Jurnal KIAT Universitas Alkhairaat 8 (1) Juni 2016 e-ISSN : 2527-7367 KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA Oleh : Asmadi Weri *) ABSTRAK Bahwa kebijakan pemerintah dalam pemberian hak atas tanah untuk kepentingan penanam modal berupa Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22, bertentangan dengan prinsip penguasaan oleh negara maupun kedaulatan rakyat di bidang ekonomi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945. Reformasi hukum pertanahan di Indonesia yang memberi kewenangan kepada pemerintah, pemerintah daerah masih kurang efektif memberikan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah perorangan dan penanam modal, karena masih tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Katakunci : Kebijakan, hak atas tanah, penanaman modal Pentingnya kehati-hatian bagi pemerintah dalam melakukan pembinaan terhadap investor (penanaman modal) dimaksud, karena bidang-bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Setidak-tidaknya pemberdayaan terhadap berbagai bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal, dapat menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi tingkat pengangguran. Selain itu, keberadaan tanah tidak hanya penting bagi usaha penanaman modal, akan tetapi citra tanah merupakan komponen ekosistem yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup manusia. Alasannya karena berbagai aktivitas manusia, senantiasa digantungkan pada keberadaan tanah. Dewasa ini eksistensi tanah tidak hanya sebagai alas tempat tinggal dan pemukiman dari segenap habitat hidup berbagai makhluk ciptaan Tuhan. Sehingga tidak jarang ditemukan adanya anggapan keliru, bahwa sesungguhnya keberadaan tanah semata-mata hanyalah sebagai alas hidup dan kehidupan manusia. Padahal tanah tidak hanya diciptakan oleh Tuhan khusus untuk kepentingan manusia semata, tetapi juga bagi makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. PENDAHULUAN Latar Belakang Hakikatnya tanah merupakan salah satu infrastruktur sekaligus sebagai instrumen yang diharapkan dapat mendorong laju pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Keberhasilan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dimaksud, sejauh mungkin dapat menarik minat investor (penanam modal) untuk menanamkan modalnya (investasinya) pada bidangbidang usaha yang telah disediakan oleh pemerintah. Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah di bidang penanaman modal tersebut perlu melibatkan peran aktif para investor melalui pemberdayaan berbagai bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal. Sedang keterlibatan peran aktif penanam modal dimaksud, sedapat mungkin tidak mempengaruhi pemerintah dalam rangka pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajaran apabila pembinaan terhadap penanaman modal perlu dilakukan dengan ekstra hatihati agar tidak merugikan kepentingan bangsa dan negara. *) Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako 32 Dalam Seminar Otonomi Daerah dan Pembaharuan Agraria Sulistio Widodo (2005) mengungkapkan; bahwa dalam keadaan dunia yang damai (the World of peace) sekalipun kebutuhan akan tanah telah menjadi persoalan yang sangat krusial. Lebih lanjut ditambahkan; seperti diketahui bahwa pertumbuhan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dan individu, sebenarnya berada pada luasan tanah yang tetap telah secara simultan mengingatkan berbagai permasalahan pemanfaatan tanah. Sebagai contoh, bahwa pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya di tahun 1945, maka jumlah penduduk Indonesia hanya sekitar 60 juta orang saja, namun sekarang telah mencapai lebih kurang 220 juta orang. Joyo Winoto (2007) ketika menjadi Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, dalam makalahnya antara lain mengungkapkan bahwa : rakyat harus punya akses untuk membebaskan dirinya melalui proses pembangunan dari kebodohan, ketertinggalan, ketergantungan, dan rasa takut. Untuk itu rakyat harus punya aset yang dapat dikelola, dan punya akses untuk dapat memberdayakan asetnya. Petani harus punya tanah dan punya akses pada modal, teknologi, pasar, manajemen dan seterusnya. Sejalan dengan pernyataan dari Joyo Winoto tersebut menarik disimak, penegasan Muhammad Bakri (2006) dalam tulisannya secara transparan mengungkapkan; bahwa sesungguhnya yang teramat penting sekarang adalah perlindungan hukum terhadap hak seseorang atas tanah. Apabila ada perlindungan hukum terhadap hak perseorangan atas tanah, maka pemegang hak atas tanah dapat dengan mudah dan merasa aman memberdayakan bidang tanahnya untuk lebih produktif. Berkenaan dengan itulah, sehingga pemerintah perlu mengaplikasi dan mengimplementasikan, serta melaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab amanat konstitusi yang tercantum di dalam rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945. Untuk maksud tersebut, maka merupakan suatu kewajaran apabila setiap kebijakan pemerintah di bidang pertanahan harus tetap mengacu pada eksistensi Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Artinya kebijakan pemerintah di bidang pertanahan tidak dilaksanakan atas dasar kekuasaan dan kesewenang-wenangan, karena Indonesia bukanlah negara kekuasaan (machtsstaat) melainkan negara hukum (rechtsstaat) (Fahmal, 2008). Kehadiran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menggantikan Undang-Undang Penanaman Modal sebelumnya dipandang dapat membawa angin segar dalam iklim penanaman modal di Indonesia menghadapi tantangan dunia global, namun disayangkan undang-undang ini membawa cacat bawaan setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa