A. Hakikat Manusia 1) Arti Hakekat Manusia Menurut bahasa, hakikat berarti kebenaran atau sesuatu yang sebenar-benarnya atau asal segala sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang menjadi jiwa sesuatu. Dikalangan tasawuf orang mencari hakikat diri manusia yang sebenarnya, karena itu muncul kata-kata diri mencari sebenar-benar diri. Sama dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, roh, nyawa, dan rahasia. Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah. Jadi hakekat manusia adalah kebenaran atas diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. 2) Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Sosial a) Pengertian Manusia Sebagai Makhluk Individu Manusia, mahluk dan individu secara etimologi diartikan sebagai berikut: (1) Manusia berarti mahluk yang berakal budi dan mampu menguasai mahluk lain. (2) Mahluk yaitu sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. (3) Individu mengandung arti orang seorang, pribadi, organisme yang hidupnya berdiri sendiri. Secara fisiologis ia bersifat bebas, tidak mempunyai hubungan organik dengan sesama. Kata manusia berasal dari kata manu (Sansekerta) atau mens(Latin) yang berarti berpikir, berakal budi, atau homo (Latin) yang berarti manusia. Istilah individu berasal dari bahasa Latin, yaituindividum, yang artinya sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi atau suatu kesatuan yang terkecil dan terbatas. Secara kodrati, manusia merupakan mahluk monodualis. Artinya selain sebagai mahluk individu, manusia berperan juga sebagai mahluk sosial. Sebagai mahluk individu, manusia merupakan mahluk 1 ciptaan Tuhan yang terdiri atas unsur jasmani (raga) dan rohani (jiwa) yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Jiwa dan raga inilah yang membentuk individu. Manusia juga diberi kemampuan (akal, pikiran, dan perasaan) sehingga sanggup berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya. Disadari atau tidak, setiap manusia senantiasa akan berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya guna memenuhi hakikat individualitasnya (dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya). Hal terpenting yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya adalah bahwa manusia dilengkapi dengan akal pikiran, perasaan dan keyakinan untuk mempertinggi kualitas hidupnya. Manusia adalah ciptaan Tuhan dengan derajat paling tinggi di antara ciptaan-ciptaan yang lain. b) Aspek Kegiatan Manusia Prof. Dr. N. Drijarkara berpendapat, bahwa pada hakikatnya manusia sebagai individu mempunyai empat aspek kegiatan dalam penggabungan alam jasmani kepada manusia. Aspek tersebut adalah sebagai berikut: (1) Aspek Ekonomi. Manusia dengan menurunkan tangannya ke alam jasmani dapat merubah barang-barang sehingga berguna untuk kehidupan umat. (2) Aspek Kultural. Manusia dengan manifestasinya mendirikan monumen, kuil, candi, menciptakan kesusasteraan, musik, kesenian, dan sebagainya. (3) Aspek Peradaban. Dimaksudkan sebagai keadaan dan peradaban pada diri manusia dalam tingkah lakunya, seperti cara bergaul, adat istiadat, pakaian yang wajar, dan sebagainya. Bentuk peradaban manausia di luar tingkah lakunya tercermin pada gedung dan bangunan yang dimasukkan unsur keindahan, peralatan yang sempurna, barang konsumsi yang menyenangkan (4) Aspek Teknik. Manusia dengan kegiatannya mengaktifasi alam jasmani menurut hukum-hukumnya sehingga menimbulkan efisiensi. Permulaan teknik adalah dari badan manusia, semua 2 penggunaan badan mengandung unsur-unsur teknik dalam kehidupan manusia. Jadi tidak terbatas dalam lapangan memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan atau memperpanjang kehidupan saja, melainkan termasuk bidang kesenian, permainan, bahasa, mengatur negara, dan sebagainya. Di samping itu perlu disadari pula secara sungguh-sungguh bahwa setiap manusia itu