaan; arti kebenaran dalam masyarakat mensyaratkan
pemahaman bersama hingga titik tertentu.8 Namun, dalam transisi, pemahaman bersama ini
sering kali rapuh atau malah tidak ada. Apa yang terjadi bila suatu pemerintahan runtuh seperti
terjadi pada masa represi? Siapakah pemegang otoritas pada masa transisi? Masalah yang
muncul dalam masa perubahan politik radikal timbul dari ketiadaan kesamaan pandangan.
Dalam masa ini, tidak ada pandangan tentang politik dan sejarah yang dimiliki bersama.
Dalam transisi, kesamaan pandangan yang membentuk dasar bagi konsensus sosial yang baru
diharapkan bisa timbul dari tinjauan terhadap sejarah.
Bagaimana cara masyarakat mengkonstruksikan masa lalu mereka sedemikian rupa
sehingga dipahami secara bersama sebagai kebenaran tentang pengalaman bersama?
Bagaimana mereka menentukan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sejarah yang penuh
perdebatan tentang kejahatan negara? Di bawah ini, proses-proses yang dilaksanakan dalam
konstruksi sejarah transisi akan dibahas. Karena teori kontemporer menekankan kaitan prinsip
interpretif pada konteks sosial dan politiknya, sejarah transisional menunjukkan kaitan
tinjauan sejarah yang tertulis dengan bentuk dan format legal yang terjadi.
Pertanggungjawaban yang didapatkan dari sejarah transisional diciptakan oleh bentuk-bentuk
dan praktik-praktik dalam suatu sistem hukum. Sejarah transisional mengungkapkan
bagaimana bentuk dan praktik hukum tertentu memungkinkan produksi sejarah dan
mentransformasi kebenaran. Sejarah transisional juga menjelaskan kepada kita tentang peran
sejarah dalam perubahan politik menuju sistem yang liberal.
Pengalaman beberapa negara yang dibahas dalam bab ini menjelaskan berbagai bentuk
pertanggungjawaban sejarah. Di sini dijelaskan bagaimana masyarakat mencoba menjawab
pertanyaan tentang bagaimana mengkonstruksikan suatu kisah milik bersama dalam
perubahan politik yang radikal. Juga dijelaskan tentang berbagai cara masyarakat transisional
menyusun sejarah bersama, dan peran hukum dalam konstruksi tersebut. Ingatan kolektif
diciptakan dalam kerangka kerja, melalui simbol dan ritual. Dalam transisi, kerangka kerja
University of Minnesota Press, 1994; Susan A. Crane, “Writing the Individual Back into Collective Memory”,
American Historical Review 20 (1997): 1372. Untuk perspektif antropologi historis, lihat Gerald Silder dan Gavin
Smith (eds.), Between History and Histories: The Making of Silences and Commemorations, Toronto: University
of Toronto Press, 1997.
8
Untuk penjelasan tentang pandangan ini, lihat Steven Shapin, A Social History of Truth, Chicago: University of
Chicago Press, 1994.
3
yang lazim – politik, agama, sosial – mendapatkan ancaman; sehingga hukum beserta
kerangka dan prosesnyalah yang menyusun sebagian terbesar dari ingatan kolektif. Pada masa
transisi, hukum berperan penting dalam membentuk ingatan sosial. Narasi sejarah transisional
diciptakan melalui berbagai tindakan legal, seperti pengadilan terhadap rezim lama, atau
badan-badan birokratik yang bersidang untuk mengungkapkan sejarah, dan berbagai respon
legal lainnya yang mencoba menemukan kebenaran. Terakhir, kisah-kisah independen lainnya
didapatkan dari inisiatif para jurnalis atau sejarawan, meskipun kisah-kisah ini pun bersumber
dari hukum sebagai otoritas dan batasannya.
Kisah sejarah dalam masa transisi politik mengambil berbagai bentuk. Sumber dan
bentuk kebenaran transisional beragam: pengadilan, komisi kebenaran, sejarah resmi. Analisis
di sini menunjukkan suatu fakta yang selalu ada namun terutama menonjol pada masa transisi:
“Masing-masing masyarakat memiliki rezim kebenarannya, ‘politik umum’ kebenarannya;
yaitu diskursus yang diterima secara umum dan berfungsi sebagai kebenaran”.9 Berbagai
rezim kebenaran, yaitu susunan kebenaran, amat terlihat jelas dalam konteks transisional.
Substansi rezim kebenaran transisional bergantung pada sifat rezim kebenaran yang telah ada,
dan sejauh mana terjadi transformasi yang kritis. Sumber-sumber justifikasi sejarah
transisional menentukan arah transformasi politik. Melalui kerangka hukum, bahasa, prosedur
dan peristilahan dalam keadilan, rekonstruksi ini bisa berjalan maju. Di bawah ini dijelaskan
beberapa contoh konstruksi ingatan kolektif dalam transisi.
Sejarah Hukum: Keadilan Historis dan Pengadilan Pidana
Sejak dulu, proses pengadilan memiliki peran terpenting dalam penyusunan sejarah
transisional. Sejarah bertindak sebagai “hakim” dalam proses peradilan pidana. Dalam
perdebatan kontemporer tentang keadilan transisional, masalah tersebut sering kali
ditempatkan dalam kerangka “penghukuman atau amnesti”. Penghukuman dikaitkan dengan
ingatan kolektif, dan ketiadaan hukuman dikaitkan dengan amnesti kolektif.10
Pertimbangkanlah peran penghukuman dalam usaha untuk mencapai keadilan historis.
Pengadilan adalah suatu bentuk upacara yang lazim terjadi dalam penyusunan sejarah kolektif.
Namun selain itu, pengadilan juga merupakan cara terpenting untuk memproses peristiwaperistiwa yang kontroversial.11 Tujuan peradilan pidana umumnya adalah untuk menentukan
tanggung jawab individual dan untuk menentukan kebenaran tentang suatu peristiwa yang
menimbulkan kontroversi. Meskipun nilai penting proses pengadilan pidana untuk
menemukan kebenaran ini bervariasi antara sistem dan budaya hukum yang berbeda,12 pada
masa transisi, peran pengadilan untuk menyelesaikan kontroversi sejarah tidak bisa dibantah.
Foucault, Power/Knowledge, 131.
Untuk kritik terhadap penggunaan pengadilan pidana untuk tujuan ingatan kolektif, lihat Mark J. Osiel, “Ever
Again: Legal Remembrance of Administrative Massacre”, University of Pennsylvania Law Review 144 (1995):
463.
11
Tentang peran pengadilan sebagai ritus dalam ingatan sosial, lihat Paul Connerton, How Societies Remember,
Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
12
Bandingkan Mirjan Damaska, “Evidentiary Barriers to Conviction and Two Models of Criminal Procedure: A
Comparative Study”, University of Pennsylvania Law Review 121 (1973): 506, 578-86 (menganggap bahwa
sistem kontinental lebih mementingkan penemuan kebenaran), dengan John H. Langbein, “The German
Advantage in Civil Procedure”, University of Chicago Law Review 52 (1985): 823.
9
10
4
Karena transisi merupakan masa konflik politik dan sejarah yang terkait, pengadilan
suksesor sering kali diadakan sebagai cara utama untuk mendapatkan keadilan historis.
Pengadilan suksesor juga sering kali dilakukan untuk menyusun tinjauan sejarah dalam masa
transisi politik; bahkan sering kali inilah tujuan utamanya. Melalui pengadilan, usaha untuk
menemukan kebenaran sejarah ditempatkan dalam kerangka pertanggungjawaban dan usaha
untuk menemukan keadilan. Dalam beberapa aspeknya, penggunaan pengadilan untuk
melakukan penyelidikan sejarah tentang hal-hal kontroversial sesuai dengan intuisi kita
tentang fungsi epistemik penghukuman. Namun, sejarah transisional melalui pengadilan
pidana melampaui pemahaman kita tentang peran pengadilan secara umum dalam
pertanggungjawaban pidana, namun ia tetap dibentuk oleh cara pandang pengadilan tersebut.
Dalam konteks ini, pertanggungjawaban terhadap masa lalu mempengaruhi dan menyusun
suatu pandangan tentang keadilan historis. Sejarah transisional pasti akan menyusun suatu
tinjauan yang spesifik tentang masa lalu suatu negara yang kontroversial.
Dalam tinjauan sejarah di proses peradilan pidana, kebenaran ditemukan bersama
dengan keadilan, dan dengan demikian berperan dalam proses delegitimasi rezim pendahulu,
dan melegitimasi rezim penerus. Meskipun keruntuhan militer atau politik bisa menjatuhkan
pemimpin yang menindas, bila rezim tersebut tidak didiskreditkan secara terbuka, ideologi
politiknya bisa bertahan. Jadi, perdebatan di abad ke-18 tentang apakah raja Louis XVI perlu
diadili dilihat oleh Thomas Paine sebagai kesempatan untuk mengungkapkan “kebenaran”
tentang kejahatan pemerintahan monarki: “Bila ia, sang raja, dilihat ... sebagai seorang
tertuduh yang pengadilannya bisa mendorong negara-negara lain di dunia untuk mengetahui
dan membenci sistem monarki yang mengerikan, serta rencana busuk dan intrik dalam
pemerintahan mereka sendiri, maka ia perlu diadili”.13 Pengadilan suksesor penting lainnya,
baik terhadap penjahat perang di Nuremberg atau junta militer Argentina, kini terutama
diingat bukan karena hukuman yang mereka jatuhkan terhadap individu-individu, namun
tentang peran mereka dalam menyusun catatan yang abadi tentang tirani negara.
Proses pidana suksesor memungkinkan berbagai representasi sejarah dari peninggalan
masa lalu yang kejam. Pengadilan memungkinkan representasi sejarah kolektif dengan jelas,
melalui penciptaan kembalinya dan dramatisasi tentang masa lalu, dalam proses pidana.
Terlebih lagi, tinjauan sejarah ini biasanya dicatat dalam transkrip tertulis, yang sering kali
diterbitkan. Pada masa kontemporer, kemungkinan representasional ini sangat meningkat
dengan media massa dan penyiaran proses pengadilan melalui televisi, yang menjadikannya
bagian dari budaya populer. Catatan tertulis dan lainnya dari pengadilan dan keputusan
merupakan representasi yang abadi.
Bagaimana proses pidana mengkonstruksikan kebenaran?14 Tidak ada jawaban
tunggal, karena berbagai aspek penemuan kebenaran dihasilkan dari berbagai bagian dalam
proses pidana. Sebagai contoh, pengadilan pidana memungkinkan penyusunan catatan sejarah
dengan standar kepercayaan hukum yang tinggi: dalam jurisprudensi Anglo-Amerika,
Michael Walzer (ed.), dan Marian Rothstein (penrj), Regicide and Revolution: Speeches at the Trial of Louis
XVI, New York: Cambridge University Press, 1974, 129.
14
Untuk penelitian tentang kaitan prosedur pidana dengan kebenaran, lihat catatan kaki 12 di atas. Untuk
pembicaraan tentang teori prosedur pidana “ekspresif”, lihat Ruti Teitel, “Persecution and Inqusition: A Case
Study”, dalam Irwin P. Stotzky (ed.), Transition to Democracy in Latin America: The Role of the Judiciary,
Boulder: Westview Press, 1993.
13
5
“kebenaran yang tidak diragukan”.15 Contoh utamanya adalah pengadilan dan keputusan di
Nuremberg. Bukti-bukti kekejaman dalam pengadilan tersebut, yang sebagian besar berasal
dari arsip Jerman sendiri, mencakup 10 ribu dokumen tentang pembuatan kebijakan. Terdapat
preferensi untuk merujuk pada dokumen sebagai barang bukti, karena pengakuan dianggap
memiliki kecenderungan politisasi. Menurut Penuntut Umum Robert Jackson, “kita tidak akan
meminta Anda untuk mendakwa orang-orang ini atas kesaksian musuh-musuh mereka”. The
Trials of War Criminals Before the Nuremberg Military Tribunals merupakan suatu catatan
permanen tentang kebijakan penindasan Nazi, yang masih digunakan oleh para sejarawan dan
pakar lainnya.16
Contoh lain yang lebih modern adalah pengadilan junta militer Argentina pada tahun
1983, yang memungkinkan pengungkapan masa lalu negara tersebut secara terbuka.
Pengadilan terhadap junta militer ini, karena sistem hukum Argentina mengikuti sistem Eropa,
merupakan pengadilan pertama yang dilakukan secara terbuka. Selama pengadilan junta ini,
untuk pertama kalinya setelah kejatuhan pemerintahan militer, tindakan-tindakan penindasan
oleh militer diungkapkan ke masyarakat melalui media secara terbuka selama jangka waktu
yang cukup lama. Kebenaran tentang apa yang terjadi ditentukan dari kesaksian para korban
dan dilengkapi oleh organisasi non-pemerintah internasional, kelompok hak asasi manusia dan
pemerintah asing – semuanya menunjukkan kekejaman rezim lama.17
Sebuah pengadilan suksesor lainnya, terhadap mantan “kaisar” Afrika Tengah, JeanBedel Bokassa, juga penting dalam hal representasinya tentang kediktatoran yang telah
berlalu. Setelah satu dekade pemerintahan represif, Bokassa digulingkan oleh Prancis dan
diadili untuk tindakan-tindakan kekejaman, termasuk pembantaian politik dan bahkan
kanibalisme. Melalui siaran televisi dan radio di seluruh negara tersebut, pengadilan panjang
terhadap Bokassa menciptakan narasi lisan yang jelas tentang kekejaman kediktatorannya.18
Pada akhirnya, meskipun diberikan amnesti, pelaporan luas tentang proses pengadilan tersebut
menjamin bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan rezim Bokassa tidak akan
dilupakan. Kekuatan pengadilan dalam membentuk ingatan kolektif dilihat dari perannya
untuk membuat konstruksi sosial pengetahuan tentang suatu masa untuk jangka yang panjang.
Kekuatan peradilan pidana dalam konstruksi sejarah mungkin paling jelas tergambar
dalam kaitan antara proses pidana yang berkaitan dengan Perang Dunia Kedua dan kisah-kisah
tentang masa tersebut. Penulisan sejarah (historiografi) pasca-perang merujuk pada pentingnya
pengadilan dalam memandang dan menciptakan pemahaman sejarah. Kekuatan representasi
legal dalam konstruksi pemahaman sejarah ilmiah dan populer tentang kekejaman masa
perang tampak dalam arah pemahaman sejarah hingga kini. Pemahaman sejarah dan legal
tentang penindasan berkembang secara sejajar, menunjukkan fungsi kuat hukum dalam
konstruksi sejarah di masa transisi. Pemahaman sejarah awal tentang penindasan Nazi
bersesuaian dengan pemahaman hukum tentang pertanggungjawaban yang dikonstruksikan
pada pengadilan pasca-perang. Pemahaman tentang pertanggungjawaban terhadap penindasan
di masa perang dimulai dengan memusatkan perhatian terhadap individu pada jajaran
In re Winship, 397 US 358, 364 (1970); lihat John Calvin Jeffries, Jr. dan Paul B. Stephan III, “Defenses,
Presumptions and Burden of Proof in Criminal Law”, Yale Law Journal 88 (1979): 1325, 1327.
16
Lihat Norman E. Tutorow (ed.), War Crimes, War Criminals and War Crimes Trials: An Annotated
Bibliography and Source Book, New York: Greenwood Press, 1986, 18.
17
Lihat Human Rights Watch, An Americas Watch Report: Truth and Partial Justice in Argentina, an Update,
New York: Human Rights Watch, 1991.
18
Lihat Alex Shoumatoff, African Madness, New York: Random House, 1988, 93-127.
15
6
kekuasaan tertinggi. (Pemahaman ini kemudian akan bergeser, yaitu bahwa
pertanggungjawaban lebih tersebar pada seluruh jajaran). Dengan demikian, di Nuremberg,
kejahatan yang terberat adalah “penyelenggaraan perang yang agresif”, dan yang diadili
adalah para petinggi militer. Bersamaan dengan sidang-sidang pengadilan awal terhadap para
eselon tertinggi militer Jerman, mazhab sejarah pada masa itu pun memandang tanggung
jawab sebagai suatu hal yang top down (dari atasan ke bawahan). Mazhab “intensionalis” ini
menganggap kebijakan Nazi didominasi oleh Hitler; maka tanggung jawab untuk kekejaman
di masa perang harus dibebankan pada para petinggi.
Seiring jalannya waktu, timbullah pemahaman hukum yang lebih jelas tentang
tanggung jawab, yang berjalan bersama dengan perubahan dalam pemahaman sejarah. Setelah
Nuremberg, pengadilan-pengadilan Control Council No. 10 menunjukkan konstruksi
pertanggungjawaban yang memindahkan beban tanggung jawab kejahatan perang dari jajaran
tertinggi militer Jerman ke para elite sipilnya. Interpretasi sejarah dari masa ini bergeser dari
mazhab intensionalis, yang menganggap tanggung jawab terkonsentrasi (pada satu orang), ke
mazhab fungsionalis, yang menganggap tanggung jawab tersebar luas di seluruh sektor
masyarakat Jerman, seperti di negara-negara lainnya.19 Pengadilan tingkat bawah
menunjukkan pergeseran pemahaman yang serupa. Persidangan Eichmann berlangsung
bersama dengan penulisan The Destruction of the European Jews oleh Raul Hilberg pada
tahun 1961. Pada dekade-dekade selanjutnya, pengadilan diterapkan pada para kolaborator,
juga bagian jajaran kekuasaan yang lebih rendah. Kolaborator masa perang diadili di negaranegara yang sempat diduduki Jerman, terutama Belanda dan Prancis. Contoh penting
pengadilan tersebut adalah pengadilan Klaus Barbie pada 1987 dan Paul Touvier serta
Maurice Papon pada 1990-an di Prancis. Proses hukum dilaksanakan di Amerika Serikat,
Inggris, Skotlandia dan Australia, kepada para pelaku penindasan yang melarikan diri ke
negara-negara tersebut setelah akhir perang.20
Pengadilan dianggap tidak tepat untuk representasi sejarah yang memadai karena
peradilan pidana dianggap menyempitkan tanggung jawab ke tingkat individu,21 sementara
pertanggungjawaban untuk penindasan di masa modern jelas melampaui batasan tanggung
jawab individual. Namun, peradilan transisional kontemporer menengahi dua kutub
individual-kolektif ini melalui konstruksi hukum mengenai motif dan kebijakan. Dalam hal
ini, interaksi antara konstruksi hukum maupun sejarah tentang pertanggungjawaban
mendukung suatu pandangan yang kompleks tentang pelanggaran yang dilakukan individu
dalam masyarakat yang berubah. Perkembangan hukum ini bersesuaian dengan meningkatnya
Lihat Michael R. Marrus, The Holocaust in History, Hanover, N.H: University Press of New England, 1987,
36-51 (tinjauan sejarah tentang perubahan dari intensionalis ke fungsionalisme, namun tidak mengaitkannya
dengan perkembangan hukum); Lawrence Douglas, “The Memory of Judgment: The Law, the Holocaust and
Denial”, History and Memory, (musim gugur-dingin 1996): 100. Tentang perubahan pemahaman sejarah tentang
pertanggungjawaban pidana, lihat Raul Hilber, Perpetratos, Victims and Bystanders, New York: Aaron Asher
Books, 1992.
20
Lihat bab 2, catatan kaki 44. Lihat juga Public Prosecutor v Menten (Belanda, Proceedings from December
1977-January 1981), diterjemahkan dan dicetak ulang dalam Netherlands Yearbook of International Law, Vol. 12
(Alphen a.d. Rijn: Sijthoff & Noordhoff, 1981). Untuk pembicaraan lebih mendalam tentang pengadilanpengadilan tersebut, lihat bab 2 tentang peradilan pidana. Untuk tinjauan tentang perkembangan hukum tersebut,
lihat Ronnie Edelman et al., “Prosecuting World War II Persecutors: Efforts at an Era’s End”, Boston College
Third World Law Journal 12 (1991): 199.
21
Lihat Robert Goron, “Undoing Historical Injustice”, dalam Austin Sarat dan Thomas R. Kearny (eds.), Justice
and Injustice in Law and Legal Theory, Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994.
19
7
pemikiran tentang semakin diperlukannya intervensi kemanusiaan, yang menimbulkan
pertanyaan lebih lanjut tentang tanggung jawab moral dan hukum terhadap kekejaman.
Terlepas dari apakah dalam hal ini hukum membentuk sejarah atau sebaliknya, dinamika
keseluruhannya tampak dengan jelas – bahwa pemahaman hukum dan sejarah mengalami
pergerakan ke arah yang sama. Pada akhir abad ke-20, terdapat anggapan bahwa tanggung
jawab untuk penindasan di masa modern terletak pada individu, yang dilatarbelakangi oleh
kebijakan yang sistemik. Pemahaman sejarah ikut berubah dengan merujuk pada kerangka
yang diterima. Maka, nilai sejarah pengadilan pasca-perang juga ikut berubah sejalan dengan
pemahaman di atas. Pandangan bahwa pengadilan tersebut diarahkan untuk menentukan
tanggung jawab individual terhadap kejahatan perang telah berganti dengan pemahaman yang
lebih kompleks tentang pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam negara dengan sistem kedaulatan hukum yang modern, pengadilan merupakan
ritual untuk secara terbuka mengkontekstualkan dan mengisahkan pengalaman pelanggaran di
masa lalu. Dalam masa transisi, pengadilan memiliki peran yang bahkan lebih signifikan,
karena ia tepat untuk digunakan merepresentasikan sejarah yang kontroversial, yang lazim
terjadi pada masa gejolak politik. Namun, ritual-ritual tentang perdebatan sejarah kasus demi
kasus, sebagaimana dilakukan oleh proses pengadilan terhadap individu, sering kali gagal
menyikapi kekejaman besar-besaran yang merupakan ciri khas penindasan dalam negara
modern.
Dilema Keadilan Politis
Pengadilan-pengadilan suksesor menunjukkan bahwa dalam saat transisi, pengadilan bisa
digunakan sebagai kerangka pemahaman tentang tanggung jawab. Maka, meskipun
pengadilan lazimnya dianggap menekankan pada tanggung jawab individual terhadap
kesalahannya, pengadilan transisional menengahi pemahaman tanggung jawab individual dan
tanggung jawab kolektif. Meskipun pengadilan suksesor berpotensi untuk menciptakan suatu
rekaman sejarah tentang masa lalu yang gelap suatu negara, penggunaan pengadilan untuk
tujuan tersebut menjadi tantangan bagi prinsip kedaulatan hukum. Timbul dilema yang sukar
ketika kebijakan penghukuman diterapkan terutama untuk menciptakan suatu rekaman sejarah,
bila tujuan utama hukuman di masa transisi berada di luar sistem peradilan pidana di masa
normal. Ilustrasi kontemporer tentang hal ini adalah penggunaan pengadilan pasca-komunis,
seperti tentang pemberontakan Hungaria 1956, untuk memberikan gambaran yang jelas
tentang masa sejarah yang semula kabur. Pengadilan-pengadilan tersebut berisiko dianggap
dipengaruhi oleh kepentingan politik. Penyusunan sejarah publik dengan menggunakan hukum
pidana menimbulkan kecemasan tentang dikorbankannya hak-hak individual terhadap
kepentingan masyarakat untuk menciptakan suatu catatan sejarah. Suatu kasus yang ekstrem
adalah pengadilan seorang yang tidak bersalah untuk menunjukkan satu titik dalam sejarah.
Penggunaan pengadilan untuk kepentingan politis secara terang-terangan demikian hanya akan
menjadi “pengadilan sandiwara”. Bila negara-negara yang sedang mendemokratiskan dirinya
menggunakan pengadilan untuk mencapai keadilan historis, mereka berisiko mengalami
politisasi – dan memberikan kesan bahwa tidak ada perubahan dibandingkan rezim
sebelumnya.
Bahkan bila pengadilan ditujukan untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih
liberal dan menaati prosedur hukum, begitu mulai dilaksanakan, dampak pengadilan sering
8
kali tidak dapat dikendalikan. Arah penggambaran sejarah melalui pengadilan tidak dapat
diketahui sejak awal, paling tidak dalam sistem hukum adversarial [sistem hukum yang
melibatkan pihak-pihak yang saling bertikai atau bertentangan], di mana prosesnya melibatkan
tinjauan-tinjauan sejarah yang bertentangan: pengadilan untuk kepentingan sejarah bisa gagal
menyampaikan pesan normatifnya tentang liberalisasi, dan malah menggagalkan tujuan
pembangunan demokrasi yang sebenarnya ia emban. Suatu contoh yang terkenal adalah
pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem. Dengan mengadili Eichmann pada tahun 1961,
pemerintah Israel berusaha memberikan gambaran yang jelas tentang sejarah Holocaust bagi
generasi pertama bangsa tersebut yang lahir dan besar di Israel. Meskipun pengadilan tersebut
diusahakan untuk menunjukkan tanggung jawab Eichmann, proses tersebut tidak bisa
mencegah timbulnya interpretasi sejarah lain yang lebih kontroversial, seperti tanggung jawab
para kolaborator di kalangan masyarakat Yahudi sendiri, yang dikisahkan oleh Hannah Arendt
dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil.22
Demikian pula, ketika Klaus Barbie, sang “penjagal dari Lyons”, diadili di Prancis
pada tahun 1988, publik berharap bahwa pengadilan tersebut akan memberikan gambaran jelas
tentang sejarah Prancis di masa pendudukan. Memang benar bahwa pengadilan tersebut
memberikan dramatisasi sejarah masa perang. Berbagai pihak, termasuk lebih dari 30
kelompok korban, kelompok perlawanan dan kelompok komunis ikut serta dalam pengadilan
dan menggunakan proses tersebut untuk menceritakan pengalaman mereka tentang
pendudukan. Para “saksi umum” tersebut tidak memberikan kesaksian tentang peristiwaperistiwa spesifik, sebagaimana lazimnya dalam pengadilan, namun memberikan interpretasi
mereka tentang sejarah perang, menimbulkan persepsi bahwa tujuan pengadilan tersebut
adalah untuk membantu menyatukan identitas politik Prancis yang retak. Pada akhirnya,
pengadilan tersebut memang memiliki dampak terhadap pemahaman sejarah Prancis di masa
perang, namun sebagaimana halnya dengan pengadilan Eichmann, hasil akhirnya tidak seperti
yang diharapkan. Pembelaan Barbie terhadap tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan
dijawabnya dengan tuduhan balik bahwa Prancis melakukan hal serupa di Aljazair, sehingga
beberapa pakar menilai bahwa pengadilan tentang kolaborasi Nazi ini bergeser menjadi
genosida komparatif yang amat buruk (“Anda juga melakukan hal yang sama dengan yang
saya lakukan”). Bahkan kesaksian pihak-pihak individual tersebut tampaknya mendukung
pandangan universalis tentang penindasan masa perang, yang populer di kalangan kaum kiri
Prancis. Pada akhirnya tinjauan, sejarah yang dielaborasikan dalam pengadilan Barbie gagal
menyampaikan tujuan politik yang lebih luas, dan hanya memberikan suatu pesan berpihak
yang sempit.23
Kejadian-kejadian tersebut menunjukan potensi politisasi dalam penggunaan
pengadilan untuk mengkonstruksikan pemahaman sejarah transisional. Masalahnya timbul
dari usaha merespon terhadap kejahatan yang dilakukan dalam konteks politik, melalui caracara juridis yang secara eksplisit dirancang untuk menciptakan suatu laporan resmi dari
sejumlah versi sejarah yang bertentangan. Batasan ini menyulitkan penggunaan pengadilan
Lihat Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil, New York: Penguin Books,
1964, 135-50.
23
Lihat Alain Finkielkraut, Remembering in Vain: The Klaus Barbie Trial and Crimes against Humanity,
(terjemahan Roxanne Lapidus dan Sima Godfrey), New York: Columbia University Press, 1992. Lihat juga
Richard J. Golson (ed.), Memory, the Holocaust and French Justice: The Bousquet and Touvier Affairs, Hanover,
N.H: University Press of New England, 1996 (tentang pengadilan pasca-perang lainnya); Guyora Bider,
“Representing Nazism: Advocacy and Identity at the Trial of Klaus Barbie”, Yale Law Journal 98 (1989): 1321.
22
9
untuk penciptaan sejarah. Seperti dibicarakan di muka, respon yang lazim adalah penggunaan
proses pidana yang terbatas yang tidak membebankan tanggung jawab sepenuhnya kepada
individu, namun bisa membuat catatan untuk publik. Sanksi pidana terbatas ini memenuhi
kepentingan untuk penyidikan dan dokumentasi, karena dilakukan secara formal oleh badan
peradilan yang netral, dengan standar pembuktian tinggi seperti dalam proses hukum. Bahkan
bila tidak ada pembebanan tanggung jawab individual, sanksi terbatas bisa memajukan
rekaman sejarah dan konstruksi pengetahuan bersama tentang penindasan di masa lalu. Sanksi
terbatas dapat mencapai kepentingan epistemik hukum pidana. Terlebih lagi, bila
dikonstruksikan dalam konteks juridis, pengetahuan bisa membebaskan: bila proses
pengadilan secara simbolis mengisolasikan kesalahan individu, masyarakat secara keseluruhan
dibebaskan dari kesalahan.
Penghilangan dan Repesentasi
Masa-masa represif sering kali dilihat sebagai lembaran hitam dalam sejarah suatu bangsa.
Anggapan tersebut paling jelas terlihat di Amerika Latin setelah masa pemerintahan militer
dan kebijakan penghilangan di seluruh wilayah benua tersebut. Transisi di wilayah Amerika
terjadi setelah puluhan tahun kediktatoran militer dan represi yang brutal, yang mencakup
penculikan, penahanan, penyiksaan dan penghilangan secara luas, yang semuanya dilakukan
atas nama “keamanan nasional” secara rahasia. Pengungkapan sejarah masa lalu yang terjadi
pada masa transisi memperlihatkan betapa dalamnya kejahatan negara yang ditandai secara
khas dengan apa yang diistilahkan “impunitas”. Kendatipun model penghilangan di Amerika
Latin tampaknya memberikan definisi baru bagi impunitas, namun kebijakan penghilangan –
seperti di Argentina – merujuk pada kebijakan fasis masa Perang Dunia Kedua untuk menahan
dan melenyapkan para lawan politik “tanpa jejak”, untuk menghancurkan lawan politik dan
menimbulkan ketakutan pada masyarakat.
Bayangkan apa yang terjadi bila tubuh korban kejahatan dilenyapkan – mungkinkah
kejahatan tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi? Penghilangan berarti bukti utama
kejahatan, tubuh si korban, tidak dapat ditemukan.24 Michel Foucault menganggap “tubuh ...
secara langsung terkait dengan lingkup politik; penguasa mengendalikannya; mereka
berinvestasi pada tubuh, menandai tubuh, melatih tubuh, menyiksa tubuh.”25 Selain bentukbentuk kontrol sosial tersebut, penindasan di Amerika Latin pada dekade 1970-an
menunjukkan kekuasaan negara yang koersif – menghilangkan tubuh korban, melenyapkan
warga negara, menjadikan mereka apa yang kini dikenal desaparecidos (orang hilang). Selama
pemerintahan militer di Argentina, lebih dari 10 ribu orang diculik, ditahan dan disiksa, dan
akhirnya dihilangkan tanpa jejak. Seperti juga kerahasiaan dalam penculikan dan penahanan,
penghilangan korban merupakan hal yang endemis pada kejahatan impunitas ini. Semua
langkah tindakan militer – penculikan, penahanan, penyiksaan dan akhirnya pembunuhan –
tidak bisa dibuktikan karena korban telah dihilangkan. Selama si korban tetap tidak
Untuk penjelasan mendetail tentang praktik penghilangan, lihat Nunca Más: Report of the Argentine National
Commission on the Disappeared (seterusnya disebut saja sebagai laporan CONADEP), edisi bahasa Inggris, New
York: Farrar, Strauss, Giroux, 1986, 447. Laporan CONADEP menyimpulkan bahwa banyak mayat yang
dimusnahkan untuk mencegah identifikasi.
25
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison (terjemahan Alan Sheridan), New York:
Vintage Books, 1979, 25.
24
10
ditemukan, militer tetap berjaya dan mempertahankan kekuasaannya. Penghilangan warga
negara merupakan pelaksanaan kekuasaan pada bentuknya yang paling keji dan kejam.
Ketika rezim berganti dengan rezim yang memerdekakan, para korban yang
dihilangkan menjadi lambang pengalaman kediktatoran. Mereka yang dihilangkan adalah
korban yang tidak berdaya; hilang pulalah politik tubuh yang tampaknya lenyap dalam jepitan
represi militer, juga negara yang lama. Penghilangan adalah kejahatan yang memiliki sifat
tidak pasti. Apakah bila negara gagal menjelaskan nasib para korban dan menemukan mereka,
berarti kejahatan tersebut terus terjadi dan tidak berakhir? Penghilangan menimbulkan
pertanyaan tentang apakah rezim penerus tetap harus bertanggung jawab terhadap kejahatan
tersebut. Terdapat pilihan yang sukar antara keadilan atau impunitas, antara menghukum
militer atau membiarkan masa lalu terus berjalan. Apakah kesetimbangan kekuasaan yang
rapuh dan ketidakmampuan untuk menghukum militer berarti sama sekali tidak memberikan
kesempatan bagi para korban dan mereka yang selamat untuk mendapatkan penyelidikan
pidana terhadap kasus-kasus mereka? Apakah tidak menghukum berarti sama dengan tidak
mengetahui kesalahan yang dilakukan di masa rezim pendahulu dan bahwa negara terus
terlibat dalam kesalahan tersebut, utamanya kebijakan penghilangan?
Pertanyaan sukar yang dihadapi banyak negara yang baru beranjak dari pemerintahan
represif adalah bagaimana menghadapi lembaran hitam sejarah yang ditimbulkan oleh
impunitas negara yang mencirikan penindasan di masa modern. Bagaimana cara merespon
kebijakan penghilangan? Bagaimana cara menentukan apa yang terjadi pada sejumlah besar
orang yang dihilangkan dan dibunuh, yang terjadi karena pembunuhan administratif, oleh
aparat keamanan modern, dan bagaimana cara melaporkan kekejaman tersebut? Penggunaan
pengadilan secara terbatas menunjukkan bahwa tingkat kejahatan yang sedemikian luas
membuat sistem peradilan pidana tidak mampu menghadapinya. Demikian pula, respon
masyarakat terhadap penghilangan menunjukkan perkembangan sistem respon yang baru:
respon birokratis terhadap pembunuhan birokratis.
Bagaimana menentukan kejahatan “impunitas”? Bagaimana cara membuktikan apa
yang terjadi pada masa pemerintahan represif, ketika kebijakan penghilangan berarti korbankorban yang dilenyapkan, saksi-saksi yang ketakutan dan pemerintah yang menutupi semua
kejadian tersebut? Masalah pembuktian mengarah pada pembentukan apa yang kini dikenal
sebagai komisi kebenaran.26 Lingkup penyidikan komisi kebenaran sesuai untuk menentukan
fakta-fakta berkaitan pembunuhan massal oleh birokrasi, dengan skala kekerasan yang besar,
dengan jumlah peristiwa yang mencapai puluhan ribu. Komisi penyidikan demikian menjadi
mekanisme terpenting untuk menyikapi kejahatan negara penindas modern, karena
pembunuhan birokratik memerlukan lawannya dalam bentuk institusional yang sebanding,
suatu respon yang bisa menggambarkan kebijakan penindasan yang masif dan sistemik.
Bila mereka yang selamat dan para sanak korban yang dihilangkan menuntut agar
rezim penerus mengungkapkan kebenaran tentang apa yang terjadi pada masa pemerintahan
junta, tuntutan mereka mendorong pembentukan komisi penyidikan. Mandat Komisi Nasional
Orang Hilang (CONADEP) adalah untuk menentukan kebenaran tentang nasib mereka yang
dihilangkan dan tentang penindasan, namun tidak untuk menjawab pertanyaan tentang apa
tindakan perbaikan yang kemudian akan dilakukan. Meskipun kelompok-kelompok korban
membuat petisi agar komisi tersebut dibuat oleh pemerintah, CONADEP merupakan
26
Untuk daftar yang lengkap, lihat Priscilla Hayner, “Fifteen Truth Commission – 1974 to 1994, A Comparative
Study”, Human Rights Quarterly 16 (1994): 597.
11
kompromi politik dan hanya setengah resmi. Tanpa kekuasaan pidana, komisi tersebut lebih
merupakan badan pencari fakta, alih-alih penyidik; mandatnya adalah untuk melaporkan apa
yang terjadi pada masa pemerintahan militer. Setelah sembilan bulan, sebuah laporan yang
panjang lebar mengidentifikasi nama-nama mereka yang dihilangkan, siapa yang dianggap
telah mati, dan mendokumentasikan sifat sistematis dari penindasan oleh junta militer tersebut.
Meskipun laporan tersebut menyebutkan nama-nama para korban, ia tidak menyebutkan nama
pelaku, yang menimbulkan kontroversi. Namun, tanggung jawab dibebankan kepada berbagai
cabang dalam junta militer, dan pembebanan tanggung jawab ini kemudian menjadi dasar
untuk proses pidana terhadap para komandan militer.27
Komisi kebenaran sebagai respon terhadap penindasan militer masa lalu segera ditiru
oleh negara-negara lainnya. Di semua negara yang mengalami transisi dari pemerintahan
militer yang brutal, timbul pertanyaan penting tentang apakah kesalahan-kesalahan yang
terjadi di masa lalu akan dilupakan begitu saja. Komisi kebenaran timbul sebagai jawaban
terhadap impunitas, dan berjalan seiring dengan amnesti. Di seluruh wilayah Amerika – di
Argentina, Cili, El Salvador, Honduras, Haiti dan Guatemala – tempat terjadinya kekerasan
besar-besaran terhadap penduduk, yang mengecilkan kemungkinan keberhasilan respon
pidana, komisi kebenaran menjadi mekanisme sentral dalam transisi politik.28 Dalam usaha
untuk melakukan perubahan politik menuju sistem liberal di Cili, respon rezim penerus
terhadap pemerintahan militer yang represif di masa lalu adalah melalui penyelidikan sejarah
oleh Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi.29 Penyelidikan, yang dibatasi pada
penemuan fakta-fakta tentang kebijakan penghilangan oleh militer, mencapai kesimpulan
bahwa kebijakan tersebut mempengaruhi ribuan warga sipil.
Ketika perang saudara di El Salvador, yang memakan hingga 75 ribu korban tewas dan
ribuan lainnya terpaksa berpindah tempat tinggal, dan berlangsung selama sekitar sepuluh
tahun, akhirnya selesai, kesepakatan perdamaian akhirnya mensyaratkan pembentukan
“komisi kebenaran” internasional untuk menyelidiki pelanggaran di masa lalu. Komisi yang
dibentuk setelah konflik berkepanjangan sebagai hasil kesepakatan damai ini memiliki mandat
untuk mendokumentasikan “pelanggaran berat” oleh pasukan pemerintah maupun anti
pemerintah selama perang saudara yang berkepanjangan ini.30 Untuk pertama kalinya sejak
transisi pasca-Perang Dunia Kedua, penyelidikan netral terhadap pelanggaran yang dilakukan
suatu negara dijalankan oleh suatu badan internasional.
Serupa dengan itu, kesepakatan damai di Guatemala, setelah perang selama 36 tahun
yang menewaskan atau menghilangkan ratusan ribu orang, berhasil dicapai setelah ada
Lihat Human Rights Watch, An Americas Watch Report: 13-17.
“Komisi Klarifikasi Sejarah Masa Lalu” di Guatemala disepakati pada tanggal 23 Juni 1997 di Oslo, Norwegia.
Lihat juga Accord on the Establishment of the Commission for Historical Clarification of Human Rights
Violations and Acts of Violence Which Have Inflicted Suffering upon the Guatemalan Population (Guatemala,
1997); Popkin dan Roht-Arriaza, “Truth as Justice”, 79-116.
29
Komisi Kebenaran Cili ditetapkan dengan Ketetapan No. 355. “Hanya pada dasar kebenaran kita dapat
memenuhi tuntutan mendasar akan keadilan dan menciptakan kondisi yang tidak dapat diabaikan untuk mencapai
rekonsiliasi nasional sepenuhnya” (25 April 1990). Lihat José Zalaquett, Pengantar Informe de la Comisíon
Nacional de Verdad y Reconciliation (Laporan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili) (terjemahan
Philip E. Berrymann, dua jilid), Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1993, xxiii-xxxiii.
30
Lihat United Nations Observer Mission in El Salvador, El Salvador Agreements: The Path to Peace (1992),
16-17 (memberikan sinopsis kesepakatan antara pemerintah El Salvador dan Frente Farabundo Marti para la
Liberacíon Nacional (FMLN) di bawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB).
27
28
12
kesepakatan untuk mencari kebenaran.31 Komisi Klarifikasi Sejarah menemukan penindasan
rasial dan bahkan genosida. Di Honduras, setelah lebih dari satu dekade penghilangan, Komisi
Perlindungan Hak Asasi Manusia dibentuk pada tahun 1992 untuk mengadakan penyelidikan.
Laporan komisi ini pada tahun 1994 menemukan hampir 200 kasus penghilangan dan
menyebutkan nama beberapa perwira tinggi militer sebagai pelaku kejahatan tersebut.32 Di
Haiti, Komisi Nasional Kebenaran dan Keadilan dibentuk pada tahun 1995 untuk menentukan
kebenaran tentang pelanggaran-pelanggaran sangat serius terhadap hak asasi manusia yang
dilakukan antara tahun 1991-1994 secara domestik maupun di luar negeri, dan untuk
membantu proses rekonsiliasi para warga Haiti.33
Seperti di wilayah Amerika, di Afrika, setelah pemerintahan represif dan dalam
konteks tumbuhnya demokrasi yang masih rapuh, dibentuklah komisi-komisi di Uganda, Chad
dan Afrika Selatan pasca-apartheid.34 Uganda membentuk sebuah komisi penyelidikan pada
tahun 1986, setelah dua dekade kekejaman di bawah rezim Idi Amin dan Milton Obete, yang
menewaskan hampir sejuta jiwa. Keserupaan antara pertanggungjawaban sejarah dan pidana
tampak dalam hasil-hasil penelitian dan dokumentasi cermat tentang kejadian-kejadian
bermasalah, hasil penyelidikan komisi kebenaran, juga dalam penentuan tanggung jawab
individual. Misalnya di Chad, setelah jatuhnya rezim Habré pada tahun 1990, sesuai anjuran
organisasi-organsisasi internasional, ditunjuklah sebuah komisi penyidikan untuk meneliti dan
melaporkan kekejaman yang dilakukan oleh rezim tersebut. Kesimpulannya adalah bahwa
sekitar 40 ribu orang disiksa dan dieksekusi oleh aparat keamanan Habré. Laporan
dokumentasi tersebut memiliki keserupaan dengan sanksi pidana, yaitu dalam aspek
pencatatan dan stigmatisasinya: para pelanggar diidentifikasi, dan bahkan foto para pelaku
dimuat dalam laporan.35
Pelaksanaan penyelidikan administratif sebagai alternatif terhadap hukuman juga
dilakukan di Afrika Selatan. Penyelidikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan
terhadap apartheid disepakati untuk dilakukan sebagai bentuk kebijakan non-retributif.
Amnesti akan diberikan sebagai pertukaran kerja sama dalam proses kerja komisi kebenaran.36
Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang jumlahnya berjilid-jilid itu membahas
“terjadinya pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia oleh semua pihak yang berkonflik”,
dan juga struktur sejarah, institusional dan sosial yang lebih luas dari sistem apartheid. Dalam
suatu masyarakat yang amat terpecah belah, kebenaran akan dijadian dasar bagi rekonsiliasi.
Bila tidak terdapat dorongan politik untuk melakukan penyelidikan resmi, konstruksi
ingatan kolektif dan penyelidikan serta dokumentasi penindasan di masa lalu dilakukan oleh
31
Lihat Robert F. Lutz, “Essay: A Peace of the Peace: The Human Rights Accord and the GuatemalanPeace
Process”, Southwestern Journal of Trade and Law in Americas 2 (1995): 183.
32
Lihat Human Rights Watch, The Preliminary Report on Disappearance of the National Commissioner for the
Protection of Human Rights in Honduras: The Facts Speak for Themselves, New York: Human Rights Watch,
1994.
33
Order (Arréte) of March 28, 1995, membentuk “Commission Nacional de Verité et de Justice”.
34
Lihat Lynn Berat dan Yossi Shain, “Retribution or Truth-Telling in South Africa? Legacies of the Transitional
Phase”, dalam Kader Asmal dan Ronald Suresh Roberts (eds.), Law and Social Inquiry 20 (1995): 163;
Reconciliation through Truth: A Reckoning of Apartheid’s Criminal Governance, New York: St. Martin’s, 1997.
35
Untuk penjelasan tentang komisi Uganda dan Chad, lihat Jamal Benomar, “Coming to Terms with the Past:
How Emerging Democracies Cope with a History of Human Rights Violations” (makalah dipresentasikan di
Carter Center, Emory University, Human Rights Program, Juli 1992), 11-14.
36
Lihat Promotion of National Unity and Reconciliation Act 34 of 1995, Juta’s statutes of the Republic of South
Africa, jilid 1 (1997), 801.
13
organisasi non-pemerintah dan masyarakat sipil, seperti oleh gereja. Komunitas yang paling
banyak menjadi korban penghilangan di wilayah Amerika mungkin adalah komunitas Maya di
Guatemala. Sebelum berakhirnya perang selama tiga dekade, penyelidikan dilakukan oleh
sebuah organisasi gereja, REHMI Oficina de Derechos Humanos del Arzobispado (Kantor
Hak Asasi Manusia Keuskupan Agung) atau disebut juga ODHA. Laporan tidak resminya,
dengan mandat untuk “mengembalikan ingatan sejarah”, berdasar pada pengakuan para
korban, diharapkan untuk digabungkan dengan laporan resmi yang diharapkan akan disusun
setelah berakhirnya perang.37 Temuan tidak resmi tentang penindasan rasial ini
mengguncangkan seluruh negeri, dan kemudian dikonfirmasikan oleh laporan resmi, “Ingatan
tentang Kebisuan” (The Memory of Silence). Di wilayah lain di benua tersebut, bila
pemerintahan militer berakhir tanpa transisi politik yang jelas, seperti di Brazil, atau setelah
negosiasi yang berlarut-larut, seperti di Uruguay, penyelidikan oleh pemerintah tidak dapat
dilakukan. Di Brazil, penyelidikan terhadap pelanggaran di masa lalu dilakukan oleh para
rohaniwan, yang menulis laporan berjudul “Tidak Akan Pernah Lagi” (Never Again) berdasar
arsip yang secara rahasia “dicuri” dari militer. Hingga hari ini, laporan ini merupakan satu dari
amat sedikit catatan tentang represi militer Brazil pada dekade 1970-an, dan telah
disebarluaskan di seluruh negeri.38 Meskipun usaha penemuan kebenaran Brazil dan Uruguay
tidak dilakukan oleh pemerintah, mereka meniru usaha pencarian kebenaran resmi di wilayah
tersebut, seperti Argentina, dan menunjukkan bagaimana pelaporan oleh pihak nonpemerintah pun dapat dianggap sebagai kebenaran sosial apabila ia mengikuti bentuk
transisional yang baku. Baik laporan Brazil maupun Uruguay memilik bentuk yang serupa
dengan laporan pemerintah yang resmi. Dengan judul Nunca Más atau Never Again, laporan
tersebut mengikuti model laporan Argentina: dalam judul, sistematika, mandat penyelidikan
dan sumber-sumber bukti, yang berasal dari sumber resmi pemerintah. Dengan cara ini,
bahkan laporan “tidak resmi” pun dapat dikatakan menghasilkan kebenaran yang “resmi”.
Laporan Brazil, yang seluruhnya bersumber pada arsip pemerintah, meskipun bukanlah
catatan pengadilan, pada dasarnya merupakan pengakuan negara terhadap pelanggaran yang
dilakukannya, yang didapatkan oleh para rohaniwan penting Brazil. Dan, karena penindasan di
Uruguay dicirikan oleh penahanan melanggar hukum dan penyiksaan (bukan pembunuhan),
ada korban yang selamat, sehingga para mantan tahanan bisa memberikan kesaksian sebagai
bukti langsung dalam catatan sejarah.39
Dari namanya – Nunca Más – bahasa Spanyol yang berarti “tidak akan pernah lagi”,
laporan-laporan kebenaran Amerika Latin diarahkan untuk mencegah terjadinya kejadian
serupa di masa depan, yang biasanya merupakan tujuan penghukuman.40 Pencegahan
kemungkinan terjadinya kejadian di masa depan pada umumnya merupakan justifikasi utama
untuk penghukuman, namun dalam masa transisi, kepentingan kedaulatan hukum dapat
dicapai dengan cara-cara alternatif – penyelidikan administratif, misalnya. Popularitas
Lihat Rigoberta Menchú, I, Rigoberta Menchú: An Indian Woman in Guatemala, (Editor: Elizabeth BurgosDebrany, penerjemah: Ann Wright), London: Verso, 1984.
38
Untuk tinjauan demikian, lihat Lawrence Weschler, A Miracle, A Universe: Settling Accounts with Torturers,
New York: Penguin Books, 1991.
39
Lihat Servicio Paz y Justicia, Uruguay, Nunca Más: Human Rights Violations, 1972-1985, terjemahan
Elizabeth Hampsten dengan pengantar oleh Lawrence Weschler, Philadelphia: Temple University Press, 1992,
xxv.
40
Nunca Más adalah judul laporan Argentina dan Uruguay; sementara laporan Brazil berjudul Nunca Mais.
37
14
penyelidikan demikian sebagai alternatif peradilan pidana menunjukkan keserupaan antara
bentuk-bentuk pidana dan administratif dalam transisi.
Kebenaran yang Diciptakan: Epistemologi Kebenaran Resmi
Pertimbangkanlah bagaimana cara penyelidikan dalam masa transisi bisa memberikan
gambaran tentang cara mendapatkan kebenaran resmi. Penggunaan komisi kebenaran – bukan
pengadilan tradisional, namun merupakan bentuk penyelidikan setengah resmi – menantang
intuisi kita tentang sifat dan bentuk keadilan historis. Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut,
epistemologi kebenaran transisional berkaitan erat dengan struktur administratif, kekuasaan
dan proses-proses dalam komisi kebenaran. Pengetahuan publik tentang masa lalu diciptakan
melalui proses panjang representasi oleh para pelaku, korban dan masyarakat luas,
memberikan dasar bagi penyelidikan sejarah dengan konsensus sosial. Kebenaran tersebut
dicapai secara bersama-sama dan dilegitimasi melalui proses non-adversarial, yang
mengaitkan pertimbangan sejarah dengan potensi konsensus. Mandat komisi kebenaran
merupakan kompromi yang tegas terhadap isu penting dalam keadilan transisional, yaitu
“pengadilan atau impunitas”. Seperti penuntutan di pengadilan, kepada komisi-komisi
setengah resmi ini didelegasikan kekuasaan oleh eksekutif, yaitu yaitu kekuasaan melakukan
penuntutan. Namun, kendatipun beberapa komisi kebenaran memiliki kekuasaan penyelidikan
yang luas, seperti kekuasaan untuk men-subpoena – seperti Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Afrika Selatan – tidak ada yang memiliki kekuasaan yudisial sepenuhnya.
Konstruksi kebenaran publik yang dapat dipercaya bergantung pada proses ratifikasi lainnya
di luar pemerintah, yang ditimbulkan oleh rakyat. Kebenaran transisional yang dapat diterima
secara sosial diciptakan dalam struktur demokrasi yang baru dibentuk, oleh dua narator: rakyat
dan elite yang dipilih. Ketua komisi kebenaran biasanya dipilih dari warga negara yang
dihormati karena integritasnya, suatu elite moral. Sebagai suatu badan, komisi tersebut
diharapkan berimbang secara politis dan netral. Masalah netralitas ini terutama penting dalam
transisi setelah perang saudara, sehingga misalnya komisi El Salvador beranggotakan wargawarga asing, yang berada di luar lingkup pertikaian golongan antara sesama warga El
Salvador. Hal yang sama terjadi dalam Komisi Klarifikasi Sejarah di Guatemala. Terdapat
anggapan bahwa kebenaran haruslah tidak memihak, dan dengan demikian berada di luar
lingkup pertikaian domestik.41
Apa yang merupakan “sejarah resmi”? Jika para komisioner menjadi otoritas moral
dengan membawakan suara netralitas, para korban memberikan otoritas moral dengan
membawakan suara para korban, mereka yang mengalami penindasan oleh negara secara
langsung. Para korban penindasan di masa lalu adalah sumber utama bukti dalam penyelidikan
sejarah. Komisi kebenaran bergantung pada kesaksian para korban, dan mereka yang paling
banyak menderita akibat negara menjadi para saksi yang paling bisa dipercaya. Bila kesaksian
para korban dinarasikan oleh para komisioner yang merupakan aktor setengah resmi,
kebenaran tersebut bisa menjadi milik bersama, suatu kisah nasional dan dasar konsensus
transisional.
Untuk pemikiran terkait, lihat Michel Foucault, The Birth of the Clinic, terjemahan A.M. Sheridan Smith, New
York: Vintage Books, 1994.
41
15
Pengetahuan sosial tentang masa lalu dikonstruksikan oleh proses publik. Prosesproses tersebut menghasilkan kebenaran yang mendemokratiskan yang membantu
membangun suatu konsensus kemasyarakatan. Proses-proses tersebut juga merupakan ritualritual kritis dan transformatif yang membalikkan kebijakan pengetahuan rezim yang lama.
Sementara impunitas terjadi dalam masa pemerintahan represif yang lama, dan rezim militer
dikenal karena menutup-nutupi kebenaran, pemerintahan yang baru dikenal karena
ketaatannya pada hukum. Hak untuk melakukan dengar pendapat, yang secara tradisional
merupakan bagian dari proses administratif, secara terbuka menegaskan hak partisipasi politik
dan harga diri individual. Penyelidikan administratif bergantung pada partisipasi warga – yang
didorong oleh negara melalui insentif yang kuat, seperti ganti rugi bagi para korban dan
imunitas bagi para pelaku. Afrika Selatan memberikan contoh bagaimana struktur insentif
yang tersirat dalam ketergantungan komisi administratif terhadap kesaksian dan pengakuan,
yang dikaitkan dengan ganti rugi dan amnesti.
Terlepas dari insentif-insentif tersebut, proses-proses pengungkapan pengalaman
tersebut dapat dikatakan sebagai suatu bentuk katarsis. Jika rezim pendahulu gagal melindungi
warganya dari pelanggaran oleh pasukan keamanan, dalam pemerintahan yang sedang
melakukan liberalisasi, kesempatan untuk mengungkapkan pengalaman di muka pemerintahan
baru dapat mengembalikan sebagian dari harga diri yang dahulu dilanggar. Dampak kesaksian
para korban menjadi lebih besar bila acara dengar pendapat komisi kebenaran dilakukan di
tempat-tempat publik di mana terjadi penindasan sebelumnya. Proses publik ini juga
memberikan legitimasi kepada rezim yang baru. Mereka yang sebelumnya disiksa dan dipaksa
untuk membisu kini bisa secara terbuka mengungkapkan pengalaman mereka dalam masa
penindasan.42 Kisah-kisah mereka yang selamat dibandingkan satu sama lain, dan pola-pola
penindasan sistematis menjadi terlihat. Selain bukti-bukti lain, kisah-kisah tersebut menjadi
penyusun kebenaran resmi. Kesaksian para korban dan saksi lainnya direkonstruksikan oleh
para komisioner menjadi suatu kisah yang tunggal tentang penindasan negara. Laporan
kebenaran resmi ini merupakan suatu bentuk narasi yang spesifik, sehingga tidak
mengherankan bahwa para ketua komisi sering kali adalah pengarang terkenal, seperti Ernesto
Sábato, ketua CONADEP Argentina.
Penyelidikan kebenaran transisional diberikan mandat untuk menentukan “apa yang
terjadi” dalam masa pemerintahan yang kejam. Praktik komisi kebenaran menunjukkan
ketaatan pada prinsip-prinsip dokumentasi. Laporan-laporan kebenaran tersebut ditulis dalam
gaya bahasa dokumentasi resmi. Perhatikanlah standar kepastian yang digunakan untuk
menentukan “kebenaran resmi”. Hukum Amerika menekankan standar pembuktian sebagai
karakteristik utama yang membedakan pencarian kebenaran pidana dan perdata. Namun,
anggapan tentang standar pembuktian dan pelaporan ini menjadi aneh dari sudut pandang
terhadap kebenaran dalam budaya hukum lainnya. Jadi, kebenaran menurut sistem hukum
kontinental merupakan suatu pemahaman yang tunggal, tanpa memperhatikan proses hukum
pidana atau perdata.43 Gabungan penyelidikan pidana dan perdata dalam komisi kebenaran
transisional berusaha untuk menjalankan pendekatan tunggal serupa terhadap pertanyaan
tentang standar pembuktian yang tepat. Ketika pertanyaan tersebut diajukan oleh komisi
kebenaran El Salbador, ia menggunakan aturan dua-sumber, yang merupakan standar
Lihat misalnya, Report of the Commission on the Truth for El Salvador (kemudian Laporan Komisi Kebenaran
El Salvador) (April 1993), 229. Lihat juga Laporan CONADEP, 5.
43
Tentang kebenaran dalam sistem hukum kontinental, lihat Damaska, “Evidentiary Barriers”, 580.
42
16
pembuktian yang biasa digunakan oleh para sejarawan dan jurnalis. Standar pembuktian
minimal, “cukup bukti”, berkorelasi dengan banyaknya bukti yang mendukung, dan dengan
demikian membutuhkan lebih dari satu sumber.44
Laporan kebenaran bukanlah suatu tinjauan yang tergeneralisasi dan umum, namun
merupakan catatan dokumentasi yang mendalam. Laporan biasanya memuat banyak detail:
laporan-laporan itu mencatat penghilangan berdasarkan nama jalan tempat terjadinya
penculikan, nama tempat penahanan, nama panggilan para penyiksa, nama tahanan yang lain,
dan nama para saksi yang memberikan kesaksian.45 Semua detail dicatat secara verbatim.
Dalam bahasa yang sederhana dan terus terang, hal-hal yang semula tidak dipercaya menjadi
dapat dipercaya. Dengan semakin banyak detail, semakin banyak pula jawaban terhadap
kebisuan negara di masa lalu. Semakin teliti dokumentasi, semakin sedikit variasi interpretasi
atau bantahan yang dimungkinkan. Satu hal penting dalam sejarah transisional adalah bahwa
kebenaran resmi haruslah diketahui hingga sedetail mungkin. Mengetahui dengan mendetail
berarti menutup celah hal-hal di masa lalu yang karena kekejamannya dan dukungan negara,
akan tidak dipercaya dan dilupakan. Kebenaran resmi tentang kejahatan negara harus
ditentukan berdasarkan dokumentasi yang teliti, dan paradigma tentang pelaporan resmi
tentang kekejaman negara adalah laporan dalam bentuk yang literal. Ritual
pertanggungjawaban membalikkan praktik penghilangan, dan membatalkan kebijakan rahasia
di masa lalu. Pelaporan secara literal merespon dan membatasi model narasi-narasi lain yang
bertentangan. “Laporan” menjadi cara dominan untuk mengisahkan pelanggaran hak asasi
manusia dan kekejaman. Cara tersebut dapatlah dikatakan sebagai cara juridis.46
Politik Ingatan: Mengaitkan Rezim Sejarah dan Rezim Politik
“My Dreams are like your vigils”
(Jorge Luis Borges, A Personal Anthology)
Agar suatu kebenaran dapat dianggap “resmi”, diperlukan konsensus demokratik. Namun
dalam transisi, proses demokratik sering kali belum dikonsolidasikan dengan baik, dengan
implikasi terhadap otoritas dan legitimasi penciptaan pengetahuan dalam masa transisi.
Dengan demikian, dalam pencarian kebenaran masa transisi, ada usaha bersama untuk
menjadikan pertanggungjawaban sejarah dan politis dapat berjalan seiring. Rezim kebenaran
transisional tidak berdiri sendiri, namun terkait erat dengan proses-proses dalam penciptaan
pengetahuan, selain narasi sejarah yang telah ada. Konsensus pada sejarah yang diciptakan
didasarkan pada penyebarluasan dan penerimaan kebenaran di tingkat masyarakat. Dari mana
sumber kekuasaan kebenaran resmi? Proses hukum presentasi dan ratifikasi memberikan
otoritas dan legitimasi dalam proses demokrasi. Begitu selesai, laporan kebenaran diberikan
kembali kepada aktor pemerintah yang memberikan kekuasaan kepada komisi kebenaran,
Lihat Laporan Komisi Kebenaran El Salvador, 24.
Laporan CONADEP, 49-51. Untuk kisah tentang sesi penyiksaan, dijelaskan secara mendetail oleh para
korban, lihat Uruguay, Nunca Más, 102-03.
46
Untuk contoh, lihat Human Rights Watch, Annual Report, New York: Human Rights Watch, 1997.
44
45
17
biasanya eksekutif negara yang bersangkutan.47 Penyebarluasan informasi merupakan langkah
berikutnya, misalnya di Cili, setelah presentasi laporan Komisi Rettig kepada presiden,
laporan kemudian dipresentasikan kepada masyarakat luas.48 Proses serupa terjadi dalam
presentasi laporan komisi internasional El Salvador kepada PBB.49
Ritual publik tentang pertanggungjawaban sering kali disertai dengan permintaan maaf
dari pemerintah, Misalnya, di Cili pasca-pemerintahan militer, presiden secara terbuka
memaparkan hasil temuan komisi kebenaran kepada seluruh masyarakat, di sebuah stadion
olahraga, yang semula pernah digunakan sebagai tempat penahanan dan penyiksaan. Hal ini
menggambarkan sekali lagi bahwa ritual-ritual kritis tersebut merupakan suatu pembalikan –
penggunaan ritual-ritual represi dari masa lalu – terhadap ritual di masa lalu, dengan tujuan
untuk memberikan arti baru. Dalam presentasinya, Presiden Patricio Aylwin menyatakan
bahwa penghilangan merupakan “eksekusi” yang dilakukan oleh “agen-agen negara”, secara
formal mengakui tanggung jawab negara dan meminta maaf kepada seluruh masyarakat.50
Presiden Aylwin “mewakili seluruh negara, dan atas namanya, mengakui tanggung jawab
negara, kepada para korban”.51 Permintaan maaf transisional ini memberikan rehabilitasi
secara terbuka bagi para korban, yang telah direndahkan oleh rezim lama, yang mengatangatai mereka sebagai “musuh negara”. Tindakan ini memiliki konsekuensi di tingkat
masyarakat, yang jauh lebih besar daripada permintaan maaf secara informal, dan
menunjukkan kedekatan antara keadilan historis dan reparatoris. Sementara dengan
permintaan maafnya, presiden mewakili negara dan seluruh tanggung jawabnya kepada para
korban, ia juga menegaskan kebutuhan terhadap “tindakan pengakuan terhadap penderitaan”
yang dialami seluruh bangsa.
Representasi kebenaran secara publik, melalui lembaga eksekutif, memberikan
ekspresi tentang pertanggungjawaban politik masa transisi dan menggambarkan dilema
tanggung jawab suksesor dalam masa transisi. Ketika rezim kebenaran baru dipresentasikan,
dan wakil rezim baru meminta maaf kepada seluruh masyarakat atas nama negara untuk
tindakan-tindakan yang dilakukan pada masa pemerintahan yang lama, terlihat adanya
kontinuitas negara dan kedaulatan hukum. Apologi transisional memberikan kontinuitas
tanggung jawab negara, sekaligus merupakan diskontinuitas – melepaskan masa lalu. Tentu
saja permintaan maaf resmi memainkan peranan dalam mengakui kesalahan yang dilakukan
pemerintah. Permintaan maaf oleh eksekutif merupakan bentuk pengakuan resmi oleh
pemerintah tentang kesalahannya di masa lalu, terutama dalam lingkup hubungan
internasional.52 Sementara ini merupakan praktik umum dalam tingkat negara, pengalaman
transisional menunjukkan penggunaan tindakan ini pada tingkat domestik, antara pemerintah
baru dan warga negaranya. Sebagai puncak usaha pencarian kebenaran, permintaan maaf
transisional berperan serta dalam menggerakan pergeseran rezim politik.
47
Meskipun di Afrika Selatan wewenang diberikan oleh parlemen, laporan akhir diserahkan kepada Nelson
Mandela.
48
Lihat Informe Rettig, Informe de la Comisíon Nacional de Verdad y Reconciliation, (Februari 1991)
(selanjutnya disebut saja Laporan Rettig), xxxii.
49
Lihat Julia Preston, “2,000 Salvadoreans Helped UN Build Atrocities Case”, Washington Post, 16 Maret 1993.
50
Pidato Presiden Patricio Aylwin kepada rakyat Cili, ditranskripkan oleh British Broadcasting Corporation, 5
Maret 1991.
51
El Murano, 5 Maret 1991.
52
Untuk perspektif sosiologis tentang pentingnya permintaan maaf, lihat umumnya Nicholas Tavuchis, Mea
Culpa: A Sociology of Apology and Reconciliation, Stanford University Press, 1991.
18
Jika mandat komisi kebenaran adalah untuk menentukan apa yang terjadi pada masa
pemerintahan yang lama, maka semata-mata mengumpulkan fakta belumlah memenuhi
mandat ini. Yang sedang dipermasalahkan adalah sejarah suatu bangsa yang masih belum
jelas. Dengan demikian, komisi kebenaran, seperti juga pengadilan suksesor, adalah forum
pertanggungjawaban sejarah publik tentang peristiwa-peristiwa traumatik, karena transisi
berarti pergeseran atau pergantian rezim kebenaran. Dalam pergeseran dari pemerintahan
militer, kebenaran yang sedang dipermasalahkan adalah tentang karakter kekerasan pada masa
pemerintahan sebelumnya. Dalam kisah versi militer, kekerasan yang ia lakukan adalah
“perang”, mereka yang dihilangkan adalah “gerilyawan”, dan represi dijustifikasi sebagai
“perang terhadap pemberontak”. Pengisahan inilah yang dicoba dijawab oleh laporan
kebenaran transisional, memberikan kebenaran dari pihak suksesor sebagai pengganti
kebenaran versi rezim lama.53 Mengubah anggapan lama tentang tindakan negara
dimungkinkan melalui “kategorisasi” dan “emplotment” dalam narasi yang baru. Kategorisasi
dan emplotment adalah cara-cara dalam narasi transisional untuk memberikan gambaran baru
dan legitimasi baru terhadap kisah-kisah tentang masa lalu. Agar tindakan negara di masa lalu
dianggap tidak sah, perlu pelaporan fakta-fakta dengan cara sedemikian rupa sehingga
perbedaan-perbedaan relevan menjadi terlihat, melalui penggunaan kategori paralel, dalam
konteks pemerintahan represif di masa lalu. Sebagai contoh, laporan Cili disusun berdasarkan
kategori tindakan negara, membedakan korban “kekerasan politik” dari korban “pelanggaran
hak asasi manusia”.54
Representasi kedudukan dan tindakan para pelaku dan korban menjadi elemen untuk
rekonstruksi representasi pelanggaran-pelanggaran di masa lalu yang telah ada. Apa yang
terjadi pada masa pemerintahan yang lama direpresentasikan dalam perubahan kategori
kekerasan. Selain fakta-fakta yang baru ditemukan, terdapat renegosiasi terhadap representasi
bahasa kekerasan politik: “konflik bersenjata”, “pemberontakan”, “terorisme politik”,
“kejahatan terhadap kemanusiaan”, dan “genosida”. Transformasi sejarah terjadi melalui
representasi eksplisit dalam bentuk rekategorisasi fakta-fakta kontroversial – terutama sifat
dan justifikasi kekerasan politik di masa lalu. Sebagai contoh, dalam transisi dari
pemerintahan militer, kebenaran yang kritis adalah yang berkaitan dengan keamanan nasional
negara dan doktrin-doktrinnya. Laporan suksesor memberikan respon yang kritis terhadap
klaim rezim militer pendahulu dengan menyatakan bahwa kekerasan negara tidak bisa
dijustifikasi oleh doktrin keamanan nasional dalam apa yang disebutnya perang melawan
subversi, dan bahwa mereka yang dibunuh bukanlah teroris politik, melainkan warga negara
biasa, dan penghilangan tidak bisa dijustifikasi atas alasan keamanan. Ketika laporan Nunca
Más Argentina menyimpulkan bahwa seperlima jumlah korban penghilangan adalah pelajar,55
jadi mereka dikategorikan sebagai “warga sipil tidak bersenjata”, representasi demikian
merupakan revisi yang kritis yang memaksakan perubahan atau transisi dalam rezim
kebenaran. Representasi demikian melawan justifikasi kekerasan politik di masa lalu. Untuk
alasan inilah, biasanya sebagian besar isi laporan komisi kebenaran memuat identifikasi dan
kategorisasi para korban secara sistematis, dengan implikasi yang berat terhadap rezim lama.
Dengan menyatakan bahwa para korban adalah warga sipil yang tidak bersenjata, dan bukan
kombatan, laporan komisi kebenaran menolak rezim kebenaran militer dengan klaimnya
Lihat Laporan CONADEP, 448-49.
Lihat Laporan Rettig, 39-40.
55
Lihat Laporan CPNADEP, 448
53
54
19
bahwa ia melakukan perang melawan terorisme, dan dengan demikian menegaskan bahwa apa
yang terjadi adalah penindasan sistematis yang disponsori oleh negara.
Namun usaha untuk menarik garis baru dalam penggolongan kekerasan politik yang
dapat dijustifikasi membutuhkan kehati-hatian. Penggolongan itu memiliki banyak risiko
politisasi, dan batasannya pun tipis, terutama bila yang hendak dibedakan adalah kekerasan
politik dan kekerasan hak asasi manusia. Risiko itu makin kentara jika dengan pengisahan
keduanya dalam satu laporan, usaha tersebut memberikan arti bahwa keduanya memiliki
keserupaan secara juridis dan moral. Rezim kebenaran yang mendukung perdamaian,
kedaulatan hukum dan sasaran politik rezim suksesor tidak selalu adil bagi sejarah, dan
dengan demikian bisa tidak stabil dan berumur pendek. Kebenaran selalu bersifat khas untuk
rezim politik tertentu.
Ketegangan yang tersirat dalam transisi sejarah ini, sementara memberikan
pemahaman yang bergeser tentang kekerasan di masa lalu, terlihat dalam transisi pasca-perang
saudara, yang memiliki bentuk pertanggungjawaban sejarah yang khas: kesepakatan, yang
dinegosiasikan setelah konflik yang menyerupai perang saudara, bergantung pada tinjauan
sejarah untuk memajukan rekonsiliasi, yang merupakan tujuan politis. Penghentian konflik
sering kali memerlukan komitmen bersama untuk mengadakan penyelidikan sejarah oleh
kedua belah pihak, yang melibatkan representasi kekerasan dari kedua pihak. Dengan
demikian, komisi pasca-perang saudara sering kali mendapat mandat untuk menyusun tinjauan
sejarah yang tunggal yang mewakili kedua pihak dalam perang saudara. Terdapat kesepakatan
politik untuk memberikan representasi sejarah tentang tanggung jawab bersama, meskipun
peran negara tetap dominan. Tinjauan demikianlah yang paling jelas menunjukkan kaitan
rezim kebenaran dengan rezim politik.
Terdapat banyak ilustrasi kesepakatan hasil perundingan yang menghentikan konflik di
Amerika Tengah dan Afrika. Perang saudara di El Salvador dan Guatemala berakhir dengan
kesepakatan untuk melakukan penyelidikan bilateral terhadap kekerasan yang dilakukan rezim
dan oposisi, dengan hasil tunggal berupa laporan.56 Setelah perang saudara, tujuan
konsiliatoris dari komisi kebenaran merupakan inti transisi. Dalam transisi pasca-perang
saudara kontemporer, suatu laporan penyelidikan resmi yang memuat pelanggaran yang
dilakukan oleh militer dan oposisi memberikan suatu bentuk rekonsiliasi berdasarkan sejarah.
Maka, dalam laporan kebenaran El Salvador, pengisahan tentang perang saudara di negeri itu,
yang disebutkan sebagai “tindakan kekerasan yang serius”, disusun secara formal dalam dua
bagian setara, yang masing-masing berjudul “Kekerasan terhadap Pihak Lawan oleh Agen
Negara” dan “Kekerasan terhadap Pihak Lawan oleh Frente Farabundo Marti para La
LiberaciÏŒn Nacional”. Perimbangan antara kekerasan negara dan oposisi dilakukan dengan
contoh-contoh kasus yang paradigmatik. Laporan Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala
merujuk masa lalu negara itu sebagai “pertikaian antar-saudara” yang dilakukan oleh pasukan
keamanan negara dan pemberontak.57 Dengan jumlah korban yang besar dari perang saudara
di El Salvador dan Guatemala, mandat komisi kebenaran untuk mencapai rekonsiliasi
bergantung terhadap penyelidikan terbatas pada kasus-kasus contoh – dari kedua belah pihak.
Lihat “Guatemalan Foes Agree to Set up Rights Panel”, New York Times, 24 Juni 1994, rubrik Internasional.
Guatemala’s “Memory of Silence”: Report of the Commission for Historical Clarification (Kesimpulan), 1,
tersedia di http://hrdata.aaas.org/ce/report/english/conc.1.html. Lihat Report of the Truth and Reconciliation
Commission (“Rangkuman dan Panduan isi”) 9-11, tersedia di http://www.truth.org.za/final/execsum.htm.
Komisi Klarifikasi Sejarah dibentuk melalui Kesepakatan Oslo, 23 Juni 1997.
56
57
20
Jadi, dua jenis kekerasan, yang dilakukan negara dan oposisi, dipaparkan secara sejajar, dalam
suatu jilid laporan kebenaran.58 Sejarah yang dikisahkan ini berimbang, dan merupakan suatu
narasi yang diciptakan untuk mendukung kesepakatan politik.
Kesepakatan serupa menjadi hukum di Afrika Selatan. Mandat komisi kebenaran di
negara ini adalah untuk menyelidiki pelanggaran rezim pendahulu, sekaligus juga pelanggaran
yang dilakukan aktor-aktor non negara.59 Suatu permasalahan kesetaraan moral dimunculkan
oleh Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Fokus jilid kedua dari
laporan ini adalah para pelaku. Sementara laporan itu dimulai dengan pemaparan tentang
peran negara, tepat setelah bagian ini adalah pembicaraan tentang “gerakan pembebasan” dan
peran mereka dalam pelanggaran. Kesetaraan lebih lanjut tampak dalam proses pencarian
kebenaran. Para pelaku dan korban secara umum dianggap setara; para pelaku dianalogikan
dengan para korban, dan dengan demikian, memiliki kedudukan yang sama.
Yang bersalah maupun yang tidak sama-sama korban ... Keluarga dari mereka yang disiksa,
dilukai atau mengalami trauma diberdayakan untuk menemukan kebenaran, dan para pelaku
diberikan kesempatan untuk mengakui kesalahan mereka. Negeri ini memulai proses panjang
namun penting untuk menyembuhkan luka-luka masa lalu ...60
Implikasi etis dan politis dari narasi transisional demikian diperlihatkan oleh “laporan”
Hannah Arendt tentang pengadilan utama kejahatan Nazi di Israel.61 Laporan pengadilan
Arendt ini berisikan sekumpulan argumen normatif, yang utamanya membahas tanggung
jawab Eichmann sebagai pelaku terhadap para korbannya. Pemaparan peran birokratis
Eichmann yang dibandingkan dengan peran para korbannya dalam satu laporan yang sama
inilah yang dianggap mendukung klaim utama Arendt tentang “begitu biasanya” kejahatan.
Risiko politisasi keadilan historis transisional digambarkan dalam laporan kebenaran
transisional. Bila perundingan damai sepakat untuk bersama-sama menggabungkan
penyelidikan terhadap kejahatan negara bersama dengan kejahatan pihak lainnya, pilihan
komisi untuk menyelidiki kasus-kasus tertentu memiliki risiko tampak sebagai versi sejarah
dari “pengadilan sandiwara”. Timbul pertanyaan tentang sejauh mana kesepakatan politik
sebelum terbentuknya komisi membatasi independensi dan bahkan menentukan arah
penyelidikan sejarah. Representasi politik berada pada spektrum kontinuitas dan
diskontinuitas, dengan implikasinya yang terkait bagi kemungkinan perubahan ke arah
demokrasi. Bila kedua jenis kekerasan diselidiki oleh satu komisi, terdapat gambaran
kontinuitas, bahwa pelanggaran negara bersifat relatif, bahwa aparat penindasan negara serupa
saja dengan oposisi politik. Proses bersama penyelidikan dan pelaporan kekerasan dari kedua
pihak ini menempatkan keduanya dalam kategori yang paralel dan memberikan perbandingan
El Salvador Truth Commission Report, 6-7. Lihat Mark Deanner, “The Truth of El Mozote”, New Yorker, 6
Desember 1993, 6-7.
59
Lihat Promotion of National Unity and Reconciliation Act 34 of 1995 (merujuk pada sasaran “membuat
gambaran selengkap mungkin ... tentang pelanggaran berat hak asasi manusia ... termasuk ... perspektif para
korban dan motif serta perspektif orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran”), 801; Alex
Boraine et al. (eds.), Dealing with the Past: Truth and Reconciliation in South Africa, CapeTown: Idasa, 1994.
Lihat juga Emily H. McCarthy, “South Africa’s Amnesty Process: A Viable Route toward Truth and
Reconciliation”, Michigan Journal of Race and Law 3 (musim gugur 1997): 183.
60
Azanian Peoples Organization (AZAPO) and Others v. President of the Republic of South Africa 1996 (4)
SALR 671, 683-84 (CC).
61
Arendt, Eichmann in Jerusalem.
58
21
yang kontroversial: dengan menempatkan kedua macam kekerasan dalam satu dokumen,
melalui penyejajaran keduanya, terciptalah representasi simetris dan bahkan anggapan bahwa
kejahatan yang mereka lakukan sebanding – ekuivalen secara moral.
Narasi transisional dapat distrukturkan sedemikian rupa untuk menceritakan berbagai
kisah. Sebagai contoh, ada pertanyaan tentang seberapa luas analisis sejarah perlu dilakukan
dalam proses penyelidikan kasus-kasus tertentu. Dengan latar belakang sejarah yang panjang,
kisah yang terlihat adalah kekerasan siklik. Bila tinjauan sejarah diorganisasikan sedemikian
hingga menggunakan kategori dan penilaian sejarah yang telah ada, sifat dan penyebab
kekerasan menjadi tampak terlalu terdeterminasi dan tidak mengakui perubahan.62
Komisi-komisi transisional bisa juga membentuk rezim-rezim kebenaran yang
transformatif secara radikal. Bila laporan kebenaran dari rezim penerus menunjukkan represi
di masa lalu dalam kategori-kategori yang bersesuaian dengan “sejarah” versi rezim lama,
representasi ini memajukan respon yang kritis. Pembantahan sejarah versi lama secara
transformatif bergantung pada penggunaan kategori juridis yang merespon rezim kebenaran
lama. Respon dan bantahan ini merupakan satu bentuk pertanggungjawaban historis. Model
ini memungkinkan dengan prinsip-prinsip dokumentasi, representasi dan penguatan kebenaran
dalam versi yang baru. Dengan mentransformasi kategorisasi lama, laporan kebenaran
mengungkapkan sifat-sifat pelanggaran negara. Hasil yang dicapai oleh dokumentasi yang
dilakukan komisi kebenaran adalah suatu versi baru sejarah yang dapat dipercaya. Dalam hal
ini terdapat keserupaan antara keadilan historis dan peradilan pidana: sebagaimana halnya
pengadilan memutuskan “kebenaran” dari satu pihak tentang suatu hal yang dipermasalahkan,
demikian pula penyelidikan kebenaran transisional berpuncak pada keputusan serupa.
Kebenaran atau Keadilan: Kebenaran sebagai Pendahulu Keadilan?
Pertimbangkanlah peran narasi sejarah yang diciptakan pada masa transformasi politik.
Hingga sejauh mana pengisahan kebenaran transisional merupakan bentuk keadilan? Apakah
mereka merupakan pendahulu, atau alternatif terhadap keadilan? Hingga sejauh mana
pertanggungjawaban sejarah merupakan sasaran dalam masa transisi, dan bukan cara untuk
mencapai sasaran lain? Sejauh mana konstruksi kebenaran bersifat performatif, dan sejauh
mana bersifat instrumental? Sebuah fungsi performatif utama dalam konstruksi kebenaran
transisional adalah “rekonsiliasi”, yaitu dengan membawa para pelaku dan korban dalam
dengar pendapat komisi, dan melalui kesaksian mereka, berpartisipasi dalam proses negara.
Selain kesaksian para korban, komisi juga bergantung pada pengakuan para pelaku. Ini
merupakan hal penting bila rekonsiliasi menjadi sasaran. Dengan mempertemukan para pelaku
dan korban untuk membicarakan pengalaman mereka, penyelidikan komisi kebenaran
merupakan dramatisasi bersama-sama tentang masa lalu. Bila korban dan pelaku menceritakan
pengalaman mereka, terdapat penyembuhan dan kemungkinan perubahan diri tentang
pengalaman yang sudah terjadi. Namun, meskipun proses tersebut memiliki fungsi katarsis
yang penting, masih terdapat potensi konflik laten antara kebutuhan para korban dan pelaku
dan kepentingan negara. Dalam berbagai transisi, para korban telah menentang undangundang amnesti untuk mengendalikan dan mendapatkan pemenuhan “hak” mereka untuk
62
Lihat Guatemala’s “Memory of Silence” (“Kesimpulan dan Saran”).
22
mendapatkan pengetahuan. Contoh utamanya adalah ibu-ibu Plaza de Mayo di Argentina dan
keluarga Biko di Afrika Selatan.63
Selain potensi konflik ini, kebenaran menimbulkan konsekuensi lain. Perubahan
interpretasi memberikan justifikasi untuk perubahan politik lainnya. Begitu rezim kebenaran
baru ditetapkan, ia memiliki konsekuensi lebih lanjut karena ia menjadi standar untuk
menentukan klaim-klaim lainnya. Dengan demikian, pertanggungjawaban sejarah
mengarahkan dinamika dalam transisi. Bila terdapat respon yang baru saja dikonstruksi, ia
mengubah latar belakang politis dan hukum. Jadi, “kebenaran” bukanlah suatu respon yang
otonom; rekonstruksi terhadap fakta-fakta sosial tidak bisa dilepaskan dari praktik-praktik
kemasyarakatan lainnya. Bila “kebenaran” terungkap, ketika pengetahuan-pengetahuan kritis
tertentu diakui secara terbuka, pengetahuan bersama ini menggerakkan respon-respon legal
lainnya, seperti sanksi bagi pelaku pelanggaran, reparasi bagi para korban dan perubahan
institusional.
Di beberapa negara, eksplorasi terhadap masa lalu diawali dengan mandat untuk
melakukan penyelidikan secara umum. Beberapa menganggap pencarian kebenaran sebagai
tahap awal yang mengarah pada proses legal lainnya, seperti pengadilan, sementara ada pula
anggapan bahwa penyelidikan kebenaran merupakan alternatif independen dari respon-respon
lainnya. Sebagai contoh, laporan Argentina, Nunca Más, adalah tahap pertama dalam proyek
negara itu untuk menyikapi masa lalunya. Sementara pada umumnya komisi kebenaran tidak
mengungkapkan nama pelaku pelanggaran,64 di Argentina, bila terdapat kecurigaan, komisi
menyampaikan daftar nama-nama yang ia temukan kepada pengadilan, dan kecurigaan
tersebut akan mengarah pada pengadilan terhadap individu pelaku pelanggaran. Pengungkapan
pelanggaran di masa lalu memiliki konsekuensi lain, yaitu pengadilan. Peran transisional
penyelidikan resmi sebagai tahap pertama dalam keseluruhan respon ini serupa dengan masa
biasa. Misalnya, di Kanada dan Australia, penyelidikan sejarah untuk menyelidiki peran
negara-negara tersebut dalam Perang Dunia Kedua berpuncak pada pengadilan pidana.
Kecuali bila penyelidikan kebenaran dikekang secara apriori, ia akan mengarah ke berbagai
respon: pengadilan, sanksi lain, ganti rugi kepada korban dan perubahan struktur.
Kebenaran atau keadilan? Sekali lagi, usaha penyelidikan kebenaran di beberapa
negara bukanlah dianggap sebagai pendahulu, namun sebagai alternatif penghukuman.65
Dalam konteks-konteks ketika pengadilan tidak dimungkinkan atau secara politis tidak
dianjurkan, proses penyelidikan sejarah disarankan sebagai alternatif terhadap pengadilan.
Sebagai contoh, di Cili, El Salvador, Guatemala dan Afrika Selatan, di mana keadilan
retributif tidak dijalankan, penyelidikan-penyelidikan yang dikendalikan dengan ketat,
tampaknya bisa mencapai kepentingan negara untuk “menghukum” dalam bentuknya yang
lain. Dalam laporan komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili, kebenaran itu sendiri merupakan
suatu “putusan moral”.
Lihat AZAPO and Others, 1996 (4) SALR 671 (CC). Lihat “Quien está contra la Nación?” Madres de la Plaza
de Mayo, januari 1985, 11.
64
Hampir semua komisi kebenaran memiliki suplemen yang bersifat rahasia, kecuali laporan komisi kebenaran
Chad, yang memuat daftar nama pelaku pelanggaran beserta foto mereka.
65
Bandingkan Naomi Roht-Arriaza, “State Responsibility to Investigate and Prosecute Human Rights Violations
in International Law”, California Law Review 78 (1990), 449, dengan José Zalaquett, “Confronting Human
Rights Violations Committed by Former Governments: Applicable Priciples and Political Constraints”, Hamline
Law Review 13 (1990): 623.
63
23
Sering kali ada anggapan bahwa kebenaran harus dibayarkan dengan keadilan. Namun,
seperti dibicarakan di muka tentang peradilan pidana, konstruksi pengetahuan publik tentang
masa lalu yang penuh penindasan memiliki berbagai bentuk, sehingga pilihan antara
penyelidikan pidana atau penyelidikan sejarah tidak identik dengan pilihan antara keadilan
atau kebenaran. Yang menjadi pertanyaan adalah “kebenaran” yang bagaimana?
Ciri utama rezim kebenaran dalam masa transisi berkaitan dengan sejauh mana
masyarakat yang baru dapat mentolerir berbagai representasi “kebenaran”. Bila transisi bisa
dicapai dengan janji adanya rekonsiliasi di masa depan antara berbagai elemen masyarakat
yang terbagi-bagi, terdapat usaha untuk mencapai pandangan yang serupa tentang sejarah.
Konsensus sejarah terkait erat dengan pembangunan konsensus politik. Dengan demikian,
sering kali terdapat usaha untuk membatasi versi-versi lain dari sejarah, dan diberikanlah
insentif bagi para korban dan pelaku untuk berpartisipasi dalam proses sejarah resmi.
Pengampunan dan amnesti yang ditawarkan dan dijanjikan digunakan untuk mencegah
timbulnya versi lain dari sejarah yang bisa melemahkan versi sejarah yang resmi, yang tampak
dalam penyelidikan kontemporer di Afrika Selatan. Batasan yang diterapkan untuk mencegah
munculnya versi-versi lain dari sejarah merupakan semacam “aturan pengendali”.66 Bentukbentuk aturan pengendali lainnya tampak dalam konstitusi transisional, yang akan dibicarakan
di bagian lain bab ini.
Kebenaran tidak selalu sama dengan keadilan; namun ia juga tidak selalu terpisah.
Pemahaman yang lebih baik adalah yang menganggap bahwa kebenaran adalah suatu elemen
dari keadilan. Dengan demikian terdapat kedekatan antara pertanggungjawaban sejarah dan
bentuk-bentuk pertanggungjawaban transisional lainnya, yang semuanya membangun
pengetahuan bersama tentang masa lalu. Sejarah transisional memajukan tujuan epistemik dan
ekspresif yang diasosiasikan dengan sanksi pidana. Kedekatan lain antara pertanggungjawaban
historis dan pidana adalah pembebanan tanggung jawab individual untuk pelanggaranpelanggaran di masa lalu. Hal ini tampak jelas dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Afrika Selatan pasca-apartheid, di mana pengakuan sejarah dijadikan syarat untuk pemberian
amnesti individual, kasus demi kasus. Sebagaimana dalam skema pidana, pengakuan
individual ini memiliki unsur-unsur penghukuman, karena penyelidikan dilakukan untuk
menetapkan kesalahan individu, dengan temuannya kemudian diungkapkan dalam masyarakat
dalam proses ritual yang formal. Pengungkapan pelanggaran para pelaku itu dengan sendirinya
merupakan bentuk penghukuman yang tidak formal, “memalukan” dan memberikan sanksi
sosial bagi para pelakunya. Bentuk sanksi ini memiliki risiko pengutukan yang tidak terbatas,
dan pada akhirnya dapat mengancam kedaulatan hukum.67
Satu kaitan lain antara keadilan historis dan bentuk-bentuk keadilan lainnya adalah
pengungkapan kejahatan di masa lalu dapat memberikan suatu macam reparasi atau pemulihan
bagi para korban, juga menarik garis pembatas antara rezim. Pengungkapan kisah para korban
dapat “meluruskan” sejarah, seperti tuduhan kejahatan politik di masa sebelumnya, seperti di
Amerika Latin, di mana banyak korban yang dihilangkan dituduh melakukan subversi.
Rehabilitasi reputasi yang serupa memainkan peranan penting di Eropa Timur dan Rusia.
Rehabilitasi tahanan politik dari masa Stalin, yang berjumlah ribuan, masih merupakan kerja
Lihat Stephen Holmes, Passions and Constraint, Chicago: University of Chicago Press, 1995 (membicarakan
peran konstitutif “aturan pengendali”).
67
Untuk analisis kritis tentang tindakan mempermalukan, lihat James Whitman, “What is Wrong with Inflicting
Shame Sanctions?” Yale Law Journal 107 (1998): 1055.
66
24
penting dari organisasi hak asasi manusia di sana, yang terutama dikerjakan oleh Memorial,
organisasi yang dibentuk pada akhir dekade 1980-an untuk mengungkapkan penindasan
politik. Pelurusan sejarah bagi para korban dilakukan dengan berbagai cara, dengan
mengalahkan tuduhan di pengadilan, mengesahkan perundang-undangan, memberikan
permintaan maaf dalam laporan kebenaran dan menerbitkan bantahan terhadap versi sejarah
rezim lama. Di sini terlihat tujuan korektif dari keadilan historis transisional. Tujuan
kebenaran dalam hal ini adalah mengembalikan harga diri para korban, termasuk
mengembalikan perdamaian dan rekonsiliasi.
Nilai penting keadilan historis menunjukkan kedekatan dengan bentuk-bentuk keadilan
transisional lainnya dalam liberalisasi, dengan tujuannya yang korektif, yang tampak dalam
banyaknya saran-saran yang diberikan dalam laporan kebenaran, yang bersifat struktural.
Sebagai contoh, ketika komisi kebenaran El Salvador melaporkan bahwa tanggung jawab
untuk pelanggaran berat hak asasi manusia berada pada komando tertinggi militer, ia
menyarankan untuk mengadakan “pembersihan” pada perwira-perwira tinggi dalam struktur
tersebut.68 Ketika pemerintahan represif di Amerika Latin dianggap disebabkan karena tidak
ada badan peradilan yang independen, sebagaimana dapat dibaca dari berbagai laporan tentang
pelanggaran hak asasi manusia di daerah itu, maka laporan-laporan tersebut sering kali
menyarankan diperkuatnya badan-badan peradilan; demikian pula perubahan mendalam
tentang budaya hukum, terutama yang menyangkut hak asasi manusia.69 Usaha
pertanggungjawaban transisional ini sering kali menjadi institusi permanen, seperti komisi
kebenaran Uganda, yang kemudian berubah menjadi badan hak asasi manusia permanen untuk
menyelidiki pelanggaran yang dilakukan oleh rezim baru yang dipilih secara terbuka.70 Hal
serupa terjadi di Cili, di mana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi kemudian menjadi Badan
Pemulihan dan Rekonsiliasi Nasional Cili, yang juga menyikapi kasus-kasus baru yang
muncul belakangan.71
Akhirnya, penyebarluasan laporan kebenaran dalam masyarakat baru pasca represi
dilakukan sebagai usaha untuk mengubah opini publik tentang tirani negara. Laporan
kebenaran biasanya mengungkapkan bahwa di masa lalu masyarakat luas menerima teror
negara begitu saja. Penerimaan masyarakat, terutama di tingkat elite, mengungkapkan bahwa
pelanggaran hak merupakan hal yang bisa diterima sebagai ganti kendali yang lebih kuat
terhadap oposisi; dan sikap inilah antara lain yang memungkinkan kuatnya penindasan militer
di suatu wilayah.72 Jika penghukuman menunjukkan tindakan-tindakan apa saja yang tidak
akan ditolerir oleh masyarakat, banyak masyarakat pasca-rezim militer yang belum mencapai
konsensus tentang apa yang tidak bisa diterima, dan lebih spesifiknya, bahwa kediktatoran
merupakan tindakan kriminal. Interpretasi kritis laporan kebenaran terhadap rezim pendahulu,
seperti juga dilakukan oleh proses pengadilan, bisa memecahkan kebekuan yang menjadi ciri
pemerintahan represif di masa lalu. Pada akhirnya, toleransi masyarakat terhadap penindasan
oleh negara akan berkurang.
Laporan Komisi Kebenaran El Salvador, 176.
Lihat misalnya Laporan CONADEP, 386-425. Lihat juga Laporan Rettig, 117-29.
70
Lihat Human Rights Watch, Commission of Inquiry Investigates Causes of Abuses in Uganda, New York:
Human Rights Watch, 1989.
71
Lihat Informe Sobre Calificación de Victimas de Violaciónes de Derechos Humanos y de la Violencia Politica,
Corporación Nacional de Reparación y Reconciliación (Chile, 1996).
72
Lihat misalnya Jacobo Timerman, Prisoner without a Name, Cell without a Number, New York: Knopf, 1981.
68
69
25
Dengan peran komisi kebenaran dan laporan-laporannya dalam mengubah sikap
masyarakat terhadap represi oleh negara, bagaimana transformasi ini memungkinkan keadilan
historis dalam arti pertanggungjawaban? Bagaimana narasi laporan resmi itu membangun
perasaan pertanggungjawaban historis? Dalam hal apa kebenaran ini bisa dianggap sebagai
keadilan historis? Meskipun laporan kebenaran transisional pada umumnya mengklaim untuk
tidak berperan sebagai “pengadilan”,73 klaim demikian sebenarnya merujuk pada arti sempit
dari pengadilan. Dari bentuk penyelidikan dan pelaporan kebenaran, ritual formal dengan
berbagai tuduhannya yang mendetail, penyelidikan kebenaran memiliki keserupaan dengan
proses pidana. Laporan-laporan tersebut dapat dikatakan merupakan bentuk keputusan
pengadilan, karena tinjauannya tentang sejarah menggunakan bahasa hukum dalam merespon
pelanggaran hak individual. Tinjauan sejarah ini ditulis dalam bahasa hukum, dengan
peristilahan status, hak, kesalahan, kewajiban, klaim dan perizinan. Bila para pelaku tidak
dituding secara individu, seperti biasanya dilakukan dalam laporan kebenaran, subjek
keputusan tersebut adalah masayarakat luas. Model peninjauan ini lebih kemprehensif
daripada model peradilan pidana. Paling tidak, laporan kebenaran demikian memungkinkan
perasaan keadilan historis secara luas, kalau bukan menuntut pertanggungjawaban dari para
pelaku, mengembalikan harga diri dan pemulihan bagi para korban. Dalam peradilan pidana,
tinjauan ini, seperti proses ajudikasi, bersifat kasus demi kasus. Sementara, penyelidikan
administratif bisa memfokuskan sejarah secara lebih luas, sehingga memahami konteks luas
peninggalan sejarah, struktur sosial dan politik suatu negara, yang semuanya terkait dengan
masalah pertanggungjawaban terhadap kesalahan. Dalam penyelidikan sejarah yang lebih luas,
para pelaku dan korban dikaitkan lagi dalam penyelidikan terhadap kebijakan penindasan oleh
negara.
Proses komisi kebenaran menggambarkan respon sejarah terhadap pemerintahan
represif, juga kaitan antara rezim politik dan sejarah. Dengan memberikan respon yang kritis
terhadap representasi sejarah, hukum dan politik dari rezim masa lalu tentang penindasan di
masa lalu, laporan kebenaran resmi merupakan bentuk pertanggungjawaban dalam masa
transisi dan merespon klaim bahwa semua hal tersebut bersifat politis. Dalam proses komisi
kebenaran, kebenaran politik dikonstruksikan secara instan, menunjukkan bagaimana
perubahan rezim kebenaran berkaitan dengan perubahan rezim politik. Sifat khas bentukbentuk dan proses-proses dalam sejarah transisi menunjukan sifat instrumental dari responrespon tersebut, yang sering kali dipolitisasi dalam arti bahwa kebenaran yang relevan adalah
pengetahuan umum yang diperlukan untuk mendorong transformasi masyarakat. Oleh respon
transisional yang penting ini, diciptakanlah suatu “kebenaran” yang secara terbuka dan
eksplisit merupakan konstruksi politik, yang mengarahkan transisi.
Kita kembali ke pertanyaan di awal bab ini: apa sifat dan peran sejarah dalam transisi?
Transisi menunjukkan kerangka sosial penyelidikan sejarah. Meskipun pada umumnya
dikatakan bahwa kerangka sosial dan politik pada suatu masa mempengaruhi konstruksi
ingatan kolektif,74 kaitan pada masa biasa ini tidak terdapat dalam masa transisi. Pembangunan
ingatan kolektif pada masa transformasi radikal dicirikan oleh konteks kerangka transisional
yang relevan. Proses pencarian kebenaran resmi, seperti komisi sejarah, secara eksplisit
dirancang untuk mencapai masa depan yang lebih demokratis. Di sinilah tampak tujuan
Lihat misalnya Nunca Más, pembukaan.
Lihat Maurice Halbwachs, On Collective Memory (ed.: Lewis A. Coser), Chicago: University of chicago Press,
1992.
73
74
26
transformatif sejarah, suatu peran politis yang mengarah ke depan, dalam rekonsiliasi dan
liberalisasi nasional. Kebenaran yang tercipta adalah tentang masa lalu “yang dapat diterima”
untuk masa depan yang lebih baik. Sejarah transisional memiliki peran ganda untuk
mengecilkan sekaligus menunjukkan kembali hal-hal yang direpresi di masa lalu. Yang
tercipta adalah narasi liberalisasi yang performatif, yang dalam konteks politik suatu negara
dapat membantu proses liberalisasi.
Keadilan Historis setelah Totalitarianisme
Tiang utama sistem totaliter masa kini adalah keberadaan satu sumber utama semua kebenaran
dan semua kekuasaan, suatu “pemikiran sejarah” yang terinstitusionalisasi.
....
Dalam masa pasca-totaliter, kebenaran dalam arti seluas-luasnya memiliki nilai yang amat
penting, yang tidak dikenal dalam konteks-konteks lainnya. Dalam sistem ini, kebenaran
memiliki peran yang jauh lebih besar (dan sangat berbeda) sebagai faktor kekuasaan, atau sebagai
kekuatan politik yang signifikan. Bagaimana kekuatan kebenaran bekerja? Bagaimana kebenaran
sebagai faktor kekuasaan bekerja? Bagaimana kekuatannya – sebagai kekuatan – dapat
terlaksana?
(Václav Havel, Open Letters: Selected Writings, 1965-1990)
Hegel menyatakan bahwa semua fakta dan tokoh besar dalam sejarah muncul dua kali. Ia lupa
menambahkan: yang pertama kali sebagai tragedi, yang kedua sebagai lelucon yang tidak lucu.
(Karl Marx, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte)
Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa
(Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting)
“Hidup dalam kebenaran” merupakan slogan banyak kelompok penentang rezim Komunis.75
Namun, setelah perubahan politik, apa arti sebenarnya dari “hidup dalam kebenaran?”
Bagaimana bergeser dari “hidup dalam kebohongan” ke masyarakat yang terbuka?
