tanah, pertanian dan pemiskinan petani

advertisement
UTAMA
TANAH, PERTANIAN DAN PEMISKINAN PETANI
Oleh
Indro eSJe
Tekanan terhadap sumber-sumber tanah, hadir sejalan dengan perkembangan masyarakat. Pertambahan
penduduk dan konstruksi sosial yang dibentuk oleh negara -dalam bentuk penetrasi hukum, ekonomi, politik dan
budaya- telah melahirkan kepincangan distribusi penguasaan tanah. Di sektor pertanian, kepincangan ini
berpengaruh terhadap produktivitas usahatani dan pola hubungan antara tuan tanah dengan buruh tani.
Akibatnya, tingkat kesejahteraan petani gurem di pedesaan terus menurun. Merebaknya konflik-konflik
pertanahan, semakin menambah pelik permasalahan petani. Di pihak lain, bias kebijakan di bidang pertanahan
cenderung mel emahkan aks es petani kecil dan buruh tani atas sumber-sumber tanah.
Konsep tanah dan Marj inalisasi Petani
Sejak jaman raja-raja, tanah dianggap sebagai
milik raja. Rakyat hanya memiliki hak garap.
Hak ini dititipkan oleh raja. Sewaktu-waktu hak
ini dapat ditarik kembali. Dalam wacana rakyat,
tidak dikenal konsep kepemilikan tanah. Hak
penguasaan dan pemilikan tanah merupakan
hak para raja dan kaum bangsawan. Luasan
tanah yang dikuasai ditentukan oleh jenjang
jabatan politik para bangsawan dan jumlah
penduduk yang dikuasainya. Petani -dalam
struktur kerajaan- hanya menjadi penggarap
tanah.
Mereka wajib meyerahkan hasilnya
kepada sikep (pengumpul upeti). Kemudian,
hasil itu diserahkan kepada raja sebagai upeti.
Tetapi, kedekatan petani dengan tanahnya dalam konsep ini- hanya menyangkut soal
subsistensi dan keberlangsungan
proses
produksi, bukan soal kepemilikan1
Dalam
struktur sosial demikian memang rakyat tidak
memiliki hak milik tanah, sehingga penguasaan
tanah tersentralisasi pada elit kerajaan.
Pada jaman kolonialisme Belanda, pola
hubungan kepemilikan antara raja dengan
pengikutnya yang tidak jelas (irasional) dirubah
oleh pemerintah kolonial menjadi hubungan
sewa-menyewa yang lebih rasional. Namun
posisi petani tetap tidak berubah: hanya sebagai
penggarap. Bahkan nasib petani lebih buruk.
Walaupun saat itu tanah dibagi-bagikan secara
bebas, tetapi sebelumnya hak petani atas hasil
usahataninya dicabut. Petani dimobilisasi secara
besar-besaran untuk menanam tanaman
perdagangan secara paksa demi kepentingan
pemerintah kolonial. Sumbangan genial konsep
sewa tanah ini adalah lahirnya konsep
kepemilikan tanah oleh rakyat dan ganti rugi bagi
tanah yang diambil alih.
Keluarnya undang-undang agraria tahun 1870
(Agrarisch Wet) memunculkan pasal Domein
Verklaring yang berisi “....semua tanah yang
tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik
mutlak (eigendom), adalah domein negara.”
Dengan kebijakan ini, pemerintah kolonial berhak
mengambil-alih “tanah-tanah kosong”. Tanah itu
kemudian diberikan kepada para kapitalis
(pemodal) Belanda untuk membuka perkebunan
besar. Dalam prakteknya, karena perkebunan
tersebut memerlukan tenaga kerja murah dalam
jumlah besar dan produktivitas yang tinggi, tanah
pertanian yang subur di daerah padat penduduk
dicaplok oleh para kapitalis. Akibatnya,
penguasaan tanah oleh rakyat semakin kecil.
Penerapan sistem hukum ganda -yakni UU
Agraria Barat (Agrarisch Wet) dan Hukum
Agraria- menyebabkan petani mengalami
eksploitasi ganda baik dari penjajah maupun
kaum feodal adat 2.
Pada masa kemerdekaan memang terjadi
nasionalisasi perkebunan Belanda. Rakyat
berpeluang menduduki atau merebut tanahtanah
pertanian.
