7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Biologi Neisseria gonorrhoeae 2.1.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Biologi Neisseria gonorrhoeae
2.1.1. Morfologi neisseria gonorrhoeae
Gonore adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh kuman Neisseria
gonorrhoeae (N. gonorrhoeae), suatu diplokokus gram negatif. Pada tahun 1879, N.
gonorrhoeae ditemukan oleh Neisser dengan pulasan sediaan hapusan dari eksudat
uretra, vagina dan konjungtiva. Transmisi penyakit gonore terjadi melalui inokulasi
langsung dari sekresi mukosa yang terinfeksi pada satu tempat ke tempat lainnya
melalui kontak genital-genital, genital-anorektal, oro-genital, atau dari ibu yang
terinfeksi ke bayinya pada proses persalinan (Sparling, 2008).
Gonokokus adalah diplokokus gram negatif, tidak bergerak dan tidak
berspora. Bentuk dari gonokokus menyerupai biji kopi dengan lebar 0,8 µ dan
panjang 1,6 µ yang secara karakteristik tumbuh berpasangan dan bagian yang
berdekatan adalah datar (rata). (Sparling, 2008). Gonokokus bersifat anaerob obligat,
tidak tahan lama diudara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan zat
desinfektan, hidup optimal pada suhu 25,5ºC dan pH 7,4. Untuk pertumbuhan optimal
diperlukan kadar CO2 2-10% (Sparling , 2008).
Penentuan tipe gonokokus secara morfologi didasarkan pada dua hal, yang
pertama berdasarkan bentuk koloni yang terjadi bila gonokokus dibiakkan pada
7
8
media agar jernih, dan yang kedua berdasarkan opasitas koloni. Berdasarkan bentuk
koloni gonokokus dibagi menjadi empat tipe. Koloni berbentuk kecil, cembung dan
berkilau terdiri dari dua tipe yaitu tipe 1 dan tipe 2, koloni ini memiliki pili (piliated)
dan ditandai dengan P+. Sedangkan koloni berbentuk besar dan datar juga dibagi
menjadi dua tipe yaitu tipe 3 dan tipe 4, tidak memiliki pili (nonpiliated) dan ditandai
dengan P-. Dalam penelitian in vitro didapatkan koloni P+ bersifat virulen sedangkan
koloni P- mengalami penurunan kemampuan untuk menimbulkan infeksi. Beberapa
koloni memiliki kemampuan mengalami konversi dari P+ menjadi P- atau sebaliknya
beberapa koloni P- dapat mengalami konversi menjadi P+ (Sparling, 2008; Criss dkk,
2005)
Berdasarkan opasitasnya, koloni dibagi menjadi koloni yang opak (Op)
tampak lebih gelap dan bergranuler bila dibandingkan dengan koloni yang transparan
(Tr). Dasar biokimia perbedaan antara koloni Op dan Tr adalah adanya variasi
ekspresi famili protein membran luar yang disebut protein II (P II), yang saat ini
dikenal dengan istilah Opa. Koloni Op terdiri dari sel-sel yang menunjukkan Opa
sedangkan Tr mengandung sel-sel yang tidak mengandung Opa (Sparling, 2005;
Simms dan Jerse, 2006)
2.1.2.
Klasifikasi dan variasi antigenik Nesisseria gonorrhoeae
2.1.2.1. Klasifikasi nesisseria gonorrhoeae
Klasifikasi strain typing Neisseria gonorrhoeae sangat diperlukan untuk studi
epidemiologi. Terdapat sejumlah metode untuk penentuan strain typing ini, yaitu
9
auksotipe, serotipe, kepekaan terhadap antimikroba dan genotipe. Metode auksotipe
dan serotipe lebih sering digunakan secara luas dalam penelitian epidemiologi gonore
(Simms dan Jerse, 2006)
Auksotipe mengklasifikasikan gonokokus berdasarkan stabilitas kebutuhan
nutrisi terhadap nukleotida dan asam amino yang bervariasi, baik dalam bentuk
tersendiri maupun kombinasi. Contoh dari auksotipe yang sering dijumpai adalah
strain yang memerlukan arginin (Arg), prolin (Pro), urasil (U), metionin (M) atau
Arg, hiposantin dan urasil (AHU) untuk pertumbuhannya. Gonokokus yang tidak
memerlukan satupun substrat dikenal dengan istilah prototropik (Proto) atau dikenal
sebagai tipe yang jinak oleh beberapa penulis (Hook dan Handsfield, 2008).
Serotipe protein I berdasarkan pada stabilitas perbedaan antigenik dari protein
I, protein yang terdapat dalam jumlah banyak pada membran bagian luar gonokokus.
Protein I dibagi menjadi dua klas yang berbeda satu, yaitu protein IA dan protein IB,
yang mana masing-masing dapat dibagi lebih lanjut menjadi serovar-serovar dengan
pemeriksaan koagulasi menggunakan reagen antibodi monoklonal spesifik. Masingmasing serovar ditandai oleh protein tipe I (IA atau IB) dan diberi angka berdasarkan
pola koagulasi (misalnya IA-4, IB-3) (Cornelissen, 2011).
Dengan kombinasi tehnik analisa auksotipe dan serovar tersebut, gonokokus
dapat dibagi menjadi klas-klas auksotipe/serovar (A/S) yang berbeda dan dalam
jumlah yang besar (lebih dari 70 strain) misalnya AHU/IA-1, Pro/IB-3, Proto/IB-12.
Strain-strain tersebut umumnya terdapat secara serentak pada masyarakat dan strain
yang baru dapat dideteksi sepanjang waktu. Masing-masing strain gonokokus
10
memiliki sifat serta berhubungan dengan manifestasi klinis penyakit yang spesifik,
misalnya strain AHU/IA-1 dan AHU/IA-2 memiliki sifat tumbuh lebih lambat
daripada kebanyakan gonokokus lainnya dan cenderung menjadi resisten (Sparling,
2006).
2.1.2.2. Variasi antigenik Nesisseria gonorrhoeae
Neisseria gonorrhoeae mengandung beberapa protein antigenik yang
berperan dalam patogenitasnya. Protein antigenik tersebut antara lain pili, porin
protein (PI atau Por), opacity protein (PII atau opa), reduction modifiable protein
(PIII atau Rmp), protein H.8, iron or oxygen-represible protein (Frps), IgAI protease,
lipo-oligosacharida (LOS) serta struktur permukaan lainnya. Mayoritas dari proteinprotein tersebut terletak pada membran bagian luar gonokokus. Peranan dari masingmasing protein antigenik dalam patogenitas gonokokus dapat dilihat pada tabel 1
(Sparling, 2008).
11
Tabel 2.1
Struktur N.Gonorrhoeae yang Terlibat pada Patogenesis Gonore (Sparling,2008)
Struktur
Peranan dalam Infeksi
Por
Insersi ke dalam membran sel host
Target untuk bakterisidal, antibodi opsonik
Opa
Perlekatan
Rmp
Target untuk blokade antibodi
Pili
Perlekatan
Lipooligosakarida
Resisten terhadap neutrofil
Peptidoglikan
Toksik terhadap jaringan
Iron repressible protein
Iron uptake dari transferin, laktoferin,
hemoglobin
Ada dua prinsip sistem untuk melakukan analisa genetik terhadap gonokokus yaitu
transformasi dan konyugasi. Tidak seperti banyak transformable species lain yang
kompetensinya terbatas pada fase tertentu dari siklus pertumbuhan, pada gonokokus
yang kompeten, setiap sel memiliki kemampuan pada semua stadium pertumbuhan.
