View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komunikasi Massa
Komunikasi massa merupakan sejenis kekuatan sosial yang dapat
menggerakkan proses sosial ke arah suatu tujuan yang telah ditetapkan
terlebih dahulu. Definisi komunikasi massa yang paling sederhana
dikemukakan oleh Bittner dalam Rakhmat, (2009 : 188) adalah pesan yang
dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang.
Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli
komunikasi lain, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner dalam Rakhmat, (2009 :
188) komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan
teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas
dimiliki orang dalam masyarakat industri. Sedangkan menurut Rakhmat
(Rakhmat, 2009 : 189) komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang
ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim
melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat
diterima secara serentak dan sesaat.
Komunikasi
massa
memiliki
beberapa
karakteristik
yang
dikemukakan oleh para ahli seperti menurut Wright dalam Ardianto,
(2007: 4) komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena
memiliki karakteristik utama yaitu:
23
1. Diarahkan kepada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim
2. Pesan disampaikan secara terbuka
3. Pesan diterima secara serentak pada waktu yang sama dan bersifat
sekilas (khusus untuk media elektronik)
4. Komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang
kompleks yang melibatkan biaya besar.
Fungsi komunikasi massa dikemukakan oleh Effendy dalam
Ardianto, (2007 : 18) secara umum yaitu:
1. Fungsi Informasi
Fungsi memberikan informasi ini diartikan bahwa media massa adalah
penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai
informasi dibutuhkan oleh khalayak media massa yang bersangkutan
sesuai dengan kepentingannya.
2. Fungsi Pendidikan
Media massa banyak menyajikan hal-hal yang sifatnya mendidik
seperti melalui pengajaran nilai, etika, serta aturan-aturan yang berlaku
kepada pemirsa, pendengar atau pembaca.
3. Fungsi Memengaruhi
Media massa dapat memengaruhi khalayaknya baik yang bersifat
pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), maupun tingkah laku
(conative).
24
Pendapat lain dikemukakan oleh Dominick dalam Ardianto,
(2007:14 - 17) yaitu fungsi komunikasi terdiri dari :
1. Surveillance (Pengawasan)
Fungsi ini menunjuk pada pengumpulan dan penyebaran informasi
mengenai kejadian-kejadian dalam lingkungan maupun yang dapat
membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.
2. Interpretation (Penasiran)
Fungsi ini mengajak para pembaca atau pemirsa untuk memperluas
wawasan
dan
membahasnya
lebih
lanjut
dalam
komunikasi
antarpesona atau komunikasi kelompok.
3. Linkage (Pertalian)
Fungsi ini bertujuan dimana media massa dapat menyatukan anggota
masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian)
berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.
4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai)
Fungsi ini artinya bahwa media massa yang mewakili gambaran
masyarakat itu ditonton, didengar, dan dibaca. Media massa
memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa
yang mereka harapkan.
5. Entertainment (Hiburan)
Fungsi ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan pikiran halayak,
karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan
hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali.
25
Menurut Steven M. Chaffee dalam Ardianto, (2007 : 50-58), efek
media massa dilihat dari dua pendekatan yaitu efek dari media massa yang
berkaitan dengan pesan ataupun media itu sendiri dan jenis perubahan
yang terjadi pada khalayak.
1. Efek kehadiran Media Massa
Ada lima jenis efek kehadiran media massa sebagai benda fisik,
yaitu efek ekonomis, efek sosial, efek pada penjadwalan kegiatan, efek
penyaluran / penghilangan perasaan tertentu, dan efek pada perasaan
orang tehadap media.
2. Efek Pesan
a. Efek Kognitif
Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang
sifatnya infomatif bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas
tentang bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam
mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan
keterampilan kognitifnya.
b. Efek Afektif
Efek Afektif kadarnya lebih tinggi daripada efek kognitif. Tujuan
dari komunikasi massa bukan sekedar memberitahu khalayak tentang
sesuatu, tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut
merasakan perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah dan
sebagainya.
26
c. Efek Behavioral
Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak
dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Menurut teori
Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya. Stimulus
menjadi teladan untuk perilakunya.
