Uploaded by User69676

Antropologi Sosial Pendidikan (Kelompok) (Selesai)

advertisement
TEORI KEBUDAYAAN DAN IMPLIKASINYA PADA PENDIDIKAN
Oleh: Ma’arif dan Nur Alim
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi oleh Tuhan,
setidaknya manusia diberikan panca indera dalam hidupnya. Namun tentu saja
potensi yang dimilikinya harus digunakan semaksimal mungkin sebagai bekal dalam
menjalani hidupnya. Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki oleh
manusia, tentunya harus ada sesuatu yang mengarahkan dan membimbingnya, supaya
berjalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan. Mengingat begitu besar dan
berharganya potensi yang dimiliki manusia, maka manusia harus dibekali dengan
pendidikan yang cukup sejak dini.
Sebagai bagian dari hidup manusia, kebudayaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang
dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah
hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem
berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia
dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem
pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial
menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi
juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur
oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya.
Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya
adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni.
Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik,
sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang
diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai
untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.1
Wayan Ardhana (Pent.), Dasar-dasar Kependidikan (FIP –IKIP Malang, 1986), h. 18-21.
1
1
2
Di lain pihak manusia juga memiliki kemampuan dan diberikan akal pikiran
yang berbeda dengan makhluk yang lain. Sedangkan pendidikan itu adalah usaha
yang disengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan
kemampuan manusia. Secara sosiologi pendidikan adalah sebuah warisan budaya dari
generasi kegenerasi, agar kehidupan masyarakat berkelanjutan, dan identitas
masyarakat itu tetap terpelihara. Kebudayaan merupakan bagian hidup manusia yang
paling dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan hampir setiap kegiatan manusia tidak
terlepas dari unsur budaya. Memasuki abad ke-21 dan menyongsong milenium ketiga
tentu akan terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari
era globalisasi.2
Pada kenyataannya, masyarakat mengalami perubahan sosial yang begitu
cepat, maju dan memperlihatkan gejala desintegratif yang meliputi berbagai sendi
kehidupan dan menjadi masalah, salah satunya dirasakan oleh dunia pendidikan.
Tidak hanya perubahan sosial, budaya pun berpengaruh besar dalam dunia
pendidikan akibat dari pergeseran paradigma pendidikan yaitu mengubah cara hidup,
berkomunikasi, berpikir, dan cara bagaimana mencapai kesejahteraan. Dengan
mengetahui begitu pesatnya arus perkembangan dunia diharapkan dunia pendidikan
dapat merespon hal-hal tersebut secara baik dan bijak.
Untuk itu, Sebagai salah satu sektor dalam jaringan besar kebudayaan,
pendidikan beraksi terhadap peristiwa-peristiwa di bagian-bagian lain kebudayaan
dan pada kesempatannya mempengaruhi peristiwa-peristiwa itu sendiri. Kebudyaan
yang maju memicu pendidikan untuk menghasilkan spesialisasi pengetahuan dan
kebudayaan yang tinggi. Akibatnya siswa mesti belajar lebih banyak, baik untuk
menguasai keahliannya dan untuk memahami kebudayaan sebagai suatu keseluruhan
Untuk menjamin bahwa pendidikan akan mencapai tujuan-tujan yang diakui,
diperlukan antropolog untuk mengatakan di mana pertentangan yang telah
diinternalisasikan dari kebudayaan yang berlawanan dengan usaha-usaha guru.
Karena tugas utama pendidik adalah untuk mengekalkan hasil-hasil prestasi
2
A. Nurhamzah, Landasan Pendidikan (Bandung: CV. Insan Mandiri, 2008), h. 62.
3
kebudayaan, pendidikan pada dasarnya bersifat konservatif. Namun sejauh
pendidikan bertugas menyiapkan pemuda-pemuda untuk menyesuaikan diri kepada
kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan di luar kebudayaan,
pendidikan telah merintis jalan untuk perubahan kebudayaan.