Kediktatoran tradisional, seperti militer di Amerika Latin, cenderung menggunakan
kekuasaannya dengan kerahasiaan, penghilangan dan impunitas, untuk memerintah di luar
sejarah. Bila hal ini merupakan kaitan pengetahuan dan kekuasaan dalam masa rezim
pendahulu, respon transisionalnya adalah untuk secara terbuka mengkonstruksikan tinjauan
sejarah kolektif tentang masa yang dipermasalahkan. Sebaliknya, setelah komunisme,
penyelidikan kebenaran resmi tidak menjadi pilihan respon yang umum. Respon ini
tampaknya tidak tepat dalam konteks transisi dari pemerintahan totaliter, di mana sejarah
resmi negara memainkan peran integral dalam represi. Sejarah progresif menurut ideologi
Marxis merupakan usaha untuk merasionalkan negara totaliter. Di seberang Tembok Berlin,
simbol penindasan totaliter adalah aparat keamanan negara dan metode pengawasannya. Yang
mencirikan totalitarianisme adalah totalitas kekuasaan negara, termasuk usaha untuk
Václav Havel, “The Power of the Powerless”, dalam Open Letters: Selected Writings, 1965-1990 (ed.: Paul
Wilson), New York: Random House, Vintage Books, 1992, 147-48.
75
27
menguasai budaya dan sejarah sepenuhnya. Usaha ini mencakup penggunaan sejarah negara
untuk tujuan politis secara terbuka.76
Suatu pertanyaan yang sukar adalah, apa yang perlu dilakukan dengan sejarah negara
yang diciptakan oleh rezim lama ini? Misalkan kata arsip, yang memiliki akar arche, yang
berarti “awal” sekaligus “pemerintahan”. Dalam masa transisi, kaitan antara pemerintahan dan
awal normatifnya menjadi tampak amat jelas.77 Sementara setelah kediktatoran, terdapat
konsensus tentang pentingnya pengungkapan sejarah masa lalu, dalam transisi pasca-komunis
tidak ada konsensus demikian. Dengan runtuhnya rezim, timbul pertanyaan tentang apa yang
perlu dilakukan dengan sejarah versi lama ini. Setelah komunisme berakhir, anggapan bahwa
perlu dilakukan penyusunan sejarah resmi untuk keberhasilan transisi tampak salah sama
sekali. Setelah pemerintahan totaliter yang menindas, apa arti kebenaran transisional yang
resmi? Karena peninggalan penggunaan politis sejarah resmi oleh rezim totaliter, transisi dari
komunisme biasanya tidak melakukan proses peninjauan sejarah tentang penindasan di masa
lalu.
Pergeseran dari pemerintahan totaliter tidak diwarnai dengan penyelidikan sejarah
dalam skala besar yang dikaitkan dengan pergeseran politik dari kediktatoran militer. Keadilan
historis transisional memiliki arti lain yang spesifik bagi rezim-rezim pengganti komunisme.
Bila penindasan di bawah kediktatoran di Amerika Latin terjadi dalam bentuk penghilangan
dan ketidakpastian, di bawah pemerintahan komunis, penindasan memiliki bentuk yang lebih
material dalam totalitas kendali negara terhadap konstruksi peristiwa-peristiwa sejarah.
Peninggalan ini mempengaruhi respon sejarah dalam transisi. Dengan adanya dokumentasi
“sejarah” oleh rezim lama yang merasuk ke semua unsur kehidupan masyarakat, seperti juga
kendali terhadap semua bidang lainnya, apa arti kebebasan? Dalam arti apa mengetahui
sejarah dapat membebaskan? Sejarah siapa? Pengetahuan siapa?
Sementara tidak banyak keinginan untuk menciptakan sejarah resmi tentang masa
pemerintahan komunis yang berkepanjangan, respon transisional diarahkan untuk
mengungkapkan kebenaran tentang momen-momen politik yang kritis dalam represi di masa
lalu dan mendapatkan akses pada sejarah yang semula ditutup-tutupi. Penyelidikan sejarah
pasca-totaliter berfokus untuk menjelaskan penerapan pemerintahan yang menindas.
Pengetahuan ini saja bersifat anti-totaliter: seperti juga pada keadilan suksesor pascapemerintahan militer, penyelidikan pasca-komunis ini ditujukan untuk melawan representasi
lama tentang momen-momen politik yang penting. Arti keadilan historis transisional
didefinisikan dalam konteks sejarah negara yang lama. Dengan merespon representasi lama
ini, tinjauan demikian merupakan bentuk tinjauan yang kritis.
Pertanggungjawaban sejarah dikembangkan dari momen-momen politis penting dari
suatu negara yang menarik garis batas antara kebebasan dan penindasan. Di Rusia, pembukaan
arisp KGB dan Partai Komunis adalah hal yang amat politis. Ini berperan penting dalam
pengujian terhadap konstitusionalitas Partai Komunis, dengan akses pada arsip-arsip yang
memungkinkan terungkapnya tindakan-tindakan melanggar hukum yang dilakukan partai
Lihat Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto of the Communist Party”, dalam The Marx-Engels Reader,
edisi kedua (ed:. Robert T. Tucker), New York: W.W. Norton, 1978.
77
Webster’s New Collegiate Dictionary, entri “archive”. Untuk pembahasan eksegesis lebih lanjut tentang topik
ini, lihat Jacques Derrida, Archive Fever: A Freudian Impression (terjemahan Eric Prenaowitz), Chicago:
University of Chicago Press, 1996.
76
28
tersebut selama bertahun-tahun.78 Politisasi arsip-arsip di Rusia ini dapat pula dilihat dengan
tidak adanya perundang-undangan; akses didapatkan berkat adanya izin dengan keputusan
presiden yang mengalihkan isi arsip-arsip dari Partai dan KGB kepada negara.79 Bagi negaranegara Eropa Timur yang sedang mengalami transisi dari pemerintahan totaliter, pertanyaan
utama dalam keadilan historis adalah “penindasan siapa?” Masa totaliter ini bisa dianggap
sebagai masa pendudukan oleh kekuatan asing, atau penindasan dari dalam. Pertanyaan
sejarah ini memiliki dampak politis dan hukum yang penting. Di seluruh wilayah ini, terdapat
usaha untuk merekonstruksi celah-celah sejarah yang penting dan titik-titik balik politik yang
penting yang berkaitan dengan penerapan pemerintahan komunis yang represif: bagi
Hungaria, represi terhadap pemberontakan 1956, bagi Cekoslowakia, 1968 dan 1989, dan bagi
Polandia, 1981. Penyelidikan sejarah dilakukan untuk menerangi lembar-lembar hitam dalam
perang dingin.
Di bekas Cekoslowakia, paling tidak terdapat dua momen penting: yang pertama
adalah kekerasan terhadap pemberontakan 1968 di Praha. Kebenaran sejarah selengkapnya
tentang invasi ini menjadi subjek Komisi Penyelidikan Peristiwa-Peristiwa 1967-1970 dari
pemerintahan Cekoslowakia, yang dimungkinkan dengan runtuhnya kendali Soviet di wilayah
tersebut, yang pada akhirnya memungkinkan dibukanya arsip-arsip negara-negara yang
terlibat dalam invasi Agustus 1968 itu. Komisi yang dibentuk pada tahun 1989 ini
menyelesaikan tugasnya pada tahun 1992, dan mengalihkan dokumentasinya pada Institut
Sejarah Modern. Momen kedua adalah revolusi pada tahun 1989. Suatu penyelidikan yang
terkait dengan penyelidikan di atas dilakukan terhadap peristiwa 17 November 1989 dan
represi pemerintah terhadapnya. Sebuah penyelidikan resmi oleh “Komisi 17 November” yang
dibentuk parlemen, dilakukan dengan puncaknya berupa penyiaran sidang Dewan Federal
untuk menyampaikan laporan komisi tersebut pada tanggal 22 Maret 1991. Pemaparan yang
terbuka dan amat politis ini mengarah pada “lustrasi”80 dan menunjukkan penggunaan
pengetahuan tentang masa lalu sebagai cara pembersihan, suatu kebijakan yang akan dibahas
dalam bab 5.
Di Warsawa, harapan untuk adanya perubahan politik muncul dan dihancurkan pada
tanggal 13 Desember 1981. Pada hari itu, pimpinan politik Polandia masa itu, Jenderal
Wojciech Jaruzelski menerapkan hukum perang untuk menghancurkan gerakan oposisi
Solidaritas. Setelah tahun 1989, momen sejarah itu menjadi subjek Komisi
Pertanggungjawaban Konstitusional yang dibentuk oleh Sejm (parlemen).81 Sementara
Polandia tidak melakukan kebijakan retribusi (penghukuman), penyelidikan parlementer
terhadap peristiwa Desember 1981 ini merupakan satu dari sedikit tindakan yang memandang
ke belakang yang dilakukan. Pertanyaan penting yang mendorong penyelidikan itu adalah:
Siapa yang bertanggung jawab atas masa represif yang dikenal sebagai “invasi internal”
Polandia ini? “Kita” atau “mereka”? Sejauh mana represi di negara itu merupakan tanggung
jawab internal dan eksternal? Baik eksternal atau tidak, sejauh mana tindakan kekerasan
Untuk tinjauan tentang hal ini, lihat David Remnick, “The Trial of the Old Regime”, New Yorker, 30
November 1992, 104-21.
79
Keputusan No. 82, 83, 24-08 (1991). Tentang arsip Rusia, lihat Vera Tolz, “Access to KGB and CPSU
Archives in Rusia, Politics” Vol. 1 No. 16 (17 April 1977); N. Ohitin dan A. Roginsky, “Remarks on Recent
Status of Archives in Rusia” dalam Truth and Justice: The Delicate Balance, The Inst. For Constitutional and
Legislative Policy C.E.U. 19930.
80
Lihat Jan Obrman, Laying the Ghosts of the Past (laporan tentang Eropa Timur, No. 24, 14 juni 1991).
81
Lihat Tadeusz Olszaski, “Communism’s Last Rulers: Fury and Fate”, Warsaw Voice, 18 November 1992.
78
29
terhadap Solidaritas yang dilakukan selama 19 bulan itu dapat dijustifikasi untuk mencegah
invasi Soviet? Apakah tindakan tersebut diperlukan? Bahkan tanpa penyelidikan pidana lebih
lanjut, rezim Jaruzelski minimal harus memberikan pertanggungjawaban historis.
Tanggal 31 Oktober 1956 adalah titik balik bagi Hungaria, hari terjadinya penindasan
terhadap pemberontakan rakyat yang melawan kediktatoran. Yang mendorong penyelidikan
transisional adalah pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap penindasan
pada tahun tersebut. Pemerintahan pada masa itu atau Soviet? Kita atau mereka? harapan
untuk mendapatkan fakta-fakta sejarah yang independen tentang masa itu didorong oleh
adanya akses terhadap arsip-arsip Soviet. Namun pada akhirnya, akses tersebut tidak
memberikan banyak penjelasan dan tidak menjawab pertanyaan pertanggungjawaban historis,
seperti apakah peristiwa tahun 1956 tersebut merupakan undangan dari pemerintah terhadap
pasukan pendudukan, atau invasi berskala penuh?82 Ada cukup bukti yang menunjukkan kerja
sama dan kolusi antara Soviet dan aparat partai komunis setempat dalam represi pada tahun
1956. Laporan-laporan yang ada menunjukkan bahwa para pemimpin Partai Pekerja Sosialis
Hungaria yang beraliran komunis dan para komandan militer bertanggung-jawab terhadap
tewasnya ribuan orang dalam pemberontakan itu.83 Meskipun penyelidikan terhadap peristiwa
itu dimulai dengan penyelidikan tentang pasukan pendudukan asing (“mereka”), berdasar pada
konsep tanggung jawab yang eksternal, penyelidikan tersebut kemudian mengarah pada
konsep tanggung jawab yang lebih internal – mengarah pada pertanyaan: Siapa “kita”?
Penyelidikan sejarah ini akan mengarah pada pertanggungjawaban pidana yang telah
dibicarakan pada bab 2 buku ini.
Di Jerman-bersatu, seperti di negara-negara lain di wilayah itu, penyelidikan sejarah
dimulai dengan permasalahan tanggung jawab kolektif nasional. Di negara ini dilakukan
penyelidikan sejarah yang lebih luas daripada negara-negara lainnya di wilayah yang sama.
Komisi Parlementer Eppelman, yang dinamakan sesuai ketuanya, seorang oposan Jerman
Timur, mendapatkan mandat yang jauh lebih luas untuk menyelidiki tidak hanya tanggung
jawab terhadap pendudukan namun juga alasan lebih luas terjadinya penindasan.84 Komisi
tersebut ditugaskan untuk menyelidiki dukungan rakyat terhadap rezim Partai Persatuan
Sosialis (SED), bahkan juga meninjau peran Ostpolitik – kebijakan Jerman Barat yang
akomodasionis – dalam mendukung kediktatoran di Jerman Timur.85 Fokus penyelidikan ini
terletak pada tanggung jawab sejarah secara luas, dan seiring jalannya penyelidikan, dilakukan
penyelidikan yang spesifik terhadap kolaborator dan perlawanan. Baik Komisi 17 November
Cekoslowakia maupun penyelidikan 1956 di Hungaria merangsang adanya penyelidikan
Jane Perlez, “Hungarian Arrests Set Off Debate: Should ’56 Oppressors Be Punished?” New York Times, 3
April 1994, rubrik Internasional, A14.
83
Lihat “Almost 1,000 Killed in Hungarian Uprising: Fact-finding Committee”, Agence France Presse, 22
November 1993, tersedia di Lexis, News Library. Jumlah yang didokumentasikan secara resmi jauh lebih kecil
daripada yang dihilangkan – mungkin ribuan. Lihat Julius Strauss, “Hunary Uprising Killers May Be Tried”,
Daily Telegraph, (Budapest), 2 Desember 1993; “Almost 1,000 Victims in ’56 Mass Shootings”, MTI Hungarian
News Agency, 22 November 1993, tersedia di Lexis, News Library.
84
Pada tanggal 13 Mei 1992, parlemen Jerman memberikan mandat kepada Komisi Eppelmann “untuk
menyelidiki struktur, strategi dan instrumen kediktatoran komunis, masalah pertanggungjawaban untuk
pelanggaran hak asasi manusia dan hak kemasyarakatan”. Lihat Stephen Kinzer, “German Panel to Scrutinize
East’s Rule and Repression”, New York times, 30 Maret 1992, rubrik Internasional, A7.
85
Lihat Timothy Garton Ash, In Europe’s Name: German and the Divided Continent, New York: Random
House, 1993.
82
30
pidana,86 dan berakhir dengan pembersihan administratif berskala besar dari jabatan politik.87
Kebenaran tentang apa yang terjadi di negara-negara tersebut berakhir pada ujian (atau
pengadilan) terhadap kesetiaan politik – suatu hal yang bisa dianggap sebagai kebenaran para
warga negara. Kontinuitas dalam respon sejarah dan administratif dalam masa transisi di
wilayah ini menunjukkan bahwa pengundang-undangan aturan yang kritis merupakan
rekonstruksi kebenaran dan menunjukkan pengetahuan kolektif yang tidak dapat dipisahkan
dari kekuatan politik dan rekonstruksi hal-hal yang bersifat politis.
Keadilan Historis dalam Bayang-Bayang Komunisme
Siapa yang mengendalikan masa lalu mengendalikan masa depan; siapa yang mengendalikan
masa kini mengendalikan masa lalu.
(George Orwell, Nineteen Eighty-Four)
Sejauh mana arsip-arsip yang disusun dalam masa pemerintahan represif dapat diandalkan
dalam masa transisi? Dapatkah arsip-arsip itu diandalkan sebagaimana terjadi pada pergeseran
administratif biasa dalam sistem demokrasi yang berjalan baik? Arsip merujuk pada catatan
pemerintah dan tempat penyimpanannya – kedudukan penguasa. Dalam transisi dari
pemerintahan totaliter, pengendalian terhadap sejarah negara menjadi sangat terkait dengan
pengendalian terhadap kekuasaan politik. Pada masa pemerintahan totaliter, kebenaran terletak
dalam konteks pengendalian ideologis yang dipaksakan. Dalam konteks ini, apa arti
transformasi normatif? Inilah pertanyaan penting tentang apa yang perlu dilakukan terhadap
arsip lama di wilayah ini. Pertanyaan ini amat terkait dengan politik masa transisi: rahasiarahasia masa lalu politis tidak bisa dilepaskan dari pengendalian masa depan politik;
penyelidikan sejarah memberikan jalan bagi politik pengungkapan.
Bagaimana cara menyelesaikan dilema peninggalan sejarah totaliter? Tindakan yang
paling radikal adalah dengan memusnahkan arsip-arsip tersebut, suatu auto-da-fé.88
Pemusnahan arsip-arsip tersebut berarti menarik garis tegas yang memisahkan kedua rezim.
Sejarah bisa dimulai lagi. Memusnahkan arsip-arsip tersebut bisa dijustifikasi dengan alasan
bahwa arsip-arsip tersebut tidak dapat diandalkan dan kemungkinan berisikan kebohongan.
Melindungi arsip-arsip lama memberikan kepada rezim-rezim selanjutnya kekuasaan luar
biasa untuk menghancurkan reputasi individual, sehingga mempertahankan peninggalan
totaliter. Sementara, memusnahkan arsip tampaknya akan menjamin agar sejarah tidak
berulang.
Lihat “Czechoslovakia: Former Top Police Officials Jailed”, Reuters, 30 Oktober 1992, Perlez, “Hungarian
Arrests Set Off Debate”; “Former Government Officials Sentenced to Prison Terms”, CTK National News Wire,
30 Oktober 1992, tersedia di Lexis, News Library, arsip CTK.
87
Tentang Republik Ceko, lihat Helsinki Watch Report, Czechoslovakia: ‘Decommunization’ Measures Violate
Freedom of Expression and Due Process Standards, New York: Human Rights Watch, 1992.
88
Lihat John Elster, “Political Justice and Transition to the Rule of Law in East-Central Europe” (dipresentasikan
pada konferensi yang disponsori University of Chicago, Center for Constitutionalism in Eastern and Central
Europe, tidak diterbitkan, Praha, 13-15 Desember 1991).
Untuk diskusi tentang perdebatan di wilayah ini, lihat “Truth and Justice, The Delicate Balance: The
Documentation of Prior Regimes and Individual Rights”, Kertas Kerja No. 1 (Central European University,
Institute of Constitutional and Legislative Policy: Lokakarya di Budapest tentang masalah arsip, 1993).
86
31
Namun, pemusnahan arsip tampaknya terlalu radikal. Bagaimana jika pemusnahan
arsip tidak dengan sendirinya meredakan kecurigaan tentang kolaborasi di masa lalu?
Kecurigaan ini bisa tetap bertahan, didorong oleh sumber-sumber lainnya. Suatu konsekuensi
yang lebih signifikan dari pemusnahan arsip adalah hilangnya catatan dari suatau masa yang
panjang dalam sejarah suatu bangsa. Pada umumnya, pergantian pemerintahan dalam negara
demokrasi mengasumsikan suksesi kearsipan,89 karena arsip negara – seperti milik negara
yang lainnya – merupakan elemen identitas nasional. Analogi dengan negara-negara
demokrasi yang sudah mapan mempersulit kontinuitas pengarsipan dan pengungkapan arsiparsip lama. Bahkan, kontinuitas demikian tampaknya ciri dari sistem yang menaati kedaulatan
hukum. Namun apakah analogi tersebut tepat? Pertimbangan lain dari kedaulatan hukum
menunjukkan diskontinuitas dan meninggalkan arsip-arsip lama. Pertimbangkanlah masalah
etika bila sebuah rezim baru masih bergantung pada informasi yang didapatkan secara paksa
dan rahasia, dengan invasi terhadap privasi atau malah lebih buruk lagi, pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia. Di negara-negara demokratis yang sudah mapan, terdapat batasan
terhadap pengumpulan informasi oleh pemerintah, yang antara lain terkait pada perlindungan
reputasi dan hak-hak harga diri individual. Di negara liberal, tidak ada tempat bagi arsip
seperti yang diciptakan oleh negara totaliter. Apakah sebaiknya pelanggaran oleh rezim
pendahulu dipermasalahkan oleh rezim penggantinya? Tentu saja, hal ini kurang menjadi
masalah bagi rezim pengganti. Namun, bila usaha pencarian fakta dilakukan di bawah masa
rezim represif yang lama, dengan bergantung pada catatan milik rezim lama, pergeseran dari
rezim lama ke rezim pengganti ini seakan-akan sama dengan pergantian administrasi dalam
kedaulatan hukum yang kontinu. Ketergantungan pada arsip-arsip milik rezim lama
menyulitkan pemantapan pemerintahan liberal.
Namun, pada saat yang sama, karena masalah pengarsipan ini mengancam legitimasi
rezim baru, pengungkapan arsip-arsip rezim lama memberikan lambang keterbukaan dalam
masyarakat. Setengah abad represi oleh pasukan keamanan negara menuntut adanya
keterbukaan sebagai jawaban. Alternatif terhadap hal ini adalah “komisi kebenaran” seperti di
Amerika Latin, yang akan mengambil alih kontrol terhadap arsip-arsip yang ada. Namun,
setelah pemerintahan Komunis, komisi kebenaran tidak menjadi pilihan di wilayah ini.
Berbagai respon transisional ini tidak dapat dijelaskan oleh perspektif realis yang
umum, karena berbagai respon negara ini tidak dapat dihitung dengan perimbangan kekuasaan
yang sederhana. Pertanyaan tentang apakah terdapat penyelidikan terbuka sukar untuk
dijelaskan dalam kerangka pemahaman umum kekuasaan politik. Pada masa transisi,
pengetahuan dan kekuasaan sangatlah terkait, saling tersusun dan menyusun satu sama lain.
Tindakan-tindakan bekas blok komunis yang berbeda dari tindakan negara-negara lain yang
juga mengalami transisi akan dapat dijelaskan dengan melihat arti sosial partai, ideologi, dan
penguasa sejarah dan kebenaran di komunitas yang bersangkutan. Konstruksi sejarah
transisional dibentuk oleh konteks peninggalan sejarah dan politik di suatu wilayah. Hal
sebaliknya juga terjadi, konteks politik dan budaya yang baru juga akan mempengaruhi pilihan
fakta-fakta untuk dimuat dalam sejarah, selain bentuk proses penciptaan kebenaran.
Negara-negara bekas blok Komunis berusaha keras untuk menyikapi peninggalan
arsip-arsip masa lalunya. Pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan dengan arsip-arsip
tersebut menimbulkan perdebatan publik, terutama di negara-negara yang aparat keamanannya
Lihat Lung-Chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law, New Haven: Yale University
Press, 1989, 428-29.
89
32
paling represif. Hal ini sekali lagi menunjukkan bagaimana peninggalan masa lalu masih dapat
mempengaruhi respon transisional. Jerman-bersatu dan bekas Cekoslowakia, misalnya,
menggunakan berbagai pendekatan untuk menyikapi peninggalan negara represif dari masa
lalu. Masing-masing negara tersebut bereksperimen dengan berbagai tingkat kebebasan dan
akses terhadap arsip dari masa pemerintahan yang lalu. Pada akhirnya, dicapai kesimpulan
yang merupakan kompromi, bukan pemusnahan arsip-arsip tersebut maupun akses
sepenuhnya.
Di balik Tembok Berlin, tidak ada simbol penindasan Komunis yang lebih jelas
daripada tumpukan tinggi arsip-arsip polisi Jerman Timur (“Stasi”). Selama 40 tahun, negara
melalui kementerian keamanan dan dengan dukungan Partai Komunis mengumpulkan
dokumentasi tentang warganya sendiri. Jumlahnya saja sudah luar biasa: dari 18 juta warga
negara, lebih dari sepertiganya diawasi oleh negara.90 Dikatakan bahwa ada “enam juta” arsip,
angka yang sama dengan jumlah korban Holocaust, yang menunjukkan analogi sejarah dengan
penindasan masa Perang Dunia Kedua dan mendukung argumen bahwa pada saat ini, Jerman
akan “mengambil tindakan” terhadap masa lalunya.91
Dengan perubahan politik, timbul pertanyaan tentang apa yang dilakukan dengan
arsip-arsip negara. Jika represi dilakukan dengan kerahasiaan, keadilan dicapai dengan
mengungkapkan kebenaran. Sejak awal reunifikasi Jerman, terdapat dukungan kuat dari
masyarakat untuk mengungkapkan arsip-arsip ini. Maka, disahkanlah Undang-Undang tentang
Arsip Dinas Keamanan Negara bekas Republik Demokratik Jerman (UU Arsip Stasi) untuk
“memberikan kepada warga negara individual kemungkinan akses terhadap data pribadi yang
disimpan yang menyangkut dirinya, sehingga ia bisa mengetahui apa pengaruh dinas
keamanan negara terhadap dirinya”.92 Namun, seperti kemudian menjadi jelas bahkan bagi
korban penindasan di masa lalu, kebebasan informasi tidak selalu merupakan hal yang baik.
Pengungkapan arsip seseorang bisa berarti penemuan bahwa ia telah dimata-matai oleh
anggota keluarga atau teman, yang merusakkan hubungan karier, persahabatan bahkan
pernikahan.93 Terlebih lagi, sejak awalnya, pengungkapan arsip Stasi tidaklah mudah, dan
menunjukkan bahwa hal ini memiliki dua sisi. Meskipun undang-undang ini menurut namanya
ditujukan untuk mengembalikan hak-hak korban, ia tidak mengalih-pindahkan hak negara
terhadap arsip ini, sehingga para korban hanya mendapat akses terbatas.
Terlebih lagi, meskipun arsip tersebut mencatat korban pengawasan negara, mereka
juga berkaitan dengan para anggota aparat keamanan. Dengan aspek gandanya, pengungkapan
arsip tidak bisa dikatakan semata-mata dilakukan demi hak para korban. Tujuan yang lain
adalah untuk “menjamin dan mendorong penilaian kembali terhadap dinas keamanan negara
Lihat Amos Elon, “East Germany: Crime and Punishment”, New York Review of Books, 14 Mei 1992; Stephen
Kinzer, “East Germans Face Their Accusers”, New York Times Magazine, 12 April 1992; “Ex-E. German
Security Police Moved Over 100,000 Files Abroad”, Reuters Library Report, 29 April 1991, tersedia di Lexis,
News Library – Wires; Richard Meares, “German Debates How to Open Pandora’s Box of Stasi Files”, Reuters
North American Wire, 22 April 1991, tersedia di Lexis, News Library – Wires.
91
Lihat Joachim Gauck, Die Stasi-Akten, Reinbeck bei Hamburg: Rowohlt, 1991.
92
Brochure of the Federal Commissioner for the Records of the State Security Service of the Former German
Democratic Republic on the Task, Sructure and Work of This Authority. Kalimat serupa tampil dalam
pendahuluan undang-undang arsip Stasi. Lihat Act Regarding the Records of the State Security Service of the
Former German Democratic Republic, 20 Desember 1002.
93
Hal ini menjadi subjek banyak eksplorasi jurnalistik yang substansial; lihat misalnya Jane Kramer, Letter from
Berlin, New Yorker, 25 November 1991; Jane Kramer, Letter from Europe, New Yorker, 25 November 1992;
Timothy Garton Ash, The File: A Personal History, New York: Random House, 1997.
90
33
secara historis, politis dan juridis”.94 Dengan demikian, arsip ini digunakan pula untuk
“pembersihan” administrasi negara.95 Hasil kerja komisi independen yang semula ditujukan
untuk mengatur akses terhadap arsip Stasi segera dijadikan cara untuk penyingkiran para
kolaborator. Begitu kebijakan ini mulai dijalankan, UU arsip Stasi ini tidak sanggup mencapai
sasarannya. Pertanyaan tentang apa kepedulian masyarakat terhadap arsip tersebut tidak bisa
dijawab secara abstrak; dan tidak bijaksana untuk beranggapan bahwa terdapat konsensus
masyarakat tentang pengungkapan arsip tersebut. Bahkan para korban memiliki konflik
kepentingan berkaitan dengan arsip tersebut, namun undang-undang yang mengatur arsip
tersebut tidak memberikan panduan untuk penyelesaiannya. Ketika pada masa transisi arsip
negara sekali lagi digunakan untuk menyingkirkan orang-orang dari kehidupan masyarakat,
bayang-bayang masa lalu yang penuh penindasan sekali lagi jatuh di atas masyarakat tersebut.
Arsip siapa dan kebenaran siapa? Siapa yang paling berkepentingan dengan sejarah
versi lama? Hingga sejauh mana arsip rezim lama merupakan “hak” mereka yang namanya
tercantum di dalamnya?96 Atau apakah sebaiknya akses diberikan bagi pihak ketiga, seperti
jurnalis, sejarawan dan lain-lainnya? Arsip-arsip rezim lama ini menimbulkan banyak
pertanyaan yang tidak hanya berkaitan dengan para pelaku dan korban. Penyelesaian dilemadilema tersebut memerlukan akomodasi terhadap kepentingan masyarakat dan individu dalam
mengungkapkan masa lalu, sambil juga melindungi hak-hak privasi, dan juga kepentingan
kemasyarakatan lainnya dalam mengendalikan akses. Pertanyaannya adalah apakah kebijakan
yang mengatur akses korban juga harus mengatur akses ke arsip-arsip tersebut untuk tujuan
lain yang lebih sensitif. Pengalihan sejarah rezim lama ke tangan-tangan pribadi, seperti terjadi
di Jerman-bersatu, merupakan bentuk respon kritis terhadap rezim lama. Jika sebelumnya
seluruh informasi berada di tangan negara, kebijakan negara penerus ini adalah untuk
mengalihkannya ke pihak lain.
Cekoslowakia menggunakan pendekatan sebaliknya, karena rezim penerus pun tetap
mempertahankan kendali negara terhadap arsip-arsip lama. Di Republik Ceko, seperti di
Jerman, pada dasarnya prinsip yang memandu tindakan terhadap arsip-arsip lama adalah
pengungkapan: tampak dalam kebijakan resmi yang disebut “lustrace” atau “lustration”
(lustrasi), dari bahasa Latin lustrare “menyorot” masa lalu.97 Namun, sejak awal transisi,
tujuan dan risiko lustrasi tampak jelas, karena pembukaan arsip-arsip lama bisa berarti
mengklarifikasikan masa lalu, namun juga bisa menyingkirkan para mantan Komunis dan
kolaborator dari kehidupan politik. Sebenarnya aneh bahwa keterbukaan yang lebih besar
masih akan berakhir dengan penyingkiran politik. Pada pemilihan umum bebas yang pertama,
masih dalam bayang-bayang arsip itu, arsip-arsip tersebut menjadi ujian politik utama bagi
demokrasi. Ketika arsip-arsip tersebut digunakan sebagai cara “pemaksaan” untuk mendorong
para kandidat politik menarik diri atau mendiskualifikasikan diri sendiri, timbul kontroversi
yang sedemikian besar sehingga perlu disusun undang-undang untuk mengatur arsip tersebut.
Dalam undang-undang lustrasi ini, akses terhadap arsip-arsip tersebut tetap berada di
bawah kendali pemerintah secara total. Yang lebih parah adalah bahwa komisi yang
mengontrol arsip-arsip itu dengan tujuan lustrasi juga diberikan kekuasaan untuk memutuskan
94
UU Arsip Stasi, § 1 (2).
Ibid., § 1 (3).
96
Misalnya di Polandia, “hak” untuk mendapatkan informasi dan akses terhadap dokumen dalam arsip diberikan
kepada para “korban”, yang didefinisikan sebagai orang yang “secara rahasia datanya dikumpulkan oleh aparat
keamanan secara sengaja”. Lihat The Polish Acces to Files Act of 1998.
97
Screening (“Lustration”) Law; Act No. 451/1991 (Cekoslowakia, 1991).
95
34
apakah orang-orang yang dilustrasi akan dicopot dari jabatan mereka.98 Kekuasaan untuk
menentukan tentang kebenaran masa lalu, selain untuk membentuk domain politik masa kini,
dikonsentrasikan pada institusi yang sama – yang seperti pada masa komunisme, pada
Kementerian dalam Negeri. Peninggalan sejarah yang berkelanjutan ini juga terjadi di negaranegara lain di wilayah ini. Lustrasi menunjukkan dengan jelas garis tipis antara politik ingatan
dan politik pengungkapan. Institusi yang dahulu pada masa komunisme menggunakan
dokumentasi negara sebagai senjata untuk menindas, kini tetap melakukan hal yang sama pada
masa transisi. Sementara pada masa lalu, arsip-arsip tersebut mendokumentasikan tuduhan
subversi, kini yang didokumentasikan adalah tuduhan kolaborasi. Di Eropa Timur, arsip-arsip
lama ternyata masih digunakan untuk mengontrol politik. Sejarah masa lalu ini masih
digunakan untuk menghukum, menyingkirkan dan mendiskualifikasi. Bayangan tentang
pencopotan massal karena tidak “bersih diri” ini, yang mengulang sejarah masa lalu,
mengingatkan kita pada pandangan Marxis tentang keberulangan sejarah.
Apa yang tampak dalam masa transisi di wilayah ini adalah bahwa pertanyaan tentang
bagaimana cara mengatur arsip-arsip lama tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan tentang apa
peluang penggunaannya di masa transisi. Dalam masa perubahan politik yang radikal, usaha
pencarian keadilan historis menggarisbawahi apa yang dikatakan sebagai kebenaran.
Meskipun tampak paling jelas pada masa transisi, hal ini juga dapat ditemukan dalam sistem
demokrasi dan hukum pada masa biasa. Aturan yang mengatur pengetahuan dalam hukum
selalu bergantung pada tujuan dan kegunaannya; aturan menunjukkan kaitan pengetahuan
dengan prospek penggunaannya menurut hukum. Mak, pertanyaan yang relevan dalam hukum
menjadi: pengetahuan digunakan untuk mendefinisikan dan melaksanakan klaim, hak dan
kewajiban hukum yang mana? Kedaulatan hukum membentuk kaitan antara pengetahuan dan
kekuasaan. Jadi, bila pengetahuan sejarah menjadi dasar bagi peradilan pidana, hukum
Amerika mensyaratkan standar pembuktian yang tertinggi “tidak ada keragu-raguan”. Untuk
keperluan publik lainnya, seperti syarat untuk partisipasi dalam lingkup publik,
pembuktiannya haruslah “dengan bukti yang jelas dan meyakinkan”. Terakhir, pengetahuan
sejarah yang menjadi dasar hak atau kewajiban perdata harus didukung oleh “banyaknya bukti
yang mendukung”, standar kebenaran yang paling banyak ditaati oleh jurnalis dan sejarawan.
Dalam tinjauan konstitusionalnya terhadap lustrasi, Pengadilan Konstitusional
Cekoslowakia memutuskan bahwa pertanyaan tentang aturan pembuktian manakah yang
berlaku terhadap arsip-arsip negara tergantung pada keterandalan dan peluang penggunaannya.
Meskipun ia menegaskan konstitusionalitas undang-undang lustrasi, beberapa bagian arsip
dianggap tidak meyakinkan, sehingga tidak konstitusional untuk dijadikan dasar pengekangan
hak-hak politik seseorang.99 Standar pengetahuan sejarah sebagai masalah konstitusional
dikaitkan dengan kegunaan arsip-arsip tersebut. Dalam keputusannya, pengadilan menarik
garis tipis antara diskontinuitas dari sistem totaliter yang lama dan kedaulatan hukum. Prinsip
keadilan historis bukan pertanyaan yang bisa dijawab secara abstrak, namun dipandu oleh
berbagai standar pembuktian yang berkaitan dengan masalah politik tertentu. Pertanyaan
tentang aturan apa yang mengatur akses terhadap arsip rezim lama bergantung pada prospek
penggunaannya untuk kepentingan politis. Pendekatan ini menyerupai pendekatan kasus demi
Ibid., Pasal 4 dan 11 (memberikan akses bagi Kementerian dalam Negeri Federal terhadap arsip-arsip dan
menugaskan kepada Komisi Kementerian dalam Negeri Federal untuk mendapatkan temuan).
99
Costitutional Court Decision on the Screening Law, Ref. No. P1. US1/92 (Cekoslowakia, 1992).
98
35
kasus terhadap informasi pemerintah, seperti model Amerika, dan bukannya aturan yang
berlaku umum.100
Bayang-bayang sejarah negara totaliter yang masih menghantui negara-negara tersebut
dapat dilihat dari usaha terus menerus untuk menyikapi peninggalan arsip-arsip dari rezim
lama. Setelah puluhan tahun penindasan, perubahan politik berarti pembukaan arsip-arsip
lama, namun hal tersebut tidak dengan sendirinya menciptakan masyarakat terbuka.
Penciptaan kedaulatan hukum yang baru tentang arsip-arsip lama ini pada dasarnya bersifat
paradoksal, karena hal ini berarti mempertahankan kontinuitas legal seutuhnya dengan rezim
lama, sementara perubahan aturan yang mengatur akses terhadap arsip tersebut sehingga lebih
terbuka merupakan bentuk diskontinuitas yang mengarah ke liberalisasi. Arsip-arsip rezim
lama memiliki kekuatan simbolis yang tinggi, yang menunjukkan peninggalan totalitarianisme
yang paradoksal: pada saat yang sama mengakui rezim represif sekaligus menjanjikan
pengetahuan yang berpotensi untuk melakukan transformasi.
Kebebasan Informasi: Menegaskan Akses di Masa Depan
Rezim kebenaran yang dikaitkan dengan negara keamanan bersistem totaliter memiliki
implikasi berlanjut bagi pendekatan terhadap informasi pemerintah pada masa transisi. Hal ini
terlihat dalam respon-respon yang diambil dalam proses liberalisasi yang terkait erat dengan
konteks di wilayah yang bersangkutan. Perubahan aturan tentang akses warga masyarakat
terhadap informasi merupakan respon yang kritis terhadap masa lalu yang represif. Di bawah
pemerintahan totaliter, negara mengontrol arsip, dan akses diberikan secara pilih-pilih.101 Pada
masa transisi, sementara pergeseran menuju demokrasi dianggap tergantung pada partisipasi
masyarakat yang didasarkan pada kebebasan informasi yang dikuasai negara, terdapat
dorongan politik untuk memberikan akses yang lebih besar terhadap arsip negara.
Bahkan di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, menyeimbangkan akses
informasi dengan privasi merupakan hal yang sukar. Kebebasan informasi diatur oleh
kedaulatan hukum. Kedaulatan hukum menekankan keseimbangan hak-hak untuk kebebasan
informasi dan ekspresi, dan hak-hak individu lainnya, selain kepentingan negara.102 Di
Amerika Serikat, dokumentasi pemerintah diatur oleh hukum yang melindungi kebijakan
informasi pemerintah yang terbuka, sementara juga melindungi kepentingan privasi
individual. Menurut hukum Amerika, arsip-arsip lembaga negara yang tidak dirahasiakan
untuk alasan privasi atau keamanan nasional pada prinsipnya terbuka bagi semua warga.
Pertentangan kepentingan yang mungkin terjadi akan diselesaikan melalui uji perimbangan:
antara privasi individual dan kepentingan masyarakat untuk penungkapan.103 Di Amerika
100
Untuk analisis komparatif, lihat Wallach, “Executive Powers of Prior Restraint over Publication of National
Security Information: The UK and USA Compared”, International and Comparative Law Quarterly 32 (1983):
424.
101
Untuk pembicaraan tentang pendekatan rezim lama, lihat Truth and Justice, The Delicate Balance, 75-77
(dikutip di catatan kaki 79 di atas).
102
Untuk perimbangan dalam hukum internasional, lihat The Johannesburg Principles on National Security,
Freedom of Expression and Access to Information (disahkan 1 Oktober 1995), Pasal 19.
103
Lihat The Freedom of Information Act, U.S. Code, jilid. 5 bagian 552 (b) (1993) (memberikan pengecualian
bagi arsip personil, medis dan penegakan hukum yang merupakan pelanggaran privasi). Lihat juga Privacy Act of
1974, U.S. Code, jilid 5 bagian 552 (1993); H. Rpt. 03-1416. Lihat umumnya Frederick M. Lawrence, “The First
36
Serikat, privilese “informan” mungkin analog dengan masalah kolaborator polisi rahasia di
Eropa Timur. Bahkan bila arsip kepolisian yang semula dirahasiakan di Amerika Serikat
akhirnya diungkapkan, pemerintah berhak untuk menjaga kerahasiaan informannya dengan
menutupi nama-nama merka.104
Respon terhadap warisan masa Sosialis bisa dianggap “kritis” yaitu dengan usaha
rezim penerus untuk merekonstruksi lingkup publik dan privat. Usaha rekonstruksi ini
dilakukan terutama melalui pengakuan hak-hak konstitusional terhadap privasi dan kebebasan
informasi. Banyak dari perlindungan konstitusional yang baru ini secara eksplisit merespon
masalah ketiadaan privasi di masa rezim lama dengan membatasi sejauh mana pemerintah
baru dapat mengumpulkan informasi dari warga mereka. Sebagai contoh, konstitusi Ceko dan
Slowakia menyatakan “semua orang berhak mendapat perlindungan dari pengumpulan atau
publikasi tanpa izin, atau penyalahgunaan lain, dari data pribadi mereka”.105 Konstitusi
Slovenia melarang “penggunaan data pribadi yang bertentangan dengan tujuan
pengumpulannya”.106 Konstitusi Hungaria menyatakan bahwa “semua orang memiliki hak
untuk menjaga nama baik, bahwa privasi rumah dan korespondensinya tidak dilanggar, dan
perlindungan data pribadinya”.107 Konstitusi Kroasia menyatakan “Tanpa persetujuan dari
orang yang bersangkutan, data pribadi hanya bisa dikumpulkan diproses dan digunakan bila
dilakukan berdasarkan hukum”.108 Namun, meskipun terdapat pernyataan-pernyataan ini,
tanpa aturan lebih lanjut, usaha untuk mengkonstitusionalkan pembatasan kendali pemerintah
atas dokumentasi tampaknya tidak akan bisa dijalankan, karena tidak ada larangan bagi
pemerintah untuk mengumpulkan data atau menentukan standar untuk mengatur kearsipan.
Batasan konstitusional tersebut tampaknya hanya mensyaratkan kedaulatan hukum yang
paling sederhana – bahwa pengumpulan data dilakukan berdasarkan hukum. Batasan
konstitusional lainnya terhadap data pemerintah akan membatasi pengumpulan hanya atas
dasar kesukarelaan. Konstitusi Rusia yang baru menyatakan bahwa “adalah hal terlarang untuk
mengumpulkan, menyimpan, menggunakan dan menyebarluaskan informasi tentang
kehidupan pribadi seseorang tanpa persetujuannya”.109 Konstitusi Estonia, serupa dengan itu,
melarang “pemerintah negara atau lokal dan pejabat-pejabatnya untuk mengumpulkan atau
menyimpan informasi tentang kepercayaan warga Estonia secara bertentangan dengan
kemauannya”.110 Pengendalian terhadap penciptaan data negara adalah satu cara konstitusi di
wilayah tersebut mengubah sejarah masa lalu. Idenya adalah dengan membatasi akses negara
terhadap individu, dan dengan demikian menarik garis baru untuk menciptakan suatu lingkup
privat.
Pada saat mereka berusaha mendefinisikan kembali kendali terhadap individu dan
privasi mereka, konstitusi-konstitusi transisional juga memulai transformasi kritis tentang
akses warga negara terhadap negara dan memperluas kebebasan ini. Misalnya, konstitusi
Amendment Right to Gather State-Held Information”, Yale Law Journal 89 (1980): 923. Untuk pembicaraan
tentang perimbangan ini dalam konteks historis, lihat Charles Reich, “The New Property”, Yale Law Journal 73
(1964): 733.
104
Lihat Roviaro v. United States, 353 US 53 (1957).
105
Konstitusi Republik Czek, Pasal 10, konstitusi Slowakia, Pasal 19.
106
Konstitusi Slovenia, Pasal 38
107
Konstitusi Republik Hungaria, Pasal 59.
108
Konstitusi Republik Kroasia, Pasal 37.
109
Konstitusi Federasi Rusia, Pasal 24 (1).
110
Konstitusi Estonia, Pasal 42.
37
Rusia mewajibkan pemerintah pusat dan lokal untuk “memberikan bagi setiap warga negara
akses terhadap semua dokumen dan bahan-bahan yang terkait dengan hak dan
kebebasannya”.111 Konstitusi Slovenia menyatakan bahwa “semua orang memiliki hak untuk
mendapatkan data pribadinya”.112 Konstitusi Estonia memberikan hak bagi warga negara
untuk mendapatkan informasi tentang dirinya “yang dimiliki oleh otoritas negara atau
pemerintah lokal”.113 Menurut Konstitusi Bulgaria, “warga negara memiliki hak untuk
mendapatkan informasi dari otoritas atau badan negara, tentang hal-hal yang secara sah
merupakan kepentingan mereka, dengan syarat bahwa informasi tersebut bukanlah rahasia
negara dan tidak melanggar hak-hak orang lainnya”.114
Perubahan konstitusional yang dielaborasikan setelah masa komunisme menunjukkan
usaha-usaha bersama untuk memberikan batas baru bagi akses negara terhadap warga negara
dan memberikan akses lebih besar bagi warga negara. Dalam transisi pasca-totaliter, respon
transformatif dan kritis terhadap pelanggaran negara di masa lalu adalah dengan mencabut
kekuasaan negara yang semula disalahgunakan dan membatasi peluang penyalahgunaan
dengan mengkonstitusionalkan hak-hak individual terhadap privasi dan akses informasi.
Respon kritis dengan menciptakan standar kebebasan informasi ini merupakan langkah maju
menuju masyarakat yang lebih terbuka.
Perdebatan tentang arsip dari masa komunisme menunjukkan sejauh mana arti
pertanggungjawaban sejarah dalam masa transisi terkait dengan sifat ketidakadilan di masa
lalu. Keadilan historis setelah pemerintahan Komunis, seperti setelah masa pemerintahan
represif lainnya, berusaha untuk mengungkapkan dokumentasi pelanggaran yang dilakukan
oleh negara, yang semula ditutup-tutupi. Namun, terdapat perbedaan. Pada transisi pascamiliter, ketika kediktatoran di masa lalu bertindak dengan impunitas sepenuhnya dan bahkan
tidak bersedia mengakui keberadaan pelanggaran, keadilan historis memerlukan konstruksi
sejarah negara; suatu penyusunan dokumentasi, yang utamanya didapatkan dari kesaksian para
korban. Di bekas blok komunis, tidak dilakukan penciptaan narasi resmi demikian, karena
dokumentasi telah banyak tersedia; keadilan historis berarti membuka arsip-arsip sejarah yang
telah terkumpul. Dalam transisi pasca-militer, perubahan institusional yang dilakukan oleh
rezim yang baru terutama merespon ketidakpastian yang diakibatkan tiadanya dokumentasi
resmi, dan mengkonsentrasikan kekuasaan pada institusi yang ditugaskan untuk menyelidiki
dan mendokumentasi pelanggaran hak asasi manusia. Perubahan lain pada lingkup legislatif
dan regulatoris, terutama tentang penjagaan nama baik, dilakukan untuk melindungi aktoraktor negara dalam penyelidikan dan penerbitan informasi, terutama pidato politik, meskipun
hal ini mungkin harus dibayar dengan hak-hak dan kepentingan lain dalam masa transisi. Pada
transisi pasca-komunis, perubahan institusional diarahkan untuk mengendalikan penyelidikan
publik, melindungi privasi individual dan mengkonstitusionalkan hak warga negara untuk
mengakses informasi. Respon yang berbeda ini menunjukkan bahwa isi keadilan historis
disusun berdasarkan konteks transisi dan peninggalan pemerintahan represif. Arti keadilan
historis sendiri amatlah terkait dengan penindasan di masa lalu, terutama penggunaan sejarah
dan pengetahuan oleh rezim di masa lalu.
111
Konstitusi Federasi Rusia, Pasal 24(2).
Konstitusi Slovenia, Pasal 38.
113
Konstitusi Estonia, Pasal 44.
114
Konstitusi Republik Bulgaria, Pasal 41(2).
112
38
Pengalaman pada masa transformasi politik menunjukkan bahwa meskipun terdapat
perbedaan budaya hukum, negara-negara biasanya melakukan usaha untuk mendapatkan
pertanggungjawaban historis. Pertanyaan yang timbul adalah: apa kaitan keadilan historis pada
masa transisi dan pertanggungjawaban dalam negara-negara demokratis yang sudah mapan?
Jawabannya sebagai berikut: respon hukum terhadap tirani, yang dibuat pada masa transisi,
menyorot nilai-nilai latar belakang yang mendasari pengaturan terhadap dokumentasi dan
informasi resmi pada sistem demokratis. Dilema transisional dan respon legal terkait yang
dibicarakan di atas menunjukkan isu-isu dan resolusi yang sering kali tidak hanya terbatas
pada masa-masa transisional. Misalnya, pada masa kontemporer, batasan antara lingkup
“publik” dan “privat” sering kali tidak jelas, dan pertanyaan tersebut merupakan perdebatan
publik. Respon historis memiliki dampak jangka panjang yang melampaui individu-individu
yang terkait, dan mempengaruhi seluruh masyarakat dan negara. Bahkan, respon historis ini
membantu menyusun identitas politik kolektif. Respon-respon terhadap dilema transisional di
atas bisa membantu menggambarkan bagaimana masyarakat mempertimbangkan signifikansi
batasan-batasan tersebut dalam masa-masa normal.
Hukum Sejarah
“Sejarah akan menjadi hakim” – kebenaran akan bertahan seiring waktu. Pepatah ini
menggambarkan intuisi masyarakat tentang kaitan antara interpretasi sejarah dan waktu, yang
menunjukkan bahwa kebenaran sejarah akan berkembang seiring waktu. Hal ini tampak benar
minimal pada tingkat deskriptif. Sering kali beberapa generasi datang dan pergi, sebelum
masyarakat dapat menghadapi sejarahnya. Meskipun usaha untuk mencapai keadilan historis
tampak sangat giat dilakukan pada masa transisional, arti keadilan tersebut sering kali ditinjau
kembali dan bisa berubah. Seiring perjalanan waktu, peristiwa-peristiwa politik yang terjadi
dan perkembangan sejarah memberikan pengaruhnya pada interpretasi sejarah, yang
memungkinkan perubahannya. Jadi, perjalanan waktu menimbulkan dilema tentang
pencapaian keadilan historis. Sejauh mana pemahaman transisional tentang kebenaran sejarah,
baik yang diciptakan melalui pengadilan individual, komisi atau proses lainnya dapat
bertahan? Apakah perubahan-perubahan yang terjadi menyulitkan kemungkinanan
diciptakannya pemahaman yang tunggal dan tetap tentang peninggalan represi di masa lalu?
Apakah ini berarti bahwa keadilan historis transisional bersifat hanya sementara dan politis?
“Perdebatan Sejarawan”: Menarik Garis Pembatas Masa Lalu
Penciptaan sejarah transisional yang sudah dijelaskan sejauh ini menggambarkan signifikansi
baik peninggalan politik maupun kerangka politik kontemporer dalam membentuk sejarah dan
ingatan kolektif. Namun, konstruksi demikian pun memiliki keterbatasannya. Perdebatan
tentang revisionisme sejarah Perang Dunia Kedua menggambarkan batasan tinjauan sejarah
yang bisa diizinkan.
Paradigma permasalahan keadilan historis setelah berlalunya waktu adalah usaha
Jerman masa kini untuk mengintegrasikan masa lalunya ke dalam sejarah nasional. Inti
perdebatan Jerman kontemporer itu, setengah abad setelah berakhirnya perang, adalah
pertanyaan tentang apakah ada pemahaman sejarah yang permanen. Historikerstreit,
39
“perdebatan sejarawan”, ini diawali pada tahun 1985, dengan terbitnya The Guilt-Laden
Memory tulisan Joachim Fest, yang menantang pemahaman umum tentang perang dan
menyatakan bahwa musuh sebenarnya adalah Uni Soviet dan bukan Jerman. Sejarawansejarawan lain turut serta dalam perdebatan itu dengan tantangan serupa terhadap pandangan
tentang tanggung jawab Nazi. Dalam The Past Which Will Not Pass On, Ernst Nolte
membandingkan kejahatan Nazi dengan tindakan Soviet dalam Gulag mereka, dan
menjelaskan melalui perbandingan bahwa tidak ada hal yang luar biasa dari penindasan oleh
Jerman Nazi. Jika Fest dan Nolte, melalui karyanya masing-masing, berusaha menormalisasi
pemahaman umum tentang tanggung jawab masa perang Jerman, maka Two Kinds of Ruin:
The Shattering of the German Reich and the End of European Jewry karya Andreas Hillgruber
merupakan tantangan yang lebih kuat lagi terhadap pandangan umum, karena tinjauan
Hillgruber ini menempatkan Jerman pada posisi korban genosida, bukan pelakunya.115
Tantangan yang muncul dari sudut pandang akademisi ini berjalan bersamaan dengan usaha
politik dari pemerintahan Helmut Kohl yang tampaknya juga berusaha untuk mengubah
pandangan umum tentang masa lalu Jerman. Dengan melakukan kunjungan diplomatik secara
bersamaan pada dua tempat – kamp konsentrasi sekaligus pemakaman militer Bitburg – para
pejabat tinggi Jerman memberikan pesan bahwa militer Jerman yang menjadi korban perang
setara dengan penduduk sipil yang menjadi korban penindasan.
Satu contoh lain setelah keruntuhan Soviet adalah tinjauan tentang keburukan Gulag,
yang bersumber pada arsip-arsip komunis yang baru dibuka, dan menempatkan baik fasisme
maupun komunisme sebagai “dua jenis totalitarianisme”.116
Apa yang dipermasalahkan oleh tantangan-tantangan tersebut? Perdebatan sejarawan
ini dikatakan oleh filsuf Jerman Jürgen Habermas sebagai “kampanye untuk revisionisme
sejarah Nazi”.117 Pertanyaan yang penting adalah apakah setelah berlalunya waktu, tinjauan
sejarah tentang genosida terhadap kaum Yahudi pada Perang Dunia Kedua akan dipertahankan
sebagai tinjauan resmi, atau apakah ia bisa berubah secara sah, mungkin dengan
memperhatikan pelanggaran hak asasi manusia kontemporer.118 Versi-versi baru tentang
penindasan pada masa perang menantang versi sejarah yang sudah mapan pada beberapa
aspek: tentang kesalahan yang terjadi, status dan tanggung jawab pelaku, dan hak-hak korban.
Signifikansi perdebatan hermeneutik tentang masa lalu ini berada pada implikasinya terhadap
pemahaman negara tentang dirinya. Beberapa sejarawan, seperti Charles Maier, menunjukkan
bahwa signifikansi perkembangan sejarah ini terletak pada “genosida komparatif”. Tantangan
yang diberikan ini adalah kepada pemahaman yang umum tentang pemusnahan massal oleh
Jerman yang sistematis dan terkalkulasi terhadap musuh-musuhnya sebagai sui generis.
Perbandingan dengan penindasan Soviet melemahkan pandangan mapan tentang tanggung
Untuk tinjauan tentang perdebatan sejarawan, lihat Charles S. Meier, The Unmasterable Past: History,
Holocaust and German National Identity, Cambridge: Harvard University Press, 1989, 9-33. Lihat juga Perry
Anderson, “On Emplotment: Two Kinds of Ruin”, dalam Probing the Limits of Representation, (ed.: Saul
Friedlander), Cambridge: Harvard University Press, 1992.
116
Stephane Courtois, Nicholas Werth, Jean-Louis Panné et al., Le Livre Noir de Communisme: Crimes, Terreur,
Répression, Paris: Laffont, 1998.
117
Jürgen Habermas, The New Conservatism: Cultural Criticism and the Historian’s Debate (ed. dan penerjemah
Shierry Weber Nicholsen), Cambridge: MIT Press, 1989.
118
Lihat umumnya Maier, Unmasterable Past.
115
40
jawab pidana Jerman ini. Sejarawan dan filsuf lain seperti Habermas dan Martin Broszat119
menganggap bahwa yang sedang dipermasalahkan adalah suatu perspektif yang lain tentang
keadilan historis, yang bukan berkaitan dengan interpretasi tanggung jawab pelaku, namun
dengan dampak yang signifikan terhadap hak-hak historis para korban. Keadilan historis
memiliki potensi restoratif, dengan potensi untuk mengembalikan harga diri para korban dan
pada akhirnya bahkan keadilan korektif.
Apakah pandangan yang berubah tentang Holocaust dan penindasan lainnya ini adalah
hal yang tidak dapat dihindarkan seiring perjalanan waktu? Apakah keadilan historis berlaku
permanen sepanjang masa? Masalah perubahan pandangan ini timbul dalam konteks
perdebatan ilmiah yang jauh lebih luas terhadap interpretasi dan representasi sejarah.
Penyusunan teori sejarah kontemporer mengasumsikan bahwa perubahan interpretasi tidak
dapat dihindarkan, apalagi seiring perjalanan waktu; perdebatan sejarawan di atas merupakan
tantangan dalam bentuk perubahan interpretasi. Dalam model teoretisasi ini, interpretasi
sejarah tidak bisa dianggap netral atau objektif, namun selalu berada dalam konteks politik
tertentu.120 Namun, masalah batasan parameter yang diizinkan terhadap karakterisasi
penindasan masa Perang Dunia Kedua, setelah jangka waktu yang panjang, menjadi kerangka
perdebatan interpretif ini dalam bentuknya yang paling ekstrem. Ketika pertanyaan tentang
apakah ada prinsip yang mendefinisikan batasan penafsiran sejarah yang diizinkan terhadap
kekejaman Nazi, perdebatan teoretis ini menjadi terfokus: ada prinsip untuk memandu
kebenaran sejarah, bahkan sejarah yang kebenarannya tampak sedemikian jelas? Apakah tidak
ada batasan terhadap interpretasi sejarah, relativisasi, revisionisme dan pada akhirnya
“bantahan” sejarah? Jika tidak untuk kasus genosida, lalu untuk kasus apa ia diizinkan?
Meskipun tampaknya interpretasi sejarah untuk kasus-kasus tertentu tidak bisa berubah seiring
perjalanan waktu, tetap ada pertanyaan tentang apakah ada batasan pada jenis narasi yang bisa
dikisahkan.
Bahaya reinterpretasi peristiwa-peristiwa politik yang penting – yang merupakan inti
perdebatan para sejarawan – menggarisbawahi apa yang menjadi taruhan dalam transisi yang
sukses, transisi dari sistem yang tidak adil dan menindas ke sistem demokrasi liberal.
Perubahan politik dan sosial mensyaratkan adanya perubahan interpretasi. Yang berubah
adalah bagaimana manusia menginterpretasikan hal yang terjadi di sekitar mereka. Namun,
apa yang ditunjukkan oleh perdebatan sejarawan ini adalah bahwa garis antara interpretasi
tidak selalu jelas. Usaha untuk mengendalikan interpretasi sejarah menunjukkan signifikansi
usaha untuk memelihara suatu narasi yang liberal – dalam menghadapi tantangan baru rasisme
dan xenofobia.
Memelihara Keadilan Historis Melalui Hukum
Meskipun sering kali timbul tantangan bagi interpretasi sejarah yang revisionis, pada akhirnya,
yang dapat membatasi interpretasi sejarah yang diizinkan tidak datang dari akademisi,
119
Lihat martin Broszat dan Saul Friedlander, “A Controversy about the Historicization of National Socialism”,
New German Critique 44 (1988): 81-126.
120
Lihat Hans Georg Gadamer, “The Historicity of Understanding”, dalam The Hermeneutic Reader: Texts of the
German Tradition from the Enlightenment to the Present, (ed.: Kurt Mueller-Vollmer), New York: Continuum
Publishing, 1988, 270.
41
melainkan dari hukum. Bahkan bila penciptaan sejarah dilakukan secara tidak resmi, proses
hukum sering kali dipergunakan untuk memelihara tinjauan sejarah yang sudah diciptakan
tersebut. Suatu tinjauan terhadap respon legal tersebut menunjukkan bagaimana narasi sejarah
menjadi tertanam.
Bagaimana cara mempermanenkan suatu tinjauan sejarah tentang masa lalu yang
buruk? Masyarakat transisional sering kali berusaha menanamkan tinjauan sejarah tentang
penindasan di masa lalu, dan seperti ditunjukkan pengalaman di atas, penciptaan dan
pemeliharaan tinjauan sejarah tersebut dilakukan melalui hukum. Yang paling jelas adalah
dengan pengadilan dan komisi kebenaran yang digunakan untuk menciptakan rekaman sejarah
resmi, yang dengan sendirinya membatasi kemungkinan adanya versi lain dari sejarah.
Namun, undang-undang amnesti, dengan fungsinya untuk “membungkam”, juga berguna
untuk melindungi satu versi sejarah yang resmi. Pemeliharaan terhadap narasi nasional
tertentu bergantung pada pengendalian versi sejarah yang resmi, selain versi-versi sejarah
lainnya. Pemeliharaan kendali tersebut menjadi semakin sukar seiring perjalanan waktu. Suatu
ilustrasi yang bisa dicontohkan di sini adalah bangkitnya kembali isu penghilangan di
Argentina, lebih dari satu dekade setelah transisi, dengan pengakuan seorang kapten angkatan
laut yang ikut serta menghilangkan orang.121 Maka, meskipun terdapat konsensus pada saat
transisi untuk membatasi konfrontasi terhadap pelanggaran di masa lalu, pengakuan satu orang
ini membuka kembali permasalahan ini. Tantangan yang muncul belakangan ini menunjukkan
ketidakpuasan dengan kompromi transisional – dan kesediaan untuk menerima tinjauan
lainnya.
Proses ajudikasi dengan standar pembuktiannya juga memungkinkan penciptaan dan
pemeliharaan satu versi tinjauan sejarah. Prinsip-prinsip ajudikasi hukum, kasus demi kasus,
membatasi parameter perdebatan sejarah. Salah satu strategi adalah prinsip “pengakuan
yudisial” (judicial notice), agar pengadilan dapat menerima kebenaran fakta-fakta tertentu
tanpa pembuktian formal. Fakta-fakta yang dapat “diakui” secara yudisial adalah yang dikenal
umum oleh masyarakat atau dapat ditentukan melalui sumber-sumber biasa. Contoh penerapan
prinsip ini berkaitan dengan penindasan pada masa Perang Dunia Kedua terjadi sejak
pengadilan Nuremberg, ketika tribunal pada waktu itu wajib melakukan “pengakuan yudisial”
terhadap “fakta-fakta yang merupakan pengetahuan umum”.122 Kasus-kasus Amerika Serikat
tentang pelanggaran masa perang menganut prinsip pengakuan yudisial terhadap penindasan.
Dalam menggunakan prinsip ini, pengadilan menyatakan bahwa fakta-fakta tersebut
sedemikian dikenalnya sehingga tidak bisa dibantah.123 Melalui prinsip ajudikatif pengakuan
yudisial, hakim mengakui peristiwa-peristiwa sejarah yang diketahui dan tidak dapat dibantah
di tingkat masyarakat dan memutuskan bahwa kontroversi sejarah berada di luar tantangan
legal yang sah dan di luar perdebatan fakta sejarah yang perlu diperhatikan. Melalui
Lihat Calvin Sims, “Argentine Tells of Dumping Dirty War Captives in the Sea”, New York Times, 13 Maret
1995, rubrik Internasional. Untuk studi mendalam tentang “efek Scilingo”, lihat Marguerite Fetlowitz, A Lexicon
of Terror: Argentina and the Legacies of Torture, New York: Oxford University Press, 1998.
122
Lihat “Procedure, Practice and Administration” dalam Trials of War Criminals before the Nuremberg Military
Tribunals, Vol. 15, Washington, D.C: Government Printing Office, 1953, 568-70. Di pengadilan-pengadilan
Amerika, proses ini berlaku menurut Federal Rule of Evidence 201.
123
Lihat misalnya United States v. Kowalchuk, 773 F2d 488 (3d Cir. 1985) (“Kekejaman tirani yang dialami
warga negara sipil oleh pasukan pendudukan Nazi pada masa Perang Dunia Kedua sedemikian terkenalnya
sehingga tidak perlu diberikan kutipan”); Succession of Steinberg, 76 S2d 744 (L. Ct. App. 1955) (memberikan
pengakuan yudisial terhadap eksekusi yang dilakukan di Eropa yang dikuasai Nazi).
121
42
mekanisme ini, ingatan para korban individual dapat secara formal diakui, diterima dan dimuat
ke dalam sejarah kolektif yang luas dan diterima secara formal.
Pemantapan suatu versi tinjauan sejarah dapat dilakukan dengan perundang-undangan
yang mengatur dan mengendalikan versi-versi lainnya. Salah satu cara tentang bagaimana
proses ini dijalankan dalam masa transisi, seperti dijelaskan di muka, adalah melalui undangundang amnesti yang memungkinkan peredaman secara resmi terhadap tindakan-tindakan
pelanggaran di masa lalu. Karena itu, pemberian amnesti sering kali menimbulkan konflik.
Beberapa pihak memprotes karena undang-undang ini membisukan para korban yang berusaha
menuntut pertanggungjawaban lebih lanjut, para pelaku yang menolak amnesti dan semua
elemen masyarakat yang menginginkan tinjauan tentang masa lalu yang independen. Negara
yang terpengaruh secara langsung oleh Nazisme juga menggunakan peraturan untuk
memelihara satu versi sejarah. Sejak berakhirnya perang, banyak negara Eropa memiliki
hukum perdata untuk mengambil tindakan terhadap penghinaan yang berkaitan dengan
genosida masa perang. Sebagai contoh, penyebarluasan apa yang dikenal sebagai
“kebohongan Auschwitz”, yaitu usaha untuk membantah Holocaust sebagai kebenaran
sejarah, dianggap sebagai penghinaan yang dapat dituntut secara perdata. Undang-undang
penyensoran ini dijustifikasi oleh keadilan historis bagi para korban, dan potensi dampak
buruk dari versi sejarah yang lain dan berlawanan. Sejak perdebatan para sejarawan, terdapat
sejumlah hukum pidana yang dirancang untuk mempertahankan pandangan yang telah ada
tentang penindasan pada masa perang. Sejak sebelumnya, tulisan-tulisan kebencian rasial
merupakan hal yang melanggar hukum.124
Bantahan terhadap Holocaust kemudian juga dijadikan dasar untuk penuntutan pidana.
Menurut undang-undang yang baru itu, jika seseorang “menyetujui, membantah atau
menyepelekan tindakan-tindakan genosida yang dilakukan oleh Nazi” dan bila yang dihina
adalah anggota kelompok yang mengalami penindasan di bawah “Nazi atau penguasa yang
kejam dan sewenang-wenang”, ia bisa dipidana. Undang-undang penyensoran ini, seperti juga
hukum perdata yang sudah ada, dijustifikasi oleh kewajiban terhadap para korban dan dampak
negatif dari pandangan yang berlawanan.125 Pada masa kini, Pengadilan Konstitusional
Federal Jerman menyatakan bahwa pembantahan terhadap Holocaust tidak dijamin sebagai
“kebebasan berpendapat” menurut undang-undang dasar. Penggunaan istilah “kebohongan
Auschwitz” (Auschwitz Lüge) merupakan pelanggaran hak warga Yahudi Jerman yang bisa
dihukum.126 Di Jerman, pengadilan menganggap fakta tentang terjadinya Holocaust sebagai
kebenaran yang tidak memerlukan pembuktian formal.127 Demikian pula, sebuah undangundang Prancis pada tahun 1990 menjadikan “revisionisme” atau pembantahan terhadap
genosida Nazi sebagai tindak pidana.128 Di Kanada, sanksi pidana serupa yang melarang “halLihat German Criminal Code §§ 130, 131 StGB.
Ibid., Pasal 194 sebagaimana diperbaiki, 13 Juni 1985. Untuk analisis perundang-undangan Jerman, lihat Eric
Stein, “History against Free Speech: The New German Law against the ‘Auschwitz’ and Other ‘Lies’”, Michigan
Law Review 85 (1986): 277.
126
Lihat This Week in Germany, 19 April 1994; dilaporkan dalam NJW (Jerman, 1982), 1803. Lihat juga S. J.
Roth, “Second Attempt in Germany to Outlaw Denial of the Holocaust”, Patterns of Prejudice 18 (1985): 46.
127
Ibid.
128
Statute of July 1990 (Perancis). Lihat juga Licra et autres c. Faurrison, Tribunal de Grande Instance (8 Juli
1981) (Recueil Dalloz, 1982); Roger Errera “In Defense of Civility: Racial Incitement and Group Libel in French
Law”, dalam Striking a Balance: Hate Speech, Freedom of Exprssion and Nondiscrimination, ed. Sandra Coliver,
Human Rights Centre, University of London, Art 19 Int’l Center Against Censorship of Essex, 1992
124
125
43
hal bohong” demikian diterapkan untuk menyensor tulisan-tulisan revisionis tentang Perang
Dunia Kedua.129
Dengan bergeser dari sanksi perdata ke pidana, perundang-undangan kontemporer
tidak hanya menyikapi pengaruh buruk kebohongan demikian terhadap korban-korban Perang
Dunia Kedua, namun juga ke seluruh masyarakat. Menjadikan sejarah revisionis sebagai
tindak pidana menunjukkan keyakinan bahwa versi-versi sejarah yang berbeda ini tidak saja
merupakan penghinaan bagi para korban sebagai individu, namun juga merupakan kejahatan
bagi seluruh masyarakat. Bentuk hukum yang paling tegas ini digunakan untuk menjamin
suatu konseptualisasi keadilan historis: yang memberikan hak keadilan historis yang permanen
bagi para korban penindasan berat oleh negara, dengan perlindungan yang dijamin dan
diterapkan oleh hukum pidana. Sebagai contoh, dalam sebuah pengadilan di Prancis,
pengadilan menyatakan bahwa “pembatasan kebebasan memerlukan penghargaan bagi para
korban”.130 Dan sebuah kasus di Jerman menyatakan bahwa “siapa pun yang membantah
pembunuhan warga Yahudi di Jerman semasa Nazi ia melakukan penghinaan bagi semua
orang”.131 Namun, masih belum jelas bagaimana justifikasi ini akan bertahan seiring
perjalanan waktu. Perundang-undangan kontemporer Eropa memperluas undang-undang yang
semula dibuat hanya untuk mencegah bantahan terhadap Holocaust ini, untuk mencegah
semua bantahan terhadap bentuk-bentuk penindasan lainnya, seperti kejahatan terhadap
kemanusiaan atau genosida, baik yang dilakukan di bawah rezim Nazi atau rezim represif
selanjutnya.132 Perundang-undangan pidana kontemporer lainnya diarahkan untuk melindungi
korban-korban penindasan. Undang-undang tersebut juga mendasarkan premisnya pada
pandangan yang lebih luas tentang potensi dampak buruk bantahan revisionis itu, yaitu bahwa
masyarakat luas memiliki kepentingan untuk memelihara suatu versi kebenaran sejarah.
Hukum digunakan untuk melindungi suatu tinjauan sejarah tentang penindasan negara
dengan meredam versi-versi lainnya. Sebagai contoh, di Eropa pasca-Perang Dunia Kedua,
sejumlah perundang-undangan tentang hak berpendapat disusun, mengaitkan masa lalu dan
masa kini, menjadikan “penyebarluasan kebencian” terhadap korban-korban penindasan masa
perang sebagai tindak pidana. Undang-undang penyebarluasan kebencian mengaitkan
penindasan di masa lalu dengan kejadian masa kini yang dengan cara apa pun menimbulkan
perdebatan kembali tentang sejarah atau pelanggaran politik yang pernah terjadi. Normanorma anti-penyebarluasan kebencian menjadikan propaganda tentang penindasan negara di
masa lalu sebagai tindak pidana. Bentuk-bentuk respon hukum yang demikian tampak jelas
dalam hukum internasional yang ada. Pasal 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa “segala bentuk penyebarluasan atau dukungan bagi kebencian nasional,
rasial atau keagamaan yang merupakan dorongan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan
(membicarakan Gayssot Law of 13 July 1990 menggambarkan pelanggaran baru untuk menantang definisi
kejahatan terhadap kemanusiaan seperti didefinisikan di Nuremberg).
129
Criminal Code of Canada, § 181. Kasus yang paling menonjol adalah Zundel v. The Queen 35 DLR (4th) 338,
31 CCC (3d) 97 Ont. CA.) (1987). Untuk pembicaraan tentang preseden Kanada ini, lihat “When Academic
Freedom and Freedom of Speech Confront Holocaust Denial and Group Libel: Comparative Perspectives”,
Boston College Third World Law Journal 8 (1988): 65.
130
Olivier Biffaud, “M. Le Pen Indesirable Dans Plusiers Villes”, Le Monde (Paris), 24 Mei 1990, tersedia di
Lexis; lihat Susan Anderson, “Chronicle”, New York Times, 24 Mei 1990, bagian B, 24.
131
Ref. No. VI ZR 140/78 Enstcheidungen des Bundesgerichtshofes in Zivilsachen (B6H2), 160 et seq
Juristenzeitung 75 (1979): 811.
132
Lihat National Institute of Rememberance Act (Polandia 1998). Ia menyatakan bahwa orang yang secara
terbuka membantah “kejahatan Nazi atau komunis, atau kejahatan terhadap kemanusiaan” akan dihukum.
44
atau kekerasan” haruslah dilarang oleh hukum.133 Pasal 4 Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial menyatakan negara harus melarang
“penyebarluasan pemikiran yang berdasarkan superioritas atau kebencian rasial, dorongan
untuk melakukan diskriminasi rasial”.134 Pasal 20 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik juga menyatakan bahwa “segala bentuk penyebarluasan atau dukungan bagi kebencian
nasional, rasial atau keagamaan yang merupakan dorongan untuk melakukan diskriminasi,
permusuhan atau kekerasan” haruslah dilarang oleh hukum”.135
Banyak negara Eropa memiliki hukum serupa. KUHP Jerman melarang “menyerang
harga diri orang lain dengan menimbulkan kebencian terhadap kelompok-kelompok dalam
masyarakat, menyerukan tindakan kekerasan terhadap mereka, atau menghina mereka,
menghina dengan kebencian atau memfitnah”.136 Di Denmark, mengucapkan hinaan rasial
atau etnis merupakan pelanggaran hukum pidana.137 Secara terbuka mengancam atau
menyatakan “kebencian terhadap kelompok rasial, warna kulit atau kepercayaan nasional”
bisa berakibat hukuman penjara hingga dua tahun di Swedia.138 Undang-Undang Hubungan
Antar-Ras di Inggris menjadikan “mendorong kebencian, menerbitkan, menyebarluaskan atau
secara terbuka menggunakan bahan-bahan yang mengancam, mengganggu atau menghina
orang-orang lain atas dasar warna kulit, ras atau etnik” sebagai tindak pidana.139 Di Amerika
Serikat, sejarah perbudakan, segregasi dan rasisme yang masih tersisa mendorong disusunnya
sejumlah perundang-undangan “kejahatan kebencian”. Meskipun tradisi hukum amat
melindungi kebebasan berpendapat, undang-undang anti-kebencian menambah hukuman
terhadap kejahatan yang dilakukan atas dasar bias rasial atau motif serupa.140 Dalam suatu
tantangan konstitusional, sebuah undang-undang yang menyensor penyebarluasan kebencian
ditegaskan keabsahannya karena “tindakan ini dianggap dapat merugikan individu dan
masyarakat”.141 Meskipun tindakan yang dimaksud bisa berupa tindakan pribadi yang
dilatarbelakangi motif rasial, dengan latar belakang sejarah penindasan oleh negara, ia
memunculkan kembali penindasan dari masa lalu, sehingga ia harus lebih dikutuk. Respon
yang tegas terhadap kejahatan tersebut menegaskan apa yang dicapai dalam masa-masa
transisi.
Penggunaan hukum untuk melindungi tinjauan sejarah tertentu bisa menimbulkan
dilema, karena ia sering kali bertentangan dengan kepentingan lain dalam masyarakat yang
133
“Universal Declaration of Human Rights”, U.N. General Assembly Resolution 217 (III), Pasal 20, 10
Desember 1948.
134
“International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination”, U.N. General Assembly
Resolution 2106 (XX), Pasal 4, 21 Desember 1965 (mulai berlaku 2 Januari 1969).
135
“International Covenant on Civil and Political Rights”, U.N. General Assembly Resolution 2200a (XXI),
Pasal 20, 16 Desember 1966 (mulai berlaku 23 Maret 1976).
136
German Criminal Code, Pasal 130.
137
Danish Criminal Code, § 266(b).
138
Swedish Penal Code, bab 16(8).
139
Race Relations Act 1965, § 6 (1).
140
Untuk tinjauan tentang statuta-statuta ini, lihat Anti-Defamation League, Hate Crimes Laws: A
Comprehensive Guide, New York: Anti-Defamation League, 1997.
141
Wisconsin v. Mitchell, 508 US 476 (1993) (menegaskan Wisconsin Penalty Enhancement Statute, yang
memberikan tambahan hukuman jika pelaku kejahatan, “secara sengaja memilih korban kejahatan atau
menjadikan barang sebagai sasaran kejahatan atau terpengaruh oleh kejahatan tersebut ... sebagian atau
seluruhnya karena kepercayaan atau perseppsi pelaku tentang ras, agama, warna, cacat, orientasi seksual, asal
kebangsaan atau keturunan korban atau pemilik atau penghuni barang tersebut, baik apakah kepercayaan atau
persepsi pelaku tersebut benar atau salah”) Wisconsin Statute 939.645 (1991-1992).
45
dikaitkan dengan negara liberal, seperti kebebasan berpendapat yang tidak terbatas.142
Penanganan dilema tersebut bervariasi pada masyarakat-masyarakat transisional yang berbeda,
tergantung pada konteks politik sekaligus pada peninggalan sejarah penindasan. Misalnya,
dalam skema konstitusional Jerman, dilema ini diselesaikan oleh prinsip normatif yang
mengecualikan hak berpendapat yang serupa dengan penyalahgunaan propaganda rasis pada
masa perang.143 “Siapa pun yang menyalahgunakan kebebasan berekspresi ... untuk melawan
tatanan demokratik bebas yang mendasar, akan kehilangan kebebasan tersebut”. Sebaliknya,
dalam sejarah Anglo-Amerika, di mana tirani berbentuk kekangan terhadap ekspresi,144
jurisprudensinya berbeda: absolutisme dan sensor merupakan kejahatan yang utama. Yang
merupakan nilai utama keadilan historis, seperti ditunjukkan praktik di atas, tidaklah universal,
namun spesifik pada sejarah ketidakadilan. Respon transisional terhadap pemerintahan represif
membantu menyusun norma-norma kontemporer yang membentuk diskursus politik liberal
yang beragam.
Usaha untuk menanamkan satu tinjauan sejarah ini sendiri menimbulkan masalah bagi
liberalisme. Pertanyaan timbul dalam gelombang transisi setelah runtuhnya komunisme, ketika
ada pandangan yang menganggap bahwa inilah waktu untuk menanamkan identitas
kapitalisme Barat, dan dengan demikian menghentikan dialektika sejarah.145 Namun, klaimklaim demikian tidak dapat menjelaskan sejauh mana sejarah “pasca-komunis” bukanlah
“pasca-sejarah”, namun terletak dalam dinamika transisional dan sejarah transisional, dalam
konteks khusus akibat masa lalu yang penuh penindasan dan keadilan transisional yang
menjadi konteks baru. Bukankah negara liberal secara normatif harus memungkinkan
perubahan sejarah?
“Keadilan Puitik”: Narasi Transisi
Marilah kembali ke pertanyaan di awal bab ini: apa kaitan proses sejarah dengan transformasi
politik yang meliberalkan? Bab ini diawali dengan diskusi tentang peran pernyelidikan sejarah
dalam merespon peninggalan sejarah masa lalu suatu negara dan apakah terdapat kaitan antara
penyelidikan sejarah di suatu negara terhadap masa lalunya yang tidak liberal dan prospek
demokrasi di masa depan. Dalam analisis ini, pertanyaan normatif tentang apakah
penyelidikan sejarah merupakan respon transisional yang ideal bukanlah menjadi pertanyaan
yang penting; bahkan tanpa proses penyusunan sejarah secara sadar, seperti melalui
pengadilan, komisi penyelidikan dan laporan, pasti akan tercipta suatu narasi sejarah. Narasinarasi transisional memiliki struktur retorisnya sendiri, yang dengan sendirinya menyusun
R. v. Keegstra, 2 WWR 1 (Kanada, 1991).
Konstitusi Republik Federasi Jerman (Basic Law), Pasal 1, 18, 21.
144
Lihat New York Times v. Sullivan, 376 US 254 (1964) (memberikan arti lebih luas pada Amendemen Pertama
tentang prinsip bahwa perdebatan isu publik bersifat “tanpa halangan, kuat dan terbuka luas) menjunjung
konstitusi mensyaratkan aturan yang melarang pejabat publik untuk mendapatkan ganti kerugian dari fitnah yang
merendahkan berkaitan dengan jabatannya, kecuali bila ada “kerugian sebenarnya”. Untuk sejarahnya, lihat F.
Siebert, Freedom of the Press in England, Urbana: University of Illinois Press, 1952, 1476-1776; Philip
Hamburger, “The Development of the Law of Seditious Libel and Control of the Press”, Stanford Law Review 37
(1985): 661; Zechariah Chaffee Jr., Free Speech in the United States 18 (1941).
145
Lihat Francis Fukuyama, “The End of History?” National Interest, No. 16 (musim panas 1989): 3-18.
142
143
46
suatu perubahan identitas. Sejarah transisional – tinjauan tentang tirani masa lalu yang disusun
pada masa liberalisasi – merupakan bentuk narasi yang khas.
Narasi-narasi yang disusun pada masa transisi paling jelas membawa pesan normatif
tentang kaitan sejarah dan demokrasi: garis narasi menyatakan kaitan antara relevansi
pengetahuan sejarah dengan kemungkinan perubahan personal dan sosial. Tinjauan sejarah
tentang transisi merupakan suatu tinjauan tentang kaitan antara pengetahuan dan pergeseran
dari kediktatoran serta prospek untuk masa depan yang lebih liberal. Tinjauan-tinjauan ini
memberikan suatu perasaan keadilan yang terasa “puitik”.
Narasi transisional merupakan suatu bentuk atau genre sastra yang khas, yang bisa
dianggap sebagai suatu campuran tragedi-komedi atau tragedi-romantik.146 Sementara narasi
transisi dimulai dengan tragedi, mereka diakhiri secara komedi atau romantik. Dalam
pemahaman klasik, tragedi tersusun dari elemen-elemen penderitaan yang mendalam yang
dialami kelompok-kelompok besar, kota-kota dan negara, yang diikuti penemuan atau
perubahan dari ketidaktahuan ke pengetahuan, suatu saat klarifikasi.147 Seperti tragedi klasik
berfokus pada penderitaan individu, yang nasibnya, karena status mereka, mempengaruhi
keseluruhan kelompoknya, kisah penderitaan kontemporer juga mengisahkan pengaruhnya
secara luas.
Sementara narasi transisi diawali secara tragis, pada satu titik, mereka bergeser ke satu
keputusan untuk mengubah nasibnya yang tragis tersebut; pada kesusasteraan klasik, hal ini
ditunjukkan dengan pergeseran ke tahap komedi. Penderitaan masa lalu yang dialami seluruh
negara diubah sedemikian rupa sehingga berakhir dengan bahagia: perdamaian dan
rekonsiliasi. Dalam tragedi, peran pengetahuan hanyalah untuk memastikan nasib yang telah
diketahui sejak awal. Namun tinjauan transisional diawali dengan penderitaan, ketidakadilan,
perbudakan, pembunuhan dan sebagainya. Kemudian, sesuatu terjadi dan orang-orang yang
terlibat dalam kisah tersebut pada akhirnya menghindari nasib tragis dan sanggup bertahan
dalam realitas yang baru. Dalam konvensi romantisme yang dikaitkan dengan tinjauan
transisional, perubahan ini melibatkan titik balik penting tentang pengetahuan diri, di mana
pengetahuan tersebut – tidak seperti dalam tragedi – menimbulkan perbaikan. Narasi
transisional dalam konteks perubahan politik memiliki bentuk yang khas dan memainkan
peran tertentu dalam perubahan politik. Melalui proses komisi, dalam tindakan legal,
masyarakat secara keseluruhan terkait dalam benang merah transisi ini.
Seperti akan dibahas di bawah, struktur transisi tampak dalam tinjauan transisi baik
fiktif maupun non-fiktif. Laporan-laporan maupun karya-karya fiksi sama-sama menaati narasi
tertentu yang berjalan seperti berikut ini: meskipun dalam masa rezim lama terjadi penderitaan
besar-besaran, penderitaan tersebut sedemikian rupa diubah menjadi sesuatu yang baik bagi
masyarakat, menjadi pemahaman diri yang lebih baik dan prospek yang lebih baik bagi
kebertahanan demokrasi. Narasi nasional ini diawali secara tragis namun berakhir dengan
penebusan seluruh masyarakat. Perhatikanlah kisah-kisah dalam laporan-laporan setelah masa
penindasan. Mulai dengan judul laporan: dengan diberi judul Tidak Akan Pernah Lagi,
laporan-laporan Amerika Latin ini menjanjikan bahwa mereka dapat mencegah penderitaan di
masa depan. Sebagai contoh, dalam laporan pertama Komisi Nasional Orang Hilang
Lihat Northrop Frye, Anatomy of Criticism: Four Essays, Princeton: Princeton University Press, 1957.
Lihat Aristoteles, “Poetics”, dalam The Complete Works of Aristotle, Vol. 2, (ed: Jonathan Barnes), Princeton:
Princeton University Press, 1984, 2323-24; Timothy J. Reiss, Tragedy and Truth: Studies in the Development of
a Renaissance and Neoclassical Discourse, New Haven dan London: Yale University Press, 1980.
146
147
47
Argentina, tinjauan tentang penindasan di negara tersebut diawali dengan prolog yang
menyatakan bahwa kediktatoran militer “menimbulkan tragedi yang paling buruk dan paling
kejam” dalam sejarah negara itu. Namun, pendahuluan itu juga menyatakan bahwa “pastilah
ada hal-hal yang bisa didapatkan dari bencana-bencana yang buruk”. Sejarah penderitaan ini
dianggap memberikan pelajaran. “Tragedi yang diawali dengan naiknya kediktatoran militer
pada bulan Maret 1976, tragedi terburuk yang pernah dialami negara kita, tidak dapat
diragukan lagi akan dapat membantu kita untuk memahamai bahwa hanya demokrasi-lah yang
dapat menyelamatkan masyarakat dari kesengsaraan pada skala ini”.148 Menurut laporan ini,
pengetahuan tentang penderitaan memainkan peran penting dalam kemampuan negara untuk
melakukan transisi politik ke demokrasi.
Narasi dalam laporan transisi lainnya mengikuti alur yang serupa. Konfrontasi dengan
masa lalu dianggap sebagai hal yang diperlukan bagi masyarakat yang hendak melakukan
transisi menuju demokrasi. Laporan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili
menyatakan bahwa pertanggungjawaban sejarah merupakan syarat bagi tercapainya
rekonsiliasi. Pengungkapan dan pengetahuan tentang penderitaan dianggap merupakan faktor
utama yang mempersatukan negara. Keputusan pembentukan komisi kebenaran Cili
menyatakan bahwa “kebenaran harus diungkapkan, karena hanya pada dasar demikian ... akan
dimungkinkan ... terciptanya kondisi yang diperlukan untuk menciptakan rekonsiliasi nasional
sepenuhnya”.149 Menurut laporan Cili, kebenaran merupakan prasyarat utama untuk
terciptanya demokrasi. Ini juga merupakan latar belakang dari laporan komisi kebenaran El
Salvador. Ia muncul bahkan sejak judul laporan yang optimistik: From Madness to Hope,
yang mengisahkan perang saudara yang penuh kekerasan, yang diikuti “kebenaran dan
rekonsiliasi”. Menurut pengantar laporan tersebut, “konsekuensi kreatif” dari kebenaran akan
“menyelesaikan perbedaan politik dan sosial melalui kesepakatan alih-alih dengan tindak
kekerasan”. “Perdamaian akan dibangun berdasarkan transparansi ... dan pengetahuan”.
Kebenaran diibaratkan sebagai “cahaya terang” yang mencari pelajaran-pelajaran yang
berguna bagi rekonsiliasi dan untuk menghapus tindakan-tindakan demikian dalam
masyarakat yang baru”.150 Bahkan laporan-laporan tidak resmi juga memiliki klaim serupa
bahwa pengungkapan kebenaran merupakan suatu bentuk keadilan. Bagian pendahuluan
laporan Nunca Más Uruguay misalnya menyatakan bahwa penulisan laporan itu dengan
sendirinya merupakan kemenangan terhadap penindasan. Pandangan ini memiliki beberapa
klaim tentang kaitan pengetahuan sejarah dengan prospek demokratis. Ia mengklaim bahwa
pengungkapan kebenaran pada saat transisional akan mencegah kemungkinan represi di masa
depan. Adalah kurangnya “pemahaman kritis yang menimbulkan risiko terulangnya bencana
di masa depan ... untuk menyelamatkan sejarah, perlu belajar dari pengalaman ... Kita perlu
keberanian untuk tidak menyembunyikan pengalaman-pengalaman tersebut dalam kesadaran
kita, dan mengenangnya. Dengan demikian kita tidak akan jatuh lagi ke dalam perangkap yang
sama”.151
Dalam penyusunan sejarah transisional menuju pemerintahan yang liberal, kisah
tentang sejarah haruslah diketahui sebenar-benarnya. Namun, kisah-kisah yang diceritakan
Laporan CONADEP, 6.
Supreme Decree No. 355, “Creation of the Commission on Truth and Reconciliation”, 25 April 1990,
direproduksi dalam Laporan Rettig.
150
Laporan Komisi Kebenaran El Salvador, 11.
151
Uruguay, Nunca Más, vii, x-xi.
148
149
48
menunjukkan beberapa loncatan puitis. Apakah kebenaran mendorong perubahan politik
menuju liberalisasi, atau perubahan politik yang memungkinkan kembalinya pemerintahan
demokratis dan usaha pengungkapan kebenaran? Dan bagaimana tepatnya cara kebenaran
mencegah bencana di masa depan? Klaim teoretis bahwa kebenaran dapat membebaskan – dan
bahwa “kebenaran” memungkinkan pergeseran ke demokrasi – tampak tidak tepat di
manapun. Pergeseran dari kediktatoran tidak tergantung pada kebenaran; bahkan pergeseran
ke sistem pemilihan bebas dan sistem politik yang lebih terbuka biasanya mendahului proses
pencarian kebenaran. Namun, meskipun terdapat perubahan politik, ada anggapan bahwa
kebenaran tentang masa lalu yang mengerikan tidak dapat ditemukan hingga (sebelum) ada
usaha untuk mengklarifikasi penipuan di masa lalu itu. Sebagai contoh, pada transisi pascakomunis, sejarah-sejarah nasional menggambarkan kejahatan sebagai sesuatu yang datang dari
luar. Tinjauan-tinjauan diawali dengan kisah pendudukan dan perlawanan rakyat, dan
berpuncak pada kolaborasi. Narasi transisional tentang kediktatoran dan penindasan diawali
dengan representasi “musuh” sebagai suatu hal yang asing, tidak dikenal dan kemudian
bergerak ke temuan tentang kolaborasi yang dilakukan beberapa warga negara, di seluruh
bagian masyarakat. Dalam narasi transisi, baik dari pemerintahan totaliter di bekas blok Soviet
atau dari pemerintahan militer otoriter, yang paling menonjol adalah tentang penemuan fakta
tragis ini.
Dengan pengisahan seperti ini, dampak paling menonjol dari pengungkapan
pengetahuan adalah bahwa ia memungkinkan perubahan di masa mendatang, melalui potensi
tindakan manusia. Pengetahuan yang terungkap menunjukkan bahwa ada logika tentang
kejahatan di masa lalu, dan bahkan menunjukkan bahwa ada hal-hal yang perlu dilakukan
untuk menyikapinya. Pandangannya adalah bahwa seandainya hal ini sudah diketahui
sebelumnya, mungkin keburukan-keburukan itu tidak akan terjadi, dan sebaliknya, karena
“kebenaran” telah terungkap, maka langkah ke depan akan menuju ke arah yang lebih baik.
Harapan ini merupakan esensi liberalisme. Tinjauan transisional berupa pengetahuan, yang
baru terungkap tentang masa lalu yang buruk adalah bentuk kebenaran yang membebaskan,
yang memiliki potensi liberalisasi. Pengungkapan kemungkinan pilihan di masa mendatang
inilah yang menjadi ciri transisi liberal. Dalam tinjauan transisional, termuat masa depan yang
liberal.
Dalam kisah-kisah yang dimuat dalam laporan, kebenaran yang diungkapkan
membantu menciptakan pergeseran dari masa lalu yang tragis ke masa depan yang penuh
harapan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kisah yang terjadi dan diceritakan ini adalah tentang
bencana, yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Seperti dalam narasi dramatik, satu
nasib buruk dapat dihindari pada satu titik tertentu. Keadilan transisional memainkan peranan
tersebut melalui masuknya orang-orang yang memiliki akses khusus terhadap pengetahuan,
seperti hakim, komisioner, saksi dan korban. Mekanisme pembebasan dan koreksi
memungkinkan pergeseran dalam kisah masyarakat ini dari bencana ke masa depan yang lebih
baik. Pergeseran ke masyarakat yang lebih liberal ini dimungkinkan dengan menghadapi masa
lalu: narasi transisional biasanya bersifat progresif dan romantik. Sering pula terdapat sedikit
ironi di dalamnya, bentuk-bentuk defeatisme, keinginan untuk gagal, dan konservatisme. Ini
terlihat dalam narasi Eropa Timur, di mana para subjek dalam proses transisi tidak dianggap
penting: mereka yang ditindas (atau dicopot dari jabatannya) hanyalah berada di tempat atau
waktu yang salah, sehingga mereka menjadi bagian dari proses hukum; mereka dipandang
49
sebagai korban,152 seperti dalam kasus pengadilan penjaga perbatasan yang berpangkat rendah
di Jerman. Dalam tinjauan-tinjauan tersebut, proses transisi diungkapkan seterbuka mungkin,
dan proses legal berisiko kehilangan legitimasinya. Bila narasinya akan menjadi perulangan
sejarah, kejahatan negara yang berulang, masa-masa itu tidak akan menjadi masa
transformatif, namun hanya sekadar transisi konservatif.
Literatur tentang masa-masa kekejaman biasanya disusun dari kisah-kisah pengalaman,
dalam struktur yang khas. Dalam berbagai kebudayaan politik, representasi dalam literatur
penindasan negara memiliki bentuk yang amat literal. Bentuk ini terlihat dalam tulisan-tulisan
tentang penindasan dalam Perang Dunia Kedua dan Holocaust, dan kebanyakan berupa
pengalaman. Contoh penting misalnya Night karya Elie Wiesel.153 Horor dalam kamp
konsentrasi dikisahkan secara “kering” dari sudut pandang orang pertama yang mengalaminya
langsung. Satu contoh lain dalam bentuk film adalah Shoah, yang menggunakan simbolsimbol ekstrem untuk menggambarkan hal-hal yang nyaris tak terbayangkan. Ketegangan ini
terungkap dalam bentuk hibrida yang disebut sebagai novelareal; sebuah ilustrasi tentang
kediktatoran Argentina sebagaimana tertuang dalam karya berbahasa Spanyol dari Miguel
Bonasso, Recuerdo de la Muerte. Suatu karya fiksi yang paling bisa menggambarkan represi
pada era Stalin adalah The Gulag Archipelago, 1918-1956: An Experiment in Literary
Investigation, oleh Aleksandr Solzhenitsyn.154 Dari judulnya, Literary Investigation, ia
mencoba menggambarkan ribuan insiden kekerasan dalam satu narasi: struktur novel ini
serupa dengan laporan resmi. Penggunaan model kronika untuk menggambarkan kekerasan ini
tidak selalu diikuti, ada pula penggunaan puisi. Ketika puisi menggambarkan penderitaan
massal, hal ini dilakukan dalam bentuk “laporan mokro”.155
Literatur transisi tentang masa lalu yang penuh penindasan, seperti juga laporan resmi
yang dijelaskan di atas, memiliki struktur transisional yang serupa. Diawali sebagai tragedi
dalam sejarah suatu negara, narasi dimulai dengan gambaran tentang ketidakteraturan politik
atau ekonomi yang dianggap menjelaskan bagaimana militer mengambil alih kekuasaan.
Narasi dilanjutkan dengan masa penderitaan yang diselubungi penindasan, yang berpuncak
pada penemuan dan pengetahuan-diri, yang merupakan titik balik, yang memungkinkan
perubahan di masa depan. Suatu contoh penting adalah Prisoner without a Name, Cell without
a Number, yang merupakan otobiografi Jacobo Timerman berdasarkan pengalamannya selama
represi militer Argentina. Dalam bukunya, Timerman mengisahkan kisah sedih tentang
bagaimana ia, sebagai bagian elite Argentina, semula menyetujui pengambilalihan kekuasaan
ini, karena berharap bahwa hal ini akan mengembalikan ketenteraman. Namun, militer malah
menceburkan negara ke dalam pembantaian dan pada akhirnya bahkan mengejar-ngejar
Timerman. Hanya setelah dikhianati dan menderita, Timerman menyadari betapa brutalnya
kekejaman militer ini. Titik balik nasibnya ini membuat ia memahami lebih dalam nasib
negaranya.
Lihar René Girard, The Violence and the Sacred, Baltimore: Johs Hopkins University Press, 1972.
Lihat umumnya Saul Friedlander (ed.), Probing the Limits of Representation, Cambridge: Harvard University
Press, 1992. Lihat misalnya Elie Wiesel, Night (terjemahan Stella Rodway dan Francis Mauriac), Bantam Books,
1982.
154
Lihat Aleksandr Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago: An Experiment in Literary Investigation, New York:
Harper and Row, 1975. Miguel Bonasso, Recuerdo de la Muerte, Buenos Aires: Plancta, 1984. Jacobo
Timerman, Prisoner without a Name, Cell without a Number, New York: Knopf, 1981.
155
Czeslaw Milosz, The Witness of Poetry, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1983.
152
153
50
Narasi transisional menunjukkan bahwa hal minimal yang dipertaruhkan dalam
transformasi ke liberalisasi adalah perubahan interpretasi. Masyarakat mulai berubah secara
politis bila terjadi perubahan pemahaman tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
Perubahan inilah, seperti dikatakan Václav Havel, “dari hidup dalam kebohongan ke hidup
dalam kebenaran.” Demikianlah banyak karya fiksi tentang masa tersebut adalah kisah tentang
perubahan ini, tentang hidup dalam kebohongan, kisah penipuan dan pengkhianatan, ke
pengungkapan pengetahuan yang baru dan pemahaman yang mempengaruhi dan membentuk
identitas dan hubungan yang baru. Contohnya adalah karya Bernhard Schlink, The Reader,
yang merupakan alegori hubungan negara dengan warga negara.156 Sejarah transisional
bukanlah semata-mata pencarian fakta dalam kondisi yang steril, namun dibangun di atas
narasi-narasi nasional yang sudah ada. Mereka tidaklah bersifat mendasar, namun lebih
transisional, sebagai perubahan rezim kebenaran yang dikonstruksikan dalam perubahan rezim
politik. Ketika terdapat interpretasi yang beragam tentang represi pemerintahan dalam suatu
rezim politik, keberadaan interpretasi yang berbeda ini menandakan perubahan politik, yang
mendorong perubahan lebih lanjut. Pemahaman fungsi interpretif dalam perubahan politik
menjelaskan bahwa usaha untuk mendapatkan pertanggungjawaban historis tidak semata-mata
merespon perubahan politik. Namun, pertanggungjawaban historis itu merupakan bagian dari
penciptaan perubahan politik, yang menyusun apa yang kita harapkan dari sistem politik
liberal.
Tinjauan transisional yang dibahas di atas menunjukkan kontinuitas keadilan historis
dan keadilan transisional lainnya. Konsepsi keadilan yang dibahas di sini menunjukkan alur
yang serupa berkaitan dengan peran pengetahuan yang terungkap. Tinjauan sejarah
menciptakan kaitan normatif dalam mengaitkan masa lalu dan masa depan suatu masyarakat;
narasi transisi dimulai dengan melihat ke belakang dan bercermin pada arti masa lalu, namun
selalu dengan tujuan untuk masa depan. Selalu ada yang bisa dilakukan. Ini adalah harapan
yang diberikan oleh proses liberalisasi. Seperti respon-respon legal yang dibahas dimuka,
seperti penghukuman, keserupaannya terletak pada tujuan korektif melalui proses legal.
Artinya, dengan menciptakan perubahan pengetahuan sosial, terjadi pergeseran yang berarti
dari kejahatan dan penderitaan di masa lalu ke masa depan yang menyembuhkan.
