BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Judul laporan tugas akhir yang dipilih oleh peneliti akan dijabarkan sebagai berikut: 1. Adaptive Reuse Tindakan menerapkan fungsi baru bagi bangunan untuk menjaga keberlangsungan bangunan dan merupakan bagian dari pelestarian dan pemanfaatan kembali bangunan bersejarah. (Sophie F. Cantell) 2. Gedung Pola Gedung pameran pola pembangunan nasional semesta berencana yang di gagas pembangunannya oleh Soekarno. Berdasarkan terminologi di atas, judul tugas akhir ‘‘Adaptive Reuse Gedung Pola di Jakarta Pusat” memiliki pengertian tindakan menerapkan fungsi baru bagi bangunan Gedung pameran pola pembangunan nasional (Gedung Pola) sebagai bagian dari pelestarian dan pemanfaatan kembali bangunan bersejarah. 2.2 Tinjauan Umum 2.2.1 Tinjauan KonsepAdaptive Reuse Dalam kegiatan pemugaran atau pelestarian suatu bangunan, terdapat istilah- istilah yang dituliskan dalam buku yang berjudul “100 bangunan cagar budaya di Bandung” yaitu sebagai berikut : 1. Konservasi adalah sebuah proses yang bertujuan memperpanjang umur warisan budaya bersejarah, dengan cara memelihara dan melindungi keotentikan dan maknanya dari gangguan dan kerusakan, agar dapat dipergunakan pada saatsekarang maupun masa yang akan datang, baik dengan menghidupkan kembali fungsi lama atau dengan memperkenalkan fungsi baru yang dibutuhkan. 2. Restorasi adalah sebuah tindakan atau proses yang bertujuan untuk mengembalikan bentuk serta detil-detil sebuah properti dan settingnya secara akurat seperti tampak pada periode tertentu, dengan cara menghilangkan bagian- bagian tambahan yang dilakukan kemudian, ataupun dengan melengkapi kembali bagian-bagian yang hilang. 11 12 3. Renovasi adalah Modernisasi bangunan bersejarah yang masih dipertanyakan dengan terjadinya perbaikan yang tidak tepat yang menghilangkan wujud dan detil penting. 4. Rehabilitasi adalah Tindakan atau proses pengembalian sebuah obyek pada kondisi yang dapat dipergunakan kembali melalui perbaikan atau perubahan yang memungkinkan penggunaan sementara yang efisien, sementara wujudwujud yang bernilai sejarah, arsitektur dan budaya tetap dipertahankan. 5. Revitalisasi adalah sebuah proses untuk menigkatkan kegiatan sosial dan ekonomi bangunan/lingkungan bersejarah, yang sudah kehilangan vitalitas aslinya. 6. Adaptasi (Adaptive Reuse) adalah sebuah proses pengubahan sebuah bangunan untuk kegunaan yang berbeda dari tujuan kegunaan ketika bangunan tersebut didirikan. Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting. (UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya) Menurut UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, terdapat kriteria cagar budaya yang tercantum yaitu: Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria: a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Benda Cagar Budaya dapat: a. berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisabiota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia; b. bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan c. merupakan kesatuan atau kelompok. Bangunan Cagar Budaya dapat: 13 a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam. Struktur Cagar Budaya dapat: a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau b. sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi alam. Undang- undang ini juga menyatakan mengenai asas, tujuan dan lingkup Pelestarian cagar budaya pada bab II pasal 2 s/d pasal 4yaitu: Pelestarian Cagar Budaya bertujuan: a. melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia. b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya. c. memperkuat kepribadian bangsa. d. meningkatkan kesejahteraan rakyat. e. mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional Lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air. Lebih lanjut dalam pasal 80 – 84 UU No.11 Tentang Cagar Budaya merumuskan poin- poin mengenai Adapatasi yaitu: Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhikebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan: a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi. Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan: a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan CagarBudaya sebelum dilakukan adaptasi. Adaptasi sebagaimana dimaksud dilakukan dengan: a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya; b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan; c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau 14 d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya. Pada pasal 77 terdapat poin- poin mengenai pemugaran dan pengembangan Cagar Budaya seperti berikut: Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang rusak dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi. Pemugaran Cagar Budaya sebagaimana dimaksud harus memperhatikan: a. keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan; b. kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin; c. penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak; dan d. kompetensi pelaksana di bidang pemugaran. Pemugaran harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan Cagar Budaya. Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sosial dan lingkungan fisik harus didahului analisis mengenai dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berikut standarisasi internasional mengenai rehabilitasi bangunan bersejarah dalam dokumen Secretary of the Interior’s Standards for Rehabilitation 1. Bangunan harus difungsikan sesuai fungsi menurut sejarahnya atau ditempatkan dengan fungsi baru yang membutuhkan perubahan minimal bagi karakteristik yang mendefinisikan bangunan, tapak dan lingkungan. 2. Karakteristik bersejarah bangunan harus dipertahankan dan dilestarikan. Penghapusan dan perubahan material sejarah akan dihindari. 3. Setiap bangunan harus dikenali sebagai bukti fisik bagi waktu, tempat dan fungsinya. Perubahan yang membawa kepalsuan bagi sejarah seperti menambahkan elemen arsitektural yang merupakan karakter bangunan lain harus dihindari. 4. Setiap properti berubah seiring waktu, perubahan yang terjadi secara alami dalam bangunan dan memperkuat sejarah bangunan itu sendiri harus dipertahankan dan dilestarikan. 15 5. Keunikan fitur, finishing dan teknik struktural dan keunikan craftsmanship yang menjadi karakteristik dari bangunan akan dilestarikan. 6. Kerusakan- kerusakan fisik sebaiknya diperbaiki bukan dihilangkan atau diganti, Jika ada elemen yang akhirnya terganti haruslah tetap cocok dengan desain lamanya baik desain, warna, tekstur dan kualitas visual lainnya. Bagian yang terganti juga harus di dokumentasikan atau teteap memiliki bukti pictorial 7. Treatment chemical dan fisik seperti sandblasting harus dihindari. 8. Tambahan baru, perubahan eksterior atau yang berhubungan dengan elemen structural yang baru tidak boleh merusak material bersejarah yang menjadi karakteristik bangunan. Perubahan yang baru harus kompatibel dengan massa, skala dan fitur- fitur arsitektural untuk melindungi kesatuan bangunan bersejarah dengan lingkungannya. 9. Penambahan atau pengurangan yang berkaitan dengan konstruksi yang baru harus dilakukan berdasarkan prinsip bahwa di masa yang akan datang kesatuan bentuk yang esensial dan integritas bangunan dengan lingkungannya tidak menjadi rusak. 