Untuk itu, dalam makalah ini menjadi sangat penting untuk mengkaji tentang
sejauhmana implikasi dari teori-teori kebudayaan dalam mempengaruhi pelaksanaan
pendidikan sebagai salah satu sokoguru peradaban manusia.
B. Permasalahan
Dari deskripsi yang dikemukakan pada latar belakang, dapat dikemukakan
permasalahan pokok sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan?
2. Bagaimana teori-teori kebudayaan?
3. Bagaimana implikasi teori-teori kebudayaan terhadap pendidikan?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebudayaan
Dalam literatur antropologi terhadap tiga istilah yang boleh jadi semakna
dengan budaya, yaitu cultur, civilization, dan kebudayaan. Term kultur berasal dari
bahasa latin, yaitu dari kata cultura (kata kerjanya colo, colere).3 Arti kultur adalah
memelihara, mengerjakan, atau mengolah. Soerjono soekarto mengungkapkan hal
yang sama. Namun, ia menjelaskan lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan
mengolah atau mengerjakan sebagai arti kultur adalah mengolah tanah atau bertani.
Atas dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala
daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.4
3
Parsudi Suparlan, Pengetahuan Budaya, Ilmu-Ilmu Sosial Dan Pengkajian Masalah-Masalah
Agama (Jakarta : Pusat Penelitian Dan Pengembangan Lektur Agama Badan Litbang Agama, 1982), h.
27.
4
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), h. 79.
4
Istilah kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah
sivilisasi. Sivilisasi (civilization) bersal dari kata latin, yaitu civis. Arti kata civis
adalah warga negara. Oleh karena itu S. takdir alisyahbana menjelaskan bahwa
sivilisasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih progresif dan lebih halus.
Dalam bahasa indonesia, peradaban dianggap sepadan dengan kata civilization.5
Berikut beberapa pengertian kebudayaan menurut S. Takdir Alisyahbana :
1. Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsurunsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral,
adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
2. Kebudayaan adalah warisan sosial atau tradisi.
3. Kebudayaan adalah cara, aturan, dan jalan hidup manusia.
4. Kebudayaan adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara
menyelesaikan persoalan.
5. Kebudayaan adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
6. Kebudayaan adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.6
Parsudi Suparlan menjelaskan bahwa kebudayaan adalah serangkaian aturanaturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana dan strategi-strategi yang
terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dimiliki manusia, dan yang
digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana
terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-tindakannya.7
Pengertian kebudayaan tersebut hampir sama dengan pengertian kebudayaan
yang dijelaskan oleh Taylor yang banyak dikritik oleh peneliti lain karena
kecenderungan integrasilistiknya dalam mendefinisikan budaya. Tampaknya,
pengertian kebudayaan yang cenderung integralistik itu juga ditema oleh beberapa
ahli di Indonesia. salah satu buktinya adalah definisi kebudayaan yang dikemukakan
5
S. Takdir Ali Syahbana, Antropologi Baru (Jakarta : Dian Rakyat, 1986), h. 38.
6
S. Takdir Ali Syahbana, Antropologi Baru, h. 42.
7
Parsudi Suparlan, Pengetahuan Budaya, Ilmu-Ilmu Sosial Dan Pengkajian Masalah-Masalah
Agama, h. 31.
5
oleh Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi. Mereka menjelaskan bahwa
kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk
keperluan masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan pada dasarnya adalah hasil
karya, rasa, dan cita-cita manusia.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan
nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam
arti yang luas. Agama, ideologi, kebatinan, dan kesenian yang merupakan hasil
ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya.
Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup
bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta
bisa berbentuk teori murni dan bisa juga telah disusun sehingga dapat langsung
diamalkan olehmasyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah.
Semua karya, rasa, dan cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan
keguanaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh
masyarakat.
