PERUBAHAN KADAR PROTEIN S100β PADA PASIEN CIDERA OTAK SEDANG (COS) SELAMA PERAWATAN PROPOSAL TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis – I Program Studi Ilmu Bedah Oleh : Nur Rohman, dr NIM S561302006 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2016 i HALAMAN PENGESAHAN PERUBAHAN KADAR PROTEIN S100β PADA PASIEN CIDERA OTAK SEDANG (COS) SELAMA PERAWATAN PROPOSAL TESIS Oleh : Nur Rohman, dr NIM S561302006 PembimbingUtama : DR. Untung Alifianto, dr. SpBS NIP.19800131 201212 1 002 Tanggal : Pembimbing Pendamping : Ferry Wijanarko, dr. Sp.BS NIP. 19610407 198812 1 001 Tanggal : Dr. Hari Wujoso, dr. Sp.F, MM NIP. 19621022 199503 1 001 Tanggal : Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada tanggal .................... 2016 Ketua Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Amru Sungkar, dr. Sp.B, Sp.BP-RE NIP. 19640101 198910 1 003 ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera otak adalah penyebab kematian terbanyak akibat trauma. 70% kematian akibat trauma disebabkan oleh cedera otak. Angka kematian akibat cedera otak bervariasi di setiap negara. Di United States of America (USA) 25 per 100.000 penduduk(Kraus JF,Mc Arthur DL,1996). Data lain menyebuntukan bahwa pada tahun 2003 dari 1,565,000 yang mengalami cedera otak, 51,000 di antaranya meninggal dunia(Feinstein dan Stahl, 2009). Di Indonesia walaupun belum terdata secara nasional, cedera otak juga termasuk kasus yang sangat sering dijumpai di setiap rumah sakit. Pada tahun 2005 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) terdapat 434 (55,8%) kasus cedera otak ringan (COR), 315(40,5%) kasus cedera otak sedang (COS) dan 28 (3,6%) kasus cedera otak berat (COB) (Irawan H, 2010).Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi (RSDM) Surakarta pernah dilakukan penelitian pada Januari – Desember 2009 didapatkan 199 pasien dengan cedera otak dengan distribusi 110 orang (55,2%) COR, 37 pasien (18,6%) COS, dan 52 pasien (26,1%) COB. Dari 199 pasien, 38 pasien meninggal dunia (Sari RK, 2009). Penyebab terjadinya cedera otak yang terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas, dan sering terjadi pada laki-laki terutama pada usia muda yang mempunyai mobilitas tinggi (Kraus JF,Mc Arthur DL,1996, Feinstein dan Stahl, 2009). Beberapa penelitian menyatakan bahwa sering kali ditemukan adanya kesulitan dalam penentuan assesmen pada kasus cedera otak difus yang kadang dijumpai pada COS dengan hanya menggunakan pemeriksaan rutin sepertiComputerized tomography scanning (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI). Hal ini karena secara klinis terkadang tidak berkorelasi dengan iii gambaran CT scan dan MRI yang didapatkan. Oleh karena itu, untuk menambah kelengkapan informasi, metode lain untuk mendeteksi adanya kerusakan fungsional maupun struktural diperlukan, termasuk salah satunya adalah pemeriksaan biomarker yang sensitif. Pemeriksaan ini lebih bermanfaat terutama pada kasus cedera otak tanpa kelainan radiologis. Salah satu biomarker yang dikembangkan pada cedera otak adalah protein s100β (Nygren et al., 2005; Ingebrigtsen et al., 2016). S100β merupakan marker neurobiokimia pada kerusakan otak akibat beberapa keadaan seperti gangguan sistem sirkulasi darah sistemik, stroke dan juga cedera otak(Yardan et al., 2011). Protein S100β merupakan salah satu determinan protein S100. Protein S100 merupakan protein yang terikat bersama ion calcium (Ca binding protein) yang disensitisasi di sel-sel astroglial pada seluruh bagian system saraf pusat. Kadar yang sangat tinggi dalam cairan serebrospinal ditemukan pada berbagai macam pasien dengan penyakit maupun trauma system saraf (Ingebrigtsen, 2016). Telah dilaporkan dalam salah satu penelitian bahwa didapatkan peningkatan kadar protein S100β di dalam serum dan cairan cerebrospinal pada kasus cedera otak. Pada kondisi normal protein ini didapatkan di dalam serum plasma darah dengan kadar yang sangat rendah. Oleh karenanya, tingginya konsentrasi protein ini dalam serum darah mengindikasikan adanya kerusakan pada sel-sel glia dan disfungsi barier sawar darah otak (Imaningdyah, 2013). Menurut evidence base-nya biomarker ini berpotensi menjadi bagian dari protokol penanganan untuk menentukan prognosis pasien dengan cedera otak baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Meskipun demikian, pemeriksaan ini belum banyak digunakan dalam klinik praktis sebagai bagian dari protokol standard pemeriksaan (Mercier,2013).Beberapa penelitian mengenai protein s100β cedera otak dalam berbagai tingkat pada kegawatan telah dilaporkan, namun dalam penelitian-penelitian tersebut belum ada yang mengkhususkan pada kasus COS. Data penelitian-penelitian di Indonesia juga belum banyak ditemukan. Berdasarkan keterangan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pemeriksaan biomarker s100β ini sebagai salah satu parameter prediksi perbaikan kondisi klinis pasien COS pada fase iv akut dengan meninjau pada teori mengenai proses inflamasi dan patofisiologi edema cerebri yang terjadi pasca trauma otak. B. Rumusan Masalah Adakah perubahan kadar protein S100β pada pasien COS selama perawatan? Adakah hubungan antara perubahan kadar protein S100β dengan waktu perawatan pada pasien COS C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui adanya perubahan kadar protein S100β pada pasien COS selama perawatan. Mengetahui adanya hubungan antara perubahan kadar protein S100β dengan waktu perawatan pada pasien COS D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Menambah khasanah dalam ilmu bedah tentang perubahan kadar protein S100β pada pasien COS selama perawatan. 2. Manfaat Aplikatif Diharapkan dapat menjadi dasar bahwa kadar protein S100β dapat dijadikan parameter penilaian perkembangan klinis pasien COS. v BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Cidera Otak a. Epidemiologi Cedera otak adalah kasus trauma yang banyak terjadi seiring dengan berkembangnya teknologi transportasi. Setiap tahunnya 1,7 juta orang di dunia mengalami cedera otak baik disertai dengan trauma lainnya maupun tidak. Cedera otak memberikan faktor kontribusi sebanyak 30,5% kematian yang disebabkan oleh trauma di USA (Tisdal, 2008;US National Center for Injury Prevention and Control, 2009). Pada tahun 2005 di RSCM terdapat 434 (55,8%) kasus COR dengan GCS 14-15. 