Tentang Penyeberangan Sungai dan Laut, tentang Pembuangan dan Kepulangan
Tinjauan-tinjauan di atas menunjukkan struktur dan ciri serupa pada transisi masyarakat.
Struktur tersebut juga terlihat dalam karya-karya sastra klasik yang dikaitkan dengan transisi;
yaitu bahwa mereka menunjukkan konvensi pergeseran dari tragedi ke komedi-romantik.
Yang menjadi harapan akhir adalah kemungkinan rekonsiliasi.
Kisah dalam Alkitab tentang dua saudara, Esau dan Yakub, merupakan kisah klasik
tentang konfrontasi dengan masa lalu yang buruk, rekonsiliasi dan perubahan politis.157 Dalam
kisah transisi biblikal ini, penyelesaian “hutang” antara kedua saudara ini terjadi setelah
kembalinya Yakub, yang telah melarikan diri dan terasing dari saudaranya, Esau. Hubungan
Havel, Power of the Powerless. Bernhard Schlink, The Reader (terjemahan Carol Brown Janeway), N.Y:
Vintage Int’1, 1998.
157
Lihat W. Gunther Plaut (ed.), “Genesis” dalam The Torah: A Modern Commentary, New York: Union of
American Hebrew Congregations, 1981, Kejadian 32:4-17.
156
51
mereka yang buruk sejak awal mula berkaitan dengan persaingan tentang hak kesulungan dan
penipuan Yakub terhadap Esau.
Ketika Yakub merencanakan kepulangannya, ia takut untuk bertemu dengan
saudaranya, takut bahwa Esau akan membalasnya.158 Ketika diberitahu bahwa Esau sedang
pergi mendatanginya dengan sekelompok orang bersenjata, Yakub berusaha untuk
menenangkan saudaranya dengan hadiah-hadiah, namun kemudian mengalami transformasi
pribadi yang pada akhirnya mengarah pada rekonsiliasi dengan saudaranya dan pembangunan
sebuah bangsa.
Kisah pertemuan dan rekonsiliasi kedua saudara ini diawali dengan Yakub
meninggalkan tempat pengasingannya. Setelah menyeberangi sungai Yabok pada malam hari,
ia terlibat perkelahian dengan seorang asing yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketika
berkelahi tersebut, kakinya terkilir sehingga jalannya pincang. Dan, ketika pertandingan gulat
itu berakhir, ia diberkati dan mendapatkan nama baru: dari “Yakub” menjadi “Israel”, dan
identitas baru yang disimbolkan nama itu menunjukkan pergulatannya dengan Tuhan. Setelah
perkelahian tersebut, ketika ia dengan terpicang-pincang mendatangi saudaranya dan
mendekatinya dengan penuh permohonan, ia mengalami transformasi baik jiwa maupun raga.
Ketika saudaranya Esau melihatnya mendatanginya, mereka saling berpelukan dan menangis,
dan terjadilah rekonsiliasi.
Kisah kuno tentang rekonsiliasi ini diawali dengan penyeberangan suatu sungai, diikuti
oleh malam pergulatan, pertemuan dengan kekuatan yang amat besar, dan perubahan identitas.
Hanya setelah Yakub selesai dengan pergulatan ini, yang disimbolkan oleh kehilangan – ia
menjadi pincang – dan mendapatkan nama baru, rekonsiliasi dengan saudaranya bisa
terlaksana. Perlu diperhatikan bahwa meskipun Esau datang dengan marah bersama orangorang bersenjata, setelah menghadapi Yakub yang telah berubah, seorang baru bernama Israel,
mereka berdamai.
Apa yang menjadi syarat transisi? Kisah kuno ini menunjukkan simbol-simbol utama:
penyeberangan sungai Yabok di malam hari – suatu penyeberangan dalam aspek tempat dan
waktu. Malam hari melambangkan waktu yang membatasi (antara dua hari), waktu untuk
menyusun kembali seseorang, dan air merupakan simbol klasik sesuatu perubahan.159 Setelah
air dan malam hari, masih ada kehilangan dan sesuatu yang didapatkan. Dalam kisah biblikal
perubahan Yakub menjadi Israel, transformasi identitas politis ini terlihat di tubuh (yang
menjadi pincang) dan tercermin dengan perubahan nama.
Struktur khas dari narasi transisional ini tergambar jelas dalam karya romantik, seperti
The Tempest karya William Shakespeare. Seperti kisah Esau dan Yakub, The Tempest juga
merupakan narasi transisi melalui pengasingan dan kepulangan. Diawali dengan para
tokohnya dalam pengasingan dan berakhir dengan kepulangan mereka, mereka semula
diasingkan dari rumah; secara harfiah “berada di laut”. The Tempest, seperti kisah biblikal di
muka, diawali dengan pengisahan suatu ketidakadilan politik. Seperti antara Yakub dan Esau,
terdapat permusuhan antara Prospero, penguasa “sah” Milan, dengan Antonio, yang
menyerobot kekuasaannya. Kisah ini bercerita tentang persaingan mereka untuk menjadi
pemimpin dalam masyarakat yang sedang runtuh. Transisi ke kondisi politik yang baru, seperti
158
“Lepaskanlah kiranya aku dari tangan kakakku, dari tangan Esau, sebab aku takut kepadanya ... .” Kejadian
32:11.
159
Lihat Arnold Van Gennep, The Rites of Passage (terjemahan Monika B. Wizedom dan Gabrielle L. Caffee),
Chicago: University of Chicago Press, 1960.
52
dalam kisah biblikal di muka, juga berupa narasi kepulangan dari pengasingan ke rumah.
Perubahan ini tergantung pada pengungkapan berbagai kebenaran sehingga para tokoh
akhirnya bisa pulang ke “kondisi asal”. “Dan Ferdinand saudaranya mendapatkan seorang
isteri ketika ia tersesat; Prospero kekuasaannya di sebuah pulau terpencil; dan kita
mendapatkan diri kita sendiri, ketika tidak seorang pun memiliki dirinya”.160
Drama ini diawali pada babak I dengan tokoh-tokohnya menceritakan ketidakadilanketidakadilan politik di masa lalu: Prospero kehilangan kekuasaannya, Ariel tertangkap dan
kemudian diperbudak Prospero. Pada babak II, mulai dibayangi alternatif terhadap rezim yang
ada. Pergeseran dimulai pada babak III, dengan mulainya para tokoh menghadapi sejarah.
Konfrontasi terjadi melalui kekuatan supranatural (Ariel sebagai “monster”), yang menuntut
“tiga orang berdosa” dan mengutuk mereka untuk kehancuran pelan-pelan”.161 Dengan
terungkapnya kebenaran, dalam babak IV, mulai terbayang keinginan untuk perubahan dan
pembalasan.162 Dalam babak V, sejarah dihadapi, pengampunan dan maaf menjadi pemikiran.
“Kebesaran hati adalah nilai yang lebih berharga daripada pembalasan”.163 Rekonsiliasi berarti
Prospero memberikan pengampunan dalam penggunaan kekuasaannya lebih lanjut. Bahwa
peristiwa-peristiwa yang menyusul melibatkan pilihan manusia untuk menyikapi kondisi,
untuk mendamaikan cinta dengan realitas, disimbolkan oleh permainan di dalam drama:
permainan catur antara Ferdinand dan Miranda – simbol adanya kemungkinan dalam pikiran
rasional dan tindakan individual.
Pada akhir drama, hampir semua hal kembali ke keadaan semula, dan ketidakadilan
diselesaikan. Dalam The Tempest, transisi ke rezim baru juga mengakibatkan kehilangan.
Sementara dalam The Tempest kedua saudara tersebut tidak sepenuhnya berdamai, terjadi
rekonsiliasi antara tokoh-tokoh lainnya. Bahkan, melalui drama ini dapat dipahami bahwa
transisi berarti penciptaan interpretasi baru yang menggantikan interpretasi lama. Perubahan
yang menjadi inti transisi memerlukan hilangnya sesuatu, sekaligus perubahan identitas.164
Narasi transisional memiliki bentuk yang khas. Baik dalam kisah biblikal maupun
roman Shakespeare ini, alur narasi bergeser dari pembuangan ke rumah, ke kondisi semula
yang sebenarnya. Pengungkapan kebenaran sering kali terjadi melalui proses supranatural;
secara ritual melepaskan diri dari masa lalu, membuang masa lalu dan akhirnya mengakui
kebenaran yang baru, memungkinkan kembali ke arah yang benar. Pengetahuan yang semula
dirahasiakan dihadapi, dan akhirnya menciptakan arah yang baru.165 Pengetahuan suatu
masyarakat tentang apa yang telah terjadi bukanlah sasaran akhir, namun syarat untuk
terjadinya perubahan sikap manusia dan transformasi ke liberalisme.
Keadilan Historis Transisional: Beberapa Kesimpulan
Lihat The Tempest 5.1.211-14.
Lihat ibid., 3.3.52-77.
162
Lihat ibid., 4.1.
163
Ibid., 5.1.27-32.
164
Lihat Stanley Cavell, Disowning Knowledge in Six Plays of Shakespeare, Cambridge: Harvard University
Press, 1987.
165
Lihat Jürgen Habermas, A Berlin Republic: Writings on Germany (terjemahan Stevan Rendall), Lincoln:
University of Nebraska Press, 1997.
160
161
53
Praktik-praktik yang dibicarakan di sini menunjukan bahwa peran penyelidikan sejarah
bukanlah sebagai dasar, namun sebagai cara transisi. Sejarah selalu terkait erat dengan
kehidupan bernegara, namun dalam pergeseran politik, ia membantu mendorong transformasi.
Dibandingkan dengan sejarah versi negara yang sedang berjalan, apa yang menjadi ciri utama
narasi sejarah transformatif? Apa yang menjadikan kisah-kisah tersebut membawa
pembebasan?
Satu alasan mengapa sejarah yang dibicarakan di sini tidak bersifat mendasar namun
bersifat transisional adalah bahwa ia merupakan sejarah yang khas dan terpisah (discrete),
narasi “mini” dan bukan metanarasi, yang berada di dalam narasi luas negara. Pengungkapan
sejarah transisional bukanlah narasi yang berdiri sendiri, juga bukan awal baru yang radikal,
namun selalu berkaitan dengan peninggalan sejarah suatu negara yang sudah ada. Sejarah
transisional memerlukan negosiasi antara berbagai versi sejarah yang berbeda-beda, dan
ditempatkan dalam narasi sejarah negara yang lebih luas. Tinjauan transisional diciptakan
dalam suatu konteks – sejarah suatu negara – dan merupakan respon kritis terhadap konflik
sejarah yang ada. Maka, sejarah transisional pada umumnya menunjukkan penggantian satu
versi interpretasi sejarah, atau suatu rezim kebenaran, dengan rezim kebenaran lainnya,
sementara rezim politik berganti namun mempertahankan benang merah narasi negara.
Proses hukum pengungkapan kebenaran mengkonstruksi ingatan kolektif dalam
transisi. Penggunaan hukum, proses dan kerangkanya secara terbuka ini dilakukan pada saat
konsensus sosial sedang dalam kondisi berantakan. Hukum merupakan suatu bahasa tegas
dengan simbol-simbol dan ritus-ritus yang sudah mapan. Pada masa kontemporer, ritus legal
dan proses pengadilan serta dengar pendapat terbuka memungkinkan terciptanya sejarah
transisional yang merupakan konstruksi sosial bersifat demokratis dengan cakupan yang luas;
pemirsanya adalah seluruh warga negara. Ritus-ritus penyusunan sejarah kolektif ini
merupakan bagian dari transisi dan menciptakan batasan waktu politik: “sebelum” dan
“sesudah”.166 Penggunaan hukum berarti bahwa klaim sejarah dilakukan dengan menggunakan
bahasa hukum, berkaitan dengan hak dan tanggung jawab terhadap kesalahan di masa lalu.
Penggunaan bahasa ini merupakan respon kritis untuk menjawab penindasan masa lalu,
meninggalkan fakta-fakta khas dan terpisah yang semula digunakan untuk mendukung rezim
lama, yang merupakan hal kritis untuk memungkinkan perubahan politik. Praktik penciptaan
sejarah yang dikaitkan dengan transisi ini sering kali secara terbuka menegaskan apa yang
secara tersirat sudah diketahui oleh masyarakat. Proses penyelidikan sejarah memungkinkan
terlepasnya sejarah masa lalu yang jahat dari ingatan masyarakat. Narasi sejarah transisional
mengisahkan keadilan korektif yang menunjukkan diskontinuitas dari masa lalu; sejarah
transisional mengarah pada liberalisasi.
Narasi sejarah transisional, baik melalui pengadilan maupun bentuk lainnya,
menunjukkan peran penting pengetahuan dan pilihan. Melalui pengetahuan umum tentang
respon historis terhadap pelanggaran di masa lalu, di mana sebab dan akibat struktural dapat
dipahami,167 sejarah transisional berupa narasi yang jelas dapat menjelaskan tanggung jawab
individu dan kolektif. Dengan memberikan potensi pilihan individual, tinjauan sejarah
memainkan peran liberalisasi. Dengan mengungkapkan kebenaran masa lalu, tinjauan tersebut
menunjukkan hal-hal apa yang mungkin berubah seandainya telah diketahui sejak awal,
Lihat Maurice Bloch, Ritual, History and Power: Selected Papers in Anthropology, London: Athlone Press,
1989, 282 (tentang peran ritual dalam konstruksi).
167
Lihat Gordon, “Undoing Historical Injustice”.
166
54
berkaitan dengan potensi tindakan individual. Inilah pemahaman yang dijelaskan oleh tatanan
politik tentang penghindaran tragedi. Pengungkapan potensi pilihan dan tindakan individual
dengan sendirinya merupakan suatu hal yang meliberalkan.
Peninjauan sejarah merupakan ciri transisi menuju liberalisasi, berkaitan dengan
perubahan identitas politik negara. Dengan demikian narasi transisional memajukan konstruksi
tatanan politik kontemporer. Dalam narasi transisional, alur cerita tidak semata-mata tragis
atau mempermasalahkan penggunaan kekerasan secara sewenang-wenang. Ia tidak menaati
tatanan dunia yang sudah ada atau pada realisme politik semata-mata. Narasi-terstruktur
menekankan kemungkinan pilihan yang terbatas, oleh agen-egen individual dalam politik yang
terletak dalam parameter kondisi politik yang lebih luas. Terdapat anggapan bahwa
pemahaman diri di tingkat masyarakat dapat memberikan penebusan kesalahan, meskipun di
masa lalu terjadi kesalahan, yang merupakan pemahaman yang sangat liberal. Narasi sejarah
yang menekankan pemahaman diri di tingkat masyarakat dan mencegah pengulangan tragedi
dikaitkan dengan tatanan politik liberal. Struktur sejarah transisional menunjukkan adanya
harapan.
Liberalisasi melalui pengisahan kebenaran menyebabkan instabilitas, yang dikaitkan
dengan masa transisi. Namun yang membahayakan adalah pengisahan yang terlalu baik, yang
terlalu merasionalisasi – menganggap bahwa hal-hal yang terjadi di masa lalu merupakan hal
yang mutlak diperlukan untuk masa depan yang liberal. Bagaimana sejarah dikisahkan seiring
perjalanan waktu merupakan hal yang sensitif. Narasi sejarah mengkonstruksikan pemahaman
negara terhadap tatanan politiknya. Keadilan historis transisional terkait dengan pemeliharaan
identitas politik suatu negara. Dengan berjalannya waktu, bagaimana suatu negara memahami
dirinya menadi subjek kontroversi perdebatan politik. “Perdebatan sejarawan” yang
memunculkan kembali pertimbangan-pertimbangan transisional menunjukkan bahwa bila
narasi suatu negara secara eksplisit diskontinu dengan peninggalan sejarah penindasan di masa
lalu, ia menekankan identitas transisional yang meliberalkan.
Praktik-praktik sejarah yang dibicarakan di atas menunjukkan bahwa semua respon
legal menciptakan narasi transisional. Meskipun narasi tersebut tidak selalu eksplisit, namun
akan selalu tercipta suatu tinjauan sejarah. Praktik transisional penyusunan sejarah dalam masa
perubahan politik radikal menjelaskan peran narasi sejarah sebagai latar belakang dalam
sistem demokrasi yang sudah mapan, tinjauan sejarah yang menjadi dasar tatanan politik.168
Suatau genre sejarah yang khas kini diasosiasikan dengan identitas politik liberal.
Seperti dibicarakan di sini, ada beberapa ciri umum dari narasi sejarah liberal ini. Sejarah
transisional juga terkait erat dengan konteks dan kondisi politik. Bila sejarah dipergunakan
untuk melayani perubahan poitik, tujuannya prospektif, dan historiografi modern menegaskan
bahwa penulisan sejarah tidak bisa dilepaskan dari politisasi. Namun, parameter diskursus
sejarah ditempatkan dalam konteks sosial yang ada. Penyusunan sejarah transisional
ditempatkan dalam konteks tinjauan-tinjauan yang sudah ada, dan ketika mereka
menggantikannya, hasil penyusunan yang baru itu menjadi versi sejarah yang diterima (yang
di masa berikutnya bisa digantikan oleh versi lainnya). Sejarah transisional menjadi
mekanisme kontinuitas sekaligus diskontinuitas. Siklus pergantian rezim kebenaran tampak
dalam respon sejarah terhadap kejahatan di masa lalu. Dan lebih lanjut lagi, hal yang
Untuk pemikiran yang mendalam, lihat Robert Gordon, “Critical Legal Histories”, Stanford Law Review 36
(1984): 57.
168
55
menimbulkan diskontinuitas dari rezim yang sudah ada tidaklah penting dan tergantung pada
politik.
Sejauh mana siklus ini berlanjut? Apa kaitan antara penyusunan sejarah transisional
dan non-transisional? Sering kali terdapat harapan untuk menyusun suatu versi final dari
sejarah – konsensus sejarah yang mutlak – yang diharapkan “melampaui sejarah”. Hal ini
sama sekali tidak benar bahkan setelah gelombang terakhir perubahan menyusul keruntuhan
komunisme. Namun, dorongan untuk menamatkan sisa-sisa masa lalu, menegakkan sosok
“pasca-sejarah” ini merupakan hal yang sia-sia, karena tidak mungkin menghentikan
peninjauan sejarah suatu negara, untuk menghentikan politik dan potensinya untuk kemajuan.
Usaha untuk menetapkan suatu versi sejarah berdasar pandangan tertentu untuk selamalamanya merupakan pandangan yang iliberal. Tidak ada pilihan lain, selain pluralitas narasi,
instabilitas dan dialektika politik.
56
Bab 4
Keadilan Reparatoris
Pada masa kontemporer, hampir semua rezim transisional – baik setelah terjadinya
perang, kediktatoran militer maupun komunisme – mengambil langkah berupa keadilan
reparatoris. Tinjauan praktik reparatoris yang dibahas di sini menunjukkan bahwa respon
ini tersebar luas dalam berbagai budaya hukum yang berbeda. Bagaimana masyarakat
menganggap tindakan-tindakan reparatoris tersebut? Apa kegunaan dan fungsinya? Apa
arti keadilan transisional bagi para korban kejahatan rezim lama dan bagi masyarakat?
Dilema yang dihadapi rezim penerus dalam masa-masa transisi adalah apakah
rezim yang baru memiliki kewajiban untuk memberikan ganti kerugian bagi para korban
kejahatan negara. Menurut hukum internasional, bila negara melanggar kewajibannya,
terdapat kewajiban hukum yang jelas untuk memberi ganti kerugian.1 Namun, dalam
perdebatan nasional tentang apa yang harus dilakukan untuk menyikapi peninggalanpeninggalan kejahatan dari masa lalu, pertanyaan tentang keadilan reparatoris menjadi
masalah yang lebih kompleks yang diwariskan kepada rezim penerus. Ia menimbulkan
konflik antara tujuan pemberian kompensasi bagi para korban pelanggaran negara yang
memandang ke belakang, dan kepentingan politik negara yang memandang ke depan.
Praktik reparatoris menimbulkan dilema-dilema, prospektif-retrospektif dan individualkolektif yang mencirikan masa transisi. Namun, baik pada masa biasa atau transisi,
keadilan reparatoris selalu bersifat memandang ke belakang, karena ia merujuk pada
perbaikan terhadap kesalahan yang dilakukan di masa lalu. Keadilan reparatoris
transisional, seperti akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab ini, mendamaikan dilema
tersebut dalam konteks perimbangan antara tujuan korektif dan sasaran transformasi yang
memandang ke depan. Demikian pula, keadilan reparatoris transisional menengahi
masalah tanggung jawab individu dan kolektif, dan membentuk identitas politik negara
yang sedang menuju liberalisasi.
Istilah “keadilan reparatoris” memiliki dimensi yang luas, yang mencakup
berbagai bentuk berbeda: pemulihan (reparation), ganti rugi material, pengembalian
nama baik, kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan pemberian tanda mata. Presedenpreseden terhadap hal ini telah ada sejak zaman kuno, dan menggambarkan peran
kompleks keadilan reparatoris transisional. Respon reparatoris transisional menengahi
penyembuhan luka korban dan komunitas, masa lalu dan masa kini, dan meletakkan dasar
untuk kebijakan redistribusi yang dikaitkan dengan pergolakan radikal.
Reparasi dalam Alkitab: Keluaran (Eksodus) dari Mesir
1
PBB, Dewan Ekonomi dan Sosial, Sesi ke-45, Study Concerning the Right to Restitution, Compensation
and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms: Final
Report, disiapkan oleh Theodorr Van Boven, 2 Juli 1993, U.N. doc. E/CN.4/suh.2/ 1993/ 8; Theodor
Meron, Human Rights and Humanitarian Norms as Customary Law, Oxford: Clarendon Press, 1989, 171,
n24, 1989; Nigel S. Rodley, The Treatment of Prisoners under International Law, Oxford: Clarendon
Press, 1989.
1
Ketahuilah dengan sesungguhnya bahwa keturunanmu akan menjadi orang asing dalam
suatu negeri, yang buka kepunyaan mereka, dan bahwa mereka akan diperbudak dan
dianiaya empat ratus tahun lamanya. Tetapi bangsa yang akan memperbudak mereka, akan
Kuhukum, dan sesudah itu mereka akan keluar dengan membawa harta benda yang banyak.
(Kejadian 15: 13-14)
Kisah dalam Alkitab tentang pergeseran politik – dari penindasan ke kebebasan – umat
Israel di Mesir merupakan suatu kisah klasik tentang transisi. Menurut kisah tersebut,
orang-orang Israel tinggal di Mesir selama sekitar empat ratus tahun, diperbudak dan
dianiaya. Tahun-tahun perbudakan ini diikuti oleh kebebasan dari Mesir, hukuman
diberikan kepada orang-orang Mesir dan akhirnya terbentuklah negara Israel. Kisah
Keluaran dan penghukuman orang Mesir sudah terkenal, namun tidak banyak yang
diketahui tentang pemberian reparasi yang berkaitan dengan Keluaran ini. Kisah ini
menunjukkan misteri dan ambiguitas berkaitan dengan praktik reparatoris pada masa
perubahan politik.
Dalam kisah ini, pada malam keluarnya warga Israel dari tanah Mesir, orangorang Israel, “meminta dari orang Mesir barang-barang emas dan perak serta kain-kain”.2
Tuhan memberitahu orang-orang Israel untuk mengambil barang-barang berharga dari
orang-orang Mesir: “Orang Israel melakukan juga seperti kata Musa; mereka meminta
dari orang Mesir barang-barang emas dan perak serta kain-kain. Dan Tuhan membuat
orang Mesir bermurah hati terhadap bangsa itu”.3 Teks ini memberikan kesan bahwa
barang-barang berharga ini sebenarnya bukan dirampas, namun diberikan dengan murah
hati. Namun, teks ini memang terbuka untuk interpretasi yang berbeda, karena ada
rujukan tentang “meminta” namun ada pula “merampasi orang Mesir”.
Satu aspek lain dalam peristiwa pada malam itu terlihat dalam bagian lain yang
mengelaborasi “perampasan” terhadap orang-orang Mesir ini: “Tiap-tiap perempuan
harus meminta dari tetangganya dan dari perempuan yang tinggal di rumahnya, barangbarang perak dan emas dan kain-kain, yang akan kamu kenakan kepada anak-anakmu
lelaki dan perempuan; demikianlah kamu akan merampasi orang Mesir itu”.4 Kisah ini
menunjukkan bahwa ada pertukaran pakaian antara orang-orang Mesir dan Israel. Para
budak yang dibebaskan ini mengenakan pakaian para tuan-tuan mereka, dan membiarkan
mereka telanjang – seperti budak. Urutan ini menunjukkan akar dari kata redress.
Berdasarkan akar katanya, ia berkaitan dengan pakaian yang dikenakan dalam upacara
keagamaan yang menentukan status sosial. Dalam penggunaannya yang paling awal,
pada Abad Pertengahan, redress mengaitkan pakaian dengan status dan kembalinya harga
diri. Perampasan (pakaian) orang-orang Mesir yang kemudian dikenakan orang-orang
Israel menunjukkan lebih dari sekadar pemberian ganti rugi material, hal ini adalah
pelurusan sejarah, suatu upacara kompensasi, rehabilitasi di mata publik. Aspek simbolis
kuno dari tindakan reparatoris ini terdapat pula dalam preseden-preseden berikutnya
sepanjang sejarah.
Apa arti sebenarnya dari reparasi era Keluaran ini? Kutipan dari Kitab Suci
mendukung beberapa pemahaman yang berbeda. Pengambilan barang-barang emas dan
2
W. Gunther Plaut (ed.), “Exodus,” dalam The Torah: A Modern Commentary, New York: Union of
American Hebrew Congregations, 1981, Ibid., 12:35.
3
Ibid., 12:35, 36.
4
Ibid., 3:21-22.
2
perak bisa dianggap sebagap pemberian hadiah, pinjaman, sogokan agar mereka pergi,
pertukaran hak milik antara dua pihak, misalnya pertukaran barang-barang bergerak milik
orang Mesir dengan tanah-tanah yang dimiliki orang Israel yang ditinggal, kompensasi
untuk upah yang belum terbayar dan pelanggaran-pelanggaran lain yang terkait dengan
perbudakan, atau sebagai ganti rugi simbolis, rehabilitasi status politik. Dalam satu
interpretasi, kisah ini menjelaskan bagaimana orang-orang Israel memanfaatkan kondisi
politik yang kacau dan menjarah barang-barang rampasan. Dalam interpretasi lainnya, ini
bukanlah penjarahan oleh budak-budak yang kabur, namun pelaksanaan suatu rencana
yang suci. Orang-orang Mesir memberikan emas dan perak tersebut sebagai reparasi
dalam rangka keadilan yang diberikan oleh Tuhan.5 Interpretasi ini dibangun pada dasar
rujukan lebih awal tentang orang-orang Israel itu menjadi “bangsa yang besar”, yang
meramalkan klaim atas harta milik orang-orang Mesir.
Bagaimana memahami kisah tersebut? Apakah perampasan dari orang-orang
Mesir ini merupakan tindakan yang memandang ke belakang: barang-barang emas dan
perak tersebut diambil untuk mengganti perbudakan dan penganiayaan di masa lalu?
Atau apakah kisah tentang anak-anak Israel yang mengenakan pakaian orang Mesir
bermakna memandang ke depan: barang-barang tersebut diambil untuk menjadi modal
pembangunan suatu bangsa? Bahasa yang digunakan dalam teks-teks Kitab Suci ini
mendukung kedua pandangan tersebut. Jika tinjauan biblikal tentang Keluaran
diinterpretasikan dalam konteks sejarah dan politis, konteks interpretatif tersebut adalah
hermeneutika yang khas pada transisi, termasuk perbudakan selama bertahun-tahun
sebelum malam Keluaran dan kelanjutannya dalam sejarah dari perbudakan menjadi
negara yang besar. Konteks transisional ini memiliki aspek-aspek yang memandang ke
belakang maupun ke depan yang mewarnai interpretasi praktik reparatoris. Seperti akan
kita lihat, kisah ini masih memiliki gema, karena ia menggambarkan kualitas keadilan
reparatoris yang memiliki banyak paradigma.
Reparasi Pasca-Perang dan Kesalahan Perang Keseluruhan
Pada akhir Perang Dunia Pertama, tuntutan agar Jerman memberikan reparasi
menimbulkan pertanyaan tentang arti keadilan reparatoris. Di Versailles, tanggung jawab
terhadap terjadinya perang dibebankan secara sepenuhnya kepada Jerman: kesepakatan
damai membebankan tanggung jawab “seluruh kesalahan perang” kepada Jerman dan
memaksanya untuk membayar reparasi dalam jumlah yang besar.6 Dalam kesepakatan
5
Lihat Nehama Leibowitz, Studies in Shemot: The Book of Exodus, terjemahan Aryeh Newman,
Yerusalem: World Zionist Organization, Department for Torah Education and Culture in the Diaspora,
1976, 185.
6
Kewajiban Jerman untuk mengganti rugi pelanggaran-pelanggarannya ditetapkan dalam “Konvensi Den
Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Pasal 3 Konvensi tersebut menyatakan: “Pihak
dalam perang yang melanggar pasal-pasal dalam peraturan ini akan, bila diperlukan, harus bertanggungjawab untuk membayarkan kompensasi. Ia harus bertanggung-jawab untuk semua tindakan yang dilakukan
orang-orang yang merupakan bagian angkatan perangnya”. “Konvensi Den Haag tentang Hukum dan
Kebiasaan Perang di Darat”, pasal 3 (mulai berlaku 26 Januari 1910), U.S.T.S. 539 (memberikan kewajiban
untuk membayar ganti rugi). Lihat Pasal 41 Konvensi Den Haag IV (memberikan hak untuk menuntut ganti
rugi terhadap kerugian yang disebabkan pelanggaran); keempat Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949
(mewajibkan tanggung jawab untuk pelanggaran berat. Pasal 68 Konvensi Jenewa berkaitan dengan
Perlakuan terhadap Tawanan Perang, memberikan hak untuk mengklaim bagi para tawanan perang.
3
damai ini, ganti rugi yang dituntut dari Jerman bersifat punitif namun dijustifikasi sebagai
pencegahan – melumpuhkan Jerman sedemikian rupa sehingga ia tidak mampu lagi
berperang. Traktat Versailles membebankan tanggung jawab kesalahan “perang agresif”
pada negara Jerman. Traktat tersebut memahami tanggung jawab sebagai suatu hal yang
bersifat kolektif, demikian pula dampak sanksi juga akan terasakan oleh seluruh negara.
Setelah empat tahun berperang, Sekutu merasa berhak menuntut ganti rugi biaya perang,
namun klaim untuk mendapatkan reparasi itu diberikan bukan sebagai tuntutan atas “hak”
Sekutu, namun “kewajiban” Jerman.
Klausul “kesalahan perang” dalam traktat Versailles ini menekankan liabilitas
atau kewajiban-hukum Jerman secara keseluruhan, memaksa Jerman untuk bertanggungjawab atas “semua kerugian dan kerusakan pihak Sekutu ... sebagai konsekuensi perang
yang dipaksakan terhadap mereka sebagai akibat ... agresi.” Pasal 231 Traktat Versailles
menyatakan: “Pemerintah Sekutu dan negara-negara terkait menegaskan, dan Jerman
menerima, tanggung jawab Jerman dan sekutu-sekutunya karena telah menimbulkan
semua kerugian dan kerusakan pihak Sekutu dan negara-negara terkait beserta warga
negaranya, sebagai konsekuensi perang yang dipaksakan terhadap mereka, sebagai akibat
tindakan Jerman dan sektutu-sekutunya yang melakukan agresi.”7 Menurut klausul
kesalahan perang ini, seluruh tanggung jawab terhadap terjadinya perang – semua
biayanya – akan ditanggung oleh Jerman.
Beban reparatoris yang amat berat dari Versailles menimbulkan beberapa
pertanyaan. Timbul masalah praktis dari sanksi yang sedemikian berat yang
menyebabkan Jerman hampir tidak mungkin membayarnya, seperti disadari waktu itu.8
Demikian pula masalah yang ditimbulkan dari sifat sanksi ekonomi yang tidak pandang
bulu. Sifat tidak pandang bulu ini menyebabkan dampaknya dialami oleh semua unsur
negara secara keseluruhan. Besarnya tuntutan reparasi ini menimbulkan sejumlah
pertanyaan tentang sifat dan fungsinya: sejauh mana respon ini ditujukan untuk
memberikan kompensasi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terkait dengan perang?
Sejauh mana ia bersifrat punitif? Formulasi provisi reparasi dalam traktat Versailles
memang ambigu, menunjukkan tujuan yang berganda. Traktat pasca-perang ini secara
cerdik memisahkan pertanyaan tanggung jawab dari kewajiban hukum: kesalahan perang
keseluruhan dibebankan atas dasar tanggung jawab pidana dan perdata; sementara
reparasi tampaknya bersifat perdata, klausul “seluruh kesalahan perang” dalam Traktat
Versailles ini secara eksplisit membedakan tanggung jawab dari pelaksanaannya, yaitu
penerapan keputusan. Meskipun Pasal 231 menyatakan pertanggungjawaban keseluruhan
Konvensi (No. IV) berkaitan dengan perlindungan terhadap Warga Sipil dalam Keadaan Perang (mulai
berlaku 21 Oktober 1950), 6 U.S.T.S. 3114. Prorokol I (“Protokol Tambahan untuk Konvensi-Konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949 dan berkaitan dengan Perlindungan terhadap Korban Konflik Bersenjata
Internasional”) (mulai berlaku 7 Desember 1978) dalam Pasal 91 menyatakan bahwa pihak yang melanggar
pasal dalam konvensi “harus bertanggung-jawab untuk membayarkan kompensasi”, International Law
Materials 16 (1977): 1392. Lihat Hugo Grotius, Rights of War and Peace: Including the Law of Nature and
of Nations, Winnipeg, Can: Hyperion Press, 1979, 10. Lihat juga Percy Bordwell, The Law of War between
Belligerents: A History and Commentary, Littleton, Colo: Fred B. Rothman, 1994.
7
Traktat Versailles, 28 Juni 1919, Pasal 231, bagian VIII, dalam Clive Parry (ed.), Consolidated Treaty
Series, Vol 225 (1919).
8
Pasal 232 menyatakan: “Pemerintah Sekutu dan negara-negara terkait mengakui bahwa sumber-sumber
daya Jerman tidak mencukupi, setelah memperhatikan pengurangan permanen sumber-sumber daya
tersebut yang akan disebabkan oleh pasal-pasal lain dalam traktat ini, untuk memberikan reparasi
sepenuhnya untuk semua kerugian dan kerusakan.” Ibid.
4
pada Pasal 231, Pasal 232 mengakui masalah kelangkaan sumber daya. Meskipun
terdapat perdebatan substansial di pihak Sekutu tentang pertanyaan cakupan tanggung
jawab hukum dan tingkat reparasi yang dituntut, bahasa yang digunakan dalam traktat
menunjukkan terdapat pemahaman bahwa – lebih dari pembayaran untuk kerugian
meterial – Jerman harus bertanggung-jawab secara moral, politis dan legal untuk
terjadinya perang. Namun, traktat yang sama mengakui bahwa Jerman tidak akan
(mampu) membayar. Kedua klausul aneh dalam traktat tersebut menandakan ambiguitas
yang ditimbulkan praktik reparatoris pada masa transisi.
Reparasi pasca-perang, seperti juga pada masa kuno, mencerminkan karakter
gabungan dan kompleks dari sifat dan peran praktik-praktik tersebut. Praktik-praktik itu
secara bersamaan memajukan perbaikan terhadap kerusakan yang ada dan penghukuman
kesalahan dari masa lalu. Tujuannya adalah untuk mengkoreksi masa lalu sekaligus
memajukan sasaran politik yang luas dari transisi.
Wiedergutmachung dan Schilumim
Dari penyerahan tanpa syarat dan debu-debu kamp konsentrasi setelah Perang Dunia
Kedua, timbullah proyek reparatoris terbesar dalam sejarah hingga kini, yang berjumlah
puluhan milyar dollar selama setengah abad terakhir. Setelah perang ini, dua klaim
reparatoris yang sangat berbeda dituntut kepada Jerman – satu dari musuh-musuhnya
yang menang, dan yang lain dari para korbannya. Sejak awal proses perdamaian, bahkan
sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Sekutu menuntut Jerman untuk membayar ganti
rugi karena melakukan perang secara tidak sah. Seperti dibicarakan di atas, setelah
Perang Dunia Pertama, normanya adalah bahwa negara yang kalah membayarkan ganti
rugi kepada pihak-pihak lainnya; skema reparasi jerman ini diciptakan berdasar program
restitusi pasca-perang Dunia Pertama. Dalam transisi dari wilayah yang diduduki ke
negara berdaulat, satu provisi penting dalam Traktat Transisional 1952 dengan kekuatankekuatan pendudukan adalah kewajiban untuk memberikan restitusi terhadap penyitaan
hak milik yang terkait dengan perang selain kerugian-kerugian lainnya.9
Dorongan lain untuk reparasi datang dari para korban dan keluarga korban kampkamp pembantaian. Kisah tentang negosiasi yang mengarah pada kesepakatan reparasi
antara Jerman, Israel dan kelompok-kelompok korban merupakan suatu kisah tentang dua
kelompok yang mengalami transisi: yang pertama suatu negara yang kalah dengan
perasaan kebangkrutan moral yang mendalam, yang satunya negara baru yang terdiri dari
korban-korban penindasan dalam kebangkrutan fiskal. Setelah negosiasi panjang yang
dipimpin Kanselir Jerman Konrad Adenauer menghasilkan kesepakatan Luksemburg
pada tahun 1952, Jerman sepakat untuk memberikan sejumlah dana kepada organisasi
yang mewakili korban-korban penganiayaan Nazi,10 dan juga reparasi kepada negara
Israel yang baru terbentuk. Undang-Undang Kompensasi Federal ini memiliki lingkup
9
Lihat Republik Federal Jerman, Restitution, edisi bahasa Inggris, Bonn: Press and Information Office of
the Federal Government, Juni 1988.
10
Untuk tinjauan tentang proses negosiasi, lihat Nana Sagi, German Reparations: A History of the
Negotiations, Yerusalem: Magnes Press, Hebrew University, 1980. Lihat juga Frederick Honig, “The
Reparations Agreement between Israel and the Federal Republic of Germany”, American Journal of
International Law 48 (1954): 564.
5
yang luas dalam menanggapi korban-korban penindasan Nazi, memberikan kompensasi
untuk cedera fisik dan kehilangan kebebasan, properti, pendapatan, pekerjaan atau
kesempatan kemajuan keuangan yang disebabkan oleh penindasan atas alasan politik,
sosial, religius atau ideologis.11
Pembayaran kepada para korban, wakil mereka dan negara Israel ini sebenarnya
tidak dipengaruhi oleh hukum internasional masa itu, juga tidak ada preseden untuk
tindakan tersebut. Analogi yang terdekat mungkin adalah pembayaran reparasi pascaperang tradisional, yang menurut hukum perang sejak Konvensi Den Haag 1907
merupakan kewajiban negara-negara yang melanggar norma-norma peperangan. Namun,
pandangan ini mensyaratkan fiksi bahwa Jerman dan Israel adalah dua negara yang
“bermusuhan”. Padahal, Israel bukan saja tidak berpartisipasi dalam perang, namun ia
bahkan belum terbentuk. Pembayaran yang dijanjikan setelah kesepakatan 1952 oleh
Republik Federal Jerman, seperti juga dalam masa kontemporer setelah unifikasi,12
berbeda dari pandangan tradisional tentang reparasi yang terkait perang sebagai hal yang
bersifat nasional. Para penerima ganti rugi ini bukanlah negara yang menang, melainkan
warga dari negara yang memberikan kompensasi tersebut. Mereka juga calon warga
negara Israel, yang diwakili oleh negara penerima ganti rugi tersebut (Israel). Ini
bukanlah reparasi pasca-perang seperti biasanya.
Pembayaran pasca-Perang Dunia Kedua ini mengubah untuk selamanya konsep
tentang reparasi. Setelah Nuremberg, perkembangan dramatis dalam hukum internasional
memperluas norma-norma yang berkaitan dengan hukum perang melampaui lingkup
internasional, dan memberlakukannya pada konflik internal dalam negara. Pada akhir
perang, Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 mendorong perkembangan hukum
kemanusiaan internasional, dan mengusulkan reparasi terhadap pelanggaran hak-hak
warga sipil dalam semua jenis konflik bersenjata.13 Kewajiban-kewajiban dalam hukum
perang tentang reparasi bagi korban pelanggaran oleh negara lain mengarah pada
kewajiban nasional untuk memberikan kompensasi bagi warga negara yang mengalami
pelanggaran. Hasil yang bertentangan pun tampak: warga negara lain akan lebih
dilindungi oleh hukum internasional daripada warga suatu negara dilindungi oleh sistem
hukumnya sendiri, apabila ia mengalami pelanggaran hak. Munculnya kewajiban
menurut hukum kemanusiaan internasional ini kemudian mendorong kewajiban
reparatoris transisional bagi rezim penerus terhadap pelanggaran-pelanngaran negara di
masa lalu. Standar reparatoris yang dikaitkan dengan hukum perang telah berkembang
dan melampaui konteks konflik internasional ke konflik internal murni.
11
Lihat umumnya Republik Federal Jerman, Restitution. Lihat juga Kurt Schwerin, “German
Compensation for Victims of Nazi Prosecution”, Northwestern University Law Review 67 (1972): 479.
Untuk suatu pendekatan “Viktimologis”, lihat Lesslie Sebba, “The Reparations Agreements: A New
Perspevtive”, Annals of the American Academy of Political and Social Science 450 (1980): 202. Untuk
analisis kritis, lihat Christian Pross, Paying for the Past: The Strugle over Reparations for Surviving
Victims of the Nazi Terror, Baltimore dan London: Johns Hopkins University Press, 1998.
12
Tentang perluasan kompensasi Jerman bagi orang-orang Yahudi di Timur yang menjadi korban
penindasan Nazi, lihat David Binder, “Jews of Nazi Era Get Claims Details”, New York Times, 22
Desember 1992, rubrik internasional.
13
Ameur Zemmali, “Reparations for Victims of Violations of International Humanitarian Law”, dalam
Seminar on the Right to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of
Human Rights Fundamental Freedoms, Maastricht: Netherlands Institute of Human Rights, 1992, 61-75.
6
Bagaimana kita memahami skema reparasi Jerman? Wiedergutmachung, istilah
yang digunakan Jerman untuk reparasi tersebut, secara harfiah berarti “membuat jadi baik
kembali”, atau mengembalikan ke kondisi semula.14 Dengan kegagalan denazifikasi,
reparasi mendapatkan dukungan politis di Jerman sebagai cara untuk mendapatkan
kembali kredibilitas dalam pandangan komunitas internasional. Sebaliknya, sebagai
penolakan terhadap anggapan bahwa reparasi dapat membuat sesuatu menjadi “baik
kembali”, kelompok-kelompok korban menyebut reparasi tersebut dengan istilah Ibrani
Shilumim,15 yang berarti “melakukan pertobatan, membawa damai”. Bagi para korban,
reparasi adalah masalah kebutuhan ekonomi, sehingga bagi mereka, titik awal negosiasi
adalah biaya penempatan ulang para pengungsi. Bagi para pelaku dan korban, reparasi
adalah persoalan penyelesaian masalah, namun dari cara yang berbeda bagi masingmasing. Namun, meskipun terdapat pemahaman yang amat berbeda tentang sifat dan
tujuan skema reparasi, negosiasi konsep-konsep yang berbeda ini mencapai kesepakatan
politik.
Skema reparasi Jerman ini menjadi paradigma konsep reparasi transisional yang
kompleks. Praktik reparatoris transisional dijustifikasi unsur-unsur pandangan ke
belakang dan ke depan, moral, ekonomi dan politik. Mungkin tidak mengherankan bahwa
reparasi pasca-perang dan reparasi yang merupakan hasil kesepakatan transisional,
negosiasi politik dan kompromi, digunakan untuk mencapai tujuan yang berbeda dan
bahkan tampak bertentangan. Proyek reparatoris pasca-perang menunjukkan bahwa
skema reparatoris transisional memilik tujuan ganda: memajukan kepentingan individual
dan kolektif, korban dan masyarakat. Seperti akan kita lihat ketika meneliti berbagai
praktik serupa dalam masa transformasi politik, fungsi ganda ini menunjukkan kekhasan
skema reparatoris transisional.
Perang Kotor, Penghilangan dan Rekonsiliasi: Peran Reparasi
Penghilangan dan pembunuhan terhadap seorang pemuda bernama Velásquez-Rodríguez
di Honduras pada dekade 1980-an menimbulkan reaksi berantai di seluruh Amerika
Latin, mendorong timbulnya kebijakan reparatoris di seluruh wilayah tersebut. Ketika
Honduras bahkan tidak melakukan penyelidikan terhadap penghilangan tersebut, tampak
jelas bahwa peristiwa tersebut disponsori oleh negara, sehingga negara tersebut diajukan
ke muka Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika. Dalam sejumlah keputusan,
pengadilan tersebut menyatakan bahwa Honduras telah melanggar Konvensi Hak Asasi
Manusia Amerika dan bahwa negara “wajib mencegah, menyelidiki dan menghukum”
pelanggaran hak-hak yang dijamin dalam konvensi tersebut.16 Pengadilan juga
14
Lihat umumnya Sagi, German Reparations.
Shilumim berasal dari tradisi profetik. Untuk pembicaraan tentang kedua konsep ini dan artinya dalam
konteks kesepakatan reparasi, lihat Axel Frohn (ed.), Holocaust and Shilumim: The Policy of
Wiedergutmachung in the Early 1950s, Washington, D.C: German Historical Institute, 1991, 1-5.
16
Velásquez-Rodrígues, Inter-Am. Ct. H.R., Ser.C,No. 4 (1988); Godinez Judgment, Inter-Am. Ct. H.R.,
Ser.C,No. 5 (1989); Fairen Garbi and Solis Corrales Judgment, Inter-Am. Ct. H.R., Ser.C, No. 6 (1989).
Kewajiban negara untuk “mencegah, menyelidiki dan menghukum” pelanggaran dimuat dalam Velásquez
Judgment pada paragraf 166. Untuk tinjauan lengkap tentang kasus-kasus ini yang ditulis oleh dua
pengacara dalam proses litigasi ini, lihat Juan E. Mendez dan José Miguel Vivanco, “Disappearances and
the Inter-American Court: Reflections on a Litigation Experience”, Hamline Law Review 13 (1990): 507.
15
7
memutuskan bahwa bila hak-hak tersebut dilanggar, negara wajib menjamin kompensasi
bagi korban. Kasus Velásquez-Rodríguez menunjukkan bahwa kelalaian untuk mencapai
keadilan melalui proses pidana bukanlah hal yang boleh dilakukan negara. Namun,
kelalaian untuk melaksanakan norma-norma ini dianggap menimbulkan hilangnya hakhak perlindungan bagi korban (warga negara), sehingga menimbulkan kewajiban untuk
memberikan reparasi menurut hukum internasional.
Hak-hak yang diakui dalam kasus Velásques-Rodrígues secara jelas bersifat
transisional – mereka melampaui sekaligus menjembatani rezim. Meskipun hak ini pada
mulanya berkaitan dengan kewajiban untuk memberikan perlindungan yang setara
menurut hukum, begitu kewajiban ini dilanggar, timbul kewajiban “kuratif” bagi rezim
penerus, seperti menyelidiki dan memberikan kompensasi. Kasus Velásquez-Rodríguez
menunjukkan bahwa bila kewajiban untuk menyelidiki dan memberikan kompensasi ini
tidak dipenuhi, pelanggaran ini tetap berlanjut dan rezim penerus harus memikul
tanggung jawab. Sementara kewajiban pertama, yaitu untuk melindungi, bersifat
prospektif dan memandang ke depan, kewajiban-kewajiban lainnya untuk menyelidiki
dan memberikan kompensasi bersifat retrospektif dan melihat ke belakang; jadi mereka
berkelanjutan, terbuka dan menjadi tanggung jawab rezim-rezim penerus hingga
dipenuhi.17 Kewajiban-kewajiban yang diakui dalam kasus tersebut memediasi rezim
pendahulu dan penerus, memperluas arti perlindungan hak asasi manusia dalam transisi.
Kasus Velásquez-Rodrígues menetapkan standar kewajiban reparasi yang tinggi.
Menyatakan penghilangan sebagai “pembunuhan secara melanggar hukum sebagai akibat
tindakan serius yang merupakan tanggung jawab Honduras”, Pengadilan Inter-Amerika
menyatakan bahwa negara wajib memberikan kompensasi “moral” dan “material” bagi
mereka yang ditinggalkan berkaitan dengan kerugian akibat penghilangan tersebut.18
Lebih lanjut lagi, skema reparasi yang ekspansif dalam kasus Velásquez-Rodrígues
belum memiliki preseden dalam budaya hukum Amerika Latin, yang tidak memiliki
tradisi pemberian ganti rugi terhadap kerugian akibat pelanggaran oleh pihak negara.19
Kasus Velásquez-Rodrígues memberikan perspektif baru dalam memandang sifat
keadilan transisional, dengan reparasi yang menyorot kedekatan antara respon pidana dan
perdata. Penggunaan tindakan reparatoris dalam peradilan pidana terlihat bila dalam
prinsipnya, kelalaian untuk mengadili pelanggaran berat oleh negara dianggap
mempengaruhi hak-hak korban dan kewajiban-kewajiban terkait dari negara, yang
kemudian ditegaskan dalam keputusan-keputusan yang menyatakan bahwa undangundang amnesti melanggar hak para korban menurut hukum hak asasi manusia regional.20
Di seluruh Amerika Latin, kasus Velásquez-Rodrígues memiliki arti bahwa bila peradilan
17
Honduras akhirnya menjalankan kewajibannya untuk memberikan reparasi. Menurut Steve Hernandez
dari Americas Watch (wawancara dengan pengarang, Washington, D.C., 23 Juli 1997), kompensasi
sejumlah $ 300.000 diberikan dalam kasus Velásquez-Rodrígues, dan $ 250.000 dalam Godinez.
18
Velásquez-Rodrígues Judgment, Inter-Am.. Ct. H.R., Ser.C, No. 4 (1988); 46 (lihat hlm. 39 tentang
kewajiban untuk memberikan kompensasi moral dan material).
19
J. Irizarry dan Puente, “The Responsibility of the State as ‘Juristic Person’ in Latin America”, Tulane
Law Review 18 (1944): 408, 436 (membedakan kerugian “moral” dan “material”). Lihat juga H. Street,
Governmental Liability: A Comparative Study, Cambridge: Cambridge University Press, 1953, 62-63;
Linda L. Schlueter dan Kenneth R. Redden, Punitive Damages, edisi ketiga, Charlottesville, Va: Michie
Butterworth, 1990 (menganalisis berbagai penerapan dalam tradisi hukum perdata).
20
Decision on Full Stop and Due Obedience Laws, Inter-Am. C.H.R, Report No. 28/92 (Argentina, 1992);
Decision on the Ley de Caducidad, Inter-Am. C.H.R, Report No. 29/92, Uruguay, 2 Oktober 1992).
8
pidana gagal, respon-respon lain bisa digunakan, yaitu bahwa ada kewajiban hukum
lainnya bagi para korban, berupa reparasi.
Norma-norma baru yang diciptakan oleh kasus Velásquez-Rodrígues
menimbulkan banyak pertanyaan. Kewajiban macam apa yang ditekankan di sini, atau
apa kaitan antara kewajiban negara untuk melindungi warganya secara setara dan
kewajibannya untuk “mengembalikan” hak-hak tersebut? Muncul pula pertanyaan lain:
sejauh mana hak asasi manusia yang diakui dalam kasus Velásquez-Rodrígues
merupakan”hak” dalam arti tradisional? Siapa yang memiliki hak tersebut? Dalam
pandangan ini, siapa yang dirugikan apabila hak perlindungan setara dilanggar, apakah
hanya para korban? Para kerabat yang ditinggalkan? Dan sejauh mana terdapat dampak
yang lebih luas bagi masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan ini timbul sebagai bagian dari
konsekuensi lebih luas kebijakan impunitas, dengan pemberian amnesti terhadap
pelanggaran-pelanggaran oleh rezim lama di wilayah itu.
Dengan banyaknya kebijakan amnesti di negara-negara Amerika Latin, pesan
yang disuarakan oleh kasus Velásquez-Rodrígues masih selalu relevan. Setelah
penderitaan akibat pemerintahan militer yang represif, penyiksaan, eksekusi dan
penghilangan, pertanyaan pentingnya adalah apakah rezim pengganti dapat
“melenyapkan” masa lalu mereka? Dengan melihat konteks perpolitikan masa lalu di
wilayah ini, kebijakan macam ini amat aneh. Ketika Cili kembali ke pemerintahan
demokratis, rentannya perimbangan kekuasaan menjadikan penghukuman bagi militer
sukar dilakukan, dan rezim penerus pimpinan Aylwin menggunakan bentuk keadilan
yang lain. Seperti dalam kasus Velásquez-Rodrígues, negara menjanjikan penyelidikan
resmi terhadap penindasan oleh militer, dan tindakan-tindakan reparatoris.21 Skema
remedial Cili ini membantu menjelaskan lebih lanjut kaitan antara pemahaman
transisional tentang keadilan pidana dan reparatoris. Ketika Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi melaporkan bahwa selama berkuasanya militer terjadi ribuan penghilangan
paksa dan eksekusi ekstrajudisial, Presiden Cili, dalam presentasi laporan komisi di
hadapan masyarakat, menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan oleh
pemerintah dan menyatakan bahwa reparasi merupakan “tindakan yang menggambarkan
pengakuan dan tanggung jawab pemerintah untuk menyikapi peristiwa-peristiwa yang
dibicarakan dalam laporan tersebut.”22 Dalam memikul tanggung jawab untuk
memberikan reparasi, rezim penerus memikul tanggung jawab untuk pelanggaran yang
dilakukan rezim pendahulunya. Meskipun pada awalnya terdapat tentangan terhadap
pemberian ganti rugi dan tidak ada budaya hukum dengan tradisi pemberian ganti rugi
untuk pelanggaran oleh pemerintah, skema remedial demikian menjadi skema yang lazim
di benua tersebut. Setelah Cili, Argentina mengambil kebijakan reparasi yang bahkan
lebih luas, tidak hanya memberikan kompensasi bagi mereka yang dihilangkan, namun
juga bagi korban penahanan secara tidak sah selama pemerintahan junta.23 Dalam
21
Laporan penyelidikan ini berjudul Informe de la Comicíon Nacional de Verdad y Reconciliacion
(Laporan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili), kedua jilid, terjemahan Phillip E. Berryman,
Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1993 (kemudian Laporan Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili).
22
Pidato Presiden Patricio Aylwin kepada rakyat Cili, 5 Maret 1991, ditranskrip oleh British Broadcasting
Corporation, 6 Maret 1991. Undang-Undang No. 19.123 (Cili, 8 Februari 1992) memberikan kepada para
ahli waris korban tunjangan seumur hidup, sejumlah uang serta tunjangan kesehatan dan pendidikan.
23
Indemnification Law, No. 24.043 (Argentina, 1991).
9
preseden terkait dalam Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika, Uruguay juga
diperintahkan untuk memberikan reparasi.24
Preseden transisional menciptakan definisi baru tentang kewajiban negara
terhadap warganya. Seperti konstitusi transisional dan sanksi pidana yang menggariskan
perubahan dalam kedaulatan negara, tindakan reparatoris dapat pula melakukan hal
tersebut. Reparasi transisional ditujukan untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan
terhadap korban, namun mereka memiliki nilai tambah di lingkup publik. Bila reparasi
menjadi bagian kebijakan suksesor publik yang formal, mereka bisa secara kritis
merespon kebijakan rezim pendahulu dengan memperbaiki pelanggaran terhadap
perlindungan yang setara oleh hukum. Para korban penindasan oleh militer telah dituduh
melakukan subversi dan dibunuh sebagai musuh negara. Mereka diculik, disiksa, dibunuh
dan dihilangkan; anak-anak mereka disandera, hak milik mereka disita. Maka, Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili menyarankan suatu reparasi “moral”, “untuk secara
terbuka membersihkan nama baik mereka yang telah meninggal dari stigma tuduhan
palsu sebagai musuh negara”.25 Sesuai dengan mandat ini, hanya beberapa hari setelah
menjabat sebagai presiden, Patricio Aylwin mengadakan acara peringatan terbuka
bersama rakyat Cili di stadion utama, yang pada masa pemerintahan militer dipergunakan
sebagai tempat penyekapan para tahanan politik. Sementara presiden, dalam pidatonya
itu, mengumumkan nama-nama mereka yang dihilangkan yang disiarkan secara langsung
ke seluruh negeri, nama-nama tersebut dimuculkan pula di papan elektronik di stadion
tersebut, sebagai bentuk penyesalan dan permintaan maaf kepada para korban kesalahan
pemerintahan represif sebelumnya itu.
Seperti juga di masa kuno, “reparasi moral” Amerika Latin ditujukan untuk
meluruskan pandangan komunitas dan mengembalikan harga diri. Reparasi moral ini
bersifat kompensatoris, bukan punitif.26 Reparasi moral ditujukan untuk menghilangkan
rasa malu dan rendah diri yang dialami para korban dan mengembalikan reputasi dan
status mereka di mata publik. Pada pemahaman common law yang biasa tentang
penghinaan, bila korban telah meninggal, tanggung jawab terhadap penghinaan ini
hilang, namun tidak demikian dalam kasus penghilangan. Reparasi moral melampaui para
korban dan kerabatnya saja, dan memasuki ruang publik secara keseluruhan.
Pengembalian nama baik ini menunjukkan bahwa reputasi memiliki peranan yang lebih
penting daripada di masa biasa; ia melayani kepentingan masyarakat dalam transisi
politik. Dalam kasus penghinaan politik dan penindasan, yang terpengaruh bukan saja
reputasi pribadi para korbannya. Dengan merehabilitasi mereka yang dihilangkan, negara
juga secara terbuka mengakui tanggung jawabnya terhadap kesalahan tersebut. Terlebih
lagi, dengan memikul tanggung jawab, rezim penerus ini menunjukkan bahwa kesalahan
ini adalah kesalahan negara; bahkan, pemikulan tanggung jawab oleh negara dapat
mengurangi kerugian moral.27 Tindakan-tindakan perbaikan ini secara jelas ditujukan
untuk memungkinkan rekonsiliasi masyarakat, untuk membawa perdamaian bagi
24
Lihat Decision on the Ley de Caducidad (dikutip dalam catatan kaki 20 di atas).
Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili, 838-40.
26
Istilah “Kompensasi yang sepantasnya” dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika, Pasal 61 (1),
ditafsirkan oleh Pengadilan Inter-Amerika sebagai kompensasi terhadap kerugian. Lihat PBB, Study
Concerning the Right to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violetions of
Human Rights and Fundamental Freedoms (dikutip dalam catatan kaki 1 di atas), 38.
27
Lihat Kasus El Amparo (Reparations), Inter-Am. Ct. H.R. (Ser.C) ¶ 34 (14 September 1996), dicetak
ulang dalam laporan Tahunan 1996.
25
10
masyarakat-masyarakat yang terpecah oleh garis politik di Amerika Latin. Praktik
reparatoris transisional memiliki peran ganda: memandang ke belakang dalam
memperbaiki kesalahan negara yang telah dilakukan, sekaligus memandang ke depan
dalam memajukan tujuan perdamaian dan rekonsiliasi dalam transisi.
Reparasi di Amerika Latin menunjukkan kompleksnya peran kebijakan
reparatoris dalam masa transisi. Reparasi transisional memiliki tujuan berganda. Bila
reparasi dilakukan sebagai alternatif eksplisit terhadap penghukuman, mereka
menunjukkan cara-cara alternatif untuk pembersihan nama baik dan rehabilitasi seperti
diajukan oleh sanksi pidana. Tindakan reparatoris transisional memikul beban tanggung
jawab terhadap pelanggaran di masa lalu secara terbuka. Bahkan, pergeseran tekanan dari
kerugian yang diderita para korban ke pelanggaran yang dilakukan oleh negara terlihat
jelas dalam reparasi moral. Seperti dalam peradilan pidana, dengan memikul tanggung
jawab secara terbuka, pelanggaran dapat diidentifikasi, dan juga pelakunya. Selain
memberikan sanksi bagi para pelanggar, reparasi juga membersihkan para korban.28
Melalui respon hukum formal yang mengakui status yuridis mereka yang dihilangkan,
keadilan reparatoris merekonstruksi batas-batas komunitas politik.
Karena nilai guna mereka, praktik reparatoris menjadi respon yang paling penting
dalam gelombang transformasi politik kontemporer. “Kebenaran dan reparasi”, suatu
respon yang menggabungkan reparasi dengan penyelidikan sejarah yang dibicarakan
dengan mendalam dalam bab terdahulu, telah menjadi cara utama untuk menyelesaikan
konflik yang telah mengakar di seluruh Amerika Latin dan wilayah-wilayah lainnya.
Perang saudara yang berkepanjangan di El Salvador dapat diselesaikan dengan janji
pembentukan komisi penyelidikan dan tindakan reparatoris.29 Formula serupa
mendatangkan perdamaian di Guatemala.30 Di Afrika Selatan, amnesti menjadi bagian
kesepakatan perdamaian untuk ditukar dengan “kebenaran dan rekonsiliasi”. Konstitusi
1993 negara tersebut, yang bejudul “Persatuan Nasional dan Rekonsiliasi”, menyatakan:
“Untuk memajukan rekonsiliasi dan rekonstruksi, amnesti akan diberikan terhadap
tindakan, kelalaian dan pelanggaran berkaitan tujuan politik dan dilakukan dalam
kerangka konflik di masa lalu”.31 Seperti diinterpretasikan oleh Pengadilan
Konstitusional negara itu, amnesti ini diberikan dengan syarat klarifikasi terhadap
kejahatan politik di masa lalu beserta reparasinya;32 maka di Afrika Selatan, kedua hal ini
jelas berkaitan. Meskipun terdapat perundang-undangan tersebut, amnesti di Afrika
Selatan diberikan secara bersyarat, dan dengan demikian memerlukan pertimbangan
terlebih dahulu dalam bentuk penyelidikan terhadap pelanggaran di masa lalu. Janji
reparasi ini menjadi insentif bagi para korban untuk bersaksi dalam proses terbuka di
negeri itu; dan tindakan reparatoris dijadikan bagian dari saran-saran dalam Laporan
28
Untuk perdebatan ilmiah terkait tentang peran harga diri dalam perdebatan penghukuman/impunitas, lihat
Jaime Malamud Goti, “Transitional Governments in the Breach: Why Punish State Criminals?” Human
Rights Quarterly 12, No. 1 (1990): 1-16.
29
Lihat PBB, El Salvador Agreements: The Path to Peace, Report of the Commission on Trith for El
Salvador, DPI/1208 (1992).
30
Lihat “Guatemalan Foes Agree to Set up Rights Panel”, New York Times, 24 Juni 1994, rubrik
internasional.
31
Konstitusi Afrika Selatan, bagian penutup.
32
Lihat Azanian Peoples Organization (AZAPO) and Others v. President of the Republic of South Africa
and Others, 1996 (4) SA LR 671 (CC).
11
Komisi Kebenaran Afrika Selatan. Dalam semua transisi yang dibahas di atas, sanksi
pidana tidak diberikan dan diganti dengan bentuk keadilan reparatoris.
Penggunaan tindakan reparatoris transisional, seperti dibicarakan di atas, oleh
rezim penerus sebagai ganti penghukuman menantang intuisi kita tentang apa yang
membedakan sanksi pidana dan perdata. Pertentangan pidana-perdata yang umum
diterima ternyata tidak berlaku dalam praktik transisional. Praktik reparatoris transisional
menyikapi pelanggaran hak-hak individual, sekaligus menentukan tanggung jawab untuk
tindak pidana di masa lalu, sehingga gabungan tujuan ini sukar diklasifikasikan sebagai
keadilan pidana atau korektif. Praktik reparatoris transisional yang dibicarakan di atas
memungkinkan pengetahuan dan pengutukan publik terhadap pelanggaran dengan cara
serupa dengan sanksi pidana. Dalam common law, sifat kesalahan dianggap terikat
dengan sifat kerugian, maka publik dan privat bersesuaian dengan pidana dan perdata.
Seperti ditulis William Blackstone, “[P]elanggaran perdata merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sipil yang dimiliki individu, yang dianggap semata-mata sebagai
individu, sementara pelanggaran publik, atau kejahatan dan tindak pidana, merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak dan kewajiban publik, yang berkaitan dengan seluruh
masyarakat.”33 Meskipun hal ini dalam common law merupakan perbedaan utama antara
pidana dan perdata; dalam negara modern, cara berpikir kita tentang perbedaan peradilan
pidana dan korektif telah mengalami perubahan. Hal ini terlihat dengan jelas dalam
transisi.
Praktik reparatoris transisional menantang pemahaman bahwa ciri utama
peradilan pidana (yang membedakannya dari peradilan perdata) adalah dominasi peran
negara, karena skema reparatoris ini memiliki arti bahwa negara terlibat secara
mendalam.34 Pemahaman ini juga ditantang oleh berbagai inisiatif privat dalam peradilan
pidana transisional. Dalam masa transisi politik, pihak privat, seperti para korban atau
perwakilannya, sering kali mendorong proses penuntutan. Inisiatif privat ini tampak jelas
dalam sejarah: hampir semua usaha pengadilan penjahat Perang Dunia Kedua sejak masa
pasca-perang berasal dari inisiatif privat.35 Contoh penting dalam hal ini adalah Prancis.
Dalam hukum pidana kontinental, inisiatif dalam peradilan pidana sering kali dimulai
oleh pihak privat, biasanya para korban, seperti dalam proses perdata.36 Keterlibatan
privat para korban dalam peradilan pidana juga mulai dipertimbangkan dalam
jurisprudensi sistem Inter-Amerika, di mana Komisi Inter-Amerika telah mengakui
bahwa bila undang-undang amnesti disahkan, hak proses peradilan para korban
terpengaruh, sehingga ada kemungkinan gangguan terhadap proses penyelidikan dan
retributif. “Para kerabat atau korban pelanggaran hak asasi manusia memiliki hak untuk
proses hukum, untuk penyelidikan yudisial yang mendalam dan tidak memihak untuk
33
William Blackstone, “Of Public Wrongs”, dalam Commentaries on the Laws of England, jilid 4, Oxford:
Clarendon Press, 1765, 1765, 5-6.
34
Jeffrie G. Murphy dan Jules L. Coleman, Philosophy of Law: An Introduction to Jurisprudence, Boulder:
Westview Press, 1990, 114-17, 145, 157-60.
35
Lihat misalnya, Fédération Nationale de Déportés et Internés Résistants et Patriotes vs. Barbie, 78 ILR
125 (Fr. cass. Crim, 1985.
36
Marry Ann Glendon, M.W. Gordon dan Christopher Osakwe, Comparative Legal Traditions: Text,
Materials and Cases on the Civil and Common Law Traditions, with Special Reference to French, German,
English and European Law, St. Paul: West Publishing, 1994, 95-96.
12
menentukan fakta-fakta”.37 Jaminan terhadap perlindungan setara ini berlaku bagi seluruh
masyarakat dan dapat dituntut oleh para korban sebagai jaminan mendasar kedaulatan
hukum.
Kita keluar dari dilema dari respon rezim yang sedang melakukan liberalisasi
terhadap pelanggaran negara di masa lalu. Timbullah bentuk-bentuk keadilan gabungan
(hibrida) yang menggabungkan peran negara dalam memberikan sanksi bagi pelanggaran
publik, sekaligus memberikan ganti rugi individual. Karena, pelanggaran di masa lalu ini
bukanlah semata-mata hubungan antara korban dan pelaku, namun melibatkan kebijakan
negara dalam suatu komunitas. Praktik reparatoris transisional memungkinkan pengakuan
terhadap pelanggaran hak individual dan kerugian yang ditimbulkannya, juga
pelanggaran oleh pemerintah secara publik. Kedekatan antara peradilan pidana dan
korektif ini terlihat dalam kedua bentuk respon legal dalam paradigma jurisprudensi
transisional. Seperti sebelumnya dibicarakan dalam bab 2, bahkan sanksi pidana secara
terbatas memajukan tujuan pengutukan kejahatan, pembersihan para korban dan sistem
hukum. Terdapat kedekatan antara pemikiran-pemikiran keadilan punitif dan reparatoris
dalam masa perubahan radikal. Fungsi terpenting dari hukum adalah untuk mendorong
transisi pada masa-masa tersebut. Hukum menjalankan fungsi tersebut bila ia mengakui
pelanggaran yang dilakukan oleh negara di masa lalu, mengembalikan kehormatan para
korban dan membersihkan sistem hukum.38
Reparasi dan Privatisasi setelah Komunisme
Hal yang menjadi ciri utama transisi dari komunisme adalah adanya berbagai perubahan
mendasar secara bersamaan: konstitusional, politik, sipil dan ekonomi. Dalam transisi
berganda inilah, sebagai bagian integral untuk membangun pasar bebas, skema
reparatoris di Eropa Tengah dan Timur diciptakan.39
Baik dalam pengembalian hak milik yang semula disita atau dengan kompensasi,
kaitan dengan privatisasi menunjukkan peran kompleks reparasi transisional pascakomunisme: untuk memperbaiki pelanggaran negara di masa lalu, terutama penyitaan
pada era Stalin, dan juga untuk memajukan kepentingan privatisasi kontemporer yang
berkaitan dengan transformasi ekonomi. Kedua tujuan ini sering kali dianggap
bertentangan, yang menunjukkan dilema yang spesifik bagi bekas blok Soviet dan
negara-negara yang mengalami perubahan pasar serupa. Kalau begitu, ganti rugi yang
bagaimana yang sesuai dengan kepentingan perubahan ekonomi, yaitu transisi ke pasar
bebas? Pada akhirnya, tindakan reparatoris yang diambil berusaha mendamaikan
kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam penyelesaian pragmatis tujuan politik dalam
transisi, reparasi pasca-komunis menantang pemahaman tradisional tentang keadilan
korektif dan distributif.
37
Decision on Full Stop and Due Obedience Laws, Report No. 28/92, hlm. 32. Lihat Decision on the Ley
de Caducudad (dikutip dalam catatan kaki 20 di atas), hlm. 35, 39.
38
Tujuan demikian dielaborasi dalam teori penghukuman Kantian. Lihat Immanuel Kant, The Metaphysical
Elements of Justice: Part 1 of the Metaphisics of Morals, terjemahan J.I. Ladd, Indianapolis: Bobb-Merrill,
1965.
39
Untuk analisis ilmiah tentang berbagai skema, lihat umumnya “A Forum on Restitution”, East European
Constitutional Review 2 (1993): 30.
13
Pada awal tahun 1991, kurang dari dua tahun sejak revolusi 1989, perdebatan di
Republik Ceko tentang apa yang harus dilakukan dengan kejahatan-kejahatan politik
masa komunis berakhir dengan Undang-Undang Rehabilitasi Ekstrayudisial.40 Ditujukan
untuk memberikan restitusi bagi para korban penindasan politik era komunis, undangundang ini menyatakan bahwa properti apa pun yang didapatkan secara paksa haruslah
dikembalikan. Dalam perdebatan parlementer tentang undang-undang ini, tampak jelas
tujuan berganda restitusi ini: banyak dari pendorong undang-undang ini mendukungnya
atas dasar ekonomi. Karena di bekas Cekoslowakia negara praktis memonopoli alat-alat
produksi, pengembalian properti yang disita dijustifikasi sebagai “restitusi natural”,
sebagai cara yang efisien untuk melakukan privatisasi, karena ia dapat memfasilitasi
pemindahan properti negara ke kepemilikan swasta. Sebaliknya, para penentang undangundang ini menyatakan bahwa ini adalah tindakan yang secara mendasar memandang ke
belakang, yang mengurangi kemungkinan kaitan kepemilikan yang lebih bebas. Kedua
pihak ini benar: konstruksi hak milik yang pertama memajukan sasaran masa kini untuk
menciptakan pasar swasta, dan undang-undang ini mengkonstruksi pemahaman hak milik
swasta. Setelah diambilnya langkah-langkah pertama dalam transisi politik negara dapat
memulai proyek restitusinya yang berskala besar ini.
Bahwa reparasi dalam transisi pasca-komunis memiliki kepentingan politis
dinyatakan secara jelas dalam Undang-Undang Kompensasi Hungaria. Pendahuluan
undang-undang ini menyatakan bahwa ia memiliki tujuan “ganda” untuk “menciptakan
keamanan berusaha dalam kondisi ekonomi pasar dan untuk mengurangi kerugian yang
disebabkan oleh negara”. Justifikasi “hak milik baru” ini didasarkan pada perlindungan
klaim hak milik di masa lalu:
Negara yang mengakui dan melindungi hak milik pribadi memiliki kewajiban moral untuk
mengambil tindakan dan memberikan ganti rugi finansial bagi mereka yang hak miliknya
dirugikan. Untuk kepentingan mengembangkan kaitan kepemilikan yang lebih sehat dalam
ekonomi pasar modern, negara berkehendak untuk mengembalikan kerugian hak milik
pribadi yang dialami ... dengan memberikan ganti rugi parsial kepada bekas pemilik.41
Seperti dijelaskan dalam pendahuluan undang-undang ini, anggapan tentang
keberadaan hak milik “di masa lalu” ini merupakan fiksi yudisial untuk menjustifikasi
dan memajukan konstruksi hak milik secara sesegera mungkin. Dan, sementara
pengakuan terhadap hak milik demikian bersifat ex post, kostruksi ini dilakukan untuk
kepentingan ekonomi yang memandang ke depan. Ketika Pengadilan Konstitusional
negara ini menegaskan kostitusionalitas skema kompensasi ini, skema tersebut dikatakan
sebagai “novation”, yang berarti bahwa “hak-hak” (dan pelanggarannya di masa lalu)
digunakan untuk menjustifikasi hak milik di masa kini. Konflik antara kepentingan
restitusi dan privatisasi, jika ada, dapat diselesaikan dengan tidak menetapkannya secara
absolut “semua” atau “tidak sama sekali”, yaitu dilema tentang restitusi sepenuhnya
terhadap properti yang disita. Keputusannya adalah berkompromi dengan apa yang
disebut “ganti rugi parsial”.
Mengaitkan sasaran reparatoris dengan kepentingan ekonomi dilakukan oleh
masing-masing negara di wilayah ini. Bahkan, perimbangan kepentingan selalu berubah
40
Law on Extrajudicial Rehabilitation (“Large Restitution Law”) (Republik Federal Czek dan Slowakia,
1991), dicetak ulang dalam Central and Eastern European Legal Texts (Maret 1991).
41
Compensation Laws, No. 25 (Hungaria, 1991).
14
dalam transisi. Maka, dalam Traktat Unifikasi, kedua Jerman menyepakati restitusi luas:
menurut prinsip “restitusi mendahului kompensasi” dalam traktat itu, bila ada properti
yang disita, selain pada masa pendudukan Soviet, ia akan dikembalikan kepada mantan
pemilik atau ahli warisnya.42Setelah proyek ini dimulai, prinsip restitusi luas ini
mendapatkan tentangan karena menghambat privatisasi, sehingga klaim restitusi diubah
menjadi kompensasi. Ketika skema kompensasi ini ditentang berdasarkan perlindungan
konstitusi Jerman terhadap penyitaan hak milik, konstitusionalitas skema ini tetap
dianggap berlaku. Menurut pengadilan, larangan terhadap penyitaan dalam konstitusi,
sebagai respon terhadap penyitaan pada masa komunis, tidak mensyaratkan
pengembalian properti tersebut kepada pemilik semula, atau memberikan kompensasi apa
pun.43 Mirip dengan itu, ketika undang-undang kompensasi parsial di Hungaria ditentang,
Pengadilan Konstitusional menegaskan keabsahannya, yang menyatakan bahwa restitusi
bukanlah “hak”, sehingga parlemen harus menunjukkan bahwa perlakuan khusus tersebut
benar-benar merupakan kepentingan publik.44
Dengan cara ini, rezim yang menggantikan pemerintahan komunis satu partai
dapat menggabungkan berbagai tujuan dan program restitusi mereka. Prinsip yang
memandu hal ini adalah harmoni, sehingga reparasi untuk pelanggaran di masa lalu
dijustifikasi atas dasar yuridis, sebagai hak menurut hukum yang sesuai dengan tujuan
transisi ekonomi.45
Masalah privatisasi melalui reprivatisasi yang muncul di Jerman dan Republik
Ceko mungkin bisa membuat negara-negara lain enggan melakukan restitusi berskala
besar.46 Maka, meskipun Polandia memperdebatkan restitusi terhadap klaim atas properti
milik mereka yang hartanya disita pada masa komunis, begitu masa komunisme berakhir,
tidak pernah tercipta konsensus tentang kebijakan restitusi. Rancangan Undang-Undang
Reprivatisasi negara itu, bila berlaku, akan menyelesaikan konflik antara keadilan
reparatoris dan kebijakan privatisasi, dengan memberikan kompensasi secukupnya
42
Republik Federal Jerman dan Republik Demokratik Jerman, “Agreement with Respect to the Unification
of Germany”, 31 Agustus 1990, BGBI.II, diterjemahkan dan dicetak ulang dalam International Legal
Materials 30 (1991): 457 (kemudian “Traktat Unifikasi Jerman”). Prinsip “restitusi mendahului
kompensasi” ini ditemukan dalam Pasal 41 traktat ini. Detail-detail skema ini ditemukan dalam lampiran II
traktat ini, sebagai bagian Kesepakatan Bersama 15 juni 1990, sebelum dimuat dalam traktat.
43
Land Reform Decision, Combined Nos. I BvR 1170/90, 1175/90, Neue Juristiche Wochenschrift 1959
(Pengadilan Konstitusional Jerman, 1991). Lihat juga Keith Highet, George Kahale III dan Charles E.
Stewart, “Former German Democratic Republik – Soviet Occupation Expropriations – Constitutionality of
German Unification Agreement Clause Providing that Cash Compensation is Sole Remedy ‘Land Reform’
Decision”, American Journal of International Law 85 (1991): 690.
44
Judgment of July 3, 1991, No. 28/1991 (IV.3) AB, Magyar Kozlony No. 59/1991 (Hungaria,
Alkotmánybíriság [Pengadilan Konstitusional] (terjemahan tidak resmi dalam arsip Michigan Journal of
International Law). Keputusan ini juga dirujuk dalam literatur sebagai “kasus kompensasi III”, Untuk
analisis undang-undang kompensasi dan ketiga keputusan Pengadilan Konstitusional yang
memodifikasinya, lihat Ethan Klingsberg, “Safeguarding the Transition”, East European Costitutional
Review 2, No. 2 (musim semi 1993): 44.
45
Untuk diskusi tentang beberapa pertimbangan moral tentang restitusi di wilayah ini, lihat Claus Offe,
Varieties of Transition – The East European and East Germany Experience, Cambridge: MIT Press, 1996.
46
Lihat Vojtech Cepl, “A Note on the Restitution of Property in Post-Communist Czechoslovakia”, Journal
of Communist Studies 7, No. 3 (1991): 368-75.
15
terhadap korban penyitaan, dari pendapatan perusahaan negara yang diprivatisasi.47 Hal
ini merupakan titik tengah antara tujuan reparatoris dan distributif.
Reparasi pasca-komunis menggambarkan paradigma konsep tradisional tentang
keadilan reparatoris. Ia bukanlah dasar yang ideal, namun mencerminkan berbagai
sasaran yang mewarnai masa pergolakan politik yang luar biasa. Praktik pada masa
transisi adalah berupa pemberian pembayaran yang dijustifikasi atas dasar untuk
memperbaiki kesalahan di masa lalu dan sekaligus memajukan sasaran ekonomi
transisional. Bersamaan dengan usaha negara untuk memperbaiki kesalahan rezim lama
yang melakukan perampasan, hak-hak di masa lalu digunakan untuk menjustifikasi
redistribusi hak milik di masa kini. Dengan cara ini, prinsip reparatoris dipakai untuk
melakukan transisi menuju ekonomi pasar. Kewajiban reparatoris ditanggung, dan klaim
hak diberikan, bila mereka bersesuaian dengan kepentingan politis lain dari transisi.
“Hak-hak” properti ex post facto dibentuk dan dijustifikasi selama mereka bersesuaian
dengan transformasi ekonomi. Dalam konsepsi yang kompleks ini, skema reparatoris
transisional memajukan secara bersamaan berbagai bentuk perubahan yang berbeda-beda.
Bila tindakan reparatoris transisional ditujukan untuk memajukan tatanan baru
ekonomi, skema-skema ini menciptakan satu kelas baru pemilik properti dengan
konsekuensinya terhadap transformasi politik. Jelas, modal yang terkumpul memberikan
andil besar dalam komunitas politik. Terlebih lagi, bila skema reparatoris menjadi syarat
untuk dukungan terhadap pemerintah atas dasar politik, mereka bisa mempengaruhi
rekonstruksi keanggotaan ekonomi dan politik. Kelompok kepentingan restitusi telah
mempengaruhi perkembangan partai politik di Republik Ceko, Hungaria dan Bulgaria.48
Bila kebijakan restitusi disyaratkan atas penindasan politik di masa lalu, kebijakan
tersebut menunjukkan kedekatan dengan respon transisional lainnya, seperti tindakan
administratif yang secara terbuka merekonstruksi batas-batas komunitas politik.
Dilema Keadilan Reparatoris Transisional dan Kedaulatan Hukum
Prinsip kedaulatan hukum manakah yang memandu keadilan reparatoris dalam masa
transisi? Proyek reparatoris dalam berbagai masyarakat dalam konteks gejolak politik
yang luar biasa memajukan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan perubahan politik
radikal, di luar tujuan-tujuan remedial yang lazim, seperti rekonsiliasi masyarakat dan
transformasi ekonomi. Keadilan reparatoris transisional memajukan sasaran politik yang
berada di luar prinsip keadilan korektif konvensional. Dalam skema-skema reparatoris
yang kompleks ini, prinsip apa yang menjustifikasi keadilan reparatoris transisional?
Pertanyaan tentang apa yang menjadi panduan ini timbul dalam perdebatan
tentang restitusi pasca-komunisme. Tantangan menghadapi reparasi di wilayah ini,
menurut Presiden Republik Ceko dan mantan oposan, Václav Havel, adalah “jika semua
47
Alberto M. Aronovitz dan Miroslaw Wyrzykowski, “The Polish Draft Law on Reprivatization: Some
Reflections on Domestic and International Law”, Swiss Review of International and European Law (1991):
223.
48
Untuk analisis perseptif tentang bagaimana kelompok kepentingan restitusi mempengaruhi
perkembangan partai transisional, lihat Jonathan Stein, “The Radical Czechs: Justice as Politics” (Makalah
dipresentasikan dalam Konferensi Keadilan dan Transisi di Venesi, oleh Foundation for a Civil Society,
November 1993).
16
orang menderita, mengapa hanya beberapa yang mendapat kompensasi?”49 Pada
umumnya, norma panduan yang utama adalah kerugian yang telah dialami. Kerugian
pada masa pemerintahan sebelumnya dipahami (sesuai dengan konteks wilayah tersebut)
secara universalis dan egaliter. Premis-premis ini ditarik dari nilai utama kedaulatan
hukum dalam masa komunisme. Jon Elster, memandang bahwa “isu utama ... adalah ...
perlakuan yang setara ... Amanat penting untuk mengingat bahwa pada dasarnya semua
menderita dalam masa komunisme .... Kompensasi sepenuhnya bagi beberapa korban saja
tidak bisa dibela sebagai suatu bentuk konkret dari ide tentang kompensasi universal”.50
Berawal dari klaim bahwa dalam masa totaliter sebelumnya semua orang
mengalami penderitaan, mereka yang menentang tidakan reparatoris pasca-komunisme
beralasan bahwa satu-satunya skema reparatoris yang adil adalah yang bersifat universal.
Karena jelas bahwa skema tersebut tidaklah mungkin disebabkan kurangnya sumber daya
yang tersedia, argumen universalitas ini malah menjadi dasar untuk menolak segala
bentuk pemberian kompensasi, yang sebenarnya paradoksal. Bagaimanapun, keadilan
reparatoris di bekas blok komunis amat dilemahkan karena tiadanya kompensasi secara
menyeluruh. Asumsi egaliter utama bahwa “semua orang menderita” dalam masa rezim
lama memliki dua klaim tentang reparasi berdasarkan pada kerugian yang dialami, klaim
universalitas dan kesetaraan. Bila reparasi universal ditempatkan sebagai idea, skema
reparatoris transisional menjadi terkutub: semua atau tidak sama sekali. Argumen egaliter
yang digunakan untuk menentang reparasi transisional menggemakan eksperimen sosialis
– yang telah gagal.
Namun, dalam sistem demokrasi yang mapan, melakukan tindakan perbaikan,
yang bahkan hanyalah sebagian, diterima sebagai bagian dari tindakan korektif.51
Kedaulatan hukum yang berlaku umum untuk kebijakan pemerintah ini adalah bahwa
mereka dijalankan langkah demi langkah.52 Nilai-nilai perlindungan yang setara
menunjukkan bahwa kasus serupa; suatu kebijakan korektif yang adil harus
mempertimbangkan klaim-klaim individual dan keseruapaan antaranya.
Tantangan terhadap skema reparatoris pasca-komunis ini juga terlihat dalam
masalah distribusi. Dari perspektif ini, kebijakan distributif yang adil harus
memperhatikan klaim-klaim dari anggota lain dalam masyarakat. Meskipun universalitas
bukanlah panduan utama terhadap keadilan korekatif secara konvensional, ia perlu
diperhatikan pada masa setelah komunisme.
Dengan menjadikan kerugian sebagai dasar keadilan reparatoris pada masa
transisional, skema-skema ini menjadi rentan karena memiliki dampak yang terbuka,
berpotensi untuk memasukkan segala bentuk ketidakadilan di masa lalu. Dengan potensi
klaim yang tidak terbatas ini, batasan yang mungkin ditentukan oleh ketersediaan sumber
daya. Namun, masalah ini bisa agak berkurang karena sejarah politik ekonomi terpimpin
di wilayah tersebut, karena properti yang dipermasalahkan berada di tangan negara:
49
Václav Havel, Open Letters: Selected Writings, 1965-1990, ed. Paul Wilson, New York: Random House,
Vintage Books, 1992.
50
Jon Elster, “On Doing What One Can: An Agreement against post-Communist Restitution and
Retribution”, East European Constitutional Review 1, No. 2 (musim panas 1992): 16 (tekanan
ditambahkan).
51
Untuk suatu rangkuman yang bagus, lihat John Chapman (ed.), Compensatory Justice: Nomos XXXIII,
New York: New York University Press, 1991.
52
Lihat Peter Schuck, “Mass Torts: An Institutional Evolutionist Perpective”, Cornell Law Review 80
(1995): 941.
17
negara terimplikasi sebagai pemilik properti atau sebagai pelaksana skema restitusi yang
memerlukan kerja sama dari pihak ketiga. Kedekatan antara skema korektif dan
distributif dalam kondisi transisional ini cukup menjelaskan dorongan untuk
menggunakan universalitas sebagai nilai kedaulatan hukum yang memandu transisi.
Kritik terhadap reparasi transisional dari teori ideal menentang skema-skema ini
karena tidak bersifat universal, dengan “kerugian” sebagai dasar pemberian reparasi.
Namun, sementara kerugian bisa dijadikan justifikasi reparasi transisional, prinsip-prinsip
lain yang memberikan batas-batas juga digunakan, yang mengalihkan fokus dari kerugian
ke hak. Reparasi dalam sistem liberal dijustifikasi dengan pengakuan dan perlindungan
terhadap hak individual. Di negara-negara liberal, inilah dasar untuk keadilan korektif.53
Fokus terhadap hak-hak individual sebagai ciri utama sistem hukum liberal ini terlihat
dalam dominasi keadilan korektif dalam sistem demokrasi yang sudah mapan. Maka,
skema-skema transisional, terutama setelah komunisme, ketika terjadi bersamaan dengan
transformasi politik dan ekonomi, melampaui pemahaman konvensional tentang keadilan
korektif dan distributif. Pemberian hak milik atas properti sebagai akibat pelanggaran di
masa lalu dikonstruksikan secara ex post dan secara bersamaan merujuk pada diri sendiri
dan menjustifikasi distribusi properti di masa kini. Pengakuan terhadap pelanggaran di
masa lalu meletakkan dasar untuk konstruksi kontemporer hak-hak properti yang baru.
Skema reparatoris memediasi tujuan-tujuan transisi yang memandang ke belakang dan ke
depan.
Reparasi Politik: Prioritas Transisional untuk Kesetaraan Politik
Di berbagai budaya hukum, praktik reparatoris sering kali dilakukan pada masa-masa
pergolakan politik. Reparasi disepakati sebagai respon legal yang paling populer pada
masa transisi, bahkan di negara-negara yang umumnya tidak menyukai remedi seperti itu.
Kompensasi adalah hal kontroversial di negara-negara yang tradisi hukumnya bukanlah
common law; sementara, dalam budaya hukum kontinental, pelanggaran berat terhadap
hak umumnya dianggap tidak bisa diperbaiki dengan pemberian ganti rugi moneter.54
Serupa dengan itu, karena alasan kebijakan yang dikaitkan dengan ekonomi terpimpin,
yang dibicarakan di bagian awal dalam bab ini, terdapat pula penolakan terhadap reparasi
setelah berakhirnya komunisme. Legalitas sosialis menempatkan nilai kecil atau tidak
sama sekali terhadap pengakuan hak-hak milik individual.55 Akibatnya, usaha untuk
memperbaiki perlakuan politik di masa rezim lama dengan memberikan kompensasi atau
restitusi atas dasar politik merupakan suatu hal yang menandakan perubahan sikap
dibandingkan masa lalu.
Pertanyaan utama tentang keadilan adalah: dari semua pelanggaran yang
dilakukan pada masa penindasan yang sudah berlaku, ketidaksetaraan manakah yang
memerlukan perbaikan? Perlakuan berbeda manakah yang menjustifikasi reparasi
53
Untuk perspektif liberal, lihat Randy E. Barnett, “Compensation and Rights in the Liberal Conception of
Justice”, dalam Nomis XXXIII: Compensatory Justice, ed. John Chapman, New York: New York
University Press, 1991, 311-29.
54
Lihat Schlueter dan Redden, Punitive Damages. Lihat juga B.S. Markesinis, A Comparative Introduction
to the Law of German Torts, New York: Oxford University Press, 1990.
55
Allen Buchanan, Marx and Justice: The Radical Critique of Liberalism, New York: Rowman and
Littlefield, 1984, 40-85.
18
suksesor? Kerugian saja, seperti dibicarakan di atas, tidak menjadi satu-satunya dasar
reparasi pada masa transisi. Karena setelah pemerintahan represif yang sistematis,
kerugian tidaklah terbatas dan bukan menjadi prinsip yang restriktif. Preseden reparatoris
tentang perlakuan yang berbeda pada masa pemerintahan represif di masa lalu
menunjukkan bahwa prinsip relevan tentang perbedaan perlakuan yang layak mendapat
kompensasi menentukan kerugian mana yang mendapat perbaikan, adalah prinsip
penindasan politik. Praktik transisional di atas menunjukkan bahwa perlakuan negara di
masa lalu yang layak mendapatkan kompensasi terutama berkaitan dengan diskriminasi
di masa lalu atas dasar politik; prinsip utama kerugian yang dapat dikompensasi pada
masa transisi berusaha untuk memperbaiki kesalahan penindasan politik di masa lalu.
Kompensasi sering kali dijustifikasi atas dasar hak yang diciptakan dalam hukum natural
atau internasional, sebagai sumber norma-norma yang berkelanjutan yang mengabaikan
perubahan politik.56 Dalam hukum internasional, dukungan terkuat adalah terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang paling berat, yaitu norma-norma “jus cogens”.57
Reparasi yang dijustifikasi atas dasar prinsip penindasan politik memediasi tujuan
transisi yang memandang ke belakang dan depan. Kebijakan reparatoris yang berdasar
pada prinsip perlindungan terhadap penindasan politik dijustifikasi atas dasar mandat
negara untuk memberikan perlindungan secara setara. Semua pemerintah wajib
melindungi semua warga-negaranya secara setara di muka hukum; pelanggaran
kewajiban ini adalah dasar untuk melakukan revolusi.58 Kesetaraan di muka hukum
sering kali menjadi nilai yang mendasari revolusi, namun setelahnya, ke mana perginya
hak untuk mendapat perlindungan yang setara ini? Bila perbaikan dilakukan dengan
memandang penindasan politik di masa lalu, ia menghidupkan kembali dasar revolusi dan
memajukan rekonstruksi hak-hak warga negara. Perhatian terhadap hak-hak kesetaraan
ini memiliki signifikansi yang melampaui individu-individu yang terpengaruh dan
menjangkau masyarakat secara keseluruhan. Bila rezim penerus memberikan reparasi
terhadap korban penindasan politik rezim lampau, tindakan demikian menegaskan bahwa
hak-hak warga negara akan dilindungi secara setara. Pengakuan hak-hak individual
menggariskan suatu garis baru yang memberikan keamanan individu dari negara, yang
merupakan tanda perubahan menuju liberalisasi. Tindakan reparatoris transisional
menarik garis yang memisahkan masa lalu dengan masa kini, dari penindasan politik, dan
dengan demikian, menjalankan tindakan dan ritual yang dikaitkan dengan sistem hukum
negara liberal.
Dilema Titik Awal
Usaha reparatoris suksesor biasanya diambil dengan prinsip penindasan politik, terhadap
hak-hak yang diakui secara retroaktif oleh rezim transisional. Dalam proses konstruktif
ini, pertanyaan penting yang muncul tentang kebijakan reparatoris adalah dari mana
menarik titik awal?
56
Lihat misalnya, Law on Extrajudicial Rehabilitation (menggunakan hukum internasional sebagai dasar
hak atas properti) (dikutip dalam catatan kaki 40 di atas).
57
Lihat catatan kaki 40 di atas.
58
Lihat Steven J. Heyman, “The First Duty of Government: Protection, Liberty, and the Fourteenth
Amendment”, Duke Law Journal 41 (1991): 507.
19
Bagaimana cara masyarakat transisional menyelesaikan dilema titik awal? Dalam
negara-negara demokrasi mapan, pemerintahan suksesor biasanya melanjutkan kewajiban
pemerintah sebelumnya;59 terdapat asumsi kontinuitas negara dan pemerintah penerus
dianggap bertanggung-jawab untuk tindakan pendahulunya. Namun, bila rezim penerus
menggantikan serangkaian pemerintahan yang represif, apa kewajiban pemerintah
penerus ini, yang hendak memajukan kedaulatan hukum? Apakah intuisi tentang
kontinuitas legal dalam pergantian pemerintahan berarti bahwa semua kewajiban tersebut
harus ditanggung? Sejauh mana rezim penerus mewarisi kewajiban yang ditimbulkan
oleh pelanggaran-pelanggaran hak oleh rezim yang lama? Keadilan reparatoris berkaitan
dengan pelanggaran di masa lalu, namun pengakuan hak oleh rezim pengganti
menimbulkan pertanyaan: apa yang memandu kegiatan reparatoris tersebut? Preseden
transisional menunjukkan bahwa hanya kewajiban-kewajiban tertentu saja yang
diwariskan oleh pelanggaran rezim lama. Negara-negara berbeda dalam tingkat
komitmennya terhadap liabilitas atau pertanggungjawaban hukum yang ditimbulkan
pelanggaran di masa lalu.
Garis dasar apa yang tepat dalam perhitungan penggantian kerugian? Masalah ini
terlihat dalam transisi kontemporer setelah pendudukan berulang-ulang dan gelombang
penindasan politik. Di bekas blok komunis, pertanyaan tentang titik awal ini
menimbulkan perdebatan sengit. Sejarah invasi berulang-ulang, pendudukan Nazi masa
Perang Dunia Kedua yang dilanjutkan pendudukan Soviet, berarti bahwa setelah
keruntuhan blok Soviet, perdebatan tentang titik awal tentang penindasan politik dan
korban-korban manakah yang akan mendapatkan kompensai menjadi inti perdebatan
publik di seluruh wilayah ini. Meskipun sejarah masa lalu wilayah ini sering kali
digambarkan sebagai masa-masa penindasan yang berkelanjutan, pertimbangan terhadap
tindakan reparatoris menimbulkan perdebatan publik pertama tentang konsekuensi
penindasan berkelanjutan ini terhadap titik awal transisi ke arah liberal. Pertanyaan dan
pilihan yang ada memiliki muatan politis, karena terkait dengan pendudukan Nazi dan
Soviet, dan dengan penarikan garis pengembalian ke kedaulatan domestik.
Perdebatan titik awal ini menggambarkan persaingan politik tentang signifikansi
sosial pengakuan terhadap hak-hak reparatoris transisional. Bila garis tanggung jawab
suksesor ditarik secara bersesuaian dengan pengembalian ke kedaulatan internal, titik
awal ini mungkin bisa dijustifikasi dari perspektif legal, yaitu kembali ke kedaulatan
hukum. Namun, pilihannya tetaplah kontroversial secara politis. Pilihan titik awal
restitusi harus memilih korban-korban berbagai spektrum penindasan dan kelompok
kepentingan politisnya. Dilema ini sedemikian parahnya sehingga di beberapa negara,
seperti Polandia, ia menghalangi tercapainya kesepakatan tentang kebijakan restitusi yang
akan diambil. Perdebatan yang berkepanjangan dan panas tentang titik awal di Eropa
Timur menunjukkan bahwa kebijakan reparatoris pada masa-masa demikian tidak bisa
menolak pengaruh politisasi, terutama bila skema kompensatoris digunakan untuk
melakukan hal-hal lainnya seperti reformasi ekonomi dan privatisasi.
Di banyak negara di wilayah itu, tahun 1948 ditentukan sebagai titik awal, yang
dijustifikasi sebagai akhir pendudukan asing dan kembalinya kedaulatan domestik. Di
Jerman, misalnya, penyitaan sebelum tahun 1949 pada awalnya tidak dijadikan bagian
59
Lihat Lassa Oppenheim, “Peace”, Vol. 1, pengantar dan pt. 1 Oppenheim’s International Law, ed. Robert
Jennings dan Arthur Watts, London: Longman Group, 1992, 234-35.
20
dari program restitusi negara ini;60 dan baru setelah timbul tekanan dari pihak luar
(Amerika), pogram restitusi ini diperluas untuk mencakup perampasan pada era Nazi.
Sementara perampasan yang dilakukan setelah terbentuknya Republik Demokratik
Jerman akan direstitusikan kepada mantan pemiliknya, properti yang disita pada masa
pendudukan Soviet di Jerman Timur antara tahun 1945 dan 1949 hanya dikompensasi
sebagian. Undang-Undang Rehabilitasi Ekstrayudisial Cekoslowakia juga menjadikan
tahun 1948 sebagai garis batas, yang dijustifikasi sebagai saat pengambilalihan
kekuasaan oleh komunis dan dimulainya pemerintahan satu partai.61 Meskipun undangundang restitusi Cekoslowakia ini mengakui “berbagai ketidakadilan dari masa
sebelumnya”, seperti perampasan yang berkaitan dengan Perang Dunia Kedua, ia tidak
mengembalikan properti milik orang Yahudi yang dirampas oleh Nazi atau
mengembalikan properti dua juta warga Sudeten (etnik Jerman) yang dirampas pada
waktu mereka diusir setelah perang berakhir.