Soerjono Soekarto menjelaskan bahwa pendapat di atas mengenai kebudayaan
dapat dijadikan sebagai pegangan. Selanjutnya, ia menganalisis bahwa manusia
sebenarnya mempunyai dua segi atau sisi kehidupan, sisi meterial dan sisi spritual.
Sisi material mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan
benda-benda atau yang lainnya yang berwujud materi. Sis spritual manusia
mengandung cipta yang menghasilkan keindahan, kesusialan, kesopanan, hukum,
serta rasa yang menghasilkan keindahan. Manusia berusaha mendapatkan ilmu
pengetahuan melalui logika, menyerasikan perilaku terhadap kaidah melalui etika,
dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Itu semua merupakan kebudayaan yang
menurut soerjono soekarto dapat dijadikan sebagai patokan analisis.8
8
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 82.
6
B. Teori-Teori Kebudayaan
Ada tiga pandangan tentang kebudayaan, yaitu pandangan superorganis,
pandangan kaum konseptualis, dan pandangan realis. Menurut pandangan
superorganis, kebudayaan adalah realitas super dan ada di atas dan diluar pendukung
individualnya dan kebudayaan punya hukum-hukumnya sendiri. Dalam pandangan
konseptualis, kebudayaan bukanlah suatu entitas sama sekali, tetapi sebuah konsep
yang digunakan antropolog untuk menghimpun serangkaian fakta-fakta yang
terpisah-pisah. Dalam pandangan para realis, kebudayaan adalah kedua-duanya, yaitu
sebuah konsep dan sebuah entitas empiris. Kebudayaan adalah sebuah konsep, sebab
ia bangunan dasar dari ilmu antropologi. Kebudayaan merupakan entitas empiris
sebab konsep ini menunjukkan cara sebenarnya fenomena-fenomena tertentu
diorganisasikan.9
1. Pandangan Superorganis
Inti pandangan superorganis, kebudayaan merupakan realitas super dan ada di
atas dan di luar pendukung individualnya dan kebudayaan punya hukum-hukumnya
sendiri. Karena itu, mesti dijelaskan dengan hukum-hukumnya sendiri. Meskipun
adalah benar bahwa faktor-faktor tertentu teknologi dan ekonomi. Kebudayaan tidak
mungkin diterangkan dengan menggunakan sumbernya sebagaimana sebuah molekul
dimengerti hanya dengan jumlah atom-atomnya. Sumber-sumber bisa menjelaskan
bagaimana kebudayaan muncul, tetapi bukan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan
dengan ringkas lebih dari pada hasil kekuatan-kekuatan sosial atau ekonomi.
Kebudayaan merupakan realitas yang menyebabkannya mungkin ada.10
Menurut Emile Durkheim, “kebudayaan terdiri dari fakta-fakta sosial dan
representasi kolektif yaitu cara berpikir, bertindak, dan merasa yang bersifat
independen dan berada di luar individu. Cara-cara berperilaku ini membebankan
sebuah kekuatan memaksa terhadap individu, yaitu dia dihukum, baik secara legal
9
George F. Kneller Anthropologi Pendidikan Suatu Pengantar (Diterjemahkan oleh Imran
Manan) (Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti, 1989), h. 182.
10
Anonim, Teori-Teori Kebudayaan. di http://tentangkomputerkita.blogspot.com/2010/01/bab2.html . diakses pada tanggal 10 Oktober 2015
7
maupun moral bila tidak mematuhinya. Faktor-faktor moral tidak dapat dijelaskan
secara psikologis, tetapi hanya dengan menggunakan fakta-sosial yang lain.