Namun
dalam
perkembangannya
sampai
sekarang
perkebunan-perkebunan tersebut tetap dikuasai
oleh negara. Kemudian pada tahun 1960-an
muncul pergolakan agraria yang menuntut
adanya land reform agar petani dapat memiliki
tanah dan menggarapnya sendiri. Namun usaha
redistribusi tanah ini memunculkan chaos dan
kekerasan.
Terjadi
pembunuhan
massal
2
1
Juliantara, Dadang, dan Angger Jati Wijay a. Tanah, Rakyat
dan Demokrasi di dalam Tanah, Raky at dan Demokrasi. Forum
LSM/LPSM DIY, 1995.
WACANA No. 10/ September - Oktober 1997
Fauzi, Noer. Transformasi Agraria dan Kesejahteraan Kaum
Tani di dalam Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Forum
LSM/LPSM DIY, 1995.
1
UTAMA
(massacre) terhadap ratusan ribu aktivis kaum
tani kiri dalam periode 1965-19673
Pada jaman orde baru, krisis tanah semakin
merebak.
Pertambahan
penduduk
serta
perkembangan ekonomi yang pesat di Jawa
menyebabkan tekanan yang hebat terhadap
tanah.
Distribusi penguasaan tanah yang
pincang semakin meluas sampai ke pelosok
desa-desa. Pengambilalihan tanah rakyat untuk
kepentingan umum seringkali menafikan hak-hak
rakyat atas tanahnya. Kalaupun ada ganti rugi,
jumlahnya tidak memadai. Industrialisasi yang
rakus akan
tanah
semakin mendesak
keberadaan tanah-tanah pertanian subur di
Jawa.
Akses rakyat atau petani terhadap tanah sangat
lemah. Manfaat atas tanah selalu dinikmati oleh
elit kekuasaan atau elit ekonomi baik di jaman
kerajaan, kolonial maupun di jaman orde baru.
Terjadi sentralisasi penguasaan tanah pada
sekelompok kecil orang. Petani penggarap dan
tani-buruh semakin sulit mendapatkan tanah
sebagai sumber nafkah mereka. Petani gurem
semakin terdesak dan terpinggirkan dalam akses
penguasaan dan pemilikan atas tanahnya.
Kontrol Politik atas Desa
Trauma pergolakan agraria di jaman orde lama
dan kelaparan yang dirasakan ketika itu
menyebabkan pemerintah Orde Baru mengambil
langkah-langkah antisipatif dalam rangka
menangani masyarakat petani di pedesaan.
Frans Husken (1989) di dalam Noer Fauzie
(1995) menyebutkan dua langkah antisipatif rejim
Orba menangani masyarakat tani.
Pertama, kontrol politik atas daerah pedesaan.
Desa harus dikontrol supaya tidak memunculkan
adanya basis oposisi di desa. Kontrol politik atas
masyarakat desa nampak dalam politik massa
mengambang (floating mass) yang melarang
partai politik bergerak di pedesaan. Langkah ini
terbukti mampu memutus saluran politik antara
massa dengan partai politik yang akan
memperjuangkan aspirasi politik kaum tani.
Kedua, penyediaan bahan pangan beras dengan
harga yang memadai. Harga beras harus
terjangkau oleh masyarakat kota agar tidak
terjadi keresahan politik, mengingat masyarakat
kota (terutama buruh) sangat reaktif terhadap
gejolak ekonomi.
Berbagai macam lembaga dibentuk secara top
down untuk menjinakkan massa petani. Fungsi
parpol dan organisasi petani digantikan dengan
HKTI. Lembaga ekonomi masyarakat desa
diwadahtunggali melalui KUD.
Struktur
3
Margo Ly on (1970) di dalam Noer Fauzi (Transformasi
Agraria dan Kesejahteraan Kaum Tani, 1995).
WACANA No. 10/ September - Oktober 1997
pemerintahan desa lama dirombak dan diganti
dengan
birokrasi baru yang sentralistik.
Penetrasi kelambagaan ini mampu meredam
gejolak politik di pedesaan.
Sw asembada
Hijau
Pangan
melalui
Revolusi
Krisis pangan pada dekade 60-an, semakin
meyakinkan rejim Orde Baru untuk menerapkan
program
pembangunan
pertanian
yang
menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat.