B. Buku sebagai Bagian dari Media Massa
Media massa yaitu saluran sebagai alat atau sarana yang
dipergunakan dalam proses komunkasi massa. Media massa secara pasti
memengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak. Budaya, sosial, politik
dipengaruhi oleh media (Agee dalam Ardianto, 2007 : 58). Media massa
dikatakan sebagai kebudayaan yang bercerita. Media membentuk opini
publik untuk membawanya pada perubahan yang signifikan.
Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori
yaitu media massa cetak dan media massa elektronik. Yang termasuk
media massa cetak yaitu buku, surat kabar, dan majalah. Sedangkan yang
termasuk media massa elektronik yaitu radio, televisi, film, dan media online (internet).
Di Indonesia, perkembangan media massa telah menunjukkan
kecenderungan yang pesat, baik media cetak maupun media elektronik
baik lokal maupun asing. Dengan demikian, kebutuhan kita akan hiburan,
informasi dan pendidikan dapat terpenuhi dengan hadirnya media massa.
27
Sebagai sebuah bagian dari media massa cetak, buku merupakan
sifat yang paling tidak “massa” dari media massa kita dalam menjangkau
khalayaknya dan besarnya industri itu sendiri, dan fakta ini membentuk
hubungan antara media dan khalayak. Hubungan lebih langsung antara
penerbit dan pembaca buku menjadikan buku memiliki fundamental
berbeda dari media massa lainnya.
Buku tidak tergantung dari media massa lain yang menarik
khalayaknya sebesar mungkin, dan lebih mampu dan lebih mungkin untuk
menetaskan yang baru, menantang, atau gagasan yang tidak populer. Buku
juga sebagai cerminan budaya. Sebagai bagian dari komunikasi massa,
kebudayaan tentu melekat pada sebuah buku. Karena komunikasi adalah
dasar kebudayaan kita (Carey dalam Baran, 2011 : 10).
Buku merupakan sumber informasi dan hiburan. Buku dapat
dikatakan sebagai pengembangan pribadi dan perubahan sosial. Buku
memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan media massa yang lainnya.
Buku dapat dinikmati kapan saja dan dimana saja karena buku tidak terikat
oleh tempat dan waktu. Buku juga dapat mengembangkan topik serta
pemikiran-pemikiran baru sehingga ilmu bisa berkembang secara
akumulatif.
Membaca buku adalah aktivitas pribadi yang jauh lebih individual,
daripada mengonsumsi iklan (televisi, radio, surat kabar, dan majalah)
atau musik populer dan film. Dengan demikian, buku cenderung
28
mendorong refleksi pribadi ke tingkat lebih tinggi daripada media-media
lainnya.
Jenis buku pertama yang dirancang untuk menarik perhatian massa
muncul di Abad Pertengahan. Buku itu dikenal dengan nama ‘novel fiksi’
(dari bahasa latin fingere yang artinya membentuk, menyatukan).
Novel adalah sebuah teks naratif. Novel menceritakan kisah yang
mempresentasikan suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan
nyata atau untuk merangsang imajinasi. Di dalam teori semiotika
mutakhir, aspek penarasian seperti ini dinyatakan sebagai intertekstualitas.
Interteks adalah teks narasi lain yang dimainkan oleh sebuah novel melalui
pengutipan atau implikasi. Bisa dikatakan ini adalah teks yang terletak di
luar teks utama. Sebuah novel juga bisa memiliki subteks, yaitu kisah yang
secara implisit terkandung di dalamnya yang mendorong sebuah narasi di
permukaan ( Danesi, 2010 : 75).
Novel bisa memberikan dampak begitu besar kepada pembacanya.
Makna umum novel sering dipakai sebagai penafsir untuk menilai
peristiwa atau tindakan yang ada di dalam kehidupan nyata.
C. Komunikasi Verbal dan Non-Verbal
Seperti dikatakan Watzlawiek, Beavin dan Jackson dalam
Littlejohn, bahwa setiap komunikasi mempunyai aspek isi dan aspek
hubungan. Aspek isi pesan berisikan apa yang dikatakan (verbal), sedang
aspek hubungan berisikan bagaimana pesan diucapkan atau dikatakan
29
melalui komunikasi non verbal (dalam Cahyana, 1996 : 202). Memahami
isi pesan adalah tujuan dari semua proses komunikasi. Melalui komunikasi
dengan orang lain, kita mendapatkan pengertian yang lebih baik akan
pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima ( West, 2008 : 93).
1. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan
simbol-simbol verbal. Simbol verbal bahasa merupakan pencapaian
manusia yang paling impresif. Setiap bahasa memiliki aturan-aturan yaitu:
1.
Fonologi:
cara
bagaimana
suara
dikombinasikan
untuk
membentuk kata.
2.
Sintaksis: cara bagaimana kata dikombinasikan hingga membentuk
kalimat.
3.
Semantik: arti kata.
4.
Pragmatis: cara bagaimana bahasa digunakan.
Menurut teori belajar, anak-anak memperoleh pengetahuan bahasa
melalui tiga proses yaitu asosiasi, imitasi, dan peneguhan. Bahasa
menampilkan elemen-elemen di dunia secara simbolis, ada yang konkret
dan ada yang abstrak. Ada keterkaitan yang erat antara bahasa dan realitas.
Bahasa menyebabkan kita memandang realitas sosial dengan cara tertentu
(Whorf dalam Mutmainah, 1996:57).
Secara singkat, teori Whorf mengatakan bahwa pandangan kita
tentang dunia dibentuk oleh bahasa, karena bahasa berbeda, pandangan
kita tentang dunia pun berbeda. Whorf juga menjelaskan kategori
30
gramatikal dari suatu bahasa menunjukkan kategori kognitif dari pemakai
bahasa tersebut. Artinya kita memberikan makna pada apa yang kita lihat,
yang kita dengar atau yang kita rasa sesuai dengan kategori-kategori yang
ada dalam bahasa kita.
Dalam hubungannya dengan berpikir, konsep suatu bahasa
cenderung menghambat atau mempercepat proses pemikiran tertentu.
Meskipun kita dapat berpikir tanpa bahasa, bahasa terbukti mempermudah
kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan dan menarik
kesimpulan. Dengan bahasa kita mengkomunikasikan pemikiran kita
kepada oang lain dan menerima pikiran orang lain. Singkatnya, kita tidak
selalu berpikir dengan kata-kata tetapi sedikit sekali kita dapat berpikir
tanpa kata-kata.
Kata-kata tidaklah bermakna. Manusialah yang memberikan
makna. Dalam psikologi, makna tidak terletak pada kata-kata tetapi pada
pikiran orang dan persepsinya. Makna terbentuk karena pengalaman
individu.
Beberapa ahli menemukan bahwa kata-kata yang dipergunakan
oleh individu mengalami perluasan makna yang negatif atau positif tanpa
disadari. Hal ini terjadi karena kata-kata itu telah memperoleh makna
tertentu pada diri pelaku komunikasi akibat pengalaman hidupnya. Jadi,
karena pengalaman hidup yang berbeda, orang mempunyai makna masingmasing untuk kata-kata tertentu.
31
Kita dapat berkomunikasi dengan orang lain karena ada makna
yang dimiliki bersama. Makna yang sama hanya terbentuk bila kita
memiliki pengalaman yang sama. Komunikasi akan berhasil apabila pesan
yang disampaikan tepat, dapat dimengerti dan dapat diterima oleh
komunikan. Seperti dikatakan Jalaluddin Rakhmat bahwa keberhasilan
komunikasi sangat ditentukan kekuatan pesan (dalam Suranto, 2011 : 122).
Pesan yang disampaikan atau diorganisasikan secara baik, lebih
berpeluang untuk keberhasilan perubahan, pengertian karena ada
kesamaan makna yang dipahami oleh komunikator dan komunikan dalam
sebuah pesan dan juga sikap dari komunikaan itu sendiri. Sikap atau
perilaku seseorang juga ditentukan oleh kepercayaan, yang pda gilirannya
menentukan sikap lalu memengaruhi niat (Hamidi, 2007 : 89).
2. Komunikasi Non-Verbal
Komunikasi nonverbal adalah semua bentuk komunikasi yang
tidak menggunakan pesan berupa kata-kata. Para ahli dibidang komunikasi
nonverbal biasanya menggunakan definisi “tidak menggunakan kata”
dengan ketat, dan tidak menyamakan komunikasi nonverbal dengan
komunikasi nonlisan. Contoh komunikasi nonverbal adalah menggunakan
gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan
objek seperti pakaian, potongan rambut dan sebagainya, simbol-simbol
serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi
dan gaya berbicara.