Demikianlah, sebuah gagasan atau sentimen mungkin semua disuarakan oleh seorang
tertentu, tetapi ia akan menjadi fakta sosial hanya melalui percampuran dengan
gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan orang lain.11
Menurut Durkheim, kebudayaan yang dipahami sebagai totalitas fakta-fakta
sosial bersifat immanen dan transenden. Pada satu pihak kebudayaan bekerja dalam
diri individu, membimbingnya untuk berperilaku menurut cara tertentu, pada pihak
lain, kebudayaan ada diluar mereka dalam bentuk representatif kolektif terhadap
mana mereka harus menyesuaikan diri. Kebudayaan, katanya adalah sebuah
“kesadaran kolektif.....sebuah kesatuan psikis yang memiliki cara berpikir, merasa,
dan bertindak berbeda dari cara-cara khusus individu-individu yang membentuknya.”
Sebagaimana Hegel, Durkheim percaya bahwa apa yang terbaik pada seseorang
datang kepadanya dari kebudayaannya dan hal itu sebenarnya, adalah kebudayaannya
yang bekerja dalam dirinya. Demikianlah seorang memuaskan dirinya sendiri sampai
batas ia menjadi terlibat dalam kebudayaannya dan menjadikan aspirasi budaya
tersebut menjadi miliknya. Sebaliknya, semakin memusatkan diri seseorang terhadap
dirinya sendiri, semakin lebih terbatas kepribadiannya dan semakin cenderung dia
untuk bunuh diri.12
Di antara antropolog di negara yang berbahasa Inggris, pandangan
superorganis telah dipertahankan oleh B. Malinowski dan A.L.Kroeber, yang
menemukan istilah “superorganis”, tetapi yang kemudian bergerak lebih dekat pada
posisi konseptualis. Sekarang yang menjadi eksponen utamanya adalah L.A.White.
Menurut pandangan superorganis, perilaku manusia ditentukan secara budaya.
Anggaplah bahwa individu memungkinkan adanya kebudayaan (karena supaya ada,
kebudayaan harus punya pendukung) namun itu tidak berarti bahwa individu menjadi
11
Jhon Dewey, Budaya dan Kebebasan (terjemah) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h.
78.
12
David Kaplan, The Theory Of Culture (terjemah) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), h.
128.
8
sebab perilakunya sendiri seperti halnya pelaku sebuah sandiwara memutuskan apa
yang harus mereka pertontonkan. Kebudayaan mengontrol kehidupan anggotanya
sebagaimana halnya sebuah sandiwara mengontrol kata-kata dan perbuatan aktor.
Individu, kata White adalah pada hakekatnya sebuah organisasi kekuatan-kekuatan
kebudayaan dalam elemen-elemen yang menekan dari luar dan yang menemukan
expresi nyatanya melalui individu. Dilihat demikian, individu tidak lain dari expressi
sebuah tradisi supra biologi dalam bentuk fisik. Orang dapat menguasai aspek-aspek
tertentu alam fisik hanya karena dia ada di luarnya, setelah memunculkan semacam
kesatuan, yaitu kebudayaan yang tidak lagi seluruhnya tunduk kepada hukum alam.
Kebudayaan karena itu tidak bisa dikontrol manusia, karena dia sendiri merupakan
bagian dari kebudayaan.13
2. Pandangan Kaum Konseptualis Tentang Kebudayaan
Umumnya antropolog Amerika menganut apa yang dinamakan pandangan
konseptualis tentang kebudayaan. Mereka mengatakan bahwa kebudayaan adalah
konsep atau konstruk seorang antropolog. Apa yang diamati orang tidak pernah
kebudayaan seperti itu saja, tetapi banyak bentuk-bentuk perilaku yang dipelajari dan
dipakai bersama dengan benda-benda hasil produksi mereka. Dari sini pikiran tentang
kebudayaan diabstraksikan.14
Menurut kaum konseptualis, pada akhirnya semua kebudayaan mesti
diterangkan secara sosial psikologis. Dalam kata-kata R.Linton, “Kebudayaan .....ada
hanya dalam fikiran individu-individu yang membentuk suatu masyarakat.
Kebudayaan mendapatkan semua kualitasnya dari kepribadian-kepribadian mereka
dan
interaksi
dari
kepribadian-kepribadian
itu.”