315(40,5%) kasus COS dengan GCS 9-13 dan 28 (3,6%) kasus COB dengan GCS 3-8 (Irawan H,2010). Di RSDM pernah dilakukan penelitian pada Januari – Desember 2009, didapatkan 199 pasien dengan cedera otak dengan distribusi 110 orang (55,2%) COR, 37 pasien (18,6%) COS, dan 52 pasien (26,1%) COB. Dari 199 pasien, 38 pasien meninggal dunia (Sari RK, 2009). Cedera otak dapat terjadi pada setiap orang, baik anak-anak yang berusia 0-4 tahun, remaja antara 15-19 tahun, orang dewasa ataupun orang tua dengan usia di atas 65 tahun. Sebanyak 473.947 pasien cedera otak yang masuk ke Unit Gawat Darurat (UGD) adalah remaja dengan rentang usia 15 – 24 tahun. Berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki dengan perbandingan rasio yang bervariasi antara laki-laki dan perempuan adalah 2,02,8:1 (Kraus JF, Mc Arthur DL, 1996). vi 4 b. Klasifikasi Cedera otak dapat diklasifikasikan secara klinis, patologis, garis fraktur, maupun tipe perdarahan. Secara klinis, klasifikasi berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu: COR : GCS 14 – 15 COS : GCS 9 – 13 COB : GCS 3 – 8 (Padmosantjojo RM, 2005). Secara patologis, cedera otak dapat dibagi menjadi cedera otak primer dan cedera otak sekunder. 1) Cedera otak primer Cedera otak primer adalah kerusakan yang terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat fokal maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan bersifat fokal yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian lainnya relatif tidak terganggu. Kerusakan yang terjadi dapat berupa : a) Perlukaan dan perdarahan ekstrakranial b) Fraktur tulang kepala c) Perdarahan intrakranial d) Kontusio dan laserasi cerebri (Padmosantjojo RM, 2005) Kerusakan difus adalah kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat mikroskopis (Padmosantjojo RM, 2005). 2) Cedera otak sekunder Cedera otak sekunder adalah kerusakan yang terjadi setelah terjadinya trauma atau benturan dan merupakan akibat dari peristiwa yang terjadi pada kerusakan primer (Padmosantjojo RM, 2005). vii Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak dapat diklasifikasikan menurut beberapa aspek antara lain: 1) Berdasarkan pola garis fraktur a). Fraktur Linier b). Fraktur Diastase c). Fraktur Cominutif d). Fraktur Depressed 2) Berdasarkan lokasi fraktur a). Fraktur pada bagian calvaria b). Fraktur basis cranii 3) Berdasarkan jenis luka a). Fraktur terbuka b). Fraktur tertutup Berdasarkan perdarahan intracranial dapat dibagi menjadi : 1) Hematom Epidural 2) Hematom Subdural 3) Hematom Subarachnoid 4) Hematom Intracerebri 5) Hematom Intraventrikuler(Padmosantjojo RM, 2005). c. Biomekanika cedera otak Cedera otak dapat bersifat lambat (static loading) dan yang paling sering bersifat cepat (dynamic loading). Trauma yang serius sering menimbulkan fraktur tulang kepala multipel. Tulang kepala menyerap energi dari benturan akan diteruskan ke jaringan otak sehingga terjadi kompresi dan distorsi. Kerusakan jaringan otak yang fatal dapat terjadi. Dynamic loading dapat terjadi pada benturan dengan (Satyanegara,2010). viii waktu kurang dari 200 milidetik Beban dinamik terbagi menjadi beban guncangan (impulsive loading) dan beban benturan (impact loading). Impulsive loading terjadi bila saat kepala bergerak dan tiba-tiba berhenti atau kepala yang dalam keadaan diam kemudian diguncang secara mendadak. Cedera yang terjadi disebut cedera akselerasi – deselerasi (Gennarelli TA, 1993). Otak dapat bergerak bebas dalam batas tertentu dalam tengkorak. Saat terjadi benturan terjadilah gerakan akselerasi dan jaringan otak tertinggal dibanding gerakan yang dialami tengkorak. Otak akan bergeser secara relatif terhadap tulang tengkorak dan duramater, sehingga terjadi cedera pada permukaan jaringan otak dan bridging vein (Satyanegara, 2010). Beban benturan dialami kepala dan jaringan otak akibat adanya benda padat yang membentur kepala dengan kecepatan tertentu. Jejas pada cedera kontak bentur dialami bila ada fenomena kontak yaitu efek gabungan yang ditimbulkan akibat energi benturan dihantarkan ke kepala sebesar tenaga kontak(Gennarelli TA, 1993). d. Patofisiologi Cedera otak primer adalah suatu fenomena mekanik yang terjadi sesaat setelah terjadinya trauma, sedangkan cedera otak sekunder adalah fenomena metabolik yang memiliki jalur kaskade yang rumit dan belum semua dapat terungkap. Mekanisme ini secara konseptual terbagi menjadi dua, yaitu secondarybrain insult dan secondary brain damage. Secondary brain insult timbul akibat dari perburukan sistemik dan intrakranial yang memperberat kerusakan neuron setelah cedera kepala primer. Gejala yang timbul pada keadaan ini adalah systemic secondary insult dan intrakranial secondaryinsult. Secondary brain damage adalah cedera kepala sekunder yang terjadi setelah aktivasi langsung proses imunologi dan biokimia yang merusak dan menyebar secara ritmik. Mediator biokima dan inflamasi pada cedera ini terdiri atas asidosis laktat, kalsium, asam amino eksitatorik, asam ix arakhidonat, nitric oxide (NO), radikal bebas, peroksidasi lipid, aktivasi kaskade komplemen, sitokin, bradikinin, makrofag, dan pembentukan edema serebri (Kossman, 2002). Penyebab intrakranial adalah tekanan intrakranial yang tinggi, kejang, infeksi dan vasospasme. Penyebab sistemik adalah hipotensi, hipoglikemik, hiperglikemia, hipertermi, dan hiponatremia. (Adimarta W, 2009) Berdasarkan mekanismenya, edema serebri terbagi menjadi dua kategori, yaitu edema sitotoksik atau intraselular dan edema vasogenik atau ekstraselular. Keduanya dapat diketahui dengan rinci melalui studi mikroskopik dan ultrastruktural. Pengukuran kadar cairan jaringan melalui pencitraan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membedakan edema sitotoksik dan edema vasogenik. Edema sitotoksik adalah akumulasi cairan di kompartemen intraselular, neuron, mikroglia, dan astrosit (Marmarou et al., 2007). Edema sitotoksik berhubungan dengan kegagalan pompa Na/K ATPdependent yang berhubungan dengan energi. Kegagalan asupan energi jaringan otak yang terjadi pada keadaan iskemia dapat memengaruhi kinerja pompa Na/K ATP-dependent. Keadaan ini berhubungan dengan terganggunya pertukaran ion intrasel dan ekstrasel, sehingga osmolalitas intrasel meningkat dan cairan akan masuk ke dalam sel dan kemudian menimbulkan gangguan intrasel. Oleh karena itu, edema sitotoksik disebut juga edema ionik. Pada keadaan tertentu, bila cairan yang terakumulasi sangat banyak, dapat terjadi ruptur membran sel dan cairan keluar ke kompartemen ekstraselular. Meskipun edema sitotoksik lebih sering terjadi dibandingkan dengan edema vasogenik, pada akhirnya keduanya dapat meningkatkan TIK dan berlanjutnya iskemia (Marmarou et al., 2007). Pada kondisi yang baik, odema sitotoksik umumnya berlangsung mulai 3 jam hingga 3 hari pasca trauma (Narayan, 2012). Edema vasogenik adalah peningkatan cairan esktrasel yang terjadi karena kebocoran SDO. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan osmotik dan x cairan ke luar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam kompartemen ekstraselular. Cairan intravaskular ini keluar melalui endotel dengan mekanisme pinositosis dan atau tight junction yang bocor. Edema vasogenik sering disebut juga edema osmotik. Kebocoran SDO dapat terjadi karena beberapa keadaan seperti cedera kepala, tumor, infeksi, perdarahan intraserebri, dan inflamasi (Marmarou et al., 2007). Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak sawar darah otak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan pada akhirnya meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran darah otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PCO2), dan kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema bertambah secara progresif kecuali bila dilakukan intervensi 1 (Price, 2006). Gambar 2.1 Ilustrasi keadaan Sel Normal (A); Edema Sitotoksik (B), Edema Vasogenik (C) (Marmarou et al., 2007). xi Intervensi yang dilakukan adalah dengan tatalaksana airway, breathing, dan circulation. Kelanjutan proses ini dapat terjadi perbaikan dan dapat pula terjadi perburukan. Pada proses yang membaik maka otak akan melakukan bebagai mekanisme untuk mempertahankan kesetimbangannya dan selanjutnya akan mengalami perbaikan sesuai dengan pola tertentu. Edema akan meningkat hingga mencapai puncaknya pada hari ketiga atau keempat, kemudian dalam rentang waktu tujuh sampai sepuluh hari edema akan berangsur-angsur membaik. Namun demikian, proses perbaikan ini akan menjadi lama apabila factor-faktor yang memicu terjadinya edema cerebri, seperti hipoksia, hiperpireksiadan disturbansi elektrolit tidak diatasi dengan baik (Narayan, 2012). Gambar berikut menggambarkan pola waktu terjadinya edema cerebri baik yang vasogenik maupun sitotoksik. xii Gambar 2.2. Pola waktu edema serebri pasca trauma (a); potensi penyebab edema cerebri (b)(Narayan, 2005). Pada awal pasca trauma tidak terjadi pembengkakan vaskuler, dan manifestasi – apabila terdapat – kerusakan pada sawar darah otak akan muncul belakangan. Peningkatan tekanan intra cranial pada fase ini lebih xiii disebabkan oleh odema sitotoksik. Pada hari kedua, vasa vaskuler mulai membengkak sehingga menyebabkan hipertensi intracranial. Kondisi ini akan menyebabkan kerusakan sawar darah otak. Akibatnya, akan terjadi odema vasogenik yang berlangsung antara hari ke-2 hingga ke-5 (Narayan, 2005). Pada proses yang memburuk, otak mengalami hipoksia. Pada proses yang tidak dapat dicegah akan dilepaskan neurotransmitter yang bersifat simpatik lebih banyak daripada parasimpatik, opioid, reaksi inflamasi, gangguan pada deformabilitas erithrosit, dan radikal bebas. Proses ini dapat menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia yang terus berlanjut akan menyebabkan iskemia pada otak sehingga menimbulkan cedar otak sekunder( Islam AA, 2010; Kasan U, 2000). Primary brain injury secondary brain injury Gambar 2.4 Patofisiologi cedera otak( Kasan U, 2000) xiv Kegagalan pompa ion mengarahkan akumulasi natrium intraseluler dan kalium ekstraseluler sehingga cairan bergerak ke dalam intraseluler. Rongga intraseluler membesar dan rongga ekstraseluler mengkerut. Natrium dari darah akan masuk ke dalam otak dan kalium keluar dari otak masuk ke dalam darah yang menyebabkan terjadinya penumpukan cairan. Edema otak diperberat dengan adanya kerusakan pembuluh darah.(Adimarta W, 2009) Cedera otak akan menimbulkan reaksi inflamasi yaitu adanya gangguan keseimbangan antara sitokin yang pro inflamasi dan anti inflamasi. Sitokin yang bersifat pro inflamasi antara lain Tumor necrosis factor (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) yang akan meningkatkan metabolisme dan mempunyai peranan terhadap terjadinya cedera otak sekunder. Sitokin yang bersifat anti inflamasi adalah interleukin-10 (IL-10) yang membatasi kerja dari sitokin inflamasi agar tidak berlebihan yang akan menimbulkan efek yang merugikan.(Adimarta W, 2009) Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktivasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit. Dalam hal ini akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear (MN), makrofag, dan limfosit. Proses ini berlangsung melebihi 5-6 jam. (Adimarta W, 2009). Pada umumnya proses inflamasi yang berakibat edema otak mencapai puncaknya pada hari ke-3 sampai ke-4 pasca terjadi cedera jaringan (Narayan,2012) Pada tahap awal terjadinya proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endothelium dalam beberapa molekul perekat Intracelluler Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses ini mempunyai kecenderungan xv mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Netrofil akan melepaskan senyawa toksik (radikal bebas) atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrien) (Adimarta W, 2009). Bila dikaitkan dengan sitokin yang bersifat pro inflamasi yaitu TNF-α diproduksi oleh microglia dan astrosit, proses ini terjadi satu jam setelah terjadinya trauma. TNF-α akan menstimulasi ICAM-1 pada sel endothel sehingga lebih adhesif terhadap leukosit terutama sel netrofil sehingga terjadi akumulasi leukosit di sekitar daerah inflamasi. Proses ini memberi dampak buruk yaitu mengakibatkan penurunan aliran darah dalam mikrosirkulasi (Islam AA, 2007; Narayan 2005). TNF-α akan memasuki aliran darah dan bekerja sebagai hormon endokrin. TNF-α merupakan pirogen endogen yang bekerja pada sel di hypothalamus untuk memicu terjadinya demam (Islam AA, 2007). Sitokin yang bersifat anti inflamasi IL-10 disebut juga cytokinesynthesis inhibitory factor (CSIF) diproduksi oleh sel T helper 0 (TH0) dan Sel T Helper 2 (TH2) subset dari sel T helper Cluster of differentiation4+ (CD4+) dan Cluster of differentiation8+ (CD8+). Sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel B yang teraktivasi oleh sel TH1; paling banyak diproduksi oleh sel makrofag yang teraktivasi, monosit, dan juga sel nonlimfatik seperti keratinosit (Islam AA, 2007). xvi Gambar 2.4. proses inflamasi yang menyertai cedera otak akut (Narayan2005) IL-10 memiliki dua aktivitas utama : pertama menghambat TNF-α, IL1, kemokin, dan IL-12 yang diproduksi oleh makrofag; kedua menghambat berbagai fungsi makrofag teraktivasi melalui aktivasi sel T dan merupakan umpan balik negatif. Produksi molekul adhesi intraselular akan merangsang pelepasan TNF-α, selanjutnya TNF-α akan memicu dilepaskannya molekul adhesi intraselular sehingga terjadi lingkaran setan yang berakhir dengan morbiditas dan mortalias yang tinggi. Pada keadaan demikian diperlukan suatu pengaturan agar produksi kedua sitokin tersebut (ICAM-1 dan TNF-α) tidak berlebihan. Untuk itu diperlukan sitokin IL-10 yang mencegah terjadinya reaksi berlebihan dari TNF-α dan ICAM-1. IL-10 bekerja dengan menghambat sintesis sitokin yang dibentuk oleh sel T dan memberikan proteksi pada astrosit sehingga mencegah nekrosis sel dan bertindak sebagai antiapoptotik (Islam AA, 2007). Jika regulasi yang dilakukan oleh IL-10 kurang, produksi TNF-αakan berlebihan sehingga terjadi kerusakan jaringan, xvii bersihan jaringan debris yang tidak sempurna serta perjalanan penyakit kearah kronis.