2.2.2 Pendekatan Arsitektural Pendekatan konsep adaptive reuseyang diterapkan pada perancangan ini adalah pergerakan modern yang melakukan beberapa perubahan desain bukan hanya sekedar perbaikan atau rehabilitasi bangunan. Intervensi desain diperlukan untuk meremajakan sebuah bangunan agar sesuai dengan konteks masa sekarang dan keberlanjutannya di masa yang akan datang. (Seja Pandey, 2014). Pendekatan arsitektural dengan metode ini memberikan fungsi baru tanpa menghapus fungsi lamanya (Adaptive Reuse), memberikan desain baru tanpa menghancurkan keseluruhan struktur dan elemen eksisting bangunan. Dalam literatur karya Françoise Astorg Bollack, 2013 terdapat 5 bentuk pendekatan Adaptive Reuse dalam revitalisasi bangunan bersejarah yaitu, Insertions, Parasites, Juxtapositions, Wrap dan Weavings. Insertions Gambar 9. Ilustrasi Insertion Sumber: Monacelli Pres 16 Intervensi desain dimana struktur yang baru akan di insert artinya di masukan kedalam struktur yang lama. Ini adalah taktik yang tegas dan berani dimana struktur interior berubah sepenuhnya dan digantikan dengan elemen desain yang baru yang dapat berupa beberapa bagian atau keseluruhan interior. Parasites Gambar 10. Ilustrasi Parasites Sumber: Monacelli Press Seperti organism parasit yang menempel pada induknya, memiliki arti gaya arsitektur yang bersifat eksploitif menempel terhadap bangunan lama sebagai suport struktural, terdapat intersection antar struktur lama dan baru. Pendekatan ini akan menambah ekstra ruang Gambar 11. Contoh Prasites pada Bangunan Sumber: Reviving Existing Building, Seja Pandey Gambar 10.Adalah dua bangunan yang menerapkan parasites bagi revitalisasi bangunan lama.Sebelah kiti adalah sebuah warehouse di Sheffeld di Inggris. Pada sebelah kanan adalah detail eksterior the Royal Ontario Museum karya studio Daniel Libeskind, 2007 Juxtapositions Gambar 12. Ilustrasi Juxtaposition Sumber: Monacelli Press Adalah intervensi dengan menambahkan struktur atau massa bangunan baru dan meletakkannya berdampingan atau berseberangan dengan struktur lamanya. 17 Bangunan lama berfungsi utuhtanpa ada perubahan struktur.Masa bangunan yang baru memiliki kontribusi fungsi dari jarak tertentu. Intervensi ini akan menciptakan kontras baik warna, material dan tekstur namun saling melengkapi dan menambah nilai satu sama lain. Gambar 13. Contoh Juxtaposition pada bangunan Sumber: Old Buildings, New Design Sebelah kiri adalah museum Lovre di Perancis massa bangunan baru didesain kontras dengan bangunan lamanya dan berfungsi sebagai entrance dari bangunan lamanya. Sebelah kanan adalah The Morgan Library karya Renzo Piano, New York 2006. Wraps Gambar 14. Ilustrasi Wraps Sumber: Monacelli Press Desain yang baru membungkus (wraps) struktur desain lama dengan tujuan dasar memproteksi eksterior bangunan lama dan menghasilkan tampilan bentuk yang sama sekali berbeda. Gambar 15. Contoh bangunan Wraps Sumber: Reviving Existing Building, Seja Pandey Santa Caterina Market oleh EMBT Architects, Barcelona, Spanyol adalah salah satu bangunan yang menerapkan intervensi desain wraps pada tindakan revitalisasinya 18 Weavings Gambar 16. Ilustrasi Weavings Sumber: Monacelli Press Pada intervensi desain weavings, struktur yang baru akan terjalin (weaved) luar dalam dengan struktur yag baru. Desain yang baru akan tampak tidak terlalu mencolok. Pendekatan dilakukan dengan menggantikan beberapa elemen tertentu dari struktur eksisting. Membiarkan beberapa bagian utuh sambil menambah elemen baru ke bagian lain. Keduanya akan terjalin membentuk desain yang menyatu. Gambar 17. Contoh bangunan Weavings Sumber: Reviving Existing Building, Seja Pandey Gambar 17. adalah