TA_NRM - E-learning Bedah FK UNS

advertisement
PERUBAHAN KADAR PROTEIN S100β
PADA PASIEN CIDERA OTAK SEDANG (COS) SELAMA PERAWATAN
PROPOSAL TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan
Program Pendidikan Dokter Spesialis – I
Program Studi Ilmu Bedah
Oleh :
Nur Rohman, dr
NIM S561302006
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET /
RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
2016
i
HALAMAN PENGESAHAN
PERUBAHAN KADAR PROTEIN S100β
PADA PASIEN CIDERA OTAK SEDANG (COS) SELAMA PERAWATAN
PROPOSAL TESIS
Oleh :
Nur Rohman, dr
NIM S561302006
PembimbingUtama :
DR. Untung Alifianto, dr. SpBS
NIP.19800131 201212 1 002
Tanggal :
Pembimbing Pendamping :
Ferry Wijanarko, dr. Sp.BS
NIP. 19610407 198812 1 001
Tanggal :
Dr. Hari Wujoso, dr. Sp.F, MM
NIP. 19621022 199503 1 001
Tanggal :
Telah dinyatakan memenuhi syarat
Pada tanggal .................... 2016
Ketua Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi
Amru Sungkar, dr. Sp.B, Sp.BP-RE
NIP. 19640101 198910 1 003
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera otak adalah
penyebab kematian terbanyak akibat trauma. 70%
kematian akibat trauma disebabkan oleh cedera otak. Angka kematian akibat cedera
otak bervariasi di setiap negara. Di United States of America (USA) 25 per 100.000
penduduk(Kraus JF,Mc Arthur DL,1996). Data lain menyebuntukan bahwa pada
tahun 2003 dari 1,565,000 yang mengalami cedera otak, 51,000 di antaranya
meninggal dunia(Feinstein dan Stahl, 2009). Di Indonesia walaupun belum terdata
secara nasional, cedera otak juga termasuk kasus yang sangat sering dijumpai di
setiap rumah sakit. Pada tahun 2005 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSCM) terdapat 434 (55,8%) kasus cedera otak ringan (COR),
315(40,5%) kasus cedera otak sedang (COS) dan 28 (3,6%) kasus cedera otak berat
(COB) (Irawan H, 2010).Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi (RSDM)
Surakarta pernah dilakukan penelitian pada Januari – Desember 2009 didapatkan 199
pasien dengan cedera otak dengan distribusi 110 orang (55,2%) COR, 37 pasien
(18,6%) COS, dan 52 pasien (26,1%) COB. Dari 199 pasien, 38 pasien meninggal
dunia (Sari RK, 2009). Penyebab terjadinya cedera otak yang terbanyak adalah
kecelakaan lalu lintas, dan sering terjadi pada laki-laki terutama pada usia muda yang
mempunyai mobilitas tinggi (Kraus JF,Mc Arthur DL,1996, Feinstein dan Stahl,
2009).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa sering kali ditemukan adanya
kesulitan dalam penentuan assesmen pada kasus cedera otak difus yang kadang
dijumpai
pada
COS
dengan
hanya
menggunakan
pemeriksaan
rutin
sepertiComputerized tomography scanning (CT-scan) atau magnetic resonance
imaging (MRI). Hal ini karena secara klinis terkadang tidak berkorelasi dengan
iii
gambaran CT scan dan MRI yang didapatkan. Oleh karena itu, untuk menambah
kelengkapan informasi, metode lain untuk mendeteksi adanya kerusakan fungsional
maupun struktural diperlukan, termasuk salah satunya adalah pemeriksaan biomarker
yang sensitif. Pemeriksaan ini lebih bermanfaat terutama pada kasus cedera otak
tanpa kelainan radiologis. Salah satu biomarker yang dikembangkan pada cedera otak
adalah protein s100β (Nygren et al., 2005; Ingebrigtsen et al., 2016).
S100β merupakan marker neurobiokimia pada kerusakan otak akibat beberapa
keadaan seperti gangguan sistem sirkulasi darah sistemik, stroke dan juga cedera
otak(Yardan et al., 2011). Protein S100β merupakan salah satu determinan protein S100. Protein S100 merupakan protein yang terikat bersama ion calcium (Ca binding
protein) yang disensitisasi di sel-sel astroglial pada seluruh bagian system saraf pusat.
Kadar yang sangat tinggi dalam cairan serebrospinal ditemukan pada berbagai macam
pasien dengan penyakit maupun trauma system saraf (Ingebrigtsen, 2016). Telah
dilaporkan dalam salah satu penelitian bahwa didapatkan peningkatan kadar protein
S100β di dalam serum dan cairan cerebrospinal pada kasus cedera otak. Pada kondisi
normal protein ini didapatkan di dalam serum plasma darah dengan kadar yang sangat
rendah. Oleh karenanya, tingginya konsentrasi protein ini dalam serum darah
mengindikasikan adanya kerusakan pada sel-sel glia dan disfungsi barier sawar darah
otak (Imaningdyah, 2013).
Menurut evidence base-nya biomarker ini berpotensi menjadi bagian dari
protokol penanganan untuk menentukan prognosis pasien dengan cedera otak baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Meskipun demikian, pemeriksaan ini
belum banyak digunakan dalam klinik praktis sebagai bagian dari protokol standard
pemeriksaan (Mercier,2013).Beberapa penelitian mengenai protein s100β
cedera otak dalam berbagai tingkat
pada
kegawatan telah dilaporkan, namun dalam
penelitian-penelitian tersebut belum ada yang mengkhususkan pada kasus COS. Data
penelitian-penelitian di Indonesia juga belum banyak ditemukan.
Berdasarkan
keterangan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pemeriksaan biomarker s100β ini
sebagai salah satu parameter prediksi perbaikan kondisi klinis pasien COS pada fase
iv
akut dengan meninjau pada teori mengenai proses inflamasi dan patofisiologi edema
cerebri
yang
terjadi
pasca
trauma
otak.
B. Rumusan Masalah
Adakah perubahan kadar protein S100β pada pasien COS selama perawatan?
Adakah hubungan antara perubahan kadar protein S100β dengan waktu
perawatan pada pasien COS
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui adanya perubahan kadar protein S100β pada pasien COS
selama perawatan.
Mengetahui adanya hubungan antara perubahan kadar protein S100β dengan
waktu perawatan pada pasien COS
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Menambah khasanah dalam ilmu bedah tentang perubahan kadar protein
S100β pada pasien COS selama perawatan.
2. Manfaat Aplikatif
Diharapkan dapat menjadi dasar bahwa kadar protein S100β dapat dijadikan
parameter penilaian perkembangan klinis pasien COS.
v
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1.
Cidera Otak
a. Epidemiologi
Cedera otak adalah kasus trauma yang banyak terjadi seiring dengan
berkembangnya teknologi transportasi. Setiap tahunnya 1,7 juta orang di
dunia mengalami cedera otak baik disertai dengan trauma lainnya maupun
tidak. Cedera otak memberikan faktor kontribusi sebanyak 30,5% kematian
yang disebabkan oleh trauma di USA (Tisdal, 2008;US National Center for
Injury Prevention and Control, 2009).
Pada tahun 2005 di RSCM terdapat 434 (55,8%) kasus COR dengan
GCS 14-15. 315(40,5%) kasus COS dengan GCS 9-13 dan 28 (3,6%) kasus
COB dengan GCS 3-8 (Irawan H,2010). Di RSDM pernah dilakukan
penelitian pada Januari – Desember 2009, didapatkan 199 pasien dengan
cedera otak dengan distribusi 110 orang (55,2%) COR, 37 pasien (18,6%)
COS, dan 52 pasien (26,1%) COB. Dari 199 pasien, 38 pasien meninggal
dunia (Sari RK, 2009).
Cedera otak dapat terjadi pada setiap orang, baik anak-anak yang berusia
0-4 tahun, remaja antara 15-19 tahun, orang dewasa ataupun orang tua dengan
usia di atas 65 tahun. Sebanyak 473.947 pasien cedera otak yang masuk ke
Unit Gawat Darurat (UGD) adalah remaja dengan rentang usia 15 – 24 tahun.
Berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki dengan
perbandingan rasio yang bervariasi antara laki-laki dan perempuan adalah 2,02,8:1 (Kraus JF, Mc Arthur DL, 1996).
vi
4
b. Klasifikasi
Cedera otak dapat diklasifikasikan secara klinis, patologis, garis fraktur,
maupun tipe perdarahan. Secara klinis, klasifikasi berdasarkan Glasgow Coma
Scale (GCS) yaitu:
COR : GCS 14 – 15
COS : GCS 9 – 13
COB : GCS 3 – 8 (Padmosantjojo RM, 2005).
Secara patologis, cedera otak dapat dibagi menjadi cedera otak primer
dan cedera otak sekunder.
1)
Cedera otak primer
Cedera otak primer adalah kerusakan yang terjadi segera saat benturan
terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat fokal maupun difus.
Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan bersifat fokal yang terjadi pada
bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian lainnya relatif tidak
terganggu. Kerusakan yang terjadi dapat berupa :
a) Perlukaan dan perdarahan ekstrakranial
b) Fraktur tulang kepala
c) Perdarahan intrakranial
d) Kontusio dan laserasi cerebri (Padmosantjojo RM, 2005)
Kerusakan difus adalah kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi
menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat mikroskopis (Padmosantjojo
RM, 2005).
2) Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder adalah kerusakan yang terjadi setelah terjadinya
trauma atau benturan dan merupakan akibat dari peristiwa yang terjadi
pada kerusakan primer (Padmosantjojo RM, 2005).
vii
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak dapat diklasifikasikan
menurut beberapa aspek antara lain:
1) Berdasarkan pola garis fraktur
a). Fraktur Linier
b). Fraktur Diastase
c). Fraktur Cominutif
d). Fraktur Depressed
2) Berdasarkan lokasi fraktur
a). Fraktur pada bagian calvaria
b). Fraktur basis cranii
3) Berdasarkan jenis luka
a). Fraktur terbuka
b). Fraktur tertutup
Berdasarkan perdarahan intracranial dapat dibagi menjadi :
1) Hematom Epidural
2) Hematom Subdural
3) Hematom Subarachnoid
4) Hematom Intracerebri
5) Hematom Intraventrikuler(Padmosantjojo RM, 2005).
c. Biomekanika cedera otak
Cedera otak dapat bersifat lambat (static loading) dan yang paling sering
bersifat cepat (dynamic loading). Trauma yang serius sering menimbulkan
fraktur tulang kepala multipel. Tulang kepala menyerap energi dari benturan
akan diteruskan ke jaringan otak sehingga terjadi kompresi dan distorsi.
Kerusakan jaringan otak yang fatal dapat terjadi. Dynamic loading dapat
terjadi
pada
benturan
dengan
(Satyanegara,2010).
viii
waktu
kurang
dari
200
milidetik
Beban dinamik terbagi menjadi beban guncangan (impulsive loading)
dan beban benturan (impact loading). Impulsive loading terjadi bila saat
kepala bergerak dan tiba-tiba berhenti atau kepala yang dalam keadaan diam
kemudian diguncang secara mendadak. Cedera yang terjadi disebut cedera
akselerasi – deselerasi (Gennarelli TA, 1993). Otak dapat bergerak bebas
dalam batas tertentu dalam tengkorak. Saat terjadi benturan terjadilah gerakan
akselerasi dan jaringan otak tertinggal dibanding gerakan yang dialami
tengkorak. Otak akan bergeser secara relatif terhadap tulang tengkorak dan
duramater, sehingga terjadi cedera pada permukaan jaringan otak dan
bridging vein (Satyanegara, 2010).
Beban benturan dialami kepala dan jaringan otak akibat adanya benda
padat yang membentur kepala dengan kecepatan tertentu. Jejas pada cedera
kontak bentur dialami bila ada fenomena kontak yaitu efek gabungan yang
ditimbulkan akibat energi benturan dihantarkan ke kepala sebesar tenaga
kontak(Gennarelli TA, 1993).
d. Patofisiologi
Cedera otak primer adalah suatu fenomena mekanik yang terjadi sesaat
setelah terjadinya trauma, sedangkan cedera otak sekunder adalah fenomena
metabolik yang memiliki jalur kaskade yang rumit dan belum semua dapat
terungkap. Mekanisme ini secara konseptual terbagi menjadi dua, yaitu
secondarybrain insult dan secondary brain damage. Secondary brain insult
timbul akibat dari perburukan sistemik dan intrakranial yang memperberat
kerusakan neuron setelah cedera kepala primer. Gejala yang timbul pada
keadaan
ini
adalah
systemic
secondary
insult
dan
intrakranial
secondaryinsult. Secondary brain damage adalah cedera kepala sekunder
yang terjadi setelah aktivasi langsung proses imunologi dan biokimia yang
merusak dan menyebar secara ritmik. Mediator biokima dan inflamasi pada
cedera ini terdiri atas asidosis laktat, kalsium, asam amino eksitatorik, asam
ix
arakhidonat, nitric oxide (NO), radikal bebas, peroksidasi lipid, aktivasi
kaskade komplemen, sitokin, bradikinin, makrofag, dan pembentukan edema
serebri (Kossman, 2002). Penyebab intrakranial adalah tekanan intrakranial
yang tinggi, kejang, infeksi dan vasospasme. Penyebab sistemik adalah
hipotensi, hipoglikemik, hiperglikemia, hipertermi, dan hiponatremia.
(Adimarta W, 2009)
Berdasarkan mekanismenya, edema serebri terbagi menjadi dua
kategori, yaitu edema sitotoksik atau intraselular dan edema vasogenik atau
ekstraselular. Keduanya dapat diketahui dengan rinci melalui studi
mikroskopik dan ultrastruktural. Pengukuran kadar cairan jaringan melalui
pencitraan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membedakan edema
sitotoksik dan edema vasogenik. Edema sitotoksik adalah akumulasi cairan di
kompartemen intraselular, neuron, mikroglia, dan astrosit (Marmarou et al.,
2007). Edema sitotoksik berhubungan dengan kegagalan pompa Na/K ATPdependent yang berhubungan dengan energi. Kegagalan asupan energi
jaringan otak yang terjadi pada keadaan iskemia dapat memengaruhi kinerja
pompa Na/K ATP-dependent. Keadaan ini berhubungan dengan terganggunya
pertukaran ion intrasel dan ekstrasel, sehingga osmolalitas intrasel meningkat
dan cairan akan masuk ke dalam sel dan kemudian menimbulkan gangguan
intrasel. Oleh karena itu, edema sitotoksik disebut juga edema ionik. Pada
keadaan tertentu, bila cairan yang terakumulasi sangat banyak, dapat terjadi
ruptur membran sel dan cairan keluar ke kompartemen ekstraselular.
Meskipun edema sitotoksik lebih sering terjadi dibandingkan dengan edema
vasogenik, pada akhirnya keduanya dapat meningkatkan TIK dan berlanjutnya
iskemia (Marmarou et al., 2007). Pada kondisi yang baik, odema sitotoksik
umumnya berlangsung mulai 3 jam hingga 3 hari pasca trauma (Narayan,
2012).
Edema vasogenik adalah peningkatan cairan esktrasel yang terjadi
karena kebocoran SDO. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan osmotik dan
x
cairan ke luar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam
kompartemen ekstraselular. Cairan intravaskular ini keluar melalui endotel
dengan mekanisme pinositosis dan atau tight junction yang bocor. Edema
vasogenik sering disebut juga edema osmotik. Kebocoran SDO dapat terjadi
karena beberapa keadaan seperti cedera kepala, tumor, infeksi, perdarahan
intraserebri, dan inflamasi (Marmarou et al., 2007). Trauma otak
menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak sawar darah otak
(SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema.
Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan pada akhirnya
meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran darah otak
(ADO), iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PCO2),
dan kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut hingga terjadi
kematian sel dan edema bertambah secara progresif kecuali bila dilakukan
intervensi 1 (Price, 2006).
