hubungan antara kecukupan energi, konsumsi protein, frekuensi

advertisement
Jurnal Respati, Kesehatan, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1 – 5
1
HUBUNGAN ANTARA KECUKUPAN ENERGI, KONSUMSI PROTEIN, FREKUENSI MAKANAN,
RIWAYAT INFEKSI, DAN IMUNISASI BALITA DENGAN KEJADIAN GIZI BURUK
DI KABUPATEN LEBAK
Atik Kridawati
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Indonesia
Jl. Bambu Apus 1 No. 3 Cipayung Jakarta Timur 13890
Email : [email protected]
ABSTRAK
Kasus gizi buruk meningkat sejalan dengan meningkatnya kemiskinan. Penderita gizi buruk di Propinsi Banten
hingga Juli 2005 sebanyak 7.454 anak (Dinkes Prop.Banten, 2005). Kabupaten Lebak sedikitnya 13 balita
meninggal dunia akibat gizi buruk. Jumlah anak rawan gizi buruk karena kekurangan gizi mencapai 14.338 anak
(Dinkes Lebak, 2005) dan kasus gizi buruk balita mencapai 1.780 anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara kecukupan konsumsi energi, kecukupan konsumsi protein, frekuensi makanan, riwayat infeksi
dan imunisasi balita dengan kejadian gizi buruk. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kuantitatif, dengan menggunakan studi kasus-kontrol. Populasi penelitian ini adalah seluruh balita yang
berusia 12 bulan – 59 bulan yang bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Lebak. Sample penelitian ini terdiri dari
kasus adalah balita gizi buruk di wilayah Kabupaten Lebak dan kontrol adalah balita gizi baik di wilayah Kabupaten
Lebak. Variabel yang berhubungan erat dengan status gizi balita adalah imunisasi, riwayat infeksi, dan kecukupan
konsumsi protein.
1. PENDAHULUAN
Gizi buruk atau gizi salah (malnutrition)
membawa dampak bukan hanya pada kehidupan
anak-anak yang masih berusia muda, akan tetapi
dapat terjadi pada semua golongan usia. Dampak
gizi buruk itu dapat termanifestasikan dalam
bentuk ringan dan berat. Gangguan tumbuh
kembang fisik, rendahnya daya tahan terhadap
penyakit, tingkat kecerdasan yang kurang dari
seharusnya, prestasi kerja dan prestasi olahraga
yang rendah adalah bentuk manifestasi dampak
keadaan gizi yang tidak optimal. Dengan kata lain,
gizi buruk membawa dampak yang tidak
menguntungkan
terhadap
berbagai
aspek
kehidupan bangsa. Gizi buruk atau gizi salah yang
dapat terjadi pada manusia sejak masih dalam
kandungan sampai mencapai usia lanjut itu,
sesungguhnya dapat dicegah apabila setiap orang
memahami penyebab dan cara menangkalnya [1].
Anak balita merupakan kelompok yang
menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat,
sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap
kg berat badannya. Anak balita ini justru
merupakan kelompok umur yang paling sering
menderita akibat kurang gizi dan termasuk
kelompok rawan gizi. Di Indonesia anak kelompok
balita menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk
kurang gizi. Kelompok balita ini sulit dijangkau oleh
berbagai upaya kegiatan perbaikan gizi dan
kesehatan lainnya, karena mereka tidak dapat
datang sendiri ke tempat berkumpul yang
ditentukan tanpa diantar oleh orang tuanya [2]. KEP
merupakan defisiensi gizi (energi dan protein yang
paling berat dan meluas terutama pada balita [3].
Program perbaikan gizi telah dilaksanakan di
Indonesia semenjak tahun 1970-an, dan secara
nasional diimplementasikan tahun 1980-an yang
mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Akan
tetapi pencapaian prevalensi kurang gizi tersebut
akhir-akhir ini tertama selama krisis ekonomi
cenderung meningkat. Kasus gizi buruk tingkat
berat meningkat sejalan dengan meningkatnya
Atik Kridawati,
Hubungan antara
Jurnal
Respati, Kesehatan,
Vol. 2, Kecukupan
No. 1, AprilEnergi,
2012: 1…– 5
kemiskinan. Selain itu angka kematian bayi dan
balita juga menunjukkan kecenderungan meningkat
[4].
Berdasarkan
data
statistik
kesehatan
Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2005, dari
241.973.879 penduduk Indonesia sebanyak enam
persen atau sekitar 14.500.000 orang menderita
gizi buruk. Sebagian besar penderita gizi buruk
tersebut berusia di bawah lima tahun (Balita).