Potensi diskriminatoris dari penarikan titik awal ini menjadi perdebatan tingkat
konstitusional di wilayah ini. Isu ini menimbulkan konflik antara para politisi dengan
para pejabat hukum. Di Hungaria, masalah titik awal ini menjadi titik fokus pertikaian
sengit dan berkepanjangan antara Parlemen dan Pengadilan Konstitusional. UndangUndang Kompensasi Hungaria hanya akan memberikan restitusi bagi mereka yang
propertinya dinasionalisasikan secara paksa setelah tahun 1949. Dalam sejumlah
keputusan kontroversial, Pengadilan Konstitusional menyatakan bahwa undang-undang
tersebut “tidak memiliki dasar konstitusional” untuk menggunakan tahun 1949 sebagai
titik awalnya, karena mengabaikan properti yang disita sebelum tahun 1949, seperti milik
warga Yahudi pada masa perang dan milik warga Jerman setelah perang berakhir. Prinsip
kesetaraan, menurut Pengadilan Konstitusional, mengharuskan garis batas ini ditarik
mundur ke tahun 1939 dan memperlakukan korban-korban perampasan pada era Nazi
setara dengan korban-korban perampasan era Stalin.62 Dalam keputusan serupa,
Pengadilan Konstitusional Ceko, dalam meninjau Undang-Undang Rehabilitasi
Ekstrayudisial, menyatakan bahwa titik awal harus dimundurkan untuk memungkinkan
restitusi bagi korban-korban penyitaan era Nazi.63
Setelah empat puluh tahun pemerintahan Komunis dan penentangannya secara
ideologis terhadap hak atas properti, pertanyaan tentang bagaimana mengakui hak atas
properti dalam hukum memiliki muatan politis. Dengan demikian, jurisprudensi
konstitusional tentang kontroversi titik awal ini berusaha untuk mendepolitisasi isu ini
dan memindahkannya dari meja pertimbangan politik transisional. Dalam pengadilan
konstitusional, kontroversi titik awal tentang restitusi pasca-komunis ini diperlakukan
sebagai masalah konstitusional, dengan isu-isu terpentingnya yaitu ketaatan pada prinsip
perlindungan yang setara dan kedaulatan hukum. Namun, meskipun tidak ada
perlindungan terhadap hak atas properti dalam hukum yang telah ada, parlemen dan
pengadilan suksesor di wilayah ini menggunakan hukum yang lebih tinggi, seperti hukum
internasional, untuk mengkonstruksi hak. Misalnya, dalam tinjauan yudisial terhadap
skema kompensasi Hungaria, justifikasi konstitusional diberikan berdasarkan “hak”;
60
Lihat umumnya “Traktat Unifikasi Jerman.”
Law on Extrajudicial Rehabilitation (dikutip dalam catatan kaki 40 di atas), pasal 1, pargraf 1.
62
Lihat umumnya Land Reform Decision. Lihat juga Offe, Varieties of Transition.
63
Decision of the czech Constitutional Court, 12 Juli 1994.
61
21
klaim kompensasi dianggap timbul dari “novasi/pembaruan premis-premis lama”.64
Serupa dengan itu, Undang-Undang Rehabilitasi Ekstrayudisial Ceko mendasarkan
perlindungan terhadap hak atas properti pada hukum internasional yang melindungi
individu dari perampasan tanpa kompensasi.65
Dalam konteks transisi politik, dilema titik awal ini merupakan teka-teki yang
membingungkan. Menarik garis pertanggungjawaban legal negara untuk pelanggarannya
di masa lalu mengkonstruksi suatu pemahaman sosial tentang kontinuitas legal dan
ketaatan pada kedaulatan hukum. Sebaliknya, menarik titik awal juga mengkonstruksikan
diskontinuitas legal dari rezim lama, dan merupakan suatu bentuk “mengembalikan” ke
keadaan semula kesalahan-kesalahan di masa lalu. Contohnya adalah Hungaria dan Ceko,
di mana titik awal yang relevan ditarik dan dijustifikasi berdasarkan awal berkuasanya
rezim yang “melanggar hukum”. Dengan pandangan ini, titik awal memiliki suatu
diskontinuitas juridis dengan rezim komunis, sementara di pihak lain menegaskan
kontinuitas.
Kontroversi titik awal reparasi ini memunculkan isu terpenting dalam transisi
tentang konstruksi kontinuitas negara berkaitan dengan tanggung jawab reparatoris dan
identitas politik. Contohnya, dalam Traktat Unifikasi Jerman, titik awal tahun 1949
dijustifikasi sebagai akhir masa pendudukan Soviet. Namun penetapan titik awal ini tidak
bisa dirasionalisasi atas dasar keabsahan rezim sebelumnya, karena masa pendudukan
Soviet ini sekurang-kurangnya sama represifnya dengan rezim satu partai domestik.
Namun, prinsip yang memandu penentuan titik awal ini dijustifikasi dengan memasukkan
dikotomi kedaulatan internal vs. eksternal, dan prinsip pemandunya sejauh mana terdapat
kontinuitas kedaulatan, yaitu kontinuitas legal dan premis-premis suksesi rezim.
Ketersediaan suatu negara untuk memikul tanggung jawab rezim yang mendahuluinya
adalah simbol kontinuitas dalam identitas negara, seperti di Amerika Serikat pascaPerang Saudara dalam menyikapi hutang-hutang Perang Konfederasi, suatu tindakan
diskontinuitas dari rezim ini.66 Remedi atau upaya legal reparatoris transisional
merupakan tindakan yang menggariskan kontinuitas kewajiban, dan dengan demikian
membangun identitas politik.
Dalam berbagai transformasi politik, seperti digambarkan kasus-kasus pascarezim militer dan pasca-komunis, reparasi merupakan respon sosial yang dapat diterima
terhadap penindasan dan juga merupakan cara mendorong transformasi politik dan
ekonomi. Reparasi merupakan cara untuk menarik garis batas masa lalu. Ini adalah peran
reparasi transisional yang paling simbolis, memajukan tujuan transformasi politik. Usaha
reparatoris dikaitkan dengan rekonstruksi identitas politik. Skema reparatoris
mengembalikan kepada para korban status juridis dan politis yang semula terampas.
Misalnya, dalam reparasi Amerika Latin, di mana perampasan status politis dan juridis
dilakukan dengan cara-cara di luar hukum, bentuk rehabilitasi politik yang diambil adalah
permintaan maaf secara publik, yaitu pencabutan kembali stigma politis secara terbuka
64
Judgment of july 3, 1991 (dikutip dalam catatan kaki 44 di atas), paragraf 3.3-4.
Law on Extrajudicial Rehabilitation, bagian 1, paragraf 1.
66
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 4: “Baik Amerika Serikat maupun negara lain
tidak akan menanggung atau membayarkan hutang atau kewajiban yang timbul akibat membantu insureksi
atau pemberontakan terhadap Amerika Serikat ... semua hutang, kewajiban dan klaim demikian akan
dianggap ilegal dan tidak berlaku”.
65
22
dan resmi.67 Misalnya, dalam pidato Presiden Aylwin kepada rakyat Cili, di mana ia
meminta maaf atas nama pemerintah dalam suatu arena publik. Dengan merehabilitasi
mereka yang dihilangkan, reparasi menarik garis dari pelanggaran di masa lalu, dan
membentuk suatu identitas politik baru. Keadilan reparatoris adalah bentuk rehabilitasi
politik yang juga lazim di skema-skema pasca-komunis. Setelah perubahan politik di
wilayah ini, banyak udang-undang yang disahkan untuk merehabilitasi korban-korban
penindasan era Stalin.68
Selain rehabilitasi melalui perundang-undangan, terdapat pula tinjauan kasus
demi kasus terhadap hampir sejuta kasus pidana mereka yang semula dicabut
kewarganegaraannya dan diusir dari negaranya.69 Rehabilitasi korban-korban pembalasan
dendam politik mencakup pembayaran kompensasi, dan bila relevan, pengembalian
status kewarganegaraan. Pengembalian status politik dilakukan dengan pemberian
lambang-lambang, seperti gelar atau medali – bahkan properti digunakan untuk hal ini –
sebagai konstruksi publik kasus politik, identitas dan keanggotaan dalam komunitas.70
Kelompok-kelompok yang semula ditindas direhabilitasi melalui keputusan presiden.71
Secara luas, sejarah suatu negara direhabilitasi dengan penamaan ulang jalan-jalan dan
monumennya. Undang-undang Rehabilitasi politik secara eksplisit mengakui dan
berusaha untuk memperbaiki kesalahan akibat penindasan politik dengan berbagai cara
dari reparasi konvensional hingga ingatan kolektif.72 Di sini tampak peran konstruktif
dari penggantian kerugian dalam mendefinisikan sejarah negara yang penting dalam
identitas politiknya.
Penundaan Keadilan Reparatoris: Dilema Perjalanan Waktu
Bagian terakhir ini akan mengeksplorasi keadilan reparatoris setelah suatu jangka waktu
tertentu. Apa yang terjadi pada hak dan kewajiban reparatoris transisional setelah
berlalunya waktu? Intuisi kita menganggap bahwa klaim-klaim tersebut akan menjadi
67
Lihat Nicholas Tavuchis, Mea Culpa: A Sociology of Apology and Reconciliation, Stanford: Stanford
University Press, 1991.
68
Lihat misalnya Legal Rehabilitation Law, No. 119/1990 (Republik Federal Czek dan Slowakia, 1990);
Law on Political and Civil Rehabilitation of Oppressed Persons (Bulgaria, 1991); Law on Former Victims
of Persecution, No. 7748 (Albania, 1993); Legislative Decree No. 118 (Romania, 1990); Law on the
Rehabilitation of Victims of Political Repression (Rusia, 1991).
69
Lihar Russian Press Digest, 19 Agustus 1992, hal. 91. Lihat juga Current Digest of the Post-Soviet
Press, 2 September 1992.
70
Lihat misalnya Law on the Rehabilitation of Victims of Political Repression (Rusia, 1991), Pasal 12:
“Individu yang direhabilitasi berdasarkan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang ini dikembalikan
hak-hak sosial politis, sipil, militer dan gelar-gelar khususnya, yang hilang sebagai akibat penindasan, dan
penghargaan serta medali mereka yang dikembalikan”. Pasal 15 menyatakan: “Individu yang mengalami
tindakan penindasan dalam bentuk pencabutan kebebasan dan direhabilitasi berdasarkan undang-undang ini
... mendapatkan kompensasi moneter sebesar 180 rubel untuk tiap bulan penahannya ....”
71
Lihat “Presidential Decree on Rehabilitation of the Cossacks”, British Broadcasting Corporation, 29 Juni
1992; “Crimean Tatar Village Rehabilitated after 48 Years”, British Broadcasting Corporation, 2
November 1992.
72
“Jutaan orang ... ditindas karena agama, status sosial, nasional atau lainnya ... Parlemen Rusia
menyampaikan belasungkawanya terhadap para korban ... dan menganggap ‘pembersihan’ tersebut tidak
sesuai dengan keadilan dan menyatakan keinginan tegas untuk menjalankan hukum dan hak-hak sipil.”
Lihat catatan kaki 70 di atas.
23
lemah setelah waktu berlalu.73 Jeremy Waldron, dalam menyusun teori tentang intuisi
umum tentang ketidakadilan dalam perjalanan waktu, menyatakan bahwa ketidakadilan
akan “terlewati”, hak-hak akan melemah, dengan munculnya kondisi baru yang
menggantikan ketidakadilan di masa lalu.74 Namun intuisi demikian tampaknya tidak
tepat dalam masa transisi; karena banyak proyek reparatoris yang dibicarakan dalam bab
ini dilaksanakan lama setelah terjadinya penindasan negara dan sering kali setelah jangka
waktu yang cukup panjang. Konsekuensi waktu di sini tampaknya tidak sesuai dengan
intuisi kita. Bahkan, seperti ditunjukkan oleh beberapa kasus, dilema transisional dapat
dihindari dengan menunda pelaksanaan keadilan. Misalnya, setengah abad setelah
terjadinya kekejaman masa Perang Dunia Kedua, para korban atau ahli warisnya tetap
mendapatkan penggantian kerugian. Usaha reparatoris di bekas blok Soviet juga
dilaksanakan setelah jangka waktu yang panjang. Setelah perang dan pendudukan yang
berkepanjangan, penggantian kerugian transisional sering kali ditunda untuk waktu yang
lama; namun praktik-praktik tersebut tidaklah melemah seiring perjalanan waktu.
Pengalaman yang dibicarakan dalam bab ini (dan di seluruh buku ini)
menunjukkan bahwa waktu berpengaruh secara paradoksal terhadap penggantian
kerugian transisional; dan terlebih lagi, alasan utamanya adalah peran penindasan negara
yang belum dianalisis. Bila pelaku utama pelanggaran adalah negara, berjalannya waktu
memiliki konsekuensi yang tidak terbayangkan bagi keadilan transisional. Waktu
mempengaruhi perjalanan politik dengan dampak terhadap prasyarat keadilan, namun
intuisi umum tidak bisa menjelaskan dampaknya bagi hak-hak reparatoris para korban,
selain kewajiban negara untuk, membayarkan kompensasi – konsekuensi yang sekali lagi
menggarisbawahi ciri utama pembeda keadilan korektif secara abstrak dengan keadilan
reparatoris dalam kondisi transisional. Ciri utamanya adalah peran negara dalam
kejahatan di masa lalu dan dampaknya bagi kemungkinan perbaikan. Dalam kondisi ini,
peran waktu justru paradoksal. Perjalanan waktu dapat memfasilitasi penentuan faktafakta pelanggaran di masa lalu, selain memberikan jarak politik yang lebih jauh dari
rezim pendahulu, dan memberikan akses lebih besar terhadap arsip negara. Terlebih lagi,
semakin banyak dokumentasi yang ada akan berakibat pada semakin mungkinnya
diberikan kompensasi, meskipun perjalanan waktu bisa pula berakibat pada mortalitas
mereka yang seharusnya mendapatkan kompensasi. Namun, dalam kondisi demikian,
ganti rugi diberikan kepada ahli waris, keturunan dan bahkan wakil-wakil para korban.
Seiring perjalanan waktu, dilema proyek reparatoris transisional yang ditunda
menimbulkan masalah keadilan antar-generasi. Dalam keadilan korektif konvensional,
korban mendapat penggantian dari para pelanggar, dan bahkan bila bukan dari pelanggar
yang diidentifikasi, dari generasi politik para pelanggar; dalam proyek reparatoris
transisional, ganti rugi bagi para korban diberikan dari anggaran pemerintah pusat.
Berjalannya waktu menimbulkan perubahan identitas tidak saja para penerima ganti rugi,
namun juga mereka yang memberikan ganti rugi. Timbul masalah karena mereka yang
membayar untuk kesalahan di masa lalu seharusnya secara pribadi tidak terkait dengan
73
Untuk analisis yang mendalam, lihat Jeremy Waldron, “Superseding Historic Injustice”, Ethics 103
(1992): 4-28 dan George Sher, “Ancient Wrongs and Modern Rights”, Philosophy and Public Affairs 10,
No. 1 (1980): 3, 6-7. Lihat juga Derek Parfit, Reasons and Persons, New York: Oxford University Press,
1989.
74
Lihat Waldron, “Superseding Historic Injustice”, 4-28.
24
pelanggaran di masa lalu. Apakah adil bahwa generasi di masa depan harus membayar
kesalahan rezim di masa yang telah lama berlalu?
Pertanyaan ini menimbulkan masalah keadilan antar-generasi yang signifikan.
Secara umum, masalah utama keadilan antar-generasi adalah tentang adil-tidaknya
generasi masa kini berkorban untuk generasi mendatang. Seperempat abad lalu, John
Rawls menunjukkan masalah itu: “Seberapa lebih baik kita inginkan generasi
mendatang?”75 Namun, belakangan ini, pertanyaan tentang keadilan lintas generasi ini
dipertanyakan kembali dan gambaran tentang masa depan yang tidak terlalu cerah mulai
terlihat. Arah perhatian tentang sumber daya masyarakat di masa depan tidak lagi
berfokus masalah akumulasi, melainkan degradasi. Pertanyaan tentang keadilan lintas
generasi diformulasikan ulang.76 Problem transisional yang dikemukakan di sini
menjelaskan dimensi lain dari permasalahan keadilan lintas generasi. Keadilan reparatoris
yang dilaksanakan setelah berjalannya waktu menimbulkan pertanyaan antar-generasi
tentang kewajiban apa yang ditanggung rezim penerus kepada korban dari generasi
pendahulu. Dan apakah adil untuk membebankan tanggung jawab ini kepada generasi
masa kini atau sesudahnya.
Adil-tidaknya reparasi setelah berlalunya waktu merupakan pertanyaan penting
bagi masyarakat transisional yang berkutat dengan kewajiban itu. Preseden yang dibahas
di sini menjelaskan apa yang menjustifikasi penanggungan beban tanggung jawab oleh
rezim penerus setelah berlalunya waktu, yang menjelaskan apa yang merupakan
pertimbangan utama untuk menyikapi sejarah pelanggaran di suatu negara. Sebagai
contoh, skema reparatoris kontemporer yang ditujukan untuk memperbaiki ketidakadilan
era Stalin menunjukkan dilema berlalunya waktu, karena skema tersebut mendapat
tentangan. Skema ini ditentang karena merupakan kasus di mana satu generasi harus
membayar kerugian generasi yang lain dan dijustifikasikan secara umum atas
pertimbangan moral.77 Dalam contoh lain, lebih dari setengah abad setelah berlalunya
perang, di Jerman, sejarah pelanggaran negara ini masih dianggap sebagai “defisit moral”
negara.78 Pertanyaannya menjadi apakah sejarah moral ini dapat dan harus diwariskan.
Intuisi ini memiliki beberapa implikasi. Pertama, meskipun tampaknya tidak ada
pelanggaran pribadi, dalam generasi penerus, tetap ada anggapan bahwa generasi penerus
mewarisi kebijakan yang buruk dari rezim pendahulunya, yang menyebabkan mereka
mendapat keuntungan yang bukan haknya. Satu cara lain untuk berpikir tentang hal ini
adalah bila generasi sebelumnya menghambur-hamburkan sumber daya moral nasional
yang ada, timbul defisit yang diwariskan kepada generasi sesudahnya, yang pada
akhirnya harus menanggung hutang itu. Masyarakat dalam transisi yang sedang
mempertimbangkan skema reparatoris setelah jangka waktu yang lama mencerminkan
pemahaman defisit moral demikian.
Perdebatan tentang apakah tindakan reparatoris dapat dijustifikasi menganggap
masalah keadilan reparatoris transisional lintas generasi sebagai suatu hal yang
75
Lihat John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press, 1971.
Untuk diskusi lebih luas tentang masalah keadilan lintas generasi, lihat Brian Barry, Theories of Justice,
Berkley: University of California Press, 1989, 189-94.
77
Untuk kritik umum tentang skema-skema ini, lihat András Sajó, “Preferred Generations: A Paradox of
Counter Revolutionary Constitutions”, Cardozo Law Review 14 (1993): 847.
78
Sagi, German Reparations, 62-72 (membicarakan pembicaraan Kanselir Konrad Adenauer yang
menjustifikasi kewajiban Jerman untuk memberikan reparasi, mengutip K. Grossman, German’s Moral
Debt, The German-Israel Agreement).
76
25
melibatkan pewarisan “defisit” dalam sumber daya moral suatu bangsa. Bahasa moral
demikianlah yang menjustifikasi reparasi dalam pertimbangan tentang pembayaran
Jerman berkaitan dengan kejahatan perang terhadap para korban penindasan Nazi.79
Pembayaran reparasi tampak sebagai usaha untuk meningkatkan kapital moral. Serupa
dengan itu, dalam skema penggantian kerugian Amerika Latin, tujuan reparasi mencakup
pengembalian kredibilitas moral negara.80 Bahasa serupa yang penuh pertimbangan moral
tampak dalam kebijakan reparatoris lainnya, seperti dalam skema kompensasi Amerika
kepada warga keturunan Jepang yang ditahan selama Perang Dunia Kedua. Hampir
setengah abad setelah pelanggaran besar-besaran terhadap hak sipil dan kebebasan oleh
pemerintah di masa perang, sebuah komisi penyelidikan menyimpulkan bahwa prasangka
rasial, dan buka keamanan militer, yang menjadi dasar penahanan tersebut dan
menyarankan permintaan maaf resmi dan reparasi oleh pemerintah.81 Japanese Civil
Liberties Act tahun 1988 secara formal mengakui ketidakadilan terhadap warga
keturunan Jepang tersebut selama Perang Dunia Kedua dan memberikan kompensasi
kepada individu-individu yang ditahan.82 Pada tahun 1990, empat puluh delapan tahun
setelah perintah Presiden Franklin Roosevelt yang diskriminatif tersebut, Presiden
George Bush secara resmi meminta maaf atas nama negara.83 Restorasi moral negara
dijadikan alasan untuk reparasi tersebut oleh Kongres.
Setelah berlalunya waktu, tindakan reparatoris semakin bersifat simbolis; sering
kali mengambil bentuk permintaan maaf, yang tergambar dalam respon terhadap
pelanggaran masa perang di atas. Permintaan maaf juga terlihat dalam respon lain
terhadap kejahatan sejarah, seperti perbudakan dan segregasi. Dengan berjalannya waktu,
kerugian yang ditimbulkan lebih pada reputasi di mata publik, dan dengan demikian
dapat diperbaiki dengan permintaan maaf politis. Setelah berjalannya waktu, keadilan
transisional sering kali mengambil bentuk ini. Meskipun teori umum menganggap bahwa
permintaan maaf lebih merupakan fungsi kebudayaan,84 pengalaman yang dilihat di sini
menunjukkan faktor lain yang mungkin lebih penting, yaitu kaitan antara keadilan
transisional dengan berlalunya wakltu.
Perhatian terus menerus pada moral menggarisbawahi kekuatan peninggalan
sejarah yang buruk sebagai tantangan terhadap legitimasi negara-negara yang menuju
liberalisasi. perhatian ini sebagian bisa menjelaskan mengapa generasi penerus memikul
beban berat tanggung jawab dari masa lalu. Meskipun pelanggaran dan liabilitas semula
ditimbulkan oleh generasi pendahulu, peninggalan buruk tersebut menjadi perhatian
79
Sagi, German Reparations, 66.
Lihat Laporan Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili, 13.
81
Commission on Wartime Relocation and Internment of Civilians, Personal Justice Denied: Report of the
Commission on Wartime Relocation and Internment of Civilians, Washington, D.C.: Commission on
Wartime Relocation and Internment of Civilians, 1982, 6-9.
82
War and National Defence Restitution for World War II Internment of Japanese-American and Aleuts,
U.S. Code, Vol. 50, sec. 1989 (membentuk Civil Liberties Public Education Funs) (1988). Untuk diskusi
tentang gerakan untuk memperoleh reparasi dan dampak hukum tersebut, lihat Sarah L. Brew, “Making
Amends for History: Legislative Reparations for Japanese Americans and Other Minority Groups”, Law
and Inequality 8.1 (1989): 179. Lihat juga Peter Irons, Justice at War, Berkley: University of California
Press, 1993.
83
Lihat “First Payments Are Made to Japanese World War II Interness”, New York Times, 10 Oktober
1990, hlm. A21 (pembayaran reparasi disertai surat permintaan maaf dari Presiden Bush atas nama seluruh
negara).
84
Lihat misalnya Tavuchis, Mea Culpa.
80
26
seluruh masyarakat untuk seterusnya, sering kali dengan dampak buruk bagi generasi kini
dan mendatang. Dalam pertimbangan peradilan pidana, konsepsi tanggung jawab koletif
yang serupa juga muncul dalam masa transisi. Bila tidak diselesaikan, perasaan
ketidakadilan akan semakin tinggi. Terlebih lagi, setelah perjalanan waktu, tindakan
reparatoris menjadi simbol transisi dan bisa digunakan untuk memantapkan keberhasilankeberhasilan dalam transisi menuju demokrasi. Pemikulan tanggung jawab rezim lama
oleh rezim baru menunjukkan bagaimana pemikulan tanggung jawab kolektif menyusun
identitas politik suatu negara seiring perjalanan waktu.
Persistensi Keadilan Reparatoris yang
Kontemporer: Dilema “Affirmative Action”
Belum
Terselesaikan
dan
Politik
Dengan berlalunya waktu, proyek reparatoris bergeser semakin jauh dari model
tradisional keadilan korektif. Setelah waktu berlalu, para pelaku pelanggaran tidak
membayar; mereka yang tidak bersalah harus melakukannya. Dan setelah berlalunya
waktu, ganti rugi tidak diberikan kepada para korban, namun kepada para keturunan
mereka. Dengan berjalannya waktu, skema reparatoris menjadi tidak mirip lagi dengan
keadilan korektif konvensional dan semakin menyerupai distribusi sosial dan masalah
politis. Kebijakan reparasi yang tidak diarahkan pada korban-korban yang tidak
teridentifikasi namun kepada kelompok perwakilan korban yang diidentifikasi
berdasarkan penindasan di masa lalu tampak seperti skema distribusi. Skema distribusi
demikian bersifat kontroversial, karena alokasi demikian tampaknya bertentangan dengan
prinsip demokrasi liberal dan kedaulatan hukum. Sebagai contoh, yang sedang hangat
dibincangkan adalah adil tidaknya alokasi tunjangan publik dan privat berdasarkan garis
rasial di Amerika Serikat – isu “affirmative action”.
Pertimbangkanlah kontroversi kontemporer tentang affirmative action
berdasarkan ras sebagai masalah keadilan reparatoris transisional yang belum
terselesaikan. Penindasan resmi terhadap warga keturunan Afrika di Amerika Serikat
dilakukan selama berabad-abad, pertama, melalui toleransi pemerintah terhadap
perbudakan, dan kemudian melalui segregasi secara resmi. Setelah Perang Saudara,
terdapat usulan reparasi, yang paling terkenal adalah “empat puluh are tanah dan seekor
keledai”.85 Namun, hingga saat ini, bahkan tidak ada pengakuan resmi bahwa negara
melakukan kesalahan atau reparasi untuk pelanggaran hak, meskipun pertanyaan ini tetap
menjadi bagian dari kontroversi dan perdebatan kontemporer.86 Terdapat seruan agar
pemerintah meminta maaf, seperti dibicarakan di muka, yang bisa berfungsi sebagai
reparasi simbolis. Terdapat pula perdebatan tentang upaya hukum atau remedi affirmative
85
Untuk tinjauan historis, lihat Eric Foner, Reconstruction: America’s Unfinished Revolution, 1863-1877,
New York: Harper Collins, 1989. Untuk analisis kontemporer, lihat Jed Rubenfeld, “Affirmative Action”,
Yale Law Journal 107 (1977): 427 (membicarakan berbagai tindakan yang eksplisit ras setelah masa
Perang Saudara, seperti Act of July 28, 1866); Treaties and Proclamations of the United States of America,
U.S. Statutes at Large 14 (1868): 310. Lihat juga William Darity, Jr., “Forty Acres and a Mule: Placing a
Price Tag on Oppression”, dalam The Wealth of Races: The Present Value from Past Injustices, ed. Richard
F. America, New York: Greenwood Publishing Group, 1990: 3-13.
86
Untuk elaborasi tentang reparasi bagi warga keturunan Afrika, lihat Boris I. Bittker, The Case for Black
Reparations, New York: Random House, 1973; untuk diskusi tentang perdebatan politik yang berlanjut,
lihat Brent Staples, “Forty Acres and a Mule”, New York Times, 21 July 1977, editorial.
27
action, misalnya, apakah pemberian tunjangan pemerintah berdasarkan ras bisa
dijustifikasi untuk menjadi remedi diskriminasi resmi di masa lalu.87
Dalam pendekatan yang umum, isu affirmative action pada umumnya
ditempatkan dalam kerangka masalah keadilan korektif konvensional. Remedi yang
sensitif-ras dijustifikasi hanya sejauh mereka yang telah mengalami kerugian karena ras
mereka memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi dari mereka yang telah merugikan
mereka. Pendekatan konstitusional yang berlaku kini menempatkan hak sebagai sesuatu
yang timbul dari kerugian; jadi, pasti terdapat efek berlanjut dari diskriminasi rasial resmi
di masa lalu, dan seperti dalam keadilan korektif tradisional, kaitan dengan entitas yang
melakukan tindakan perbaikan.88 Dalam pendekatan yang umum, harus ada temuan yang
spesifik yang mengaitkan entitas pemerintahan yang melakukan skema remedial ini
dengan diskriminasi di masa lalu; pelaku pelanggaranlah yang harus membayar.89
Namun, setelah berjalannya waktu, analogi affirmative action dengan keadilan korektif
konvensional menjadi tidak tepat. Para pelaku “asli” telah meninggal, demikian pula para
korban “asli”. Lalu bagaimana menyikapi hal-hal yang tersisa? Ini adalah peninggalan
penindasan politik yang tidak diselesaikan, suatu masalah keadilan reparatoris yang
belum terselesaikan.
Mari kita pikirkan kembali masalah yang ditimbulkan affirmative action, dengan
dipandu preseden dan prinsip transisional. Pelbagai pengalaman yang dibidik dalam bab
ini menunjukkan bahwa pemerintah penerus sering kali menjalankan kewajibannya untuk
memberikan ganti rugi bagi korban-korban penindasan oleh rezim pendahulu, dan
kewajiban tersebut terus ditanggung meskipun waktu terus berjalan. Di bekas blok
Soviet, ganti rugi diberikan hampir setengah abad setelah pelanggaran era Stalin tersebut
terjadi. Sementara pendekatan umum terhadap affirmative action dijustifikasi
berdasarkan kerugian atau dampak penindasan yang terus berpengaruh, keadilan
transisional tidak harus tergantung pada hal itu. Setelah berlangsungnya waktu, sementara
pihak-pihak yang mengalami penindasan secara langsung mungkin sudah melupakan
masa lalu, masyarakat secara keseluruhan masih merasakan adanya pelanggaran yang
tidak dipulihkan itu. Persistensinya isu politik dan pelaksanaan tindakan reparatoris
setelah jangka waktu yang panjang menunjukkan pengakuan negara dan pemikulannya
terhadap tanggung jawab untuk memperbaiki dosa politik yang dilakukan oleh rezim
pendahulunya. Dari preseden tersebut timbul konsepsi baru tentang keadilan reparatoris
transisional yang dicirikan oleh peninggalan sejarah. Bila negara telah menganiaya
warganya sendiri atas dasar ras, etnik, agama atau politik, kebutuhan untuk perbaikan
sesuai dengan kedaulatan hukum dan transformasi politik tidak hilang hanya karena
waktu.
Sementara dalam sebagian besar contoh di atas, reparasi dilakukan oleh rezim
pertama yang menggantikan rezim pelaku pelanggaran, di Amerika Serikat, pertanyaan
ini menjadi masalah berbagai pemerintahan penerus. Satu contoh adalah perlakuan
87
Untuk analisis mendalam, lihat Michel Rosenfeld, Affirmative Action and Justice: A Philosophical and
Constitutional Inquiry, New Haven: Yale University Press, 1991; Rubenfeld, “Affirmative Action”.
88
Untuk versi awal tentang pandangan ini, lihat Bakke vs. Regents of University of California, 438 US 265,
324 (1978). Untuk pernyataan lebih kontemporer, lihat Richmond vs. Croson, 488 US 469 (1989); lihat
juga Adarand Construction Inc. vs. Pena, 515 US 200 (1995).
89
Kathlen M. Sullivan, “Sins of Discrimination: Last Term’s Affirmative Action Cases”, Harvard Law
Review 100 (1986): 78 (menyatakan bahwa fokus pengadilan pada pelaku individual mencegahnya
menerima justifikasi lain untuk program affirmative action)
28
terhadap warga pribumi Amerika setelah Perang Dunia Kedua.90 Skema reparatoris
dilakukan secara tidak terpola, meskipun paling tidak ada semacam pengakuan resmi
terhadap kesalahan di masa lalu. Reparasi terhadap penahanan warga keturunan Jepang
pada masa perang dilakukan secara lebih komprehensif. Dalam kasus ini, reparasi
dilakukan sebagai kewajiban nasional, meskipun pelanggaran telah lama berlalu. Hak
untuk mendapatkan ganti rugi timbul dari pengakuan pemerintah terhadap pelanggaran
yang hingga sebelumnya tidak diakui dan tidak diperbaiki. Pertanyaan konvensional
tentang affirmative action, seperti apakah penindasan tersebut memiliki “dampak
berlanjut”, bahkan tidak ditanyakan. Namun, dampak stigmatisasi psikologis dianggap
timbul dari diskriminasi yang disponsori negara dan dari kelalaian pemerintahan penerus
untuk memberikan remedi. Seperti dalam preseden transisional lainnya yang dibicarakan
dalam bab ini (tentang penghilangan), kelalaian pemerintahan penerus untuk merespon
dengan sendirinya dianggap merupakan bagian dari keberlanjutan pelanggaran. Jika
penahanan warga keturunan Jepang selama waktu relatif pendek ini dianggap merupakan
penindasan etnik yang berkelanjutan, apalagi diskriminasi, perbudakan dan segregasi
terhadap warga keturunan Afrika.
Praktik, prinsip dan nilai-nilai transisional yang dibicarakan dalam bab ini bisa
menerangkan dan memandu skema affirmative action kontemporer.91 Mungkin ciri paling
kontroversial dari praktik reparatoris setelah suatu jangka waktu adalah pemberian
tunjangan, bukan kepada korban sebenarnya, namun kepada keturunan dan wakilwakilnya. Di sini, praktik transisional memiliki pengalaman komparatif serupa. Banyak
skema pasca-Soviet yang dijalankan lebih dari 40 tahun setelah terjadinya penindasan
politik mempertimbangkan pemberian hak kepada para pewaris korban-korban semula.
Undang-Undang Ceko secara jelas mengakui klaim dari cucu para korban semula –
selisih dua generasi dari korban asli.92 Mungkin contoh terbaik adalah skema reparatoris
Jerman pasca-Perang Dunia Kedua, yang memberikan reparasi untuk melakukan remedi
terhadap penindasan di masa lalu, meskipun faktanya banyak dari korban yang seluruh
keluarganya sama sekali dimusnahkan, sehingga tidak ada pewaris yang bisa menerima
ganti rugi. Preseden reparasi Jerman ini menunjukkan bahwa hak-hak korban bisa
diwariskan kepada badan perwakilan khusus yang dibentuk untuk keperluan ini.93
Preseden sejarah ini mencerminkan praktik yang dalam buku ini diistilahkan
sebagai “reparasi perwakilan”, yang diberikan oleh pemerintahan penerus kepada kelas
penerus korban, untuk memperbaiki pelanggaran negara di masa lalu. Pengakuan
signifikansi reparasi perwakilan bisa membantu menjelaskan persistensi affirmative
action dan kontroversi serupa, meskipun waktu telah lama berjalan. Reparasi perwakilan
menandakan bahwa hal yang menjustifikasi pemikulan tanggung jawab reparatoris oleh
pemerintah penerus bahkan setelah jangka waktu yang lama adalah penindasan negara
yang tidak diakui dan tidak diperbaiki, yang merupakan ancaman berlanjut bagi
kedaulatan hukum. Preseden reparatoris transisional dalam berbagai budaya hukum
90
Lihat Nell Jessup Newton, “Compensation, Reparations and Restitution: Indian Property Claims in the
United States”, Georgia Law Review 28 (musim dingin 1994): 453.
91
Mari J. Matsuda, “Looking to the Bottom: Critical Legal Studies and Reparations”, Harvard Civil RightsCivil Liberties Law Review 22 (musim semi 1987): 323.
92
Law on Extrajudicial Rehabilitation, bag. 3, paragraf 2.
93
Negara Israel maupun Konferensi Klaim merupakan badan perwakilan demikian, dan keduanya
menerima pembayaran. Lihat Honig, “Reparations Agreement”, 567.
29
menunjukkan realitas inti: peninggalan sejarah penindasan negara tidak bisa menghilang
dengan sendirinya, meskipun sering kali penyelesaiannya ditunda.
Dilema Transitory Tort
Apa yang terjadi dengan keadilan reparatoris bila negara tidak mengakui hak-hak
demikian? Ke mana perginya hak-hak tersebut? Apakah pemenuhannya terikat dengan
rezim penerus, atau bisa dipenuhi oleh pihak lainnya? Sejumlah kasus di Amerika Serikat
tentang “pelanggaran berat” hak asasi manusia menunjukkan bahwa dalam kasus
penindasan yang paling buruk, pemenuhan hak korban tidak terbatas oleh batas negara
yang terkait. Ini sering kali terlihat pada awal transisi, ketika mereka yang terlibat dalam
pelanggaran di masa sebelumnya sering kali melarikan diri.
Ketika rezim berkuasa di Paraguay menolak bertanggung-jawab atas tewasnya
Joel Filartiga karena penyiksaan, keluarga korban mencari keadilan hingga ke Amerika
Serikat, di mana pelakunya mantan kepala polisi Paraguay, melarikan diri. Dalam suatu
kasus yang kemudian menjadi preseden penting bagi korban pelanggaran negara untuk
memperoleh hak-haknya di pengadilan Amerika, keluarga korban menggunakan hukum
berusia dua abad, Alien Tort Act, yang berasal dari masa pembentukan negara itu, yang
memberikan jurisdiksi kepada Amerika Serikat untuk mengadili warga negara asing
dalam kasus pelanggaran terhadap “hukum bangsa-bangsa”.94 Dipandu dengan analogi
terhadap pembajakan, pengadilan banding menyatakan bahwa “penyiksaan oleh negara”
merupakan pelanggaran terhadap “hukum bangsa-bangsa”, dan dengan demikian tuntutan
ini dapat diadili di pengadilan mana pun.95 “Untuk keperluan tanggung jawab perdata,
penyiksa tersebut – seperti bajak laut dan pedagang budak sebelumnya – dianggap
sebagai hostis humani generis, musuh seluruh umat manusia”.96 Klaim kompensatoris
yang berasal dari hak-hak yang dilindungi “hukum bangsa-bangsa” secara tradisional
dianggap sebagai penyebab tindakan transitoris, yang dapat diadili di mana pun.
Penyiksaan secara sengaja, seperti pembajakan, melanggar hukum bangsa-bangsa;
dengan demikian, hak untuk mendapatkan reparasi dari penyiksaan negara harus
diperlakukan sebagai klaim transitoris.
Kasus Joel Filartiga dilanjutkan dengan sejumlah besar kasus-kasus alien tort
lainnya, biasanya tentang penyiksaan negara atau eksekusi di luar hukum. Dalam kasus
Forti dan Siderman, tuntutan diajukan kepada penyiksa Argentina yang ditemukan di
Amerika Serikat. Tindakan penyiksaan yang merupakan tanggung jawab Argentina
dianggap melanggar norma-norma “jus cogens”, norma-norma kuat dalam hukum
internasional yang tidak bisa diabaikan dan memiliki keberlakuan dan perlindungan yang
universal.97 Kasus in re Estate of Marcos berkaitan dengan penyiksaan di Filipina, yang
94
Lihat Judiciary Act of 1789, U.S. Code, vol. 28, bag. 1350 (1993).
Filartiga vs. Pena-Irala, 630 F2d 876, 890 (2d Cir 1980) (menyatakan bahwa penyiksaan resmi
melanggar “norma-norma yang telah mapan dalam hukum hak asasi manusia internasional, dan dengan
demikian juga hukum bangsa-bangsa”).
96
Ibid., 884-87. Lihat umumnya Ian Brownlie, Principles of Public International Law, edisi keempat, New
York: Oxford University Press, 1990, 238-39 (tentang hukum internasional di laut lepas).
97
Forti vs. Suarez-Mason, 672 F Supp 1531 (1987); Siderman de Blake vs. Argentina, 965 F2d 699 (9th
Cir 1992).
95
30
diajukan terhadap Ferdinand Marcos, mantan presiden.98 Dalam semua kasus tersebut,
para korban atau keluarganya mengajukan tuntutan kepada para pelaku di Amerika
Serikat. Prinsip jurisdiksional yang mengikutinya adalah bahwa dalam kasus penindasan
politik, liabilitas perdata bersifat transitoris dan mengikuti pelaku.
Preseden Alien Tort Act ini, dengan dipandu analogi terhadap pembajakan,
bergantung pada fiksi hukum tentang pelanggar hukum individual dan pemikiran
keadilan korektif yang tradisional, di mana liabilitas perdata mengikuti pelaku tunggal.
Mungkin kasus ekstrem dalam hal ini adalah tuntutan alien tort terbaru terhadap Radovan
Karadzic, pemimpin politik Serbia Bosnia, yang dituntut pertanggungjawaban perdatanya
terhadap ribuan kekejaman yang dilakukan sesuai kebijakan penindasan etnik di daerah
Balkan.99
Konsepsi utama transitory tort, yaitu bahwa liabilitas mengikuti tortfeasor
(pelaku), bersifat paradoksal. Di mana letak kesalahan? Dalam kasus penyiksaan yang
dilakukan biasanya berdasar hukum negara – yang didorong atau dibiarkan negara – siapa
yang harus bertanggung-jawab? Sejauh mana klaim reparatoris yang terkait transisi
akibat penindasan negara modern dapat dibebankan kepada pelaku pelanggaran
individual?100
Hingga satu titik, alien tortfeasor merupakan konstruksi juridis yang paling bisa
dipahami sebagai semacam resolusi pragmatik dari keadilan dalam kondisi yang tidak
ideal. Bila rezim bertanggung-jawab, ia tidak bisa dituntut di pengadilan domestik negara
yang bersangkutan.101 Lebih lanjut lagi, pemerintah asing umumnya kebal dari tuntutan
di pengadilan Amerika karena alasan imunitas kedaulatan. Hal yang praktis adalah untuk
menggunakan konsep liabilitas perdata tradisional. Namun paradoks penggunaan alien
tort untuk perbaikan kesalahan yang terkait hak asasi manusia adalah bahwa sementara
penyebab respon adalah tindakan individual, ia juga mengakui latar belakang kebijakan
negara. Meskipun Alien Tort Act menjadi alasan untuk menindak pelaku individual,
jurisdiksinya didasarkan pada pelanggaran “resmi” yang dilakukan berdasar hukum
negara. Hanya sejumlah kecil pelanggar memenuhi syarat ini, dan tindakan mereka jelas
telah melanggar hukum bangsa-bangsa. Pada saat yang sama, klaim tersebut jelas
mengabaikan imunitas kedaulatan, yaitu kekebalan negara-negara asing dari jurisdiksi,
dengan pengecualian tertentu. Pelanggaran yang memiliki konsensus paling besar adalah
penyiksaan, eksekusi di luar hukum dan genosida,102 yang dianggap sebagai norma “jus
98
In re Restate of ferdinand Marcos, 25 F3d 1467 (9th Cir 1994).
Kadic vs. Kardzic; Doe vs. Karadzic, 70 F3d 232 (2d Cir 1995).
100
Perdebatan tentang apa yang dalam buku ini disebut “transitory torts” menurut hukum kebiasaan
internasional, lihat Curtis A. Bradley dan Jack L. Goldsmith, “Customary International Law as Federal
Common Law: A Critique of the Modern Position”, Harvard Law Review 110 (Februari 1997): 815
(menyatakan bahwa hukum internasional seharusnya tidak diberikan status seperti common law federal);
Harold Hongju Koh, “Commentary: Is International Law Really State Law?” Harvard Law Review 111
(1998): 1824. Lihat juga Ryan Goodman dan Derek P. Jinks, “Filartiga’s Firm Footing: International
Human Rights and Federal Common Law”, Fordham Law Review 66 (1977): 463.
101
Lihat Argentine Republic vs. Amerada Hess Shipping Corp, 488 US 428 (1989). Namun lihat Siderman
de Blake, 965 F2d 699.
102
Filartiga, 630 F2d 876.
99
31
cogens” dengan status tertinggi dalam hukum internasional, dengan latar belakang
kebijakan negara atau yang serupa.103
Hampir dua dekade setelah persidangan kasus penting Filartiga itu, dan juga
selama masa persidangannya, terdapat banyak keputusan yang menyatakan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia harus bertanggung-jawab. Bahkan, remedi tersebut
diratifikasi menjadi hukum federal: Torture Victims Protection Act mengizinkan
penindakan perdata untuk mendapatkan ganti rugi keuangan terhadap pelanggaran seperti
penyiksaan oleh negara dan eksekusi di luar hukum bila pelaku berada dalam
jurisdiksi.104
Selama bertahun-tahun, telah lebih banyak keputusan daripada pembayaran.105
Pengakuan tanggung jawab perdata memiliki dampak yang lebih luas dari pemberian
ganti rugi keuangan. Dalam kasus demikian, liabilitas perdata memiliki sanksi publik
karena perhatian media terhadap proses perdata yang melibatkan pejabat tinggi negara
asing. Dampak publisitas seperti ini sedemikian besar sehingga selama masa persidangan,
para terdakwa sering kali melarikan diri. Liabilitas individual, meskipun bersifat perdata,
berakibat pada stigma dan sanksi sosial serupa dengan sanksi pidana. Banyaknya usaha
pencarian keadilan reparatoris lintas batas negara, seperti juga usaha serupa setelah
jangka waktu yang panjang, menunjukkan peran kompleks dan dinamis remedi demikian.
Meskipun remedi perdata biasanya diambil untuk memberikan hak-hak korban, seperti
tindakan transisional lain yang dibicarakan di muka, tuntutan alien tort memiliki
kegunaan lain yang biasanya dikaitkan dengan sanksi pidana, seperti pengakuan
kesalahan pemerintah dan eksklusi pelaku dari komunitas. Bahkan, transitory tort
menerangkan kaitan antara pengembalian hak-hak korban, pengakuan kesalahan
individual dan penindasan oleh negara. Timbulnya transitory tort dalam kasus
penindasan menunjukkan konsep keadilan reparatoris memiliki keserupaan dengan
respon-respon hukum transisional lainnya.
Dalam memediasi kepentingan berbeda antara publik dan privat, individu dan
kolektif, nasional dan internasional, alien tort secara efektif merespon pelanggaran
penindasan yang merupakan ciri utama represi modern. Seperti “kejahatan terhadap
kemanusiaan”, transitory tort terhadap pelanggaran hak asasi manusia menjelasan
konsepsi yang serupa: sumber tindakan hukum yang melampaui jurisdiksi waktu dan
tempat, yang digambarkan sebagai “tort terhadap kemanusiaan”. Tort ini merupakan
respon terhadap penindasan oleh negara pada masa kontemporer, dalam sumber tindakan
hukum terhadap individu yang terkait dalam kebijakan penindasan yang lebih luas.
Terlebih lagi, tort terhadap kemanusiaan menantang intuisi umum di mana penyebab
tindakan perdata berkaitan dengan jurisdiksi tertentu, yang tidak tepat untuk menangkap
pelanggaran berat yang dilakukan negara. Dengan ketiadaan parameter jurisdiksional
yang biasa, yang “asing” dijadikan “domestik”, dan pelanggaran internasional
didefinisikan ulang. Dan meskipun dicapai di luar sistem hukum nasional, dengan
mengakui hak-hak para korban, tindakan-tindakan seperti itu dapat mengawali proses
103
Lihat The Foreign Sovereign Immunities Act of 1976, U.S. Code, Vol. 28, bag. 1602-1611 (1994).
Kadang-kadang jurisdiksi diambil terhadap pelanggaran lain, seperti penghilangan dan penahanan secara
sewenang-wenang yang berkepanjangan. Lihat Forti, 672 F Supp 1541-42.
104
Torture Victims Protection Act of 1991, U.S. Code, Vol. 28, bag. 1350 (1993).
105
Lihat Siderman de Blake, 965 F2d 699; In Re Estate of Ferdinand Marcos, 25 F3d 1467. Lihat
umumnya Ralph Steinhardt, “Fulfilling the Promise of Filartiga: Litigating Human Rights Claims against
the Estate of Ferdinand Marcos”, Yale Law journal of International Law 20 (1995): 65.
32
transisi. Bahkan bila rezim belum berganti dan tidak ada perubahan politik, penegasan
norma-norma utama hak asasi manusia dapat berperan konstruktif. Respon legal
transisional ini mendorong munculnya pendekatan yang fleksibel terhadap kedaulatan
dan jurisdiksi. Pergeseran dari prinsip konvensional ini dirasionalkan dengan memandang
pada tindakan negara dan sejauh mana ia menaati kedaulatan hukum masyarakat
internasional.
Keadilan Reparatoris Transisional
Praktik-praktik yang dibicarakan di muka menunjukkan paradigma keadilan reparatoris
yang dikaitkan dengan masa transisi. Paradigma keadilan reparatoris transisional
merupakan konsepsi yang kompleks, karena ia memajukan berbagai tujuan yang
memediasi dan mengkonstruksi transisi. Reparasi transisional secara terbuka mengakui
dan memberikan hak-hak individual yang pada dasarnya bersifat simbolik. Sering kali
tidak diberikan kompensasi sepenuhnya, dan tidak ada kaitan dengan kerugian meterial,
seperti dalam “reparasi moral” Amerika Latin atau rehabilitasi pasca-komunis. Reparasi
transisional memiliki berbagai bentuk: bisa berbentuk restitusi properti, pembayaran
keuangan, atau kompensasi yang tidak konvensional, seperti keringanan biaya pendidikan
atau penyediaan pelayanan dan keuntungan publik lainnya, seperti monumen, rehabilitasi
secara hukum dan pemaafan.
Paradigma reparatoris transisional berbeda dari intuisi kita yang berlaku selama
ini tentang keadilan korektif dalam sejumlah karakter.106 Konsepsi transisional memiliki
kekurangan dalam hal simetri soal sistem tort privat, karena ia memahami ulang relasi
antara korban dengan pelaku kekerasan, antara individu dengan kolektif.107 Sementara
dalam pemahaman yang berlaku selama ini, pemulihan bagi para korban dilimpahkan
kepada para pelaku, maka pemikiran reparatoris transisional menyediakan pengakuan
resmi tentang hak-hak para korban dan tanpa perlu menempatkan kesalahan atau
pelanggaran secara individual. Yang menentukan soal pertanggungjawaban hukum bagi
kesalahan masa lampau bukanlah pelaku kesalahan itu sendiri ataupun rezim pelanggar,
melainkan rezim suksesor.108 Reparasi transisional mengalihkan tindakan sipil yang
konvensional dalam membedakan dan memilahkan pemberian tanggung jawab bagi
pelanggaran hak-hak individual dari asumsi penggantian kerugiannya. Dalam prinsip
kompensatoris tradisional, perilaku merugikan dan pertanggungjawaban hukumnya yang
terkait diberikan kepada orang yang diidentifikasi sebagai pelaku, namun reparasi
transisional pada umumnya diambil-alih oleh atau dibebankan kepada negara. Peralihan
dalam prinsip reparatoris menguatkan transendensi dari prinsip konvensional tentang
pertanggungjawaban individual, yang digantikan dengan pertanggungjawaban kolektif
dalam masa transisi. Pemahaman tentang pertanggungjawaban individual/kolektif mucnul
106
Tentang teori keadilan kompensatoris, lihat Cass Sunstein, “The Limits of Compensatory Justice”,
dalam John W. Chapman (ed.), Nomos XXXIII: Compensatory Justice, New York: New York University
Press, 1991, 281.
107
Untuk pembahasan tentang problem terkait, lihat Judith Jarvis Thomson, Rights, Restitution and Risk:
Essays in Moral Theory, Cambridge: Harvard University Press, 1986, 66-77.
108
Tentang pertanggungajwaban negara modern terhadap kesalahan atau pelanggarannya, lihat Peter H.
Schuck, Suing Government: Citizen Remedies for Official Wrongs, New Haven: Yale University Press,
1983.
33
dalam pelbagai respon legal transisional yang dibahas dalam buku ini, yang memperumit
soal pemahaman akan kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan negara dan
menyorotkan cahaya pada konteks-konteks keadilan yang dipermasalahkan dalam waktuwaktu seperti itu.
Selanjutnya, pemahaman soal tindakan pemulihan (reparatory) yang
memprasyaratkan asumsi negara tentang tanggung jawab merupakan jalan untuk
mengkonstruksi identitas politik yang diteruskan. Transisi, tidak seperti peralihan
administrasi masa biasa, bukan merupakan contoh-contoh tentang sekadar beralih dari
kewajiban negara pada masa sebelumnya, karena rezim sebelumnya gagal melakukan
kewajiban semacam itu. Inilah yang merupakan paradoks dari transisi reparatoris.
Sementara di antara pergantian biasa dalam administrasi, asumsi soal utang semata
mengekspresikan kontinuitas dalam identitas negara dan dalam kedaulatan hukum, ketika
ada transisi di antara sistem politik, penentuan tentang pertanggungjawaban mengizinkan
adanya konstruksi kontinuitas politik, atau diskontinuitas politik dan perubahan normatif.
Keadilan reparatoris transisional tidak dijustifikasi terutama oleh kepentingan
korektif konvensional, tetapi lebih dijustifikasi oleh nilai-nilai politis eksternal yang
berkaitan dengan kebutuhan politik yang mendesak pada masa itu. Suatu prinsip normatif
terkait muncul berkenaan dengan apa itu suatu perbedaan yang dapat dikompensasikan
dalam kaitan dengan perlakuan negara di masa lalu. Dalam praktik transisional, hukum
dalam fungsi reparatorisnya memajukan tujuan yang secara eksplisit politis. Justifikasi
negara untuk memberikan reparasi ada banyak dan kompleks, berdasarkan tujuan korektif
tradisional, sekaligus tujuan redistributif yang transformatif. Prinsip “penindasan politik”
memandu keadilan reparatoris transisional, bekerja sebagai prinsip yang membatasi
proyek-proyek reparatoris yang secara teoretis tidak terbatas, sekaligus memediasi
tanggung jawab individu dan kolektif. Reparasi bahkan digunakan untuk menjustifikasi
transisi, karena klaim demikian dikatakan timbul dari pelanggaran terhadap kesetaraan,
menunjukkan perbedaan dari rezim terdahulu. Pemberian ganti rugi merupakan simbol
utama diskontinuitas dari masa lalu, menunjukkan potensi transformatif dari rezim baru.
Signifikansi pemberian ganti rugi melampaui klaim-klaim individual, dan
mengkonstruksikan pergeseran masyarakat ke negara liberal. Sebagai tanda dan praktik
kedaulatan hukum liberal, tindakan remedial memungkinkan komitmen baru terhadap
kesetaran politik dan penolakan terhadap penindasan. Bahkan setelah jangka waktu yang
panjang, praktik-praktik ini masih dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang simbolis,
yang dapat menumbuhkan norma-norma hak individual yang meliberalkan. Bahkan, bila
belum ada transisi politik, reparasi merupakan simbol modern liberalisasi, yang
menggambarkan pendekatan yang dinamis terhadap hak dalam era global ini.
34
Bab 5
Keadilan Administratif
Bab ini akan melihat pada situasi-situasi ketika hukum menjadi pendorong perubahan
revolusioner. Dalam transisi politik sebagai hasil negosiasi, transformasi sering kali
bergantung pada kekuatan hukum. Hukum publik yang dipolitisasi dapat menimbulkan
perubahan radikal bila ia mendistribusikan kekuasaan secara eksplisit berdasarkan ideologi
yang baru. Tindakan administratif yang dipolitisasi dalam skala besar sering kali dilakukan
dalam masa-masa perubahan politik di seluruh dunia: setelah Perang Saudara Amerika Serikat,
dalam pergeseran dari perbudakan ke kebebasan; di Eropa pasca-perang, dalam pergeseran
dari fasisme ke demokrasi; di Eropa pasca-komunis, dari totalitarianisme ke ekonomi pasar
yang lebih bebas; dan di Amerika Latin pasca-rezim militer, dalam pergeseran ke
pemerintahan sipil. Pelaksanaan hukum administratif yang dipolitisasi dikatakan selalu
diarahkan ke tujuan yang mulia, yaitu untuk melindungi transisi; namun, pernggunaan hukum
demikian, yang berdasar pada keputusan yang kategoris, menyerupai keadilan politis di rezimrezim totaliter. Tindakan-tindakan demikian menimbulkan pertanyaan: apa kaitan cara-cara
non-liberal dengan tujuan liberal? Bila ideologi non-liberal telah merasuki masyarakat,
bagaimana cara masyarakat itu bisa diarahkan ke sistem politik yang lebih liberal? Apa
potensi revolusi melalui hukum? Sejauh mana masyarakat transisional bergantung pada
kebiasaan politik masa lalu sebagai dasar transformasi? Apa parameter normatifnya bila ada?
Apa justifikasi untuk politisaasi tersebut? Bagaimana kepentingan rezim penerus bisa
disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjamin hak-hak individual? Dilema yang timbul ini
berkaitan dengan cara dan tujuan. Apakah keadilan administratif transisional merupakan hal
buruk yang diperlukan untuk mengarah ke transformasi kemasyarakatan?
Dilema utama dalam hal ini terlihat dalam diskusi antara Arthur Koestler dan Maurice
Merleau-Ponty tentang “pembersihan” (purge) era Stalin. Dalam argumen mereka, Koestler
dan Merleau-Ponty menggunakan tokoh “komisaris” dan “yogi” untuk menggambarkan kedua
kubu yang bertentangan itu: sang komisaris membela pembersihan politik karena ia percaya
pada revolusi dan bahwa “tujuan menghalalkan segala cara”, dan sang yogi menentang
pembersihan karena ia percaya bahwa perubahan revolusioner tidak mungkin terjadi, sehingga
ia menyimpulkan “karena sasaran itu bersifat tidak dapat diramalkan ... cara-lah yang menjadi
penting”.1 Pertanyaannya adalah: apa kegunaan dan justifikasi cara dan tindakan yang jelasjelas bersifat politis yang diambil dalam masa perubahan politik radikal? Inilah subjek yang
akan dibahas dalam bab ini.
Setelah berakhirnya pemerintahan represif, timbul pertanyaan penting: apa kaitan suatu
pemerintahan yang jahat dengan warganya? Revolusi memiliki arti perubahan di tingkat
kepemimpinan; namun, untuk mengadakan perubahan politik yang substansial, diperlukan
lebih dari sekadar pergantian pemimpin di tingkat teratas. Dan, sering kali masyarakat
transisional menggunakan tindakan administratif secara luas untuk mendistribusikan ulang
kekuasaan antara warga negara. Bagaimana masyarakat yang sedang mengalami transformasi
1
Arthur Koestler, The Yogi and the Commissar, and Other Essays, New York: Macmillan, 1945; lihat Maurice
Merleau-Ponty, Humanism and Terror: An Essay on the Communist Problem, Boston: Beacon Press, 1969.
1
berpikir tentang penggunaan cara-cara yang berdasarkan pada kelas politik? Intuisi kita adalah
mengkonseptualkan tindakan-tindakan tersebut dengan cara yang antinomik: sebagai hukuman
yang retrospektif, atau kondisi tatanan politik yang prospektif. Tindakan administratif
transisional tampak paradoksal, dan tidak sesuai dengan intuisi yang berdasarkan pada hukum
di masa biasa. Dalam beberapa hal, tindakan tersebut memandang ke depan, untuk
mengadakan transformasi politik. Namun, di sisi lain, tindakan administratif transisional
memandang ke belakang, seperti sanksi punitif. Dalam karakternya yang memandang ke
belakang ini, respon-respon demikian menyerupai sanksi pidana; sementara dalam
memandang ke depan, tindakan-tindakan ini merupakan usaha berskala besar untuk menyusun
kembali komunitas, institusi dan proses politik, dan dalam hal ini keadilan administratif
menyerupai langkah-langkah konstitusional.
Berkaitan dengan pertentangan antara sifatnya yang memandang ke belakang sekaligus
ke depan adalah subjek peraturan ini, yang mencakup individu maupun kolektif. Peradilan
pidana biasanya berusaha menentukan tanggung jawab individual terhadap kesalahannya,
namun tirani negara birokratik modern menyebarluaskan tanggung jawab dalam seluruh
pemerintahan. Sehingga, penggunaan hukum pidana biasa tidak tepat, terutama bila mereka
yang terlibat dalam represi di masa lalu tidak hanya tidak dihukum, namun masih tetap
memegang kekuasaan dalam rezim yang baru. Sementara sanksi pidana biasanya ditimbulkan
dari kesalahan individual, sanksi perdata yang bersifat administratif didasarkan pada syaratsyarat untuk penyingkiran, terutama loyalitas politik, yang secara sistematis
mendiskualifikasikan kelompok-kelompok tertentu secara keseluruhan dari pemerintahan yang
baru.
Syarat kategoris yang muncul terus menerus dalam respon transisional ini memiliki
bentuk yang tegas: suatu kebijakan penyingkiran, yang mengingatkan kita pada teori politik
Thomas Hobbes, yang kemudian muncul kembali dalam tulisan Carl Schmitt, yaitu bahwa
“tindakan dan motif politik dapat direduksi menjadi ‘kawan’ dan ‘lawan’”.2 Suatu hukum
perdata yang terpolitisasi dapat menciptakan rezim politik yang baru, dengan menunjukkan
pergeseran pemegang kekuasaan konstitutif dan kedaulatan.
Respon kolektif yang bersifat ideologis tidak bisa dilepaskan dari politik dalam
transformasi. Dilema keadilan administratif tergambar dalam pengalaman dari masa kuno,
Amerika Serikat pasca-Perang Saudara, Eropa pasca-Perang, Amerika Latin pasca-rezim
militer dan dekomunisasi bekas blok Soviet. Langkah-langkah tersebut menggambarkan
bahwa penyelesaian praktis yang merupakan gabungan hukum dan politik diciptakan dalam
masa-masa pergolakan. Dengan penggabungan tersebut, proses-proses dan justifikasi bersama
menunjukkan bahwa bentuk-bentuk tindakan tersebut tidak bertentangan dengan tujuan
mereka, namun terkait dengan keperluan transformatif. Pembahasan tentang contoh-contoh
historis di bawah ini menggambarkan peran praktik-praktik tersebut dalam transformasi
radikal.
Sodom dan Gomora: “Pembersihan” Dua Kota yang Jahat
2
Carl Schmitt, The Concept of the Political, terjemahan George Schwab, Chicago: University of Chicago Press,
1996, 26.
2
Pertanyaan inti yang dicoba dijawab dalam bab ini adalah kaitan politik individu dengan
politik kolektif dan bagaimana kaitan ini dipikirkan kembali dan dibangun kembali dalam
transformasi politik radikal. Sejak masa kuno pun, pertanyaan ini dianggap sebagai inti
kemungkinan perubahan politik. Ini tampak dalam kisah biblikal tentang dialog terkenal
tentang rencana untuk menghancurkan Sodom dan Gomora, dua kota yang dikatakan “bejat”.3
Kedua kota itu memperlakukan tamu-tamunya dengan buruk – mulai dari ketidakramahan
hingga usaha pemerkosaan. Setelah kekejaman ini dilakukan, pertanyaannya adalah: respon
apa yang tepat, dan apakah kedua kota itu harus dihancurkan karena dosa-dosa mereka?
Dilemanya adalah apabila kota-kota itu harus dihancurkan, itu berarti bahwa orang-orang
benar akan ikut musnah bersama orang-orang berdosa. Pertanyaan utamanya adalah: apa
kaitan warga dengan identitas politik dari kota itu, dan sejauh mana keberadaan warga negara
yang “baik” mempengaruhi identitas suatu kota?
Kisah biblikal ini menunjukkan kaitan yang subtil antara identitas politik kota dengan
identitas warganya, antara kolektif dan individual. Kota-kota tersebut tidak bisa diselamatkan
hanya karena ada satu orang benar. Dalam tawar menawar, jumlah orang benar yang
diperlukan untuk menyelamatkan kota dimulai dari lima puluh, “Jika Kudapati lima puluh
orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni tempat itu karena mereka”, dan turun
hingga sepuluh, “Aku tidak akan memusnahkannya karena yang sepuluh itu”.4 Terdapat titik
balik dalam kaitan antara identitas individual dan kota yang menjadi batas identitas kolektif
politik.
Lebih lanjut lagi, apakah keberadaan beberapa orang benar sudah cukup (untuk tidak
memusnahkan kota-kota itu)? Menyelamatkan kota-kota itu menimbulkan pertanyaan tidak
saja tentang jumlah orang benar yang cukup, namun juga tentang apa yang menyusun suatu
komunitas politik. Kisah tersebut menyatakan bahwa orang-orang benar tersebut harus
ditemukan “dalam kota Sodom”, yang memiliki arti bahwa mereka haruslah ikut berpartisipasi
dalam lingkup publik.5 Dalam sebuah kota yang layak diselamatkan, paling tidak harus ada
sepuluh warga yang merupakan komunitas yang berpartisipasi dalam politik. Bahkan,
pemahaman tentang politik yang “bersih” sebagai syarat partisipasi dalam lingkup publik
tampak dalam teori politik Aristotelian di kemudian hari. Pesan tentang apa yang menyusun
masyarakat sebagai hal yang normatif dipertegas dalam bagian lain dalam kisah biblikal
tersebut. Lebih luas dari pertanyaan ini adalah tentang apa kaitan yang tepat antara individu
dan kolektif, yang ditentukan dalam redefinisi afiliasi politik berdasarkan batas keanggotaan
dan partisipasi. Dosa-dosa yang dilakukan oleh kota-kota yang bejat ini dengan sendirinya
berkaitan dengan kebejatan seluruh warga kotanya, karena mereka telah melanggar prinsipprinsip mendasar keadilan sosial yang mencakup perlakuan buruk terhadap tamu-tamu. Sejak
masa kuno, warga asing yang berada di luar komunitas politiknya secara normatif tetap
dilindungi tanpa memperhatikan batas negara. Pertanyaan tentang respon apa yang diperlukan
– terhadap penganiayaan orang-orang asing, di luar perlindungan hukum komunitas tersebut –
tetap relevan hingga masa modern ini.
3
W. Gunther (ed.), “Genesis”, dalam The Torah: A Modern Commentary, New York: Union of Hebrew
Congregations, 1981, 18: 16-19: 38.
4
Ibid., 18: 23-32.
5
Lihat Nehama Leibowitz, Studies in the Book of Genesis, in the Context of Ancient and Modern Jewish Bible
Commentary, terjemahan Aryeh Newman, Yerusalem: World Zionist Organization, Department for Torah
Education and Culture in the Diaspora, 1976, 185-86.
3
Dalam kisah biblikal ini, legitimasi kedua kota ini masih perlu ditentukan terlebih
dahulu. Kedua kota ini pada akhirnya dimusnahkan, namun tidak secara sewenang-wenang.
“Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomora dan sesungguhnya
sangat berat dosanya. Baiklah aku turun untuk melihat ...”6 Bahkan, Yang Maha Mengetahui
pun masih merasa perlu melakukan penyelidikan. Kebenaran politik, atau loyalitas, adalah hal
yang diselidiki melalui proses publik, sesuai dengan kondisi dan dalam jangka waktu yang
panjang. Seperti dalam ilustrasi klasik ini, proses “evaluasi” inilah yang merupakan bagian
keadilan administratif, yang berpuncak pada ritual-ritual politik lustrasi, yang akan
dibicarakan lebih lanjut dalam bab ini.
Meskipun intuisi liberal menekankan signifikansi tindakan individual, syarat
perubahan menuju masyarakat sipil seperti ditunjukkan dalam kisah klasik tersebut tidaklah
semata-mata terkait dengan individu, namun mencakup pula hubungan antara individu dengan
masyarakatnya. Pemusnahan kedua kota tersebut menunjukkan bahwa identitas politik suatu
kelompok politis berdasarkan pada batasan minimal kelompok politik berdasarkan jumlahnya.
Terdapat juga kaitan antara masa lalu kota-kota tersebut dengan masa depannya: sejarah
kejahatan di kota-kota itu memiliki dampak penting, karena mengakibatkan kehancurannya di
masa berikutnya. Keputusan ini bersifat radikal dan absolut: karena kejahatannya di masa lalu,
kota-kota tersebut kehilangan masa depannya. Transformasi politik mutlak diperlukan untuk
keberlangsungan kehidupan politik, dan meskipun terdapat intuisi liberal yang sering
dikonstruksikan untuk memberikan nilai tambah pada peran individu, usaha transformasi
politik memiliki persyaratan, yaitu keberadaan badan partisipatoris. Pemusnahan kedua kota
ini merupakan contoh awal peran sanksi kolektif dalam transisi politik. Pada dasarnya
pemusnahan ini menggambarkan keterbatasan dan batas-batas kemungkinan perubahan.
Merekonstruksi Amerika
Mungkin eksperimen terbesar dalam rekonstruksi identitas politik melalui hukum publik
terjadi pada abad ke-19. Kasus ini memiliki relevansinya karena ia menggambarkan peran
konflik politik yang berkelanjutan dengan lingkup perubahan politik dan batasan-batasan
terhadap tindakan-tindakan politis yang dijalankan dalam sistem demokrasi konstitusional.
Setelah Perang Saudara di Amerika, masa yang dikenal sebagai Rekonstruksi adalah
masa pergulatan nasional tentang transformasi negara Serikat tersebut. Dalam masa ini
terdapat dilema tentang bagaimana merespon konflik berdarah yang menimbulkan banyak
korban, suatu lembaran hitam dalam sejarah negara tersebut, ketika perbedaan politis
diselesaikan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan Konstitusi. Ilegalitas inilah – sifat
Perang Saudara yang ekstrakonstitusional – yang merupakan titik tolak rekonstruksi. Jika
Perang Saudara dan pemisahan Konfederasi dianggap terjadi di luar hukum, timbul pertanyaan
tentang bagaimana menunjukan ketidaktaatan Selatan ini. Bagaimana Serikat dikhianati?
Apakah Serikat dikhianati oleh negara-negara bagian “pemberontak”, sebagai negara bagian,
atau oleh warganya, sebagai warga “pemberontak”? Dan, bila pelanggaran dilakukan oleh
individu maupun negara bagian, apa arti rekonstruksi? Rekonstruksi lebih dari sekadar
restorasi – ia memiliki arti perubahan politik yang lebih luas. Hal ini menimbulkan pertanyaan
tentang apa yang seharusnya menjadi kaitan antara masa lalu Serikat dengan masa depannya,
6
Plaut (ed.), “Genesis”, 18:20-21.
4
negara-negara bagian yang memberontak dan warganya. Rekonstruksi menyoroti
kemungkinan restrukturisasi individu, warga negara dan negara, dalam gejolak politik yang
radikal.
Sejauh mana negara-negara bagian yang memberontak dapat menjadi anggota
sepenuhnya dan setara dalam Serikat yang baru? Apakah loyalitas politik di masa lalu
berkaitan dengan representasi politik di masa depan dalam Serikat? Apakah negara-negara
bagian yang memberontak dan warganya dapat dianggap sebagai pengkhianat dan dipidana?
Dan, meskipun pada masa perang mereka dijatuhi status penjahat perang, apakah anggota
Konfederasi dan pendukungnya akan direstorasi? Tindakan pidana sejauh mungkin dihindari,
selain pengadilan pemimpin Konfederasi, Jefferson Davis dan Kapten Henry Wirz, kepala
kamp tahanan Andersonville. Namun, apakah suatu Serikat yang demokratis dapat dibentuk
dari anggota-anggota Konfederasi yang belum direkonstruksi? Bahkan bila dapat dibayangkan
suatu tatanan baru yang mencakup para mantan pendukung Konfederasi, paling tidak pada
jajaran atas akan ditarik suatu garis yang mensyaratkan pergantian kepemimpinan dan
representasi negara-negara bagian Selatan. Amerika pasca-Perang Saudara menunjukkan
masalah besar tentang bagaimana merespon ketidaktaatan dan bagaimana menciptakan
kepercayaan terhadap pemerintahan nasional yang baru.
Dasar kebijakan Rekonstruksi adalah pemisahan diri dan ilegalitasnya. Sebagai
parameter batasan politis dan juridis, disahkanlah amendemen konstitusional baru yang
menyatakan ilegalitas pemisahan diri tersebut. Ilegalitas pemisahan diri tersebut memberikan
implikasi diskontinuitas legal antara rezim, antara Konfederasi dan Serikat. Ilegalitas ini
dinyatakan secara eksplisit dalam suatu provisi konstitusional yang menghilangkan tanggung
jawab untuk hutang-hutang yang ditimbulkan oleh negara-negara bagian pemberontak selama
perang.7 Bahkan meskipun tidak diperdebatkan lagi bahwa Konfederasi telah dihancurkan
sebagai satu entitas legal, negara-negara bagian yang memisahkan diri tersebut masih ada
sebagai entitas politik dan juridis, yang menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana
mengembalikan hak-hak mereka dan bagaimana memasukkan kembali mereka ke dalam
Serikat. Dalam Serikat yang baru ini, respom publik luas melakukan pelucutan politik
(political disability) bagi negara-negara bagian Konfederasi dan warganya, dan menentukan
kembali batas politik Serikat melalui hukum konstitusional.8
Selama Rekonstruksi, selalu terdapat pertanyaan tentang bagaimana memperlakukan
negara-negara bagian pemberontak dan warganya, serta kebijakan transisional manakah yang
memandu hubungan ini. Rekonstruksi Amerika memiliki arti suatu perubahan dalam kaitan
antara individu dan kolektif, warga negara dan negara. Bahkan, keruntuhan rezim perbudakan
dan konsolidasi republik bergantung pada rekonstruksi kaitan ini. Sepanjang sejarah,
pengucapan sumpah setia dipergunakan untuk membantu mengkonsolidasikan suatu
kemunitas politik yang rapuh dan terbelah. Semakin retak kelompok politik tersebut, semakin
besar tekanan untuk menyatukannya. Suatu bentuk kebijakan Rekonstruksi yang relatif lunak
disarankan pada masa Presiden Abraham Lincoln, yaitu dengan menyuruh para mantan
pendukung Konfederasi mengucapkan sumpah setia kepada Serikat. Rencana ini bisa
7
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 4 (menyatakan bahwa “baik Amerika Serikat maupun
negara lainnya tidak akan menanggung atau membayar hutang atau kewajiban yang ditimbulkan dari bantuannya
terhadap insureksi atau pemberontakan melawan Amerika Serikat ... semua hutang, kewajiban dan klaim
demikian akan dianggap ilegal dan tidak sah”).
8
Lihat misalnya, Texas v. White, 74 US 700 (1868).
5
diterapkan secara universal, sebagai pernyataan persetujuan secara publik kepada pemerintah
yang baru, untuk menunjukkan kesetiannya.9 Penggunaan sumpah demikian telah dimulai
sejak transisi lebih awal dari Inggris, di mana Konstitusi Amerika mewajibkan sumpah
menurut Konstitusi bagi semua orang yang hendak menduduki jabatan publik, untuk
menunjukkan kesetiaan, bukan kepada raja yang berada entah di mana, namun kepada
Konstitusi. Bila sepuluh persen dari negara-negara Konfederasi sepakat untuk mengucapkan
sumpah setia kepada Amerika Serikat, pemerintahan negara bagian yang baru akan diakui, dan
pengampunan serta restitusi hak milik akan diberikan. Sumpah kesetiaan model Lincoln ini
ditujukkan untuk memungkinkan transformasi dari pemberontak, ke negara-negara bagian
yang dikembalikan hal legalnya, namun rencana ini tidak bertahan lama, dan digantikan oleh
kebijakan yang lebih keras.
Kebijakan Rekonstruksi yang merujuk pada syarat-syarat konstitusional dalam
Amendemen XIV pada umumnya bersifat prospektif; syarat-syarat yang diberikan kepada
negara-negara Selatan dan warganya untuk kembali menjadi anggota Serikat menunjukkan
komitmen umum terhadap prinsip utama kesetaraan di muka hukum. Rehabilitasi negaranegara bagian disyaratkan pada ketaatan pada Amendemen XIV dan XV, dan disepakati oleh
badan-badan perwakilan negara bagian sebelum dinyatakan sah untuk memiliki perwakilan
dalam kongres negara federal (Serikat).10 Demikian pula, syarat-syarat konstitusional ini dapat
mendiskualifikasi siapa saja, yang sebelumnya melanggar sumpahnya untuk menjunjung
Konstitusi dengan melakukan pemberontakan, dari jabatan publik. Sejarah legislatif ini
menunjukkan dengan jelas bahwa pelucutan-diri secara konstitusional ini ditujukkan untuk
menyingkirkan mantan pemimpin Konfederasi dari jabatan publik.
Tidak seorang pun dapat menjadi Senator atau Wakil dalam Kongres, atau Pemilih Presiden dan
Wakil Presiden, atau memegang jabatan apa pun, sipil atau militer, dalam negara Amerika
Serikat, atau dalam negara-negara bagiannya yang mana pun, yang sebelumnya telah mengambil
sumpah, sebagai anggota Kongres, atau sebagai pejabat Amerika Serikat, atau sebagai anggota
badan legislatif negara-negara bagiannya yang mana pun, untuk menjunjung Konstitusi Amerika
Serikat, [namun] telah melakukan insureksi atau pemberontakan terhadap [Konstitusi] tersebut,
atau memberikan bantuan kepada musuh-musuh [Konstitusi].11
Pelucutan-diri secara konstitusional ini diberi kekuatan dengan pengesahan sumpah “berlapis
baja” (ironclad oath), yang mewajibkan seseorang untuk bersumpah bahwa sejak sebelumnya
ia telah menjunjung Konstitusi sebelum ia dapat memegang jabatan publik di masa depan.
Dengan rehabilitasi yang disyaratkan pada sumpah tersebut, identitas politik negara
didefinisikan pada utamanya sebagai respon terhadap rezim sebelumnya. Sementara sumpah
kesetiaan Lincoln merupakan ekspresi penegasan kesetiaan di masa mendatang yang melihat
ke depan, sumpah ironclad ini kebalikannya, sebagai ungkapan penolakan memandang ke
9
Lihat Jonathan Truman Dorris, Pardon and Amnesty under Lincoln and Johnson: The Restoration of the
Confederates to Their Rights and Privileges, 1861-1898, Westport, Conn: Greenwood Press [1953] 1977.
10
Lihat White v. Hart, 80 US 646 (1871) (menjelaskan bagaimana Akta Rekonstruksi mewajibkan negara-negara
bagian yang memberontak untuk menaati syarat-syarat yang ditentukan Kongres untuk dapat dikembalikan ke
statusnya sebelum melakukan pemberontakan).
11
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 3 (“Namun Kongres bisa, dengan melakukan
pemungutan suara yang disepakati dua pertiga dari masing-masing kamar, mencabut pelucutan tersebut”). Bagian
ini mulai diberlakukan pada bulan Juli 1868.
6
belakang. Seperti sumpah kanonik di masa lampau,12 sumpah ironclad berfungsi sebagai ujian
kebenaran politik, yang digunakan untuk membersihkan seseorang dari tuduhan atau
kecurigaan, dengan melakukan sumpah tersebut. Meskipun sumpah ironclad ini adalah suatu
tindakan yang keras, bahasa konstitusional dalam amendemen Rekonstruksi mencerminkan
ambivalensi yang mendalam tentang penerapannya. Tidak seperti provisi konstitusional
lainnya yang dapat diterapkan dengan sendirinya, pelucutan politik mensyaratkan adanya
konsensus politik yang berjalan. Terlebih lagi, dalam amendemen konstitusional ini, Kongres
secara eksplisit diberi kekuasaan untuk mengesampingkan ketentuan soal pelucutan politik
itu,13 yang menunjukkan bahwa amendemen Rekonstruksi ini tidak memiliki status
konstitusional dan dianggap sebagai tindakan ad hoc –diperlukan hanya untuk kepentingan
politis.
Pelucutan politik Rekonstruksi pada akhirnya tidak berlangsung lama. Selama
beberapa tahun, Kongres secara teratur menjalankan kekuasaannya: membuat perundangundangan amnesti dan secara teratur mencabut pelucutan politik.14 Dalam Kongres ke-42,
pelucutan ini ditetapkan hanya berlaku bagi jabatan tinggi dalam politik. Pada tahun 1872, atas
dorongan Presiden Ullysess Grant, Kongres membebaskan semua orang dari pelucutan
konstitusional, kecuali pejabat tinggi politik, seperti wakil dalam Kongres dan hakim federal.
Akhirnya, pada tahun 1878, enam tahun setelah dilaksanakannya, pelucutan politik yang
terbatas ini bahkan dicabut, dan hanya menyisakan provisi konstitusional untuk mencabut hak
dipilih menjadi wakil. Namun, pelucutan-diri secara konstitusional tetap dipergunakan sebagai
alat peringatan, sebagai cara diskualifikasi de facto dari jabatan publik atas dasar politik.
Pelucutan politik era Rekonstruksi masih tetap ada dalam Konstitusi Amerika, di mana mereka
merupakan ekspresi politik sejarah yang membentuk identitas Amerika Serikat.
Kebijakan rekonstruksi bersifat kontroversial karena ia secara mendasar menata ulang
hubungan negara bagian federal, yang kemudian akan mendapatkan tantangan di pengadilan.
Pertanyaan konstitusionalnya adalah prinsip apa yang mengatur hubungan antara pemerintah
federal dan negara bagian, pemerintah dan warga. Dalam sistem federal, pemerintah mana
yang memiliki otoritas untuk menentukan status dan hak warga negara, dan siapa yang harus
ditaati oleh warga negara? Terlebih lagi, ke mana pertanyaan-pertanyaan tersebut akan
mengarahkan penciptaan kembali identitas politik negara?
Dalam tinjauannya, Mahkamah Agung Amerika Serikat pada umumnya merujuk pada
cabang-cabang politik dan agenda Rekonstruksi. Dalam kasus Mississippi v. Johnson, Georgia
v. Stanton dan Texas v. White, kasus-kasus di mana negara-negara bagian yang memisahkan
diri menentang batasan-batasan baru dari pemerintah, Mahkamah Agung menegaskan
kebijakan Rekonstruksi.15 Jaminan konstitusional terhadap bentuk pemerintahan “republikan”
dianggap sebagai kewajiban politik yang menyusun dasar perundang-undangan Rekonstruksi.
Dengan menjunjung kebijakan transformatif dalam perimbangan kekuasaan federal-negara
12
Lihat Oxford English Dictionary, edisi kedua, entri “purgation: pembersihan kanonik (seperti dalam hukum
kanonik), penegasan melalui sumpah tentang ketidakbersalahan seseorang oleh penuduh dalam pengadilan
spiritual, diperkuat oleh sumpah beberapa rekannya”.
13
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV.
14
Seperti dijelaskan dalam provisi ini, diskualifikasi dibatalkan oleh Kongres pada tahun 1886. Lihat House
Committee on the Judiciary, Removal of Disabilities Imposed by the Fourteenth Article of the Constitution, 55th
Cong., 2nd sess., 1898, H. Rept. 1407.
15
Lihat Mississippi v. Johnson, 71 US (4 wall.) 475 (1867) (menegaskan peran cabang eksekutif dalam Akta
Rekonstruksi); Georgia v. Stanton, 73 US (6 Wall.) 50 (1868); Texas v. White 74 US 700 (1868).
7
bagian, Mahkamah Agung menegaskan kembali peran cabang-cabang politik dengan
mengizinkan Kongres untuk mengontrol akses ke tinjauan judisial pada isu-isu Rekonstruksi
dengan menggunakan kekuasaannya untuk mencabut hukuman berdasarkan konstitusi.16
Meskipun pada umumnya Mahkamah Agung mengalah kepada Kongres, ia menegaskan
perlunya akses pada pengadilan di masa damai dan due process.17 Dalam kasus-kasus sumpah
kesetiaan, Ex Parte Garland dan Cummings v. Missouri, yang diputuskan pada tahun 1866,
Mahkamah Agung mempertimbangkan dan mencabut konstitusionalitas pelucutan politik bagi
para pendukung Konfederasi. Ex Parte Garland menyangkut konstitusionalitas sumpah
ironclad, yang ditantang oleh seorang pengacara yang tidak bisa mengambil sumpah
demikian, karena ia pernah menjabat di Pengadilan Arkansas, suatu negara Konfederasi.
Dampak sumpah tersebut adalah bahwa ia tidak bisa lagi berpraktik, karena statusnya di masa
lalu.18 Kasus lainnya, Cummungs v. Missouri, merupakan tantangan terhadap sumpah serupa
dalam konstitusi negara bagian. Sebagai syarat untuk dapat memilih di negara bagian tersebut,
selain memegang jabatan publik, mengajar dan bekerja dalam profesi lain, seperti menjadi
pendeta, Konstitusi Missouri mewajibkan para calon untuk menyatakan apakah mereka pernah
“mengangkat senjata melawan Amerika Serikat” atau “dengan tindakan atau kata-kata …
menyatakan kesetiaan terhadap musuh-musuh Amerika Serikat”.19 Dalam kasus Garland dan
Cummings, Mahkamah Agung menolak sumpah Rekonstruksi, dan menyatakan bahwa
meskipun secara garis besar hal tersebut serupa dengan sanksi perdata, mereka merupakan
bentuk hukuman yang tidak diizinkan. Pertanyaan yang relevan tentang apakah sumpah
kesetiaan dapat dianggap sebagai kualifikasi valid untuk memegang jabatan publik, menurut
Mahkamah Agung, bergantung pada kaitan antara tindakan yang relevan dan jabatan yang
dimaksudkan, yaitu kekuatan hubungan antara cara-cara legislatif dan tujuan yang hendak
dicapai. Mahkamah Agung menyatakan bahwa luasnya jangkauan sumpah ini membelokkan
tujuan semula untuk menjamin ketaatan pada Serikat. Penerapan persyaratan politis ini
dianggap sebagai kebijakan punitif. Meskipun sumpah ini memiliki bentuk perdata,
pencabutan hak ini dianggap sebagai bentuk hukuman. Pelucutan secara luas tanpa
memandang secara spesifik merupakan hambatan inkonstitusional terhadap kebebasan
berasosiasi. Kebebasan berbicara dan hak-hak lainnya juga dipermasalahkan, demikian pula
apakah ada kaitan langsung antara diskualifikasi politik dan jabatan yang dipermasalahkan.
Mahkamah Agung menolak tujuan Rekonstruksi dari pemerintah dan menyatakan bahwa
secara konstitusional, hal demikian tidak bisa dirasionalisasikan dalam transformasi.
Pelucutan pasca-Perang Saudara ini nyaris tidak bersesuaian dengan intuisi kita tentang
penghukuman pada masa biasa: bahkan interpretasi konstitusional terhadap tindakan era
Rekonstruksi ini dipandu oleh preseden transisional lainnya dalam masa-masa perubahan
politik radikal dalam sejarah Anglo-Amerika. Undang-undang era Rekonstruksi serupa dengan
apa yang dilarang dalam klausul “bill of attainder” dalam Konstitusi. Seperti juga bill of
attainder, sumpah era Rekonstruksi dianggap sebagai penerapan hukuman tanpa proses
judisial yang lazim. Ketiadaan proses judisial yang biasanya dikaitkan dengan pemberian
hukuman, seperti perlindungan terhadap retroaktivitas, menjadikan sumpah tersebut
inkonstitusional. Sepanjang sejarah Anglo-Amerika, tindakan serupa pernah diberlakukan,
16
Lihat Ex Parte McCardle, 74 US (7 Wall.) 504 (1869).
Lihat Ex Parte Milligan, 71 US (4 Wall.) 2 (1866).
18
Lihat Ex Parte Garland, 71 US (4 Wall.) 333 (1866).
19
Lihat Cummings v. Missouri, 71 US (4 Wall.) 277, 279 (1866).
17
8
pertama kali oleh Parlemen Inggris dalam masa-masa pelanggaran oleh monarki, dan kedua,
oleh negara-negara bagian setelah Revolusi Amerika. Yang mencirikan tindakan ini adalah
bahwa mereka diterapkan oleh badan legislatif, dan mengambil dasar politis. Sepanjang
sejarah, sanksi legislatif demikian secara tradisional digunakan untuk menindas oposisi politik.
Seperti diamati Mahkamah Agung, undang-undang ini “paling sering digunakan di Inggris
pada masa pemberontakan, atau ketidaktaatan terhadap kerajaan, atau gejolak politik dengan
kekerasan; yaitu masa-masa di mana semua negara paling rentan ... untuk mengabaikan
kewajiban mereka dan menginjak-injak hak dan kebebasan negara lainnya”.20 Sementara bill
of attainder Inggris tidak memiliki justifikasi demikian, namun tetaplah dianggap sebagai
bentuk hukuman yang seharusnya tidak diizinkan, meskipun memiliki alasan transformatif.21
Di masa kini, pemahaman konvensional tentang jurisprudensi era Rekonstruksi adalah
bahwa ia menghalangi transformasi di masa tersebut.22 Masa tersebut dianggap sebagai titik
terendah jurisprudensi Mahkamah Agung dan sering kali dihilangkan dari tinjauan hukum
konstitusional. Namun, analisis di atas mendorong pemikiran ulang tentang doktrin masa
tersebut. Dibandingkan dengan fenomena transisional serupa dalam masyarakat lainnya, era
Rekonstruksi menunjukkan jurisprudensi terpolitisasi yang merupakan ciri masa gejolak
politik. Jurisprudensi ini menunjukkan ketegangan dan inkoherensi antara hukum pidana dan
perdata yang seharusnya terpisah, juga hukuman dan hukum administratif. Ia juga menguji
batas hukum konstitusional, terutama sejauh mana politisasi diizinkan. Pertimbangan ulang
tentang kasus Rekonstruksi dari perspektif transisional menantang pemahaman yang lazim
tentang sifat dan peran hukum publik yang dipolitisasi. Bagi pengadilan era Rekonstruksi,
referensi diambil dari masa-masa transformasi politik dalam sejarah negara itu. Presedenpreseden sejarah ini menunjukkan bahwa bahkan pada masa itu, tindakan tersebut dianggap
sebagai tindakan yang diambil pada masa luar biasa dan transisional, karena Mahkamah
Agung mengimbangkan pemikiran tersebut dengan ketaatan pada kedaulatan hukum
konvensional.
Jurisprudensi era Rekonstruksi dipandu oleh kompromi: seperti juga di negara-negara
lain yang mengalami gejolak politik, jurisprudensi Amerika era Rekonstruksi mencerminkan
keadilan konstitusional yang terbatas dan parsial. Dalam masa demikian, ajudikasi
konstitusional mencerminkan kesetimbangan antara nilai-nilai kontinuitas dan diskontinuitas
dan nilai-nilai kedaulatan hukum keamanan dan kesetaraan yang berpotensi dipertentangkan.
Rekonseptualisasi politik konstitusional di masa itu memiliki implikasi pada perdebatan
kontemporer tentang prinsip-prinsip yang relevan untuk memandu interpretasi konstitusional
bagi amendemen-amendemen Rekonstruksi.23 Pengakuan kaitan amendemen Rekonstruksi
dengan agenda politik luas pada masa itu memiliki implikasi untuk menafsirkan amendemen
20
Ibid., 323.
Tentang perbedaan antara sanksi pidana dan perdata, lihat George P. Fletcher, “Punishment and
Compensation”, Creighton Law Review 14 (1981): 691; Maria Foscarinis, “Toward a Constitutional Definition of
Punishment”, Colombia Law Review 80 (1980): 1677. Lihat juga Elfbrandt v. Russel, 384 US 11 (1966);
Kennedy v. Russel, 384 US 11 (19656); Kennedy v. Mendoza Martines, n372 US 144 (1963); Wiemann v.
Updegraff, 344 US 183 (1952) menolak sumpah berkaitan afiliasi masa lalu dengan komunisme).
22
Untuk tinjauan kritis tentang pemahaman umum ini, lihat Stanley Kutler, Judicial Power and Reconstruction
Politics, Chicago: University of Chicago Press, 1968.
23
Tentang perdebatan ini, bandingkan Raoul Berger, Government by Judiciary: The Transformation of the
Fourteenth Amendment, Indianapolis: Liberty Fund, 1977 dengan Robert J. Kaczorowski, “Revolutionary
Constitutionalism in the Era of the Civil War and Reconstruction”, New York University Law Review 61 (1986):
863.
21
9
tersebut berkaitan dengan program legislatif Rekonstruksi. Demikian pula halnya dengan
kaitan pemahaman sejarah standar hak-hak sipil masa tersebut dengan kontroversi hak serupa
di masa kini. Jurisprudensi era Rekonstruksi sebaiknya dipahami dari perspektif transisional,
tujuan transformatif masa ini menjelaskan jurisprudensi pengambilan keputusan yang
terpenting di masa tersebut dan menerangkan relevansinya dengan jurisprudensi
konstitusional.
Pembebasan Melalui Hukum
“Saya tidak mengenal cara untuk mengajukan tuduhan kepada suatu bangsa.”
(Edmund Burke, Pidato Perdamaian dengan Amerika)
22 Maret 1775
Dalam sejarah, proyek besar transformasi politik berikutnya adalah denazifikasi, yang
diusahakan pada akhir Perang Dunia Kedua, ketika Sekutu menegaskan bahwa para
pendukung Nazisme harus diturunkan dari jabatan-jabatan berpengaruh di Jerman. Di satu sisi
kebijakan pengadilan pasca-perang dirasionalkan sebagai tindakan retributif untuk membalas
pelanggaran yang dilakukan Nazi, di Postdam. Namun, di sisi lain, rencana denazifikasi
dijustifikasi untuk tujuan ke depan, yaitu demokratisasi. Denazifikasi dianggap perlu, untuk
menjamin bahwa mereka yang memiliki kecenderungan fasis tidak lagi memegang kekuasaan.
Namun bagaimana cara menjangkau semua orang demikian? Meskipun denazifikasi pascaperang bermula dengan pemikiran untuk melarang pejabat tinggi Nazi, SS, Gestapo, dan SD
dari jabatan tertinggi dalam rezim baru, seiring perjalanan waktu, kebijakan ini diterapkan
secara nyaris universal.
Meskipun bertujuan untuk demokrasi yang memandang ke depan, secara mendasar
skema ini juga memandang ke belakang. Dengan menggunakan konsep “kejahatan yang
meraja-lela” pada masa Nazi, pengadilan Nuremberg memberikan pendekatan baru untuk
menjawab pertanyaan tentang kaitan tanggung jawab individual dan kolektif dalam
penindasan masa perang. “Buah pikiran Bernay” menggunakan pengadilan individual untuk
memidana organisasi-organisasi Nazi, dan menuntut organisasi tersebut memerintahkan
anggota-anggotanya untuk menyelesaikan masalah praktis bagaimana menjangkau semua
orang yang terlibat. Setelah organisasi-organisasi tertentu menjadi “terpidana” oleh Tribunal
Militer Internasional, dalam pengadilan lanjutannya, keputusan tentang organisasi menjadi
dasar untuk keputusan tentang individu.24 Pengadilan individual tidaklah diperlukan;
pembuktian keanggotaan dalam organisasi kriminal dianggap sudah cukup. Ide ini
menimbulkan kontroversi karena pendekatannya yang cair terhadap tanggung jawab
individual; ia menentang intuisi tentang kedaulatan hukum, yang memandu pandangan tentang
status, hak dan tanggung jawab individual. Setelah Nuremberg, pemikiran bahwa Nazisme
adalah “kejahatan” dianggap benar secara hukum. Kebijakan penghukuman oleh Tribunal
membantu membentuk proses denazifikasi: ciri hukum pada masa ini adalah kontinuitas cair
dalam penetapan tanggung jawab individu dan organisasi, selain sebagai penengah antara
batas sanksi pidana dan perdata.
24
Lihat Norman E. Tutorow (ed.), War Crimes, War Criminals and the War Crimes Trials: An Annotated
Bibliography and Source Book, New York: Greenwood Press, 1986.
10
Pada saat diciptakannya setelah perang, kebijakan denazifikasi dalam pemerintahan
militer Sekutu di Jerman secara eksplisit dikaitkan dengan kebijakan peradilan pidana pascaperang yang disusun di Nuremberg, dengan dasar tanggung jawab organisasional. Pada tahap
pertama, denazifikasi dibatasi pada diskualifikasi mereka yang memegang jabatan tinggi
dalam partai Nazi dan organisasi “kriminal” lainnya (menurut Nuremberg). Namun, ketika
kekuasaan dikembalikan kepada Jerman, tahap denazifikasi berikutnya yang lebih ambisius
dimulai. Seperti namanya, Akta Pembebasan Jerman dari Nazisme dan Militerisme (5 Maret
1946), ditujukan untuk membersihkan Jerman dari ideologi Nazi. Tirani Nazi akan
disingkirkan dari “pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat, ekonomi dan budaya”. Untuk
mencapai tujuan tersebut, fragebogen (kuesioner) digunakan untuk menanyakan kepada semua
warga negara dewasa untuk menjelaskan apa yang mereka lakukan di masa perang. Cakupan
Akta Pembebasan yang luas ini menjangkau “pelanggar utama”, yaitu mereka yang secara
langsung terlibat dengan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, hingga
“pengikut”, yakni para pendukung Nazisme di tingkat bawah.25 Dasar untuk memberikan
sanksi menurut hukum adalah cukup dengan membuktikan keanggotaan. Dengan kerangka
pemberian sanksinya yang luas berdasarkan berbagai tingkat tanggung jawab, Akta
Pembebasan merupakan skema penghukuman, yang menunjukkan sisi punitif denazifikasi.
Sanksi yang menimbulkan pengurangan hak-hak sipil ini – dari pemenjaraan hingga
penghilangan kesempatan bekerja dalam sektor publik dan lainnya – tampak sebagai bentuk
hukuman. Namun, meskipun denazifikasi memiliki dampak punitif, sanksi perdata di
dalamnya tidak memiliki fokus individual; prosedurnya bukanlah pidana dan hanya didasarkan
pada proses administratif. Di satu sisi, seperti dibicarakan dalam bab 2, peradilan pidana
dalam transisi sering kali melibatkan proses yudisial yang tidak berpuncak pada pemberian
hukuman sepenuhnya. Sementara di sisi lainnya, tindakan administratif transisional sering kali
menimbulkan hal sebaliknya: sanksi punitif tanpa melalui proses yudisial yang lengkap.
Hampir semua pengamat menyatakan bahwa kebijakan denazifikasi gagal. Hampir
semua orang yang disorot dalam skema tersebut dikatakan sebagai “pengikut” – tingkat
terendah dalam tanggung jawab politik. Mereka yang dihukum hanya mendapatkan sanksi
denda; hanya sedikit yang dilarang menjabat, itu pun untuk jangka waktu yang pendek. Lama
setelah denazifikasi, banyak anggota elite yang bekerja-sama dengan Nazi masih tetap
memegang jabatan mereka; bahkan institusi peradilan pun masih tetap dikuasai oleh mantan
anggota Nazi.26 Bertahun-tahun kemudian, pertanyaan tentang bagaimana menyikapi para
pejabat era Nazi menjadi sangat kontroversial, sehingga tidak pernah mencapai konsensus;
dalam undang-undang dasar yang baru, pertanyaan ini dialihkan kepada cabang politik di
waktu yang lain. Anehnya, justifikasi yang digunakan untuk melakukan denazifikasi kembali
digunakan untuk merasionalkan kebijakan pengembalian kedudukan para mantan Nazi.
Keanggotaan dalam partai Nazi sedemikian besarnya, sehingga melanjutkan kebijakan
denazifikasi akan berarti menurunkan banyak hakim yang ada. Pengalaman sebelumnya dalam
pemerintahan, meskipun dalam rezim Nazi, dijadikan alasan untuk integrasi ke dalam sistem
layanan publik. Bahkan sebenarnya, tidak lama setelah kebijakan denazifikasi disahkan,
disahkan pula Akta Pengembalian Kedudukan, yang mengembalikan jabatan para pejabat
mantan Nazi, dan dengan demikian menghentikan denazifikasi.
25
26
Lihat Act for Liberation from National Socialism and Militarism, Pasal 1 (Jerman, 1946).
Lihat Ingo Müller, Hitler’s Justice: The Courts of the Third Reich, Cambridge: Harvard University Press, 1991.
11
Dalam kritik standar terhadap kebijakan denazifikasi, kegagalan terletak pada
kelemahan dalam pelaksanaannya karena konteks politik: jumlah yang sedemikian besar
sehingga tribunal tidak dapat melakukan penyaringan, ketiadaan keinginan politis, terutama
akibat Perang Dingin, dan kesukaran usaha untuk “pembersihan diri sendiri”. Terdapat pula
kaitan antara denazifikasi dan kebijakan penghukuman, sehingga ketika proses pengadilan
berakhir dengan pengampunan, denazifikasi menjadi sukar untuk dilanjutkan.27 Luasnya
denazifikasi yang mencakup semua pejabat dalam sistem administrasi publik menjadikan
pelaksanaannya amat sukar. Kritik standar denazifikasi ini timbul dari perspektif realis;
denazifikasi gagal karena kondisi politiknya.
Namun, kritik standar ini tidak menjelaskan apakah memang ada yang salah dengan
kebijakan ini, karena ia mengaitkan relevansi masa lalu politik Jerman dengan konstruksi
layanan publik rezim baru dan transformasi demokratik. Selanjutnya, perlu pula dipertanyakan
keluasan cakupan kebijakan denazifikasi. Dalam hal ini, perlu diperhatikan tingkat
keterlibatan, selain juga posisi yang terpengaruh; jadi, misalnya, perlu dibedakan pembersihan
secara besar-besaran seluruh sektor layanan publik dengan penyaringan elite-elite politik
tingkat tinggi dan aparat keamanan. Pertanyaan normatif ini menuntut adanya justifikasi
terhadap kebijakan keadilan administratif transisional. Justifikasi ini adalah “pembangunan
demokrasi”. Menyingkirkan Nazi dari layanan publik dianggap perlu untuk merekonstruksi
demokrasi Jerman. Mempertahankan sistem aparat administratif yang sudah ada dianggap
akan melemahkan kemungkinan transisi menuju sistem yang lebih liberal. Namun, apa
persisnya kaitan antara perilaku politik di masa lalu dalam pemerintahan represif, dan
kemungkinan berpartisipasi dalam rezim liberal yang menggantikannya? Intuisi kita adalah
bahwa sistem demokrasi liberal tidak akan bisa terbentuk di bawah kepemimpinan mantan
pemimpin Nazi. Dalam sistem demokrasi yang mapan, perubahan politik di tingkat eselon
tinggi pemerintahan dilakukan melalui pemilihan umum secara teratur. Namun, dalam
masyarakat yang mengalami transisi sistem politik, metode representasi politik yang teratur ini
sering kali belum siap. Terlebih lagi, tidak semua pejabat publik dipilih melalui pemilihan
umum. Jadi, pergantian rezim setelah negosiasi bergantung pada hukum untuk mendefinisikan
batasan politik baru terhadap ranah publik. Dalam kondisi politik demikian, pergantian rezim
melalui pencopotan mereka yang memegang kekuasaan secara umum didorong oleh hukum.
