I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua dokter gigi yang merawat pasien anak menyadari bahwa mereka dihadapkan dengan pasien anak yang memiliki rasa cemas yang berlebih (Williams dkk., 1985). De Jongh dan ter Horst (1995) menyatakan kecemasan terhadap perawatan gigi (dental anxiety) telah dinyatakan sebagai faktor penghambat utama bagi pasien untuk pergi ke dokter gigi. Dokter gigi dapat berperan mengendalikan pasien anak yang datang dengan kecemasan, sehingga pasien anak dapat lebih kooperatif. Menurut Sutadi (1994), kecemasan adalah kondisi emosional yang merupakan gabungan dari faktor-faktor antara lain perilaku yang tidak menyenangkan, perubahan fisiologis terutama yang mempengaruhi aktifitas syaraf simpatis dan susunan syaraf otonom, sehingga rasa cemas yang kuat akan diikuti dengan gejala debar jantung meningkat, berkeringat, perubahan pernapasan, otot menjadi tegang, gangguan gastrointestal serta tanda-tanda lainnya. Kunci keberhasilan perawatan gigi pada anak selain ditentukan oleh pengetahuan klinis dan keterampilan dokter gigi juga ditentukan oleh kesanggupan anak untuk bekerjasama (Heriandi, 2001). Hal pertama yang dilakukan adalah kontrol dan berikan perhatian pada masalah yang anak keluhkan, kedua mengajarkan anak dengan cara-cara yang baik untuk menanggulangi kecemasan selama di klinik (Allen dkk., 1990). Dokter gigi memiliki begitu banyak variasi metode atau teknik yang bisa diaplikasikan 1 dalam manajemen kecemasan anak. Teknik aversive dan nonaversive merupakan teknik yang dapat digunakan untuk mengatasi perilaku anak. Teknik aversive melibatkan stimulus yang menyakitkan berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan mual sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya (Watson, 2012). Teknik nonaversive merupakan teknik perilaku yang mengatasi dan mengurangi perilaku pasien yang berbahaya dan mengganggu, dengan memanfaatkan sikap-sikap positif untuk mengenali dan merespon kebutuhan pasien dari berbagai tingkatan umur. Saat ini teknik nonaversive seperti distraksi sudah menjadi lebih populer (Lawrence dkk., 1991). Metode distraksi adalah salah satu teknik penatalaksanaan tingkah laku dalam perawatan gigi anak yang memiliki rasa cemas dengan pengalihan dari fokus perhatian ke stimulus yang lain. Stimulus yang menyenangkan dari luar dapat merangsang sekresi endofrin sehingga kecemasan yang dirasakan anak menjadi berkurang (Tamsuri, 2007). Rendahnya tingkat kecemasan secara langsung berhubungan dengan partisipasi aktif individu. Modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulus penglihatan, pendengaran dan sentuhan akan lebih efektif dalam menurunkan kecemasan dibanding stimulasi satu indera saja (Tamsuri, 2007). Beberapa teknik penanganan kecemasan telah banyak dikemukakan, salah satunya adalah dengan metode distraksi menggunakan audiovisual. 2 Audiovisual menurut Bertz (1997) adalah jenis media yang mempunyai kemampuan lebih baik, karena meliputi dua jenis media yaitu auditif (mendengar) dan visual (melihat). Menurut Klein dan Winklesrein (1996) distraksi menggunakan audiovisual akan membantu anak mengontrol stimulus yang tidak menyenangkan dan memberi anak perasaan berada di lingkungan yang akrab. Saat melihat presentasi audiovisual anak akan menggunakan lebih dari satu panca indera untuk berkonsentrasi pada layar televisi. Hamalik (1998) mengemukakan media audiovisual dapat meningkatkan motivasi dan bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap anak. Dari hasil pengamatan terhadap perawatan gigi, suara dari program atau tayangan televisi akan membantu anak menghilangkan suara-suara yang membuat anak merasa tidak nyaman seperti suara handpiece (Baghdadi, 2000). Distraksi audiovisual berupa film animasi merupakan cara sederhana dan mudah dijalankan terapis untuk mengurangi rasa cemas pada anak selama prosedur perawatan gigi dan intervensi psikologis (Utami, 2007). Distraksi audiovisual berupa film animasi dapat mengalihkan perhatian dari rasa cemas dan berkonsentrasi terhadap cerita yang disimaknya (Koller dan Goldman, 2012). Lowe (2002) menyatakan pemilihan film animasi yang menjadi kegemaran anak dirumah sebaiknya tetap dilakukan dibawah pengawasan orangtua, tidak sedikit dari tayangan film animasi yang mempunyai unsur kekerasan. Peran orangtua adalah mengawasi dan 3 memilihkan tayangan film animasi yang tepat dan dapat memberikan edukasi pada anak. Rasa cemas memiliki 3 komponen yaitu kognitif, tingkah laku dan fisiologis. Komponen