pada hakikatnya tidak mungkin terlepas dari hidup intern pribadi dan kehidupan ekstern antarpribadi. Hidup intern pribadi tersebut merupakan cerminan bahwa manusia itu sebagai mahluk individu dan sekaligus sebagai mahluk Tuhan, sedangkan kehidupan ekstern antarpribadi merupakan cerminan bahwa manusia itu sebagai mahluk sosial. Hidup intern pribadi artinya bahwa manusia sebagai mahluk sosial itu lebih menitikberatkan kepada hal-hal yang bersifat interaktif antarsesama manusia dari pada individualistis. c) Konsekuensi Manusia Sebagai Makhluk Individu Dalam keadaan status manusia sebagai mahluk individu, segala sesuatu yang menyangkut pribadinya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri, sedangkan orang lain lebih banyak berfungsi sebagai pendukung. Kesuksesan seseorang misalnya sangat tergantung kepada niat, semangat, dan usahanya yang disertai dengan doa kepada Tuhan secara pribadi. Demikian juga mengenai baik atau buruknya seseorang di hadapan Tuhan dan dihadapan sesama manusia, itu semua sangat dipengaruhi oleh sikap dan perilaku manusia itu sendiri. Jika iman dan takwanya mantap maka dihadapan Tuhan menjadi baik, tetapi jika sebaliknya, maka dihadapan Tuhan menjadi jelek. Jika sikap dan perilaku individunya baik terhadap orang lain, tentu orang lain akan baik pula terhadap orang tersebut. Konsekuensi (akibat) lainnya, masing-masing individu juga harus mempertanggung jawabkan segala perilakunya secara moral kepada dirinya sendiri dan kepada Tuhan. Jika perilaku individu itu baik dan benar maka akan dinikmati akibatnya, tetapi jika sebaliknya, akan diderita akibatnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa 3 manusia sebagai individu yang sudah dewasa memiliki konsekuensi tertentu, antara lain: (1) Merawat diri bersih, rapi, sehat dan kuat (2) Hidup mandiri (3) Berkepribadian baik dan luhur (4) Mempertanggungjawabkan perbuatannya Supaya konsekuensi tersebut di atas dapat direalisasikan dalam suatu kenyataan, maka masing-masing individu harus senantiasa: (1) Selalu bersih, rapi, sehat, dan kuat (2) Berhati nurani yang bersih (3) Memiliki semangat hidup yang tinggi (4) Memiliki prinsip hidup yang tangguh (5) Memiliki cita-cita yang tinggi (6) Kreatif dan gesit dalam memanfaatkan potensi alam (7) Berjiwa besar dan penuh optimis (8) Mengembangkan rasa perikemanusiaan (9) Selalu berniat baik dalam hati (10) Menghindari sikap statis, pesimis, pasif, maupun egois d) Manusia Sebagai Makhluk Sosial Plato mengatakan, mahluk hidup yang disebut manusia merupakan mahluk sosial dan mahluk yang senang bergaul/berkawan (animal society = hewan yang bernaluri untuk hidup bersama). Status mahluk sosial selalu melekat pada diri manusia. Manusia tidak bisa bertahan hidup secara utuh hanya dengan mengandalkan dirinya sendiri saja. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia memerlukan bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Ciri utama mahluk sosial adalah hidup berbudaya. Dengan kata lain hidup menggunakan akal budi dalam suatu sistem nilai yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Hidup berbudaya tersebut meliputi filsafat yang terdiri atas pandangan hidup, politik, teknologi, komunikasi, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. 4 Menurut Aristoteles (384 – 322 SM), manusia adalah mahluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya (zoon politicon yang artinya mahluk yang selalu hidup bermasyarakat). Pada diri manusia sejak dilahirkan sudah memiliki hasrat/bakat/naluri yang kuat untuk berhubungan atau hidup di tengah-tengah manusia lainnya. Naluri manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya disebut gregoriousness. Manusia berperan sebagai mahluk individu dan mahluk sosial yang dapat dibedakan melalui hak dan kewajibannya. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena manusia merupakan bagian dari masyarakat. Hubungan manusia sebagai individu dengan masyarakatnya terjalin dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Oleh karena itu harkat dan martabat setiap individu diakui secara penuh dalam mencapai kebahagiaan bersama. Masyarakat merupakan wadah bagi para individu untuk mengadakan interaksi sosial dan interelasi sosial. Interaksi merupakan aktivitas timbal balik antarindividu dalam suatu pergaulan hidup bersama. Interaksi dimaksud, berproses sesuai dengan perkembangan jiwa dan fisik manusia masing-masing serta sesuai dengan masanya. Pada masa bayi, mereka berinteraksi dengan keluarganya melalui berbagai kasih sayang. Ketika sudah bisa berbicara dan berjalan, interaksi mereka meningkat lebih luas lagi dengan teman-teman sebayanya melalui berbagai permainan anak-anak atau aktivitas lainnya. Proses interaksi mereka terus berlanjut sesuai dengan lingkungan dan tingkat usianya, dari mulai interaksi non formal seperti berteman dan bermasyarakat sampai interaksi formal seperti berorganisasi, dan lain-lain. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi manusia hidup bermasyarakat, yaitu: (1) Faktor alamiah atau kodrat Tuhan (2) Faktor saling memenuhi kebutuhan (3) Faktor saling ketergantungan 5 Keberadaan semua faktor tersebut dapat diterima oleh akal sehat setiap manusia, sehingga manusia itu benar-benar bermasyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Khaldun bahwa hidup bermasyarakat itu bukan hanya sekadar kodrat Tuhan melainkan juga merupakan suatu kebutuhan bagi jenis manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika tingkah laku timbal balik (interaksi sosial) itu berlangsung berulang kali dan terus menerus, maka interaksi ini akan berkembang menjadi interelasi sosial. Interelasi sosial dalam masyarakat akan tampak dalam bentuk sense of belonging yaitu suatu perasaan hidup bersama, sepergaulan, dan selingkungan yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan yang beradab, kekeluargaan yang harmonis dan kebersatuan yang mantap. Dengan demikian tidak setiap kumpulan individu merupakan masyarakat. Dalam kehidupan sosial terjadi bermacammacam hubungan atau kerjasama, antara lain hubungan antarstatus, persahabatan, kepentingan, dan hubungan kekeluargaan. Sebagai mahluk sosial, manusia dikaruniai oleh Sang Pencipta antara lain sifat rukun sesama manusia. e) Konsekuensi Manusia Sebagai Makhluk Sosial Jika dalam menjalani hidup intern pribadi, setiap manusia sebagai mahluk individu harus melakukan pertanggungjawabannya kepada Tuhan dan kepada dirinya masing-masing dengan memperhatikan norma agama dan norma kesusilaan. Maka dalam menjalani kehidupan ekstern antarpribadi, semua manusia sebagai mahluk sosial harus melakukan pertanggungjawaban kepada orang lain atau warga masyarakat lainnya. Pertanggungjawaban dalam kehidupan bermasyarakat itu harus berlandaskan pada norma-norma kesopanan (kebiasaan) dan norma-norma hukum. Dengan demikian mereka harus melakukan pertanggungjawaban moral yang berlandaskan norma-norma 6 kesopanan (kebiasaan), dan pertanggungjawaban hukum yang berlandaskan norma-norma hukum. (1) Pertanggungjawaban moral Inti dari status manusia sebagai mahluk sosial terletak pada moralnya, jika manusia itu bermoral maka harkat dan derajatnya semakin tinggi dalam masyarakat. Tetapi jika manusia itu tidak bermoral, maka harkat dan derajatnya rendah, bahkan bisa lebih rendah dari pada hewan manakala terjadi dekadensi moral (kerusakan moral). Moral dapat diartikan sebagai suatu sikap dan perilaku seseorang yang baik dan benar atau pantas dalam pergaulan bermasyarakat dan berbangsa. Manusia yang bermoral akan memperoleh banyak manfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Tetapi apabila manusia itu tidak bermoral, akan banyak menghadapi berbagai masalah dalam