Oleh: Tim MK. Antropologi Sosial Keterkaitan Antropologi dalam Pengembangan Masyarakat Antropologi dan pengembangan masyarakat memiliki keterkaitan yang sangat erat, karena boleh dikatakan bahwa diantara banyak ilmu sosial hanya i antropologi yang mengembangkan teorinya dari titik pandang masyarakat. Antropologi merupakan satu-satunya ilmu yang mempelajari tentang manusia (dalam arti ragawi), kehidupan sosial dan kebudayaannya dan seluruh apa yang ada di alam semesta ini. Pengamatan berpartisipasi yang digunakan dalam hampir seluruh kajiannya semakin mendekatkan ilmu atropologi pada segenap aspek kehiduapan sosial masyarakat dimana dia melakukan kerja lapangan. Lanjutan Kedekatan para antropolog dengan masyarakat dan kecenderungan pendekatan holistik pada hampir seluruh studinya secara teoritis memungkinkan ahli antropologi dapat memahami sebahagian besar (jika bukan semua aspek) kehidupan masyarakat yang ditelitinya, dan karena itu pula semestinya dapat memainkan perannya dalam usaha pembangunan. Pembangunan: Pengembangan Masyarakat dan Antropologi Istilah pembangunan sering berkonotasi positif, karena di dalam konsep pembangunan telah mencakup intervensi teknologi manusia terhadap keseimbangan alam: pembangunan bendungan-bendungan, pembangunan jalan raya, sekolah, rumah sakit, pengeboran minyak, penggalian batubara, pembukaan tambang-tambang, dan pembangunan pabrik-pabrik, pembangunan suatu kawasan untuk penempatan transmigrasi, penataan sumberdaya alam untuk kepentingan wisata dan lain-lain sebagainya, dan juga tercakup usaha-usaha untuk memperbaiki kualitas sumberdaya manusia dan sosial budaya. Lanjutan Pembangunan juga dapat dilihat sebagai proses dimana anggota suatu masyarakat meningkatkan kemampuan perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya guna dapat menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka sendiri (Uphoff, 1985). Lanjutan Pembangunan sebagai sebuah program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, dari satu segi dapat dilihat sebagai sebuah program yang isinya secara terencana bertujuan untuk merubah caracara hidup dari warga masyarakat. Dalam perspektif ini, sebuah program pembangunan adalah sebuah program terencana untuk merubah acuan yang secara tradisional menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat tersebut menjadi sesuatu acuan yang baru yang sesuai dengan isi dari program pembangunan itu sendiri. Dalam pengertian inilah program pembangunan dapat dilihat sebagai sebuah program yang merubah secara terencana kebudayaan dari masyarakat yang dibangun tersebut (Parsudi, 1997). Lanjutan Semua pembangunan ditujukan kepada masyarakat. Pembangunan tidak saja bermaksud membina hubungan dan kehidupan setiap orang untuk bermasyarakat, melainkan juga untuk membangun masyarakat karena setiap satuan masyarakat mempunyai kekuatan sendiri yang disebut community power, misalnya kerukunan, kekerabatan, solidaritas dan kebersamaan. Suatu masyarakat bisa kehilangan kekuatannya jika masyarakat itu mengalami community disorganization. Pengembangan Masyarakat Untuk mengatasi hal itulah community development atau pengembangan masyarakat dilancarkan. Community development menjadi lebih penting lagi jika diingat bahwa masyarakat atau community perlu dipersiapkan untuk memasuki bentuk masyarakat yang disebut society, sehingga kedua bentuk ideal tersebut merupakan suatu continuum; community society continua (Ndraha, 1990). • Menurut Parsudi Suparlan, dalam proses community society continua senantiasa terjadi interaksi antara tiga jenis kebudayaan, yaitu kebudayaan etnis, kebudayaan publik dan kebudayaan nasional. Karena itu dalam perencanaan perubahan kebudayaan haruslah mengacu pada kondisi objektif kebudayaan masing-masing pihak. Artinya bahwa perencanaan peperubahan kebudayaan komuniti haruslah bersamaan dengan perencanaan perubahan kebudayaan masyarakat luas agar kondusif bagi perkembangan komuniti yang bersangkutan. • Penting memperhatikan aspirasi masyarakat dalam pembangunan, karena suatu komunitas hanya akan menerima program-program pembangunan jika program tersebut memenuhi kondisi-kondisi berikut: melayani kebutuhan komunitas, konsisten