Edisi 30 Mei 2009 Bahan Ajar Mata Kuliah Perencanaan Sosial (GEL2703) Tukiran, , Drs., M.A. Sukamdi, H., , Drs., M.Sc. FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2009 No Modul : 1 Pertemuan : Minggu 1 Pokok Bahasan : Pendahuluan A. Kata Kunci : 1. Perencanaan Sosial 2. Kebijakan Sosial B. Pertanyaan / perintah diskusi 1. Review PSDM C. Materi Menjelaskan silabus perkuliahan selama satu semester. I Pendahuluan II Konsep, Definisi, Lingkup Perencanaan Sosial III Kebijaksanaan Sosial, Perencanaan Sosial dan Pembaharuan Sosial IV Kebijakan Sosial V Perlindungan Sosial di ASEAN VI Basic Need Approach VII Indikator Keberhasilan Perencanaan Sosial VIII Perencanaan Kontingensi/Perencanaan Penanganan Bencana IX MID Semester X Case Study XI Case Study XII Case Study XIII Presentasi Kelompok XIV Presentasi Kelompok XV Presentasi Kelompok XVI Review Mata Kuliah D. Latihan 1. Summary bab 1 “Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga“ Diana Conyers. 2 No. Modul : 2 Pertemuan : Minggu 2 Pokok Bahasan : Konsep, Definisi, Lingkup Perencanaan Sosial A. Kata Kunci : 1. Kualitas Hidup 2. Human Development Index 3. Perencanaan sosial 4. Wellbeing 5. Jenis perencanaan sosial 6. Dasar perencanaan sosial 7. Teori pembangunan 8. Kemiskinan 9. Proses perencanaan sosial B. Pertanyaan / perintah diskusi 1. Apa tujuan social planning? 2. Apa yang di maksud dengan wellbeing? C. Materi PENGERTIAN PERENCANAAN SOSIAL (SOCIAL PLANNING) Perencanaan sosial adalah perencanaan untuk meningkatkan kualitas hidup di suatu masyarakat. Social planning guidelines for QLD LG 1996 mendefinisikan perencanaan sosial sebagai “an organised process for investigating and responding to the needs and aspirations of people and communities. In practice, it’s based on a set of values, techniques, and skills that contribute to better communities and quality of life”. The NSW Local Government Guidelines mendefinisikan perencanaan sosial sebagai "the process of investigating and responding to the social 3 needs and aspirations of all the people who live or work in a local government area. It is a process of collaborative planning on social and community issues at the local level and incorporates all types of activities that have an impact on community well-being." Social planning plays in a pivotal role in creating liveable communities, vibrant economies, sustainable places, diverse cultural expression and social cohesiaon. Social planning involves planning for the needs and aspirations of people and communities through strategic policy and action, integrated with urban, regional, and other planning activities. Social planning is founded on the principles of social justice (equity, access, participation, and right) and aims to enchance community well being and effectiveness. Social planning embraces a planned approach to enhancing the quality of life of community by identifying needs: facilitating the timely, coordinated and accessible provision of human services, and comunnity facilities, and involving the community in the planning and development of the area. Social Planning is people focussed while physical or environmental planning is placefocussed, but clearly the two interact. A vital input into environmental and physical planning, particularly in examining the social impacts of changes to the built environment. Perencanaan Sosial meliputi : a. Health b. Transport and access c. Community participation and inclusion d. Crime prevention e. Community safety f. Education g. Employment h. Housing i. Community services 4 Perencanaan sosial timbul karena didorong oleh adanya aspirasi, tujuan sosial, dan perlu dipertimbangkannya faktor-faktor sosial dalam perencanaan program dan proyek pembangunan. Batasan dan Pengertian Perencanaan 1. Waterston, 1965 Perencanaan adalah suatu usaha yang sadar, teroganisasi, dan terus menerus dilakukan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. 2. Schaffer, 1970 Adapun yang terlintas dibenak kita manakala kita membicarakan perencanaan kiranya tidak terlepas dari kaitan persoalan pengambilan keputusan. Implikasinya adalah bahwa pasti ada cara yang lebih baik dalam hal pengambilan keputusan tersebut, mungkin dengan cara lebih memperhatikan lebih banyak data yang ada, ataupun hasil-hasil yang mungkin dicapai dimasa yang akan datang. 3. J. Nehru dalam Waterston, 1965 Perencanaan adalah suatu bentuk latihan intelegensia guna mengolah fakta serta situasi sebagaimana adanya dan juga mencari jalan keluar guna memecahkan masalah 4. Beenhakker, 1980 Perencanaan adalah seni untuk melakukan sesuatu yang akan datang dapat terlaksanakan. 5. Sociedad Interamericana de Planification, dikutip Waterston, 1965 Perencanaan merupakan penerapan yang rasional dari pengetahuan manusia terhadap proses pencapaian keputusan yang bertindak sebagai dasar perilaku manusia. Perencanaan melibatkan hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan atau pilihan bagaimana memanfaatkan sumberdaya yang ada semaksimal mungkin guna mencapai tujuan-tujuan tertentu. Perencanaan 5 sosial harus merupakan bentuk arahan bagi seluruh rangkaian kegiatan perencanaan itu sendiri. Perencanaan pembangunan merupakan salah satu bagian dari perencanaan sosial. Perkembangan perencanaan sosial merupakan perubahan-perubahan dalam perencanaan pembangunan. Perubahan tersebut dibagi menjadi 2 kategori yaitu : a. Perubahan dalam ruang lingkup dan isi perencanaan pembangunan, sebagai perubahan konsep perencanaan pembangunan. b. Perubahan metodologi pada perencanaan pembangunan. Perencanaan merupakan suatu proses pembangunan yang kompleks dan melibatkan beberapa kegiatan berikut seperti misalnya : a. Identifikasi tujuan umum serta kenyataan yang ada. b. Formulasi strategi pembangunan yang luas guna mengatasi kenyataan yang ada. c. Penterjemahan strategi yang ada ke dalam bentuk rencana dan proyek. d. Implementasi program dan proyek. e. Pemantauan terhadap implementasi dan hambatan yang timbul untuk pencapaian tujuan dan kenyataan. Sosial 1. Pengertian sosial dihubungkan dengan pengertian hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. 2. Kata sosial mempunyai kecenderungan ke arah pengertian kelompok orang, yang berkonotasi “masyarakat” (society) dan “warga” (community). 3. Sosial adalah sesuatu mengenai yang melibatkan manusia sebagai lawan dari kata benda. 4. Pengertian soaial sebagai lawan kata ekonomi. Kata sosial menyarankan sesuatu yang sifatnya nonmoneter. 5. Kata sosial berkaitan dengan asasi atau semacam hak asasi dari sementara orang ataupun hak mereka sebagai anggota masyarakat. 6. Sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam 6 konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian (Kartasasmita, 1996). Munculnya Perencanaan Sosial Perencanaan sosial menggambarkan adanya peran yang cukup penting bagi negara dalam pengadaan pelayanan masyarakat. Perencanaan bukanlah hanya sekedar urusan mengenai hal-hal yang dapat diselesaikan sedikit demi sedikit yang terjadi secara kebetulan ataupun urusan yang karenanya hampir tak ada usaha untuk mengkoordinir kegiatan perencanaan dalam berbagai sektor atau bidang kegiatan untuk dibentuk menjadi suatu ‘’rencana” secara keseluruhan. Perencanaan sosial di dunia ketiga meliputi bentuk perencanaan untuk kelengkapan pelayanan kesejahteraan sosial secara konvensional walaupun pada kenyataannya hanya sebagian kecil saja yang terlaksana. Timbulnya perencanaan sosial di dunia ketiga menyangkut pada pergeseran ruang lingkup yang lebih luas dari perencanaan pembangunan dengan lebih memberi tekanan pada perubahan sosial. Bidang-bidang Perencanaan Sosial 1. Perencanaan Pelayanan Sosial Pelayanan sosial merupakan jenis pelayanan yang memberikan sumbangan terhadap kesejahteraan sosial (social well-being) penduduk dari pada perkembangan ekonomi itu sendiri. Pelayanan sosial meliputi : pelayanan dalam bidang pendidikan dan kesehatan, perumahan, penyediaan air bersih,penyediaan sarana rekreasi, dsb. Di sebagaian negara berkembang perencanaan kesejahteraan dianggap kurang penting dibandingkan dengan bentuk pelayanan lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Di dalam pelayanan sosial terdapat dua jenis komponen utama yaitu komponen ekonomi dan sosial. 7 2. Memperhitungkan Prioritas dan Pertimbangan-pertimbangan Sosial Di dalam setiap program pembangunan faktor-faktor sosial harus diperhitungkan dan pembangunan sosial mempunyai tujuan penting tersendiri. Bentuk perencanaan sosial semacam ini dilaksanakan pada dua tahapan yang agak berbeda yaitu sebagian dari proses memformulasikan keseluruhan rencana dan kebijaksanaan pada skala nasional dan sebagai bagian perencanaan proyek individu terutama proyek pembangunan ekonomi yang penting Ada sejumlah isu-isu umum yang timbul baik pada perencanaan di tingkat nasional maupun proyek. Isu terpenting adalah biasanya dibebani oleh hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekonomi dan sosial. Dengan adanya hubungan timbal balik tersebut maka akan timbul masalah bagaimana mengukur tujuan dan keuntungan sosial yang ada. Lalu akan muncul persoalan dengan kriteria apa mengukur perubahan dan keuntungan sosial serta timbulkesulitan dalam mengukur aspek-aspek sosial secara nyata. 3. Menjamin Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Kurangnya perhatian terhadap faktor-faktor sosial yang sangat mempengaruhi proses perencanaan akan menimbulkan berbagai masalah karena kurangnya perhatian terhadap faktor tersebut. Pertama, adanya dorongan untuk mendayagunakan perencanaan sosial yang khususnya bertanggungjawab meneliti aspek-aspek sosial pada setiap rencana atau proyek. Kedua, timbulnya pengaruh kearah partisipasi masyarakat dalam hal perencanaan. Perencanaan Sosial Sebagai Disiplin Ilmu Telah diasumsikan bahwa ada keterkaitan antara berbagai jenis kegiatan ini yang memperkuat pengertian mengenai makna tujuan utama perencanaan sosial dan memperjelas pula eksistensi perencanaan sosial pada berbagai kementrian atau departemen, pengangkatan tenaga-tenaga profesional yang resminya dikenal sebagai perencanaan sosial, ditawarkannya 8 mata kuliah perencanaan sosial di berbagai universitas dan institute, dan terbitnya buku-buku mengenai perencanaan sosial. Dunia Ketiga Penggunaan istilah dunia ketiga adalah bahwa semua konsep, pengertian, dan metoda yang dibahas diharapkan dapat diterapkan di sebagian besar negara yang umum disebut “Dunia Ketiga”, yang menerapkan setiap bentuk perencanaan pembangunan. Istilah dunia ketiga menunjuk pada “negara berkembang”, “negara kurang maju”, “negara berpenghasilan rendah”, dan akhir-akhir ini dikenal istilah “negara-negara selatan”. Proses Perencanaan Sosial Proses perencanaan sosial dikarakteristikan sebagai : a. strategic b. consultative c. participatory d. negotiated e. developmental Key Principles that are central to social planning : a. equity b. access c. choice d. advocacy e. communication and consultation f. participation g. timeliness h. adaptability and flexibility i. collaboration and cooperation 9 Role of Social Planner a. Local Goverment strategic planning process b. Social impact assessment c. Developing local area or regional social plans d. Population planning eg youth, aged e. Evoluating programs f. Green field human service planning g. Planning and facilitating a community forum D. Latihan 1. Membuat summary bab 2 buku “ Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga “ tulisan Diana Conyers. 2. Pilih topik yang menurut anda menarik dalam studi perencanaan sosial. 10 No. Modul : 3 Pertemuan : Minggu 3 Pokok Bahasan : Kebijaksanaan Sosial, Perencanaan Sosial dan Pembaharuan Sosial A. Kata Kunci 1. Pemerataan sosial (social equity). 2. Keadilan sosial (social justic). 3. Dampak terhadap perkembangan sosial. B. Pertanyaan / Perintah Diskusi 1. Sebutkan beberapa contoh permasalahan sosial yang dihadapi Indonesia saat ini. 2. Kebijakan apa saja yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah. C. Materi Perencanaan sosial pada tiga dasa warsa terakhir menjadi isu kontroversial yang mengundang perdebatan dalam pengambilan keputusan. Perencanaan sosial merupakan fenomena global yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang. Walaupun ini merupakan fenomena global, namun implikasinya dirasakan oleh masyarakat sampai di tingkat keluarga terutama keluarga miskin yang merasakannya. Pokok bahasan lebih difokuskan pada pemerataan sosial (social equity) atau keadilan sosial (social justice) dan dampaknya terhadap perkembangan sosial. Istilah sosial dalam hubungannya dengan hak-hak asasi atau hak individu dalam masyarakat. Berbagai kesulitan dalam membedakan faktorfaktor sosial, ekonomi, budaya, dan politik serta interaksi faktor tersebut dalam proses pembangunan. Kebijakan sosial dan perencanaan sosial garis batasnya sangat tipis. Kebijakan sosial dan perencanaan sosial semestinya tidak dianggap suatu kegiatan yang terpisah. Melalui tahapan-tahapan tujian kebijakan diimplementasikan ke dalam perencanaan, program, dan proyek. Perencanaan harus memahami tentang keputusan kebijakan yang akan dilakukan dalam 11 kurun waktu yang berbeda. Pembuat kebijakan yakni keputusan perubahan yang dibutuhkan. Contoh pendidikan SD dan bukan SLP dalam kaitannya dengan anggaran. Pengambilan kebijakan lebih banyak diambil oleh politisi daripada perencanaan. Setiap perencana harus terlibat dalam penentuan kebijakan. Ketimpangan, ketergantungan, dan keadilan sosial diperlukan perencanaan EGOP (economy growth oriented planning) mengalami kegagalan yang kemudian diganti dengan SLOP (standar living oriented planning). Dominasi EGOP perlu diubah ke SLOP, seperti apa atau mengapa terjadi kemiskinan, kelaparan, pengangguran, dan ketimpangan. Ketimpangan diantara kelompok sosial, isolasi geografis, negara maju, dan sedang berkembang. Pendekatan kebutuhan dasar masih diperdebatkan hingga saat ini. Kebutuhan dasar mencakup tiga hal yaitu (1) konsumsi bahan pokok tertentu, (2) pelayanan pokok, dan (3) hak untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan program. Dalam kebijakan dan perubahan sosial ketimpangan dapat didekati dengan model eksistensi struktur sosial dan pendekatan alternatif. Sebagai contoh kriminalitas di kota sebagai pelanggaran individu atau ketimpangan desa-kota dalam upah atau pengangguran. Peranan perencanaan sosial di definisikan sebagai perencanaan untuk melakukan perubahan struktur masyarakat. Perencanaan sosial selalu dihubungkan dengan pencapaian keadilan sosial dalam hubungannya dengan masalah sosial, kebijakan sosial, dan perubahan struktur sosial. Bentuk kebijakan sosial berupa pelayanan sosial. Pelayanan sosial sendiri adalah tindakan atau aksi untuk mengatasi masalah sosial. Masalah sosial yang harus diatasi adalah masalah-masalah kepandudukan yang telah dirumuskan oleh ILO dan world bank. Contoh masalah sosial yang ada meliputi masalah kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan kelaparan (Era Baru Kemiskinan di Indonesia). 12 Dalam konteks well countries, negara memberikan jaminan pada orang yang kurang beruntung (fakir miskin). Tipe-tipe negara dalam penilaian well countries adalah : a. Negara pelit : alokasi untuk jaminan kepada orang yang kurang beruntung kurang dari 15% APBN. Mempunyai ciri pertumbuhan ekonomis yang tinggi namun jaminan sosialnya sangat rendah. b. Negara lemah : pertumbuhan sosial ekonomi sangat lemah dengan jaminan sosial kurang dari 5 % APBN dan sangat fluktuatif. c. Negara baik hati : meski pertumbuhan ekonomi rendah, tapi alokasi untuk sosial tinggi. Alokasinya 15%-20% dari APBN. d. Negara sejahtera : pertumbuhan ekonomi tinggi dan pembangunan sosial lebih dari 30% APBN. Pendapatan per kapita per orang per tahun sebesar $ 24.000. Berbagai literatur kebijakan sosial menyatakan bahwa pelayanan merupakan berbagai upaya yang dilakukan secara komprehensif yang ditijukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Pelayanan sosial dilakukan sejak peradaban manusia ini muncul ke permukaan bumi. Dalam bentuk yang paling sederhana, masyarakat tradisional sudah mempraktikan hidup saling tolong menolong untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka sehingga mereka merasa sejahtera. Secara formal, pelayanan sosial mulai berkembang ketika konsep welfare state dikembangkan Eropa. Ketika itu beberapa ahli ilmu sosial seperti William Beverage, Richard Titmus, dan John Maynard Keynes secara eksplisit menyatakan perlunya keterlibatan negara secara intensif untuk menciptakan kesejahteraan sosial. Mereka menyatakan bahwa negara perlu mengalokasikan dananya dalam jumlah besar untuk menyeleseikan masalah (1) pendidikan, (2) kesehatan, (3) perumahan, (4) jaminan sosial, dan (5) pelayanan pekerja sosial. Bermula dari konsep welfare state tersebut maka berkembanglah kajian mengenai pelayanan sosial yang dilakukan secara formal/institusional. Dalam 13 pelayanan sosial yang dilakukan secara formal, peranan negara memegang peranan sangat penting. Peranan tersebut meliputi : peranan (1) menyusun perencanaan pelayanan sosial, (2) peranan memberikan pelayanan sosial, dan (3) peranan mengatur praktik pemberian pelayanan sosial. Pelayanan sosial di Indonesia : 1. Jaminan sosial : tunjangan untuk orang-orang yang berprestasi. 2. Perumahan : rusunawa, rumah sederhana, KPR, rumah dinas. 3. Kesehatan : kesehatan ditanggung negara (WHO). 4. Pendidikan : memberikan pendidikan yang layak bagi semua warga, masalah buku ajar, masalah guru tidak tetap. 5. Personal : SDM, perawatan anak berkebutuhan khusus, persepsi kriminal. Pelayanan sosial memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan keadilan sosial. Ketimpangan distribusi pendapatan antara Jakarta dan Yogyakarta misalnya merupakan representasi kondisi yang kurang adil. Masyarakat Yogyakarta memiliki hak yang sama dengan masyarakat Jakarta untuk mendapatkan hasil kegiatan pembangunan. Namun demikian, faktanya membuktikan bahwa mereka memiliki akses yang berbeda. Banyak ahli ilmu sosial percaya bahwa pelayanan sosial merupakan instrumen yang kontekstual untuk membantu menciptakan keadilan sosial. Wujud nyata yang paling mudah untuk dilihat adalah mengenai jaminan sosial. Jaminan sosial merupakan wujud intervensi pemerintah yang diberikan dalam bentuk uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat untuk membantu memenuhi kebutuhannya. Jaminan sosial untuk pelayanan kesehatan misalnya, diberikan pada masyarakat miskin karena penghasilan mereka dianggap tidak cukup untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Ini menunjukkan bahwa jaminan sosial berusaha meningkatkan akses masyarakat pada pelayanan sosial sehingga bagian dari suatu masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki akses tersebut mampu untuk mendapatkannya. Dengan demikian jaminan sosial berusaha membantu mereka yang memiliki 14 berbagai keterbatasan untuk mendapatkan kesetaraan akses dengan bagian dari masyarakat lainnya. D. Latihan 1. Kasus Model Perencanaan Dalam proses penyusunan perencanaan sosial yang dilakukan oleh pemerintah indonesia selalui diawali dengan analisis kebutuhan. Ini dibuktikan dengan kegiatan penilaian kebutuhan yang diwujudkan dalam musyawarah perencanaan dan pembangunan yang dimulai dari tingkat pedukuhan, kelurahan, dan kecamatan. Hal ini dilakukan dari regim pemerintahan yang sentralistik pada masa Orba dan juga pada regim dengan sistem terdesentralisasi. Namun uniknya adalah bahwa baik pengambilan keputusan secara sentralistik di Jakarta maupun terdesentralisasi di tingkat pemerintah kabupaten/kota, data menunjukkan bahwa hasil keputusan terakhir dalam proses perencanaan multisektiral menghasilkan keputusan politik yang belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai konstituenya. Pertanyaan 1. Mengapa hasil akhir proses perencanaan tersebut bias? 2. Kasus ini menunjukkan proses perencanaan yang bagaimana? 2. Tulis essay mengenai topik yang anda anggap menarik dalam perencanaan sosial beserta rencana pustaka yang akan digunakan dalam topik tersebut. 15 No. Modul : 4 Pertemuan : 4 Pokok Bahasan : Kebijakan Sosial A. Kata Kunci 1. Kebijakan sosial 2. Kesejahteraan 3. Dimensi kebijakan sosial B. Pertanyaan / Perintah Diskusi Bagaimana pendapat anda mengenai kebijakan sosial di Indonesia? Sudah cukup baik atau belum? Bagaimana seharusnya keebijakan sosial yang tepat bagi Indonesia? C. Materi Dalam suatu negara, ada yang biasa disebut dengan kebijakan sosial. Kebijakan sosial ini menyangkut pada segala sisi dan aspek dari pemerintahan. Baik itu di bidang ekonomi, politik, hukum, pembangunan, dan lain-lain. Adanya kebijakan sosial ini tak lain adalah agar dapat memajukan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Pengertian kebijakan sosial Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997). Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan 16 yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara luas maupun sempit (Kartasasmita, 1996). Secara luas kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Definisi kebijakan social (social policy) menurut Oxford English Dictionary, adalah suatu cara pengambilan tindakan dalam melanjutkan proses pemerintahan, ke-partaian, kekuasaan, kepemimpinan Negara, dan lain-lain ; arah dalam pengambilan suatu tindakan itu haruslah menguntungkan atau sesuai. Schorr dan Baumheir, menggunakan definisi kebijakan sosial yaitu suatu prinsip dan cara melakukan suatu tindakan kesepakatan di suatu tataran dengan individu dan juga menjalin hubungan dengan masyarakat. Hal ini menjadikan suatu pemikiran dalam melakukan intervensi (keterlibatan) dari peraturan yang berbeda dengan sistem sosial. Menetapkan suatu kebijakan sosial haruslah menunjukkan tata cara bagaimana proses penerapannya dalam menghadapi suatu fenomena sosial, hubungan sosial pemerintah dalam mendistribusikan penghasilan dalam suatu masyarakat. Definisi lain dari kebijakan sosial adalah suatu kondisi di atas level pengembangan dalam suatu kelompok, baik itu tradisi, kebudayaan, orientasi ideology, dan kapasitas teknologi. Bruce. S Jansson mendefinisikan kebijakan sosial adalah mengendalikan sasaran pemecahan masalah yang menyangkut keuntungan orang banyak. Hal ini menekankan bahwa kebijakan sosial bertujuan untuk mengurangi masalah sosial seperti kelaparan, kemiskinan, dan guncangan jiwa. Atau kebijakan sosial dapat pula di definisikan sebagai kumpulan strategi untuk memusatkan perhatian pada problem sosial. 17 Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial. (Conyers 1992). Garis besar aspek kebijakan sosial Kebijakan sosial adalah suatu aspek dan objek kajian yang memiliki ruang lingkup luas dan global. Peran pekerja sosial dalam menghadapi fenomena perkembangan suatu Negara sangat diperlukan dan peran serta aktif pula dalam bekerjasama dengan instansi kepemerintahan yang memang memiliki otoritas dan peranan dalam melakukan suatu kebijakan. Seperti yang terdapat dalam definisi diatas, kebijakan sosial sangat berfungsi dalam melakukan suatu kesejahteraan bagi penduduk di suatu Negara. Pekerja sosial sebagai tenaga yang sangat dibutuhkan kontribusinya dapat pula berfungsi dengan berperan serta aktif ikut menentukan dan membuat perancangan kebijakan sosial strategis tidak hanya dalam lingkup lokal melainkan dalam matra global. Pekerja sosial haruslah aktif dalam merespon situasi perubahan dan perkembangan kondisi global, sehingga dapat bersama dengan pemerintah melakukan rancangan yang efektif dalam mensejahterakan masyarakat. Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap departemen pemerintahan, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah 18 untuk membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini. (Suharto, 1997). Dalam perjalanan, penyusunan, perancangan, dan penerapannya, kebijakan sosial meliputi 4 (empat) tingkatan aktivitas profesi : 1. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap suatu undangundang, mengartikannya dengan menjadikan sebagai suatu kebijakan yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang administrasi, melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah. 2. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu Negara demokrasi. 3. Meneliti dan menginvestigasi problema sosial dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilkukan oleh para pekerja sosial. 4. Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya misalkan LSM lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lain-lain. Sehingga kesimpulan ringkas yang dapat kita ambil dari adanya pembagian aktivitas yang secara tidak langsung dapat bekerjasama mengambil suatu ketetapan dalam penerapan kebijakan sosial, disini pihak pemerintah dapat dengan mudah menentukannya hal ini disebabkan karena masing-masing pihak dapat memantau kebijakan yang dibuat pemerintah dan mengawasi tindakan dalam penerapannya. Sehingga tingkat pelanggaran yang nantinya akan terjadi dapat terdeteksi dan transparan. Selain adanya tingkatan aktivitas yang dilakukan pada bidangnya masing-masing, kebijakan sosial pun memiliki 3 (tiga) tingkatan intervensi, 19 yang tak jauh berbeda dengan tingkatan aktivitas. Penjelasan ini menurut pembagian Bruce. S Jansson, di dalam Social Policy,from theory to practice diantaranya: 1. Direct-service practice, yang berkaitan dengan pekerjaan para pelaksana kebijakan. 