32
Berikut adalah bagian-bagian dari pesan nonverbal, yaitu:
1. Paralanguage
Apa yang kita katakan menggunakan kata, frase atau kalimat
penting dalam proses komunikasi. Namun seringkali cara kita
menggunakan bahasa jauh lebih penting sebagai sumber informasi
daripada kata-kata itu sendiri. Inilah yang dikenal dengan
paralanguage (paralinguistik) yaitu cara kita menggunakan bahasa.
Paralanguage dapat terbagi dua yaitu bentuk vokalik dan bentuk
tertulis.
2. Penampilan (appearance)
Dalam komunikasi manusia, penampilan memegang peranan
penting. Kesan pertama tentang orang lain umumnya dibentuk dari
penmpilan orang tersebut. Kesan awal ini menentukan proses
komunikasi selanjutnya. Sejumlah faktor yang menyumbang
penampilan adalah wajah, mata, rambut, bentuk fisik tubuh,
pakaian, perlengkapan dan artifak (objek di luar individu yang
dapat menjadi sumber informasi lain tentang individu tersebut,
seperti mobil dan rumah).
3. Gestura (kinesik)
Gestura adalah gerakan anggota tubuh. Gestura dapat disengaja
(purpose-ful) dikirimkan dengan tujuan tertentu dan tidak
disengaja (incidental atau unintended). Sejumlah gestura dapat
33
merupakan pelengkap bagi sinyal-sinyal verbal (misalnya: anda
berkata “ya” sambil mengangguk-angguk).
4. Sentuhan (haptik)
Alat penerima sentuhan ialah kulit. Kulit mampu menerima dan
membedakan berbagai emosi yang disampaikan orang melalui
sentuhan. Sentuhan merupakan ungkapan seperti perhatian, rasa
sayang, rasa takut, marah, kebahagiaan dan keakraban. Sentuhan
dapat menunjukkan tingkat keakraban hubungan seseorang dengan
orang lain, budaya, dan suku bangsa seseorang.
5. Ruang dan Jarak (proksemik)
Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang.
Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan tingkat
keakraban kita dengan orang lain. Edward T. Hall dalam
Mutmainah, (1996 : 62) menyebutkan ada empat macam jarak
dalam interaksi antarmanusia, yaitu jarak akrab / intim, jarak
personal, jarak sosial, dan jarak publik.
6. Waktu (kronemik)
Penggunan waktu juga penting dalam komunikasi manusia.
Konsep waktu berbeda antara budaya yang satu dengan budaya
yang lainnya.
Mark L. Knapp dalam Mutmainah, (1996 : 59) menyebutkan lima
fungsi komunikasi nonverbal, yaitu:
34
1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan
secara verbal.
2. Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal.
3. Kontradiksi, yaitu menolak pesan verbal atau memberikan makna
yang lain terhadap pesan verbal.
4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan
nonverbal.
5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahi.
D. Psikologi Komunikasi
Pada dasarnya komunikasi itu merupakan suatu proses yang
mempunyai karakteristik dan fungsi yang khas. Ciri khas komunikasi
adalah bahwa komunikasi merupakan proses yang dinamis tidak dapat
diulang dan diubah. Adapun fungsi komunikasi adalah selain untuk
memahami diri kita sendiri dan orang lain juga memapankan hubungan
yang bermakna serta mengubah sikap dan perilaku.
Komunikasi antarmanusia tidak pernah terlepas dari aspek
psikologis manusia itu sendiri. Keterkaitan antara psikologi dan
komunikasi pada dasarnya sangat besar. Psikologi komunikasi berkaitan
dengan bagaimana mencapai komunikasi yang efektif dalam interaksi
manusia.
Perkembangan psikologi komunikasi dari seorang manusia juga
terbentuk oleh banyak faktor baik itu bersifat bawaan yaitu sesuatu yang
35
ada pada seseorang bersamaan dengan kehadirannya atau bawaan genetik.