Justifikasi lazim untuk pembersihan politik adalah untuk menyingkirkan rezim lama dan para
pendukungnya dari partisipasi politik dalam demokrasi.
Apa peran persyaratan politik dalam rezim yang menuju sistem liberal? Klaim utama
dalam argumen demokrasi yang sering digunakan dalam transisi adalah anggapan bahwa
mereka yang di masa lalu melakukan represi akan melakukannya lagi di masa depan, sehingga
melemahkan konsolidasi demokrasi. Justifikasi demokrasi ini menjadi paling kuat bila posisi
yang dipermasalahkan ini sama dengan yang dipegang di masa lalu, terutama bila
memungkinkan timbulnya represi. Dengan demikian, meskipun keanggotaan partai saja
mungkin tidak bisa menjustifikasi pencopotan dari jabatan tingkat rendah, tidaklah demikian
dengan posisi tinggi atau pembuat kebijakan dalam rezim yang baru, atau posisi dalam aparat
keamanan negara, yang memungkinkan pelanggaran hak. Semakin erat kaitan antara pelucutan
politik dengan posisi yang terpengaruh, semakin relevan pula justifikasi demokrasi ini.
Namun, dalam hal ini, denazifikasi tidak berkaitan dengan kebijakan transisional, karena tidak
27
Untuk tinjauan sejarah masa tersebut, lihat John Herz (ed.), From Dictatorship to Democracy: Coping with the
Legacies of Authoritarianism and Totalitarianism, Wesport: Greenwood Press, 1982, 1-38.
12
ada kaitan antara pelucutan politik secara luas dengan demokrasi. Sebaliknya, tanpa
memperhatikan pertimbangan moral, kompetensi mereka yang telah berpengalaman dalam
bidang politik, administrasi dan manajerial – dalam rezim lama – seharusnya lebih tinggi.
Pada akhirnya, argumen demokrasi ini tampaknya salah arah dan inkoheren: karena kekuatan
justifikasi demokrasi untuk pelucutan politik diletakkan pada asumsi bahwa demokrasi akan
dibentuk dari orang-orangnya, bukan pada struktur, institusi dan prosedur. Pemikiran ini tidak
sesuai dengan teori politik liberal.
Denazifikasi pasca-perang, seperti pelucutan politik era Rekonstruksi, sebaiknya
dipahami dalam konteks transisionalnya. Pertimbangan terhadap arahan kebijakan
menggarisbawahi sifatnya yang transisional dan pergeseran kesetimbangan yang terjadi
selama masa transisi. Kebijakan denazifikasi dimulai pada akhir perang, dan berlangsung
selama jangka waktu tertentu. Kebijakan ini menyurut setelah lima tahun, sampai tahun 1950;
dan sejak tahun 1951 tahap transisional telah berakhir. Urutan ini menunjukkan proses
penyusunan kembali sistema administrasi negara. Meskipun banyak kritik terhadap kebijakan
denazifikasi berfokus pada kegagalannya untuk menyingkirkan para mantan Nazi secara
permanen, namun kebijakan ini menunjukkan bahwa peran hukum dalam hal ini adalah untuk
memajukan transformasi. Dengan demikian, sifatnya yang parsial dan provisional hanyalah
menunjukkan ciri dari dinamika politik masa tersebut.28 Meskipun tepat setelah perang
berakhir, kaitan dengan rezim fasis berakibat fatal terhadap partisipasi politik. Setelah jangka
waktu tertentu, kaitan politik demikian menjadi dapat diterima, dan bahkan diharapkan dalam
rezim penerus. Pengalaman dalam pemerintahan, meskipun pemerintahan Nazi, menjadi dasar
untuk integrasi dalam layanan publik.29 Partisipasi dalam rezim terdahulu menjadi hal yang
normal setelah pergeseran administrasi biasa. Perlakuan terhadap rezim lama bergeser dari
diskontinuitas menjadi kontinuitas. Pada awalnya, perundang-undangan denazifikasi didorong
oleh tujuan utama untuk mengembalikan legitimasi. Dengan semakin mapannya rezim
penerus, kebijakan publik memberi jalan bagi tujuan-tujuan lainnya.
Bila dilihat secara berdiri sendiri, kebijakan denazifikasi secara umum dianggap
sebagai kegagalan usaha transformasi. Namun, bila dilihat dari perspektif historis-komparatif,
bersama-sama dengan tindakan lain yang diambil pada masa-masa gejolak politik radikal,
pengalaman ini ternyata menunjukkan kesesuaian dengan norma-norma transisional.
Pembersihan administratif terjadi pada masa tatanan politik yang rapuh dan tidak stabil;
tindakan demikian bersifat sementara selama masa transformasi politik. Sejak awalnya,
tindakan demikian bersifast pragmatik, ditujukkan sebagai peralihan, untuk masa rekonstruksi
politik tertentu. Tindakan-tindakan ini adalah bagian dari keadilan transisional.
Epuracion dan Zuivering: Politik Penyingkiran
Sementara di Jerman selama masa pendudukan Sekutu terdapat rasa tanggung jawab kolektif
secara luas, sebaliknya, di wilayah-wilayah lainnya di Eropa pasca-perang, terdapat musuh
yang harus disingkirkan. Pembebasan dari Nazisme berjalan seiring dengan pembersihan
secara besar-besaran para pendukung rezim sebelumnya. Dasar untuk pembersihan ini jelasjelas ideologis: keadilan masa pasca-pendudukan diciptakan berdasarkan pertentangan kami28
29
Lihat John Herz, “The Fiasco of Denazification in Germany”, Political Science Quarterly 18 (1948): 569.
Lihat Müller, Hitler’s Justice.
13
mereka, kawan-lawan dan kolaboratos-pejuang; ia merupakan rekonstruksi melalui
dekonstitusi.
Setelah runtuhnya rezim-rezim pendudukan di Eropa pasca-perang, masyarakat
merespon ranah publik yang amat terkompromi karena dukungannya terhadap kekuasaan
fasis. Dalam transisi dari fasisme, penciptaan garis batasan kawan-lawan melampaui batasan
rekonstruksi sistem administrasi, ke lingkup publik yang lebih luas yang mencakup semua
elemen masyarakat. Praktik pembersihan Eropa pasca-perang menunjukkan bagaimana
keadilan administratif mencakup pengabaian terhadap proses-proses pidana yang lazim dan
menggunakan proses-proses yang lebih luas dan informal, mengabaikan peradilan dan
menggunakan tribunal atau badan-badan lainnya, yang sering kali dibentuk oleh sistem
pemerintahan. Hal-hal ini menunjukkan politisasi pembersihan tersebut. Di seluruh wilayah ini
terdapat usaha untuk menggunakan proses persyaratan politik dan penilaian politik, pergeseran
menuju proses yang lebih informal, dan memperhatikan pelanggaran politik yang tidak
didefinisikan dengan jelas, seperti “pelecehan negara” dan “perendahan negara”.30
Meskipun biasanya hukuman diputuskan berdasarkan pada tindakan melanggar hukum
di masa lalu, pelanggaran-pelanggaran baru ini dibuktikan berdasarkan temuan kondisi politik
oleh suatu badan yang diberi kekuasaan untuk menemukannya pada masa transisi. Penentuan
kolaborasi dan kejahatan politik lainnya dilakukan dengan membuktikan status politik sebagai
pendukung doktrin totaliter. Tujuan penyelidikan bukanlah pembuktian tindakan kriminal di
masa lalu seperti dalam proses pengadilan, namun keanggotaan atau dukungan terhadap
organisasi politik yang “subversif”. Bersama dengan pelanggaran-pelanggaran baru ini,
diciptakan pula prosedur, pengadilan, undang-undang dan tindakan khusus untuk
mendukungnya.31 Tribunal-tribunal pembersihan bukanlah pengadilan sipil biasa, namun
pengadilan militer dan badan administratif lain yang beranggotakan hakim, non-juris dan
orang-orang awam. Meskipun hukumannya sering kali berupa sanksi pidana tradisional, sanksi
lainnya mempengaruhi status perdata, seperti hilangnya hak memilih dan dipilih, hak
partisipasi politik dan bahkan kewarganegaraan. Baik dalam proses maupun dampaknya, ini
adalah bentuk keadilan yang di luar kebiasaan.
Secara historis, pembersihan dilakukan terhadap para pemimpin rezim lama. Namun
dalam pembersihan pasca-perang, hal ini dilakukan secara lebih luas, yang mencerminkan
pemahaman yang luas terhadap tanggung jawab dan transformasi. Tindakan-tindakan ini
menyingkirkan individu dari segmen masyarakat yang luas, termasuk sektor-sektor yang
sebelumnya tidak dianggap sebagai bagian administrasi, seperti pendidikan dan media.
Pembersihan ini dengan demikian merekonstruksi ranah publik, karena berusaha menyusun
kembali berbagai sektor: bisnis, media, elite intelektual, yang dengan satu atau lain cara
pernah mendukung rezim Nazi. Pembersihan ini merupakan rekonstruksi radikal terhadap
berbagai mata pencarian dengan komisi-komisi khusus untuk membersihkan sektor
pendidikan, sastra dan musik. Meskipun pembersihan mengatur sektor privat, namun
pembersihan itu dilakukan berdasarkan keputusan pemerintah. Pelanggaran-pelanggaran
30
Lihat misalnya, Ordinance Instituting National Indignity, Prancis, 26 Agustus 1944). Lihat juga Decree of June
27 (Prancis, 1944); Herbert Lottman, The Purge: The Purifucation of French Collaborators after World War II,
New York: William Morrow, 1986, 194-210.
31
Lihat Peter Novick, The Resistance versus Vichy: The Purge of Collaborators in Liberated France, New York:
Columbia University Press, 1968.
14
dikemukakan secara kabur, dan kelalaian untuk “bersikap secara seharusnya” dalam masa
pendudukan menjadikan seseorang dikenakan petanggungjawaban hukum.32
Pembersihan yang paling radikal dan luas terjadi dalam sektor media.33 Dalam kasus
ini, kolaborasi mudah dibuktikan – dengan teks sebagai buktinya – dan penerbitan
menyebabkan isu kolaborasi ini terlihat di mata publik. Melalui pembersihan, media dijadikan
bagian dari rezim baru di mata publik. Ketika media-media kolaborator dibersihkan, batasan
kebebasan berekspresi direkonstruksi berdasarkan respon terhadap masa lalu. Bahkan namanama surat kabar mengalami perubahan mendasar, seperti nama surat kabar Prancis,
Libération, simbol perubahan identitas.
Pembersihan sektor publik pasca-pendudukan ini tidak hanya dilakukan pada sistem
layanan publik, namun diusahakan untuk “memurnikan” masyarakat secara keseluruhan.
Pembersihan politik dalam sektor publik ini secara kritis merespon sifat represi fasis yang
khas, yaitu dengan hegemoni sektor-sektor produksi ideologi, seperti pendidikan dan media.34
Pertanggungjawaban elite intelektual menunjukkan pengakuan terhadap perannya yang
menerima fasisme dan usahanya untuk mengarahkan kembali sektor ini ke ideologi rezim
penerus yang liberal.
Pembersihan pasca-perang merekonstruksi kaitan antara individu, organisasi dan
negara. Pelucutan politik ditentukan berdasarkan kolektif, namun mempengaruhi individu.
Pendekatan informal dalam proses identifikasi afiliasi fasis masa lalu ini menunjukkan bahwa
penyingkiran berdasarkan keanggotaan kelompok tidak diarahkan pada pelanggaran
individual. Yang menjadi sasaran adalah perubahan institusional untuk menuju transformasi
lingkup publik. Individu menjadi sarana untuk secara publik mengutuk ideologi rezim lama
dari ranah publik di masa depan. Pembersihan pasca-perang ini menantang intuisi kita tentang
peran hukum, karena pelaksanaan keadilan tidak dilakukan berdasarkan prosedur yang lazim,
namun melalui prosedur informal dan tidak teratur. Ketidaktaatan proses tersebut pada due
process, juga sifatnya yang tidak transparan dan terpolitisasi, mencerminkan pemahaman
tentang kedaulatan hukum yang dikompromikan. Dan, meskipun tujuannya memandang ke
depan, yaitu demokrasi, alat-alat tersebut serupa dengan yang digunakan oleh rezim-rezim
represif, yaitu keputusan yang diambil berdasarkan ideologi, yang bertentangan dengan
pemikiran liberal. Meskipun paradoksal, ini adalah respon yang kritis – menggunakan caracara lama secara terbuka untuk menunjukkan pergantian ideologi. Terlebih lagi, masalah yang
timbul dari penggunaan cara-cara non-liberal untuk tujuan liberal ini berkurang karena
dampaknya yang terbatas pada sistem hukum. Pembersihan pasca-perang ini dilakukan selama
waktu yang singkat, dari hanya setahun hingga lima tahun.35 Tindakan yang secara mendasar
terpolitisasi ini sejak awal ditujukan sebagai mekanisme transformatif sementara. Sifat
sementara yang terlihat di sini, seperti pada contoh-contoh lebih awal, seperti Rekonstruksi
Amerika, tampak pula dalam transformasi politik kontemporer yang dibicarakan dalam bab
32
Lihat Henry Lloyd Mason, The Purge of the Dutch Quislings, Den Haag: Nijhoff, 1952, 90.
Tentang Prancis, lihat umumnya Novick, Resistance versus Vichy; Lottman, The Purge, 249-63; Tony Judt,
Past Imperfect, French Intellectuals, 1944-1956, Berkeley: University of Chicago Press, 1992. Tentang Belanda.
lihat umumnya Mason, Purge of the Dutch Quislings.
34
Lihat Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, New York: Meridian Books, 1958.
35
Di Prancis misalnya, undang-undang amnesti selektif disahkan pada tahun 1947, dan undang-undang amnesti
universal pada tahun 1951. Undang-undang 5 Agustus 1953 menghentikan sanksi administratif. Lihat umumnya
Lottman, The Purge.
33
15
ini. Terlihat bahwa respon yang paling terpolitisasi pun sejak awal sudah dirancang untuk
bersifat sementara dan merupakan bagian transisi.
Lustrace dan Bereinigung: Pembersihan Politik di Eropa Tengah dan Timur
Semua orang terlibat dan diperbudak, tidak hanya para pedagang sayur, tetapi juga hingga ke
perdana menteri. Posisi yang berbeda-beda dalam hierarki hanya menentukan perbedaan tingkat
keterlibatan: si pedagang sayur hanya sedikit terlibat, namun kekuasaannya juga kecil. Tentu
saja, perdana menteri memiliki kekuasaan yang besar; ia terlibat secara lebih mendalam. Namun
keduanya tidak bebas, masing-masing dengan cara yang sedikit berbeda. Rekanan dalam
keterlibatan ini bukanlah seseorang lain, namun sistem itu sendiri. Posisi dalam hierarki
kekuasaan menentukan tingkat tanggung jawab dan kesalahan, namun ia tidak membebankan
tanggung jawab dan kesalahan yang tidak terbatas bagi seseorang, demikian pula tidak seorang
pun benar-benar bebas.
(Václav Havel, Open Letters: Selected Writings: 1956-1990)
Transisi kontemporer di Eropa Tengah dan Timur pada umumnya merupakan hasil negosiasi,
dan dengan demikian bergantung pada tindakan hukum publik radikal untuk melakukan
dekomunisasi; hal tersebut menguji peran hukum dalam transformasi politik. Totalitarianisme
dicirikan dengan kontrol represif terhadap seluruh masyarakat. Sementara kediktatoran
dicirikan oleh adanya garis antara pemerintah dan yang diperintah, dalam totalitarianisme,
tidak ada garis yang jelas, dengan represi yang tersebar di seluruh masyarakat. Setelah
totalitarianisme, timbul pertanyaan tentang siapa yang bertanggung-jawab untuk kesalahan di
masa lalu. Respon legal terhadap runtuhnya komunisme menunjukkan pemahaman
kontemporer tentang tanggung jawab individual terhadap penindasan, kaitan warga negara
dengan partai, dan partai dengan negara. Kejahatan pemerintahan totaliter dianggap
merajalela, dilakukan oleh suatu pasukan pendudukan dan dengan kolaborasi secara luas.
Di seluruh wilayah ini, menyusul perubahan politik, responnya berfokus pada mantan
aparat keamanan dan kolaboratornya. Tujuan pembersihan melampaui pemegang kekuasaan
resmi; karena pemerintahan totaliter dicirikan oleh penggunaan kekuasaan secara tidak
transparan, dan represi yang ambigu entah bersifat privat atau publik. Di seluruh Eropa
Tengah dan Timur, mereka yang terkait dengan sistem lama dikenai tindakan pelucutan
politik, meskipun tindakan-tindakan dekomunisasi ini bervariasi jangkauan maupun kerasnya.
Jerman-bersatu, bekas Cekoslowakia, Bulgaria dan Albania mengesahkan larangan terhadap
mantan hierarki Partai Komunis dan aparat keamanan untuk berpartisipasi dalam lingkup
publik.36 Hongaria mengambil tindakan yang lebih lunak, seperti penerbitan daftar nama
mereka yang terkait dengan pemerintahan komunis. Dalam republik-republik baru ini, diambil
tindakan yang melihat ke depan, seperti sumpah kesetiaan.
Pemikiran tentang ujian terhadap masa lalu politik diawali secara informal. Pada
musim panas 1990, dalam pemilihan umum bebas pertama di bekas Cekoslowakia, partaipartai politik menyaring kandidat mereka dari kaitan dengan aparat keamanan negara. Ketika
sebuah komisi parlementer dibentuk untuk menyaring parlemen dari para kolaborator yang
36
Tentang Albania, lihat Human Rights Watch, Human Rights in Post Communist Albania, New York: Human
Rights Watch, 1996. Tentang Undang-Undang Panev di Bulgaria, lihat Democracy and Decommunization:
Disqualification Measures in Eastern and Central Europe and the Former Soviet Union, 14-15 November 1993,
hal. 8-9.
16
terkait dengan aparat keamanan, penyelidikan ini menjadi terpolitisasi. Setahun kemudian,
usaha untuk mensistematikkan penyelidikan ini berpuncak pada suatu undang-undang, yang
dikenal sebagai “lustrace” atau lustrasi. Lustrasi, yang berasal dari bahasa Latin lustrare, atau
“pemurnian”, merujuk pada proses penyelidikan dan penyaringan yang ditujukan untuk
mengungkapkan masa lalu. Secara historis, proses penyelidikan demikian terkait dengan
melakukan sensus terhadap penduduk.37 Undang-undang lustrasi Cekoslowakia melarang
orang-orang yang terkait dengan aparat keamanan negara untuk menduduki banyak jabatan
dalam pemerintah, angkatan bersenjata, parlemen, pengadilan, BUMN, akademia dan media.
Menurut undang-undang ini, keanggotaan dalam aparat keamanan negara sudah cukup untuk
menyatakan bahwa orang tersebut terlibat dalam sasaran represif organisasi tersebut.38 Dengan
demikian, undang-undang tersebut mengkodifikasi asumsi bahwa para pendukung rezim
komunis membahayakan demokrasi. Undang-undang lustrasi ini ditentang di pengadilan oleh
99 anggota parlemen yang telah tidak menyepakatinya di Parlemen. Penentang lain meliputi
organisasi hak asasi manusia, Komisi Buruh Internasional, dan Presiden Václav Havel sendiri,
yang menyarankan untuk mengubah rencana tersebut agar memungkinkan penyelidikan
individual.39 Dalam keputusannya yang paling kontroversial, Pengadilan Konstitusional
menegaskan keberlakuan lustrasi, meskipun membatasi lingkupnya.40
Dekomunisasi juga dimulai secara informal di Jerman-bersatu, dengan pemilihan
umum pertama di bekas Republik Demokrasi Jerman. Sementara dalam transisi yang
dinegosiasikan lainnya di wilayah ini, pembersihan komunis tampaknya didukung oleh
konsensus sosial dalam cabang-cabang politik, di Jerman-bersatu, pembersihan ini dimulai
sebagai bentuk “keadilan sang pemenang”. Bagi pihak Timur, tidak banyak pilihan dalam hal
ini. Seperti juga Konfederasi ketika hendak memasuki kembali Serikat (Amerika Serikat),
ketika Jerman Timur hendak bergabung dengan Jerman-bersatu, hal tersebut disyaratkan
dengan penolakan terhadap masa lalu ideologisnya. Negara ini menjadi terbelah karena
penyatuannya,41 karena Traktat Unifikasi menentukan syarat-syarat untuk reunifikasi, yang
menyatukan layanan publik Jerman, menciptakan sistem penilaian terhadap mereka yang
pernah bekerja dalam sistem administrasi Jerman Timur, dan mendiskualifikasi mereka yang
37
Lihat OED, entri “lustration”.
Screening (“Lustration”) Law, Akta No. 451/1991 (Republik Federal Czek dan Slowakia, 1991), disahkan oleh
dewan kedua negara federal tersebut. Berdasarkan bagian 22, akta tersebut mulai berlaku sejak disahkan dan
berakhir pada tanggal 31 Desember 1996.
39
Terdapat banyak kritikan terhadap Undang-Undang Lustrasi. Lihat Stephen Engelberg, “The Velvet Revolution
Gets Rough”, New York Times Magazine, 31 Mei 1992, hlm. 30; “Prague Approves Purge of Former
Communists”, New York Times, 7 Oktober 1991; Aryeh Neier, “Watching Rights”, The Nation, 13 Januari 1993,
hal. 9; Jeri Laber, “Witch Hunt in Prague”, New York Review of Books, 23 April 1992, hlm. 5; “Letters Human
Rights in Prague”, New York Review of Books, 28 Mei 1992, hlm. 56; Mary Battiata, “East Europe, Hunts for
Reds”, Washington Post, 28 Desember 1991; Lawrence Weschler, “The Velvet Purge: The Trials of Jan Kavan”,
New Yorker, 19 Oktober 1992, hlm. 66; John Tagliabe, “Prague Turns on Those Who Brought the Spring”, New
York Times, 7 Januari 1992, rubrik Internasional; “The Perils of Lustration”, New York Times, 7 Januari 1992,
halaman editorial. Dalam Czech English Language Press, Bill Hungrey, Jr., “Tempest over Lustration”, Prague
Post, 17-23 Maret 1992.
40
Specifying Some Further Perequisites for the Discharge of Some Functions in State Organs and Organizations,
Akta No. 451/1991 (Republik Federal Czek dan Slowakia, 1991).
41
Komentar dari Wolfgang Nowak, Sekretaris Negara Urusan Pendidikan Provinsi Sachsen (Jerman Timur),
Rapporteur’s Report (dipresentasikan kepada The Foundation for a Civil Society, Venesia, Italia, 1993), 7.
38
17
menjabat dalam hierarki partai Komunis, dan juga Stasi, polisi rahasia yang ditakuti.42 Traktat
Unifikasi memungkinkan diskualifikasi atas dua dasar: “tidak dapat diterima karena kelakuan
politik di masa lalu” dan “inkompetensi teknis”. Seperti dalam denazifikasi pasca-perang,
sekali lagi kuesioner digunakan untuk menentukan orang-orang yang menjadi anggota polisi
rahasia, dan komisi lokal diberi hak untuk melakukan pengucilan. Pengesahan Akta Arsip
Stasi pada tahun 1991 memungkinkan akses terhadap arsip bekas polisi rahasia dan
pengecekan terhadap latar belakang rezim lama, yang berakibat pada pembersihan besarbesaran mantan pejabat sipil Jerman Timur di semua tingkat. Pengucilan dari jabatan publik,
keamanan negara dan pendidikan berarti ribuan pejabat, hakim, guru dan pengajar universitas
dipecat.
Dekomunisasi di Cekoslowakia tampaknya mencakup sasaran yang lebih luas, karena
undang-undangnya mencakup hingga jajaran terbawah pendukung rezim lama. Bahkan
mencakup mereka yang mengikuti sekolah keamanan atau sebagai “kandidat” kolaborator,
sehingga berpotensi mempengaruhi puluhan ribu orang. Terlebih lagi, pelaksanaan lustrasi
Cekoslowakia dilakukan oleh Kementerian dalam Negeri secara tersentralisasi, sementara
pembersihan Jerman dilakukan pada tingkat lokal. Namun pada akhirnya, pembersihan Jerman
memiliki dampak yang lebih luas, karena mereka diterapkan secara sistematis oleh aparat
administratif yang sudah ada dan berfungsi penuh, dan pengganti pejabat yang dipecat telah
tersedia.
Penggunaan pelucutan politik yang luas dijustifikasi hanya oleh kaitan atara afiliasi
politik masa lalu dan kompetensi untuk berpartisipasi dalam rezim demokratik. Namun, skema
demikian menimbulkan pertanyaan normatif: apa relevansi antara perilaku politik di masa lalu
dengan terbentuknya tatanan politik baru. Baik di bekas Cekoslowakia dan Jerman, pertanyaan
ini kontroversial dan berakhir pada pada tinjauan konstitusional. Tinjauan konstitusional
memerlukan justifikasi publik yang berlanjut terhadap kebijakan dekomunisasi. Di Jermanbersatu, diskualifikasi politik dijustifikasi oleh asumsi bahwa seorang mantan komunis tidak
bisa bertugas dalam sistem politik yang demokratis. Di negara-negara lain, seperti Hongaria,
diskualifikasi politik serupa dijustifikasi oleh badan peradilan atas alasan demokrasi.43
Dalam menegaskan konstitusionalitas lustrasi, Pengadilan Konstitusional Republik
Federal Ceko dan Slowakia menganalogikan hal tersebut dengan security clearance (bukti
kelakuan baik) dalam sistem demokrasi yang mapan. Seperti security clearance, lustrasi
menjadi syarat pekerjaan berdasarkan kelakuannya di masa lalu, hukum tersebut “hanya
menunjukkan beberapa syarat tambahan untuk jabatan-jabatan sensitif tertentu dalam
administrasi negara dan aparat ekonomi”. Mengizinkan “orang-orang yang terlibat dalam
pelanggaran atau penindasan hak asasi manusia dan kebebasan ... cara-cara yang memberi
peluang bagi destabilisasi serius terhadap perkembangan demokrasi dan mengancam
keamanan warga negara mendatangkan risiko yang besar”.44 Bandingkanlah analogi kebijakan
lustrasi dalam masa transformatif dengan peran security clearance dalam negara-negara yang
42
Provisi diskualifikasi Jerman dapat dilihat dalam Traktat Unifikasi 31 Agustus 1990. Lihat Republik Federal
Jerman dan Republik Demokratik Jerman, “Agreement with Respect to the Unification of Germany”, 31 Agustus
1990, BGB1.II, diterjemahkan dan dicetak ulang dalam International Legal Materials 30 (1991): 457 (kemudian
“Traktat Unifikasi Jerman”).
43
Lihat Decision No. 1, Constitutional Case No. 32 (Hungaria, 1993). Dekomunisasi juga dijustifikasi atas alasan
keamanan.
44
Constitutional Court Decision on the Screening Law, Ref. No. P1. US1/92, (Republik Federal Czek dan
Slowakia, 1992).
18
sudah mapan. Dalam sistem demokrasi yang sudah mapan, pembuktian bahwa seseorang
dapat dipercaya, sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan, biasanya dibatasi pada posisiposisi yang berkaitan dengan keamanan atau posisi yang sensitif, yang memiliki akses
terhadap informasi rahasia. Biasanya, hanya sedikit posisi publik yang membutuhkan
keamanan lebih tinggi; diskualifikasi demikian biasanya dianggap tidak dapat dijustifikasi dan
bersifat punitif. Lebih lagi, pemerintah dalam kondisi biasa menanggung beban untuk
menunjukkan relevansi proses penyaringan dengan posisi yang terkait. Analogi dengan
security clearance ini bisa menjustifikasi penyaringan untuk posisi-posisi tertentu dalam
pemeritahan di wilayah ini, seperti yang berkaitan dengan hak asasi manusia; dan kepentingan
hak asasi manusia bisa menjustifikasi bentuk pendahuluan terhadap undang-undang lustrasi,
yang akan menyaring mereka yang bertanggung-jawab secara pribadi terhadap pelanggaran
hak asasi manusia. Namun, kepentingan keamanan tidak bisa digunakan untuk menjustifikasi
luasnya lingkup lustrasi.
Dalam sejarah, negara memiliki kekuasaan besar untuk mensyaratkan hak untuk
memegang jabatan atas dasar politik. Dalam hukum Konstitusional Amerika, misalnya, hal ini
tampak dalam opini yudisial penting bahwa “seseorang bisa memiliki hak konstitusional untuk
berbicara tentang politik, namun ia tidak memiliki hak konstitusional untuk menjadi seorang
polisi”.45 Namun, pandangan modern telah bergeser dari pandangan historis ini. Meskipun
syarat politik terhadap praktik hukum berkaitan dengan keanggotaan partai komunis pada
suatu waktu diterapkan, hal ini terjadi pada masa Perang Dingin, dan hukum Amerika telah
berubah.46 Sistem demokrasi liberal modern biasanya tidak diizinkan mengambil keputusan
dalam ranah publik semata-mata atas pertimbangan politis. Dalam sistem demokrasi yang
mapan, hanya posisi puncak pemerintahan yang pengangkatannya dijustifikasi melalui dasar
politik, atau dengan proses pemilihan umum. Meskipun hak untuk memegang jabatan publik
atau mendapat layanan publik bisa dikekang, biasanya negara tidak berhak untuk melakukan
hal tersebut atas dasar politik. Dalam negara liberal, syarat politik harus dijustifikasi oleh
kepentingan yang signifikan dan terkait erat dengan usaha memajukkan kepentingan tersebut.
Kepentingan efisiensi pemerintahan biasanya dianggap tidak cukup untuk menjustifikasi
penunjukkan posisi secara politis.47 Loyalitas politik pun tidak cukup untuk menjustifikasi
politik patronase. Relevansi afiliasi politik bergantung pada sifat afiliasi ini yang menjadi
dasar diskualifikasi. Ia juga bersyarat pada pemerintah yang menunjukkan kaitan erat antara
posisi yang dipermasalahkan dan dasar politik, dengan afiliasi politik menjadi pertimbangan
hanya bila relevan pada efektivitas kinerja.48 Prinsip umum yang menentang pengambilan
keputusan secara politis dalam lingkup publik melindungi hak organisasi politik dan hak untuk
berpendapat bebas, yang penting dalam sistem demokrasi.49 Lebih lanjut lagi, dalam sistem
demokrasi berkeadilan sosial di Eropa yang dicirikan oleh pengaturan pekerjaan yang lebih
45
McAuliffe v. City of New Bedford, 29 NE 517 (Mass. 1892).
Lihat Elfbrandt v. Russel, 384 US 11 (1966). Lihat juga Branti v. Finkel, 445 US 507 (1980) (menolak
pencopotan berdasarkan afiliasi atau dukungan partai) (menolak persyaratan menjadi pegawai negeri akibat
keanggotaan partai komunis).
47
Lihat Elrod v. Burns, 427 US 347 (1976).
48
Lihat United States v. Robel, 389 US 258, 166 (1967); Rutan v. Republican Party of Illinois, 497 US 62, 70-71
(1990). Lihat juga Konigsberg v. State Bar, 366 US 36 (1961); In re Anastapolo, 366 US US 82 (1961).
49
Lihat PBB, Sidang Umum, Universal Declaration of Human Rights, A/RES/217A (III), 10 Desember 1948,
Pasal 2.
46
19
besar, kondisionalitas politik akan mempengaruhi hak-hak lain seperti hak sebagai pekerja dan
kebebasan dalam lingkup publik.50
Meskipun intuisi biasa tentang kedaulatan hukum akan mendorong penolakan terhadap
tindakan politik demikian, kepentingan transisional tertentu bisa mendukung pengambilan
tindakan seperti itu pada masa-masa yang terbatas. Maka, dengan mengesahkan kebijakan
penyaringan, Pengadilan Konstitusional bekas Cekoslowakia merasionalkan kebijakan lustrasi
atas dasar kebutuhan luar biasa masa tersebut. Dengan memperingatkan “kemungkinan
kemunduran ke masa-masa pemerintahan totaliter” dan kebutuhan untuk mencegah
“destabilisasi perkembangan demokrasi negara”, justifikasi pengadilan untuk kebijakan ini
jelas-jelas bersifat transisional. Langkah-langkah ini dijustifikasi oleh kebutuhan membangun
rezim yang lebih demokratis:
Semua negara, terutama yang telah mengalami penderitaan karena pelanggaran hak-hak dan
kebebasan asasi oleh kekuasaan totaliter selama lebih dari empat puluh tahun memiliki hak untuk
menerapkan tindakan legislatif demikian yang berusaha untuk mencegah risiko subversi berupa
kembalinya rezim totaliter, untuk menciptakan sistem demokratis.
Preseden transisional lainnya dari masa pasca-perang juga dijadikan pertimbangan:
“Tindakan-tindakan demikian ... juga diambil oleh negara-negara Eropa lainnya setelah
runtuhnya rezim totaliter ... sebagai cara yang sah ... bukan untuk mengancam karakter
demokratik sistem konstitusional ... atau ... hak hak dan kebebasan warga negara ... namun
untuk perlindungan dan konsolidasinya”.51 Bahwa justifikasi luar biasa untuk pelucutan politik
dibatasi pada jangka waktu yang terbatas selama pergeseran politik diakui dalam hukum
tersebut, yang di dalamnya terdapat pembatasan waktu. Di bekas Cekoslowakia, meskipun
lustrasi pada awalnya diharapkan untuk berlangsung selama lima tahun, di Republik Ceko, hal
ini diperpanjang lima tahun lagi. Pelucutan politik di Jerman-bersatu juga secara eksplisit
bersifat sementara sejak awalnya.52
Keterlibatan dalam rezim politik lama sering kali dianggap berpengaruh pada
kedudukan sebagai pejabat publik dalam masyarakat transisional selama masa-masa
transformasi politik yang rapuh dari pemerintahan represif ke liberal. Namun apa batasan
relevansi kesetiaan politik masa lalu? Secara historis, setelah kediktatoran berakhir,
pembersihan dilakukan terhadap jajaran tertinggi posisi politik. Namun, pembersihan setelah
50
Lihat Pasal 2(7), “International Covenant on Civil and Political Rights”, 6 Desember 1966, Treaties and
International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 999, No.
14668 (1976): 171; Pasal 2(2), “International Covenant on Economic, Social and Cultutal Rights”, 16 Desember
1966, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United
Nations 993, No. 14531 (1976): 3. Lihat juga 7(c), “International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights” melindungi “kesetaraan kesempatan” dalam memperoleh pekerjaan.
51
Constitutional Court Decision on the Screening Law (Republik Federal Czek dan Slowakia, 26 November
1992). Lihat juga K. 3/98 Judgment in the Name of the Republic of Poland Constitutional Court on the
Incompatibility of Law of 17.12.97 on Amendments of the Law on Judicial System and some other Statutes with
the Constitutions of the Republic of Poland of 02.04.87. Seperti dikatakan oleh pengadilan dalam Judgment of
3/98, “suatu transisi dari negara otoriter ke demokrasi bisa secara luar biasa mencapai solusi yang tidak akan
dijustifikasi dalam kondisi normal”.
52
Kemudian, undang-undang Ceko ini diperpanjang masa berlakunya hingga tahun 2000. Lihat Jirina Siklova,
“Lustration or the Czech Way of Screening”, East European Constitutional Review 5, No. 1 (musim dingin
1996): 59. Lihat juga “Constitution Watch”, East European Constitutional Review 4 (musim gugur 1995): 8-10.
Tentang peamahaman Jerman, lihat “Traktat Unifikasi Jerman”.
20
runtuhnya komunisme merespon bentuk represi yang lain, yaitu pemerintahan totaliter yang
berkaitan dengan semua sektor masyarakat, di mana semua orang terlibat. Sifat represi totaliter
mungkin dapat menjustifikasi pembersihan satu generasi politik secara keseluruhan, dan
timbul pertanyaan tentang dari mana menarik batasannya.
Bagi beberapa pemikir, diperlukan status yang tidak kurang dari oposan untuk
menunjukkan integritas moral yang diperlukan untuk memegang jabatan publik tingkat tinggi
dalam rezim yang baru. Dalam gelombang perubahan politik kontemporer, status oposan
menjadi syarat de facto jabatan tinggi politik. Dalam banyak administrasi transisional di Eropa
Timur dan Amerika Latin, presiden yang baru adalah mantan oposan. Contohnya adalah
Václav Havel di bekas Cekoslowakia, Arpad Göncz di Hongaria, Lech Walesa di Polandia. Di
Amerika Latin, Presiden Carlos Menem sempat dipenjarakan pada masa pemerintahan militer
sebelumnya. Presiden Brazil Fernando Cardoso adalah seorang pelarian politik selama masa
pemerintahan militer di negara itu. Mantan presiden Bolivia, Gonzalo Sánchez de Lozada juga
berasal dari keluarga yang sempat mengalami pengasingan. Namun sejauh mana perlu
digunakan garis pemikiran ini? Selain pada tingkat kepemimpinan tertinggi, sejauh mana
keterlibatan dalam kesalahan rezim lama berkaitan dengan kesempatan memegang jabatan
publik dalam rezim liberal? Apakah ada prinsip kedaulatan hukum yang memandu
pembersihan transisional dan menjustifikasi pengambilan keputusan yang dipolitisasi?
Pertanyaan ini menjadi pertimbangan Pengadilan Konstitusional bekas Cekoslowakia, ketika
ia meninjau undang-undang lustrasi dan pengaruhnya bagi banyak orang yang tampil dalam
arsip polisi rahasia sebagai kandidat kolaborator yang potensial. Puluhan ribu orang termasuk
dalam kelompok ini, dan hanya sebagaian kecil yang sukarela secara sadar bersedia
berkolaborasi dengan rezim lama. Keanggotaan tanpa sadar demikian, menurut pengadilan,
tidak cukup untuk mendiskualifikasikan mereka dari tatanan politik yang baru.53 Paling tidak,
ditarik garis pada “keanggotaan secara sadar”.
Pertanyaan kedua yang dihadapi kebijakan dekomunisasi adalah apakah keanggotaan
secara sadar demikian cukup menjadi dasar untuk penyingkiran mereka. Pertanyaan ini timbul
dalam suatu kasus yang dibahas dalam undang-undang diskualifikasi Jerman-bersatu.54 Untuk
menjustifikasi pengucilan politik, keterlibatan demikian harus lebih dari sekadar keanggotaan
secara sadar, yang merupakan hal umum dalam sistem kemasyarakatan Jerman Timur.
Sebagai masalah konstitusional, menurut pengadilan tersebut, kesesuaian untuk posisi jabatan
publik tidak bisa ditentukan semata-mata dengan dasar posisi dalam hierarki Jerman Timur
atau identifikasi dengan rezim Partai Serikat Buruh Jerman (SED). Karena “loyalitas kepada
pemerintahan sosialis ... [merupakan suatu] yang harus ada untuk menduduki jabatan publik di
Jerman Timur ... loyalitas dan kerja sama yang merupakan hal yang diperlukan untuk tetap
bertahan dan menanjak dalam karier publik ... tidak bisa menjadi justifikasi satu-satunya”.55
Apakah seseorang tepat untuk menjabat dalam sistem layanan yang baru perlu dijustifikasi
berdasarkan kondisi khusus, kasus demi kasus. Dalam kasus-kasus serupa, kedaulatan hukum
yang digunakan oleh pengadilan mendukung prinsip liberal bahwa hukum publik harus
dikonstruksikan tidak hanya sesuai dengan ideologi politik, namun dengan sesuatu yang
melampauinya.
53
Lihat Constitutional Court Decision on the Screening Law.
Lihat Act Concerning the Records of the State Security Service of the Former German Democratic Republic
(Jerman, 1991) (“Akta Arsip Stasi”). Lihat juga “Traktat Unifikasi Jerman”.
55
Judgment by First Senate of Constitutional Court (Jerman, 1955) (terjemahan penulis).
54
21
Bila undang-undang yang menyusun sistem peradilan suksesor akan mendiskualifikasi
badan peradilan yang sudah ada atas dasar “pengambilan keputusan yang dipolitisasi pada
masa rezim sebelumnya”, syarat politik ini, menurut pengadilan konstitusional, terlalu kabur
untuk diterapkan.56 Pengadilan Konstitusional Polandia menempatkan batasan kedaulatan
hukum terhadap lustrasi terpolitisasi berskala besar terhadap badan peradilan negara tersebut.
Dalam meninjau sebuah kasus tentang mantan kepala polisi, Pengadilan Konstitusional
Jerman membatalkan pemecatannya karena inkonstitusional, menentang kebijakan
dekomunisasi. Dengan membela prinsip tinjauan yudisial, pelucutan politik antikomunis
dianggap sebagai asumsi legislatif yang tidak kompeten, namun bukan berarti tidak dapat
dibantah. Pengadilan melakukan penyelidikan tidak hanya terhadap kelakuan di masa lalu
untuk menentukan prospek individual para mantan pejabat, untuk tetap menduduki jabatannya
dalam rezim demokratik. Dalam kasus polisi tersebut, terdapat bukti bahwa ia bisa
memperbaiki dirinya, sehingga layak bertugas dalam rezim demokratik. Potensi reformasi ini
tampak penting dalam konteks Jerman, di mana terdapat inkorporasi Jerman Timur ke dalam
struktur demokratis yang sudah ada, sehingga tidak ada justifikasi untuk penyingkiran secara
luas. Dengan mengakui garis dasar afiliasi politik dengan rezim totaliter di masa lalu,
diciptakan batasan afiliasi politik masa lalu yang dapat diterima. Bila terdapat dukungan luas
dari masyarakat terhadap suatu rezim, dukungan demikian tidak cukup untuk
mendiskualifikasi satu generasi politik. Prinsip normatif ini memandu kaitan dengan masa lalu
dalam transisi setelah komunisme. Kasus polisi tadi menunjukkan potensi pengadilan
konstitusional dalam masa-masa gejolak politik. Ketika ia menolak asumsi legislatif tersebut,
Mahkamah Agung Jerman menegaskan prinsip utama dalam demokrasi liberal, yaitu
perlindungan hak individual dalam sistem tinjauan yudisial. Jika pemerintahan totaliter
dicirikan dengan luasnya penetrasi hingga ke lingkup privat, suatu badan peradilan yang
independen menjadi tumpuan harapan liberal untuk membatasi kekuasaan negara.
Pertimbangan dalam kasus ini menunjukkan kaitan keadilan transisional dengan
sejarah masa lalu. Setelah pemerintahan represif berakhir, restrukturisasi sistem layanan
publik berarti merekonstruksi kaitan normatif antara individu dan tatanan politik. Namun apa
relevansi perilaku politik masa lalu dengan pembuatan keputusan publik pada rezim
transisional, bila hal-hal lain juga berubah? Perubahan pada tingkat individu harus
diperhatikan dalam kerangka perubahan struktural yang lebih luas. Dengan perubahan dalam
konteks politik dan pergeseran sistem politik, perilaku individu di masa lalu tidak relevan
terhadap prospek demokrasi suatu masyarakat. Namun, selama logika persyaratan politis ini
dijustifikasi dengan memandang ke depan, justifikasi demokrasi ini tampaknya tidak koheren:
menentukan persyaratan politik individu berdasarkan kelakuannya di masa lalu tidak
mendukung potensi terciptanya institusi politik baru. Dengan demikian, keadilan transisional
tidak dapat direduksi dengan mudah, karena ia merespon kondisi-kondisi politik sekaligus
peninggalan sejarah pemerintahan represif yang khas.
Keadilan Administratif dan Distributif
56
Lihat Akta 29 April 1985 mengenai Tribunal Konstitusional, diamendemen oleh Akta Tribunal Konstitusional
1 Agustus 1997.
22
Pada umumnya, skema-skema politis yang dibicarakan di sini dijustifikasi atas dasar
demokrasi untuk mengkonstruksi suatu tatanan politik baru. Namun, ada pula tujuan-tujuan
lain yang ingin dicapai masyarakat transisional dengan menata ulang layanan publik atas dasar
politik, antara lain redistribusi. Pelucutan politik terhadap kelompok yang dibicarakan di atas
mengoperasionalkan prinsip distributif untuk partisipasi politik atas dasar preferensi sistem
poltitik.
Misalnya,
dekomunisasi
atau
diskualifikasi
politik
serupa
dapat
direkonseptualisasikan sebagai skema preferensi masif berdasarkan afiliasi politik. Argumen
demikian diajukan dalam transisi di Afrika Selatan pasca-apartheid.57 Syarat politik dapat
dianggap sebagai preferensi. Apa justifikasi untuk keputusan kolektif atas dasar politik, seperti
“affirmative action”? Bila sistem politik mengalami liberalisasi, kepentingan negara apakah
yang menjustifikasi preferensi remedial atas dasar ketaatan politik?
Preferensi transisional bisa dianalogikan dengan sistem patronase dalam demokrasi di
masa lalu. Sementara kini terdapat prinsip anti-diskriminasi, dalam sejarahnya, patronase
digunakan untuk mengorganisir sistem administrasi publik. Setelah Perang Dunia Kedua,
diskriminasi oleh pemerintah atas dasar politik mengingatkan orang pada penindasan di masa
lalu, sehingga dihilangkan dalam hampir semua hukum domestik dan internasional. Hampir
semua perundang-undangan hak asasi manusia internasional pasca-perang menjamin
perlindungan yang setara tanpa memandang afiliasi politik. Prinsip anti-diskriminasi
menyatakan bahwa bila perundang-undangan melakukan diskriminasi atas dasar opini politik,
harus ada kepentingan pemerintah yang amat besar. Dalam kondisi biasa, legitimasi
konstitusional atas pelucutan politik demikian akan bergantung pada sifat justifikasi negara
tersebut, tentang apakah ada kepentingan negara yang menjustifikasi pengabaian prinsip
kesetaraan ini.
Dari perspektif ini, pelucutan politik anti-komunis di Eropa Timur sering kali
dirasionalisasi sebagai suatu bentuk affirmative action.58 Argumennya adalah sebagai berikut:
di Eropa pasca-komunis, menjadikan ketaatan pada sistem politik relevan dengan partisipasi
dalam administrasi negara di masa depan tidak hanya berarti memberikan beban pada
kebebasan beropini politik pada masa kini, namun juga memikul beban sejarah. Dalam transisi
kontemporer, preferensi politik dijustifikasi, karena seperti masalah preferensi rasial di
Amerika Serikat peninggalan sejarah sistem politik di Eropa Timur memiliki peran yang
memecah belah dan menindas dalam sejarah wilayah ini. Bagaimanapun bentuk komitmen
terhadap kesetaraan politik dalam rezim penerus, konteks sejarah untuk pembersihan sejarah
di wilayah ini adalah masa-masa diskriminasi politik yang panjang. Bahkan, signifikansi
diskriminasi politik dalam sejarah ini diakui oleh pengadilan konstitusional di wilayah ini
dalam tinjauan mereka tentang tindakan penyaringan transisional. Dalam membela kebijakan
lustrasi, pengadilan konstitusional Republik Ceko menyatakan:
Sebuah negara demokratik ... tidak bisa tinggal diam bila semua posisi tertinggi dijabat
berdasarkan kriteria politik. Sebuah negara demokratik wajib berusaha untuk menghilangkan
preferensi yang tidak terjustifikasi terhadap sekelompok tertentu warga negara, berdasar pada
prinsip keanggotaan pada partai politik tertentu, dan juga melenyapkan diskriminasi terhadap
warga negara.59
57
Lihat “Peace for Affirmative Action” New York Times, 21 Februari 1998, hal. A2.
Untuk analisis kritis, lihat John Elster, “On Doing What One Can”, East European Constitutional Review 1
(1992): 15.
59
Constitutional Court Decision on the Screening Law.
58
23
Diskriminasi politik di masa lalu menarik untuk digunakan sebagai justifikasi, namun
ia tidak cukup untuk menjustifikasi diskriminasi politik di masa kini. Sementara skema
dekomunisasi memiliki arti perpindahan dari orang-orang komunis ke non-kominis, skemaskema demikian tidak dirancang untuk mendorong keberagaman politik dalam sistem
demokrasi yang baru tumbuh. Hingga sejauh mana analogi affirmative action diperlakukan
secara tidak adil? Apakah bisa dikatakan bahwa mungkin terdapat “orang-orang benar” yang
diperlakukan secara tidak adil? Tidak semua jabatan publik di masa lalu dirampas secara tidak
adil dari orang-orang non-komunis; tidak semua orang yang bekerja di masa tersebut
memegang jabatannya secara curang. Tindakan dekomunisasi yang melarang orang untuk
bekerja dalam sektor publik ditentang karena melanggar hak-hak individual, seperti hak-hak
yang berkaitan dengan pekerjaan.60 Namun, tantangan ini pun kontroversial, karena perubahan
politik berjalan bersama dengan perubahan ekonomi dan sistem layanan publik. Apakah
pelucutan politik mengancam hak untuk bekerja, dan bagaimana caranya, menjadi pertanyaan
kontroversial tentang pemahaman sosial dalam transisi menuju sistem pasar. Kepentingan
redistributif yang memandang ke depan digunakan untuk menjustifikasi perundang-undangan
diskualifikasi secara luas yang menghukum orang-orang komunis dan menguntungkan orangorang non-komunis. Ketika kategori politik ditarik ulang, untuk mencabut preferensi masa lalu
sehingga menguntungkan oposisi politik, kepentingan negara dalam redistribusi sektor publik
tampak tidak saja diskriminatoris secara politis namun juga memiliki tujuan terselubung.
Perundang-undangan dekomunisasi memandang ke depan dan sekaligus ke belakang
dalam masa transisi. Hak-hak dari masa lalu digunakan untuk menjustifikasi realokasi
pekerjaan dalam rezim penerus. Redistribusi transisional ini merekonstruksi cara-cara
penentuan hak di muka, dan mendefinisikan ulang kaitan sosial dalam sistem lama, yaitu
sebuah sistem yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang hak properti. Interaksi
kriteria keadilan transisional dan distributif dalam pengembalian hak-hak mereka yang semula
dirampas kesempatannya akan dibahas dalam bab berikut.
Menarik-Ulang Garis Partai: Arti Sosial Pembersihan dalam Sektor Publik
Pembersihan secara publik mengkonstruksi transformasi sosial dengan mendefinisikan
kembali batasan lingkup politik, sebagai batas pelucutan politik dalam sektor publik. Hal ini
meruakan dampak dari transisi. Sebagian besar dampak dekomunisasi adalah dari
pengungkapan kolaborasi di masa lalu melalui publikasi dan pertanggungjawaban politis serta
sanksi sosial.61 Meskipun larangan bekerja bisa dicabut setelah waktu tertentu, tidaklah
demikian dengan stigma “musuh demokrasi”. Di bekas Cekoslowakia, daftar “orang-orang
yang disingkirkan” yang dibacakan di televisi menimbulkan gejolak sosial; di Polandia,
pembocoran nama-nama mengakibatkan krisis politik yang nyaris menjatuhkan pemerintah.
Begitulah, lustrasi diawali sebagai pengungkapan secara de facto di muka umum; dan bahkan
bila diatur oleh hukum, pada akhirnya undang-undang tetap tidak menggunakan sanksi
60
Lihat misalnya, International Labour Organization Decision on the Screening Law, GB. 252/16/19 (Republik
Federal Czek dan Slowakia, 1992).
61
Lihat Act on the Illegality of the Communist Regime and Resistance to It, Akta No. 198/1993 (Republik Czek,
1993).
24
tradisional yang diasosiasikan dengan hukum, dan bergantung pada pengeksposan di lingkup
publik. Sebagai contoh, di Hongaria, daftar nama-nama yang dianggap terlibat dalam represi
di masa lalu diterbitkan di harian para pegawai negeri.
Lustrasi Cekoslowakia juga bersifat deklaratoris. Dalam tinjauannya terhadap UndangUndang Ilegalitas Rezim Komunis, Pengadilan Konstitusional secara gamblang mengakui dan
menegaskan sifat perundang-undangan dekomunisasi:
Undang-Undang Lustrasi tersebut, tidak memberikan sanksi, namun ia hanya menentukan syarat
untuk memegang jabatan tertentu ... Dasar konstitusional bagi negara demokratis tidak
menghalangi parlemen untuk menyatakan ... sudut pandang moral dan politisnya dengan cara
yang tepat dan dapat diterima dalam batasan prinsip-prinsip umum hukum dalam bentuk yang
bisa disahkan sebagai statuta.62
Dengan merujuk pada fungsi hukum yang “memuji” dan “menyalahkan”, undang-undang ini
diharapkan berfungsi sebagai cara deklaratoris normatif. Meskipun tidak secara formal
menunjukkan tanggung jawab pidana, namun ia mendorong pengutukan sosial yang kerap
dikaitkan dengan putusan pidana. Dalam aspek stigmatisasinya, dampak lustrasi berpotensi
serupa dengan perundang-undangan pidana.63 Dalam kondisi biasa, stigma demikian akan
didukung dengan penunjukkan tanggung jawab individual yang merupakan ciri proses pidana.
Pengucilan politik ini menimbulkan perhatian pada signifikansi pengumuman nama:
pembersihan dimulai dari daftar ini. Ketika daftar mereka yang harus disingkirkan itu terbit,
daftar itu sendiri merupakan suatu bentuk putusan politik yang menimbulkan stigma. Mungkin
pendekatan paling tidak formal terhadap lustrasi dilakukan di Polandia, di mana kandidat
untuk posisi tinggi diharap menunjukkan bahwa ia “bersih diri” dengan mengumumkan kaitan
mereka dengan polisi rahasia antara tahun 1944 dan 1990.64 Undang-undang dekomunisasi
mengungkapkan secara gamblang makna sosial tindakan regulatoris yang tidak terdapat dalam
sanksi formal, perubahan hak atau kewajiban yang secara umum dikaitkan dengan hukum.
Dengan melihat konteks peninggalan sejarah di wilayah ini, pembersihan politik dalam
lingkup publik memiliki makna.
Bagaimana tepatnya cara, syarat dan pelucutan politik memungkinkan transformasi?
Pembersihan oleh rezim penerus dilakukan untuk membongkar represi rezim lama, hukum
digunakan untuk merekonstruksi kelompok-kelompok politik yang relevan terhadap partisipasi
dalam lingkup publik. Dalam masa transisi, rezim penerus menggunakan kategori-kategori
politik yang dahulunya dipakai untuk menjadi persyaratan dalam rezim lama, untuk
melakukan diskualifikasi. Kekuatan rekonstruksi politik menjadi terlihat jelas dengan latar
belakang ini; pembersihan pasca-komunis bersifat performatif karena mereka dengan eksplisit
membalikkan dasar proses yang semula mendukung rezim lama. Namun, kebergantungan
pada dokumentasi milik rezim lama memiliki dampaknya sendiri. Penilaian terhadap masa lalu
seseorang dilakukan dengan merujuk pada arsip-arsip rezim lama; dengan arsip-arsip tersebut
sebagai ujian politik. “Lustrasi” atau verifikasi dilakukan melalui arsip-arsip ini; kebenaran
ditemukan dari catatan milik rezim lama.
62
Constitutional Court Decision on the Act on the Illegality of the Communist Regime 1993 (Republik Czek,
1993).
63
Lihat umumnya Dan M. Kahan, “What do Alternative Sanctions Mean?” University of Chicago Law Review 63
(1996): 591.
64
Robert Conquest, The Great Terror: Stalin’s Purge of the Thirties, New York: Macmillan, 1968.
25
Dalam pergantian administrasi biasa di negara-negara demokrasi normal,
kebergantungan pada arsip rezim lama bukanlah hal yang luar biasa; namun dalam pergeseran
antara sistem politik, terutama dari kediktatoran ke sistem-sistem yang lebih liberal,
kebergantungan pada arsip lama memiliki arti mempertahankan kontinuitas dalam dasar
material rezim lama, dan dengan demikian menjadi amat paradoksal. Ini terjadi karena usaha
untuk membersihkan masa lalu dilakukan dengan proses-proses yang amat terkait erat dengan
masa lalu itu sendiri. Bahkan istilah yabng digunakan merujuk pada proses-proses dalam
rezim lama. “Lustrasi” adalah istilah yang digunakan polisi rahasia Cekoslowakia untuk
penilaian latar belakang loyalitas warga negara terhadap partai komunis selama
pemerintahannya yang berlangsung selama 40 tahun. Dengan menggunakan sudut pandang
ini, pembersihan pasca-1989 hanyalah pembersihan terbaru dalam seperangkat pembersihan:
antara lain pembersihan yang dilakukan pada tahun 1970; pembersihan para reformis 1968,
ketika setengah juta orang dipecat dari partai; dan sebelumnya, tahun 1948 dan pembersihan
Stalinis.65 Bahkan dalam bentuknya yang lunak, lustrasi mengingatkan kembali pada rezim
totaliter. Dengan demikian, ia merekonstruksi masyarakat dengan cara lama, dengan
mendefinisi-ulang partai politik melalui cara yang sama. Lustrasi tampak terkait erat dengan
rezim lama, bahkan sementara ia digunakan untuk tujuan transformatif.
Jika bab ini diawali dengan mempertanyakan kaitan cara-cara non-liberal terhadap
tujuan liberal, pembersihan politis di Eropa Timur dan Tengah menunjukkan masalah tersebut.
Di sini terdapat paradoks konstruksi sosial dekomunisasi dalam transisi, tentang pembersihan
politik yang mengutuk kejahatan masa lalu, namun sekaligus menggunakan cara-caranya.
Dalam negara-negara demokrasi baru, undang-undang dekomunisasi mengingatkan kembali
pada masa lalu totaliter mereka. Hingga titik tertentu, penggunaan bentuk-bentuk demikian
akan mengingatkan orang pada represi di masa lalu, dengan perubahan revolusioner yang
dilakukan melalui pembersihan. Cara-cara lama dan baru tampaknya begitu mirip,
menunjukkan alasan kuat soal dilakukannya proses-proses tersebut. Pembersihan-pembersihan
demikian menunjukkan bahwa meskipun paradoksal, proses-proses ritual tradidional justru
paling bisa mengekspresikan perubahan politik. Praktik transisional menunjukkan hasil
pengamatan sosiologis tentang ritual sosial pemeliharaan dan reformasi: dengan cara-cara
lama, pesan perubahan politik menjadi manifes,66 meskipun ia dibedakan dengan jaminan
prosedural dan justifikasi liberal. Analisis terhadap bentuk-bentuk perubahan demikian
menjelaskan bagaimana dalam masa transisi, ritual politik yang sudah ada tetap bisa
memajukan tujuan untuk transformasi.
Demiliterisasi terhadap Negara Kemanan Nasional
Dengan tingkat kebertahanan pemerintahan otoriter yang tinggi, bagaimana cara bergeser dari
rezim militer ke sistem yang lebih liberal? Mungkin tantangan terbesar bagi keadilan
administratif adalah penggunaan tindakan administratif untuk mengubah negara keamanan
nasional. Akhir Perang Dunia Kedua menimbulkan suatu dorongan untuk memelihara
65
Robert Conquest, The Great Terror: Stalin’s Purge of the Thirties, New York: Macmillan, 1968.
Lihat Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure, Ithaca: Cornell University Press, 1966;
Paul Connerton, How Societies Remember: Themes in the Social Sciences, Boston: Cambridge University Press,
1989.
66
26
perdamaian dan demokrasi. Tujuan untuk memelihara perdamaian ini mendorong sejumlah
inisiatif, dari pendirian PBB dan komitmenya untuk memelihara perdamaian hingga
demiliterisasi negara-negara yang kalah. Penyerahan tanpa syarat Jerman dan Jepang
diterjemahkan sebagai penyerahan semua kekuasaan prospektif untuk berperang dalam
konstitusi pasca-perang kedua negara tersebut.67 Di negara-negara yang dianggap berpotensi
menyebarkan peperangan, batasan-batasan baru pasca-perang meredam kekuasaan militer.
Meskipun terdapat dorongan untuk melakukan demiliterisasi, dengan adanya Perang
Dingin, hal ini tidak bertahan lama. Ini terutama terjadi di Amerika Latin, di mana polarisasi
dunia yang semakin menajam mempengaruhi belahan dunia ini, karena usaha untuk
mempertahankan sistem ekonomi ala Barat berjalan bersama dengan penindasan, juga karena
negara-negara kapitalis mendukung para diktator, selama mereka menolak komunisme. Pada
dekade 1950-an, hampir setengah dari negara-negara di Amerika Latin berada di bawah
pemerintahan militer. Dekade 1960-an dan 1970-an menunjukkan semakin naiknya kekuasaan
militer, ketika negara-negara yang bahkan selama itu itu dikenal sebagai negara demokratik,
seperti Cili, jatuh ke tangan militer. Pada awal dekade 1980-an, praktis seluruh benua tersebut
dikuasai oleh pemerintahan militer yang represif.68 Inilah masa kejayaan negara keamanan
nasional. Dengan militer yang kokoh di tampuk kekuasaan, politik kepartaian seperti biasa
tidaklah cukup; pemilihan umum bukanlah jawaban. Bahkan bila militer secara resmi
mengalihkan kekuasaan, suatu budaya penerimaan terhadap pemerintahan militer
memungkinkan perimbangan kekuasaan secara de facto antara sipil dan militer, yang dicapai
dengan kedok pemerintahan sipil.
Di wilayah Amerika, transisi dari otoritarianisme berarti suatu perjuangan untuk
menundukkan militer kepada pemerintahan sipil. Kegagalan politik partai mendorong respon
struktural lainnya dalam masa transisi. Meskipun terdapat liberalisasi politik, hanya sedikit
usaha yang dilakukan untuk menuntut pertanggungjawaban militer sebagai suatu organisasi.69
Namun, satu negara, Kosta Rika, menghapuskan sama sekali kekuatan militer dengan
menghapus angkatan bersenjatanya.70
El Salvador pasca-perang saudara menunjukkan bentuk demiliterisasi yang lebih
sederhana. Ketika kesepakatan damai yang ditengahi PBB mengakhiri perang saudara
berdarah dan berkepanjangan di negara itu, terdapat seruan untuk memperbaiki secara besarbesaran aparat keamanan negara itu. Kesepakatan damai antara pemerintah El Salvador dan
Frente Farabundo Marti para la Liberatión Nacional (FMLN) tergantung pada pembersihan
militer dan polisi. FMLN sepakat untuk menyerahkan senjatanya dengan syarat “purifikasi”
militer, jadi bahwa demobilisasi terhadap oposisi dipertukarkan dengan pembersihan aparat
keamanan nasional. Dengan demiliterisasi dan penyerahan senjata, oposisi diizinkan masuk ke
dalam lingkup politik dan bebas untuk membentuk partai politik sebagai imbalan dari
pengucilan terhadap aparat keamanan nasional dari domain politik yang sah.
Ada pertanyaan yang tersisa: bagaimana mengubah militer? Apa kaitan antara individu
dengan militer sebagai sistem, terutama berkaitan dengan pelanggaran dan potensi peran
67
Bandingkan Konstitusi Jepang, Pasal 9 (membatasi organisasi militer Jepang hanya untuk kapasitas bela diri)
dengan Basic Law Jerman, Pasal 115a.
68
Lihat Americas Watch, Report on Human Rights and U.S. Policy in Latin America, With Friends Like These,
ed. Cynthia Brown, New York: Pantheon Books, 1985.
69
Untuk diskusi tentang bebrepa pergantian rezim di wilayah ini, lihat Guillermo O’Donnel et al. (eds.),
Transitions from Authoritarian Rule: Latin America, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986.
70
Lihat Leonard Bird, Costa Rica: The Unarmed Democracy, London: Sheppard Press, 1984.
27
militer dalam transformasi demokratik? Transformasi angkatan bersenjata di El Salvador
dilakukan dengan kombinasi perubahan sistemik dan pembersihan individual. Transformasi
institusional terhadap aparat keamanan dilakukan dengan dua cara pembersihan: penyingkiran
individu dan restrukturisasi organisasi kemiliteran. Pemecatan terhadap pelaku pelanggaran
individual adalah satu cara untuk membersihkan militer, menghilangkan elemen-elemen nondemokratis dari badan ini.71 Dalam bahasa Spanyol, Purificación, atau purifikasi, berarti
meneliti peran militer dalam pelanggaran hak asasi manusia dalam suatu penyelidikan untuk
memastikan kemungkinan militer bersikap demokratis di masa depan.72
Meskipun rencana awalnya adalah perubahan cepat terhadap aparat militer, mendorong
militer untuk mengalah kepada pemerintahan sipil adalah perjuangan yang panjang. Ketika
komisi ad hoc mengidentifikasi individu-individu pelaku pelanggaran, daftar panjang para
pelaku mencakup perwira-perwira tinggi, termasuk menteri pertahanan, yang terkait dengan
pembunuhan para Yesuit yang terkenal. Lebih buruk lagi, di antara nama-nama yang
diidentifikasi untuk dipecat terdapat nama-nama para perwira yang terlibat dalam perjanjian
perdamaian. Perlawanan militer terhadap rencana pembersihan, dan ancaman kudeta,
memperlambat pembersihan. Setengah tahun setelah jadwal yang telah disepakati dalam
perjanjian perdamaian, jajaran tertinggi angkatan bersenjata dibebastugaskan: pembersihan
militer di El Salvador memiliki justifikasi penangkalan. Para pelaku pelanggaran hak asasi
manusia di masa lalu dianggap cenderung untuk mengulang kelakuannya, karena itu, harus
disingkirkan dari posisi kekuasaan. Meskipun penyingkiran individual demikian berdasar pada
justifikasi yang kuat, pada masa biasa, hal demikian hanya bisa dilakukan setelah adanya due
process. Pada akhirnya, konflik antara kepentingan bersama dan hak due process individual
ini ditengahi dengan kompromi, suatu pembersihan parsial yang menyingkirkan individu, tapi
tidak memberikan stigma yang dikaitkan dengan peradilan pidana.
Transformasi militer disyaratkan pada kaitan yang jelas dan erat antara individu dan
organisasi, yang terkait erat dengan pemahaman masyarakat tentang militer sebagai institusi.
Penggunaan tindakan transisional kolektif mengasumsikan kaitan erat antara individu yang
terpengaruh dan kolektifnya. Dalam militer, terdapat kaitan erat seperti jelas dalam
pemahaman tentang tanggung jawab pidana, yang dibicarakan dalam bab terdahulu tentang
peradilan pidana. Dalam struktur militer, pemahaman tentang konstruksi “jaringan komando”
menunjukkan tanggung jawab para pemimpin, pemikulan tanggung jawab yang lebih dari
sekadar individu, namun juga berpengaruh pada bagian-bagian lain dari organisasi ini.
Pergumulan tentang pembersihan militer El Salvador menunjukkan bagaimana
pembersihan, meskipun konsekuensinya bersifat punitif, tidak melalui proses yang biasanya
berjalan bersama penghukuman. Ini tampak jelas bahkan dalam apa yang bisa dikatakan
sebagai pembersihan tahap pertama. Penerbitan daftar nama dalam lingkup publik, seperti
lustrasi setelah komunisme, adalah pengutukan publik terhadap pelanggaran di masa lalu.
Daftar nama mereka yang harus dibersihkan itu berkaitan erat dengan pembersihan tahap
berikutnya; karenanya, melakukan pencopotan secara bertahap sehingga tidak lagi dikaitkan
dengan daftar tersebut berarti mengurangi “hukuman” yang diterima. Begitu proses
pembersihan dipisahkan dari daftar tersebut dan pencopotan dilakukan dengan alasan mutasi
rutin dan pensiun, stigma hukuman berkurang drastis. Tanpa keputusan hukum, sanksi tidak
71
Lihat OED, entri “expurgate”.
Lihat Lawyers Committee for Human Rights Report, El Salvador’s Negotiated Revolution: Prospects for Legal
Reform, New York: Lawyers Committee for Human Rights, 1993, 50-56.
72
28
memiliki aspek punitif, dan hanya memberikan perubahan dalam status kemasyarakatan.
Akomodasi ini mengurangi ketegangan yang timbul akibat pembersihan – dan menjaga
perdamaian.
Transformasi negara keamanan nasional juga berarti perubahan kepolisian, karena
tidak saja militer, namun polisi juga terkait dalam pelanggaran di masa lalu. Polisi lama akan
dibersihkan, dimobilisasi dan diganti oleh kepolisian yang dikendalikan oleh sipil, bukan
dengan mengeluarkan elemen lama, namun dengan memaksa memasukkan elemen-elemen
baru. Pembersihan (purge) dalam konteks ini menunjukkan arti lain, yaitu membersihkan satu
cairan dengan memasukkan cairan lainnya.73 Transformasi polisi dilakukan dengan
memasukkan sejumlah anggota baru sipil yang “bersih”. Transformasi terhadap organisasi ini
memiliki arti bahwa sebagian besar anggotanya harus tidak terkait dengan perang saudara
yang lewat. Pergantian personel dengan perbandingan 60:40 dilakukan untuk mengimbangkan
kuota antara mantan pemberontak dan militer, agar transformasi politik dapat terlaksana.
Lebih dari setengah anggota institusi harus terbebas dari noda masa lalu, sehingga ada dua
kelompok seimbang yang tersisa: para anggota polisi lama yang telah disaring dan pasukan
pemberontak yang telah didemobilisasi.74
Konstruksi transformasi politik setelah berakhirnya pemerintahan militer sebagian
ditentukan oleh rezim yang digantikannya. Perubahan yang berarti haruslah bersifat kritis atau
diskontinu dengan praktik-praktik di masa lalu. Jika tidak demikian, ia masih merupakan
kelanjutan dari rezim lama. Terdapat konsepsi transisional yang cair tentang kaitan perubahan
struktural dan individual. Transformasi institusional dalam hal ini berlangsung melalui
gabungan perubahan struktural dan individual, dengan tujuan untuk menciptakan sistem
pengawasan dan pengimbangan antara faksi-faksi politik. Restrukturisasi aparat keamanan
dengan menempatkan faksi-faksi politik yang berkekuatan sama, yaitu pendukung pemerintah
dan mantan pasukan pemberontak, merupakan cara untuk mencegah repolitisasi, untuk
mencegah dominasi satu pihak terhadap institusi. Ketakutan terhadap dominasi politik oleh
satu faksi merupakan hal yang umum di Amerika, dan pencegahannya melalui seperangkat
sistem pengawasan dan pengimbangan (melalui representasi politik luas) telah lama terjadi di
wilayah ini.75 Jalan menuju transformasi politik memiliki banyak pilihan, dari individual ke
kolektif, dengan penyingkiran individu-individu anggota militer yang melakukan pelanggaran,
dan memasukkan anggota-anggota baru yang “bersih”. Dalam institusi militer, kaitan antara
anggota individual dan militer sebagai badan amat erat, seperti tampak dalam struktur
komandonya. Dengan demikian, demiliterisasi di Amerika mencakup baik individu maupun
struktur, yang tercermin dalam pemahaman tentang tanggung jawab dalam struktur militer.
Dengan demikian, transisi dari pemerintahan militer mentolerir ketidaktaatan pada due
process individual, tidak seperti dalam intuisi kita tentang kedaulatan hukum dalam sistem
demokrasi yang sudah mapan.
Tentang Perang dan Damai
73
Lihat OED, entri “purge”.
Lihat Americas Watch, El Salvador and Human Rights: The Challenge of Reform, New York: Human Rights
Watch, 1991.
75
Untuk pengetahuan awal argumen ini, lihat James Madison, The Federalist No. 10, ed. Clinton Rossiter,
Middletown, Conn: Wesleyan University Press, 1961.
74
29
Usaha-usaha untuk mereformasi aparat keamanan nasional sering kali dirasionalisasikan
melalui perdamaian. Pembersihan sering kali dijadikan bagian dalam kesepakatan damai, bila
perubahan politik dijustifikasi dengan alasan perdamaian dan rekonsiliasi. Justifikasi
perdamaian ini misalnya terdapat di dalam alasan untuk melakukan pembersihan di El
Salvador. Menurut kesepakatan damai, demobilisasi militer akan memajukkan negara tersebut
ke tahap selanjutnya. Pembersihan aparat keamanan dilangsungkan berdampingan dengan
doktrin keamanan yang baru, yang menundukkan militer pada konstitusi.76 Pembersihan di El
Salvador ini memajukkan kepentingan perdamaian, karena ia menjadi bagian dari kesepakatan
damai. Lebih lanjut lagi, usaha untuk memajukan tanggung jawab individual menghapuskan
dosa kolektif dari militer secara institusional, dan memberikan legitimasi baru bagi militer.
Rekonstruksi militer lain di wilayah ini juga dilakukan dengan alasan perdamaian.
Kaitan antara transformasi, keamanan dan perdamaian juga terlihat di Haiti. Setelah
berakhirnya puluhan tahun masa pemerintahan militer dan ditariknya pasukan multinasional,
timbul pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan dengan aparat keamanan Haiti. Pasukan
polisi sementara yang masih tersusun dari bekas anggota militer yang represif, bahkan belum
melalui proses penyaringan terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia.77 Ketiadaan usaha
untuk menyingkirkan para pelanggar, dan pemindahan personel dari satu bagian aparatur
militer ke bagian lainnya hanya mendorong persepsi tentang ketiadaan otoritas dan legitimasi
dalam badan tersebut.78 Ketiadaan badan pelaksana hukum yang sah ini menandakan
ketiadaan keamanan dan perdamaian. Kesepakatan serupa juga dilakukan di Kamboja, yang
memberikan kekuasaan kepada Otoritas Transisional PBB di Kamboja (UNTAC) untuk
membuat keputusan tentang personel.
Meskipun pembersihan transisional umumnya kontroversial, namun pembersihan
terhadap aparat keamanan mendapat dukungan luas.79 Transformasi terhadap sektor keamanan
menjustifikasi tindakan-tindakan yang radikal, karena di sini kaitan antara pembersihan
sebagai suatu cara dan tujuan kedaulatan hukum prospektif tampak paling jelas. Bila ancaman
terhadap keamanan terletak dalam satu sektor tersendiri, yaitu aparat keamanan, transformasi
politik bergantung kepada restrukturisasi dan penciptaan legitimasi bagi sektor tersebut.
Sebaliknya, bila perubahan demikian tidak dilakukan, pasukan keamanan akan dianggap tidak
mampu menjamin keamanan. Praktik transisional berkaitan sektor keamanan menunjukkan
kaitan erat antara perubahan struktural dan transformasi ke sistem kedaulatan hukum di bawah
pemerintahan sipil. Pembersihan aparat keamanan memperlihatkan hubungan dekat antara
individu dengan kolektif dalam lingkup-lingkup tertentu, dan menunjukkan justifikasi
penggunaan cara-cara tersebut untuk melaksanakan transformasi politik dari sistem negara
keamanan nasional. Bahkan, dengan dasar pada keamanan, pembersihan pasca-militer
merupakan cara terbaik untuk melakukan transformasi politik. Bahkan dalam sistem
demokrasi yang sudah mapan, pembersihan politik sering kali didasarkan atas alasan
keamanan nasional dan perdamaian, terutama di masa perang. Sebagai contoh, pada masa
76
Lihat Kesepakatan Damai, Lampiran Surat PBB tertanggal 27 Januari 1992 dari Wakil Permanen El Salvador
untuk PBB, dialamatkan kepada sekretaris jenderal, A/ 46/864 S/23501 (30 Januari 1992): 2-3.
77
Lihat Human Rights Watch/Americas National Coalition for Haitian Refugees, Security Compromised:
Recycled Haitian Soldiers on the Front Line, Vol. 7, No. 3, New York: Human Rights Watch, 1995.
78
Ibid., 1-2, 67.
79
Bahkan oleh komunitas hak asasi manusia. Lihat misalnya Human Rights Watch World Report 1996, New
York: Human Rights Watch, 1997, 91-93.
30
Perang Dunia Kedua, penahanan massal terhadap warga negara Amerika Serikat atas dasar
kelompok etnik dijustifikasikan atas alasan “keamanan nasional”.80 Dasar untuk tindakan
penahanan berbasis etnik ini kemudian dijadikan alasan untuk melakukan pengucilan politik.
Pengucilan politik serupa mendapatkan justifikasi yang sama dalam masa Perang Dingin.
Sementara alasan keamanan dalam kondisi biasa tidak dapat diterima, pada saat perang dan
transisi radikal, alasan ini menjadi kuat.
Pembersihan pasca-militer tetap merupakan tindakan transisional yang luar biasa, yang
merupakan respon terhadap persepsi tertentu terhadap sumber-sumber kelemahan
institusional, yang bersifat kritis, karena demiliterisasi harus menjelaskan kaitan antara
keamanan dan legitimasi serta otoritas. Bila aparat keamanan tidak tunduk pada hukum,
timbul ancaman dari institusi yang sebenarnya bertugas untuk melindunginya, yang malah
berpeluang melakukan represi dan mengganggu keamanan. Perdebatan tentang pembersihan
militer dalam transisi menunjukkan masalah besar tentang kedaulatan hukum yang dihadapi di
wilayah ini. Pembersihan militer menunjukkan kesukaran dalam usaha mereformasi institusi
penegakan hukum yang terpolitisasi, dan menunjukkan batas-batas kemampuan keadilan
administratif. Namun, bagi rezim-rezim yang baru bergeser dari pemerintahan militeristis,
demiliterisasi memunculkan batasan baru bagi kekuasaan militer, dan menunjukkan
kemenangan pemerintahan sipil; sehingga demiliterisasi dipandang bisa menawarkan satu
jalan untuk mengembalikan kedaulatan hukum.
Demokrasi Militan
Dalam transisi kontemporer sejak akhir Perang Dunia Kedua, hukum publik memberikan
perlindungan kepada kejahatan di masa lalu dalam bentuk yang sering kali disebut sebagai
“demokrasi militan”.81 Demokrasi militan adalah suatu respon transisional yang mencoba
menjawab paradoks represi modern, yang sering kali berakar pada demokrasi, karena
kekuasaan diperoleh sebagai hasil pemilihan umum secara bebas. Bila pemerintahan represif
tampil sebagai akibat dari proses demokrasi, bagaimana kejahatan ini disikapi: sejauh mana
kesalahan rakyat, partai dan negara? Dan ke mana transformasi akan diarahkan? Setelah
berakhirnya penderitaan akibat fasisme, ini menjadi pertanyaan sentral dalam keadilan
transisional. Nazisme menancapkan kukunya di Jerman melalui politik parlementer biasa,
dengan mayoritas politik yang berhasil menentang tatanan politik yang ada.82 Fasisme dan
kejahatan-kejahatan yang ditimbulkannya dianggap tumbuh dari kelemahan Republik Weimar
dan partai-partai politik ekstremis yang menjadi gerakan populis yang meruntuhkan
demokrasi. Dengan peninggalan sejarah kegagalan demokrasi ini setelah keruntuhan Nazi,
timbul pertanyaan tentang bagaimana melindungi demokrasi di masa depan. Di sini, ancaman
terbesar bagi liberalisme adalah partai-partai yang bekerja dalam sistem politik demokratis
untuk meruntuhkannya. Peninggalan sejarah represi politik inilah yang mendorong respon
80
Lihat Korematsu v. United States, 323 US 214 (1944).
Lihat Dennis v. United States, 241 US 494 (1951) (menyetujui penindasan atas dasar Smith Act terhadap para
pimpinan nasional partai komunis Amerika Serikat).
82
Lihat Hans Mommsen, From Weimar to Auschwitz, Princeton, N.J: Princeton University Press, 1991. Lihat
umumnya Robert Moss, The Collapse of Democracy, London: Abcus, 1977.
81
31
yang dikenal sebagai “demokrasi militan” – usaha untuk melindungi sistem demokratis dari
ancaman internal.
“Demokrasi militan” merespon tirani masa lalu tertentu, yang karena itu ia juga
bermakna mendefinisikan ulang demokrasi. Demokrasi militan menjustifikasi peredaman
berdasarkan konstitusi terhadap partai-partai politik yang bila dibiarkan begitu saja dapat
mengancam tatanan demokratis; dalam skema demokrasi militan, partai-partai
“inkonstitusional” akan disingkirkan dari perpolitikan yang sah.83 Penyingkiran terhadap
kelompok-kelompok politik tertentu akan menyusun batasan baru terhadap sistem politik.
Dilema yang ditimbulkan demokrasi militan adalah pembatasan demokrasi atas nama
demokrasi. Ini adalah satu bentuk ekstrem dari persyaratan dan pelucutan politik yang telah
dibicarakan. Hingga titik tertentu, skema ini menjadi lemah karena proses-prosesnya:
meskipun pelarangan partai bisa dilakukan oleh cabang-cabang politik, ia hanya diputuskan
oleh sikap pengadilan konstitusional. Dengan demikian, apa yang disebut sebagai “antidemokrasi” dan di luar konstitusi adalah suatu masalah penafsiran konstitusi. Jadi, dalam
interpretasinya terhadap demokrasi militan, pengadilan konstitusional berperan sebagai
pelindung tatanan demokrasi yang baru. Tepat setelah berakhirnya perang, dalam kasus Partai
Sosialis, hanya terdapat satu masalah: sejauh mana ia terkait dengan partai Nazi, sehingga
partai tersebut harus disingkirkan. Partai neo-Nazi ini merupakan paradigma partai antidemokrasi, karena keanggotaan, struktur dan ideologinya tidak lain adalah kelanjutan dari
partai Nazi yang lama.84 Namun, dengan adanya Perang Dingin di Eropa, ancaman potensial
terhadap demokrasi tidak sekadar neo-nazisme. Ketika pemerintah Konrad Adenauer
mengesahkan Pasal 21, yaitu tindakan konstitusional untuk melarang Partai Komunis Jerman,
pertanyaan yang relevan menurut pengadilan adalah apakah partai tersebut berusaha untuk
merusak tatanan “demokratis”. Harus ada bukti “bahaya nyata” yang diterapkan Mahkamah
Agung Amerika Serikat dalam meninjau perundang-undangan serupa untuk melarang partai
komunis di Amerika Serikat pada masa perang dingin.
Tindakan keras terhadap sistem demokrasi kepartaian tampaknya salah. Namun
menurut pandangan Pengadilan Konstitusional Jerman, hal tersebut dijustifikasikan oleh
pengalaman sejarah dan penindasan yang dialami negara itu. Penindasan secara konstitusional
terhadap satu partai hanya dilakukan dua kali dalam masa tujuh tahun pertama terbentuknya
pemerintah baru pada tahun 1949, dengan pelarangan partai neo-Nazi pada tahun 1952 dan
partai komunis pada tahun 1956.85 Seiring perjalanan waktu, kebutuhan untuk merasakan
bahaya yang berlebihan seperti itu menjadi berkurang. Pada tahun 1968, ketika Partai
Komunis Jerman muncul kembali, representasi politik demikian tidak lagi dianggap
kontroversial. Baik di Jerman maupun di Amerika Serikat, penindasan terhadap partai
komunis hanya dilakukan selama periode tertentu setelah berakhirnya perang; ketika prinsip
demokrasi militan sedang dipegang teguh.
83
Untuk asal usul istilah “demokrasi militan” dalam teori politik, lihat Karl Lowenstein, “Militant Democracy
and Fundamental Rights”, American Political Science Review 31 (1937): 417. Untuk provisi konstitusional yang
mendefinisikan lingkup keterancaman demokrasi konstitusional, Basic Law, Pasal 21(2) menyatakan: “Partaipartai yang karena tujuannya atau karena perilaku pengikutnya berusaha melemahkan atau menghapuskan tatanan
mendasar demokratis dan kebebasan atau mengancam keberadaan Republik Federal Jerman akan dianggap
inkonstitusional”.
84
Lihat Socialist Reich Party case, 2 BverfGE 1 (Jerman, 1952) dan Communist Party Case, 5 BVerfGE 85
(Jerman, 1956).
85
Ibid.
32
Penindasan konstitusional terhadap sebuah partai jarang dilakukan di Jerman, dan pada
praktiknya hal tersebut pun dibatasi pada masa transisional. Namun, di seluruh wilayah
tersebut, dalam perubahan sistem konstitusional Eropa pasca-perang, respon terhadap
totalitarianisme sering kali mengambil bentuk demokrasi militan. Demokrasi dijadikan batasan
konstitusional terhadap perkumpulan politik. Misalnya, konstitusi Turki menyatakan bahwa
“partai politik harus sepakat dengan prinsip-prinsip demokrasi”. Konstitusi Portugal
membatasi kebebasan berkumpul berdasarkan kondisi pasca-perang, dengan melarang
“organisasi yang memiliki ideologi fasis”.86 Di seluruh wilayah ini, respon terhadap ketakutan
sejarah atas sistem politik demokratis yang disalahgunakan mengambil bentuk represi
konstitusional. Melalui respon struktural ini, bentuk-bentuk ekspresi politik yang berbahaya
ditempatkan di luar tatanan politik yang ada. Pembatasan terhadap bentuk perpolitikan yang
legal beralih menjadi kedaulatan hukum dalam masa transisi, kendatipun pelaksanannya
dengan standar konstitusional transisional ini memberikan kontribusi lebih besar terhadap
identitas politik negara itu.
Respon pasca-perang terhadap fasisme adalah menyingkirkan oposisi non-demokratik
di luar sistem politik yang legal. Demokrasi militan memunculkan dilema tentang apa yang
yang harus dilakukan terhadap partai politik yang membahayakan demokrasi yang
memungkinkan terbentuknya. Kasus transisional ini menjelaskan patologi lebih luas dalam
politik demokratis: pemerintahan tidak liberal yang muncul sebagai akibat dari penggunaan
cara-cara demokratis. Kasus ini menunjukkan bagaimana demokrasi menimbulkan dilema
cara-tujuan yang dibicarakan dalam bab ini. Demokrasi militan menunjukkan ketegangan ini
dan menunjukkan bahwa paling tidak dalam masa transisi, proses-proses non-liberal bisa
ditolerir, bila ditujukan untuk membangun demokrasi.
Partai dan Rakyat
Mungkin usaha paling radikal yang dilakukan sebuah partai untuk melakukan transformasi
politik tampak dalam transisi pasca-komunis kontemporer. Pada saat kejatuhan Uni Soviet,
pembersihan diri oleh Partai Komunis merupakan tanda terjelas dari perubahan politik.
Keruntuhan ini dimulai pada tahun 1991, ketika Presiden Mikhail Gorbachev menyerukan
kepada komisi Sentral Partai Komunis Uni Soviet untuk membubarkan diri. Di berbagai
republik anggota Uni Soviet, partai-partai komunis bubar, entah sebagai akibat pelarangan,
dekrit presiden, atau reformasi konstitusional. Berakhirnya sistem satu partai, sekaligus
penghapusan privilesenya, menandakan awal tatanan politik baru yang lebih terbuka. Karena
status partai sebelumnya dimapankan dalam skema hukum, keruntuhannya pun diformalkan
melalui hukum. Transformasi politik hanya bisa dilakukan dengan memutuskan kaitan antara
kekuasaan partai dan negara, sehingga kedaulatan dapat dipindahkan dari partai ke rakyat.87
Melalui perubahan konstitusional, partai komunis dipisahkan dari aset-asetnya, dan dilarang
untuk menerapkan kekuasaannya.88 Bahkan istilah Marxisme-Leninisme dihilangkan dari
86
Konstitusi Republik Turki, pasal 69 (amendemen 1995); Konstitusi Portugal, pasal 46 (1992).
Lihat misalnya Konstitusi Republik Bulgaria, 12 Juli 1991, Konstitusi Republik Hongaria, setelah
diamendemen Akta No. 31, 1989, pasal 3(3).
88
Lihat Gordon Wightman (ed.), Party Formation in East-Central Europe: Post-Communist Politics in
Czechoslovakia, Hungary, Poland and Bulgaria, Adershot, Inggris: Edward Elgar, 1995, 205.
87
33
konstitusi. Dengan kehilangan legitimasi dan dipenuhi korupsi, rezim tersebut runtuh dengan
sendirinya.
Setelah terjadinya perubahan politik kritis, timbul pertanyaan tentang apa yang harus
dilakukan terhadap Partai Komunis? Apakah partai tersebut, yang terbiasa dengan sistem
partai tunggal, dapat beradaptasi ke sistem kepartaian yang demokratis? Apakah institusi ini
dapat melemahkan konsolidasi tatanan demokratis yang liberal? Sejauh mana partai komunis
dapat diperlakukan setara dengan partai-partai politik lainnya dan diizinkan bersaing dalam
perebutan kekuasaan? Setelah pemerintahan partai tunggalnya yang represif, apakah partai
komunis masih memiliki legitimasi? Atau apakah identitas partai tersebut pada dasarnya
sinonim dengan negara totaliter? Dalam pandangan terakhir ini, adanya perubahan berarti
menuntut pembubaran partai tersebut. Sementara bila identitas partai tidak disamakan dengan
negara, ia tetap bisa berperan dalam transisi ke sistem politik yang lebih demokratis.
Pertanyaan ini adalah pertanyaan kunci, dengan dampak potensial di seluruh wilayah ini.
Isu ini menjadi signifikan pada tahun 1991, ketika Pengadilan Konstitusional Rusia
yang baru dibentuk menegaskan konstitusionalitas partai komunis. Pada bulan Agustus 1991,
segera setelah berakhirnya usaha kudeta, Presiden Boris Yeltsin menyatakan Partai Komunis
Rusia sebagai tidak konstitusional melalui keputusan presiden, yang diikuti dengan
pembubaran aparat kepemimpinan partai itu, politbiro dan Komite Sentral, bersama-sama
dengan struktur lokal partai.89 Namun Rusia tidak seperti Jerman, tidak memiliki skema
konstitusional untuk merepresi partai-partai ekstremis. Akibatnya, terdapat bebarapa isu yang
diajukan ke pengadilan: konstitusionalitas Partai Komunis Uni Soviet, dan juga
konstitusionalitas keputusan eksekutif yang melarang partai tersebut atas dasar konstitusi.90
Baru setelah para aktor politik menggunakan Pengadilan Konstitusional untuk membatalkan
larangan Yeltsin tersebut, Parlemen buru-buru mengubah konstitusi untuk memungkinkan
tinjauan Mahkamah Agung terhadap konstitusionalitas partai politik.91 Represi konstitusional
terhadap partai politik model Jerman menyatakan bahwa Pengadilan Konstitusional adalah
aktor utama yang memutuskan apakah suatu perilaku dianggap “tidak demokratis”. Namun di
Rusia pasca-Soviet, apa arti tinjauan konstitusional terhadap partai?
Pertanyaan yang timbul adalah apakah usaha larangan Yeltsin tersebut didasarkan pada
kemungkinan abstrak subversi, ataukah “tindakan presiden tersebut disebabkan oleh
kebutuhan objektif untuk mencegah munculnya upaya untuk kembali ke situasi terdahulu”.92
Dilakukan segera setelah usaha kudeta yang gagal, keputusan Yeltsin menimbulkan
pertanyaan tentang kesalahan partai. Dengan menuduh bahwa pimpinan partai bertanggungjawab atas usaha kudeta tersebut, keputusan Yeltsin menyatakan, “Jelas bahwa selama struktur
partai komunis tetap bertahan, tidak ada jaminan bahwa tidak akan terjadi lagi kudeta lain.”93
Dalam proses hukum tentang pelarangan partai ini, para saksi memberikan kesaksiannya
tentang setengah abad korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh partai, pengungkapan
pelanggaran di Katyn dan Afghanistan, dan menuduh bahwa kepemimpinan tingkat tinggi
89
Kutipan dari Keputusan Presiden Federasi Rusia, 23 Agustus 1991, No. 25, “Tentang Pelarangan Kegiatan
Partai Komunis Uni Soviet” (arsip University of Chicago Center for Constitutionalism in Eastern Europe).
90
Lihat David Remnick, “The Trial of the Old Regime”, New Yorker, 30 November 1992, hlm. 104.
91
Lihat Konstitusi Federasi Rusia, Pasal 165-1, menyatakan bahwa “Pengadilan Konstitusional Federasi Rusia
memutuskan konstitusionalitas ... partai-partai politik dan organisasi publik lainnya”.
92
Communist Party Decision (arsip University of Chicago Center for Constitutionalism in Eastern Europe).
93
L. Aleksandrova, “Decree of the RSFSR President on the Activities of the CPU and CP RSFSR”, Rossiiskaya
Gazeta, 9 November 1991, tersedia di Lexis, World Library, arsip SPD.
34
partai bertanggung-jawab. Setelah puluhan tahun penindasan, sifat partai yang mengancam ini
menjadi jelas.
Dalam kondisi baru saja terlepas dari sistem totaliter yang represif, di mana partai tidak
tunduk pada kedaulatan hukum, timbul pertanyaan tentang bagaimana mentransformasi
kekuasaan partai dan menciptakan sistem multi partai yang stabil. Penindasan konstitusional
terhadap partai memberikan sebagian tanggung jawab kepada pengadilan yang independen.
Dalam mempertimbangankan pelarangan partai di Rusia, Pengadilan Konstitusional akhirnya
memberikan keputusan yang adil bahwa justifikasi demokrasi memungkinkan pelarangan
partai pada tingkat eselon tinggi, yaitu Politbiro dan Komite Sentral, namun tidak demikian
pada tingkat lokal. Melalui proses yudisial yang membahas bagaimana satu partai dianggap
melakukan pelanggaran, justifikasi terhadap tindakan negara ini bisa diumumkan. Pengadilan
Konstitusional memainkan peran penting dalam proses kedaulatan hukum minimal yang
merasionalkan hal yang sebenarnya bisa dianggap sebagai pembersihan politik.
Demokrasi Militan dan Negara Liberal
Pertimbangkanlah penindasan konstitusional terhadap sebuah partai dan prinsip dasar
demokrasi militan. Dalam contoh-contoh di atas, partai-partai politik tertentu dikekang karena
dianggap sebagai ancaman terhadap liberalisasi. Ancaman ini bersifat kolektif, demikian pula
sanksinya – pembubaran partai dan penyitaan propertinya. Pemberian sanksi kepada partai
politik mengekspresikan keputusan politik atas dasar politik, yang tampak tidak sesuai dengan
intuisi kita tentang sistem bekerjanya negara liberal. Maka, timbullah pertanyaan: apakah
tindakan ini adalah benar-benar usaha perlindungan, yang bisa dijustifikasi, dari ancaman
konkret terhadap tatanan konstitusional? Atau semata-mata pembatasan yang dipolitisasi
terhadap minoritas politik yang tidak disukai? Sebagai titik awal, bila suatu mayoritas politik
membatasi minoritas untuk berpartisipasi dalam lingkup publik, kebijakan ini pasti akan
dicurigai.
Namun, apakah hal sebaliknya merupakan skenario yang mungkin akan bergantung
pada peran pengadilan. Demokrasi militan adalah respon transisional yang berpremis pada
pandangan tertentu tentang patologi politik demokratis: paradoks demokrasi dan pemerintahan
yang tidak liberal. Demokrasi militan menunjukkan ketegangan yang inheren dalam
demokrasi dan liberalisme, terutama dalam demokrasi konstitusional. Sejauh mana dilema
demokrasi ini dapat digeneralisasikan? Dalam gelombang transisi dan konstitusionalisme
kontemporer, timbul pertanyaan tentang bagaimana merespon pemerintah yang tidak liberal
dan apakah perlu mengikuti langkah konstitusional Jerman. Sejauh mana respon demokrasi
militan ditiru dan menjadi panduan bagi transformasi politik partai di wilayah lainnya?
Pertanyaan ini timbul dalam transisi pasca-komunis. Demokrasi militan merupakan respon
terhadap tirani yang terkait erat dengan sejarah Eropa. Di Eropa Timur dan Rusia,
pemerintahan represif timbul bukan dalam perpolitikan model Weimar, namun dari
totalitarianisme. Di wilayah ini, sejarah patologi politik bukan disebabkan karena terlalu
banyaknya demokrasi, misalnya karena pengambilalihan kekuasaan oleh partai-partai
pinggiran, namun oleh hal sebaliknya – pemerintahan partai tunggal. Namun, argumen untuk
memperluas pandangan demokrasi militan adalah bahwa bila pemerintahan represif timbul
dari proses yang jelas-jelas tidak demokratis, pemerintahan partai tunggal demikian biasanya
mempertahankan kekuasaannya dalam waktu lama hanya bila masyarakat menaatinya. Namun
35
skema demokrasi militan, dalam ketiadaan tradisi demokrasi yang kuat, dapat mengancam
demokrasi yang baru tumbuh. Bila kekuasaan konstitusional untuk menindas demikian tidak
dibatasi, selain melalui interpretasi yudisial, sistem demokrasi tidak akan bertahan lama.
Fenomena keterancaman transisional ini menimbulkan pertanyaan yang lebih luas,
tentang apakah dan sejauh mana, sistem demokrasi perlu memberikan panduan normatif
terhadap sistem politik pada dasar yang lebih permanen. Model pasca-perang yang diterapkan
di Jerman bergantung pada badan peradilan untuk bisa bekerja. Interpretasi yudisial
mencerminkan usaha untuk bergeser dari tuduhan kabur tentang “ekstremisme politik”, ke
alasan yang lebih objektif, seperti kekerasan politik. Jurisprudensi konstitusional modern
mencerminkan interpretasi ini. Meskipun standar konstitusional tentang pelarangan partai
cenderung bergeser ke arah yang lebih liberal, melindungi kebebasan berserikat dan
berekspresi, selalu terdapat bahaya politisasi sistem peradilan. Bahkan dalam sistem
demokrasi yang mapan, terdapat masa-masa ketika pengadilan tinggi suatu negara cenderung
rentan terhadap politisasi, seperti Mahkamah Agung Amerika Serikat pada masa Perang
Dingin.
Pertanyaan transisional yang ditimbulkan oleh kerangka demokrasi bersyarat ini juga
timbul dalam pertanyaan serupa tentang penggunaan cara-cara serupa dalam negara liberal.
Misalnya, contoh kontemporer pelarangan partai di Eropa dan Timur Tengah, seperti di
Aljazair dan Turki, mengambil alasan ekstremisme dan faksionalisme religius.94 Di seluruh
Eropa, selalu terdapat partai-partai politik yang menyebut dirinya religius, sehingga timbul
pertanyaan: di mana menarik batasnya? Bagaimana menyikapi partai-partai demikian dalam
negara liberal? Dalam gelombang kontemporer transisi pasca-komunis, pertanyaan ini
memiliki signifikansi besar. Politik identitas memberikan tantangan yang berat kepada negara
yang sedang melakukan transisi, dengan konflik di Yugoslavia sebagai gambarannya yang
terburuk. Namun, keadilan transisional menawarkan cara untuk merekonstruksi negara, tidak
melalui politik identitas, namun melalui identitas politis dan juridis yang berdasarkan pada
hak.
Dilema transisional ini, meskipun terlihat dalam masa-masa luar biasa, menunjukkan
ketegangan laten dalam teori demokrasi, yaitu potensi pertentangan antara proses dan tujuan
demokratis. Konflik potensial ini sering tampak dalam pertanyaan tentang batasan toleransi
dalam negara liberal.95 Sebagai contoh, dalam The Law of the Peoples, John Rawls menentang
pendekatan “toleransi” kepada ancaman-ancaman politis terhadap demokrasi.96 Namun,
ingatlah kembali dilema yang dibahas di bagian muka bab ini, tentang ketegangan dalam masa
transisional, ketika dalam masa pergeseran dari represi di masa lalu, konstruksi demokrasi
membutuhkan justifikasi untuk membatasi proses kaum mayoritas dan melakukan kompromi
terhadap pandangan ideal tentang kedaulatan hukum. Ketegangan ini dirasionalkan dalam
skema konstitusional yang didefinisikan oleh demokrasi militan, karena partai ekstremis harus
ditekan, atau ia akan mengancam tatanan politik. Dalam pandangan ini, hanya penindasan
94
Lihat Kelly Couturier, “Turkey Bans Islam-Based Political Party”, Washington Post, 17 Januari 1998, hlm.
A20. Tentang pembubaran Partai “Kesejahteraan”, lihat http://www.turkey.org/turkey/politics/p-party.htm.
95
Lihat Michael Walzer, On Toleration, New Haven: Yale University Press, 1997. Untuk pembicaraan terkait
tentang agama. lihat Ruti Teitel, “A Critique on Religion as Politics in the Public Sphere”, Cornell Law Review
78 (1993): 747.