bermasyarakat. Walaupun dalam hal tidak bermoralnya seseorang itu pada dasarnya tidak merupakan masalah yang berkenaan dengan sanksi hukum, tetapi karena manusia itu tidak dapat terlepas dari masyarakat maka tetap harus ada pertanggungjawaban. Misalnya harus: (a) berahlak mulia (b) berbicara sopan (c) saling bertegur sapa (d) tolong menolong dan bekerja sama (e) saling menghargai dan menghormati (f) mengembangkan solidaritas sosial (g) toleransi dalam berbagai hal (h) turut aktif dalam menyelesaikan masalah sosial (2) Pertanggungjawaban Hukum Perlu diketahui bahwa dalam bermasyarakat itu terdapat hukum atau ajaran agama, hukum adat masyarakat setempat, dan hukum yang berlaku secara nasional. Oleh karena itu, setiap warga 7 masyarakat harus mempertanggungjawabkannya secara hukum (yuridis). (a) Menurut Hukum Agama Setiap orang yang beragama harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagaimana diatur dalam hukum agama masing-masing yang berkaitan dengan masyarakat. (b) Menurut Hukum Adat Menurut Prof. Van Vollenhoven, bahwa di Indonesia tidak kurang dari 19 masyarakat hukum adat seperti hukum adat Minangkabau, hukum perkawinan di Tapanuli Utara, hukum adat pemilihan kepala desa di Jawa, dan sebagainya. Dengan demikian pertangungjawabannya berupa tunduk kepada hukum adat setempat sehingga jika terjadi suatu pelanggaran akan dikenakan sanksi hukum adat tertentu. (c) Menurut Hukum Negara Negara membentuk berbagai macam hukum yang mengatur masyarakat luas. Misalnya hukum pidana tentang larangan mencuri, membunuh, penganiayaan, narkoba, dan sebagainya. Ketentuan seperti itu harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat sebagai wujud pertanggungjawaban hukum negara, dengan konsekuensinya berupa pengenaan sanksi hukum tertentu dari pihak negara jika melawan hukum. 3) Manusia Sebagai Makhluk Tuhan dan Makhluk Pribadi a) Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa Manusia sebagai makhluk individu diartikan sebagai person atau perseorangan atau sebagai diri pribadi. Manusia sebagai diri pribadi merupakan makhluk yang diciptakan secara sempurna oleh Tuhan Yang Maha Esa. Disebutkan dalam Kitab Suci Al Quran bahwa Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya “. 8 Jika kita amati secara seksama benda-benda atau makhluk ciptaan Tuhan yang ada di sekitar kita, mereka memiliki unsur yang melekat padanya, yaitu unsur benda, hidup, naluri, dan akal budi. b) Kepribadian Banyak para ahli yang memberikan perhatian dan mencurahkan penelitiannya untuk mendeskripsikan penelitiannya mengenai tentang pola tingkah laku yang nantinya merunut juga pada pola tingkah laku manusia sebagai bahan perbandingannya. Pola-pola tingkah laku bagi semua individu yang tergolong dalam satu ras pun tidak ada yang seragam. Sebab tingkah laku Manusia tidak hanya ditentukan oleh sistem organik biologinya saja, melainkan juga akal dan pikirannya serta jiwanya, sehingga variasi pola tingkah laku Manusia sangat besar diversitasnya dan unik bagi setiap manusia. Jadi “Kepribadian” dalam konteks yang lebih mendalam adalah “susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan seorang individu”. Ada beberapa unsur-unsur dari kepribadian. Diantaranya adalah sebagai berikut : (1) Pengetahuan Pengetahuan merupakan suatu unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa orang yang sadar. Dalam alam sekitar manusia terdapat berbagai hal yang diterimanya melalui panca inderanya yang masuk kedalam berbagi sel di bagian-bagian tertentu dari otaknya. Dan didalam otak tersebutlah semuanya diproses menjadi susunan yang dipancarkan oleh individu kealam sekitar. Dan dalam Antropologi dikenal sebagai “persepsi” yaitu; “seluruh proses akal manusia yang sadar”. Ada kalanya suatu persepsi yang diproyeksikan kembali menjadi suatu penggambaran berfokus tentang lingkungan yang mengandung