2. Community organization, yang membicarakan pada pengerahan kemampuan seperti menghimpun koalisi 3. Administrative social work, yang berkenaan dengan pokok persoalan. Suatu kebijakan yang telah disusun, dirancang, dan disepakati sebelumnya haruslah meliputi dua aspek yang harus diperhatikan, diantaranya ialah : 1. Mengaktualisasikan kebijakan dan program yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat. 2. Menyingkap dan memperlihatkan lapangan akademis dalam penyelidikan yang ditekankan dengan deskripsi, uraian, dan evaluasi terhadap suatu kebijakan. Adanya aspek yang tertera diatas dimaksudkan agar masyarakat sebagai objek sasaran kesejahteraan dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Begitu juga dengan pemerintah dan semua perangkatnya haruslah memperhatikan bagaimana kinerja tersebut berlangsung. Sehingga kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan baik. Lantas bagaimana nantinya pemerintah dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan yang telah disuun dan diterapkan? Jawabannya adalah dapat ditempuh dengan 3 (langkah) yang bila hal tersebut berjalan secara efektif maka penerapannya akan sempurna. Ketiga langkah tersebut anatara lain seperti yang terdapat dalam The Handbook of Social Policy adalah : 1. Mereka (pemerintah) membuat kebijakan yang bersifat spesifik dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contoh : pemerintah mungkin dapat saja mencoba untuk memperbaiki kondisi 20 sosial penduduknya dengan memperkenalkan bentuk program kebijakan yang baru. 2. Pemerintah mempengaruhi kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial dengan melihatnya dari sisi ekonomi, lingkungan, atau kebijakan lainnya, walaupun begitu mereka memiliki perhatian terhadap suatu kondisi sosial. Contoh : kebijakan sosial dengan menambah hubungan relasi perdagangan atau mengundang investor dari Negara lain lalu menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membangkitkan pemasukan yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dengan melihat tumbuh suburnya jumlah investor perdagangan, dan lain-lain. 3. Kebijakan sosial pemerintah yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara tidak terduga dan tidak diharapkan. Suatu kebijakan terfokus pada salah satu grup tetapi pada kenyataanya justru mendatangkan keuntungan yang tidak terduga pada aspek yang lain. Kemiskinan sebagai objek sasaran kebijakan sosial Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang seringkali ditemukan dibeberapa Negara yang sedang proses berkembang atau bahkan terkadang dapat pula ditemukan di Negara maju, biasanya permasalahan di Negara maju kemiskinan lebih sering terjadi pada para imigran. Sebagai masalah yang menjadi isu global disetiap Negara berkembang. Wacana kemiskinan dan pemberantasannya haruslah menjadi agenda wajib bagi para pemerintah dan pemimpin Negara. Peran serta pekerja sosial dalam menangani permasalahan kemiskinan sangat diperlukan, terlebih dalam memberikan masukkan (input) dan melakukan perencanaan strategis (strategic planning) tentang apa yang akan menjadi suatu kebijakan dari pemerintah. Sebelum mengetahuinya lebih dalam, perlu diketahui penyebab kemiskinan yang secara tidak langsung menjadi standar global : 1. Kemiskinan kebudayaan, hal ini biasanya terjadi disebabkan karena adanya kesalahan pada subyeknya. Misalnya : malas, tidak percaya diri, 21 gengsi, tak memiliki jiwa wirausaha yang kompatibel, tidak mempunyai kemampuan dan keahlian, dan sebagainya. 2. Kemiskinan structural, hal ini biasanya terjadi karena disebabkan oleh factor eksternal yang melatarbelakangi kemiskinan. Faktor eksternal itu biasanya disebabkan kinerja dari pemerintah diantaranya : pemerintah yang tidak adil, korupsi, paternalistik, birokrasi yang berbelit, dan sebagainya. Isbandi Rukminto Adi, Phd menegaskan pula tentang akar kemiskinan berdasarkan level permasalahan dan membaginya menjadi beberapa dimensi, diantaranya: 1. Dimensi Mikro : mentalitas materialistic dan ingin serba cepat ( instan ). 2. Dimensi Mezzo : melemahnya social trust ( kepercayaan social ) dalam suatu komunitas dan organisasi, dan otomatis hal ini sangat berpengaruh terhadap si subyek itu sendiri. 3. Dimensi Makro : kesenjangan (ketidakadilan) pembangunan daerah yang minus (desa) dengan daerah yang surplus (kota), strategi pembangunan yang kurang tepat (tidak sesuai dengan kondisi sosio-demografis) masyarakat Indonesia. 4. Dimensi Global : adanya ketidakseimbangan relasi antara Negara yang sudah berkembang dengan Negara yang sedang berkembang. Departemen Sosial sebagai instansi yang membawahi sacara langsung masalah kemiskinan tidak pernah absent dalam mengkajinya termasuk melaksanakan program-program kesejahteraan sosial yang dikenal dengan PROKESOS- yang dilaksanakan baik secara intra-departemen maupun antardepartemen bekerjasama dengan departemen-departemen lain secara lintas sektoral. Dalam garis besar, pendekatan Depsos dalam menelaah dan menangani kemiskinan sangat dipengaruhi oleh persepektif pekerjaan sosial (social work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body of 22 knowledge), nilai-nilai (body of value) dan keterampilan (body of skills) professional yang umumnya diperoleh melalui pendidikan tinggi pekerjaan sosial ( S1, S2,dan S3 ). Startegi penanggulangan kemiskinan Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan pekerjaan social terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip in dikenal dengan pendekatan “person in environment dan person in situation”. Seperti yang telah dijelaskan diatas Depsos sebagai suatu instansi memiliki pula beberapa agenda yang memang merupakan disiapkan untuk menekan angka kemiskinan, diantara program kerja Depsos yang telah terealisasi yang menurut Edi Suharto, Phd adalah strategi pendekatan pertama yaitu pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos dapat disederhanakan menjadi : 1. Pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial. 2. Program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial. 3. Bekerjasama dengan instansi lain dalam melakukan swadaya dan pemberdayaan usaha mikro, dan pendistribusian bantuan kemanusiaan, dan lain-lain 23 Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. PROKESOS penanganan kemiskinan dapat dikategorikan ke dalam beberapa strategi, diantaranya : 1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam. 2. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulant untuk usaha-usaha ekonomis produktif. 3. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja. 4. Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi programprogram yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE (kelompok usaha bersama). Masalah kebijakan sosial adalah suatu permasalahan yang membutuhkan penanganan khusus, terpadu dan dilakukan secara kontinu dan konsekuen. Sebagian besar Negara berkembang selalu memperhatikan aspek kebijakan sosial sebagai program andalan yang dapat menjadi perencanaan untuk melakukan kesejahteraan sosial. Telebih lagi adanya kebijakan sosial tak bisa lepas dari pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan lembaga pembuat kebijakan. Peranan yang harus menjadi tanggungjawab berbagai pihak dalam menyusun dan melakukan perencanaan se-strategis mungkin demi tercapainya kesejahteraan sosial, dan aspek-aspek yang menjadi hambatannya. 24 D. Latihan 1. Apa maksud atau fungsi sebuah kebijakan? 2. Bagaimana kebijakan itu akan mempengaruhi agenda pemerintah secara keseluruhan, departemen-departemen pemerintahan, kelompok-kelompok klien, kelompok-kelompok kepentingan, dan masyarakat banyak? 25 No. Modul : 5 Pertemuan : 5 Pokok Bahasan : Perlindungan Sosial di ASEAN A. Kata Kunci 1. Negara kesejahteraan 2. Jaminan sosial 3. Marjinalisasi 4. Perlindungan dan kebijakan social 5. Perlindungan sosial B. Pertanyaan / Perintah Diskusi Seberapa besar peran pemerintah dalam memberikan jaminan sosial? C. Materi Melihat kelompok rentan dan kurang beruntung di Indonesia bisa dilakukan dengan memotret populasi miskin yang terus meningkat di negeri ini. Sebagai contoh, tahun 1984 jumlah orang miskin di Indonesia adalah 35 juta jiwa. Pada tahun 2002, hamper sepuluh tahun kemudian, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa 35,7 juta penduduk Indonesia masih tergolong miskin. Sebanyak 15,5 juta di antaranya tergolong fakir miskin yang secara ekonomi bisa disebut sebagai kelompok termiskin dari yang miskin dan terlemah dari yang lemah (destitute). Angka terakhir pada September 2006, jumlah orang miskin mencapai 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia (Hasbullah, 2006). Meski kadang tumpang tindih, jumlah kelompok kurang beruntung ini pastilah akan lebih besar lagi jika dimasukkan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) atau yang oleh Depsos diberi label Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang di dalamnya berbaris jutaan gelandangan, pengemis, Wanita Tuna Susila, Orang Dengan Kecacatan, Orang Dengan HIV/AIDS, Komunitas Adat Terpencil, anak jalanan, pekerja anak, jompo telantar dan seterusnya. Melihat tingginya jumlah kelompok rentan di atas, pertanyaannya adalah: apakah ini berarti bahwa sejak kemerdekaannya lebih dari 60 tahun 26 lalu pembangunan Indonesia tidak mengalami kemajuan? Jawaban yang tepat adalah: Tidak. Karena ada beberapa indikator sosial, politik dan ekonomi Indonesia yang menunjukkan kemajuan. Hanya masalahnya, negara lain maju lebih cepat. Dalam satu dekade terakhir ini, liberalisasi ekonomi dan demokratisasi politik di Indonesia mencatat kemajuan yang mengesankan (lihat Husodo, 2006: 12). Dalam sistem ekonomi, kini tengah terjadi pergeseran dari ekonomi serba pengaturan (overregulated) ke ekonomi pasar; sistem politik juga tengah berubah dari sentralistik ke desentralistik. Bank Indonesia yang semakin independen, perijinan usaha yang semakin transparan, penerapan sistem Bikameral, pemilihan Presiden langsung oleh rakyat, DPR/DPRD yang semakin kuat, pengelolaan pemerintahan yang semakin akuntabel, otonomi daerah yang semakin meningkat (sampai ada daerah yang memiliki sistem berbeda dari sistem nasional) adalah beberapa contoh adanya kemajuan ini. Namun demikian, di tengah capaian kemajuan yang sedang berlangsung, tingkat kemajuan negara lain ternyata lebih pesat daripada Indonesia (Suharto, 2005a; Suharto, 2006a; Husodo, 2006). Ekonom AS penasihat Sekjen PBB Koffi Anand, Professor Jeffry Sach memberikan perbandingan indikator ekonomi yang menarik. Pada tahun 1984, angka ekspor Indonesia adalah 4 miliar dollar AS, sementara ekspor China baru mencapai 3 miliar dollar AS. Tetapi, 20 tahun kemudian di tahun 2004, ekspor China telah mencapai 700 miliar dollar AS, sedangkan ekspor Indonesia baru mencapai sekitar 70 miliar dollar AS. World Investment Report 2006 memperlihatkan bahwa Foreign Direct Investment ke China tahun 2004 mencapai 60,6 miliar dollar AS. Sedangkan yang masuk Indonesia menunjukkan angka negatif 597 juta dollar AS. Artinya, investasi asing lebih banyak yang ditarik keluar daripada yang masuk ke Indonesia. Beberapa investor pindah ke beberapa negara yang dipandang lebih menarik. Bahkan investor Indonesia sendiri sepanjang tahun 2004 menanamkan dananya di luar negeri sebesar 107 juta dollar AS. Ketidakpastian hukum, rawannya 27 keamanan, kebijakan fiskal yang tidak kondusif membuat Indonesia dipandang tidak menarik untuk investasi. Buramnya indikator sosial di Indonesia juga memperkuat analisis ini. Peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2004 yang berada di urutan 111 dari 175 negara menunjukkan bahwa standar hidup orang Indonesia bukan saja masih rendah, melainkan semakin tertinggal oleh negaranegara ASEAN lainnya, seperti Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (33), Malaysia (59), Thailand (76), dan Filipina (83) (Suharto, 2005a). Total penganggur di Indonesia adalah 40,1 juta orang atau sekitar 37 persen dari 106,9 juta angkatan kerja dengan pengangguran terbuka sekitar 11,6 juta orang (10,84%). Angka pengangguran terbuka di atas 10 persen ini teramat tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia lain, seperti Vietnam (6,1%), Singapura (4,8%), Korea Selatan (3,7%), Malaysia (3,4%) dan Thailand (1,5%). Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam luar biasa dan keunggulan komparatif lainnya yang begitu potensial, ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan negaranegara lain di kawasan ASEAN seharusnya menyadarkan kita bahwa pastilah ada sesuatu yang salah dalam pendekatan pembangunan dan pengelolaan negara ini. Buku Globalization and its Disontents karya pemenang Nobel Ekonomi, Joseph E. Stiglitz (2003) dan Confessions of an Economic Hit Man tulisan John Perkins (2004) sangat jelas memberi bukti tentang gagalnya pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, utang luar negeri dan ideologi neoliberalisme. Setelah dipraktekkan selama 30 tahun lebih di Tanah Air, pendekatan ini tidak mampu mengatasi kemiskinan. Cara ini ternyata hanya efektif menggelembungkan “ekonomi balon permen karet” (bubble gum economic) sambil menyuburkan konglomerasi rapuh, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), ketimpangan dan ketidakadilan sosial maha hebat yang menghasilkan sekitar 25 persen orang kaya Indonesia yang melebihi ratarata orang kaya Malaysia, bahkan diantaranya melahirkan orangorang kaya kaliber jetset dunia dengan kekayaan triliunan rupiah. 28 Melihat wajah Indonesia seperti digambarkan di atas, sudah semestinya jika para pemimpin, pembuat kebijakan, dan siapa saja yang tergerak membangun Indonesia untuk menengok kembali dan memperkuat konsepsi manajemen pemerintahan berdasarkan tujuan bernegara yang digagas oleh para pendiri bangsa, yaitu sistem Negara Kesejahteraan (Suharto, 2006a; Husodo, 2006). Meskipun Negara Kesejahteraan lahir dalam tradisi pemikiran dan masyarakat Barat, seperti Jeremy Bentham (17481832), Otto von Bismarck (1850), Sir William beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963), ide dasar sistem ini sesungguhnya telah bersemi dan dikembangkan oleh para pejuang dan pendiri yang sudah sejak muda berjuang melawan penjajahan dan penderitaan bangsa Indonesia. Dalam siding-sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), mereka memilih bentuk Negara Kesejahteraan sebagai jawaban terhadap kondisi bangsa di masa itu yang dililit kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan yang sangat mengenaskan (Husodo, 2006). Menurut Husodo (2006:3), Pembukaan UUD 1945 menunjukkan niat dan tujuan membentuk Negara Kesejahteraan yang berbunyi “…Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.” Juga tercermin dalam Pasal 27 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pasal 31 yang menjamin hak tiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Pasal 33 dengan tegas mengamanatkan pengelolaan alam untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Pasal 34 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan negara wajib mengembangkan sistem jaminan sosial yang bersifat nasional. Dalam garis besar, Negara Kesejahteraan menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker (1995:82), misalnya, menyatakan bahwa Negara Kesejahteraan “…stands for 29 a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.” Negara Kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya (EspingAndersen, 1990; Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis (lihat Husodo, 2006). Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin (Suharto, 1997; Spicker, 2002). Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, Negara Kesejahteraan difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan social yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation), di pihak lain. Negara Kesejahteraan ditujukan untuk menyediakan pelayananpelayanan sosial bagi seluruh penduduk – orang tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin, sebaik dan sedapat mungkin. Ia berupaya untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (wellbeing) warga negara secara adil dan berkelanjutan. Negara Kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upayaupaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection). Perlindungan sosial di sini mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets). Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai “penganugerahan hak-hak 30 sosial” (the granting of social rights) kepada warganya (Trwibowo dan Bahagijo, 2006). Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga. Negara Kesejahteraan adalah fondasi utama kebijakan sosial. Namun demikian, Negara Kesejahteraan bukanlah sekadar kumpulan kebijakan sosial (Triwibowo dan Bahagijo, 2006; Husodo, 2006). Artinya, meskipun Negara Kesejahteraan selalu membutuhkan kebijakan sosial untuk mewujudkannya, suatu negara dapat menerapkan beberapa kebijakan sosial tanpa harus menganut Negara Kesejahteraan. Secara sosiopolitik, Indonesia sudah memiliki syaratsyarat minimal untuk membangun Negara Kesejahteraan. Yang masih perlu diperbaiki adalah kemauan dan komitmen politik yang lebih tegas untuk mewujudkannya; perbaikan tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel (good governance); serta penetapan standarstandar kebijakan perlindungan sosial dan model kelembagaannya. Sambil menyusun sistem yang lebih kuat untuk menghadirkan Negara Kesejahteraan itu, fokus utama kita saat ini bisa diletakan pada pembangunan kebijakan perlindungan sosial yang kuat dan melembaga yang terintegrasi dengan kebijakan makro ekonomi yang berkembang, berkemerataan dan dan berkelanjutan. Perlindungan Sosial Mempunyai pengertian sebagai tindakan (pihak pemerintah/swasta) dalam: a. Memenuhi kebutuhan (utamanya kelompok miskin) b. Melindungi kelompok rentan (vulnerable) c. Meningkatkan status sosial The term “social security” is mainly now related to financial assistance, but the general sense of the term is much wider, and it is still used in many countries to refer to provisions for health care as well as 31 income. Although the benefits of security are not themselves material, they do have monetary value; people in Britain, where there is a National Health Service, are receiving support which people in the US have to pay for through private insurance or a Health Maintenance Organisation (Spicker, 1995:60). Social security systems mean the systems to enable every citizen to lead a worthy life as a member of cultured society. Social security systems provide countermeasures against the causes for needy circumstances including illness, injury, childbirth, disablement, death, old age, unemployment and having a lot of children by implementing economic security measures through insurance or by direct public spending (MHLW, 1999:2). Dasar filosofi jaminan perlindungan sosial berangkat dari pemikiran filsuf John Rawls (1921-2002) tingkat pemerataan sosial “bahwa suatu negara akan mencapai ekonomi (social equity) tertinggi jika memaksimalkan kesejahteraan kelompok masyarakat yang berada pada posisi paling rendah pendapatannya” Sumber utama pembiayan perlindungan sosial berasal dari pajak yang dipungut dari rakyat Negara wajib memenuhi hak-hak dasar warga negara Perlindungan sosial tidak diberikan begitu saja, melainkan didukung oleh perangkat kebijakan sosial (social policy) yang mengikat dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam arti luas. Inggris, Australia dan Selandia Baru, pemberian perlindungan sosial, khususnya kepada 32 kalangan miskin dan penganggur, dibarengi dengan welfare-to-work programmes. Perlindungan sosial perlu diberikan pada masyarakat yang membutuhkan karena mereka tidak punya akses untuk memperoleh kesempatan. Kaum inilah yang terkena proses marjinalisasi dari kaum kapitalis. Fungsi pemerintah dalam mengatur sistem untuk meminimalisir marginalisasi menurut Giddens,2000:54 adalah : 1. Mengatur pasar menurut kepentingan publik dengan cara menjaga keseimbangan supply dan demand. 2. Menciptakan dan melindungi ruang publik untuk mendiskusikan kebijakan sosial. 3. Menyediakan sarana bagi perwakilan kepentingan yang beragam. 4. Menyelenggarakan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan warga dan kesejahteraan kolektif. 5. Mendukung perkembangan SDM dan mengambil peran penting dalam penetapan kebijakan sosial. Perlindungan sosial merupakan bagian penting dari kebijakan sosial tujuan dari perlindungan sosial adalah menanggulangi kemiskinan dan menurunkan deprivasi perlindungan sosial (ketidaklengkapan/ketidakcacatan). Pengertian sendiri adalah tindakan pemerintah maupun swasta untuk melakukan transfer pendapatan dan konsumsi untuk : 1. Memenuhi kebutuhan, terutama kebutuhan bagi orang miskin. 2. Melindungi kelompok rentan. 3. Meningkatkan status dan hak sosial bagi kelompok yang termarjinalkan. 33 Tabel 5.1. Jenis perlindungan sosial Skema Perlindungan Target Utama: Kelompok Rentan dan Sosial Kurang Beruntung 1. Asuransi Sosial Orang sakit, lanjut usia, janda, orang dengan kecacatan, penganggur, pekerja informal, buruh tani, pedagang kaki lima. 2. Bantuan Sosial Orang dengan kecacatan fisik dan/atau mental, etnik minoritas, KAT, korban penyalahgunaan Narkoba, yatim piatu, orang tua tunggal, pengungsi, korban bencana alam/sosial, janda, lanjut usia telantar. 3. Skema Komunitas perkotaan atau perdesaan yang Kesejahteraan sosial tidak memiliki skema/sistem yang dapat Berbasis Masyarakat melindungi mereka dari berbagai resiko. Sumber: Suharto, (2006: 6) Social Insurance a. Indonesia → Sejak 1977 berupa Asuransi Tenaga Kerja (ASTEK),1993 berganti nama menjadi Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) → Sektor formal, sedangkan sektor informal? b. Filipina → Social Security System (SSS) untuk sektor swasta dan Government Service Insurance System (GSIS) bagi pekerja pemerintahan c. Singapura → Sistem asuransi lebih maju,antara lain: Supplementary Retirement Scheme (SRS) dan Central Provident Fund (CPF) yang mencakup bidang kesehatan, perumahan dan masa pensiun. d. Vietnam → Vietnam Social Insurance (VSI) pada tahun 1995 dengan tujuan untuk menyesuaikan kebutuhan sistem ekonomi yang berorientasi pasar. 34 Social Assistance a. Indonesia → tunjangan uang, barang atau pelayanan kesejahteraan untuk populasi paling rentan. Bentuk: Bantuan Langsung Tunai (BLT), raskin, kupon makanan, tunjangan perumahan. b. Vietnam → skema bantuan sosial dikelola perusahaan milik negara, bukan pemerintah. Tujuan: Menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran c. Singapura → Bantuan sosial dikelola Ministry of Community Development and Support (MCDS) yang bekerjasama dengan Citizen’s Consultative Committee (CCC). d. Filipina → dikelola National Anti-Proverty Commission (NAPC), dengan program: Pembangunan pertanian bagi petani/buruh tani tanpa lahan Konservasi perikanan dan sumberdaya air Menghormati, melindungi keberadaan kelompok etnis Perlindungan serta kesejahteraan pekerja informal Pemberian bantuan perumahan bagi kelompok miskin perkotaan Dibentuknya Comprehensive and Integrated Delivery of Social Service (CIDSS) bagi kelompok rentan Community-based Social Welfare Security a. Indonesia → jamkesos, askesos dan inisiatif lokal seperti: kelompok arisan, raksa desa, siskamling, kelompok pengajian. b. Filipina → dana sosial yang melibatkan koperasi simpan pinjam dan penanggulangan persiapan bencana yang terorganisir. c. Vietnam → penghapusan biaya sekolah, biaya kesehatan dan pajak lokal. 35 Perlindungan sosial di beberapa negara lainya: a. Jepang, meliputi “kebijakan sosial” atau “pelayanan sosial”. Mencakup: jaminan pendapatan, prawatan medis, pelayanan sosial personal, kebijakan-kebijakan perumahan, pendidikan dan pekerjaan. b. Amerika Serikat, perlindungan sosial juga diartikan sebagai jaminan pendapatan. UU jaminan sosial AS merupakan dasar hukum yang komprehensif yang memberikan jaminan bagi penganggur, pelayanan kesehatan bagi keluarga tanpa ayah, pelayanan kemanusiaan bagi para penyandang cacat, pelayanan medis bagi orang lanjut usia serta tunjangan medis yang disatukan dengan asuransi pensiun. c. Perancis, perlindungan sosial atau “securite sociale” menunjuk pada asuransi sosial. Negara ini juga punya “Protection Social” yang meliputi bantuan sosial (tunjangan pendapatan dan pelayanan bagi orang sakit, penyandang cacat, orang lanjut usia berdasarkan kriteria pendapatan rendah), pelayanan sosial (pelayanan kesejahteraan sosial yang diberikan tanpa melihat kriteria pendapatan), serta sistem “jaminan tingkat pendapatan minimum” guna menunjang kemandirian. d. Jerman, perlindungan sosial atau “soziale sicherheit” mencakup asuransi sosial, kompensasi sosial (bagi korban perang, dll.) dan tunjangan sosial (bantuan sosial atau tunjangan bagi pelajar). Perlindungan sosial di Jerman dikembangkan oleh Kanselir Bismarck Sistem asuransi sosial yang kemudian dikenal dengan nama “Bismarckian Model” ini memiliki karakteristik sebagai berikut (Thomas, 1995:89-90): 1. Memberikan program-program yang terpisah untuk resiko-resiko yang berbeda (pekerjaan, pensiun, perawatan kesehatan). 2. Mencakup terutama tenaga kerja yang memiliki pendapatan tetap (khususnya pekerja di perkotaan). 3. Melibatkan kontribusi-kontribusi dari yang diasuransikan (pekerja), majikan dan negara. 36 4. Memberikan tunjangan-tunjangan yang terkait dengan kontribusi. Tabel 5.2. Perbandingan Sistem Jaminan Sosial Kesehatan di Beberapa Negara Jepang AS Inggris Jerman Tipe/Metode Asuransi Asuransi Sosial Sistem Asuransi Sosial Pelayanan Sosial kesehatan Bentuk dan Medicare: Pelayanan Asuransi Asuransi Target Utama kesehatan -Orang berusia Kesehatan kesehatan 65 th atau Nasional umum: dibawah lebih; (NHS): -Pekerja pengawasan pemerintah: penyandang -Semua dengan - Pekerja cacat; penduduk pendapatan perusahaan penerima tahunan swasta pension, dll. dibawah -Partisipasi standar Asosiasidalam bagian tertentu, asosiasi mutual aid: A untuk pasien penerima - pegawai rawat inap pension negeri bersifat wajib pelajar,dll. -Partisipasi (untuk orang Asuransi dalam bagian B dengan kesehatan nasional: untuk pasien pendapatan -Selfrawat jalan lebih dari employed, berdifat standar, petani, sukarela partisipasi penganggur bersifat sukarela) Jenis In-kind In-kind In-kind In-kind Pemberian Jaminan Sosial Pembayaran premi: Pekerja Ya Ya Tidak Ya Majikan Ya Ya Tidak Ya Pemerintah Ya Ya Ya Tidak Keterangan Pelayanan Pelayanan Bantuan bantuan medis bantuan medis keuangan tersdia bagi orang diberikan dari berpendapatan sumberrendah, semua sumber biaya keuangan ditanggung system pemerintah asuransi nasional Sumber: MHLW, 1999:7 37 Isu yang muncul dari pertemuan Unicef 2009 di Singapura tentang jaminan perlindungan sosial: 1. Program jaminan proteksi sosial yang mendukung pemerataan sosial ekonomi akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 2. Seberapa jauh program itu meningkatkan pendapatan keluarga miskin secara konsisten dan berkesinambungan 3. Seberapa jauh program itu mampu melindungi masyarakat partisipan program saat muncul dampak krisis global. Faktor tidak efektifnya kebijakan dan program perlindungan di negara berkembang: 1. Terbatasnya cakupan → Hanya mencakup sebagian kecil. 