Gambar 2.1 Ilustrasi keadaan Sel Normal (A); Edema Sitotoksik (B), Edema
Vasogenik (C) (Marmarou et al., 2007).
xi
Intervensi yang dilakukan adalah dengan tatalaksana airway, breathing,
dan circulation. Kelanjutan proses ini dapat terjadi perbaikan dan dapat pula
terjadi perburukan. Pada proses yang membaik maka otak akan melakukan
bebagai
mekanisme
untuk
mempertahankan
kesetimbangannya
dan
selanjutnya akan mengalami perbaikan sesuai dengan pola tertentu. Edema
akan meningkat hingga mencapai puncaknya pada hari ketiga atau keempat,
kemudian dalam rentang waktu tujuh sampai sepuluh hari edema akan
berangsur-angsur membaik. Namun demikian, proses perbaikan ini akan
menjadi lama apabila factor-faktor yang memicu terjadinya edema cerebri,
seperti hipoksia, hiperpireksiadan disturbansi elektrolit tidak diatasi dengan
baik (Narayan, 2012). Gambar berikut menggambarkan pola waktu terjadinya
edema cerebri baik yang vasogenik maupun sitotoksik.
xii
Gambar 2.2. Pola waktu edema serebri pasca trauma (a); potensi
penyebab edema cerebri (b)(Narayan, 2005).
Pada awal pasca trauma tidak terjadi pembengkakan vaskuler, dan
manifestasi – apabila terdapat – kerusakan pada sawar darah otak akan
muncul belakangan. Peningkatan tekanan intra cranial pada fase ini lebih
xiii
disebabkan oleh odema sitotoksik. Pada hari kedua, vasa vaskuler mulai
membengkak sehingga menyebabkan hipertensi intracranial. Kondisi ini akan
menyebabkan kerusakan sawar darah otak. Akibatnya, akan terjadi odema
vasogenik yang berlangsung antara hari ke-2 hingga ke-5 (Narayan, 2005).
Pada proses yang memburuk, otak mengalami hipoksia. Pada proses
yang tidak dapat dicegah akan dilepaskan
neurotransmitter yang bersifat
simpatik lebih banyak daripada parasimpatik, opioid, reaksi inflamasi,
gangguan pada deformabilitas erithrosit, dan radikal bebas. Proses ini dapat
menyebabkan
hipoksemia.
Hipoksemia
yang
terus
berlanjut
akan
menyebabkan iskemia pada otak sehingga menimbulkan cedar otak sekunder(
Islam AA, 2010; Kasan U, 2000).
Primary brain injury
secondary brain injury
Gambar 2.4 Patofisiologi cedera otak( Kasan U, 2000)
xiv
Kegagalan pompa ion mengarahkan akumulasi natrium intraseluler dan
kalium ekstraseluler sehingga cairan bergerak ke dalam intraseluler. Rongga
intraseluler membesar dan rongga ekstraseluler mengkerut. Natrium dari
darah akan masuk ke dalam otak dan kalium keluar dari otak masuk ke dalam
darah yang menyebabkan terjadinya penumpukan cairan. Edema otak
diperberat dengan adanya kerusakan pembuluh darah.(Adimarta W, 2009)
Cedera otak akan menimbulkan reaksi inflamasi yaitu adanya gangguan
keseimbangan antara sitokin yang pro inflamasi dan anti inflamasi. Sitokin
yang bersifat pro inflamasi antara lain Tumor necrosis factor (TNF-α) dan
interleukin-1 (IL-1) yang akan meningkatkan metabolisme dan mempunyai
peranan terhadap terjadinya cedera otak sekunder. Sitokin yang bersifat anti
inflamasi adalah interleukin-10 (IL-10) yang membatasi kerja dari sitokin
inflamasi agar tidak berlebihan yang akan menimbulkan efek yang
merugikan.(Adimarta W, 2009)
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan
aktivasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler meningkat. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan dan leukosit pada daerah trauma. Sel
terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama
sel leukosit. Dalam hal ini akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear
(MN), makrofag, dan limfosit. Proses ini berlangsung melebihi 5-6 jam.
(Adimarta W, 2009). Pada umumnya proses inflamasi yang berakibat edema
otak mencapai puncaknya pada hari ke-3 sampai ke-4 pasca terjadi cedera
jaringan (Narayan,2012)
Pada tahap awal terjadinya proses inflamasi, akan terjadi perlekatan
netrofil pada endothelium dalam beberapa molekul perekat Intracelluler
Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses ini mempunyai kecenderungan
xv
mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Netrofil akan melepaskan senyawa
toksik (radikal bebas) atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrien)
(Adimarta W, 2009). Bila dikaitkan dengan sitokin yang bersifat pro inflamasi
yaitu TNF-α diproduksi oleh microglia dan astrosit, proses ini terjadi satu jam
setelah terjadinya trauma. TNF-α akan menstimulasi ICAM-1 pada sel
endothel sehingga lebih adhesif terhadap leukosit terutama sel netrofil
sehingga terjadi akumulasi leukosit di sekitar daerah inflamasi. Proses ini
memberi dampak buruk yaitu mengakibatkan penurunan aliran darah dalam
mikrosirkulasi (Islam AA, 2007; Narayan 2005). TNF-α akan memasuki
aliran darah dan bekerja sebagai hormon endokrin. TNF-α merupakan pirogen
endogen yang bekerja pada sel di hypothalamus untuk memicu terjadinya
demam (Islam AA, 2007).
Sitokin yang bersifat anti inflamasi IL-10 disebut juga cytokinesynthesis
inhibitory factor (CSIF) diproduksi oleh sel T helper 0 (TH0) dan Sel T Helper
2 (TH2) subset dari sel T helper Cluster of differentiation4+ (CD4+)
dan
Cluster of differentiation8+ (CD8+). Sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel B
yang teraktivasi oleh sel TH1; paling banyak diproduksi oleh sel makrofag
yang teraktivasi, monosit, dan juga sel nonlimfatik seperti keratinosit (Islam
AA, 2007).
xvi
Gambar 2.4. proses inflamasi yang menyertai cedera otak akut
(Narayan2005)
IL-10 memiliki dua aktivitas utama : pertama menghambat TNF-α, IL1, kemokin, dan IL-12 yang diproduksi oleh makrofag; kedua menghambat
berbagai fungsi makrofag teraktivasi melalui aktivasi sel T dan merupakan
umpan balik negatif. Produksi molekul adhesi intraselular akan merangsang
pelepasan TNF-α, selanjutnya TNF-α akan memicu dilepaskannya molekul
adhesi intraselular sehingga terjadi lingkaran setan yang berakhir dengan
morbiditas dan mortalias yang tinggi. Pada keadaan demikian diperlukan
suatu pengaturan agar produksi kedua sitokin tersebut (ICAM-1 dan TNF-α)
tidak berlebihan. Untuk itu diperlukan sitokin IL-10 yang mencegah
terjadinya reaksi berlebihan dari TNF-α dan ICAM-1. IL-10 bekerja dengan
menghambat sintesis sitokin yang dibentuk oleh sel T dan memberikan
proteksi pada astrosit sehingga mencegah nekrosis sel dan bertindak sebagai
antiapoptotik (Islam AA, 2007). Jika regulasi yang dilakukan oleh IL-10
kurang, produksi TNF-αakan berlebihan sehingga terjadi kerusakan jaringan,
xvii
bersihan jaringan debris yang tidak sempurna serta perjalanan penyakit kearah
kronis.(Adimarta W, 2009)
Pada
cedera otak juga akan terjadi
peningkatan hormon seperti
adrenalin, noradrenalin, kortisol, dan glukagon. Aksis simpatiko-adrenal
merupakan sistem utama tubuh untuk bereaksi terhadap cedera otak.
Perubahan ini disebabkan oleh dampak adrenergik dan katekolamin. Stimulasi
aktivitas β adrenergic menyebabkan dilepasnya hormon stress seperti
katekolamin sehingga akan meningkatkan laju metabolik, keseimbangan
nitrogen negatif, intolerasi glukosa, dan resistensi insulin. Aktivasi siklus
glukosa-laktat akan meningkatkan proses glukoneogenesis. Untuk mengatasi
cedera, tubuh akan memberi respon memobilisasi bahan bakar sehingga
kadarnya dalam darah meningkat. Terjadinya hiperglikemi pada cedera otak
berhubungan dengan hipermetabolisme (Adimarta W, 2009).
