Naskah Publikasi - Digital Repository

advertisement
EVALUASI KEPATUHAN DALAM PENATALAKSANAAN
PASIEN SINDROM KORONER AKUT DI IGD
RSU PKU MUHAMMADIYAH BANTUL
NASKAH PUBLIKASI
Disusun Oleh:
Mayfuza Husein
20111030235
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN RUMAH SAKIT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014
LEMBAR PENGESAHAN
EVALUASI KEPATUHAN DALAM PENATALAKSANAAN
PASIEN SINDROM KORONER AKUT DI IGD
RSU PKU MUHAMMADIYAH BANTUL
Disusun Oleh:
Mayfuza Husein
20111030235
Disetujui,
Dosen Pembimbing I
Tanggal ..............................
Dr. Elsye Maria Rosa, SKM., M.Kep.
Dosen Pembimbing II
dr. Arlina Dewi, M.Kes., A.A.K.
Tanggal …………………..
INTISARI
EVALUASI KEPATUHAN DALAM PENATALAKSANAAN
PASIEN SINDROM KORONER AKUT DI IGD
RSU PKU MUHAMMADIYAH BANTUL
EVALUATION OF COMPLIANCE MANAGEMENT
PATIENTS AGAINST ACUTE CORONARY SYNDROME IN THE PKU
MUHAMMADIYAH BANTUL HOSPITAL'S EMERGENCY DEPARTMENT
Mayfuza Husein, Arlina Dewi, Elsye Maria Rosa
Program Studi Manajemen Rumah Sakit, Program Pasca Sarjana,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
INTISARI
Latar belakang: Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu keadaan
gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak
enak atau nyeri di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard
yang membutuhkan tindakan medis secepatnya. Keterlambatan dalam penanganan
kasus SKA dapat mengakibatkan kematian. Agar penatalaksanaan pasien SKA
berlangsung secara optimal sesuai dengan pedoman atau standar terapi yang telah
ditetapkan, perlu adanya suatu sistem atau mekanisme yang secara terus menerus
memonitor dan memantau terapi obat yang diterima pasien. Penelitian ini
bertujuan mengevaluasi kepatuhan, kesiapan tim, kelengkapan status rekam
medis, standar, masalah, rekomendasi penyelesaian masalah, dan keselamatan
pasien dalam penatalaksanaan pasien SKA di IGD.
Metode: jenis penelitian ini adalah studi kasus. Populasi adalah 2 orang
dokter IGD dan 27 sampel data rekam medis IGD dengan diagnosis SKA.
Persepsi responden diukur dengan pertanyaan wawancara. Analisis data yang
digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil: kepatuhan dalam penatalaksanaan sudah baik, Kesiapan tim medis
didukung dokter dan perawat yang sudah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan
sudah baik, dengan mengacu pada standar ACLS. Ketidakterisian status rekam
medis masih menjadi temuan audit. Keterlambatan penanganan terjadi karena
kamar bangsal penuh, pasien/keluarga menolak dirawat dan dirujuk, dan belum
ada standar pelayanan SKA yang dibuat sesuai kebijakan RS, beberapa masalah
ini berkaitan dengan keselamatan pasien.
Kesimpulan: perlunya kebijakan sistem yang sesuai untuk
penatalaksanaan SKA. Selain penanganan di rumah sakit keluarga diberikan
edukasi mengenai gejala SKA ini.
Kata kunci : kepatuhan, Sindrom Koroner Akut (SKA), Instalasi Gawat Darurat
(IGD), keterlambatan
ABSTRACT
Background : Acute Coronary Syndrome (ACS) is a state of emergency
cardiac with clinical manifestations is uncomfortable feeling or pain in the chest
or other symptoms due to myocardial ischemia, so it is a medical emergency that
requires immediate action. Delays in handling cases of ACS can result in death.
The treatment and ongoing management of ACS patients optimally in accordance
with the guidelines or standard therapy has been established, the need for a
system or mechanisms that continuously monitor and monitor drug therapy
received by patients. This study aimed to evaluate compliance, team readiness,
completeness status of medical records, standards, issues, and resolution
recommendations, and patient safety in the management of ACS patients in
emergency department (ED).
Methods: This study is a case study. The population is 2 ER doctors and
27 samples of ER medical records with a diagnosis of ACS. Respondents
perceptions measured by interview questions. Analysis of the data used is
qualitative analysis.
Results: Adherence to have good management, medical readiness teams
supported doctors and nurses who already have good emergency training, with
reference to standard ACLS. The emptiness status of medical record audit
findings still. The delay occurred because the handling room full ward,
patient/family refuses treated and referenced, and there is no standard of care
ACS made at the discretion of the hospital, some of the issues related to patient
safety.
Conclusion: the need for policy management system suitable for ACS. In
addition to handling family at the hospital are given education about the
symptoms of the ACS.
Keywords: compliance, Acute Coronary Syndrome (ACS), Emergency
Department (ED), delay.