Transformasi ini digunakan untuk transfer gen diantara strain gonokokus yang
berbeda. Hal ini penting terutama dalam transfer chromosomal antibiotic resistance
gene atau pilin silent gen (Criss, 2006).
12
Dalam proses konyugasi gonokokal, yang berperan adalah plasmid konyugal
36-kb, yang dapat secara efisien memindahkan transfer seksual beberapa plasmid
nonself lain. Plasmid juga berperan dalam resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap
antibiotika, diantaranya adalah plasmid yang mengandung penisilinase 4,5-kb atau
7,2-kb, tetracycline resistance dan plasmid gonococcal β-lactamase. Plasmid
konyugatif 36-kb juga memindahkan transfer mereka sendiri dengan efisiensi tinggi,
namun tidak terdeteksi memindahkan gen kromosomal antar gonokokal (Cox, 2013).
2.2. Patogenitas Neisseria Gonorrhoeae
Kemampuan N. gonorrhoeae untuk menginvansi host dan menentukan
patogenitasnya diperankan oleh beberapa protein antigenik yang terkandung pada
membran luar bakteri yang telah dijabarkan pada tabel 1.
Patogenesis terjadinya infeksi oleh N. gonorrhoeae diawali dengan perlekatan
(adherence) bakteri pada sel-sel mukosa kolumnar atau kuboid, sel epitel yang tidak
mengalami kornifikasi melalui perantaraan pili dan Opa. Selanjutnya terjadi interaksi
antara bakteri dan neutrofil, dimana sebagian besar bakteri (gonokokus tidak
mengandung pili) akan mengalami fagositosis oleh neutrofil sehingga berada di
dalam sel (Neisseria intraseluler). Sedangkan gonokokus yang mengandung pili
mampu melekat lebih baik dan menghindar dari fagositosis. Perlekatan pada neutrofil
diperankan oleh protein Opa dan porin bekerja menghambat maturasi fagosom dan
fungsi neutrofil, menurunkan ekspresi opsonin-dependent receptor CR3, serta
mengubah myeloperoxiadase-mediated oxidative killing. Perlekatan bakteri secara
13
selektif pada sel-sel yang mensekresikan mukus tanpa silia akan mengalami invasi ke
dalam sel, untuk mengadakan multiplikasi dan pembelahan intraseluler. Saat berada
di dalam sel epitel, bakteri mampu bertahan dari antibodi, komplemen atau neutrofil.
Invasi diperankan oleh P1A, protein Opa, dan LOS pendek nonsialylated. Kerusakan
jaringan terjadi akibat enzim (fosfolipase, peptidase) yang dihasilkan oleh LOS dan
peptidoglikan. (Sparling, 2008). Selama infeksi, lipopolisakarida (LOS) dan
peptidoglikan bakteri dilepaskan melalui autolisis sel. Lipooligosakarida akan
memicu produksi Tumor Necrosis Factor (TNF) yang menyebabkan kerusakan sel.
Kerusakan sel mukosa yang progresif dan invasi submukosa akan disertai dengan
respon leukositik polimorfonuklear yang banyak, pembentukan mikroabses, dan
eksudasi material purulen ke dalam lumen organ yang terinfeksi. Pada keadaan
infeksi yang tidak terobati, leukosit polimorfonuklear secara gradual akan digantikan
oleh sel mononuclear (Cornelissen, 2011). Selain kerusakan jaringan secara lokal,
dapat terjadi diseminasi (bakterimia dengan atau tanpa disertai artritis septik).
Diseminasi terjadi akibat kemampuan bakteri bertahan dari antibodi dan komplemen
pada serum manusia (resistensi serum). Bakteri yang resisten terhadap serum manusia
merupakan bakteri dengan LOS panjang. Resistensi serum terjadi pula akibat blokade
akses antibodi pada LOS yang diperankan oleh Rmp dan Por (C4bp dan faktor H
yang berikatan pada loops dari Por) yang menghambat deposit dan aktivasi
komplemen (Hook dan Handsfield, 2008).
14
Gambar 2.1
Patogenesis gonore tanpa komplikasi (Todar , 2012)
2.3 Manifestasi klinis infeksi gonore
Manifestasi klinis gonore merupakan suatu spektrum yang meliputi infeksi
asimptomatis, infeksi simptomatis lokal, infeksi komplikata lokal, dan diseminasi
sistemik. Pria yang terinfeksi gonokokal dapat mengalami infeksi asimptomatis
sebesar 10%, sedangkan pada wanita yang terinfeksi gonokokal, 50% adalah
asimptomatis (Hook, 2008). Uretritis asimptomatis pada pria merupakan reservoir
transmisi gonokokal yang terpenting. Manifestasi klinis gonokokal pada pria yang
tersering adalah uretritis anterior akut. Infeksi urogenital pada wanita yang
disebabkan oleh infeksi Neisseria gonorrhoeae paling sering terjadi pada
endoserviks, yang merupakan infeksi primer. Infeksi gonokokal pada vagina jarang
15
terjadi pada wanita masa reproduksi, karena terjadinya penebalan epitel kolumnar
pada vagina dan oleh karena kuatnya pertahanan biologiknya. Sedangkan pada infeksi
gonore pada anak-anak, wanita hamil dan pada wanita sesudah menopause mudah
untuk terkena infeksi gonokokal pada vagina. Kolonisasi uretra terdapat pada 70-90%
wanita yang terinfeksi, dan jarang terjadi bila tidak terdapat infeksi endoserviks.
Tetapi, setelah histerektomi, tempat infeksi umumnya terdapat pada uretra. Infeksi
pada kelenjar periuretra (skene) atau duktus kelenjar Bartholin juga sering terjadi,
tetapi kejadiannya jarang bila tidak terdapat infeksi endoserviks atau uretra. Pada
wanita yang mengalami servisitis gonokokal juga dapat terjadi infeksi pada mukosa
rektum, dengan angka kejadian sebesar 35-50% (Todar, 2012)
Masa inkubasi pada pria bervariasi antara 1-14 hari atau lebih panjang, tetapi
mayoritas gejala pada pria muncul dalam waktu 2-5 hari. Gejala predominan adalah
duh tubuh uretra yang awalnya dapat bersifat mukoid atau mukopurulen, kemudian
dalam 24 jam setelah onset akan menjadi purulen dan profus. Disuria umumnya
muncul setelah tampak adanya duh tubuh. Masa inkubasi gonore pada wanita lebih
bervariasi dibandingkan pada laki-laki. Gejala lokal umumnya muncul 10 hari setelah
infeksi, dengan gejala utama meliputi peningkatan eksudat dari vagina yang berasal
dari endoserviks yang bersifat purulen, tipis dan agak berbau. Beberapa pasien
dengan servisitis gonore kadang mempunyai gejala yang minimal. Gejala lainnya
dapat berupa disuria yaitu keluar sedikit duh tubuh dari uretra yang mungkin
disebabkan oleh uretritis yang menyertai servisitis. Dapat juga terjadi nyeri perut
bagian bawah atau dispareunia, nyeri ini dapat diakibatkan dari menjalarnya infeksi
16
ke endometrium, tuba falopi, ovarium dan peritoneum. Nyeri bisa terjadi bilateral,
unilateral, dan tepat pada garis tengah. Dapat disertai panas badan, mual dan muntah.