Glukoneogenesis terjadi di hati dan distimulasi oleh hormon glukagon,
kortisol dan growth hormone. Glikogenolisis distimulasi oleh katekolamin,
sedangkan mediator sitokin menstimulasi kedua proses tersebut. Resistensi
insulin terjadi melalui proses penghambatan kerja oleh hormon glukagon
melalui pengikatan reseptor glukosa pada sel. Proses glukoneogenesis
sebenarnya merupakan upaya kompensasi tubuh untuk menyediakan sumber
energi bagi kelangsungan sel, karena glukosa yang terbentuk sangat
dibutuhkan sebagai bahan bakar utama bagi jaringan yang mengalami cedera.
(Adimarta W, 2009)
Rendahnya kadar insulin yang disertai dengan resistensi insulin
menyebabkan terjadinya lipolisis dan mobilisasi cadangan lemak tubuh
sebagai upaya penyediaan energi. Pelepasan hormon stress dan mediator
sitokin menyebabkan terjadinya proteolisis protein otot yang bertujuan
membentuk protein pada fase akut, penyembuhan, peningkatan imunitas, dan
proses glukoneogenesis. Glukosa dimobilisasi dari persediaan glikogen di hati
oleh katekolamin, glukokortikoid dan glukagon. Glukosa dapat diperoleh dari
xviii
glikogen hanya untuk 12-18 jam karena cadangan glikogen yang terbatas.
Fase penghancuran protein otot untuk glukoneogenesis dan hiperglikemik
merupakan karakteristik fase katabolik pada cedera otak. Pada umumnya fase
hipermetabolik akan mencapai puncaknya dalam waktu 48-72 jam dan
kembali normal setelah 7-10 hari. Tetapi apabila dalam masa itu terjadi
komplikasi infeksi, iskemia, atau masih terdapat sisa fokus inflamasi, maka
fase hipermetabolik akan terus berlangsung (Adimarta W, 2009).
Hipermetabolisme
yang
terjadi
juga
merupakan
suatu
usaha
mempertahankan homeostasis ionik yaitu energy membrane pump yang lebih
aktif, Na-K pump membutuhkan lebih banyak Adenosine Triphosphate (ATP).
Oleh karena metabolisme oksidatif otak berlangsung hampir mendekati nilai
maksimum, sedikit saja peningkatan kebutuhan energi terjadi peningkatan
glikolisis. Kecepatan glikolisis akan meningkatkan produksi asam laktat.
Peningkatan asam laktat dapat menyebabkan disfungsi neuronal dengan
menginduksi asidosis, kerusakan membran, gangguan permeabilitas sawar
darah otak dan edema otak (Adimarta W, 2009).
Kematian sel otak yang mengalami cedera dapat berlangsung melalui
proses apoptosis dan nekrosis. Nekrosis adalah proses pasif disintegrasi sel
sedangkan apoptosis adalah mekanisme proses aktif yang membutuhkan
energi. Iskemia yang sedang sampai berat menginduksi kematian sel secara
nekrosis. Sedangkan apoptosis akan berlangsung pada daerah yang
mengalami iskemia ringan (Adimarta W, 2009).
Cedera otak menyebabkan pelepasan glutamate dari neuron dan sel glia,
meningkatkan konsentrasi glutamat pada CSF, sehingga meningkatkan
kalsium intraseluler. Keadaan ini mengaktivasi phospolipase, protrein kinase,
protease, NO sintetase dan enzim lainya yang memacu terbentuknya lipid
peroksidase, proteolisis, radikal bebas dan kerusakan DNA sehingga
menyebabkan kematian sel. Sitokin meningkat pada keadaan iskemia serebral.
Pasien dengan GCS < 8 memiliki kadar IL-6 yang lebih tinggi. Pelepasan
xix
sitokin setelah TBI menstimulasi produksi radikal bebas, asam arachidonat
dan molekul adhesi yang mengganggu mikrosirkulasi (Sakabe, 2007).
Gambar 2.5 cascade glutamate. AMPA: Alfa Amino-3-hydroxy-5-Methyl-4isoxazoleproprionate; NMDA: N-Methyl- D- Aspartate; Ca: Ca
intraseluler (Sakabe,2007)
e. Mekanisme Penurunan Kesadaran
Pada COS dan COB terjadi penurunan kesadaran pada pasien.
Mekanisme terjadinya penurunan kesadaran pada cedera otak bisa karena
intrakranial ataupun ekstrakranial. Sebelum kita tentukan bahwa penurunan
kesadaran pasien dikarenakan intrakranial, harus diketahui dulu bahwa tidak
ada kelainan ekstrakranial pada pasien yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran. Faktor ekstrakranial antara lain gangguan metabolik misalnya
diabetik ketoasidosis, insufisiensi respirasi, obat-obatan keracunan, gangguan
psikologis, dan hipoksemia. Faktor intrakranial antara lain perdarahan yang
xx
disebabkan trauma kepala, gangguan vaskuler ataupun karena tumor(Lindsay
KW, 1997).
f. Autoregulasi pembuluh darah otak
Autoregulasi pembuluh darah otak adalah kemampuan pembuluh darah
serebral untuk menyesuaikan lumennya pada ruang lingkup sedemikian rupa,
sehingga aliran darah ke otak tidak banyak berubah, walaupun tekanan darah
arteriil sistemik mengalami fluktuasi. Penurunan tekanan darah sistemik
sampai mencapai 50 mmHg masih dapat diatasi oleh fungsi autoregulasi
serebral ini, tanpa menimbulkan gangguan aliran darah regional. (Kasan U,
2000)
Beberapa teori tentang dasar dari mekanisme autoregulasi adalah :
1) Teori Miogenik
Kenaikan tekanan darah arteriil sistemik akan mendorong pembuluh darah
untuk berkontraksi sehingga terjadi kenaikan resistensi vaskuler, dan lebih
lanjut mengakibatkan penurunan aliran darah sampai ke batasan normal.
Demikian pula sebaliknya, penurunan tekanan darah arteriil sistemik akan
mengakibatkan relaksasi dinding pembuluh darah serebral, sehingga
terjadi penurunan resistensi vaskuler (Kasan U, 2000).
2) Teori Neurogenik
Teori ini didasarkan adanya serabut-serabut saraf perivaskuler yang
menyertai pembuluh darah serebral. Pusat yang sensitif terhadap CO2
terdapat di batang otak dan pengaturan resistensi pembuluh darah serebral
melalui mekanisme neurogenik (Kasan U,2000).
3) Teori Metabolik
Dasar hipotesa adalah arteri mempunyai kemampuan sebagai elektroda
terhadap tekanan karbondioksida (PCO2). Disamping itu CO2 dapat
xxi
berdifusi secara bebas melalui membran pembuluh darah, sedangkan ion
hidrogen dan bikarbonat tidak. pH di sekitar dan di dalam sel otot polos
dipengaruhi oleh ion bikarbonat ekstravaskuler dan karbondioksida
intravaskuler (Kasan U, 2000).
Perubahan akut dari PCO2 arteri akan mengakibatkan perubahan pH
secara mencolok dan selanjutnya memacu penyesuaian dari aliran darah
otak. Apabila kondisi PCO2 ini tetap, pH cairan ekstravaskuler lambat
laun akan berubah ke arah normal melalui proses transport aktif dari sel
glia, sampai pH terkoreksi sesuai kondisi reseptor pH pembuluh darah dan
resistensi pembuluh serebral kembali normal. Apabila PCO2 kemudian
kembali ke nilai normal, aliran darah akan berubah ke arah yang
berlawanan sedemikian rupa sampai koreksi ke arah kebalikan di atas
selesai (Kasan U, 2000).
Pada cedera otak terdapat perbedaan mengenai waktu terjadinya, berat
atau besarnya gangguan autoregulasi. Banyaknya percobaan-percobaan yang
telah dilakukan tetapi hasilnya tidak sama, seperti terurai di bawah ini:
1) Waktu terjadinya gangguan autoregulasi dapat berlangsung dalam
beberapa detik, beberapa menit dan beberapa jam.
2) Beratnya gangguan autoregulasi tergantung dari beratnya cedera otak.