PENDAHULUAN
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan Penyakit Jantung Koroner (PJK)
yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya, sering terjadi perubahan secara
tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan tidak stabil atau akut. 1
Angka kematian di negara maju/industri masih cukup tinggi yaitu 30%
terjadi pada 2 jam pertama perawatan, namun setelah ada pelayanan Coronary
Care Unit (CCU) mulai tahun 1960 angka kematian turun menjadi 20% dan
selanjutnya dengan penggunaan terapi trombolitik pada tahun 1980 angka
kematian menurun menjadi 10% dan kematian mendadak dapat merupakan
manifestasi pertama dari IMA.2
Manifestasi klinis SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil/APTS,
Non-ST elevation myocardial infarction/NSTEMI, atau ST elevation myocardial
infarction/STEMI. SKA merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan
manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri di dada atau
gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Pasien APTS dan NSTEMI
harus istirahat di ICCU dengan pemantauan EKG kontinu untuk mendeteksi
iskemia dan aritmia. 1
Keterlambatan dalam penanganan kasus SKA ini dapat mengakibatkan
kematian. Penelitian di Negara Eropa menemukan kematian akibat serangan
jantung digambarkan 10% untuk tiap jamnya dari keterlambatan antara waktu
pasien atau keluarga memanggil ambulans dan waktu pasien ditangani di rumah
sakit.3
RSU PKU Muhammadiyah Bantul adalah RS swasta tipe C bersertifikat
ISO 9001:2000. Pada studi pendahuluan dilakukan wawancara kepada dokter dan
perawat di IGD RS PKU Muhammadiyah Bantul pada 2 November s/d 8
November 2013. Dari wawancara tersebut diperoleh bahwa banyak pasien yang
datang berobat untuk kasus sindrom koroner akut ini, dimana pasien berhasil
ditangani atau dilanjutkan perawatan di ruang perawatan intensif maupun yang
tidak dapat ditangani di RS tersebut selanjutnya segera dirujuk ke RS yang lebih
kompeten menangani kasus ini. Untuk penanganan kasus kegawatdaruratan
sindrom koroner akut ini tim dokter dan perawat sudah dilatih dan pelatihannya
dilakukan
berkesinambungan
mengikuti
perkembangan
ilmu
kedokteran.
Sementara itu, data masing-masing kasus dari sindrom koroner akut ini belum
dapat dipastikan.
Di RSU PKU Muhammadiyah Bantul khususnya di IGD belum ada
peraturan resmi tertulis yang baru sebagai acuan standar penanganan pasien
sindrom koroner akut, Standar Pelayanan Medik (SPM) terakhir tahun 2007 yang
belum diperbaharui hingga sekarang.
Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan
penderita SKA. Agar standar dan strategi pengobatan serta penatalaksanaan
pasien SKA berlangsung secara optimal, efektif dan efisien sesuai dengan
pedoman atau standar terapi yang telah ditetapkan, maka perlu adanya suatu
sistem dan/atau mekanisme yang secara terus menerus memonitor dan memantau
terapi obat yang diterima pasien.1
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kepatuhan, kesiapan tim,
kelengkapan status rekam medis, standar, masalah, rekomendasi penyelesaian
masalah, dan keselamatan pasien dalam penatalaksanaan SKA terhadap pasien di
IGD RSU PKU Muhammadiyah Bantul.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode kualitatif
terhadap kepatuhan penatalaksanaan sindrom koroner akut terhadap pasien di IGD
RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Aspek kualitatif diteliti dengan studi kasus
dilakukan wawancara.
Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian adalah 2 orang dokter pelaksana IGD di RSU PKU
Muhammadiyah Bantul. Penelitian dilaksanakan di IGD pada bulan Februari
2014.
Populasi, Sampel, dan Sampling
Sampel penelitian adalah 27 data rekam medis dengan diagnosis sindrom
koroner akut sejak 1 Desember 2012 sampai dengan 31 November 2013.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian kualitatif ini adalah
status rekam medis dengan diagnosis SKA dan lembar pertanyaan yang akan
diajukan pada saat wawancara dengan responden.
Analisis Data
Metode kualitatif yang dilakukan melalui wawancara langsung kepada
responden. Wawancara masing-masing terhadap 2 responden yaitu dokter
manager IGD dan dokter IGD pelaksana. Hasil dari wawancara ini adalah
kesiapan tim, kelengkapan status rekam medis, standar yang digunakan, masalah,
rekomendasi
penyelesaian
masalah,
dan
keselamatan
pasien
dalam
penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut di IGD RSU PKU Muhammadiyah
Bantul.
HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum RSU PKU Muhammadiyah Bantul
RS milik Pimpinan Pusat Muhammadiyahini didirikan pada 1 Maret 1966
berawal dari sebuah Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin (BP/RB), RS Khusus
Ibu dan Anak (1995),dan resmi menjadi RSU tipe C (2001). RS yang bertempat di
Jalan Jendral Sudirman no. 124 Bantul ini telah memiliki 126 tempat tidur, 13
orang dokter umum, 52 orang dokter spesialis, 5 orang dokter gigi, dengan jumlah
karyawan tetap 328, karyawan kontrak 49, PKWT 49. Terdapat 6 jenis pelayanan
24 jam, 15 poliklinik, 6 pelayanan penunjang, serta 9 pelayanan lain. 4
2. Profil IGD RSU PKU Muhammadiyah Bantul
Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSU PKU Muhammadiyah Bantul
merupakan pintu utama penerimaan pasien gawat darurat. Instalasi ini memiliki
13 orang dokter umum dan 16 orang perawat terlatih. Semua dokter dan perawat
tersebut sudah memiliki kompetensi dalam penanganan kasus kegawatdaruratan
dibuktikan dengan sertifikat ACLS dan PPGD. IGD memiliki 6 ruang tindakan,
yang terdiri dari 3 ruang tindakan, 1 ruang reassessment, dan 1 ruang resusitasi.
3. Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil penelitian, responden dari penelitian ini terdiri dari 2
orang dokter IGD yaitu 1 dokter laki-laki dan 1 dokter perempuan. Usia
responden terletak pada kelompok rentang umur 31 – 35 tahun dengan 1 orang
dokter dan kelompok dengan rentang umur 35 – 40 tahun 1 orang dokter, artinya
dilihat dari usia dokter umum di IGD sudah banyak pengalaman.