(Adimarta W, 2009) Pada cedera otak juga akan terjadi peningkatan hormon seperti adrenalin, noradrenalin, kortisol, dan glukagon. Aksis simpatiko-adrenal merupakan sistem utama tubuh untuk bereaksi terhadap cedera otak. Perubahan ini disebabkan oleh dampak adrenergik dan katekolamin. Stimulasi aktivitas β adrenergic menyebabkan dilepasnya hormon stress seperti katekolamin sehingga akan meningkatkan laju metabolik, keseimbangan nitrogen negatif, intolerasi glukosa, dan resistensi insulin. Aktivasi siklus glukosa-laktat akan meningkatkan proses glukoneogenesis. Untuk mengatasi cedera, tubuh akan memberi respon memobilisasi bahan bakar sehingga kadarnya dalam darah meningkat. Terjadinya hiperglikemi pada cedera otak berhubungan dengan hipermetabolisme (Adimarta W, 2009). Glukoneogenesis terjadi di hati dan distimulasi oleh hormon glukagon, kortisol dan growth hormone. Glikogenolisis distimulasi oleh katekolamin, sedangkan mediator sitokin menstimulasi kedua proses tersebut. Resistensi insulin terjadi melalui proses penghambatan kerja oleh hormon glukagon melalui pengikatan reseptor glukosa pada sel. Proses glukoneogenesis sebenarnya merupakan upaya kompensasi tubuh untuk menyediakan sumber energi bagi kelangsungan sel, karena glukosa yang terbentuk sangat dibutuhkan sebagai bahan bakar utama bagi jaringan yang mengalami cedera. (Adimarta W, 2009) Rendahnya kadar insulin yang disertai dengan resistensi insulin menyebabkan terjadinya lipolisis dan mobilisasi cadangan lemak tubuh sebagai upaya penyediaan energi. Pelepasan hormon stress dan mediator sitokin menyebabkan terjadinya proteolisis protein otot yang bertujuan membentuk protein pada fase akut, penyembuhan, peningkatan imunitas, dan proses glukoneogenesis. Glukosa dimobilisasi dari persediaan glikogen di hati oleh katekolamin, glukokortikoid dan glukagon. Glukosa dapat diperoleh dari xviii glikogen hanya untuk 12-18 jam karena cadangan glikogen yang terbatas. Fase penghancuran protein otot untuk glukoneogenesis dan hiperglikemik merupakan karakteristik fase katabolik pada cedera otak. Pada umumnya fase hipermetabolik akan mencapai puncaknya dalam waktu 48-72 jam dan kembali normal setelah 7-10 hari. Tetapi apabila dalam masa itu terjadi komplikasi infeksi, iskemia, atau masih terdapat sisa fokus inflamasi, maka fase hipermetabolik akan terus berlangsung (Adimarta W, 2009). Hipermetabolisme yang terjadi juga merupakan suatu usaha mempertahankan homeostasis ionik yaitu energy membrane pump yang lebih aktif, Na-K pump membutuhkan lebih banyak Adenosine Triphosphate (ATP). Oleh karena metabolisme oksidatif otak berlangsung hampir mendekati nilai maksimum, sedikit saja peningkatan kebutuhan energi terjadi peningkatan glikolisis. Kecepatan glikolisis akan meningkatkan produksi asam laktat. Peningkatan asam laktat dapat menyebabkan disfungsi neuronal dengan menginduksi asidosis, kerusakan membran, gangguan permeabilitas sawar darah otak dan edema otak (Adimarta W, 2009). Kematian sel otak yang mengalami cedera dapat berlangsung melalui proses apoptosis dan nekrosis. Nekrosis adalah proses pasif disintegrasi sel sedangkan apoptosis adalah mekanisme proses aktif yang membutuhkan energi. Iskemia yang sedang sampai berat menginduksi kematian sel secara nekrosis. Sedangkan apoptosis akan berlangsung pada daerah yang mengalami iskemia ringan (Adimarta W, 2009). Cedera otak menyebabkan pelepasan glutamate dari neuron dan sel glia, meningkatkan konsentrasi glutamat pada CSF, sehingga meningkatkan kalsium intraseluler. Keadaan ini mengaktivasi phospolipase, protrein kinase, protease, NO sintetase dan enzim lainya yang memacu terbentuknya lipid peroksidase, proteolisis, radikal bebas dan kerusakan DNA sehingga menyebabkan kematian sel. Sitokin meningkat pada keadaan iskemia serebral. Pasien dengan GCS < 8 memiliki kadar IL-6 yang lebih tinggi. Pelepasan xix sitokin setelah TBI menstimulasi produksi radikal bebas, asam arachidonat dan molekul adhesi yang mengganggu mikrosirkulasi (Sakabe, 2007). Gambar 2.5 cascade glutamate. AMPA: Alfa Amino-3-hydroxy-5-Methyl-4isoxazoleproprionate; NMDA: N-Methyl- D- Aspartate; Ca: Ca intraseluler (Sakabe,2007) e. Mekanisme Penurunan Kesadaran Pada COS dan COB terjadi penurunan kesadaran pada pasien. Mekanisme terjadinya penurunan kesadaran pada cedera otak bisa karena intrakranial ataupun ekstrakranial. Sebelum kita tentukan bahwa penurunan kesadaran pasien dikarenakan intrakranial, harus diketahui dulu bahwa tidak ada kelainan ekstrakranial pada pasien yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Faktor ekstrakranial antara lain gangguan metabolik misalnya diabetik ketoasidosis, insufisiensi respirasi, obat-obatan keracunan, gangguan psikologis, dan hipoksemia. Faktor intrakranial antara lain perdarahan yang xx disebabkan trauma kepala, gangguan vaskuler ataupun karena tumor(Lindsay KW, 1997). f. Autoregulasi pembuluh darah otak Autoregulasi pembuluh darah otak adalah kemampuan pembuluh darah serebral untuk menyesuaikan lumennya pada ruang lingkup sedemikian rupa, sehingga aliran darah ke otak tidak banyak berubah, walaupun tekanan darah arteriil sistemik mengalami fluktuasi. Penurunan tekanan darah sistemik sampai mencapai 50 mmHg masih dapat diatasi oleh fungsi autoregulasi serebral ini, tanpa menimbulkan gangguan aliran darah regional. (Kasan U, 2000) Beberapa teori tentang dasar dari mekanisme autoregulasi adalah : 1) Teori Miogenik Kenaikan tekanan darah arteriil sistemik akan mendorong pembuluh darah untuk berkontraksi sehingga terjadi kenaikan resistensi vaskuler, dan lebih lanjut mengakibatkan penurunan aliran darah sampai ke batasan normal. Demikian pula sebaliknya, penurunan tekanan darah arteriil sistemik akan mengakibatkan relaksasi dinding pembuluh darah serebral, sehingga terjadi penurunan resistensi vaskuler (Kasan U, 2000). 2) Teori Neurogenik Teori ini didasarkan adanya serabut-serabut saraf perivaskuler yang menyertai pembuluh darah serebral. Pusat yang sensitif terhadap CO2 terdapat di batang otak dan pengaturan resistensi pembuluh darah serebral melalui mekanisme neurogenik (Kasan U,2000). 