Pada COS terjadi kerusakan autoregulasi yang tidak seberapa sedangkan
pada COB
(GCS < 8), besarnya kerusakan pada autoregulasi dapat
mencapai 31%. (Kasan U, 2000)
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara vasodilatasi dan
vasospasme. Pada cedera otak terjadi gangguan autoregulasi di mana
keseimbangan ini terganggu. Dikatakan bahwa pada fase awal terjadi spasme
dan kemudian disusul dengan vasodilatasi. Hal ini disebabkan oleh aktivitas
saraf simpatis yang membungkus pembuluh darah tidak mampu lagi
xxii
mengambil adrenalin dan konsekuensinya adalah terjadinya edema otak
(Kasan U, 2000).
Bila terjadi hipoksemia maka produksi energi (ATP) berkurang dengan
akibat kenaikan ion Ca2+ dari luar sel atau dari simpanan Ca2+ didalam
mitokhondria dan retikulo endoplasmik Ca2+ dalam sel meningkat
menyebabkan aktivasi enzim miosin kinase sehingga miosin yang pasif
menjadi aktif (Myosin phosphate activation) dan miosin yang aktif akan
mengikat aktin sehingga timbul ikatan aktin-miosin (actin-myosin complex)
yang mengakibatkan pembuluh darah menyempit (vasospasm), Bila hipoksia
hilang dan aliran darah normal maka ATP kembali normal dan ikatan aktinmiosin dibuka maka pembuluh darah akan melebar (vasodilatasi). Keadaan ini
akan mengikuti fase dengan pola waktu tertentu (Kasan U,2000).
S
P
A
S
M
E
7 hari
9
WAKTU
14 hari
21 hari
Gambar 2.6 Fase vasospasme pada cedera otak berdasarkan waktu (Kasan U,
2000)
g. Penatalaksanaan COS
Pada COS, setelah pasien datang ke UGD dilakukan stabilisasi airway,
breathing, dan sirkulasi, serta dipasang collar brace hingga terbukti tidak
didapatkan trauma cervical. Bila terjadi hipotensi atasi dengan cairan isotonis
dan atasi penyebabnya. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap. Anamnesis,
pemeriksaan fisik dan neurologis, obat simptomatik atau suppositoria. Bila
xxiii
kondisi telah stabil dilakukan CT scan kepala, foto cervical lateral, thoraks
AP, pasang kateter urin untuk evaluasi produk urin.(Tim neurotrauma RS
Dr.Soetomo, 2007)
Setelah dilakukan pemeriksaan dan dapat ditentukan diagnosisnya,
pasien masuk dalam kategori tindakan operatif emergensi atau perawatan di
HCU. Bila dalam perawatan pasien membaik, pasien dapat dipindah ke ruang
perawatan, namun bila kondisi pasien memburuk dilakukan stabilisasi dan
resusitasi dan rediagnosis emergensi dan ditentukan apakah perlu tindakan
operatif atau konservatif (Lihat gambar 2.6)(Tim neurotrauma RS
Dr.Soetomo, 2007)
Gambar 2.7 Algoritma Penatalaksanaan Pasien COS
(Tim neurotrauma RS Dr.Soetomo, 2007)
Apabila didapatkan indikasi, mannitol 20% 200cc diberikan bolus
dalam 20 menit atau 5cc/kgBB dilanjuntukan 2cc/kgBB dalam 20 menit setiap
6 jam, jaga osmolaritas darah < 320 mOsm (Tim neurotrauma RS
Dr.Soetomo, 2007).
xxiv
Obat-obat yang dijadikan sebagai terapi medikamentosa pada cedera
otak harus memiliki beberapa tujuan antara lain: (a) Untuk kontrol fisiologis
pasien dengan optimalisasi perfusi substrat-substrat yang dibutuhkan oleh
otak dan mencegah peningkatan tekanan intrakranial (analgetik). (b) Untuk
mencegah terjadinya edema cerebri (diuretic, barbiturate). (c) Untuk
menurunkan kerusakan sekunder (steroid). (d) sebagai simptomatis (sedatif,
stimulans). (e) untuk mencegah komplikasi cedera otak (antikonvulsan,
antibiotika)(Christine D.A, 1996).
Dalam
penatalaksanaan
pasien
dengan
cidera
otak,
perlu
memperhatikan trauma lain yang menyertainya. Penilaian terhadap beratnya
trauma perlu dilakukan untuk memprediksi outcome dari pasien. Pada tahun
1969 para peneliti menemukan penilaian terhadap multiple trauma yaitu
dengan Abbreviated Injury Scale (AIS). AIS adalah dasar dari index severity
score (ISS), yang lebih banyak digunakan untuk mengukur beratnya trauma
yang terjadi pada pasien (Timothy H, 2012). Selain itu, ISS merupakan skala
yang digunakan sebagai penilaian terhadap anatomi pasien yang mengalami
multiple trauma dan memiliki korelasi terhadap morbiditas, mortalitas, dan
lama perawatan di rumah sakit. Berdasarkan AIS, trauma pada tubuh manusia
dibagi menjadi 6 regio, antara lain :
1) Kepala / leher
2) Wajah
3) Dada
4) Abdomen
5) Extremitas
6) External (kulit) .
Masing-masing trauma dinilai dengan skala 1 – 6 yaitu minor, moderate,
serius, severe, critical, dam maximum (untreatable). Hanya AIS yang
memiliki nilai tertinggi yang dinilai pada masing-masing area tubuh. Tiga
xxv
area tubuh yang mengalami trauma paling berat dikuadratkan. (Timothy H,
2012)
ISS memiliki rentang antara 1 – 75, namun bila terdapat 1 trauma yang
mengenai 1 organ dengan score 6, ISS memiliki nilai 75. Berdasarkan ISS
dapat dikategorikan menjadi :
9
: Minor
10-15 : Moderate
16-24 : Moderate / Severe
>25
: Severe / Critical
Association for Advancement of Automotive Medicine menentukan
bahwa dikatakan major trauma bila ISS melebihi 15. Pada pasien COS dengan
multiple trauma ISS > 15 dikategorikan sebagai trauma mayor dan memiliki
resiko mengalami perburukan dan mempengaruhi kesadaran. Kemampuan ISS
dalam mengidentifikasi beratnya trauma sangat berhubungan dengan definisi
severe trauma.
2.
Protein S100β
Anggota dari ‘S100 protein family’ merupakan protein multifungsional dengan
berbagai peran dalam proses selular. Protein S100 bekerja dengan perantaraan ikatan
kalsium (Ca2+), walaupun nampaknya Zn2+ dan Cu2+ juga memiliki peranan dalam
aktifitas biologis protein ini. Anggota ‘S100 protein family’ yang paling banyak
dipelajari adalah protein S100β, yang memiliki aktifitas neurotropik (pada
konsentrasi fisiologis) atau neurotoksik (pada konsentrasi tinggi). Ekspresi protein ini
baik pada serum maupun pada pewarnaan imunohistokimia dijumpai pada berbagai
kelainan klinis (Srikrishna, 2011).
xxvi
a. Struktur dan Fungsi Protein S100
‘S100 protein family’ memiliki subgrup lengan EF pengikat Ca2+.
Protein ini disebut S100 dikarenakan kelarutannya dalam ammonium sulfat
pada pH normal sebesar 100%. Protein ini pertama kali diidentifikasi oleh
B.W.Moore pada 1965 (Moore, 1965). Protein S100 merupakan protein asam
berukuran kecil, 9-13kDa, dan memiliki dua lengan EF yang terpisah, 4
segmen
α-helix,
memiliki
‘central
hinge
region’ dengan panjang yang bervariasi dan juga domain N- dan C- terminal.
Berbeda dengan gen S100 yang sangat banyak terdapat pada vertebrata,
protein ini tidak dijumpai pada invertebrata. Sampai sekarang ini terdapat
paling sedikit 25 protein yang telah teridentifikasi sebagai anggota S100
protein family, dimana 21 diantaranya memiliki gen pada kromosom lokus
1q21. Kelompok gen ini dikenal sebagai kompleks diferensiasi epidermal
(Marenholz
et
al,
2004;
Heizmann
et
al.
2002;
Donato,2001).