Nyeri pada perut bagian kanan atas dari perihepatitis (Fitz-Hugh-Curtis syndrome)
dapat terjadi melalui penyebaran bakteri ke atas melalui peritoneum. (Hook dan
Handsfield, 2008) Gejala lainnya dapat berupa perdarahan uterus diantara masa
menstruasi dan menorrhagia. Masing-masing gejala tersebut dapat terjadi sendiri atau
kombinasi dengan derajat minimal sampai berat. Komplikasi lokal pada wanita dapat
berupa penyakit radang panggul (PRP) akut yang terdiri dari salfingitis dan kadangkadang dapat terjadi endometritis, abses tubo-ovarium, atau peritonitis pelvis,
komplikasi ini terjadi pada 10-20% pasien wanita dengan infeksi gonokokus akut.
(Berggren, 2011).
2.4 Diagnosis infeksi gonore
2.4.1 Pengecatan gram
Pengecatan gram merupakan tes yang cepat dan tidak mahal. Pengecatan gram
mempunyai sensitivitas sebesar 50-60% dan spesifisitas sebesar 82-97%. Adanya
lebih dari 30 sel polymorphonuclear (PMN) per lapangan pandang besar dari hapusan
endoserviks mencerminkan adanya servisitis. Sensitivitas tertinggi dari pengecatan
gram didapatkan dari spesimen uretra laki-laki yang simptomatis, yaitu sebesar 9095%. Sensitivitas dan spesifisitas pengecatan gram lebih rendah pada spesimen
endoservikal dan rektal. Pada pengecatan akan ditemukan diplokokus gram negatif,
17
diameter kira-kira 0,8 m. Bila sendiri-sendiri, kokus berbentuk seperti ginjal dan
bila organisme ini terlihat berpasangan bagian yang rata atau cekung saling
berdekatan (Garcia, 2011).
Gambar 2.3
Neisseria gonorrhoeae pada pengecatan gram (Todar, 2012)
2.4.2 Kultur
Kultur spesifik hapusan dari tempat infeksi merupakan kriteria standar
diagnosis dan juga dapat digunakan sebagai pedoman pengobatan dengan
memperoleh informasi mengenai kerentanan antibiotika terhadap organisme tersebut.
Kultur sangat berguna pada saat diagnostik tidak jelas atau ketika terjadi kegagalan
pengobatan. Neisseria gonorrhoeae adalah organisme yang memerlukan kelembaban,
CO2 yang tinggi, dan tumbuh pada media yang diperkaya agar coklat yang berisi
darah (Hook, 2008). Kultur endoserviks dengan menggunakan media selektif
mempunyai sensitivitas sebesar 80-90%. Media selektif untuk N. gonorrhoeae adalah
18
media Thayer Martin yang memiliki sensitivitas 80-95% (Sparling, 2008). Kultur
Thayer Martin mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman gram
positif, kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif, nistatin untuk
menekan pertumbuhan jamur, trimetroprim untuk menekan pertumbuhan kuman
Proteus spp. Pada kultur akan tampak koloni berwarna putih keabuan, mengkilat dan
cembung. Media lain adalah agar coklat Mcleod, tetapi media ini dapat ditumbuhi
oleh kuman lain selain gonococcus (Papp, 2014).
2.4.3 Tes nucleic acid amplification
Tes ini lebih sensitif dan spesifik daripada tehnik amplifikasi, didesain untuk
memperkuat rangkaian DNA. Tes ini dapat mendeteksi N. gonorrhoeae pada
spesimen yang diperoleh dari hapusan uretra pada laki-laki dan spesimen urin yang
diperoleh dari laki-laki maupun wanita. Tes ini lebih cepat daripada kultur, lebih
spesifik daripada immunoassay serta tidak memerlukan organisme viabel. Tes ini
tidak direkomendasikan untuk rektal dan faring. Tes nucleic acid amplification
meliputi polymerase chain reaction (PCR), transcription-mediated amplification, dan
strand displacement amplification.
2.5. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan gonore lebih bersifat epidemiologi daripada individual, oleh
karena itu data epidemiologi mengenai resistensi gonokokus terhadap berbagai
antibiotika adalah penting untuk pedoman menetapkan rekomendasi pengobatan
19
infeksi gonokokus. The Centers for Disease Control and prevention (CDC) dan
World Health Organization (WHO) akan merubah rekomendasi pengobatan bila
dijumpai prevalensi resistensi terhadap suatu antibiotika melampaui 5%.
Selain itu terdapat beberapa kriteria dalam menetapkan regimen pengobatan
gonore, yaitu harga murah, toksisitas dapat diterima, dosis tunggal, pemberian oral,
tidak kontraindikasi untuk ibu hamil dan ibu menyusui serta tidak atau lambat terjadi
resistensi mikrobial. Sedangkan kriteria khusus dalam menetapkan regimen
pengobatan untuk infeksi gonokokus adalah obat tersebut harus memiliki efikasi yang
tinggi yaitu memiliki angka kesembuhan diatas 95% dengan batas terendah dari 95%
CI minimal 95%. Kriteria efikasi klinis ini telah digunakan untuk menentukan
rekomendasi regimen pengobatan gonore oleh CDC sejak tahun 1993. Karena adanya
perbedaan kepekaan gonokokus yang bervariasi luas pada wilayah geografi yang
berbeda, maka regimen pengobatan yang berbeda pada masing-masing daerah harus
tersedia.
Menurut Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011 untuk
terapi infeksi gonore tanpa komplikasi di Indonesia dapat dilakukan dengan regimen
sebagai berikut
1. Sefiksim 400 mg dosis tunggal, per oral atau
2. Levofloksasin 500 mg dosis tunggal, per oral atau
3. Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis tunggal atau
4. Tiamfenikol 4,5 g per oral dosis tunggal atau
5. Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis tunggal
20
2.6. Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Antibiotika
2.6.1. Definisi dan Klasifikasi Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotika
Resistensi bakteri terhadap antibiotika adalah kemampuan alamiah bakteri
untuk mempertahankan diri terhadap efek antibiotika. Berdasarkan mekanisme
molekuler, resistensi dapat terjadi secara intrinsik atau dapat juga karena didapat
(Giedraitiene dkk, 2011)
Resistensi
intrinsik
terjadi
akibat
adanya
struktur
inherent
atau
karakteristik fungsional, sehingga sejak kemunculan bakteri tersebut tidak pernah
sensitif terhadap antibiotika tertentu. Resistensi intrinsik dapat berhubungan
dengan kurangnya afinitas obat pada target kerja bakteri, tidak tersedianya akses
obat ke dalam sel bakteri, ekstrusi obat secara kromosomal yang dikoding oleh
eksporter aktif, dan produksi alamiah enzim-enzim yang menginaktivasi
antibiotika (Cox, 2014).