dengan nilainilai lokal yang ada pada komunitas tersebut, dan penggunaan teknologi tidak melampaui kemampuan komunitas tersebut dalam menggunakannya (Soemardjan, 1993). • Artinya bahwa dalam usaha pengembangan masyarakat harus memperhatikan taraf perkembangan kebudayaan masyarakat peserta program pembangunan tersebut. • Banyak pihak tidak menyadari bahwa ketika merancang dan melaksanakan program pengembangan masyarakat pada hakekatnya adalah usaha merubah kebudayaan. Kebudayaankebudayaan masyarakat tersebut operasional dalam institusi-institusi sosial yang mengatur pemenuhan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan • Terdapat dua dimensi utama pengembangan masyarakat, yaitu dimensi taks dan dimensi process (Ife, 2002). Konsepsi dimensi “task” terfokus pada tujuan-tujuan yang langsung dirasakan oleh masyarakat, seperti pembangunan sekolah, pembangunan rumah sakit dan pembangunanan saluran air bersih, atau disebut juga sebagai pendekatan pelayanan kebutuhan dasar (Ife, 2002). • Dimensi/Orientasi “task” adalah: (1) sekelompok masyarakat (2) dalam suatu komuniti (3) mengambil keputusan (4) untuk menginisiasi proses tindakan sosial (intervensi terncana) (5) guna dapat merubah situasi ekonomi, sosial, budaya atau lingkungan mereka. • Dalam konteks kebudayaan, dimensi, “task” merujuk pada pemenuhan kebutuhan materil, atau sarana benda-benda dimana di dalamnya mengandung unsur-unsur kebudayaan imateril, yakni nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhannya di bidang masingmasing Lanjutan Dimensi process, menekankan pada suatu pem bebasan dan keberlanjutan untuk memperkuat polapola horisontal komuniti (Lyon, 1987). Dimensi ini merupakan jawaban dari kelemahan dimensi task yang seringkali melihat kebutuhankebutuhan masyarakat dari titik pandang orang luar (peneliti) atau desebut juga sebagai cara pandang “etik”. Dimensi process merujuk pada kelakuan berpola yang mencerminkan upaya penyelarasan dalam hubungan antar warga ketika fungsi task dijalankan. DEFINISI Community development didefinisikan sebagai sebuah proses tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri mereka dalam perencanaan dan tindakan; menentukan kebutuhan dan masalah individu/bersama; membuat rencana individu/kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan; melaksanakan rencana dengan menyesuaikan diri secara maksimum dengan sumberdaya yang ada dalam komunitas; dan jika diperlukan menambah sumberdaya ini dengan jasa dan materi dari badan-badan pemerintah dan non pemerintah yang berasal dari luar komunitas. DEFINISI Definisi lain yaitu aliran prosesual, mengatakan bahwa community development adalah suatu proses sosial dimana manusia dapat menjadi lebih kompeten untuk hidup dengan, dan mempunyai sebuah kontrol, atas sumberdaya lokal. Tujuan akhir dari community development adalah peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengatasi lingkunganya. DEFINISI Apapun definisinya, kebutuhan dan masalah komunitas tersebut ditentukan oleh anggota komunitas itu sendiri. Namun dalam kenyataannya, yang sering terjadi adalah bahwa komunitas tersebut tidak mampu mengungkap kan masalah dan kebutuhan mereka secara eksplisit dan operasional. Karena itu, tugas sang peneliti adalah mengorek dan memformulasikan kebutuhan dan masalah secara benar dan dapat dioprasionalkan. Itu semua dilakukan bersama anggota komunitas. Program ‘community development’ tergantung kepada diketemukannya ‘felt needs’ dari komunitas tersebut. FELT NEEDS Namun demikian ini bukanlah hal yang sederhana. Karena, ‘felt needs’ dari komunitas secara keseluruhan belum tentu sama dengan ‘felt needs’ dari anggota-anggota komunitas secara individu, apalagi dengan pemimpin komunitas. Selanjutnya ‘felt needs’ dari komunitas belum tentu sama dengan ‘kepentingan utama’ komunitas. Gagal dalam menemukan ‘felt needs’ dari komunitas bisa berakibat kegagalan program community development. FELT NEEDS Sekurangnya ada 4 perspektif dalam melihat ‘felt needs’, yaitu : Penilaian agen pembangunan tentang community needs dari sudut pandang tujuan sang pengembang itu sendiri. Penilaian agen pembangunan tentang community needs yang diperoleh dari