96
Lihat John Rawls, “The Law of Peoples”, dalam Stephen Shute dan Susan Hurley (eds.), On Human Rights:
The Oxford Amnesty Lectures, 1993, New York: Basic Books, 1993. Lihat juga Yael Tamir, Liberal Nationalism,
Priceton: Princeton University Press, 1993.
36
yang konstitusional memungkinkan rezim transisional untuk merekonstruksi identitas
politiknya. Aspek politis dari tindakan-tindakan ini dapat dikurangi dengan adanya tinjauan
yudisial. Garis yang direkonstruksi di sini adalah pada sifat transformasi yang “kritis”, karena
ia menyangkut peran politik dan redefinisinya berkaitan dengan konstitusi suatu negara. Bila
tindakan administratif transisional dilakukan melalui proses konstitusional, bukan hanya
politis, ia mendapatkan justifikasi dari demokrasi. Meskipun pada masa biasa, masalah dan
peran tindakan-tindakan demikian sering kali disingkirkan ke latar belakang, namun ia
memberikan definisi batasan keanggotaan dan partisipasi dalam lingkup politik secara
konstitusional; dalam masa transisi, proses-proses tersebut berada di muka.
Keadilan antar-Generasi
Praktik-praktik yang dibicarakan di sini, dikaitkan dengan perubahan politik radikal, yang
membentuk pemahaman masyarakat tentang transformasi politik. Praktik-praktik tersebut
mendefinisikan “waktu politik”, yaitu periodesasi politik “sebelum” dan “sesudah”, berkaitan
dengan masa lalu yang represif dan masa depan yang demokratis. Apa peran waktu dalam
transformasi politik?
Suatu kisah dalam Kitab Suci menunjukkan peran waktu dalam transformasi politik.
Dalam eksodus orang-orang Israel dari Mesir, terdapat kisah tentang pergerakan suatu bangsa
– menuju kebebasan. Dalam kisah biblikal ini, orang-orang Israel menghabiskan waktu empat
puluh tahun di padang gurun, sebelum mereka dapat berpindah dari perbudakan di Mesir ke
kehidupan yang baru sebagai orang bebas. Transformasi ini membutuhkan waktu empat puluh
tahun.
22] Semua orang yang telah melihat kemuliaan-Ku dan tanda-tanda mujizat yang Kuperbuat di
Mesir dan di padang gurun, namun telah sepuluh kali mencobai Aku dan tidak mau
mendengarkan suara-Ku, 23] pastilah tidak akan melihat negeri yang Kujanjikan dengan
bersumpah kepada nenek moyang mereka! Semua yang menista Aku ini tidak akan melihatnya ...
29] Di padang gurun ini bangkai-bangkaimu akan berserakan, yakni semua orang di antara kamu
yang dicatat, semua tanpa terkecuali yang berumur dua puluh tahun ke atas, karena kamu telah
bersungut-sungut kepada-Ku. 30] Bahwasanya kamu ini tidak akan masuk ke negeri yang dengan
mengangkat sumpah telah Kujanjikan akan Kuberi untuk kamu diami ... 31] Tentang anakanakmu yang telah kamu katakan: mereka akan menjadi tawanan, merekalah yang akan Kubawa
masuk, supaya mereka mengenal negeri yang telah kamu hinakan itu. ... 33] dan anak-anakmu
akan mengembara sebagai penggembala di padang gurun empat puluh tahun lamanya dan akan
menanggung akibat ketidaksetiaan.97
Apa signifikansi empat puluh tahun di padang gurun ini? Dalam paradigma biblikal ini,
transformasi dari orang-orang yang diperbudak menjadi orang-orang bebas membutuhkan
waktu – tampaknya sekitar dua generasi. Transformasi ini tampaknya membutuhkan suatu
tahapan transisional yang ditunjukkan oleh masa mereka berada di padang gurun.
“Transformasi secara mendadak dari satu kutub ke kutub lainnya tidaklah mungkin”.98
Dampak pembersihan oleh waktu ini terasa oleh satu generasi, universal dan absolut. Tidak
97
Plaut (ed.), “Exodus”, dalam The Torah 18:22-23.
Moses Maimonides, The Guide of the Perplexed, terjemahan Shlomo Pines, Chicago: University of Chicago
Press, 1969, 54.
98
37
seorang pun yang mengalami perbudakan di Mesir akan mencapai Tanah Terjanji, bahkan
Musa, pemimpin pembebasan meninggal sebelum bangsanya memasuki tanah baru, sehingga
tersingkir dari partisipasi dalam kebebasan politik yang baru. Perjalanan waktu
mendefinisikan generasi politik yang membentuk negara yang baru.99
Satu ilustrasi lain tentang peran waktu dalam mendefinisikan tahap-tahap dan generasi
transformasi politik terlihat dalam pergeseran dari monarki ke republik. Syarat yang mencakup
jangka waktu satu generasi menjadi dasar perubahan yang signifikan. Dalam Konstitusi
Amerika tahun 1787, terdapat persyaratan kepemimpinan politik dalam mendefinisikan
generasi yang boleh berpartisipasi. Pasal II Konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa
calon presiden harus memiliki kewarganegaraan “natural” dan berusia minimum tiga puluh
lima tahun.100 Kedua syarat konstitusional ini, usia dan kewarganegaraan, dipilih untuk
menyingkirkan para simpatisan monarki atau anak-anak mereka. Kedua syarat ini
mengkonstruksikan generasi politik yang boleh berpartisipasi. Aturan ini mencegah orangorang yang dianggap mungkin tidak memiliki komitmen sepenuhnya terhadap kemerdekaan
negara ini dan transisinya ke sistem republik, untuk memegang jabatan politik tertinggi.
Meskipun persyaratan ini diciptakan pada masa perubahan politik substansial, mereka tetap
menjadi parameter konstitusional untuk jabatan politik tertinggi ini hingga kini.
Satu contoh lain dapat ditemukan dalam transisi kontemporer dari pemerintahan
komunis di Eropa Timur, ketika “sebelum” dan “sesudah” ditentukan oleh pelucutan
berdasarkan usia, untuk mentransformasi partai-partai politik dalam pergeseran menuju sistem
multipartai. Di Hongaria, partai “Fidesz” yang didirikan setelah revolusi, memiliki arti harfiah
sebagai “uni pemuda demokrat”, yang juga bisa diartikan sebagai “kepercayaan”. Dengan
klaimnya bahwa ia bisa dipercaya dalam masa transisi tersebut, Fidesz memiliki aturan yang
melarang orang berusia lebih dari tiga puluh lima tahun menjadi anggotanya. Syarat usia ini
melambangkan keanggotaan yang bersih, terbebas dari kolaborator dan dianggap menjamin
kepercayaan. Syarat ini baru dicabut lima tahun setelah terjadinya perubahan politik. Syaratsyarat berdasarkan waktu juga terlihat dalam politik pembalasan, ketika para mantan komunis
kembali memegang kekuasaan di wilayah tersebut. Sebagai contoh, di Bulgaria, ketika kaum
sosialis kembali berkuasa, disahkanlah perundang-undangan yang mensyaratkan pengalaman
lima tahun untuk memegang jabatan publik.101 Syarat pengalaman ini menyelubungi syarat
sesungguhnya, yaitu ideologi yang mendukung komunisme, karena hanya mereka yang
mendukung rezim terdahulu memiliki hal yang disyaratkan. Jadi, kualifikasi berdasarkan
waktu bisa menjadi pengganti pelucutan politik secara terbuka.
Syarat-syarat partisipasi dan representasi politik sering kali didasarkan pada waktu,
bahkan pada masa-masa biasa. Bahkan, contoh sederhana adalah hak untuk memilih, yang
bersyarat pada kewarganegaraan lebih dari lima tahun. Masa lima tahun ini sering kali
dianggap perlu untuk menunjukkan loyalitas dan afiliasi politik, dan partisipasi. Selain
kewarganegaraan, yang menjadi syarat keanggotaan dalam ranah politik, diperlukan syaratsyarat lain untuk posisi lain dalam representasi politik. Ritus purifikasi politik transisional
adalah bentuk-bentuk ekstrem dari ritual serupa seperti sensus yang mendefinisikan komunitas
99
Plaut (ed.), “Exodus”, dalam The Torah 18: 22-23.
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, pasal 11. Lihat juga Alexander Hamilton, The Federalist No. 69, ed. Jacob
E. Cooke, Middletown, Conn: Wesleyan University Press, 1961 (menunjukkan perbedaan antara calon eksekutif
dan raja Inggris).
101
Lihat Philippa Fletcher, “Bulgaria: Ex-Communist Win Control over Bulgarian Judiciary”, Reuter News
Service, 15 Juli 1994, Lexis, arsip Bulgaria.
100
38
politik. Secara historis (sejak masa Romawi), hingga masa kini, dalam masa biasa,
penghitungan warga negara biasanya dilakukan setiap lima tahun.102 Sensus ini merupakan
bentuk lustrasi politik yang digunakan untuk mengevaluasi dan menentukan parameter
komunitas politik.
Pelucutan berdasarkan waktu bisa berpengaruh luas, dan dampak pengucilan ini
bersifat radikal, karena ia bisa menyingkirkan satu generasi politik. Namun, karena
penyingkiran ini tidak secara eksplisit didasarkan pada ideologi, diskualifikasi berdasarkan
waktu tampak netral secara politis dan tidak normatif. Syarat berdasarkan waktu ini sering kali
tersembunyi, namun tersebar luas. Persyaratan demikian bisa mencegah semua anggota satu
generasi politik, baik terpengaruh atau tidak oleh rezim yang lama, dari partisipasi dalam
tatanan politik yang baru. Dengan cara ini, kualifikasi berdasarkan waktu menjadi selubung
bagi diskualifikasi politik. Meskipun memiliki tampilan luar yang netral secara politik, ia bisa
menimbulkan perubahan politik yang luar biasa. Melalui persyaratan ini, transformasi
masyarakat dapat terlaksana seiring perjalanan waktu. Identitas politik negara terbentuk
bersama jalannya waktu.
Bila syarat berdasarkan usia atau waktu diberlakukan dalam partisipasi politik, satu
generasi menanggung beban transformasi politik. Generasi transisional ini diminta untuk
mengorbankan diri demi masa depan. Jadi, masalah keadilan antar-generasi ini bukan sematamata masalah dalam masa transisi, namun juga muncul dalam konteks keadilan distributif.
Paradoksnya adalah bahwa penyelidikan normalnya dilakukan terhadap fakta apakah generasi
tua di masa kini mendapatkan keuntungan atas biaya generasi masa depan.103 Isu yang paling
sering muncul biasanya berkaitan dengan lingkungan hidup atau sumber daya alam lainnya.
Namun dalam kasus keadilan transisional, dalam masa pergeseran dari rezim represif ke
liberal, masalah keadilan antar-generasi ini berbeda: generasi masa kini berkorban demi
keuntungan generasi masa depan. Dalam konteks antar-generasi, sanksi atau penyitaan hak
milik menjadi bentuk pengorbanan. Dalam masa transisi, pembersihan politik dan tindakan
serupa sering kali dijustifikasi untuk kepentingan masa depan politik.
Sering kali dikatakan bahwa dibutuhkan waktu panjang untuk menciptakan perubahan
politik yang bertahan lama. Pada tingkat intuisi, jelas bahwa perjalanan waktu memiliki
konsekuensi politik yang jelas. Praktik-praktik yang dibicarakan di atas menunjukkan
penggunaan waktu sebagai dasar perubahan politik. Bila syarat lain diberikan terhadap tatanan
politik, dengan perjalanan waktu, akan terdapat dampak bagi perubahan masyarakat dan
politik. Perjalanan waktu, bila berdiri sendiri pun, dapat mempengaruhi transformasi politik.
Keadilan Administratif Transisional
Lustrasi, lustrace, epuracion, purifikasi, zwiering, rekonstruksi, demiliterisasi, depuración,
apa pun istilah yang digunakan – praktik-praktik pembersihan transisional yang dibicarakan
dalam bab ini menunjukkan bahwa penciptaan kondisi politik melalui hukum adalah hal yang
endemik dalam masa transformasi politik. Praktik transisional menunjukkan banyaknya
penggunaan hukum publik untuk mendefinisikan sistem politik yang baru. Untuk jangka
102
Memang ritual lustrasi dalam sejarahnya terkait dengan sensus. Lihat OED, entri “lustration”, definisi 3 dan 4,
juga entri “lustrum”.
103
John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press, 1971, 284-93.
39
waktu tertentu, hukum publik yang bersifat sementara mendefinisikan ulang status dengan
merekonstruksi pemahaman inti tentang pendukung dan penentang, tentang kawan dan lawan.
Dalam berbagai masyarakat dan budaya hukum, pembersihan legal digunakan untuk
melakukan perubahan politik. Tindakan publik radikal secara kritis merekonstruksi parameter
komunitas politik, selain syarat partisipasi dalam tatanan politik yang berubah, karena
pembersihan politik dan persyaratan lainnya memiliki imprimatur hukum, meskipun bersifat
sementara.
Tindakan-tindakan yang dibicarakan dalam bab ini bertentangan dengan intuisi kita
tentang apa arti pergeseran menuju sistem liberal yang taat pada kedaulatan hukum: dengan
ketidaktaatan pada prosedur, tiadanya prospektivitas, pendekatan yang cair terhadap tanggung
jawab individu dan kolektif, dan terakhir, politisasinya secara eksplisit. Untuk Semua alasan
ini, praktik-praktik dalam bab ini bertentangan dengan intuisi mendasar kita tentang
liberalisasi. Pengakuan terhadap peran praktik-praktik ini dalam transisi menunjukkan
ketiadaan nilai utama yang kaku dalam negara yang sedang melakukan liberalisasi, selain
menarik perhatian kepada realitas politik di sekitar pembangunan negara liberal dari
reruntuhan kediktatoran. Praktik-praktik ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana
rezim penerus boleh membentuk sistem administrasi atas dasar ideologi, dan mengekang
kebebasan politik sampai terkonsolidasinya rezim yang lebih liberal.
Sebagai titik awal, pertimbangkanlah apa yang diajarkan contoh-contoh dalam bab ini
tentang bagaimana timbulnya tindakan-tindakan terpolitisasi ini; dalam transisi, pembersihan
de facto di luar hukum sering kali mendahului pengaturannya. Tindakan ini bersifat tidak
teratur, sebagian informal, sebagian lagi hukum formal. Dengan demikian, tindakan
transisional menunjukkan bahwa dalam pergantian rezim, tidak hanya satu norma yang bisa
diterapkan. Ini adalah fakta politik terpenting dalam buku ini: pergeseran rezim. Pergantian
rezim politik dan pergeseran normatif yang menyertainya memunculkan sejumlah dilema
ketaatan pada kedaulatan hukum. Tindakan administratif transisional yang dibicarakan di sini
menengahi masa-masa gejolak politik radikal dalam merekonstruksi status, hak dan tanggung
jawab dalam masyarakat yang melakukan transformasi politik.
Meskipun negara-negara memiliki cukup kebebasan dalam membentuk sistem
administrasinya, dalam masa biasa, pengambilan keputusan untuk hal tersebut biasanya tidak
bersifat partisan. Tindakan terpolitisasi memungkinkan perubahan politik radikal dengan
memberikan contoh, melakukan rekonstitusi politik melalui redistribusi hak-hak keanggotaan
politik, representasi dan partisipasi secara cepat. Tindakan-tindakan ini merupakan alat
revolusi karena memiliki kapasitas untuk membongkar struktur kekuasaan yang lama, dan
mengkonsolidasikan rezim baru dalam pergerakan menuju liberalisasi.
Meskipun berkaitan erat dengan kondisi politik transisi, tindakan-tindakan yang
dibicarakan di sini juga bertentangan dengan pandangan normal tentang kaitan hukum dengan
perubahan politik dan sosial. Sebagai awalnya, penggunaan hukum dan bukan keadilan
jalanan merupakan respon terhadap pelanggaran di masa lalu yang terkendali dan mengikuti
proses formal. Arahan proses hukum tidak semata-mata merupakan hasil dari kondisi politik,
namun sejak awalnya merupakan bagian dari rencana transisional. Di sini hukum tidak hanya
responsif, namun merupakan instrumen perubahan politik yang menimbulkan pergeseran
kesetimbangan kekuasaan. Meskipun rezim liberal berusaha untuk menciptakan sistem hukum
yang terpisah dari politik dan tidak memiliki opini politik tertentu, tindakan-tindakan publik
yang bersifat membatasi akan merekonstruksi negara itu. Tindakan transisional bersifat
40
terbatas, ia menunjukkan suatu masa luar biasa dalam sejarah negara, yang menunjukkan
transisi.
Penggunaan hukum secara radikal ini bisa menciptakan perubahan politik yang cepat
dan berdampak luas. Dalam fungsi transformatifnya yang paling terpolitisasi, tindakan
administratif bersifat kritis: repolitisasi terhadap lingkup publik merupakan respon kritis
terhadap pemerintahan buruk di masa lalu. Respon terhadap diskriminasi politik dan
liberalisasi dengan membongkar struktur negara lama, dan membalikkan hubungan kekuasaan
yang lama. Bagaimana penggunaan praktik transisional melaksanakan transformasi? Praktikpraktik yang ditinjau di sini menunjukkan bahwa transformasi terjadi melalui pembalikan,
rekombinasi bentuk-bentuk tradisional, melalui tindakan yang dibentuk sesuai kriteria
kolektif, garis-garis ketidaksepakatan politik yang akan memungkinkan konsensus politik.
Fungsi hukum yang paling transformatif ini, dalam praktik didelegasikan kepada badan negara
lainnya, informal, memihak dan dipolitisasi. Hukum publik, cara yang paling sering digunakan
negara modern untuk mencapai sasarannya, memiliki potensi lebih tinggi dalam masa
perubahan radikal. Masa transisional menunjukkan hukum publik yang amat terpolitisasi, di
mana penggunaan hukum bersifat simbolis, dan bergantung pada kekuatan retoriknya.
Tindakan administratif transisional menjustifikasi sekaligus melaksanakan
transformasi politik, dengan kekuatan yang besar karena mempengaruhi birokrasi. Pada masa
gejolak politik, rezim pengaturan ini memungkinkan rekonstruksi publik terhadap ideologi
politik yang baru. Melalui tindakan ini, rezim lama “diadili” secara politis; dan diciptakan
standar baru untuk justifikasi publik dan rasionalisasi transisi normatif, rezim lama kehilangan
legitimasi, ideologi lama dibantah dan yang baru mendapatkan legitimasi. Delegitimasi rezim
lama dilakukan melalui rekonstruksi untuk membedakan siapa yang boleh berpolitik dan siapa
yang tidak, melalui hukum publik. Melalui tindakan-tindakan ini, tatanan politik yang lama
dibersihkan, dan tatanan politik yang baru diberi dasar loyalitas politik dan afiliasi.
Pelarangan, pembersihan, sumpah kesetiaan, purifikasi, lustrasi, pengadilan dan publikasi,
kesemuanya ini merupakan bentuk pernyataan publik yang memberikan dasar dan
melaksanakan pergeseran normatif.104 Bentuk-bentuk ritual ini merupakan cara bagaimana
hukum melakukan perubahan dalam hubungan kekuasaan untuk merekonstruksi komunitas
politik dan menguji serta menyaring individu untuk menunjukkan kebenaran politik yang baru.
Tindakan publik demikian menyusun rezim yang baru, membentuk dan melegitimasikan rezim
penerus.
Justifikasi politik (yaitu “tujuan-tujuan” hukum) untuk tindakan regulatoris transisional
merupakan bagian dari politisasinya. Dengan menciptakan persyaratan politis, tindakantindakan demikian mentransformasikan identitas negara. Rekonstruksi hukum publik dalam
kategori-kategori yang secara eksplisit merespon rezim politik lama menunjukkan
transformasi transisional yang kritis. Pembongkaran tindakan penindasan kolektif – yang
dilakukan berdasarkan ras, etnik atau religi – dilakukan dengan tindakan-tindakan yang
berdasarkan kriteria politik. Aturan-aturan lama dijadikan latar belakang, menunjukkan arti
dan kekuatan normatif tindakan transisional. Transformasi politik ke arah liberal dalam rezim
baru hanya dapat terlihat bila dilatarbelakangi identitas politik yang lama. Dalam konstruksi
identitas nasional, garis-garis etnik, nasional atau agama mungkin bertentangan dengan
pandangan liberal, namun negara-negara liberal bisa melakukan diskriminasi berdasarkan
politik: terdapat kebebasan untuk menciptakan perundang-undangan yang membatasi opini
104
Lihat OED, entri “ban”.
41
politik. Pengambilan keputusan berdasarkan politik dalam lingkup publik sering kali bisa
dikaitkan dengan kepentingan negara, yang dalam masa transisi akan menjadi semakin
menonjol.
Tindakan administratif transisional menantang intuisi kita tentang negara liberal,
namun penggunaan tindakan demikian bukan tanpa justifikasi. Paradoks di sini, yang terlihat
dalam tinjauan yudisial transisional, adalah bahwa liberalisasi dijadikan justifikasi untuk
tindakan-tindakan tidak liberal. Tindakan-tindakan ini dijustifikasi oleh nilai-nilai yang
mendasari prinsip-prinsip kedaulatan hukum yang terancam: kebebasan politik dan kesetaraan.
Meskipun tindakan-tindakan demikian mengancam kedaulatan hukum konvensional,
penggunaannya didukung oleh justifikasi bahwa mereka akan mengkonstruksikan negara
liberal di masa yang akan datang.
Tindakan administratif jangka pendek yang berbentuk radikal – terpolitisasi, memiliki
cakupan yang luas dan kolektif – memberikan tantangan yang besar bagi kedaulatan hukum
yang dikaitkan dengan negara liberal, melalui beberapa cara. Untuk awalnya, negara liberal
memiliki aksioma bahwa warganya diperlakukan sebagai individu, dan bukan anggota
kelompok atau secara askriptif; orang tidak bisa dipersalahkan karena menjadi anggota yang
bertentangan dengan liberalisme. Intuisi liberal ini sering kali dianggap berlaku dalam transisi,
ketika kebebasan baru dari penindasan berbasis komunal menimbulkan harapan untuk
menghapuskan perbedaan berdasarkan kelompok. Namun, tindakan-tindakan yang dibicarakan
dalam bab ini berbeda dari intuisi ideal liberal tersebut karena mempertahankan keputusan
kolektif, tidak menjalankan due process individu, dan memilik prosedur yang bertentangan
dengan nilai-nilai ideal kedaulatan hukum dalam liberalisme. Bila tindakan administratif
transisional memberikan sanksi pada satu kelas politik, ini merupakan keputusan yang politis.
Intuisi kita tentang keputusan demikian adalah bahwa perilaku yang bisa dipidana relevan
untuk dikaitkan dengan kemungkinan individu untuk berpartisipasi dalam negara liberal;
sementara, keputusan secara kolektif bertentangan dengan dasar-dasar liberal tentang
pertanggungjawaban individual.
Namun, tindakan administratif transisional menjembatani individu dan kolektif, dan
menciptakan perubahan pada tingkat struktural yang lebih luas dari sistem politik yang
berubah. Tindakan ini tidak dapat dikategorisasikan dalam hukum konvensional. Tindakan
administratif transisional merupakan gabungan hak, properti, reputasi dan hak politik; dalam
suatu masa di mana tidak terdapat konsensus kemasyarakatan tentang status hak tersebut, dan
bagaimana prosesnya harus dilakukan.105 Meskipun sanksi administratif sering kali dianggap
sebagai bentuk “hukuman”, tidak seperti hukuman tradisional, prosedur demikian tidak
membebankan tanggung jawab individu, namun suatu kelas politik yang harus bertanggungjawab. Apa pun harapan ideal tentang peran individu dalam negara liberal, ia tidak sesuai
dengan masa transisi, ketika terdapat pemahaman transisional yang lebih cair tentang kaitan
antara individu dan masyarakatnya. Dengan melakukan hal tersebut, tindakan-tindakan
tersebut menjembatani perdebatan utama dalam transisi, tentang apakah respon terhadap
pemerintahan yang buruk di masa lalu bersifat individual atau struktural.106 Dengan
105
Untuk eksplorasi terhadap pertanyaan ini, lihat Charles Reich, “The New Property”, Yale Law Journal 731
(1946): 733.
106
Untuk argumen yang menyarankan respon struktural, lihat Robert Gordon, “Undoing Historical Injustice”,
dalam Austin Sarat dan Thomas R. Kearns (eds.), Justice and Injustice in Law and Legal Theory, Ann Arbor:
University of Michigan Press, 1996.
42
penggunaan hukum publik secara luas, jurisprudensi transisional menciptakan perubahan
individual dan struktural.
Tindakan-tindakan ini menunjukkan signifikansi kedaulatan hukum inti: prospektivitas
hukum, kaitan individu dan kolektif, dan peran politisasi dalam negara liberal. Studi hukum
transisional yang dilakukan di sini menunjukkan ketegangan antara nilai-nilai kedaulatan
hukum dan pendekatan individu dan kolektif dalam hukum. Ketegangan ini memunculkan
bentuk-bentuk yang baru, yang bersifat transisional, memberikan batasan bagi hukum yang
parsial, yang tidak menaati kedaulatan hukum sepenuhnya. Di sini terlihat bentuk
penyelesaian dilema transisional yang paling sering yaitu tindakan yang bersifat sementara:
tindakan transisional sering kali tidak berumur panjang dan tidak memiliki retrospektivitas
maupun prospektivitas, yaitu membatasi suatu jangka waktu yang luar biasa. Denazifikasi dan
purifikasi pasca-perang, Rekonstruksi pasca-Perang Saudara, lustrasi pasca-komunis Eropa
Tengah dan Timur, dan tindakan pasca-junta, semuanya dirancang untuk jangka waktu yang
terbatas, yaitu masa transformasi politik terbesar selama sekitar lima tahun setelah pergantian
rezim. Dengan demikian, pembersihan ini menunjukkan transisi politik. Perundang-undangan
yang terbatas ini dirancang untuk diterapkan pada jangka waktu politis yang terbatas.
Penggunaan hukum publik yang dibicarakan di sini menunjukkan cara pikir tentang
hukum administratif dalam jangka waktu tertentu. Dari perspektif historis dan komparatif,
dalam berbagai budaya hukum, penggunaan hukum publik semakin meningkat berkaitan
dengan masa-masa reformasi yang tinggi. Pendekatan empiris dari perspektif historis dan
komparatif melampaui teori yang lazim tentang penggunaan hukum demikian. Penggunaan
hukum untuk kepentingan transformatif melampaui realitas politik semata-mata, namun juga
berbeda secara signifikan dari teori ideal yang ditarik dari sistem kedaulatan hukum yang
sudah mapan.
Tindakan konstitusional transisional seperti yang diambil setelah Perang Saudara
dalam Rekonstruksi, dan Jerman-bersatu pasca-komunis menunjukkan kedekatan antara
tindakan administratif dan konstitusional, yang akan dibicarakan dalam bab berikut. Praktikpraktik yang dibicarakan di sini berkaitan dengan jangka waktu yang singkat ketika terjadi
transformasi politik yang paling signifikan, namun tindakan peralihan ini memiliki dampak
yang panjang. Dengan tindakan ini, rekonstruksi keanggotaan, partisipasi dan kepemimpinan
politik akan menimbulkan komitmen politik yang baru. Adalah hal yang lazim bahwa pejabat
publik harus menjunjung norma-norma konstitusional sebagai syarat untuk menjabat, dan
nilai-nilai demikian berlatar belakang hukum konstitusional. Di luar masa transisi, parameter
politik struktural ini dianggap taken for granted, namun menjadi manifes dalam transisi.
Dalam paru kedua abad ke-20, syarat normatif status, keanggotaan dan partisipasi politik telah
menjadi bagian konstitusi secara nyaris universal untuk memandu kehidupan politik suatu
negara. Pada masa gejolak politik, hukum publik regulatoris, seperti hukum konstitusional,
berperan untuk mendefinisikan parameter normatif komunitas politik, syarat keanggotaan
politik dan partisipasi dalam ranah publik. Tindakan transisional ini menunjukkan bahwa
masa-masa perubahan politik menunjukkan dekonstitusionalisasi dalam latar belakangnya.
Bahkan dalam ketiadaan konsensus konstitusional, tindakan administratif ini secara kritis
mendefinisikan-ulang tatanan politik.
43
Bab 6
Keadilan Konstitusional
Bab ini akan membahas sifat dan peran konstitusionalisme dalam masa-masa perubahan
politik. Dilema sentral dalam hal ini adalah bagaimana mendamaikan konsep
konstitusionalisme dengan revolusi: masa-masa revolusi dan kelanjutannya adalah saat
terjadinya gejolak politik, dan dengan demikian menimbulkan pertentangan dengan
konstitusionalisme, yang lazimnya dianggap mengikat suatu tatanan politik yang mapan.
Pertimbangkanlah klaim utama tentang kaitan konstitusionalitas dengan perubahan
politik, dan terutama klaim modern tentang konstitusionalisme sebagai dasar demokrasi.
Model ini paling tepat menjelaskan pandangan dari abad ke-18 tentang kaitan
konstitusionalitas dengan hal-hal politis. Namun, model ini tidak dapat menggambarkan
perkembangan konstitusional yang dikaitkan dengan perubahan politik selama setengah
abad terakhir, sehingga memerlukan analisis tambahan.1 Bab ini menyelidiki manifestasi
kontemporer dari konstitusionalisme, terutama dalam gelombang terakhir perubahan
politik substansial, dan menunjukkan bahwa ia menimbulkan paradigma baru tentang
konstitusionalisme transisional, yang memberikan tinjauan alternatif konstitusionalisme
dalam usianya yang telah mencapai tiga abad ini. Paradigma alternatif yang dijelaskan di
sini memiliki dampaknya di luar masa transisi untuk memahami konstitusionalisme,
tinjauan yudisial dan prinsip penafsiran yang relevan.
Konstitusionalisme dalam masa-masa perubahan politik dikatakan memiliki
kaitan “konstruktivis” dengan tatanan politik yang ada. Konstitusionalisme transisional
tidak hanya diciptakan oleh tatanan politik yang ada, namun juga menciptakan
perubahan. Inilah peran konstruktivis dari konstitusi. Konstitusi transisional dihasilkan
dari berbagai proses, sering kali memiliki peran ganda: sebagai konstitusi konvensional,
selain juga peran lain yang lebih radikal dalam transformasi politik. Penyusunan
konstitusi transisional juga merespon pemerintahan lama, melalui prinsip-prinsip yang
secara kritis menajamkan sistem politik yang baru dan mendorong perubahan politik
lebih lanjut dalam sistem politik tersebut. Konstitusi transisional memandang ke belakang
sekaligus ke depan, dan dilatarbelakangi oleh konsepsi keadilan konstitusional yang khas
pada masa transisi.
Model-Model Utama
Penyusunan teori tentang sifat dan peran konstitusionalisme dalam masa-masa perubahan
politik lazimnya dipandu oleh perspektif realis atau idealis yang saling bertentangan.
Dalam pandangan realis, konstitusi dalam masa perubahan politik dianggap hanya
mencerminkan kondisi perimbangan kekuasaan politik yang ada, dan dengan demikian,
1
Tentang penyusunan konstitusi kontemporer, lihat Julio Faundez, “Constitutionalism: A Timely Revival”,
dalam Douglas Greenberg et al. (eds.), Constitutionalism an Democracy: Transitions in the Contemporary
World, New York: Oxford University Press, 1993, 354, 356. Lihat umumnya John Elster dan Rune
Slagstad, Constitutionalism and Democracy: Studies in Rationality and Social Change, New York:
Cambridge University Press, 1988 (kumpulan esai tentang kaitan konstitusionalisme dan demokrasi).
1
merupakan hasil dari perubahan politik.2 Dalam pandangan kaum realis ini, tidak jelas
apa yang membedakan penyusunan konstitusi dengan perundang-undangan lainnya: apa
arti khusus konstitusi dalam transisi? Dengan demikian, pandangan ini tidak memberikan
banyak penjelasan tentang signifikansi sifat dan peran konstitusionalisme dalam masa
demikian.
Pendekatan dominan dalam studi konstitusionalisme dalam masa perubahan
politik timbul dari teoretisasi idealis tentang konstitusi, di mana terdapat klaim normatif
tentang kaitan kuat antara revolusi dan penyusunan konstitusi. Kaitan erat ini tampak
pertama kali dalam model konstitusi klasik dalam tulisan Aristoteles. Meskipun
pemahaman klasik ini tidak dianggap merupakan bagian dari model idealis dalam
pandangannya tentang kaitan konstitusi dan perubahan politik, namun ia memiliki
kedekatan dengan model ini. Ekspresi modernnya tampak dalam karya-karya Hannah
Arendt, dan suatu artikulasinya dalam masa kontemporer dapat ditemukan dalam karya
Bruce Ackerman, yang dibicarakan dalam bab ini. Meskipun terdapat perbedaan dalam
beberapa aspek penting, namun klaim-klaim ini memiliki keserupaan dalam anggapan
mereka tentang potensi penyusunan konstitusi untuk mengadakan perubahan politik. Di
bawah ini akan dibahas pandangan-pandangan tersebut, sebagai suatu triad dalam sejarah
politik konstitusional.
Konstitusionalisme dalam masa-masa transformasi politik menimbukan
pertentangan mendasar antara perubahan politik radikal dan batasan terhadap perubahan
yang merupakan ciri dari tatanan konstitusional. Dalam model idealis yang akan dibahas
di bawah ini, dilema ini diselesaikan dengan menyatakan bahwa konstitusi berfungsi
sebagai dasar dari tatanan politik yang baru: suatu klaim fondasionalisme konstitusional.
Pandangan Klasik
Dalam pandangan klasik, konstitusi dianggap sebagai tatanan politik mendasar negara,
organisasi khusus yang menentukan struktur dan fungsi negara. Dalam pandangan
Aristotelian, konstitusi merupakan entitas organik: “‘Konstitusi’ negara merupakan
organisasi dari badan-badan di dalamnya ...”.3 Dalam pemahaman ini, konstitusi bersifat
normatif sekaligus deskriptif. “Asosiasi yang berupa negara ini eksis bukan agar anggotaanggotanya hidup bersama, namun untuk bertindak secara mulia”.4 Dengan demikian,
dalam pandangan klasik, perubahan politik revolusioner memiliki arti perubahan
konstitusi. Transformasi politik radikal tidak mewajibkan pergantian kepemimpinan,
2
Untuk teori-teori realis dalam politik, lihat Arendt Lijphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and
Consensus Government in Twenty-one Countries, New Haven: Yale University Press, 1984. Untuk studi
kasus kontemporer, lihat Courtney Jung dan Ian Shapiro, “South Africa’s Negotiated Transition:
Democracy, Opposition and the New Constitutional Order”, Policy and Society 23, 1995: 269. Untuk
tinjauan realis tentang Konstitusi Amerika, lihat Charles A. Beard, An Economic Interpretation of the
Constitution of the United States, New York: Macmillan, 1956.
3
Aristoteles, The Politics, terjemahan T. A. Sinclair, New York: Penguin Books, 1986. Lihat juga Charles
H. MacIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, Ithaca: Cornell University Press, 1947,
(menjelaskan konsepsi kuno tentang konstitusi); Peter G. Stillman, “Hegel’s Idea of Constitutionalism”,
dalam Alan S. Rosenbaum (ed.), Constitutionalism: The Philosophical Dimension, New York: Greenwood
Press, 1988).
4
Aristoteles, The Politics, 198.
2
representasi atau keanggotaan, karena konstitusi-lah yang menentukan identitas suatu
entitas politik. Bila konstitusi berubah, demikian pula entitas politik yang diaturnya:
“Negara merupakan suatu bentuk asosiasi – asosiasi warga negara dalam bentuk
konstitusi; sehingga bila konstitusi berubah dan menjadi berbeda, negara juga akan
mengalami perubahan”.5
Tinjauan klasik terhadap politik konstitusional ini adalah konstitusionalisme
organik. Dalam pandangan klasik, kesatuan antara revolusi dan konstitusi menengahi
dilema yang disebabkan oleh kaitan antara konstitusionalisme dengan perubahan politik.
Isu-isu keadilan tetap menjadi masalah, meskipun terdapat pergerakan ke arah tatanan
yang lebih demokratis. Namun, pandangan ini mengarah ke pertanyaan-pertanyaan
berikut: Apa kaitan antara penyusunan-ulang konstitusi dengan perubahan politik?
Bagaimana kesadaran konstitusional baru yang mendefinisikan transisi dapat terjadi?
Paradigma klasik ini melahirkan, namun tidak menjelaskan, teori tentang peran
konstitusionalisme dalam proses perubahan politik.
Klaim Modern
Berbeda dari pandangan klasik, teori konstitusional modern menekankan batasan
normatif terhadap kekuasaan negara terhadap hak-hak struktural dan individual. Namun,
beberapa aspek dalam konseptualisasi klasik tetap dipertahankan dalam model modern
ini, paling tidak dalam pandangan tentang sifat dan peran konstitusi dalam masa
perubahan politik. Pandangan klasik menyetarakan konstitusi dengan tatanan politik,
dengan implikasinya terhadap sifat dan peran utama konstitusi dalam masa perubahan
politik. Peran paradoksal dari konstitusi-konstitusi modern adalah bahwa mereka
dianggap memberikan pembatasan bagi pemerintahan meskipun dalam masa perubahan
politik. Bagaimana cara mendamaikan pandangan modern tentang konstitusionalisme
dengan perubahan konstitusional?
Inilah dilema konstitusionalisme dalam konteks perubahan politik massif. Bagi
Hannah Arendt, dilema ini diselesaikan dengan memikirkan ulang teori
konstitusionalisme. Alih-alih mengkonseptualisasikan penyusunan konstitusi sebagai hal
yang kontrarevolusioner dan merupakan kebalikan dari perubahan politik, “elemen yang
paling revolusioner dari penyusunan konstitusi” adalah “peletakan dasar”.6 Pandangan
Arendt ini banyak merujuk pada penyusunan konstitusi Amerika. Dalam versi ini, dilema
antara revolusi dan konstitusi tidak terlihat: kedua tindakan politik ini merupakan satu
kesatuan. Konstitusi dianggap sebagai puncak revolusi: ia adalah “usaha dari seluruh
bangsa untuk menciptakan badan politik yang baru”.7
Pandangan Arendtian ini menyelesaikan pertentangan antara revolusi dan
konstitusionalisme melalui pemikiran tentang dasar (foundation). Para revolusioner di
Amerika digambarkan sebagai para “peletak dasar” yang berusaha untuk menciptakan
suatu dasar yang abadi. Dalam penyusunan konstitusi, tujuan mereka adalah “keinginan
5
Ibid., 176.
Hannah Arendt, On Revolution, New York: Viking Press, 1965, 142. Untuk tinjauan sejarah tentang
perkembangan konstitusionalisme sejak Perang Saudara di Inggris hingga awal abad ke-20, lihat M.J.C
Vile, Constitutionalism and the Separation of Powers, Oxford: Clarendon Press, 1967.
7
Arendt, On Revolution, 143.
6
3
untuk menciptakan Kota Abadi di bumi”, dan keinginan untuk membentuk pemerintah
“yang mampu menghentikan siklus pergantian pemerintahan, dari menanjaknya hingga
keruntuhan suatu imperium, dan membentuk suatu kota yang abadi”.8 Pemikiran tentang
peletakan dasar ini menyelesaikan dilema perubahan politik dengan konstitusi yang
bersifat abadi. Meskipun bersifat paradoksal, perubahan revolusioner yang ingin
dilakukan ini adalah tindakan peletakan dasar yang bersifat konstitutif.
Konstitusionalisme Amerika dicirikan oleh paradoks perubahan konstitusional: yang
revolusioner namun berlangsung abadi. Pandangan Amerika terhadap revolusinya ini
mendorong timbulnya paradigma baru tentang konstitusionalisme sebagai dasar bagi
tatanan demokratik. Dalam paradigma ini, konstitusionalisme adalah sesuatu yang
berbeda dari arti klasiknya, yang diidentifikasikan dengan tatanan politik. Ia lebih
menyerupai konstitusionalisme dalam arti Magna Carta, yang melindungi kebebasankebebasan negatif. Pemikiran tentang demokrasi konstitusional melampaui perlindungan
terhadap hak-hak individual saja. “Penyusunan konstitusi” dianggap sebagai “tindakan
revolusioner yang paling utama dan mulia”.9 Suatu konstitusionalisme mendasar yang
ideal memiliki potensi untuk mengesahkan seluruh sapuan normatif dari revolusi.
Melanjutkan pemikiran Arendt, konstitusionalis Amerika, Bruce Ackerman,
menyatakan klaim normatif yang kuat tentang penyusunan konstitusi sebagai dasar
revolusi demokrasi. Dalam pandangan ini, penyusunan konstitusi merupakan tahap
terpenting dan terakhir dalam revolusi liberal, suatu “momen konstitusional” revolusioner
yang menunjukkan keterpisahan dari rezim lama dan berdirinya tatanan politik yang
baru.10 “Jika sasaran yang ingin dicapai adalah tranformasi terhadap norma-norma
konstitusional, maka keterpisahan sama sekali adalah hal yang diharapkan ...”. Bagi
Ackerman, suatu “tatanan yang sah” bergantung pada “usaha sistematik untuk
menunjukkan prinsip-prinsip rezim baru”. Dalam teori konstitusional kontemporer,
penyusunan konstitusi transformatif tidak terbatas pda revolusi; namun terdapat pula
momen-momen konstitutif lainnya yang potensial. Dengan memperluas kemungkinan
penyusunan konstitusi transformatif di luar masa revolusi, Ackerman memberikan suatu
perbedaan antara politik biasa dan politik konstitusional dalam model modern ini. Dalam
kerangka “demokrasi dualis”, perubahan politik atau konstitusi normal berjalan dalam
jalur yang berbeda, dan menawarkan penyelesaian yang rapih terhadap dilema yang
ditimbulkan konstitusionalisme dalam masa-masa revolusioner. Dengan mendefinisikan
kategori “ganda” yaitu penyusunan keputusan “biasa” oleh pemerintah, dan penyusunan
hukum “tingkat tinggi” oleh “rakyat”, dilema konstitusi dan perubahan politik radikal
dapat diselesaikan.11 Dalam demokrasi dualis, dilema awal konstitusional, perubahan
konstitusional dan tinjauan konstitusional dihilangkan.
Dalam model kontemporer, penyusunan konstitusi memiliki arti revolusi melalui
penyusunan hukum tingkat tinggi, namun pembedaan antara penyusunan hukum tingkat
tinggi dan rendah masih ambigu. Yang mencirikan penyusunan hukum tingkat tinggi
adalah suatu proses yang khas dan penentuan waktu yang tepat. Ada saat-saat yang
8
Ibid., 232-34.
Ibid,. 157.
10
Bruce A. Ackerman, The Future of Liberal Revolution, New Haven: Yale University Press, 1992, 57.
Lihat umumnya Michel Rosenfeld (ed.), Constitutionalism, Identity, Difference and Legitimacy:
Theoretical Perspectives, Durham: Duke University Press, 1994 (menganalisis kaitan antara
konstitusionalisme dan identitas kelompok).
11
Bruce A. Ackerman, “Constitutional Politics/Constitutional Law”, Yale Law Journal 99 (1989): 453-547.
9
4
dianggap tepat sebagai saat penyusunan konstitusi, suatu jangka waktu penyusunan
konstitusi atau “momen konstitusional”. Penyusunan konstitusi dilakukan sebelum
pengesahan hukum dan institusi lainnya.12 Penyusunan hukum tingkat tinggi juga
berimplikasi proses pengambilan keputusan yang lebih teliti. “Jalur penyusunan hukum
tingkat tinggi ... menggunakan prosedur khusus untuk menentukan apakah mayoritas
rakyat memberikan dukungannya terhadap prinsip-prinsip dari suatu gerakan
revolusioner yang akan dinyatakan dengan mengatasnamakan rakyat”.13 Kaum
fondasionalis memandang bahwa status khusus politik konstitusional ini berasal dari
peran kedaulatan rakyat di dalam penyusunannya, melalui proses penyusuannya yang
khusus. Politik konstitusional dianggap berkaitan dengan tingkat pertimbangan politis
yang lebih tinggi, dan dengan demikian berbeda dari perpolitikan biasa. Konsepsi ini
merujuk pada proses berdirinya Amerika Serikat, bahwa konvensi konstitusional
Amerika ini memiliki konsensus luas. Namun klaim ini agak kontroversial. Mungkin
proses-proses yang dianggap sebagai syarat fondasionalisme konstitusional perlu
diinterpretasikan pada tingkat generalisasi yang lebih tinggi. Dengan pendekatan ini,
kurangnya partisipasi dalam proses ratifikasi konstitusi bukanlah hal yang fatal, selama
partisipasi dalam hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan partisipasi politik biasa dalam
masa itu. Suatu perspektif transisional membantu menjelaskan mengapa dalam masamasa gejolak politik, bahkan partisipasi terbatas dari masyarakat sudah cukup untuk
melegitimasi transformasi konstitusional.14 Dalam paradigma kontemporer utama,
terdapat klaim kuat tentang kaitan antara perubahan politik dan perubahan konstitusional.
Pemikiran ideal tentang konstitusi bersifat memandang ke depan: tujuannya adalah untuk
meninggalkan masa lalu dan bergerak menuju masa depan yang lebih cerah. Penyusunan
konstitusi dianggap menjadi dasar bagi tatanan demokratis yang baru.
Meskipun klaim-klaimnya dianggap berlaku universal, teori konstitusional
kontemporer sendiri ditarik dari suatu konteks politik tertentu, yaitu revolusi di abad ke18. Sementara pemahaman modern tidak menganggap konstitusi sebagai tatanan politis
suatu negara, seperti dalam pemahaman klasik, pandangan modern tentang politik
konstitusional tak terlepaskan dari revolusi di masa lalu dan tatanan politik masa depan.
Meskipun pengalaman Amerika dianggap mencontohkan penyusunan konstitusi yang
mendasar, dalam tahun-tahun terakhir, suatu klaim preskriptif yang lebih luas juga
diarahkan kepada negara-negara lain dalam proses transisi. Maka, dalam The Future of
Liberal Revolution, pandangan fondasionalis diperluas ke transisi pasca-komunis
kontemporer. Dengan merujuk pada proses penyusunan konstitusi Amerika Serikat,
Ackerman menyerukan kepada negara-negara demokrasi baru di Eropa Timur agar
menyisihkan politik biasa dan memuncakkan revolusi mereka dengan suatu konstitusi.15
Namun pandangan tentang konstitusi sebagai dasar perubahan politik yang liberal hanya
menawarkan penyelesaian teoretis terhadap dilema penyusunan konstitusi pasca-revolusi.
12
Ibid., 55.
Ibid., 14
14
Lihat Peter Berkowitz, “Book Review”, Eighteenth Century Studies 26 (1993): 695 (meninjau Bruce A.
Ackerman, We the People: Foundations, Cambridge: Harvard university Press, Belknap Press, 1991
(menunjukkan bahwa pemilihan umum untuk meratifikasi konstitusi biasanya diikuti oleh hanya sedikit
pemilih).
15
Lihat Bruce A. Ackerman, The Future of Liberal Revolution, 193. Untuk argumen kontinental yang
terkait, lihat Ulrich Preuss, Constitutional Revolution: The Link Between Constitutionalism and Progress,
terjemahan Deborah Lucas Schneider, Atlantic Highlands: Humanities Press, 1995.
13
5
Lebih lanjut lagi, meskipun terdapat kontribusi teori konstitusional kontemporer
terhadap perdebatan dalam ilmu politik tentang kriteria perubahan menuju liberalisasi,
buku ini menganggap bahwa perubahan politik menuju liberalisasi terkait dengan
berbagai respon legal, di luar respon konstitusional. Model dominan ini amat
teridealisasi, dan dengan demikian, tidak dapat menjelaskan berbagai fenomena
konstitusional yang terkait dengan masa-masa transformasi politik. Sebaliknya,
konstitusionalisme kontemporer memerlukan pemikiran ulang terhadap teori dominan
tentang kaitan perubahan politik dan perubahan konstitusional. Preseden konstitusional
pada akhir abad ke-20 menunjukkan bahwa model ini terlalu membedakan antara politik
biasa dan politik konstitusional. Seperti dijelaskan di bawah, konstitusionalisme pada
masa perubahan politik radikal menunjukkan berbagai manifestasi politik konstitusional.
Suatu Kontra-Tinjauan Transisional
Bagian ini menunjukkan suatu tinjauan terhadap konstitusionalisme transisional dari
sudut pandang yang berbeda, untuk menangkap dengan lebih baik perpolitikan
konstitusional yang dikaitkan dengan masa-masa transformatif. Konstitusionalisme dalam
masa-masa perubahan politik radikal mencerminkan transisionalitas dalam prosesprosesnya, sebagaimana ditunjukkan oleh perkembangan-perkembangan dalam masamasa gejolak politik. Penyusunan konstitusi (seperti dibicarakan di bawah) sering kali
diawali dengan konstitusi sementara, yang kemudian dijadikan dasar penyusunan
konstitusi yang lebih permanen. Meskipun terdapat anggapan tentang hukum
konstitusional sebagai bentuk hukum yang paling memandang ke depan dan abadi,
penyusunan konstitusi transisional sering kali tidak permanen dan menunjukkan
perubahan bertahap. Banyak dari konstitusi yang disusun dalam masa perubahan politik
radikal secara eksplisit direncanakan untuk bersifat sementara. Sementara teori utama
membayangkan konstitusi sebagai sesuatu yang monolitik dan abadi, konstitusi
transisional memiliki beberapa ciri yang menunjukkan kesementaraannya, sedangkan
ciri-ciri lainnya menjadi lebih mapan seiring berjalannya waktu.
Model “konstruktivistik” yang diajukan di sini memiliki kesamaan dengan proses
yang ditunjukkan dalam bentuk teridealisasi dalam teori Rawls tentang penciptaan
konsensus politik secara bertahap. John Rawls menggunakan istilah konstruktivisme
politik untuk menggambarkan timbulnya konsensus konstitusional secara bertahap
sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan secara bertahap yang menyempitkan
ruang perbedaan antar-partai politik. Analisis di sini bersifat konstruktivistik pula dalam
hal yang berbeda. Sama seperti pemikiran Rawls, pemikiran di sini menyatakan bahwa
elemen-elemen konstitusional secara bertahap muncul melalui proses politik seiring
perjalanan waktu. Namun, pemikiran di sini menganggap bahwa semua perubahan dalam
tatanan konstitusional menimbulkan perubahan perspektif para partisipan, dan dengan
demikian mengubah anggapan mereka tentang apa yang diizinkan dalam politik, dengan
konsekuensinya terhadap potensi konsensus konstitusional.16
Transisionalitas ini menimbulkan beberapa implikasi normatif. Dalam teori yang
umum diterima, konstitusionalisme dianggap bersifat satu arah, memandang ke depan
16
Bandingkan dengan John Rawls, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1993, 9099 (mendefinisikan “konstruktivisme politik”).
6
dan sepenuhnya prospektif. Bila pemahaman politik retrospektif dicantumkan, bentuk
ideal ini tidak tepat digunakan untuk menjelaskan fenomena konstitusional transisional.
Sementara gambaran tentang suatu masyarakat politik pada titik nol konstitusional tepat
untuk menggambarkan konstitusionalisme di abad ke-18, pada masa kontemporer,
konstitusi yang disusun sebagai akibat perubahan politik lazimnya menggantikan rezim
konstitusional yang telah ada, dan bukan hal yang sama sekali baru.
Konstruksi tatanan konstitusional baru dalam masa peruahan politik radikal
didukung oleh konsepsi transisional tentang keadilan konstitusional. Hukum
konstitusional biasanya dianggap sebagai bentuk hukum yang paling memandang ke
depan. Namun, konstitusionalisme transisional bersifat ambivalen; bagi generasi
revolusioner, prinsip-prinsip keadilan konstitusional di dalamnya berkaitan dengan
ketidakadilan di masa lalu. Dari perspektif transisional, apa yang dianggap adil secara
konstitusional bersifat kontekstual dan terkait dengan pelanggaran di masa lalu.
Studi tentang konstitusionalisme dalam masa-masa perubahan politik
menunjukkan bahwa berbagai bentuk transisi akan menimbulkan perbedaan dalam hal
kontinuitas konstitusional. Tipe-tipe konstitusi yang dipaparkan di sini, seperti tipe ideal
Weber, tidak menggambarkan seluruh fenomena konstitusional yang ada, namun
membantu memahami berbagai keragaman fenomena konstitusional. Mereka juga
mencerminkan berbagai respon legal transisional lainnya yang memiliki modalitasmodalitas serupa. Bab-bab lain dalam buku ini telah membicarakan respon-respon legal
transisional dalam bentuk ajudikatif dan punitif. Dengan modalitas kodifikasi,
konstitusionalisme lebih mengekspresikan konsensus yang ada, alih-alih tujuan yang
transformatif. Sementara, dalam modalitas transformatif, dalam konstitusionalisme kritis,
konstitusi yang baru secara eksplisit merekonstruksi tatanan politik yang dikaitkan
dengan ketidakadilan. Dalam bentuk transformatif yang lain, yaitu penggunaan konstitusi
baru untuk mengembalikan tatanan konstitusional sebelum rezim pelaku pelanggaran,
konstitusi demikian dapat dianggap bersifat restoratif. Bila konstitusi baru merupakan
kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya, manifestasi kontinuitas konstitusional ini
dapat dianggap “residual”. Seperti akan ditunjukkan dalam tinjauan perkembangan
konstitusi dalam masa-masa perubahan politik, banyak konstitusi transisional
mencerminkan aspek-aspek dari berbagai tipe di atas. Konstruksi konstitusi yang
demikian dapat memediasi masa-masa perubahan politik.
Dalam bab ini akan diinterpretasikan bagaimana terjadinya pergeseran dari
pemerintaan non-liberal ke rezim yang lebih liberal, dan peranan konstitusi dalam
konstruksi perubahan politik tersebut. Di bawah ini terdapat sejumlah kasus yang
menggambarkan sifat dan peran konstitusionalisme dalam masa-masa transformasi
politik. Fenomena konstitusionalisme transisional telah ada sejak masa kuno, yaitu
konstitusi baru setelah revolusi Athena. Dengan terjadinya revolusi, timbul perdebatan
tentang sistem politik baru yang diharapkan, yang berakhir dengan dua rancangan
konstitusi, untuk masa krisis jangka pendek dan untuk “masa depan”.17 Dengan transisi
historis demikian, timbul dilema tentang mengaitkan perubahan politik revolusioer
dengan penyusunan konstitusi. Seperti akan terlihat, proses konstitusional bertahap
demikian terjadi pula dalam transisi kontemporer.
17
Lihat Aristoteles, The Athenian Constitution, terjemahan P.J. Rhodes, New York: Penguin Books, 1984,
bab 29-33.
7
Pergeseran dari Pemerintahan Otoriter
Dalam teori kontemporer, pandangan ideal tentang konstitusi adalah sebagai puncak
revolusi dan dasar tatanan demokratis yang baru. Konstitusi dianggap melampaui sifatnya
yang terpolitisasi, karena perpolitikan konstitusional melampaui perpolitikan biasa.
Sebaliknya, dalam model realis, sifat dan peran konstitusi dalam transisi yang timbul dari
negosiasi sangatlah dipolitisasi, dan konstitusi dianggap sebagai perpanjangan dari politik
biasa.18 Kedua pendekatan ini bertentangan dalam memandang tempat konstitusionalisme
dalam politik transformatif. Namun, keduanya tidak dapat menerangkan sifat politik
konstitusional dalam perubahan politik kontemporer. Peran konstitusi dalam masa pascaotoritarianisme menunjukkan paradigma politik radikal, ia juga membantu
mengkonstruksi keterbukaan politik yang memungkinkan terjadinya transisi.
Konstitusi transisional menengahi pergeseran politik dari pemerintahan otoriter.
Mereka mengkonstruksi masa-masa peralihan berupa perubahan politik substansial,
meskipun tidak sepenuhnya demokratis. Konstitusi demikian bersifat transisional dalam
beberapa aspek: prosesnya bersifat transien (bertahan hanya untuk sementara waktu), dan
instrumennya pun sebagiannya bersifat sementara. Konstitusi demikian sering kali masih
mengandung unsur-unsur dari rezim konstitusional pendahulunya, yang dapat dianggap
residual. Contoh konstitusi demikian tampak dalam transisi historis ternegosiasi di Eropa,
selain dalam gelombang perubahan politik kontemporer.
Meskipun perang merupakan titik balik terpenting yang dianggap sebagai batasan
untuk membangun dasar konstitusional, pergeseran politik sering kali terjadi tanpa titik
balik tersebut, sebagai hasil negosiasi politik yang berkepanjangan. Konstitusi
transisional dapat diciptakan dalam pergeseran dari pemerintaan otoriter sebagai hasil
perundingan. Bila rezim pendahulu belum runtuh dan pergeseran politik hanya tercapai
setelah terjadi negosiasi, konstitusi memainkan peran yang tidak banyak dijelaskan oleh
teori konstitusional yang lazim diterima. Konstitusi transisional tidak semata-mata
menghentikan revolusi, namun juga berperan dalam membentuk transisi. Pada tahap awal
proses ini, konstitusi dapat mendorong perubahan politik. Peran konstitusi transisional
yang mendestabilisasi tatanan politik yang telah ada ini dapat dianalogikan dengan peran
konstitusi pada masa biasa yang memapankan tatanan politik.
Suatu gambaran kontemporer konstitusi yang membongkar tatanan politik adalah
konstitusi Afrika Selatan pasca-apartheid. Konstitusi pasca-apartheid ini diibaratkan
sebagai “suatu jembatan bersejarah yang mengaitkan masa lalu suatu masyarakat yang
terbelah yang dicirikan oleh pertikaian, konflik, penderitaan luar biasa dan ketidakadilan,
dengan masa depan yang didirikan oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia,
demokrasi dan koeksistensi damai ... bagi semua warga Afrika Selatan”.19 Dengan
wataknya yang seperti itu, konstitusi Afrika Selatan pasca-apartheid memberikan contoh
18
Lihat umumnya Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation:
Southern Europe, South America and Post-Communist Europe, Baltimore: Johns Hopkins University Press,
1996 (suatu tinjauan tentang langkah-langkah transisi), 10. Lihat juga Guillermo O’Donnell dan Philippe C.
Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies,
Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986.
19
Konstitusi Afrika Selatan, bab 15, § 251 (“Kesatuan Nasional dan Rekonsiliasi”). Tatanan konstitusional
lainnya yang mencerminkan kompromi politik demikian berkaitan dengan keberlanjutan kekuasaan
eksekutif, yang diawasi dewan eksekutif transisional.
8
penggunaan konstitusi transisional setelah berakhirnya pemerintahan otoriter. Konstitusi
ini mengandung kesepakatan politik dan pergeseran dari pemerintahan oleh minoritas
terhadap mayoritas warga yang tidak memiliki hak politik, ke sistem demokrasi
perwakilan. Pakta konstitusional ini memungkinkan terjadinya transformasi politik.
Sejauh mana legitimasi konstitusional yang baru ini bisa didapatkan dari suatu
kesepakatan yang diratifikasi parlemen era apartheid? Sejauh mana kaitan prosedural
dengan rezim lama akan melemahkan proses konstitusional? Akar konstitusi transisional
dalam rezim apartheid ini tidak lagi menjadi masalah besar karena sifatnya yang
sementara. Perubahan konstitusional diawali dengan pengesahan konstitusi sementara
oleh parlemen lama, yang disahkan dengan syarat akan disusun sebuah konstitusi lain
yang prospektif. Pembukaan konstitusi 1993 sendiri menjelaskan bahwa ia akan berlaku
sampai konstitusi yang final diberlakukan.20
Konstitusi transisional Afrika Selatan 1993 mencerminkan modalitas yang
kompleks. Sementara pada umumnya bersifat sementara, ia juga mengandung prinsipprinsip konstitusional yang mengikat. Dalam strukturnya, konstitusi pasca-apartheid ini
memiliki kemiripan dengan konstitusi Jerman pasca-perang.21 Meskipun bersifat
transisional, undang-undang dasar Jerman memiliki pasal-pasal inti tentang identitas
politik liberal negara tersebut. Prinsip-prinsip yang mengikat ini berkaitan dengan
kesetaraan dan hak-hak perwakilan. Dengan menegaskan perlindungan terhadap
kelompok etnik dan ras, konstitusi Afrika Selatan mentransformasi peninggalan sejarah
prasangka rasial dengan bergerak meninggalkan penindasan dan sistem apartheid, dan
menetapkan nilai-nilai konstitusional yang liberal.22
Konstitusi transisional terutama berguna dalam pergeseran dari pemerintahan
militer. Dalam transisi di Eropa Selatan, misalnya, konstitusi 1978 pasca-Franco
20
Pembukaan Konstitusi Afrika Selatan menyatakan: “Dengan demikian diperlukan suatu provisi untuk
mendorong kesatuan nasional dan restrukturisasi dan Pemerintahan Afrika Selatan yang berkelanjutan
sementara suatu Dewan Konstitusional hasil pemilihan umum menyiapkan Konstitusi final”...(tekanan
ditambahkan).
21
Rencana konstitusi kedua dianggap tidak sah oleh Pengadilan Konstitusional negara tersebut, berkaitan
dengan prinsip-prinsip penggerak dalam konstitusi tersebut. Lihat In re Certification of the Constitution of
the Republic of South Africa, 1996 (4) SALR 744 (CC) (Afrika Selatan). Konstitusi final disahkan tidak
lama sebelum buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris. Bandingkan dengan Pasal 79(3) Undang-Undang
Dasar jerman (klausul tentang kepermanenan).
22
Schedule 4 menyatakan beberapa “prinsip konstitusional” yang tidak boleh diubah atau ditentang oleh
konstitusi berikutnya, seperti:
Konstitusi harus melarang diskriminasi ras, gender dan segala bentuk diskriminasi lainnya
dan harus mendorong kesetaraan rasial dan gender serta kesatuan nasional.
....
Sistem hukum harus menjamin kesetaraan semua orang di muka hukum dan proses hukum
yang tidak memihak. Kesetaraan di muka hukum mencakup hukum, program dan aktivitas
yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi mereka yang tertindas, termasuk mereka yang
tertindas karena dasar ras, warna kulit atau gender.
Konstitusi sementara Afrika Selatan, Akta 209 tahun 1993, sched. 4, pts. III dan V, dicetak ulang
dalam Dion Basson, South Africa’s Interim Constitution: Text and Notes, Kenwyn, Afrika Selatan: Juta and
Company, 1994. Cara kerja proses konsolidasi konstitusional ini dijelaskan dalam keputusan Pengadilan
Konstitusional yang membatalkan rencana konstitusi berikutnya. Lihat catatan kaki 21
9
membantu mengarahkan Spanyol untuk menghindari pemerintahan militer.23
Transisionalitas konstitusi ini dicerminkan dari tiadanya pencabutan kekuasaan militer
secara mutlak; meskipun militer harus menaati pemerintahan konstitusional, banyak dari
struktur pembagian kekuasaan yang baru masih belum didefinisikan. Meskipun
pertanyaan kunci dalam transisi Portugal pada tahun 1974 adalah tentang tempat militer
dalam rezim baru, angkatan bersenjata negara itu memainkan peran menentang
kediktatoran dan mendatangkan liberalisasi. Dengan menciptakan struktur konstitusional
yang memberikan tempat bagi angkatan bersenjata, konstitusi pasca-revolusi yang
pertama memungkinkan transisi menuju demokrasi dengan merestrukturisasi alokasi
kekuasaan sipil dan militer.24
Di seluruh Amerika Latin, konstitusi transisional menjadi penengah antara rezim
militer dan sipil.25 Dengan pembatasan konstitusional terhadap kekuasaan negara yang
memungkinkan terjadinya pelanggaran di masa lalu, struktur otoriter direkonstruksi untuk
mengadakan transformasi politik.26 Konstitusi Brazil 1988 diakui bersifat sementara:
setelah lima tahun. diharapkan akan diadakan tinjauan terhadap konstitusi dan melakukan
amendemen. Berdasarkan teori konstitusional yang lazim, sifat sementara dari konstitusi
ini seharusnya tidak sesuai dengan tujuan utama konstitusi tertulis, yaitu untuk
memelihara suatu pandangan tertentu tentang kekuasaan negara selama jangka waktu
23
Lihat Andrea Bonime-Blanc, Spain’s Transition to Democracy: The Politics of Constitution-Making,
Boulder: Westview Press, 1987, 31; Jordi Solé Tura, “Iberian Case Study: The Constitutionalism of
Democratization”, dalam Douglas Greenberg et al. (eds.), Constitutionalism and Democracy: Transition in
the Contemporary World, New York: Oxford University Press, 1993, 292-94. Lihat umumnya O’Donnell
dan Schmitter, Transitions: Tentative Conclusions, 37-72. Penundukan militer terhadap kekuasaan sipil
masih belum lengkap, karena konstitusi masih memberikan tugas kepada militer untuk melindungi tatanan
konstitusional. Menurut pasal 104 Konstitusi Spanyol: Pasukan dan Korps Keamanan yang merupakan alatalat Pemerintah akan bertugas melindungi pelaksanaan hak-hak dan kebebasan secara bebas dan menjamin
keamanan warga ... Suatu hukum organik akan menentukan fungsi, prinsip dasar untuk bertindak dan
Statuta pasukan dan Korps Keamanan.
24
Untuk tinjauan tentang transisi, lihat Kenneth Maxwell, “Regime Overthrow and the Prospects for
Democratic Transition in Portugal”, dalam Guillermo O’Donnell et al. (eds), Transitions from
Authoritarian Rule: Southern Europe, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, 108-37. Lihat
Tura, “Iberian Case Study”, 291-92.
25
Untuk tinjauan umum tentang transisi dan analisis terhadap Konstitusi 1988, lihat Keith S. Rossen,
“Brazil’s New Constitution: An Exercise in Transient Constitutionalism for a Transitional Society”,
American Journal of Comparative Law 38 (1990): 773.
26
Untuk contoh tentang batasan baru terhadap penetaan keadaan siaga, lihat Pasal 136 dan 137, selain
penyusunan undang-undang kepresidenan yang dikaitkan dengan keadaan darurat. Konstitusi Brazil
menyatakan: “Kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh Kongres Nasional “... Konstitusi Brazil, Pasal 44.
Pasal 62 menyatakan:
Dalam kasus penting dan urgen, Presiden Repblik bleh mengambil tindakan sementara
yang berkekuatan hukum; namun, ia harus segera memberikannya kepada Kongres
nasional, yang bila sedang dalam keadaan reses, harus bersidang dalam sidang istimewa
dalam waktu lima hari.
....
Tindakan semantara ini akan tidak berlaku sejak tanggal diterbitkannya bila tidak diubah
kedudukannya menjadi hukum dalam tiga puluh hari setelah tanggal diterbitkannya, dan
Konres Nasional harus mengatur semua hukum yang terkait yang mungkin timbul dari
pengambilan langkah-langkah tersebut.
10
yang panjang.27 Namun dari perspektif transisional, kritik ini tidak tepat. Jika sebuah
rezim politik masih belum mapan, tidak logis untuk menekankan kemutlakan konstitusi.
Kemungkinan untuk terjadinya reformasi yang dikaitkan dengan konstitusi interim
pertama sering kali disyaratkan pada penundaan proses konstitusional yang diikuti oleh
lebih banyak aktor politik.
Konstitusi kontemporer Cili secara dramatis menunjukkan kemungkinan ini.
Konstitusi 1991 membantu mengangkat negeri tersebut dari kediktatoran militer, dengan
biaya yang harus dibayar oleh konstitusi. Konstitusi transisional pertama
mempertahankan kontinuitas residual dengan pemerintahan yang baru saja berlalu,
dengan mengakomodasi kediktatoran militer dalam struktur konstitusional. Dalam
sejumlah amendemen konstitusional yang dilakukan secara berhati-hati, dan
dinegosiasikan oleh junta militer yang berkuasa, dan oposisi politik, timbul harapan
untuk mengembalikan demokrasi ke Cili. Amendemen konstitusional membatasi
kekuasaan militer dan institusi yang mendukung kekuasaan militer, dan mencabut
larangan terhadap partai oposisi dalam Senat. Perubahan transisional ini memungkinkan
pembagian kekuasaan antara sipil dan militer, dan pergeseran menuju rezim demokrasi
dan liberal.28 Reformasi konstitusional bertahap yang serupa terjadi di Argentina, di mana
hanya setelah terjadi dua kali pergantian pemerintaan, konstitusi baru dapat disahkan.
Bahkan, konstitusi 1994 yang baru ini masih mempertahankan beberapa pasal dari
Konstitusi 1853, meskipun mengganti beberapa bidang yang memerlukan perubahan,
seperti batasan terhadap kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, konstitusi baru ini
mencerminkan gabungan dari ciri-ciri “residual” dan “kritis”.
Kolombia memberikan gambaran historis tentang perubahan konstitusional yang
memberikan batasan antara dua rezim. Dianalogikan dengan sebuah traktat, konstitusi
Kolombia yang baru memungkinkan terjadinya perdamaian. Suatu krisis politik yang
berkepanjangan antara pemerintah dan para gerilya meledak pada dekade 1980-an dengan
keruntuhan negara secara parsial.29 Krisis politik ini menandakan perlunya perbaikan
terhadap konstitusi, namun masalahnya adalah bagaimana melaksanakan reformasi
konstitusional tanpa adanya dukungan Kongres dan dengan ketidaktaatan terhadap
hukum-hukum konstitusional yang sudah ada. Kolombia meninggalkan prosedur
konstitusionalnya yang sudah lazim untuk memungkinkan perubahan konstitusional
sementara, sebelum dilakukan reformasi konstitusional yang lebih menyeluruh. Dengan
referendum tentang perubahan konstitusional, keputusan diambil untuk memilih dewan
konstitusional untuk mengubah konstitusi. Referendum ini diikuti pemilihan anggota
dewan tersebut. Pada saat tersebut, para mantan gerilyawan telah melakukan
demobilisasi, menunjukkan peran penting sebagai kekuatan independen dalam
27
Untuk contoh argumen ini, lihat Rossen, “Brazil’s New Constitution”, 783.
Untuk tinjauan singkat tentang negosiasi yang terjadi, lihat “Chile: Chronology 1988-1991”, jilid 4 dalam
Albert P. Blaustein dan Gilbert H. Flanz (eds.), Constitutions of the Countries of the World, Dobbs Ferry,
N.Y: Oceana Publications, 1994, 33-36. Pasal 9 tentang partai politik mengalami amendemen, selain Pasal
95 dan 96, yang melemahkan Dewan Keamanan nasional.
29
Daniel T. Fox dan Anne Stetson, “The 1991 Constitutional Reform: Prospects for Democracy and the
Rule of Law in Colombia”, Case Western Reserve Journal of International Law 24 (1992): 143-44.
28
11
perpolitikan dan pemilihan umum, dan akhirnya akan berperan penting dalam
penyusunan konstitusi.30
Hal-hal itu membentuk proses transisi; mereka memberikan ruang politik dan
membatasi proses politik sedemikian rupa sehingga memungkinkan pergeseran menuju
pemerintahan yang lebih demokratis. Konstitusi Kolombia merupakan contoh mekanisme
konstruktif dalam transformasi politik. Dengan sifatnya yang secara sadar ditetapkan
sementara, ia ditujukan untuk merestrukturisasi tatanan politik yang labil. Karena
pelanggaran-pelanggaran terberat terjadi dalam pembagian kekuasaan eksekutif dan
legislatif, konstitusi baru memberikan kekuasaan legislatif yang luar biasa kepada
presiden, dan juga membentuk “kongres mini” untuk bertugas selama kongres yang baru
belum terbentuk. Aturan-aturan sementara diberlakukan untuk mengatur pemilihan
umum bebas yang pertama, membentuk tatanan politik yang baru, memberikan amnesti
bagi kejahatan di masa lalu,31 dan mengintegrasikan para mantan gerilyawan.
Konstitusionalisme memiliki arti keterlepasan dari masa lalu, dan kemudian diikuti
penggabungan kembali ke dalam sistem politik yang baru.
Konstitusi transisional yang dibicarakan di atas secara eksplisit memiliki
kepentingan politis, karena mereka semua meratifikasi berbagai ciri kesepakatan politik
yang sering kali berjalan bersama dengan konstitusi transisional dan juga mengarahkan
perubahan konstitusional. Fakta bahwa kesepakatan tersebut sering kali tidak dicapai
berdasarkan partisipasi politik secara luas menentang asas demokrasi dalam penyusunan
konstitusi tersebut. Bahkan, sifat terpolitisasi konstitusi tersebut tampak jelas dalam
kemiripannya dengan tindakan pidana transisional. Dalam pergeseran dari pemerintahan
yang kejam, konstitusi transisional sering kali meratifikasi amnesti terhadap pelanggaran
politik di masa lalu. Peran kesepakatan amnesti transisional dalam menengahi transisi
telah dibahas dalam bab 2 tentang peradilan pidana. Maka, dalam masa transisi,
konstitusi menggariskan batasan terhadap hal-hal yang boleh dipolitisasi dan apa yang
tidak. Dalam konteks perubahan politik, konstitusi tidak hanya merupakan puncak atau
tahapan akhir dari revolusi, namun menjadi alat dalam penciptaan transformasi. Dengan
demikian, ia sering kali merupakan mekanisme sementara yang memfasilitasi
transformasi politik. Konstitusi transisional menunjukkan kesepakatan dan struktur
politik sementara, dan menciptakan ruang politik yang baru untuk mengkonstruksikan
transisi politik. Lebih lanjut lagi, dengan dikukuhkannya beberapa norma konstitusional
yang penting, konstitusi transisional bisa menjadi respon konstruktif terhadap
pemerintahan represif di masa lalu. Sementara sifat transisional konstitusi ini terutama
berkaitan dengan struktur kekuasaan negara, prinsip-prinsip normatif yang berkaitan
dengan norma-norma hak individual dimaksudkan menjadi bersifat transformatif dan
abadi, yang memandu identitas demokrasi liberal negara. Terdapat suatu hukum tingkat
tinggi, yang bahkan lebih tinggi dari konstitusi, yang bisa dianggap sebagai “konstitusi
dari konstitusi”.
30
William C. Banks dan Edgar Alvarez, “The New Colombian Constitution: Democratic Victory of
Popular Surrender?” University of Miami Inter-American Law Review 23 (1991): 55-57. Lihat Foz dan
Stetson, “The 1991 Constitutional Reform”, 142, 145.
31
Lihat Konstitusi Kolombia, Pasal Peralihan 6 (menjelaskan Konstituante Nasional), Pasal Peralihan 39
(memberikan kepada presiden “kekuasaan luar biasa” untuk menerbitkan “keputusan yang berkekuatan
hukum” dalam jangka waktu tiga bulan), dan Pasal Peralihan 30 (tentang amnesti).
12
Penyusunan konstitusi transisional, hingga batasan tertentu, mencerminkan ideide yang lazim tentang negara dan perubahan politik. Tidak seperti model konstitusional
yang dominan, konstitusi transisional bersifat fleksibel dalam mengukuhkan normanorma, seperti terlihat dalam tahapan-tahapan konstitusional sementara yang berkaitan
dengan isu-isu konstitusional yang kontroversial. Seiring perjalanan waktu, perubahan
pada konstitusi akan mengubah lingkup politik lebih lanjut, yang mendorong perubahan
konstitusional. Paradigma konstitusional konstruktivistik yang dibicarakan di sini berakar
pada analisis komparatif terhadap praktik politik dalam masa transisi dan pemikiran
induktif, dan memiliki kemirian dengan beberapa model teoretik proses pembangunan
konsensus konstitusional secara bertahap.32 Akhirnya, alih-alih mengekspresikan
konsensus masyarakat yang sudah ada, prinsip-prinsip normatif dalam konstitusikonstitusi ini paling bisa dijelaskan dalam tinjauan transisional, karena tujuannya
mencerminkan kemungkinan penggunaan konstitusi untuk transformasi.
Keadilan Konstitusional sang Pemenang
Arah penyusunan konstitusi setelah berakhirnya perang tampaknya mengikuti aturan
ideal pemutusan dari masa lalu dan peletakan awal yang baru. Meskipun
konstitusionalime pasca-perang menuntut adanya pemutusan dari masa lalu, tidak berarti
bahwa model konstitusional ini selalu melalui proses-proses demokratis dan menjunjung
kedaulatan rakyat. Dua ilustrasi yang dibicarakan di sini adalah Jerman Barat dan Jepang
pasca-perang, yang mensahkan skema konstitusionalnya setelah kemenangan Sekutu dan
penyerahan tanpa syarat. Konstitusi Jerman maupun Jepang sama-sama menggambarkan
konstitusionalisme yang jelas-jelas transisional, yaitu “konstitusi sang pemenang”.
Hingga titik tertentu, konstitusi ini dipaksakan. Tujuan transisional konstitusi pascaperang ini terlihat dalam beberapa fungsi kritisnya: seperti tercermin dalam mandat
substantifnya, Undang-Undang Dasar Jerman dan Konstitusi 1946 Jepang dirancang
untuk mentransformasi peninggalan represif di masa lalu.
Mungkin kasus paling ekstrem dari keadilan konstitusional pemenang adalah
konstitusi pasca-perang Jepang. Dengan disahkan di bawah dominasi Amerika, dan
dirancang oleh suatu kelompok kecil di bawah arahan Jenderal Douglas MacArthur, dan
dipaksakan kepada parlemen Jepang untuk ratifikasi,33 konstitusi Jepang 1946 tidak bisa
dianggap sebagai suatu ekspresi kedaulatan rakyat dalam konteks pendudukan ini.
Signifikansi partisipasi masyarakat dalam penyusunan konstitusi tidak terlalu besar dalam
negara-negara yang memiliki tradisi pemerintahan otoriter. Seperti konstitusi MacArthur,
konstitusi Meiji sebelumnya juga dirancang oleh beberapa anggota elite. Meskipun
awalnya tidak demokratis, otoritas konstitusi yang masih berlanjut ini menunjukkan
bahwa terdapat beberapa mekanisme lain yang melegitimasi konstitusi pemenang seiring
perjalanan waktu. Hingga titik tertentu, konstitusi pemenang di Jepang ini merupakan
versi yang ekstrem dari proses konstitusional yang dalam abad ke-20 lazim terjadi dalam
transisi. Dalam masa transisi politik, setelah perang atau pemerintahan represif, proses
32
Lihat Rawls, Political Liberalism, 133-72.
Untuk tinjauan mendalam tentang sejarah penyusunan konstitusi Jepang, lihat Kyoko Inoue, MacArthur’s
Japanese Constitution: A Linguistic and Cultural Study of Its Making, Chicago: University of Chicago
Press, 1991.
33
13
konstitusional sering kali dimoderatori oleh pasukan pendudukan atau negara-negara
yang berpengaruh. Mungkin bentuk intervensi yang paling moderat adalah peran
penasihat konstitusional yang dimainkan oleh aktor internasional, nasional atau NGO.34
Tingkat intervensi aktor-aktor ini mempengaruhi bagaimana proses penyusunan
konstitusi ini dapat dianggap mencerminkan kedaulatan rakyat. Mungkin legitimasi
konstitusi pasca-perang bergantung pada mandatnya dan sejauh mana proses
konstitusional tersebut dapat mengembangkan norma-norma demokratis untuk
membentuk struktur politik dalam transisi. Dalam hal ini, banyak bagian dari konstitusi
1946 yang mencerminkan modalitas transisional yang bersifat transformatif dan kritis.
Tujuan eksplisit konstitusi tersebut adalah untuk mengubah kecenderungan politik ke
arah militerisme dan nasionalisme imperialistik. Kekuasaan Jepang untuk menyatakan
perang dihilangkan sama sekali, dan peran kaisar diturunkan, dari semula setengah dewa
menjadi hanya figur.35 Terdapat usaha secara luas untuk menggantikan rezim legal yang
lama dan menggerakan Jepang menuju sistem formal demokrasi egaliter.36
Konstitusi 1946 Jepang menunjukkan beberapa aspek kritis dalam memberikan
respon retributif terhadap rezim lama. Pembatasan terhadap kekuasaan kaisar tampak
sebagai alternatif jelas terhadap peradilan pidana. Respon ini menunjukkan kemiripan
antara peradilan pidana dan penyusunan konstitusi dalam masa-masa gejolak politik.
Seperti didiskusikan lebih awal, konstitusi sering kali digunakan untuk mengakui
pelanggaran pidana di masa lalu, sekaligus mengampuninya. Dalam kondisi demikian,
konstitusi menarik garis untuk membatasi parameter politik demokratis yang
dimungkinkan. Dengan membatasi kekuasaan kaisar, konstitusi baru memberikan
kompromi terhadap ancaman penghukuman yang mendestabilisasi peran kekaisaran.37
Seperti pengadilan para raja di abad ke-18, batasan konstitusional terhadap kedaulatan
kekaisaran menggariskan batasan normatif antara pemerintahan lama dengan rezim baru.
Penyusunan konstitusi demikian, seperti pengadilan, memberikan legitimasi publik dan
formal terhadap transformasi dari sistem politik lama.38
Keadilan sang pemenang tidak berjalan sepenuhnya di Jerman. Meskipun Jerman
menyerah tanpa syarat, perubahan politik dalam Perang Dingin memberikannya posisi
tawar dalam rekonstruksi konstitusionalnya. Penguasa pendudukan memang mendorong,
namun tidak mengendalikan rekonstruksi konstitusional. Maka, meskipun Sekutu
menyerukan agar suatu badan konstituante bersidang untuk merancang konstitusi yang
akan disahkan melalui plebisit umum, Jerman menentang tuntutan untuk menyusun
34
Untuk suatu tuduhan bahwa konstitusi gagal menciptakan otoritas dan stabilitas, lihat Arendt, On
Revolution, 144-45.
35
Lihat Konstitusi Jepang, Bab III, Pasal 9. Bab I Konstitusi Jepang membahas perihal kekaisaran. Dalam
Pasal 1, ia dijadikan “simbol negara”. Pasal 3 menyatakan: “Saran dan persetujuan Kabinet akan menjadi
syarat untuk semua tindakan kaisar dalam hal kenegaraan, dan kabinet akan bertanggung jawab”. Pasal 4
menyatakan: “Kaisar ... tidak memiliki kekuasaan yang berkaitan dengan pemerintahan”.
36
Misalnya, Pasal 14 dalam Bab I menyatakan: “Semua warga setara di muka hukum dan tidak akan
terdapat diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi dan sosial karena ras, kepercayaan, jenis kelamin,
status sosial atau akar keluarga ... Kebangsawanan tidak akan diakui ... Tidak ada privilese yang diberikan
bersama semua bentuk penghargaan ...”
37
Lihat Ian Buruma, The Wages of Guilt: Memories of War in Germany and Japan, New York: Farrar,
Strauss, Giroux, 1994, 153-76.
38
Lihat umumnya Norman E. Tutorow (ed.), War Crimes, War Criminals and War Crime Trials: An
Annotated Bibliography and Source Book, New York: Greenwood Press, 1986, 257-82 (mendaftar sumbersumber pengadilan kejahatan perang di Asia).
14
konstitusi permanen, dan mensahkan Basic Law yang dirancang untuk bersifat transitoris,
untuk “menciptakan tatanan baru dalam kehidupan politik dalam masa transisional”.
Basic law ini dirancang untuk diratifikasi oleh badan legislatif, dengan proses pleno
untuk penyusunan konstitusi ditunda hingga setelah rencana reunifikasi, namun momen
konstitusional ratifikasi ini tidak pernah terjadi.39 Dalam model konstitusional yang
lazim, kesementaraan Basic Law ini tidak dapat dijelaskan dengan baik. Namun,
paradigma konstitusionalisme transisional dapat menjelaskan provisionalitas Basic Law
ini dan komitmen normatifnya. Tujuan utamanya bersifat transformatif: untuk melawan
penyalahgunaan kekuasaan yang memungkinkan terjadinya kejahatan oleh rezim lama.40
Dengan demikian, Basic Law mengikuti model konstitusi kritis yang dijelaskan di atas.
Tidak seperti konstitusi abad ke-18, dalam Basic Law, norma-norma konstitusional
tentang ancaman terhadap demokrasi tidak hanya mencakup penyalahgunaan kekuasaan,
namun mencapai kebijakan kekuasaan itu sendiri. Hal ini paling dapat dijelaskan melalui
perspektif transisional.
Arti keadilan konstitusional dalam perspektif transisional dikonseptualkan dan
dikonstruksi berdasarkan rezim konstitusional dan politik yang mendahuluinya. Di
Jerman, pelajaran dari Republik Weimar mengarahkan pemikiran konstitusional masa
pasca-perang. Keberhasilan fasisme dianggap timbul dari skema konstitusional Weimar,
yang menggabungkan eksekutif yang kuat dan legislatif yang lemah, yang
memungkinkan timbulnya gerakan subversif. Untuk merespon hal ini, Basic Law secara
agresif melawan kecenderungan fasis dalam tatanan politik yang berpuncak pada
kediktatoran Nazi. Dalam Basic Law, kekuasaan kepresidenan dijadikan simbolis. Serupa
dengan cara konstitusi Jepang pasca-perang memperlakukan kaisar, presiden Federal di
Jerman tidak diberi kekuasaan; kekuasaan disebarkan kepada parlemen.41 Seperti juga
konstitusi Jepang, Basic Law Jerman juga mencerminkan bagaimana mekanisme pidana
dan konstitusional memberikan respon alternatif bagi pemerintahan yang buruk di masa
lalu. Baik penghukuman maupun penyusunan konstitusi memberikan batasan normatif
terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara seperti di masa lalu. Kedaulatan baru akan
tercapai ketika Sekutu menghentikan proses pengadilan pendudukan dan Jerman
memberikan komitmen untuk menyusun konstitusi.42 Basic Law Jerman melarang
penindasan rasial dan religius yang banyak terjadi pada masa rezim Nazi. Misalnya Pasal
3 (3) menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diprasangkai atau diberikan
keuntungan karena jenis kelamin, keturunan ras, bahasa, daerah asal, kepercayaan atau
opini agama dan politiknya”.43 Sementara hak-hak kesetaraan demikian lazim terdapat
dalam konstitusi modern, Basic Law memberikan perlindungan lebih dari sekadar
39
Lihat Basic Law for the Federal Republic of Germany (1949), diterjemahkan dalam Peter H. Merkl, The
Origin of the West German Republic, New York: Oxford University Press, 1963, app. 213, hal. 319. Lihat
juga Klaus H. Goetz dan Peter J. Cullen (ed.), Constitutional Policy in Unified Germany, Portland, Ore:
Frank Cass, 1995 (kumpuan artikel tentang konstitusionalisme Jerman).
40
Lihat Merkl, Origin of the West German Republic, 22-24, 80-89.
41
Bab V, berjudul “Presiden Federal”, tersusun oleh delapan pasal. Pasal 61 berkaitan dengan
impeachment. Basic Law for the Federal Republic of Germany, diumumkan oleh Dewan Parlementer, 23
Mei 1949, dicetak ulang dalam Flanz, Constitutions of the World, jilid 7, Dobbs Ferry, N.Y: Oceana
Publications, 1996.
42
Untuk tinjauan historis, lihat Frank M. Buscher, The War Crimes Trial Program in Germany, 1946-1955,
New York: Greenwood Press, 1989, 161.
43
Basic law, Pasal 3(3). Pasal 4(1) menyatakan: “Kebebasan beragama dan berpikir bebas dan kebebasan
menyatakan agama dan falsafah hidup tidak boleh dilanggar”.
15
perlindungan konvensional. Struktur normatif yang diciptakan oleh Basic Law sering kali
dikatakan sebagai “demokrasi militan”.44 Demokrasi militan mungkin merupakan konsep
yang paradoksal, namun menunjukkan tujuan transformatif utama dari instrumen ini.
Dengan memberikan persyaratan demokratis bagi individu dan partai politik,
elemen-elemen non-liberal akan disingkirkan dari kehidupan politik. Suatu tatanan
konstitusional yang militan tidak hanya siaga menghadapi penyalahgunaan kekuasaan
negara, tetapi juga kedaulatan rakyat.45 Konstitusionalisme transisional berjalan secara
berbeda dari intuisi umum tentang peran konstitusionalisme. Perlindungan terhadap
penindasan serupa di masa depan tidak terbatas pada pernyataan tentang hak-hak
individual; konstitusi transisional tidak hanya memberikan batas terhadap mayoritas
politik, namun juga pada sistem politik yang tidak liberal. Pandangan bahwa fasisme
merupakan ekspresi politik yang bersifat populis mengarah pada usaha untuk membatasi
ekspresi demikian, bahkan bila dilakukan oleh mayoritas sekalipun, yang merupakan
suatu tindakan paradoksal dalam usaha mempertahankan demokrasi konstitusional.
Sebagai instrumen konstitusional sementara, Basic Law mencerminkan berbagai tingkat
transisionalitas dan kekokohan konstitusional. Beberapa norma konstitusional bersifat
sementara, sedangkan yang lainnya yaitu yang berkaitan dengan nilai-nilai normatif
liberal (seperti perlindungan hak kesetaraan individual) bersifat amat kukuh dan tidak
dapat diutak-atik,46 dan dengan demikian mendefinisikan identitas politik liberal negara
tersebut. Basic Law Jerman, seperti diinterpretasikan pengadilan konstitusional negara
itu, menjadi penjaga negara liberal. Ia bisa dibandingkan dengan konstitusi pascaapartheid Afrika Selatan 1993.
Konstitusi pasca-perang ini menggambarkan konstitusionalisme dalam abad
ketiganya. Dalam pergeseran meninggalkan pemerintahan otoriter, dengan latar belakang
rezim konstitusional yang sudah ada, konstitusi demikian memainkan fungsi kritis:
merekonstruksi kecenderungan konstitusional masa lalu yang terkait dengan kebijakan
non-liberal. Sementara penyusunan konstitusi pasca-otoritarianisme sering kali tidak
memiliki legitimasi melalui proses konstitusional penuh yang ada dalam model
fondasionalis, delegitimasi terhadap rezim yang lama membuka jalan untuk rekonstruksi
konstitusional. Konstitusi pasca-perang tidak dapat dijelaskan dalam model
konstitusional yang diidealisasi, karena tidak bisa dianggap sebagai ekspresi sepenuhnya
konsensus masyarakat dan agenda revolusioner. Sering kali bahkan konstitusi merupakan
hasil proses politik yang bertentangan dengan itu. Ketiadaan konsensus masyarakat
dalam proses penyusunan konstitusi dan ketiadaan komitmen demokratis yang terdapat
dalam pandangan tentang konstitusi sebagai dasar politik juga tampak dalam prinsip
44
Lihat Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, edisi
kedua, Durham: Duke University Press, 1997. Untuk ilustrasi tentang prinsip konstitusional ini dalam
Keputusan Pengadilan Konstitusional Federal, lihat, Socialist Reich Party Case, 2 BverfGE 1 (Jerman
1952), diterjemahkan dalam Kommers, Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany,
218. Lihat juga Donald P. Kommers, “German Constitutionalism: A Prolegomenon”, Emory Law Journal
40 (1991): 854.
45
Partai-partai politik yang “tujuannya atau tindakan pengikutnya, berusaha untuk melemahkan atau
menyingkirkan tatanan mendasar demokrasi bebas atau mengancam eksistensi Republik Federal Jerman,
dianggap inkonstitusional”, Basic Law, Pasal 21 § 2. Individu kehilangan hak konstitusionalnya untuk
berekspresi bila terjadi penyalahgunaan ucapan, pers, pendidikan dan berkumpul “untuk melemahkan
tatanan mendasar demokrasi bebas” (Pasal 18). Lihat bab sebelumnya “Keadilan Administratif”.
46
Lihat Basic Law, Pasal 74 § 3 (menetapkan bahwa “prinsip-prinsip mendasar” dalam Pasal 1 dan 20 tidak
boleh diamendemen :hingga jangka waktu yang tidak terbatas” atau “abadi”).
16
normatif konstitusi-konstitusi tersebut. Konstitusi modern biasanya dirancang sebagai
struktur untuk membatasi kekuasaan negara, namun konstitusi transisional melawan
kecenderungan tidak liberal secara lebih luas. Dalam teori realis, konstitusi dapat
dijelaskan melalui perimbangan kekuasaan. Namun, anggapan tentang konstitusionalisme
sebagai produk perimbangan kekuasaan tidak dapat menjelaskan transisi total, seperti
setelah berakhirnya perang, penyerahan tanpa syarat dan keruntuhan rezim lainnya. Baik
model idealis maupun realis mengasumsikan bahwa kemenangan rezim revolusioner
terhadap rezim pendahulunya memiliki arti bahwa penyusunan konstitusi akan
sepenuhnya memandang ke depan. Namun, karena struktur normatif konstitusional
tersebut tidak dijelaskan oleh tipe ideal atau penjelasan berdasarkan perimbangan
kekuasaan masa kini, mereka menunjukkan suatu model konstitusi transisional yang
khas.
Revolusi Damai dan Konstitusinya
Apa implikasi bagi konstitusionalisme revolusi damai? Seperti dalam banyak transisi
pasca-otoritarianisme, keruntuhan komunisme terjadi setelah jatuhnya rezim komunis
yang berkuasa, atau perubahan politik sebagai hasil negosiasi.47 Perubahan politik di
bekas blok Soviet pada umumnya terjadi secara damai, perubahan konstitusional di
kawasan ini tidak mengikuti model dominan yang berpola pada revolusi gaya abad ke-18.
Revolusi damai demikian biasanya tidak memiliki satu titik balik (pemutusan) dengan
rezem lama, sehingga tidak berpuncak pada perubahan konstitusional secara mendasar.
Bertahun-tahun setelah perubahan politik, di sebagian besar negara di kawasan tersebut,
terdapat kontinuitas konstitusional. Yang terjadi adalah munculnya konstitusionalisme
transisional yang menunjukkan aspek-aspek residual. Bahkan negara-negara yang berada
dalam tahapan reformasi ekonomi yang lebih lanjut masih bergantung pada dokumendokumen era komunis yang telah direvisi.48
47
Lihat Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman:
University of Oklahoma Press, 1979, 23-24. Tentang transisi Eropa Timur, lihat umumnya Timothy Garton
Ash, The Magic Lantern: The Revolution of ’89 Witnessed in Warsaw, Budapest, Berlin and Prague, New
York: Random House, 1990; Ivo Banac (ed.), Eastern Europe in Revolution, Ithaca: Cornell University
Press, 1992; John Feffer, Shock Waves: Eastern Europe after the Revolutions, Boston: South End Press,
1992,dan Ken Jowitt, New World Disorder: The Leninist Distinction, Berkeley: University of California
Press, 1992.
48
Hongaria, misalnya, masih menggunakan konstitusi era Soviet yang telah diperbaiki. Lihat Andrew
Arato, “The Constitution Making Endgame in Hungary”, East European Constitutional Review 5 (musim
gugur 1996): 31. Lihat umumnya Péter Paczolay, “The New Hungarian Constitutional State: Challenges
and Perspectives”, dalam A. E. Dick Howard (ed.), Constitutional Making in Eastern Europe, Washington,
D.C: Woodrow Wilson Center Press, 1993, 21; Edith Otlay, “Toward the Rule of Law – Hungary”, Radio
Free Europe and Radio Liberty Research Report (1992): 16. Dalam sebagian besar masa transisinya,
Polandia menggunaan Konstitusi Kecil, suatu konstitusi sementara yang hanya menjelaskan struktur umum
sistem politik. Lihat Andrzej Rapaczynski, “Constitutional Politics in Poland: A Report on the
Constitutional Committee of the Polish Parliament”, University of Chicago Law Review 58 (1991): 595.
Baru pada bulan April 1997 dicapai konsensus tentang konstitusi baru. Lihat Andrzej Rzeplinski, “The
Polish Bill of Rights and Freedoms: The Case Study of Constitution-Making in Poland”, East European
Constitutional Review 2 (musim panas 1993): 26. Lihat juga Wiktor Osiatynski, “A Bill of Rights for
Poland”, East European Constitutional Review 1 (musim gugur 1992): 29. Di Rusia, perdebatan tentang
legitimasi parlemen era Soviet dan konstitusi mengarah pada krisis yang berpuncak pada keputusan
17
Apa yang diakibatkan perubahan politik yang mulus – atau revolusi damai –
terhadap perubahan konstitusional? Bila revolusi dengan kekerasan memiliki arti
pemutusan dengan rezim konstitusional lama, revolusi damai berarti terdapat kontinuitas.
Dilema ketegangan antara konstitusionalisme dan perubahan politik menjadi hilang,
karena tidak terdapat diskontinuitas. Seperti dalam transisi hasil negosiasi lainnya,
konstitusi berperan dalam meratifikasi kesepakatan yang mengkonstruksi pergeseran
politik,49 selain mengembalikan tatanan konstitusional dari masa sebelum revolusi.50
Konstitusionalisme pasca-komunis menunjukkan beberapa kemiripan antara teori
perubahan politik yang berlangsung seperti “domino” setelah keruntuhan Soviet,
demikian pula terjadi pada perubahan konstitusionalisme. Perubahan konstitusional
terjadi melalui negosiasi, bukan melalui kedaulatan rakyat. Sebaliknya, perubahan
konstitusional yang pertama terjadi melalui tawar menawar antara elite-elite politik.
Dalam revolusi damai, rezim pendahulu tidak diruntuhkan, namun diturunkan dengan
hati-hati. Amendemen konstitusional digunakan untuk meratifikasi pergeseran dari satu
rezim politik ke rezim politik lainnya. Dalam transisi ternegosiasi, perubahan
konstitusional pertama adalah untuk mencabut tatanan kekuasaan. Di seluruh kawasan
ini, amendemen konstitusional digunakan untuk mencabut privilese partai komunis.
Proses amendemen di Hongaria dan Polandia, misalnya, langkah pertamanya adalah
mencabut kekuasaan dari partai komunis yang dominan, dan melindungi partai-partai
minoritas. Jadi, perubahan konstitusional pasca-komunis lebih berkaitan dengan
pembatasan kekuasaan partai daripada pembatasan kekuasaan negara.
Di sini terdapat kemiripan dengan Basic Law Jerman, dan respon konstitusional
terhadap totalitarianisme. Babak pertama perubahan konstitusional ini bersifat sementara,
mencerminkan kemiripan dengan respon legal transisional lainnya. Proses konstitusional
di wilayah ini bukanlah tahap puncak dalam perubahan revolusioner, namun terkait erat
ekstrakonstitusional. Lihat umumnya Dwight Semler, “The End of the First Russian Republic”, East
European Constitutional Review 3 (musim dingin 1994): 107; Vera Tolz, “The Moscow Crisis and the
Future of Democracy in Russia”, Radio Free Europe and Radio Liberty Research Report (1993): 1. Di
Estonia, pemilihan umum di tahun 1992 diadakan sesuai konstitusi 1938 yang komunis. Pemilihan presiden
dan anggota parlemen pada tanggal 20 September 1992 dijalankan sesuai dengan aturan dalan Konstitusi
1938. Lihat “Constitutional Watch”, East European Constitutional Review 1 (musim gugur 1992): 2, 5. Di
Albania, hingga tahun 1994, konstitusi baru belum disahkan. Lihat Constitutional Watch: East European
Constitutional Review 3 (musim semi (1994): 2. “Undang-Undang tentang Perihal Konstitusional yang
Utama” yang bersifat sementara masih tetap berlaku.
49
Lihat umumnya Paczolav, “New Hungarian Constitutional State”, 21; Jon Elster, “Constitutionalism in
Eastern Europe: An Introduction”, University of Chicago Law review 58 (1991): 447 (tinjauan dan analisis
terhadap transisi menuju demokrasi konstitusional di Eropa Timur). Bagi sebagian besar negara di bekas
blok Soviet, pergeseran menuju rezim yang dipilih secara demokratis dilakukan melalui pembicaraan antara
partai komunis dengan oposisi. Lihat umumnya Jon Elster (ed.), The Roundtable Talks and the Breakdown
of Communism, Chicago: University of Chicago Press, 1996 (tinjauan mendalam tentang proses tawar
menawar yang memungkinkan transisi). Di Hongaria, proses penyelesaian negosiasi dengan penyusunan
rancangan konstitusi berlangsung dalam proses yang selalu terancam runtuhnya konsensus politik. Dengan
demikian, proses amendemen konstitusi tidak dilakukan melalui pertimbangan yang panjang, dan segera
diputuskan oleh Parlemen yang mensahkan amendemen tersebut. Lihat Arato, Constitution-Making
Endgame in Hungary, 685.