2. Terbatasnya dana dan distribusi kedalam program perlindungan sosial 3. Lemahnya instrumen dan mekanisme implementasi 4. Hambatan birokrasi Perlindungan sosial dapat memberikan kontribusi yang penting dalam penanggulangan kemiskinan. Sebagai bagian integral dari pembangunan kesejahteraan sosial, perlindungan sosial dapat membantu masyarakat dalam mematahkan lingkaran kemiskinan, karena mampu meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, investasi modal manusia, produktivitas, dan mengurangi kerentanan anggota masyarakat terhadap berbagai resiko. Namun demikian, perlindungan sosial bukanlah satusatunya piranti kebijakan sosial dalam memerangi kemiskinan. Agar efektif ia harus menjadi bagian integral dari sistem Negara Kesejahteraan dan kebijakan makro ekonomi yang kondusif. Pengelolaan perlindungan sosial di negaranegara berkembang seringkali bersifat parsial, residual, terkotak-kotak (fragmented) dan tidak terkoordinasi dengan baik. Ini menimbulkan kesulitan dalam menentukan priotitasprioritas dan peranperan yang tepat bagi perumusan kebijakan publik. Seringkali, departemen atau kementerian yang berurusan secara 38 khusus dengan masalah perlindungan sosial (misalnya Depsos) memiliki anggaran yang kecil dan dipinggirkan oleh departemen-departemen lain yang memiliki anggaran besar. Sehingga, Depsos seringkali hanya mampu menyelenggarakan program-program kesejahteraan yang bersifat belas kasihan bergaya sinterklas atau Robinhood yang tidak berkelanjutan (Norton, Conway, Foster, 2001; Husodo, 2006; Suharto, 2006b). Depsos harus berani mengambil inisiatif untuk mengembangkan skemaskema perlindungan sosial yang tepat bagi berbagai kelompok sasarannya dengan melakukan kajian-kajian yang tidak lagi bermatra pengembangan ekonomi kecil, perkreditan atau inisiatif lokal saja yang sebagian telah jenuh dan sebagian lagi merupakan domain departemen lain. Depsos perlu melakukan penelitian-penelitian kebijakan publik makro yang berwawasan Negara Kesejahteraan. Praktek-praktek “Negara Kesejahteraan” yang selama ini telah dikembangkan di beberapa kabupaten, seperti Jembrana, Solok, Kutai Kerta Negara, Musi Banyuasin; survei tentang persepsi masyarakat mengenai peran negara dalam perlindungan sosial; penelitian mengenai index persepsi kesejahteraan; pengarusutamaan model asuransi kesejahteraan sosial; misalnya, bisa dijadikan tematema penelitian Depsos saat ini. Jika disimpulkan, ada tiga roadmap yang dapat ditempuh dalam mewujudkan kebijakan perlindungan sosial (lihat Eko, 2006; Husodo, 2006; Suharto, 2006b): 1. Pelembagaan sistem Negara Kesejahteraan pada tingkat nasional Kebijakan perlindungan sosial akan berdiri tegak jika ditopang oleh sistem Negara Kesejahteraan. 2. Pelembagaan sistem Negara Kesejahteraan pada tingkat Pemerintah Daerah melalui desentralisasi dan otonomi daerah Membangun ide Negara Kesejahteraan bisa dilakukan pada tingkat provinsi dengan melembagakan sistem “Propinsi Kesejahteraan”. 3. Promosi perlindungan sosial dari bawah melalui inisiatif masyarakat lokal. 39 D. Latihan Jelaskan pengertian dari kata kunci perlindungan sosial : 1. Welfare state 2. Pro poor government 3. Mengakomodasi inisiatif lokal 4. Memperkuat lokal wisdom 40 No. Modul : 6 Pertemuan : 6 Pokok Bahasan : Basic Need Approach B. Kata Kunci 1. Basic need 2. Human basic need 3. Pengukuran basic need 4. Pendekatan basic need C. Pertanyaan / Perintah Diskusi Apa sajakah parameter kesejahteraan yang terdapat dalam Susenas? D. Materi Secara umum basic need mempunyai pengertian sebagai kebutuhan dasar, sedangkan human basic need merupakan kebutuhan dasar manusia. Cakupan atau unsur untuk pemenuhan kebutuhan dasar sangat berbeda antara negara maju dengan negara berkembang. Di negara berkembang sendiri didapatkan perbedaan unsur-unsur yang dimasukkan dalam kebutuhan dasar. Diantara perbedaan tersebut terdapat kesamaan unsur-unsur kebutuhan dasar terutama dari world bank, ILO, UNDP maupun badan-badan internasional lainnya. Unsur-unsur pokok untuk mengukur keidakmampuan wilayah, rumah tangga, dan individu. Kebutuhan dasar minimal antara lain : pangan, papan, pakaian, kesehatan, air bersih, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan tempat tinggal yang aman dan bersih. Bappenas menggunakan 4 pendekatan dalam menguku ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan dasar minimal yaitu : basic need approach, income approach, human capability approach, serta objective dan subjective approach. Utamanya pemenuhan hak-hak dasar. Pendekatan Bappenas tersebut menghasilkan 3 pendekatan yang tidak selalu sama tetapi saling melengkapi seperti : 41 a. Kebutuhan dasar (basic need approach) sangat diperlukan dalam pengukuran kemiskinan dan keduanya akan diperlukan dalam mengukur kemampuan dasar minimal. b. Pendekatan objective atau welfare approach lebih menekankan pada ukuran normatif yang harus dipenuhi kebutuhan dasar minimal. Di indonesia ada KFM, KHM, KHL, UMR, UMP, UMS, dan sejenisnya yang memuat jenis dan satuan komoditas kebutuhan minimal. c. Pendekatan subjective menilai ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar berdasarkan persepsi sendiri. Dalam susenas modul kesejahteraan ada 21 variabel penentu yang ditanyakan. Dari 21 variabel tersebut dapat dikelompokkan ke dalam pangan, papan, pakaian, kesehatan, pendidikan, rasa aman, dan pekerjaan. Ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan dasar minimal identik dengan penduduk atau rumah tangga miskin. Cukup banyak badan, kantor, maupun departemen yang mengukur kemiskinan sebagai bentuk tidak terpenuhi kebutuhan dasar minimal antara lain : a. BPS menggunakan 52 jenis komoditas pangan dan 36 non pangan. b. BKKBN menggunakan 22 variabel kesejahteraan keluarga. Kelompok pra KS dan KS 1 adalah kelompok rentan dan KS III dan KS III plus adalah kelompok mapan. c. BPS (2000) menggunakan 8 variabel dan BPS (2005) menggunakan 14 variabel calon penerima BLT. d. Bank Dunia (2007/2008) meluncurkan PKH bagi rumah tangga dan ada ibu hamil, ibu punya balita, punya anak sekolah (di luar BOS) sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar. Pemerintah telah melaksanakan berbagai program pemenuhan kebutuhan dasar antara lain : JPS, raskin, BLT/SLT, PKH, kompor gas, BOS, jamkesman, dan bentuk-bentuk perlindungan atau jaminan lain agar penduduk tidak menjadi miskin. Kondisi kemiskinan di Indonesia ditandai dengan jumlah 42 penduduk miskin pada tahun 2002 sekitar 38,4 juta jiwa (18,20%) dari jumlah penduduk Penanggulangan kemiskinan berdasarkan Propernas 2000-2004 diarahkan untuk menurunkan jumlah penduduk miskin dari 19% (tahun 2001) menjadi 14% ( tahun 2004). Upaya tersebut ditempuh melalui jalur mengurangi beban pengeluaran rakyat miskin dan meningkatkan produktivitas untuk menambah pendapatan rakyat miskin. Untuk mewujudkan upaya tersebut salah satu langkah yang ditempuh adalah mendorong prakarsa daerah dalam penanggulangan kemiskinan melalui Rakernas Penaggulangan Kemiskinan. E. Latihan Jelaskan mengenai indikator kesejahteraan modul susenas. Apakah model tersebut tepat atau tidak. 43 No. Modul : 7 Pertemuan : 7 Pokok Bahasan : Indikator Keberhasilan Perencanaan Sosial A. Kata Kunci 1. Analisis kebijakan sosial. 2. Kesejahteraan sosial 3. Perumusam perencanaan dan kebijakan sosial. 4. Mekanisme perencanaan dan kebijakan sosial 5. Model analisis perencanaan dan kebijakan sosial 6. Teknik perumusan perencanaan dan kebijakan sosial. 7. What Does a Social Planner do? B. Pertanyaan / Perintah Diskusi Apa indikator keberhasilan perencanaan sosial? Siapakah yang harus bertanggung jawab? C. Materi History of Social Planning in the Hastings Local Government Area Historically, local governments in regional areas have concentrated their priorities in the areas of road construction and maintenance, rate collection and service provision such as rubbish collection and libraries. However, through available funding in the early 90s through the Department of Urban Affairs and Planning's Area Assistance Scheme, and Department of Community Services Home and Community Care Program, Hastings Council started to take some steps in addressing community service issues. In October 1995, a Community Services Workshop was conducted for the Councillors. This workshop, and the subsequent resolutions of Council, set the direction for Council's future involvement in the community services area. The primary commitments made by Council at this time were: 1. Acknowledgement of its role and responsibility in the co-ordination and development of community service for the Hastings. 44 2. The development of a staff team to undertake this role. 3. The undertaking of a community services audit and needs analysis. 4. The development of a Community Services Plan based on information collected from the audit and needs analysis. 5. The development of a Social Impact Assessment Policy and a Section 94 Contributions Plan for Community Facilities. 6. The development of an Action Plan addressing issues raised by the Disabilities Discrimination Act. Since 1995, two Community Plans have been prepared for the Hastings Region, the 1997 - 2000 Hastings Community Services Plan and the 1999-2004 Hastings Community Plan. The 2005-2010 Social Plan has built on these previous social planning documents and been developed in compliance with the Local Government (General) Amendment (Community and Social Plans) Regulation 1998. Pengertian Kebijakan Sosial dan Analisis Kebijakan Sosial Keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial selain ditentukan oleh kualitas pelayanan langsung yang bersifat mikro juga dipengaruhi oleh sistem dan arah kebijakan sosial yang bersifat makro. Kebijakan sosial tersebut sangat menentukan tipe, jenis, sistem dan pendekatan pemberian pelayanan sosial kepada kelompok sasaran. Pengetahuan mengenai analisis kebijakan sosial sangat penting untuk menentukan apakah suatu kebijakan tersebut memiliki dampak positif atau negatif terhadap masyarakat, apakah kebijakan tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan apakah kebijakan tersebut mampu merespon masalah-masalah sosial yang dirasakan oleh masyarakat. Pengertian Kebijakan Sosial Istilah ‘kebijakan’ yang dimaksud dalam materi ini disepadankan dengan kata bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata ‘wisdom’ yang berarti ‘kebijaksanaan’ atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial terdiri dari dua kata 45 yang memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’ dan kata ‘sosial’ (social). Untuk menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya kita diskusikan terlebih dahulu mengenai pengertian keduanya. Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997). Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Seperti halnya kata ‘kebijakan’, kata ‘sosial’ pun memiliki beragam pengertian. Conyers (1992: 10-14) mengelompokkan kata sosial ke dalam 5 pengertian: 1. Kata sosial mengandung pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi, arisan sering disebut sebagai kegiatan sosial. 2. Kata sosial diartikan sebagai lawan kata individual. Dalam hal ini kata sosial memiliki pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau suatu kolektifitas, seperti masyarakat (society) warga atau komunitas (community). 3. Kata sosial sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binatang. Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan. 46 4. Kata sosial sebagai lawan kata ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial berkonotasi dengan aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat volunter, swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak mencari keuntungan yang berupa uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi. 5. Kata sosial berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Misalnya, setiap orang memiliki hak azasi (human right) dan hak sosial (social right), seperti kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, perumahan, kebebasan dalam menyatakan pendapat, atau berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara luas maupun sempit (Kartasasmita, 1996). Secara luas kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Dalam arti sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial di sini menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna susila, kenakalan remaja, anak dan jompo terlantar. 47 Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers, 1992). Beberapa ahli seperti Huttman, Marshall, Rein, dan Magill mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial (Suharto, 1997) : 1. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencanarencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman, 1981). 2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall,1965). 3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970). 4. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill, 1986). 48 Pengertian Analisis Kebijakan Sosial Analisis kebijakan (policy analysis) dapat dibedakan dengan pembuatan atau pengembangan kebijakan (policy development). Analisis kebijakan tidak mencakup pembuatan proposal perumusan kebijakan yang akan datang. Analisis kebijakan lebih menekankan pada penelaahan kebijakan yang sudah ada. Sementara itu, pengembangan kebijakan lebih difokuskan pada proses pembuatan proposal perumusan kebijakan yang baru. Namun demikian, baik analisis kebijakan maupun pengembangan kebijakan keduanya memfokuskan pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Analisis kebijakan mengkaji kebijakan yang telah berjalan, sedangkan pengembangan kebijakan memberikan petunjuk bagi pembuatan atau perumusan kebijakan yang baru. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan sosial adalah usaha terencana yang berkaitan dengan pemberian penjelasan (explanation) dan preskripsi atau rekomendasi (prescription or recommendation) terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial yang telah diterapkan. Penelaahan terhadap kebijakan sosial tersebut didasari oleh oleh prinsip-prinsip umum yang dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tindakan sebagai berikut: 1. Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin keilmiahan dari analisis yang dilakukan. 2. Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai kebijakan sosial tersebut berdasarkan nilai benar dan salah. 3. Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk menjamin keamanan dan stabilitas. Ketiga alternatif tindakan tersebut kemudian diterapkan untuk menguji atau menelaah aspek-aspek kebijakan sosial yang meliputi : 1. Pernyataan masalah sosial yang direspon atau ingin dipecahkan oleh kebijakan sosial. 49 2. Pernyataan mengenai cara atau metoda dengan mana kebijakan sosial tersebut diimplementasikan atau diterapkan. 3. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau akibat-akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu kebijakan sosial. Proses Perumusan Kebijakan Sosial Proses perumusan kebijakan sosial dapat dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu: Tahap Identifikasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa tahapan yang saling terkait: Secara garis besar, tahapan perumusan kebijakan dapat adalah sebagai berikut (Suharto, 1997): a. Tahap Identifikasi (1) Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Tahap pertama dalam perumusan kebijakan sosial adalah mengumpul-kan data mengenai permasalahan sosial yang dialami masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi (unmet needs). (2) Analisis Masalah dan Kebutuhan: Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan ke dalam laporan yang terorganisasi. Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab masalah dan apa kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul apabila masalah tidak dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana yang terkena masalah? (3) Penginformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian disampaikan kepada berbagai sub-sistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu kebijakan sosial untuk memperoleh 50 masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula diajukan kepada lembagalembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui. (4) Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan untuk memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan. (5) Pemilihan Model Kebijakan: Pemilihan model kebijakan dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metoda dan strategi yang paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan model ini juga dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan sosial yang logis, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan. (6) Penentuan Indikator Sosial: Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat terukur secara objektif, maka perlu dirumuskan indikator-indikator sosial yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai. (7) Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik: Tugas pada tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan, melakukan lobi, negosiasi dan koalisi dengan berbagai kelompok-kelompok masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan sosial yang akan diterapkan. 51 b. Tahap Implementasi (8) Perumusan Kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan pelaksanaannya. (9) Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada tahap ini adalah mengoperasionalkan kebijakan ke dalam usulan-usulan program (program proposals) atau proyek sosial untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program. c. Tahap Evaluasi (10) Evaluasi dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap proses maupun hasil implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan pada tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk melihat keterpaduan antar tahapan, serta sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti garis kebijakan yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk melihat pengaruh atau dampak kebijakan, sejauh mana kebijakan mampu mengurangi atau mengatasi masalah. Berdasarkan evaluasi ini, dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan kebijakan yang akan dijadikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau permusan kebijakan baru. Mekanisme dan Isu-Isu Kebijakan Sosial Untuk lebih memahami proses perumusan kebijakan sosial, kiranya perlu ditelaah secara singkat mekanisme dan kerangka kerja perumusan kebijakan sosial. Telaah ini akan membantu kita dalam memahami peranan lembaga atau aktor yang terlibat dalam merumuskan kebijakan sosial (Suharto, 1997). Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan 52 tanggungjawab ini kepada setiap departemen pemerintahan, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini (Suharto, 1997) Mekanisme Kebijakan Sosial (1) Departemen pemerintahan. Sebagian besar negara menyerahkan tanggungjawab mengenai perumusan kebijakan sosial kepada kementrian, departemen atau lembagalembaga pemerintah yang berperan. Misalnya Departemen Sosial di Indonesia merupakan salah satu departemen yang memiliki kewenangan langsung dalam merumuskan kebijakan kesejahteraan sosial. Di Departemen Sosial, terdapat satu biro khusus yang memiliki kewenangan penting dalam kegiatan ini, yaitu Biro Perencanaan. (2) Badan Perencanaan Nasional. Dalam konteks pembangunan yang lebih luas, perumusan kebijakan sosial juga seringkali menjadi tugas khusus dari Badan Perencanaan Nasional yang sengaja dibentuk untuk merumuskan dan sekaligus mengatur mekanisme kebijakan sosial. Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) merupakan lembaga khusus yang menangani berbagai perencanaan sosial sekaligus perumusan kebijakan sosial dalam pembangunan nasional. Kebijakan yang dihasilkan lembaga ini kemudian menjadi acuan bagi departemen dan lembaga-lembaga terkait dalam melaksanakan berbagai program pembangunan. (3) Badan legislatif. Badan legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kewenangan dalam merumuskan kebijakan sosial. Lembaga ini biasanya memiliki komisi khusus yang mengurusi perumusan kebijakan sesuai 53 dengan kebutuhan. Misalnya, di Indonesia, DPR memiliki komisi khusus yang bertanggungjawab mengatur urusan ekonomi, hukum, dan kesejahteraan sosial. (4) Pemerintah Daerah dan Masyarakat Setempat. Di sejumlah negara di mana administrasi pemerintahannya lebih terdesentralisasi, Pemerintah Daerah (PEMDA) memiliki peran yang sangat penting dalam perumusan kebijakan sosial, khususnya yang menyangkut persoalan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerahnya. Lebih-lebih lagi di negara-negara yang telah sangat matang menjalankan konsep demokrasi, masyarakat setempat memiliki hak dan kewenangan dalam mengungkapkan aspirasi kebutuhannya yang kelak menjadi bagian dari tema-tema penting dalam kebijakan sosial. (5) Lembaga Swadaya Masyarakat. Peranan lembaga-lembaga sosial atau organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP) adalah berbeda dalam setiap negara. Namun demikian, kini terdapat kecenderungan bahwa di negara-negara berkembang, pemerintah semakin memberi peran yang leluasa kepada sektor-sektor non pemerintahan untuk juga terlibat dalam perumusan kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini terutama terjadi sejalan dengan rekomendasi atau bahkan tekanan dari negara-negara donor yang memberi bantuan dan konsultasi finansial kepada negara yang bersangkutan. Selain itu, kini semakin disadari bahwa sebesar apapun pemerintah menguasai sumber-sumber ekonomi dan sosial, tidaklah mungkin mampu memenuhi kebutuhan segenap lapisan masyarakat secara memuaskan. Isu-Isu kebijakan Sosial Kebijakan sosial tidak dapat dilepaskan dari proses dan dimensi pembangunan secara luas. Karenanya perlu ditelaah secara singkat beberapa isu kebijakan sosial yang mungkin timbul dan perlu 54 dipertimbangkan dalam proses dan mekanisme perumusan kebijakan sosial (Suharto, 1997). (1) Peran negara dan masyarakat. Walaupun pemerintah memiliki peran yang besar dalam perumusan kebijakan sosial, tidaklah berarti bahwa hanya pemerintah sajalah yang berhak menangani masalah ini. Seperti dinyatakan dimuka, bahwa pemerintah tidak akan pernah mampu memenuhi seluruh kebutuhan warganya. Sebesar apapun sumber-sumber ekonomi-sosial yang dimilikinya dan sehebat apapun kemampuan para pejabat dan aparatur pemerintah, tetap membutuhkan peran masyarakat. Oleh karena itu, perumusan kebijakan sosial mensyaratkan adanya keseimbangan dan proporsionalitas dalam hal pembagian peran dan kekuasaan pemerintah dan masyarakat. (2) Perangkat Hukum dan Penerapannya. Perangkat hukum memiliki kekuatan memaksa, melalui sangsi dan hukuman yang melekat di dalamnya. Kebijakan sosial memerlukan perangkat hukum yang dapat mendukung diterapkannya kebijakan sosial. Kebijakan sosial dapat berjalan secara efektif apabila dinyatakan secara tegas melalui perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya. Namun demikian, adakalanya perangkat hukum yang sudah ada tidak dapat diimplementasikan secara baik dalam kegiatan-kegiatan operasional, baik dikarenakan oleh faktor manusianya, maupun kurang lengkapnya peraturan teknis yang mengatur secara lebih rinci perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, perlu usaha keras agar terjamin adanya keselarasan antara perangkat hukum dan implementasinya. Ketidakkonsistenan antara ‘dassein’ dan ‘dasollen’ akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat dan merosotnya citra lembaga-lembaga pembuat kebijakan, yang pada gilirannya menimbulkan sikap apatis dan bahkan antipati masyarakat kepada setiap produk kebijakan sosial. 55 (3) Koordinasi antar Lembaga. Seperti sudah dinyatakan di muka, kebijakan sosial seringkali menjadi urusan berbagai departemen dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi dan kerjasama antar lembaga tersebut agar kebijakan sosial tidak bersifat tumpang tindih dan saling bertentangan satu sama lain. (4) Sumber Daya Manusia. Aspek mengenai SDM ini menyangkut jumlah dan kualitas para pembuat kebijakan yang akan diserahi tugas dalam merumuskan kebijakan sosial. Meskipun kebijakan sosial, menyangkut ‘aspek sosial’, tetapi dalam merumuskan kebijakan tersebut diperlukan sejumlah orang yang memiliki beragam profesi dan latar belakang akademik tertentu. Oleh karena itu, perumusan kebijakan harus memperhatikan kualifikasi SDM yang tepat. Selain ahli-ahli sosial, perumusan kebijakan sosial seringkali membutuhkan pakar-pakar ekonomi, hukum, dan bahkan ahli statistik. (5) Pentingnya pelayanan sosial. Pentingnya pelayanan sosial bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat merupakan isu penting lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kebijakan sosial. Isu ini terutama muncul karena adanya kecenderungan pemerintah yang semakin menurunkan anggaran belanjanya untuk kepentingan-kepentingan pelayanan sosial. Pelayanan sosial pada dasarnya merupakan investasi sosial yang berkorelasi positif dengan kualitas hidup masyarakat. Pengalaman penulis berkunjung ke Costa Rica menunjukkan bahwa berkat kesigapan pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya bagi pelayanan sosial, kualitas hidup warga masyarakat negara tersebut sangat memuaskan terutama bila dilihat dari indikator kualitas hidup (Human Development Index), seperti angka harapan hidup, jumlah kematian bayi per 1000 kelahiran, dan bahkan pendapatan per kapitanya. 56 (6) Penentuan prioritas pelayanan sosial. Di sebagian besar negara berkembang keinginan untuk memperbaiki pelayanan sosial sangat besar, namun demikian sumber dana untuk pengadaan pelayanan tersebut sangat terbatas (Conyers, 1991). Ini berarti bahwa kebijakan sosial harus mampu diprioritaskan terhadap pelayanan sosial yang benar-benar penting dan berdampak luas bagi kesejahteraan masyarakat. Misalnya, apakah pelayanan sosial akan lebih diprioritaskan untuk perawatan anak terlantar, para manula, para penyandang cacat, rehabilitasi permukiman kumuh, atau peningkatan peran pemuda dan wanita. (7) Penentuan bentuk pelayanan sosial. Isu berikutnya berkaitan dengan pertanyaan mengenai bentukbentuk pelayanan sosial apa yang cocok untuk negara berkembang. Dewasa ini semakin disadari bahwa bentuk-bentuk dan standar pelayanan di negara maju tidak dapat sepenuhnya diterapkan di negara berkembang. Oleh karena itu, perlu diusahakan suatu bentuk pelayanan sosial yang sesuai dengan kondisi setempat dan cocok ditinjau dari segi fisik, ekonomi, sosial dan politik negara yang bersangkutan. Secara luas kita dapat mengusulkan apakah pelayanan sosial akan berbentuk uang tunai (cash payment), barang (benefit in kind), atau berupa bantuan konsultasi dan pelatihan-pelatihan. (8) Distribusi pelayanan sosial. Hampir bisa dipastikan bahwa semua negara menghadapi masalah yang sama dalam kaitannya dengan persoalan ‘supply’ dan ‘demand’ pelayanan sosial, dalam arti kebutuhan akan pelayanan sosial selalu lebih besar dari kemampuan pemerintah atau lembaga penyelenggara dalam mengusahakan pelayanan sosial. Keadaan ini tentunya memaksa kita untuk memikirkan secara sungguh-sungguh mengenai distribusi pelayanan sosial. Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pendistribusian pelayanan ini antara lain menyangkut segi geografis (desa, 57 kota, daerah khusus), jender (pria, wanita, atau waria), usia (anak, remaja, manula) atau berdasarkan permasalahan-permasalahan khusus yang mendesak untuk segera dipecahkan. (9) Penetapan kuantitas atau kualitas pelayanan sosial. Karena sumber daya manusia dan dana relatif selalu terbatas, maka isu mengenai pilihan dalam menentukan kuantitas dan kualitas pelayanan harus pula menjadi bahan pertimbangan yang matang bagi para pembuat kebijakan sosial. Antara kuantitas dan kualitas pelayanan sering kali terjadi trade-off, dilema, sehingga perlu ditentukan mana dahulu yang akan diutamakan. Misalnya, mengingat masih besarnya sasaran pembangunan kesejahteraan sosial, peningkatan jumlah lembaga pelayanan kesejahteraan sosial masih dianggap lebih penting daripada meningkatkan kualitas pelayanan lembaga tersebut. Dengan demikian, secara terpaksa diadakan pengorbanan dalam hal kualitas pelayanan sosial. (10) Pembiayaan pelayanan sosial. Isu kebijakan sosial lainnya yang sangat penting adalah mengenai pendanaan pelayanan sosial yang menyangkut, sistem, sumber dan metoda pendanaan. Terdapat suatu sistem di mana pelayanan sosial sepenuhnya atau sebagian besar dibiayai oleh pemerintah yang dananya diambil dari subsidi sektor-sektor lain dalam bidang perekonomian negara tersebut. Pelayanan pendidikan dasar merupakan salah satu contoh sistem ini. Sebaliknya, ada pula pelayanan sosial yang didasarkan pada segi komersial, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, seperti asuransi kesehatan dan asuransi sosial tenaga kerja. Kini terdapat kecenderungan di mana sistem pendanaan lembaga pelayanan sosial (panti jompo, TPA) yang tadinya disubsidi penuh oleh pemerintah, kini bersifat komersial. Pada kenyataanya, sebagian besar negara maju dan berkembang banyak yang memilih jalan tengah di antara kedua sistem di atas. 58 Model-Model Analisis Kebijakan Sosial Menurut Dunn (1991), analisis kebijakan adalah ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis masalahmasalah sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannnya suatu kebijakan. Ruang lingkup dan metoda analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu kebijakan. Menurut Quade (1982) analisis kebijakan adalah suatu jenis penelaahan yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar-dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian-penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif-alternatif perbaikannya. Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat bersifat formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang telah dilaksanakan. Namun demikian, beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat pula bersifat informal yang melibatkan tidak lebih dari sekadar kegiatan berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak-dampak diterapkannya suatu kebijakan. Analisis kebijakan pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen rasional mengenai tiga pertanyaan yang berkaitan dengan; a. Fakta-fakta; b. Nilai-nilai; dan c. Tindakan-tindakan Berdasarkan hal tersebut, maka ada tiga model pendekatan dalam analisis kebijakan sosial, yaitu: a. Pendekatan Empiris; b. Pendekatan Evaluatif; dan c. Pendekatan Normatif. 59 Dalam kaitannya dengan tiga model tersebut, terdapat empat prosedur analisis yang dapat dijadikan patokan dalam melakukan analisis kebijakan sosial: a. Monitoring yang dapat menghasilkan informasi deskriptif mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat kebijakan. b. Peramalan yang dapat menghasilkan prediksi atau informasi mengenai akibat-akibat kebijakan di masa depan. c. Evaluasi yang dapat menghasilkan informasi mengenai nilai atau harga dari dampak-dampak kebijakan yang telah lalu maupun di masa datang. d. Rekomendasi yang dapat memberikan preskripsi atau informasi mengenai alternatif-alternatif atau kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan dari suatu kegiatan. Merumuskan Masalah Kebijakan Sosial Perumusan masalah kebijakan sosial adalah suatu proses penyelidikan untuk mengumpulkan informasi mengenai konsekuensikonsekuensi kebijakan sosial yang mempengaruhi kelompok sasaran. Perumusan masalah kebijakan juga mencakup pencarian solusi-solusi terhadap dampak-dampak kebijakan yang bersifat negatif. Masalah- masalah kebijakan sosial secara umum memiliki enam elemen, yaitu: a. Masalah kebijakan. Informasi ini meliputi argumen mengenai bukti-bukti pemasalahan, alternatif-alternatif kebijakan, tindakan-tindakan kebijakan, hasil-hasil kebijakan, dan keberhasilan-keberhasilan kebijakan. b. Klaim kebijakan. Klaim kebijakan adalah kesimpulan-kesimpulan mengenai argumenargumen kebijakan. Sebagai contoh, pemerintah harus berinvestasi dalam bidang pendidikan atau mengeluarkan dana lebih besar lagi bagi penanggulangan anak jalanan dsb. 60 c. Justifikasi atau pembenaran. Aspek ini meliputi asumsi mengenai argumen kebijakan yang memungkinkan analisis kebijakan untuk melangkah dari masalah kebijakan ke klaim kebijakan. Suatu asumsi bisa mencakup informasi yang bersifat otoritatif, intuitif, analitis, kausal, pragmatis maupun kritis. d. Pendukung. Pendukung adalah informasi-informasi yang dapat digunakan sebagai dasar yang mendukung justifikasi. Pendukung dapat berupa hukum-hukum keilmuan, pendapat-pendapat para ahli atau prinsip-prinsip etis dan moral. e. Keberatan-keberatan atau sanggahan-sanggahan. Keberatan-keberatan adalah kesimpulan yang kedua atau argumen alternatif yang menyatakan bahwa suatu kondisi tidak dapat diterima (ditolak) atau dapat diterima dengan syarat-syarat tertentu. f. Prasyarat. Aspek ini merupakan kondisi-kondisi yang dapat meyakinkan atau menjadi dasar bagi analis kebijakan untuk membenarkan klaim kebijakan. Dalam analisis kebijakan, prasyarat biasanya dinyatakan dalam bahasa “kemungkinan” atau probabilitas. Misalnya, “kemungkinan besar”, “kecenderungannya adalah” atau “pada taraf signifikansi 1 persen”. Perumusan masalah kebijakan, tidak dapat dilakukan begitu saja, melainkan harus memenuhi beberapa syarat agar dapat diterima secara logis. Prasyarat tersebut meliputi: a. Perumusan masalah harus jelas atau tidak ambigu. b. Produk analisis harus terbaru (up-to-date). c. Produk analisis harus berharga atau bernilai (valuable). d. Proses analisis tidak bersifat konvensional, artinya menggunakan teknik-teknik yang mutakhir. 61 e. Proses analisis memiliki daya motivasi, berkesinambungan, berhubungan satu sama lain dan komprehensif. Teknik-teknik dalam perumusan masalah kebijakan: a. Analisis Klasifikasi. Teknik ini dipergunakan untuk memperjelas konsep yang digunakan dalam mendefinisikan situasi problematis. Prinsip-prinsip dari sistem klasifikasi adalah: Relevansi Substantif. Dasar klasifikasi harus dibangun menurut tujuan analisis dan situasi problematis. Ketuntasan. Dasar klasifikasi harus memiliki argumen yang tepat dan benar-benar kuat. Keterpilahan. Kategori-kategori harus benar-benar terpilah dan berdiri sendiri agar tidak ada kelompok yang masuk dalam dua kategori. Konsistensi. Kategori-kategori harus bersifat pasti atau tetap berdasarkan sistem klasifikasi tunggal sehingga kesimpulan tidak bersipat tumpang tindih atau mengalami “the fallacy of cross division” (kekeliruan dalam pembagian silang). Pembedaan hirarkis. Tingkat dalam sistem klasifikasi harus dapat dibedakan secara jelas; mulai dari kategori, sub-kategi, sampai subsub kategori. b. Analisis Hirarki. Teknik ini dipakai untu menganalisis sebab-sebab yang mungkin dalam sistem permasalahan. Terdapat tiga macam sebab yang perlu diperhatikan dalam analisi hirarki: Sebab yang mungkin (possible cause). Sebab yang masuk akal (plausible cause). Sebab ini didasari penelitian ilmiah atau pengalaman langsung. 62 Sebab yang dapat dirubah (actionable cause) atau disebut pula sebab yang dapat dikontrol dan dimanipulasi. c. Synectic. Teknik ini dilakukan untuk mengembangkan pengenalan masalah secara analogis. Beberapa prinsip analogi meliputi: Analogi personil. Analis berusaha membayangkan dirinya mengalami situasi-situasi problematis sebagaimana dialami kelompok sasaran kebijakan. Analogi langsung. Mencari hubungan serupa diantara 2 atau lebih situasi problematis. Analogi simbolik. Menemukan contoh yang serupa dengan situasiproblematik dengan menggunakan simbol-simbo. Analogi fantasi. Secara bebas mencari kesamaan antara situasi problematis secra khayali. d. Brainstorming atau curah pendapat. Teknik memunculkan ide atau gagasan, tujuan dan strategi-strategi tertentu dengan melibatkan banyak pihak dalam suatu forum diskusi. e. Analisis Asumsi. Teknik untuk menciptakan sintesa (kesimpulan) kreatif atas beberapa asumsi mengenai masalah-masalah kebijakan. Prosedur analisis asumsi meliputi: Identifikasi pelaku yang terlibat (stakeholder identification). Pemunculan asumsi (assumption surfacing). Pembenturan atau penentangan asumsi (assumption challenging). Pengelompokan asumsi (asumption pooling). Sintesa asumsi atau penyimpulan asumsi. 63 What Does a Social Planner do? Within Port Macquarie-Hastings Council, the role of the Social Planner is to: 1. Provide social planning input to council's planning processes including DA assessments, State of the Environment reporting, strategic planning, DCPs, LEPs and Section 94 plans. 2. Lead and facilitate the development, monitoring and review of the Hastings Social Plan, including research, consultation, data analysis and preparation of reports. 3. Assess and provide comments on Social Impact Assessments for development activities. 4. Provide advice to council and council staff on trends and changing social needs and the implications for council's role. 5. Co-ordinate the development and maintenance of the community profile, population projections and social forecasts. 6. Collaborate and negotiate with a range of stakeholders to ensure social planning projects deliver the specified outcomes. 7. Increase awareness and understanding of the current and potential contribution of social capital in the development of sustainable communities in the Hastings. 8. Raise the profile of social issues through partnership development and enhancing industry capability and opportunities. 9. Promote the role social capital plays in the development of the Hastings community, its ideas and stories. 10. Identify key areas of social need and infrastructure in the Hastings. D. Latihan Carilah contoh perencanaan sosial di Indonesia yang berhasil dan tidak berhasil. 64 No. Modul : 8 Pertemuan : 8 Pokok Bahasan : Perencanaan Kontingensi/Perencanaan Penanganan Bencana A. Kata Kunci 1. contingency plan 2. strategi contingency plan 3. develop contingency plan 4. components of contingency plan B. Pertanyaan / Perintah Diskusi Bagaimana contingency plan saat terjadi gempa di DIY – Jateng? Apakah sudah bagus? Jika belum, hal-hal apa sajakah yang harus diperbaiki? C. Materi Contingency plan digunakan untuk mengatasi masalah-masalah kebencanaan seperti bencana yang disebabkan oleh manusia, angin, api, air, dan sebagainya. Di dalam penanganannya terdapat perbedaan antara satu bencana dengan bencana yang lainnya. Strategi yang perlu dilakukan antara lain adalah sebagai berikut : a. Memberikan dukungan pada pemerintah yang menangani emergency planning. b. Mengamati pengaturan rencana (pelatihan). c. Menjamin adanya mekanisme untuk meningkatkan fungsi emergency planning. d. Provide strategic emergency planning untuk mengelola strategi-strategi yang tepat. e. Komponen yang penting dalam contingency planning adalah security/safety, public, data, dan communication. 65 Penyusunan perencanaan sosial Penyusunan perencanaan sosial merupakan suatu proses kegiatan yang terdiri dari serangkaian tahapan untuk dilaksanakan secara berurutan. Adapun tahapan penyusunan perencanaan sosial dalam profesi pekerjaan sosial terdiri dari: 1. Identifikasi dan perumusan masalah 2. Penilaian kebutuhan 3. Penetapan prioritas masalah 4. Perumusan kebijakan dan strategi perencanaan program 5. Perumusan tujuan 6. Perumusan perencanaan program 7. Penyusunan komponen kegiatan dan indeks biaya 8. Langkah-langkah pelaksanaan program 9. Supervisi, monitoring, evaluasi, pencatatan dan pelaporan Stake-holders di Sektor Kesehatan Masyarakat Lokasi Usia Jender Status ekonomi Kelas Pekerja Non-kesehatan Profesi kesehatan Administrator Politisi Departemen lain Departemen Kesehatan 66 Pentingnya Perencanaan Sosial & Kontingensi 1. Masalah sosial & bencana selalu melibatkan jumlah penduduk yang besar 2. Korban kebanyakan adl kelompok yang kurang beruntung 3. Menentukan kualitas hidup jangka-panjang 4. Penanganan memerlukan komitmen kuat lembaga publik; tidak mungkin “diswastakan”, asymmetric information, externality. JENIS & PENYEBAB BENCANA Kecelakaan Kerusuhan Perang Ledakan Nuklir Kimiawi Buatan Manusia BENCANA Alami Gempa Angin Banjir Kekeringan KEBUTUHAN DISASTER PREPAREDNESS (KESIAPAN MENGHADAPI BENCANA) Goel, 2006:167 1. Dukungan kebijakan dan struktur administratif di tingkat pusat & daerah 2. Keseriusan elit politik & birokrat 3. Kesadaran masy, PR, pengemb. SDM 4. Penguatan lembaga & peningkatan kemampuan 5. Membangun mekanisme & prosedur 6. Perencanaan yang rinci 67 7. Perbaikan sarana: pemantauan, prediksi, peringatan dini, respon yg efektif 8. Penguatan litbang & transfer teknologi 9. Dukungan finansial untuk pencegahan & mitigasi 10. Identifikasi projek bagi pengurangan bencana alam 11. Pelatihan untuk menjamin kesiapan personil 12. Transparansi dalam semua hal mengenai kesiapan menghadapi bencana 13. Akses keuangan bagi proses pengkajian ulang (retrofitting) 14. Penguatan program di semua tingkatan untuk memperbaiki kesiapan menghadapi bencana SISTEM ADMINISTRASI YANG EFEKTIF UNTUK PERENCANAAN SOSIAL & KONTINJENSI (Goel, 2006:175) : 1. Tata-pemerintahan yg baik (good governance) 2. Akuntabilitas 3. Transparansi 4. Menjamin harkat & martabat rakyat 5. Kompetensi, komitmen & integritas pelaksana 6. Lingkungan yg kondusif bagi pembangunan 7. Kepekaan & daya-tanggap (responsiveness) 8. Tidak berpihak (impartial). D. Latihan Sebutkan dan jelaskan contingency planning pemerintah Indonesia untuk penanganan bencana alam Situ Gintung. Apakah langkah tersebut sudah tepat sasaran? 68 No. Modul : 9 Pertemuan : 10 Pokok Bahasan : Perencanaan Kependudukan A. Kata Kunci 1. Menyusun perencanaan kependudukan. 2. Aplikasi perencanaan kependudukan pada tingkat regional dan lokal. 3. Kebijakan kependudukan jangka menengah dan jangka panjang. 4. Perencanaan dan kebijakan kependudukan sektoral. B. Pertanyaan / Perintah Diskusi Jelaskan posisi perencanaan kependudukan dalam studi perencanaan social. C. Materi United Nations (1993) menerbitkan buku tentang Populations and Development Planning yang membahas pentingnya memasukkan variabel kependudukan dalam perencanaan pembangunan. Strategi pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi telah gagal untuk meningkatkan standar kehidupan penduduk. Pertumbuhan ekonomi tinggi diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk miskin dan kelaparan serta kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin. Ketidakberdayaan dalam mengakses pendidikan dan kesehatan bagi penduduk miskin semakin bertambah besar. Dalam situasi seperti ini orientasi pembangunan harus dirubah ke peningkatan kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi memang diperlukan untuk mendukung kecukupan pangan dan gizi, perumahan dan pekerjaan serta pendapatan yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Perencanaan berasal dari kata planning dan kebijakan dari kata policy. Secara umum perencanaan adalah suatu proses yang hasilnya berupa rencana, berdasarkan aspek-aspeknya yaitu hasil dan proses pelaksanaan. Berdasarkan hasilnya, perencanaan adalah proses untuk membuat atau menyusun kebijakan dan program kegiatan. Dilihat dari prosesnya, adalah upaya untuk menemukan masalah yang terjadi saat ini dan estimasi di masa mendatang. Kemudian 69 berusaha merumuskan kebijakan dan program yang relevan yang dapat untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Lebih lanjut dikatakan oleh Suroto (1992) dalam perencnaan mencakup setiap usaha meramalkan permasalahan, merumuskan tujuan, merencanakan pendekatan yang sistematik untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Untuk memudahkan pemahaman Anda tentang perencanaan berikut ini disajikan contoh konkrit perencanaan kependudukan sektor ketenagakerjaan. Perencanaan tenaga kerja adalah suatu proses untuk mengetahui dan mengusulkan pemecahan masalah ketidakseimbangan antara persediaan tenaga kerja dengan permintaan tenaga kerja yang lebih dikenal masalah pasar kerja seperti telah dibahas pada modul 5 kegiatan belajar 2. Perencanaan tenaga kerja dapat pula diartikan sebagai usaha untuk mengetahui dan mengukur masalah tenaga kerja dan kesempatan kerja dalam suatu wilayah tertentu. Dalam hal ini mencakup sektor ekonomi dan non ekonomi seperti angkatan kerja, partisispasi angkatan kerja, pengangguran, elastisitas dan produktivitas kerja serta kebijakan pemerintah dalam sektor ketenagakerjaan. Setiap negara diharapkan mempunyai perencanaan dan kebijakan kependudukan yang jelas, terlepas dari pilihan pro-natalis atau anti natalis dari negara yang bersangkutan. Hal ini menjadi penting untuk menghindari atau antisipasi dari permasalahan kependudukan yang klasik seperti kemiskinan, kelaparan, ketidakberdayaan dalam pendidikan, kesehatan serta masalah sosial lainnya. Menurut Wirosuhardjo (1981), kebijakan kependudukan adalah langkah dan program yang membantu pencapaian tujuan ekonomi, sosial, budaya, demografis serta tujuan umum lainnya dengan cara mempengaruhi variabel jumlah dan pertumbuhan penduduk, struktur dan distribusi penduduk. Dalam pengertian mengakomodasi ini termasuk keadaan penduduk perencanaan maupun dan kebijakan menanggapi yang perubahan- perubahan penduduk. Agar pembahasan materi ini lebih fokus dengan contoh konkrit maka modul ini menggunaan kasus perencanaan dan kebijakan kependudukan di Indonesia. 70 Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional menetapkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditetapkan paling lambat tiga (3) bulan setelah Presiden dilantik. RPJMN merupakan penjabaran visi, misi dan program selama lima (5) tahun ke depan, dilaksanakan melalui strategi pokok yang dijabarkan ke dalam agenda pembangunan nasional. Dalam rencana strategi ini tercantum sasaran-sasaran pokok yang akan dicapai serta arah kebijakan dari program-program pembangunan. Penetapan RPJMN 2004-2009 didasarkan pada pertimbangan bahwa Presiden terpilih diangkat pada Oktober 2004. Setelah itu ditindaklanjuti oleh presiden terpilih dengan menyusun program 100 hari yang merupakan bagian dari RPJMN 2004-2009 (Sinar Grafika, 2005). Permasalahan pembangunan nasional 2004-2009 dirinci ke dalam lima (5) agenda serta rencana kerja 2010. Ditilik dari materi pembahasan, hanya agenda ke empat yang relevan dengan perencanaan dan kebijakan kependudukan di Indonesia yaitu Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Bagian ini terdiri dari 18 permasalahan, dan ada tujuh (7) yang berhubungan erat dengan penduduk dan lingkungan. Ke tujuh permasalah tersebut adalah nomor (12) kualitas kehidupan, perempuan dan perlindungan anak, (23) ketenagakerjaan, (12) kualiatas kehidupan, perempuan dan perlindungan anak, (27) pendidikan, (28) kesehatan, (29) kesejahteraan sosial, (30) kependudukan dan keluarga kecil, pemuda dan olah raga dan (32) sumber daya alam dan lingkungan hidup. Setiap permasalahan dibahas pula sasaran yang ingin dicapai, arah kebijakan dan program-program pembangunan. Rencana pembangunan jangka menengah lima tahunan merupakan rangkuman dari program pembangunan tahunan. Dan rencana pembangunan jangka menengah merupakan rangkuman dari rencana pembangunan jangka panjang. Setiap perencanaan pembangunan kependudukan memerlukan langkah konkrit yang tertulis di dalam Kebijakan Kependudukan berupa program-program aksi. Setiap kebijakan mencakup tujuan umum, tujuan 71 spesifik, target yang ingin dicapai, indikator keberhasilan, langkah kebijakan dan pelaksanaan program. Dalam studi kependudukan, salah satu aspek yang belum banyak dibahas oleh para peneliti dan pemerhati kependudukan adalah interaksi negara maupun pemerintah dalam pengelolaan kependudukan. Akibatnya, terlalu sedikit tulisan yang membahas tentang perencanaan dan kebijakan kependudukan. Pemerintah di negara sedang berkembang semestinya mempunyai andil yang sangat besar dalam pembangunan kesejahteraan warganya untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak jarang intervensi pemerintah di negara tersebut sudah sampai urusan pribadi dan kewenangannya di luar tugas pemerintah. Sebagai contoh misalnya pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan masalah yang bersifat multidimensional dalam skala internasional nasional dan lokal serta masyarakat, keluarga dan individu. Pemerintah di negara berkembang melakukan intervensi untuk mengendalikan sekaligus menurunkan pertumbuhan penduduk tersebut (Effendi dan Hassan, 1986). Intervensi pemerintah melalui serangkaian kebijakan-kebijakan mengubah perilaku yang dianggap kurang menguntungkan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat dari intervensi pemerintah adalah aspek etika, filosofis dan landasan sosiologis dalam hubungannya dengan hak individu maupun masyarakat. Pertimbangan apa saja yang digunakan pemerintah dalam hal ini penurunan angka pertumbuhan penduduk di negara sedang berkembang dalam hal penurunan kelahiran untuk mencapai perkembangan penduduk yang rendah dalam hubungan hak individu dan masyarakat. Perencanaan pembangunan di Indonesia disusun sejak pemerintahan Soekarno (Orde Lama) melalui Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Di era Soeharto (Orde Baru) disusun Rencana Pembangunan Lima Tahun yang lebih dikenal dengan Repelita hingga berakhir pemerintahannya. Kemudian di era reformasi disusunlah Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan sejak 2004-2009 disusunlah Rencana Pembangunan Jangka 72 Menengah Nasional (RPJMN 2004-2009) merupakan bagian pertama dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2005-2024. Rencana pembangunan2004-2009 ini terdiri atas enam bagian dan 36 kebijakan yang akan dilaksanakan selama pemerintahan SBY-YK. Dari 36 perencanaan dan kebijakan pembangunan tersebut ditujukan untuk berbagai aspek atau sektoral. Ada enam sektor yang berhubungan dengan permasalahan kependudukan, beberapa di antaranya adalah: 1. Penanggulangan kemiskinan dan kelaparan. 2. Perbaikan iklim ketenagakerjaan. 3. Akses layanan pendidikan yang berkualitas. 4. Akses layanan kesehatan yang berkualitas. 5. Kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk. 6. Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pemuda dan olah raga. (Sinar Grafika, 2005) Landasan Dasar Perencanaan Kependudukan Menurut Sofian Effendi dan Riaz Hassan (1986) paling tidak ada empat landasan filosofis dan sosiologis yang mendasari pemerintah melakukan intervensi atau campur tangan di bidang kependudukan yakni: paradigma deontik, paradigma lingkungan, paradigma keluarga berencana dan paradigma pemerataan pembangunan. Deskripsi secara ringkas dari ke empat teori dasar perencanaan kependudukan adalah sebagai berikut: Suatu perencanaan harus disusun dengan pertimbangan yang matang, dalam arti mendapatkan keuntungan yang maksimal dibandingkan dengan pengorbanan yang perlu dilakukan. Dalam keadaan seperti ini, dampak positif yang akan diperoleh diusahakan semaksimal mungkin, sedangkan masukan atau input dan proses yang seminimal mungkin. Mirip dengan prinsip peningkatan produktivitas, pengorbanan biaya yang seminimal mungkin dapat mendapatkan output yang semaksimal mungkin. Masalah yang seringkali dihadapi dalam perencanaan kependudukan adalah jangka waktu ketika yang 73 diperlukan untuk mendapatkan hasil. Maksudnya adalah perencanaan tahunan, lima tahunan, sepuluh tahunan dan dua puluh tahun atau perencanaan jangka panjang. Perencanaan jangka menengah identik dengan satu periode pemerintahan, katakanlah periode presiden SBY 2004-2009 merupakan bagian dari perencanaan jangka panjang. Oleh sebab itu diperlukan suatu kecermatan prima dalam penyusunan perencanaan, apalagi perencanaan kependudukan yang sangat dinamik. Yang dimaksud sangat dinamik adalah mengantisipasi perubahan sesuai dengan perkembangan waktu mulai dari saat ini, jangka tahunan, menengah dan jangka panjang. Momentum kependudukan dan kesenjangan waktu penting dipertimbangkan. a. Teori Deontik Dasar utama dari pandangan Deontik adalah hak dan kewajiban dari generasi saat ini terhadap generasi yang akan datang. Argumentasi pokok dari paham ini adalah bahwa generasi yang akan datang mempunyai hak untuk hidup dan hak diperlakukan secara adil yang sama dengan generasi sekarang. Oleh sebab itu generasi sekarang mempunyai kewajiban moral untuk mempertahankan dan mensejahterakan dirinya sendiri serta generasi mendatang. Berbagai keperluan-keperluan dasar untuk generasi mendatang harus diperhatikan oleh generasi sekarang, termasuk di dalamnya daya dukung wilayah di masa mendatang. Atas dasar pertimbangan ini maka generasi sekarang dapat menentukan besarnya jumlah generasi mendatang. Dengan demikian, seandainya tersedia sumber daya yang dapat mencukupi sejumlah -- orang, maka ---generasi sekarang perlu mengusahakan jumlah penduduk hanya --- orang --Penganut paham Deontik menganjurkan apabila negara tidak mampu memberikan jaminan kehidupan yang layak, maka negara tersebut dapat mengendalikan pertambahan penduduk dengan mengurangi jumlah kelahiran untuk mendapatkan jumlah penduduk ideal. Negara dianjurkan mengeluarkan peraturan perundangan untuk menurunkan kelahiran. Pengendalian maupun pembatasan kelahiran menurut penganut paham Deontik tidak merupakan 74 pembatasan kebebasan pribadi. Setiap orang boleh menentukan jumlah anak yang ingin dimiliki, tetapi wajib untuk menjamin agar mereka dapat hidup layak kelak di masa depan. b. Teori Lingkungan Terdapat dua paradigma yang cukup mendasar dikemukakan oleh para ahli lingkungan dalam menyikapi dampak pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap lingkungan saat ini dan di masa mendatang. Pertama, penganut tesis titik batas (limits thesis) yang memandang hubungan pertumbuhan penduduk dan degradasi lingkungan secara pesimistik melalui beberapa pernyataan bahwa: 1) Pertumbuhan penduduk dan ekonomi mempunyai batas yang pasti. 2) Batas tersebut sudah hampir tercapai. 3) Apabila batas tersebut sudah terlalu dekat atau hampir dicapai, akan terjadi peningkatan jumlah kematian. 