foto dari Museum Neues di Berlin, Jerman karya David Chipperfield Architects yang berkolaborasi dengan Julian Harrap. Material yang digunakan adalah bata, plaster, batu dan terrazzo yang membuat pengunjung dapat melihat runtutan periode waktu yang berbeda dalam satu waktu yang sama. (F. Bollack, 2013) Intervensi desain ini juga harus dapat menjawab kebutuhan bangunan akan adaptasi fungsi barunya, juga harus tetap kontekstual dan memiliki kesatuan dengan lingkungan sekitarnya (Secretary of the Interior’s Standards for Rehabilitation) Dari pemaparan teori pendekatan arsitektural adaptive reuse diatas, peneliti memilih adaptasi weavings karena merupakan penerapan desain yang tidak akan banyak mengubah struktur dan eksterior bangunan lama dan memiliki lingkup fokus interior. 2.2.3 Experiental Interior Design Experiental Interior Design (EID) adalah praktik menerapkan nilai-nilai experiental terhadap desain pengalaman ruang dalam. EID merupakan pendekatan desain interior arsitektur baru yang berbasis kepada psikologi modern yang berfokus terhadap 19 kebutuhan experiental manusia. Elemen-elemen EID terdiri dari atas pengalaman sensori, pengalaman emosi, pengalaman intelektual, pengalaman pragmatik dan pengalaman sosial. (Schmitt, B., & Rogers, D., 2009). Menerapkan nilai-nilai tersebut dalam desain interior dapat melibatkan dan menstimulasi alam pikir seseorang. (Wikipedia.org). Pengaturan bentuk-bentuk fisik dapat menciptakan persepsi terhadap lingkungannya, respon seseorang akan terbentuk menjadi 3 sentral perasaan manusia yaitu, pleasure, arousal dan dominance. Pleasure merujuk terhadap kesenangan, arousal merujuk kepada tingkat semangat dan ketertarikan, dominance merujuk kepada naluri control. Emosi-emosi ini akan menghasilkan perilaku positif terhadap suatu tempat yaitu keinginan untuk tinggal, menjelajahi ataupun berinteraksi. (Mehrabian, A., & Russell, J. A., 1980) Gambar 18. Contoh Experiental Interior Sumber: Enhancing museum brands withexperiential design, Nadine Ober-Heili, 2014 Gambar 19. Contoh Non-Experiental Interior Sumber: Enhancing museum brands withexperiential design, Nadine Ober-Heili, 2014 2.3 Tinjauan Khusus 2.3.1 Sejarah Gedung Pola Gedung Pola adalah gedung rancangan arsitek Friedrich Silaban berdasarkan gagasan pembangunan Presiden Pertama RI, Soekarno. Gedung Pola yang dibangun di akhir tahun 1961 bisa dilihat sebagai gedung masa depan dimana segala impian pembangunan Jakarta di pamerkan dalam bentuk maket dan gambar berskala besar. Gedung ini dibangun di atas lahan historis tempat dimana kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.(Abidin Kusno, 2013) 20 Gambar 20. Upacara dan Pembacaan Proklamasi Pertama Indonesia Sumber: http://wikipedia.orgdiakses 2 Oktober 2015 Pada akhir 1950-an, rumah Bung Karno di jalan Pengangsaan Timur dirobohkan dan beberapa meter di belakang tempat ini didirikan Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta sebagai tanda dimulainya Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama.Pembangunan Gedung Pola adalah tanda dimulainya pembangunan semesta berencana 8 tahun pasca kemerdekaan. Gedung ini menjadi wadah bagi masyarakat publik untuk dapat mengetahui pembangunan yang sedang berlangsung serta berpastisipasi aktif untuk memberi masukan- masukan.Di dalam Gedung ini diadakan pertemuan-pertemuan terkait proyek-proyek pembangunan tersebut.Pameran gambar dan maket berskala besar. Gambar 21.Foto Pameran Proyek Sumber: Yayasan Bung Karno Soekarno percaya bahwa arsitektur bisa menjadi salah satu alat untuk membangun bangsa.Gagasan ini dikenal sebagai gagasan Nation and Character Building.Beliau menginginkan agar Indonesia dapat menjadi negara exemplary center dan bukan menjadi negara hasil jajahan Belanda.Terutama Jakarta sebagai Ibu Kota dan wajah bagi pembangunan nasional. Gedung Pola terdiri dari 6 lantai dan 1 semi-basement. Dikatakan semi-basement karena berada diatas kemiringan kontur. 