Dipilihlah strategi pembangunan pertanian
melalui revolusi hijau4. Seluruh basis pertanian di
pedesaan dikonsentrasikan untuk menanam
padi. Petani dimobilisir untuk hanya menanam
padi demi keamanan pangan. Tidak ada
kebebasan bagi petani untuk menenam tanaman
pangan non beras atau tanaman ekonomis lain.
Strategi ini didukung dengan subsidi pertanian
secara besar-besaran dalam bentuk subsidi
pupuk, benih, obat-obatan, kredit murah,
kebijakan harga dasar dan pembangunan irigasi.
Sebagai pendukung suksesnya ketersediaan
pangan, rejim Orba membentuk lembaga
penyalur saprodi di tingkat desa, yaitu KUD. KUD
juga berfungsi sebagai penampung hasil
produksi
petani.
Pemerintah
-melalui
Departemen Pertanian- membentuk Satgas
Bimas padi
dan menerjunkan penyuluh
pertanian ke desa-desa dalam rangka sosialisasi
dan aplikasi program pertanian revolusi hijau.
Petani akhirnya tidak lagi punya kemerdekaan
untuk menanami tanahnya dengan tanaman
budidaya yang sesuai dengan keinginannya.
Industri: Tekanan Baru Tanah Pedesaan
Sejak
pertengahan
80-an,
pemerintah
mengembangkan
strategi pembangunan
pertanian baru, yaitu agroindustri. Strategi ini
muncul sebagai solusi atas menurunnya
pendapatan negara dari minyak dan gas bumi.
Berbagai kebijakan dibuat untuk menyukseskan
program pengembangan agroindustri, khususnya
untuk memacu ekspor nasional. Akibatnya,
terjadi penetrasi kapital secara besar-besaran ke
desa-desa. Penetrasi ini semakin menekan
petani yang sebelumnya sudah terkena dampak
program revolusi hijau. Lahirlah perkebunanperkebunan besar sebagai pemasok bahan
baku bagi industri pertanian (agroindustri).
Karena agroindustri mensyaratkan skala usaha
yang besar maka kebutuhan akan tanah juga
semakin besar. Terjadilah pembukaan areal
pertanian di hutan serta pengambilalihan tanahtanah produktif rakyat untuk mendukung
4
Di lapangan, revolusi hijau diterjemahkan lewat program
pertanian seperti: Insus/Supra Insus dan Bimas/Inmas.
2
UTAMA
agroindustri.
Posisi petani
terdesak karena strategi ini.
kecil
semakin
menjadi buruh tani atau buruh di sektor industri
perkotaan.
Strategi
ini
merupakan
tindak
lanjut
dikeluarkannya UU No 1/67 dan UU No 8/68.
Berdasarkan kedua UU ini, pemerintah
mengundang penanaman modal secara besarbesaran di pedesaan, baik modal domestik
maupun asing, melalui pembukaan perkebunan
besar dan industri pengolahan hasil perkebunan.
Pemerintah juga memberikan hak guna usaha
(HGU) dan HPH atas tanah-tanah negara.
Banyak pengamat menilai, kebijakan ini tidak
berbeda dengan semangat Domein Verklaring
yang dijalankan oleh pemerintah kolonial dahulu.
Dari sisi lain, pembangunan pertanian terbukti
lebih menguntungkan dan menyejahterakan
petani kaya berlahan luas dan petani menengah.
Sementara petani gurem dan buruh tani justru
tidak dapat menikmati hasil program pertanian.
Kebijakan kredit pertanian (kredit Bimas, Inmas,
KUT, KIK) misalnya, hanya dapat dinikmati dan
diakses oleh petani kaya berlahan luas dan
petani berlahan sedang.
Karena dalam
memperoleh kredit tersebut harus ada agunan
berupa bukti kepemilikan tanah. Jelas, petani
gurem dan penggarap tidak bisa memenuhinya.
Para petani gurem dan penggarap hanya bisa
menikmati KCK yang besarnya tidak seberapa
dan tidak memadai sebagai modal usahatani.
