Behaviour of Risk Neutral Individual Investors In The Indonesian Stock Exchange MF. Arrozi Adhikara ([email protected]) Faculty of Economics and Business, Esa Unggul University, Jakarta Abstract This study aims to explore and provide empirical evidence of mental accounting behavior of investors in securities investment decision-making process in Indonesian Stock Exchange (BEI). Typology of research is descriptive explorative and does not propose a hypothesis. The research object is an individual investor in the Indonesia Stock Exchange. The results show the behavior of investors in allocating their funds in individual securities and portfolio investment securities prefers risk neutral preferences than the risk averse to maximize utility. These results also show the similarities of investor behavior in decision-making with the results of Tversky and Kahneman if described by framing negative. Instead, decision-making behavior will be different if indicated by positive framing. This indicates that in particular the behavior of the risk preferences of investors in the Indonesia Stock Exchange tend to be risk neutral to optimally maximize their utility. Keywords: risk neutral, framing, investment behaviour Pendahuluan Pasar modal didefinisikan sebagai pasar untuk berbagai instrumen keuangan (atau sekuritas) jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang ataupun modal sendiri, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun perusahaan swasta (Suad, 2005). Pasar modal sebagai wahana sektor keuangan di luar perbankan mempunyai daya tarik, pertama, diharapkan menjadi sarana alternatif untuk memperoleh penghimpunan dana secara cepat dan murah dari investor maupun kreditor melalui investasi berupa aktiva finansial seperti pembelian saham, obligasi, warrant, opsi, dan sertifikat danareksa. Kedua, pasar modal memungkinkan para investor mempunyai berbagai pilihan investasi yang sesuai dengan preferensi risikonya sehingga investor memungkinkan untuk melakukan diversifikasi investasi, membentuk portfolio (gabungan dari berbagai investasi) sesuai dengan risiko yang investor bersedia tanggung dan tingkat keuntungan yang mereka harapkan. Dalam keadaan pasar modal yang efisien, hubungan yang positif antara risiko dan keuntungan diharapkan akan terjadi (Suad, 2005). Ketiga, investasi dalam aktiva finansial mempunyai daya tarik likuiditas yaitu sekuritas dapat diperjualbelikan dengan segera dan investor dapat melakukan reposisi investasi sekuritasnya setiap saat. Misalnya, investor melakukan investasi sekuritas dalam bidang food and beverage hari ini, kemudian melakukan penggantian sekuritas dengan investasi dalam bidang industri perbankan atau industri tobacco pada keesokan harinya, lusa, minggu depan, atau bulan depannya. Dengan pasar modal ini, berarti semakin terbukanya kesempatan bagi investor untuk melakukan diversifikasi pada investasi yang dianggap paling layak. Pasar modal Indonesia termasuk emerging market, yaitu pasar yang diindikasikan sebagai pasar modal yang masih lemah (Prabowo, 2000). Ciri pasar ini adalah: pertama, investor melakukan reaksi terhadap informasi secara lugu (naive) dan tidak canggih (unsophisticated). Investor mempunyai kemampuan terbatas dalam mengartikan, menganalisis, dan menginterpretasikan informasi yang mereka terima. Karena itu, investor cenderung menggunakan rumor, spekulatif, dan berperilaku mass behaviour. Investor yang bergabung dalam suatu massa, akan kehilangan rasionalitas kolektif, karena penentuan harga saham dalam komoditas perdagangan saham merupakan manifestasi dari faktor psikologis dan emosi investor (Sjahrir, 1995). Akibatnya, seringkali investor melakukan pengambilan keputusan yang salah sehingga sekuritas bersangkutan dinilai secara tidak tepat dan seringkali pasar tampaknya tersesat (fooled) oleh informasi yang harus 1 diinterpretasikan. Kedua, Sekuritas di pasar modal tergolong dalam risky assets yaitu aktiva keuangan yang beresiko dan investor tidak tahu dengan pasti hasil yang akan diperolehnya. Investor hanya dapat memperkirakan berapa keuntungan yang diharapkan dari investasinya, dan seberapa jauh kemungkinan hasil yang sebenarnya nanti akan menyimpang dari hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, assets ini umumnya memberikan return lebih tinggi, apakah return itu positif atau negatif. Karenanya, wajar bila investor mempersoalkan perlindungan dari risiko kerugian tersebut. Ketiga, peranan laporan keuangan sebagai pendukung pengambilan keputusan investasi belum digunakan secara optimal dan penggunaannya relatif kecil di pasar modal Indonesia (Prabowo, 2000). Hal ini terjadi karena investor berperilaku sebagai penggoreng saham dalam mengambil taking profit melalui analisis teknikal untuk memperhatikan capital gain, dan menunjukkan investor menyukai investasi jangka pendek, perilaku spekulatif, serta melakukan strategi aktif dengan memperhatikan faktor makro seperti isu, rumor, politik, konspirasi, insider trading, regulasi, anomali pasar, dan lain-lain. Kecenderungannya adalah laporan keuangan tidak dimanfaatkan dengan baik dan hanya sepintas melihat kejadian perusahaan pada tindakan kebijakan khusus seperti corporate action. Keempat, motivasi dalam mencari return terjadi pergeseran (Paimpo dan Didi, 2000). Pergeseran ini disebabkan pengalaman melakukan investasi berdasarkan rumor menyebabkan kerugian. Sedangkan melalui analisis fundamental, investor dapat mempelajari seluruh aspek fundamental perusahaan seperti performance perusahaan, laporan keuangan, prospek emiten di masa datang, aksi korporasi mulai dari rencana ekspansi usaha dan terutama rencana pembagian dividen, itu yang diharapkan investor (Tim BEJ, 2006). Mencermati hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa proses investasi tergantung pada psikologi massa dan cenderung menggunakan rumor untuk bertindak spekulatif. Indikasinya adalah investor bersikap unsophisticated serta naive (Prabowo, 2000) dan menunjukkan bahwa investor cenderung tidak mempunyai pemahaman pengetahuan financial mengenai signal pengungkapan informasi perusahaan karena mempunyai kemampuan cognitive terbatas (limitation cognitive) dalam mengartikan dan menginterpretasikan informasi yang mereka terima. Akibat hal tersebut diatas akan memberikan konsekwensi negatif, yaitu: pertama, menyesatkan investor untuk merevisi keyakinan (belief) awal tentang expected values yang sudah ditentukannya dengan interpretasi informasi akuntansi tersebut; kedua, memberikan perilaku investor menjadi impatience, loss control, dan lebih banyak bersikap menuruti kata hati (impulsive) karena mempunyai persepsi salah tafsir pada obyek yang diinterpretasikan. Sehingga keputusan investasi akan banyak mengalami risiko yang tinggi; ketiga, kesalahan dalam melakukan prediksi terhadap subyektifitas return dan risk; keempat, menyesatkan investor dalam pengambilan keputusan yang bersifat rasional karena investor mengambil keputusan yang salah karena sekuritas bersangkutan dinilai secara tidak tepat. Proses pengambilan keputusan investasi di pasar modal bagi investor bersifat sophisticated dan rasional, artinya investor akan memilih kesempatan investasi yang memberikan utilitas yang diharapkan tertinggi (maksimalisasi utilitas) serta memberikan kesejahteraan kepadanya (Scott, 2015). Maksimalisasi utilitas menunjukkan tingkat subyektifitas return yang diharapkan dari kesempatan investasi pada saham individu maupun portofolio saham serta tergantung pada kapasitas cognitive masing-masing analis sekuritas sesuai dengan preferensi investor. Investor yang sophisticated harus mempunyai kemampuan dalam pemikiran, pertimbangan, imajinasi serta mempunyai kecakapan dalam pemrosesan informasi, menerapkan pengetahuan investasi, dan melakukan perubahan preferensi investasi. Proses ini merupakan proses cognitive yang dilakukan analis sekuritas melalui memori, attention, persepsi, aksi, pemecahan masalah, mental imagery, human information processing, dan keyakinan (beliefs) yang kuat atas investasi tersebut (Wikipedia, 2008). Hal diatas diperlukan investor untuk mengalokasikan dananya ke dalam tiap-tiap sekuritas yang dipilih dalam investasinya. Tujuannya adalah melakukan estimasi return dan risk dari tiap-tiap sekuritas investasi. Tiap-tiap sekuritas dibandingkan nilai return dan risknya kemudian diurutkan nilai return dan risk dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah (Suad, 2005). Hal ini digunakan analis sekuritas untuk menetapkan keyakinan awal (initial beliefs) pemilihan sekuritas yang ditetapkan sebagai kandidat dalam pembentukan portofolio investasi berdasarkan preferensi return dan risk. Proses ini disebut mental accounting dan pelaksanaannya menggunakan anchoring 2 atau narrow framing, yaitu pengungkapan suatu fakta dalam investasi pada return/gains dan risk/losses (Tversky dan Kahneman, 1981; Thaler, 1985; Barberis dan Huang, 2001). Hal ini menunjukkan preferensi investor terhadap return dan risk dari sekuritas. Barberis dan Huang (2001) mempertimbangkan bentuk mental accounting, yaitu investor peduli mengenai return/gains dan risk/losses dalam nilai saham individu, serta investor peduli mengenai return/gains dan risk/losses dalam nilai seluruh portofolio. Perilaku investasi tersebut menunjukkan investor mempunyai dua kemungkinan sikap, pertama, sikap preferensi risk untuk menerima resiko (risk seeker), sikap menghindari resiko (risk averter), ataukah sikap netral (risk neutral). Kedua, sikap preferensi untuk menerima return dalam bentuk capital gain, deviden, ataukah keduanya yaitu capital gain dan deviden (Djunaidi, 1990). Untuk memperlihatkan perilaku analis sekuritas sebagai proksi investor dalam menyikapi return dan risk tersebut, maka framing digunakan untuk menjelaskan preferensi investor. Sehingga menghasilkan sikap yang cenderung menerima gains/return dalam frame positif ataukah cenderung menerima losses/risk dalam frame negatif ataukah menyikapi keduanya secara seimbang. Namun dalam pengambilan keputusan di pasar modal dalam kondisi yang under-uncertainty sikap irrasisional bagi investor lebih cenderung digunakan karena terdapat kemungkinan investor akan mendapatkan abnormal return. Beberapa penelitian menemukan bahwa asumsi rasionalitas sering dilanggar karena decision framing yang diadopsi oleh pembuat keputusan dan frame yang diadopsi tergantung pada formulasi masalah yang dihadapi, aspek cognitive, norma, kebiasaan, dan karakteristik pengambil keputusan itu sendiri. Frame yang diadopsi tergantung pada fenomena cognitive investor dalam menentukan dan mempengaruhi keputusannya (Tversky & Kahneman, 1981) yang disebabkan oleh informasi yang tersedia dan bagaimana informasi diinterprestasikan. Motivasi penelitian ini adalah, pertama, isu ini belum pernah diteliti secara empiris sebelumnya di Pasar Modal. Dalam lingkungan akuntansi, mental accounting telah diaplikasikan di perpajakan (White et al., 1993), di pasar uang (Harvey, 1996), dan auditing (Karim et al., 1995), tetapi tidak dalam studi capital market. Bursa Efek Indonesia (BEI) yang merupakan emerging market, pengambilan keputusan investasi bersifat spekulatif dan terpengaruh oleh opini serta psikologi massa. Sedangkan, pengambilan keputusan di bidang akuntansi dan keuangan banyak memfokuskan dari penggunaan, pemrosesan, dan pengevaluasian informasi dari laporan keuangan, terutama