pemahaman tentang tujuan komunitas itu. Penilaian komunitas yang diperoleh dari pengertian mereka tentang tujuan agen pembangunan Konsepsi komunitas tentang needs Peran Aktual Antropolog dalam Pengembangan Masyarakat Hasil-hasil penelitian antroplogi sejak awal kelahirannya telah menunjukkan keberpihakkan pada masyarakat dimana antropologi melakukan kerja lapangan. Sejarah menunjuk kan bahwa isolasi wilayah dibuka melalui studi-studi antropologi. Hasil-hasil studi para antroplog, langsung atau tidak langsung telah digunakan oleh berbagai pihak sebagai acuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pembangunan di berbagai belahan dunia. Lanjutan Meskipun keterlibatan mereka dalam kegiatan praktis di lapangan masih jarang atau kadang-kadang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh para antropolog khususnya dalam usaha merencanakan perubahan. Seringkali diantara mereka menggunakan titik pandangnya sendiri bukan dari pandangan “emik” masyarakat setempat dalam kebijakan-kebijakan pembangunan yang mereka buat. Lanjutan Pengembangan masyarakat dalam antropologi dilakukan antara lain melalui usaha penemuan-penemuan nilai inti yang ada dalam suatu komuniti. Nilai-nilai inti tersebut dianggap sebagai penggerak perubahan yang memiliki daya ungkit yang besar. Dalam pengelolaan nilai inti tersebut terjadi perkembangan dalam penerapan metode antroplogi. Lanjutan Contoh peran antropolog dalam program pengembangan komunitas Indian Papago di The Gila Bend, San Xavier dan Papago Reservations di Arizona Selatan, 1967 ( sumber: Johan van Willigen, Applied Anthropology, 1986 ). Strategi, program ini bergerak atas dasar felt needs consept. Adalah penting untuk melibatkan masyarakat dalam proses penyadaran diri tentang kebutuhan mereka dan dalam usaha untuk mencapai tujuan seperti yang disebutkan dalam kebutuhan-kebutuhan tersebut. Semua ini dilakukan dengan ketergantungan yang seminimal mungkin pada sumber daya dari luar. Karena itu salah satu tanggung jawab dari penyelenggara program adalah ‘membangkitkan diskusi di desa-desa dan memusatkan diri pada masalah riil yang dirasakan masyarakat, menentukan dan menyusun prioritas kebutuhan, mengembangkan rasa percaya diri dan kemauan masyarakat untuk bekerja mandiri dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan tersebut sebelum meminta bantuan dari luar’. Lanjutan Organisasi sosial. Pengembangan harus dilakukan dalam konteks struktur sosial dan organisasi sosial yang sudah ada dalam komunitas tersebut. Apabila organisasi yang dibutuhkan untuk menolong pencapaian tujuan tersebut belum ada dalam masyarakat, maka organisasi itu perlu dibentuk. Konsep ‘cooperative self-help’ dan ‘learning by doing’. Kedua konsep tersebut sangat prinsip bagi keberhasilan program kerja. Berdasarkan konsep tersebut dikembangkan pengetahuan tentang sumber daya lokal yang sudah sedia ada guna meningkatkan kemampuan untuk problem solving secara alami. . Lanjutan Agen pembangunan harus punya komitmen tinggi bahwa program ini tidak diimpose kepada masyarakat (not to impose the program on the people). Anggota komunitas harus memutuskan untuk ikut berperan serta secara budaya, mengikuti (way of life) komunitas tersebut. Pembangunan komunitas berjalan dengan sukses tanpa mengganggu adat, kepercayaan, dan aspek kebudayaan yang lain Lanjutan Contoh lain peran antropologi misalanya di bidang kesehatan tampak pada program Health Education Strategies in Swaziland, The Rural Water-Borne Diseases Control Project dengan dana dari US-AID, di Swaziland ( sumber: Edward Green dalam Robert M Wulf & Shirley J Fiske, Anthropological Praxis; Translating Knowledge into Action, 1987 ). Gambaran program tersebut adalah sebagai berikut: Contoh Kerja Antropolog Pengembang Msy • Tujuan utama proyek adalah melakukan survai KAP (knowledge, attitudes, and practices) untuk memperoleh baseline data dalam rangka menyusun satu strategi pendidikan kesehatan nasional dengan tujuan untuk mengurangi penyakit-penyakit yang bersumber dari air. Dalam bidang antropologi diperlukan bantuan untuk memperoleh: (i) id entifikasi sumberdaya manusia yang berpotensi untuk memberikan pendidikan