3) Teori Metabolik Dasar hipotesa adalah arteri mempunyai kemampuan sebagai elektroda terhadap tekanan karbondioksida (PCO2). Disamping itu CO2 dapat xxi berdifusi secara bebas melalui membran pembuluh darah, sedangkan ion hidrogen dan bikarbonat tidak. pH di sekitar dan di dalam sel otot polos dipengaruhi oleh ion bikarbonat ekstravaskuler dan karbondioksida intravaskuler (Kasan U, 2000). Perubahan akut dari PCO2 arteri akan mengakibatkan perubahan pH secara mencolok dan selanjutnya memacu penyesuaian dari aliran darah otak. Apabila kondisi PCO2 ini tetap, pH cairan ekstravaskuler lambat laun akan berubah ke arah normal melalui proses transport aktif dari sel glia, sampai pH terkoreksi sesuai kondisi reseptor pH pembuluh darah dan resistensi pembuluh serebral kembali normal. Apabila PCO2 kemudian kembali ke nilai normal, aliran darah akan berubah ke arah yang berlawanan sedemikian rupa sampai koreksi ke arah kebalikan di atas selesai (Kasan U, 2000). Pada cedera otak terdapat perbedaan mengenai waktu terjadinya, berat atau besarnya gangguan autoregulasi. Banyaknya percobaan-percobaan yang telah dilakukan tetapi hasilnya tidak sama, seperti terurai di bawah ini: 1) Waktu terjadinya gangguan autoregulasi dapat berlangsung dalam beberapa detik, beberapa menit dan beberapa jam. 2) Beratnya gangguan autoregulasi tergantung dari beratnya cedera otak. Pada COS terjadi kerusakan autoregulasi yang tidak seberapa sedangkan pada COB (GCS < 8), besarnya kerusakan pada autoregulasi dapat mencapai 31%. (Kasan U, 2000) Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara vasodilatasi dan vasospasme. Pada cedera otak terjadi gangguan autoregulasi di mana keseimbangan ini terganggu. Dikatakan bahwa pada fase awal terjadi spasme dan kemudian disusul dengan vasodilatasi. Hal ini disebabkan oleh aktivitas saraf simpatis yang membungkus pembuluh darah tidak mampu lagi xxii mengambil adrenalin dan konsekuensinya adalah terjadinya edema otak (Kasan U, 2000). Bila terjadi hipoksemia maka produksi energi (ATP) berkurang dengan akibat kenaikan ion Ca2+ dari luar sel atau dari simpanan Ca2+ didalam mitokhondria dan retikulo endoplasmik Ca2+ dalam sel meningkat menyebabkan aktivasi enzim miosin kinase sehingga miosin yang pasif menjadi aktif (Myosin phosphate activation) dan miosin yang aktif akan mengikat aktin sehingga timbul ikatan aktin-miosin (actin-myosin complex) yang mengakibatkan pembuluh darah menyempit (vasospasm), Bila hipoksia hilang dan aliran darah normal maka ATP kembali normal dan ikatan aktinmiosin dibuka maka pembuluh darah akan melebar (vasodilatasi). Keadaan ini akan mengikuti fase dengan pola waktu tertentu (Kasan U,2000). S P A S M E 7 hari 9 WAKTU 14 hari 21 hari Gambar 2.6 Fase vasospasme pada cedera otak berdasarkan waktu (Kasan U, 2000) g. Penatalaksanaan COS Pada COS, setelah pasien datang ke UGD dilakukan stabilisasi airway, breathing, dan sirkulasi, serta dipasang collar brace hingga terbukti tidak didapatkan trauma cervical. Bila terjadi hipotensi atasi dengan cairan isotonis dan atasi penyebabnya. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologis, obat simptomatik atau suppositoria. Bila xxiii kondisi telah stabil dilakukan CT scan kepala, foto cervical lateral, thoraks AP, pasang kateter urin untuk evaluasi produk urin.(Tim neurotrauma RS Dr.Soetomo, 2007) Setelah dilakukan pemeriksaan dan dapat ditentukan diagnosisnya, pasien masuk dalam kategori tindakan operatif emergensi atau perawatan di HCU. Bila dalam perawatan pasien membaik, pasien dapat dipindah ke ruang perawatan, namun bila kondisi pasien memburuk dilakukan stabilisasi dan resusitasi dan rediagnosis emergensi dan ditentukan apakah perlu tindakan operatif atau konservatif (Lihat gambar 2.6)(Tim neurotrauma RS Dr.Soetomo, 2007) Gambar 2.7 Algoritma Penatalaksanaan Pasien COS (Tim neurotrauma RS Dr.Soetomo, 2007) Apabila didapatkan indikasi, mannitol 20% 200cc diberikan bolus dalam 20 menit atau 5cc/kgBB dilanjuntukan 2cc/kgBB dalam 20 menit setiap 6 jam, jaga osmolaritas darah < 320 mOsm (Tim neurotrauma RS Dr.Soetomo, 2007). xxiv Obat-obat yang dijadikan sebagai terapi medikamentosa pada cedera otak harus memiliki beberapa tujuan antara lain: (a) Untuk kontrol fisiologis pasien dengan optimalisasi perfusi substrat-substrat yang dibutuhkan oleh otak dan mencegah peningkatan tekanan intrakranial (analgetik). (b) Untuk mencegah terjadinya edema cerebri (diuretic, barbiturate). (c) Untuk menurunkan kerusakan sekunder (steroid). (d) sebagai simptomatis (sedatif, stimulans). (e) untuk mencegah komplikasi cedera otak (antikonvulsan, antibiotika)(Christine D.A, 1996). Dalam penatalaksanaan pasien dengan cidera otak, perlu memperhatikan trauma lain yang menyertainya. Penilaian terhadap beratnya trauma perlu dilakukan untuk memprediksi outcome dari pasien. Pada tahun 1969 para peneliti menemukan penilaian terhadap multiple trauma yaitu dengan Abbreviated Injury Scale (AIS). AIS adalah dasar dari index severity score (ISS), yang lebih banyak digunakan untuk mengukur beratnya trauma yang terjadi pada pasien (Timothy H, 2012). Selain itu, ISS merupakan skala yang digunakan sebagai penilaian terhadap anatomi pasien yang mengalami multiple trauma dan memiliki korelasi terhadap morbiditas, mortalitas, dan lama perawatan di rumah sakit. Berdasarkan AIS, trauma pada tubuh manusia dibagi menjadi 6 regio, antara lain : 1) Kepala / leher 2) Wajah 3) Dada 4) Abdomen 5) Extremitas 6) External (kulit) . Masing-masing trauma dinilai dengan skala 1 – 6 yaitu minor, moderate, serius, severe, critical, dam maximum (untreatable). Hanya AIS yang memiliki nilai tertinggi yang dinilai pada masing-masing area tubuh. Tiga xxv area tubuh yang mengalami trauma paling berat dikuadratkan. (Timothy H, 2012) ISS memiliki rentang antara 1 – 75, namun bila terdapat 1 trauma yang mengenai 1 organ dengan score 6, ISS memiliki nilai 75. Berdasarkan ISS dapat dikategorikan menjadi : 9 : Minor 10-15 : Moderate 16-24 : Moderate / Severe >25 : Severe / Critical Association for Advancement of Automotive Medicine menentukan bahwa dikatakan major trauma bila ISS melebihi 15. Pada pasien COS dengan multiple trauma ISS > 15 dikategorikan sebagai trauma mayor dan memiliki resiko mengalami perburukan dan mempengaruhi kesadaran. Kemampuan ISS dalam mengidentifikasi beratnya trauma sangat berhubungan dengan definisi severe trauma. 2. Protein S100β Anggota dari ‘S100 protein family’ merupakan protein multifungsional dengan berbagai peran dalam proses selular. Protein S100 bekerja dengan perantaraan ikatan kalsium (Ca2+), walaupun nampaknya Zn2+ dan Cu2+ juga memiliki peranan dalam aktifitas biologis protein ini. Anggota ‘S100 protein family’ yang paling banyak dipelajari adalah protein S100β, yang memiliki aktifitas neurotropik (pada konsentrasi fisiologis) atau neurotoksik (pada konsentrasi tinggi). Ekspresi protein ini baik pada serum maupun pada pewarnaan imunohistokimia dijumpai pada berbagai kelainan klinis (Srikrishna, 2011). xxvi a. Struktur dan Fungsi Protein S100 ‘S100 protein family’ memiliki subgrup lengan EF pengikat Ca2+. Protein ini disebut S100 dikarenakan kelarutannya dalam ammonium sulfat pada pH normal sebesar 100%. Protein ini pertama kali diidentifikasi oleh B.W.Moore pada 1965 (Moore, 1965). Protein S100 merupakan protein asam berukuran kecil, 9-13kDa, dan memiliki dua lengan EF yang terpisah, 4 segmen α-helix, memiliki ‘central hinge region’ dengan panjang yang bervariasi dan juga domain N- dan C- terminal. Berbeda dengan gen S100 yang sangat banyak terdapat pada vertebrata, protein ini tidak dijumpai pada invertebrata. Sampai sekarang ini terdapat paling sedikit 25 protein yang telah teridentifikasi sebagai anggota S100 protein family, dimana 21 diantaranya memiliki gen pada kromosom lokus 1q21. Kelompok gen ini dikenal sebagai