BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang dasar-dasar teori untuk menganalisa masalah-masalah yang akan diteliti. 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Definisi Emosi Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Akar kata emosi adalah movere, kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan bergerak”, ditambah “e-” untuk memberi arti “bergerak menjauh”, hal tersebut menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman, 1997). Seseorang akan merasa ketakutan ketika melihat kejadian kecelakaan yang nyaris merengut nyawanya, seorang remaja merasa sangat bahagia dan bersemangat ketika cintanya diterima oleh lawan jenisnya. Hal tersebut merupakan beberapa bentuk konkrit mengenai emosi dalam kehidupan sehari-hari. Pada Oxford English Dictionary (dalam Goleman,1997), emosi didefinisikan sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. Emosi turut menghiasi kehidupan sehari-hari tiap individu dan turut berpengaruh terhadap cara berpikir dan berperilaku seseorang. Seperti pada contohnya, saat seseorang sedang merasakan emosi marah, maka terkadang orang tersebut kurang dapat berpikir secara rasional dan berpikir untuk jangka panjang. 8 9 Menurut Rochelle (1986) emosi adalah perasaan yang dialami oleh manusia, seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, benci, cinta. Sebutan yang diberikan kepada perasaan tertentu, tentu mempengaruhi cara berpikir mengenai perasaan tersebut dan bagaimana cara bertindak (Alibin, 1986) Serupa dengan pernyataan di atas, Goleman (1997) juga menyatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat mempengaruhi cara berpikir dan cara bertindak seperti misalnya, seseorang yang sedang merasa sedih cenderung memilih untuk menyendiri dan menenangkan diri di rumah atau di kamar, kemudian seseorang yang sedang merasa bahagia cenderung melakukan kegiatannya dengan bersemangat. Emosi yang muncul dalam diri dapat mempengaruhi kondisi badaniah seseorang (Alibin, 1986). Beberapa contoh konkrit mengenai pengaruh emosi pada tubuh adalah ketika seseorang sedang merasa takut dan cemas maka respons yang dimunculkan oleh tubuh adalah jantung berdebar kencang, nafas pendek; dan bahkan pada kasus ekstrim seseorang dapat pingsan karena perasaan takut dan cemas. Emosi atau perasaan seseorang dapat dipakai untuk membangun dan juga merusak sesuatu, seperti merusak hubungan baik dengan orang yang selama ini sudah dikembangkan (Alibin, 1986). Namun perasaan atau emosi juga mempunyai daya positif bila digunakan dengan baik, yaitu untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan untuk lebih mengenal diri sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman, secara otomatis turut membentuk seseorang dalam menemukan dan menggunakan cara-cara untuk mengolah emosi dan menggunakan emosi dengan bijaksana. 10 Jadi emosi adalah beragam macam perasaan yang seringkali digunakan individu dalam menjalani aktivitas sehari-hari, seperti perasaan sedih, bahagia, marah, gembira, benci, dan lain sebagainya. Masing-masing emosi dapat memunculkan beragam reaksi dan reaksi yang ditimbulkan beragam mulai dari reaksi yang menguntungkan hingga reaksi yang merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitar. Untuk mengindari dampak negatif dari emosi, dibutuhkan keterampilan untuk mengenali, mengatur dan mengolah emosi atau dengan kata lain dibutuhkan kecerdasan emosional. 