Resistensi didapat terjadi melalui suatu proses:1) mutasi pada gen sel
(mutasi kromosomal) yang dapat memicu resistensi silang, atau 2) transfer genetik
dari satu mikroorganisme ke mikroorganisme lainnya oleh plasmid (pada proses
konyugasi atau transformasi), transposon (konyugasi), integron dan bakteriofaga
(transduksi) (Tenover, 2005).
2.6.2. Mekanisme Resistensi Bakteri Secara Umum
Mekanisme resistensi antibiotika secara umum dapat terjadi melalui beberapa
peristiwa biomekanik seperti: 1) inaktivasi antibiotik (melalui proses hidrolisis,
21
transfer grup dan proses redoks), 2) modifikasi target kerja (perubahan struktur
peptidoglikan, hambatan sintesis protein dan asam nukleat), 3) perubahan
permeabilitas membran luar dan efflux pumps,dan 4) jalur pintas penghambatan
antibiotika (Tenover, 2006 ; Lind, 1997).
Inaktivasi atau modifikasi antibiotika diperankan oleh 3 enzim utama yaitu
betalaktamase, aminoglikosida dan asetiltransferase kloramfenikol. Betalaktamase
salah satunya dihasilkan oleh bakteri negatif Gram, yang dikodekan pada kromosom
dan plasmid. Gen yang mengkodekan betalaktamase ditransfer oleh transposon juga
ditemukan pada integron. Enzim ini dapat menghidrolisis semua antibiotika golongan
betalaktam yang memiliki ikatan ester dan amida seperti penisilin, sefalosporin,
monobaktam, dan karbapenem (Tenover, 2006).
Modifikasi pada target kerja dapat mempengaruhi ikatan antibiotika pada
target kerja. Perubahan dapat terjadi pada struktur peptidoglikan, gangguan sintesis
protein dan DNA. Mekanisme resistensi terkait ganguan sintesis DNA dapat terjadi
melalui dua modifikasi enzim yaitu DNA girase (mutasi gen gyrA dan gyrB). Mutasi
pada gyrA dan gyrC yang diikuti dengan kegagalan replikasi sehingga menyebabkan
ikatan kuinolon dan fluorokuinolon tidak dapat berikatan dengan bakteri (Tenover,
2006).
Efflux pump dan permeabilitas membran luar akan mempertahankan
konsentrasi rendah antibiotik intraseluler. Efflux pump bersifat spesifik terhadap
antibiotika. Kebanyakan mikrobakteria memiliki multidrug transporter yang mampu
memompa berbagai antibiotika yang tidak berhubungan. Perubahan pada komponen
22
efflux pump seperti peningkatan ekspresi MexAb-OprM menyebabkan minimal
inhibition concentration (MIC) yang lebih tinggi terhadap penisilin, kuinolon,
makrolid, sefalosporin, kloramfenikol, fluorokuinolon, novobiosin, sulfonamid,
tetrasiklin, trimethoprim. Perpindahan molekul obat ke dalam sel terjadi melalui
mekanisme difusi melalui porin, difusi melalui bilayer, dan melalui self-promoted
uptake. Mekanisme masuknya obat tergantung pada komposisi kimia molekul obat.
Molekul hidrofilik berukuran kecil seperti betalaktam dan kuinolon dapat menembus
membran luar hanya melalui porin, sedangkan aminoglikosida dan kolistin tidak
dapat melalui porin, sehingga memerlukan self-promoted uptake menuju sel yang
diawali dengan ikatan terhadap LOS. Penurunan permeabilitias membran luar akan
menyebabkan penurunan pengambilan anitibiotika (Tenover, 2006).
Mekanisme resistensi bakteri yang keempat yaitu melalui jalur pintas
penghambatan antibiotika yang bersifat spesifik. Bakteri memproduksi target
alternatif (biasanya enzim) yang resisten terhadap penghambatan oleh antibiotika,
seperti misalnya MRSA yang menghasilkan PBP alternatif. Pada saat bersamaan
bakteri juga menghasilkan native target yang sensitif terhadap antibiotika. Adanya
terget kerja alternatif memungkinkan bakteri bertahan dengan mengadopsi peran
native protein (Tapsal, 2005).
2.7. Mekanisme Resistensi Nesisseria gonorrhoeae
Resistensi menurut definisinya adalah suatu fenomena in vitro. Resistensi bisa
inherent atau intrinsik (yang menjadi sifatnya) atau acquired atau didapat melalui
23
suatu proses mutasi atau transfer genetik. Mekanisme resistensi yang didapat terdiri
dari 5 kategori sebagai berikut: 1) modifikasi enzimatik atau destruksi antibiotika; 2)
penurunan uptake antibiotika ke dalam bakteri; 3) peningkatan efflux antibiotika dari
bakteri; 4) perubahan atau pembuatan daerah target yang baru, dan 5) over ekspresi
dari target obat. Beberapa bakteri bisa mempunyai lebih dari satu mekanisme
(Giedraitiene, 2011).
Secara genetik mekanisme resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap semua
antimikroba terutama terdiri dari 2 tipe yaitu plasmid mediated (yang dimediasi
plasmid) dan kromosomal. Oleh karena plasmid terletak diluar kromosom, maka
resistensi yang dimediasi oleh plasmid disebut juga sebagai resistensi ekstra
kromosomal. Sedangkan resistensi yang dimediasi struktur dalam kromosom seperti
transposon, insertion sequences dan integron disebut juga sebagai resistensi
kromosomal (Tenover, 2006).
Plasmid merupakan elemen genetik ekstra kromosom, berbentuk bulat,
dengan rantai ganda DNA yang dapat memperbanyak diri dalam sel. Dalam satu
bakteri dapat ditemukan bermacam plasmid. Fungsi dari plasmid antara lain sebagai
pembawa resistensi antibiotika, merupakan virulen faktor, dan untuk metabolisme.
Ada dua jenis plasmid yaitu plasmid yang berpindah sendiri disebut self tranmissible
plasmid. Plasmid ini mempunyai gen khusus yang mengkode protein yang
dibutuhkan untuk proses konyugasi. Gen ini disebut “tra genes”. Plasmid yang lain
adalah plasmid yang tidak bisa berpindah sendiri akan tetapi butuh self transmissible
plasmid untuk dapat berpindah, disebut mobilizable plasmid. Resistensi terhadap
24
antibiotika dapat terjadi karena satu bakteri mempunyai berbagai mekanisme
resistensi dalam satu plasmid, sehingga satu plasmid dapat menjadikan bakteri
resisten terhadap berbagai obat (Lind, 1997).
Resistensi kromosomal terjadi akibat mutasi dalam gen yang memberi kode
pada setiap tempat target obat atau sistim transport pada membran sel yang akan
mengatur pengambilan obat, sehingga obat dalam sel kuman berkurang. Mutasi gen
ini dapat terjadi spontan maupun akibat rangsangan sehingga kuman dapat bertahan
terhadap pengaruh lingkungan. Resistensi kromosomal mengakibatkan penurunan
sensitivitas tahap demi tahap akibat akumulasi gradual dari mutasi kromosomal yang
terjadi perlahan-lahan bersama waktu. Deteksi resistensi kromosomal bisa melalui
metode dilusi agar atau disk diffusion. Dalam periode 1988-1994, data dari
Gonococcal Isolate Surveillance Project (GISP) Amerika Serikat, didapatkan
resistensi total terhadap gonokokus sebesar 30,5%, yang mana 14,3% disebabkan
karena resistensi plasmid dan 16,2% resistensi kromosomal (Tapsal, 2005).