kompleks diferensiasi epidermal (Marenholz et al, 2004; Heizmann et al. 2002; Donato,2001). Gambar 2.8. Struktur dimer protein S100. Protein S100 dapat dijumpai dalam bentuk homodimer, heterodimer, dan oligodimer. Setiap monomer terdiri dari dua lengan EF yang dihubungkan oleh hinge region (Heizmann, 2002). xxvii b. Anggota S100 protein family dan lokasinya pada berbagai gen spesifik Keluarga protein S100 merupakan protein multifungsional yang diekspresikan pada banyak jaringan. Interaksi protein S100 dengan berbagai protein efektor dalam sel berperan dalam berbagai proses selular seperti kontraksi, motilitas, diferensiasi dan pertumbuhan sel, progresi siklus sel, transkripsi, organisasi struktural membran sel, dinamika kandungan sitoskeleton, proteksi sel terhadap kerusakan sel oksidatif, fosforilasi protein dan sekresi (Donato, 2007). Protein S100 dapat diekskresikan ke area ekstraseluler sebagaai respon terhadap suatu stimulus, atau saat terjadi kerusakan sel. Protein ini berperan dalam proses respon pertahanan sel saraf (S100B), apoptosis (S100A4 and S100A6), inflamasi (S100B, S100A8/A9, S100A11 and S100A12), autoimmunitas (S100A8/A9), kemotaksis (S100A8/A9) dan proliferasi sel (S100P, S100A7), yang secara efektif bekerja sebagai mediator parakrin da autokrin (Donato, 2007). Variasi fungsi protein S100 ini nampaknya disebabkan oleh: 1) Diversifikasi yang luas pada anggota protein S100 (25 anggota pada manusia) 2) Perbedaan ikatan metal ion yang berbeda-beda pada setiap protein S100 3) Distribusi ruang pada kompartemen intraselular spesifik atau homodimer dan kompartemen ekstraselular 4) Kemampuan protein S100 untuk membentuk heterodimer non kovalen, sehingga memungkinkan pertukaran subunit S100. Protein S100 tidak memiliki kapasitas katalis intrinsik. Protein ini secara umum memiliki cara kerja yang mirip dengan calmodulin dan troponin C, yang mengalami perubahan struktur dan memodulasi aktifitas biologis melalui xxviii ikatan kalsium (Ikura 2006). Tabel 2.1. Anggota S100 protein familly dan lokasinya pada berbagai genspesifik (Heizmann, 2002) Gambar 2.9. Gen S100 yang terdapat pada kromosom 1q21. Kebanyakan gen S100 pada manusia terletak pada kompleks diferensiasi xxix epidermal pada kromosom 1q21, yang merupakan area yang rentan terhadap penyusunan ulang. Protein S100B, S100P, S100Z dan S100G terletak pada kromosom 21q22,4p16, 5q14 dan Xp22 (Heizmann, 2002). S100β yang merupakan salah satu protein pada S100 protein family yang paling banyak dipelajari, interaksi protein ini dengan RAGE (Receptor forAdvanced Glycation Endproduct) telah terdokumentasi (Donato, 2007; Donato et al., 2008; ). S100β secara spesifik terdapat dalam jumlah yang besar di otak dan diekspresikan oleh astrosit, oligodendrosit, dan sel Schwann. Protein ini diduga berperan sebagai sinyal regulator intraselular dan ekstraselular, yang dapat menghasilkan efek neurotropik dan neurotoksik yang tergantung pada konsentrasinya pada sel neuron (Donato et al., 2008). S100β juga mengaktivasi microglia, dan mungkin berperan dalam patogenesis kelainan neurodegeneratif. S100β diekspresikan berlebih pada astrositoma dan glioblastoma, schwannoma dan melanoma (Salama et al., 2008). c. Metode dan Pengukuran Protein S100β dapat dideteksi dengan berbagai metoda analisa seperti immunoradiometric assay (IRMA), mass spectroscopy, western blot, enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), electrohemiluminence dan protein chain reaction (PCR) kuantitatif. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dapat mendeteksi perubahan ekspresi imunohistokimia atau pada serum dengan sensitifitas tinggi, sehingga dapat menjadi alat ukur penting pada diagnosa klinis (Sangtec Medical, 2000). Protein S100β (homodimer dari subunitβ) memiliki berat molekul sebesar 21kD dan dikodekan dari lengan panjang kromosom 21 (21q22.3). Waktu paruh dari S100β adalah sekitar 30 menit. Peningkatan kadar serum protein S100 secara persisten mengindikasikan adanya pelepasan secara terus menerus dari jaringan yang terlibat. Protein S100β dieliminasi melalui ginjal xxx (Wild, 2001). Beberapa studi menyebuntukan dengan IRMA didapatkan angka batas deteksi normal adalah 0.5µg/L, menggunakan electrohemiluminence 0.02 µg/L, dan menggunakan ELISA 15 pg/mL. Antibody yang digunakan pada ELISA spesifik untuk S100β pada manusia tanpa menimbulkan reaksi silang terhadap S100A1, S100P, S100Z dan neuroglobin. Hanya sekitar 2% menunjukkan reaksi silang terhadap glial fibrillary acidic protein (GFAP) (Anonim, 2010). Penyakit yang berhubungan dengan perubahan ekspresi protein S100 dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori yaitu kelainan neurologis, kelainan neoplastik, penyakit jantung dan penyakit inflamasi (Salama et al., 2008). Dalam tinjauan pustaka ini penulis hanya membatasi pada kelainan neurologis saja. Protein S100β diproduksi oleh astrosit pada system saraf pusat. Peningkatan ekspresi protein ini menandakan adanya aktifitas astrosit (Steiner, 2007). Sekresi S100β merupakan proses awal respon sel glia terhadap cedera metabolik (kekurangan oksigen, serum, glukosa). Hubungan antara kondisi stress (cedera otak, gangguan sawar darah otak, iskemik) dan kadar serum S100β nampaknya tergantung glucocorticoid (Scaccianoce, 2004). Cedera otak traumatik akan mengakibatkan peningkatan kadar S100β pada serum dan juga pada cairan serebrospinal. Setelah terjadinya cedera otak traumatik, terjadi peningkatan konsentrasi S100β dan S100A1B tanpa hubungan yang signifikan dengan tanda dan gejala gangguan kognitif. Oleh karena itu interpretasi peningkatan kadar serum S100β sebagai marker cedera otak harus dilakukan secara berhati-hati. Kenaikan kadar serum S100β tergantung pada integritas sawar darah otak. Peningkatan dini S100β setelah cedera otak traumatik berhubungan dengan gangguan sawar darah otak maupun ekspresi aktif dari jaringan otak yang terlibat pada reaksi inflamasi yang terjadi (Sedaghat, 2008). B. Penelitian Relevan xxxi Beberapa studi sebelumnya menunjukkan peningkatan nilai S100β yang abnormal pada pasien dengan cidera otak ringan (COR) (Kruijk et al., 2001), namun spesifitas terhadap tingkat kerusakan jaringan otak sebagai dampak trauma masih belum dapat dijelaskan. Diperkirakan kenaikan kadar protein S100β pada serum mencerminkan berat ringannya keusakan sawar darah otak akibat transfer energi trauma yang mengenai kepala (Marchi et all, 2003). Pada kasus cidera otak dengan energi trauma yang lebih besar, kenaikan kadar S100β mencerminkan adanya dampak pada jaringan otak (Nygren, 2005). Studi di Indonesia belum banyak ditemukan. Sementara itu penulis juga belum menemukan adanya studi yang membandingkan kondisi ekspresi protein S100β pada keadaan akut dan mengkhususkan pada kasus COS. xxxii C. Kerangka Konsep Trauma kepala Cidera otak primer Destrupsi sawar darah Proses tidak dapat dicegah