Berdasarkan karakteristik jabatan semua responden adalah dokter IGD
pelaksana. Ditinjau dari data lama kerja, responden berada pada kelompok kerja 1
– 5 tahun, artinya masa kerja dokter masih tergolong baru dan kelompok 5 – 10
tahun, artinya sudah banyak pengalaman. Lama kerja ini juga menunjukkan
pengalaman dokter IGD, semakin lama bekerja berarti semakin banyak
pengalaman dokter tersebut.
4. Karakterisktik Sampel
Kebutuhan untuk sampel diambil dari status rekam medis IGD dengan
diagnosis sindrom koroner akut, baik yang unstable angina, infark miokard akut
dengan segmen ST (STEMI), dan infark miokard akut tanpa segmen ST
(NSTEMI). Dari status rekam medis tersebut diperoleh 27 kasus dengan diagnosis
SKA, selama rentang waktu 31 Desember 2012 – 30 November 2013 yang
ditangani oleh dokter umum di IGD.
Tabel 1
Karakteristik jenis kelamin pasien dengan diagnosis SKA di IGD
Kasus SKA
Laki-laki
Perempuan
Angina tidak stabil
3
3
Infark Miokard Akut
(STEMI dan NSTEMI)
16
5
Total
19
8
Dari tabel 1 diperoleh jumlah pasien IGD dengan kasus SKA ada 27 kasus
yang terdiri dari diagnosa angina tidak stabil 3 kasus ditemukan pada pasien laki-
laki dan 3 kasus ditemukan pada pasien perempuan. Sementara itu kasus dengan
diagnosa infark miokard akut termasuk didalamnya STEMI dan NSTEMI terdapat
16 kasus pada pasien laki-laki dan 5 kasus pada pasien perempuan.
Tabel 2
Karakteristik kelengkapan status rekam medis IGD dengan diagnosa SKA
Total Persentase Identifikasi
Nama Item
Lengkap
%
Tidak lengkap
%
Identitas pasien
0
0
27
100
Tanggal periksa
26
96,30
1
3,70
Jam datang
27
100
0
0
Jam penatalaksanaan
24
88,89
3
11,11
Jaminan (Askes, Jamkes,
Umum)
12
15
55,56
Keadaan umum
20
74,07
7
25,93
Vital sign
18
66,67
9
33,33
ABCD
23
85,19
4
14,81
Kondisi
26
96,30
1
3,70
Anamnesis
27
100
0
0
Pemeriksaan Fisik
9
33,33
18
66,67
Diagnosis
27
100
0
0
Penunjang Lab/Rad
27
100
0
0
Terapi
26
96,30
1
3,70
Dirawat
20
74,07
Dirujuk
2
7,41
1
3,70
Dipulangkan/menolak
2
7,41
Meninggal
2
7,41
Jam keluar
2
7,41
25
92,59
Nama dan TTD Dokter IGD
26
96,30
1
3,70
Rata-rata Kelengkapan
20
75,38
7
24,62
44,44
Tindaklanjut :
Berdasarkan tabel 2 tampak ketidaklengkapan pengisian berkas rekam
medis pasien, terdapat ketidaklengkapan identifikasi pasien secara keseluruhan
sebanyak 100 %. Padahal pengisian identitas ini sudah dibantu oleh petugas
rekam medis. Item dari identitas pasien tersebut seperti ketidaklengkapan nama
pasien, alamat, nomer rekam medis, usia, dan jenis kelamin.
Dari tabel 2 juga diperoleh persentase ketidaklengkapan review laporan
penting yang paling tinggi adalah 92,59% pada item jam keluar, berikutnya
ditemukan ketidaklengkapan pada item pemeriksaan fisik sebanyak 66,67%.
Untuk item lain yang menjadi perhatian ketidaklengkapan adalah jaminan dan
vital sign, berturut-turut 55,56% dan 33,33%. Padahal dalam penanganan kasus
SKA pada penelitian ini pengisian item pemeriksaan fisik dan vital sign
merupakan data yang sangat penting dalam penentuan penanganan terapi yang
akan diberikan. Untuk ketidaklengkapan terendah ada pada item jam datang,
anamnesis, diagnosa, dan pemeriksaan penunjang dengan masing-masing
persentase 0%.
Selain itu ketidaklengkapan pengisian berkas rekam medis pada komponen
autentifikasi sebanyak 3,70% pada item nama dan tandatangan dokter. Dalam hal
ini ketidaklengkapan pada penulisan nama dan tandatangan dokter sangat sedikit,
artinya kedisiplinan dokter sudah baik.
Secara keseluruhan bahwa untuk kelengkapan penulisan status rekam medis
IGD untuk kasus SKA sebesar 75,38% itu cukup baik namun perlu peningkatan
lagi seperti kelengkapan identitas pasien, jam penatalaksanaan, jaminan, keadaan
umum, vital sign, pemeriksaan fisik, dan jam keluar karena data-data yang kurang
lengkap tersebut dapat mempengaruhi tindakan apa yang akan diberikan pada
pasien untuk pengobatan selanjutnya.