Padahal, petani kaya yang memiliki tanah luas,
bisa memiliki modal sendiri dari surplus hasil
pertaniannya. Artinya, pelipatan modal hanya
terjadi pada petani-petani kaya. Para petani kaya
punya kesempatan mengembangkan usahanya
ke non-land base agriculture maupun ke sektor
industri kecil non pertanian. Sementara petani
kaya semakin kaya dan memiliki banyak peluang
dan akses, petani gurem dan buruh tani semakin
terpuruk dalam jurang kemiskinan.
Selain agroindustri, industri manufaktur dan
perumahan (properti) juga memberikan tekanan
yang hebat dan mendorong pencaplokan tanahtanah pertanian yang produktif. Mafia pertanahan
bermunculan, dan secara sistematis memaksa
petani menjual tanahnya dengan ganti rugi yang
sangat rendah demi kepentingan industrialisasi.
Konversi lahan pertanian menjadi areal industri
dan perumahan terjadi di mana-mana. Data
Sensus Pertanian 1993 menunjukkan bahwa
selama kurun waktu 1983-1993, sejumlah 0,5
juta ha lahan pertanian subur penghasil pangan
di Jawa beralih fungsi menjadi areal industri,
pemukiman, bisnis, pariwisata dan perkebunan
swasta besar. Secara struktural kondisi ini
menciptakan kepincangan antara sektor industri
dan pertanian. Para petani sebagai subjek
pertanian rakyat pada akhirnya termarjinalisasi.
Kepemilikan tanah dan pemiskinan petani
Di pedesaan sendiri telah terjadi stratifikasi sosial
berdasar luasan tanah yang dimiliki. Setidaknya
ada empat golongan petani di pedesaan, yaitu:
petani kaya berlahan luas, petani berlahan
sedang, petani berlahan sempit dan buruh tani.
Sementara beberapa data menunjukkan bahwa
70% - 80% dari luasan tanah di desa dikuasi
oleh (hanya) 10% - 20% penduduk. Bahkan
banyak
informasi
terakhir
menunjukkan
mayoritas lahan pertanian di desa telah dikuasai
oleh orang-orang luar desa.
Tajamnya kesenjangan sosial ini semakin
kentara dengan semakin banyaknya buruh tani
dan petani gurem dalam 15 tahun terakhir. Data
sensus pertanian 1993 menunjukkan jumlah
petani gurem (menguasai lahan kurang dari 0,5
ha) meningkat dari 9,53 juta rumah tangga tahun
1983 menjadi 10,94 juta rumah tangga pada
tahun 1993. Dengan kata lain dalam waktu 10
tahun jumlah petani gurem naik sebesar 1,4 juta
rumah tangga.
Tentunya jumlah ini akan
semakin besar jika buruh tani dimasukkan juga
sebagai kelompok petani gurem. Fenomena ini
diikuti dengan semakin banyaknya petani yang
WACANA No. 10/ September - Oktober 1997
Wasana Kata
Petani gurem dan buruh tani pada akhirnya mulai
tersingkir karena tiadanya akses terhadap
sumber-sumber tanah. Petani kecil yang masih
mau bertahan, terpaksa mencari nafkah
tambahan diluar kegiatan bercocok tanam.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pendapatan petani gurem dari bercocok tanam
hanya mencapai 50% dari biaya hidup minimum
sebuah keluarga kecil. Jelaslah bahwa pertanian
tidak dapat lagi diandalkan oleh para petani kecil
ini. Dengan kata lain, telah terjadi proses
pemiskinan di kalangan petani-petani gurem dan
buruh tani.
Para petani miskin tersebut kini bahkan tidak
bisa berharap banyak bahwa proses produksi
mereka akan tetap berlanjut dan menjamin
tingkat subsistensi mereka. Apalagi berharap
untuk dapat memiliki tanah sendiri. Rasanya, hal
itu adalah sesuatu utopis. Semakin jelas bahwa
tanah —yang menjadi segalanya buat petani
(seperti terungkap dalam pepatah Jawa:
sadhumuk bathuk senyari bumi, ditohi pecahing
dhadha lan wutahing ludira)— hanyalah sebuah
mitos belaka. Dalam keterpurukan petani karena
ketiadaan tanah ini, pembangunan pertanian
justru semakin menjerumuskan petani pada titik
kesejahteraan hidup terendah.
Praktek
pembangunan pertanian lalu menjadi —menyitir
istilah Wertheim—- : betting on the strong ......
3
Download