Kerusakan sel glial primer Ekspressi S100β>> Proses dapat dicegah resusitasi Proses berlanjut: + eritrosit +neurotransmitter/ bahan spasmingen + reaksi inflamasi + Asidosis + opioid endogen + Radikal bebas + hormonal respon Edema vasogenik + sitotoksik Respon jelek Respon baik Gangguan sirkulasi dan pernafasan autoregulasi Penurunan ADO penurunanO2 reperfusi Metabolism anaerob Metabolisme aerob Edema sitotoksik Penyembuhan jaringan Nekrosis sel >> Cedera otak skunder Ekspressi S100β>> xxxiii Ekspressi S100β < Ekspressi S100β << Adanya trauma kepala akan menimbulkan cedera otak. Dampak trauma kepala secara langsung akan mengenai sel-sel otak. Selain itu juga berdampak pada 2.10. Kerangka konsep kerusakan vaskuler dan sawar darah otak. Sel-sel yangGambar rusak akibat trauma primer ini akan mengekspresikan protein S100β. Berikutnya, proses ini akan berlanjut menjadi suatu proses yang dapat dicegah dan yang tidak dapat dicegah. Pada proses yang tidak dapat dicegah akan dilepaskan neurotransmitter yang bersifat simpatik lebih banyak daripada parasimpatik, opioid, reaksi inflamasi, gangguan pada deformabilitas eritrosit, dan radikal bebas. Proses ini dapat menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia yang terus berlanjut akan menyebabkan iskemia pada otak sehingga menimbulkan cidera otak skunder. Pada proses yang dapat dicegah, dengan adanya respon yang baik terhadap resusitasi yang diberikan, diharapkan mampu memperbaiki jaringan yang cidera. Autoregulasi darah yang baik akan memperbaiki perfusi jaringan sehingga sel-sel yang rusak akibat trauma tidak bertambah banyak. Penurunan kadar protein S100β dalam serum darah mengasumsikan bahwa kerusakan sel-sel otak sudah tidak berlanjut mengingat waktu paruh dalam plasma darah sekitar 30 menit. Sebaliknya, apabila respon terhadapresusitasi tidak baik maka autoregulasi menjadi lebih lama. Akibatnya otak akan mengalami hipoksiadan edema sitotoksik yang diakhiri dengan kematian sel yang terus berlangsung menuju kepada cidera otak skunder. Sel yang mati ini akan mengekspresikan protein S100β, sehingga kadar dalam serum darah tetap tinggi. Penatalaksanaan pada kedua proses ini diberikan untuk mengatasi potensi terjadinya edema cerebri yang berkepanjangan dalam hal mencegah terjadinya cedera otak skunder. D. Hipotesis Penelitian Ada perubahan kadar protein S100β dalam serum darah pada pasien COS selama perawatan. xxxiv Ada hubungan antara perubahan kadar protein S100β dengan waktu perawatan pada pasien COS xxxv BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitaif observasional analitik dengan pendekatan studi cross sectional untuk mempelajari perubahan kadar protein s100β dalam serum darah pasien COS selama perawatan. B. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Bagian Bedah Sub bagian Bedah Saraf RSDM. Waktu penelitian : Januari – Maret 2017 C. Populasi Penelitian Semua penderita COS tanpa tindakan operatif yang datang di IGD Bedah dan dirawat di bangsal oleh Sub Bagian Bedah Saraf RSDM Surakarta. D. Sampel dan Teknik Sampling Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling yaitu semua dari populasi yang datang berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi. E. Estimasi Besar Sampel Besar sampel dihitung dengan rumus : n= Zα + Zβ _______________ 0,5 ln [(1+r)/(1-r)] 2 +3 n adalah perkiraan jumlah sampel α adalah tingkat kemaknaan xxxvi β adalah power r adalah perkiraan koefisien korelasi bila ditetapkan α = 0,05 Zα = 1,96 31 β = 0,20 Zβ = 0,842 r = 0,8 maka 2 1,96 + 0,842 n = __________________ +3 0,5 ln [(1+0,8)/(1-0,8)] = 9,52 dibulatkan menjadi 10 Dengan rumus di atas besar sampel minimal adalah 10 pasien F. Kriteria Restriksi 1. Kriteria inklusi a. Pasien COS tanpa tindakan operatif b. Pasien COS dengan multiple trauma dengan nilai injury Severity Score (ISS) < 15 c. Pasien COS tanpa disertai trauma spinal d. Pasien COS dengan pemberian terapi sesuai protokol e. Pasien COS yang telah dilakukan resusitasi dan kondisi stabil 2. Kriteria eksklusi a. Pasien COS yang pada awalnya masuk dalam kriteria inklusi, namun dalam masa observasi terjadi penurunan GCS dan didapatkan perdarahan serta membutuhkan tindakan operatif b. Pasien yang datang dengan keadaan mabuk Pasien yang datang dengan penurunan kesadaran akibat cidera otak dan didapatkan riwayat konsumsi alkohol yang dibuktikan secara laboratorik akan mempengaruhi penilaian GCS pada saat pertama kali datang. G. Variabel xxxvii 1. Variabel terikat : Kadar protein s100β 2. Variable bebas : Waktu perawatan H. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel terikat : kadar protein S100β a. Definisi : Kadar protein s100β adalah konsentrasi protein s100β dalam serum darah pasien yang diambil dari vena perifer. b. Alat ukur : Fotometer dengan metode ELISA. c. Satuan : pg/mL. d. Skala data : numerik 2. Variabel bebas : waktu perawatan a. Waktu perawatan adalah lama waktu perawatan yang dihitung dari onset terjadinya trauma hingga saat pengambilan sampel.Pada penelitian ini ditentukan perawatan hari ke-0 yaitu dalam masa 1x24 jam pasca trauma, perawatan hari ke-2 dan perawatan hari ke-4. b. Alat ukur : data rekam medis c. Satuan : hari d. Skala data : numerik xxxviii I. Alur Penelitian Cedera Otak Primer COR COB COS Kriteria inklusi Informed consent Diukur Kadar protein s100β dalam serum Perawatan harike-0 DO Diukur Kadar protein s100β dalam serum Perawatan harike-2 DO Diukur Kadar protein s100β dalam serum Perawatan harike-4 Analisis data : Uji ANOVA Uji korelasi Gambar 3.1 Alur penelitian Keterangan : COR : cedera otak ringan COB : cedera otak berat COS DO : cedera otak sedang xxxix : drop out Pasien dengan cedera otak yang masuk di IGD RSDM dilakukan primary survey dan tindakan resusitasi. Pasien dinilai GCS setelah dilakukan manajemen primary survey antara lain penanganan airway, breathing dan sirkulasi. Setelah hemodinamik stabil, Dilakukan penilaian GCS kemudian diklasifikasikan dalam COR, COB dan COS. Pasien dengan GCS antara 9 -13 termasuk dalam pasien COS. Dipilih semua pasien COS sebagai populasi sampel. Kemudian dipilih sebagai subjek penelitian adalah pasienCOSyang memenhi kriteria kriteria restriksi. Termasuk dalam kriteria inklusi adalah: Pasien COS tanpa tindakan operatif, tanpa trauma spinal, bila disertai dengan trauma di tempat lain maka disyaratkan ISS < 15, dan dengan pemberian terapi sesuai protokol tatalaksana pasien COS. Kemudian dilakukan informed consent pada setiap calon subjek penelitian. Pasien yang masuk kriteria inklusi diperiksa kadar protein s100β dalam serum darah saat dalam perawatan hari ke-0. kemudian diperiksa ulang saat dalam perawatan hari ke-2 dan ke-4. Sampel diambil dari darah tepi pasien kemudiaan diolah untuk mendapatkan serum darahnya di laboratoium klinik kemudian kadar s100β diukur dengan metode ELISA. Selama perawatan, pasien ditatalaksana sesuai protokol manajemen pasien COS Apabila dalam observasi pasien mengalami penurunan kesadaran, kemudian dilakukan CT Scan kepala dan didapatkan perdarahan kemudian dilakukan tindakan operasi trepanasi, pasien di-drop out sebagai subyek penelitian. J. Rencana Analisis Data Semua data yang terkumpul dianalisis dengan analisis statistik ANOVA dan uji korelasi. xl DAFTAR PUSTAKA Adimarta W., 2009. Inflammation Process and Glukoneogenesis Process at Severe Head Injury. Indian Journal.vol. 1 : 368-79 Aditarahma I. 2013. Protein S100 Sebagai Petanda Kerusakan Otak pada Cedera Otak Ringan dan Sedang. Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia. Hal : 16 Anonim, 2010. Human S100β ELISA. Biovendor Research and Diagnostic. Christine D.A., 1996. Conventional Drug Therapies For Head Injury dalam Neurotrauma. New York. Mc Graw Hill Companies. 365-66 De Kruijk JR, Leffers P, Menheere PP, Meerhoff S, Twijnstra A. 2001 S-100B and Neuron-specific Enolase in Serum of Mild Traumatic Brain Injury Patients. A Comparison With Health Controls. Acta Neurol Scand vol. 103: 175–179. Donato R. 2003. Intracellular and Extracellular Roles of S100 Proteins. Microscience Research Tech. vol; 60:540–57 Donato R. 2001. S100:A Multigenic Family of Calcium-Modulated Proteins of The EFHand Type with Intracellular and Extracellular Functional Roles. International Journal Biochemisthry Cell Biology.vol 33:637–68. Feinstein, J; Stahl, Keneth D. 2009. Acute Care Surgery and Trauma: Traumatic brain injury. Texas USA.Informa. p: 72 Gennarelli TA. 1993. Mechanisms of Brain Injury. Journal Emergency Medicine vol 11 supl 1: 5 – 11. Greisen, G. 2007. Autoregulation of Cerebral Blood Flow. NeoReviews. vol.8:e22e31 Heizmann CW. 2004.S100B Protein in Clinical Diagnostics: Assay Specificity. Clinical Chemisthry.50:249–51. xli Heizmann CW, Cox JA.1998. New Perspectives on S100 Proteins: A Multifunctional Ca(2+)-, Zn(2+)- and Cu(2+)-binding Protein Family. Biometals 11: 383-97. Irawan H, Setiawan F, Dewi,dewanto G. 2010. Perbandingan Glasgow Coma Scale dan Resived Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Otak di Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia 60(10): 437-61 Ikura, Mitsuhiko; Ames James B. 2006. Genetic Polymorphism and Protein Conformational Pasticity in The Calmodulin Superfamily: Two Ways to Promote Multifunctionality.Proc Natl Academic Science USA. Vol 103(5): 1159-1164 Ingebrigtsen, T; Romner, B; Kongstad, P; Langbakk, B. 2016. Increased Serum Concentrations of Protein. J Neurology Neurosurgery Psychiatry.vol. 59: 103-104 Islam, AA. 2007. Rasio TNFα/IL-10 Serum Awal Sebagai Prediktor Luaran Pada Operasi Epidural Hematom. Majalah Kedokteran Indonesia. 57 : 454 - 8 Kasan U. 2000. Moduling Cerebral Oxygen Delivery And Extraction In Acute Head Injury. Id.scribd.com/doc/brain injury management/2000/09. 3 November 2013 Kraus J F, McArthur DL. 1996. Epidemiology of Brain Injury dalam Neurotrauma. United states. Mc Graw Hill Companies.13 – 28 Kossmann, T; Hans, V; Imhof, HG; Trentz O; Morganti-Kossmann, MC. 2000. Interleukin-6 released in Human Cerebrospinal Fluid Following Traumatic Brain Injury may Trigger Nerve Growth Factor Production in Astrocytes. Brain Res 713: 143-52. Lindsay K.W., 1997. Head Injury dalam Neurology and Neurosurgery Illustrated. Philadelphia .Churchill Livingstone.214 – 224 Marchi N, Rasmussen P, Kapural M, Fazio V, Kight K, Mayberg MR, et al. 2003. Peripheral Markers of Brain Damage and Blood-Brain Barrier Dysfunction. Restor Neurol Neurosci vol. 21: 109–121. Marenholz I, Heizmann CW, Fritz G. 2004. S100 Proteins in Mouse and Man: from Evolution to Function and Pathology. Biochemisthry Biophysicaly Research Community.322:1111–22 xlii Marmarou, Anthony. 2007. A Review of Progress in Understanding the Pathophysiology and Treatment of Brain Edema. Neurosurgery Focus 22(5):E1 Mercier, E; Amélie Boutin. 2013. Predictive Value of S-100β Protein for Prognosis in Patients with Moderate and Severe Traumatic Brain Injury: Systematic Review and Meta-Analysis. British Medical Journal 2013. Vol . 346:1757. Nygren, Catharina et. al. 2005. S100 And Cognitive Impairment After Mild Traumatic Brain Injury. Jurnal Rehabilitasi Medik vol. 37: 53-57 Narayan, RK; Kamall,R; Mahapatra AK. 2012. Textbook of Traumatic Brain Injury:Traumatic brain Edema (chapter 6). New Delhi India:Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD. Pp: 31- 34 Narayan, R.K; James E. Wilberger Jr.; John T. Povlishock. 2005. Neurotrauma: Neuropathology Of Head Injury. New York: Mc Graw Hill. Pp: 43-61. Padmosantjojo R.M., 2005. Tindakan Bedah Saraf Cedera Kepala. Jakarta. Bagian Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.11-21 Price, Sylvia Anderson; Wilson, Lorraine McCarty. 2006. Buku Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Vol 2. Jakarta: EGC Sakabe T and Bendo A. 2007. Anesthetic Management of Head Trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE. eds. Handbook of Neuroanesthesia. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp: 91-110. Salama, Malone PS, Mihaimeed F, Jones JL. 2008. A Review of The S100 Proteins in Cancer. European Journal Oncology Surgery. 34(4):357-64.. Sari RK. 2010. Profil Pasien Cedera Kepala di RS Dr. Moewardi mulai Januari 2009 – Desember 2009. Surakarta.1-2 Satyanegara,2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta; Gramedia. P: 169-75 Scaccianoce S, Del Bianco P, Pannitteri G, Passarelli F. 2004. Relationship between Stress and Circulating Levels of S100B Protein. Brain Res. 1004(1–2):208–11. xliii Sedaghat F, Notopoulos A. S100 Protein Family and Its Application in Clinical Practice. Hippokratia 2008; 12: 198-204. Srikrishna, G ; Freeze, HH. 2011. S100 Protein Family, Tumorigenesis in Atlas of Genetics and Cytogenetics in Oncology and Haematology. 15(9):768-776. http://AtlasGeneticsOncology.org/Anomalies/S100ProtFamilyTumorID20092.ht m Stein DM, Lindell AL, Murdock KR, Kufera JA, Menaker J, Bochicchio GV, et al. 2012. Use of Serum Biomarkers toPredict Cerebral Hypoxia after Severe Traumatic Brain Injury. Journal Neurotrauma. Vol. 29:1140-9. Tim neurotrauma RS Dr.Soetomo. 2007. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Surabaya. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr.Soetomo. 11-4 Timothy H. 2012.Trauma Scoring Systems. http:// emedicine. medscape.com/article/434076-overview. 15 januari 2014 Tisdal M, Tachtsidis I, Terence S,et. al . 2008. Increase in Cerebral Aerobic Metabolism by Normobaric Hyperoxia after Traumatic Brain Injury. J.Neurosurgery.109. United States National Center for Injury Prevention and Control. 2009. Epidemiology of Traumatic Brain Injury in the United States. Yardan, Turker; Ali Kemal Erenler,Ahmet Baydin; Keramettin Aydin; Cengiz Cokluk. 2011.Usefulness of S100B Protein in Neurological Disorders. Turkey. J. Pak Med assoc. vol 61: 3 xliv