dalam keputusan investasi sekuritas. Kedua, mental accounting menyediakan suatu penjelasan alternatif bagi pengambilan keputusan yang bermanfaat dalam kondisi ketidakpastian (under-uncertainty). Konsep ini menentukan preferensi analis sekuritas dalam menyikapi investasi sekuritasnya sebagai bentuk decision framing berdasarkan preferensi return atau risk. Sehingga memudahkan untuk mengidentifikasi perilaku investor yang cenderung melakukan pengambilan keputusan investasi dengan framing menanggung resiko investasi ataukah menghindari risiko. Ketiga, preferensi mengenai prospek investasi merupakan sesuatu hal yang bersifat dikotomi dan membingungkan. Di satu sisi preferensi mengindikasikan risiko investasi, tetapi di sisi lain mengandung makna maksimalisasi utilitas pada return, sedangkan keduanya mempunyai relevansi yang sangat erat dan tidak saling meniadakan. Tujuan penelitian ini melakukan replikasi atas penelitian yang dilakukan oleh Tversky dan Kahneman (1981) dalam rangka memberikan bukti empiris tentang pengambilan keputusan investasi di Indonesia dapat dijelaskan dengan teori prospek. Penelitian ini tidak mengajukan hipotesis karena bersifat eksploratoris, dan diharapkan dapat memberikan kontribusi penting dalam riset behavioral accounting dan behavioral finance dimana pengambilan keputusan dan pemrosesan informasi merupakan faktor kegiatan pokok. Literatur Review Teori Prospek Kahneman dan Tversky (1979) menyiapkan teori prospek sebagai suatu model deskriptif pengambilan keputusan dan menyediakan suatu dasar alternatif perilaku pada teori keputusan rasional. Dalam teori prospek, individu memaksimalkan melebihi fungsi nilai (value) daripada fungsi utilitas standar. Fungsi nilai didefinisikan melebihi keuntungan dan kerugian relatif terhadap titi 3 referen dari pada melebihi tingkat kesejahteraan. Fungsi concave untuk keuntungan, convex untuk kerugian, dan steeper (curam) untuk kerugian daripada untuk keuntungan. Teori prospek menggambarkan bagaimana investor membingkai (frame) dan menilai (value) suatu keputusan dalam ketidakpastian. Pertama, investor membingkai (frame) pilihan dalam bentuk keuntungan dan kerugian potensial relatif terhadap suatu titik referen spesifik. Kedua, Investor menilai keuntungan atau kerugian berkenaan pada suatu fungsi bentuk-S sebagaimana digambarkan dalam gambar 1. Gunanya, sebagai penjelasan alternatif dalam pengambilan keputusan. Dalam teori ini hasil keputusan (outcomes) digambarkan sebagai deviasi positif atau negatif (keuntungan dan kerugian) dari suatu titik referen yang bersifat netral yang ditetapkan nilainya sebesar 0. Gambar 1. Fungsi Nilai Teori Prospek Value + Rugi/Losses Untung/Gains 0 B _ Keterangan : Kerugian lebih lanjut dari titik B dirasakan punya nilai yang lebih kecil dari pada nilai keuntungan yang diterima meskipun nilai moneter kerugian dan keuntungan itu sama. Fungsi nilai teori prospek didefinisikan melebihi keputusan (outcomes) tunggal (Lim, 2004). Suatu pertanyaan timbul, bagaimana menggunakan fungsi nilai untuk mengevaluasi keputusan ganda (multiple)? Hal ini berkaitan dengan mental accounting yang merujuk cara investor membingkai keputusan keuangan dan mengevaluasi keputusan investasi mereka. Investor mempertimbangkan suatu investasi berisiko akan terpisah mengevaluasi prospek keuntungan dan prospek kerugian. Evaluasi terpisah dari keuntungan dan kerugian mengenai titik referen adalah suatu implikasi dari konsep psikologi tentang narrow framing. Teori prospek menyatakan bahwa frame yang diadopsi oleh pembuat keputusan dapat mempengaruhi keputusannya. Frame yang diadopsi tergantung pada formulasi masalah yang dihadapi, norma, kebiasaan, dan karakteristik pembuat keputusan itu sendiri. Ini bertentangan dengan teori keputusan dimana investor mengevaluasi keputusan dalam bentuk yang mempengaruhinya pada total kesejahteraan mereka. Perspektif teoritikal dari Kahneman dan Tversky sebagai seperangkat asumsi deskriptif mengenai sikap resiko sebagai berikut : a. Fungsi utility / nilai didefinisikan dalam bentuk tingkatan dan merubahnya dalam waktu sekarang daripada akhir kesejahteraan. b. Perubahan dalam kesejahteraan dievaluasi relatif terhadap titik referen. c. Preferensi risiko dikondisikan oleh titik referen. Tversky dan Kahneman dalam Gudono (1998) berpendapat bahwa fungsi nilai hasil penilaian subyektif pembuat keputusan berbentuk S, yang mana kurva tersebut cekung pada saat diatas titik referen dan cembung pada saat dibawah titik referen. Dengan bentuk kurva seperti itu, seseorang akan merasakan seolah-olah nilai kekalahan sejumlah uang tertentu dalam suatu taruhan lebih besar dari pada nilai kemenangan sejumlah uang yang sama. Itulah sebabnya dalam situasi rugi (misal titik B di gambar 1) orang cenderung lebih nekat dalam menanggung resiko, karena kegagalan lebih lanjut akan menghasilkan nilai subyektif lebih rendah dibandingkan keberhasilan. Teori prospek memperhatikan kepentingan pada titik referen dalam penentuan preferensi dan memilih prospek antara. Titik referen menyajikan variasi pada suatu konsep atas tingkat aspirasi. Teori prospek menganjurkan bahwa lokasi pada titik referen dan cara dalam masalah keputusan adalah dikodekan dan pemeriksaaan adalah faktor kiritis dalam analisis perilaku pembuatan keputusan. Teori ini menempatkan suatu refleksi yang mempengaruhi pada pembalikan preferensi 4 sepanjang titik referen netral. Pengaruh pencerminan dinyatakan secara tidak langsung oleh fungsi nilai bahwa concave pada domain positive dan convex pada domain negative. Teori prospek menyarankan bahwa setiap orang mengevaluasi outcomes sebagai deviasi dari titik referen. Pemberian concavity dalam domain keuntungan