2.1.2 Definisi Kecerdasan Emosional Goleman (1998:317) dalam bukunya yang berjudul “Working with Emotional Intelligence” menyatakan kecerdasan emosional sebagai berikut: “refers to the capacity for recognizing our own feelings and those of others, for motivating ourselves, and for managing emotions well in ourselves and in our relationships.” Jadi Goleman (1998) memandang bahwa kecerdasan emosional mengacu pada kapasitas seseorang untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri sendiri, dan untuk mengatur emosi dengan baik pada diri sendiri dan juga pada hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional menggambarkan kemampuan yang berbeda dari kecerdasan akademis, namun keberadaan kecerdasan emosional juga melengkapi kecerdasan akademik. Banyak orang yang pintar dalam bidang akademis, namun kurang dalam kecerdasan emosional, yang pada akirnya bekerja pada orang yang memiliki IQ rendah namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Solovey dan Mayers (dalam Goleman, 1998:317) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai: 11 “in terms of being able to monitor and regulate one’s own and other’s feelings, and to use feelings to guide thought and action.” Jadi Solovey dan Mayer (dalam Goleman, 1998) mendefinisikan kecerdasan emosional (EQ) sebagai suatu bentuk intelegensi yang melibatkan kemampuan untuk menangkap perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, untuk membedakannya dan menggunakan informasi ini dalam menuntun pikiran dan tindakan seseorang. Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 1998) secara khusus, mengemukakan bahwa ada empat aspek dasar dari kecerdasan emosional yaitu: • Mengenali emosi • Memahami emosi • Mengatur emosi • Menggunakan emosi Goleman (dalam Godfrey, 2004) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional tidaklah didapatkan secara instan melalui hereditas atau keturunan, melainkan berkembang melalui pengalaman hidup yang dialami seorang individu. Oleh karena itu, kecerdasan emosional dapat diperoleh dengan belajar dari pengalaman hidup dan juga dapat diperoleh melalui pelatihan (training). Hingga saat ini, banyak organisasi yang menyediakan training kecerdasan emosional bagi karyawannya, karena banyak organisasi menyadari bahwa kecerdasan emosional dapat memberikan pengaruh dan peningkatan yang baik terhadap produktivitas individu dan produktivitas organisasi. Kecerdasan emosional merupakan hal yang vital dalam pekerjaan yang membutuhkan banyak interaksi dengan orang lain, seperti pekerjaan customer service (Robbins & Judge, 2007). Kecerdasan emosional juga turut dibutuhkan oleh seseorang yang berprofesi sebagai dokter (Kaiser, 2009). Dengan 12 meningkatkan kecerdasan emosional dari seorang pemimpin, dapat mendukung kualitas interaksi antara pemimpin dengan karyawan, dan juga berdampak pada lingkungan kerja yang lebih efektiv dan memuaskan (Goleman, Boyatzis, & Mckee, 2002). Kecerdasan emosional terdiri dari kemampuan seseorang untuk menggunakan emosi dengan cara yang konstruktif dalam hubungan interpersonal, intrapersonal, dan interaksi (Eichman, 2009). Berinteraksi dengan orang lain melibatkan individu untuk menerima emosi dari lawan bicara dan juga diharapkan dapat menanggapi dengan emosi yang tepat pula. Kecerdasan emosional juga turut dibutuhkan oleh pekerjaan yang dalam penugasannya jarang membutuhkan interaksi dengan orang lain, salah satu contoh penerapannya adalah dengan mengatur emosi diri dan tidak membawa emosi negatif dari permasalahan rumah ke dalam tempat kerja, agar emosi negatif tersebut tidak mengganggu aktivitas atau kegiatan dalam bekerja (Robbins & Judge, 2007). 2.1.3 Dimensi Kecerdasan Emosional Goleman mengadopsi model dari Solovey dan Mayer (Goleman, 1998) menjadi sebuah versi yang banyak berguna atau digunakan dan memudahkan seseorang untuk mengerti pentingnya talenta kecerdasan emosional dalam dunia kerja. Terdapat 5 dasar dari kecerdasan emosional: 1. Kesadaran diri Kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakan pada saat itu, dan preferensi tersebut untuk memandu dalam pengambilan keputusan. Memiliki penilaian yang realistis mengenai kemampuan diri sendiri dan rasa yang cukup beralasan dalam kepercayaan diri. 13 2. Pengaturan diri Kemampuan untuk mengatur dan mengongrol emosi diri sehingga pengontrolan tersebut dapat lebih mendukung dan membantu kegiatan yang sedang dilakukan. Dengan kemampuan mengatur dan mengontrol emosi dapat membantu individu untuk bangkit dengan baik dari emosional distress. 