Analisis Komponen Aktivitas dan Jaringan Sosial yang

advertisement
HASIL PENELITIAN
Analisis Komponen Aktivitas dan
Jaringan Sosial yang Berpengaruh
terhadap Fungsi Kognitif Lanjut Usia
Budi Riyanto Wreksoatmodjo
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya,
Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Pertambahan jumlah penduduk usia lanjut memunculkan berbagai masalah yang antara lain disebabkan oleh kemunduran fungsi kognitif;
sedangkan fungsi kognitif para lanjut usia dapat dipengaruhi oleh jaringan sosial dan aktivitas sosial mereka. Penelitian atas 286 responden
lanjut usia di Jakarta menunjukkan bahwa lanjut usia yang aktivitas di masyarakatnya buruk dan yang tidak menjadi anggota kelompok
masyarakat lain lebih berisiko untuk mempunyai fungsi kognitif buruk dibandingkan dengan mereka yang aktivitas di masyarakatnya baik dan
menjadi anggota kelompok masyarakat lain. Kegiatan ke luar rumah dan berbelanja, dan kerja sukarela/amal merupakan komponen yang lebih
berperan kendati tidak bermakna dan tidak linear.
Kata kunci: Lanjut usia, fungsi kognitif, jaringan sosial, aktivitas sosial
ABSTRACT
The increasing world population of elderlies brings additional health burden caused by decreasing cognitive function; and preservation of
cognitive function can be influenced by social network and social activities. Research on 286 respondents in Jakarta showed that elderlies with
low activities in community and not involved in community organizations have greater risk of low cognitive function compared with more
active elderlies. Outings and shopping for daily needs, and voluntary community work are more important components, but not linear nor
significant. Budi Riyanto Wreksoatmodjo. Analysis on Components of Social Activities and Network Influencing Cognitive Function
among Elderlies in West Jakarta.
Key words: Elderlies, cognitive function, social network, social activities
LATAR BELAKANG
Jumlah penduduk dunia diperkirakan sekitar
7 milyar di tahun 2013, dan diperkirakan
akan meningkat menjadi sekitar 8 milyar
di tahun 2025 dan lebih dari 9,7 milyar di
tahun 2050. Dari jumlah tersebut, proporsi
penduduk berusia 65 tahun ke atas sekitar
8%.1 Di tahun 2025 akan terdapat sekitar 1,2
milyar penduduk dunia berusia 60 tahun ke
atas, yang akan menjadi 2 milyar di tahun
2050; 80% di antaranya tinggal di negaranegara berkembang.2 Di Indonesia seseorang
dikategorikan sebagai lanjut usia jika berusia
60 tahun ke atas3 yang jumlahnya pada tahun
2010 diperkirakan 18.575.000 jiwa;4 selain
jumlahnya, proporsi penduduk lanjut usia
di Indonesia juga akan meningkat dari 4,7%
pada tahun 2000 menjadi 5,1% pada tahun
2008,5 dan akan terus meningkat mencapai
11,34% di tahun 2020.6
Alamat korespondensi
576
Peningkatan jumlah penduduk berusia
lanjut akan memunculkan berbagai masalah
kesehatan. Di populasi lanjut usia, mereka
yang mengalami keluhan kesehatan dalam
sebulan terakhir meningkat dari 49,50%
di tahun 2004, menjadi 51,36% di tahun
2006, menjadi 55,42% di tahun 2008.7 Selain
masalah fisik, para lanjut usia juga sering
mengalami kemunduran fungsi intelektual
termasuk fungsi kognitif–fungsi utama untuk
memelihara peran dan interaksi yang adekuat
dalam lingkungan sosial. Kemunduran
fungsi kognitif dapat dimulai dari bentuk
yang paling ringan berupa mudah-lupa
(forgetfulness), diperkirakan dikeluhkan oleh
39% lanjut usia berusia 50-59 tahun, dan akan
meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia
lebih dari 80 tahun.8 Jika penduduk berusia
lebih dari 60 tahun di Indonesia berjumlah
7% dari seluruh penduduk, maka keluhan
mudah-lupa tersebut diderita oleh setidaknya
3% populasi di Indonesia. Mudah-lupa bisa
berlanjut menjadi Gangguan Kognitif Ringan
(Mild Cognitive Impairment-MCI) sampai ke
Demensia sebagai bentuk klinis paling berat,
berupa kemunduran intelektual berat dan
progresif yang mengganggu fungsi sosial,
pekerjaan, dan aktivitas harian seseorang.9
Kemunduran fungsi kognitif dipengaruhi oleh
berbagai faktor; di samping faktor individu
seperti usia, pendidikan dan penyakit yang
pernah diderita, faktor lingkungan diduga
ikut mempengaruhi risiko kemunduran
fungsi kognitif, di antaranya hubungan/
keterlibatan sosial (social engagement).10-12
Penelitian-penelitian umumnya menunjukkan bahwa social engagement dapat
mempengaruhi fungsi kognitif para lanjut
usia. Mengingat social engagement terdiri
email: [email protected]
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
HASIL PENELITIAN
dari komponen jaringan sosial dan aktivitas
sosial yang mempunyai beberapa aspek atau
komponen,10-12 masing-masing mungkin
mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap fungsi kognitif, sehingga ingin ditelaah
lebih lanjut apakah ada perbedaan pengaruh
berbagai jenis jaringan dan aktivitas sosial
tersebut terhadap fungsi kognitif para lanjut
usia.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan bagian dari
penelitian Pengaruh Social Disengagement
terhadap Fungsi Kognitif Lanjut Usia yang
dilaksanakan pada tahun 2011.
Desain penelitian ini bersifat cross sectional.
Populasi target penelitian ini ialah populasi
lanjut usia di Jakarta. Populasi eligible
merupakan populasi para lanjut usia yang
telah tinggal di lingkungannya masingmasing, baik di keluarga maupun di panti
werdha di dua kelurahan, selama sedikitnya
1 tahun. Populasi lanjut usia di keluarga
diambil dari daftar lanjut usia yang ada di
Posyandu Lanjut Usia Puskesmas, sedangkan
populasi lanjut usia di panti diambil dari daftar
penghuni masing-masing panti.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria Inklusi
- Laki-laki atau perempuan berusia ≥60
tahun saat penelitian dimulai.