21 Gambar 22. Denah Lantai 1 Gedung Pola Sumber: Yayasan Bung Karno Gambar 23.Tampak Gedung Pola Sumber: Yayasan Bung Karno Luas Bangunan. Tabel 1 Perhitungan Luas Total Gedung Pola Lantai Perhitungan Total Lantai 1 60 m x 35 m 2100 m² Lantai 2 2100 m² - (14 x 52) 2100 m² - 728 m² 1372 m² Lantai 3 2100 m² - (2 x 192) 2100 m² - 384 m² 1716 m² - 162 m² 1554 m² Lantai 4 2100 m² - (2 x 256) 2100 m² - 512 m² 1588 m² - 162 m² 1426 m² Lantai 5 Tipikal lantai 3 1554 m² Lantai 6 Tipikal lantai 4 1426 m² Total Luas 9432 m² Lantai Basement memiliki luas 1680 m² dahulu difungsikan sebagai parkir. 2.3.2 Arsitektur Modern Indonesia Pembangunan Gedung Pola erat kaitannya dengan arsitektur modern yang berkembang di Indonesia pasca kemerdekaan. 22 Gedung Pola didirikan berdasarkan gagasan Soekarno dalam kesatuan perencanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana 8 tahun (1961-1969) Gedung ini dibuka pada tahun 1963. Arsitektur Modern secara sederhana dapat dikatakan sebagai perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa pasca kolonial walaupun tidak ada sebuah batasan kaku terhadap periode waktu lahirnya, Namun perkembangan dan pengaruhnya dapat kita tarik dari masa setelah kemerdekaan yaitu sekitar (1950 – 2000awal) CIAM (Congres Internationaux d’Architecture Moderne, 1928) Adalah kongres international yang merupakan prinsip dasar pemikiran arsitektur modern dunia. Ditanda-tangani oleh perwakilan negara dari Prancis, Switzerland, Jerman, Belanda, Itali, Spanyol, Austria dan Belgia (Modern Architecture, Kenneth Framton, 2007) Arsitektur Indonesia pada saat itu sedikit banyak mendapat pengaruh dari prinsip pemikiran modern dunia. Arsitek Belanda di Hindia Belanda Lahirnya arsitektur modern di Indonesia juga erat kaitannya dengan beberapa arsitek belanda yang mempunyai pengaruh kuat dalam perkembangan arsitektur Indonesia pra-modern seperti Wolff Schoemaker, A.F Albers, Henri Maclaine Pont dan Thomas Karsten. Keempat tokoh arsitek ini terbagi majadi 2 kubu, Schoemaker dan Albers memiliki prinsip arsitektur barat yang diterapkan tanpa menimbang aspek iklim, lingkungan dan lokalitas dimana arsitektur itu berada.Sementara Pont dan Karsten menggunakan tinjauan- tinjauan arsitektur lokal dalm desain bangunannya yang menyatukan kedua metode pendekata barat dan nusantara (Tegang Bentang, seratus tahun perspektif arsitektural di Indonesia, 2013) Soekarno dan Arsitektur Modern di Indonesia Soekarno merupakan insinyur-arsitek yang menjadi penyumbang gagasan pembangunan dan arsitektur di Indonesia, sebagai pejuang kemerdekaan dan pemimpin bangsa, Ia dalam gagasan Nation and Character Building-nya memiliki mimpi untuk membangun bangsa Indonesia dengan wajah baru yang memiliki karakter nasional dan meninggalkan sama sekali identitas kota jejak penjajahan kolonial. Beliau dapat dikatakan sebagai seorang arsitek modernis, Soekarno banyak mendapat pengaruh dari prinsip arsitektur modern dunia dan percaya dengan penerapannya yang memperhatikan aspek lingkungan, iklim dan lokalitas di Indonesia. 