4) Meskipun batas tersebut masih relatif jauh, pertumbuhan penduduk dan ekonomi harus dihentikan. Kehidupan yang layak sangat ditentukan oleh kontrol yang ketat terhadap pertumbuhan penduduk. Sumber daya alam sangat terbatas dan akan cepat habis akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Usaha meminimalkan jumlah manusia merupakan pilihan utama dalam menjaga keberlangsungan sumber daya. Kedua, penganut tesis gemah ripah (cornucopian thesis) mempunyai pandangan yang lebih optimis hubungan manusia dengan lingkungan melalui beberapa argumentasinya: 1) Titik batas tersebut dapat dicapai apabila ilmu dan teknologi sudah tidak dapat berkembang atau berhenti. 2) Meskipun ilmu dan teknologi sudah berhenti berkembang, titik batas tersebut masih jauh untuk dicapai. 75 3) Titik batas perlu mendapatkan perhatian karena jumlah penduduk dunia perlahan-lahan akan segera mendekati titik batas. Penganut paham ini sangat tegas pendapatnya tentang siapa yang harus bertanggung jawab memelihara keserasian hubungan penduduk dan lingkungan. Merupakan kewajiban manusia dengan konsekuensinya adalah pengurangan kebebasan individu yaitu pembatasan kelahiran. Selain itu, ada pandangan lain yang mengambil jalan tengah, bahwa dunia akan menghadapi serangkaian problema transisi. Ini terjadi karena adanya keharusan untuk mengsubstitusi sumber daya alam. Ini disebabkan adanya pergeseran sumber energi dari minyak dan gas alam ke sumber tenaga lainnya. Sebagai akibatnya ada negara yang diuntungkan, tetapi ada pula yang dirugikan. Lebih lanjut dikatakan bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dan penduduk perlu dikurangi karena dapat mempengaruhi intensitas maupun frekuensi masalah penduduk dan lingkungan. c. Teori Keluarga Berencana Penganut paham keluarga berencana menyebutkan bahwa hak dan kewajiban orang tua untuk menentukan secara bebas tetapi bertanggung jawab tentang jumlah maupun jarak anak. Rencana Program Aksi Kependudukan Dunia 1974, 1984 dan ditegaskan kembali 1994, semua pasangan atau individu mempunyai hak secara bebas tetapi harus bertanggung jawab apakah mereka akan atau tidak punya anak. Negara berkewajiban untuk meningkatkan pengetahuan tentang cara-cara untuk menanggulangi sebab-sebab kemandulan, ketidaksuburan dan fertilitas. Kebijakan yang berbasis keluarga berencana lebih bersifat sukarela daripada paksaan. Strategi pengendalian jumlah penduduk adalah menyediakan akses terhadap alat kontrasepsi, pendidikan dan kesehatan. Strategi ini dilandasi anggapan dasar bahwa keputusan sukarela ini akan mampu mencapai tingkat kelahiran yang dikehendaki oleh masyarakat maupun negara/pemerintah. Pengaturan jumlah dan jarak kelahiran anak 76 memang diserahkan pada setiap rumah tangga, meskipun harus mempertimbangkan asas keadilan bagi sesama. Jika Anda sangat mampu mempunyai 10 anak dan mampu pula membiayai pendidikan dan telah memutuskan 10 anak yang akan dimiliki. Ini berarti Anda telah mengambil hak anak dari orang lain dalam hal mengikuti pendidikan, anak, sebab jumlah anak Anda 10. d. Teori Pemerataan Pembangunan Kelompok paradigma pemerataan pembangunan bertumpu pada pikiran bahwa penurunan laju pertumbuhan penduduk yang dalam hal ini kelahiran berhubungan erat dengan modernisasi. Peningkatan serta pemerataan pendapatan yang lebih merata, akses terhadap kesejahteraan sosial, kesehatan yang baik dan pemerataan pendidikan mempunyai andil yang cukup besar dalam penurunan fertilitas. Paling tidak ada enam hal yang mendasari perlunya suatu kebijakan pengendalian jumlah penduduk yakni: 1. Penyediaan layanan kesehatan yang baik untuk semua penduduk. 2. Penanggulangan buta huruf-aksara, peningkatan pendidikan, pangan dan gizi utamanya bagi perempuan hamil dan mempunyai anak balita. 3. Penciptaan kesempatan kerja di sektor pertanian dengan sistem padat karya. 4. Peningkatan status dan hak perempuan. 5. Peningkatan kesejahteraan sosial bagi penduduk lanjut usia. 6. Perbaikan distribusi pendapatan dan peningkatan kesempatan untuk mendapatkan kesejahteraan. Para pengikut paradigma pemerataan pembangunan mengakui bahwa beberapa kebijakan tersebut cukup sulit dilaksanakan. Akan tetapi, semuanya berupaya untuk melaksanakan penurunan laju pertumbuhan penduduk akan dapat dicapai apabila ada peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi penduduk terlebih dahulu sebelum perencanaan kependudukan dilakukan. 77 Menurut penganut ini, kontrasepsi yang paling baik adalah pembangunan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Ada empat landasan teoritis telah dibahas sebagai dasar pemerintah melakukan intervensi perencanaan kependudukan pada negara tertentu dan kurun waktu tertentu. Pada umumnya di negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia dan Jepang sebagian besar mengikuti paham keluarga berencana. Pada sisi lain, negara-negara sosialis seperti RRC cenderung memilih aliran pemerataan pembangunan atau deontik. Meskipun demikian, para pemimpinnya cenderung memilih teori lingkungan untuk mempertahankan kebijakan kependudukan. Di kawasan Asia Selatan seperti India, Pakistan dan Bangladesh cenderung menganut paham distribusi pembangunan dan keluarga berencana. Di Singapura, kebijakan kependudukan lebih menonjol pada aliran teori deontik. Di Malaysia, Thailand dan Filipina mengikuti pemikiran pemerataan pembangunan dan keluarga berencana. Kemudian di Indonesia cenderung mengikuti pemikiran deontik, keluarga berencana dan pemerataan pembangunan. Anda perlu memahami bahwa perencanaan kependudukan antara negara yang satu dengan yang lain dapat berbeda. Di Indonesia sendiri teori deontik dan pemerataan pembangunan cukup mudah diterima sebagai landasan berpikir perencanaan kependudukan, namun tidak demikian dengan keluarga berencana. Berkat sosialisasi yang cukup intensif kepada tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat sendiri akhirnya kebijakan keluarga berencana dapat diterima sebagai perencanaan kependudukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pelaksanaan keluarga berencana sangat sukses. Kesuksesan pelaksanaan keluarga berencana ini menjadikan Indonesia dalam hal ini BKKBN menjadi pusat pelantihan pengelolaan keluarga berencana pada skala internasional. Cukup banyak dari negara sedang berkembang mengikuti pelatihan dan studi lapangan di Indonesia. 78 Akan tetapi di era desentralisasi dan otonomi daerah, keadaan ini berubah sangat drastis. Pengelolaan pengendalian kependudukan (baca: keluarga berencana) dan peningkatan kualitas penduduk di sebagian besar daerah terabaikan. Oleh Daud Yusuf (2008) dikatakan Indonesia telah lalai mengelola kependudukan sehingga jumlah penduduk yang sangat besar justru menjadi beban dalam pembangunan. Kemudian paham teori deontik dan pemerataan pembangunan tidak mendapat penolakan dari berbagai tokoh agama, tokoh masyarakat maupun penduduk itu sendiri. Akan tetapi era otonomi daerah-desentraslisasi sepertinya respon masyarakat agak berbeda dibandingkan era sebelumnya dalam hal jumlah penduduk. Perencanaan Kependudukan di Indonesia Menjelang akhir 2008, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memaparkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2024. Rencana Pembangunan ini dirinci ke dalam RPJMN Tahap I (2005-2009), RPJMN Tahap II (2010-2014), RPJMN Tahap III (2015-2019) dan RPJMN Tahap IV (2020-2024). Pola umum RPJMN 2004-2009 dirinci kedalam empat hal yakni: (1) permasalahan yang sedang dan akan dihadapi di masa mendatang, (2) sasaran yang ingin dicapai saat ini dan saat mendatang, (3) arah kebijakan dan (4) programprogram pembangunan. Rincian dari setiap tahap pembangunan secara umum dapat diliat pada Figure 1. Dari RPJMN 2005-2024 di bagi ke dalam empat tahap pembangunan dan setiap tahap dijabarkan ke dalam lima program tahunan, mirip dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di era orde baru. Seperti telah dibahas pada bagian awal dari kegiatan belajar ini, RPJMN 2005-2009 dijabarkan ke dalam 36 sektor/bidang pembangunan. Untuk setiap bidang, dibagi ke dalam empat aspek yaitu: permasalahan, sasaran, arah kebijakan dan program pembangunan. Apabila dibaca secara teliti kemudian untuk setiap tahap pembangunan, baik secara langsung maupun tidak langsung selalu ada 79 sektor atau bidang yang berhubungan dengan kependudukan. Pada RPJMN I (2005-2009 satu diantara empat perencanaan pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraaan yang lebih baik. Pada RPJMN II (2010-2014) satu di antara empat aspek adalah meingkatkan kualitas sumber daya manusia. Kemudian pada RPJMN III (2015-2019), satu di antara tiga aspek yang ada adalah --- di berbagai wilayah yang didukung oleh sumber daya manusia berkualitas. Dan pada RPJMN IV (2020-2024) satu di antara tiga aspek yang ada adalah --- di berbagai wilayah yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Perencanaan kependudukan selama RPJPN nampak jelas titik berat pada peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui terkendalinya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk serta menurunnya kesenjangan kesejahteraan antar individu, antar kelompok masyarakat dan antar daerah. Pencapaian tujuan tersebut dapat dipercepat melalui pengendalian pusat-pusat pertumbuhan potensi daerah di luar Jawa-Bali. Suatu rencana yang berkesinambungan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dengan meningkatkan pembangunan di daerah untuk mengurangi kesenjangan sosial, keberpihakan pada daerah/wilayah yang masih lemah, mengurangi kemiskinan dan pengangguran dalam berbagai bentuk merupakan prioritas utama yang harus segera dilakukan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Rpjpn) Indonesia 20052025 80 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Rpjpn) Indonesia 2005-2025 RPJMN I (2005-2009) Menata kembali NKRI Membangun Indonesia yang aman dan damai Membangun Indonesia yang adil dan demokratis Menciptakan kesejahteraan yang lebih baik RPJMN II (2010-2014) RPJMN III (2015-2019) RPJMN VI (2020-2024) Memantapkan penataan kembali NKRI Memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur Membangun daya saing kompetitif perekonomi-an berlandaskan ke-unggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ber-kualitas serta Percepatan pemangunan di segala bidang Meningkatkan kualitas SDM Membangun kemampuan IPTEK Memperkuat daya saing perekonomian Meningkatkan kemampuan IPTEK Membangun struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing Sumber: Harian Kompas, Tanggal 22 dan 23 Desember 2008 81 Pada tataran di daerah, di propinsi,kabupaten dan kota, RPJPN tersebut diterjemahkan atau digunakan sebagai penyusunan perencanaan pembangunan jangka panjang maupun jangka menengah di propinsi. Dan pada gilirannya penyusunan perencanaan pembangunan di kabupaten/kota masih mengacu pada propinsi dengan lebih menekankan pada potemsi lokal yaitu kabupaten/kota. Aspek potensi lokal inilah yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan kabupaten/kota dengan tidak perlu meninggalkan kerangka perencanaan dasar pembangunan nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Pada giliran berikutnya, Bappenas menyebutkan bahwa bangsa yang maju memiliki karakteristik pokok: 1) Mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas yaitu mempunyai kepribadian bangsa, berakhlak mulia dan berpendidikan tinggi. 2) Memiliki laju pertumbuhan penduduk yang rendah, angka harapan hidup yang tinggi dan kualitas layanan sosial yang lebih baik yang tercermin pada angka produktivitas kerja yang tinggi. 3) Mempunyai pendapatan per kapita yang tinggi dan terdistribusi merata, sektor industri dan sektor jasa yang maju sebagai tumpuan pertumbuhan ekonomi. 4) Memiliki sistem kelembagaan politik, hukum dan kemasyarakatan yang mantap. D. Latihan 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan perencanaan! 2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan perencanaan kependudukan! 3. Jelaskan apa yang dmaksud dengan kebijakan kependudukan! 4. Jelaskan teori deontik sebagai landasan dasar perencanaan kependudukan! 5. Jelaskan perbedaan pokok tesis titik batas dan tesis gemah ripah dalam teori lingkungan sebagai dasar perencanaan kependudukan! 82 6. Jelaskan mengapa teori keluarga berencana tidak dianggap melanggar hak asasi manusia! 7. Jelaskan argumentsi teori pemerataan pembangunan dalam perencanaan kependudukan! 8. Jelaskan dengan diagram rencana pembangunan jangka panjang nasional (2005-2025) ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)! 9. Jelaskan pola umum RPJMN ke dalam empat aspek! 10. Jelaskan kriteria bangsa yang maju menurut pengukuran Bapennas! 83 No. Modul : 10 Pertemuan : 11 Pokok Bahasan : Kebijakan Kependudukan Sektoral A. Kata Kunci 1. Yang dimaksud dengan kebijakan 2. Kebijakan kependudukan di Indonesia B. Pertanyaan / Perintah Diskusi Apa manfaat evaluasi dari sebuah kebijakan yaitu kebijakan kependudukan C. Materi Setelah konferensi kependudukan dunia ke dua (1984) di Meksiko, penduduk dan pembangunan berkelanjutan menjadi isu yang ramai dibahas. Dunia merasa was-was dan khawatir akan terjadinya kerusakan lingkungan sebagai akibat perilaku penduduk yang tidak terkendali. Saling tuduhmenuduh dan menyalahkan antara kelompok negara utara yang kaya nan maju dan kelompok negara selatan yang miskin tidak terelakkan. Kelompok utara menuduh kelompok selatan, pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan. Sebaliknya kelompok selatan ganti membela diri dengan melancarkan tuduhan bahwa rusaknya lingkungan di selatan lebih disebabkan oleh konsumsi hasil hutan yang berlebihan di negara utara. Bagimana pendapat Anda, apakah pertumbuhan penduduk yang tinggi di selatan bukan merupakan penyebab utama. Perdebatan tersebut mengungkit kembali teori Malthus yang masih menjadi kontroversi sejak dipresentasikan hingga saat ini. Bertitik tolak dari teori Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan sumber daya. Muncullah kekhawatiran akan kekurangan sumber daya untuk dapat mencukupi kebutuhan manusia. Salah satu dampak dari pelaksanaan pembangunan telah terjadi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan penduduk. Akan tetapi pada sisi lain, untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut peningkatan 84 kegiatan eksplorasi sumber daya alam semakin tidak terkendali. Kekhawatiran akan semakin cepatnya persediaan sumber daya alam bagi generasi mendatang semakin sering diperdebatkan. Masalah pembangunan kependudukan berkelanjutan pada dasarnya pada pertumbuhan penduduk yang masih tinggi dan persediaan sumber daya alam justru semakin berkurang. Diperlukan suatu tindakan nyata untuk menangani masalah ini dalam suatu wadah kebijakan kependudukan. N. Haidy Pasay dalam Ananta dan Sukarna Wirama (1993) mengutip pendapat Ricardo bahwa sebelum luas tanah habis, telah lama terjadi masalah kependudukan. Sebagai akibat jumlah dan pertumbuhan penduduk kebutuhan akan tanah meningkat pula. Tanah yang subur lama-kelamaan akan habis, dan tanah marginal pun terpaksa digunakan sehingga hasilnya tidak akan optimal. Kemajuan teknologi akan dapat mengatasi berbagai kemungkinan yang terjadi, namun pertanyaan yang perlu dijawab oleh diri sendiri adalah seberapa banyak penduduk dapat memanfaatkan sumber daya yang ada? Pemanfaatan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dapat sebanyak-banyaknya, namun harus bertanggung jawab untuk memperbaharuinya. Namun bagaimana untuk sumber daya yang tidak terbaharui? Komite mandiri menyarankan bahwa pemanfaatan sumber daya alam perlu dikendalikan dan dibatasi agar degradasi lingkungan dapat di hindari. Di Indonesia, hubungan antara penduduk dan pembangunan lingkungan belum jelas dalam kebijakan pembangunan. Melalui Trilogi Pembangunan lebih ditujukan pada pertumbuhan ekonomi dan sangat kurang memperhatikan kualitas manusia baik kualitas fisik maupun non fisik. Kebijakan kependudukan dan lingkungan sudah mendapatkan prioritas, seperti munculnya Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Namun dalam perkembangan berikutnya hingga saat ini, justru kementerian tersebut dikurangi perannya. Kementerian Lingkungan Hidup masih dipertahankan, sedangkan Kependudukan ditiadakan. Permasalahn kependudukan merupakan permasalahan antar sektor sehingga diperlukan 85 kementerian tersebut. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah, peran BKKBN sebagai lembaga koordinasi antar departemen dikurangi. Dengan demikian tidak ada lembaga yang khusus menangani kebijakan kependudukan. Menurut Daud Yusuf (2008) dalam tulisannya tentang Historis Demografisme, pemerintah telah lalai menangani permasalahan kependudukan pada era desentralisasi ini. Sebagai akibatnya angka kelahiran cenderung stagnan atau meningkat, derajat kesehatan semakin terpuruk yang ditandai IMR dan MMR masih tinggi. Dampaknya adalah angka pertumbuhan penduduk relatif tetap. Jumlah penduduk yang sudah cukup besar menjadi lebih besar lagi jumlahnya dengan kualitas rendah. Kesemuanya ini lebih memberikan beban dalam pelaksanaan pembangunan. Kebijakan kependudukan yang ada semestinya lebih menekankan pada pengendalian jumlah dan pertumbuhan sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kebijakan kependudukan adalah suatu kegiatan langsung maupun tidak langsung yang membantu tercapainya tujuan kependudukan, sosial dan ekonomi. Berbagai tindakan tersebut ditujukan untuk mempengaruhi variabel kelahiran, kematian dan mobilitas penduduk yang bersifat permanen maupun tidak permanen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa program tersebut diupayakan dapat mempengaruhi variabel-variabel kependudukan maupun kebijakan yang menanggapi perubahan-perubahan kependudukan. Pada umumnya, tujuan dari kebijakan kependudukan berhubungan dengan jumlah penduduk, sebaran teritorial, pertumbuhan dan struktur kependudukan, terutama umur, pendidikan, kesehatan, pangan dan gizi serta kebutuhan dasar lainnya. Apabila suatu negara ingin meningkatkan jumlah penduduk, maka negara tersebut mengikuti kebijakan pro natalis yaitu meningkatkan jumlah kelahiran. Sebaliknya, aliran anti natalis atau anti kelahiran berusaha agar pertumbuhan penduduk menjadi rendah untuk mencapai jumlah tertentu. Jadi pro natalis dan anti natalis berhubungan dengan jumlah dan angka 86 pertumbuhan penduduk. Suatu negara dapat menentukan sendiri apakah memilih anti natalis atau pro natalis. Seperti Anda ketahui Indonesia pada awalnya menganut paham pro natalis (era orde lama) berubah menjadi anti natalis sejak Orde Baru. Malaysia dan Singapura pada awalnya pro natalis kemudian ke anti natalis dan setelah itu berganti haluan ke pro natalis lagi, namun gagal. Hal yang sama juga dialami di Eropa Barat, Asia Timur dan Asia Pasifik mengalami hal yang sama seperti Malaysia, Singapura dan Indonesia. Seperti Anda ketahui ketahui di sektor yang berhubungan dengan kependudukan minimal ada enam sektor. Pada kesempatan ini hanya dipaparkan beberapa saja yang cukup populer hingga menjelang akhir RPJMN I (2004-2009). Di Indonesia ada beberapa kebijakan kependudukan yang sangat populer pada lingkup internasional maupun nasional. Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yaitu aparatur negara tetapi juga governance yang menyangkut pengelolaan sumber daya. Pada intinya kebijakan merupakan keputusan atau pilihan tindakan yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya untuk kepentingan individu, masyarakat, wilayah maupun negara. Kebijakan merupakan hasil dari sinergi, kompromi bahkan kompetisi dari berbagai gagasan, teori, idiologi serta berbagai kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara. Masalah kependudukan lebih dikenal masuk dalam kelompok kebijakan sosial. Kebijakan sosial mencakup pula kebijakan publik, hukum dan kelembagaan serta pelayanan sosial (Suharto,2007). Lebih lanjut disebutkan oleh Suharto (2007), pelayanan sosial mencakup jaminan sosial (social security), perumahan dan lingkungan tempat tinggal, kesehatan, pangan dan pendidikan. Dalam perkembangannya, pelayanan sosial yg diselengggarakan oleh pemerintah berkembang mencakup banyak aspek atau multi aspek. Oleh karena itu banyak bantuan dan dukungan 87 dari organisasi non pemerintah atau sering disebut lembaga swadaya pemerintah asi. Dalam hal ini, evaluasi yang dilakukan untuk membantu pembuat kebijakan dalam menentukan apakah program yang ada perlu dipertahankan dan atau diperlukan kebijakan baru? Untuk ini dapat menggunakan model evaluasi seperti evaluasi ketepatan, efektifitas, efektifitas biaya dan efisiensi. Evaluasi kebijakan kependudukan model ini dapat dilakukan melalui variabel input, proses, output dan dampak. Setiap indikator input, proses, output dan dampak terdiri dari beberapa variabel terpilih yang sensitif untuk mengukur indikator tersebut. Beberapa di antaranya yang relevan dengan kebijakan kependudukan, adalah sebagai berikut: Kebijakan Transmigrasi Kebijakan distribusi penduduk yang lebih dikenal dengan transmigrasi dimulai sejak pertengahan abad ini oleh pemerintah Hindia Belanda. Melalui program Kolonisasi telah dipindahkan penduduk dari beberapa daerah di pulau Jawa ke daerah di luar Jawa, terutama ke pulau Sumatra. Usaha redistribusi penduduk ini merupakan bentuk nyata kebijakan kependudukan meskipun hasilnya tidak sedemikian besar (Heeren, 1979). Banyak hambatan yang dihadapi pemerintah Hindia Belanda, namun hingga menjelang perang dunia ke II, kebijakan redistribusi melalui kolonisasi menjadi penting artinya. Inilah awal kebijakan kependudukan yang masih dilaksanakan hingga saat ini, dengan beberapa penyesuaian (Hardjono, 1982). Setelah Indonesia merdeka, kolonisasi tetap diteruskan dengan nama transmigrasi. Konsep transmigrasi yang dilaksanakan sejak awal Indonesia merdeka merupakan bentuk kebijakan kependudukan. Kebijakan ini ditujukan untuk mengurangi penduduk di pulau Jawa dengan cara dipindah ke berbagai daerah di luar Jawa (Yudohusodo, 1998). Dalam rencana Tambunan direncanakan transmigrasi secara besar-besaran untuk menurunkan angka pertumbuhan penduduk di Jawa yang sekaligus mengurangi jumlah absolut penduduk di Jawa. Rencana Tambunan ini lebih dikenal dengan tujuan 88 demografi sentris, sehingga sejak 1972 sasaran transmigrasi diperluas hingga menjadi tujuh sasaran. Salah satu sasaran ini menyangkut transmigrasi dan satu aspek lagi adalah sasaran demografi. Ketujuh sasaran tersebut adalah sebagai berikut: a. Peningkatan kesejahteraan penduduk di daerah asal dan daerah tujuan. b. Pembangunan daerah di luar Jawa. c. Keseimbangan persebaran penduduk dan pemanfataan sumber daya. d. Pemerataan pembangunan di seluruh daerah. e. Pemerataan tenaga kerja dan pemanfaatan sumber daya alam. f. Membangun persatuan dan kesatuan bangsa. g. Memperkuat pertahanan dan keamanan nasional. Kebijakan transmigrasi mencakup banyak aspek, segi politik, ekonomi wilayah, sosial budaya pendatang dan penduduk lokal sehingga banyak kendala yang harus dihadapi (Rukmadi Warsito dkk, 1984 dan Raharjo, 1983). Kebijakan transmigrasi merupakan kebijakan sektoral dan regional. Oleh karenanya transmigrasi diarahkan pada bentuk-bentuk pembangunan regional seperti transmigrasi lokal, transmigrasi swakarsa mandiri, transmigrasi perkebunan, transmigrasi industri, transmigrasi nelayan serta bentuk-bentuk transmigrasi lainnya sampai kota mandiri transmigrasi. Menurut Nangoi (1993) dan Lepang (2003) keanekaragaman tipe transmigrasi ini diharapkan mendorong niat penduduk untuk berpindah dalam rangka pembangunan daerah asal maupun daerah tujuan. Pengembangan empat kota yang termasuk dalam rencana strategis ketransmigrasian diharapkan dapat menyerap 96.400 keluarga tenaga kerja langsung. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengatakan bahwa pembangunan KTM di Sulawesi diharapkan bisa mengakselerasi pertumbuhan 89 perekonomian kawasan di sekitarnya sehingga dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru dan pengentasan warga dari kemiskinan. Keempat KTM yang dibangun tahun ini adalah KTM Pawonsari, KTM Air Terang, Kapupaten Buoli, Sulawesi Tengah; KTM Bungku, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah; dan KTM Mahalona, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Dari rencana investasi senilai Rp. 3,5 triliun, sebanyak Rp. 716,2 milliar merupakan investasi pemerintah. Adapun Rp. 2,8 triliun berasal dari swasta nasional. KTM adalah konsep baru transmigrasi yang diluncurkan Menakertrans sejak tahun 2006. Pemerintah bekerja sama dengan investor swasta menyiapkan KTM sebagai sentra produksi agrobisnis terpadu, mulai lahan pertanian sampai industri pengolahan. Keterpaduan ini diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan satu kawasan. Para peserta transmigrasi dan penduduk setempat akan dibantu mengembangkan komoditas pertanian unggulan, seperti padi, jagung, kedelai, kelapa, kelapa sawit, dan peternakan sapi (Suparno, 2007). Mereka yang dibina oleh investor yang akan menampung hasil produksi pertanian di kawasan tersebut. Pembangunan KTM akan memangkas waktu yang dibutuhkan pemukiman transmigrasi menjadi kota, dari 30 tahun menjadi cukup 15 tahun. Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) membantu terwujudnya pembangunan fungsi perekonomian untuk pusat perekonomian dan sosial wilayah. Ini program yang masih dalam uji coba dan belum dilaksanakan secara nasional. Cukup banyak benturan kepentingan antara masyarakat dan pemerintah daerah karena persepsi tentang KTM yang berbeda-beda (Kompas, 21 November 2008: 18) 90 Hak Transmigran Swakarsa Petani Peserta Proyek Kebijakan Urbanisasi Disparitas keadaan dan potensi antar wilayah di Indonesia merupakan situasi yang mendukung akan terjadinya mobilitas penduduk dalam bentuk mobilitas non permanen seperti sirkulasi dan ulang-alik. Mobilitas permanen yang lebih dikenal dengan migrasi dan transmigrasi merupakan istilah khusus perpindahan permanen dari Jawa-Bali dan NTT, NTB ke luar daerah tersebut. Urbanisasi yang di Indonesia lebih populer dengan perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan. Menurut Keban (1996) urbanisasi dapat pula diartikan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan yang seringkali dinyatakan dengan parameter tingkat dan tempo urbanisasi. Keduanya ditujukan untuk mengukur kecepatan urbanisasi. Kecenderungan meningkatnya urbanisasi di Indonesia sekiranya perlu diwaspadai. Ketika sensus penduduk pertama kali (1961) penduduk perkotaan baru mencapai sekitar 15 persen dan pada tahun 1971 bertambah menjadi 17,4 persen dan menjadi 22,3 persen pada 1980. Pada 1990 telah mencapai 30,9 persen, kemudian menjadi 41,8 persen pada 2000. Dengan demikian telah terjadi disparitas persentase penduduk perdesaan dan perkotaan, dan muncul pula aglomerasi perkotaan di Indonesia, seperti kota Medan, Palembang, DKI Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Malang serta Makasar. Pertumbuhan penduduk di kota-kota tersebut sangat tinggi, meskipun ada tanda-tanda sedikit mengalami pelambatan, terutama daerah inti kota. Wilayah pinggiran yakni daerah di luar inti kota pertumbuhan 91 penduduknya sangat tinggi, kemudian diikuti pertumbuhan penduduk rendah bahkan minus di daerah di luar pinggiran inti kota atau yang jauh dari daerah inti kota (Tukiran, 2007). Menurut Alan dan Gugler (1996) cukup banyak pemerintah kota, terutama kota metropolitan dan kota besar di negara sedang berkembang melaksanakan berbagai kebijakan untuk mengerem sekaligus menurunkan pertumbuhan penduduk metropolitan dan kota besar. Kebijakan memacu pertumbuhan penduduk di kota sedang dan kota-kota kecil melalui pembangunan sarana dan prasarana perkotaan yang mendukung berbagai investasi di daerah tersebut. Perpindahan penduduk dari perdesaan akan ditampung di kota-kota kecil dan kota-kota sedang. Dengan demikian, kemerosotan kemampuan daya dukung kota metropolitan dan kota-kota besar dapat dikurangi. Pertumbuhan wilayah kumuh (slum) dapat dikendalikan. Kebijakan pengembangan kota-kota kecil dan kota-kota sedang di negara sedang berkembang tidak berhasil dengan baik, kalau boleh dikatakan gagal karena dominasi kota metropolitan dan kota besar. Akibatnya terjadi depopulasi di perdesaan dan konsentrasi yang berlebih di kota besar dan kota metropolitan yang tidak dapat dikendalikan. Di Indonesia, urbanisasi dianggap salah satu model arah perpindahan penduduk dan tidak selalu dipandang sebagai permasalahan. Urbanisasi pekerja dari perdesaan ke perkotaan dapat mengisi kekosongan tenaga kerja, utamanya pekerja kasar minim ketrampilan dari perdesaan. Urbanisasi dianggap dapat membantu pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan, jika upah pekerja perdesaan yang ada di perkotaan dapat dimanfaatkan di daerah asal yakni perdesaan. Banyak kasus dijumpai desa-desa perdesaan mencapai kemajuan yang pesat karena peran para urbanis. Urbanisasi berlebih yang melampaui daya tampung baru menjadi masalah di perkotaan. Para urbanis tingal di daerah kumuh (slum) dan ilegal karena secara materi mereka tidak mampu dalam segala hal. Sebagian besar bekerja pada sektor informal menempati ruang publik yang semestinya tidak sesuai dengan peruntukannya. 92 Potensi sumber daya alam di perdesaan pun tidak dapat dikelola dengan baik karena sebagian besar mereka telah meninggalkan daerah perdesaan tersebut. Daerah perdesaan kehilangan pekerja potensial sebagai penggerak pembangunan. Pada saat ini pemerintah di berbagai kota metropolitan dan kota besar di Indonesia telah terjadi urbanisasi berlebih yang jauh melampaui daya dukung kota itu sendiri. Untuk mengurangi sekaligus menanggulangi dampak negatif tersebut, banyak peraturan daerah dibuat guna mengurangi dampak dari urbanisasi berlebih. Sebagai contoh yang telah terjadi mulai dari Jakarta tertutup bagi pendatang. Artinya bagi yang tidak mempunyai ketrampilan dan atau pekerjaan dilarang datang ke metropolitan Jakarta. Hal yang sama juga berlaku untuk metropolitan kota Surabaya dan kota-kota besar lainnya. Malahan ada sepotong lagu: “Siapa suruh datang ke Jakarta”, operasi justisi KTP, Kartu Keluarga dan sejenis yang semuanya tidak efektif menghentikan para urbanis. Bagi para urbanis, pindah ke kota besar adalah sebuah harga diri agar menjadi orang kota yang identik sebagai orang terpilih dan dihormati di daerah asal, apabila melakukan mudik ke desa yaitu ke daerah asal. Kebijakan Keluarga Berencana Kebijakan keluarga berencana dimulai sejak awal 1972, dan sangat populer di lingkup internasional. Program ini dilaksanakan secara intensif di seluruh wilayah Indonesia sejak Pelita III. Pada Pelita I pelaksanaan keluarga berencana dimulai di pulau Jawa – Bali I dan Pelita II dimulai di luar JawaBali I dan pelita III di daerah luar Jawa-Bali II. Program yang kemudian berganti menjadi gerakan KB dapat mengubah pandangan masyarakat yang cenderung pro natalis menjadi anti natalis. Artinya adalah pandangan kuantitas yaitu jumlah yang banyak telah berubah menjadi kualitas yang lebih menekankan pada kesejahteraan yang selalu meningkat mulai dari individu, masyarakat dan negara. Kesejahteraan rumah tangga dan warga Indonesia dapat dicapai apabila setiap keluarga mau ikut dan berperan serta bertanggung 93 jawab dalam hal jumlah anak. Kebijakan pelaksanaan KB di seluruh wilayah Indonesia yang mendapat komitmen para pemimpin pusat hingga daerah merupakan produk paling sukses di era Orde Baru. Menurut Berelson (1989), dibalik keluarga berencana (beyond family planning) merupakan upaya konkrit untuk mempertemukan tiga pandangan tentang: a. Pandangan yang menyatakan bahwa penurunan fertilitas hanya dapat dicapai melalui pembangunan ekonomi. Apabila keadaaan ekonomi maju, kesejahteraan meningkat, fertilitas akan menurun secara otomatis, pertumbuhan penduduk menjad semakin rendah. b. Pandangan yang mengatakan bahwa perubahan nilai-nilai sosial kemasyarakatan akan mengurangi peranan anak dalam kehidupan keluarga dan jaminan di hari tua. Jika pandangan ini berubah, maka keinginan mempunyai banyak anak semakin berkurang. Fertilitas dengan sendirinya akan berkurang dan pertumbuhan penduduk menjadi lebih rendah. c. Pandangan yang menyatakan apabila program keluarga berencana dikelola dengan baik seperti meningkatkan mutu dan mendekatkan palayanan bagi yang membutuhkan maka fertilitas dapat diturunkan pula. Kuncinya adalah peningkatan kualitas layanan kontrasepsi yang mudah didapat, murah harganya dan terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan. Beberapa negara cukup berhasil dalam menurunkan pertumbuhan penduduk melalui reduksi fertilitas dan mortalitas dalam dua dasa warsa terakhir ini seperti yang dialami oleh Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura dan Philipina. Negara-negara tersebut melaksanakan program keluarga berencana secara bersama-sama dengan pembangunan ekonomi dan sosial yang saling menunjang. Pelaksanaan keluarga berencana berjalan bersamasama dengan peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Kesuksesan Indonesia dalam pelaksanaan KB untuk mereduksi pertumbuhan penduduk dengan 94 mengkombinasikan antara pembangunan ekonomi, penurunan anak dalam kehidupan rumah tangga dan pengelolaan keluarga berencana secara baik dan berkesinambungan (Wirosuhardjo, 1983). Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Menurut Pattinasarany (2008) ada beberapa ciri utama kemiskinan yang ada di Indonesia. Menurut Bank Dunia (2007) dan Komite Penanggulangan Kemiskinan (2005) penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat dan serempak karena permasalahan kemiskinan yang multi aspek. Penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara bertahap, terpadu dan sinergis serta terencana dengan melibatkan berbagai pihak. Pada awalnya, diperlukan rencana penanggulangan kemiskinan yang akan dicapai melalui strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan seperti Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Dilaksanakan secara bertahap melalui penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar penduduk miskin. Sebagai contoh pembahasan materi kebijakan kependudukan bidang kemiskinan, diambil dari rencana dan kebijakan penanggulangan kemiskinan Indonesia 2005-2009. Rencana penanggulangan kemiskinan dirinci ke dalam empat rencana, dan setiap rencana tersebut dibagi ke dalam berbagai kebijakan seperti berikut: 1. Rencana Pengelolaan Ekonomi Makro a. Penciptaan stabilitas ekonomi makro b. Peningkatan pertumbuhan ekonomi c. Perluasan kesempatan kerja dan berusaha d. Pengurangan kesenjangan antar wilayah 2. Rencana Pemenuhan Hak Dasar a. Pemenuhan hak atas pangan b. Pemenuhan hak atas layanan kesehatan 95 c. Pemenuhan hak atas pendidikan d. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan berusaha e. Pemenuhan hak atas perumahan f. Pemenuhan hak atas air bersih dan sanitas g. Pemenuhan hak atas tanah h. Pemenuhan hak atas rasa aman i. Pemenuhan hak untuk berpartisipasi 3. Rencana Perwujudan Keadilan dan Kesetaraan Jender 4. Rencana Pengembangan Wilayah Pendukung Pemenuhan Hak dasar a. Percepatan pembangunan perdesaan b. Pembangunan perkotaan c. Pengembangan kawasan pesisir d. Percepatan pembangunan daerah tertinggal Kebijakan Perluasan Kesempatan Kerja Laporan hasil Survai Angkatan Kerja Nasional bulan Februari 2005 dan 2007 (BPS, 2007) menunjukkan jumlah angkatan kerja sekitar 105,8 juta bertambah menjadi 108,1 juta. Jumlah penganggur terbuka mengalami penurunan dari 11,0 juta menjadi 10,8 juta. Jumlah pekerja setengah penganggur mengalami peningkatan dari 29,6 juta menjadi 30,2 juta. Tingginya jumlah penganggur dan pekerja setengah penganggur karena jumlah jam kerja yang rendah lebih disebabkan karena terbatasnya kesempatan kerja yang ada. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menyusun rencana perluasan kesempatan kerja melalui tiga jurus utama yaitu: a. Perencanaan perluasan kesempatan kerja dengan menambah atau memperluas peluang kerja ke luar negeri (TKI) dari 15 negara menjadi 30 96 negara tujuan. Dengan perluasan daerah negara tujuan diharapkan target perluasan kesempatan kerja baru 2008 sebanyak 750 ribu kesempatan kerja dapat dicapai. b. Perluasan kesempatan kerja melalui program transmigrasi berparadigma baru. Konsep dan perencanaannya membangun kota terpadu mandiri di kawasan transmigrasi. Menurut rencananya pada tahun pertama ini (2007) dapat menampung sekitar 10.200 kepala rumah tangga atau sekitar 88 ribu tenaga kerja baru. Dari kedua rencana tersebut akan tercipta kesempatan kerja baru sekitar 1,5 juta. Jika rencana ini terrealisasi pada 2007 maka jumlah penganggur akan menurun menjadi sekitar 9,3 juta atau angka penganguran terbuka menurun dari 10,4 persen menjadi 9,6 persen. Perencanaan perluasan kesempatan kerja pada penanggulangan krisis ekonomi 1997 melalui Jaring Pengaman Sosial (JPS) seperti program padat karya. Program padat karya ditujukan untuk pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), usahanya berhenti karena krisis ekonomi, musim kemarau yang berkepanjangan, gagal panen maupun sebab-sebab lainnya. Mereka yang mengikuti atau bekerja pada program ini mendapatkan sejumlah imbalan atau upah. Pada periode tersebut banyak pula program yang tidak secara langsung menciptakan perluasan kesempatan kerja, tetapi lebih ditujukan untuk meningkatkan ketrampilan. Beberapa di antaranya adalah Pengembangan Tenaga Kerja Muda Terdidik (TKMT), prgram magang, Antar Kerja Lokal (AKL), Antar Kerja Antar Daerah (AKAD), dan Antar Kerja Antar Negata (AKAN). Programprogram pada kelompok ini tidak begitu jelas berapa jumlah kesempatan kerja baru dari berbagai program-program tersebut. Secara umum kebiakan perluasan kesempatan kerja yang disusun berdasarkan perencanaan perluasan kesempatan kerja dapat digambarkan sebagai berikut: c Perbaikan iklim investasi diharapkan mampu menarik investor asing maupun dalam negeri. Dari berbagai investasi ini diharapkan dapat 97 menciptakan kesempatan kerja baru. Apabila dimungkinkan investasi ini lebih ditekankan pada padat karya atau setengah padat karya di daerah perdesaan. Jika hal ini dapat dilakukan diharapkan sebagian dari masalah pengangguran dapat dikurangi. Sistematik Kebijakan Perluasan Kesempatan Kerja ( menurut Suroto, 1992: 401 ) 3 2 Penetapan Target Indikatif Sektor berdasarkan Kebutuhan Analisis Kecenderungan Masa Lalu dan Proyeksi ke Depan 5 Analisis Potensi 4 1 Identifikasi Program Sektoral Pengumpulan dan Pengolahan Data Pasar Kerja 6 Analisis Kendala 7 8 Penetapan Target Operasional Atas Dasar Potensi dan Sumber Identifikasi Sumber 11 Pemantauan 9 Persiapan Pelaksanaan Program/Proyek 10 Pelaksanaan Proyek Sektoral Kebijakan dan Perlindungan Sosial Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan dan perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai segala upaya atau inisiatif yang dilakukan 98 oleh pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat yang bertujuan untuk menyediakan berbagai kebutuhan dasar minimal bagipenduduk miskin, kelompok rentan terhadap resiko penghidupan. Menurut Suharto (2007) paling tidak ada tiga skema kebijakan dan perlindungan sosial. Pertama, bantuan sosial dengan target sasaran pokok penyandang cacat fisik, mental, korban narkoba, yatim piatu, penduduk usia lanjut, terlantar dan sejenis. Kedua, asuransi sosial bagi orang sakit, pekerja sektor informal, lanjut usia, janda/duda, pengangguran dan penduduk miskin. Ketiga, jaminan sosial dengan sasaran masyarakat perkotaan atau perdesaan yang tidak memiliki kekuatan atau tidak terlindungi dari berbagai resiko kelangsungan hidup. Ilustrasi yang disajikan dalam Suharto (2007) berikut cukup relevan sebagai contoh kebijakan dan perlindungan social. “Pemulung Melahirkan di Bawah Pohon” (Kompas, 2006): Andai Sumirah tinggal di negara maju, ia pasti tidak akan melahirkan di bawah pohon di pinggir jalan. Dia melahirkan di bawah pohon karena kemiskinan dan ketidakberdayaan. Kenijakan pemerintah di bidang kesehatan seperti Askeskin/Jamkesos serta asuransi kesehatan. Hal yang sama telah dilakukan seperti beras orang miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), kompor gas, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan masih banyak lagi. Akan tetapi karena terlalu banyak jumlah yang harus ditangani, seolah-olah upaya pemerintah melalui berbagai kebijakan sosial belum dapat mengurangi jumlah insiden secara berarti. D. Latihan 1. Dunia merasa khawatir akan terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan yang disebabkan oleh: A. Perubahan iklim C. Konsumsi energi berlebihan B. Perilaku manusia D. Perang antar negara 2. Artikel tentang Historis-Demografisme menyampaikan kritik kepada: A. Pemerintah telah lalai menangani masalah kependudukan B. Dana pembangunan kependudukan terbatas 99 C. Tumpang tindih penanganan masalah kependudukan D. Era desentralisasi dan otonomi daerah 3. Kebijakan kependudukan adalah: A. Pengaturan pertumbuhan penduduk B. Perbaikan kesehatan melalui penurunan mortalitas C. Kegiatan yang membantu tercapainya pembangunan kependudukan D. Kebijakan menurunkan fertilitas dan mortalitas anti natalis 4. Kebijakan retribusi penduduk di Indonesia atau transmigrasi yang pertama dikirim ke: A. Daerah Deli/Sumatra Utara C. Negara Suriname B. Daerah Parigi/Sulawesi Tengah D. Daerah Lampung/Sumatra Selatan 5. Pada awalnya kebijakan transmigrasi lebih ditujukan untuk: A. Peningkatan kesejahteraan penduduk B. Pemindahan penduduk dari Jawa ke Luar Jawa C. Membangun persatuan dan kesatuan bangsa D. Pemerataan pembangunan di seluruh daerah 6. Kebijakan pengembangan kota sedang dan kota kecil banyak mengalami kegagalan. Kegagalan ini lebih disebabkan oleh: A. Kesempatan kerja sangat terbatas di perdesaan B. Bekerja di kota sebuah status harga diri C. Di kota metropolitan tersedia semua kebutuhan D. Masih dominannya peran kota metropolitan dan kota besar 7. Perubahan nilai sosial budaya akan mengurangi peranan anak dalam kehidupan keluarga di hari tua merupakan asumsi dasar kebijakan: A. Penurunan fertilitas C. Kemandirian orang tua B. Keluarga Berencana D. Modernisasi 100 8. Kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia mencakup strategi: A. Pemenuhan hak dasar B. Pemenuhan hak pendidikan C. Pemenuhan hak kesehatan D. Ekonomi makro, hak dasar, pengembangan wilayah dan pemenuhan hak serta keadilan 9. Kebijakan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke berbagai Negara di luar Indonesia merupakan perluasan kesempatan kerja program: A. AKAN C. Timur Tengah dan sekitarnya B. AKL D. Singapura, Malaysia, Jepang dan Taiwan 10. Kebijakan dan perlindungan sosial mencakup: A. Bantuan sosial C. Jaminan Sosial B. Asuransi sosial D. Bantuan, asurasi dan jaminan Sosial 101 No. Modul : 11 Pertemuan : 12 Pokok Bahasan : Case Study : Permasalahan TKI (Tenaga Kerja Migran) A. Kata Kunci 1. Tenaga kerja migrant 2. Tenaga Kerja Indonesia 3. Mobilitas tenaga kerja B. Pertanyaan / Perintah Diskusi Bagaimana cara menangani permasalahan-permasalahan yang timbul pada TKI. Sudah sesuaikah kebijakan yang mengatur tentang tenaga kerja migran di Indonesia. C. Materi Tenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Namun demikian, istilah TKI seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar. TKI perempuan seringkali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW). TKI merupakan sebagian dari kelompok pekerja migrant. Pekerja migran adalah orang asing. Berdasarkan keadaan ini saja mereka dapat menjadi sasaran kecurigaan dan permusuhan dalam komunitas di mana mereka tinggal dan bekerja. Dalam banyak kasus mereka adalah orang miskin secara finansial, dan menghadapi kesulitan yang sama dari segi ekonomi, sosial dan budaya dengan yang dihadapi oleh kelompok paling lemah dalam masyarakat di Negara tuan rumah. Dengan posisinya yang sangat lemah, TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam setahun bisa menghasilkan devisa 60 trilyun rupiah (2006), tetapi dalam kenyataannya, TKI menjadi ajang pungli bagi para pejabat dan agen terkait. Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta, mereka disediakan terminal tersendiri (terminal III) yang terpisah dari terminal penumpang umum. Pemisahan ini beralasan untuk melindungi TKI tetapi juga 102 menyuburkan pungli, termasuk pungutan liar yang resmi seperti punutan Rp.25.000,- berdasarkan Surat Menakertrans No 437.HK.33.2003, bagi TKI yang pulang melalui Terminal III wajib membayar uang jasa pelayanan Rp25.000. (saat ini pungutan ini sudah dilarang) Pada 9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri dialihkan menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Depnakertrans. Latar belakang pekerja migrant Kemiskinan dan ketidakmampuan untuk mendapatkan nafkah atau menghasilkan produk yang cukup untuk mendukung seseorang atau keluarganya, merupakan alasan utama di balik perpindahan pencari kerja dari satu Negara ke Negara lain. Hal ini tidak hanya merupakan suatu karakteristik migrasi dari Negara miskin ke Negara kaya; kemiskinan juga merupakan penyebab perpindahan dari satu Negara berkembang ke Negara berkembang lainnya yang punya prospek pekerjaan lebih baik setidak-tidaknya bila dipandang dari jarak jauh. Ada beberapa alasan mengapa orang pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Perang, pertikaian sipil, rasa tidak aman atau pengejaran akibat diskriminasi ras, sukubangsa, warna kulit, agama, bahasa dan pandangan politik, kesemuanya itu berperan dalam mengalirnya pekerja migran. Beberapa Negara mendorong warganegaranya untuk pergi bekerja ke luar negeri; beberapa negara lainnya secara aktif merekrut pekerja asing. Dalam kasus-kasus tertentu, dibuat perjanjian antar-negara mengenai pekerja migran. Idealnya, pekerja migran baik berdasarkan kontrak atau pengaturan formal lainnya, maupun hanya dilakukan atas inisiatif masing-masing pekerja 103 harus diberi pemahaman dasar mengenai bahasa, budaya dan hukum, struktur sosial dan politik dari Negara tujuan. Mereka harus diberitahu terlebih dahulu mengenai gaji dan kondisi pekerjaan serta kondisi kehidupan umum yang dapat diharapkan pada saat kedatangannya. Pasal 33 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya mensyaratkan Negara Pihak untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap tepat untuk menjamin agar pekerja migran dan anggota keluarganya telah diberi informasi sebanyak mungkin, atas permintaan dan tanpa dikenakan biaya. Informasi tersebut harus menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh para pekerja, tentang hak mereka berdasarkan Konvensi, dan tentang segala hal yang membuat mereka dapat memenuhi persyaratan administrasi dan formalitas-formalitas di Negara tempat bekerja. Selanjutnya, pasal 37 Konvensi menetapkan hak pekerja migran dan anggota keluarganya untuk mendapatkan informasi sebelum keberangkatan, atau paling lambat pada saat mereka masuk ke Negara tempat bekerja, tentang semua syarat yang berlaku pada saat mereka masuk, demikian pula dengan persyaratan yang harus mereka penuhi di Negara tempat bekerja, dan pihak berwenang yang harus mereka hubungi untuk setiap perubahan persyaratan tersebut. Jika pejabat bidang ketenagakerjaan membantu mengelola arus pendatang, maka akan ada kesempatan lebih baik bagi para pekerja migran dalam melakukan persiapan minimum untuk hidup dan bekerja di luar negeri, daripada apabila urusan perekrutan dan penempatan diberikan kepada agen swasta. Fakta yang ada menunjukkan bahwa sejumlah besar pekerja migran tidak mendapat informasi, dan melakukan persiapan yang buruk dalam menghadapi kehidupan dan pekerjaan di Negara asing. Demikian pula, sebagian besar mereka tidak menyadari adanya perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar, yang dijamin bagi mereka menurut perjanjian internasional dan hukum nasional. 104 Namun, Rendahnya penyerapan tenaga kerja di dalam negeri mendorong pencari kerja memanfaatkan kesempatan kerja di luar negeri. Krisis ekonomi lima tahun belakangan ini merupakan salah satu faktor meningkatnya angka pengangguran. Kondisi demikian semakin diperburuk lagi dengan terjadinya banyak kasus pemutusan hubungan kerja (PHK). Rendahnya penyerapan tenaga kerja di dalam negeri telah mendorong pekerja untuk mencari dan memanfaatkan kesempatan kerja di luar negeri, karena tingkat upah yang ditawarkan biasanya relatif lebih baik dibandingkan dengan upah pekerjaan sejenis didalam negeri. Selain itu, tekanan untuk mencari kerja di luar negeri makin diperkuat dengan kenyataan bahwa surplus tenaga kerja unskilled kian banyak. Diantara negara-negara tujuan para TKI, Malaysia menjadi negara dengan tujuan terbanyak. Banyak faktor yang menentukan sehingga negara Malaysia menjadi pilihan migran pekerja Indonesia. Secara geografis, Malaysia merupakan negara tetangga terdekat Indonesia. Hubungan transportasi relatif mudah, murah dan cepat. Beberapa pelabuhan di Indonesia merupakan pintu gerbang keluar masuk pekerja Indonesia untuk mencapai daerah tujuan di Malaysia, seperti Batam dan Tanjung Pinang di Sumatera, Entikong di Kalimantan Barat serta Nunukan di Kalimantan Timur. Di samping itu masyarakat kedua negara sama-sama berasal dari rumpun suku Melayu dengan bahasa yang mirip dan sejak dulu sudah memiliki hubungan sosial budaya yang erat, sehingga memudahkan dalam berinteraksi. Migran pekerja yang pergi ke Timur Tengah, meskipun memiliki agama yang sama, tetapi menghadapi masalah adaptasi karena perbedaan bahasa dan latar belakang sosial budaya yang mencolok. Banyak migran pekerja Indonesia di Timur Tengah yang diperlakukan secara tidak wajar dan menjurus kepada perlakuan tidak manusiawi. Ini sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial budaya tadi. Jumlah migran ilegal ini diperkirakan lebih banyak dari migran legal, namun jumlahnya tidak diketahui secara pasti. Umumnya mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh di perkebunan. Oleh karena tidak 105 memiliki dokumen yang lengkap, apabila terjadi permasalahan dengan majikannya/perusahaan, Pemerintah Indonesia sulit untuk memberikan bantuan atau perlindungan. Direktorat Perlindungan dan Pemberdayaan TKLN menyatakan bahwa sampai akhir Desember 2002 jumlah TKI pulang dari berbagai negara karena bermasalah mencapai 36.140. orang. Angka ini belum termasuk pemulangan paksa migran ilegal oleh pemerintah Malaysia pada tahun 2002 yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Demikian banyaknya migran pekerja Indonesia yang dipulangkan dengan beragam kasus perlakuan yang diterima mereka di Malaysia, sempat menjadikan hubungan kedua negara agak terganggu. Potensi mobilitas penduduk dalam konteks studi ini diartikan sebagai cara atau bentuk perpindahan penduduk untuk mencari pekerjaan dengan memanfaatkan fasilitas peluang kerja di luar negeri. Sementara yang dimaksudkan dengan fasilitas peluang kerja di luar negeri adalah semua kebijakan atau peraturan serta kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah. Untuk mendapatkan fasilitas peluang kerja di luar negeri, pencari kerja tidak saja dapat memperolehnya melalui pemerintah tetapi juga ada yang diberikan oleh pihak non pemerintah atau calo/tekong namun ini disebut sebagai ilegal. Kendala Sosial dan Budaya Kondisi kehidupan para pekerja migran seringkali tidak memuaskan. Pendapatan rendah, harga sewa rumah tinggi, kurangnya perumahan, besarnya jumlah keluarga pekerja migran, dan prasangka penduduk setempat terhadap unsur-unsur asing dalam masyarakat, merupakan gabungan dari faktor utama penyebab masalah akomodasi yang serius. Walaupun pekerja migran memberi sumbangan pada skema jaminan sosial, mereka dan keluarganya tidak selalu menikmati keuntungan dan akses yang sama atas jaminan sosial dengan warga negara tuan rumah. Dalam banyak kasus, para pekerja migran meninggalkan keluarga mereka di Negara asalnya. Hidup dalam kesendirian merupakan kendala 106 dalam mengembangkan hubungan yang normal dalam komunitas di mana migran tersebut hidup, dan mempengaruhi kesejahteraannya. Hal ini merupakan salah satu isu yang ditangani berbagai instrumen hukum internasional yang diacu dalam Lembar Fakta ini, dan yang menyerukan agar Negara-negara memfasilitasi penyatuan kembali keluarga pekerja migran. Integrasi pekerja migran dan keluarganya dalam suatu lingkungan sosial di Negara yang menerima mereka tanpa kehilangan identitas budaya, adalah masalah lain yang selalu menjadi topik dalam perdebatan internasional. Sering dikatakan bahwa anak-anak pekerja migran yang belajar dalam bahasa lain dan mencoba untuk beradaptasi dengan kebiasaan yang baru tidak dapat diharapkan untuk menunjukkan prestasi yang sama dengan teman-teman sekolahnya, kecuali apabila diambil tindakan khusus untuk mengatasi kesulitan mereka. Faktor resistensi dari pihak orang tua penduduk setempat yang takut bahwa keseluruhan standar pendidikan akan menurun dengan masuknya anak-anak pekerja migran, telah menjadi masalah sensitif di beberapa Negara. Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia Sejak Repelita II dan seirng dengan meningkatnya isu globalisasi,mobilitas penduduk ke luar negri mulai mendapat perhatian dari Pemerintah. Pada saat ini fenomena migrasi internasional menjadi penting dalam konteks hubungan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia,Philipina,Australia dan lainnya. Indonesia mulai mengirim tenaga kerja ke Malaysia,Arab Saudi dan bahkan beberapa negara Eropa. Pengiriman tenaga kerja ini dapat dipandang sebagai mobilitas penduduk non permanen. Sampai Repelita ke VI migrasi terbesar adalah menuju Malaysia (48%) dan Saudi Arabia (33%) selebihnya ke berbagai negara lain di Asia dan Eropa. Mereka yang bermigrasi ke Malaysia lebih dari dua pertiganya adalah laki-laki dan yang ke Saudi Arabia didominasi oleh perempuan.Sebelumnya cenderung menuju ke negara maju atau negara di luar asia terutama Amerika Serikat,negara-negara Eropa dan Australia,kemudian berubah menuju Asia. 107 Mobilitas penduduk ke luar negri diperkirakan akan terus meningkat. Perkiraan ini didasarkan kepada semakin kompleksnya masalah kependudukan di Indonesia terutama berkaitan dengan ketenagakerjaan. Pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi membutuhkan kesempatan kerja yang cukup banyak. Pada tahun 1990 jumlah angkat kerja sebesar 94,84 juta orang, tahun 2000 menjadi 95,65 juta dan tahun 2001 meningkat lagi menjadi 98,81 juta. Sebelum krisis upaya untuk penciptaan lapangan kerja terus dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui pembangunan industri-industri baru dan pengembangan agribisnis, namun tetap belum mampu menampung jumlah angkatan kerja yang semakin menumpuk. Kondisi ini semakin parah ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan banyak terjadi kasus PHK, sehingga tingginya angka pengangguran. Salah satu jalan yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi jumlah pengangguran tersebut adalah dengan mencari peluang kerja di luar negeri. Pada tahun 1975 pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri resmi diprogramkan oleh Pemerintah.Apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Thailand, Philipina, Malaysia, dan Korea Selatan, maka Indonesia terlambat memulai program ini sehingga jumlah tenaga kerja yang berhasil dikirim ke luar negeri lebih sedikit dibandingkan negara-negara lain. Jumlah pengiriman TKI pada Pelita I dan Pelita II relatif masih sedikit masing-masing sebanyak 5.624 orang dan 17.042 orang. Dari 19 negara yang menjadi tujuan TKI, 32 % dari mereka memilih Belanda. Tetapi memasuki Pelita III mulai ada perubahan arah migrasi internasional, pekerja Indonesia menuju ke Timur Tengah terutama Arab Saudi. Pada Pelita III jumlah tenaga kerja melonjak menjadi 96.410 orang dan sebagian besar (64 %) bekerja di Arab Saudi. Karakteristik tenaga kerja yang bekerja di Arab Saudi umumnya didominasi oleh pekerja perempuan sebagai penata laksana rumah tangga (pembantu rumah tangga). Sedangkan tenaga kerja yang bekerja di Asia Pasifik terutama Malaysia umumnya bekerja di sektor perkebunan dan konstruksi karena itu mayoritas tenaga kerjanya adalah 108 laki-laki. Pada Pelita IV jumlah TKI meningkat lagi menjadi 292.262 orang dan Pelita V mencapai 652.275 orang. Tiap individu mempunyai beberapa kebutuhan berupa kebutuhan ekonomi,sosial,budaya dan psikologis.Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi di daerah tempat tinggalnya,dapat menimbulkan tekanan yang mendorong timbulnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di tempat lain.Besar kecilnya tekanan yang dialami berbanding terbalik dengan pemenuhan kebutuhan.Teori kebutuhan dan tekanan(need and stress)ini merupakan salah satu teori yang mengungkapkan mengapa seseorang melakukan mobilitas.Seseorang yang mengalami stress di luar batas tolerensi akan pindah dari tempat yang mempunyai nilai kefaedahan lebih tinggi (Mantra,1999). Dengan demikian dapat pula dikatakan pindahnya seseorang karena adanya faktor pendorong di daerah asalnya dan faktor penarik di daerah tujuan. Dalam kaitannya dengan studi ini,migran tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negri merupakan pembenaran dari teori tersebut.Kondisi pembangunan ekonomi untuk menciptakan kesempatan kerjadi Tanah Air sangat terbatas,sementara jumlah angkatan kerja yang mencari pekerjaan semakin meningkat. Fenomena inilah yang mendorong orang untuk memanfaatkan kesempatan kerja yang tersedia di luar negri apabila tingkat upah di luar negri relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.Sebagai gambaran menurut Hugo (1993) perbedaan beberapa daerah di Indonesia per hari berkisar antara 300 sampai 1000 persen. Dalam kajian migrasi internasional permasalahan sering hanya terfokus pada kaitan antara besarnya ketersediaan tenaga kerja dan peluang kerja di luar negri. Dengan kata lain,orang pergi migrasi keluar negri terbatas sebagai respons terhadap stimulus yang ada. Pandangan ini tidak keliru,tetapi dapat menjebaknya dalam cognitive drones. Disini manusia tidak dipandang sebagai mahluk yang memiliki latar belakang sosial dan budaya serta tidak hidup dalam konteks waktu dan temapat tertentu. Migran kurang diperhatikan sebagai individu dan anggota kelompok sosial. Akibatnya,migran sering harus 109 menanggung beban dan menjadi korban atas proses itu meskipun mereka juga menikmati hasilnya. Arah Kebijakan Mobilitas Penduduk. Dalam perspektif ketransmigrasian yang menjadi kewenangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mobilitas pendudukdiatur dalam UU nomor 15 tahun 1997 yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus mempercepat proses integrasi dan akulturasi masyarakat sebagai prasyarat terwujudnya pemahaman tersebut, persatuan maka dan kesatuan mobilitas bangsa. penduduk Berdasarkan dalam persepsi ketransmigrasian dibatasi pada pengertian mobilitas penduduk secara permanen yaitu perpindahan penduduk untuk menetap dan meningkatkan kesejahteraan di Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT). Pengertian mobilitas penduduk dalam perspektif ketransmigrasian mengalami perluasan "makna" ketika menghadapi perubahan lingkungan strategis sebagai kondisi objektif yang harus diterima, yakni globalisasi. Jangkauan gerak keruangan penduduk menjadi semakin luas, sebagai akibat dari meningkatnya peluang kerja dan permintaan tenaga kerja antar negara. Secara spontan penduduk akan bergerak menuju negara-negara kaya yang membutuhkan tenaga kerja. Fenomena ini mau tidak mau menuntut setiap negara mampu mendorong penduduknya untuk memanfaatkan peluang kerja secara kompetitif, dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan sosio-kultur di negara tujuan. Pada dasarnya mobilitas penduduk adalah perpindahan manusia menuju ke tempat yang lebih menguntungkan secara ekonomis. Tekanan atau kebutuhan ekonomi yang berat yang dialami di suatu tempat akan mengantarkan orang berpindah ketempat yang akan memberi kepuasan. Namun, ada fenomena yang sangat menarik mengenai motif ekonomi ini apabila dikaitkan dengan realitas bahwa tidak semua orang yang secara ekonomis dikategorikan lemah melakukan migrasi. Orang yang berasal dari 110 kategori sosial yang sama dan memiliki kebutuhan yang sama serta mempunyai kesempatan dan menghadapi rintangan yang relatif sama untuk bermigrasi, tidak selalu memutuskan untuk pergi. Logikanya, suatu daerah yang tidak menjanjikan kesempatan ekonomi yang lebih baik akan merupakan daerah penyuplai migran terbesar (Anna Marie Wattie,2002). Perspektif kebijakan dalam migrasi internasional telah menjadi wacana yang penting dewasa ini seiring dengan semakin meningkatnya globalisme dan kepentingan ekonomi politik antar negara. Diperkirakan akan terjadi suatu kondisi yang dinamakan globalization of migration, suatu kondisi dimana kebijakan di bidang migrasi internasional akan menjadi isu strategis bagi setiap negara sejalan dengan peningkatan arus dan volume tenaga kerja lintas negara. Jadi, kemunculan migrasi tenaga kerja, termasuk migrasi ilegal sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya kondisi tersebut. Migrasi ilegal merupakan dampak samping dari adanya globalisasi migrasi, dan tidak semata-mata muncul atas dasar asumsi adanya black market atau supplay-demand, tetapi andil pemerintah melalui setiap kebijakannya juga merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan. Migrasi Internasional telah menjadi masalah dan kepentingan public (public interest) di Indonesia seiring dengan semakin besarnya magnitude permasalahan yang ditimbulkanya. Dimensi persoalan migrasi internasional tidak hanya menyangkut aspek ekonomi berupa devisa, melainkan juga pada aspek politik, sosial, kultural dan psykologis. Aspek politik misalnya sangat berkaitan dengan kebijakan politik suatu negara dalam penanganan migran seperti kebijakan Pemerintah Malaysia yang melakukan deportasi terhadap para pekerja gelap asal Indonesia. Kebijakan ini sangat sensitive secara politik karena menyangkut hubungan bilateral kedua pemerintah bahkan dapat menyulut sentimen nasionalisme dan harga diri sebagai suatu bangsa. Kebijakan Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri Perpindahan tenaga kerja Indonesia ke negara lain merupakan gejala sosial global yang muncul pada dekade tahun tujuh puluhan. Akibat berbagai 111 faktor pendorong dan alasan, perpindahan migran pekerja antar negara dari waktu ke waktu jumlahnya semakin besar. Tidak ada satupun negara atau pemerintahan di dunia yang mampu menghentikan atau menghambat perpindahan tenaga kerja. Berdasarkan pasal 23 The Universal Declaration of Human Right, kebebasan pindah dan memilih pekerjaan dijamin sebagai hak setiap orang. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, memilih pekerjaan, menikmati kondisi kerja yang baik serta perlindungan atas ancaman pengangguran. Perpindahan pekerja antar negara saat ini semakin dipermudah dengan adanya kemajuan teknologi informasi dan transportasi. Di Indonesia perpindahan tenaga kerja ke luar negeri dikenal sejak tahun 1887 dengan dikeluarkannya Ordonansi tanggal 9 Januari 1887. Pengaturan lebih lanjut yang muncul belakangan adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP.104 A/MEN/2002 tanggal 4 Juni 2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Berkaitan dengan kebijakan penempatan tenaga kerja di luar negeri, Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2002 telah meratifikasi konvensi ILO Nomor 88 mengenai Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja. Dalam hal ini pemerintah diwajibkan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mempermudah setiap perpindahan tenaga kerja dari suatu negara ke negara lain yang mungkin telah disetujui pemerintah negara terkait. CONTOH Beberapa kasus yang melibatkan TKI: Ceriyati Ceriyati adalah seorang TKW di malaysia yang mencoba kabur dari apartemen majikannya. Ceriyati berusaha turun dari lantai 15 apartemen majikannya karena tidak tahan terhadap siksaan yang dilakukan kepadanya. Dalam usahanya untuk turun Ceriyati menggunakan tali yang dibuatnya sendiri dari rangkaian kain. Usahanya untuk turun kurang berhasil karena dia berhenti pada lantai 6 dan akhirnya harus ditolong petugas Pemadam 112 Kebakaran setempat. Tetapi kisahnya dan juga gambarnya (terjebak di lantai 6 gedung bertingkat) menjadi headline surat kabar Indonesia serta Malaysia, dan segera menyadarkan pemerintah kedua negara adanya pengaturan yang salah dalam pengelolaan TKI. Pungutan Liar di KBRI/KJRI Malaysia Para warga negara Indonesia yang ingin memperoleh pelayanan keimigrasian dimana kebanyakan dari mereka adalah TKI yang bekerja di Malaysia, dibebani tarif pungutan liar. Modusnya adalah terbitnya SK/Surat Keputusan ganda, untuk SK pungutan tinggi ditunjukan sewaktu memungut biaya, sedangkan SK pungutan rendah digunakan sewaktu menyetor uang pungutan kepada negara. Pungli ini berawal dari PPATK yang mencium aliran dana tidak wajar dari para pegawai negeri di Konjen Penang pada Oktober 2005, dikemudian hari terungkap, pungutan serupa juga terjadi di KBRI Kuala Lumpur. Pemotongan Gaji Ilegal Hampir semua TKI atau buruh migran Indonesia mengalami potongan gaji secara ilegal. Potongan ini disebutkan sebagai biaya penempatan dan "bea jasa" yang diklaim oleh PJTKI dari para TKI yang dikirimkannya. Besarnya potongan bervariasi, mulai dari tiga bulan sampai tujuh, bahkan ada yang sampai sembilan bulan gaji. Tidak sedikit TKI yang terpaksa menyerahkan seluruh gajinya dan harus bekerja tanpa gaji selama berbulan-bulan. Praktik ini memunculkan kesan bahwa TKI adalah bentuk perbudakan yang paling aktual di Indonesia. Langkah-langkah strategis dan konseptual dalam menangani masalah TKI Pertama, perlu dibentuk Badan Penempatan TKI di Luar Negeri (Indonesia Foreign Employment Board) yang keanggotaannya terdiri atas Ketua: Presiden RI/Wakil Presiden RI; Wakil Ketua: Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat; Pelaksana Harian: Menteri Tenaga Kerja dan 113 Transmigrasi (Mennakertrans); Anggota-anggota: Menteri-menteri terkait. a. Menteri Luar Negeri; b. Menteri Kehakiman dan HAM, dan lain-lain. Badan ini harus merumuskan kebijakan, termasuk masalah perekrutan, training, penempatan, pengawasan, dan lainnya. Ketua harus dipimpin langsung presiden/wakil presiden guna memudahkan koordinasi dan undangan kepada menteri-menteri terkait. Pengalaman menunjukkan, rapat-rapat koordinasi tentang TKI kurang berjalan optimal, karena bila Mennakertrans yang mengundang sebagai ketua, para menteri terkait biasanya tidak datang, tetapi mewakilkannya kepada orang kedua/ketiga. Akibatnya, tidak dapat diambil keputusan optimal. Dalam badan itu seyogianya juga didudukkan wakil dari unsur pengusaha, buruh, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pakar yang dianggap perlu. Kedua, dalam rangka memberi perlindungan bagi TKI di luar negeri, perlu dibuat nota kesepahaman (MOU) antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara penerima TKI. Ketiga, setiap pengiriman dan penempatan TKI harus dibuat kontrak kerja (kesepakatan kerja bersama), baik secara perseorangan maupun kolektif, yang dilakukan perusahaan pengirim TKI dengan perusahaan penerima TKI, dan dilaporkan kepada Mennakertrans serta Kedutaan Besar RI/perwakilan Indonesia di negara yang bersangkutan. Keempat, di negara di mana TKI ditempatkan agar diadakan Atase Perburuhan untuk ikut membantu mengawasi dan mengatasi aneka masalah TKI di luar negeri sesuai dengan kebutuhan. Kelima, tiap TKI wajib diasuransikan sehingga bila terjadi kecelakaan/kematian, biaya menjadi tanggungan asuransi itu. 114 Keenam, pendidikan/training untuk meningkatkan kualitas TKI dan perlu spesialisasi mengenai pekerjaan-pekerjaan yang akan ditangani di luar negeri. Ketujuh, diperlukan undang-undang yang mengatur masalah penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Kedelapan, perlu adanya National and Regional Man Power Planning Policy (Kebijaksanaan Perencanaan Ketenagakerjaan Nasional dan Daerah) di mana masalah TKI ke luar negeri merupakan bagian dari perencanaan tersebut. Kesembilan, seyogianya Pemerintah RI segera meratifikasi Konvensi ILO tentang Migrant Workers (Pekerja Migran) yang di dalam konvensi itu antara lain ada ketentuan, tiap tenaga kerja migran harus diperlakukan sama (jam kerja, upah, cuti, dan lain-lain) dengan pekerja asli negara penerima. Dengan demikian, bila ada masalah TKI di luar negeri, Pemerintah RI bisa meminta ILO membantu menyelesaikannya. Kesepuluh, perlu dibentuk Tim Asistensi Hukum Nasional yang selalu standby sehingga tiap saat dapat dikirim ke luar negeri untuk memberi bantuan hukum kepada TKI yang sedang menghadapi masalah di luar negeri. Kesebelas, aneka pungutan liar (KKN) yang membebani TKI sejak persiapan keberangkatan ke luar negeri sampai pulang ke kampung halamannya harus betul-betul diberantas. Kedua belas, tiap TKI diwajibkan mengirimkan sebagian penghasilannya (dalam persentasi tertentu) kepada keluarga/sanak saudaranya yang ditunjuk. Mereka yang paling banyak dapat menabung upahnya di luar negeri dan dikirim ke Indonesia diberi insentif berupa hibah rumah sangat sederhana atau rumah sederhana (RSS/RS), misalnya bagi 10 pengirim 115 terbanyak, dalam rangka mendidik mereka agar gemar menabung dan dijadikan modal bila mereka pulang ke Indonesia. D. Latihan 1.Perlindungan social apakah yang cocok bagi TKI 2. Solusi apakah yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan TKI di luar negeri seperti TKI ilegal, penindasan hak-hak TKI, dsb. 116 No. Modul : 12 Pertemuan : 13 Pokok Bahasan : Case Study : Perencanaan Sosial dalam Perencanaan Proyek - FREEPORT ; SEJARAH YANG BERMASALAH A. Kata Kunci 1. Perencanaan Sosial 2. Dampak pembangunan proyek terhadap kehidupan social masyarakat. B. Pertanyaan / Perintah Diskusi Apa yang akan terjadi jika perencanaan proyek tidak diimbangi dengan perencanaan social? C. Materi Jenis pertambangan skala besar yang sangat riskan merupakan suatu contoh nyata proyek pembangunan ekonomi yang mempunyai implikasi social yang serius. Perebutan tanah dan hak atas sumberdaya alam merupakan aspek kunci dalam konflik di daerah pertambangan. Hal inilah yang memerlukan perencanaan social sebelum dilakukan proyek. Studi kasus perencanaan social dalam perencanaan proyek dapat diterapkan pada kasus tambang di Freeport Papua yang hingga saat ini belum terlihat titik terang. Tambang tembaga dan emas milik Freeport sudah lama menjadi salah satu proyek sumberdaya alam yang paling sarat kontroversi di Indonesia. Kontroversi tersebut timbul dari kaitan erat antara perusahaan tersebut dengan militer maupun kalangan elit dari zaman Soeharto, serta hubungannya yang sangat bermasalah dengan penduduk Papua, yang baru akhir-akhir ini menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Freeport dimotivasi oleh sikap yang lazim di industri pertambangan dunia saat itu, tidak menciptakan seluruh permasalahan sekitar tambang itu, dan sejak pertengahan 1990an telah berupaya menghapuskan riwayatnya yang bermasalah. Perusahaan tersebut telah membayar lebih dari satu milyar dolar AS dalam bentuk pajak dan royalty kepada Indonesia, dan menciptakan ekonomi setempat yang menopang ribuan penduduk. Namun demikian, sejarah tambang itu bagi sejumlah pengamat masih merupakan studi 117 kasus tentang bagaimana cara tidak berhadapan dengan masyarakat setempat maupun dengan aparat keamanan. Freeport Sulphur, kemudian menjadi Freeport McMoRan, sebuah perusahaan AS, mulai melakukan kegiatan eksplorasi di Papua bagian selatan pada tahun 1960. Perusahaan tersebut menandatangani kontrak produksi dengan Indonesia pada tahun 1966, tiga tahun sebelum diberlakukannya kekuasaan Indonesia atas Papua. Soeharto bersama resimnya yang didukung militer sangat mebutuhkan modal asing, dan Freeport diberi keleluasaan besar dalam menyusun ketentutuanketentuan dari investasinya sendiri. Tambang tersebut dikelola oleh anak perusahaan bernama Freeport Indonesia, yang dikendalikan oleh Freeport McMoRan. Ketika itu hanya beberapa ratus penduduk menghuni daerah itu, menurut penuturan Freeport. Wilayah sekitar tambang dimanfaatkan oleh penduduk Amungme untuk berburu dan hal-hal sakral, meski ada sebuah desa yang dikemudian hari menjadi kota perusahaan dengan nama Tembagapura. Penduduk setempat tidak bisa dikatakan telah memberi persetujuannya dengan penuh kesadaran, karena tidak mungkin mereka memahami betapa besar dampak yang bakal ditimbulkan terhadap wilayah mereka. Menurut sebuah penuturan, hingga tahun 1995 mereka tidak menyadari bahwa menurut catatan pemerintah, mereka telah menyerahkan lahan seluas satu juta hektar bagi pengembangan. Sejalan dengan dimulainya penambangan Ertsberg pada awal 1970an, ketegangan dengan masyarakat setempat kian tumbuh. Sesuai kepercayaan setempat, penduduk Amungme mengharapkan Freeport berbagi kekayaan mereka berupa barang-barang yang dimilikinya, mulai dari helikopter hingga ke jas hujan. Diantara warga timbul kekesalan karena merasa tanahnya telah dirampas, selain itu Freeport cenderung menggunakan pekerja terampil dari luar daerah itu, yang berarti tidak banyak peluang pekerjaan bagi masyarakat setempat. Freeport membenarkan kegiatannya atas dasar kontraknya dan hukum Indonesia. Tidak ada perlindungan terhadap perlakuan atas lingkungan atau masyarakat setempat, dan makna spiritual wilayah tersebut bagi suku Amungme pun tidak dihargai. Ada tudingan bahwa penduduk dipaksa pindah dari rumahnya, meski menurut Freeport pihaknya tidak pernah mendukung relokasi secara paksa. 118 UU hanya mengakui hak adat atas tanah yang digarap, dan oleh karenanya lahanlahan luas yang digunakan untuk berburu atau tidak ditanami tidak dipertimbangkan untuk ganti rugi. Jikapun ada ganti rugi, jumlahnya ditetapkan oleh pejabat pemerintah. Setelah masyarakat setempat melancarkan protes, pada 1974 Freeport sepakat untuk membangun sekolah, klinik, perumahan dan sarana bangunan lainnya. Yang terbesar berukuran 20 kaki kali 30 kaki. Sebagai imbalan, masyarakat setempat tidak mendatangi lokasi tambang, kota perusahaan Tembagapura, lapangan udara di Timika, serta pelabuhan Amamapare. Pada tahun 1975, ahli geologi asal Australia Robert Mitton menggambarkan pandangan Freeport terhadap masyarakat setempat, “Jika kami tidak menghiraukan mereka, mungkin mereka akan pergi”.Yang terjadi justeru sebaliknya. Harapan terbukanya lapangan pekerjaan menarik begitu banyak pendatang sehingga jumlah penduduk di daerah tersebut meningkat menjadi kurang lebi90.000 jiwa. Sejak 1960an, ada perlawanan disana-sini terhadap pemerintahan Indonesia di Papua, dan tindakan pembalasan oleh pihak militer. Pada Juni 1977, seorang penerbang warga asing menyaksikan pesawat udara Indonesia menembaki desa-desa dekat Timika. Warga desa dan gerilya OPM memutus jalur pipa dari tambang, merusak jalur distribusi listrik serta membakar sebuah tangki minyak. Pasukan Indonesia pun membalas dengan membunuh atau menganiaya sejumlah besar penduduk.Tindakan brutal dipihak aparat militer menjadi masalah yang terus berjalan. Pada tahun 1988, gunung Grasberg yang letaknya bersebelahan dengan tambang yang ada ternyata ditemukan mengandung cadangan mineral yang sangat besar. Grasberg mengubah Freeport menjadi salah satu penghasil tembaga dan emas yang terbesar di dunia, dan mendongkrak pentingnya Papua bagi Indonesia. Kritik terhadap praktek-praktek lingkungan perusahaan mulai meningkat, khususnya mengenai dampak limbah tambang terhadap sungai-sungai dan penduduk yang menghuni daerah disekitar sungai tersebut. Setelah sebuah pemberontakan memaksa ditutupnya tambang tembaga Bougainville di negara tetangga Papua Niugini, para pejabat Freeport meningkatkan program-program 119 sosial dan mulai bersikap lebih terbuka untuk mengakui kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Kekayaan yang diciptakan oleh Freeport menarik perhatian kalangan dekat Soeharto, dan hubungan antara perusahaan dan resim itu pun mulai lebih menguntungkan resim. Pada tahun 1990an Freeport menjual saham pada tambangnya berikut asset lain, dari pembangkit listrik hingga perumahan dan jasa boga, kepada sekutu bisnis Soeharto. Biasanya pada penjualan semacam itu perusahaan diharuskan menjamin agar pembeli memperoleh keuntungan besar, bahkan menyediakan jaminan pinjaman yang digunakan untuk membayar pembelian itu. Hingga saat ini tuduhan korupsi masih belum terbukti, dan Freeport bersikeras bahwa seluruh transaksi tersebut dilakukan secara sah. Sudah barang tentu transaksi tersebut sangat mahal bagi perusahaan induk, yang antara 1991 dan 1997 memberi jaminan untuk pinjaman sebesar sekitar AS$673 juta kepada kepentingan-kepentingan yang terkait dengan Soeharto. Pada bulan Maret 2002, Freeport McMoRan Copper & Gold mengeluarkan jumlah sebesar AS $253.4 juta untuk menutup salah satu pinjaman tersebut setelah peminjamnya mangkir. Dengan cara itu pengusaha membeli kembali saham dalam Freeport Indonesia yang pada awalnya dibeli dengan menggunakan pinjaman itu. Hingga awal 1990an, sikap Jakarta yang lebih banyak mengabaikan kesejahteraan Papua memaksa Freeport dalam banyak hal menjadi pemerintahan setempat secara de facto. Menurut perusahaan, sejak 1990 telah dibelanjakannya jumlah sebesar AS$180 juta untuk membiayai program-program sosial seperti pembangunan jalan, perumahan, sarana kesehatan, pelatihan keterampilan, serta upaya memberantas malaria. Pengkritik setempat bersikeras bahwa beberapa manfaat tersebut, seperti jalan, sesungguhnya memenuhi kebutuhan perusahaan sendiri. Di Timika pun dibangun hotel Sheraton untuk melayani Freeport dan tamutamunya. Pertumbuhan tersebut tidak terencana maupun diimbangi dengan peningkatan terhadap kemampuan pemerintahan setempat. Penduduk setempat membandingbandingkan gaya hidup karyawan perusahaan tersebut yang mewah dengan kemiskinan dan perasaan telah dipinggirkan yang mereka alami. 