dan convexity dalam domain kerugian, fungsi nilai dalam teori prospek menyatakan secara tidak langsung risk aversion jika outcomes dievaluasi sebagai keuntungan dan risk seeking jika outcomes dinilai sebagai kerugian dalam hubungan terhadap titik referen individu. Pengaruh pencerminan dan pengaruh framing dihasilkan dari proses evaluasi tersebut. Sepanjang teori expected utility mendefinisikan utility individu melebihi kesejahteraan akhir, outcomes framing sebagai keuntungan atau kerugian akan dianggap tidak relevan selama kesejahteraan akhir berasosiasi dengan alternatif yang serupa. Utility investor pada keuntungan diasumsikan familiar dengan risk averse, bahwa pilihan perilaku secara konsisten melanggar aksioma kepastian atas teori expected utility. Setelah pengulasan bukti yang berkenaan dengan model expected utility, Schoemaker (1982) menyimpulkan bahwa pada banyak tingkat individu dari bukti empiris adalah sulit untuk merekonsiliasi dengan prinsip maksimalisasi expected utility. Teori prospek adalah suatu cara untuk mempertinggi bentuk riset ini karena teori ini berisi beberapa identifikasi berbeda dari teori expected utility, berbeda pengujian secara empiris. Perbedaan utama adalah teori prospek dan teori expected utility berkenaan fungsi nilai teori prospek dan fungsi pertimbangan keputusan. Fungsi nilai, yang mana versi Kahneman dan Tversky pada fungsi utility, diasumsikan dalam concave untuk keuntungan dan convex untuk kerugian. Fungsi pertimbangan keputusan mencerminkan pengaruh pada seluruh peristiwa spekulasi yang menarik. Dari fungsi disini, Kahneman dan Tversky menunjukkan bahwa suatu penterjemahan prospek positif atau negatif mungkin timbul atau lebih rendah pada titik referen. Suatu perubahan dalam titik referen mungkin merubah urutan antara seperangkat masalah-masalah pilihan. Mental Accounting Konsep mental accounting merujuk pada cara investor membingkai (frame) keputusan keuangannya dan mengevaluasi keputusan (outcomes) investasinya (Thaler, 1985) serta merujuk pada cara individu memutuskan assets sekarang dan masa datang menjadi terpisah, bagian-bagian yang tidak dapat dioperkan (Nofsinger, 2005). Konsep ini menyediakan suatu deskripsi luas melalui proses kognitif dimana orang-orang merasa, mengkategorisasi, mengevaluasi, dan mengikutsertakan dalam aktivitas keuangan. Mental accounting mempunyai pokok isi individu menentukan tingkat utilitas yang berbeda pada tiap-tiap kelompok asset, yang mana mempengaruhi keputusan konsumsi mereka dan perilaku-perilaku lainnya. Konsep ini menyediakan deskripsi melalui proses kognitif dimana individu merasa, mengkategorisasi, mengevaluasi, dan mengikutsertakan dalam aktivitas keuangan dengan bentuk mental accounting adalah kategorisasi dan pelabelan. Manifestasinya adalah individu mengelompokkan pengeluaran dalam anggaran (contoh: makanan, perumahan), distribusi kesejahteraan dalam rekening (contoh: pensiun, asuransi), dan membagi sumber penghasilan dalam kategori (contoh: penghasilan regular, uang yang menang dari loterei, tabungan, investasi). Proses akuntansi dari mental accounting menyediakan tujuan penting, seperti keputusan pemfasilitasan yang menggunakan dana kita, dan penyediaan fungsi pengendalian diri melalui aturan pengeluaran ke dalam penempatan dana di dalam ambang batas accounts. Mental accounting investor memperhatikan pada gains dan losses (Barberis dan Huang, 2001). Pelaksanaan mental accounting dari investor dengan menggunakan narrow framing, yaitu membingkai (frame) keputusan keuangannya dengan mengungkapkan perhatian pada gains/return atau losses/risk dan mengevaluasi keputusan (outcomes) investasinya, sehingga individu membingkai secara subyektif suatu transaksi dalam pikirannya untuk menentukan utilitas yang mereka terima. Hal ini mencerminkan suatu perhatian pada sumberdaya non konsumsi dari utility, dimana pengalaman alamiah melebihi narrow framed gains and losses. Selanjutnya, investor mempertimbangkan dua bentuk mental accounting, pertama, investor peduli mengenai gains and losses dalam nilai saham individu (akuntansi saham individu), dan kedua, investor peduli mengenai gains and losses dalam nilai seluruh portfolio (akuntansi portofolio), dan menunjukkan bahwa bentuk mental accounting mempengaruhi harga assets dalam suatu cara yang signifikan. Perilaku investasi tersebut menunjukkan investor mempunyai dua kemungkinan sikap, pertama, sikap 5 preferensi risk untuk menerima resiko (risk seeker), sikap menghindari resiko (risk averter), ataukah sikap netral (risk neutral). Kedua, sikap preferensi untuk menerima return dalam bentuk capital gain, deviden, ataukah keduanya yaitu capital gain dan deviden (Djunaidi, 1990). Untuk memperlihatkan perilaku analis sekuritas sebagai proksi investor dalam menyikapi return dan risk tersebut, maka framing digunakan untuk menjelaskan preferensi analis sekuritas tersebut. Sehingga menghasilkan sikap yang cenderung menerima gains/return dalam frame positif ataukah cenderung menerima losses/risk dalam frame negatif ataukah menyikapi keduanya secara seimbang. Model asumsi mengenai preferensi investor (Markowitz, 1952) hanya didasarkan pada expected return dan risk dari portofolio yang secara implisit menganggap investor mempunyai fungsi utilitas yang sama. Tetapi pada kenyataannya, tiap-tiap investor mempunyai fungsi utilitas yang berbeda (Hartono, 2015). Jika preferensi investor terhadap portofolio berbeda karena investor mempunyai fungsi utilitas yang berbeda, portofolio optimal untuk masing-masing investor akan dapat berbeda. Model Markowitz tidak mempertimbangkan hal ini, karena fokusnya terletak pada nilai portofolio dengan resiko terkecil untuk expected