kesehatan, (ii) Pengenalan tentang pemimpin tradisional dan jaringan komunikasi informal, (iii) Identifikasi pola persepsi dan kemampuan visual, dan (iv) Khazanah pengetahuan tentang teori dan praktek etnomedikal asli orang Swazi (local knowledge tentang teori dan praktek medis). Lanjutan Proses kerja. Tim kerja terdiri atas 5 advisor: seorang pendidik kesehatan, seorang pekerja kesehatan mayarakat, seorang ahli sanitari lingkungan, seorang epidemolog, dan seorang antropolog. Salah satu tugas awal sang antropolog adalah membantu melakukan survai KAP untuk menentukan social feasibility penempatan tangki air bersih didaerahdaerah yang kurang punya sumber air bersih dan sangat rentan akan penyakit kolera. Menteri (proyek) ingin mengetahui apakah penduduk mau menggunakan air bersih dari tangki tersebut atau tetap akan mengambil dari sumber tradisional. Lanjutan Survai KAP adalah tugas utama dalam kontrak kerja sang antropolog. Namun sangantropolog sangsi akan ketepatan dari pendekatan seperti itu. Karena untuk menangani masalah penyakit karena sumber air, juga diperlukan informasi tentang kebiasaan buang air, kesehatan dan kbersihan rumah tangga, dan kepercayaankepercayaan tentang kesehatan. Survai KAP yang kuntitatif jelas tidak cukup ampuh untuk memperoleh informasi tersebut. Lanjutan Setelah melalui diskusi dengan tim, sang antropolog mengusulkan modifikasi proposal penelitian. Pertama dia akan melakukan suatu kajian informal tentang kepercayaan dan praktek kesehatan, dengan memusatkan perhatian pada dukun tradisional dan para pasiennya, dengan teknik depth interview dengan beberapa informan kunci dan observasi partisipasi. Kedua dilakukan kajian tentang kepercayaan, sikap, dan prilaku kesehatan dengan motivator kesehatan pedesaan sebagai informan. Penelitian menemukan bahwa kedua kajian informal ini sangat membantu dalam membaca hasil survei KAP. Akibatnya adalah dilakukan revisi terhadap proposal penelitian awal. Lanjutan Dari kajian informal antropologi, sang peneliti memperoleh pengetahuan tentang budaya Swazi dan berbagai informasi mengenai aspek sosiokultural dari masyarakat Swazi.dan hasil kajian ini sangat berfungsi dalam memberikan penerangan dan penjelasan terhadap hasil survei KAP. Sukar membaca hasil survei KAP tanpa tambahan informasi yang diperoleh dari kajian antropologi. Lanjutan Kesimpulannya disini adalah bahwa tehnik penelitian antropologi, khususnya open-ended interview, depth-interview dan observasi partisipasi mutlak diperlukan untuk mengorek informasi yang benar dan mendalam. Dengan kata lain, kembali kepada topik pembicaraan semula, felt-needs hanya dapat diperoleh secara benar dan tepat melalui metode penelitian kwalitatif antropologi. Metode survei hanya akan memberi data permukaan, meskipun lebih murah, cepat, dan meliputi lingkup masyarakat yang lebih luas. Pilihan yang bijak adalah satu skill dalam mengkombinasikan kedua metode ini. Lanjutan Di Indonesia gambaran peran antropologi dalam program pengembangan masyarakat tercermin pada apa yang dilakukan oleh Parsudi Suparlan dalam membantu memberikan masukan pada kebijakan pembangunan transmigrasi dan PPH, untuk memikirkan pendekatan sosial budaya dalam program transmigrasi, khususnya di Irian Jaya untuk dijadikan landasan pembuatan kebijakan dan program transmigrasi agar tujuan untuk persatuan dan kesatuan bangsa dapat tercapai, agar program transmigrasi secara ekonomi dapat berhasil, dan agar transmigran dan masyarakat setempat juga dapat menikmati hasil-hasil pembangunan transmigrasi. Contoh lain Sebuah penelitian untuk kebijakan dan pelaksanaan program transmigrasi model pemugaran desa di Timika pada tahun 1996 dengan sponsor dan biaya dari Depart Transmigrasi dan PPH (Suparlan 1997). Penelitian ini terfokus pada upaya untuk memahami kebudayaan orang Komoro yang desanya dipugar serta menyesuaikan program pemugaran tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan mereka, dan selanjutnya mengupayakan untuk mentransformasi kan kebudayaan mereka secara bertahap dari kebudaya an peramu hasil alam dan hidup berpindah-pindah menjadi kebudayaan orang produktif, hidup menetap dan berorientasi pasar” (Parsudi 1997: 66-67).