- Telah tinggal di lingkungannya selama
sedikitnya 1 tahun
- Bersedia mengikuti penelitian ini.
Kriteria Eksklusi
- Menderita gangguan jiwa psikosis; gangguan fungsi luhur seperti afasia, apraksia
- Mempunyai riwayat gangguan peredaran
darah otak (stroke)
- Mereka yang diketahui telah menderita
atau didiagnosis demensia.13
Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui: 1) Kuesioner
informasi umum. 2) Kuesioner indeks social
disengagement dan aktivitas fisik dan aktivitas
kognitif (Lampiran 1). 3) Kuesioner Mini Mental
State Examination (MMSE). Pengumpulan
data oleh petugas yang telah dilatih dan tersertifikasi AAzI (Asosiasi Alzheimer Indonesia).
Definisi
Social engagement: Terpeliharanya beragam
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
hubungan sosial dan keikutsertaan (partisipasi)
dalam kegiatan sosial.10
Tabel 1 Karakteristik Demografi Responden
Karakteristik Demografi
Pada penelitian ini dinilai menggunakan
indeks
social disengagement.14
Social
engagement dinilai baik jika nilai indeks
keseluruhan (GAB) 3-4, dinilai buruk jika nilainya 1-2.
Fungsi kognitif: Kemampuan mengenal
atau mengetahui benda atau keadaan atau
situasi, yang dikaitkan dengan pengalaman
pembelajaran dan kapasitas inteligensi
seseorang.14
Pada penelitian ini dinilai menggunakan
MMSE (Mini Mental State Examination).15,16
Penilaian fungsi kognitif didasarkan atas nilai
potong yang disesuaikan dengan tingkat
pendidikan terakhir yang ditamatkan
responden.17 Dinilai baik jika nilainya: ≥13 jika
tidak sekolah, ≥19 jika tdk tamat SD, ≥23 jika
tamat SD, ≥25 jika tamat SLP, ≥26 jika tamat
SLA ke atas. Dinilai buruk jika nilainya: <13
jika tidak sekolah, tdk tamat SD <19, tamat SD
<23, tamat SLP <25 dan jika tamat SLA ke atas
<26.17
HASIL
Data yang diolah berasal dari 286 responden
yang memenuhi kriteria dan lengkap.
Demografi
Mayoritas responden adalah perempuan 74,5%
(213 orang) (Tabel 1). Sebagian besar responden berusia 60-70 tahun yaitu sebanyak 62,9%
(180 orang), rata-rata usia responden 69,43
tahun (68,56-70,31 tahun) dengan standar
deviasi 7,042 tahun, usia termuda 61 tahun dan
yang tertua 96 tahun. Kebanyakan responden
tidak bekerja (78,3%–224 orang). Lebih dari
separuh responden atau sebanyak 57,7% (165
orang) berpendidikan tamat sekolah lanjutan,
yaitu tamat SLTP 22,4% (64 orang) dan tamat
SLTA atau lebih tinggi 35,3% (101 orang).
Mereka yang tidak sekolah 15,4% (44 orang),
tidak tamat SD 9,4% (27 orang) dan tamat SD
17,5% (50 orang). Status marital dari hampir
separuh responden adalah pernah menikah
sebanyak 48,3% (138 orang), sebanyak 45,5%
(130 orang) lainnya menikah dan masih hidup
bersama pasangannya serta 6,3% (18 orang)
di antaranya tidak menikah. Responden terdiri
dari mereka tinggal di keluarga sebanyak
210 orang (73,4%) dan yang tinggal di panti
werdha sebanyak 76 orang (26,6%).
n
%
Jenis kelamin
Laki-laki
73
25,5
Perempuan
213
74,5
60-70 tahun
180
62,9
>70 tahun
106
Usia
37,1
71-80 tahun
>80 tahun
102
35,7
4
1,4
Pekerjaan
Tidak bekerja
224
78,3
Bekerja
62
21,7
Bekerja di luar rumah
25
8,7
Bekerja di dalam rumah
37
12,9
Pendidikan
Rendah
121
42,3
Tidak sekolah
44
Tak tamat SD
27
9,4
Tamat SD
50
17,5
Tinggi
165
15,4
57,7
Tamat SLTP
Tamat SLTA >
64
22,4
101
35,3
Tempat Tinggal
Panti
76
26,6
Masyarakat
210
73,4
Status Marital
Tidak menikah
18
6,3
Pernah menikah
138
48,3
Menikah
130
45,5
Tabel 2 Fungsi Kognitif Responden
Fungsi kognitif
n
%
Buruk
108
37,8
Baik
178
62,2
Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif dinilai menggunakan pemeriksaan Mini Mental (Mini Mental State
Examination–MMSE) (lampiran 1). Penilaian
fungsi kognitif responden disesuaikan dengan
tingkat pendidikan. Fungsi kognitif responden
dikatakan buruk jika skor total MMSE <13 di
kelompok tidak sekolah, skor <19 di kelompok
tak tamat SD, skor <23 di kelompok tamat
SD, skor <25 di kelompok SLP, dan skor <26
di kelompok tamat SMA atau lebih tinggi.18
Hasilnya, secara keseluruhan 37,8% responden
mempunyai fungsi kognitif buruk (Tabel 2).
Social Engagement
1. Jaringan Sosial
Kurang dari separuh responden yang masih
tinggal bersama pasangan hidupnya (130–
577
HASIL PENELITIAN
45,5%). Jika dipilah atas jenis kegiatannya, ratarata responden masih sering bertemu dengan
anggota keluarga dan teman/sahabatnya
(211–73,8%), tetapi kurang memanfaatkan
komunikasi lewat sarana seperti surat, telepon
maupun SMS, hanya 35 (12,2%) yang masih
menggunakan sarana tersebut.
Jaringan sosial dinilai dari kombinasi
tiga variabel tersebut, didapatkan 58,1%
responden mempunyai jaringan sosial buruk
(Tabel 3).