Gambar 2.8. Struktur dimer protein S100. Protein S100 dapat dijumpai dalam
bentuk homodimer, heterodimer, dan oligodimer. Setiap
monomer terdiri dari dua lengan EF yang dihubungkan oleh
hinge region (Heizmann, 2002).
xxvii
b. Anggota
S100
protein
family
dan
lokasinya
pada
berbagai
gen
spesifik
Keluarga protein S100 merupakan protein multifungsional yang
diekspresikan pada banyak jaringan. Interaksi protein S100 dengan berbagai
protein efektor dalam sel berperan dalam berbagai proses selular seperti
kontraksi, motilitas, diferensiasi dan pertumbuhan sel, progresi siklus sel,
transkripsi, organisasi struktural membran sel, dinamika kandungan
sitoskeleton, proteksi sel terhadap kerusakan sel oksidatif, fosforilasi protein
dan sekresi (Donato, 2007). Protein S100 dapat diekskresikan ke area
ekstraseluler sebagaai respon terhadap suatu stimulus, atau
saat terjadi
kerusakan sel. Protein ini berperan dalam proses respon pertahanan sel saraf
(S100B), apoptosis (S100A4 and S100A6), inflamasi (S100B, S100A8/A9,
S100A11
and
S100A12),
autoimmunitas
(S100A8/A9),
kemotaksis
(S100A8/A9) dan proliferasi sel (S100P, S100A7), yang secara efektif
bekerja sebagai mediator parakrin da autokrin (Donato, 2007). Variasi fungsi
protein S100 ini nampaknya disebabkan oleh:
1) Diversifikasi yang luas pada anggota protein S100 (25 anggota pada
manusia)
2) Perbedaan ikatan metal ion yang berbeda-beda pada setiap protein S100
3) Distribusi
ruang
pada
kompartemen
intraselular
spesifik
atau
homodimer
dan
kompartemen ekstraselular
4) Kemampuan
protein
S100
untuk
membentuk
heterodimer non kovalen, sehingga memungkinkan pertukaran subunit
S100. Protein S100 tidak memiliki kapasitas katalis intrinsik.
Protein ini secara umum memiliki cara kerja yang mirip dengan calmodulin
dan troponin C, yang mengalami perubahan struktur dan memodulasi
aktifitas
biologis
melalui
xxviii
ikatan
kalsium
(Ikura
2006).
Tabel 2.1. Anggota S100 protein familly dan lokasinya pada berbagai
genspesifik (Heizmann, 2002)
Gambar 2.9. Gen S100 yang terdapat pada kromosom 1q21. Kebanyakan gen
S100 pada manusia terletak pada kompleks diferensiasi
xxix
epidermal pada kromosom 1q21, yang merupakan area yang
rentan terhadap penyusunan ulang. Protein S100B, S100P,
S100Z dan S100G terletak pada kromosom 21q22,4p16, 5q14
dan Xp22 (Heizmann, 2002).
S100β yang merupakan salah satu protein pada S100 protein family
yang paling banyak dipelajari, interaksi protein ini dengan RAGE (Receptor
forAdvanced Glycation Endproduct) telah terdokumentasi (Donato, 2007;
Donato et al., 2008; ). S100β secara spesifik terdapat dalam jumlah yang
besar di otak dan diekspresikan oleh astrosit, oligodendrosit, dan sel
Schwann. Protein ini diduga berperan sebagai sinyal regulator intraselular
dan
ekstraselular,
yang
dapat
menghasilkan efek neurotropik dan neurotoksik yang tergantung pada
konsentrasinya pada sel neuron (Donato et al., 2008). S100β juga
mengaktivasi microglia, dan mungkin berperan dalam patogenesis kelainan
neurodegeneratif. S100β diekspresikan berlebih pada astrositoma dan
glioblastoma, schwannoma dan melanoma (Salama et al., 2008).
c. Metode dan Pengukuran
Protein S100β dapat dideteksi dengan berbagai metoda analisa seperti
immunoradiometric assay (IRMA), mass spectroscopy, western blot, enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA), electrohemiluminence dan protein
chain reaction (PCR) kuantitatif. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dapat
mendeteksi perubahan ekspresi imunohistokimia atau pada serum dengan
sensitifitas tinggi, sehingga dapat menjadi alat ukur penting pada diagnosa
klinis (Sangtec Medical, 2000). Protein S100β (homodimer dari subunitβ)
memiliki berat molekul sebesar 21kD dan dikodekan dari lengan panjang
kromosom 21 (21q22.3). Waktu paruh dari S100β adalah sekitar 30 menit.
Peningkatan kadar serum protein S100 secara persisten mengindikasikan
adanya pelepasan secara terus menerus dari jaringan yang terlibat. Protein
S100β
dieliminasi
melalui
ginjal
xxx
(Wild,
2001).
Beberapa
studi
menyebuntukan dengan IRMA didapatkan angka batas deteksi normal adalah
0.5µg/L, menggunakan electrohemiluminence 0.02 µg/L, dan menggunakan
ELISA 15 pg/mL. Antibody yang digunakan pada ELISA spesifik untuk
S100β pada manusia tanpa menimbulkan reaksi silang terhadap S100A1,
S100P, S100Z dan neuroglobin. Hanya sekitar 2% menunjukkan reaksi
silang terhadap glial fibrillary acidic protein (GFAP) (Anonim, 2010).
Penyakit yang berhubungan dengan perubahan ekspresi protein S100
dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori yaitu kelainan neurologis, kelainan
neoplastik, penyakit jantung dan penyakit inflamasi (Salama et al., 2008).
Dalam tinjauan pustaka ini penulis hanya membatasi pada kelainan
neurologis saja.
Protein S100β diproduksi oleh astrosit pada system saraf pusat. Peningkatan
ekspresi protein ini menandakan adanya aktifitas astrosit (Steiner, 2007). Sekresi
S100β merupakan proses awal respon sel glia terhadap cedera metabolik (kekurangan
oksigen, serum, glukosa). Hubungan antara kondisi stress (cedera otak, gangguan
sawar darah otak, iskemik) dan
kadar serum S100β nampaknya tergantung
glucocorticoid (Scaccianoce, 2004).
Cedera otak traumatik akan mengakibatkan peningkatan kadar S100β pada serum
dan juga pada cairan serebrospinal. Setelah terjadinya cedera otak traumatik, terjadi
peningkatan konsentrasi S100β dan S100A1B tanpa hubungan yang signifikan
dengan tanda dan gejala gangguan kognitif. Oleh karena itu interpretasi peningkatan
kadar serum S100β sebagai marker cedera otak harus dilakukan secara berhati-hati.
Kenaikan kadar serum S100β tergantung pada integritas sawar darah otak.
Peningkatan dini S100β setelah cedera otak traumatik berhubungan dengan gangguan
sawar darah otak maupun ekspresi aktif dari jaringan otak yang terlibat pada reaksi
inflamasi yang terjadi (Sedaghat, 2008).
B. Penelitian Relevan
xxxi
Beberapa studi sebelumnya menunjukkan peningkatan nilai S100β yang
abnormal pada pasien dengan cidera otak ringan (COR) (Kruijk et al., 2001), namun
spesifitas terhadap tingkat kerusakan jaringan otak sebagai dampak trauma masih
belum dapat dijelaskan. Diperkirakan kenaikan kadar protein S100β pada serum
mencerminkan berat ringannya keusakan sawar darah otak akibat transfer energi
trauma yang mengenai kepala (Marchi et all, 2003). Pada kasus cidera otak dengan
energi trauma yang lebih besar, kenaikan kadar S100β mencerminkan adanya dampak
pada jaringan otak (Nygren, 2005). Studi di Indonesia belum banyak ditemukan.