2.7.1 Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Beberapa Antibiotika
Mekanisme resistensi antibiotika pada N.gonorrhoeae dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu pertama yang melibatkan penurunan akses antibiotika menuju
target kerja, dan kedua yang melibatkan perubahan pada target kerja itu sendiri
(Latel, 2011; Lind, 1997)
Akses antibiotika menuju target kerja dibatasi oleh beberapa faktor seperti: 1)
penurunan permeabilitas selubung sel akibat adanya perubahan pada protein porin, 2)
25
adanya pengeluaran antibiotika secara aktif dari sel melalui efflux pump, dan 3)
kerusakan antibiotika sebelum berinteraksi dengan target kerja. Sedangkan perubahan
atau delesi target kerja antibiotika merupakan hasil dari penurunan afinitasnya
terhadap antibiotika. Perubahan ini diperantarai oleh faktor kromosomal maupun
ekstrakromosomal (plasmid) (Tapsal, 2005).
Resistensi pada N.gonorrhoeae yang diperantarai kromosomal pada umumnya
muncul secara lambat dan diseminata. Resistensi yang diperantarai plasmid, saat ini
terbatas resistensi terhadap penisilin dan tetrasiklin terjadi melalui proses konyugasi.
Plasmid yang mengalami konyugasi akan memobilisasi plasmid yang membawa
determinan resistensi. Karena tidak semua strain membentuk plasmid terkonyugasi,
maka angka penyebaran resistensi bersifat terbatas. Namun plasmid terkonyugasi
dapat dipindahkan saat konyugasi sehingga strain resipien dapat menjadi donor
dengan sendirinya (Lind, 1997).
.
2.7.2 Faktor Penyebaran Resistensi
Resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap antibiotik banyak dijumpai di
daerah dengan sektor kesehatan yang meresepkan penggunaan antibiotik yang tidak
terkontrol. Resistensi terhadap penicillin tersebar di Asia tenggara. Para pekerja
seksual di Asia mengkonsumsi kuinolon oral sebagai profilaksis dan hal ini dapat
menjadi faktor kontribusi resistensi antimikroba.
Peranan meningkatnya jumlah wisatawan dan penyebaran infeksi menular
seksual telah diamati. Wisatawan tersebut dapat memperantarai penyebaran strain
26
yang resisten dari satu negara ke negara lain selama masa inkubasi infeksi. Laporan
kasus di Swedia menunjukkan tingginya angka resistensi penicillin lebih banyak
dijumpai pada warganya yang sering keluar negeri. Selain itu terdapat kelompok yang
berpotensi mentransmisikan infeksi menular seksual diantaranya adalah sopir truk
jarak jauh, pekerja imigran dan pelaut. Imigran gelap bertanggung jawab terhadap
resistensi penisillin dan kuinolon di Sydney Australia. Kelompok “sex tourist” juga
bertanggung jawab terhadap penyebaran infeksi yang memang mereka berlibur
dengan tujuan kesenangan seksual. Mulhall merekomendasikan pendekatan program
kesehatan seksual pada kelompok wisatawan (Cole, 2014).
2.8. Sejarah Perkembangan Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Antibiotika
2.8.1. Era Pra kuinolon
Pada tahun 1937, sulfonamid adalah antibiotika yang direkomendasikan untuk
N. gonorrhoeae dan resistensi bakteri terhadap agen ini terjadi dalam dua tahun
kemudian. Sementara pada waktu yang bersamaan, Alexander Flemming melaporkan
efektifitas penisilin dalam menghambat N. gonorrhoeae, dan menjadi pilihan sebagai
pengobatan gonore sejak tahun 1943 selama beberapa dekade. Resistensi N.
gonorrhoeae terhadap penisilin dinilai berdasarkan MIC, dimana pada tahun awal
terapi gonore dengan penisilin nilai MIC yang sensitif adalah kurang dari 0,0125
mg/L (0,02 IU/L). Kemudian terjadi peningkatan MIC secara bertahap hingga lebih
dari 0,12 mg/L, selanjutnya menjadi lebih dari 0,5 mg/L. Peningkatan MIC ini
berdampak pada peningkatan dosis penisilin dari 50.000 unit pada tahun 1945
27
menjadi 4,8 juta unit pada tahun 1970. Pada tahun 1989 penisilin tidak lagi
direkomendasikan untuk pengobatan gonore karena tingginya tingkat resistensi,
diawali di Madras pada tahun 1981 dilaporkan isolat N. gonorrhoeae betalaktamase.
Tahun 1990 di India penisilin sudah tidak dipergunakan sebagai terapi gonore. Pada
tahun 2000 dan 2001 dilaporkan peningkatan isolasi Penicillinase Producing
Neisseria Gonorrhoea (PPNG). Bersamaan dengan resistensi terhadap penisilin juga
terjadi resistensi N. gonorrhoeae terhadap beberapa antibiotika lain seperti tetrasiklin,
kloramfenikol, eritromisin dan streptomisin (Latel, 2011).
2.8.2. Era Kuinolon
Sebagai respon meningkatnya frekuensi isolat strain N. gonorrhoeae yang
resisten penisilin, terasiklin, streptomisin, dan spektinomisin pada tahun 1989 di
Amerika Serikat dan di seluruh dunia, maka CDC merekomendasikan antibiotika
sefalosporin dan fluorokuinolon spektrum luas untuk pengobatan gonore primer tanpa
komplikasi. Sebagian besar negara-negara di dunia mengikuti kebijakan penggantian
regimen terapi. Kuinolon generasi kedua (siprofloksasin, norfloksasin dan ofloksasin)
secara luas mulai menggantikan penisilin. Fluorokuinolon dilaporkan memiliki
efektifitas paling baik diantara kuinolon dalam hal absorpsi oral dan distribusi ke
jaringan, yang menghasilkan kadar dalam jaringan interstitial dan penetrasi ke
makrofag yang baik, disertai efek samping toksik serius yang minimal, serta
menurunkan mutasi satu langkah secara spontan. Sejak tahun 1993 fluorokuinolon
28
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pengobatan gonore di seluruh dunia
(Latel, 2011).
Selama 20 tahun pemakaian secara luas kuinolon, mulai muncul reesistensi
akibat penggunaan antibiotika yang salah. Kriteria Knapp merupakan kriteria untuk
menilai resistensi terhadap kuinolon secara in vitro. Nilai MIC siprofloksasin yang
kurang sensitif meningkat menjadi 1 mg/L (resistensi intermediet), selanjutnya
menjadi 16 mg/L (resisten). Pada tahun 2004 CDC menghentikan penggunaan
siprofloksasin sebagai terapi gonore (Tapsal, 2011)
2.8.3. Era Paska kuinolon
Peningkatan resistensi N. Gonorrhoeae terhadap kuinolon menyebabkan CDC
tahun 2010 merekomendasikan sefalosporin generasi ketiga sebagai regimen
pengobatan gonore seperti injeksi (seftriakson) maupun oral (cefiksim dan cefdinir).