3. Motivasi Kemampuan untuk menggunakan teknik menggerakkan dan menuntun individu untuk mencapai tujuan dan untuk membantu individu untuk memikirkan langkah inisiatif untuk mengembangkan dan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi masalah. 4. Empati Kemampuan untuk mengerti perasaan orang lain, dan dapat mengambil perspektif yang ada sehingga individu mampu menumbuhkan hubungan dan melebur pada beragam jenis individu dan lingkungan. 5. Keterampilan sosial Kemampuan untuk mengendalikan emosi di dalam suatu hubungan dengan baik dan dapat secara cepat dan akurat membaca keadaan sosial dan jaringannya. Dapat secara intens berinteraksi dengan menggunakan keterampilan persuasi, memimpin, bernegosiasi, dan menyelesaikan pertikaian untuk kooperasi dan kerjasama tim. 14 2.2 Efektivitas Kerja 2.2.1 Definisi Efektivitas Kerja Sedarmayanti (2009) menyatakan efektivitas kerja sebagai suatu ukuran yang memberikan gambaran mengenai pencapaian unjuk kerja yang maksimal dan seberapa jauh target dapat tercapai. Senada dengan pernyataan di atas, Hidayat (1986) mendefinisikan efektivitas sebagai suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Menurut Ravianto (1989) efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana orang menghasilkan keluaran (output) sesuai dengan yang diharapkan. Apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan perencanaan yang baik dalam waktu, biaya, maupun mutunya, maka dapat dikatakan efektif. Serupa dengan Ravianto, Yamit (2003) menyatakan efektivitas sebagai gambaran seberapa jauh tujuan tercapai, baik secara kualitas maupun waktu, dan berorientasi lebih berorientasi pada keluaran (output) yang dihasilkan. Jadi secara keseluruhan, efektivitas kerja adalah gambaran mengenai pencapaian unjuk kerja maksimal yang menunjukkan seberapa jauh target tercapai (kualitas, kuantitas, waktu) dan lebih berorientasi pada output yang dihasilkan. 2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kerja Faktor yang mempengaruhi tercapainya efektivitas kerja, menurut Zulyanti, (dalam Yudhaningsih, 2011), yaitu: 1. Karakteristik Organisasi. Karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan teknologi organisasi. Struktur merupakan cara untuk suatu organisasi menyusun orang-orangnya untuk menciptakan sebuah organisasi 15 yang meliputi jumlah spesialisasi pekerjaan, desentralisasi pengendalian untuk penyelesaian pekerjaan. 2. Karakteristik Lingkungan. Lingkungan mencakup dua aspek yang berhubungan yaitu lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal dikenal dengan iklim organisasi yang meliputi atribut lingkungan kerja seperti kepuasan dan prestasi. Lingkungan eksternal menyangkut kekuatan yang timbul di luar batas organisasi yang mempengaruhi tindakan dalam organisasi seperti adanya peraturan pemerintah. 3. Karakteristik Pekerja. Pekerja merupakan sumber daya yang langsung berhubungan dengan pengelolaan semua sumber daya yang ada di dalam organisasi. Oleh sebab itu perilaku pekerja sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi. Pekerja merupakan modal utama di dalam organisasi yang akan berpengaruh besar terhadap efektivitas, karena walaupun teknologi yang digunakan merupakan teknologi yang canggih dan didukung oleh adanya struktur yang baik, namun tanpa adanya pekerja maka semua itu tidak ada gunanya. 4. Karakteristik kebijakan dan praktek dan manajemen. Manajer memegang peranan sentral dalam keberhasilan suatu organisasi melalui perencanaan, koordinasi dan memperlancar kegiatan. Sehingga manajer berkewajiban menjamin struktur organisasi konsisten dan menguntungkan untuk teknologi dan lingkungan yang ada. Selain itu manajer juga bertanggungjawab untuk menetapkan suatu sistem imbalan yang pantas sehingga 16 dapat memuaskan kebutuhan pekerja dan tujuan pribadinya dalam mengejar sasaran organisasi. 