rumusan Pasal 22 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4) Undang-Undang Penanaman Modal tersebut bertentangan dengan jiwa dan semangat Pancasila sekaligus dinyatakan bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945. Harapan untuk melaksanakan reformasi di bidang pertanahan sebagai amanat yang ditetapkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam belum sepenuhnya dapat menjamin akses masyarakat utamanya petani memperoleh tanah dengan layak. Kebijakan pemerintah di bidang pertanahan terkesan mengarah pada liberalisasi pertanahan dengan pendekatan modal yang dipelopori perusahaan-perusahaan perkebunan besar di berbagai daerah di Indonesia. Peraturan perundang-undangan di bidang keagrariaan terkesan masih tumpang tindih yang berdampak lambatnya upaya mensejahterakan rakyat. 33 Rumusan Masalah METODE PENELITIAN Merujuk pada uraian yang telah dikemukakan dapat dirumuskan permasalahan hukum sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kebijakan pemberian hak atas tanah bagi penanaman modal dalam perspektif politik hukum nasional? 2. Bagaimana reformasi hukum pertanahan nasional dapat memberikan perlindungan hukum bagi hak atas tanah perorangan dan penanam modal? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang membahas asas-asas hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum, dengan pendekatan statuteapproach dan caseapproach, melalui serangkaian bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier untuk selanjutnya akan dianalisis secara preskriptif dalam penelitian ini untuk menemukan argumentasi baru. Tujuan Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Untuk mengetahui kebijakan pemberian hak atas tanah bagi penanam modal dalam perspektif politik hukum nasional. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana reformasi hukum pertanahan mampu memberikan perlindungan hukum bagi pemilik hak atas tanah perorangan dan penanaman modal di Indonesia. 1. Kebijakan Pemberian Hak Atas Tanah Bagi Penanaman Modal Dalam Perspektif Politik Hukum Pertanahan di Indonesia a. Sebelum berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Dimulai dari UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang terkait dengan pertanahan, diatur dalam Bab V Pasal 14 yang berbunyi untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai menurut peraturan perundangan yang berlaku, ketentuan pasal ini yang memungkinkan diberikannya tanah kepada perusahaan-perusahaan yang bermodal asing bukan saja dengan Hak Pakai, tetapi juga dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha, merupakan penegasan dari apa yang ditentukan di dalam Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria. Lebih lanjut, sesuai ketentuan UndangUndang Pokok Agraria Pasal 35, Pasal 29 dan Pasal 41, maka Hak Guna Bangunan tersebut dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, mengingat keadaan perusahaan dan bangunannya dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 30 tahun. Disamping itu, Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 tahun. Namun demikian, kepada perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan macam tanaman yang diusahakannya memerlukan waktu yang Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritik; agar dapat memberikan kontribusi dalam rangka pembinaan dan pembangunan hukum, serta penemuan teori-teori baru dalam bidang hukum pertanahan nasional. Teori hukum dimaksud, sedapat mungkin lebih bernuansa kepada perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi maupun informatika yang dapat dijadikan sebagai pijakan bagi pemerintah memberikan kebijakan bagi penanaman modal di Indonesia. 2. Kegunaan praktis; agar permasalahan hukum yang timbul sebagai akibat pengaruh negatif dari berbagai faktor berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan pemberian hak atas tanah bagi penanaman modal di Indonesia, dapat ditemukan solusi pemecahan masalahnya. Upaya pemecahan masalah dimaksud, diharapkan dapat mendukung terwujudnya tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum). 34 lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha dengan jangka waktu hak guna usaha tersebut dapat diperpanjang kembali paling lama 25 tahun. Adapun hak pakai diberikan dengan jangka waktu menurut keperluannya, dengan mengingat pembatasan-pembatasan bagi hak guna bangunan dan hak guna usaha tersebut di atas. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, diubah menjadi Undang-Undang No. 11 tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Perubahan ini disebabkan adanya perubahan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang No. 8 tahun 1970. adanya perubahan ini, di bidang pertanahan tidak ada perubahan kebijakan, yang berubah hanya masalah perpajakan. Mengenai penanaman modal yang berasal dari dalam negeri diatur dengan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Secara umum pengaturan masalah pertanahan yang diatur dalam undang-undang ini tidak berbeda dengan undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang berbeda adalah sumber dana yang dipergunakan dalam penanaman modal. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk meningkatkan kemampuan perorangan maupun perusahaan nasional untuk menanamkan modalnya secara maksimal dalam bidang produksi barang dan jasa. Kebijakan pertanahan ditujukan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan, penggunaan serta pemeliharaan tanah; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan tanah; mengatur dan menetapkan perbuatan-perbuatan hukum antara orangorang yang berkaitan dengan tanah; dan memberikan kepastian hukum atas tanah melalui pemberian kepastian hukum hak atas tanah berupa keputusan hak atas tanah dan sertifikat hak atas tanah. Sejak awal kebijakan dasar pertanahan di Indonesia tertuang dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pengelolaan pertanahan melalui mekanisme penataan penggunaan tanah, pengaturan penguasaan tanah, pengurusan hak tanah, dan pendaftaran tanah. Dalam UUPA ditetapkan jenis-jenis hak atas tanah: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, Hak-Hak Lain yang sifatnya sementara, Hak Guna Air, Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, Hak Guna Ruang Angkasa. Dalam upaya meningkatkan daya saing perekonomian nasional, Pemerintah mengeluarkan paket Oktober 1993 (PAKTO 93) dengan melakukan deregulasi untuk mempermudah dan mempercepat penanaman modal. Salah satu upaya deregulasi tersebut adalah pemberian izin lokasi bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal di daerah. Izin lokasi yang sekaligus berfungsi sebagai izin perolehan tanah, ditetapkan berdasarkan Keppres No. 97 tahun 1993 dan dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Tujuannya adalah agar supaya izin lokasi dapat dilaksanakan dengan biaya murah, proses yang cepat dengan memanfaatkan sarana dan data yang ada di Kantor Pertanahan serta mengacu pada Rencana Umum Tata Ruang Wilayah I Daerah. Tata cara pemberian izin lokasi diatur lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 tahun 1993. dalam peraturan ini terdapat hal-hal prinsip yang diatur, yaitu : 1) Izin lokasi sekaligus berfungsi sebagai izin perolehan/pembebasan tanah. 2) Proses pemberian izin lokasi selambatlambatnya dalam waktu 12 hari kerja. 3) Proses pemberian hak atas tanah dibatasi waktunya sesuai dengan jenis haknya, luas tanah dan kewenangan pemberian haknya. 35 4) Hak Guna Bangunan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang selama 20 tahun dan dapat diperbarui paling lama 30 tahun. 5) Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dapat diperpanjang selama 25 tahun dan dapat diperbarui paling lama 35 tahun. 6) Penerbitan sertifikat dibatasi waktunya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya asli SK Haknya. 7) Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dapat diperpanjang selama 25 tahun dan dapat diperbarui paling lama 35 tahun. 8) Penerbitan sertifikat dibatasi waktunya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya asli SK Haknya. Tindak lanjut untuk lebih memantapkan pelaksanaan deregulasi PAKTO 93, selanjutnya diterbitkan Keputusan Menteri Negara Agraria I Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 21 tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal. Materi Pokok yang diatur dalam keputusan ini, antara lain : 1) Perolehan/pembebasan tanah hanya boleh dilaksanakan di areal yang telah ditetapkan dalam izin lokasi. 2) Perolehan/pembebasan tanah dilaksanakan secara langsung antara perusahaan dan pemilik atau pemegang hak atas tanah atas dasar kesepakatan. 3) Perolehan/pembebasan tanah dalam rangka pelaksanaan izin lokasi dapat dilakukan melalui cara pemindahan hak atas tanah atau melalui penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang diikuti dengan pemberian hak atas tanah. 4) Perpanjangan dan pembaruan hak dijamin dengan beberapa persyaratan tertentu. Dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 dan 1998, maka pada tahun 1999 Pemerintah menyempurnakan tata cara pemberian izin lokasi melalui Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1999. penyempurnaannya meliputi : 1) Izin lokasi berfungsi sebagai izin perolehan/pembebasan tanah serta berlaku pula sebagai izin pemindahan hak. 2) Izin lokasi tidak diperlukan apabila merupakan perluasan usaha, atau tanah yang diperoleh merupakan penyertaan modal (imbreng). 3) Izin lokasi untuk perusahaan atau perusahaan-perusahaan yang merupakan satu group perusahaan dibatasi luasnya tergantung pada jenis usaha dan lokasi. 4) Penandatanganan izin lokasi oleh Bupati/Walikota, sedangkan proses pemberian izin lokasi tetap dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 1 Februari 2001, terjadi kerancuan dalam pelaksanaan kebijakan pertanahan di daerah. Dalam Pasal 11 undang-undang ini, salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota adalah urusan pertanahan. Pemerintah kabupaten dan kota menganggap bahwa dengan diserahkannya urusan pertanahan kepada daerah otonom, maka segala sesuatu yang menyangkut kebijakan dan pelaksanaan urusan pertanahan menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah kabupaten dan kota. Upaya untuk menghindari salah penafsiran dari pemerintah kabupaten dan kota mengenai kewenangan penanganan di bidang pertanahan, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan, yaitu: 1) Keppres Nomor 10 tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan. 2) Keppres Nomor 62 tahun 2001. Dalam Keppres Nomor 34 tahun 2003, sebagian bidang tugas pemerintah pusat dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten dan kota yang di antaranya adalah pemberian izin lokasi. Dengan demikian seluruh proses pemberian izin lokasi yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota, telah menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten dan Kota. 36 Peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan kegiatan penanaman modal adalah Keppres No. 