5. Kepatuhan dalam penatalaksanaan SKA
Tabel 3
Kepatuhan dalam penatalaksanaan SKA
Kriteria SKA
No
Nyeri dada
tipikal
EKG
Biokimia
(Troponin T)
Diagnosa
Tindak
lanjut
Patuh/Tidak
1
+
-
-
Chest pain susp APTS
Dirawat
Patuh
2
+
NSR
-
Chest pain
Dirawat
Patuh
3
+
ST elevasi
+
Chest pain dd APTS,
STEMI
Dirawat
4
+
ST elevasi, ST
depresi
+
Chest pain dd STEMI,
Hipertensi Gr II
Menolak
dirawat
Patuh
Patuh
5
+
-
-
Chest discomfort dd
APTS, AP
Menolak
dirawat
6
+
Sinus
Bradikardi
-
Susp. APTS
Dirawat
7
+
STEMI
-
STEMI inferior
Dirawat
Patuh
8
+
STEMI
+
Obs. Chest pain ec AMI
Dirawat
Patuh
Chest pain, Dyspneu
9
+
ST elevasi,
bradikardi
-
Obs. Bradikardi, STEMI
Inferior
Dirujuk
karena
kamar
penuh
Patuh
10
+
-
+
Obs. Chest pain dd
STEMI, NSTEMI
Dirawat
ICU
Patuh
11
+
NSTEMI
-
NSTEMI Anteroseptal
Dirawat
Patuh
12
+
-
-
Obs. Chest pain dd AMI
Dirawat
Patuh
13
+
STEMI
-
Chest pain
Dirawat
Patuh
14
+
STEMI
-
STEMI Anteroseptal
Dirujuk
RSSP
Patuh
15
+
ST elevasi
-
AMI
Dirawat
ICU
Patuh
16
+
ST elevasi
+
AMI anteroseptal
Dirawat
ICU
Patuh
17
+
ST elevasi,
STEMI inferior
-
Chest pain dd STEMI
inferior
Dirawat
Patuh
Patuh
Patuh
Lanjutan tabel 3
Kepatuhan dalam penatalaksanaan SKA
Kriteria SKA
Diagnosa
Tindak
lanjut
Patuh/Tidak
Obs. Chest pain dd SKA
Dirawat
Patuh
+
Obs. Dyspneu dd SKA
Dirawat
ICU
Patuh
STEMI
+
Edema pulmo, AMI
Dirawat
Patuh
Tidak
sadar
-
-
Gagal napas, Gagal
jantung
Meninggal
22
+
STEMI
-
STEMI
Dirawat
Patuh
23
+
-
-
Obs. Chest pain dd
cardial, non cardial
Dirawat
Patuh
24
+
SVT
-
SVT, Ischaemic high
lateral/anteroseptal,
CHF
Dirawat
Patuh
25
+
-
+
STEMI, HHD, Syok
kardiogenik
Dirawat
ICU
Patuh
26
Perut
mbesesek
-
-
Susp. SKA dd STEMI,
NSTEMI
Dirawat
Patuh
27
Tidak
sadar
-
-
Meninggal
Patuh
No
Nyeri dada
tipikal
EKG
18
+
ST elevasi
19
+
Lead II
20
Sesak (+)
21
Biokimia
(Troponin T)
Penurunan kesadaran
Cardiac arrest
Dari tabel 3 diagnosa SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat
berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu nyeri dada tipikal, gambaran EKG, dan evaluasi
biokimia dari enzim jantung dalam hal ini Troponin T. Setelah kriteria tersebut
diketahui diagnosis dapat ditegakkan dan segera dilakukan tindak lanjut
penanganan terhadap pasien. Dari data diperoleh 20 pasien dilakukan rawat inap
baik di bangsal maupun ICU, 2 pasien dirujuk dengan alasan kamar penuh, 2
pasien menolak dirawat, dan 2 pasien meninggal setibanya di IGD dalam kondisi
tidak sadar.
Patuh
6. Kesiapan tim dan penatalaksanaan SKA
Tabel 4
Kesiapan tim dan penatalaksanaan SKA
Pertanyaan
Kesiapan tim dan
penatalaksanaan SKA
Responden 1
Sumber Daya Manusia,
Alat, dan Obat-obatan
sudah baik
Responden 2
Sumber Daya Manusia,
Alat, dan Obat-obatan
sudah baik
Berdasarkan dari hasil wawancara terhadap responden diperoleh data bahwa
untuk sumber daya manusia, alat, dan obat-obatan di IGD sudah lengkap, baik
sesuai standar.
7. Kelengkapan status rekam medis dengan diagnosa SKA
Tabel 5
Kelengkapan status rekam medis dengan diagnosa SKA
Pertanyaan
Kelengkapan status
rekam medis dengan
diagnosa SKA
Responden 1
Belum lengkap
Responden 2
Belum lengkap
Dari hasil wawancara dan data rekam medis diperoleh penulisan status
rekam medis yang kurang lengkap pengisiannya.
8. Masalah dalam penatalaksanaan SKA
Tabel 6
Masalah dalam penatalaksanaan SKA
Pertanyaan
Masalah dalam
penatalaksanaan SKA
Responden 1
1. Pasien Jamkesmas
2. Kamar penuh.
3.Keluarga
menolak
dirujuk
Responden 2
1. Pasien Jaminan
2. Kamar penuh
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh seringnya yang menjadi masalah
dalam penatalaksanaan SKA terjadi pada pasien dengan jaminana, pada perawatan
lanjutan dikarenakan kamar di bangsal penuh dan pasien/keluarga pasien yang
menolak untuk dirujuk.
9. Standar penatalaksanaan kasus SKA
Tabel 7
Standar penatalaksanaan kasus SKA
Pertanyaan
Standar
penatalaksanaan
kasus SKA
Responden 1
Responden 2
1. Standar Pelayanan Medis
(SPM) 2007
1.Standar Pelayanan Medis
(SPM) 2007
2. Panduan Praktek Klinis
(PPK) belum ada
2. PPK resmi belum ada,
3.
3. SPM belum direvisi
Standar penatalaksanaan
dari RS belum ada
4. Algoritma ACLS
4. Algoritma ACLS
Dari hasil wawancara diperoleh standar resmi yang digunakan dalam
penatalaksanaan SKA adalah Standar Pelayanan Medis (SPM) 2007 yang belum
direvisi hingga sekarang. Selama ini menggunakan standar algoritma ACLS,
karena Panduan Praktek Klinis belum tertulis resmi. Standar penatalaksanaan
SKA di RSU PKU Muhammadiyah Bantul belum ada.