Variabel
n
%
Pasangan hidup (skala PH)
Tidak ada (skor=0)
156
54,5
Ada (skor=1)
130
45,5
Buruk (skor=0)
Baik (skor=1)
Baik (skor=1)
%
56
19,6
230
80,4
Kegiatan di masyarakat
(skala MAS)
Buruk (skor=0)
247
86,4
39
13,6
Buruk (skor=0)
113
39,5
Baik (skor=1)
173
60,5
Baik (skor=1)
Keanggotaan di kelompok lain
(skala KEL)
Buruk (skor 0-1)
110
38,5
Baik (skor 2-3)
176
61,5
Analisis regresi Cox dengan metode backward, mendapatkan bahwa aktivitas di
masyarakat dan keanggotaan di kelompok
sosial/masyarakat lain merupakan komponen
yang paling berpengaruh terhadap fungsi
kognitif (Tabel 7).
Tabel 5 Social Engagement
Social Engagement
Kontak in person (skala VIS)
Buruk (skor=0)
n
Kunjungan ke tempat ibadah
(skala TIB)
Aktivitas Sosial
(skala ASOS)
Tabel 3 Jaringan Sosial Responden
Variabel
selanjutnya diteliti pengaruh masing-masing
faktor/komponen
social
engagement
terhadap fungsi kognitif. Komponen social
engagement yang dinilai pada penelitian
ini meliputi tiga aspek jaringan sosial yang
terdiri dari: kontak in person, kontak in
media dan pasangan hidup, dan tiga aspek
aktivitas sosial yang terdiri dari aktivitas di
masyarakat, kunjungan ke tempat ibadah
dan keanggotaan di kelompok masyarakat.
Ingin diketahui faktor/komponen yang paling
berpengaruh terhadap fungsi kognitif.
Tabel 4 Aktivitas Sosial Responden
75
211
26,2
73,8
n (%)
Buruk (skor 1-2)
102 (35,7)
Baik (skor 3-4)
184 (64.3)
Total
286 (100)
Mereka yang aktivitas di masyarakatnya buruk
mempunyai kemungkinan 3,184 (1,2937,842) kali lebih besar untuk mempunyai
fungsi kognitif buruk dibandingkan dengan
mereka yang aktivitas di masyarakatnya baik
setelah dikontrol dengan faktor keanggotaan
di kelompok masyarakat lain (p=0,012).
Mereka yang tidak menjadi anggota
kelompok masyarakat lain mempunyai
kemungkinan 1,675 (1,168-2,402) kali lebih
besar untuk mempunyai fungsi kognitif buruk
dibandingkan dengan mereka yang menjadi
anggota kelompok masyarakat lain setelah
dikontrol dengan faktor aktivitas di masyarakat
(p=0,005).
Kontak in media (skala NVIS)
Buruk (skor=0)
251
87,8
35
12,2
Buruk (jumlah skor 0-1)
166
58,1
Baik (jumlah skor 2-3)
120
41,9
Baik (skor=1)
PRR yang dihitung menggunakan analisis Cox
Regression, hasilnya ditunjukkan pada Tabel 6.
Jaringan sosial (skala JSOS)
2. Aktivitas Sosial
Mayoritas responden masih berkunjung
ke tempat ibadah sedikitnya seminggu
sekali (80,4%) dan juga masih terlibat dalam
kegiatan di kelompok lain seperti pengajian
atau arisan di lingkungan masing-masing
(60,5%). Kegiatan di luar rumah dinilai dari
frekuensi ke luar rumah, melancong, berbelanja, menonton pertunjukan di bioskop
atau pertandingan olahraga, dan aktivitas
di lingkungan masyarakat. Responden yang
masih aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan
tersebut lebih sedikit yaitu hanya 13,6%.
Secara keseluruhan, 61,5% dinilai masih
mempunyai aktivitas sosial baik (Tabel 4).
3. Social engagement
Nilai social engagement merupakan nilai
gabungan dari skor jaringan sosial dan skor
aktivitas sosial. Disimpulkan bahwa lanjut
usia yang memiliki social engagement buruk
sejumlah 102 orang atau 35,7% (Tabel 5).
Hubungan Social Engagement dengan
Fungsi Kognitif
Hubungan social engagement dengan fungsi
kognitif pada penelitian ini dilihat dari nilai
578
Didapatkan sebanyak 56,9% (58 orang)
lanjut usia dengan social engagement
buruk memiliki fungsi kognitif buruk.
Sedangkan di antara lanjut usia dengan
social engagement baik sebanyak 27,2% (50
orang) memiliki fungsi kognitif buruk. Uji
statistik menggunakan analisis Cox Regression
menunjukkan ada hubungan bermakna
antara social engagement dengan fungsi
kognitif (nilai p<0,0001). Lanjut usia dengan
social engagement buruk memiliki risiko 2,093
(1,565-2,799) kali lebih besar untuk mempunyai
fungsi kognitif buruk dibandingkan lanjut
usia dengan social engagement baik.