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Keppres ini didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk lebih meningkatkan minat dan investasi di berbagai bidang usaha, dipandang perlu untuk melakukan langkah-langkah penyempurnaan kembali terhadap ketentuan mengenai pemanfaatan tanah hak guna usaha dan hak guna bangunan untuk usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing. b. Setelah Berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Berkaitan dengan bidang pertanahan pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, diatur dalam Pasal 22 ayat (2) : 1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, dengan persyaratan antara lain : a) penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing; b) penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; c) penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; d) penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. 2) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. 3) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui dapat dihentikan atau dibatalkan oleh pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Berkenaan dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal, telah dimohonkan pengujian Undang-undang ini terhadap Undang-undang dasar 1945 melalui perkara Nomor 21/PUU-V/2007 oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat dan perkara Nomor 22/PPU-V/2007 adalah kelompok perorangan warga Negara Indonesia sekaligus mewakili organisasiorganisasi petani, nelayan, buruh dan pedagang tradisional ke mahkamah konstitusi. Akhirnya dari berbagai pertimbangan atas pengujian Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal terhadap UUD1945 mahkamah memutuskan bahwa : 1) Menyatakan permohonan para pemohon dikabulkan untuk sebagian; 2) Menyatakan : Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” dan berupa : a) Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (Sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b) Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang 37 di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c) Hak pakai dapat di berikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata “sekaligus di muka” Undang-undang penanaman modal bertentangan dengan UUD 1945 : 3) Menyatakan : Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus”dan berupa : a) Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (Sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima tahun); b) Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat di berikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c) Hak pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata “sekaligus di muka” Undang-undang penanaman modal tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal 22 Undangundang penanaman modal menjadi berbunyi : a. Kemudahan pelayanan dan/atau perjanjian hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal. b. Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: 1) Penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing; 2) Penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; 3) Penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; 4) Penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah Negara; dan 5) Penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. c. Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. d. Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas 38 tanah, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. e. Menyatakan permohonan para pemohon ditolak untuk selebihnya. Pengujian Undang-undang penanaman modal terhadap UUD 1945 yang telah diputus oleh mahkamah konstitusi sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya menurut penulis sangat terkait dengan keberlakuan suatu Undang-undang. Menurut JimlyAsshiddiqie (2010) bahwa suatu norma dianggap sah sebagai norma hukum (legal norm) yang mengikat untuk umum apabila norma hukum itu berlaku karena diberlakukan atau karena dianggap berlaku oleh para subyek hukum yang diikatnya. Keberlakuan ini dalam bahasa Inggris disebut “validity” dalam bahasa Jerman “geltung” atau dalam bahasa Belanda disebut “gelding”. Keabsahan berlakunya atau keberlakuan suatu Undangundang atau peraturan perundang-undangan itu sendiri pada pokoknya ditentukan oleh banyak faktor beraneka cara pandang. Secara umum dapat dikemukakan adanya empat kemungkinan faktor yang menyebabkan norma hukum dalam Undang-undang atau peraturan perundangundangan dikatakan berlaku. Norma-norma hukum dimaksud dapat dianggap berlaku karena pertimbangan yang bersifat filosofis, karena pertimbangan yuridis, pertimbangan sosiologis, pertimbangan politis, ataupun dianggap berlaku karena pertimbangan yang sematamata bersifat administratif. Untuk undangundang yang dikatakan baik, sudah seharusnya kelima syarat tersebut di atas haruslah dipenuhi sekaligus, yaitu berlaku, baik secara filosofis, politis, yuridis, sosiologis, maupun secara administratif. Permasalahan yang paling mendasar untuk dijelaskan dalam kaitan ini adalah keberlakuan suatu norma hukum secara filosofis karena terkait dengan nilai-nilai atau falsafah hidup yang dianut oleh sebuah Negara. Suatu norma hukum jika dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara. Seperti pandangan Hans Kelsen tentang “grundnorm” atau dalam pandangan Hans Nawiasky tentang “staatsfundamentalnorms”. Setiap Negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan. Dalam tata hukum yang berlaku di Indonesia Pancasila berada dalam dua kedudukan sekaligus. Sebagai cita hukum (rechtsidee) Pancasila berada dalam tata hukum Indonesia namun terletak di luar sistem norma hukum. Kedudukan demikian membuat Pancasila secara konstitutif dan regulatif terhadap norma-norma yang ada dalam sistem norma