bagian-bagian. Penggambaran yang terfokus secara lebih intensif yang terjadi karena pemustan secara lebih intensif di 9 dalam pandangan psikologi biasanya disebut dengan “Pengamatan”. Penggambaran tentang lingkungan dengan fokus pada bagian-bagian yang paling menarik perhatianya seringkali diolah oleh sutu proses dalam aklanya yang menghubungkannya dengan berbagai penggambaran lain yang sejenisnya yang sebelumnya pernah diterima dan diproyeksikan oleh akalnya, dan kemudian muncul kembali sebagai kenangan. Dan penggambaran yang baru dengan pengertian baru dalam istilah psikologi disebut “Apersepsi”. Penggabungan dan membandingkan-bandingkan bagianbagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain yang sejenis secara konsisten berdasarkan asas-asas tertentu. Dengan proses kemampuan untuk membentuk suatu penggambaran baru yang abstrak, yang dalam kenyataanya tidak mirip dengan salah satu dari sekian macam bahan konkret dari penggambaran yang baru. Dengan demikian manusia dapat membuat suatu penggambaran tentang tempat-tempat tertentu di muka bumi, padahal ia belum pernah melihat atau mempersepsikan tempattempat tersebut. Penggambaran abstrak tadi dalam ilmu-ilmu sosial disebut dengan “Konsep”. Cara pengamatan yang menyebabkan bahwa penggambaran tentang lingkungan mungkin ada yang ditambah-tambah atau dibesar-besarkan, tetapi ada pula yang dikurangi atau diperkecil pada bagian-bagian tertentu. Dan ada pula yang digabung dengan penggambaran-pengambaran lain sehingga menjadi penggambaran yang baru sama sekali, yang sebenarnya tidak nyata. Dan penggambaran baru yang seringkali tidak realistic dalam Psikologi disebut dengan “Fantasi”. 10 Seluruh penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi merupakan unsur-unsur pengetahuan yang secara sadar dimiliki seorang Individu. (2) Perasaan Selain pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam perasaan. Sebaliknya, dapat juga digambarkan seorang individu yang melihat suatu hal yang buruk atau mendengar suara yang tidak menyenangkan. Persepsi-persepsi seperti itu dapat menimbulkan dalam kesadaranya perasaan negatif. “Perasaan”, disamping segala macam pengetahuan agaknya juga mengisi alam kesadaran manusia setiap saat dalam hidupnya. “Perasaan” adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengetahuannya dinilai sebagai keadan yang positif atau negative. (3) Dorongan Naluri Kesadaran manusia mengandung berbagi perasaan berbagi perasaan lain yang tidak ditimbulkan karena diperanguhi oleh pengeathuannya, tetapi karena memang sudah terkandung di dalam organismenya, khususnya dalam gennya, sebagai naluri. Dan kemauan yang sudah merupakan naluri disebut “Dorongan”. B. Pengembangan Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia Sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi hakikat manusia menjadi tugas pendidikan. Meskipun pendidikan itu pada dasarnya baik tetapi dalam pelaksanaanya mungkin saja bisa terjadi keslahan-kesalahan yang lazimnya disebut salah didik. Sehubugan dengan itu ada dua kemungkinan yang bisa terjadi yaitu: 1) Pengembangan yang utuh Tingkst krutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri dan kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. 11 Selanjutnya dengan itu ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu: a) Dari wujud dimensinya Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualian, sesosialan,kesusilaan dan keberagamaan, antar aspek kognitif. Afektif dan psikomotorik. Pengembangan aspek jasmanisah dan rohaniah dikatakan utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara seimbang. Pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan,kesusilaan dan keberagamaan dikatakan utuh jika semua dimensi tersebut mendapatkan layanan dengan baik, tidak terjadi pengabaian terhadap salah satunya. Pengembangan domain