120 Pada Oktober 1994 tindakan kekerasan mulai meningkat disekitar Timika dengan penembakan terhadap seorang karyawan Freeport asal Papua, mungkin oleh gerilya atau tentara. Freeport meminta bantuan, dan AD pun mengirim pasukan tambahan. Hingga Mei 1995, sejumlah 37 warga Papua telah dibunuh oleh pasukan atau menghilang. Sebuah laporan yang dikeluarkan Gereja Katolik menemukan bukti terjadinya eksekusi, penganiayaan dan pelanggaran lainnya oleh AD. Tudingan serupa dilontarkan oleh Australian Council for Overseas Aid. Pembunuhanpembunuhan tersebut menarik perhatian kalangan internasional terhadap hubungan dekat Freeport dengan militer. Freeport menyampaikan penyesalannya atas tindakan oknum tentara, seraya mencatat bahwa Gereja Katolik maupun Komnas Ham “tidak menemukan bukti terjadi pelanggaran” oleh perusahaan maupun petugas keamanannya, yang dituduh mengambil bagian dalam berbagai pelanggaran tersebut. Dikemudian hari seorang anggota Komnas HAM mengungkapkan bahwa lembaga itu tidak menyelidiki peranan Freeport secara seksama. Namun Komisi tersbut menyerukan agar dilakukan pengaturan keamanan yang lebih transparan dan menegaskan Freeport mempunyai “kewajiban moral” untuk memenuhi aspirasi penduduk setempat. Perusahaan kemudian mulai mengadakan negosiasi bagi program pembangunan 10 tahun yang ditujukan bagi masyarakat setempat. Ketika hal ini tengah difinalisasi, kerusuhan pecah pada bulan Maret 1996. Sarana perusahaan dirusakkan, dan setidaknya empat orang tewas. Ada dugaan yang dapat dipercaya bahwa demonstrasi damai yang diselenggarakan LSM terhadap Freeport di bajak oleh aparat militer, yang mengubah demonstrasi menjadi kerusuhan dengan maksud memeras uang dari perusahaan. Freeport diminta membayar AS$100 juta untuk menyediakan garnisun yang lebih besar. Konon perusahaan setuju membayar jumlah sebesar AS$35 juta, dan selanjutnya AS$11 juta setiap tahunnya. Besar jumlah biaya-biaya militer pada saat ini tidak begitu jelas. Freeport menolak menjawab pertanyaan ICG mengenai masalah itu. Program sepuluh tahun tersebut didanai dengan sumbangan sebesar satu persen dari pendapatan tahunan Freeport, yang saat itu 121 kurang lebih sama dengan pengeluarannya. Permulaan dari Dana Satu Persen tersebut terselubung kontroversi, dimana sejumlah besar penduduk setempat mengaku jumlah tersebut kurang memadai, dan beberapa penduduk lainnya menuduh perusahaan dan aparat militer berusaha mengadu domba warga. LEMASA, organisasi yang dibentuk untuk mewakili suku Amungme, menolak tawaran tersebut.Pemimpinnya, Tom Beanal, mengajukan tuntutan senilai AS$6 milyar terhadap Freeport di negara bagian asal perusahaan itu di AS, yaitu Louisiana. Oleh pengadilan bersangkutan, tuntutan yang menuduh perusahaan telah merampas tanah sakral, mencemari air dan terlibat dalam pelanggaranpelanggaran oleh aparat militer, pada akhirnya dibatalkan, sebagaimana pula tuntutan serupa yang diajukan Yosepha Alomang, seorang aktivis Amungme lainnya. Jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 membuka Freeport terhadap serangan dari pihak reformasi Indonesia, aktivis lingkungan hidup dan politisi yang hendak meninjau kembali ketentuan-ketentuan kontraknya dengan pemerintah. Sebagian tekanan tersebut berprinsip, namun ada juga yang oportunis. Freeport beruntung memperoleh dukungan kuat dari pemerintah AS, yang pejabatnya di Jakarta kerap membela perusahaan tersebut dengan gigih. Freeport McMoRan sudah lama menjalin hubungan erat dengan lingkungan politik AS, dan anggota dewan komisarisnya termasuk Henry Kissinger dan J. Stapleton Roy, dutabesar AS di Indonesia dari 1995 hingga 1999. Keinginan untuk melindungi tambang Freeport tetap membentuk kebijakan AS terhadap Papua. Sejak 1996 salah satu pokok permasalahan adalah pembagian dana Freeport diantara penduduk setempat. Pembayaran uang tersebut disertai dengan peningkatan ketegangan didalam masyarakat setempat. Benturan antara suku Amungme dan suku Dani berujung dengan sebelas orang tewas pada paruh pertama 1997, demikian penuturan LEMASA. Benturan dengan pasukan disekitar Timika pada Agustus 1997 setidaknya menimbulkan lima warga Papua tewas dan beberapa anggota pasukan terluka. Mekanisme untuk mengelola Dana Satu Persen mengalami kegagalan tidak lama setelah dibentuk, sebagian karena korupsi dan salah pengelolaan oleh pejabat setempat. Menurut Beanal maupun pihak lain, warga setempat tidak mampu 122 mengelola dana dengan bijak, dan akibatnya terjadi peningkatan masalah sosial seperti mabuk-mabukan. Namun ada juga manfaat positif yang diperoleh dari dana tersebut, seperti penyediaan pelayanan pengobatan tanpa biaya di Timika. Setelah kegagalan struktur pertama yang dibentuk untuk mengelola dana tersebut, sebuah struktur baru didirikan di tahun 1998 untuk membagikan manfaat diantara tujuh suku besar Papua disekitar Timika. Hal ini kini tengah ditinjau kembali agar memberi suara dominan bagi suku Amungme dan Kamoro, yang merupakan penghuni asli wilayah tersebut. Ada kekhawatiran bahwa hal ini bisa menyebabkan ketegangan dengan kelima suku lainnya yang tidak bersedia melepaskan kendali atas dana tersebut. Menurut Freeport, pihaknya hingga 2001 telah membayarkan sumbangan sejumlah AS$92 juta kedalam dana tersebut, bersama mitranya pada tambang, yaitu perusahaan multinasional Rio Tinto. Dana tersebut digunakan untuk berbagai proyek pengembangan, yang oleh Freeport dipaparkan sebagai bukti dari itikadnya yang baik. Namun penduduk setempat menganggap Dana Satu Persen tersebut sebagai ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan tambang, bukan sebagai pemberian, dan berpandangan proyek-proyek tersebut adalah milik mereka. Pada tahun 2000 dan 2001 Freeport menandatangani kesepakatan dengan suku Amungme dan Kamoro yang mencakup serangkaian proyek ekonomi dan sosial. Freeport setuju membayarkan AS$500.000 setiap tahunnya, berlaku surut sejak 1996, kedalam sebuah dana perwalian bagi kedua suku tersebut, dimana sebagian dana akan digunakan untuk membeli saham dalam perusahaan. Tom Beanal diangkat menjadi komisaris Freeport Indonesia. Hal ini sempat menimbulkan protes diantara warga Amungme. Beanal mengaku ia tidak banyak mengetahui bagaimana perusahaan sesungguhnya dijalankan, sehingga me mpersulit upaya untuk meredam kekhawatiran diantara warga Amungme bahwa Freeport tidak bersikap terbuka terhadap mereka. Tampaknya suku Amungme lebih berhasil ketimbang suku Kamoro dalam memajukan kepentingan mereka, kendati Beanal kini memberi perhatian sama terhadap permasalahan Papua yang lebih luas seperti terhadap permasalahan setempat, dan melihat Freeport sebagai sumber dana bagi Presidium. Menurutnya, jika kepentingan suku Amungme tidak 123 sesuai dengan kepentingan warga Papua secara keseluruhan, maka warga Amungmelah yang harus mengalah. Kendati masih ada saling curiga mencurigai, saat ini ada keterbukaan lebih lebar bagi dialog antara Freeport dan masyarakat Papua setempat115 Namun demikian, sejarah Freeport yang mengabaikan kekhawatiran warga setempat telah menimbulkan kegetiran yang sangat mendalam sehingga bahkan hasil-hasil yang positif yang telah dicapainya masih dipandang sebelah mata di Timika. Banyak penduduk setempat masih merasa ganti rugi yang diterimanya atas gangguan yang ditimbulkan tambang terhadap kehidupan mereka terlalu kecil. Terkadang Freeport menangani permasalahan dengan cara yang seolaholah lamban atau semena-mena. Kejujuran dari beberapa pernyataannya pun dipertanyakan oleh pengkritik: LSM lingkungan hidup Walhi menuduh perusahaan tersebut membuat pernyataan yang menyesatkan masyarakat mengenai kejadian luapan dari daerah pengendapan limbah yang menewaskan empat orang pada Mei 2000, serta memenangkan gugatannya di pengadilan. Bersamaan dengan itu, tuntutan masyarakat setempat terhadap Freeport seperti tak ada batasnya, dan selain itu beberapa kritikan lebih layak ditujukan kepada pemerintahan. Ada kemungkinan upaya Freeport untuk menenangkan warga Papua mengajar masyarakat setempat bahwa cara terbaik memperoleh konsesi adalah melalui konfrontasi. Akibatnya, baik masyarakat setempat, LSM maupun aparat militier terdorong untuk mengisyaratkan bahwa keadaannnya lebih rawan dari sesungguhnya. Wawancara-wawancara yang dilakukan ICG di Timika menunjukkan bahwa bahaya terjadinya konflik meluas pada saat ini kemungkinannya kecil, kendati memang timbul berbagai risiko yang sumbernya kehadiran pasukan keamanan, persaingan antara berbagai masyarakat Papua dan antara warga Papua dengan warga pendatang. Selain itu pernah terjadi kericuhan diantara para pendatang. Freeport menolak memberi komentar kepada ICG mengenai hal-hal yang disebutnya “politik”. Saat ini, tindak-tanduk aparat keamanan tampaknya relatif terkendali dibanding masa pada akhir 1990an ketika dilaporkan sering terjadi peristiwa pembunuhan dan pelanggaran HAM lainnya. Pada tahun 1999 perusahaan 124 memprakarsai kebijakan baru tentang HAM, seraya menginstruksikan karyawannya untuk melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi. Gabrielle McDonald, hakim AS dan mantan ketua pengadilan kejahatan internasional terhadap bekas negara Yugoslavia, ditunjuk menjadi penasehat urusan HAM. McDonald pun duduk dalam dewan komisaris Freeport McMoRan. Menurut pengkritik, Freeport masih cenderung memandang masyarakat setempat sebagai ancaman terhadap keamanan. Kesan tersebut diperkuat dengan pemisahan ruang antara kota-kota perusahaan Freeport dengan pemukiman masyarakat setempat dan penggunaan pagar serta pasukan keamanan untuk menjaga wilayah konsesinya yang luas. Pengamanan yang ketat disekitar saranasarana Freeport tampaknya menunjukkan perusahaan masih belum aman dari serangan. Ada potensi ancaman dari gerilya OPM di wilayah Timika, yang menganggap Freeport sebagai musuh, meski sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tidak jelas apakah gerilya yang bertanggung jawab atas serangan yang terbaru. Ancaman gerilya, yang kadar beratnya sulit dinilai, merupakan tanggapan terhadap kekesalan yang ditimbulkan oleh perilaku perusahaan sendiri di masa lalu. Kehadiran ribuan petugas aparat keamanan sendiri dapat menyebabkan permasalahan bagi perusahaan, mulai dari tindak kejahatan yang terorganisir hingga pencurian kecil-kecilan terhadap barang-barang miliknya oleh tentara dan polisi. Freeport tampaknya masih akan hadir di Papua untuk waktu cukup lama. Kegiatan tambang Grasberg berjalan sesuai kontrak dengan pemerintah yang masa berlakunya baru berakhir pada 2021, dengan opsi untuk memperpanjang perjanjian hingga duapuluh tahun kemudian. Perusahaan memperoleh hak untuk mengadakan ekplorasi diatas lahan seluas sekitar 2,3 juta hektar diluar wilayah operasinya saat ini, yang diharapkan mengandung lebih banyak mineral, dan wilayah lain di Papua pun sudah diliriknya. Pada akhir 1990an ada berita selentingan bahwa perusahaan pertambangan lainnya menimbang-nimbang mengambil alih Freeport, kendati belum ada tanda-tanda yang mengarah kepada hal itu. 125 Kiranya sulit meramal arah perkembangan hubungan antara Freeport dan masyarakat setempat. Kini sudah ada pengakuan terhadap berbagai keluhan setempat berikut mekanisme untuk menanggulanginya, meski emosi warga Papua masih tinggi, dan keadaanpun lebih dirumitkan lagi dengan potensi terjadinya ketegangan diantara masyarakat-masyarakat Papua yang memperebutkan manfaat dari tambang. Freeport masih terlibat dengan militer Indonesia serta kepentingan kalangan elit di Jakarta di satu pihak, dan dengan gerakan kemerdekaan di lain pihak. Kesimpulan yang dapat diambil dari telaah kasus proyek pertambangan Freeport rasanya kurang menyenangkan bila dilihat dari sudut pandang perencana sosial. Yang pertama yaitu sangatlah terlihat nyata bahwa suatu proyek pertambangan skala besar dapat menimbulkan masalah sosial yang serius. Yang kedua, bukti menunjukkan bahwa masalah semacam ini paling tidak dapat diperkecildengan adanya perencanaan yang cukup hati-hati sebelum proyek dijalankan. Seharusnya ada studi secara keseluruhan mengenai kondisi sosial di daerah tersebut, demikian juga mengenai evaluasi terhadap masalah-masalah yang timbul kelak. Langkah-langkah harus diambil untuk memperoleh kepastian mengenai perlunya fasilitas dan pelayanan sosial yang sesuai dan memadai, serta guna mempersiakan dan melindungi kepentingan masyarakat setempat dan menjaga semaksimal mungkin kultur dan pola hidup tradisional mereka. Karenanya, partisipasi perencanaan sosial dalam perencanaan proyek sangat besar dan dominan. D. Latihan Berikan contoh lain kasus-kasus perencanaan proyek yang bemasalah dan berikanlah perencanaan social yang tepat untuk menangani masalah tersebut. 126 No. Modul : 13 Pertemuan : 14 Pokok Bahasan : Case Study : Perencanaan Sosial dalam Perencanaan Proyek - Pembangunan Waduk Sermo di Kulon Progo A. Kata Kunci 1. Perencanaan Sosial 2. Dampak pembangunan proyek terhadap kehidupan social masyarakat. B. Pertanyaan / Perintah Diskusi Dapakah dalam pembangunan proyek terutama proyek bendungan/waduk tanpa harus mengorbankan sebagian warga di lokasi tersebut. C. Materi Waduk sermo ini terletak kurang lebih 7 km di sebelah barat kota wates atau 36 km di arah barat kota Yogyakarta. Merupakan satu-satunya waduk yang berada di kabupaten kulon progo. Waduk ini terbuat dari hasil membendung sungai yang mengalir di pegunungan menoreh diantaranya yaitu sungai bogowonto. Pembangunan Waduk Sermo merupakan pembangunan dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian. Sehubungan pembangunan Waduk Sermo memerlukan ruang yang cukup luas maka membawa konsekuensi menggusur penduduk dan sumberdaya lahan. Fungsi utama dari waduk ini yaitu sebagai penampung air yang disalurkan PDAM untuk air bersih, irigasi atau pengairan, serta pencegah banjir. Pemandangan yang bagus dengan disertai view pegunungan menoreh yang menjulang hijau dengan hutan-hutannya serta sejuknya udara menjadi nilai jual wisata bagi waduk ini. Para wisatawan juga bisa melepaskan penat dengan menikmati berbagai menu ikan segar yang didapat dari hasil tangkapan waduk, baik membeli ataupun bisa memancing sendiri. 127 Pembangunan Waduk Sermo dimulai pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 1996, dan dioperasikannya pada tahun 1997. Sebelum dilaksanakan pembangunan waduk, pada tahun 1990 dilaksanakan pembebasan tanah. Dalam pelaksanaan pembebasan berjalan dengan baik. Sebelum pembebasan tanah dilaksanakan, penduduk yang tanahnya akan terkena proyek pembangunan dipertemukan dengan DPRD Tingkat II Kabupaten Kulonprogo, untuk merembug besarnya biaya ganti rugi permeter persegi untuk lahan sawah Rp.1.500,-, untuk lahan tegal Rp.2.000,-, dan lahan pekarangan Rp.2.500,Sehubungan masyarakat yang terkena proyek adalah petani, maka untuk mempertahankan profesinya sebagai petani, oleh pemerintah setempat dianjurkan mereka melakukan transmigrasi. Oleh karena itu, pemerintah setempat bekerjasama dengan Departemen Transmigrasi melakukan penyuluhan mengenai transmigrasi. Kemudian oleh sebagian besar penduduk tergusur disepakati mengenai program transmigrasi, dengan daerah tujuan Bengkulu. Sehubungan transmigrasi tersebut sifatnya sukarela, maka ada beberapa penduduk yang tidak melaksanakan transmigrasi, memilih tetap tinggal di sekitar Waduk Sermo. Sebagai akibat langsung dari pembangunan Waduk Sermo adalah penggunaan lahan. Setelah adanya pembangunan Waduk Sermo, penggunaan lahan mengalami perubahan. Dalam perubahan tersebut, lahan sawah dan tegal cenderung mengalami penyempitan yang cukup drastis, dan yang lainnya mengalami peningkatan sebagai akibat adanya pembangunan sarana dan prasarana umum serta penambahan tempat tinggal akibat pembagian warisan bagi mereka yang lahannya tergenang waduk. Prasarana umum yang mengalami peningkatan adalah transportasi, perdagangan, kesehatan dan pendidikan. Dengan adanya sumberdaya lahan yang hilang, sebagai akibat pembangunan waduk, ternyata akan mempengaruhi juga terhadap perubahan 128 luas penguasaan lahan. Ditinjau dari luas kepemilikan lahan, tampak bahwa penduduk yang lahannya tergenang waduk maupun tidak cenderung mengalami penyempitan. Namun sebaliknya, lahan garapan cenderung meningkat sehubungan lahan pasang-surut waduk diserahkan untuk dikelola oleh penduduk, walaupun hingga saat penelitian dapat dikatakan belum menghasilkan. Keadaan tersebut ternyata mempengaruhi penduduk terutama yang lahannya terkena proyek dalam hal status lahan yang dimiliki. Hal ini tergantung juga oleh besarnya uang ganti rugi dan masih tidaknya lahan yang dimiliki. Konsekuensi dari perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap matapencaharian, sehingga penduduk yang lahannya terkena waduk cenderung yang banyak mengalami perubahan matapencaharian. Perubahan matapencaharian tersebut cenderung terjadi dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Perubahan matapencaharian ternyata membawa konsekuensi terhadap pendapatan keluarga yang cenderung mengalami perubahan penurunan pada penduduk yang tergeser, dibanding mereka yang tidak tergusur. Sebagai akibat terjadinya perubahan-perubahan fisik maupun sosial-ekonomi, ternyata berpengaruh terhadap perubahan adat kebiasaan yang ada di daerah sekitar waduk. Hal ini terlihat oleh adanya upacara tradisional Rebo Wekasan yang saat ini sudah mundur sebagai akibat Desa Hargowilis terpisahkan oleh Waduk Sermo. Selain itu, para penduduk juga sudah mulai berpikir secara rasional sehubungan adanya keterbatasan sumberdaya yang ada. Perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi sebagai akibat pembangunan Waduk Sermo, ternyata mendapat tanggapan tertentu dari penduduk, baik itu yang lahannya terkena waduk maupun tidak. Tanggapan tersebut dapat dikatakan bervariasi. Tanggapan terhadap dukungan pemerintah dalam hal pengelolaan lingkungan untuk kepentingan petani, penduduk cenderung mengatakan lebih baik setelah adanya waduk. Sedangkan 129 tanggapan penduduk terhadap lahan pertanian yang berubah, sebagian besar responden menyatakan baik, sehubungan Waduk Sermo masih dapat memberikan penghasilan walaupun tidak seperti yang diharapkan. Selain tanggapan tersebut, tanggapan terhadap kekayaan air waduk, baik itu penduduk yang lahannya tergenang waduk maupun tidak, ternyata memberikan tanggapan yang bervariasi, ada yang menyatakan senang walupun tidak senang. Sedangkan tanggapan responden terhadap penilaian manfaat waduk dapat dikatakan memberikan tanggapan positif, yaitu untuk pertanian, perikanan, dan rekreasi. Sehubungan Waduk Sermo digunakan untuk perikanan maka dari seluruh responden yang tidak ikut memanfaatkan air waduk sebagai lahan perikanan sebesar 15,00 persen, itupun mereka yang berasal dari daerah genangan, selain Waduk Sermo digunakan untuk pertanian, ternyata juga direncanakan sebagai obyek wisata. Sehubungan Waduk Sermo belum tuntas untuk obyek wisata, maka hal itu perlu dikelola lebih lanjut, hal itu didukung oleh sebagian besar responden, baik itu responden yang lahannya terkena waduk maupun tidak. Walaupun demikian ada juga penduduk yang lahannya terkena waduk mengatakan tidak setuju dikembangkan untuk obyek wisata, tetapi persentasenya hanya sedikit. Sehubungan pembangunan Waduk Sermo menimbulkan perubahan yang mengarah hilangnya sumberdaya utama petani maka keadaan itu cenderung membuat petani harus mulai dari nol dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Itupun tidak semua responden mengalami hal yang sama. Sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat maka perlu adanya penyuluhan dan pelatihan mengenai kepariwisataan sehingga apabila nanti obyek wisata Waduk Sermo sudah tuntas pembangunannya, artinya fasilitas-fasilitasnya sudah tersedia tenaga kerja yang berasal dari lingkungan waduk sudah siap. 130 Waduk Sermo memiliki ukuran yang kecil dibandingkan dengan waduk-waduk lainnya. Proses perencanaannya lebih sederhana karena hanya ditujukan pada suatu tujuan pokok dan tidak melibatkan proses pemukiman kembali penduduknya dalam skala yang besar. Walaupun demikian, proses perencanaan yang dipakai telah menggambarkan berbagai permasalahan umum yang timbul dalam merencanakan proyek tersebut. D. Latihan Jelaskan implikasi relokasi penduduk untuk pembangunan proyek bendungan/waduk. Apakah penduduk yang telah direlokasi tersebut akan kembali lagi ke asalnya? 131 No. Modul : 14 Pertemuan : 15 Pokok Bahasan : Case Study : Perencanaan Sosial dalam Perencanaan Proyek - Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit A. Kata Kunci 1. Perencanaan Sosial 2. Dampak proyek terhadap kehidupan social masyarakat. B. Pertanyaan / Perintah Diskusi Hubungan perencanaan social dengan perencanaan proyek ? C. Materi Luas areal perkebunan di Indonesia, baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat, cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari seluruh komoditas utama perkebunan (karet, kopi, teh, kelapa, kakao, tebu dan kelapa sawit), komoditas karet dan kelapa sawit adalah areal pertanaman yang terluas. Pertambahan luas yang paling spektakuler dialami oleh perkebunan kelapa sawit yang dalam 10 tahun terakhir luasnya meningkat rata-rata 14% per tahun, jauh di atas peningkatan perkebunan karet yang hanya rata-rata 2% per tahun (Susila 1998). Pada tahun 1986, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 606.800 ha, tetapi pada tahun 1997 meningkat pesat menjadi 2,25 juta ha. Saat ini pusat perkebunan kelapa sawit terletak di propinsi Sumatera Utara (905.000 ha), propinsi Riau (544.700 ha), propinsi Kalimantan Barat (211.400 ha) dan propinsi Sumatera Selatan (206.000 ha). Di masa mendatang akan dikembangkan secara cepat di Kalimantan Timur, Sulawesi dan Irian Jaya (Susila 1998). Luas seluruh areal perkebunan kelapa sawit masih di bawah perkebunan karet yang mencapai 3,5 juta ha pada tahun 1997. Namun struktur pemilikan pada perkebunan kelapa sawit terbalik dengan perkebunan karet. Perkebunan karet pemilikannya didominasi oleh perkebunan rakyat (83%), 132 tetapi perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh perusahaan besar, baik milik negara maupun milik swasta yang mendominasi luas lahan dengan pangsa 66% (Susila 1998). Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak tahun 1978 (Lihat Gambar 1), dengan laju pertumbuhan luas per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% (perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan 19,3% (perkebunan rakyat) (Susila 1998). Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi. Laju pertumbuhan areal perkebunan karet rakyat hanya mencapai 2,2% per tahun (1986-1996), sedangkan untuk perkebunan kopi rakyat pertumbuhannya hanya 2,3% untuk periode yang sama. Di samping laju pertumbuhan areal yang rendah, perkebunan rakyat biasanya tidak dibangun pada areal hutan produksi. Para pekebun kecil umumnya memanfaatkan lahan kritis2, hutan sekunder dan bahkan memanfaatkan kebun tua (replanting). Perkebunan karet rakyat merupakan pertanaman tradisional masyarakat, terutama di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan kopi banyak diusahakan di Lampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat cepat, namun berkurang sejak awal pertengahan tahun 1998. Salah satu penyebabnya adalah tingginya pajak ekspor, berkurangnya minat investor asing akibat kondisi politik yang tidak stabil, dan takut tingginya pasokan. Di tengah-tengah kondisi ini, pertumbuhan kelapa sawit pada pertengahan 1998 adalah seperti berikut. Dengan tingkat produktivitas 18-21 ton TBS (tandan buah segar)/ha/ tahun, usaha ini mempunyai nilai Internal Rate of Return sampai 24-43%. Di samping itu prospek minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil) juga sangat cerah. 133 Untuk konsumsi domestik Indonesia, diperkirakan meningkat dengan laju pertumbuhan 8-10% per tahun pada periode 1995-2000 dan 5-7% per tahun pada periode 2000-2005 (Arifin dan Susila 1998). Tingkat konsumsi minyak sawit dunia akan meningkat sebesar 5% per tahun antara tahun 19952000 dan pada tahun 2000 diproyeksikan konsumsi akan mencapai 18,2 juta ton, walaupun harga minyak sawit diproyeksikan menurun menjadi US$ 415/ton pada tahun 2000 (Susila 1997). Pada awal 1998 terdapat 50 perusahaan asing yang sedang melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan investasi US$ 3 miliar. Rencana perkebunan yang akan dikelola seluas 926.650 ha di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya.3 Khusus untuk Propinsi Riau dan Sumatera Utara, pemerintah telah menyatakan daerah ini telah tertutup untuk investasi baru pengembangan perkebunan.4 Perusahaan asing yang sangat berambisi untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Malaysia. Hal ini disebabkan keterbatasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan letak Indonesia yang paling dekat dengan lokasi fasilitas pabrik pengolahan di Malaysia. Investor asing lainnya seperti dari Inggris dan Singapura sudah mengincar perkebunan milik negara yang kinerjanya baik. Pemerintah Indonesia memang bermaksud melakukan program privatisasi perkebunan negara dengan menjual sebagian saham kepada pihak swasta nasional maupun asing. Akan tetapi, agar pihak asing tidak menjadi pemegang saham mayoritas, pemerintah tidak menjual keseluruhan saham, karena yang dibutuhkan perkebunan hanya pengembangan produk derivatif dan jaringan pemasaran internasional. Untuk investor dalam negeri, keinginan berinvestasi di perkebunan kelapa sawit tidak terbatas pada perusahaan yang sudah biasa mengelola perkebunan, tetapi juga pada perusahaan lain seperti perusahaan kehutanan milik negara. PT. INHUTANI III6 misalnya, sudah menargetkan untuk membangun perkebunan kelapa sawit seluas 500 hingga 1.000 ha per tahun. 134 Sementara itu PT INHUTANI I juga akan memasuki bisnis perkebunan, terutama tanaman karet dan kelapa sawit. Pada akhir Februari 1998, Menhutbun secara resmi telah mengizinkan Perum Perhutani dan PT Inhutani I s/d V melakukan ekspansi ke sektor perkebunan seperti kelapa sawit. Alasannya adalah usaha hutan merupakan investasi jangka panjang. Sedangkan perkebunan merupakan investasi jangka pendek yang diharapkan bisa memperbaiki cashflow Badan Usaha Milik Negara tersebut. Banyak perusahaan Indonesia yang belum mempunyai pengalaman di bidang perkebunan mencoba berbisnis kelapa sawit. Pada umumnya mereka memanfaatkan skema kredit khusus untuk pengembangan perkebunan rakyat dengan pola kemitraan, misalnya Pola Perusahaan Inti Rakyat-Transmigrasi (PIR-Trans) dan Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Walaupun perusahaan besar mempunyai beban harus bermitra dan membina petani, dengan menggunakan pola-pola tersebut mereka berkesempatan untuk menjadi kontraktor pembangunan kebun milik petani, dapat memanfaatkan kayu tebangan hutan dan mendapatkan fee khusus untuk pengurusan kredit petani. Berbagai kalangan menyebutkan bahwa dengan mekanisme kerja seperti ini, perusahaan besar tidak membantu petani, tetapi mereka justru memanfaatkan skema kredit petani. Meskipun perkembangan investasi perkebunan melemah, terdapat indikasi bahwa investasi sektor ini akan segera meningkat (Casson 1999). Diproyeksikan bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia akan mencapai 2,97 juta ha pada tahun 2000. Sampai dengan tahun 1997, persetujuan dan pelepasan hutan produksi untuk perkebunan sudah mencapai 6,7 juta ha. Luas ini belum termasuk luas permohonan pembangunan perkebunan yaitu 9 juta ha (Dephutbun 1998a). Masalah proyek pembangunan perkebunan sawit timbul karena banyak petani kecil atau masyarakat di sekitar perkebunan yang di korbankan. Pembangunan perkebunan di Sumatera Selatan, misalnya, dalam pelaksanaannya telah menggusur kebun rakyat. Sedikitnya 41.155,5 ha lahan 135 perkebunan rakyat milik 4.101 kepala keluarga di delapan kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan telah diambil paksa oleh 13 perusahaan perkebunan daerah. Ke-13 perusahaan itu adalah PT Barito Pasific Timber, PT Pakerin, PTPN VII, PT Mitra Ogan, PT Gunung Sawit Bina Lestari, PT London Sumatera, CV Harvelia, PT Bumi Arjo Makmur, PT Perjapin Prima, PT Tata Hamparan Eka Persada, PT Cipta Futura Plantation, PT Multradin Multi Maju, dan PT Surya Bumi Agro Langgeng.25 Dari 81 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang ada di Propinsi Sumatera Selatan, yang luas pencadangan arealnya 554.000 ha, seluruhnya terdapat masalah sengketa lahan dengan penduduk setempat. Lahan yang menjadi sengketa dalam perkebunan kelapa sawit mencapai 83 ribu ha atau 11% dari luas seluruhnya. D. Latihan Apa fungsi dasar perencanaan sosial di dalam proses pembangunan? Jelaskan. 136