Banyak anak yang tumbuh dengan keadaan perilaku yang secara
psikologi terbilang tidak normal. Terkadang ada anak yang terbilang
agresif sehingga dia tidak mampu mengkomunikasikan dengan tepat
bagaimana perasaannya (Hildayani, 2006 : 13)
Ada beberapa pendapat dari pakar psikologi mengenai pengertian
komunikasi dalam perspektif psikologi diantaranya Hovland, Janis dan
Kelly (dalam Komala, 2009 : 74) yang mendefinisikan komunikasi
sebagai “the process by wich an individual (the communicator) transmits
stimuly (usually verbal) to modify the behavior of other individuals (the
audiences). Yang artinya “proses dimana seorang individu (komunikator)
mengirimkan rangsangan (biasanya verbal) untuk mengubah perilaku
individu lain (khalayak)”.
Dengan demikian psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha
menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan
behavioral dalam komunikasi (Miller dalam Rakhmat, 2009 : 9).
Menguraikan berarti menganalisis suatu tindakan komunikasi bisa
terjadi. Apa yang terjadi dalam diri kita sehingga tindakan itu muncul.
Sedangkan meramalkan membawa kita pada pengertian bahwa dengan
membuat generalisasi tertentu atas sejumlah perilaku tertentu yang
dihubungkan dengan kondisi psikologis tertentu, maka kita akan bisa
meramalkan bentuk perilaku apa yang akan muncul jika suatu stimulus
diberikan kepada orang dengan karakter psikologis tertentu. Sementara
36
mengendalikan adalah kita bisa melakukan campur tangan tertentu
(manipulasi), jika kita menginginkan atau tidak menginginkan suatu efek
tertentu dari suatu komunikasi yang terjadi.
Tubbs dan Moss dalam Rakhmat, (2009 : 13-15) menyebutkan
lima tolak ukur efektivitas komunikasi yaitu:
1. Pengertian, artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli
seperti yang dimaksud oleh komunikator. Kegagalan menerima
isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer.
2. Kesenangan, artinya ketika kita berkomunikasi dengan orang
lain misalnya mengucapkan salam. Komunikasi itu hanya
dilakukan untuk mengupayakan agar orang lain timbul rasa
kesenangan. Inilah yang menjadikan hubungan kita hangat,
akrab dan menyenangkan.
3. Memengaruhi sikap,
artinya
seringkali
kita
melakukan
komunikasi untuk memengaruhi orang lain. Misalnya guru
ingin mengajak muridnya lebih mencintai ilmu pengetahuan.
Ini disebut juga dengan komunikasi persuasif.
4. Hubungan sosial yang baik, artinya komunikasi juga ditujukan
untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Secara
singkat, kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang
lain, mengendalikan dan dikendalikan, mencintai dan dicintai.
Kebutuhana sosial ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi
interpersonal yang efektif.
37
5. Tindakan, artinya efektivitas komunikasi biasanya diukur dari
tindakan nyata yang dilakukan komunikator dan komunikan.
Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi. Ini
bukan
saja
memerlukan
pemahaman
tentang
seluruh
mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi,
tetapi juga faktor-faktor yang memengaruhi perilaku manusia.
Banyak teori dalam ilmu komunikasi yang dilatarbelakangi
konsepsi-konsepsi tentang manusia. Psikologi telah banyak melahirkan
teori-teori tentang manusia tetapi empat pendekatan yang paling dominan
adalah
psikoanalisis,
behaviorisme,
psikologi
kognitif,
psikologi
humanistik. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing pendekatan
tersebut:
1. Psikoanalisis
Psikoanalisis adalah menganalisis manusia berdasarkan
perkembangan kepribadian atau proses sosialisasi serta
mengidentifikasi agresi kebudayaan dan perilaku. Dalam
pandangan psikoanalisis, kepribadian manusia merupakan
interaksi antara Id, Ego, dan Superego. Id sering dipandang
sebagai nafsu yang memuat dorongan-dorongan biologis kita.
Ego adalah kesadaran akan realitas. Ego yang bergerak atas
prinsip realitas adalah struktur kepribadian yang membawa kita
untuk menjejak pada kenyataan sosial. Superego dipandang
sebagai polisi kepribadian, hati nurani yang berupaya
38
mewujudkan keinginan-keinginan ideal kita yaitu norma-norma
sosial dan kultural masyarakat kita.