Pada kasus alergi sefalosporin, spektinomisin merupakan pilihan yang lain (Latel
dkk, 2011)
Sefalosporin merupakan antibiotika golongan betalaktam yang ditemukan
pada tahun 1945, bekerja sebagai antibiotika dengan menghambat sintesis dinding sel
melalui binding dan menghambat kerja enzim-enzim yang berperan pada insersi
peptidoglikan ke dalam dinding sel (Ross dan Lewis, 2012)
Resistensi terhadap sefalosporin pertama kali dilaporkan pada tahun 1996 dan
kemudian di Jepang pada tahun 2000. Kegagalan pengobatan gonore dengan
29
sefalosporin oral pertama kali dilaporkan di Jepang pada tahun 2001 dan selanjutnya
dilaporkan di berapa daerah lainnya (Sparling, 2008).
2.9. Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Sefalosporin
2.9.1. Karakteristik Umum dan Mekanisme Kerja Sefalosporin
Sefalosporin ditemukan oleh Guiseppe Brotzu pada tahun 1945 ketika ia
mengisolasi jamur dari limbah di Sardinia, Italia yang memiliki aktivitas antimikroba
spektrum luas. Sefalosporin diklasifikasikan menjadi beberapa generasi berdasarkan
spektrum aktivitas antimikrobanya. Sefalosporin generasi pertama merupakan
antimikroba yang paling efektif melawan bakteri kokus Gram positif termasuk
Stafilokokus aureus, generasi kedua lebih efektif melawan bakteri Gram negatif dan
kurang efektif terhadap Gram positif. Generasi ketiga memiliki aktifitas melawan
Gram negatif dengan spektrum yang lebih luas dibandingkan generasi kedua.
Generasi keempat seperti sefipim memiliki aktivitas baik terhadap bakteri Gram
positif maupun Gram negative (Andes dan Craig, 2005).
Sefalosporin generasi ketiga (oral maupun parenteral) merupakan antibiotika
yang paling efektif melawan N.gonorrhoeeae. Mekanisme kerja sefalosporin dengan
menghambat sintesis dinding sel melalui ikatan dan hambatan pada enzim yang
berperan pada insersi peptidoglikan pada dinding sel. Enzim–enzim tersebut antara
lain transpeptidase, karboksipeptidase, endopeptidase atau yang disebut sebagai
enzim penicillin binding proteins (PBPs) (Barry dan Klausner, 2009).
30
2.9.1.2. Sefalosporin Oral untuk Gonore
Sefalosporin oral yang efektif melawan N.gonorrhoeae antara lain sefuroksim
aksetil, sefaklor, sefpodoksim proksetil, seftibuten, sefdinir, sefoperazon. World
Health Organization merekomendasikan sefiksim 400 mg dan di AS, adalah satusatunya agen oral yang direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena memiliki
angka kesembuhan lebih dari 95%. Sefiksim juga digunakan di Inggris dan Indonesia.
Di AS, sefiksim sempat tidak tersedia dari tahun 2002 hingga 2008, diganti dengan
sefpodoksim 400 mg, sedangkan di Hongkong memakai seftibuten, dan di Jepang
menggunakan sefditoren serta sefdinir sebagai terapi pilihan (Barry dan Klausner,
2009)
2.9.1.3. Sefalosporin Parenteral untuk Gonore
Agen parenteral sefalosporin yang menjadi pilihan lini pertama pengobatan
gonore adalah seftriakson. Seftriakson memiliki struktur kimia tiometil heterosiklik
pada R2 (C3) sehingga memiliki waktu paruh lebih panjang akibat adanya perluasan
dari ikatan protein. Dosis seftriakson masih sering menjadi perdebatan, di beberapa
negara seperti di AS dan oleh WHO merekomendasikan 125 mg, sedangkan negara
lain merekomendasikan 250 mg. Di Jepang merekomendasikan 100 mg intravena.
Agen parenteral lainnya sebagai terapi alternatif adalah sefoksitin 2 gram
intramuskuler (IM) dikombinasi dengan probenezid 1 gram dan sefotaksim 500 mg
IM. Sefuroksim 1,5 gram IM direkomendasikan di Inggris, sedangkan sefodizim juga
31
sebagai efektif melawan isolat resisten multi obat di Jepang (Barry dan Klausner
,2009).
2.9.2. Definisi Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Sefalosporin
Definisi resistensi terhadap sefalosporin belum ditentukan
secara standar
karena terbatasnya data mengenai kegagalan pengobatan. Kebanyakan definisi
resistensi berdasarkan pada MIC seftriakson terhadap N.gonorrhoeae. Beberapa
peneliti mendefinisikan resistensi dengan peningkatan MIC seftriakson ≥ 0,06 mg/L,
≥ 0,125 mg/L oleh Gonococcal Resistance Antimicrobial Surveillance Programme
(GRAPS) UK, > 0,125 mg/L oleh Eropa Surveillance of Sexually Transmitted
Infection (ESSTI), Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) menentukan
MIC ≤ 0,25 mg/L sebagai sensitif dan ≥ 0,5 mg/L sebagai tidak sensitive (Barry dan
Klausner, 2009).
2.9.3. Epidemiologi Resistensi Sefalosporin
Resistensi terhadap sefalosporin telah terjadi dan meluas di Asia, Australia
dan Eropa. Di Jepang kegagalan pengobatan gonore dengan sefalosporin telah
dilaporkan sejak awal tahun 2000 dengan peningkatan MIC pada pemakaian
sefpodoksim dan sefdinir. Pada tahun 2006, sefiksim tidak lagi digunakan sebagai
terapi lini pertama dan hanya merekomendasikan seftriakson dan spektinomisin
sebagai terapi lini pertama (Takahata dkk, 2006).
32
Australian
Gonococcal
Surveillance
Programme
(AGSP)
berhasil
mengidentifikasi isolat dengan MIC seftriakson sebesar 0,06-0,5 mg/L (kurang
sensitif) pada tahun 2001. Isolat ini terutama ditemukan pada daerah urban, para turis
internasional dan mitra seksualnya, juga diduga terjadi transmisi secara domestik.
Resistensi terhadap sefalosporin juga muncul di China dengan adanya
peningkatan MIC pada isolat dari beberapa wilayah berbeda selama tahun 1990. Di
Hongkong selama periode Oktober 2006 hingga Agustus 2007 melaporkan angka
kegagalan seftibuten 400 mg dosis tunggal sebesar 3,7%. Dari 42 orang yang gagal
dengan seftibuten, 7 orang memiliki MIC ≥1 mg/L, dan sekitar 23 isolat memiliki
MIC terhadap seftriakson sebesar 0,06 atau 0,125 mg/L. Di Taiwan juga dilaporkan
resistensi terhadap sefalosporin oral (Barry dan Klausner, 2009)
Di beberapa negara Asia seperti Vietnam, Thailand dan Filipina melaporkan
isolat dengan MIC seftriakson ≥0,5 mg/L. India, Bangladesh, Nepal dan Srilanka
melaporkan isolat yang signifikan kurang sensitif/intermediet terhadap seftriakson
(Barry dan Klausner, 2009)
Eropa
Surveillance
of
Sexually
Transmitted
Infection
berhasil
mengidentifikasi isolat dengan MIC seftriakson 0,25 mg/L dari Italia dan Swedia.