2.2.3 Dimensi efektivitas kerja Dimensi yang digunakan sebagai alat ukur dari efektivitas kerja karyawan adalah 3 dimensi efektivitas dalam Sedarmayanti (2009): 1. Kualitas: Kualitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh persyaratan, spesifikasi, dan harapan telah dipenuhi. 2. Kuantitas: Kuantitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa banyak tugas yang telah dipenuhi. 3. Waktu: Waktu merupakan suatu ukuran waktu yang diberikan sebagai patokan dalam menyelesaikan tugas. 2.3 Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Efektivitas Kerja Hingga saat ini sudah terdapat beberapa penelitian yang membahas hubungan ataupun pengaruh kecerdasan emosional terhadap faktor yang lain. Pada penelitian oleh Godfrey (2004), terbukti bahwa pelatihan kecerdasan emosional dapat menyumbang produktivitas sebesar 85% hingga 90% pada direktur-direktur senior di Norwich Union Life & Motorola. Kemudian penelitian oleh Lyie Spencer dalam Godfrey (2004) terbukti bahwa seorang penjual (sales) dengan kecerdasan emosional yang tinggi mampu menghasilkan pendapatan sebesar dua kali lipat dari rata-rata pendapatan seorang sales. Penelitian berikutnya oleh Cherniss (1999), terbukti bahwa pelatihan kecerdasan emosional selama 15 bulan dapat meningkatkan produktivitas seorang pemimpin dan juga produktivitas kelompok. 17 Secara garis besar hasil penelitian di atas menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh terhadap produktivitas seseorang. Dengan adanya pengaruh kecerdasan emosional terhadap produktivitas, maka turut menggambarkan bahwa kecerdasan emosional juga memiliki hubungan dengan produktivitas seseorang. Produktivitas sendiri dibentuk oleh 2 dimensi yaitu efisien dan efektivitas (Sedarmayanti, 2009). Dengan demikian berdasarkan penelitian sebelumnya, secara tidak langsung turut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional juga memiliki hubungan dengan efisiensi dan efektivitas kerja seseorang. Salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas kerja adalah berasal dari karakteristik pekerja yang di dalamnya membahas mengenai pentingnya perilaku pekerja dalam efektivitas kerja (Zulyanti dalam Yudhaningsih, 2011). Perilaku pekerja atau individu dapat dipengaruhi oleh emosi yang sedang dirasakan. Emosi yang tertuju pada hal negatif dapat berdampak negatif pada kegiatan yang sedang dilakukan, sebaliknya emosi yang tertuju pada hal positif dapat berdampak positif pada kegiatan yang sedang dilakukan (Robbins & Judge, 2007). Untuk menghindari dan meminimalisir perilaku yang merugikan akibat dari emosi negatif, maka diharapkan setiap manusia memiliki kecerdasan emosional yang baik. Definisi dari kecerdasan emosional adalah kapasitas seseorang untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri sendiri, dan untuk mengatur emosi dengan baik pada diri sendiri dan juga pada hubungan dengan orang lain (Goleman, 1998). 2.4 Cleaning Service Cleaning service adalah pekerjaan yang memiliki tugas untuk memelihara kebersihan dan memberikan pelayanan kebersihan di suatu tempat, kantor, atau instansi (“Layanan Outsource Cleaning Service”, 2011). Hingga saat ini hampir di 18 setiap gedung dan tempat-tempat umum, memiliki karyawan cleaning service. Hal ini dikarenakan saat ini kebersihan tempat atau fasilitas gedung merupakan hal yang perlu diperhitungkan, karena lingkungan yang bersih dan sehat tidak hanya menjadi prasyarat untuk lingkungan fungsional, melainkan juga merupakan dasar untuk kesejahteraan dan produktivitas karyawan (“Cleaning”, 2010). Cleaning service memiliki beragam jenis dan spesialisasi di dalamnya. Berikut beragam jenis cleaning service menurut Morrow (2008): a. Residential cleaning service Residential cleaning service atau layanan pembersihan perumahan adalah layanan cleaning service yang memiliki ruang lingkup di area perumahan. Salah satu contoh dari residential cleaning service adalah pembantu rumah tangga, yang bertugas untuk