Bukan
kebudayaan
yang
menyebabkan proses budaya terjadi, tetapi orang-orang, dipengaruhi oleh apa yang
dikerjakan orang-orang dimasa lalu.15
13
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 89
14
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 90
15
Anonim, Teori-Teori Kebudayaan. di http://tentangkomputerkita.blogspot.com/2010/01/bab2.html . diakses pada tanggal 10 Oktober 2015
9
Jika kaum konseptualis membedakan kebudayaan dan pola-polanya, hal itu
semata-mata untuk maksud kajian dan bukan karena dia mempercayai bahwa
kebudayaan suatu entitas yang riel. Namun demikian, para pengikut konseptualis
tidak setuju tentang sejauh mana individu dapat mempengaruhi proses budaya.
Beberapa orang seperti Herkovits menerangkan bahwa semua pola budaya akhirnya
dalam bentuk perilaku individu; yang lain seperti Kroeber, seseorang pengikut yang
berkeberatan terhadap posisi konseptualis, mempertahankan bahwa jauh lebih muda
untuk menerangkan pola budaya dengan menggunakan pola budaya lain. Peristiwaperistiwa budaya, kata Kroeber, dipolakan, tapi tidak dengan cara yang dapat dijajagi
kesebab-sebab psikologis atau sosial tertentu.
3. Pandangan golongan realis tentang kebudayaan
Sejumlah kecil antropolog, seperti David Bidney dan sejarahwan Philip
Bagby, mempertahankan bahawa kebudayaan adalah sebuah konsep dan sebuah
realitas. Bagby membantah bahwa kebudayaan adalah sebuah abstraksi dalam arti,
bahwa tidak kebudayaan itu sendiri dan tidak pula pola-pola yang membentukya
dapat diamati secara keseluruhan. Betapa jarang, umpamanya, anggota keseluruhan
suatu suku hadir bersama-sama sehingga seorang antropolog bisa melihat sekilas pola
budaya dari kebudayaan mereka. Tetapi mereka juga menunjukan bahwa,
sungguhpun kita tidak pernah mengamati secara serentak semua gerakan dari planitdi
sekitar matahari. Namun kita menyetujui adnya system solar. Mengapa tidak
mungkin suatu kebudayaan sebagai realita?, kebudayaan yang demikian merupakan
sebuah konstruksi dalam arti dalam dirinya sendiri kebudayaan tersebut bukan
sebagai entitas yang bisa diamati. Tetapi dalam arti lain, kebudayaan yang demikian
adalah nyata, karena walaupun kita tidak dapat mengamatinya dengan penuh secara
serentak, ia tidak berada dalam hal ini dari entitas-entitas lainya, seperti system solar
di atas, yang realitanya tidak kita pertanyakan.16
Bidney juga mendalilkan sebuah kebudayaan sesungguhnya sumber dari
konsep kebudayaan diabstraksikan. Dia juga mengemukakan bahwa ada sebuah
16
Arif. Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya. http://staff.blog.ui.ac.id/
arif51/2008 /11/11/teori-kebudayaan-dan-ilmu-pengetahuan-budaya. diakses tanggal 10 Oktober 2015
10
“meta cultural reality” yang absolute yang semua kebudayaan mendekati bangunan
tersebut, tetapi tidak secara sempurna identik dengannya. Yang belakangan ini
merupakan kebudayaan yang jika dapat direalisasikan akan menjawab secara lengkap
kebutuhan manusia. Karena itu tidak ada kebudayaan yang secara absolute valid,
tetapi masing-masingnya mencerminkan sebuah idea type.17
Para realis dan konseptualis setuju untuk menolak determinsme budaya yang
penuh. Meskipun peristiwa-peristiwa budaya di masa lalu dan sekarang membatasi
apa yang dapat dilakukan oleh anggota satu budaya pada waktu-waktu tertentu,
namun demikian kata Kluckhohn, kebudayaan tidak mengiuti logika yang kaku dari
dirinya sendiri. Ada waktu-waktu di mana masyarakat menentukan nasibnya sendiri
seperti yang terjadi di Jerman 1933, Inggris tahun 1940 adalah contoh-contoh konkrit.