return tertentu. Tetapi preferensi investor berbeda-beda. Investor yang risk averse akan memilih sesuai tanggapan model Markowitz, sedangkan investor yang risk seeker akan memilih resiko yang tinggi dengan implikasi akan mendapatkan return yang tinggi pula. Pemilihan portofolio sesuai dengan preferensi investor, merupakan portofolio yang efisien yang masih berada di efficient set. Portofolio mana yang akan dipilih oleh investor tergantung dari fungsi utilitasnya masing-masing. Portofolio optimal untuk tiaptiap investor terletak pada titik persinggungan antara fungsi utilitas investor dengan efficient set. Berdasarkan preferensi, investor menggunakan beberapa aksioma dalam proses pengambilan keputusan investasi berdasarkan model utilitas yang diharapkan (expected utility model) (Suad, 2005) yang merupakan model yang mendasari pemilihan investasi pada portofolio dalam konteks meanvariance model. Expected utility model secara historis memberikan model normatif dan deskriptif untuk pembuatan keputusan yang mengandung risiko. Teori ini beranggapan bahwa pembuat keputusan adalah seorang yang rasional. Pembuat keputusan dianggap mampu memproses informasi dengan sempurna dalam menentukan pilihan yang terbaik. Asumsi rasionalitas juga mewajibkan adanya konsistensi dan koherensi dalam keputusan yang dibuat. Aksioma pengambilan keputusan investasi tersebut yaitu: a. Investor mampu memilih berbagai alternatif dengan menyusun peringkat dari berbagai alternatifalternatif sehingga bisa diambil keputusan. b. Setiap peringkat alternatif-alternatif tersebut bersifat transitif. Artinya, kalau investasi A lebih disukai dari pada B, dan B lebih disukai dari pada C, maka A tentu lebih disukai dari pada C. c. Para pemodal akan memperhatikan risiko alternatif yang dipertimbangkan, dan tidak memperhatikan sifat alternatif-alternatif tersebut. Sebagai misal, investor tidak akan mempertimbangkan apakah suatu kesempatan investasi lebih padat modal ataukah lebih padat karya. d. Para investor mampu menentukan certainty equivalent dari setiap investasi yang tidak pasti. Certainty equivalent suatu investasi menunjukkan nilai pasti yang ekuivalen dengan nilai pengharapan dari investasi tersebut. Keempat aksioma di atas bisa digunakan untuk menyusun fungsi utilitas dari investor sebagai dasar untuk model sikap investor terhadap risiko, dengan tujuan untuk memaksimumkan indeks utilitas yang diharapkan pada income (discounted interest rate). Penyusunan fungsi utilitas digunakan untuk memilih investasi yang mempunyai unsur ketidakpastian. Investor akan memilih investasi-investasi berdasarkan return yang diharapkan pada tingkat yang maksimal atau tinggi. Investor yang satu dengan investor yang lain mungkin mempunyai fungsi utilitas yang berbeda, dan karenanya bisa memilih kesempatan investasi yang berbeda ataukah sama. Fungsi utilitas tersebut bersifat individual, artinya bisa berbeda antara pemodal yang satu dengan pemodal lainnya. Perbedaan fungsi utilitas investor dapat digambarkan melalui indifference curve bahwa investor tidak akan merasa berbeda sepanjang investor berada pada kurva tersebut. Tingkat utilitas investor akan berbeda satu sama lain pada tingkat resiko yang sama, tetapi investor akan lebih menyukai untuk memilih tingkat utilitas pada return yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan preferensi risiko bagi investor (Suad, 2005). 6 Konsep mental accounting sama dengan yang digunakan dalan teori prospek (Kahneman dan Tversky, 1979) dan banyak mengadopsi terori ini sebagai fungsi nilai dalam analisisnya. Teori prospek menggambarkan bagaimana investor membingkai (frame) dan menilai suatu keputusan dalam ketidakpastian. Pertama, investor membingkai (frame) pilihan dalam bentuk keuntungan dan kerugian potensial relatif terhadap suatu titik referen spesifik. Kedua, Investor menilai keuntungan atau kerugian berkenaan pada suatu fungsi bentuk-S sepeti dalam gambar 1. Gunanya, sebagai penjelasan alternatif dalam pengambilan keputusan. Elemen utama teori prospek adalah fungsi nilai bentuk-S yang concave (risk averse) dalam domain keuntungan dan convex (risk loving) dalam domain kerugian, keduanya mengukur relatif terhadap titik referen yang bersifat netral dengan nilai sebesar 0. Mental accounting menyediakan suatu fondasi untuk cara dimana pembuat keputusan merancang titik referen pada accounts yang menentukan keuntungan dan kerugian. Ide utama adalah pembuat keputusan cederung memisahkan tipe berbeda dari spekulasi kedalam account terpisah, dan kemudian mempergunakan teori prospek pada tiap-tiap account oleh pengabaian interaksi yang memungkinkan. METODOLOGI PENELITIAN Tipologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratory deskriptif yang dikembangkan dari penelitian Tversky dan Kahneman (1981), dan dilaksanakan dengan metode survey yaitu pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner. Kriteria Penentuan Populasi, Sampel, dan Responden Populasi penelitian ini adalah investor yang melakukan investasi di pasar modal dan anggota Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISI). Sampelnya meliputi investor individu yang menggunakan strategi investasi yang berbeda yaitu: strategi speculative investment, strategi aggressive investment, dan strategi core investment. Sumber Data Data dikumpulkan melalui kuesioner yang diisi oleh responden sehingga data tersebut merupakan data primer. Unit yang dianalisis adalah individu dari pihak investor. Metode Pengumpulan Data Kuesioner dikirimkan kepada investor melalui teknik snow balling melalui manajer investasi. Sebelum kuesioner dikirimkan, instrumen dalam kuesioner dilakukan pengecekan ulang dan dilakukan pre-test terlebih dahulu dengan menggunakan sampel 30 mahasiswa S2 (MM Finance) PTS DKI Jakarta. Hasil pre-test menunjukkan bahwa instrumen tersebut cukup mudah dipahami. ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN Pengembalian Kuesioner Data dikumpulkan melalui survey dengan jumlah kuesioner yang dikirim sebanyak 150 lembar. Kuesioner yang kembali sebanyak 110 lembar. Respon rate kuesioner sebanyak 73,3 %. Tabulasi kuesioner terdapat pada tabel 1. Tabel 1. Kuesioner Penelitian Keterangan Kuesioner yang dikirim Kembali karena alamat tidak dikenal Jumlah 150 eksemplar 0 eksemplar Jumlah Pengiriman Kuesioner yang kembali Prosentase Yang kembali 150 eksemplar 110 eksemplar 73,3 % Kuesioner yang bisa dipakai Prosentase yang bisa dipakai 110 eksemplar 73,3 % Demografi Responden Analisa didasarkan dari jawaban responden sebanyak 110 orang. Berdasarkan data yang diperoleh yang digunakan untuk menganalisis data, maka didapat deskripsi tentang demografi responden adalah responden pria berjumlah 78 (70,9%) dan responden wanita sebanyak 32 (29,1%). 7 Responden yang bekerja antara 1 sampai dengan 5 tahun berjumlah 19 orang (17,3%), responden yang bekerja selama 6 – 10 tahun sebanyak 38 orang (34,5%), dan responden yang bekerja lebih dari 10 tahun sebanyak 53 orang (48,2%). Tabel 2 berikut ini menyajikan data demografis responden sebagai berikut: Tabel 2. Demografi Responden Penelitian Keterangan Jenis Kelamin Pria Perempuan Jumlah Jumlah 78 32 110 Pengalaman 1 – 5 tahun 6 -10 tahun > 10 tahun Jumlah 19 38 53 110 Pendidikan < S1 > S1 Jumlah 87 23 110 Hasil Penelitian Hasil jawaban responden diringkas dalam tabel 3. Tabel ini menunjukkan ringkasan mengenai perbandingan antara hasil penelitian peneliti dengan hasil penelitian Tversky dan Kahneman (TK) (1981) sebagai berikut: Tabel 3. Perbandingan antara hasil peneliti dengan hasil Tversky dan Kahneman (TK) Nomor Kasus Prosentasi Hasil Penelitian Ini (%) Penelitian TK (%) Kasus 1 Alternatif A Alternatif B 59 41 72 28 Alternatif A Alternatif B Kasus 3 – Bagian 1 Alternatif A Alternatif B Kasus 3 – Bagian 2 Alternatif A Alternatif B Kasus 4 Alternatif A Alternatif B Kasus 5 Alternatif A Alternatif B Kasus 6 Alternatif A Alternatif B 32 68 22 78 37 63 84 16 28 72 13 87 20 80 0 100 58 42 88 12 56 44 46 54 Kasus 2 Analisis Kasus 1 Kasus 1 : Bayangkan bahwa Pemerintah RI (OJK) sedang mempersiapkan usaha pemberantasan para spekulan yang sangat berbahaya yang akan menyerang emiten di Bursa Efek Indonesia. Usaha spekulan tersebut diduga bisa menghancurkan 600 emiten. Bapepam mempunyai dua pilihan program untuk memberantasnya, yang masing-masing mempunyai akibat sebagai berikut: 8 Jika program A dipilih, 200 Emiten akan bisa diselamatkan. (59 %). Jika program B dipilih, probabilitas 600 emiten akan bisa diselamatkan adalah 1/3, sedangkan probabilitas emiten tak bisa diselamatkan adalah 2/3. (41 %). Dalam kasus ini masalah ditunjukkan dengan menggunakan framing positif. Artinya, masalah yang menekankan pada persoalan yang bisa diselamatkan. Berkenaan dengan teori expected utility, kasus 1 dengan melakukan program A dan program B akan memiliki nilai expected utility yang sama yaitu 200 dari masing-masing perhitungan untuk A (100 % x 200 = 200) dan untuk B (1/3 x 600 + 2/3 x 0 = 200). Pada kasus 1 tersebut dengan framing positif menunjukkan responden banyak memilih program A dibandingkan program B, walaupun selisihnya tidak besar. Hal ini menunjukkan bahwa investor memandang suatu investasi berdasarkan preferensinya adalah keuntungan yang akan diterimanya sebanding dengan risk yang ditanggungnya. Artinya, semakin tinggi return yang diinginkannya akan semakin meningkat resiko yang harus ditanggung dalam investasinya. Dengan framing positif tersebut, investor di Bursa Efek Indonesia menampakkan sikap netral dalam memilih alternatif. Analisis Kasus 2 Kasus 2 : Bayangkan bahwa Pemerintah RI (OJK) sedang mempersiapkan usaha pemberantasan para spekulan yang sangat berbahaya yang akan menyerang emiten di Bursa Efek Indonesia. Usaha spekulan tersebut diduga bisa menghancurkan 600 emiten. Bapepam mempunyai dua pilihan program untuk memberantasnya, yang masing-masing mempunyai akibat sebagai berikut: Jika program A dipilih, 400 emiten akan gulung tikar. (32 %). Jika program B dipilih, probabilitas emiten tidak gulung tikar adalah 1/3, sedangkan probabilitas emiten gulung tikar adalah 2/3. (68 %). Dalam kasus ini masalah ditunjukkan dengan menggunakan framing negatif. Artinya, masalah yang menekankan pada persoalan emiten yang gulung tikar (likuidasi). Berkenaan dengan teori expected utility, kasus 2 dengan melakukan program A dan program B akan memiliki nilai expected utility yang sama yaitu 400 dari masing-masing perhitungan untuk A (100 % x 400 = 400) dan untuk B (1/3 x 0 + 2/3 x 600 = 400). Pada kasus tersebut dengan framing negatif menunjukkan responden banyak memilih program B dibandingkan program A. Hal ini menunjukkan bahwa investor mempunyai tindakan bahwa mereka lebih berani untuk mengambil resiko (risk taker), artinya investor lebih suka memilih B yang punya kans 2/3 semua emiten gulung tikar daripada memilih A dengan kans hanya 400 emiten gulung tikar. Dengan proksi ini memberikan pemahaman bahwa preferensi investor terhadap investasi mengenai expected return dan risk tidak bersifat tunggal tetapi mempunyai preferensi berbeda. Analisis Kasus 3 Kasus 3 : Bayangkan bahwa anda sedang menghadapi dua pasang alternatif keputusan. Pelajari dengan seksama masing-masing alternatif, lalu pilihlah mana yang anda sukai: Keputusan 1. Pilihlah satu (dengan melingkari huruf A atau B) sesuai preferensi anda : A. Pasti Laba Rp. 240.000,(37 %) B. Kans Laba Rp. 1.000.000,- sebesar 25 % Kans Laba Rp. 0,- sebesar 75 %. (63 %) Kalau anda diminta menentukan, alternatif mana yang anda sukai ? .......................................................... Keputusan 2. Pilihlah satu (dengan melingkari huruf C atau D) sesuai preferensi anda : C. Pasti rugi Rp. 750.000,(28 %) D. Kans rugi Rp. 1.000.000,- sebesar 75 %. Kans rugi Rp. 0,- sebesar 25 %. (72 %) Kalau anda diminta menentukan, alternatif mana yang anda sukai ? .......................................................... 