50
Lihat András Sajó, “Preferred Generations: A Paradox of Restoration Constitutions”, Cardozo Law
Review 14 (1993): 853-57. Untuk diskusi tentang fenomena kontinuitas konstitusional di Eropa Tengah dan
Timur, lihat umumnya Preuss, Constitutional Revolution, dan Andrew Arato, “Dilemmas Arising from the
Power to Create Constitutions in Eastern Europe”, dalam Michel Rosenfeld (ed.), Constitutionalism,
Identity, Difference and Legimacy, Durham: Duke University Press, 1994, 165.
18
dengan proses politik yang bertahap. Perubahan konstitusional seperti itu terkait dengan
perubahan politik, sehingga tidak dapat dipisahkan. Namun, legitimasi perubahan di
Hongaria secara jelas digambarkan “transisonal”, juga amendemen terhadap konstitusi
era Stalin di Polandia dikatakan sebagai “Konstitusi Kecil”. Lima tahun setelah revolusi,
Polandia dan Hongaria akhirnya mengadakan perubahan konstitusional yang mendalam,
mengarah ke suatu deklarasi tentang hak-hak asasi.51 Alih-alih mengikuti model ideal
penyusunan konstitusi sebagai ekspresi mendasar konsensus politik yang sudah ada, di
sini amendemen konstitusional dilaksanakan paling awal, yang meletakkan dasar untuk
perubahan politik lebih lanjut. Jadi, konstitusionalisme revolusi damai menantang
pemahaman fondasionalis tentang kaitan antara konstitusi dan revolusi.
Satu wajah lain dari konstitusionalisme pasca-komunis adalah konstitusionalisme
“restoratif”. Di bekas Cekoslowakia, revolusi dimulai pada bulan November 1989,
dengan demonstrasi memperingati lima puluh tahun penutupan universitas-universitas di
Cekoslowakia oleh pasukan pendudukan Jerman. Hal ini menggarisbawahi nilai historis
pendudukan politik di wilayah tersebut. Pada akhir pendudukan politik, terdapat
dorongan untuk kembali ke tatanan konstitusional yang telah ada sebelum pendudukan.
Oleh penulis, dimensi dari konstitusionalisme transisional ini dikatakan sebagai
“konstitusionalisme restorasi”.52 Di blok bekas komunis, konstitusionalisme restorasi
banyak terjadi, menunjukkan keinginan untuk kembali ke rezim konstitusional sebelum
era komunis. Di bekas Cekoslowakia, Konstitusi 1920 menjadi dasar rancangan untuk
konstitusi “baru” setelah revolusi. Di Latvia, elemen-elemen konstitusi 1922 beserta
undang-undang yang disahkan oleh parlemen telah berlaku sejak bulan Mei 1990.
Konstitusi 1938 menjadi dasar rancangan konstitusi baru di Estonia, dan dasar rancangan
konstitusi Georgia adalah konstitusi 1921.53 Kembali ke konstitusi restorasi ini
memungkinkan negara-negara tersebut mampu menghindari rezim konstitusional yang
terkait dengan komunisme. Namun, beberapa negara kembali ke struktur konstitusional
restoratif ini hanya karena nostalgia dan keinginan untuk mencapai stabilitas. Bahkan,
penggunaan istilah restorasi ini menunjukkan adanya tarikan normatif dari tatanan lama.
Namun, restorasi pasca-komunis diragukan memberikan stabilitas. Meskipun rezimrezim ini merupakan ekspresi identitas tradisional dan nasional, mereka tidak bisa
dianggap mencerminkan konsensus sosial yang ada. Namun, konstitusi restorasi memiliki
daya tarik normatif yang bisa menghindarkan dilema awal konstitusional. Dengan
konstitusionalisme restorasi, tidak ada awal yang baru, hanya kembali ke tatanan yang
telah ada. Konstitusionalisme demikian menghilangkan ketegangan yang terdapat dalam
konstitusionalisme dalam masa perubahan politik.
51
Tentang Hongaria, lihat “Constitution Watch: Hungary”, East European Constitutional Review 5 (musim
dingin 1996): 10, tentang Polandia, lihat “Constitution Watch: Poland”, East European Constitutional
Review 5 (musim dingin 1996): 16-17.
52
Restorasi memiliki kemiripan dengan perubahan “reaksioner”. Lihat Albert O. Hirschman, The Rhetoric
of Reaction: Perversity, Futility, Jeopardy, Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press, 1991, 110 (tentang perubahan “reaksioner”).
53
Lihat Lloyd Cutler dan Herman Schwartz, “Constitutional Reform in Czechoslovakia: E Duobus Unum?”
University of Chicago Law Review 58 (1991): 531-36; Constitution Watch: Latvia”, East Euroean
Constitutional Review 2 (musim semi 1993): 8-9; “Constitution Watch: Estonia”, East Euroean
Constitutional Review 1 (musim gugur 1992): 5; Rancangan Konstitusi Georgia (arsip Center for the Study
of Constitutionalism in Eastern and Central Europe, University of Chicago).
19
Kasus-kasus ini menggambarkan berbagai modalitas konstitusionalisme
transisional. Bila terdapat perubahan konstitusional, ia tidak berlangsung melalui
lembaga atau prosedur khusus, namun secara bertahap, melalui negosiasi dan proses
politik biasa. Perubahan konstitusional demikian tidak dapat dilepaskan dari proses
perubahan politik. Banyak bagian dari tatanan konstitusional baru ini bersifat residual,
mencerminkan kontinuitas konstitusional. Perubahan konstitusional yang transformatif
dalam hal ini sering berarti kembali ke tatanan politik dan konstitusional yang sudah ada
sebelum totalitarianisme, suatu bentuk konstitusionalisme restorasi.
Konstitusi Amerika: Tinjauan Transisional
Akhirnya, kita akan membahas konstitusi Amerika, contoh utama dalam paradigma
penyusunan konstitusi fondasional. Meskipun memiliki status ini, kasus Amerika ini
tidak sepenuhnya sesuai dengan model teoretik yang dominan, sehingga menunjukkan
bahwa model ini tidak lengkap dan harus ditunjang dengan model lainnya.
Pengisahan kembali penyusunan konstitusi Amerika dari perspektif transisional
menambahkan narasi lain terhadap tinjauan yang lazim diterima. Dalam versi idealnya,
revolusi Amerika berpuncak dengan penyusunan konstitusi. Konstitusi ini mengandung
hal-hal yang bersifat temporer yang berkait dengan revolusi, sekaligus hal-hal yang
bersifat permanen.54 Namun, kaitan antara konstitusi Amerika dan revolusi Amerika
mencerminkan konstitusionalisme transisional baik dalam proses maupun mandat
normatifnya. Terdapat suatu kemajuan bertahap dari konstitusionalisme yang
memandang ke belakang menuju konstitusionalisme yang memandang ke depan.
Revolusi tidak langsung memuncak pada konstitusi yang fondasionalis, namun
menghasilkan sejumlah dokumen yang bersifat konstitutif. Seperangkat perubahan
konstitusional yang digerakkan oleh revolusi mendorong diterimanya Konstitusi pada
tahun 1787. Rangkaian dokumen konstitutif ini diawali dengan pernyataan justifikasi
dalam Deklarasi Kemerdekaan untuk melepaskan diri dari rezim lama. Bahkan, ketika
para perintis bangsa bersidang pada tahun 1787, tujuannya adalah untuk
mengamendemen traktat konstitutif yang sudah ada.55 Dalam lima tahun pertama setelah
revolusi, Articles of Confederation merupakan respon transformatif dan kritis terhadap
suatu rezim yang dicirikan oleh kekuasaan negara yang minimal. Meskipun beberapa
pakar menyatakan bahwa Konstitusi 1787 menginporporasikan Deklarasi, klaim serupa
tidak diterapkan terhadap Articles of Confederation. Namun secara implisit, Konstitusi
memiliki kontinuitas dengan Articles of Confederation.56 Suatu skema kekuasaan negara
yang lebih ekspansif baru diciptakan setelah disahkannya Konstitusi 1787. Penambahan
54
Untuk tinjauan, lihat Paul W. Kahn, Legitimacy and History: Self-Government in Constitutional Theory,
New Haven: Yale University Press, 1992, 58-59 (tentang proses konstitusionalisme yang bergeser dari
revolusi ke pemeliharaan).
55
Lihat Richard B. Bernstein, Are We to Be A Nation? The Making of the Constitution, Cambridge:
Harvard University Press, 1987, 106. Untuk argumen bahwa kontinuitas antara revolusi Amerika dan
Konstitusi Amerika Serikat adalah bagian dari suatu pengalaman politik yang utuh, lihat David A. J.
Richards, “Revolution and Constitutionalism in America”, Cardozo Law Review 14 (1993): 577-78.
56
Sebagai contoh, Serikat mengambil alih hutang Konfederasi. Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Artikel
VI, § 1.
20
Bill of Rights dan amendemen pasca-Perang Saudara ke dalam Konstitusi Amerika
menunjukkan tahap-tahap konstitutif berikutnya.57
Dengan sudut pandang ini, sejarah penyusunan Konstitusi Amerika memiliki
kemiripan dengan konstitusionalisme transisional. Transisi ini tidak terlalu dramatis,
dengan jarak waktu antara Revolusi Amerika dan disahkannya Konstitusi, dan sifat
transisi Amerika dari monarki terbatas, bukan dari bentuk kediktatoran yang lebih buruk.
Transisi demikian tampak konservatif dibandingkan model lainnya yang dibicarakan di
sini; instrumen konstitusional Amerika sendiri mencerminkan hal ini. Bahkan, bisa
dianggap terdapat kontinuum transisi dalam hal nuansa dan lingkup perubahan ke arah
liberalisme. Dari perspektif transisional, Konstitusi Amerika bukanlah instrumen dasar
yang monolitik, namun suatu dokumen yang kontekstual. Penggambaran proses
penyusunan Konstitusi Amerika sebagai peletakan dasar secara sadar mengabaikan
keberadaan konflik antara para perintis bangsa dan juga tujuan penyusunannya.58 Analisis
transisional menunjukkan Konstitusi yang tidak tampak ini, bagian-bagian yang terkait
erat dengan kondisi sejarah dan politik masa tersebut. Bahwa provisi-provisi tersebut
cenderung diabaikan oleh para pakar kontemporer mungkin disebabkan karena sifatnya
yang temporer. Satu ciri utama yang menunjukkan transisionalitas konstitusi Amerika
adalah provisinya untuk amendemen.59 Karena proses amendemen sukar dijelaskan
dalam model teoretik yang dominan, ia mendorong perdebatan yang panas antara para
pakar. Banyak teori konstitusional kontemporer berfokus pada pertanyaan tentang
bagaimana mendamaikan pandangan fondasionalis idealis kontemporer tentang konstitusi
yang abadi, dengan perubahan konstitusional, baik yang didasarkan pada proses
amendemen Artikel V, melalui prinsip-prinsip interpretasi konstitusional yang berbeda
dari pemandangan awal, atau dengan cara-cara lainnya.60 Paradigma yang ditunjukkan
dalam bab ini beranggapan bahwa proses amendemen tidak bisa dilihat secara terpisah
dari aspek-aspek lain dari perubahan konstitusional. Dalam rangkaian penyusunan
Konstitusi Amerika, struktur konstitusional yang mendahuluinya adalah syarat sebelum
tercapainya pengakuan terhadap hak-hak individual.
Transisionalitas juga menandakan provisi konstitusional tentang hak, yang
terutama bersangkutan dengan isu perbudakan yang kontroversial. Konstitusi 1787
menunda semua perubahan tentang peraturan federal tentang perdagangan budak hingga
57
Untuk klaim bahwa terdapat tiga tahapan konstitutif, lihat Ackerman, We the People: Foundations,
Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press, 1991, 40, 58.
58
Bandingkan “James Madison to Thomas Jefferson, 4 Februari 1790”, dalam Marvin Meyers (ed.), The
Mind of the Founder: Sources of Political Thought of James Madison, edisi revisi, Hannover, N. H:
University Press of New England, 1981 untuk Brandeis Uniersity Press: 175-79 (menggambarkan
skeptisisme tentang keuntungan perubahan dan revisi konstitusional yang terlalu sering), dengan “Thomas
Jefferson to James Madison, 30 January 1787”, dalam Merril D. Peterson (ed.), The Portable Thomas
Jefferson, Harmondsworth, Inggris dan New York: Penguin Books, Viking Portable Library, 1977, 415,
417 (menyatakan bahwa “sedikit pemberontakan kadang kala akan menjadi hal yang baik”).
59
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Artikel V (“Kongres, bila dua pertiga dari kedua kamarnya
menganggap perlu, akan menyarankan amendemen untuk konstitusi, atau dengan permintaan badan
legislatif dari dua per tiga negara-negara bagian, akan bersidang untuk menyarankan amendemen ... ).
Tentang rposes amendemen, lihat Sanford Levinson (ed.), Responding to Imperfection: The Theory and
Practice of Constitutional Amendment, Princeton: Princeton University Press, 1995.
60
Lihat Akhil Reed Amar, “Philadelphia Revisited: Amending the Constitution Outside Article V”,
University of Chicago Law Review 55 (1988): 1044 (mengevaluasi apakah Artikel V merupakan satusatunya sumber perubahan konstitusional).
21
tahun 1898.61 Terlihat bahwa keputusan ini memiliki dua sisi. Ada satu konstitusi untuk
saat ini, saat ketika perdebatan politik dibatasi dan solusi federal dipaksakan. Penggunaan
redaksi provisional dalam dokumen ini membiarkan kemungkinan penyelesaian
prospektif yang lain. Analisis ini didukung oleh pelarangan eksplisit dalam Artikel V
terhadap amendemen demikian hingga tahun 1808.62 Dalam kasus yang mungkin paling
berpotensi menimbulkan masalah di negara itu, Konstitusi hanya menawarkan prinsip
pemandu yang sementara. Suatu perspektif transisional juga menjelaskan pemahaman
khas tentang keadilan konstitusional. Perlindungan konstitusi terhadap kebebasan dan
konsep tirani yang terkait bisa lebih dipahami dalam konteks pemerintahan kolonial.63
Respon konstitusional yang utama, yang sering kali dianggap sebagai puncak pencapaian
dalam Konstitusi, adalah rekonstruksi kekuasaan negara. Bahkan, pembelaan Federalis
terhadap skema kekuasaan negara yang baru ini disusun berdasarkan argumen sejarah,
berdasarkan pengalaman tirani yang dicirikan oleh kedaulatan parlementer Inggris.64
Respon kritis Konstitusi terhadap pemerintahan monarki adalah definisinya tentang
kekuasaan eksekutif; suatu respon yang lebih keras terhadap besarnya kekuasaan
eksekutif tampak dalam instrumen konstitusional sementara yang diciptakan setelah
Revolusi.65 Hal serupa tampak dalam konstitusi negara-negara bagian, yang membatasi
kewenangan dan kekuasaan para gubernur.66
61
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Artikel I, § 9, klausul 1 (“Migrasi atau pengimporan orang-orang
demikian seperti dianggap layak oleh negara-negara bagian yang sudah ada, tidak akan dilarang oleh
Kongres sebelum tahun seribu delapan ratus delapan ...”). Konstitusi juga memiliki provisi tentang
penangkapan dan ekstradisi budak yang melarikan diri. Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Artikel IV, § 2,
klausul 3.
62
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Artikel V.
63
Lihat Gordon S. Wood, The Creation of the American Republic, 1776-1787, Chapel Hill: University of
North Carolina Press, 1969 (tentang dampak masa pemerintahan kolonial dalam embentuk Serikat).
64
Lihat James Madison, The Federalist, No. 47, ed. Clinton Rossiter, Middletown, Conn: Wesleyan
University Press, 1961, 301 (“akumulasi semua kekuasaan, legislatif, eksekutif dan judikatif, dalam tangan
yang sama, baik seseorang, beberapa atau banyak, dan baik berdasarkan keturunan, penunjukkan diri atau
pemilihan, dapat dianggap sebagai definisi tirani itu sendiri”).
65
Pada masa Articles of Confederation (1791), ketidakpercayaan terhadap sentralisasi kekuasaan
sedemikian kuat sehingga Kongres tidak dapat menarik pajak dan mengatur perdagangan. Pasal VIII
menyatakan:
Biaya yang akan dikeluarkan untuk pertahanan atau kesejahteraan bersama, dan diizinkan
oleh sidang Kongres Amerika Serikat, akan ditanggung dari perbendaharaan bersama, yang
akan ditunjang oleh beberapa negara bagian, sesuai dengan nilai semua tanah dalam
masing-masing negara bagian ... Pajak untuk melunasi hal itu akan ditetapkan dan
dilaksanakan oleh otoritas dan arahan badan legislatif negara hukum.
Pasal IX, selanjutnya, menyatakan:
Amerika Serikat dalam sidang Kongres, harus mempunyai hak istimewa dan eksklusif dan
kekuasaan atas ... masuk ke dalam perjanjian-perjanjian dan aliansi, dengan syarat bahwa
tak ada perjanjian komersial yang akan dibuat dari mana kekuasaan legislatif atas Negara
bersangkutan dihalangi atas ... pelarangan terhadap ekspor dan impor dari berbagai jenis
barang atau komoditi apa pun ....
Untuk argumen yang menganjurkan suatu bacaan atas Konstitusi Amerika dalam perspektif warisan
sejarahnya berkenaan dengan Articles of Confederation, kendati tidak sama sekali eksplisit bersifat sebagai
22
Kalau kebanyakan pemerintahan monarkis beralih dari sistem eksekutif yang kuat
ke sistem parlementer, maka Amerika Serikat tampak unik dan khas dalam peralihan ke
sistem presidensil. Anomali Amerika ini paling baik dijelaskan dalam suatu analisis
transisional.67 Justifikasi untuk struktur kekuasaan eksekutif bersandar pada pengalaman
historis dari pemerintahan monarkis sebelumnya. Alasan dalam argumen para Federalis
untuk kekuasaan eksekutif yang dikedepankan itu didasarkan pada refleksi ke belakang,
ke masa pemerintahan raja. Sementara kekuasaan raja tak terbatas, maka kekuasaan
presiden dengan masa pemerintahan empat tahun bisa mencegah penyalahgunaan
kekuasaan. Gambaran lain dari kekuasaan presidensil yang dikedepankan itu memiliki
justifikasi yang analog: Karena hak veto raja itu bersifat mutlak, maka tidak demikian
dengan presiden; presiden mempunyai hak veto yang terbatas dan dipakai seperlunya saja
untuk hal yang memang sangat perlu. Pemaparan kekuasaan monarkis dalam sejarah
digunakan untuk menjustifikasi atau memperkuat dukungan terhadap ide kekuasaan
presidensil dalam hal membuat perjanjian dan kekuasaan menyatakan perang yang
terbatas.68
Provisi-provisi Konstitusi yang berkenaan dengan pemerintahan republikan juga
menganjurkan suatu fungsi transformatif. Pertama, penyusunan-ulang konstitusi terhadap
tatanan politik terjadi melalui redefinisi terhadap partisipasi, keanggotaan, dan
kepemimpinan politik. Gambaran anti-aristokratik tampak dalam sejumlah provisi
konstitusi, paling jelas tampak dalam pernyataan soal larangan atas “kebangsawanan”.
Persyaratan kualifikasi dan jangka waktu bagi partisipasi dan representasi politik
memperlihatkan adanya respon yang kritis terhadap tatanan politik yang lama.69 Alokasi
kekuasaan militer dan sipil memperlihatkan respon terhadap penyalahgunaan kekuasaan
transisional, lihat Akhil Reed Amar, “The Bill of Rights as a Constitution”, Yale Law Journal 100 (1991):
1131.
66
Lihat Daniel A. Farber dan Suzanna Sherry, A History of the American Constitution, New York: West
Publishing, 1990, 80-81.
67
Lihat Karl Lowenstein, “The Presidency Outside the United States: A Study in Comparative Political
Institutions”, Journal of Politics 11 (1949); 462.
68
Lihat Alexander Hamilton, The Federalist No. 69, ed. Clinton Rossiter, Middletown, Conn.: Wesleyan
University Press, 1961, 415-20.
69
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Pasal I, #9, cl 8 (Tak ada gelar kebangsawanan yang boleh diberikan
oleh Amerika Serikat: Dan tak satu Orang pun yang memimpin Kantor apa pun atau Perusahaan atau Kartel
apa pun di bawah mereka, yang boleh, tanpa Persetujuan dari Kongres, menerima berbagai anugerah,
Pengahargaan, Jabatan atau Gelar, dari berbagai jenis apa pun, dari Raja/Ratu/Pangeran siapa pun, atau dari
Negara asing”), Pasal I, #10, cl I (“Tak ada Negara yang boleh … memberikan berbagai Gelar
Kebangsawanan”); Alexander Hamilton, The Federalist No. 84, ed. Clinton Rossiter, Middletown, Conn.:
Wesleyan University Press, 1961, 511-14; Konstitusi Amerika Serikat, Pasal I, #2, Pasal II, #1, Pasal III,
#1. Lihat juga James Madison, The Federalist Nos.52,53, ed. Clinton Rossiter, Middletown, Conn.:
Wesleyan University Press, 1961, 327-32.
23
oleh rezim militer.70 Suatu perspektif transisional menjelaskan pemahaman kontemporer
tentang hak-hak, seperti Amendemen Kedua.71
Suatu gambaran jelas tentang konstitusionalisme transisional ada dalam
Rekonstruksi, suatu masa pergolakan tentang bagaimana mentransformasi Serikat.
Amendemen Rekonstruksi tampak sangat memandang ke belakang, karena mereka secara
normatif membangun struktur status konstitusional pemisahan oleh Konfederasi.72
Amendemen tersebut merespon kejahatan perbudakan dengan menerapkan kewajiban
baru terhadap negara-negara bagian selatan; hanya dengan mengakui prinsip kesetaraan
di muka hukum, negara-negara bagian tersebut dapat masuk kembali ke dalam Serikat
dan direpresentasikan secara setara dalam Kongres.73 Syarat memegang jabatan dalam
Amendemen IV mendiskualifikasi para pendukung Konfederasi.74 Pelucutan politik
dalam Rekonstruksi tidak berumur panjang; hampir semuanya dicabut oleh Kongres pada
tahun 1872.75 Namun, mereka tetap ada dalam teks Konstitusi Amerika sebagai ekspresi
abadi politik ekstrakonstitusional. Pemahaman terhadap kaitan transisional antara hukum
konstitusional dan politik pasca-Perang Saudara memiliki implikasi mendalam bagi
perdebatan kontemporer tentang interpretasi amendemen Rekonstruksi.76 Suatu perspektif
transisional dapat mengevaluasi jurisprudensi Rekonstruksi dalam konteks transformasi
politik, dengan implikasi bagi kontroversi kontemporer.
70
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Pasal I, #8, cls. 11-16 (yang memberikan kepada Kongres suatu
kekuasaan militer yang signifikan), Amendemen II (“Suatu kelompok Milisi yang tertata dengan baik, yang
dipandang perlu untuk keamanan sebuah negara yang bebas, hak rakyat untuk menjaga dan mempunyai
Angkatan Bersenjata, harus dilarang”), Amendemen III (“Tak boleh ada prajurit yang dalam masa damai
ditempatkan di suatu rumah tanpa persetujuan dari sang Pemilik, tidak juga dalam waktu perang, kecuali
dengan cara yang ditentukan dan disahkan secara hukum”).
71
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen II; Sanford Levinson, “Comment: The Embarassing
Second Amendment”, Yale Law Journal 99 (1989): 648 (mencatat bahwa salah satu dasar Amendemen
Kedua adalah “kecemasan terhadap korupsi politik dan tirani oleh pemerintah”).
72
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 4 (“Amerika Serikat maupun negara lainnya tidak
akan menanggung atau membayar hutang atau kewajiban yang ditimbulkan dari bantuannya terhadap
insureksi atau pemberontakan melawan Amerika Serikat ... semua hutang, kewajiban dan klaim demikian
akan dianggap ilegal dan tidak sah”).
73
Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, §§ 1-2
74
Amendemen Keempat-belas menyatakan: Tidak seorang pun dapat menjadi Senator atau Wakil dalam
Kongres, atau Pemilih Presiden dan Wakil Presiden, atau memegang jabatan apa pun, sipil atau militer,
dalam Amerika Serikat, atau dalam negara-negara bagiannya yang mana pun, yang sebelumnya telah
mengambil sumpah, sebagai anggota Kongres, atau sebagai pejabat Amerika Serikat, atau sebagai anggota
badan legislatif negara-negara bagiannya yang mana pun, untuk menjunjung Konstitusi Amerika Serikat,
[namun] telah melakukan insureksi atau pemberontakan terhadap [Konstitusi] tersebut, atau memberikan
bantuan kepada musuh-musuh [Konstitusi]. Namun Kongres bisa, dengan melakukan pemungutan suara
yang dispakati dua per tiga dari masing-masing kamar, mencabut pelucutan tersebut. Konstitusi Amerika
Serikat, Amendemen XIV, § 3. Bagian ini mulai diberlakukan pada bulan Juli 1868.
75
Lihat Kenneth M. Stampp, The Era of Reconstruction, New York: Knopf, 1970, 170.
76
Bandingkan Raoul Berger, Government by Judiciary: The Transformation of the Fourteenth Amendment,
Cambridge: Harvard University Press, 1977, 167 (menyatakan bahwa “para penyusunnya bertujuan untuk
melarang diskriminasi dengan memperhatikan privilese tercantum” dan bahwa mereka tidak bertujuan
“untuk menjangkau sasaran yang tidak dijelaskan dalam Civil Rights Act dan dikonstitusionalkan dalam
amendemen”), dengan Robert J. Kaczorowski, “Revolutionary Constitutionalism in the Era of the Civil
War and Reconstruction”, New York University Law Review 61 (1986): 881-903, 910-35 (menjelaskan
amendemen dalam konteks teori republikan tentang kewarganegaraan federal dan sifat generik hak-hak
asasi).
24
Bab ini telah menunjukkan berbagai cara memahami Konstitusi Amerika Serikat
dari perspektif transisional. Dengan menawarkan pandangan yang lebih kontekstual
tentang sifat dan peran konstitusionalisme, diskusi di atas melengkapi model yang telah
lazim diterima. Konstitusionalisme transisional memiliki implikasi bagi interpretasi
konstitusional. Suatu perspektif transisional memberikan pandangan yang unik bagi
perdebatan tentang relevansi “tujuan semula” terhadap signifikansi kontemporer berbagai
pasal konstitusi yang relevan.77 Perspektif transisional memiliki kemiripan dengan model
interpretasi konstitusi “ketaatan” (fidelity) yang menganggap bahwa konstitusi harus
diteliti berdasarkan konteks sejarah dan politiknya. Dari perspektif transisional, masalah
dengan teori interpretatif kaum originalis ini adalah bahwa mereka biasanya memiliki
anggapan tentang suatu tujuan transformatif lain yang bersifat lebih dinamis. Perspektif
transisional ini menambahkan pemahaman konstitusi sebagai kodifikasi, yaitu suatu
tujuan yang transformatif dan dinamis. Penyelidikan interpretatif yang relevan adalah
tentang sejauh mana konstitusi dianggap transisional dan apakah ia bersifat transformatif.
Dengan perjalanan waktu, ciri-ciri transisional dari konstitusi akan tampak secara
dinamis, baik menghilang atau meluas dalam tujuan transformatifnya. Gabungan dari
tujuan-tujuan semula yang mungkin ini memberikan pendekatan yang lebih kontekstual
bagi relevansi tujuan semula. Jadi, perspektif transisional menawarkan prinsip yang khas
untuk interpretasi konstitusional, dengan konsekuensinya bagi pendekatan-pendekatan
yang sudah ada.
Konstitusionalisme Transisional: Beberapa Kesimpulan
Teori konstitusional yang lazim diterima tidak cukup untuk menjelaskan fenomena
konstitusional yang terkait dengan perubahan politik substansial, terutama pada akhir
abad ke-20. Ide-ide utama konstitusionalisme modern adalah respon gaya abad ke-18
terhadap pemerintahan pra-modern dan batasannya terhadap tatanan politik. Namun,
konstitusionalisme dalam abad ketiganya bersifat normatif sekaligus transformatif dalam
merespon tatanan politik yang sudah ada. Konstitusionalisme demikian menunjukkan
dialog antara berbagai modalitasnya: kritis, residual dan restoratif. Dengan demikian,
paradigma ini membantu menjawab dilema batas minimal yang diciptakan oleh proses
penyusunan konstitusi dalam masa revolusioner. Konstitusionalisme transisional
menjembatani perubahan politik radikal dengan mendamaikan dikotomi pemahaman
tentang kaitan hukum dan politik. Lebih lanjut lagi, transisi menunjukkan bagaimana
77
Lihat umumnya Berger, Government by Judiciary (membela originalisme); Robert H. Bork, The
Tempting of America: The Political Seduction of the Law, New York: Free Press, 1990; Robert H. Bork,
“The Constitution, Original Intent and Economic Rights”, San Diego Law Review 23 (1986: 823. Lihat juga
Paul Brest, “The Misconceived Quest for the Original Understanding”, Boston University Law Review 60
(1980): 204 (mengkritik originalisme); Henry Monaghan, “Our Perfect Constitution”, New York University
Law Review 56 (1981): 374-87 (mengkritik Brest); H. Jefferson Powel, “Riles for Originalist”, Virginia
Law Review 73 (1987): 659 (menawarkan prinsip-prinsip tentang interpretasi originalis); Mark V. Tushnet,
“Following the Rules Laid Down: A Critique of Interpretivism and Neutral Principles”, Harvard Law
Review 96 (1983): 786-804 (membantah kemungkinan originalisme tanpa dasar komunitarian). Untuk
perspektif tentang originalisme yang menunjukkan relevansinya sebagai dasar, lihat Jed Rubenfeld,
“Reading the Constitution as Spoken”, Yale Law Journal 104 (1995): 1119, yang menjelaskan originalisme
sebagai model interpretasi “commitmentarian”. Tentang “ketaatan” pada konstitusi, lihat umumnya Larry
Lessig, “Fidelity in Translation”, Texas Law Review 71 (1993): 1165.
25
konstitusionalisme memperkuat demokrasi. Pada masa biasa, konstitusionalisme sering
tampak bertentangan dengan demokrasi sederhana, namun dalam masa transisi,
konstitusionalisme memainkan peran unik dalam memfasilitasi pergeseran menuju rezim
yang lebih liberal.
Konstitusionalisme transisional memberikan paradigma alternatif. Paradoks
utama paradigma ini adalah bahwa seperti dalam konsepsi pra-modern,
konstitusionalisme tidak berdiri terpisah dari tatanan politik, namun terkait amat erat
dalam politik transformasi. Namun, seperti dalam konsepsi modern, konstitusi
transisional juga melampaui tatanan politik biasa. Paradigma transisional ini
mengelaborasikan kaitan yang lebih beragam antara politik kontitusional dengan politik
biasa: Konstitusi konstitusional tidak saja merupakan kodifikasi konsensus yang sudah
ada, namun juga mentransformasi konsensus tersebut. Lebih lanjut lagi, kedua konsepsi
tujuan konstitusional ini tidak mutually exclusive; keduanya bisa terdapat dalam satu
instrumen. Mereka sering kali terlihat demikian, misalnya dalam Konstitusi Amerika
Serikat. Jadi, pandangan yang dikemukakan di sini melengkapi teori konstitusional yang
lazim. Yang membedakan paradigma konstitusional transisional adalah kaitan
konstruktifnya dengan tatanan politik yang sedang berubah. Konstitusionalisme
transisonal mencakup berbagai tahap, dari instrumen sementara untuk membentuk
tatanan politik sementara dalam jangka waktu terbatas, hingga hukum yang kukuh untuk
memandu identitas politik utama suatu negara. Dalam perannya untuk memutuskan diri
dari masa lalu, konstitusi transisional meratifikasi tatanan politik baru untuk
meliberalisasi ruang politik, memungkinkan tatanan yang lebih liberal.
Konstitusionalisme transisional bervariasi dari watak sementara hingga amat kukuh,
bertugas untuk memelihara tatanan konstitusional di masa depan.
Paradigma konstitusional transisional menjelaskan kontribusi khusus penyusunan
konstitusi dalam masa-masa perubahan politik. Dengan mengabaikan kecenderungan
umum untuk menggabungkan konstitusionalisme dengan perubahan politik radikal,
paradigma yang dikemukakan di sini memberikan ruang dan bahasa untuk mengkritik
sifat dan peran konstitusionalisme dalam masa transformasi. Paradigma
konstitusionalisme transisional juga memiliki implikasi bagi pemahaman tentang
kekuatan normatif konstitusionalisme dan kaitannya dengan penggunaan lain dari hukum.
Konstitusionalisme kritis merupakan respon transformatif yang eksplisit terhadap
pemerintahan represif di masa lalu. Dengan memberikan respon kritis terhadap rezim
lama ini, konstitusionalisme transisional memberikan suatu rasa keadilan. Respon
konstitusional kritis terhadap rezim politik pendahulu ini memberikan justifikasi bagi
transisi dengan mendelegitimasi berbagai aspek rezim lama dan melegitimasi rezim
penggantinya. Dengan memberikan ekspresi pertanggungjawaban secara normatif,
konstitusionalisme bertumpang tindih dengan hukum-hukum normatif lainnya, seperti
hukum pidana, dalam masa-masa luar biasa tersebut. Norma-norma konstitusional
postmodern-kontemporer melampaui struktur kekuasaan negara untuk memandu
pemahaman normatif yang lebih luas terhadap tatanan sosial. Akhirnya, perspektif
konstitusional transisional memberikan gambaran kemajuan konstitusional. Pandangan
tentang kemajuan ini tidak bersifat mutlak atau universal, tetapi terbatas dan kontekstual.
Pemahaan terhadap sejarah ketidakadilan di masing-masing negara memungkinkan
konstruksi batasan konstitusional yang benar-benar responsif terhadap peninggalan
politik, historis dan konstitusional suatu negara.
26
Bab 7
Menuju Teori Keadilan Transisional
Buku ini telah mengeksplorasi dua pertanyaan: pertama, pendekatan legal apa yang
diadopsi oleh masyarakat yang sedang mengalami masa transisi sebagai respon terhadap
warisan penindasannya?; kedua, apa signifikansi dari respon-respon legal ini terhadap
prospek liberalisasi masyarakat tersebut? Kita sekarang berada pada posisi untuk
menguji cahaya apa yang dipancarkan oleh buku Transitional Justice ini di atas kedua
pertanyaan tersebut dan, lebih umum lagi, terhadap peranan hukum dalam periodeperiode yang masih sangat jauh dari pencapaian perubahan politik. Dalam
mengeksplorasi respon-respon legal negara terhadap warisan keterkungkungannya,
Transitional Justice menawarkan metode interpretatif, historis, dan komparatif untuk
menarik konklusi sintetik berkenaan dengan apa yang dikedepankan oleh praktik-praktik
ini tentang konsepsi keadilan pada masa-masa seperti itu. Apa yang mencuat adalah
suatu penyeimbangan pragmatik tentang keadilan ideal dengan realisme politik yang
mencontohkan kedaulatan hukum simbolis yang mampu mengkonstruksikan perubahan
yang menghasilkan liberalisasi. Dengan demikian, bab ini, yang merupakan
penyimpulan dari keseluruhan uraian kita di depan, menganalisis fenomena legal yang
dibahas dalam keseluruhan buku ini. Yaitu, fenomena legal yang menyangkut teori
tentang keadilan transisional yang menjembatani konsep ideal tentang kedaulatan hukum
dan kebutuhan mendesak akan politik kontingen dalam kasus-kasus tertentu.
Pertimbangan-pertimbangan hukum selama periode semacam ini mengikuti suatu
paradigma yang khas, yang diarahkan oleh prinsip-prinsip kedaulatan hukum yang
disesuaikan dengan tujuan transformasi politik. Analisis yang diambil di dalam buku ini
memperlihatkan saluran konseptual dan praktis yang melaluinya paradigma paling
khusus dalam hukum transformatif membantu membangun perubahan yang mengarah
pada liberalisasi. Tetapi, analisis kita melaju lebih jauh lagi. Analisis kita di sini
mengajukan bahwa hukum memantapkan potensi pemerdekaan bagi dihasilkannya
politik transformatif. Beragam respon legal yang digali di dalam bab-bab sebelumnya
mengungkapkan gambaran umum dalam soal hakikat dan fungsinya – dan dengan
demikian, mengungkapkan juga hasil-hasil yang mempersulit bagi konsepsi koheren
secara analitik tentang keadilan transisional yang melampaui kasus-kasus khusus.
Prinsip-prinsip kedaulatan hukum paradigmatik dalam keadilan transisional
dihubungkan secara dekat pada gambaran murni dan penjelas dari periode ini, yaitu
pendasaran dalam masyarakat bagi penggantian normatif dalam prinsip yang menyertai
dan melegitimasi pemberlakuan kekuasaan negara. Oleh karena itu, pemahaman tentang
keadilan transisional yang dikembangkan di sini seharusnya sudah jauh melebihi
periode-periode perkembangan politik biasa, yang memancarkan cahaya baru ke atas
pertanyaan-pertanyaan kontemporer yang menyangkut hukum-hukum hak asasi manusia
yang potensial bagi pemberian respon terhadap konflik-konflik internasional, dan
pemahaman inti tentang kesulitan-kesulitan hubungan politik dengan keadilan.
1
Eksplorasi buku ini terhadap hakikat dan fungsi hukum dalam periode
transformasi yang dimulai dengan penggantian konsep debat dan kerangka acuan yang
relevan, bagi keadilan transisional tidak cukup ditangkap secara memadai dalam konsep
analitik yang biasa berlaku yang digunakan untuk menguji peranan hukum dalam
periode-periode perubahan politik yang membawa pembebasan. Pertimbanganpertimbagan ini cenderung menjadi sangat antinomik atau kontradiktif. Pertimbanganpertimbangan tersebut bisa secara radikal bersifat realis, dengan serangkaian
pengembangan dalam transisi yang sekadar mengikuti keseimbangan kekuasaan (dan
dengan demikian mengingkari keterkaitan hukum dengan signifikansi independen dalam
transformasi politik), atau menawarkan narasi-narasi yang diidealkan di mana hukum
beroperasi sebagai keseluruhan kekuatan pemicu yang mendasar dan berlaku dari
dirinya sendiri, yang memprasyaratkan serangkaian pembangunan hukum dan politik
yang berpotensi universal selama periode-periode transformatif.1 Tak satu pun dari
pemahaman yang sangat dikotomis ini menyediakan penjelasan positif yang persuasif
atau penjelasan normatif tentang peran hukum dalam periode-periode perubahan politik
substansial. Dengan mendasarkan pada gambaran perspektif historis dan komparatif
lintas masyarakat, analisis yang kita kemukakan di sini mengajukan sebuah cara
alternatif untuk mengkonseptualisasikan peran hukum dalam masa-masa seperti itu.
Pertimbangkanlah, sebagai langkah awal, konseptualisasi implisit karya-karya
para sarjana yang akrab di benak kita selama ini tentang masalah yang relevan: peran
hukum hanya sekadar direduksi pada keseimbangan kekuatan politik yang membentuk
permulaan perubahan rezim atau diekstrapolasi dari titik akhir di mana “revolusi liberal”
diyakini akan tercapai.2 Hasilnya, peran hukum dalam periode yang menyita perhatian
itu – dimengerti sebagai konteks politik untuk menunjukkan interregnum, yaitu masa
antara dua rezim pemerintahan3 – telah menghindari pemahaman, karena masing-masing
dari pendekatan ini menurut definisi menampik fenomenologi hukum dalam liberalisasi
sebagai subjek analisis yang diskret atau benar-benar terpisah.
Analisis ini sama sekali tidak menolak atau meminimalisir pentingnya
pembatasan struktural dan tujuan-tujuan normatif dalam pembentukan proses legal dan
hasil-hasil politik. Sebaliknya, fenomena hukum jelas-jelas tidak pernah bersifat otonom
terhadap konteksnya, tidak juga benar-benar responsif terhadapnya. Kemudian, mengapa
gerangan ada alasan untuk berasumsi, sebagaimana dilakukan oleh masing-masing
pendekatan yang berlaku sekarang ini, bahwa operasi hukum kurang interaktif dan
dialektis selama periode-periode perubahan politik yang masih jauh panggang dari api?
Sesungguhnya, sebuah analisis sistematik proses hukum yang terjadi selama perjalanan
dari satu rezim politik ke rezim politik lainnya adalah benar-benar apa yang diperlukan
Bandingkan Samuel P. Huntington, The Third Wave, Democratization in the Late Twentieth Century,
Norman: University of Oklahoma Press, 1991, 215, dengan Bruce A. Ackerman, The Future of Liberal
Revolution, New Haven: Yale University Press, 1992, dan Hannah Arendt, On Revolution, Wesport,
Conn.: Greenwood Press, 1963.
2
Ibid.
3
Untuk definisi transisi dalam ilmu politik, lihat Guillermo O’Donnel dan Phillippe C. Schmitter,
Transitions From Authoritarian Rule: Tentative Conclusions About Uncertain Democracies, Baltimore:
Johns Hopkins University Press, 1986, 6.
1
2
dalam rangka mengklarifikasi hakikat dan cakupan peran mereka dalam periode
transisional. Lebih dari sekadar hasil-hasil penggambaran kita sebagai residu semata dari
keseimbangan kekuatan politik atau deduksi respon-respon legal ideal dari titik akhir
yang revolusioner yang mempraandaikan adanya demokrasi dan kedaulatan hukum,
perlulah bagi kita untuk menguji relasi respon legal transisional terhadap warisan sejarah
masyarakat atas ketidakadilan dan cakupan yang terhadapnya relasi ini membentuk
lorongnya sendiri menuju liberalisasi. Kegunaan dari pendekatan ini akan menjadi lebih
jelas ketika kita kembali pada pembahasan tentang fenomenologi legal dan prinsipprinsip kedaulatan hukum yang dapat diterapkan yang merupakan karakteristik dari
contoh-contoh kontemporer tentang transformasi politik radikal.
Keadilan Transisional dan Jurisprudensi Transisional: Sebuah Paradigma
Hukum dalam periode perubahan radikal umumnya dipahami sebagai antistruktural,
sebagai prinsip yang melampaui kenyataan dan paradigma yang menantang.4 Periode
perubahan normatif umumnya dilihat menjadi antiparadigmatik. Tetapi, fenomenologi
legal yang mencirikan periode perubahan politik mengungkapkan pola-pola yang
menunjukkan sebuah paradigma. Sebagaimana telah kita lihat, manifestasi keadilan yang
diupayakan selama periode transformatif sangat beragam: retributif, reparatoris,
birokratis, konstitusional, dan historis. Akan tetapi, melampaui berbagai respon legal
yang beragam, pengaturan menjadi bukti, yang mengungkapkan proses-proses distingtif
yang dipadukan dengan perubahan politik. Melampaui kategori-kategori legal, sebuah
paradigma hukum muncul yaitu paradigma jurisprudensi transisional.
Karena gambaran yang mendefinisikan transisi adalah perubahan normatif
transisi itu sendiri, praktik-praktik hukum menjembatani suatu perjuangan yang
persisten di antara dua titik: dukungan terhadap konvensi yang mapan dan transformasi
yang radikal. Utamanya, suatu posisi yang dipengaruhi secara dialektis kemudian
muncul. Dalam konteks perubahan radikal politik, jurisprudensi transisional
mendamaikan konsepsi parsial dan non-ideal tentang keadilan: bentuk-bentuk sementara
dan terbatas dari konstitusi, sanksi, reparasi, pemurnian [pemulihan nama baik], dan
sejarah. Melampaui kategori-kategori hukum, bentuk legal yang distingtif menengahi
gerakan di antara rezim-rezim yang sudah dan sedang berkuasa. Peran hukum di sini
bersifat transisional, dan tidak mendasar, konstruktif terhadap perubahan-perubahan
kritis dalam status, hak, dan tanggung jawab individual – dan, lebih luas lagi, terhadap
pergantian dalam hubungan kekuasaan. Sebagaimana peran hukum adalah untuk
memajukan konstruksi perubahan politik, manifestasi hukum transisional dipengaruhi
secara lebih tegas lagi oleh nilai-nilai politis dalam rezim di masa transisi daripada
manifestasi hukum dalam negara-negara di mana kedaulatan hukum telah ditegakkan
Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: University of Chicago Press,
1970, 52-76, 111-134. Untuk argumen yang menentang paradigma konseptualisasi, lihat Albert
Hirschman, “The Search for Paradigms as a Hindrance to Understanding”, dalam Paul Rabinow dan
William M. Sullivan (eds.), Interpretive Social Science: A Second Look, Berkley: University of California
Press, 1987.
4
3
dengan kokoh. Jadi, jurisprudensi periode-periode ini tidak mengikuti prinsip-prinsip
utama soal legalitas sebagai keteraturan, kelaziman, dan prospektivitas [keterarahan
pada masa depan] – hal-hal yang merupakan esensi paling inti dari kedaulatan hukum
dalam masa-masa biasa.5 Sementara kedaulatan hukum dalam demokrasi-demokrasi
yang mapan senantiasa menatap ke depan dan terus tiada henti berjalan pada alur
arahnya yang sudah pasti, hukum dalam periode transisional justru menatap ke belakang
sembari juga menatap ke depan, restrospektif dan sekaligus prospektif,
berkesinambungan dan sekaligus terputus-putus.
Biasanya, nilai-nilai prospektivitas dan kontinuitas, juga keterterapan secara
umum dan perlindungan yang sama dan adil, dirasakan menjadi sangat kompatibel
dalam sistem hukum yang mapan. Akan tetapi, dalam periode-periode perubahan politik
secara substansial, nilai-nila ini justru tampak jelas terjerembab dalam konflik. Ini paling
jelas manifes baik dalam periode langsung pasca-perang dan yang mengikuti kejatuhan
Komunisme dalam perdebatan jurisprudensial menyangkut hubungan hukum dan moral
dan menyangkut makna restorasi kedaulatan hukum. Perjuangan melampaui cakupan
yang terhadapnya prosedur yang telah ada sebelumnya diarahkan pada atau nilai-nilai
rezim yang baru dikembangkan. Nilai-nilai kedaulatan hukum mana yang terutama
muncul pertama dalam transisi adalah fungsi dari warisan sejarah dan politik tertentu –
yaitu, fungsi dari pemahaman utama terhadap sumber-sumber ketakutan,
ketidakamanan, dan ketidakadilan yang mendapatkan kekuatan normatif otoritatif dalam
masyarakat. Sementara keseimbangan kekuasaan di antara aktor-aktor politik kunci bisa
dipandang sebagai pembatasan rentang kemungkinan, tantangan yang paling besar dan
peran distingtif jurisprudensi transisional, bagaimanapun juga, tetaplah menjembatani
legalitas konvensional dan pergantian normatif yang diprasyaratkan oleh transformasi
yang membawa pembebasan.
Dalam periode perubahan politik, tak ada kawasan tunggal bagi tindakan hukum
yang operatif, dan tak ada pula ideal-ideal mendasar yang tak menunjukkan kekhasan
antara satu dengan lainnya. Namun demikian, pengalaman-pengalaman transisional
tidak perlu mengikuti wacana yang telah dipostulasi oleh realis politik berdasarkan basis
pertimbangan keseimbangan kekuasaan. Alih-alih, pertanyaan yang benar-benar
menghujam adalah: Institusi apa yang memiliki legitimasi untuk menjalankan
transformasi normatif yang substansial? Sebagaimana telah dibahas dalam bab
sebelumnya, peran reinterpretasi makna kedaulatan hukum dalam periode-periode
transformasi substansial sering kali ditangani oleh pengadilan-pengadilan konstitusional,
khususnya ketika institusi-institusi tersebut merupakan institusi yang sama sekali baru
yang dimunculkan oleh transisi itu sendiri. Sistem judisiari transisional mempraktikkan
kebebasan interpretatif yang masuk akal dan wajar, mengukir kedaulatan hukum yang
tak jauh beda yang secara simultan mendukung aspek-aspek legalitas konvensional
sembari melakukan kerja perubahan normatif. Jadi, ajudikasi dalam periode-periode ini
hampir selalu mengungkapkan suatu kombinasi dinamis dari imperatif-imperatif
konvensional dan transformatif. Kendati bukan merupakan tindakan dari badan-badan
pembuat keputusan politik, namun respon-respon ajudikatoris tersebut menjadi simbol5
Lihat Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale University Press, 1964.
4
simbol signifikan dari pembebasan kedaulatan hukum. Ketika pengadilan-pengadilan
konstitusional mendahului transisi, institusi-institusi lain yang dirasuki dengan legitimasi
dan otoritas yang baru ditemukan, seperti komisi-komisi publik, menjadi ajang bagi
praktik-paraktik transformatif.
Pada saat yang sama, transisi bervariasi dalam perluasannya terhadap
transformasi normatif dan dalam kepatuhan terhadap legalitas konvensional. Dengan
demikian, sebuah teori tentang keadilan transisional harus mengembangkan sebuah
bahasan yang dengannya kita memahami kontinum transformatif yang bersamanya
transisi ditata. Modalitas yang mungkin merentang mulai dari modalitas “kritis”, yang
mengacu pada reportoire hukum transformatif yang ditujukan secara maksimal pada
penolakan kebijakan rezim sebelumnya, hingga pada modalitas “residual”, yang
bertujuan memantapkan tatanan hukum yang sedang berlaku sekarang. Sebaliknya,
modalitas “restoratif” menarik kekuatan normatif dari keberpulangan pada warisan
negara di masa lalu. Sebagaimana disarankan oleh tipologi ini, modalitas yang bervariasi
berhubungan dengan perbedaan-perbedaan dalam cakupan transformasi politik yang
baru, kendatipun tidak harus dalam cakupan liberalisasi, khususnya ketika sebuah
reportoire “restoratif” bisa secara meyakinkan memanfaatkan atau berdiri tegak di atas
tradisi yang tepat, yang telah hidup sebelumnya.
Sebagaimana yang hendak ditunjukkan oleh pembahasan kita dalam bab-bab
sebelumnya, prinsip kedaulatan-hukum yang dipadukan dengan modalitas transformasi
merupakan bukti yang melintasi kategori-kategori hukum. Sebenarnya, kita bisa
melanjutkan pembahasan tentang hal ini kemudian. Sebaliknya, prinsip kedaulatan
hukum yang dipadukan dengan waktu biasa mencakupi distingsi yang jelas dalam
kategori hukum yang berkenaan dengan aturan prosedural dan aturan pembuktian, dan
juga pembatasan status individual, hak dan kewajiban, sifat luar biasa dan kerja-kerja
dari hukum transisional yang sering kali mengaburkan tapal batas yang memisahkan
hukum pidana, hukum perdata, hukum administratif [~ hukum administrasi negara] dan
hukum konstitusional [~ hukum tata negara]. Dalam pelaksanaan kategori-kategori
hukum, prinsip kedaulatan hukum transisional yang paradigmatik bisa juga cenderung
memecahkan pagar batas konvensional ini di dalam hukum.
Sebagai contoh, pengembangan kedaulatan hukum di dalam negara yang sedang
melakukan proses liberalisasi sering dianggap bergantung pada penerapan akuntabilitas
individual. Jadi, penghukuman sering jelas-jelas mencontohkan kepedulian terhadap
tanggung jawab individual yang merupakan hal sentral dalam hukum di negara-negara
liberal. Akan tetapi, sebagaimana telah ditunjukkan dalam bab 2, perspektif yang
menekankan pada hakikat penghukuman ini tidak sesuai dengan perannya dalam waktuwaktu terjadinya pergolakan dan perubahan politik secara radikal. Konsep pidana atau
rumusan kejahatan masa transisional malah ganti ditentukan oleh nilai-nilai yang
berkaitan dengan lingkungan-lingkungan yang berbeda dan proyek proses perjalanan
politik. Keadilan pidana biasanya diteorisasikan dalam konsep-konsep yang sangat
dikotomis sebagaimana dihidupkan dalam kepedulian yang berorientasi kepada masa
lalu dengan retribusinya atau yang berorientasi ke masa depan, sebuah kepedulian
utilitarian dengan penekanan pada efek penjeraan, yang dianggap sebagai bagian internal
5
dari sistem keadilan.6 Akan tetapi, dalam varian transisional ini bukan cuma
penghukuman yang dijelaskan dengan suatu campuran dari tujuan retrospektif dan
prospektif, tetapi juga pertanyaan soal entahkah menghukum atau mengampuni
dirasionalisasikan secara sengaja dan terbuka dalam konteks politik. Nilai-nilai
kerahiman dan rekonsiliasi yang umumnya dipandang sebagai hal-hal di luar keadilan
kriminal merupakan bagian eksplisit dari pemahaman konsep transisional. Politisasi
eksplisit dari hukum pidana di dalam periode-periode ini menantang pemahaman ideal
tentang keadilan dan kemudian hadir menjadi gambaran yang persisten atau tetap tak
berubah-ubah dari jurisprudensi di dalam konteks transisional.
Rumusan atau bentuk transisional yang luar biasa dari penghukuman yang
ditentukan ciri khasnya dalam bab 2 sebagai sanski pidana “terbatas” kurang diarahkan
pada penjatuhan hukuman kepada para pelaku; malahan lebih diarahkan pada
peningkatan upaya pergantian normatif transformasi politik. Sanksi terbatas transisional
dicontohkan di mana pun proses pidana bersifat parsial dan sepotong-sepotong, selain
itu, sanksi tersebut juga terutama memuncak pada hukuman yang ringan atau tanpa
hukuman sama sekali. Sanksi terbatas juga diilustrasikan secara historis, bukan cuma
dalam kebijakan pasca-perang, tetapi juga dalam masalah penghukuman yang mengikuti
kasus-kasus terbaru dari perubahan rezim, yang selama terjadinya perubahan itu sanksi
tebatas tersebut menjalankan tindakan-tindakan operatif yang penting – penyelidikan
publik formal ke dalam klarifikasi masa lalu, penuntutan terhadap kesalahan masa lalu,
dan seterusnya – yang menyokong pergantian normatif yang merupakan hal sentral
terhadap liberalisasi transisi. Bahkan bentuknya yang terbatas dan menggelikan adalah
suatu simbol kedaulatan hukum yang memampukan ekspresi pesan normatif kritis.
Berkenaan dengan argumen yang dibahas lebih jauh di sini, sangatlah penting
untuk memperhatikan afinitas bahwa efek-efek operatif yang dikembangkan lebih lanjut
oleh sanksi pidana yang terbatas, semisal menetapkan, mencatat, dan menghukum
kesalahan masa lalu, tampil bersama tindakan-tindakan hukum lainnya dan prosesproses yang yang konstruktif terhadap transisi. Kesalahan yang masif dan sistemik yang
secara khusus dicirikan oleh represi modern menganjurkan adanya suatu pengakuan
akan campuran tanggung jawab individual dan kolektif. Dengan begitu, ada
ketumpangtindihan yang jelas antara institusi-institusi dan prose-proses punitif dan
administratif. Proses-proses akuntabilitas yang diindividualisasikan memberikan jalan
kepada investigasi administratif dan komisi penyelidikan, kompilasi rekaman-rekaman
publik, dan pemberitahuan resmi tentang kesalahan masa lalu tersebut. Sering kali,
semuanya ini adalah kesalahan-kesalahan yang tercakup dalam sejarah kenegaraan yang
dilakukan mengikuti mandat politik bagi rekonsiliasi, seperti di Afrika Selatan dan di
kebanyakan negara Amerika Latin pasca-otoritarian.7
Apakah bentuk-bentuk birokratis dari penyelidikan publik dan penutur-kisahan
kebenaran secara resmi merupakan hal yang diinginkan dan apakah itu juga menandakan
Lihat H.L.A. Hart, Punishment and Responsibility: Essays in the Philosophy of Law, Oxford: Clarendon
Press, 1968. Lihat juga George Fletcher, Rethinking Criminal Law, Boston: Little, Brown, 1978
7
Berkenaan dengan Afrika Selatan, lihat Kader Asmal, Louise Asmal, dan Ronald Suresh Roberts,
Reconciliation Through Truth: A Reckoning of Apartheid’s Criminal Governance, Cape Town, S. Africa:
David Philip Publishers bekerja-sama dengan Mayibue Books, University of Western Cape, 1996.
6
6
liberalisasi, keduanya itu merupakan hal yang kontingen atau tergantung pada warisan
negara dari aturan yang represif. Peran produksi pengetahuan sosial yang berkenaan
dengan masa lalu sebuah negara bukan merupakan suatu masalah orisinal atau masalah
mendasar, karena fungsi kritis rezim kebenaran suksesor adalah untuk merespon praktikpraktik represif dari rezim terdahulu. Jadi, sebagai contoh, dalam transisi setelah
pemerintahan militer, ketika kebenaran merupakan korban dari kebijakan-kebijakan
penghilangan,8 respon-respon kritis merupakan upaya pelacakan terpadu dari suatu kisah
resmi dan rahasia, sementara sebaliknya, sejarah negara telah dihindarkan secara luas
dalam transisi pasca-komunis, ketika produksinya tidak lebih merupakan sebuah
instrumen kontrol represif semata. Penyelidikan historis transisional mengungkapkan
bahwa kebenaran yang relevan adalah kebenaran yang dihasilkan di dalam warisan
negara yang khusus dalam hal ketidakadilan. Kebenaran-kebenaran yang dimaksud
adalah kebenaran yang tidak universal, tidak esensial dan kebenaran yang tergolong
dalam meta-kebenaran (metatruth). Sebagaimana ditunjukkan dengan penggunaan
transisional yang digeneralisasikan dari pertimbangan independen dalam hukum hak
asasi manusia kontemporer untuk menyingkirkan rezim kebenaran predesesor (rezim
pendahulu) dan menegakkan sebuah konsep primer pertanggungjawaban, kebenaran
marjinal bisa jadi adalah kebenaran yang dibutuhkan untuk mematrikan sebuah garis
batas antara rezim baru dan rezim lama tersebut.9
Penjelasan historis yang baru tentang warisan masa lalu merehabilitasi, juga
menghukum, individu-individu tertentu. Dalam bentuk transisionalnya, upaya hukum
reparatoris memainkan peran penting dalam pergantian normatif dengan mencontohkan
perubahan-perubahan yang berkenaan dengan status politik, sebagai misal, rehabilitasi
dan restorasi martabat individual yang dipadukan dengan liberalisme, yang bisa
menyertai upaya hukum lainnya dalam hal yang bersifat distributif. Melintasi keragaman
budaya, tuntutan terhadap pertimbangan-pertimbangan reparatoris sebagai tampilan dari
perlindungan yang sama di bawah hukum merupakan perubahan yang pervasif atau
menyebar ke segala arah, perubahan yang melaju laksana sepur dalam aturan yang
berkaitan dengan status individual dan hak. Dalam teori ideal, prinsip-prinsip keadilan
korektif umumnya berorientasi atau melihat ke belakang, yang terutama berkaitan
dengan hak-hak korban individual. Akan tetapi, dalam bentuk transisionalnya,
pertimbangan reparatoris memiliki suatu hakikat “hibrida”, dengan tujuan-tujuan
korektif yang dikaitkan dengan kepedulian sosial yang lebih luas yang dihubungkan
dengan perlindungan normatif dari perubahan politik yang membebaskan. Kombinasi
hibrida proyek reparatoris transisional dari tujuan-tujuan berorientasi ke belakang dan
tujuan-tujuan berorientasi ke depan adalah bukti paling nyata di negara-negara yang
sedang melalui tahap transisi simultan dalam bidang ekonomi dan politik, yang keluar
secara radikal dari penteorisasian ideal tentang prinsip-prinsip keadilan distributif dan
keadilan korektif.10
8
Untuk diskusi lebih mendalam dan lebih luas tentang poin ini lihat bab 3, “Keadilan Historis”.
Lihat Nunca Más: Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, edisi bahasa
Inggris, New York: Farrar, Straus, Giroux, 1986 (yang untuk selanjutnya disebut Nunca Más saja).
10
Untuk pembimbing elaborasi semacam itu dalam teori ideal, lihat John Rawls, Political Liberalism,
New York: Columbia University Press, 1993.
9
7
Kompromi transisional tidak lain adalah yang paling jelas sebagaimana dalam
transisi pasca-komunis, ketika bahkan yang sering disebut-sebut sebagai “hak milik”
tidak disusun di atas dasar-dasar pemikiran ideal.11 Upaya hukum reparatoris transisional
meneruskan dan menekankan “hak atas sesuatu” yang berupaya mengkoreksi
pelanggaran terhadap hak di masa lalu secara tepat supaya menyelimuti dan memelihara
hak-hak itu secara simultan di masa depan. Sekali lagi, melalui proyek-proyek legislatif
yang luas, sering kali diperluas atau diamendemen oleh institusi judisial, negara yang
sedang mengupayakan pembebasannya menerima suatu bentuk perbaikan yang sistemik
untuk pengingkaran masa lalu yang sistemik dari perlindungan hukum yang sama.
Dalam bentuk birokratiknya, dasar-dasar politis dan kolektif pengukuran
transisional adalah yang paling diinginkan dan terbuka, hukum berada pada keadaan
transformatifnya yang paling radikal, dan batas-batas yang memisahkan kategori hukum
menjadi paling kabur. Tindakan-tindakan regulatoris publik yang menguatkan asosiasi,
keanggotaan, dan partisipasi menghasilkan perubahan yang real dalam status, hak, dan
kewajiban para warga dalam rezim yang baru dan, oleh karena itu, bisa memiliki
dampak yang radikal dan menyebar luas pada tatanan politik negara.12 Untuk pastinya,
keadilan administratif transisional mengandung bentuk-bentuk atau konsep hukum
konvensional, yang sekali lagi mendemonstrasikan kompromi transisional. Akan tetapi,
dengan bersandar pada perilaku masa lalu sebagai basis bagi tindakan prospektif dalam
ranah publik, maka penilaian atau pengukuran ini menampilkan aspek punitif dari
hukum pidana. Ketika hukum publik dikembangkan di atas dasar yang eksplisit dari
kondisionalitas politik, maka hukum tersebut secara kritis merespon warisan
penganiayaan yang dilakukan di atas dasar-dasar klaim ideologis, yang secara radikal
membentuk ulang batas-batas legitimasi politik dan dengan demikian meredefinisi raut
wajah (kontur) identitas politik yang berubah dari masyarakat suksesornya. Sebenarnya,
dalam pengembangan perilaku di masa depan berdasarkan pada klaim-klaim politis,
berbagai pertimbangan atau penilaian ini juga tampak menjadi sangat konstitusional
sifatnya.
Konstitusionalisme transisional juga tidak mengikuti konsepsi ideal13 tetapi ia
bersifat hiperpolitisasi, yang menampilkan afinitas dengan respon-respn transisional
lainnya. Intuisi kita adalah untuk menggambarkan konstitusi yang membuatnya sebagai
proyek yang seluruhnya melihat ke depan yang didesain untuk membentuk atau
mendirikan pemerintahan masa depan. Tetapi, konstitusionalisme transisional memiliki
fungsi tambahan yang dirangkaikan dengan penggantian normatif, sebagaimana halnya,
pada saat yang bersamaan, ia mengarah ke belakang dan sekaligus ke depan, retrospektif
dan sekaligus prospektif, dan berkesinambungan dan tidak berkesinambungan dengan
tatanan politik sebelumnya. Yang juga termasuk dalam wilayah hukum ini yaitu bahwa
kontinum transformatif, yang merentang dari yang “kritis” ke yang “residual” dalam
kaitannya dengan dukungan atau kepatuhan terhadap status quo, merupakan bukti paling
nyata. Konstitusi transisional yang membuat pencakupan tujuan-tujuan
11
Untuk diskusi lebih lanjut dan lebih dalam, lihat bab 4, “Keadilan Reparatoris”.
Lihat bab 5, “Keadilan Administratif”.
13
Lihat misalnya, Ackerman, Future of Liberal Revolution.
12
8
pengkodifikasian, tujuan-tujuan perlindungan, yang diasosiasikan dengan
konstitusionalisme dan juga transformatif, tujuan-tujuan pembiaran yang unik pada masa
transisi. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini, konstitusi transisional bisa secara
keseluruhan bersifat sementara, yang dimaksudkan untuk beroperasi hanya untuk jangka
waktu tertentu selama adanya perubahan yang didorong itu, sebagaimana dicontohkan
dalam Konstitusi sementara Afrika Selatan 1993, atau tujuan yang secara langsung
untuk konstruksi yang melindungi secara ketat, konstruksi yang tak bisa diganggu gugat
dan diubah-ubah dari identitas politik yang permanen, sebagaimana dalam kasus
Grundgesetz pasca-perang Jerman.14
Afinitas paradigmatik yang didiskusikan di sini lahir di atas pertanyaan yang
kembali mencuat dalam perdebatan yang mengitari keadilan transisional, yang
berkenaan dengan respon terhadap aturan represif yang paling tepat untuk ditempatkan
dalam sistem demokratik yang permanen. Subteks dari pertanyaan ini mengandaikan
adanya ideal transisional dan bahwa permasalahan normatif agaknya mempengaruhi
suatu respon kategoris tertentu. Akan tetapi, ini hanyalah sekadar sebuah pertanyaan
yang salah: Tak ada respon benar yang tunggal terhadap masa lalu yang represif dari
sebuah negara. Respon mana yang tepat dalam berbagai rezim yang ada dalam konteks
transisi bersifat kontingen atau tergantung pada sejumlah faktor – warisan ketidakadilan
masyarakat, kultur hukumnya, dan tradisi-tradisi politiknya – termasuk juga tergantung
pada eksigensi atau urgensi tuntutan-tuntutan politik transisionalnya. Sebenarnya, jauh
melampaui ketergantungan respon-respon, muncul ketidakrelevanan yang umum dari
beberapanya yang bersifat khas yang kemudian diadopsi. Fluiditas atau keteraliran
paradigmatik dari respon-respon hukum transisional menekankan karakter politik yang
semakin meningkat dari jurisprudensi ini.15 Untuk fungsi hukum dalam periode-periode
ini, sifatnya sangatlah simbolis, sehingga respon-respon berganda dan beragam bisa dan
sungguh-sungguh
memediasi
pergantian
normatif.
Mari
kita
sekarang
mempertimbangkan secara lebih detail lagi bagaimana paradigma keadilan yang
didiskusikan di sini bersifat konstruktif terhadap pergantian atau pengalihan ini.
Konstruktivisme Transisional
Bagaimana transisi dikonstruksikan? Apa peran hukum dalam proses perjalanan politik
seperti itu? Pertanyaan tentang peran konstruktif hukum secara umum muncul dalam
konteks problem produksi sosial yang lebih konvensional dan transmisi norma-norma
otoritatif melintasi waktu. Sesungguhnya, problem reproduksi institusional dan
pertanyaan-pertanyaan terkait soal legitimasi telah distudi dengan baik.16 Akan tetapi,
Lihat Basic Law for the Federal Republic of Germany, Pasal 79 (perlindungan terhadap gambaran
demokratik yang utama bertentangan dengan provisionalitas atau kesementaraannya yang diperkirakan).
15
Bandingkan dengan Carl Smith, The Concept of the Political, terj. George Schwab, Chicago dan
London: University of Chicago Press, 1996, 31 n12.
16
Lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the
Sociology of Knowledge, New York: Anchor Books, 1966, 86. Lihat juga Paul Connerton, How Societies
Remember, New York: Cambridge University Press, 1989. Tentang konstruksi di dalam hukum, lihat
14
9
perubahan politik dan sosial yang mendasar melibatkan pergantian di dalam tatanan
normatif yang mengekspresikan penteorisasian yang tidak lumrah, karena
penggeneralisasian sistem hukum yang mapan dan politik tidak menyentuh apa yang
khusus dalam peran hukum pada periode-periode semacam itu.17 Lebih dari sekadar
bagaimana hukum membentuk suatu sistem yang mampu memproduksi norma-norma
pelegitimasian yang ada sekarang ini, problemnya itu sendiri adalah bagaimana normanorma tersebut secara radikal ditransformasikan di dalam dan melalui hukum.
Watak paradigmatik hukum yang mencuat dalam masa-masa ini beroperasi
dalam model yang luar biasa dan melahirkan suatu relasi yang konstruktif terhadap
transisi. Ia menstabilisasikan sekaligus men-de-stabilisasikan. Dalam keadaan-keadaan
ini, gambaran distingtif hukum merupakan fungsi mediasinya, sebagaimana ia
mengukuhkan level ambang batas kontinuitas formal sembari mencontohkan
diskontinuitas transformatif. Perluasan yang terhadapnya kontinuitas formal akan
dimantapkan sangat tergantung pada modalitas transformasi sebagaimana dipaparkan di
atas, sembari muatan nilai pergantian normatif akan menjadi sebuah fungsi sejarah,
kultur, dan tradisi politik, termasuk juga keberterimaan masyarakat terhadap inovasi.
Apa sajakah yang dimiliki praktik-praktik hukum transisional secara umum?
Hukum juga mengkonstruksikan sejumlah proses yang beraneka ragam, termasuk
legislasi, ajudikasi, dan pertimbangan-pertimbangan administratif. Tindakan operatif
transisional mencakupi pengumuman penuntutan (indictment) dan keputusan (verdict);
pernyataan soal amnesti, reparasi, dan pengampunan; dan pemberitahuan secara resmi
soal konstitusi dan laporan, karena praktik-praktik transisional berbagai gambaran yang
dikenal sebagai cara untuk mendemonstrasikan secara publik pemahaman kolektif yang
baru tentang kebenaran. Secara historis, proses-proses transisional, entah soal
penghukuman, lustrasi, atau penyelidikan, memiliki watak dan konsep yang serupa. Itu
semua merupakan tindakan transisional yang diambil untuk berbagi pengetahuan publik
yang baru, untuk memanifestasikan perubahan.18 Di sini hukum tampil memerankan
fungsinya pada wilayah pinggiran, sebagaimana ia melakukan pemisahan dari rezim
terdahulu dan melakukan pengintegrasian dengan suksesornya. Hukum transisional
memiliki suatu kualitas “liminal”, kualitas wilayah perbatasan antara dua hal
berseberangan, sebagaimana halnya hukum di antara dua rezim (yang lama dan yang
baru). Sebenarnya, analisis tentang praktik hukum yang cermat menganjurkan bahwa
keefektivitasannya yang tidak lumrah terdapat dalam kemampuan untuk mempengaruhi
Pierre Bourdieu, “The Force of Law: Towards a Sociology of the Juridical Field”, Hastings Law Journal
(1987): 805, 814-840.
17
Lihat Otto Kirchheimer, Political Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends, Westport,
Conn.: Greenwood Press, 1980.
18
Jadi, “penuntutan” (prosecution) secara historis merupakan bentuk “penyelidikan” (investigation). Lihat
edisi kedua, (Oxford English Dictionary) di bawah kata “prosecution” definisi 3. Hal yang sama berlaku
juga untuk “lustration”, yang menurut OED juga sejarah historis dipahami bermakna “to view”
(memandang) atau “to survey” (meninjau). Lihat OED, di bawah kata “lustration”.
10
fungsi pemisahan dan fungsi integrasi – yang semuanya berada di dalam proses yang
kontinu.19
Pada saat yang bersamaan, kedaulatan hukum transisional merupakan prosedurprosedur yang tidak tampak adil atau menarik minat – kekurangan pengadilan dalam
penghukuman biasa, reparasi yang didasarkan pada kendali politik dan ambang batas
(dan sering kali hak milik) temporal yang arbitrer secara legal, dan konstitusi yang tidak
perlu permanen. Apa yang mencirikan secara khusus respon hukum transisional adalah
soal keterbatasnnya, sifatnya yang parsial, yang dihidupkan dalam konstitusi sementara
dan penghindaran hal-hal yang tak diinginkan, yang tergambar pada sanksi dan upaya
reparasinya yang terbatas, dan yang tercermin dalam naratif historis dan ofisial (resmi)
yang terpatah-patah dan terbatas. Hukum transisional adalah di atas segala hal yang
simbolis – suatu santifikasi (pemurnian) sekular dari ritual dan simbol proses politik.20
Kendatipun bentuk-bentuk ritual tindakan operatif dan komunikasi sering dipikirkan
untuk menggambarkan kekhasan karakteristik masyarakat primitif dan untuk
membuatnya memudar dalam era modern,21 penyelidikan yang diambil di sini
menganjurkan sebaliknya, yaitu menawarkan pemahaman yang komprehensif soal
fenomenologi proses politik dan mengundang perbandingan dan evaluasi terhadap
hakikat dan peran ritus dan simbol yang dikandungnya.22 Pola hukum pembuktian yang
dipahami dalam bab-bab sebelumnya merangsang dan membentuk saluran politik,
kendatipun merupakan muara pertemuan dari tradisi historis, hukum, dan politik, di
mana pola-pola tersebut bergantung.23 Namun, apa yang membuat praktik-praktik
transisional ini terpisah dari ritus dan ritual lainnya? Di atas apakah esensi
paradigmatiknya berdasar?
Proses-proses hukum transisional merupakan pengarah seperti tindakan-tindakan
dalam masa transisi karena kemampuannya mengkomunikasikan perbedaan-perbedaan
material secara publik dan otoritatif yang menetapkan pergantian normatif antara rezim
(yang lama dan yang baru). Bahasa hukum menyisipkan suatu tatanan baru dengan
Tentang ritual perayaan, lihat Arnold van Gennep, The Rites of Passage, Chicago: University Press,
1960, yang aslinya dipublikasikan sebagai Les rites de passage, Paris: E. Nourry, 1909 (untuk konsep
tentang proses ini dalam pengembangan individual); Victor W. Turner, The Ritual Process: Structure and
Anti-Strucuter, London: Routledge, 1969 (yang mendiskusikan konsep “liminalitas” dan relevansinya
dengan transformasi individual); Nichola Dirks, “Ritual and Resistence: Subversion as a Social Fact”,
dalam Nicholas Dirks, Geoff Eleyn, dan Sherry B. Ortner (ed.), Culture/Power/History: A Reader in
Contemporary Theory, Princeton: Princeton University Press, 1944, 488. Tentang ritual secara umum,
lihat Catherine M. Bell, Ritual Theory, Ritual Practice, New York: Oxford University Press, 1992.
20
Untuk pembahasan terkait lihat Murray J. Edelman, The Symbolic Uses of Politics, Urbana: University
of Illinois Press, 1964; John Skorupski, Symbol and Theory: A Philosophical Study of Theories of Religion
in Social Anthropology, Cambridge dan New York: Cambridge University Press, 1976; Dan Sperber,
Rethinking Symbolism, Cambridge: Cambridge University Press, 1974.
21
Lihat Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, terj. Thomas Burger,
Cambridge: MIT Press, 1974.
22
Lihat David I. Kertzer, Ritual, Politics, and Power, New Haven: Yale University Press, 1988. Lihat juga
Sean Wilentz (ed.), Rites of Power: Symbolism, Ritual, and Politics Since the Middle Ages, Philadelphia:
University of Pennsylvania Press, 1985.
23
Tentang proses simbolik “evocation” [~ pemanggilan roh], lihat Sperber, Rethinking Symbolism, 143148.
19
11
legitimasi dan otoritas.24 Dalam bentuk simboliknya, jurisprudensi transisional
merekonstruksikan perbedaan politis relevan melalui perubahan dalam hal status,
keanggotaan, dan komunitas.25 Melalui proses-proses ini, apa yang sedang
dikonstruksikan adalah perbedaan politik relevan di dalam rezim yang tidak liberal dan
rezim yang liberal. Perbedaan kritis yang relevan akan menjadi sesuatu yang kontingen,
termaknai, dan diakui sebagai hal yang legitim dalam pandangan warisan masa lalu
masyarakat suksesor yang kemudian muncul.
Dalam transformasi politik modern, adalah melalui praktik-praktik hukum bahwa
masyarakat suksesor membuat perubahan politik liberalisasi, karena, dalam memediasi
kemandekan dan pergantian normatif yang menggambarkan karakter khas transisi,
pengembalian kepada hukum mencakupi dimensi fungsional, konseptual, operatif, dan
simbolik yang penting. Sebagai suatu masalah permulaan, hukum mencontohkan atau
menggambarkan respon rasional liberal terhadap penderitaan dan katastrofe atau
kemalangan: bahwasanya ada, bagaimanapun juga, sesuatu yang harus dibuat. Dalam
masyarakat liberal, alih-alih meninggalkan pengulangan sejarah, harapan akan
perubahan diletakkan mengawang di udara. Bahkan dengan penautannya dengan
perdebatan tentang keadilan transisional, masyarakat suksesor memberikan sinyal
pembayangan yang rasional tentang kemungkinan akan suatu tatanan politis yang lebih
liberal.
Namun demikian, simbolisasi praktik-praktik hukum yang dibahas di sini
mengedepankan sekaligus merangsang rasionalisme yang terdapat pada esensi
kedaulatan hukum yang liberal.26 Dalam apa yang telah ditentukan secara khusus
sebagaimana bentuk praktik-praktik ini yang dibatasi secara paradigmatik, maka
pengembalian kepada simbolisme hukum menawarkan alternatif kunci terhadap responrespon yang keras dari retribusi dan pengganjaran dalam periode perubahan dan
kekacauan politik. Respon hukum transisional bersifat hati-hati dan sengaja, berdasarkan
pertimbangan tertentu, dibatasi pada hal-hal tertentu, dan membatasi dirinya pada halhal tertentu; dalam bentuk transisionalnya, proses-proses hukum yang diritualkan
mendatangkan suatu perubahan yang gradual, perubahan yang terkontrol.27
Pengembalian semata kepada proses hukum supaya meredefinisi status, hak, dan
tanggung jawab dan untuk membuka kran pembatas kekuasaan negara adalah, sampai
pada tahap tertentu, suatu penerapan kedaulatan hukum yang dipadukan dengan sistem
demokratik yang mapan. Itulah bentuk performatif dari tindakan-tindakan yang diambil
dalam negara yang liberal. Sebagaimana halnya dengan pertanyaan tentang keadilan
Lihat Edelman, Symbolic Uses of Politics.
Untuk pembahasan menyangkut semacam ritus tentang “institusi”, lihat Pierre Bourdieu, Language and
Symbolic Power, Cambridge: Harvard University Press, 1991.
26
Tentang “dimensi kognitif” lihat Lukes, “Political Ritual and Social Integration”, Sociology 9 (1975):
289. Lihat Skorupski, Symbolic and Theory; Kertzer, Ritual, Politics, and Power; Sperber, Rethinking
Symbolism.
27
Lihat Judith Shklar, Legalism: Law, Morals, and Political Trials, Cambridge: Harvard University Press,
1986, dari perspektif teori politik.; Mary Duglas, Purity and Danger: Analysis of The Concepts of
Pollution and Taboo, London and New York: Ark Paperbacks, 1984, 96 – dari perspektif antropologis.
24
25
12
transisional adalah “dikerjakan melalui”, masyarakat mulai menjalankan tanda-tanda dan
ritus dari suatu tatanan liberal yang sedang berfungsi.
Dalam hal ini, hukum transisional melampaui simbolik “semata” untuk menjadi
pengarah ritus saluran politik modern. Tindakan-tindakan ritual mendatangkan adanya
saluran di antara dua tatanan di sini, dari rezim predesesor (pendahulu) dan rezim
suksesor.28 Dalam transisi kontemporer, yang dicirikan secara khusus oleh hakikatnya
yang penuh kedamaian dan oleh kejadiannya yang selalu di dalam bingkai hukum,
proses-proses hukum menjalankan “pengenyahan” yang kritis, inversi predikat yang
menjustifikasi rezim yang tengah berkuasa, melalui proses publik yang memproduksi
konstitutif pengetahuan kolektif dari pergantian normatif. Jadi, proses-proses hukum
secara simultan mengingkari aspek ideologi rezim predesesor dan menjustifikasi
perubahan ideologis yang menetapkan transformasi yang membebaskan. Sembari dalam
pemahaman yang sedang mengemuka, hubungan antara hukum dan politik dipandang
sebagai sesuatu yang terkandung dalam dukungan terhadap legalitas dan stabilitas
konvensional, namun kedua hal tersebut (legalitas dan stabilitas) tidak dapat memediasi
pergantian normatif. Oleh karenanya, penekanan pada satu sisi terhadap fungsi
stabilisasi hukum dalam periode ketidakstabilan adalah suatu kesalahan,29 karena transisi
memunculkan problem tentang bagaimana tatanan hukum – umumnya dipandang
sebagai sistem yang tertutup dan sah-dari-dirinya-sendiri30 – memungkinkan perubahan
normatif untuk dilakukan. Dari sini, teorisasi yang mengemuka sekarang ini sering kali
mengkonseptualisasikan transisi sebagai hal yang diprediksikan pada perubahan
mendasar dalam aturan sebagaimana teorisasi menyangkut konstitusionalisme
transisional yang telah dibahas dalam bab 6. Namun, terkadang transisi terjadi tanpa
perubahan meta-level semacam itu. Sebenarnya, tantangannya adalah bagaimana hukum
memantapkan dan sekaligus, pada waktu yang sama, melampaui gagasan konvensional
tentang hukum sebagai gagasan yang stabil, bahkan “keras kepala”, untuk mengkonstruk
perubahan normatif.
Perubahan di dalam dan melalui sistem hukum bergantung pada suatu
reinterpretasi terhadap justifikasi relevan yang menjadi dasar dari tatanan normatif yang
berlaku ataukah bergantung pada suatu pengembalian pada sumber independen dari
norma-norma hukum alternatif. Alternatif pertama bersesuaian dengan suara familiar
praktisi hukum tentang apakah bersandar pada fakta ataukah bersandar pada hukum,
sementara yang disebut kemudian itu – introduksi tentang sumber normatif otonom –
dipengaruhi melalui perubahan dalam pengakuan terhadap aturan yang berkenaan
dengan sumber-sumber hukum yang valid.31 Pertanyaan tentang institusi mana yang
Pierre Bourdieu, “Symbolic Power”, dalam Dennis Gleeson (ed.), Identity and Structure: Issues in the
Sociology of Education, Driffeld, Eng. Nafferton Books, 1977, 112-119; lihat Lukes, “Political Ritual”,
302-305.
29
Lihat Kirchheimer, Political Justice, 430 (perjuangan tanpa keadilan politik hukum akan menjadi
“kurang tertata”).
30
Lihat Gunther Teubner, Law as an Autopoietic System, Cambridge, Mass. Dan Oxford: Blackwell,
1993; Niklas Luhmann, “Law as a Social System”, 83 Northwestern Law Review83 (1989); Niklas
Luhmann, Essay on Self-Reference, New York: Columbia University Press, 1990.
31
Lihat H.L.A. Hart, The Concept of Law, edisi kedua, Oxford-Clarendon Press 1994.
28
13
terbaik yang menyandarkan dirinya pada pemajuan perubahan normatif hukum telah
menjadi subjek perdebatan substansial di dalam literatur transisi.32
Namun,
sebagaimana dianjurkan oleh bahasan kita dalam keseluruhan isi buku ini, tak ada
jawaban yang benar, karena hasil dari pilihan ini bersifat kontingen atau tergantung pada
situasi-situasi politik soal kompetensi dan legitimasi yang menjembatani kedua rezim
yaitu rezim predesesor dan rezim suksesor. Sering kali, badan legislatif yang
sebelumnya berada di bawah aturan yang menekan menjadi bersifat kompromis, yang
membuka jalan bagi pengadilan konstitusional yang diciptakan baru dan membuka jalan
bagi para pelaku judisiari untuk menginkorporasikan norma-norma hak asasi manusia
internasional.33 Pembalikan judisial kepada hukum hak asasi manusia internasional
memungkinkan preservasi atau perlindungan dari masalah kontinuitas dan bahkan
penggerakan lebih lanjut suatu prospektivitas konstruktif, dengan cara menerima tujuantujuan transformasi dan perubahan-perubahan normatif di dalam sistem hukum yang
mapan. Kekuatan normatif yang signifikan dari hukum hak asasi manusia dalam masamasa transisi mendapatkan dari potensinya yang luar biasa kemampuan untuk
memediasi bagian teoretis yang diperkirakan dari positivisme dan hukum kodrat, jadi
yang melampau hubungan konvensional hukum terhadap politik.
Akan tetapi, yang lebih umum adalah perubahan normatif tanpa perubahan dalam
aturan-aturan yang telah diakui, suatu strategi yang bergantung pada suatu reinterpretasi
terhadap dasar-dasar normatif yang merasionalisasikan definisi yang telah ada tentang
status, hak, dan kewajiban. Proses-proses transformatif ini, hingga pada taraf tertentu,
biasanya memiliki latar belakang, yang memainkan suatu peran yang tengah
berlangsung di dalam sistem hukum kita. Dalam kedaulatan hukum yang mapan,
perbedaan kategori hukum dan aturan berkaitan dengan standar yang beragam dari
pengetahuan dan penalaran yang menjustifikasi definisi dan perubahan dalam status,
kewajiban, dan hak-hak di bawah hukum. Namun, sebagaiman telah kita lihat,
paradigma transisional keluar dari prinsip epistemologis yang dipadukan dengan
kedaulatan hukum yang konvensional dengan menyusun tingkatan standar-standar
pembuktian dan proses-proses penjustifikasian terhadap kategori-kategori hukum –
sebuah de-diferensiasi di dalam hukum.34 Gambaran paradigmatik hukum transisional
adalah bahwa hukum tersebut tampak jelas memajukan rekonstruksi pengetahuan
publik, yang memahami afinitas operatif dan kontinuitas yang membuat pemisahan dari,
dan pengintegrasian dari, pengubahan identitas politik.
Lihat, msalnya, Ackerman, Future of Liberal Revolution. Untuk pambahasan di luar konteks
transisional lihat Jeremy Waldron, “Dirty Little Secret”, Columbia Law Review 98 (1998): 510, 518-522;
John Ely, Democracy and Distrust, A Theory of Judicial Review, Cambridge dan London: Harvard
University Press, 1980.
33
Sumber yang terjadi kembali dari norma-norma luaran semacam itu adalah hukum hak asasi manusia
internasional. Lihat, misalnya, Germany Constitutional Court Decision (24 Oktober, 1996), BverfGE,
A2.2 BVR 1851/94; 2BvR 1853/94; 2 BvR 1875/94; 2BvR 1852/94, dicetak ulang dalam Juristenzeitung
(1977): 142.
34
Untuk poin terkait berkenaan dengan pergantian, lihat Jacques Derrida, “Force of Law: The Mystical
Foundation of Authority”, Cardozo Law Review 11 (1990): 919. Tentang de-diferensiasi ritual, lihat René
Girard, Violence and the Sacred, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1977, 300-301, 310-341.
32
14
Membangun suatu pengetahuan awal bersama yang berkenaan dengan warisan
masa lalu merupakan suatu hal dari gaya bahasa atau gaya wicara dalam literatur dan
diskursus tentang transisi.35 Akan tetapi, makna sebenarnya dari “kebenaran” dan
hubungannya dengan transisi, analisis yang diambil di sini menganjurkan, tidak dibagibagikan secara universal tetapi, alih-alih, bersifat kontingen dan dinamis. Proses-proses
hukum transisional paradigmatik bersandar pada perubahan yang benar-benar terpisah
dalam pengetahuan publik yang relevan bagi tindakan transformatif operatifnya.
Perbuahan dalam justifikasi publik yang dimiliki bersama yang mendasari pembuatan
keputusan politik dan perilaku mengungkapkan sentralitas dari inovasi interpretatif di
dalam konstruksi transisi.36 Apa yang relevan secara politik terhadap transformasi adalah
ditentukan semata-mata oleh konteks transisional dan, khususnya, oleh warisan
penggantian dan suksesi terhadap rezim kebenaran predesesor.
Proses-proses hukum menawarkan cara-cara yang mapan tentang mengubah
penalaran publik dalam tatanan politik, karena proses-proses itu sendiri didasarkan pada
representasi otoritatif pengetahuan publik. Proses-proses hukum transisional dengan
demikian berkontribusi pada perubahan-perubahan epistemologis dan interpretatif publik
yang turut memberi kontribusi pada diterimanya transformasi. Pada saat yang
bersamaan, proses-proses hukum transisional secara jelas dan energik
mendemonstrasikan ketergantungan yang berkenaan dengan pengetahuan apa yang akan
memajukan konstruksi pergantian normatif yang menyokong perubahan rezim. Namun
demikian, dalam hal yang diperiksa dan dibahas di sini, kekuatan normatif potensial dari
perubahan dalam pengetahuan publik bergantung pada tantangan-tantangan kritis
terhadap penentuan kebijakan dan rasionalisasinya terhadap aturan predesesor. Oleh
karena itu, “kebenaran-kebenaran” apakah yang ada di dalam masa transisi sering kali
merupakan hal yang khusus dan tersendiri dan tetap merupakan hal yang signifikansi
atau maknanya bersifat disproporsional. Sebagai contoh, identifikasi murni terhadap
status korban sebagai seorang warga sipil dan bukannya sebagai seorang prajurit perang
atau kombatan bisa meruntuhkan sebuah rezim (sekurang-kurangnya pada tataran
normatif) dengan melemahkan makna ideologis kunci dari keamanan nasional negara
yang bertanggung jawab terhadap penindasan masa lalu.37 Sebenarnya, reinterpretasi itu
sendiri memindahkan makna pada pemerintahan sebelumnya dan menawarkan sebuah
dasar yang baru bagi pemberlakuan kembali (reinstatement) kedaulatan hukum.
Sebuah Teori tentang Keadilan Transisional
Lihat, misalnya, Timothy Garton Ash, “The Truth about Dictatorship”, New York Review Books, 19
February 1998, hlm. 35; Priscilla Hayner, “Fifteen Truth Commissions 1974-1994; A Comparative
Study”, Human Righst Quarterly 16 (1994): 600.
36
Untuk pembahasan yang mengenalkan dan mencakupkan poin terkait berkenaan dengan hubungan
kebenaran dengan kekuasaan politik, lihat Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and
Other Writings, 1972-1977, terj. Collin Gordon et al., New York: Pantheon Books, 1980, 109-133;
Charles Taylor, “Foucault on Freedom and Truth”, Political Theory12, No. 2 (1984): 152-183.
37
Lihat, misalnya, Nunca Más.
35
15
Sebuah paradigma tentang jurisprudensi transisional secara khusus menggambarkan
proses perubahan politik. Paradigma transisional yang dikemukakan di sini berupaya
mengklarifikasi relasi hukum dengan pengembangan politik dalam periode-periode
perubahan yang radikal, sebagaimana proses-proses yang ditunjukkannya yang
mengembalikan suatu masyarakat ke keadaan semula berdasarkan basis konsep
liberalisasi politik. Persoalannya, apakah pengadilan, konstitusi, reparasi, pengujian
administratif, penghukuman, atau penyelidikan historis, pertimbangan-pertimbangan
hukum yang dikedepankan dalam periode-periode transisi politik merupakan hal yang
emblematik atau simbolik dari perubahan normatif; karena semuanya itu merupakan
tindakan operatif yang mengarah pada pernyataan secara resmi dan publik tentang
pengakuan dan pengukuhan suatu tatanan politik yang baru.
Perspektif komparatif dan historis yang diadopsi di sini menganjurkan bahwa apa
yang dipandang benar dan adil dalam masa-masa transisional bersifat kontingen secara
politis tetapi tidak dalam pengertian arbitrer. Kendatipun ada klaim para realis bahwa
fenomenologi transisional tidak sekadar merupakan produk dari situasi politiknya yang
permanen, namun, sebaliknya, ia merupakan sebuah fungsi situasi politik kontemporer
dan warisan sejarah ketidakadilan. Jadi, konsep keadilan transisional yang
dikembangkan di sini mengandung makna suatu rekonseptualisasi tentang teorisasi yang
berlangsung tentang hukum dan politik dan, juga, penekanan teori hukum kritis pada
peran progresif untuk kedaulatan hukum yang sepenuhnya terjerat dalam politik.38
Untuk kontribusi khusus dan khas dari hukum transisional terhadap konstruksi proses
perubahan politik adalah bahwa konstruksi tersebut dibatasi oleh dan sekaligus
merupakan pelampauan politik. Sebagaimana hendak diprediksikan oleh sebuah teori
kritis, hukum memainkan suatu prean konstruktif secara eksplisit, peran yang
diritualisasikan oleh penyusunan perubahan interpretatif yang diterima atau dipahami
sebagai transisi politik. Akan tetapi, pencaplokan politis terhadap bahasa dan proses
keadilan menandakan simbol dan ritual perubahan yang legitim dan terukur. Kontribusi
khusus hukum transisional terletak pada gabungan prosesnya yang diakui, proses yang
terukur terhadap legitimasi dan perubahan politik yang gradual.
Paradigma tentang jurisprudensi transisional yang sementara, yang dipolitisir
secara berlebihan (hyperpoliticized) dihubungkan pada konsep tentang keadilan nonideal yang tidak sempurna (imperfect) dan tidak menyeluruh (partial). Apa yang jujur
dan adil dalam situasi politik yang tidak biasa ditentukan tidak dari suatu konsep
arkimedean yang ideal [mengikuti nama matematikawan kesohor dari Yunani,
Archimedes] tetapi dari posisi transisional itu sendiri. Posisi menguntungkan ini
memiliki hasil-hasil tertentu yang untuknya prinsip-prinsip keadilan membimbing masamasa perubahan politik. Apa yang dipandang jujur dan adil selama masa-masa inovasi
politik radikal tidak perlu sampai pada pertimbangan atau pemikiran di bawah kondisi
ideal dan prosedur reguler.39 Bahkan dalam masa-masa liberalisasi, proses-proses
deliberatif (pertimbangan dan perenungan) sering kali dipotong, dan konsensus elektoral
Lihat Roberto Mangabeira Unger, Social Theory: Its Situation and Its Task, A Critical Introduction to
Politics, a Work in Constructivist Social Theory, Cambridge: Cambridge University Press, 1987.
39
Lihat Rawls, Political Liberalism (teorisasi berkenaan dengan situasi-situasi non-transisional).
38
16
atau konstitusional yang mengatur pembuatan keputusan politik menjadi lemah dan
berumur pendek. Ketika mengalami kekurangan dalam proses representatif yang utuh,
legitimasi demokratik dari keputusan transisional membuatnya tergantung pada proses
persetujuan selanjutnya. Oleh karena itu, konsep keadilan transisional yang ditekankan
lebih lanjut di sini memiliki implikasi terhadap rekonseptualisasi teori pembangunan
demokratik, seperti konstruksi hukum yang mencirikan secara khas masa-masa ini
secara gradual menggantikan hamparan pandangan politik dan serbuan kesepakatan
mempengaruhi pemahaman politik selanjutnya.
Sebenarnya, dengan memodifikasi kondisi pembuatan keputusan dan konsensus,
konstruksi hukum transisional melahirkan sedikit kesamaan terhadap teori demokrasi
yang diidealkan.40 Imperatif diskontinuitas normatif sering kali mengalahkan
perlindungan dari nilai-nilai lain dengan harapan bahwa apa pun yang keluar dari
legalitas konvensional, persyaratan ini akan membayar secara penuh dalam konsolidasi
demokratik. Setiap upaya selalu mengandung risiko, seperti argumen untuk pembatasan
legalitas konvensional sering kali bersifat pratekstual alias mengelabui. Hanya dalam
pusaran waktu sajalah akan tersingkap apakah, dan sampai pada tahap mana, kompromikompromi transisional yang dibahas dalam buku ini dijustifikasi dalam konsolidasi
demokrasi liberal.
Pembatasan otoritatif tentang apakah kejujuran dan keadilan dalam momenmomen transisi tidak terjadi dalam suatu ruang hampa melainkan dilesatkan menembus
layar belakang panggung warisan sejarah ketidakadilan. Pencarian keadilan ditempatkan
dalam kondisi politik transisi. Dalam konteks inilah, makna sesungguhnya dari
kedaulatan hukum bersifat kontingen secara historis dan politis, dan muatannya dijejali
dengan pemahaman-diri masyarakat tentang hakikat dan sumber pemaksaan dan
penindasan di masa lampaunya. Warisan ini merupakan semacam papan loncat
(springboard) bagi imajinasi masyarakat tentang keadilan transisional. Melintasi aneka
kebudayaan, makna keadilan transisional disusupi dengan dimensi restoratif dan
transformatif.
Dari perspektif ini, bahkan pengeluaran prosedural dari nilai-nilai internal dalam
legalitas konvensional dan teori-teori keadilan dapat diperjelas. Jadi, sebagai contoh,
peradilan pidana transisional tidak dijustifikasikan dalam bahasa akuntabilitas individual
dan retribusi tetapi, malahan, berisikan rasionalisasi politik yang eksplisit. Sama halnya
juga, reparasi transisional memperdamaikan tujuan-tujuan korektif ideal dengan sasaransasaran distributif atau sasaran lainnya yang berkaitan dengan urgensitas dari momenmomen tersebut. Fenomena transisional mencerminkan suatu keseimbangan dan
akomodasi teori-teori ideal hukum dan situasi-situasi politik transisi. Mengakui hal ini
membawa konsekuensi definisional yang signifikan yang mengizinkan suatu pemikiran
positif yang lebih komprehensif dari periode-periode ini, termasuk juga evaluasi
normatif yang lebih menarik minat dan kritik tentang fenomenologi hukum transisional.
Rekonsepsi yang dikedepankan di sini mencirikan secara khas hukum transisional
berkenaan dengan keadilan yang tidak sempurna (imperfect) dan tidak utuh-menyeluruh
(partial) tetapi hukum yang tepatnya untuk alasan ini menyediakan ruang kritis
40
Lihat ibid.
17
berkaitan dengan situasi politik yang tidak biasa yang menentukan konteks keadilan
dalam masa-masa tersebut. Ketersediaan kosa kata tentang jurisprudensi transisional dan
konsepsi tentang keadilan transisional bisa juga menerangi konsepsi tentang keadilan
yang dipadukan dengan situasi-situasi non-transisional.
Keadilan Transisional dan Identitas Liberal
Fenomena pencarian keadilan yang dibahas di sini terikat secara erat pada pembentukan
identitas politik liberal. Sebagaimana dianjurkan dalam bahasan kita pada bagian awal di
depan, pembalikan kepada legalisme, kendatipun kontingen, adalah simbol khas dari
negara liberal, dengan keadilan transisional yang merekonstruksi identitas politik di atas
basis juridis dengan menggunakan diskursus hak dan tanggung jawab. Lebih lanjut,
sembari muncul menjadi dukungan yang semakin memudar terhadap suatu kedaulatan
hukum yang ideal dalam transisi, bagaimanapun juga dalam negara liberal itulah
terdapat pemahaman yang semakin meningkat secara intens terhadap kepentingan
publik, yang merupakan bukti terhadap spektrum respon transisional paradigmatik,
termasuk pembuatan konstitusi, amnesti, rekonsiliasi, dan pemaafan.41
Tujuan respon-respon ini terhadap visi tentang keadilan yang fragmentaris tetapi
terbagi-bagi yaitu bahwa, di atas segalanya, perlu ada perbaikan atau upaya korektif.
Apa yang merupakan capaian paling tinggi adalah tuntutan yang visibel akan upaya
perbaikan melalui hukum (remedy), pengembalian, pemulihan menyeluruh, penyatuan
politik – suatu dorongan yang menyatupadukan nilai-nilai eksternal terhadap nilai-nilai
dari teori ideal tentang keadilan. Sebagai contoh, konstitusionalisme transisional
memahami tidak hanya dengan berorientasi ke depan semata melainkan juga dengan
menengok ke belakang dalam hal dimensi-dimensi remedial; ia beroperasi dalam pola
korektif, yang mengkonstruksikan suatu “pembalikan” normatif (jika tidak disebut
historis) kepada identitas politik liberal suatu negara. Sama halnya juga, peradilan
pidana transisional berjalan jauh melampaui soal penghukuman terhadap pelaku
individual untuk memenuhi tujuan-tujuan korektif prospektif suatu masyarakat. Sampai
pada taraf bahwa keadilan transisional berimplikasi pada pembalikan pada makna
korektif, keadilan transisional itu menawarkan identitas suksesor alternatif yang berpusat
pada kesatuan politik. Keadilan transisional menawarkan sebuah cara untuk
merekonstitusikan atau menetapkan ulang semangat kolektif – yang mengatasi
keterpilahan berdasarkan ras, etnis, dan agama – yang didasarkan pada identitas politik
yang muncul dari warisan khas masyarakat akan kegentaran dan ketidakadilan. Sembari
hal ini perlu didasarkan pada pembangkitan pemahaman diri kritis, namun keadilan
transisional berdiri tegak di atas diskursus juridis tentang hak dan tanggung jawab yang
menawarkan baik pandangan normatif transenden maupun suatu konsep aksi pragmatis.