Kriteria penurunan sensitifitas terhadap seftriakson menurut ESSTI adalah >0,125
mg/L. Sedangkan UK GRASP melaporkan 2 isolat dengan penurunan sensitifitas
terhadap sefiksim pada tahun 2007 dengan MIC > 0,25 mg/L. Denmark, Spanyol,
Swedia, dan Yunani juga melaporkan isolat dengan peningkatan MIC terhadap
sefalosporin (Carannante dkk, 2012).
33
Gonococcal Isolat Surveillance Programme (GISP) AS melaporkan 4 isolat
dengan MIC seftriakson 0,5 mg/L di San Diego (1987), Cincinnati (1992 dan 1993),
dan Philadelphia (1997). GISP juga menguji sefiksim pada tahun 1992 hingga tahun
2006 teradapat 48 isolat dengan MIC sefiksim 0,5-2,0 mg/L. Di Hawai pada tahun
2001 ditemukan isolat dengan MIC sefiksim 0,25-0,5 mg/L dan MIC seftriakson
0,125 mg/L. Penelitian di Kanada pada tahun 2008 melaporkan penurunan sensitifitas
sefalosporin dengan MIC dari 0,125 hingga 0,25 mg/L. Data terbatas dari Afrika dan
Amerika Latin melaporkan resistensi namun tanpa disertai dokumentasi peningkatan
MIC terhadap sefalosporin (Barry dan Klausner, 2009).
2.9.5. Mekanisme Resistensi N.Gonorrhoeae Terhadap Sefalosporin
2.9.5.1. Perubahan Penicillin Binding Proteins
Neisseria gonorrhoeae memiliki 3 tipe PBP yaitu PBP1, 2, dan 3. Penicilline
Binding Protein2 memiliki afinitas terhadap penisilin G 10 kali lebih tinggi
dibandingkan PBP1 dan merupakan target ikatan utama untuk antimikroba
betalaktam seperti sefalosporin. Perubahan pada PBP2 yang dikode oleh gen penA
merupakan penyebab menurunnya ikatan terhadap penisilin melalui insersi tunggal
asam amino. Perubahan ini juga ditemukan pada isolat yang resisten sefalosporin.
Namun belum banyak diketahui mengenai mutasi spesifik pada PBPs, interaksi dan
perubahan pada gen lainnya (Takahata dkk, 2006).
Perubahan PBPs terkait resistensi sefalosporin yang paling sering adalah
perubahan PBP2 yang terkait resistensi sefiksim di Jepang pada uretritis laki-laki
34
yang diisolasi oleh Ameyama dan kawan-kawan pada tahun 2002 (Barry dan
Klausner, 2009)
2.9.5.2. Reduksi Konsentrasi Antimikroba Intraseluler
Mekanisme dasar lain resistensi terhadap antimikroba adalah penurunan
konsentrasi antimikroba. Penurunan konsentrasi antimikroba dapat terjadi melalui
penghambatan masuknya antimikroba ke dalam sel atau aktivasi efflux pumpsel
bakteri. Mutasi pada gen mtrR yang berperan untuk menekan sistem MtrC-D-E
meningkatkan efflux pump dan memicu resistensi terhadap penisilin, tetrasiklin,
makrolid, dan kemungkinan pada fluorokuinolon. Mekanisme mutasi ini pada
reesistensi terhadap sefalosporin belum diketahui dengan jelas. Tanaka dan kawankawan melaporkan isolat yang resisten seftriakson dengan MIC 0.5 mg/L memiliki
mutasi pada gen mtrR. Linberg dan kawan-kawan menemukan sekitar 13 dari 18
isolat dengan MIC seftriakson ≥ 0,06 mg/L memiliki mutasi pada gen mtrR, penA,
penB, dan ponA (Barry dan Klausner, 2009).
Mutasi pada penB suatu gen pada porin akan menurunkan permeabilitas
terhadap antimikroba hidrofilik seperti penisilin dan tetrasiklin yang juga disertai
dengan mutasi pada mtrR. Namun peranannya pada resistensi sefalosporin belum
jelas dipahami. Betalaktamase tidak berperan pada resistensi terhadap sefalosporin
(Barry dan Klausner, 2009)
Ameyama dan kawan-kawan menemukan peranan mosaic penA dalam
meningkatkan MIC sefiksim dari 0,001 menjadi 0,06 mg/L, dan MIC seftriakson dari
35
0,00025 menjadi 0,002 mg/L. Peneliti lain melaporkan mosaic penA meningkatkan
MIC sefiksim 100 kali lipat menjadi 0,12 mg/L dan MIC seftriakson 20 kali lipat
menjadi 0,012 mg/L. Mosaic penA disertai yang disisipkan pada isolat resisten
penisilin dengan beberapa mutasi (ponA, mtrR, penB) meningkatkan MIC seftriakson
menjadi 0,25 mg/L, dan sefiksim menjadi 0,5 mg/L. Linberg dan kawan-kawan
melaporkan bahwa mutasi multipel pada PBP2 diperlukan untuk meningkatkan MIC
sefalosporin (Ohnisi dkk, 2011).
Tanaka dan kawan-kawan melaporkan isolat resisten seftriakson dengan MIC
0,5 mg/L memiliki mosaic PBP2 juga memiliki mutasi pada ponA (L421P), penB
(A120 dan A121), dan mtrR (Ohnisi dkk, 2011).
2.9.6. Metode untuk Mendeteksi Resistensi Terhadap Sefalosporin
Metode untuk mendeteksi resistensi terhadap sefalosporin yang tersedia saat
ini adalah melalui isolasi dan uji sensitibilitas. Kultur sebagai baku emas dalam
menentukan MIC adalah dilusi agar. Namun dengan menurunnya penegakan
diagnosis infeksi gonokokal berdasarkan kultur, maka makin sedikit isolat yang
tersedia sebagai bahan uji sensitibilitas. Hal ini memungkinkan penggunaan uji
molekuler untuk mendeteksi penanda resistensi pada spesimen yang dikumpulkan
untuk uji diagnostik berbasis asam nukleat. Uji tersebut sudah dikembangkan untuk
mendeteksi resistensi siprofloksasin namun belum digunakan untuk kepentingan
klinis secara luas. Uji ini memliki keterbatasan karena tergantung pada pengetahuan
mengenai mutasi tertentu yang mempengaruhi resistensi dan bagaimana mutasi
36
tersebut berhubungan dengan MIC secara in vitrodan dengan hasil klinis, sedangkan
imformasi tersebut belum tersedia untuk resistensi sefalosporin (Ng dan Martin,
2005)
Uji PCR untuk identifikasi gen mosaic penA sudah dipublikasikan, dan
bermanfaat untuk mengidentifikasi organisme dengan mosaic penA dari spesimen
klinis, namun pentingnya genotip ini belum dipahami secara lengkap, sehingga
interpretasi hasilnya masih belum jelas (Low dkk, 2014).