2. Behaviorisme
Menurut behaviorisme analisis perilaku manusia hanya
berdasarkan perilaku yang nampak serta dapat diukur.
Behaviorisme juga sangat percaya bahwa perilaku manusia
merupakan hasil dari proses belajar. Menurut Bandura dalam
Rakhmat (2009 : 25) melakukan suatu perilaku tertentu
manusia memerlukan peneguhan sedangkan kemampuan
potensial untuk melakukan ditentukan oleh peniruan dalam
suatu proses belajar sosial.
3. Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif memandang manusia sebagai mahluk
yang selalu berusaha memahami lingkungannya, mahluk yang
selalu berpikir. Perilaku manusia harus dilihat dari konteksnya.
Perilaku manusia bukan sekedar hasil dari proses menanggapi
stimulus yang diterimanya. Pada dasarnya teori ini menyatakan
bahwa manusia cenderung mengalami ketegangan pada saat
kebutuhan psikologisnya belum terpenuhi.
4. Psikologi Humanistik
39
Manusia dalam psikologi humanistik, manusia dikenal
dengan
kehidupan
yang
pengalaman
pribadinya
unik.
Antarpribadi yang memiliki pengalaman unik inilah kita
berinteraksi dalam kehidupan sosial. Manusia berupaya
mencari makna kehidupannya, kehadirannya di lingkungan
serta apa yang dapat diberikannya kepada lingkungan.
Kecenderungan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan
keutuhan diri (Rogers dalam Mutmainah, 1996 : 20). Dalam
kondisi yang normal ia berperilaku rasional dan konstruktif,
serta memilih jalan menuju pengembangan dan aktualisasi diri.
Kesimpulannya psikologi humanistik bertumpu pada tiga dasar
yaitu keunikan manusia, pentingnya nilai dan makna serta
kemampuan manusia untuk mengembangkan diri.
E. Konstruksi Atas Realitas Sosial
Pada umumnya teori dalam paradigma definisi sosial sebenarnya
berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas
sosialnya. Dalam arti, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh
norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang
kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang
menggambarkan struktur dan pranata sosial (Ritzer dalam Bungin, 2008 :
187).
40
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di
luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu berasal.
Karena itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik terhadap apa yang ada
dalam pemikiran manusia tentang proses sosial, terutama para pengikut
interaksi simbolis. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang
sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
sosialnya.
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktifis, realitas
merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun
demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat dalam
Bungin, 2008 : 187).
Max Weber dalam Bungin (2008 : 188) melihat realitas sosial
sebagai perilaku sosial yang memilik makna subjektif, karena itu perilaku
memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku sosial itu menjadi “sosial”, oleh
Weber dikatakan, kalau yang dimaksud subjektif dari perilaku sosial
membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang
lain dan mengarahkan kepada subjektif itu.
Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa
kehadiran idividu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas
sosial itu memiliki makna, ketika realitas sosial dikonstruksi dan
dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan
realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial, dan
41
merekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu
berdasarkan subjektivitas individu lain dalm institusi sosialnya.
Membicarakan teori konstruksi sosial tak dapat melupakan gagasan
dari dua tokoh sosiologi yakni Peter L Berger dan Thomas Luckmann.
Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai
suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan.
Konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja kognitif
individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi
sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya.
Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang
dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada
sebelumnya. Konstruktivisme macam ini yang oleh Berger dan Luckmann
(1990 : 1), disebut dengan konstruksi sosial.
Berger dan Luckmann (1990 : 1) memulai penjelasan realitas sosial
dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas
diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang
diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada
kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai
kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik
yang spesifik.
Berger dan Luckmann (1990 : 61) mengatakan, institusi
masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan
interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat secara
42
nyata secara objektif, namun pada kenyatannya semuanya dibangun dalam
definisi subjektif melalui proses interaksi.
Berger dan Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas
merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi
sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya, “reality is socially
constructed”. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi
secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu (1) eksternalisasi
(penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebgai produk manusia, (2)
objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif
yang dilebagakan atau mengalami proses institusionalisasi dan (3)
internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu
menjadi anggotanya (Bungin, 2008 : 193).