Hubungan Komponen Aktivitas di
Masyarakat dengan Fungsi Kognitif
Komponen aktivitas di masyarakat yang
dinilai pada penelitian ini terdiri dari lima
variabel, yaitu frekuensi keluar rumah dan
berbelanja, kunjungan ke bioskop, konser,
restoran atau menonton pertandingan
olahraga, melancong dan/atau perjalanan
bermalam/menginap,
kerja
sukarela/
Hubungan Komponen Social Engagement
dengan Fungsi Kognitif
Mengingat social engagement disimpulkan
berdasarkan penilaian atas 6 komponen,
Tabel 6 Hubungan Social Engagement dengan Fungsi Kognitif
Fungsi Kognitif
Social Engagement
Kurang
PRR
Baik
Buruk
58 (56,9)
44 (43,1)
2,093 (1,565-2,799)
Baik
50 (27,2)
134 (72,8)
1,000
.p
<0,0001
Tabel 7 Model Akhir Analisis Komponen Social Engagement yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif
Variabel
HR (95% IK)
.p
Aktivitas di masyarakat: Tidak
3,184 (1,293-7,842)
0,012
Keanggotaan kelompok lain: Tidak
1,675 (1,168-2,402)
0,005
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
HASIL PENELITIAN
Tabel 8 Model Awal Analisis Multivariat Komponen Aktivitas Sosial di Masyarakat dengan Fungsi Kognitif
Variabel
Fungsi Kognitif
Buruk
HR (95% IK)
Baik
.p
Keluar rumah dan berbelanja
tidak pernah (skor=0)
55 (52,4)
50 (47,6) 1,593 (1,029-2,465)
0,037
rata-rata <1 kali/minggu (skor=1)
16 (34,0)
31 (66,0) 1,236 (0,684-2,234)
0,483
rata-rata ≥1 kali/minggu (skor=2)
37 (27,6)
97 (72,4) 1,000
Ke bioskop, konser, restoran atau
menonton pertandingan olahraga
tidak pernah (skor=0)
97 (40,4)
143 (59,6) 1,376 (0,306-6,181)
0,677
rata-rata <1 kali/minggu (skor=1)
9 (25,7)
26 (74,3) 1,149 (0,240-5,509)
0,862
rata-rata ≥1 kali/minggu (skor=2)
2 (18,2)
9 (81,8) 1,000
Melancong, perjalanan bermalam/
menginap
tidak pernah (skor=0)
92 (43,6)
119 (56,4) 1,150 (0,398-3,328)
0,796
rata-rata <1 kali/minggu (skor=1)
12 (19,4)
50 (80,6) 0,714 (0,226-2,254)
0,566
rata-rata ≥1 kali/minggu (skor=2)
4 (30,8)
9 (69,2) 1,000
Kerja sukarela/amal
tidak pernah (skor=0)
89 (44,7)
110 (55,3) 1,201 (0,586-2,460)
0,617
rata-rata <1 kali/minggu (skor=1)
9 (18,8)
39 (81,3) 0,618 (0,246-1,550)
0,305
rata-rata ≥1 kali/minggu (skor=2)
10 (25,6)
29 (74,4) 1,000
Kerja masyarakat yang dibayar
tidak pernah (skor=0)
104 (38,0)
170 (62,0) 0,847 (0,203-3,523)
rata-rata <1 kali/minggu (skor=1)
2 (28,6)
5 (71,4) 1,721 (0,208-14,230)
rata-rata ≥1 kali/minggu (skor=2)
2 (40,0)
3 (60,0) 1,000
0,819
0,615
Tabel 9 Model Akhir Analisis Multivariat Komponen Aktivitas Sosial di Masyarakat dengan Fungsi Kognitif
Variabel
HR (95% IK)
.p
Keluar rumah dan berbelanja
tidak pernah (skor=0)
1,695 (1,105-2,602)
0,016
rata-rata <1 kali/minggu (skor=1)
1,255 (0,698-2,256)
0,449
rata-rata ≥1 kali/minggu (skor=2)
1,000
Kerja sukarela/amal
tidak pernah (skor=0)
1,470 (0,749-2,883)
0,263
rata-rata <1 kali/minggu (skor=1)
0,686 (0,278-1,691)
0,412
rata-rata ≥1 kali/minggu (skor=2)
1,000
amal, dan kerja masyarakat yang dibayar.
Selanjutnya akan dilihat komponen variabel
aktivitas sosial di masyarakat yang paling berpengaruh terhadap fungsi kognitif. Analisis
menggunakan regresi Cox mendapatkan
model akhir komponen aktivitas sosial di
masyarakat yang paling berperan terhadap
fungsi kognitif seperti ditunjukkan pada Tabel
9.
Analisis komponen aktivitas di masyarakat
menunjukkan mereka yang tidak pernah
ke luar rumah/berbelanja, berisiko 1,7
kali mempunyai fungsi kognitif buruk
dibandingkan
dengan
mereka
yang
melakukannya lebih dari sekali seminggu
(p=0,016); kerja sukarela/amal juga merupakan komponen yang berperan kendati tidak
bermakna dan tidak linear. Hal ini berbeda
dengan aktivitas masyarakat yang dibayar,
yang tidak mempengaruhi fungsi kognitif
(Tabel 8), meskipun hal ini dapat disebabkan
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
oleh sampel yang terlalu kecil.
PEMBAHASAN
Secara umum, penelitian ini menghasilkan
simpulan ada hubungan bermakna antara
social engagement dengan fungsi kognitif.
Lanjut usia dengan social engagement
buruk memiliki risiko dua kali lebih besar
untuk mempunyai fungsi kognitif buruk
dibandingkan lanjut usia dengan social
engagement baik. Dan di antara komponen
social engagement yang diteliti, mereka
yang aktivitas di masyarakatnya buruk
mempunyai kemungkinan 3 kali lebih
besar untuk mempunyai fungsi kognitif
buruk dibandingkan dengan mereka yang
aktivitas di masyarakatnya baik setelah
dikontrol dengan faktor keanggotaan di
kelompok masyarakat lain. Mereka yang
tidak menjadi anggota kelompok masyarakat
lain mempunyai kemungkinan 1,7 kali lebih
besar untuk mempunyai fungsi kognitif
buruk dibandingkan dengan mereka yang
menjadi anggota kelompok masyarakat lain
setelah dikontrol dengan faktor aktivitas di
masyarakat.
Sudah luas diterima bahwa social engagement
yang baik berhubungan dengan banyak
outcome positif pada lanjut usia.18 Pada
penelitian ini terlihat bahwa social engagement
berpengaruh terhadap fungsi kognitif para
lanjut usia. Pengamatan ini sejalan dengan
beberapa penelitian terdahulu. Lanjut usia
dengan banyak ikatan sosial hidup lebih
lama,19 tingkat kesehatannya lebih baik,20,21
dan lebih sedikit yang depresi.22 Selain itu,
luasnya keterlibatan sosial (social engagement)
–dinilai dari frekuensi kontak dengan keluarga
dan teman serta partisipasi dalam kegiatan
sosial– diketahui mengurangi risiko gangguan
fungsi kognitif dalam 3, 6 dan 12 tahun.10 Pada
pengamatan tahun ketiga didapatkan OR 2,24
(1,40-3,58), tahun keenam OR 1,91 (1,14-3,18),
dan tahun kedua belas OR 2,37 (1,07-4,88)
untuk penurunan fungsi kognitif di kalangan
lanjut usia tinggal di keluarga yang tidak
memiliki ikatan sosial dibandingkan dengan
yang memiliki lima atau enam hubungan
sosial, setelah disesuaikan oleh variabel usia,
kinerja awal kognitif, jenis kelamin, etnis,
pendidikan, pendapatan, tipe rumah, cacat
fisik, profil kardiovaskular, penurunan sensorik,
gejala depresi, merokok, penggunaan alkohol,
dan tingkat aktivitas fisik.10
Pada penelitian ini, di antara komponen
social engagement yang diteliti, aktivitas di
masyarakat dan keanggotaan di kelompok
sosial/masyarakat lain merupakan komponen
yang paling berpengaruh terhadap fungsi
kognitif. Penemuan ini memperlihatkan
bahwa aktivitas di masyarakat juga penting
daripada hanya sekedar menjadi anggota
kelompok masyarakat. Jadi akan sangat
bermanfaat jika para lanjut usia tetap dapat
menjadi anggota kelompok masyarakat di
sekitar tempat tinggalnya, dan yang lebih
penting adalah ikut aktif dalam kegiatannya,
bukan hanya sekedar menjadi anggota pasif.
Hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut
adalah bahwa kerja masyarakat yang dibayar
tidak mempengaruhi fungsi kognitif, berapa
besar faktor ‘kesukarelaan’ dapat berpengaruh
positif terhadap fungsi kognitif.
Data ini didukung oleh studi laboratorium
yang menunjukkan bahwa lingkungan yang
579
HASIL PENELITIAN
lebih kompleks merangsang pertumbuhan
dendrit.23 Aktivitas sosial dapat mempengaruhi pola hubungan antara fungsi
kognitif dengan kelainan patologi otak.24
Selain menyediakan lingkungan dinamis yang
memerlukan mobilisasi fungsi kognitif yang
lebih aktif, aktivitas sosial juga meningkatkan
rasa ‘berguna’ dan kepuasan (purpose and
fulfillment).10 Mekanisme pasti bagaimana
aktivitas sosial bisa mempengaruhi fungsi
kognitif juga masih belum jelas; ada
pendapat bahwa lingkungan dan aktivitas
sosial merangsang fungsi kognisi melalui
paparan terhadap situasi sosial yang kompleks,
yang dapat mempengaruhi proses sinaptik
menjadi lebih efisien, adaptif dan plastis.25
Keterlibatan dalam situasi ‘menantang’
merangsang aktivitas neuron yang ditandai
antara lain dari peningkatan aliran darah otak,
metabolisme glukosa dan oksigen dalam
jaringan otak dan meningkatkan kemampuan
regenerasi neuron.23 Diketahui pula bahwa
neuroplastisitas yang positif dirangsang
oleh aktivitas fisik, pendidikan, interaksi
sosial, aktivitas kognitif, sebaliknya buruknya
kesehatan, pola tidur dan gizi, depresi dan
anxietas serta riwayat penyalahgunaan zat
memberikan efek negatif.26
Analisis lanjutan mengenai jenis aktivitas di
masyarakat menunjukkan hal yang menarik,
yaitu bahwa kegiatan ke luar rumah dan berbelanja dapat berpengaruh terhadap fungsi
kognitif–mereka yang tidak pernah ke luar
rumah/berbelanja, berisiko 1,7 kali mempunyai
fungsi kognitif buruk dibandingkan dengan
mereka yang melakukannya lebih dari sekali
seminggu (p=0,016), selain itu kerja sukarela/
amal juga merupakan komponen yang berperan kendati tidak bermakna dan tidak
linear, hal ini bisa karena pengaruh aktivitas
di masyarakat lebih merupakan gabungan
pengaruh bermacam kegiatan, dibandingkan
dengan peranan masing-masing kegiatan
tersebut. Sekalipun demikian, menarik untuk
diperhatikan bahwa aktivitas yang melibatkan
orang lain/masyarakat lebih berpengaruh
dibandingkan aktivitas yang lebih ‘soliter’
seperti ke bioskop atau menonton
pertunjukan, atau melakukan perjalanan/
menginap. Penemuan ini memerlukan
penelitian lanjutan karena dapat berimplikasi
praktis dalam bentuk jenis aktivitas yang
dianjurkan dalam upaya mempertahankan
fungsi kognitif, khususnya di kalangan para
lanjut usia.
580
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
masing-masing komponen jaringan dan
aktivitas sosial yang dapat mempengaruhi
fungsi kognitif para lanjut usia secara berbeda.
Fratiglioni et al. (2000) menilai jaringan sosial
yang terdiri dari status marital (menikah, tidak
pernah menikah, pernah menikah), tinggal
sendiri atau dengan orang lain, anak (ada atau
tidak) dan ikatan sosial (teman dekat), hasilnya
lanjut usia yang hidup sendiri dan tidak
memiliki ikatan sosial yang dekat memiliki
risiko 1,5 (1,0-2,1; 1,0-2,4) kali lebih besar
untuk menjadi demensia. Lanjut usia tidak
menikah dan tinggal sendirian memiliki risiko
1,9 (1,2-3,1) kali lebih besar untuk demensia
dibandingkan dengan lanjut usia menikah
dan tinggal bersama orang lain. Dan jika
semua komponen jaringan sosial digabung
dalam indeks ditemukan bahwa jaringan
sosial buruk meningkatkan risiko demensia
sebesar 60%.27 Yeh & Liu (2003) menilai
dukungan sosial dalam empat kelompok
utama yaitu 1) Status marital, karena
pasangan dinilai sebagai sumber dukungan
emosional. 2) Dukungan positif dari teman
dengan menanyakan apakah memiliki teman
baik untuk diajak berbicara. 3) Tinggal sendiri
atau bersama orang lain. 4) Kesendirian yang
diukur dengan menanyakan apakah merasa
kesepian (sering, terkadang dan jarang).
Hasilnya menunjukkan bahwa fungsi kognitif
yang baik di komunitas lanjut usia berasosiasi
dengan dukungan sosial khususnya status
marital dan dukungan positif dari teman.28
Tetapi studi Ho et al. (2001) pada lanjut usia
70 tahun atau lebih di Cina selama 3 tahun
untuk melihat hubungan sosial, gaya hidup
dan riwayat kesehatan dengan cognitive
impairment yang dinilai dengan Clifton
Assessment Procedure for the Elderly (CAPE) tidak
menemukan hubungan antara dukungan
sosial dengan risiko penurunan fungsi
kognitif baik di kalangan laki-laki maupun di
kalangan perempuan.29
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini
menunjukkan
kecenderungan
bahwa
kegiatan yang memperbesar paparan para
lanjut usia ke masyarakat dan/atau yang lebih
melibatkan aktivitas berpikir mengurangi
risiko fungsi kognitif buruk. Hal ini terlihat
dari pengaruh aktivitas di masyarakat,
menjadi anggota kelompok masyarakat
dan melakukan kegiatan di luar rumah yang
positif yang semuanya cenderung dapat
mengurangi risiko fungsi kognitif buruk di
kalangan para lanjut usia. Penemuan ini pada
hakekatnya memperkuat anggapan umum
bahwa kemunduran fungsi kognitif atau
kepikunan dapat dicegah sedapat mungkin
dengan memelihara aktivitas dan kontak
dengan masyarakat.