hukum. Selanjutnya, sebagai norma yang tertinggi dalam sistem norma hukum Indonesia, yang berasal dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, Pancasila merupakan norma dasar (grundnorm), yang menurut Nawiasky disebut norma fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm), yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rentan dalam sistem norma hukum tersebut, serta menentukan berlaku tidaknya norma-norma dimaksud. (Attamimi, 1993) Berkenaan dengan hal tersebut di atas menurut Philipus M. Hadjon (1987) spirit Negara hukum Pancasila berasal dari nilainilai dalam kelima Pancasila yang memiliki karakter a) keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan kerukunan; b) hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara; c) prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; d) keseimbangan hak dan kewajiban. Sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan, Selasa 25 Maret 2007 mengenai review Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 menyatakan bahwa sebagian ketentuan pasal tersebut tentang Penanaman Modal (UUPM) bertentangan dengan konstitusi. Hal ini disampaikan dalam sidang pengucapan putusan perkara 39 21-22/PUU-V/2007. Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Menurut MK bagian dari Pasal 22 UUPM yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” dan “berupa : a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. Selain itu, Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” dan Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata “sekaligus di muka” juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasca putusan MK menjadi berbunyi : a. Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal. b. Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain : 1) Penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing. 2) Penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; 3) Penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; 4) Penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; 5) Penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. c. Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. d. Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Pemberian hak atas tanah bagi penanam modal tentunya tidak boleh bertentangan dengan hukum pertanahan, di mana Pasal 33 ayat (3) merupakan momentum lahirnya Politik Pertanahan Nasional (Politik Pertanahan Indonesia). Ketentuan Pasal 33 ayat (3) dan penjelasnya tidak memuat penjelasan mengenai maksud arti kata “dikuasai” oleh negara. Hal ini dapat menimbulkan pengertian yang sangat luas dan akan kembali seperti pada pengaturan-pengaturan yang sebelumnya. 2. Pelaksanaan Reformasi Hukum Tanah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Tanah Perorangan Dan Penanam Modal 40 Sebelum membahas secara detail dan komprehensif mengenai reformasi hukum tanah dalam rangka perlindungan hak atas tanah perorangan dan penanaman modal (investor), maka terlebih dahulu diuraikan mengenai istilah reformasi, dengan maksud agar tidak terjadi salah pengertian tentang reformasi itu. Istilah reformasi mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak tumbangnya Presiden Soeharto pada 20 Mei 1998 dari kursi pemerintahannya. Kata “reformasi” itu sendiri dikenal dalam berbagai bahasa, seperti kata “reforme” dalam bahasa Prancis yang berarti perubahan atau pembaruan (Arifin dan Soemargo, 2007). Dalam bahasa Spanyol dengan istilah “reforma” yang berarti perbaikan atau pembaruan. Di dalam bahasa Belanda terdapat kata “reformatie” yang berarti reformasi juga dijumpai dalam bahasa inggris dengan kata reformation, sama pengertiannya dengan bahasa Belanda yang berarti reformasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata “reformasi” diartikan sebagai perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) di suatu masyarakat atau Negara. Reformasi hukum itu sendiri adalah upaya-upaya perubahan secara radikal sistem hukum, yang di dalamnya mencakup : pertama, cara berpikir terhadap hukum yang selama ini masih di pengaruhi oleh ajaran Austin dan aliran Kelsenian tentang hukum bahwa secara positif dan tertulis disebut undang-undang adalah a communal of thelawgiver(perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa) (Shidarta, 2006) Kedua, proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang tidak melihat permasalahan yang harus dipecahkan melalui hukum secara komprehensif dan multi sektor (lintas sektoral), sehingga menghasilkan peraturan perundangundangan yang tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat (heukinachterdefeitenaan). Ketiga, harmonisasi antara peraturan hukum yang belum bersimbiosis mutualisme, sehingga terdapat satu undang-undang yang arahnya tidak sejalan antara satu dengan lainnya dalam pengelolaan sumber daya alam yang bertentangan dengan undang-undang induknya (UUPA), sebagai contoh tarik tolak conflik of norm(perseteruan norma) akibat disharmonisasi antara UUPA dengan undang-undang penanaman modal. Keempat, lembaga atau institusi pemerintahan yang berwenang dalam sesuatu bidang terkadang tumpang tindih (overlapping) dengan institusi lainnya, akibatnya adalah terhadap lembaga mana yang berwenang membentuk hukum dan lembaga mana yang berwenang untuk menerapkan hukum. Mendesaknya reformasi pertanahan saat ini menurut Joyo Winoto (2007) bertumpu pada data kemiskinan BPS yang menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan tersebut adalah 13,36 persen, sedangkan di kawasan pedesaan mencapai 21,90 persen. Sketsa tentang angka kemiskinan di atas menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak di alami penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah petani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di pedesaan dan sekitar 56 persen menggantungkan hidupnya dari pertanian. Seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata sekitar 90 persen bekerja keras tetapi tetap miskin. Pokok penyebab dari kemiskinan di pedesaan ini karena lemahnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik termasuk yang paling utama adalah tanah. Keseluruhan kehidupan di pedesaan ternyata memiliki percepatan yang lebih tinggi daripada perkotaan. Hal ini menandakan pentingnya penataan kembali kehidupan di pedesaan, dalam konteks keadilan dan pemerataan. Revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan yang kokoh merupakan tujuan akhir dari reforma agraria. Hal ini ditandai dengan adanya kepastian penguasaan tanah 41 yang menjamin penghidupan dan kesempatan kerja bagi petani, tata guna tanah yang mampu memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup, kedaulatan pangan, kemampuan produktivitas yang mampu membuat keluarga petani dapat melakukan reinvestasi dan memiliki daya beli yang tinggi. Kalau hal ini terjadi, sektor pertanian di Indonesia akan menjadi sandaran hidup mayoritas rakyat dan juga sekaligus menyokong industrialisasi nasional. Reformaagrariapunkelak mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan keamanan. Berdasarkan hasil sensus pertanian, jumlah petani dalam kurun waktu 19832003 meningkat, namun jumlah lahan pertanian menurun, sehingga rata-rata pemilikan lahan per petani menyempit dari 1,30 ha menjadi 0,2 ha per petani. Melalui luasan Lahan usaha tani seperti ini meskipun produktivitas per luas lahan cukup tinggi, namun tidak dapat memberikan pendapatan petani yang cukup untuk menghidupi rumah tangga dan penyeimbangan usaha para petani. Gambaran fakta-fakta di atas menimbulkan Tanya apakah kenyataan tersebut berdiri sendiri tanpa sebab dari berbagai aspek termasuk aspek hukum ? pada kenyataannya, hukum juga memberi kontribusi yang besar terhadap munculnya ketimpangan struktur penguasaan lahan bagi petani di pedesaan, dan munculnya kemiskinan bagi petani di pedesaan antara lain mengenai hak-hak atas tanah, masih belum ada sinkronisasi satu sama lain, baik sinkronisasi vertikal maupun sinkronisasi horizontal. Antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang pokok agraria, kemudian antara Undang-Undang pokok agraria dengan Undang-Undang yang menyangkut tanah lainnya beserta peraturan pelaksanaannya. Antara UndangUndang pokok agraria dengan UndangUndang sektoral lainnya. Dapat disaksikan bahwa pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam di Indonesia terjadi tumpang tindih antara yang satu dengan yang lainnya, tidak menempatkan Undang-Undang pokok agraria sebagai Undang-Undang induknya, bahkan menempatkannya sederajat. Dampaknya struktur hukum pertanahan menjadi tumpang tindih sebagai akibat dari kebijakan ekonomi yang konsentrasi pada pertumbuhan. Undang-Undang Pokok Agraria yang awalnya merupakan hukum bagi kebijakan pertanahan dan kebijakan agraria pada umumnya di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya sejumlah peraturan perundang-undangan sektoral seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang telah di ganti dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undangundang pokok Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nomor 44 Tahun 1999, Undangundang Transmigrasi Nomor 3 Tahun 1972 sekarang dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1997, Undang-undang Pengairan Nomor 11 Tahun 1974, Undang-undang Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1975 sekarang dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Undang-undang pokok tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun i982 kemudian dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 terakhir dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-undang Rumah Susun Nomor 16 Tahun 1985, Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor 5 Tahun 1990, Undang-undang Penataan Ruang Nomor 24 Tahun 1992 kini dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 sekarang dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Keseluruhan Undang-undang tersebut mempunyai posisi yang sama dan menjadikan tanah sebagai objek yang sama. Benturan di lapangan tidak dapat dihindarkan, antara penggunaan dan penafsiran Undang-undang yang berbeda oleh pejabat-pejabat pemerintah sektoral 42 yang berbeda-beda terjadi atas konflik penguasaan tanah yang sama. Perbedaan antara Undang-undang tersebut di atas tidak hanya dapat memberi peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial Undang-undang tersebut tidak integratif. Dapat di saksikan pula bahwa data dari kementrian energi sumber daya mineral (ESDM) menetapkan ribuan izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah, total izin usaha pertambangan yang diklarifikasi pemerintah sekitar 9.000 IUP. Klarifikasi bertujuan untuk menuntaskan status hukum lahan, tidak tumpang tindih lahan dan perizinan. Dari 9.000 IUP tersebut, Kementrian ESDM baru menyelesaikan proses klarifikasi terhadap 3.000 IUP. Fakta lainnya dapat disimak terhadap pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang telah berlaku kurang lebih 6 tahun, namun hari ini setiap tahun sekitar 100.000 hektar lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Sementara kementrian kehutanan menyebutkan, di Kalimantan Timur ada 86 perusahaan perkebunan seluas 726.000 hektar yang merambah hutan secara ilegal dengan lahan seluas 