Penyebab timbulnya busung lapar dan kekurangan
gizi adalah kemiskinan dan tidak tersedianya
kebutuhan pangan dan asupan gizi yang memadai
di daerah itu. Misalnya tahun 2004 di Serang,
Banten, dari 1.878 anak menderita gizi buruk, 11 di
antaranya kekurangan kalori atau maramus.
Prevalensi gizi kurang balita menurut BB/U,
data Susenas menunjukkan bahwa balita gizi buruk
di Provinsi Banten menagalami kenaikan dari tahun
2002 dan 2003 yaitu 4,7% menajadi 8,17%. Dan
berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi
Banten menyebutkan jumlah penderita gizi buruk
hingga Juli 2005 sebanyak 7.454 anak [5].
Kabupaten Lebak
merupakan salah satu
kabupaten yang ada di Propinsi Banten yang
memiliki jumlah balita gizi buruk sangat tinggi
sebanyak 1.780 anak pada tahun 2005. Di antara
mereka, sebanyak 248 anak balita terancam busung
lapar jika tidak segera ditangani. Dan sedikitnya 13
balita meninggal dunia akibat gizi buruk. Adapun
jumlah anak rawan gizi buruk karena kekurangan
gizi mencapai 14.338 anak [6].
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa
prevalensi balita gizi buruk maupun anak rawan gizi
buruk di Kabupaten Lebak Propinsi Banten
menunjukkan tingkat yang sangat tinggi dan
mengkhawatirkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian demi penanganan lebih lanjut. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
kecukupan konsumsi energi, kecukupan konsumsi
protein, frekuensi makanan, riwayat infeksi dan
imunisasi balita dengan kejadian gizi buruk di
Kabupaten Lebak tahun 2007.
2. METODE PENELITIAN
2.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kuantitatif, dengan
menggunakan studi kasus-kontrol tak berpadanan,
2
yaitu rancangan studi epidemiologi yang
merupakan studi observasional yang menilai
hubungan antara pajanan- penyakit dengan cara
menentukan sekelompok orang-orang berpenyakit
(disebut kasus) dan sekelompok orang-orang tidak
berpenyakit (disebut kontrol) lalu membandingkan
frekuensi paparan pada kedua kelompok [7][8].
2.2. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh balita
yang berusia 12 bulan – 59 bulan yang bertempat
tinggal di wilayah Kabupaten Lebak tahun 2007.
Sedangkan sampel penelitian ini terdiri dari :
•
Kasus adalah balita gizi buruk di wilayah
Kabupaten Lebak
• Kontrol adalah balita gizi baik di wilayah
Kabupaten Lebak
Besar sampel dapat dihitung dengan menggunakan
rumus dari Schlesselman [9] sebagai berikut :
Rumus :
2 p q (Zα/2 + Zβ )2
N = (P1 + Po)
(1)
keterangan :
P1 = proporsi kasus yang terkena paparan
P1 = PoR/ [ 1 + Po (R-1) ]
Po = proporsi control yang terkena paparan
p = ½ (P1 + Po)
q = (1 - p)
Zα/2 = 1,96
Zβ = 0,84
n = jumlah sampel minimum untuk tiap
kelompok studi
Dari hasil perhitungan berdasarkan persamaan
(1) didapatkan besar sampel minimal adalah hasil
perhitungan variabel yang terbesar, yaitu 152. Oleh
Jurnal Respati, Kesehatan, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1 – 5
• Sebelum pengumpulan data berlangsung
dilakukan latihan cara wawancara dan
latihan menggunakan kuesioner terlebih
dahulu pada petugas lapangan yang ditunjuk.
• Supervisi dan editing data dilakukan oleh
peneliti
• Bila terjadi keraguan terhadap jawaban
responden/kekurangan dalam pengisian
kuesioner maka dilakukan wawancaran
ulang.
karena menggunakan perbandingan kasus dan
kontrol 1 : 1 dan untuk antisipasi adanya droup out
maka didapatkan jumlah 155 kasus dan 155
kontrol, dengan jumlah total sampel 320.
Pengambilan kasus dan kontrol dilaksanakan di
Puskesmas di wilayah Kabupaten Lebak dan diambil
secara proporsi.
2.3. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilaksanakan oleh pengelola
program gizi (TPG = Tenaga Pelaksana Gizi)
Puskesmas yang sudah dilatih mewawancarai
terhadap responden kelompok kasus dan kelompok
kontrol di rumah responden. Pengumpulan data
pada penelitian ini dilakukan melalui wawancara
terstruktur dengan
menggunakan daftar
pertanyaan (kuesioner). Supervisi pengumpulan
data di lapangan dilakukan oleh peneliti.