9 Pada kasus 3 ini pemaparan suatu persoalan ditunjukkan melalui perbedaan framing pada suatu keputusan yang bersifat keuangan. Investor mempunyai kesempatan untuk melihat masingmasing tipe kasus keputusan. Keputusan 1 menunjukkan bahwa investor lebih banyak memilih alternatif B (alternatif dengan risiko) dan perbedaannya sangat besar (36 %) dibanding investor yang memilih alternatif A. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Tversky dan Kahneman (1981) dan menunjukkan bahwa framing positif jelas berbeda dengan hasil penelitian Tversky dan Kahneman (1981). Subyek Investor di Bursa Efek Indonesia tampak bersifat netral dalam memilih alternatif dalam framing positif. Sedangkan pada keputusan 2, mayoritas investor memilih alternatif D. Hal ini menunjukkan bahwa investor bersikap sebagai pengambil risiko (risk taker), artinya investor lebih suka memilih alternatif berisiko dari pada alternatif tanpa risiko. Karena pemaparan keputusan 1 dan 2 dalam kasus 3 ditampilkan secara bersamaan, sehingga para peserta dapat membuat kombinasi pilihan alternatif untuk memaksimalkan utilitasnya. Kombinasi alternatif pilihan yang bisa dilakukan sesuai dengan preferensi investor adalah AC, AD, BC, dan BD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investor memilih kombinasi B dan D adalah sesuai dengan preferensi investor. Analisis Kasus 4 Kasus 4 : Pilihlah salah satu alternatif di bawah ini yang anda sukai : Alternatif 1 : A dan D Kans 25 % untuk laba Rp. 240.000,- dan Kans 75 % untuk rugi Rp. 760.000,- ( 20 % ) Alternatif 2 : B dan C Kans 25 % untuk laba Rp. 250.000,- dan Kans 75 % untuk rugi Rp. 750.000,- ( 80 % ) Kalau anda diminta menentukan, alternatif mana yang anda sukai ? .......................................................... Pada kasus 4 tersebut menunjukkan bahwa pilihan alternatif 2, yaitu, B dan C menunjukkan pilihan yang lebih bagus dan lebih disukai dibandingkan dengan pilihan alternatif 1 (A dan D). Hasil ini menunjukkan suatu pengambilan keputusan yang berbeda dengan kasus 3, dan mengindikasikan bahwa investor terdapat kemungkinan tidak mempunyai kemampuan dalam menggabungkan informasi yang terpisah-pisah mengenai investasi keuangan dan fundamental keuangan emiten untuk membuat pilihan yang optimal dalam pengambilan keputusan investasi sekuritas. Dari paparan ini menunjukkan bahwa investor dalam proses pengambilan keputusan investasi sekuritas terutama dalam memilih sekuritas individu, perangkingan estimasi expected return dan risk sekuritas individu, serta menyusun suatu portofolio dari sekuritas-sekuritas individu akan dapat berbalik 360 derajad dalam suatu analisis sekuritas jika investor mampu menggabungkan fakta-fakta yang akan dianalisis bilamana investasi tersebut bersifat tidak mutually exclusive. Analisis Kasus 5 dan 6 Kasus 5 : Bayangkan situasi dimana anda berniat menghadiri seminar Investasi Keuangan dimana harga tiket / biaya seminar adalah Rp. 20.000,-. Setiba anda di gedung seminar, Anda menyadari bahwa ternyata selembar uang Rp. 20.000,- hilang dari dompet anda. Apakah anda masih tetap mau mengeluarkan Rp. 20.000,- untuk menghadiri seminar Investasi Keuangan tersebut ? JAWABAN : YA (58 % ) TIDAK (42 %) Kasus 6 : Bayangkan bahwa anda telah membeli tiket seharga Rp. 20.000,0 untuk menghadiri seminar Investasi Keuangan. Saat anda masuk gedung seminar tiba-tiba anda menyadari bahwa tiket tersebut hilang. Oleh sebab itu anda tidak akan diperbolehkan masuk. Apakah anda masih tetap mau mengeluarkan Rp. 20.000,- untuk menghadiri seminar Investasi Keuangan tersebut ? 10 JAWABAN : YA (56 % ) TIDAK (44 %) Pada kasus 5 dan 6 ini digunakan untuk melakukan suatu analisis bilamana dalam suatu situasi suatu tindakan dapat merubah keseimbangan yang sebelumnya sudah diciptakan oleh tindakan yang terkait. Hal ini menunjukkan perubahan keseimbangan karena adanya hasil keputusan baru tersebut. Peristiwa dalam kasus 5 dan 6 merupakan pengaruh sunk-cost effect yang timbul dari suatu tindakan yang telah dilakukan sebelumnya dan evaluasi dilakukan dengan memakai titik referen negatif yang timbul sebagai akibat kegagalan pada keputusan terakhir. Artinya, investor yang telah mempunyai preferensi risk taker akan menanggung segala risiko baik dari aktivitas investasi yang telah dikeluarkan dananya maupun dari perencanaan investasi yang akan dilakukannya. Investor dapat menerima konsekwensi bahwa investasi yang telah dikeluarkan akan dapat memberikan return yang maksimal sesuai harapannya ataupun tidak akan mendapatkannya sama sekali. Investor akan secara subyektif membuat penilaian dan mengambil keputusan dari titik referen (fungsi nilai dari teori prospek), dengan penilaian tersebut, investor akan merasa seolah-olah nilai kekalahan/kerugian sejumlah uang tertentu dalam suatu investasi akan lebih besar dari pada nilai kemenangan sejumlah uang yang sama. Sehingga dalam situasi rugi (misal dititik B dalam gambar 1) investor akan cenderung untuk bertindak nekat dalam menanggung resiko, karena kerugian lebih lanjut akan menghasilkan nilai subyektif lebih rendah dibandingkan keuntungan. Dengan hasil dari kasus 5 dengan perbandingan jawaban ya sebesar 58 % dengan