774 hektar. Belum lagi jika ditelusuri kasus-kasus yang sama di pulau-pulau di wilayah Indonesia sebagai akibat dampak di bukanya otonomi daerah yang berimbas pada pengelolaan sumber daya agrarian yang tidak terkendali. Selain permasalahan yang telah di kemukakan sebelumnya, dapat di simak bahwa peraturan pemerintah nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian terdapat ketidaksesuaian. Menurut Sri Hayati ketidaksesuaian itu dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Hak Guna Usaha Ketidaksesuaian pengaturan Hak Guna Usaha (HGU) dalam peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dengan UUPA yaitu : a. Pemanfaatan tanahnya, UUPA mengatur bahwa HGU hanya untuk kepentingan pertanian, perikanan, atau peternakan. Sedangkan dalam peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan untuk kepentingan perkebunan. b. Jangka waktu berlakunya HGU, UUPA mengatur bahwa jangka waktu HGU adalah untuk pertama kali berjangka waktu paling lama 35 Tahun dan dapat di perpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 Tahun. Sedangkan dalam peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengatur bahwa untuk kepentingan penanaman modal, kepada pemegang HGU diberikan jangka waktu pertama kalinya paling lama 35 tahun, diberikan jaminan perpanjangan jangka waktu paling lama 25 tahun dan dijamin pembaruan HGU untuk jangka waktu paling lama 35 tahun. c. Asal tanah HGU, UUPA mengatur bahwa asal tanah HGU adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Sedangkan dalam peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengatur bahwa asal tanah HGU adalah tanah Negara, kawasan hutan yang telah dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan dan tanah hak milik lain yang telah di lepaskan haknya oleh pemegang haknya. 2. Hak Guna Bangunan Ketidaksinkronan pengaturan Hak Guna Bangunan (HGB) dalam peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dengan UUPA, yaitu : a. Asal tanah HGB, UUPA mengatur bahwa asal tanah HGB adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan tanah hak milik. Sedangkan peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1996 mengatur bahwa asal tanah HGB adalah tanah Negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. b. Terjadinya HGB, UUPA mengatur bahwa HGB yang berasal dari tanah Negara terjadi dengan penetapan pemerintah, sedangkan HGB yang berasal dari tanah Hak milik terjadi dengan perjanjian otentik. Peraturan 43 pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengatur bahwa HGB yang berasal dari tanah Negara terjadi dengan keputusan pemberian hak, HGB yang berasal dari tanah hak milik terjadi dengan akta pemberian hak oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan HGB yang berasal dari tanah hak pengelolaan terjadi dengan pemberian hak berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan. c. Jangka waktu HGB, UUPA mengatur bahwa jangka waktu HGB untuk pertama kali paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Sedangkan dalam peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengatur bahwa untuk kepentingan penanaman modal, kepada pemegang HGB diberikan jangka waktu pertama kalinya paling lama 30 tahun, dijamin perpanjangannya untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dijamin pembaruan haknya untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. 3. Hak Pakai Ketidaksinkronan pengaturan hak pakai (HP) dalam peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dengan UUPA yaitu : a. Subyek hak pakai, UUPA mengatur bahwa subyek HP adalah WNI, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, Departemen, lembaga pemerintah Non Departemen, pemerintah daerah, perwakilan Negara asing dan perwakilan badan Internasional. b. Asal tanah hak pakai, UUPA mengatur bahwa asal tanah hak pakai adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan tanah milik orang lain. Sedangkan dalam peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengatur bahwa asal tanah hak pakai adalah tanah Negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. c. Terjadinya Hak pakai, UUPA mengatur bahwa hak pakai berasal dari tanah Negara terjadi dengan keputusan pemberian hak dan hak pakai yang berasal dari tanah hak milik orang lain terjadi dengan melalui perjanjian dengan pemilik tanah sedangkan dalam peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1996 mengatur bahwa hak pakai yang berasal dari tanah Negara dengan keputusan pemberian hak, hak pakai yang berasal dari tanah hak pengelolaan terjadi melalui keputusan pemberian hak berdasarkan usulan dari pemegang hak pengelolaan dan hak pakai yang berasal dari hak milik terjadi dengan akta pemberian hak yang dibuat oleh PPAT. d. Jangka waktu hak pakai, UUPA tidak mengatur secara tegas, tetapi hanya mengatur selama jangka waktu tertentu dan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Sedangkan dalam peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengatur bahwa untuk penanaman modal, kepada pemegang hak pakai diberikan jangka waktu pertama kali paling lama 25 tahun, dijamin perpanjangan jangka waktu paling lama 20 tahun dan dijamin pembaruan haknya untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. e. Pembebanan hak tanggungan, UUPA mengatur bahwa hak pakai tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Sedangkan dalam peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengatur bahwa hak pakai atas tanah Negara dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. (Sri Hayati, 2005). Beberapa kasus yang dikemukakan di atas hanya sekedar menyebut beberapa