Sementara itu penulis juga belum menemukan adanya studi yang membandingkan
kondisi ekspresi protein S100β pada keadaan akut dan mengkhususkan pada kasus
COS.
xxxii
C. Kerangka Konsep
Trauma kepala
Cidera otak primer
Destrupsi sawar
darah
Proses tidak dapat
dicegah
Kerusakan sel glial
primer
Ekspressi S100β>>
Proses dapat
dicegah
resusitasi
Proses berlanjut:
+ eritrosit
+neurotransmitter/
bahan spasmingen
+ reaksi inflamasi
+ Asidosis
+ opioid endogen
+ Radikal bebas
+ hormonal respon
Edema vasogenik
+ sitotoksik
Respon jelek
Respon baik
Gangguan sirkulasi
dan pernafasan
autoregulasi
Penurunan ADO
penurunanO2
reperfusi
Metabolism
anaerob
Metabolisme
aerob
Edema sitotoksik
Penyembuhan
jaringan
Nekrosis sel >>
Cedera otak skunder
Ekspressi S100β>>
xxxiii
Ekspressi S100β <
Ekspressi S100β <<
Adanya trauma kepala akan menimbulkan cedera otak. Dampak trauma
kepala secara langsung akan mengenai sel-sel otak. Selain itu juga berdampak pada
2.10. Kerangka konsep
kerusakan vaskuler dan sawar darah otak. Sel-sel yangGambar
rusak akibat
trauma primer ini
akan mengekspresikan protein S100β. Berikutnya, proses ini akan berlanjut menjadi
suatu proses yang dapat dicegah dan yang tidak dapat dicegah.
Pada proses yang tidak dapat dicegah akan dilepaskan neurotransmitter yang
bersifat simpatik lebih banyak daripada parasimpatik, opioid, reaksi inflamasi,
gangguan pada deformabilitas eritrosit, dan radikal bebas. Proses ini dapat
menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia yang terus berlanjut akan menyebabkan
iskemia pada otak sehingga menimbulkan cidera otak skunder.
Pada proses yang dapat dicegah, dengan adanya respon yang baik terhadap
resusitasi yang diberikan, diharapkan mampu memperbaiki jaringan yang cidera.
Autoregulasi darah yang baik akan memperbaiki perfusi jaringan sehingga sel-sel
yang rusak akibat trauma tidak bertambah banyak. Penurunan kadar protein S100β
dalam serum darah mengasumsikan bahwa kerusakan sel-sel otak sudah tidak
berlanjut mengingat waktu paruh dalam plasma darah sekitar 30 menit. Sebaliknya,
apabila respon terhadapresusitasi tidak baik maka autoregulasi menjadi lebih lama.
Akibatnya otak akan mengalami hipoksiadan edema sitotoksik yang diakhiri dengan
kematian sel yang terus berlangsung menuju kepada cidera otak skunder. Sel yang
mati ini akan mengekspresikan protein S100β, sehingga kadar dalam serum darah
tetap tinggi.
Penatalaksanaan pada kedua proses ini diberikan untuk mengatasi potensi
terjadinya edema cerebri yang berkepanjangan dalam hal mencegah terjadinya cedera
otak skunder.
D. Hipotesis Penelitian
Ada perubahan kadar protein S100β dalam serum darah pada pasien COS
selama perawatan.
xxxiv
Ada hubungan antara perubahan kadar protein S100β dengan waktu
perawatan pada pasien COS
xxxv
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitaif observasional analitik dengan pendekatan
studi cross sectional untuk mempelajari perubahan kadar protein s100β dalam serum darah
pasien COS selama perawatan.
B. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Bagian Bedah Sub bagian Bedah Saraf RSDM.
Waktu penelitian : Januari – Maret 2017
C. Populasi Penelitian
Semua penderita COS tanpa tindakan operatif yang datang di IGD Bedah dan
dirawat di bangsal oleh Sub Bagian Bedah Saraf RSDM Surakarta.
D. Sampel dan Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling yaitu
semua dari populasi yang datang berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan
dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi.
E. Estimasi Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus :
n=
Zα + Zβ
_______________
0,5 ln [(1+r)/(1-r)]
2
+3
n adalah perkiraan jumlah sampel
α adalah tingkat kemaknaan
xxxvi
β adalah power
r adalah perkiraan koefisien korelasi
bila ditetapkan
α = 0,05 Zα = 1,96
31
β = 0,20 Zβ = 0,842
r = 0,8
maka
2
1,96 + 0,842
n = __________________
+3
0,5 ln [(1+0,8)/(1-0,8)]
= 9,52 dibulatkan menjadi 10
Dengan rumus di atas besar sampel minimal adalah 10 pasien
F. Kriteria Restriksi
1. Kriteria inklusi
a. Pasien COS tanpa tindakan operatif
b. Pasien COS dengan multiple trauma dengan nilai injury Severity Score
(ISS) < 15
c. Pasien COS tanpa disertai trauma spinal
d. Pasien COS dengan pemberian terapi sesuai protokol
e. Pasien COS yang telah dilakukan resusitasi dan kondisi stabil
2. Kriteria eksklusi
a. Pasien COS yang pada awalnya masuk dalam kriteria inklusi, namun
dalam masa observasi terjadi penurunan GCS dan didapatkan perdarahan
serta membutuhkan tindakan operatif
b. Pasien yang datang dengan keadaan mabuk
Pasien yang datang dengan penurunan kesadaran akibat cidera otak dan
didapatkan riwayat konsumsi alkohol yang dibuktikan secara laboratorik
akan mempengaruhi penilaian GCS pada saat pertama kali datang.
G. Variabel
xxxvii
1. Variabel terikat :
Kadar protein s100β
2. Variable bebas :
Waktu perawatan
H. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel terikat : kadar protein S100β
a. Definisi
: Kadar protein s100β adalah konsentrasi protein s100β dalam
serum darah pasien yang diambil dari vena perifer.
b. Alat ukur : Fotometer dengan metode ELISA.
c. Satuan
: pg/mL.
d. Skala data : numerik
2. Variabel bebas : waktu perawatan
a. Waktu perawatan adalah lama waktu perawatan yang dihitung dari onset
terjadinya trauma hingga saat pengambilan sampel.Pada penelitian ini
ditentukan perawatan hari ke-0 yaitu dalam masa 1x24 jam pasca trauma,
perawatan hari ke-2 dan perawatan hari ke-4.
b. Alat ukur : data rekam medis
c. Satuan
: hari
d. Skala data : numerik
xxxviii
I. Alur Penelitian
Cedera Otak Primer
COR
COB
COS
Kriteria inklusi
Informed consent
Diukur Kadar
protein s100β
dalam serum
Perawatan harike-0
DO
Diukur Kadar
protein s100β
dalam serum
Perawatan harike-2
DO
Diukur Kadar
protein s100β
dalam serum
Perawatan harike-4
Analisis data :
Uji ANOVA
Uji korelasi
Gambar 3.1 Alur penelitian
Keterangan :
COR : cedera otak ringan
COB : cedera otak berat
COS
DO
: cedera otak sedang
xxxix
: drop out
Pasien dengan cedera otak yang masuk di IGD RSDM dilakukan primary
survey dan tindakan resusitasi. Pasien dinilai GCS setelah dilakukan manajemen
primary survey antara lain penanganan airway, breathing dan sirkulasi. Setelah
hemodinamik stabil, Dilakukan penilaian GCS kemudian diklasifikasikan dalam
COR, COB dan COS. Pasien dengan GCS antara 9 -13 termasuk dalam pasien COS.
Dipilih semua pasien COS sebagai populasi sampel. Kemudian dipilih sebagai subjek
penelitian adalah pasienCOSyang memenhi kriteria kriteria restriksi. Termasuk dalam
kriteria inklusi adalah: Pasien COS tanpa tindakan operatif, tanpa trauma spinal, bila
disertai dengan trauma di tempat lain maka disyaratkan ISS < 15, dan dengan
pemberian terapi sesuai protokol tatalaksana pasien COS. Kemudian dilakukan
informed consent pada setiap calon subjek penelitian.
Pasien yang masuk kriteria inklusi diperiksa kadar protein s100β dalam serum
darah saat dalam perawatan hari ke-0. kemudian diperiksa ulang saat dalam
perawatan hari ke-2 dan ke-4. Sampel diambil dari darah tepi pasien kemudiaan
diolah untuk mendapatkan serum darahnya di laboratoium klinik kemudian kadar
s100β diukur dengan metode ELISA. Selama perawatan, pasien ditatalaksana sesuai
protokol manajemen pasien COS
Apabila dalam observasi pasien mengalami penurunan kesadaran, kemudian
dilakukan CT Scan kepala dan didapatkan perdarahan kemudian dilakukan tindakan
operasi trepanasi, pasien di-drop out sebagai subyek penelitian.