Fenomena hukum transisional yang dibahas dalam keseluruhan buku ini
menganjurkan bahwa makna kebebasan, keamanan, dan kedaulatan hukum berbedabeda antar-negara dan kultur, karena, dalam pencerminan respon-responnya terhadap
41
Lihat, misalnya, Ackerman, Future of Liberal Revolution
18
manifestasi khusus aturan yang represif, makna-makna tersebut juga mengindikasikan
bahwa kedaulatan hukum mengandung arti sesuatu yang lebih dari sekadar aturan nonarbitrer dan mendukung sesuatu yang reguler, umumnya prosedur-prosedur yang bisa
diterapkan. Apa yang membedakan secara khas jurisprudensi transisional kontemporer
adalah bahwa konstruksi kedaulatan hukumnya merespon penganiayaan sistematik di
bawah imprimatur legal atau pemegang kewenangan hukum. Yang mendasari fenomena
hukum transisional kontemporer adalah suatu konsepsi tentang ketidakadilan negara
sebagai kebijakan penindasan yang sistematik. Ketika negara menindas dan menyiksa
secara sistematis para warganya berdasarkan perbedaan ras, etnis, agama, keyakinan
politik, maka penganiayaan tersebut tidak semata suatu pengingkaran yang arbitrer
terhadap kedaulatan hukum. Oleh karena itu, hukum transisional kontemporer merespon
jenis aturan khas ini, yaitu aturan yang menindas. Respon transisional terhadap
penganiayaan sistemik di bawah bendera hukum memperlihatkan secara nyata suatu
penghancuran performatif terhadap perbuatan-perbuatan salah sebelumnya yang
dilakukan di dalam sistem hukum.
Respon-respon transisional, seperti pengadilan konstitusional yang baru,42
konstitusi, dan berbagai pertimbangan dan langkah lainnya, membuktikan adanya
penganiayaan politis yang menyemati paruh kedua abad kedua puluh.43 Proses-proses
hukum transisional dalam hal penyelidikan dirancang secara baik untuk menegakkan
pola-pola dan sistematika dalam kebijakan penganiayaan yang dilakukan negara;
sesungguhnya, cakupan utuh dari kebijakan yang menindas dan menyengsarakan itu
hanyalah manifes dalam respon-respon hukum. Apakah penganiayaan semacam itu
dilakukan di atas dasar pertimbangan rasial, etnisitas, nasionalitas, agama, atau ideologi,
hukum transisional mencerap dari dan memberi respon terhadap implikasi politik represi
yang merupakan kebijakan negara.44 Respon-respon transisional yang berulang-ulang
yang mengarahkan perhatiannya pada penganiayaan sistemik berupaya menampik
hierarki askriptif yang terkait dengan rezim lama. Distingsi soal “teman/musuh” yang
disepakati rezim legal, sebagaimana dibahas dan dianjurkan dalam keseluruhan isi buku
ini, merupakan wabah endemik yang tak bisa hilang dari rezim otoritarian. Responrespon ini mendasari penampikan terhadap logika penganiayaan dari rezim lama dan,
dengan demikian, penolakan terhadap kekuasaannya.45
Jurisprudensi transisional menyingkapkan basis bagi nilai-nilai demokrasi yang
operatif di dalam masyarakat pada waktu perubahan politik.46 Siklus keadilan
42
Lihat bab 6. Lihat juga Ruti Teitel, “Post-Communist Constitutionalism: A Transitional Perpective”,
Columbia Human Rights Law Review 26 (1994): 167.
43
Lihat Ruti Teitel, “Human Rights Genealogy”, Fordham Law Review 66 (1967): 301
44
Tentang pandangan klasik, lihat Leo Strauss, On Tyranny, ed. Victor Gourevitch dan Michael S. Roth,
edisi revisi, New York: Free Press, 1991.
45
Lihat Schmitt, The Concept of the Political, 26-29
46
Pandangan ini membagi-bagi beberapa afinitas tertentu dengan teorisasi politik Jürgen Habermas,
Sheldon Wolin, Edmond Cahn, Judith Shklar, dan yang lainnya yang memberikan penekanan pada
liberalisme yang ditempatkan dalam warisan ketakutan dan ketidakadilan. Lihat Jürgen Habermas, “On
the Public Use of History”, dalam The New Conservatism: Cultural Criticism and the Historians’ Debate,
ed. dan terj. Shierry Weber Nicholsen, Cambridge: MIT Press, 1989, 229-240; Judith Shklar, “The
Liberalism of Fear”, dalam Nancy L. Rosenblum (ed.), Liberalism and The Moral Life, Cambridge:
19
transisional mengilustrasikan suatu kaitan antara fenomena hukum ini dan konstruksi
liberalisasi. Secara historis, dalam transisi dari bentuk monarkis ke rezim republikan,
ritual yang paling kentara dari proses perubahan politik adalah pengadilan raja-raja –
suatu ritual yang menyimbolkan penundukkan raja terhadap keinginan rakyat dan
menandakan agungnya kedaulatan rakyat.47 Keadilan suksesor abad kedua-puluh
merekonstrusikan lebih lanjut relasi individual dengan negara: jadi, prinsip-prinsip
generatif pengadilan Nuremberg pasca-perang tentang tanggung jawab individual
menekankan peran individual sebagai subjek hukum internasional yang berdaulat. Hal
yang sama adalah benar juga menyangkut perubahan konstitusional dari masa di mana
hak-hak individual terlindungi.48
Dalam fenomena transisional kontemporer, visi demokratik pasca-perang
sekarang ini sedang dalam proses digantikan dengan pemahaman yang lebih kompleks
dan mengalir tentang kedaulatan dan tanggung jawab yang menengahi antara makhluk
individual maupun kolektif, tatanan nasional dan internasional. Relasi dinamis yang
meningkat antara individu dan negara dalam kawasan publik global yang berubah cepat
mempengaruhi pemahaman personal dan tanggung jawab kolektif, yang dengan
demikian membawa perubahan terkait dalam konsepsi tentang demokrasi. Di sanalah
terkandung ekspansi tanggung jawab individual dan tanggung jawab negara sebagai
sebuah masalah teoretis dan, dengan demikian, berganti dalam posisi kewenangan dan
agensi, dengan hukum transisional yang memediasi pilahan individual/kolektif untuk
mencapai tindakan privat secara murah meriah yang bertentangan dengan dasar-dasar
pertimbangan diambilnya kebijakan negara.49
Jurisdiksi hukum yang diperluas dan perubahan dalam kedaulatan membantu
mengkonstruk pergantian otoritatif yang menetapkan transisi politik. Tetapi perubahan
semacam itu sering kali juga menempatkan kedaulatan, jurisdiksi, dan tanggung jawab
itu sendiri dalam perubahan yang tiada henti, yang bergantung pada karakter perilaku
negara, sebagai contoh, kepatuhannya terhadap atau pengingkarannya dari kewajiban di
bawah hukum internasional. Tanpa mempedulikan liabilitas atau tanggung jawab hukum
yang diperluas sebagai masalah teoretis, penerapan prinsip-prinsip ini bersifat jarang dan
umumnya dibatasi pada kasus-kasus yang melibatkan prinsip-prinsip pembatasan
tambahan, seperti sebuah pola yang ditunjukkan dari penganiayaan.50 Namun demikian,
dengan mereinterpretasikan kewajiban negara terhadap warganya melalui pergantian
kritis terhadap kedaulatan dan jurisdiksi, praktik-praktik transisional kontemporer secara
Harvard University Press, 1989, 21; Edmond N. Cahn, The Sense of Injustice: An Anthropocentric View of
Law, New York: New York University Press, 1949.
47
Lihat Michael Walzer, Regicide and Revolution, terj. Marian Rothstein, New York: Columbia
University Press, 1974 (yang membahas soal pengadilan terhadap Louis XVI).
48
Lihat Louis Henkin, The Age of Rights, New York: Columbia University Press,1990.
49
Lihat Prosecutor v Tadić, Kasus No. IT-94-I-AR72, Keputusan berdasarkan Mosi Pembela (Pihak
Terdakwa) untuk Banding Interlokutoris (yang dikeluarkan dan berkekuatan hukum sementara) tentang
Jurisdiksi (Sidang Banding, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia
50
Untuk pembahasan tentang pengaruh globalisasi terhadap penyebaban dan agensi, lihat Samuel Sheffler,
“Individual Responsibility in a Global Age”, dalam Ellen Frankel Paul, Fred D. Miller, dan Jeffrey Paul
(ed.), Contemporary Political and Social Philosphy, Cambridge: Cambridge University Press, 1995.
20
potensial meningkatkan energi jaminan hak asasi manusia yang ditampilkan pertama
kali secara samar-samar dalam era pasca-perang.51
Rekonseptualisasi gagasan-gagasan utama yang berkenaan dengan relasi di
antara individu dan negara memegang hasil-hasil penting bagi pemahaman akan diri
juga. Dalam pemajuan jurisprudensi transisional tentang pergantian normatif, peran
hukum sering kali secara umum bersifat simbolik. Namun, pada tataran operatif,
keadilan transisional mempengaruhi individu: Apakah melalui proses-proses pengadilan,
reparasi, konstitusi, administratif, atau melalui langkah-langkah lainnya, legalitas
transisional merekonstruksikan aturan dan syarat-syarat keanggotaan politis,
representasi, dan partisipasi yang adalah hal yang mendasar bagi tempat individu dalam
komunitas. Liberalisasi perubahan normatif bergantung pada redefinisi pemahaman
status individual, hak, dan kewajiban, juga pembatasan parameter kekuasaan negara.
Efek permulaan dari tindakan pencarian-keadilan rezim suksesor terdapat pada level
tindakan individual, yang pada gilirannya menggantikan identitas politik negara dan
sekurang-kurangnya secara potensial merancang suatu pemahaman liberal yang baru.
Pengaruh fenomena keadilan transisional terhadap pembangunan identitas politik
negara dalam masa-masa disturbansi (yang penuh gejolak perubahan) membangkitkan
sebuah pertanyaan terkait yang berkenaan dengan masa transisional versus masa nontransisional. Kenyataannya, pertanyaan soal hubungan keadilan transisional dengan
masa-masa biasa memiliki dua dimensi. Dimensi pertama adalah pertanyaan yang
dengannya buku ini mulai ditulis: Sampai pada tahap manakah teori-teori ideal tentang
keadilan relevan dengan masa-masa transisi? Buku ini menjawab bahwa teori ideal
semata-mata bukanlah tongkat pengukur yang relevan yang dengannya kita bisa
menimbang-nimbang tindakan hukum dalam masa-masa transisi tersebut. Perspektif
komparatif dan historis yang dikedepankan di sini menuntut suatu pemahaman akan
keadilan non-ideal, keadilan yang “dikompromikan” yang secara bersamaan diwarnai
oleh dan sekaligus mengukuhkan kondisi-kondisi yang di bawahnyalah keadilan seperti
itu dipilih.
Pengakuan terhadap konsep keadilan ini memiliki hasil-hasil tertentu bagi
dimensi kedua pertanyaan kita: Sampai pada tahap manakah semestinya keadilan
transisional itu dimanfaatkan pada masa-masa biasa? Fenomena yang diperiksa di sini
terjadi secara umum di bawah rezim suksesor pertama pasca-penindasan, yang responresponnya dinyatakan secara temporal juga dengan modalitas perubahan transformatif
yang telah dibahas di atas. Menjadi perlulah untuk membuka pagar periode transisi yang
dikonstruksikan dengan tindakan paradigmatik jurisprudensi yang berlaku sebagai ritual
proses perubahan politik. Namun, tanpa mempedulikan lorong waktu, kejadian-kejadian
yang menyela, perubahan politik, problem keadilan transisional, ketika semuanya itu
ditinggalkan tanpa terpecahkan, tidak begitu saja menghilang.52 Pencarian keadilan
transisional tetap berlangsung, tidak bisa mengikuti pemahaman konvensional yang
Lihat, misalnya, Velásquez-Rodriíguez Compensation Judgement, Inter-Am. Ct. H.R., Ser. C, No. 4
(1989).
52
Tentang pentingnya soal waktu, lihat Jeremy Waldron, “Superseding Historic Injusticeaa”, Ethics 103
(1992): 4.
51
21
berkenaan dengan respon-respon terhadap kesalahan-kesalahan, yang umumnya
dipikirkan mengabur bersamaan dengan berlalunya waktu. Bertahannya problemproblem hak dan asumsi-asumsi suksesor tentang kewajiban terhadap pengingkaran
masa lalu dari kedaulatan hukum sering kali – tak peduli adanya selang waktu –
mengaburkan pemahaman yang di dalamnya tindakan-tindakan ini merupakan subjeksubjek yang sangat dihargai bagi keadilan transisional. Namun, ketahanan klaim-klaim
tersebut selama jangka waktu yang lama, yaitu klaim tentang kesalahan masa lalu, sekali
lagi mengungkapkan independensi pertanyaan-pertanyaan ini dari penantian biasa
terhadap perubahan-perubahan dalam kekuasaan politik. Keadilan transisional
menganjurkan bahwa asumsi tanggung jawab negara yang tengah dibebankan sekarang
ini bagi klaim yang dikaitkan dengan masa lalu dijalankan secara bersama-sama dengan
identitas politik yang stabil, yaitu, merealisasikan lebih dari sekadar keadilan parsial
sering kali menantikan proses berlalunya waktu.53 Kendatipun ketahanan dari klaim
yang berkaitan dengan masa lalu juga memunculkan konflik yang potensial,
kemungkinan memposisikan klaim-klaim tradisionalis berseberangan dengan yang lain
merupakan nilai-nilai liberal yang lebih berorientasi ke depan.
Akan tetapi, penyelimutan atau perlindungan terhadap identitas, memegang suatu
tuntutan normatif dan juga tuntutan fungsional yang tak bisa disepelekan; bagaimanapun
juga, indentitas politik-lah yang menekankan kemungkinan kesatuan dan keadilan
korektif – suatu visi penebusan. Sama halnya juga, keadilan transisional menawarkan
suatu cara yang terkontrol untuk melakukan pembaruan, cara yang lebih bisa terukur
daripada perubahan-perubahan yang dituntun sendirian berdasarkan sumber-sumber
normatif lain, seperti tuntunan moral.54 Sebenarnya, resolusi transisional muncul
mengatasi atau mencakupi, sekurang-kurangnya untuk sementara, nilai-nilai transenden
yang warnai aspek norma hak asasi manusia yang mampu memediasi batas-batas politik
transisional.55
Kendati jurisprudensi transisional menduduki paradigma yang bisa dikenal,
jurisprudensi itulah yang ada dengan afinitasnya terhadap hukum dalam situasi-situasi
non-transisional. Sebenarnya, seseorang bisa saja memikirkan jurisprudensi transisional
sebagai pencontohan yang lebih baik yang menghidupkan konflik dan sebaliknya
mengkompromikan sesuatu yang laten di dalam hukum dan, khususnya, menerangi
hubungan hukum dengan politik. Satu tempat yang dilihat di sini terdapat dalam
hubungan antara jurisprudensi transisional dan hukum hak asasi manusia, karena
terbukti bahwa pemberlakuan paling tegas hukum hak asasi manusia terjadi dalam
periode-periode transisional. Kendati norma-norma hak asasi manusia secara umum
Lihat secara umum Ronald Dworkin, Law’s Empire, Cambridge: Belknap Press, 1986, 168-169.
Lihat juga Jürgen Habermas, “Kant’s Idea of Perpetual Peace with the Benefit of Two Hundred Years’
Hindsight”, dalam James Bohman dan Matthias Lutz-Bachmann (eds.), Perpetual Peace, Essay on Kant’s
Cosmopolitan Ideal, Cambridge dan London: MIT Press, 1997.
55
Lihat Theodor Meron, “War Crimes Law Comes of Age”, American Journal of International Law 92
(1998); 462; Theodor Meron, Human Rights and Humanitarian Norms as Customary Law, Oxford:
Clarendon Press; New York: Oxford University Press, 1989, 10-25 yang membahas soal konvergensi
dalam definisi normatif. Lihat secara umum 1998 Yearbook of International Humanitarian Law, The
Hague: T.M.C. Asser Press, 1998-1958.
53
54
22
dikodifikasi, penerapannya pada umumnya terjadi dalam masa-masa transisional, ketika
ada kesiapan yang lebih besar terhadap percobaan dengan skema normatif alternatif.
Sebuah contoh adalah tribunal ad hoc terhadap kejahatan perang yang didirikan
untuk menuntut pelanggaran hak asasi manusia selama konflik Bosnia dan Rwanda
terjadi. Sementara pelaksanaan keadilan secara utuh adalah tidak mungkin, namun
bagaimanapun juga bentuk simbolik paradigmatik ini menjalankan atau memerankan
fungsi biasa dari pengungkapan pergantian dalam posisi otoritas dalam masa transisi.
Lebih jauh, pada tingkat minimumnya, respon-respon dalam periode ini yang
menekankan pemeliharaan rekaman menyokong kemungkinan keadilan yang lebih
menyeluruh di masa depan. Namun demikian, akomodasi dan penentuan tempo ini
seharusnya tidak dibingungkan dengan keadilan ideal. Respon-respon transisional
mestinya tidak digeneralisasikan sebagai standar-standar hak asasi manusia tentang
bagaimana merespon kekerasan, baik yang sedang berlangsung sekarang (dalam masa
transisi) ataukah terjadi di masa lalu. Bagaimanapun, normalisasi terhadap responrespon transisional akan kehilangan satu hal, yaitu pesan transformatif inti: keyakinan
dalam kemungkinan manusia untuk mencegah pengulangan tragedi masa lalu dalam
negara yang sedang menjalankan proses liberalisasinya. Sebenarnya, kekuatan-kekuatan
normatif hukum hak asasi manusia adalah semacam kekuatan yang memampukan
transformasi berjalan terus bahkan dalam situasi-situasi non-transisional sekalipun.
Mendorong dan terus mempertahankan identitas transisional yang dipegang
kukuh menghadapi dua risiko lanjutan. Yang pertama berkaitan dengan cakupan sampai
di mana transisi itu muncul sebagai yang merasionalisasi atau memahami masa lalu
terlalu banyak dan terlalu jauh. Hermeneutik transisional yang paling mendasar adalah
pengetahuan-diri yang historisis yang tersedia hanya secara ex post [setelah kejadian
berlangsung, jadi pengetahuan yang didapatkan setelah suatu kejadian terjadi dan
dicermati], dan bahayanya adalah bahwa hermeneutik ini bisa diperlemah jika kesalahan
masa lalu sepertinya dibenarkan atau dijustifikasi oleh kemajuan yang terjadi kemudian
yaitu kemajuan yang mengarah pada liberalisasi. Kedua, pencarian negara transisional
untuk kesatuan bisa begitu mudah sekali menjadi premis bagi rumusan yang secara
inheren tidak stabil yang diperlakukan entah sebagai mitos atau entah sebagai visi
normatif yang tak terrengkuh. Dalam kedua hal tersebut, risikonya adalah bahwa asumsi
negara tentang identitas politik yang didasarkan pada kesatuan mungkin melemahkan
kemungkinan perubahan politik. Perlindungan statis semacam itu terhadap identitas
sangatlah tidak liberal. Sebaliknya, sosok liberal menekankan perlunya pemenuhan
“gizi” bagi – dan dengan demikian mempertahankan – modalitas transisional sebagai
suatu ruang kritis di antara hal yang bersifat praktis-praksis dan redemptif atau
bermakna penebusan dalam imajinasi politik.
23
Epilog:
Keadilan Transisional dan Normalisasinya – Fin de Siècle
Pikirkanlah sampai pada tahap apa diskursus yang berulang-ulang selama tahun-tahun
terakhir dari abad kedua-puluh adalah satu dari keadilan transisional. Ada tugas yang
persisten atau lestari menyangkut apologi atau pemaafan, reparasi atau pemulihan,
memoir atau kisah sejarah (individu dan kolektif), dan semua cara pertanggungjawaban
berkenaan dengan penderitaan dan kejahatan masa lampau. Contoh-contoh banyak
berkisar seputar penanganan terhadap kontroversi-kontroversi berkenaan dengan Perang
Dunia II, kehilangan rekening bank, restitusi atas harta milik, reparasi terhadap buruhbudak, pengembalian objek-objek yang sebelumnya telah dirampas. Barangkali contoh
yang paling jelas untuk normalisasi jurisprudensi transisional adalah dimasukkannya
pengadilan atau tribunal militer internasional pasca-perang ke dalam usulan pengadilan
pidana internasional (ICC – Intenational Criminal Court), sebuah institusi internasional
baru di penghujung abad kedua-puluh. Di sini tampak jelas sekali diskursus yang
berkembang dan meluas, yang sebelumnya tak pernah ada, menyangkut klaim-klaim hak
dan pertanggungjawaban.
Keberpulangan kepada ritual-ritual yang dipadukan dengan perubahan politik
yang dibahas dalam buku ini terjadi pada waktu periodisasi dimensi sentenial (ratusan
tahun) dan milenial (ribuan tahun). Keberpulangan kepada ritual-ritual ini dalam konteks
meta-transisi memunculkan suatu upaya pervasif atau meluas untuk mengkonstruk kiatkiat atau cara-cara kolektif. Dalam momen kontemporer sekarang ini, ritual sosial dari
kiat atau cara tersebut muncul tidak untuk diasalkan pada atau diambil dari agama tetapi
dari hukum. Ini merupakan ritus sekular dan simbol perayaan, meramalkan bukannya
apokalipse atau wahyu juga bukan soal mesianisme atau penyelamatan, melainkan
tentang apa yang muncul menjadi konsepsi transisional paradigmatik: tentang
perubahan yang terbatas. Urgensitas jurisprudensi transisional adalah bahwa ia
menawarkan penutupan terhadap apa yang dibawa oleh perayaan tersebut. Tetapi selalu
demikianlah harga yang harus dibayarnya. Setiap tindakan transisi berimplikasi pada
resolusi yang ambivalen. Ritus-ritus liberal ini melaksanakan perayaan politik dengan
mengkonstruksikan diskontinuitas dan kontinuitas, destruksi dan reproduksi,
disapropriasi dan reapropriasi (pelepasan harta orang lain dan perampasan kembali harta
orang lain), disavowal dan avowal (penolakan dan persetujuan). Ritual-ritual ini
mencoba menyingkirkan ke masa lalu semua hal terburuk dari abad ini, sembari juga
mengusulkan suatu narasi bersama yang bisa diterapkan untuk masa depan. Dengan
praktik-praktik ini, sebuah garis ditarik untuk membuat demarkasi atau batas parameter
dari memori kolektif masa lalu itu untuk dipelihara: apa yang harus diingat dan apa yang
ditekan atau dipendam; apa yang perlu ditinggalkan dan apa yang perlu divalidasi atau
diperkuat kembali; apa yang perlu dan tidak bisa tidak diberi perhatian besar dan apa
yang akan tetap dipertentangkan. Pembaruan dimungkinkan dengan membiarkan pergi
segala kisah ketidakadilan historis abad yang telah lalu itu dan bergerak dari suatu
1
pluralitas identitas politik yang bertentangan ke suatu narasi yang berlaku umum. Pada
dasarnya, praktik-praktik transisional memiliki karakter ambivalen, tempat praktikpraktik ini dalam perubahan politik terdapat dalam upaya penyatuan; tetapi, masih saja
ada yang lolos.
Keadilan transisional bersifat parsial dan terbatas. Sumber terhadap penyelesaian
semacam itu mengandaikan adanya kompromi; potensialitasnya tergelar dalam
kemampuannya untuk menetapkan kembali atau menegakkan kembali suatu komunitas.
Sumber bagi keadilan transisional memiliki karakter politiknya yang khas – yaitu
konsensus yang dipaksakan dan suatu penghindaran pertimbangan soal individualisme
yang mengkarakterisasikan konstitusionalisme modern – sembari bentuk-bentuk
transisional berkompromi dengan simbol-simbol kecil dari kebiasaan suatu aturan
hukum negara.
Praktik-praktik ini mengungkapkan suatu rangkaian konsep dan gagasan yang
unik dan tak biasa terhadap momen kontemporer sekarang ini. Inilah keberpulangan
kepada jurisprudensi transisional, bukan soal proyek mendasar yang besar untuk
melakukan reformasi melainkan soal penilaian terhadap situasi yang serius, bukan
sekadar soal pemodernisasian keyakinan dalam hal kemajuan moral dari masa-masa
awal abad kedua-puluh melainkan juga bukan suatu konservatisme yang sia-sia atau
dekadensi yang fin de siècle. Kompromi politik pastinya merupakan suatu tanda perenial
atau tanda abadi tentang demokrasi yang senantiasa hidup; tetapi pikirkanlah
signifikansi normalisasi dari paradigma ini dalam dan melalui hukum. Konsep contoh
yang paling penting dari perubahan terbatas ini utamanya mengedepankan kesadaran diri
tentang kekuatan konstruktif hukum dan tentang faktor-faktor pembatasnya. Di
penghujung abad berdarah ini, apa yang tampak paradigmatik adalah respons terhadap
bencana politik: keadilan sebagai yang bersifat politis, hukum tanpa ilusi, namun yang
senantiasa menyuburkan tumbuhan harapan yang kecil tetapi semakin membesar.
2
Catatan
Pengantar
1. Lihat Ruti Teitel, “How Are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of
Past Human Rights Abuses?” (makalah yang disiapkan untuk Council on Foreign Relations New York,
N.Y., 17 Mei, 1990).
Pendahuluan
1. Karya-karya selain studi kasus atau pendekatan regional sering kali terbatas pada momen historis
tertentu. Lihat misalnya John Herz (ed.), From Dictatorship to Democracy: Coping with the Legacies of
Authoritarianism and Totalitarianism, Westport, Conn: Greenwood Press, 1982 (berfokus pada masa
pascaperang). Untuk pembahasan klasik tentang masalah keadilan politis, lihat Otto Kircheimer, Political
Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends, Westport, Conn: Greenwood Press, 1980.
2. Lihat Bruce A. Ackerman, The Future of Liberal Revolution, New Haven: Yale University Press, 1992;
Carlos Santiago Nino, Radical Evil on Trial, New Haven: Yale University Press, 1996; John Herz, “An
Historical Perspective”, dalam Alice H. Henkin (ed.), State Crimes: Punishmentor Pardon, Queenstown,
Md: Aspen Institute, 1998. Untuk pendekatan komparatif, lihat esai-esai dalam Guillermo O Donnel et al.
(eds.), Transitions from Authoritarian Rule: Comparative Perpectives, Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1986. Lihat juga Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Problems of Communist Euripe,
Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996 (mengeksplorasi proses-proses transisi dan konsolidasi
dari perspektif komparatif. Lihat misalnya Jaime Malamud-Goti, “Transitional Governments in the
Breach: Why Punish State Criminals?” Human Rights Quarterly 12, No. 1 (1990): 1-16.
3. Charles R. Beitz, Political Theory and International Relations, Princeton: Princeton University Press,
1979, 15-66; R. B. J. Walker, Inside/Outside: International Relations as Political Theory, Cambridge:
Cambridge University Press, 1993, 123-24. Untuk ringkasan tentang pandangan realis dalam teori
internasional, lihat John H. Herz, Political Realism and Political Idealism, Chicago: Chicago University
Press, 1951; Martin Wight, International Theory: The Three Traditions, London: Leicester University
Press untuk Royal Institute of International Affairs, 1990; J. Ann Tickner, “Hans Morgenthau’s Principles:
A Feminist Reformulation”, dalam James Der Derian (ed.), International Theory: Critical Investigations,
New York: New York University Press, 1995, 53, 55-57.
4. Lihat umumnya Linz dan Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation; O’Donnel et
al., (eds.), Transitions from Authoritarian Rule (kumpulan esai yang umumnya berpendekatan regional).
Lihat juga Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratizaton in the Late Twentieth Century,
Norman: University of Oklahoma Press, 1991, 215; Stephan Holmes, “The End of Decommunization”,
East European Constitutional Review 3 (musim gugur 1994), 33.
5. Untuk argument serupa, lihat Huntington, Third Wave, 231.
6. Lihat Ackerman, Future of Liberal Revolution, 69-73; E. B. F. Midgley, The Natural Law Tradition and
the Theory of International Relations, New York: Barnes & Noble Books, 1975, 219-31, 350-51.
7. Anne-Marie Slaughter, “International Law and International Relations Theory: A Dual Agenda”,
American Journal of International Law 87 (1993), 205. Tradisi Liberal dalam Jurisprudensi
melatarbelakangi pendekatan tersebut.
8. Ekspresi paradigmatik tentang pandangan teori liberal tentang hukum dan politik dapat ditemukan
dalam John Rawls, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1993, dan John Rawls,
“The Domain of the Political and Overlapping Consensus”, New York University Law Review 64 (1989),
1
233. Tentang kaitan antara teori tentang hak dan demokrasi, lihat Jeremy Waldron (ed.), Theories of
Rights, Oxford: Oxford University Press, 1984. Lihat juga Ronald Dworkin, Law’s Empire, Cambridge:
Harvard University Press, 1986; Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, Cambridge: Harvard
University Press, 1977.
9. Kumpulan penting esai-esai studi hukum kritis mencakup James Boyle, Critical Legal Studies, New
York: New York University Press, 1992, dan David Kairys, The Politics of Law: A Progressive Critique,
New York: Pantheon Books, 1990. Lihat juga Mark Kelman, A Guide to Critical Legal Studies,
Cambridge: Harvard University Press, 1986; James Boyle, “The Politics of Reason: Critical Legal Theory
and Local Social Thought”, University of Pensylvania Law Review 133 (1985), 685 (membicarakan
realisme legal, teori linguistik dan teori Marxis). Untuk tinjauan kritis tentang isu legal internasional, lihat
Nigel Purvis, “Critical Legal Studies in Public International Law, World Order, and Critical Legal
Studies”, Stanford Law Review 42 (1990): 81. Untuk analisis kritis tentang jurisprudensi Amerika, lihat
Mark Tushnet, Red, White, and Blue, Cambridge: Harvard University Press, 1988.
10. Lihat Ackerman, Future of Liberal Revolution, 11-14; Hannah Arendt, On Revolution, New York:
Viking Press, 1965, 139-78.
11. Lihat Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative
Conclusions about Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, 6
(mendefinisikan transisi sebagai interval antara satu rezim politik dengan rezim politik lainnya); Juan J.
Linz, “Totalitarian and Authoritarian Regimes”, dalam Fred I. Greenstein dan Nelson W. Polsby (eds.),
Handbook of Political Science: Macropolitical Theory, Reading, Mass: Addison-Wesley, 1975, Vol. III,
182-83. Untuk pandangan klasik tentang hal ini, lihat Robert Dahl, Polyarchy, New Haven: Yale
University Press, 1971, 20-32, 74-80. Lihat juga Huntington, Third Wave, 7-8, Richard Gunther, et al.,
“O’Donnel’s ‘Illusions’: A Rejoinder”, Journal of Democracy 7, No.4 (1996), 151-53.
12. Lihat Huntington, Third Wave, 7.
13. Untuk kritik terhadap pandangan teleologis ini, lihat Guillermo O’Donnell, “Illusions and Conceptual
Flaws”, Journal of Democracy 7, No. 4 (1996), 160, 163-64, dan Guillermo O’Donnell, “Illusions about
Consolidation”, Journal of Democracy 7, No.2 (1996), 34.
14. Lihat umumnya Hertz, From Dictatorship to Democracy.
15. Observasi ini memiliki implikasi terhadap perdebatan-perdebatan tertentu dalam ilmu politik dan
konstitusionalisme dan mungkin memiliki afinitas dengan perdebatan jurisprudensial tentang apa yang
memberikan otoritas bagi hukum. Lihat Joseph Rae, The Authority of Law: Essays on Law and Morality,
New York: Oxford University Press, 1979, 214.
16. Yang dimaksud dengan “format legal” adalah prinsip, norma, ide, aturan, praktik dan juga badanbadan legislatif, administratif, ajudikasi dan penegakannya. Lihat Sally Falk Moore, Law as Process: An
Anthropological Approach, Boston: Routledge, 1978, 54. Tentang signifikansi format legal, lihat Isaac D.
Balbus, “Commodity Form and Legal Form: An Essay on the ‘Relative Autonomy’ of the Law”, Law and
Society Review 11 (1977), 571-71.
17. Untuk pengantar pendekatan konstruktivistik, lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, New York: Anchor Books, Doubleday,
1966, 19 (menjelaskan pendekatan dari perspektif sosiologi). Tentang konstruktivisme dalam hukum, lihat
Pierre Bourdieu, “The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field”, Hastings Law Journal 38
(1987), 805, 814-40. Lihat juga Roberto Mangabeira Unger, False Necessity – Anti Necessitarian Social
Theory in the Service of Radical Democracy, New York: Cambridge University Press: 1987, 246-52
(menganalisis respon legal dan institusional dalam “perubahan konteks”). Untuk studi tentang peran
hukum dalam membangun komunitas, lihat Robert Gordon, “Critical Legal Histories”, Stanford Law
Review 36 (1984), 57. Lihat juga John Brigham, The Constitution of Interest: Beyond the Politics of
Rights, New York: New York University Press, 1996 ( membicarakan peran hukum dalam membangun
gerakan politik).
2
18. Lihat pada umumnya Dahl, Polyarchy; David Held, Models of Democracy, Stanford: Stanford
University Press, 1987.
Bab 1: Kedaulatan Hukum dalam Transisi
1. Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom, Chicago: University of Chicago Press, 1944, 72 ,
“[P]emerintah dalam semua tindakannya diikat oleh aturan yang ditetapkan dan diumumkan sebelumnya –
aturan yang memungkinkan untuk meramalkan dengan penuh kepastian bagaimana pemegang kekuasaan
akan menggunakan kekuasaannya dalam kondisi tertentu dan untuk merencanakan tindakan individual
berdasarkan pada pengetahuan ini”.) Untuk pembicaraan tentang pemahaman umum mengenai peran
kedaulatan hukum di negara-negara demokrasi sebagai batasan terhadap penggunaan kekuasaan yang
sewenang-wenang, lihat Roger Cotterell, The Politics of Jurisprudence: A Critical Introduction to Legal
Philosophy, Philadelphia: University of philadelphia Press, 1989, 113-14, yang menjelaskan bahayanya
memandang negara sebagai entitas yang mengatasi hukum. Untuk penjelasan tentang kaitan antara hukum
dengan demokrasi, lihat Jean Hampton, “Democracy and the Rule of Law,” dalam Nomos XXXVI: The
Rule of Law, ed. Ian Saphiro, New York: New York University Press, 1995, 13. Penjelasan klasik tentang
syarat minimum legalitas ditemukan dalam Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale
University Press, 1964, 33-34. Ronald Dworkin menawarkan pemaparan kontemporer yang terpenting
tentang teori kedaulatan hukum yang substantif. Lihat Ronald Dworkin, A Matter of Principle,
Cambridge: Harvard University Press, 1985, 11-12 (Dworkin berpandangan bahwa “konsepsi hak” dalam
kedaulatan hukum mensyaratkan, sebagai bagian dari pandangan ideal tentang hukum, bahwa aturanaturan yang tertulis mencakup dan melaksanakan hak-hak moral). Lihat juga Frank Michelman, “Law’s
Republic”, Yale Law Journal 97 (1988): 1493 (yang memaparkan interpretasi modern tentang
pemerintahan oleh hukum melalui reinterpretasi teori politik republikanisme kemasyarakatan (civil
republicanism).
Margaret Jane Radin menggambarkan dasar filsafat dari pendekatan-pendekatan modern terhadap
kedaulatan hukum dengan asumsi-asumsi berikut ini:
(1) hukum tersusun atas aturan-aturan; (2) aturan berada di muka (sebelum) kasus-kasus
khusus, lebih umum dari kasus-kasus khusus dan diterapkan terhadap kasus-kasus khusus;
(3) hukum bersifat instrumental (aturan-aturan tersebut dilaksanakan untuk mencapai
tujuannya); (4) terdapat pemisahan radikal antara pemerintah dan warga negara (ada
pemberi aturan dan pelaksananya, versus penerima aturan dan penaatnya); (5) manusia
adalah pemilih yang rasional yang mengatur tindakan-tindakannya secara instrumental.
Margaret Jane Radin, “Reconsidering the Rule of Law”, Boston University Law Review 69
(1989): 792. Lihat umumnya Cotterell, Politics of Jurisprudence (yang memberikan pengantar tentang
perdebatan tentang sifat hukum); Allan C. Hutchinson dan Patrick Monahan (eds.), The Rule of Law,
Toronto: Carswell, 1987 (yang mengumpulkan sejumlah esai tentang kedaulatan hukum); Roger Cotterell,
“The Rule of Law in Corporate Society: Neumann, Kirchheimer, and the Lessons of Weimar”, Modern
Law Review 51 (1988): 126-32 (tinjauan buku).
2. Untuk pembicaraan pengantar tentang tema-tema umum dalam konsep kedaulatan hukum dan
konstitusionalisme, lihat A. V. Dicey, Introduction to the Study of Laws of the Constitution, Indianapolis:
Libery Fund, 1982, 107-22. Lihat juga E. P. Thompson, Whigs and Hunters: The Origin of the Black Act,
New York: Pantheon Books, 1975.
3. Planned Parenthood v. Casey, 505 US 833, 854 (1992); Lihat Antonin Scalia, “The Rule of Law as the
Law of Rules”, University of Chicago Law Review 56 (1989): 1175 (yang menyarankan “kedaulatan
hukum umum” di atas “keinginan individual untuk berlaku adil”).
4. Lihat H. L. A. Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review 71
(1958); 593 (yang membela positivisme); Lon L. Fuller, “Positivism and Fidelity to Law – A Reply to
3
Professor Hart”, Harvard Law Review 71 (1958): 630 (yang mengkritik Hart karena mengabaikan peran
moralitas dalam pembentukan hukum).
5. Teori-teori lain tentang sifat kedaulatan hukum dalam karya-karya Franz Neumann dan Otto Kircheimer
juga mengambil masa ini sebagai titik tolaknya. Lihat Franz Neumann, Behemoth: The Structure and
Practice of National Socialism, Frankfurt am Main: Europäjsche Verlagsanshalt, 1977, 1933-44; Franz
Neumann, The Rule of Law: Political Theory and the Legal System in Modern Society, Dover: Berg
Publishers, 1986; William E. Scheuerman (ed.), The Rule of Law under Siege: Selected Essays of Franz L.
Neumann and Otto Kirchheimer, Berkley: University of California Press, 1996. Untuk suatu eksposisi
yang menarik tentang pandangan para pakar tersebut, lihat William E. Scheuermann, Between the Norms
and the Exception: The Frankfurt School and the Rule of Law, Cambridge: MIT Press, 1994, yang
mencoba menerapkan analisis Neumann dan Kirchheimer ke dalam negara kesejahteraan kapitalis abad
ke-20.
6. Lihat “Recent Cases”, Harvard Law Review 64 (1951): 1005-06 (yang mengutip Jerman, Judgement of
July 27, 1949, 5 Suddeutscher Juristen Zeitung (1950): 207 (Oberlandesgericht [OLG] [Bamberg]).
7. Lihat secara umum Fuller, Morality of Law, 245.
8. Untuk eksplorasi yang mendalam tentang arti positivisme hukum, lihat Frederick Schauer, “Fuller’s
Internal Point of View”, Law and Philosophy 13 (1994): 285.
9. Lihat Fuller, “Positivism and Fidelity to Law”, 642-43, 657.
10. Lihat Fuller, Morality of Law, 96-97.
11. Lihat Fuller, ibid. Untuk pembicaraan tentang perdebatan positivisme-hukum kodrat, lihat Gustav
Radbruch, Rechtphilosophie, Stuttgart: Koehler, 1956; Gustav Radbruch, “Die Erneurung des Rechts”,
Die Wandlung 2 (1947): 8. Lihat juga Markus Dirk Dubber, “Judicial Positivism and Hitler’s Injustice”,
tinjauan Ingo Muller, “Hitler’s Justice”, Columbia Law Review 93 (1993): 1807; Fuller, Morality of Law,
23.
12. Untuk tinjauan yang baik tentang perdebatan sejarah ini, lihat Stanley L. Paulson, “Lon L. Fuller,
Gustav Radbruch, and the ‘Positivist’ Thesis”, Law and Philosophy 13 (1994): 313.
13. Lihat Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, 617-18.
14. Fuller, Morality of Law, 245.
15. Ibid.
16. Ibid., 648.
17. Lihat Zentenyi-Takacs Law: Law Concerning the Prosecutability of Offenses between December 21,
1944 and May 2, 1990 (Hungaria, 1991), diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law of East and
Central Europe 1 (1994): 131. Lihat juga Stephen Schulhofer et al., “Dilemmas of Justice”, East
European Constitutional Law Review 1, No. 2 (1992); 17.
18. Lihat umumnya Zentenyi-Takacs Law.
19. Lihat Decision of Dec. 21, 1993 (Republik Ceko, Pengadilan Konstitutional, 1993) (arsip Center for
the Study Constitusionalism in Eastern Europe, University of Chicago (mengesahkan Act on the Illegality
of the Communist Regime and Resistance to It, Act No.198/1993 (1993).
20. Untuk pembicaraan tentang perdebatan statuta pembatasan waktu di Jerman, lihat Adalbert Rückerl,
The Investigation of Nazi Crimes, 1945-1978: A Documentation, terj. Derek Rutter, Heidelberg,
Karlsruhe: C. F. Muller, 1979, 53-55, 66-67.
21. Judgment of March 5, 1992, Magyar Kozlony, No.23/1992 (Hungaria, Pengadilan Konstitusional,
1992), diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law of East and Central Europe 1 (1994): 136.
4
22. Ibid.,141.
23. Ibid.,141-42.
24. Ibid., 142.
25. Bandingkan Ingo Müller, Hitler’s Justice: The Courts of the Third Reich, Cambridge: Harvard
University Press, 1991 68, 71-78, dengan Dubber, Judicial Positivism and Hitler’s Injustice, 1819-1820,
1825. Lihat juga Richard Weisberg, Vichy Law and the Holocaust in France, New York: New York
University Press, 1996. Untuk diskusi yang kaya akan gagasan, lihat Simposium, “Nazis in the
Courtroom: Lessons from the Conduct of Lawyers and Judges under the Laws of the Third Reich and
Vichy France”, Brooklyn Law Review 61 (1995): 1142-45. Untuk diskusi tentang Afrika Selatan, lihat
David Dyzenhaus, Hard Cases in Wicked Legal Systems: South African Law in the Perspective of Legal
Philosophy, New York: Oxford University Press, 1991, dan Stephen Ellman, In a Time of Trouble: Law
and Liberty in South Africa’s State of Emergency, New York: Oxford University Press, 1992. Untuk
pembicaraan tentang strategi interpretif badan pengadilan Amerika Latin, lihat Mark J. Osiel, “Dialogue
with Dictators: Judicial Resistance in Argentina and Brazil”, Law and Social Inquiry 29 (1995): 481.
26. Untuk perbandingan yang luas tentang pendekatan Amerika dan Inggris, lihat Anthony J. Sebok,
“Misunderstanding Positivism”, Michigan Law Review 93 (1995): 2055. Untuk analisis jurisprudensi di
bawah rezim perbudakan, lihat Robert M. Cover, Justice Accused: Antislavery and the Judicial Process,
New Haven: Yale University Press, 1975, 26-29, 121-23. Untuk diskusi tentang jurisprudensi Nazi, lihat
umumnya Muller, Hitler’s Justice.
27. Untuk tinjauan sejarah, lihat Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty, Chicago: Uninersity of
Chicago Press, 1960, 162-73. Untuk sejarah intelektual tentang Rechstaat Jerman, lihat Steven B. Smith,
Hegel’s Critique of Liberalism, Chicago: University of Chicago Press, 1989, 145-48.
28. Untuk diskusi terkait tentang tirani dan hukum, lihat Judith N. Shklar, Legalism: Law, Morals, and
Political Trials, Cambridge: Harvard University Press, 1964, 126-27.
29. Lihat Henry W. Ehrmann, Comparative Legal Cultures, Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1976, 48-50;
James L. Gibson dan Gregory A. Caldeira, “The Legal Cultures of Europe”, Law and Society Review 30
(196): 55-62.
30. Untuk suatu pernyataan tentang syarat hukum demikian, lihat Fuller, “Positivism and Fidelity to Law”,
638-43. Lihat juga Joseph Raz, The Concept of a Legal System: An Introduction to the Theory of Legal
System, New York: Oxford University Press, 1970 (yang merupakan usaha sistematis untuk menjelaskan
syarat-syarat hukum).
31. Judgment of Jan. 20, 1992, Juristenzeitung 13 (1992): 691, 695 (Jerman Barat, Landgreicht [LG],
Berlin).
32. Lihat Raz, Concept of a Legal System, 214.
33. Lihat umumnya Bonaventura De Soisa Santos, Toward a New Common Sense: Law, Science, and
Politics in the Paradigmatic Transition, New York: Routledge, 1995 (yang memaparkan teori hukum
dengan merujuk pada kaitan hukum dan masyarakat yang dinamis).
34. Lihat Hans Kelsen, “The Rule against Ex Post Facto Laws and the Prosecution of the Axis War
Criminals”, Judge Advocate Journal (Musim Gugur-Dingin 1945): 8-12, 46 (yang membicarakan sifat
jurisdiksi dalam Tribunal Nuremberg dan pengadilan pasca-perang lainnya); Bernard D. Meltzer, “A Note
on Some Aspects of the Nuremberg Debate”, University of Chicago Law Review 14 (1947): 455-57.
(“Penerapan secara kaku dan otomatis aturan melawan retroaktivitas pada sistem hukum yang belum
berkembang [seperti hukum internasional] akan, tentu saja, memperlebar jurang atara perasaan moral yang
berkembang di masyarakat dan institusi legalnya yang terbelakang”). Lihat umumnya Stanley L. Paulsen,
“Classical Legal Positivism at Nuremberg”, Philosophy and Public Affairs 4 (1975): 132 (yang
menyatakan bahwa penolakan pembelaan Nazi oleh Tribunal Nuremberg dijustifikasikan oleh
5
penolakannya terhadap positivisme legal klasik); Quincy Wright, “Legal Positivism and the Nuremberg
Judgment”, American Journal of International Law 42 (1948): 405 (menyatakan bahwa kritikan terhadap
peradilan Nuremberg yang dianggap menerapkan hukum ex post facto berakar pada teori hukum
internasional positivis yang dipegang para pengkritik tersebut).
35. Judgment of March 5, 1992 (dikutip di catatan kaki 21 di muka)
36. Lihat Act on Procedures Concerning Certain Crimes Committed during the 1956 Revolution,
Hungaria, 1993 (arsip Center for the Study of Constitusionalism in Eastern Europe, University of
Chicago).
37. Lihat “Geneva Convention Relative on the Protection of Civilian Persons in Time of War”, 12 Agustus
1949, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the
United Nations 75, No. 973 (1950); 287; “Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations
to War Crimes and Crimes Against Humanity”, 11 November 1970, Treaties and International
Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 754, No. 10823
(1970): 73.
38. Di Polandia, masalah statuta pembatasan waktu baru terselesaikan dengan konsensus konstitusional.
Lihat Konstitusi Republik Polandia, Pasal 43 (yang disahkan Dewan Nasional, 2 April 1997), yang
menyatakan bahwa sejauh suatu pelanggaran merupakan kejahatan perang atau kejahatan terhadap
kemanusiaan, mereka tidak diikat oleh pembatasan waktu.
39. Resolution of the Hungarian Constitutional Court of Oct. 12, 1993 on the Justice Law (Kasus
53/1993) (arsip Center for the Study of Constitutionalism in Eastern Europe, semula di University of
Chicago). Lihat Konstitusi Hungaria, Pasal 7 ayat 1 (“Sistem hukum Republik Hungaria ... menyesuaikan
hukum nasional dan statuta negara dengan kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional”).
Bandingkan dengan Konstitusi Yunani, Pasal 28 ayat 1 (yang menyatakan bahwa kedaulatan hukum
internasional diutamakan terhadap hukum domestik yang berlawanan).
40. Lihat Border Guards Prosecution Cases (Jerman Barat, Bundesgerichtshof [BGH]), diterjemahkan
dalam International Law Reports 100 (1995): 380-82 (yang mempertimbangkan International Covenant
on Civil and Political Rights, 19 Desember 1966, Treaties and International Agreements Registered or
Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 999, No. 14688 (1976): 171 (yang
menyatakan bahwa ketertiban domestik melanggar hak asasi manusia yang dilindungi oleh traktat
internasional). Lihat umumnya Stephan Hobe dan Christian Tietje, “Government Criminality: The
Judgement of the German Federal Constitutional Court of 24 October 1996”, German Yearbook of
Internatioanal Law 39 (1996): 523. Lihat juga Krisztina Morvai, “Retroactive Justice Based on
International Law: A Recent Decision by the Hungarian Constitutional Court”, East European
Constitutional Review (musim gugur 1993/musim dingin 1994): 33; “Law on Genocide and Crimes
against Humanity Committed in Albania during Communist Rule for Political, Ideological and Religious
Motives”, diterjemahkan dalam Human Rights Watch, Human Rights in Post-Communist Albania, New
York: Human Rights Watch, 1996, lampiran A (menjadi dasar untuk mengadili bekas Komunis).
41. Lihat Statute of the International Court of Justice, U. S. Statutes at Large 59 (1945): 1031, Pasal 38
(1). Untuk pembahasan tentang pemahaman positivis, lihat Oscar Schachter, International Law in Theory
and Practice, Dordrecht, Belanda; dan Boston: M. Nijhoff, 1991; didistribusikan di Amerika Serikat dan
Kanada oleh Kluwer Academic Publishers), 35-36. Peran kebiasaan dalam pembentukan hukum
internasional dijelaskan dalam Michael Akehurst, “Custom as a Source of International Law”, British
Yearbook International 47 (1974-1975): 1. Untuk diskusi terkait tentang elemen-elemen hukum positif
dan hukum kodrat dalam hukum internasional, lihat Shklar, Legalism: Law, Morals, and Political Trials,
126-28.
42. Lihat J. M. Balkin, “Nested Opposition”, Yale Law Journal 99 (1990): 1669 (tinjauan buku).
43. Lihat Judgment of Jan. 20, 1992 (dikutip di catatan kaki 31 di atas), 693.
6
44. Lihat Decision of Dec. 21, 1993 (dikutip di catatan kaki 19 di atas).
45. Untuk tinjauan tentang sifat pengambilan keputusan demikian dalam sistem politik non-liberal, lihat
diskusi tentang decisionism dalam Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of
Sovereignty, terjemahan George Schwab, Chicago: University of Chicago Press, 1985, 53-66.
46. Untuk penjelasan tentang awal perkembangan ini, lihat Herman Schwartz, “The New East European
Constitutional Courts”, Michigan Journal of International Law 13 (1992): 741. Lihat Ruti Teitel, “Post
Communist Constitutionalism: A Transitional Perspective”, Columbia Human Rights Law Review 26
(1994): 167. Untuk kumpulan esai tentang pengadilan konstitusional Eropa Timur, lihat Irena GrudzinskaGross (ed.), Constitutionalism in East Central Europe, Bratislava: Czecho-Slovak Committee of the
European Cultural Foundation, 1994. Lihat juga Konstitusi Afrika Selatan, Bab VII (dibicarakan pada bab
tentang keadilan konstitusional dalam buku ini).
47. Lihat Judgment of Jan. 20, 1992 (dikutip di catatan kaki 31 di atas).
48. Lihat Judgment of March 5, 1992 (dikutip di catatan kaki 21 di muka).
49. Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism”, 169-76.
50. Lihat Ethan Klingsberg, “Judicial Review and Hungary’s Transition from Communism to Democracy:
The Constitutional Court, the Continuity of Law, and the Redefinition of Property Rights”, Brigham
Young University Law Review 1992 (1992): 62 (membicarakan akses yang sangat terbuka yang
ditimbulkan oleh aturan Hungaria yang sangat permisif). Negara tersebut bukanlah satu-satunya di
wilayah tersebut yang memperimbangkan partisipasi para aktor politik dalam litigasi konstitusional.
51. Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism,” 186-87.
52. Lihat Judgment of March 5, 1992 (dikutip di catatan kaki 21 di muka).
53. Lihat R. M. Dworkin, Taking Rights Seriously, Cambridge: Harvard University Press, 1977, 84.
54. Ibid., 84, 138.
55. Menyangkut paradigma tradisional tentang badan pengadilan, lihat umumnya Martin Shapiro, Courts:
A Comparative and Political Analysis, Chicago: University of Chicago Press, 1981. Lihat juga Mauro
Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, New York: Clarendon Press, 1989, 31-34
(mengamati bahwa para hakim harus “membuat hukum” dengan menafsirkannya namun membedakan
tugas ini dari tugas para legislator, yang bertindak dengan prosedur yang berbeda). Untuk pernyataan
klasik tentang peran badan pengadilan dalam demokrasi, lihat umumnya Alexander M. Bickel, The Least
Dangerous Branch, New Haven: Yale University Press, 1986; Jesse H. Choper, Judicial Review and the
National Political Process, Chicago: University of Chicago Press, 1980; dan John Hart Ely, Democracy
and Distrust: A Theory of Judicial Review, Cambridge: Harvard University Press, 1980.
56. Pada awal pergeseran politik, parlemen transisional biasanya merupakan peninggalan dari masa
represif sebelumnya. Lihat Andrew Arato, “Dilemmas Arising from the Power to Create Constitutions in
Eastern Europe”, Cardozo Law Review 14 (1993): 674-75.
57. Untuk pembicaraan ilustratif tentang transisi Rusia menuju berkurangnya kekuasaan Negara, lihat
Stephen Holmes, “Can Weak-State Liberalism Survive?” (makalah dipresentasikan di Colloquium tentang
Teori Konstitusional di New York University School of Law, musim semi 1997, arsip penulis).
58. Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism”, 182-85.
59. Lihat misalnya Müller, Hitler’s Justice, 201 (membicarakan badan pengadilan yang terkompromi di
Jerman pasca-perang).
60. Lihat misalnya Ronald M. Dworkin, Law’s Empire, Cambridge: Harvard University Press, Belknap
Press, 1986; Bruce R. Douglass, Gerald M. Mara dan Henry S. Richardson (eds.), Liberalism and the
Good, New York: Routledge, 1990.
7
61. Lihat Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition, New York: Harper and Row,
1978, 4-5; Richard L. Abel (ed.), The Politics of Informal Justice, New York: Acdemic Press, 1982, 267;
David M. Trubek, “Turning Away from Law?” Michigan Law Review 82 (1984): 825.
62. Untuk eksplorasi tentang berbagai pemikiran yang bertentangan mengenai kedaulatan hukum dari
perspektif liberalisme dan teori hukum kritis, lihat umumnya Andrew Altman, Critical Legal Studies: A
Liberal Critique, Princenton: Princenton University Press, 1990.
Bab 2: Peradilan Pidana
1. Lihat Cesare Beccaria, On Crimes and Punishments and Other Writings, Cambridge: Cambridge
University Press, [1769], 1995; Jeremi Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation Vol. 2, Darien, Conn: Hafner Publishing [1823], 1970 (berteori bahwa hukuman diperlukan
untuk kebaikan bersama).
2. Lihat Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, New York: Oxford University Press, 1979, 400-01.
3. Lihat David Lagomarsino dan Charles T. Wood, The Trial of Charles I: A Documentary History,
Hanover, N.H: University Press of New England, 1989, 25; Michael Walzer (ed.), Regicide and
Revolution: Speeches at the Trial of Louis XVI, terjemahan Marian Rothstein, New York: Cambridge
University Press, 1974, 88.
4. Untuk argumen kontemporer, lihat Diane F. Orentlicher, “Settling Accounts: The Duty to Prosecute,
Human Rights Violations of a Prior Rezim”, Yale Law Journal 100 (1991): 2537.
5. Walzer (ed.), Regicide and Revolution, 88.
6. Ibid., 5.
7. Ibid., 78.
8. Judith N. Shklar, Legalism, Morals, and Political Trials, Cambridge: Harvard University Press, 1964,
145.
9. Otto Kirchheimer, Political Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends, Wesport, Conn:
Greenwood Press, 1961, 308.
10. Lihat Ruti Teitel, “How Are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of
Past Human Rights Abuses?” (makalah dipresentasikan sebagai latar belakang untuk diskusi di Council on
Foreign Relations, mengkritik bahwa demokrasi menjustifikasi kewajiban untuk menghukum), New York,
17 Mei 1990.
11. Untuk tinjauan tentang pengadilan-pengadilan nasional yang gagal, lihat George Gordon Battle, “The
Trials Before the Leipsic Supreme Court of Germans Accused of War Crimes”, Virginia Law Review 8
(1921): 1.
12. Komisi Persiapan Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional telah menyelesaikan tugasnya dengan
mengesahkan kerangka kerja untuk Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional. Lihat U.N. doc.
A/AC.249/1998/CRP.6-18, U.N. doc. A/AC.249/1998/CRP.21, U.N. doc. A/AC.249/1998/CRP.19, U.N.
doc. A/AC.249/1998/CRP.3/Rev.1. Hingga diterbitkannya buku ini [dalam versi Inggris, ed.], Sidang
Diplomatik Tingkat Tinggi PBB untuk Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional telah bersidang di
Roma antara 15 Juni sampai 17 Juli 1998, untuk memfinalkan dan menyetujui konvensi untuk
pembentukan pengadilan tersebut. Lihat umumnya Cristopher Keith Hall, “The First Two Sessions of the
U.N. Preparatory Commitee on the Establishment of an International Criminal Court”, American Journal
of International Law 91 (1997): 177; James Crawford, “The ILC Adopts a Statute for an International
Criminal Court, American Journal of International Law 89 (1995): 404 (membicarakan rancangan statuta
Komisi Hukum International [ILC] untuk membentuk pengadilan pidana internasional); Bernhard
Graefrath, “Universal Criminal Jurisdiction and an International Criminal Court”, European Journal of
8
International Law 1 (1990): 67 (membicarakan usaha PBB untuk membentuk pengadilan pidana
internasional). [Mahkaham yang dimaksud itu, yaitu Mahkamah Pidana Internasional, saat ini telah
didirikan, ed.]
13. Lihat Norman E. Tutorow (ed.), War Crimes, War Criminals and War Crimes Trials: An Annotated
Bibliography and Source Book, New York: Greenwood Press, 1986.
14. Lihat catatan kaki 12 di atas.
15. Sebuah contoh yang buruk adalah penolakan Amerika Serikat terhadap jurisdiksi Mahkamah
Internasional dalam kasus yang diajukan Nikaragua. Lihat Nicaragua v. United States, 1984 ICJ 392
(1984).
16. Lihat Aryeh Neier, War Crimes: Brutality, Genocide, Terror, and the Struggle for Justice, New York:
Times Books, 1998.
17. Untuk komentator dengan posisi ini, lihat misalnya Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report
on the Banality of Evil, New York: Penguin Books, 1964.
18. PBB, Sidang Umum, International Law Commission: Report on the Principles of the Nuremberg
Tribunal, Prinsip I, A/1316 (1950).
19. Ibid. Prinsip III dari Prinsip Nuremberg menyatakan: “Fakta bahwa seorang pelaku tindakan yang
merupakan kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau pejabat
pemerintahan yang bertanggung-jawab tidak melepaskannya dari tanggung jawab menurut hukum
internasional.”
20. Baik Nuremberg maupun kasus lain sesudahnya, kasus Einsatzgruppen, Trials of War Criminals
before the Nuremberg Military Tribunals under Control Council Law No. 10, Vol. 4-5 (Washington, DC:
GPO, 1949-1953), menolak pembelaan kepatuhan pada perintah dan doktrin respondeat superior yang
mengalihkan tanggung jawab pada pemberi perintah. Doktrin “tanggung jawab absolut” sebaliknya, yang
menyatakan bahwa perintah atasan tidak pernah bisa menjadi justifikasi tindakan melanggar hukum,
diajukan dalam Mitchell v.Harmony, 13 How 115 (1851) dan kemudian dimuat dalam Prinsip Nuremberg
pada Pasal 8. Dalam standar ilegalitas yang diterima, jika seseorang yang bisa berpikir dengan baik bisa
memahami bahwa perintah yang diterimanya secara manifes ilegal, maka pembelaan kepatuhan ini
ditolak. Prinsip IV dari Prinsip Nuremberg menyatakan: “Fakta bahwa seseorang bertindak mengikuti
perintah pemerintahnya atau atasannya tidak membebaskannya dari tanggung jawab menurut hukum
internasional, dengan syarat bahwa ia bisa melakukan pilihan moral.”
21. Lihat Judgment in the Tokyo War Crimes Trial, 1948, dicetak ulang sebagian dalam Richard Falk,
Gabriel Kolko dan Robert Jay Lifton (eds.), Crimes of War: A Legal, Political-Documentary, and
Psychological Inquiry into the Responsibility of Leaders, Citizens, and Soldiers for Criminal Acts in Wars,
New York: Ramdon House, 1971, 113. Jenderal Yamashita mengajukan banding ke Mahkamah Agung
Amerika Serikat, yang mengafirmasi prinsip tersebut. Lihat In re Yamashita, 327 US I, 13-18 (1945).
22. United States v. Wilhelm von Leeb, dicetak ulang dalam XI Trials of War Criminals before the
Nuremberg Military Tribunals under Control Council Law No. 10, 462 (1950) (High Command Case);
United Sates v. Wilhelm List, dicetak ulang dalam XI Trials of War Criminals before the Nuremberg
Military Tribunals under Control Council Law No. 10, 1230 (1950) (Hostage Case).
23. Lihat umumnya Telford Taylor, Nuremberg and Vietnam: An American Tragedy, Chicago:
Quadrangle Books, 1970. Lihat juga Falk, Kolko dan Lifton (eds.), Crimes of War, 177-415.
24. Lihat United States v. Calley, 46 CMR 1131 (1973). Lihat juga Gary Kamarow, “Individual
Responsibility under International Law: The Nuremberg Principles in Domestic Legal System”,
International and Comparative Law Quarterly 29 (1980): 26-27, untuk diskusi singkat tentang kasus
Calley dalam konteks ini.
9
25. Protokol I, “Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to the
Protection of Victims of International Armed Conflicts”, 8 Juni 1977, Treaties and International
Agreements Registered or Filed of Reported with the Secretariat of the United Nations 1125, No. 17512
(1979): 609.
26. Untuk diskusi ilmiah, lihat Theodor Meron, War Crimes Law Comes of Age: Essays, Oxford:
Clarendon Press, 1998.
27. Lihat Telford Taylor, The Anatomy of the Nuremberg Trials: A Personal Memoir, New York: Knopf
1992.
28. Ibid.
29. Seperti Jaime Malamud-Goti, Game without End: State Terror and the Politics of Justice, Norman:
University of Oklahoma, Press, 1996.
30. Helsinki Watch, War Crimes in Bosnia Hercegovina, Vol. I, New York: Human Rights Watch, 1992.
(Laporan Helsinki Rights Watch).
31. Proceedings of Las Malvinas Trial (arsip penulis).
32. Lihat “Four Hardline Communists Investigated over 1968 Prague Invasion”, Reuters, 17 April 1990,
tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters; “August 1968 – Gateway to Power for Number of
Politicians”, CTK National News Wire, 18 Agustus 1998, tersedia di Lexis, News Library, arsip CTK.
33. Act on the Illegality of the Communist Regime and Resistance to It, Act. No. 198/1993 (Republik
Ceko, 1993).
34. Lihat “Velvet Justice for Traitors Who Crushed 1968 Prague Spring”, The Telegraph, Praha 23
Agustus 1998 (melaporkan ketiadaan sanksi bahkan setelah penyidikan delapan tahun).
35. Lihat “Polish Politicians Ask for Trial for Martial Law Instigators”, Reuters, 9 Desember 1991,
tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. Lihat juga Tadiusz Olszaski, “Communism’s Last Rulers:
Fury and Fate”, Warsaw Voice, 18 November 1992, tersedia di Lexis, News Library. Untuk kisah
pengakuan Jeruzelski dan lain-lainnya, lihat RFE/RL Daily Report No. 49, 12 Maret 1993. Lihat juga
“Walesa to Testify on Martial Law”, Polish News Bulletin, 25 Mei 1994, bagian politik.
36. Hingga terbitnya buku ini, Jeruzelski belum diadili karena alasan kesehatan. Lihat “Jeruzelski Will
Not Be Tried”, Polish News Bulletin, 9 Juli 1997, bagian politik. Namun, terungkapnya dokumendokumen yang memberatkan mungkin akan memperkuat posisi pihak-pihak yang menginginkan
pengadilan. Lihat “Constitutional Accountability Commision Meets”, Polish News Bulletin, 26 Oktober
1994; “Russian Dissident Accuses Jeruzelski”, Polish News Bulletin, 20 Mei 1998, bagian politik. Lihat
juga Tad Szulc, “Unpleasant Truths about Eastern Europe”, Carnegie Endowment for International Peace,
Foreign Policy, 22 Maret 1996, tersedia di Lexis, News Library.
37. Lihat Michael Shields, “Hungary Gets Ready to Try to Communist Villains of 1956”, Reuters, 5
November 1991, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. Lihat juga Jane Perlez, “Hungarian
Arrests Set off Debate: Should ’56 Oppressors be Punished?” New York Times, 3 April 1994, tersedia di
Lexis, News Library.
38. Constitutional Court Decision on the Statute of Limitation, No. 2086/A/1991/14 (Hungaria, 1992).
39. Act on Procedures Concerning Certain Crimes Committed during the 1956 Revolution (Hungaria,
1993) (arsip Center for the Study of Constitutionalism in Eastern and Central Europe, University of
Chicago). Pada tanggal 3 November 1993, diperintahkan penyelidikan terhadap pembantaian 1956, “atas
kecurigaan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan”. Sejak disahkannya hukum tersebut, penangkapan,
pengadilan dan penuntutan telah berjalan. Lihat “Court Convicts Defendant for War Crimes in 1956
Uprising”, BBC Summary of World Broadcasts, 18 Januari 1997, tersedia di Lexis, News Library. Lihat
10
juga “Hungary Arrests More in 1956 Shootings Probe”, Reuters, 11 Februari 1994, tersedia di Lexis,
News Library, arsip Reuters.
40. Lihat misalnya “United Nations Convention on Prohibitions or Restrictions on the Use of Certain
Conventional Weapons Which May Be Deemed to Be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate
Effects”, 10 Oktober 1980, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with
the Secretariat of the United Nations 1342, No. 22495 (1983): 137; Protokol I, Protocols Additional to the
Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Protection of Civilian Persons in Time of
War, 12 Agustus 1949, Treaties and International Agreements Registered of Filed of Reported with the
Secretariat of the United Nations 75, No. 973 (1950): 287. Untuk analisis mendalam, lihat Theodor
Meron, Human Rights and Humanitarian Norms as Customary Law, New York: Oxford University Press,
1989 (menjelaskan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konflik internasional dan internal).
41. Lihat Rome Statute of the International Criminal Court, U.N. doc. A/Conf. 183/9. 17 Juli 1998, Pasal
7 (mendefinisikan “kejahatan terhadap kemanusiaan” sebagai bagian dari “kekerasan yang luas atau
sistematis yang diarahkan kepada kelompok penduduk sipil apa pun”). Untuk ilustrasi, lihat umumnya
Helsinki Watch, War Crimes in Bosnia-Hercegovina (melaporkan kejahatan terhadap kemanusiaan yang
dilakukan di wilayah Balkan). Lihat Statute of International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia,
Pasal 5, dilampirkan pada PBB, Sidang Umum, Report of the Secretary-General Pursuant to Paragraph 2
of the U.N. Security Council Resolution 808, S/25704 (1993), dicetak ulang dalam International Legal
Materials 32 (1993): 1159, 1193-97. Berbagai tindakan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah “pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan paksa, pemenjaraan, penyiksaan,
pemerkosaan, penindasan atas dasar politik, ras dan agama, dan tindakan-tindakan tidak manusiawi
lainnya”. Pemahaman Komisi Pakar adalah bahwa Tribunal Internasional memiliki jurisdiksi atas
kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Lihat PBB, Dewan Keamanan, Final Report of the
Commission of Expert Established Pursuant to Security Council Resolution 780, S/1994/674 (1992), 13.
Lihat juga Prosecutor v. Tadic, kasus No. IT-94-1-AR72, Decision on the Defense Motion for
Interlocutory Appeal on Jurisdiction (Appeals Chamber, International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia, 2 Oktober 1995), dicetak ulang dalam International Legal Materials 35 (1996): 32. Namun,
sidang banding memberikan batasan terhadap interpretasi “pelanggaran berat” dan menekankan bahwa
pelanggaran demikian yang merupakan jurisdiksi haruslah merupakan bagian dari konflik bersenjata
internasional. Jurisdiksi tribunal mencakup kejahatan yang dilakukan bukan oleh agen negara, selama
dilakukan “dengan pengaruh” negara. Statuta tribunal ini dimuat dalam PBB, Dewan Keamanan, Report of
the Secretary-General Pursuant to Paragraph 2 of U.N. Security Council Resolution 808, (1993), dicetak
ulang dalam International Legal Materials 32 (1993): 1159. Pasal 2 tentang kompetensi Tribunal
Internasional menyatakan: “Tribunal internasional memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang
melakukan atau memerintahkan pelanggaran berat terhadap Konvnsi Jenewa 12 Agustus 1949”. Pasal
tersebut kemudian memberikan rincian pelanggaran. Pasal 7 mendefinisikan “kejahatan terhadap
kemanusiaan” sebagai bagian dari “kekerasan yang luas atau sistematis yang diarahkan kepada kelompok
penduduk sipil apa pun”.
42. Sebagai contoh, Human Rights Watch telah mendokumentasikan pelanggaran yang terjadi di
Yugoslavia nyaris sejak dimulainya konflik, menerbitkan catatan yang mendetail dan menyerukan
pengadilan terhadap kejahatan perang. Lihat Helsinki, War Crimes in Bosnia-Hercegovina, Vol.1 dan 2.
43. Lihat umumnya Arnold J. Toynbee, Armenian Atrocities: The Murder of a Nation, New York:
Tankian, 1975. Lihat juga Dickran Boyajian, Armenia: The Case for a Forgotten Genocide, Wesrwood,
N.J: Educational Book Crafters, 1972.
44. Lihat Symposium, “1945-1995 Critical Perspectives of the Nuremberg Trials and State Acountability”,
New York Law School Journal of Human Rights 12 (1995): 453; Inge S. Neumann, European War Crimes
Trials, ed., Robert A. Rosenbaum, New York: Carnegie Endowment for International Peace, 1951. Lihat
umumnya Randolph L. Braham (ed.), Genocide and Retribution, Boston: Kluwer-Nijhoff, 1983. Untuk
daftar bibliografi lengkap, lihat umumnya Tutorow (ed.), War Crimes, War Criminals, and War Crimes
Trials; Neumann, European War Crimes Trials. Lihat juga Owen M. Kupferschmid Holocaust and
11
Human Rights Project Seventh International Conference, “Judgements on Nuremberg: The Past Half
Century and Beyond – A Pannel Discussion of Nuremberg Prosecutors”, Boston College Third World Law
Journal 16 (1996): 1993; Symposium, “Holocaust and Human Rights Law: The Fourth International
Conference”, Boston College Third World Law Journal 12 (1992): 1.
45. Lihat Adalbert Rückerl, The Investigation of Nazi Crimes: 1945-1978: A Documentation, terjemahan
Derek Rutter (Heidelberg, Karlsruhe4: C.F. Müller, 1979). Lihat “5,570 Cases of Suspected Nazi Crimes
Remain Open,” This Week in Germany, 3 Mei 1996 (melaporkan bahwa 106.178 orang telah diadili dan
6.494 diputuskan hukumannya).
46. Mengenai pengadilan Klaus Narbie, lihat misalnya, Féderation Nationale des Déportés es Internés
Réesitstant et Patriotes v. Barbie, 78 ILR 125 (Fr. Cass. Crim., 1985). Pengadilan Paul Touvier untuk
kejahatan terhadap kemanusiaan diakhiri dengan hukuman seumur hidup. Lihat Alam Riding, “Frenchman
Convicted of Crimes against the Jews in ’44,” New York Times, 20 April 1994, Sec. A3; Judgment of Apr.
20, 1994, Cour d’assises des Yvelines. Maurice Papon, dalam usia 87 tahun, dijatuhi hukuman 10 tahun
penjara atas perannya dalam deportasi warga Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi. Tuduhan lain tentang
kejahatan terhadap kemanusiaan diajukan kepada Jean Leguay dan Rene Bousquet, namun keduanya
meninggal dunia selama proses berjalan. Judgment of Oct. 21, 1982, Cass. Crim. Lihat Bernard Lambert,
Bousquet, Papon, Touvier, Inculpés de Crimes contre I’humanite: Dossiers d’accusation (Paris:
Federation Nationale des Déportés es Internés Résistants et Patriotes).
47. Lihat Timothy L.H. McCormack dan Jerry J. Simpsons, “The International Law Commission’s Draft
Code of Crimes against the Peace and Security of Mankind: An Appraisal of the Substantive Provisions”,
Criminal Law Forum 4 (1994): 1; Ronnie Edelman et al., “Prosecuting World War II Prosecutors: Efforts
at an Era’s End”, Boston College Third World Law Journal 12 (1992): 199.
48. Untuk pembicaraan tentang pengadilan Yunani, lihat Nikiforos Diamandouros, “Regime Change and
the Prospects of Democracy in Greece: 1974-1983, dalam Guillermo O’Donnel et al. (eds.), Transitions
from Authoritarian Rule: Comparative Perpectives, Baltimore: Johns Hpokins University Press, 1991,
138. Untuk pembicaraan tentang transisi Portugal, lihat Kenneth Maxwel, “Regime Overthrow and the
Prospects for Democratic Transition in Portugal”, dalam Guillermo O’Donnel et al. (eds.), Transitions
from Authoritarian Rule: Southern Europe, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1991, 109-37.
Lihat juga John H. Herz (eds.), From Dictatorship to Democracy: Coping with the Legacies of
Authoritarianism and Totalitarianism, Wesport: Conn: Greenwood Press, 1982.
49. Lihat misalnya Border Guards Prosecution Case, International Law Reports 100 (1995): 366, 30.
Untuk pembicaraan tentang beberapa dari kasus tersebut, lihat Stephan Hobe dan Christian Tietje,
“Government Criminality: The Judgment of the German Federal Constitutional Court of 14 October
1996”, German Yearbook of International Law 39 (1996): 523. Untuk tinjauan jurnalistik komparatif
tentang berbagai respon di wilayah tersebut, lihat Tina Rosenberg, The Hounted Land, New York:
Random House, 1996.
50. Lihat “Symposium, 1945-1995 Critical Perspectives on the Nuremberg Trials and State
Accountability,” New York Law Shool Journal of Human Rifhts 12 (1995): 453 (tinjauan tentang
pengadilan Etiophia).
51. Lihat “Trial of 51 on Rwanda Genocide Charges Opens in Byumba”, Agence France-Presse (Kigali),
18 Maret 1998. Lihat juga Payam Alchavan, “The International Criminal Court Tribunal For Rwanda: The
Politics and Pragmatics of Punishment”, American Journal of International Law 90 (1996): 501.
52. Untuk argumen mendukung pengadilan selektif, lihat Diane F. Orentlicher, “Settling Accounts: The
Duty to Prosecute Human Rughts Violations of a Prior Regime”, Yale Law Journal 100 (1991): 2537.
Lihat juga Guillermo O’Donnel dan Phillipe C. Schmitter, Transitions from Authiritarian Rule: Tentative
Conclusions about Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, 29-30
(membicarakan pengadilan selektif di Yunani.
12
53. Lihat H.L.A, Hart, Punishment and Responsibility: Essays in the Philosophy of Law, Oxford:
Clarendon Press, 1968.
54. Untuk eksplorasi terhadap beberapa dari pertanyaan tersebut, lihat Sanford Levinson, “Responsibility
for Crimes of War”, dalam Marshall Cohen et al. (eds.), War and Moral Responsibility, Princenton:
Princenton University Press, 1974, 104; Richard Wasserstrom, “The Responsibility of the Individual for
War Crimes”, dalam Virginia Held et al. (eds.), Philosophy, Morality, and International Affairs, New
York: Oxford University Press, 1974, 47. Lihat juga Dennis F. Thompson, “Criminal Responsibility in
Government”, dalam Roland Pennock dan John W. (eds.), Chapman Criminal Justice: Nomos XXVII, New
York: New York University Press, 1985, 201-40.
55. Constitutional Court Decision on the Statute of Limitations, No. 2086/A/1991/14 (Hungaria, 1992),
diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law in Eastern and Central Europe 1 (1994): 129, 136.
Lihat Konstitusi Republik Polandia, Pasal 43.
56. Sebelum diadili untuk kasus pembunuhan, Alexandru Draghici melarikan diri ke Hungaria, yang
menolak mengekstradisinya, dengan mengutip statuta pembatasan waktu 30 tahun. Lihat “Romanian
Court Delays Trial of Ex-Securitate Boss”, Reuters, 28 Juni 1993, tersedia di Lexis, News Library, arsip
Reuters.
57. Pada bulan November 1991, parlemen Polandia mencabut statuta pembatasan waktu bagi kejahatankejahatan yang dilakukan antara tahun 1946 dan 1952 untuk memungkinkan pengadilan pidana baru. Lihat
“Former Security Officers Go to Trial for Torturing Prisoners”, UPI, 13 Oktober 1993, tersedia di Lexis,
News Library, arsip UPI.
58. Law on the Illegality of the Communist Regime, Act No. 198/1993 (Republik Federal Ceko dan
Slowakia, 1993).
59. Lihat, “Erich Mielke Sentenced to Six Years for 1931 Murders: Faces Other Charges,” This Week in
Germany, 29 Oktober 1993, 2.
60. Lihat Adrian Dascalu, “Romania Jails Eight for 1989 Timisoara Uprising Massacre,” Reuters, 9
Desember 1991, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters.
61. Miroslav Stepan, mantan ketua partai komunis Praha, diadili dan divonis pada tahun 1990. Lihat
“Prague’s Ex-Party Boss Guilty of Abuse of Power”, Chicago Tribune, 10 Juli 1990, § 1, hlm. 4. Para
menteri dalam negeri – Frantisek Kinel, Alojz Lorene dan Karel Vykypel – divonis pada bulan Oktober
1992. Lihat “Czechs Allow Prosecution of Communist Crimes”, Reuters, 10 Juli 1993, tersedia di Lexis,
News Library, arsip Reuters. Lihat juga “August 1998 – Gateway to Power for Number of Politicians”,
CTK National News Wire, 18 Agustus 1998, tersedia di Lexis, News Library, arsip CTK.
62. Lihat Howard Witt, “Russians Whitewash Blame for 1991 Coup”, Chicago Tribune, 12 Agustus 1994,
§ 1, hlm. 1. Apa yang semula dikoar-koarkan sebagai “pengadilan abad ini” ketika dimulai pada bulan
April 1993, berakhir dengan pembebasan salah satu tertuduh yang menolak menerima amnesti Februari
1994, dan menuntut namanya dibersihkan.
63. Lihat “Ousted Bulgarian Gets 7-Year Term for Embezzlement”, New York Times, 5 September 1992,
hlm. A2. Lihat juga “Bulgarian Former Prime Minister Sentenced to Ten Years”, Reuters, 3 November
1992, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. Namun, mahkamah agung negara tersebut
membatalkan vonis tujuh tahun tersebut dan membebaskan Zhivkov pada tahun 1996. Lihat U.S.
Department of State, Human Rights Country Reports (1997).
64. Lihat “Last Communist President Jailed for Five Years”, Agence France-Presse, 2 Juli 1994, tersedia
di Lexis, News Library, arsip Curnws.
65. Lihat “Former German Labor Boss Convicted of Fraud, Released”, Washington Post, 7 Juni 1991,
hlm. A18.
13
66. Lihat misalnya, “Czech Republic: Slovakia Asked about Communist’s Tax Exemption”, Reuters, 30
Januari 1995, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters.
67. Yuri Feofanov, “The Estabilishment of the Constitutional Court in Rusia and the Communist Party
Case”, Review of Central and East European Law 19, No. 6 (1993): 623-37. Untuk transkrip dalam
bahasa Inggris tentang konferensi pers di mana para penuntut menjelaskan tujuan dan strategi hukum
pengadilan, lihat Official Kremlin International News Broadcast, 6 Juli 1992, tersedia di Lexis, News
Library. Untuk laporan jurnalistik, lihat David Remnick, “The Trial of the Old Regime”, New Yorker, 30
November 1992, hlm. 104.
68. Lihat Taylor, Anatomy of the Nuremberg Trials, 35-36. Namun, pada akhirnya ada pergeseran ke
proses administratif. Lihat bab 5.
69. Proclamation Establishing the Office of Special Prosecutor, pembukaan, No. 22/1992 (Ethiopia,
1992).
70. Di kalangan para analis hak asasi manusia, pengadilan “para penyiksa” Yunani dianggap sebagai
model ideal pengadilan suksesor. Lihat Orentlicher, “Settling Accounts”, 2598. Untuk tinjauan mendetail
tentang Pengadilan militer Yunani, Lihat Amnesty International, Torture in Greece: The First Torturer’s
Trial, 1975, London: Amnesty International, 1877. Untuk pembicaraan tentang pengadilan selektif
Yunani, lihat O’Donnell dan Schmitter, Transitions: Tentative Conclusions, 29-30.
71. Rückerl, Investigation of Nazi Crimes, 48, 137.
72. Lihat Judgment of Jan. 20, 1992, Juristenzeitung 13 (1992): 691, 692 (F.R.G. Landgericht [LG]
[Berlin]), Stephen Kinzer, “2 East German Guards Convicted of Killing Man as He Fled to West”, New
York Times, 21 Januari 1992, rubrik internasional.
73. Meskipun mantan pemimpin komunis, Egon Krenz dan ideolog partai Kirt Hager juga menjadi
tertuduh, sukar untuk mendapatkan bukti yang mengaitkan mereka dengan penembakan. Willi Stoph,
mantan perdana menteri, dan Erich Mielke, mantan kepala polisi rahasia, dibebaskan dari pengadilan
karena alasan kesehatan. Lihat Stephen Kinzer, “Germany Frees Ailing Honecker, Who Flies to Chile”,
New York Times, 14 Januari 1993, rubrik internasional. Tuntutan terhadap Honecker kemudian dibatalkan.
Streletz, Albrecht dan Kessler, didakwa pada tanggal 16 September 1993, tetapi kemudian dibebaskan dari
penjara karena alasan kesehatan. Lihat Rick Atkinson, “3 Ex-East German Officials Sentenced: Former
Top Communists Found Guilty in Deaths of Refugees”, Washington Post, 17 September 1993; Leon
Mangasarian, “East German Leaders Found Guilty of Wall Killings but Set Free, UPI, 16 September
1993, tersedia di Lexis, News Library, arsip UPI. Egon Krenz diadili bersama lima anggota politbiro
lainnya atas tuduhan pembunuhan dalam peristiwa Tembok Berlin. Krenz dijatuhi vonis pada bulan
Agustus 1997 untuk enam setengah tahun penjara. Dua pejabat tinggi politbiro lainnya masing masing
dihukum tiga tahun. Lihat “Senior East German Officers Jailed for Berlin Wall Killings”, Deutscher
Presse Agentur, 26 Maret 1998, tersedia di Lexis, News Library. “Hingga tahun 1997, terdapat 50 kasus
yang dibawa ke pengadilan terhadap sekitar 100 serdadu, perwira dan pejabat pemerintah yang dituduh
berkaitan penembakan di Tembok Berlin. Dari jumlah itu, 55 telah mendapatkan vonis. Hampir semua
mendapatkan hukuman yang singkat atau ditunda. Edmund Andrews, “Honecker’s Succesor Jailed for
Wall Killings”, International Herald Tribune, 26 Agustus 1997, tersedia di Lexis, News Library. Untuk
diskusi doktrinal tentang kasus-kasus ini, lihat German Yearbook of International Law 36 (Berlin, 1993):
41. Untuk laporan jurnalistik, lihat Rosenberg, Haunted Land.
74. Proses peradilan terhadap Jorge R. Videla et al. semula diajukan kepada Dewan Tertinggi Angkatan
Bersenjata mengikuti Dekrit No. 158. Judgment of December 9, 1986 bagian 308-314 (Federal Criminal
and Correctional Court of Appeals, Federal District of Buenos Aires), sebagaimana diterjemahkan dan
dicetak ulang dalam Alejandro M. Garro dan Henry Dahl, “Legal Accountability of Human Rights
Violations in Argentina: One Step Forward and Two Steps Backward”, Human Rights Law Journal 8
(1978): 417-18. Lihat Paula K. Speck, The Trial of Argentine Junta: Responsibilities and Realities,” InterAmerican Law Review 18 (1987): 491.
14
75. Judgment of December 30, 1986 bagian 23-29, 48-49 (Mahkamah Agung Argentina, Buenos Aires).
Sebagaimana diterjemahkan dan dicetak ulang dalam Garro dan Dahl, “Legal Accountability for Human
Rights Violations in Argentina,” 435-39.
76. Untuk tinjauan tentang bagaimana militer menyatukan kekuatan untuk melawan ancaman hukuman,
lihat Jaime Malamud-Goti, “Trying Violators of Human Rights: The Dilemma of Transitional Democratic
Governments”, dalam State Crimes: Punishment of Pardon, Queenstown, Md: Aspen Institute, 1989, 7188.
77. Lihat John Merryman, The Civil Law Tradition, Stanford University Press, 1985.
78. Lihat § 155 (II) StPO (pengadilan diwajibkan bertindak secara independen). Lihat German Code of
Criminal Procedure, Vol. 10 (C), “Principles of Proof”, John H. Langbein, Comparative Criminal
Procedure: Germany, St. Paul: West Publishing, 1977.
79. Lihat Sheldon Glueck, War Criminals: Their Prosecution and Punishment, New York: Knopf, 1944,
19-36, untuk tinjauan sejarah tentang tindakan yang diambil terhadap penjahat perang Jerman menurut
Perjanjian Versailles. Lihat juga James P. Willis, Prologue to Nuremberg: The Politics and Diplomacy of
Punishing War Criminals of the First World War, Westport, Conn: Greenwood Press, 1982, 116-39, 17476 (membicarakan usaha penghukuman pasca-Perang Dunia Pertama).
80. Lihat Frank M. Buscher, The U.S. War Crimes Trial Program in Germany, 1946-1955, New York:
Greenwood Publishing Group, 1989, 62-64.
81. Lihat umumnya Herz (ed.), From Dictatorship to Democracy.
82. Amnesty Internasional, Torture in Greece, 65. Diamandouros, “Regime Change and the Prospects for
Democracy in Greece: 1974-1983”, 138-64, 161.
83. Lihat “Argentine Seeks Rights-Trial Curb: Alfonsin Urges a Time Limit on Prosecution for Abuses
under Military Rule”, New York Times, 6 Desember 1986, rubrik internasional. Lihat juga “200 Military
Officers Are Pardoned in Argentina”, New York Times, 8 Oktober 1989, rubrik internasional, hlm. 12.
Tentang gelombang kedua pemberian pengampunan, lihat Shirley Cristian, “In Echo of the ‘Dirty War’
Argentines Fight Pardons”, New York Times, 28 Desember 1990, rubrik internasional, hlm. A3. Lihat juga
Americas Watch, Truth and Justice in Argentina: An Update, New York: Human Rights Watch, 1991;
Carlos Nino, “The Duty to Punish Past Abuses of Human Rights Put into Context: The Case of
Argentina”, Yale Law Journal 100 (1991): 1619.
Perkembangan terakhir di Argentina bertentangan dengan gejala ini. Lihat “President Says He
Won’t Veto Repeal of Amnesty Laws”, Agence France-Presse, Buenos Aires, 26 Maret 1998; Marcela
Valente, “Rights-Argentina: Dissatisfaction with Repeal of Amnesty Laws”, Inter Press Service, Buenos
Aires, 25 Maret 1998.
84. Untuk tinjauan tentang kasus penjaga perbatasan, lihat Micah Goodman, “After the Wall: The Legal
Ramifications of the East German Border Guard Trials in Unified Germany”, Cornell International Law
Journal 29 (1996): 727. Lihat juga “Former Albanian President Has Sentence Cut by Three Years”,
Agence France Presse, 30 November 1994, tersedia di Lexis, News Library, arsip AFP; Henry Kamm,
“President of Albania Rebuffed on Charter”, New York Times, 1 Desember 1994, tersedia di Lexis, News
Library; “28 Communist Officials Tried for Antoconstitutional Activity”, CTK National News Wire, 21
September 1994, tersedia di Lexis, News Library, arsip CTK (vonis terhadap mantan menteri keuangan
Cekoslowakia Zak dan Ler); “Romanians Protest over Communist Bosses Release”, Reuters World
Service, 21 September 1994, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters.
85. Lihat Human Rights Watch Americas, Unsettled Business: Human Rights in Chile at the Start of the
FREI Presidency, New York: Human Rights Watch, 1994, 1-4.
86. Lihat Azanian Peoples Organisation (AZAPO) and Others v. President of the Republic of South Africa
and Others, 1996 (8) BCLR 1015 (CC) (menjunjung konstitusionalitas undang-undang amnesti); Lourens
15
du Plessis, “Amnesty and Transition in South Africa”, dalam Alex Boraine et al. (eds.), Dealing with the
Past: Truth and Reconciliation in South Africa, Cape Town: Institute for Democracy in South Africa,
1994.
87. Tribunal tersebut dibentuk untuk tujuan “pengadilan terhadap orang-orang yang bertanggung-jawab
terhadap pelanggaran serius hukum kemanusiaan internasional yang dilakukan di wilayah bekas
Yugoslavia sejak tahun 1991. Lihat Report of the Secretary-General Pursuant to Paragraph 2 of the U.N.
Security Council Resolution 808, S/25704 (1993).
88. Lihat International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of
International Humanitarian Law Committed in the Territory of Former Yugoslavia Since 1991: Rules for
Procedure and Evidence, aturan 61, dicetak ulang dalam International Legal Materials 33 (1994): 519.
Istilah superindictment digunakan untuk kepentingan internal tribunal. Lihat Graham Blewitt, wakil
penuntut untuk Tribunal Yugoslavia, wawancara dengan penulis, Waldorf Astoria Hotel, New York, 7
April 1995.
89. Lihat Joel Feinberg, Doing and Deserving – Essays in the Theory of Responsibility, Priceton:
Princeton University Press, 1970. Lihat juga Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds of Liberty,
New York: Oxford University Press, 1084.
90. Lihat Oxford English Dictionary, edisi kedua, pada entri “prosecution”.
91. Lihat Sanford H. Kadish, “Foreword: The Criminal Law and the Luck of the Draw”, Journal of
Criminal Law and Criminology 84 (musim dingin/semi 1994): 679, 698.
92. Lihat umumnya Hart, Punishment and Responsibility.
93. Untuk diskusi tentang kaitan peradilan pidana internasional dengan perdamaian dalam konteks konflik
Balkan, lihat Ruti Teitel, “Judgment at the Hague”, East European Constitutional Review 5, No. 4 (musim
gugur 1996).
94. Lihat Elaine Sciolino, “U.S. Names Figures to Be Prosecuted over War Crimes”, New York Times, 17
Desember 1992, rubrik internasional; Roger Cohen, U.N. in Bosnia, Black Robes Clash with Blue Hats”,
New York Times, 23 April 1995, hlm. A3.
95. Lihat Jacques Dumas, Les Sanctiones Penales des Crimes Allemands, Paris: Rousseau et cie., 1916.
96. “The Moscow Declaration on German Atrocities, 1943”, dicetak ulang dalam Falk, Kolko dan Lifton
(eds.), Crimes of War, 73.
97. Untuk tinjauan tentang usaha keras untuk mengajukan tuntutan tentang perang agresif, lihat Taylor,
Anatomy of the Nuremberg Trials, 37-39.
98. Lihat Aristoteles, The Athenian Constitution, diterjemahkan dengan pengantar dan catatan oleh P.J.
Rhodes, Harmondsworth: Penguin, 1984, bab 34-41-1.
99. Lihat José Maria Maravall dan Julian Santamaria, “Political Change in Spain and the Prospects for
Democracy”, dalam Guillermo O’Donnell et al. (eds.), Transition from Authoritarian Rule: Southern
Europe, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1991, 71-108. Lihat umumnya Raymond Carr dan
Juan Pablo Aizpurtía, Spain: Dictatorship to Democracy, edisi kedua, London: Allen and Unwin, 1981.
Untuk pembelaan terhadap amnesti Spanyol, lihat Fernando Rodrigo, “The Politics of Reconciliation in
Spain’s Transition to Democracy” (makalah dipresentasikan pada Conference on Justice in Times of
Transition, Salzburg, Maret 1993).
100. Tentang El Salvador dan Uruguay, lihat catatan kaki 103. Tentang Haiti, lihat Le Moniteur, Journal
Offociel de la Republique d’Haiti Order (Arrète) of 2/6/90, yang memberikan amnesti total dan
sepenuhnya kepada mereka yang antara 17 September 1988 dan 7 Februari 1990 terlibat dalam kejahatan
dan pelanggaran terhadap keamanan nasional. Tentang amnesti Kolombia, lihat Javier Correa, “La
16
Historia de las Amnistias y los Indultos: Volver a Empezar”, dalam Los Cominos de la Guerra y la Paz,
Vol. 1 La Reinsercìon, Bogotá: Fondo Editorial Para la Paz, 1990.
101. Lihat Howard W. French, “In Salvador, Amnesty vs. Punishment”, New York Times, 16 Maret 1993,
rubrik internasional; Howard W. French, “Offer of Amnesty Removes Obstacle to Accord in Haiti”, New
York Times, 14 April 1993, rubrik internasional.
102. Lihat “The Deal: Amnesty Law Expected to Clear Junta Very Soon”, New York Times, 21 September
1994, hal. A17.
103. Keputusan legislatif No. 486, 3/22/93, El Salvador (22 Maret 1993), menyetujui Undang-Undang
Amnesti Umum untuk Konsolidasi Perdamaian. Lihat Todd Howland, “Salvador Peace Starts with
Misstep”, Christian Science Monitor, 7 Februari 1992. John J. Moore Jr., “Problems with Forgiveness:
Granting Amnesty under the Arias Plan in Nicaragua and El Salvador”, Stanford Law Review 43 (1991):
733. “Ley de Reconciliacion Nacional” (Undang-undang Rekonsiliasi Nasional), Keputusan No. 145-96
tertanggal 23 Desember 1996, dicetak ulang dalam Guatemala Constitutional Court Decision on Amnesty,
Nos. 8-97 and 20-97, at. 19-20 (7 Oktober 1997), instrumen dasar untuk rekonsiliasi dengan orang-orang
yang terlibat dalam konflik bersenjata, dengan menghapuskan semua tanggung jawab pidana bagi
kejahatan-kejahatan politik yang dilakukan dalam konflik bersenjata; dan menghapuskan tanggung jawab
untuk kejahatan lainnya, terkecuali genosida, penyiksaan, atau penghilangan paksa.
104. Lihat Law No. 15.848 (Uruguay), “Ley de Caducidad de la Pretension Punitiva del Estado (UndangUndang yang Menghapuskan Klaim Negara untuk Menghukum Kejahatan Tertentu), Pasal 1. Disepakati
bahwa, sebagai konsekuensi dari peristiwa-peristiwa yang timbul dari persetujuan antara partai-partai
politik dan angkatan bersenjata yang ditandatangani pada bulan Agustus 1984, dan untuk menyelesaikan
transisi ke tatanan konstitusional sepenuhnya, negara mencabut haknya untuk memidana kejahatankejahatan yang dilakukan hingga tanggal 1 Maret 1985, oleh anggota militer atau polisi atas alasan politik
atau memenuhi tugas dan menaati perintah dari atasan selama masa de facto; Americas Watch,
Challenging Impunity: The Ley de Caducidad and the Referendum Campaign in Uruguay, New York:
Human Rights Watch, 1990. Lihat juga Shirley Christian, “Uruguay Votes to Retain Amnesty for the
Military, New York Times, 17 April 1989, rubrik internasional, hlm. A8; Martin Weinstein, UruguayDemocracy at the Crossroads, Boulder: Westview Press, 1984.
105. Lihat Due Obedience Law; Law No. 23.049 (Argentina, 1984). The Full Stop Law; Law No. 23.492,
diberlakukan pada tanggal 24 Desember 1986, dan Due Obedience Law; Law No. 23.523, diberlakukan
pada tanggal 8 Juni 1987.
Setelah diberlakukannya undang-undang ini, melalui keputusan presiden, Pardon No. 1002 (7
Oktober 1989) memerintahkan bahwa semua proses hukum yang dijalankan mengenai kasus pelanggaran
hak asasi manusia dihentikan.
106. Lihat umumnya Jonathan Truman Dorris, Pardon and Amnesty under Lincoln and Johnson: The
Restoration of the Confederates to Their Rights and Privileges, 1861-1898, Westport, Conn: Greenwood
Press [1953], 1977.
107. Lihat Konstitusi Sementara Afrika Selatan (1993) Epilogue on National Unity and Reconsiliation.
Lihat § 20(2)(c) Promotion of National Unity and Reconciliation Act 34 of 1995, seperti diperbaiki dalam
Promotion of National Unity and Reconciliation Act 87 of 1995. Komisi harus memutuskan apakah suatu
pelanggaran tertentu dapat dikaitkan dengan sasaran politik sesuai definisi dengan dasar apakah
pelanggaran tersebut disarankan, direncanakan, diarahkan, diperintahkan, atau dilakukan di Afrika Selatan
antara bulan Maret 1960 hingga Desember 1994, oleh atau atas nama organisasi politik yang dikenal
secara publik, gerakan pembebasan, agen negara atau anggota pasukan keamanan, dan dengan melihat
pada kriteria khusus yang dijabarkan dalam Reconciliation Act. Kriteria tersebut mencakup penyidikan
terhadap motif, konteks, bobot dan tujuan dilakukannya pelanggaran, apakah pelanggaran tersebuit
dilakukan atas perintah langsung atau persetujuan, dan apakah pelanggaran tersebut dilakukan untuk
kepentingan pribadi atau “masalah pribadi, permusuhan atau rasa benci terhadap korban”, § 20(3)(f)(ii).
17
Lihat umumnya Allister Sparks, Tommorow is Another Country: The Inside Story of South Africa’s Road
to Change, New York: Hill and Wang, 1995.
108. Untuk argumen utama yang menentang amnesti yang menyertai gelombang transisi kontemporer ini,
lihat Aryeh Neier, “What Sould Be Done about the Guilty”? New York Review of Books, 1 Februari 1990,
hlm. 32.
109. Lihat Stephen Holmes, “Making Sense of Postcommunism” (rancangan untuk New York University
Program for the Study of Law, Philosophy and Social Theory), 10-13; Samuel Huntington, The Third
Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
110. Lihat Orentlicher, “Settling Accounts”, 2537; Naomi Roth-Arriaza, “State Responsibility to
Investigate and Prosecute Grave Human Rights Violations in International Law”, California Law Review
78 (1990): 449.
111. Lihat Velásques-Rodrígues Judgment, Inter-Am. Ct. H.R., Ser. C., No. 4 (1988).
112. Lihat Report No. 28/92, Cases 10.147, 10.181, 10.240, 10.262, 10.309, 10.311, Argentina’s Annual
Report of the Inter-American Commision of Human Rights 1992-1993, 41b, OAS doc.
OES/Ser.4L/UV/II.83/doc. 14/Corr. 1 (1993). Lihat juga Robert Goldman, “Amnesty Laws, International
Laws, and the American Convention on Human Rights”, The Law Group Docket 6, No. 1 (1989): 1.
113. Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, terjemahan Mary Gregor, New York: Cambridge
University Press, 1991, 183.
114. Lihat Teitel, “How are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of Past
Human Rights Abuses?” Namun ada pula pakar yang mendasarkan justifikasi untuk kebijakan
pengampunan dengan pertimbangan retributif yang berdasar pada ketiadaan hukuman. Lihat Katherine
Dean Moore, Pardons: Justice, Mercy, and the Public Interest, New York: Oxford University Press, 1989.
115. Lihat John Merryman, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Tradition of Western
Europe and Latin America, Stanford: Stanford University Press, 1985; William T. Pizzi, “Understanding
Prosecutorial Discretion in the United States: The Limits of Comparative Criminal Procedure as an
Instrument of Reform”, Ohio State Law Journal 54 (1993): 1325.
116. Lihat Moore, Pardons: Justice, Mercy, and the Public Interest 790-86; “The Conditional Presiden
Pardon”, Stanford Law Review 28 (1975): 149; Daniel T. Kobil, “The Quality of Mercy Strained:
Wrestling the Pardoning Power from the King”, Texas Law Review 69 (1991): 569.
117. Lihat Irwin P. Stotzky (ed.), Transition to Democracy in Latin Amerikca: The Role of the Judiciary,
Boulder: Westview Press, 1993.
118. Lihat Jeffrie G. Murphy dan
Download