kognitif berupa perasaan subyektif yang mengindikasikan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Ohring, 2007). Komponen tingkah laku rasa cemas berupa tingkah laku tidak kooperatif misalnya penghindaran, perlawanan, meronta, meloncat turun dari kursi gigi saat kursi gigi digerakkan, menggenggam erat pegangan kursi gigi, menghindari kontak mata dengan dokter gigi, menangis, lari atau bahkan terdiam (Oeding, 2005). Komponen fisiologis dapat berupa blok dari sistem syaraf simpatis yang berakibat pada peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi, vasokonstriksi pembuluh darah, serta hiperventilasi (Oeding, 2005). Anak usia 6-7 tahun dalam perawatan gigi sering menunjukkan berbagai komplikasi seperti timbulnya kecemasan, keputusasaan, gangguan perilaku, psikososial dan fisiologi jangka panjang (Kleiber, et al., 2002). Anak usia 6-7 tahun termasuk dalam periode pertengahan usia anak (Middle-years Child). Ciri khas periode ini adalah pertumbuhan fisik yang cepat, mengenal identitas diri sendiri, berteman dengan teman sejenis dan lawan jenis, merasa cemas terhadap hal nyata atau imajinasi. Menurut Reni (2001) pada usia 6 sampai 7 tahun anak laki-laki dan perempuan menunjukkan perilaku yang paling mengganggu atau negatif dan sulit untuk ditangani. Finn (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang belum pernah ke 4 klinik gigi menunjukkan rasa cemas yang berlebihan pada perawatan gigi karena mendengar cerita pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan didalam klinik gigi dari cerita orangtua atau teman sebayanya. Pengukuran kecemasan secara kognitif dilakukan dengan tes yang terdiri dari daftar pertanyaan atau pertanyaan yang dijawab atau direspon secara mandiri (tes isi mandiri). Alat ukur ini berupa tes mandiri atau kuisioner dari berbagai macam tes psikologi seperti Corah’s Dental Anxiety Scale (CDAS), Modified Dental Anxiety Scale (MDAS), Children Fear Survey Schedule-Dental Subscale (CFSS-DS), Venham’s Picture Test yang sebagian besar pengukuran dilakukan secara kognitif (Ayer, 2005). Frankl Behavior Score digunakan untuk mengevaluasi tingkah laku spesifik anak selama menjalani perawatan gigi. Dua tingkah laku negatif yaitu menangis dan penolakan fisik oral dengan meninggikan tangan dan pergerakan kaki merupakan penanda penting tingkah laku yang mengganggu pada anak selama perawatan gigi (Machen dkk 1974, cit Ayer, 2005). Tindakan profilaksis umumnya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan awal pada kunjungan pertama anak ke dokter gigi. Hal ini dilakukan untuk memperkenalkan anak terhadap perawatan awal yaitu menggosokkan bahan khusus untuk menghilangkan plak dan noda pada permukaan gigi dengan menggunakan rotary brush atau rubber cup dan handpiece (Gracia, 2011). 5 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dirumuskan suatu permasalahan : Bagaimanakah pengaruh metode distraksi audiovisual berupa film animasi terhadap tingkat kecemasan pasien anak usia 6-7 tahun pada tindakan profilaksis gigi. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode distraksi audiovisual berupa film animasi terhadap tingkat kecemasan pasien anak usia 6-7 tahun pada tindakan profilaksis gigi. D. Manfaat Penelitian I. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Manfaat penelitian ini bagi ilmu pengetahuan memberikan informasi tentang cara-cara mengatasi kecemasan selama perawatan gigi salah satunya dengan metode distraksi audiovisual berupa film animasi pada pasien anak usia 6-7 tahun selama tindakan profilaksis gigi. II. Manfaat penelitian bagi klinisi Manfaat penelitian bagi klinisi memberikan pedoman tentang metode distraksi terhadap anak saat perawatan gigi khususnya dokter gigi spesialis anak dalam mengatasi kecemasan sehingga pelayanan kesehatan gigi menjadi lebih nyaman dan menyenangkan. 6 E. Keaslian Penelitian Metode distraksi audiovisual menggunakan televisi sudah dilaporkan oleh Marwah (2005) pada anak laki-laki usia 6-8 tahun dengan rasa cemas yang akan dilakukan perawatan profilaksis oral dan perawatan restoratif. Penelitian lain menggunakan metode distraksi audiovisual juga dilaporkan oleh Do (2004) dengan menggunakan metode modeling film pada anak usia 6-9 tahun dengan rasa cemas yang akan dilakukan perawatan restoratif. Dalam penelitian ini akan dilakukan dengan perawatan profilaksis oral dan metode distraksi audiovisual menggunakan film animasi yang dipilih oleh operator yang disesuaikan dengan karakter anak usia 6-7 tahun. 7