Menurut Berger dan Luckmann (Nugroho dalam Bungin, 2008 :
192) pengetahuan yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat.
Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang
hidup dan berkembang di masyarakat, seperti konsep, kesadaran umum,
wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial
dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam
ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan.
Menurut Berger dan Luckmann (Subiakto dalam Bungin, 2008 :
192) realitas sosial yang dimaksud adalah terdiri dari realitas objektif,
43
realitas simbolis, dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas
yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri
individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis
merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk.
Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses
penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu
melalui proses internalisasi.
Intinya
adalah
konstruksi
sosial
merupakan
pembentukan
pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas memiliki
makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara
subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara
objektif. Konstruksi sosial realitas merupakan teori yang mengasumsikan
sebuah persetujuan berkelanjutan atas makna, karena orang-orang berbagi
sebuah pemahaman mengenai realitas tersebut (Baran & Davis, 2009:
383).
F. Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam
komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa.
Analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau
teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi
teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan melihat
44
bagaimana bangunan struktur kebahasan tersebut, analisis wacana lebih
bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto,2001 : 15).
Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana.
Pandangan pertama yaitu positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai
jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalamanpengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan
melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala sejauh ia dinyatakan dengan
memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki
hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini
adalah pemisah antara pemikiran dan realitas.
Pandangan kedua adalah konstruktivisme yang banyak dipengaruhi
pemikiran fenomenologi. Dalam konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya
dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang
dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme
justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana
serta hubungan-hubungan sosialnya.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini
ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada
proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun
institusional. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada
konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi
makna. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak
45
di luar diri si pembicara. Tetapi merupakan representasi yang berperan
dalam membentuk subjek tertentu maupun strategi di dalamnya.
Dalam analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis / CDA),
wacana disini tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya,
analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk
dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis disini agak berbeda dengan studi
bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan
dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga
menghubungkan dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa itu dipakai
untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik
kekuasaan.
Menurut Fairclough dan Wodak, (Eriyanto 2009 : 7), analisis
wacana kritis melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosial.
Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah
hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi,
institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Analisis wacana kritis
melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan
untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Analisis
wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial
yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing.
46
G. Analisis Wacana Teun A. Van Dijk
Dari sekian banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan
dikembangkan, model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai.
Model yang dipakai Van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial”.
Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan dari lapangan psikologi
sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu
teks. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya
didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari
suatu praktik produksi yang juga harus diamati.
Van Dijk tidak hanya mengeksklusi modelnya hanya dengan
menganalisis teks semata. Ia juga melihat bagaimana struktur sosial,
dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan
bagaimana kognisi / pikiran dan kesadaran yang membentuk dan
berpengaruh terhadap teks tertentu.
Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi /
bangunan, yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Van Dijk
menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan
analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks
dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu.
Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang
melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga yaitu
konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam
masyarakat akan suatu masalah.
47
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur /
tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya
dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro. Ini merupakan makna
global / umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik
atau tema. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang
berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks
tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga struktur mikro adalah makna
wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata,
kalimat, proposisi, anak kalimat, paraphrase, dan gambar.
Menurut van Dijk, segala teks bisa dianalisis dengan menggunakan
elemen tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik dan retoris. Elemen
tematik menunjuk pada gambaran umum atau tema dari suatu teks.
Elemen skematik mengamati bagaimana bagian dan urutan dari suatu teks
atau wacana. Semantik mengamati makna yang ingin ditekankan dalam
teks. Kemudian sintaksis menunjuk pada bagaimana kalimat (bentuk,
susunan) yang dipilih. Stilistik pada bagaimana pilihan kata yang dipakai
dalam teks. Kemudian yang terakhir pada elemen retoris menganalisis
bagaimana dan dengan cara penekanan sutu teks. Elemen ini ditampilkan
dengan penggambaran detail berbagai hal yang ingin ditonjolkan dalam
sebuah wacana (Eriyanto, 2009 : 221-229).
Download