Juga sebab-sebab langsung dari perubahan social adalah ketidak sesuaian
individu dengan budaya yang ada. Pada waktu ketidak puasan meluas beberapa
individu yang kreatif dapat menciptakan sebuah pola budaya yang baru, yang dengan
cepat akan disetujui dengan orang yang lain. Dengan demikian asal dari perubahan
social adalah ketegangan dan ketidak puasan yang dirasakan oleh individu-individu
tertentu. Bilamana ketidakamanan cukup kuat dan cukup meluas, pola baru akan
merambah pada individu yang kreatif yang secara perlahan-lahan ditiru oleh semua
anggota masyarakat.
C. Implikasi Teori Kebudayaan terhadap Pendidikan
1. Pandangan Superorganis
Pandangan superorganis mempunyai implikasi terhadap pendidikan, yaitu:
pendidikan merupakan sebuah proses melalui mana kebudayaan mengotrol orang dan
membentuknya sesuai dengan tujuan kebudayaan. Menurut L.White: Pendidikan
merupakan alat yang digunakan masyarakat melaksanakan kegiatannya sendiri dalam
mengejar tujuannya. Demikianlah, selama masa damai, masyarakat dididik untuk
damai, tapi bila bangsa sedang berperang, masyarakat mendidik anggotanya untuk
17
Erzuhedi. Kebudayaan dan Pendidikan. http://erzuhedi.wordpress.com/ diakses pada
tanggal 10 Oktober 2015.
11
perang. Bukan masyarakat yang mengontrol kebudayaan melalui pendidikan. Malah
sebaliknya, pendidikan baik informal maupun formal adalah proses membawa tiaptiap generasi baru ke bawah pengontrolan sistem budaya.
Untuk jelasnya, kebijakan pendidikan ditentukan oleh individu-individu,
tetapi individu-individu hanya alat melalui mana kekuatan-kekuatan budaya
mencapai tujuannya. Bila para pendidik memilih, kebudayaan memilih melalui
mereka. Pandangan superorganis juga berimplikasi pada pengawasan pendidikan
yang ketat dari pemerintah untuk menjamin bahwa guru-guru menanamkan dalam
diri generasi muda gagasan-gagasan, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan
yang perlu bagi kelanjutan kebudayaan.
Ada beberapa analisis kritis terhadap pandangan ini, antara lain:
1. Menurut F. Boas (1940) mengatakan bahwa kebudayaan tidak bergerak sendiri
tetapi merupakan ciptaan individu-individu yang hidup bersama. Kebudayaan
bukan sebuah entitas yang mistis.
2. Pandangan superorganik boleh dikritik karena memisahkan kebudayaan dari
manusia yang membangunnya.
3. Orang juga bisa berkeberatan bahwa individu pada satu pihak, dan kebudayaan
dilihat sebagai superorganik pada pihak lain, tidak bisa dibandingkan, dan karena
itu, kemudian tidak bisa berinteraksi. Karena dengan cara bagaimanakah secara
empiris dapat ditentukan bahwa realitas superorganik masuk ke dalam kehidupan
seseorang dan membentuk prilakunya.
4. Keberatan utama adalah bahwa walaupun kebudayaan menentukan banyak dari
bentuk dan isi dari prilaku individu, kebudayaan tidak menentukan prilaku secara
keseluruhan.