Teori yang mendukung anggapan ini antara
lain ialah teori mekanisme scaffolding yang
menerangkan bahwa banyaknya aktivitas
yang beragam akan mengaktifkan jaringan
tambahan sehingga jaringan otak menjadi
lebih efisien.30 Kemampuan memelihara
jaringan sosial didukung oleh luasnya sistim
limbik dan daerah asosiasi kortikal maupun
subkortikal; meskipun belum diketahui area
yang spesifik untuk stimulus sosial,31 area
tersebut berperan dalam fungsi representasi
simbolik yang penting dalam situasi
sosial. Mekanisme neurobiologi maupun
neuropatologi jaringan sosial masih belum
banyak diketahui; jaringan sosial agaknya
dikaitkan dengan kemampuan mereduksi
kemungkinan bahwa patologi jaringan otak
akan bermanifestasi klinis. Jaringan sosial
dapat mempengaruhi pola hubungan antara
fungsi kognitif dengan kelainan patologi
otak, efeknya terlihat pada berkurangnya
pembentukan neurofibrillary tangles dan plak
amiloid, dan secara klinis efek modifikasi ini
terutama terlihat pada fungsi semantic memory
dan working memory.24 Luasnya jaringan
sosial diperkirakan mempengaruhi beberapa
faktor yang juga berhubungan dengan
fungsi kognitif;32,33 rendahnya depresi34,35
atau memperbaiki perilaku kesehatan seperti
olahraga teratur dan ketaatan berobat.38
Diduga jaringan sosial yang aktif akan
meningkatkan efisiensi jaringan kognitif
sehingga lebih resisten terhadap perubahan
degenerasi struktural/seluler.36
Pengaruh aktivitas sosial ini juga didukung
oleh percobaan pada binatang, mereka
yang tinggal di lingkungan yang lebih ‘kaya’,
dibandingkan dengan yang tinggal terisolasi, lebih sedikit penurunan kognitifnya,37
mengandung lebih sedikit amiloid di otak,38
lebih banyak jaringan kapiler korteksnya39 dan
juga lebih aktif neurogenesisnya.30 Penelitian
pada binatang menunjukkan peningkatan
stimuli lingkungan yang merangsang aktivitas
motorik, sensorik dan kognitif, meningkatkan
aktivitas seluler dan molekuler jaringan otak.40
Para lanjut usia dianjurkan sedapat mungkin
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
HASIL PENELITIAN
memelihara kontak sosial mereka dan aktivitas
mereka di masyarakat; kegiatan sederhana
seperti berbelanja dan kerja sukarela/
amal dapat bermanfaat, tidak hanya bagi
masyarakat sekitar, tetapi juga buat mereka
yang melakukannya.
nya buruk mempunyai kemungkinan 3.184
kali lebih besar untuk mempunyai fungsi
kognitif buruk dibandingkan dengan mereka
yang aktivitas di masyarakatnya baik setelah
dikontrol dengan faktor keanggotaan di
kelompok masyarakat lain.
SIMPULAN
Lanjut usia dengan social engagement
buruk memiliki risiko 2.093 kali lebih besar
untuk mempunyai fungsi kognitif buruk
dibandingkan lanjut usia dengan social
engagement baik.
Mereka yang tidak menjadi anggota kelompok
masyarakat lain mempunyai kemungkinan
1,675 kali lebih besar untuk mempunyai fungsi
kognitif buruk dibandingkan dengan mereka
yang menjadi anggota kelompok masyarakat
lain setelah dikontrol dengan faktor aktivitas
di masyarakat.
Di antara komponen social engagement yang
diteliti, mereka yang aktivitas di masyarakat-
Kegiatan keluar rumah dan berbelanja, dan
kerja sukarela/amal merupakan komponen
yang lebih berperan kendati tidak bermakna
dan tidak linear.
SARAN
Menganjurkan para lanjut usia untuk selalu
memelihara aktivitas di masyarakat berupa
ikut aktif dalam kelompok masyarakat dan
dalam kegiatan sukarela, serta memelihara
kegiatan ke luar rumah seperti berbelanja dan
kegiatan lain di masyarakat.
Meneliti lebih lanjut kemungkinan perbedaan
pengaruh kerja yang dibayar dengan kerja
sukarela terhadap (terpeliharanya) fungsi
kognitif para lanjut usia.
DAFTAR PUSTAKA
1.
PRB. World Population Sheet. 2013. www.prb.org.
2.
WHO. Active Ageing : a policy framework, WHO, Geneva. 2002
3.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
4.
BPS. Statistik Indonesia 2009. BPS, Jakarta, 2009
5.
BPS. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. BPS, Jakarta. Maret 2009
6.
Komisi Nasional Lanjut Usia. Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta: Komnas Lansia, 2010
7.
BPS. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2008. BPS, Jakarta 2009
8.
Kusumoputro S, Sidiarto L. Otak Menua dan Alzheimer Stadium Ringan. Neurona 2001;18(3):4–8.
9.
Asosiasi Alzheimer Indonesia Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia lainnya ed. 1. Jakarta, 2003
10. Bassuk SS, Glass TA, Berkman LF. Social disengagement and incident cognitive decline in community-dwelling elderly persons. Ann Intern Med. 1999;131(3):165–73.
11. Levasseur M, Richard L, Gauvin L, Raymond E. Inventory and analysis of definitions of social participation found in the aging literature: Proposed taxonomy of social activities. Soc Sci Med.
2010;71(12):2141–9.
12. Fratiglioni L, Paillard-Borg S, Winblad B.‘An active and socially integrated lifestyle in late life might protect against dementia. Lancet Neurol. 2004;3(6):343–53.
13. American Psychiatric Association. Diagnostics and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed. American Psychiatric Association, Washington DC. 1994
14. Boedhi-Darmojo R . Penyakit Kardiovaskuler pada Usia Lanjut. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi 4 Eds.Martono HH dan Pranarka K. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. pp. 348–69.