kognitif, afektif dan psikomotor dikatakan utuh jika tiga-tiganya mendapat pelayanan yang berimbang. b) Dari arah pengembangan Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dpat diarahkan kepada pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dam kebergamaan secara terpadu. Dapat disimpulkan bahwa pengembangan dimensi hakikat manusi yang utuh diartikan sebagai pembinaan terpadu terhadap dimensi hakikat manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang seacra selaras. Perkrmbangan di maksud mencakup yang horizontal (yang menciptakan keseimbangan) dan yang bersifat vertical (yang menciptakan ketinggian martabat manusia). Dengan demikian totalitas membentuk manusia yang utuh. 2) Pengembangan yang tidak utuh Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi didalam proses pengembangan jika ada unsure dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun domain afektif didominasi oelh pengembangan dimensi keindividualan atupun domain afektif didominasi oleh pengembangan domain kognitif. Demikian pula secara vertical ada domain tingkah laku terabaikan penanganannya. Pengembangan yang tidak utuh berakibat 12 terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mentap pengambangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis. C. Pembawaan dan Lingkungan 1) Pembawaan Pembawaan adalah suatu konsep yang dipercayai/dikemukakan oleh orang-orang yang mempercayai adanya potensi dasar manusia yang akan berkembang sendiri atau berkembang dengan berinteraksi dengan lingkungan. Ada pula istilah lain yang biasa diidentikkan dengan pembawaan, yakni istilah keturunan dan bakat. Sebenarnya ketiga istilah tersebut tidaklah persis sama pengertiannya. Pembawaan ialah seluruh kemungkinan atau kesanggupan (potensi) yang terdapat pada suatu individu dan yang selama masa perkembangan benar-benar dapat diwujudkan (direalisasikan). Pembawaan adalah seluruh potensi yang terdapat pada individu dan pada masa perkembangannya benar-benar dapat diwujudkan. Manusia itu sejak dilahirkan telah mempunyai kesanggupan untuk dapat berjalan, mempunyai potensi untuk berkata-kata dan lain-lain. Potensi-potensi yang bermacam-macam yang ada pada anak itu tentu saja tidak begitu saja dapat diwujudkan. Untuk dapat diwujudkan menjadi sebuah kenyataan, potensi-potensi tersebut harus mengalami perkembangan serta membutuhkan latihan-latihan. Tiap-tiap potensi mempunyai masa kematangan sendiri-sendiri. Pembawaan tersebut berupa sifat, ciri, dan kesanggupan yang biasa bersifat fisik atau bisa juga yang bersifat psikis (kejiwaan). Warna rambut, bentuk mata, dan kemampuan berjalan adalah contoh sifat, ciri, dan kesanggupan yang bersifat fisik. Sedangkan sifat malas, lekas marah, dan kemampuan memahami sesuatu dengan cepat adalah sifat-sifat psikis yang mungkin berasal dari pembawaan. Pembawaan yang bermacam-macam itu tidak berdiri sendiri-sendiri, yang satu terlepas dari yang lain. Seluruh pembawaan yang terdapat dalam diri seseorang merupakan keseluruhan yang erat hubungannya satu sama lain; yang satu menentukan, 13 mempengaruhi, menguatkan atau melemahkan yang lain. Manusia tidak dilahirkan dengan membawa sifat-sifat pembawaan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan struktur pembawaan. Struktur pembawaan itu menentukan apakah yang mungkin terjadi pada seseorang. 