jawaban tidak sebesar 42 %; serta kasus 6 dengan perbandingan jawaban ya sebesar 56 % dengan jawaban tidak sebesar 44 % menunjukkan bahwa suatu kehilangan uang tersebut tidak terkait secara khusus dengan pembelian tiket yang kemungkinan dan implikasinya investor akan lebih cenderung bersikap indifference terhadap peristiwa yang terjadi yang bersifat fair. Diskusi Penelitian ini memberikan bukti bahwa mental accounting investor mengenai preferensi investasi keuangan dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena pengambilan keputusan investasi investor di Bursa Efek Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan suatu perbedaan dengan penelitian Tversky dan Kahneman (1981) khususnya untuk kasus 2, kasus 3 bagian 1, kasus 4, kasus 5, dan kasus 6 yang secara khusus menunjukkan kasus pengambilan keputusan yang dijelaskan dengan framing negatif (kasus 2 dan 4) serta framing positif (kasus 3 bagian 1). Hal ini mengindikasikan bahwa secara spesifik investor di Bursa Efek Indonesia cenderung bersikap risk netral untuk memaksimalkan utilitasnya, dan memberikan bukti bahwa terdapat kecenderungan investor akan bersikap indifference pada suatu investasi yang bersifat fair (wajar). Disamping itu, dari paparan kasus 5 dan kasus 6 menunjukkan bahwa keputusan investor Indonesia cenderung konsisten dalam menilai Rp. 20.000,- yang hilang dan tidak tergantung apakah hal tersebut berwujud uang atau tiket. Disamping terdapat perbedaan, penelitian ini juga menunjukkan persamaan dengan penelitian Tversky dan Kahneman (1981). Kesamaan ini dapat dilihat pada kasus 3 bagian 2 dengan penggambaran kasus tersebut menggunakan framing negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa framing negatif baik investor Indonesia maupun subyek Amerika Serikat (penelitian Tversky dan Kahneman, 1981) sama-sama mempunyai sifat risk taker. PENUTUP Kesimpulan Berkaitan dengan perilaku pengambilan keputusan Investor di Indonesia, menyimpulkan bahwa pada framing positif perilaku orang Indonesia dapat berbeda dengan orang asing. Peneliti menarik pandangan bahwa hal ini terjadi karena beberapa faktor diantaranya yaitu, perbedaan budaya sehingga menyebabkan perbedaan sikap dalam pengambilan keputusan investasi, serta keterbiasaan menerima informasi orang Indonesia dengan framing positif yang dapat mempengaruhi kepribadian, perilaku orang, dan persepsi seseorang. 11 Keterbatasan Penelitian ini dilakukan pada obyek investor individu yang melakukan investasi dengan berbagai strategi investasi yang berbeda, yaitu, strategi speculative investment, strategi aggressive investment, dan strategi core investment. Hasilnya mengindikasikan suatu generalisasi sikap preferensi investor tehadap investasinya. Penelitian di masa mendatang diharapkan para peneliti dapat membuat cluster untuk masing-masing strategi sehingga di dapat preferensi investor secara berkelompok. Daftar Pustaka Barberis, Nicholas, and Huang, Ming, 2001, Mental Accounting, Loss Aversion, and Individual Stock Returns, The Journal of Finance, Vol. LVI, No. 4, August. Djunaidi, A., 1990, Investasi Melalui Instrumen Pasar Modal: Mengapa Dividen Lebih Penting, Info Pasar Modal, Juni, Jakarta. Gudono dan Hartadi, Bambang, 1998, Apakah Teori Prospek Tepat untuk Kasus di Indonesia ? Sebuah Replikasi Penelitian Tversky dan Kahneman, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 1, No. 1, Januari, hlm. 29 – 42. Hartono, M., Jogiyanto, 2015, Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi Sepuluh, BPFE Yogyakarta. Harvey, J.T., 1996, Long Term Exchange Rate Movements : The Role of The Fundamentals In Neoclasical Models of Exchange Rates, Journal of Economics Issue, 30(2), Hal. 509-516. Kahneman, D. and A. Tversky, 1979, Prospect Theory: An Analysis of Decision Under Risk, Econometrica, March, pp. 263-291. Karim, J; P.E. Johnson, and R.E. Berryman, 1995, Detecting Framing Effects in Financial Statements, Contemporary Accounting Research, 12(1), Hal 85-105. Lim, Sonya. SeongYeon, 2004, Do Investor Integrate Losses and Segregate Gains ? Mental Accounting and Investor Trading Decisions, Working Paper, SSRN. Markowitz, H.M., Portofolio Selection, Journal of Finance (March 1952), hal. 77-91. Nofsinger, John R., 2005, The Psychology of Investing, Pearson Education, Second Ed., Upper Saddle River, New Jersey. Paimpo dan Didi, 2000, Bukan waktunya lagi mengandalkan rumor, Media Akuntansi, No. 10, Tahun VII, Juni, Jakarta, hal 16 – 17. Prabowo, Tommy, 2000, Mengharapkan Laporan Keuangan Plus, Media Akuntansi, No. 10, Thn. VII, Juni, Jakarta Prabowo, Tommy, 2000, Dissemination of Information di Pasar Modal, Media Akuntansi, No. 10, Thn. VII, Juni, Jakarta. Schoemaker, P., 1982, The Expected Utility Model : Its Variance, purposes, evidence and limitations, Journal of Economic Literature 20 (June), halaman 529 – 563. Scott, William R., 2015, Financial Accounting Theory, 6 ed, Pearson Education Canada Inc., Toronto. Suad, Husnan, 2005, Dasar-Dasar Teori Portfolio, Edisi Kelima, Penerbit UPP AMP YKPN, Oktober, Yogyakarta. Thaler, Richard H., 1985, Mental Accounting and Consumer Choice, Marketing Science 4, pp. 199214. Tim BEJ, 2006, Berburu Dividen, Lihat Dulu Jadwalnya - Ada faktor psikologis, menjelang pembagian dividen harga saham akan naik, Republika, Senin 17 April. Tversky, A., dan D. Kahneman, 1981, The Framing of Decisions and The Psychology of Choice, Science, 211 (30), halaman 453 – 458. Wikipedia, 2008, Cognition, Free encyclopedia. White, R.A.; P.D. Harrison, and A. Harrell, 1993, The Impact of Income Tax Witholding on Taxpayer Compliance: Further Empirical Evidence, The Journal of the American Taxation Association, No. 3, Hal 63-78. 12