membersihkan rumah (menyapu, mencuci baju, mengepel, membersihkan piring kotor). b. Commercial cleaning service Commercial cleaning service atau layanan pembersihan komersial adalah layanan cleaning service yang memiliki ruang lingkup di area gedung-gedung perkantoran, mall, tempat hiburan. Umumnya commercial cleaning service berupa perusahaan outsoucing bagian cleaning service, yang kemudian memperkerjakan karyawan cleaning service-nya di gedung-gedung perkantoran. Kemudian beragam jenis cleaning service menurut Gordon (2010): a. Jasa kebersihan kantor Jasa kebersihan kantor dilakukan pada setiap hari kerja yaitu setiap hari senin sampai jumat atau sabtu. Secara umum, jasa kebersihan kantor dapat dikatakan meliputi: - membersihkan meja dan setiap permukannya; 19 - menyapu, menyedot debu, dan mengepel lantai; - membuang sampah dari keranjangnya; - membersihkan dapur; - membersihkan kamar mandi; - mencuci gelas dan kewajiban kecil lainnya. b. Jasa kebersihan tempat umum dan tempat hiburan Jasa kebersihan tempat hiburan secara umum diwakili oleh tempattempat seperti restoran, bioskop, kelab kebugaran, tempat boling, kelab malam, kasino. Pada umumnya tempat umum dan tempat hiburan dibersihkan selama tujuh hari dalam satu minggu. Pembersihan dilakukan setiap hari dikarenakan tempat umum dan tempat hiburan selalu buka di setiap harinya. c. Jasa kebersihan pengembang gedung Kegiatan dari jasa kebersihan pengembang gedung meliputi: - pembersihan akhir (final cleans); - pembersihan saat pemindahtanganan properti (handover cleans); - pembersihan mengilap (sparkle cleans); - pembersihan saat penyelesaian akhir (finishing cleans); - pembersihan menyeluruh (deep cleans); Karyawan cleaning service yang bekerja di Universitas Bina Nusantara merupakan karyawan dari salah satu perusahaan outsourcing. Adapun maksud dari outsourcing adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan pekerja/buruh (“Mengenal Arti Outourcing”, 2012). atau penyediaan jasa 20 Karyawan cleaning service di Universitas Bina Nusantara Jakarta-Kebon Jeruk memiliki Standard Operational Procedure (SOP) yang serupa dengan ruang lingkup jasa kebersihan kantor yaitu meliputi: 2.5 - membersihkan meja dan setiap permukannya; - menyapu, menyedot debu, dan mengepel lantai; - membuang sampah dari keranjangnya; - membersihkan eskalator; - membersihkan toilet; - mencuci gelas dan kewajiban kecil lainnya. Kerangka Berpikir Efektivitas adalah suatu ukuran yang memberikan gambaran mengenai pencapaian unjuk kerja yang maksimal dan seberapa jauh target (kualitas, kuantitas, waktu) dapat tercapai (Sedarmayanti, 2009). Dalam proses pencapaian efektivitas, efektivitas kerja seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja dan karakteristik kebijakan & praktek manajemen (Zulyanti dalam Yudhaningsih, 2011). Pada salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas yaitu karakteristik pekerja, didalamnya berisi mengenai pentingnya perilaku dari pekerja guna mendukung keefektivitasan pekerja yang bersangkutan. Dengan kata lain baik atau buruknya perilaku dari pekerja dapat berpengaruh terhadap efektivitas kerjanya. Baik atau buruknya perilaku seseorang, dapat dipengaruhi oleh emosi yang sedang di rasakan. Seseorang yang dipengaruhi oleh emosi negatif dapat terlihat dari perilaku yang cenderung merugikan (Febrinanda, 2012). Untuk menghindari dan meminimalisir munculnya perilaku yang merugikan akibat dari emosi negatif, maka diharapkan setiap manusia memiliki kecerdasan emosional 21 yang baik. Definisi dari kecerdasan emosional adalah kapasitas seseorang untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri sendiri, dan untuk mengatur emosi dengan baik pada diri sendiri dan juga pada hubungan dengan orang lain (Goleman, 1998). Kecerdasan emosional yang baik dapat terlihat dari perilaku individu yang baik dan diharapkan dapat menunjang efektivitasnya dalam bekerja. Gambar 2.1 Kerangka Berpikir