23 Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana (1961-1969) Merupakan proyek- proyek besar yang direncanakan khususnya bagi Ibu Kota Jakarta meliputi perencanaan pembangunan banyak proyek yang sebagian terlaksana dan sebagian lagi tidak akibat terbentur masalah biaya Beberapanya antara lain: Monumen Nasional, penataan taman merdeka/ lapangan merdeka, Tugu Nasional, Wisma Seni Nasional, Perpustakaan Nasional, Teater Nasional, Museum Nasional, Museum Perjuangan, Konservatori Nasional, Perumahan Cempaka Putih, Kota Satelit Pulo Mas, Taman Bhinneka Tunggal Ika dan masih banyak lagi. (Bambang Eryudhawan) Konsep Arsitektural Soekarno dan F.Silaban Friedrich Silaban, arsitek, kepala bagian Pekerjaan Umum (PU) di Kotamadya Bogor dari tahun 1847 sampai tahun 1965, salah satu pendiri Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Dia dididik secara formal di ilmu Bangunan (bouwkunde) di tingkat sekolah tinggi kejuruan, tapi memperoleh pengetahuan arsitektur dari berbagai sumber, termasuk pertemuan langsung dengan Frank Llyod Wright dan Louis I. Khan dan mengunjungi Chandigarh dan beberapa tempat lainnya. (Josef Prijotomo, 2008) Friedrich Silaban memiliki hubungan dekat dengan Soekarno, dia adalah salah satu arsitek Indonesia yang paling banyak terlibat dalam perancangan bangunan monumen ataupun bangunan nasional. Dalam perancangan bangunan yang menunjukan Indonesia sebagai suatu bangsa, beliau banyak melandasi prinsip arsitekturalnya berdasarkan moto kemakmuran contohnya Bank Indonesia yang dibangun 1953 dan Bhineka Tunggal Ika yang terlihat dari Tugu Monas (Monumen Nasional) yang dibangun 1971- 1975 Gambar 24. Bank Indonesia dan Tugu Monas Sumber: http://wikipedia.org Gaya arsitekturnya banyak dipengaruhi oleh gaya modernis yang fungsionalis, memiliki ekspresi struktur, sesuai dengan iklim tropis Indonesia dan monumentalis 24 yang berarti megah dan besar dengan menonjolkan bentuk- bentuk geometris yang tegas. Dari segi fungsional dalam sistem arsitektur, bangunan umum karya Silaban lebih mengungkapkan fungsional konstruktivisme, fungsional geometris dan fungsional berdaya guna. Hampir seluruh bangunan umum karya Silaban menggunakan struktur dan bahan yang jelas dan jujur, yang menunjukan kekokohan bahan dan kekuatan unsur-unsur konstruksinya. Karakter monumentalis dan kekokohan konstruksi dapat jelas terlihat menjadi ciri Masjid Istiglal karya Silaban yang merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara. Ia memiliki pandangan tentang keawetan bangunan dengan penggunaan bahan kualitas tinggi untuk menghemat biaya perawatan. Memakai pendekatan aspek ekonomi untuk mencapai hasil yang tepat guna, rasionalisasi dalam pemecahan masalah dan menitikberatkan pada optimasi aktifitas. (Arsitek dan Karyanya F. Silaban dalam konsep dan karya, 1992) Sedikit banyak F. Silaban banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur modern yang dibawa oleh Le Corbusier dan Frank Llyod Wright, dan tentunya oleh Soekarno sebagai pemberi amanat perancangan pembangunan nasional sekaligus kawan berdebat dan berdiskusinya. Tinjauan Sejarah Perjalanan Hidup Soekarno Sejarah perjalanan hidup Sukarno disusun berdasarkan beberapa sumber yaitu literature otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 80 Tahun Bung Karno, Tegang Bentang 100 Tahun Perspektif Arsitektural Indonesia dan berdasarkan wawancara narasumber dari Yayasan Bung Karno. Juga data pendukung dari online research. Hasil pengumpulan data dan informasi mengenai sejarah ini disusun peneliti dalam diagram skematik agar mudah dibaca dan lebih menarik berdasarkan urutan linimasa yang menjadi lampiran. 2.4 Jenis-Jenis Museum Menurut penyelenggaraannya, museum dapat dibagi menjadi : 1. Museum Pemerintah, yaitu museum yang diselenggarakan dan dikelola oleh pemerintah baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah. 2. Museum Swasta, yaitu museum yang didirikan dan diselenggarakan oleh perseorangan. 