2.9.7 Pilihan Pengobatan Gonore yang Resisten Terhadap Sefalosporin
Selain penggunaan uji diagnostik yang sensitif dan spesifik, serta edukasi
yang baik pada pasien, pengobatan dengan antibiotika yang efektif merupakan
komponen utama dalam strategi kontrol gonore dengan ketidaktersediaan vaksin.
Antibiotika yang dipilih sebaiknya memiliki efikasi dan kualitas yang tinggi, tidak
toksik, dan memberikan keberhasilan lebih dari 95% bila diberikan secara empiris
(Barry dan Klausner, 2009).
Pengobatan gonore selama ini menggunakan antibiotika dosis tunggal yang
diminum langsung di bawah pengawasan petugas. Hal ini mengakibatkan kegagalan
agen antimikroba secara berturut-turut yang digantikan dengan antibiotika baru yang
tidak atau jarang menyebabkan resistensi. Adanya penurunan kerentanan dan
kegagalan pengobatan dengan sefalosporin spektrum luas, terbatasnya ketersediaan
antimikroba alternatif, menimbulkan gonore yang sulit diobati bahkan tidak bisa
diobati. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, CDC dan European Centre for Disease
37
Prevention and Control (ECDPC) merekomendasikan strategi pengobatan terkini
dalam upaya meningkatkan efektifitas pengobatan gonore (Unemo dan Shafer, 2014).
Strategi yang pertama ditempuh adalah dengan meningkatkan dosis
seftriakson parenteral. Dosis awal seftriakson 250 gram dilaporkan tidak cukup untuk
membunuh gonokokus sehingga diperlukan peningkatan dosis. Di beberapa negara
seperti Jepang, China, Azerbaijan dan Belaruz, direkomendasikan seftriakson 1 gram
dosis tungal, bahkan dosis dapat ditingkatkan hingga 2 gram berdasarkan pengobatan
untuk community acquired pneumonia. Peningkatan dosis menjadi 500 mg hingga 1
gram direkomendasikan oleh beberapa pedoman pengobatan untuk gonore, dan dosis
ini dilaporkan cukup untuk membunuh kuman gonokokus, namun metode ini hanya
merupakan solusi jangka pendek. (Unemo dan Shafer, 2014).
Selain dengan metode peningkatan dosis monoterapi seftriakson, alternatif
lain adalah dengan pengobatan antimikroba ganda. Pengobatan alternatif tersebut
sudah mulai direkomendasikan di Amerika Serikat, Inggris dan seluruh Eropa seperti
yang ditunjukkan pada tabel 2 dibawah ini. (Ross dan Lewis, 2012)
Dua modalitas terapi lainnya yang memberikan harapan baru dalam
pengobatan gonore telah dilaporkan oleh CDC. Regimen terapi tersebut adalah
gentamisin 240 mg injeksi intramuskuler dikombinasi dengan azitromisin 2 gram oral
atau gemifloksasin 320 mg oral dikombinasi dengan azitromisin 2 gram oral. Kedua
regimen terapi ini telah melalui uji klinis dan masing-masing memberikan efektifitas
terapi sebesar 100% dan 99,5% pada pengobatan gonore tanpa komplikasi. Namun
38
efek samping gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare membatasi penggunaan
regimen ini secara rutin (Tenover, 2006).
Spektinomisin 2 gram intramuskuler efektif untuk pengobatan gonore namun
tidak efektif untuk pengobatan gonore pada faring. Di Jepang spektinomisin
merupakan salah satu dari 3 terapi lini pertama dimana resistensi sefalosporin oral
sering terjadi. Resistensi terhadap spektinomisin dapat terjadi melalui satu tahap
mutasi, dan berkembang dengan cepat akibat penggunaan secara luas pada tentara
Amerika di masa lalu. Namun secara umum resistensi terhadap agen ini masih jarang
dilaporkan dan terjadi secara sporadik. Resistensi terhadap kanamisin belum pernah
dilaporkan, sedangkan resistensi terhadap gentamisin pernah dilaporkan di Malawi
apabila digunakan sebagi agen tunggal. Rifampin merupakan obat yang tidak mahal
namun dapat berkembang resistensi apabila digunakan sebagai terapi tunggal
(Stefanelii, 2011).
39
Tabel 2.2
Mekanisme Resistensi Antibiotika dan Rekomendasi Pengobatan
untuk N. Gonorrhoeae (Unemo dan Shafer,2014)
ANTIBIOTIKA
Sulfonamid
MEKANISME RESISTENSI



Tiamfenikol


Penisilin




Tetrasiklin




Spektinomisin


Sintesis p-aminobenzoic acid
berlebihan
Mutasi kromosomal pada
dihydroteroate synthetase gene
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
Mutasi kromosomal pada gen
penB, mtrR dan chl
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
REKOMENDASI
TERKINI
Tidak direkomendasikan
Tidak direkomendasikan
Mutasi kromosomal pada gen
penA, penB, ponA, promotor
mtrR dan mtrR
Mutasi kromosomal pada gen
penC (pilQ2) namun mutasi
berdampak pada formasi pilus
dan masih meragukan sebagai
infeksi didapat alamiah
Perubahan ekspresi gen pem
Produksi betalaktamase
diperantarai plasmid
Direkomendasikan hanya
pada wilayah dimana data
dikumpulkan secara
reguler dari program
surveilen lokal yang
mengkonfirmasi lebih dari
95% isolat yang sensitif
terhadap penisilin
Mutasi kromosomal pada gen
rpsJ, penB, promotor mtrR, mtrR
Mutasi kromosomal pada gen
penC (pilQ2) ) namun mutasi
berdampak pada formasi pilus
dan masih meragukan sebagai
infeksi didapat alamiah
Perubahan ekspresi gen pem
Produksi protein TetM
diperantarai
Plasmid
Mutasi kromosomal pada gen spc
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
Tidak direkomendasikan

Tidak
direkomendasikan
sebagai terapi lini
pertama karena dapat
40

Aminoglikosida


Mutasi kromosomal pada gen
kan
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan


Makrolid




Kuinolon


Mutasi kromosomal pada gen
23sRNA rrl, promotor mtrR/
mtrC, mtrR dan mtrC
Ekspresi kromosomal gen yang
mengkode metilase ermB, ermC
dan ermF
Peranan gen yang mengkode mef
secara kromosom belum pasti
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan

Mutasi kromosomal gen gyrA
dan parC
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan


muncul resistensi
Direkomendasikan
sebagai terapi lini
kedua dan ketiga
Secara umum tidak
direkomendasikan
sebagai terapi lini
pertama meskipun
kanamisin, gentamisin
masih dipergunakan di
negara-negara miskin
Direkomendasikan
sebagai terapi lini
kedua dan ketiga
Azitromisin tidak
direkomendasikan
sebagai terapi lini
pertama dapat terjadi
resistensi
Azitromisin dapat
direkomendasikan
sebagai terapi lini
kedua dan ketiga
Direkomendasikan
hanya pada wilayah
dengan data yang dapat
diperoleh dari hasil
program surveilen
lokal yang
mengkonfirmasi lebih
dari 95% isolat yang
rentan terhadap
kuinolon
Download