5. Tidak dapat disangsikan, bahwa kebudayaan adalah superorganis dalam arti
bahwa kebudayaan berumur panjang dan sebagian besar bertanggung jawab
dalam membentuk prilaku manusia. Tetapi kebudayaan bukan sebuah satuan yang
independen, punya sebab sendiri, dan punya arah sendiri.18
18
Anonim, Teori-Teori Kebudayaan. di http://tentangkomputerkita.blogspot.com/2010/01/bab2.html . diakses pada tanggal 10 Oktober 2015
12
2. Pandangan konseptualis
Karena mereka memandang kebudayaan sebagai kualitas perilaku manusia
dan bukan entitas yang berdiri sendiri, para pengikut konseptualis setuju dengan
pandangan bahwa anak-anak harus mempelajari warisan budaya sesuai dengan
perhatiannya. Anak-anak harus membangun gambaran sendiri tentang kebudayaan
berdasarkan pengalamannya sendiri asal dia mengetes pengalaman belajar dengan
pengalaman belajar orang lain dan asal saja dia mencapai suatu gambaran yang
objektif tentang kebudayaan.
Walaupun begitu para konseptualis tidak menyokong pandangan golongan
subjektivis bahwa anak-anak harus belajar semata-mata hanya kalau semangatnya
mendorongnya. Kebudayaan yang seperti itu mungkin bukan merupakan realitas yang
absolut, tetapi kebudayaan tersebut terdiri dari banyak pola perilaku terhadap mana
individu-individu menyesuaikan diri, sama seperti orang lain. Karena itu dia mesti
mempelajari pola-pola ini, bukan apa yang disukainya saja.
Pendidikan dapat menjadi alat dalam pembaruan sosial. Tidak disangsikan,
tidak ada kaum konseptualis yang mengharapkan sekolah sebagai alat untuk
perubahan sosial. Namun demikian, banyak kaum konseptualis akan setuju, bahwa
walaupun sekolah mungkin tidak sanggup merubah kebudayaan, tetapi sekolah yang
paling kurang dapat berbuat banyak untuk menciptakan opini yang kondusif bagi
perubahan, sebuah iklim yang perlu jika individu-individu yang inovatif harus
mendapat pengikut-pengikut dan dengan demikian mengerakkan pola baru dan
permanen.
3. Pandangan golongan realis
Pandangan budaya realis terhadap pendidikan lebih dekat dengan pandangan
aliran-aliran pemikiran pendidikan yang terpercaya kepada pemyesuaian anak-anak
terhadap realita objektif, baik alamiah maupun budaya, dengan menanamkan
pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan-ketrampilan tertentu yang telah dipilih oleh
kebudayaan. Pandangan golongan ini lebih berempati dibandingkan dengan kaum
konseptualis, kaum realis menginginkan sistem pendidikan yang akan melatih
individu untuk menimbang dan merubah kebudayaan mereka berdasarkan nilai-nilai
13
dasar mereka. Banyak pendidik tradisional untuk mencapai tujuan ini dengan
mendidik generasi muda tentang apa yang dianggap kebenaran dan nilai yang
permanen, dengan mengunakan nilai-nilai yang ini generasi muda dapat mengatakan
perubahan social apa yang harus mereka bantu, hindari atau gerakkan. Golongan
tradisional lain menganjurkan pendidikan ilmiah yang pokok, yang berguna bagi
orang-orang muda jika mereka harus memilih tujuan-tujuan yang diizinkan oleh
kebudayaan yang ada, dan jika mereka akan menggunakan hukum-hukum
kebudayaan yang diketahui mereka untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. perubahan,
dengan kata lain, mesti bersifat evolusi, bukan revolusi. Perubahan tersebut mesti
dibimbing oleh asumsi-asumsi dasar kebudayaan itu.19
III. PENUTUP
Dari uraian yang dikemukakan pada pembahasan, dapat dikemukakan
beberapa poin sebagai kesimpulan, yaitu:
1. Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan
oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya
dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan pada
dasarnya adalah hasil karya, rasa, dan cita-cita manusia.