contoh betapa pemerintah (pusat dan daerah) begitu mudah mengeluarkan Izin usaha tambang dan perkebunan, serta alih fungsi lahan pertanian kepada penanam modal, baik untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (pusat) maupun sumber pendapatan daerah (pemda). Selain memicu sengketa dan konflik dengan masyarakat setempat juga telah mengusik tatanan 44 sebagian masyarakat adat yang dijamin keberadaannya oleh konstitusi dalam bentuk pengakuan dan penghormatan. Dampak akhir dari semua itu bisa dilihat dari data badan pertanahan nasional tahun 2010 yang menyebutkan bahwa sekitar 0,2% orang Indonesia menguasai 56 persen seluruh aset nasional, yang 87 persen di antara aset tersebut itu berupa tanah. (Sri Hayati, 2005). Konsentrasi kepemilikan tanah oleh pihak swasta/penanam modal maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bakai terus meningkat seiring dengan target-target pertumbuhan yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Kenaikan pemerintah Indonesia ke investmentgrade oleh lembaga peringkat utang moondy’s tentu saja menambah minat investor menanam modal atau membeli aset-aset Indonesia. Untuk menjamin ketersediaan lahan yang adil dan berkelanjutan saatnya pemerintah menyatakan komitmen yang kuat untuk segera melaksanakan reforma agraria dengan landreform sebagai program pokok. Program Nawacita pemerintahan Jokowi untuk mendorong landreform program kepemilikan tanah seluas 9 hektar di tahun 2019 moga menjadi kenyataan. prinsip penguasaan oleh negara maupun kedaulatan rakyat di bidang ekonomi sebagaimana dimaksud oleh pasal 33 UUD 1945. Kata-kata “dapat diperpanjang di muka sekaligus”, maupun kata-kata “sekaligus di muka” dalam pasal 22 ayat (4) Undang-undang penanaman modal menjadikan kewenangan kontrol oleh Negara untuk melakukan tindakan pengawasan (Toezichthoudensdaad) maupun pengelolaan (beheersdaad) menjadi berkurang atau bahkan terhalang. 2. Kebijakan pemerintah melalui reformasi di bidang pertanahan dalam rangka penanaman modal dalam pelaksanaannya belum mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai terhadap hak-hak perorangan maupun penanam modal, kasus-kasus perebutan lahan di beberapa daerah di Indonesia antara warga masyarakat dan penanam modal masih menjadi pemberitaan bahkan tumpang tindih perizinan areal perkebunan dan wilayah pertambangan masih juga terjadi. Saran 1. Agar kebijakan pemberian hak atas tanah bagi penanam modal di Indonesia dapat terlaksana dengan baik, maka perlu segera menjalankan reformasi hukum pertanahan secara konsisten agar sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta harus ada harmonisasi kebijakan agraria secara menyeluruh. 2. Agar kebijakan pemberian hak atas tanah bagi penanam modal di Indonesia dapat mencapai tujuannya sebagaimana maksud Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa pemberian hak-hak atas tanah (HGU, HGB dan Hak Pakai) “Yang dapat diperpanjang di muka sekaligus” sebagaimana ditentukan dalam pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang penanaman modal baik dilihat dari perspektif prinsip penguasaan oleh Negara, yang di dalamnya termasuk perlindungan terhadap kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi. maupun dari perspektif kedaulatan rakyat di bidang ekonomi sebagaimana yang terkandung dalam pengertian pasal 33 UUD 1945 sangat bertentangan dengan DAFTAR PUSTAKA A. Hamid S. Attamimi, 1993. Pancasila : Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia Dalam Oetojo Oesman, Pancasila sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Karya Anda, Surabaya. 45 Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan. CV. Rati Maju Mandiri, Jakarta. Muhammad Bakri, 2006. Pembatasan Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Dalam Hubungannya Dengan Hak Ulayat dan Hak Perseorangan Atas Tanah, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Darwin Ginting, Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis, Hak Menguasai Negara Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia. Ghalia Indonesia, Bogor. Philipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya. H.A. Muin Fahmal, 2008. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Kreasi Total Media, Yogyakarta. Shidarta, 2006. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung. JimlyAsshidiqie, 2010, Perihal UndangUndang, Rajawali Pers, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sulistio Widodo, 2005. Pembaharuan Agraria, Makalah Disampaikan Dalam Seminar Otonomi Daerah dan Pembaharuan Agraria, Bandung. John M. Echosis dan Hasan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia, AnEnglishIndonesianDictionary, Itrchaand London, Corner University Press, Gramedia, Jakarta. Susi Moeiman dan HeinSteinheuer, 2008. Kamus Belanda Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tim Penyusun Sinopsis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi serta Kompilasi Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap UUD 1945, Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008. Joyo Winoto, 2007. Reforma Agraria dan Keadilan Sosial, Makalah Dalam Rangka DiesNatalis Universitas Padjadjaran Ke50, Bandung, 10 September 2007. Joyo Winoto, 2007. Reforma Agraria dan Keadilan Sosial, Pidato Ilmiah yang disampaikan dalam rangkaian DiesNatalies Universitas Padjajaran ke-50, Bandung, 10 September 2007. Winarsih Arifin dan Farida Soemargo, 2007. Kamus Perancis Indonesia, Dictionnaire Francis-Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. MilagrosGuindel, 2001. Kamus Spanyol Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 46