Diskusi Terbuka Tari Topeng Malangan di FEB Topeng Malangan merupakan suatu icon kebudayaan yang mencerminkan karakter dari Kota Malang dimana umumnya mengisahkan cerita rakyat atau sebuah fregmentasi hikayat tentang berbagai hal terutama bercerita tentang kisah-kisah Panji. Banyak nilai-nilai inspiratif yang terkandung didalamnya. "Namun seiring dengan waktu, Topeng Malangan pada saat ini sudah mulai berkurang eksistensinya tergerus oleh modernisasi oleh karena itu sebagai generasi muda Indonesia khususnya warga Malang, memiliki tanggung jawab bersama dalam mempertahankan eksistensi Topeng Maalangan dan selayaknya ikut menbangun kembali kebanggaan Topeng Malangan dalam masyarakat". Demikian disampaikan Rollianto Syahran, mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB yang juga Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Indikator dalam sambutannya membuka acara Diskusi Terbuka, Tari Topeng Malangan (22/12). Bertempat di Basement Gedung E FEB, diskusi yang bertemakan "Mengukir Malang melalui Topeng Malangan" ini merupakan acara penutup dari rangkaian ajang Indikator October Fair 2011 yang diadakan oleh LPM Indikator FEB. Acara menghadirkan pemateri Drs. Dwi Cahyono M.Hum (Dosen pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang)dan juga Handoyo (penari, musisi sekaligus pemahat Topeng Malangan yang juga cucu dari maestro Topeng Malangan Mbah Karimun). Dalam diskusi tersebut Dwi Cahyono sendiri menceritakan tentang akar sejarah dan budaya dari Topeng Malangan mulai dari masa Hindu Budha, masa perkembangan Islam, masa kolonial dan masa kemerdekaan hinga masa sekarang. Beliau mengakui bahwa eksistensi dari Topeng Malangan pada masa kini atau setelah tahun 80-an sangat menurun drastis. Ini bisa dilihat dari menurunnya jumlah sanggar maupun sebarannya yang semakin lama semakin menyempit. Selain itu juga dari segi frekuensi pementasan Topeng Malangan sendiri yang semakin lama juga semakin berkurang. Dwi Cahyono sendiri mengungkapkan ada 2 faktor penyebab hal tersebut. Pertama faktor eksternal seperti semakin banyaknya alternative hiburan yang lebih murah dan beragam serta kedua faktor internal seperti panjangnya durasi dari pertunjukan Topeng Malangan itu sendiri yang sering kali membuat bosan atau jenuh penonton. Sementara itu Handoyo menjelaskan bahwa Topeng Malangan dalam perwujudannya tidakhanya hadir dalam bentuk tari murni saja, melainkan juga dalam bentuk yang lebih komplek dan memiliki durasi pertunjukan yang lebih lama berupa teatrikal atau sendra tari dan juga dalam bentuk seni kria/seni rupa yang berupa pahat topeng. Handoyo juga menambahkan bahwa Topeng Malangan memiliki kurang lebih 80 sampai 84 tokoh /karakter yang terbagi dalam 4 kelompok besar yaitu topeng dengan karakter protagonis/baik yang biasanya di wakili oleh topeng dengan bentuk mata manusia, karakter antagonis/jahat dengan bentuk topeng dengan mata bulat dan biasanya memiliki taring, karakter pembantu/lucu-lucuan dengan bentuk topeng yang biasanya berupa wajah yang janggal/aneh seperti misalnya wajah perot atau wajah yang memiliki mata tidak sama dan yang terakhir karakter tambahan misalkan binatang. (ron) Open Discussion of Malang Traditional Mask in FEB Malang Traditional Mask is a cultural icon that reflects the character of Malang, in chich generally tells folktales or fragments of stories on various things, especially Panji stories. There are many inspirational values in it. "Yet along with times, Malang Traditional Mask’s existence is decreasing because of modernization, that is why, as a younger generation, especially Malang residents, have the responsibility to maintain the existence of Malang Traditional Mask and build the pride of Malang Traditional Dance in the society". Such is as said by Rollianto Syahran, student of FEB Economic Science who is also Head of Student Press Institute (LPM) Indikator in his speech opening the Open Discussion of Malang Traditional Mask Dance (22/12). Located in Basement of Building E FEB, the discussion, themed "Carve Malang through Malang Traditional Mask" is a closing event of the Indikator October Fair 2011 held by LPM Indikator FEB. The event presents speakers Drs. Dwi Cahyono M.Hum (Lecturer of History Faculty of Social Sciences Universitas Negeri Malang) and Handoyo (dancer, musician, and caver of Malang Traditional Mask who is also a grandson of Malang Traditional Mask maestro, Mbah Karimun). In the discussion, Dwi Cahyono tells the history and cultural background of Malang Traditional Mask from the Hindu Budha times, Islam development times, colonial times and independence times, to current times. He said that the existence of Malang Traditional Mask currently, or after 80s era, drastically decreasing. This can be seen from the decreasing number of studios and its places, which is continuously shrinking. Besides, from the frequency of performance, Malang Traditional Mask is also decreasing. Dwi Cahyono said that there are two factors that cause the decline. First one is external factors such as the many alternatives of entertainment which is cheaper and more diverse, and the second one is internal factor such as the long duration of Malang Traditional Dance, which is often bores the audience. Meanwhile Handoyo explains that in reality, Malang Traditional Dance is not only in the form of pure dance, but also in a more complex form with longer duration in the form of theatre or dance show and also in the form of fine arts in the form of carved mask. Handoyo also said that Malang Traditional Dance have about 80 to 84 characters divided into 4 big groups with protagonists characters represented by human eyes, and antagonistic characters represented by circular eye and usually have fangs, minor character/ comics represented by weird faces such as disabled face, or dissimilar eyes, and the last one is additional characters such as animal. (ron/translated by: A. Yasmeen)