Pengumpulan data sekunder untuk kasus dan
kontrol dilakukan selama 3 bulan.
Agar kualitas data yang dikumpulkan benarbenar mendekati gambaran keadaan yang
sebenarnya, maka dilakukan upaya-upaya sebagai
berikut :
3
Data yang telah diperoleh kemudian diolah
dengan melalui empat tahap yaitu :
Menyunting data, mengkode data, memasukkan
data dan membersihkan data. Setelah itu dilakukan
analisa data yang dilakukan dengan menggunakan
program pengolahan data yaitu analisa univariat,
analisa bivariat dan analisa multivariat.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengumpulan data dari 310
kuesioner yang disebar ternyata hanya 260
responden yang dapat diwawancarai dan dapat
dianalisis datanya.
Tabel 1. Distribusi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Balita (Kecukupan Konsumsi Energi, Kecukupan
Konsumsi Protein, Frekuensi Makanan, Riwayat Infeksi dan Imunisasi)
di Kabupaten Lebak tahun 2007
VARIABEL INDEPENDEN
GIZI BURUK
1. KECUKUPAN KONSUMSI
ENERGI
* KURANG
109 (83,85%)
* BAIK
21 (16,15%)
2. KECUKUPAN KONSUMSI
PROTEIN
* KURANG
113(86,92%)
* BAIK
17(13,08%)
3 FREKUENSI MAKANAN
* KURANG
*BAIK
114(87,69%)
4. RIWAYAT INFEKSI
16 (12.31%)
* PERNAH
* TIDAK PERNAH
107 (82,31%)
5. IMUNISASI
23 (17.69%)
* TIDAK LENGKAP
* LENGKAP
85 (65,38%)
45 (34,62%)
GIZI BAIK
TOTAL P VALUE
9 (6,92%)
118
121 (93,08%) 142
0.000
OR (95%)
69.78
(30.65-158.8)
79.77
(35-181.5)
10 (7,69%)
123
120 (92,31%) 137
0.000
12 (9,23%)
118(90,77%)
126
134
0.000
16 (12,31%) 123
114 (87.69%) 137
0.000
25 (19,23%) 110
105 (80,77%) 150
0.000
70 (31.75- 154.6)
33.15 (16.6-66.1)
7.9(4.5-13.98)
Atik Kridawati,
Hubungan antara
Jurnal
Respati, Kesehatan,
Vol. 2, Kecukupan
No. 1, AprilEnergi,
2012: 1…– 5
Proporsi balita dengan konsumsi energi yang
kurang pada kelompok kasus ada 109 (83,85%) dan
pada kelompok kontrol hanya 9 (6,92%)(Tabel.1).
Secara statistik perbedaan proporsi konsumsi
energi yang kurang pada kedua populasi kasus dan
kontrol sangat bermakna (p=0,000). Nilai
OR=69,78(95%CI:30,65-158,8) menunjukkan bahwa
balita dengan konsumsi energi yang kurang
mempunyai peluang 69,78 kali mengalami gizi
buruk dibandingkan balita dengan konsumsi energi
baik.
Proporsi balita dengan konsumsi protein yang
kurang pada kelompok kasus 113(86,92%) dan pada
kelompok kontrol 10 (7,69%). Secara statistik
perbedaan proporsi konsumsi energi protein yang
kurang pada kedua populasi kasus dan kontrol
bermakna (p=0,000). Nilai OR=79.77 (35-181.5)
menunjukkan bahwa balita dengan konsumsi
protein yang kurang mempunyai peluang 79,77 kali
mengalami gizi buruk
dibanding balita yang
konsumsi proteinnya baik.
Ukuran kecukupan energi dan protein pada
balita sangat bervariasi sesuai dengan situasi dan
kondisi masing-masing balita. Kecukupan pangan
dapat diukur secara kualitatif maupun kuantitatif.
Jadi pola makan kita, besarnya nilai energi adalah
berbanding lurus dengan besarnya menu. Secara
kuantitatif kecukupan pangan yang dikonsumsi
manusi dapat diperkirakan dari nilai energi yang
dikandungnya. Apabila kecukupan energi dan
protein terpenuhi, maka kecukupan zat gizi lainnya
dalam tubuh pada umumnya telah pula terpenuhi
[10]. Keluarga rata-rata konsumsi energi dan
konsumsi protein per kapita per hari kurang dari
70% AKG disebut sebagai keluarga defisit energi
atau defisit protein. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian Miko, 2003 [11] yaitu ada
perbedaan yang bermakna antara persentase KEP
antara anak yang memperoleh asupan energi
kurang dengan anak yang memperoleh asupan
energi cukup.