10. Rekomendasi untuk mengatasi masalah dalam penatalaksanaan kasus SKA
Tabel 8
Rekomendasi untuk mengatasi masalah dalam penatalaksanaan kasus SKA
Pertanyaan
Responden 1
Rekomendasi untuk
mengatasi delay in
treatment pada kasus
SKA
1. Audit pengisian status
rekam medis.
Responden 2
1. PPK resmi
2. SPM resmi
Berdasarkan tabel 8 rekomendasi yang disampaikan responden dalam
mengatasi masalah yaitu adanya audit mengenai pengisian status rekam medis.
SPM atau kebijakan resmi mengisi rekam medis secara lengkap dan jelas. Selain
itu terkait dengan sistem juga, diharapkan adanya PPK resmi dalam memberikan
tindakan yang terbaik untuk pasien sesuai peraturan yang berlaku di RS.
11. Keselamatan Pasien pada penatalaksanaan kasus SKA
Table 9
Keselamatan Pasien pada penatalaksanaan kasus SKA
Pertanyaan
Keselamatan Pasien
pada penatalaksanaan
kasus SKA
Responden 1
Responden 2
1. Jika initial treatment 1. Jika PPK dan SPM tidak
dilaksanakan
menyalahi
termasuk patient safety
patient safety
2. Kamar penuh belum
tentu patient safety
3.
Terlambat
merujuk
termasuk patient safety
Pada tabel 9 dari wawancara jika kesalahan pada saat initial treatment dan
terlambat merujuk pasien termasuk dalam kesalahan keselamatan pasien.
Peraturan PPK dan SPM yang sudah ada tetapi tidak dilaksanakan juga menyalahi
keselamatan pasien. kesalahan yang disebabkan karena kamar bangsal penuh
belum bisa dikaitkan dengan kesalahan keselamatan pasien.
PEMBAHASAN
1.
Kepatuhan penatalaksanaan terhadap pasien SKA
Menurut kriteria WHO, diagnosis IMA ditegakkan bila ada 2 dari 3 keadaan
ini, nyeri dada tipikal (angina), perubahan EKG, dan peningkatan serum kardiak
(biokimia). Angina Pektoris (AP) yang timbul pada IMA biasanya timbul lebih
lama, lebih berat, tidak hilang dengan cara biasa dilakukan. Angina pada IMA
biasanya timbul lebih lama >15 menit, lebih berat, tidak hilang dengan cara yang
biasa dilakukan pasien untuk mengatasi/menghilangkan AP, atau tidak hilang
dengan pemakaian nitrogliserin berulang sampai 2 tablet sublingual dalam 10
menit. Semua keseluruhan rasa tidak enak di dada khususnya pada pasien resiko
tinggi, perlu dilakukan evaluasi. Pasien-pasien usia lanjut, diabetik dan wanita
sering menampilkan keluhan berbeda, yaitu tidak klasik AP, bahkan dapat tanpa
gejala AP. STEMI adalah IMA dengan gambaran elevasi ST dan non STEMI
yaitu IMA tanpa elevasi ST.5
Pada data yang diperoleh untuk tindak lanjut penanganan SKA, dari 27
pasien yang terdiagnosis SKA, 20 pasien dirawat di ICU dan bangsal, 2 pasien
dirujuk, 2 pasien dipulangkan/menolak dirawat, dan 2 pasien meninggal. Hal ini
menandakan bahwa kepatuhan penanganan SKA di IGD cukup baik, namun
masih ada beberapa masalah penundaan disebabkan oleh kamar rawat inap sedang
penuh sehingga pasien harus dirujuk. Pada pasien yang dipulangkan dan menolak
dirawat, disebabkan kondisi pasien yang tidak memerlukan rawat inap tetapi
disarankan segera kembali kontrol ke dokter ahli jika obat yang dikonsumsi telah
habis atau keluhan belum berkurang. Untuk pasien yang meninggal disebabkan
pasien datang sudah dalam keadaan tidak sadar dan meninggal dalam perjalanan
ke IGD.
2.
Kesiapan tim dalam penatalaksanaan SKA
Pada prinsipnnya penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah
koroner dengan trombolitik untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard,
membatasi luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung.
Penderita SKA perlu penanganan segera mulai sejak di luar rumah sakit sampai di
rumah sakit. Pengenalan SKA dalam keadaan dini merupakan kemampuan yang
harus dimiliki dokter/tenaga medis karena akan memperbaiki prognosis pasien.
Tenggang waktu antara mulai keluhan, diagnosis dini sampai dengan mulai terapi
reperfusi akan sangat mempengaruhi prognosis. Terapi infark miokard akut harus
dimulai sedini mungkin, reperfusi sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam.1
Tim medis di IGD termasuk semua dokter dan perawat telah memiliki
kompetensi begitu juga triase, obat-obatan dan peralatan penunjang lain seperti
monitor, EKG, dll sudah sesuai standar dalam penatalaksanaan pasien dengan
sindrom koroner akut. Hal ini didukung dengan dokter yang telah memiliki
sertifikat pelatihan ACLS (Advance Cardiac Life Support) dan perawat yang
telah mengikuti pelatihan PPGD (Pelatihan Penanganan Gawat Darurat), karena
diharapkan selalu update dalam penatalaksanaan sindrom koroner akut. Dalam hal
ini tampak penatalaksanaan kasus SKA di IGD RSU PKU Muhammadiyah Bantul
sudah baik.
Pada wawancara diperoleh bahwa tim medis sangat tanggap terhadap pasien
yang datang dengan keluhan nyeri dada. Prinsipnya siapapun yang menemukan
pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada khas segera bertindak
memasang oksigen dan EKG, jika pada saat itu dokter sedang menangani pasien
lain dan selanjutnya perawat harus langsung melaporkan kepada dokter.