2) Lingkungan (Environment) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata lingkungan berarti “semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia dan hewan`` Dalam konteks pendidikan, objek pengaruh tentu saja dibatasi hanya pada pertumbuhan manusia, tidak mencakup pertumbuhan hewan. Oleh karena itu, M. Ngalim Purwanto menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan di dalam pendidikan ialah setiap pengaruh yang terpancar dari orang-orang lain, bintang, alam, kebudayaan, agama, adatistiadat, iklim, dsb, terhadap diri manusia yang sedang berkembang. Menurut penulis, mungkin yang dimaksud Ngalim dalam definisi di atas adalah pengaruh lingkungan (bukan lingkungan). Dengan asumsi ini maka lingkungan adalah segala sesuatu yang mempengaruhi perkembangan diri manusia, yakni orang-orang lain (individu atau masyarakat), binatang, alam, kebudayaan, agama, adat- istiadat, iklim, dsb. Kata lingkungan dalam pengertian umum, berarti segala sesuatu yang ada disekitar kita. Sedangkan dalam lingkup pendidikan, arti lingkungan sangat luas yaitu segala sesuatu yang berada di luar diri manusia dan yang mempunyai arti bagi perkembangannya serta senantiasa memberikan pengaruh terhadap dirinya. Jika lingkungan tersebut berupa faktor yang dengan sengaja diciptakan oleh pendidik, maka disebut lingkungan pendidikan. Lingkungan ini mengitari manusia sejak dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Antara lingkungan dan manusia ada pengaruh yang timbal balik, yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Dalam ilmu psikologi, lingkungan disebut dengan environment (Milieu). Jadi bukan surrounding yang berarti keadaan sekeliling saja. Karena kata environment mencakup semua faktor di luar diri manusia 14 yang mempunyai arti bagi dirinya, dalam arti memungkinkan untuk memberikan reaksi pada diri manusia tersebut. Jadi antara kita (manusia) dan lingkungan terjadi interaksi yang terus menerus. Lingkungan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: a) Lingkungan fisik (physical environment) Yaitu lingkungan / segala sesuatu di sekitar kita yang berupa benda mati, misalnya: rumah, kendaraan, udara, air dan sebagainya. b) Lingkungan biologis Yaitu lingkungan yang berupa makhluk hidup, lingkungan ini dibedakan menjadi 2, yaitu lingkungan tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hewan. c) Lingkungan abstrak Semua hal yang abstrak juga bisa dimasukkan dalam lingkungan, jika hal tersebut telah menyatu dengan manusia. Termasuk semua hal yang abstrak, misalnya: pengetahuan, kesenian, kebudayaan, nilai kehidupan seperti aturan-aturan pergaulan, tata krama, sopan santun dan sebagainya. 3) Teori-teori mengenai Pembawaan dan Lingkungan a) Empirisme Empirisme adalah suatu aliran atau paham yang menganggap bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui indera, Menurut penganut aliran ini, pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari terdiri dari stimulan-stimulan dari alam bebas dan yang diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Jadi, yang menentukan perkembangan anak (manusia) adalah semata-mata faktorfaktor eksternal (lingkungan). John Locke (1632-1714 M), salah seorang tokoh aliran emprisme, terkenal dengan Teori Tabularasanya. Menurut teori ini, anak yang baru dilahirkan dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi (a sheet of white paper avoid of all characters). Artinya bahwa anak sejak lahir tidak mempunyai pembawaan apa-apa (netral), tidak 15 punya kecenderungan untuk menjadi baik atau menjadi buruk. Dengan demikian anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Dengan kata lain, hanya pendidikan (atau lingkungan) yang berperan atas pembentukan anak. Pengaruh aliran ini tampak juga pada salah satu mazhab psikologi yang disebut sebagai behaviorisme (aliran tingkah laku). Para tokoh aliran ini, seperti Thorndike, I. Pavlov, J.B. Watson, dan F. Skinner berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpama melalui modifikasi tingkah laku. Mereka memandang manusia sebagaimakhluk reaktif (tidak aktif). Manusia hanyalah objek, benda hidup yang hanya dapat memberi respons kepada perangsang yang berasal dari lingkungannya. Jadi dalam hubungannya dengan lingkungan, seseorang hanya dapat bersifat autoplastis, tidak dapat bersifat alloplastis. Dengan demikian empirisme berpandangan bahwa pendidik memegang peranan yang sangat menentukan dalam proses pendidikan. Pendidiklah yang menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak didik dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Kemudian dari pengalaman-pengalaman akan dapat terbentuk susunan kebiasaan yang membentuk pribadi seseorang. b) Nativisme Sebagai reaksi terhadap empirisme, muncul nativisme. Istilah nativisme berasal dari kata nativus (latin) yang berarti karena kelahiran. Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dengan membawa sejumlah potensi (pembawaan) yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya, sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Tokoh nativisme, Schopenhauer (1788-1860) berpendapat bahwa bayi lahir beserta pembawaannya, baik atau buruk. Seorang anak yang mempunyai 16 pembawaan baik, maka dia akan menjadi baik. Sebaliknya, kalau anak mempunyai pembawaan buruk, maka dia akan tumbuh menjadi anak yang jahat. Pembawaan-pembawaan itu tidak akan dapat diubah oleh kekuatan luar (lingkungan). Dengan demikian dapat dipahami bahwa aliran ini berpandangan bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan oleh hal-hal yang bersifat internalpada anak didik sendiri. Dengan kata lain, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Pendidikan yang tidak sesuai dengan pembawaan atau bakat anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak tersebut. Oleh karena itu, pendidikan sebenarnya tidak diperlukan, dan inilah yang disebut sebagai pesimisme pedagogis. c) Naturalisme Pandangan yang mirip dengan pandangan nativisme dikemukakan oleh para penganut paham naturalisme. Sesuai dengan akar kata naturalisme, yakni nature ‘alam’ atau ‘apa yang dibawa sejak lahir’, aliran ini berpandangan bahwa seorang anak telah mempunyai pembawaan sejak lahir. Meskipun kedua aliran sepakat dalam hal adanya pembawaan pada manusia, namun J.J. Rousseau (1712—1778) (tokoh utama naturalisme), berbeda pendapat dengan Schopenhauer (nativisme) tentang pembawaan tersebut. Schopenhauer berpendapat bahwa bayi lahir dengan dua kemungkinan pembawaan, yakni baik atau buruk, sedangkan Rosseau menyatakan bahwa semua anak yang baru dilahirkan hanya mempunyai pembawaan baik. Kalau dalam hal keberadaan pembawaan manusia pandangan antara naturalisme dengan nativisme ada kesamaan, maka dalam hal besarnya peranan lingkungan dalam mempengaruhi perkembangan anak, justru pandangan naturalisme memiliki unsur kesamaan dengan empirisme. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan J.J. Rousseau bahwa “semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari Sang Pencipta, tetapi semua menjadi rusak di tangan manusia”. Jadi, walaupun manusia lahir dengan potensi pembawaan baik, tetapi bagaimana hasil perkembangannya kemudian sangat ditentukan 17 oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh itubaik, akan menjadi baiklah ia, tetapi bilamana pengaruh itu jelek akan jelek pula hasilnya. Dengan berasumsi pada teori di atas, maka dalam hal pendidikan Rosseau berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawaan anak yang baik itu. Karena pendapat inilah maka naturalisme juga disebut sebagai negativisme. Mereka berpandangan bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam, inilah yang disebut sebagai “pendidikan alam”. Dengan pendidikan alam, anak dibiarkan berkembang menurut alam (nature)-nya, manusia atau masyarakat jangan mencampurinya agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh manusia. Dengan sebagaimana demikian nativisme, dapat tidak dipahami bahwa naturalisme, menganggap perlu diadakannya pendidikan (oleh manusia) bagi manusia. Bahkan dengan anggapan bahwa pendidikan dapat merusak pembawaan baik anak, naturalisme justru dapat dianggap menentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh manusia. 18