25 Berdasarkan tingkat koleksinya, meseum dibagi menjadi : 1. Museum Nasional, yaitu museum yang memiliki benda koleksi dalam taraf nasional atau dari berbagai daerah di Indonesia. 2. Museum Regional, yaitu museum yang benda koleksinya terbatas dalam lingkup daerah regional. 3. Musuem Lokal, yaitu museum yang benda koleksinya hanya terbatas pada hasil budaya daerah tersebut. Tipe museum menurut Josep Montaner (1990) ditinjau secara bersama- sama dari segi program, ukuran, bentuk, dan kompleksitasnya adalah sebagai berikut : 1. Kompleks Kebudayaan Kompleks kebudayaan merupakan suatu tempat yang di dalamnya terdapat museum dan ruang-ruang yang digunakan untuk kegiatan pameran. Di dalam kompleks kebudayaan ini kegiatan museum merupakan bagian dari seluruh kegiatan yang ada. Selain itu, ada ruang-ruang pendukung seperti perpustakaan, auditorium, teater, pusat administrasi, lembaga kebudayaan, pusat kegiatan komersial seperti restoran, pertokoan, dan sebagainya. 2. Galeri Seni Nasional Jenis galeri ini termasuk dalam kelompok tipe museum yang ada di dalamnya mewadahi koleksi-koleksi berbagai macam seni. Jenis seni yang diwadahi berkaitan erat dengan kebudayaan wilayah setempat yang memiliki nilai historis. 3. Museum Seni Kontemporer Museum difungsikan sebagai kontemporer.Benda-benda seni wadah yang koleksi dipamerkan benda-benda seni merupakan hasil perkembangan seni yang telah mulai meninggalakan kesan tradisionalnya. 4. Museum IPTEK dan Industri Karakteristik museum ini terdapat pada koleksinya yang berupa benda yang berhubungan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasilhasil kemajuan industri. Museum ini juga berfungsi sebagai pusat pendidikan atau pusat penelitian. 5. Museum yang Bertemakan Sejarah dan Kebudayaan Suatu Kota Pada jenis museum ini karakteristik ruang-ruang pameran berhubungan erat dengan koleksi yang bernilai sejarah. 6. Galeri dan Pusat Seni Kontemporer 26 Pada prinsipnya Galeri dan Pusat Seni Kontemporer ini memiliki tipologi bangunan yang sama dengan Museum Seni Kontemporer. Perbedaan karakteristiknya dilihat dari masing-masing kegiatan. 7. Galeri ini bersifat privat dari segi kepemilikan, sedangkan untuk Pusat Seni Kontemporer lebih bersifat umum. Sifat pamerannya lebih kearah nonpameran dan ada suatu kegiatan promosi dari sang seniman dalam menggelar karya-karya seninya. Dalam hal ini campur tangan seniman banyak berpengaruh pula terhadap penataan ruang pamerannya. Unsur-Unsur Museum Menurut Asiarto (2008:18-20) museum memiliki unsur-unsur seperti bangunan/lokasi dan koleksi. Bangunan museum setidaknya meliputi area publik dan non-publik yang berisi koleksi dan non-koleksi. 1. Bangunan / Lokasi Museum harus memiliki bangunan yang terdiri dari ruang-ruang pokok dan ruang penunjang. Bangunan pokok meliputi beberapa ruang sebagai berikut: Tabel 8. Fasilitas Museum Penunjang Ruang penjualan tiket dan penitipan barang No. Pokok a Ruang pameran tetap b Ruang pameran temporer Ruang cendermata dan kafetaria c Ruang auditorium Ruang lobi d Ruang perpustakaan Ruang toilet e Ruang laboratorium Ruang parkir dan taman f Ruang penyimpanan koleksi (storage) Ruang pos jaga g Ruang edukasi h Ruang transit koleksi i Bengkel kerja preparasi Sumber: Pedoman Museum Indonesia, 2008 Bangunan yang terdiri dari bangunan pokok dan bangunan penunjang tersebut perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah lokasi yang strategis, kenyamanan dan ketenangan, keamanan dan koleksi. 