Dari 126 anak balita yang masuk dalam katagori
frekunsi makanan kurang, yang berasal dari
4
kelompok kasus ada 114 (87,69%)dan kelompok
kontrol ada 12 (9,23%). Secara statistik perbedaan
antara frekuensi makanan pada kedua populasi
kasus dan kontrol bermakna (p=0,000). Jadi ada
perbedaan yang signifikan antara balita gizi buruk
dengan balita gizi baik (tabel 6.1). Nilai OR= 70
(31.75- 154.6) menunjukkan bahwa balita yang
frekuensi makanan kurang 70 kali mempunyai
peluang mengalami gizi buruk dibanding balita yang
frekunsi makanannya baik.
Proporsi balita dengan riwayat infeksi pada
kasus berjumlah 107(82,31%) dan pada kontrol 16
(12,31%). Nilai OR=33.15 (16.6-66.1) menunjukkan
bahwa balita yang pernah terkena infeksi
mempunyai peluang 33,15 kali dibanding balita
yang tidak terkena infeksi dan secara statistik
perbedaan resiko pada kelompok kasus dan
kontrok tersebut bermakna (p=0,000).
Infeksi merupakan penyebab langsung balita
gizi buruk selain makanan anak. Timbulnya gizi
buruk tidak hanya karena makanan yang kurang,
tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat
makanan yang cukup baik tetapi sering diserang
diare atau demam, akhirnya dapat menderita
kurang gizi. Scrimshaw menyatakan hubungan yang
sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan
parasit) dengan malnutrisi. Kaitan penyakit infeksi
dengan keadaan gizi kurang-gizi buruk merupakan
hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab
akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk
keadaan gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat
mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang
umumnya terkait dengan masalah gizi antara lain
diare, tuberkolosis, campak dan batuk rejan
(whooping cough).
Secara statistik ada hubungan yang bermakna
antara imunisasi pada kedua populasi kasus dan
kontrol (p- =0,000) Dari 110 balita yang dimunisasi
tidak lengkap, 85 (65,38%)pada kelompok kasus
dan 25 (19,23%) pada kelompok kontrol. Nilai
OR=7.9(4.5-13.98) menunjukkan bahwa balita
dengan imunisasi tidak lengkap mempunyai
peluang 7,9 kali mengalami gizi buruk dibanding
Jurnal Respati, Kesehatan, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1 – 5
balita yang lengkap imunisasinya. Hal ini sesuai
dengan penelitian Basuki, 2003 yaitu ada hubungan
yang bermakna antara imunisasi dengan status gizi
baduta (6 bulan – 23 bulan ) pada keluarga tidak
miskin (p=0,021) dengan uji T.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Imunisasi, riwayat infeksi, dan kecukupan konsumsi
protein berhubungan erat dengan status gizi balita.
4.2. Saran
Perlu adanya peningkatan cakupan imunisasi, dan
melakukan
program
pemberian
makanan
tambahan bagi balita.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Sjahmien Moehji. Ilmu gizi 2 Penanggulangan
gizi buruk. Penerbit Papas Sinar Sinanti
Bathara,, Jakarta, 2003.
[2] Achmad Djaeni Soediaoetama. Ilmu gizi untuk
mahasiswa dan profesi jilid I. Dian Rakyat,
Jakarta, 2000.
[3] Sunita Almatsier. Prinsip-prinsip ilmu gizi.
Jakarta. Penerbit Gramedia Pustaka Utama,
2001.
[4] Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI.
Gizi dalam angka sampai dengan tahun
2002. Direktori Gizi Masyarakat, Jakarta,
2003.
[5] Kompas. Rakyat Indonesia menderita gizi buruk.
Jakarta.
Penerbit.
Http://www.kompas.com.2005, edisi 15
Desember 2005
[6] Dinkes Lebak. Pelaporan pemantauan status gizi
(PSG) balita Kabupaten Lebak. Lebak, 2005.
[7] Bhisma Murti. Prinsip dan metode riset
epidemiologi jilid pertama. Gadjahmada
University Press, Yogyakarta, 2003
[8] Margetts, Barie M and Nelson, Michael. Design
concepts in nutritional epidemiology. New
York. Oxford University Press, 1991.
[9] Bastaman Basuki. Aplikasi metode kasuskontrol. Jakarta. Bagian ilmu kedokteran
komunitas FKUI, 2000.
5
[10] Ali Khomsah. Pangan dan gizi untuk
kesehatan. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002.
[11] Hidayat Miko. Tesis. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan status gizi (KEP) anak
umur 6-60 bulan di kecamatan Bojongsari
Kabupaten Tasikmalaya tahun 2002.
Program Pascasarjana FKM UI, Depok,
2003.
Download