Penilaian awal seorang pasien dengan nyeri dada akut atau gejala lainnya
yang mengarah pada sindrom koroner akut dilakukan rekam jantung EKG 12 lead
dan hasilnya diinterpretasikan oleh dokter yang kompeten membaca EKG dan
penanganan darurat dilakukan dalam <10 menit. Penanganan cepat dilakukan saat
pertama kali pasien datang, monitor Airway breathing circulation, memasang
EKG 12 lead, mengecek vital sign, memasang oksigen, infus dan memberikan
obat-obatan yang diperlukan untuk mengurangi nyeri dada, anamnesa riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik secara cepat, jika ditemukan ST elevasi, segera
menginformasikan rumah sakit secara dini dan check list terapi fibrinolitik.6
Keuntungan terbanyak terlihat pada mereka yang mendapat pengobatan
segera setelah onset gejala muncul. Sebuah analisa penelitian dimana pasien
diacak untuk trombolisis pre dan dalam rumah sakit menunjukkan bahwa
menyelamatkan satu jam mengurangi kematian secara signifikan, tetapi pada
penelitian yang relatif kecil gagal menunjukkan besarnya keuntungan yang pasti.
Pada pengamatan terhadap fibrinolitik didapat penurunan yang progresif sekitar 1
– 6 kematian tiap jam penundaan per 1000 pasien yang diobati.2
3.
Kelengkapan status rekam medis dalam penatalaksanaan SKA
Berdasarkan hasil penelusuran rekam medis beserta wawancara ditemukan
ketidaklengkapan status rekam medis yang masih menjadi temuan dalam audit
rumah sakit, seperti identitas pasien, jam pelaksanaan, keadaan umum, vital sign,
pemeriksaan fisik, dan jam keluar yang wajib diisi dokter masih sering kosong.
Pada item vital sign dan jam keluar beberapa tidak lengkap dikarenakan alasan
terburu-buru, padahal vital sign adalah item paling penting sebagai data untuk
menentukan tindakan apa yang dapat dilakukan berikutnya berdasarkan vital sign
tersebut. Pada anamnesa jarang ditulis secara detail karena dokter hanya menulis
point-point yang mendukung keluhan pasien, yang terpenting keluhan utama dan
onset gejala seringnya beberapa informasi sudah ditanyakan namun tidak ditulis
oleh dokter termasuk juga pada kasus SKA ini. Penulisan tindakan dan terapi
yang dilakukan dalam ≤ 10 menit, terapi reperfusi door-to-needle 30 menit, dan
door-to-baloon 90 menit untuk penanganan SKA berikut jam pemberiannya
belum ada kebijakan RS yang mengatur hal tersebut. Penanda mulainya waktu
pelaksanaan terapi hanya ada pada item jam pelaksanaan pada status rekam medis.
Pada kenyataannya yang menjadi perhatian adalah status rekam medis
dengan kasus label kuning dan label merah belum lengkap padahal untuk kasuskasus ini diperlukan data-data akurat yang harus dituliskan. Pada kasus-kasus
dengan label ini segera dilakukan tindakan pertolongan pertama dan penulisan
yang dilakukan hanya secukupnya sesuai prosedur, yang paling penting jam
tindakan lebih rinci ditulis di lembar monitoring hal ini berlaku pada pasien SKA
dengan label merah.
Rekam medis yang tidak lengkap tidak cukup memberikan informasi untuk
pengobatan selanjutnya ketika pasien datang kembali ke sarana pelayanan
kesehatan tersebut. Ketidakterisian pada rekam medis dapat disebabkan oleh
banyak faktor, karena dokter lebih mengutamakan memberikan pelayanan,
banyaknya pasien sehingga dokter berusaha untuk memberikan pelayanan dengan
cepat, dokter masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium untuk lebih
memastikan diagnosis yang lebih spesifik, kesibukan dokter, terbatasnya jumlah
dokter, kurangnya kerjasama antar perawat dan petugas rekam medis, dokter
kurang peduli terhadap rekam medis.
Pernyataan ini didukung oleh teori yang mengatakan bahwa hasil analisa
berkas rekam medis menentukan peringkat suatu unit atau sarana kesehatan.
Apabila hasil analisa dari sebagian besar berkas rekam medis baik dapat
disimpulkan mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan adalah baik, berarti
unit atau sarana pelayanan kesehatan tersebut termasuk unit atau sarana pelayanan
kesehatan yang mutu pelayanan kesehatannya adalah baik.7
4.
Standar penatalaksanaan SKA
Penanganan pertama sampai pemberian obat lini pertama kasus SKA di IGD
sudah sesuai standar. Selama ini dalam penatalaksanaannya dokter mengacu pada
algoritme ACLS. Di rumah sakit SPM tentang SKA tersedia edisi tahun 2007,
belum ada revisi lagi padahal seharusnya SPM direvisi setiap 5 tahun sekali sesuai
dengan perkembangan ilmu kedokteran. PPK dan standar pelayanan SKA yang
sesuai dengan RS ini juga belum ada. Ketidaklengkapan standar pelayanan ini
membuat dilema dokter, khususnya untuk pelayanan terhadap pasien jaminan atau
BPJS misal pasien dengan nyeri dada khas, tetapi hasil dari EKG masih ragu-ragu
apakah ini suatu serangan SKA ingin dilakukan pemeriksaan laboratorium
Troponin T tetapi pasien menggunakan syarat jaminan tersebut. Sedangkan
troponin T juga jika ini serangan pertama hasilnya cenderung negatif, jika pasien
dipulangkan ada kekhawatiran kondisi bertambah parah, namun jika dirawat
diagnosisnya belum pasti dan pasien selama di bangsal hanya diterapi simptomatis
dulu.