27 Koleksi museum adalah benda-benda bukti material manusia dan lingkungannya yang berkaitan dengan satu atau berbagai cabang ilmu pengetahuan. Untuk menjadi koleksi, sebuah benda memerlukan syarat-syarat sebagai berikut: a. Mempunyai nilai penting bagi perkembangan kebudayaan b. manusia dan lingkungannya. c. Dapat diidentifikasi dari aspek ruang, waktu, bentuk, danfungsinya. d. Dapat dijadikan dokumen, dalam arti sebagai buktikenyataan dan kehadirannya bagi penelitian ilmiah. e. Dapat dijadikan suatu monumen atau calon monumen dalam sejarah alam dan budaya. Tata Pameran Museum Terdapat elemen-elemen desain interior bagi tata pameran dalam sebuah museum menurut Saul Carliner dalam bukunya Modeling Information for Threedimensional Space: Lessons Learned from Museum Exhibit Design. Beberapa poin tersebut yaitu: 1. Motivate Visitor Tata pameran yang baik harus mampu memotivasi pengunjung, kepada siapa informasi ditujukan, apakah pengunjung umum atau pengunjung khusus. 2. Focus Content Informasi yang disampaikan haruslah singkat dan padat sehingga pengunjung tidak dijejali informasi yang mengakibatkan ‘malas’ untuk menerima informasi tersebut 3. Immesion Informasi yang disajikan harus mampu untuk membuat pengunjung merasa terlibat dalam sebuah “cerita” dan membangkitkan rasa ingin tahu lebih lanjut. Gambar 25. German Hat Museum, Atelier Brueckner. Sumber http://http://www.atelier-brueckner.de/diakses 30 november 2015 28 Ruangan tidak menutup di tiga sisi untuk layar yang menyajikan video yang bercerita difasilitasi bangku bagi pengunjung untuk duduk dan terlibat dalam cerita lebih lanjut. 4. Modularity Penyusunan tema-tema kecil haruslah bersifat menyeluruh dan mudah dipahami. Penyajian satu tema besar yang rumit tidaklah dianjurkan. 5. Skimmability Skimmablity adalah kemampuan sebuah informasi untuk dapat dicerna dalam waktu yang singkat. Sistem tata pameran dalam museum harus dibuat sedemikian rupa sehingga pengunjung dapat memahami informasi dengan mudah walaupun pengujung hanya membaca/melihat sepintas. 6. Patterns Pola sirkulasi pengunjung merupakan hal yang harus diperhatikan demi kemudahan mereka dalam memahami informasi yang disampaikan. 7. Capture Curiosity Bangkitkan rasa ingin tahu pengunjung dengan menggunakan teknik “storytelling” dan membuat mereka bertahan menikmati sebuah informasi. Seperti pemutaran video atau cuplikan audio visual pada layar dinding. Gambar 26. Danish Maritime Museum Sumber http://archdily.com/diakses 30 november 2015 8. Interaction Adanya koleksi yang dapat disentuh oleh pengunjung merupakan salah satu cara untuk membangun interaksi. Layar dengan informasi yang dapat disentuh dan layar deteksi gerak yang dapat menghasilkan trik foto yang dapat dicetak sebagai suvenir pengunjung. 29 Gambar 27. Cleveland Museum of Art Sumber http://fastcodesign.com/ diakses 30 november 2015 9. Integrate Technology Teknologi sederhana yang dapat mengundang rasa ingin tahu pengunjung kadangkadang lebih bermanfaat dibandingkan teknologi rumit yang akan membuat pengunjung “bermain” dengan perangkat teknologi yang ada (bukan mempelajari kandungan informasi yang ada dalam perangkat teknologi tersebut). Akan dilakukan digitalisasi foto-foto peristiwa bersejarah selain menjaga arsip aslinya juga memiliki banyak kemungkinan penyajian. Juga terdapat integrasi antara display fisik dengan tulisan atau keterangan digital Gambar 28. Integrasi Display Digital dan Non-Digital Sumber http://harryvetterteam.de/ dan http://fastcodesign.com/ diakses 30 november 2015 10. Layer Content Sajikan informasi secara berjenjang (layer) agar pengunjung mudah memahami apa yang ingin disampaikan. Panel dibawah koleksi maket. Panel kaca informasi yang diberi direct lighting dari dalam kotak panel. Disajikan dengan tahap dan jenjang yang informatif 30