15. Asosiasi Alzheimer Indonesia Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia lainnya. ed. 1, Asosiasi Alzheimer Indonesia, Jakarta. 2003,
16. Dikot Y. Deteksi dini gangguan kognitif dalam praktek umum dan neurologi sehari-hari. Dalam: Basuki A, Dian S (eds.) Neurology in Daily Practice. ed 1. Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf, FK
Universitas Padjadjaran/RS Hasan Sadikin, Bandung. 2010
17. Turana Y, Handayani YS. Nilai Mini mental State Examination (MMSE) berdasarkan usia dan tingkat pendidikan pada masyarakat lanjut usia di Jakarta., Medika 2011;37(5):307–10.
18. Carstensen LL, Hartel CR, eds. When I’m 64. National Research Council (US) Committee on Aging Frontiers in Social Psychology, Personality, and Adult Developmental Psychology;
Washington (DC): National Academies Press (US); 2006.
19. Bowling A, Grundy E. Activities of daily living: changes in functional ability in three samples of elderly and very elderly people. Age Ageing. 1997;26(2):107–14.
20. Berkman LF. The role of social relations in health promotion. Psychosom Med. 1995;57(3):245–54.
21. Vaillant GE, Meyer SE, Mukamal K, Soldz S. Are social supports in late midlife a cause or a result of successful physical ageing? Psychol Med. 1998 Sep;28(5):1159–68.
22. Antonucci TC, Fuhrer R, Dartigues JF.Social relations and depressive symptomatology in a sample of community-dwelling French older adults.Psychol Aging. 1997 Mar;12(1):189–95.
23. Nyberg L, Sandblom J, Jones S et al. Neural correlates of training-related memory improvement in childhood and aging. PNAS 2003,;100(23):13728–33.
24. Bennet DA, Schneider JA, Tang Y, Arnold SE, Williams RS. The effect of social networks in the relation between Alzhemier’s disease pathology and level of cognitive function in old people:
a longitudinal cohort study. Lancet Nenurol., 2006;5(5):406–12.
25. Bielak AA. How can we not ‘lose it’ if we still don’t understand how to use it’? Unanswered questions about the influence of activity articipation on cognitive performance in older age – a
mini-review. Gerontology 2010; 56(5):507–19.
26. Nyberg L, Sandblom J, Jones S et al. Neural correlates of training-related memory improvement in childhood and aging. PNAS 2003;100(23):13728–33.
27. Vance DE, Roberson,AJ, McGuinnes TM, Fazeli PL. How neuroplasticity and cogntivie reserve protect cognitive functioning. J Pschysoc Nurs Ment Health Serv 2010;Apr;48(4):23–30.
28. Fratiglioni L, Wang HX, Ericsson K, Maytan M, Winblad B. Influence of social network on occurrence of dementia: a community-based longitudinal study. Lancet 2000;355:1315–9.
29. Yeh SC, Liu YY. Influence of social support on cognitive function in the elderly. BMC Health Services Research, 2003;3(1):9.
30. Ho SC, Woo J, Sham A, Chan SG, Yu AL. A 3-year follow-up study of social, lifestyle and health predictors of cognitive impairment in chinese older cohort. Int J Epidemiol. 2001; 30(6):1389–
96.
31. Kempermann G, Kuhn HG, Gage FH. More hippocampal neurons in adult mice living in an enriched environment. Nature 1997;386(6624):493–5.
32. Adolphs R . The neurobiology of social cognition. Curr Opin Neurobiol. 2001;11( 2):231–9.
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
581
HASIL PENELITIAN
33. Bennet DA, Schneider JA, Tang Y, Arnold SE, Williams RS. The effect of social networks in the relation between Alzheimer’s disease pathology and level of cognitive function in old people:
a longitudinal cohort study. Lancet Neurol. 2006;5(5):406–12.
34. Krumholz HM, Butler J, Miller J et al. Prognostic importance of emotional support for elderly patients hospitalized with heart failure. Circulation 1998;17(97):958–64.
35. Mookadam F, Arthur HM. Social support and its relationship to morbidity and mortality after acute myocardial infarction systematic overview. Arch Intern Med. 2004;164(14):1514–8.
36. Jang Y, Borenstein AR, Chiriboga DA, Mortimer JA. Depressive symptoms among African American and white older adults. javascript:AL_get(this, ’jour’, ’J Gerontol B Psychol Sci Soc Sci.’);
J Gerontol B Psychol Sci Soc Sci.2005;60(6):313–9.
37. Yaffee, K., & Barnes, DE 2009, ‘Epidemiology and Risk Factors’, The Behavioral Neurology of Dementia’ Cambridge Medicine, Cambridge.
38. Berkman LF. The role of social relations in health promotion. Psychosom Med, 1995;57(3):245–54.
39. Polidori MC, Nelles G, Pientka L. Prevention of dementia: focus on lifestyle. Int J. Alzheimers Dis, 2010;29:1–9.
40. Jankowsky JL, Melnikova T, Fadale DJ et al. Environmental enrichment mitigates cognitive deficits in a mouse model of Alzheimer’s disease. J.Neurosci. 2005;25(21):5217–24.
41. Lazarov O, Robinson J, Tang YP et al. Environmental enrichment reduces Abeta levels and amyloid deposition in transgenic mice. Cell. 2005;120(5):701–13.
42. Black JE, Sirevaag AM, Greenough WT. Complex experience promotes capillary formation in young rat visual cortex. Neurosci Lett. 1987;83(3):351–5.
43. Kempermann G, Kuhn HG, Gage FH. More hippocampal neurons in adult mice living in an enriched environment. Nature. 1997;386(6624):493–5.
44. Nithianantharajah J, Hannan AJ. The neurobiology of brain and cognitive reserve: mental and physical activity as modulators of brain disorders. Prog Neurobiol. 2009;89(4):369–82.
Lampiran 1 Indeks Social Disengagement
Indeks Social Disengagement
Nama responden:
No. Reg.:
I.
Pasangan Hidup (PH)
1.
Apakah anda pernah menikah?
1 = ya,
2 = tidak (lewati pertanyaan 2)
2.