5.
Masalah dalam penatalaksanaan SKA
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa masalah pelayanan pasien
SKA, sering terjadi pada perawatan lanjutan saat keluar dari IGD yang disebabkan
oleh kamar di bangsal penuh jadi pasien-pasien dari IGD seharusnya bisa
langsung dirawat dibangsal menjadi terkendala, sedangkan IGD juga tidak
menyediakan tempat untuk transit pasien. Untuk pasien dengan jaminan dan
BPJS, jika diagnosis SKA belum pasti dapat ditegakkan maka pasien hanya
mendapatkan terapi simptomatis misal ISDN dan analgetik dulu sampai diagnosis
SKA pasti ditegakkan. Hal ini kadang membingungkan dokter karena disisi lain
dokter ingin memberikan yang terbaik untuk pasien namun sistem mempunyai
kebijakan sendiri, sehingga dapat menyebabkan penundaan penanganan pasien
dalam hal mendiagnosis kasus tersebut.
Dari wawancara juga didapatkan pasien/keluarga pasien menolak dirawat di
ICCU atau dirujuk. Banyak pasien yang mengalami keterlambatan pengobatan
untuk penyakit akut atau kondisi yang mengancam karena masalah biaya
perawatan ini berhubungan dengan pola pengambilan keputusan seseorang dalam
penentuan pengobatan pasien.
Keterlambatan waktu antara onset nyeri dada dan inisiasi terapi reperfusi
dapat terdiri atas 3 kali penundaan, yaitu penundaan keputusan pasien ke rumah
sakit (1,5 sampai 3 jam), penundaan transportasi pra-rumah sakit (30 sampai 130
menit), dan penundaan penanganan di rumah sakit. Selain itu, banyak ditemukan
kasus IMA akut pada awalnya dirawat di rumah sakit daerah yang tidak tersedia
sarana kateterisasi dan kemudian ditransfer ke pusat pelayanan medis tersier untuk
intervensi mekanis. Hal ini menunjukkan bahwa sistem rujukan dapat
memperpanjang jeda waktu pasien untuk segera mendapatkan terapi reperfusi.8
Terdapat hubungan yang signifikan antara tindakan yang dilakukan di layanan kesehatan
awal sebelum ke IGD dengan interval keterlambatan datang pasien nyeri dada kardiak
iskemik.9
6.
Rekomendasi dalam penyelesaian masalah pada penatalaksanaan SKA
Beberapa faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan SKA di IGD:
a. Pasien
Pasien
dengan
kecurigaan
adanya
serangan
jantung
harus
mendapatkan diagnosis yang cepat, penyembuhan nyerinya, resusitasi dan
terapi reperfusi jika diperlukan, untuk itu harus dirawat oleh staf yang
terlatih dan berpengalaman di unit jantung yang modern. Pasien dan
keluarganya harus paham, mengenali dan bereaksi cepat bila ada serangan
jantung lagi.
b. Dokter Ahli Kardiologi
Ahli kardiologi harus yakin bahwa ada sistem yang optimal untuk
rawat jantung di rumah sakit mereka. Hal ini termasuk pelatihan yang
memadai dari personel ambulans dan dokter lini pertama, pengaturan yang
efisien mengenai diagnosis dan perawatan infark miokard di unit gawat
darurat, dan pengaturan untuk pemberian trombolitik. Pencatatan harus
dibuat secara baik, sejak awal perawatan dan pemberian trombolisis (catoneedle time) dan sejak dari masuknya ke rumah sakit sampai trombolisis
diberikan (door-to-needle time). Catatan harus dibuat untuk terapi
pencegahan sekunder bagi mereka yang selamat dari infark miokard
definitif.
c. Dokter Umum
Dokter umum merupakan titik pertama dalam kontak terhadap
penderita yang dicurigai mengalami infark miokard, harus bisa bertindak
dengan cepat atau membuat persiapan untuk melakukan defibrilasi dan
trombolisis secara efektif. Mereka sebaiknya terlibat dalam program lokal
penanganan kedaruratan jantung.
d. Pemegang kebijaksanaan
Mereka harus mendorong pelatihan masyarakat untuk penanganan
dasar dan personel ambulans dalam Bantuan Hidup Dasar dan Lanjut (BHD
dan BHL). Mereka harus mengatur suatu sistem yang optimal untuk
perawatan pasien yang mengalami henti jantung dan infark miokard, dengan
mengkoordinasikan aktivitas pelayanan ambulans, dokter umum, dan
pelayanan rumah sakit. Mereka juga sebaiknya memastikan bahwa unit
gawat darurat mempunyai protokol yang baik untuk penanganan pasien
yang dicurigai mengalami infark miokard serta tenaga terlatih yang tersedia
setiap saat. Dan sebaiknya disediakan tempat tidur yang sesuai untuk
perawatan infark miokard. Dokter yang terlatih mengenai kardiologi harus
selalu ada. Dan harus diselenggarakan rehabilitasi pasien sepulang dari
rumah sakit setelah infark miokard. Harus dipastikan bahwa tersedia
fasilitas di rumah sakit mereka atau daerah untuk managemen lebih lanjut
dan penanganan komplikasi infark miokard, atau bila tidak ada, harus diatur
hubungan dengan pusat kesehatan yang lain.