J. Rencana Analisis Data
Semua data yang terkumpul dianalisis dengan analisis statistik ANOVA dan uji
korelasi.
xl
DAFTAR PUSTAKA
Adimarta W., 2009. Inflammation Process and Glukoneogenesis Process at Severe
Head Injury. Indian Journal.vol. 1 : 368-79
Aditarahma I. 2013. Protein S100 Sebagai Petanda Kerusakan Otak pada Cedera
Otak Ringan dan Sedang. Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia. Hal : 16
Anonim, 2010. Human S100β ELISA. Biovendor Research and Diagnostic.
Christine D.A., 1996. Conventional Drug Therapies For Head Injury dalam
Neurotrauma. New York. Mc Graw Hill Companies. 365-66
De Kruijk JR, Leffers P, Menheere PP, Meerhoff S, Twijnstra A. 2001
S-100B and Neuron-specific Enolase in Serum of Mild Traumatic Brain
Injury Patients. A Comparison With Health Controls. Acta Neurol
Scand vol. 103: 175–179.
Donato R. 2003. Intracellular and Extracellular Roles of S100 Proteins. Microscience
Research Tech. vol; 60:540–57
Donato R. 2001. S100:A Multigenic Family of Calcium-Modulated Proteins of The
EFHand Type with Intracellular and Extracellular Functional Roles. International
Journal Biochemisthry Cell Biology.vol 33:637–68.
Feinstein, J; Stahl, Keneth D. 2009. Acute Care Surgery and Trauma: Traumatic
brain injury. Texas USA.Informa. p: 72
Gennarelli TA. 1993. Mechanisms of Brain Injury. Journal Emergency Medicine vol
11 supl 1: 5 – 11.
Greisen, G. 2007. Autoregulation of Cerebral Blood Flow. NeoReviews. vol.8:e22e31
Heizmann CW. 2004.S100B Protein in Clinical Diagnostics: Assay Specificity. Clinical
Chemisthry.50:249–51.
xli
Heizmann CW, Cox JA.1998. New Perspectives on S100 Proteins: A Multifunctional
Ca(2+)-, Zn(2+)- and Cu(2+)-binding Protein Family. Biometals 11: 383-97.
Irawan H, Setiawan F, Dewi,dewanto G. 2010. Perbandingan Glasgow Coma Scale
dan Resived Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Otak
di Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia 60(10): 437-61
Ikura, Mitsuhiko; Ames James B. 2006. Genetic Polymorphism and Protein
Conformational Pasticity in The Calmodulin Superfamily: Two Ways to Promote
Multifunctionality.Proc Natl Academic Science USA. Vol 103(5): 1159-1164
Ingebrigtsen, T; Romner, B; Kongstad, P; Langbakk, B. 2016. Increased Serum
Concentrations of Protein. J Neurology Neurosurgery Psychiatry.vol. 59: 103-104
Islam, AA. 2007. Rasio TNFα/IL-10 Serum Awal Sebagai Prediktor Luaran Pada
Operasi Epidural Hematom. Majalah Kedokteran Indonesia. 57 : 454 - 8
Kasan U. 2000. Moduling Cerebral Oxygen Delivery And Extraction In Acute Head
Injury. Id.scribd.com/doc/brain injury management/2000/09. 3 November 2013
Kraus J F, McArthur DL. 1996. Epidemiology of Brain Injury dalam Neurotrauma.
United states. Mc Graw Hill Companies.13 – 28
Kossmann, T; Hans, V; Imhof, HG; Trentz O; Morganti-Kossmann, MC. 2000.
Interleukin-6 released in Human Cerebrospinal Fluid Following Traumatic Brain
Injury may Trigger Nerve Growth Factor Production in Astrocytes. Brain Res 713:
143-52.
Lindsay K.W., 1997. Head Injury dalam Neurology and Neurosurgery Illustrated.
Philadelphia .Churchill Livingstone.214 – 224
Marchi N, Rasmussen P, Kapural M, Fazio V, Kight K, Mayberg
MR, et al. 2003. Peripheral Markers of Brain Damage and Blood-Brain
Barrier Dysfunction. Restor Neurol Neurosci vol. 21: 109–121.
Marenholz I, Heizmann CW, Fritz G. 2004. S100 Proteins in Mouse and Man:
from Evolution to Function and Pathology. Biochemisthry Biophysicaly Research
Community.322:1111–22
xlii
Marmarou, Anthony. 2007. A Review of Progress in Understanding the
Pathophysiology and Treatment of Brain Edema. Neurosurgery Focus 22(5):E1
Mercier, E; Amélie Boutin. 2013. Predictive Value of S-100β Protein for Prognosis in
Patients with Moderate and Severe Traumatic Brain Injury: Systematic Review
and Meta-Analysis. British Medical Journal 2013. Vol . 346:1757.
Nygren, Catharina et. al. 2005. S100 And Cognitive Impairment After Mild Traumatic
Brain Injury. Jurnal Rehabilitasi Medik vol. 37: 53-57
Narayan, RK; Kamall,R; Mahapatra AK. 2012. Textbook of Traumatic Brain
Injury:Traumatic brain Edema (chapter 6). New Delhi India:Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) LTD. Pp: 31- 34
Narayan, R.K; James E. Wilberger Jr.; John T. Povlishock. 2005. Neurotrauma:
Neuropathology Of Head Injury. New York: Mc Graw Hill. Pp: 43-61.
Padmosantjojo R.M., 2005. Tindakan Bedah Saraf Cedera Kepala. Jakarta. Bagian
Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.11-21
Price, Sylvia Anderson; Wilson, Lorraine McCarty. 2006. Buku Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Vol 2. Jakarta: EGC
Sakabe T and Bendo A. 2007. Anesthetic Management of Head Trauma. Dalam:
Newfield P, Cottrell JE. eds. Handbook of Neuroanesthesia. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. Pp: 91-110.
Salama, Malone PS, Mihaimeed F, Jones JL. 2008. A Review of The S100 Proteins in
Cancer. European Journal Oncology Surgery. 34(4):357-64..
Sari RK. 2010. Profil Pasien Cedera Kepala di RS Dr. Moewardi mulai Januari 2009 –
Desember 2009. Surakarta.1-2
Satyanegara,2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta; Gramedia. P: 169-75
Scaccianoce S, Del Bianco P, Pannitteri G, Passarelli F. 2004. Relationship between
Stress and Circulating Levels of S100B Protein. Brain Res. 1004(1–2):208–11.
xliii
Sedaghat F, Notopoulos A. S100 Protein Family and Its Application in Clinical
Practice. Hippokratia 2008; 12: 198-204.
Srikrishna, G ; Freeze, HH. 2011. S100 Protein Family, Tumorigenesis in Atlas of
Genetics and Cytogenetics in Oncology and Haematology. 15(9):768-776.
http://AtlasGeneticsOncology.org/Anomalies/S100ProtFamilyTumorID20092.ht
m
Stein DM, Lindell AL, Murdock KR, Kufera JA, Menaker J, Bochicchio GV, et al.
2012. Use of Serum Biomarkers toPredict Cerebral Hypoxia after Severe
Traumatic Brain Injury. Journal Neurotrauma. Vol. 29:1140-9.
Tim neurotrauma RS Dr.Soetomo. 2007. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak.
Surabaya. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr.Soetomo. 11-4
Timothy H. 2012.Trauma Scoring Systems.
http:// emedicine. medscape.com/article/434076-overview. 15 januari 2014
Tisdal M, Tachtsidis I, Terence S,et. al . 2008. Increase in Cerebral Aerobic
Metabolism by Normobaric Hyperoxia after Traumatic Brain Injury.
J.Neurosurgery.109.
United States National Center for Injury Prevention and Control. 2009. Epidemiology
of
Traumatic Brain Injury in the United States.
Yardan, Turker; Ali Kemal Erenler,Ahmet Baydin; Keramettin Aydin; Cengiz Cokluk.
2011.Usefulness of S100B Protein in Neurological Disorders. Turkey. J. Pak Med
assoc. vol 61: 3
xliv
Download