Apakah saat ini anda:
1 = menikah,
2 = berpisah,
3 = cerai hidup,
_____
4 = cerai mati
_____
(Jika jawaban no.1 = 1 dan no.2 = 1, kode PH diberi angka 1; selain itu kode PH diberi angka 0 PH)
PH _____
II. Kontak visual/bulan dengan 3 atau lebih keluarga dan/atau sahabat (VIS)
III. Kontak nonvisual/tahun dengan 10 atau lebih keluarga dan/atau sahabat (NVIS)
Anak:
1.
Berapa anak anda (termasuk anak angkat)?
(jika tidak ada, pertanyaan 2 sd. 4 dijawab = 0)
2.
Berapa banyak yang saat ini masih hidup?
Dalam 1 tahun terakhir:
3a. Berapa banyak anak anda yang bertemu anda sedikitnya sekali seminggu?
3b. Selain yang sudah disebut di atas, berapa banyak yang bertemu anda sedikitnya sekali sebulan?
3c. Selain yang sudah disebut di atas, berapa banyak yang bertemu anda sedikitnya sekali setahun?
4a. Berapa banyak anak anda yang berbicara pertelpon setiap minggu?
4b. Selain yang sudah disebut di atas, berapa banyak yang berbicara pertelpon sedikitnya sekali sebulan?
4c. Selain yang sudah disebut di atas, berapa banyak yang berbicara pertelpon sedikitnya sekali setahun?
4aa. Berapa banyak anak anda yang berSMS/email/surat setiap minggu?
4ab. Selain yang sudah disebut di atas, berapa banyak yang berSMS/email/surat sedikitnya sekali sebulan?
4ac. Selain yang sudah disebut di atas, berapa banyak yang berSMS/email/surat sedikitnya sekali setahun?
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
Famili/keluarga lain:
5.
Pada umumnya, selain anak-anak anda, berapa banyak sanak/keluarga yang anda rasa dekat? (merasa dekat
ialah jika bisa diajak bicara mengenai masalah pribadi atau mau dimintai tolong sewaktu-waktu)
6.
Berapa banyak sanak/keluarga tersebut yang anda jumpai sedikitnya sekali sebulan?
7a. Berapa banyak sanak/keluarga tersebut yang berhubungan per telepon sedikitnya sekali setahun?
7b. Berapa banyak sanak/keluarga tersebut yang berhubungan per SMS/email/surat sedikitnya sekali setahun?
582
_____
_____
_____
_____
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
HASIL PENELITIAN
Teman dekat/sahabat:
8.
Pada umumnya, berapa banyak teman dekat anda? (merasa dekat ialah jika bisa
diajak bicara mengenai masalah pribadi atau mau dimintai tolong sewaktu-waktu)
9.
Berapa banyak teman dekat anda tersebut yang anda jumpai sedikitnya sekali sebulan?
10a. Berapa banyak teman dekat anda tersebut yang berhubungan per telepon sedikitnya sekali setahun?
10b. Berapa banyak teman dekat anda tersebut yang berhubungan per SMS/email/surat sedikitnya sekali/tahun?
_____
_____
_____
_____
(Jika jawaban 3a + 3b + 3c + 6 + 9 ≥ 3, kode VIS diberi angka 1; selain itu beri angka 0)
(Jika jawaban 4a + 4b + 4c + 4aa + 4ab + 4ac + 7a + 7b + 10a + 10b ≥ 10, kode NVIS diberi angka 1; selain itu beri angka 0)
VIS _____
NVIS _____
IV. Kunjungan ke tempat ibadah (TIB)
1.
Berapa seringnya anda mengunjungi tempat ibadah?
1 = ≥1 kali/minggu,
0 = <1 kali/minggu
TIB _____
V. Keanggotaan di kelompok lain (KEL)
1.
Apakah anda bergabung di suatu kelompok seperti arisan, kelompok pengajian, lingkungan, kelompok sosial, sukarela?
1 = ya,
0 = tidak
KEL _____
VI. Partisipasi teratur pada aktivitas sosial rekreasional
1.
Berikut ini daftar kegiatan saat santai/waktu luang;
dalam 1 tahun terakhir, berapa sering anda melakukan kegiatan berikut:
0 = jika tidak pernah,
1= jika rata-rata <1 kali/mgg,
2 = jika rata-rata ≥1 kali/mgg
1.
Olahraga aktif atau berenang
2.
Jalan kaki
3.
Berkebun
4.
Olahraga/latihan fisik
5.
Masak sendiri
6.
Mengerjakan hobi
7.
Keluar rumah dan berbelanja
8.
Ke bioskop, konser, restoran atau menonton pertandingan olahraga
9.
Baca buku, majalah, koran
10. Nonton siaran televisi berita
11. Nonton siaran televisi hiburan/video film
12. Melancong, perjalanan bermalam/menginap
13. Kerja sukarela/amal
14. Kerja masyarakat yang dibayar
15. Main kartu, catur, halma, teka-teki silang, sudoku teratur
(Jika jawaban 7 + 8 + 12 + 13 + 14 ≥ 5 (jika rata-rata ≥ 1) kode MAS diberi angka 1; selain itu MAS = 0)
Aktivitas Fisik:
(Jika jawaban 1 + 2 + 3 + 4 ≥ 4 (jika rata-rata ≥ 1) kode FIS diberi angka 1; selain itu FIS = 0)
Aktivitas kognitif:
(Jika jawaban 5 + 6 + 9 + 10 + 11 + 15 ≥ 6 (jika rata-rata ≥ 1) kode KOG diberi angka 1; selain itu KOG = 0)
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
_____
MAS _____
FIS _____
KOG _____
Aktivitas sosial:
(Nilai gabungan 3 indikator – TIB, KEL, MAS = ASOS)
ASOS _____
Jaringan sosial:
(Nilai gabungan 3 indikator – PH, VIS, NVIS = JSOS)
JSOS _____
(Nilai gabungan (GAB) berasal dari gabungan 6 indikator – PH, VIS, NVIS, TIB, KEL, MAS;
Beri nilai 4 = 5-6 kelompok bernilai 1, 3 = 3-4 kelompok, 2 = 1-2 kelompok, 1 = 0 kelompok;
Jika >2 indikator tak ada nilainya, tidak ada nilai gabungan)
GAB _____
Social Engagement dinilai dari nilai GAB: baik jika nilainya 3-4; buruk jika nilainya 1-2
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
583
Download