Adanya SPM, PPK, atau kebijakan yang mengatur penatalaksanaan
SKA yang sesuai dengan standar kesiapan rumah sakit dan perbaikan dari
sistem pelayanan seperti pada pasien jaminan karena hal-hal seperti itu
tanpa disadari menjadi penyebab delay dalam penanganan pasien SKA
selanjutnya. Demi tercapainya pelayanan yang lebih baik lagi, dilakukan
audit medik terhadap kelengkapan pengisian status rekam medis pasien
dimana disitu terdapat banyak informasi penting terhadap kelanjutan
penanganan pada pasien di kemudian hari.
7.
Keselamatan pasien dalam penatalaksanaan SKA
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi
assesment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan
tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.
Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yan disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan
yang seharusnya dilakukan. Peningkatan mutu pelayanan medis di rumah sakit
merupakan faktor penting dalam pengembangan layanan rumah sakit, layanan
medis adalah indikator penting kinerja layanan rumah sakit. Mutu layanan medis
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan keselamatan pasien.10
Jika terjadi kekeliruan pada saat initial treatment termasuk menyalahi
keselamatan pasien karena itu dibutuhkan dokter yang dapat mengenali gejala
SKA secara dini dengan tindakan cepat dan tepat, seperti halnya keterlambatan
dalam mendiagnosis awal suatu SKA. Pada wawancara dikatakan bahwa kamar
penuh belum tentu suatu kesalahan keselamatan pasien, padahal dengan adanya
kamar penuh penanganan lanjutan pasien yang seharusnya dapat dilakukan
dengan segera menjadi tertunda dalam waktu yang tidak dapat dipastikan. Dengan
begitu keterlambatan merujuk pasien pun berkaitan dalam hal ini, yang
seharusnya pasien dapat langsung diterapi lanjutan tetapi dengan adanya kamar
penuh petugas harus menghubungi rumah sakit yang menjadi tempat rujukan lain
yang dapat menangani pasien tersebut dan dalam rentang waktu tersebut
keterlambatan sudah terjadi. Kejadian-kejadian seperti ini termasuk menyalahi
keselamatan pasien tetapi belum disadari oleh petugas medis dan masih
menganggap hal yang wajar dikarenakan keterbatasan kemampuan rumah sakit
dalam memberikan pelayanan.
Jika PPK dan SPM sudah ada menjadi standar pelayanan SKA, peraturan
tersebut harus ditaati oleh dokter dan petugas lainnya. Ketidaksesuaian atau tidak
melakukan tindakan berdasarkan peraturan tersebut merupakan suatu kesalahan
dalam keselamatan pasien. Peraturan itu dibuat sebagai acuan atau pedoman
dalam penatalaksanaan kasus terhadap pasien dimana telah sesuai dengan
kesiapan rumah sakit tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
kepatuhan dalam penatalaksanaan SKA di IGD sudah baik, begitu pula dengan
kesiapan tim medis yang sudah kompeten dalam tindakan penanganannya.
Kelengkapan status rekam medis masih menjadi temuan dalam audit rumah sakit,
selain itu pencatatan waktu berjalannya penanganan tidak ditemukan data karena
belum ada kebijakan yang mengatur kelengkapan data tersebut di status rekam
medis pasien. Penatalaksanaan kasus SKA mengacu pada algoritma ACLS, RS
memiliki SPM tahun 2007 yang belum revisi. Masalah dalam penatalaksanaan
SKA pada perawatan lanjutan saat keluar dari IGD dimana ini disebabkan oleh
kamar di bangsal penuh, kebijakan terhadap pasien dengan jaminan, dan
pengambilan keputusan dalam penentuan pengobatan pasien seperti penolakan
pasien/keluarga pasien untuk persetujuan dirawat dan dirujuk. Untuk menangani
masalah ini adalah adanya audit medis dalam kelengkapan status rekam medis,
edukasi terhadap pasien/keluarga terhadap pentingnya pengananan reperfusi
segera jika diindikasikan, adanya kebijakan resmi yang mengatur standar
penatalaksanaan SKA di IGD, baik SPM, PPK, atau kebijakan lain yang sesuai
dengan sistem pelayanan RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Keterlambatan
merujuk pasien yang diakibatkan kamar penuh merupakan kesalahan dalam
keselamatan pasien. Adanya standar pelayanan yang sesuai dengan sistem RS
merupakan cara untuk meningkatkan pelayanan terhadap pasien dengan
menjunjung keselamatan pasien saat dilakukan tindakan.
KEPUSTAKAAN
1.
Depkes R.I, 2006, Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut, Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan,
Jakarta.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Sargowo, D 2008, Management Of Acute Coronary Syndrome. Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, Malang.
JAMA, 2010, Journal Of The American Medical Association: Death From
Heart Attack Rise With Delays In Care, Diakses Dari
http://consumer.healthday.com/cardiovascular-and-health-information20/misc-stroke-related-heart-news-360/death-from-heart-attack-risedelays-in-care-642182.html pada 17 oktober 2013
RSU, 2012, Profil RSU PKU Muhammadiyah Bantul, Yogyakarta
GELS, 2012, General Emergency Life Support (GELS), RSUP Dr. Sardjito
Jogjakarta, Yogyakarta
Australian Commision On Safety And Quality In Health Care, 2013,
Consultation Draft: Clinical Care Standard For Acute Coronary
Syndrome, ACSQHC, Sydney
Azwar, A 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Bina
Aksara Rupa, Jakarta.
Huber, et al 2005, Prehospital Reperfusion Therapy: A Strategy To
Improve Therapeutic Outcome In Patients With St-Elevation Myocardial
Infarction, Eur Heart J.
9.
Cahyaningsih, Dwi 2012, Hubungan Faktor Prehospital Dengan Interval
Keterlambatan Pada Pasien Nyeri Dada Kardiak Iskemik Yang Datang Ke
Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang, FK Universitas Brawijaya
Malang, Malang.
10.
Depkes R.I, 2006, Buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit, Jakarta.
Download