2. Menurut pandangan superorganis, kebudayaan adalah realitas super dan ada di
atas dan di luar pendukung individunya dan kebudayaan punya hukum-hukumnya
sendiri. Konseptualis mengemukakan kebudayaan bukanlah suatu entitas sama
sekali,
tetapi
sebuah
menghimpun/meunifikasikan
konsep
yang
serangkaian
digunakan
fakta-fakta
antropolog
yang
untuk
terpisah-pisah.
Sedangkan para realis berpendapat bahwa kebudayaan adalah kedua-duanya,
yaitu sebuah konsep dan sebuah entitas empiris. Kebudayaan adalah sebuah
konsep sebab ia bangunan dasar dari ilmu antropologi. Kebudayaan merupakan
19
Erzuhedi. 2008. Kebudayaan dan Pendidikan. http://erzuhedi.wordpress.com/ diakses pada
tanggal 10 Oktober 2015.
14
entitas empiris sebab konsep ini menunjukkan cara sebenarnya fenomenafenomena tertentu diorganisasikan.
3. Implikasi pandangan superorganis terhadap pendidikan adalah bahwa pendidikan
adalah sebuah proses dimana kebudayaan mengontrol orang dan membentuknya
sesuai dengan tujuan kebudayaan, sebagi alat yang digunakan masyrakat untuk
melaksanakan kegiatanya dalam mencapai tujuan. Pandangan superorganis juga
berimplikasi pada pengawasan pendidikan yang ketat dari pemerintah untuk
menjamin guru-guru menanamkan diri generasi muda tentang gagasan-gagasan,
sikap-sikap, dan ketarampilan-keterampilan yang perlu bagi kelanjuatan
kebudayaan. Jika perilaku masyarakat ditentukan oleh kebudayaan, maka
kurikulum sekolah yang merupakan salah satu insrtumen dalam pendidikan harus
dikembangkan atas kajian langsung dan kebudayaan sekarang dan masa depan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
Teori-Teori Kebudayaan. di http://tentangkomputerkita.blogspot.com
/2010/01/bab-2.html . diakses pada tanggal 10 Oktober 2015
Ardhana, Wayan. Dasar-dasar Kependidikan. FIP –IKIP Malang, 1986
Arif. Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya. http://staff.blog.ui.ac.id/
arif51/2008 /11/11/teori-kebudayaan-dan-ilmu-pengetahuan-budaya. diakses
tanggal 10 Oktober 2015
Dewey, Jhon. Budaya dan Kebebasan (terjemah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1998. 78.
Erzuhedi. Kebudayaan dan Pendidikan. http://erzuhedi.wordpress.com/ diakses pada
tanggal 10 Oktober 2015.
Kaplan, David. The Theory Of Culture (terjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993.
128.
Kneller, George F. Anthropologi Pendidikan Suatu Pengantar. Diterjemahkan oleh
Imran Manan). Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti, 1989.
Nurhamzah, A. Landasan Pendidikan. Bandung: CV. Insan Mandiri, 2008.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1993.
Suparlan, Parsudi. Pengetahuan Budaya, Ilmu-Ilmu Sosial Dan Pengkajian MasalahMasalah Agama. Jakarta : Pusat Penelitian Dan Pengembangan Lektur
Agama Badan Litbang Agama, 1982.
Syahbana, S. Takdir Ali. Antropologi Baru. Jakarta : Dian Rakyat, 1986.
16
TEORI KEBUDAYAAN DAN IMPLIKASINYA
PADA PENDIDIKAN
MAKALAH REVISI
Dipresentasikan Pada Seminar Mata Kuliah Antropologi Sosial Pendidikan
Pada Konsentrasi Pendidikan dan Keguruan Pascasarjana
(S3) UIN Alauddin Makassar
Oleh:
MA’ARIF
NUR ALIM
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Mappanganro, MA.
Dr. H. Susdiyanto, M.Si.
PASCASARJANA (S3) UIN ALAUDDIN
MAKASSAR
2016
17
Download