WAYANG TOPENG MALANGAN ERA TAHUN 1959-1978 (Studi Pengaruh Kebijakan Politik dan Kontribusi Pembelajarannya di SLTA) Oleh : Woro Windarti ¹1 Abstrak : Kesenian wayang topeng Malangan, seperti halnya kesenian tradisional lain, berkembang seiring dengan kondisi sosial politik yang ada. Pengaruh politik yang mulai masuk dalam ranah kesenian, menjadikan wayang topeng Malangan secara tidak langsung turut dijadikan sebagai media propaganda politik. Oleh karenanya, kesenian ini masih berkembang baik hingga tahun 1960an. Peristiwa 30 September 1965 menjadi tonggak matinya kesenian tradisional Indonesia, termasuk wayang topeng Malangan, yang terjadi hingga era tahun 1966. Kesenian ini selanjutnya mulai dibangkitkan kembali pada era tahun 1967 hingga 1968, dan kembali mengalami masa keemasan di era tahun 1970an. Peristiwa tersebut dapat memberikan kontribusinya terhadap pendidikan dalam pembelajaran di SLTA, mengarah pada mata pelajaran Muatan Lokal Seni Tari. Kata Kunci:kebijakan politik, perkembangan, wayang topeng Malangan, pembelajaran Pendahuluan Kesenian adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan, serta berkembang menurut kondisi dari kebudayaan tersebut (Kayam, 1981:15). Menurut Soedarsono (1999), kebudayaan di Indonesia muncul dan berkembang menurut tuntutan sejarah di lingkungan wilayahnya sendiri-sendiri. Oleh karena pengalaman atau sejarah masing-masing wilayah tersebut, menimbulkan corak budaya berbeda satu sama lain, seperti bentuk dari suatu kebudayaan. Jadi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan peninggalan atau warisan-warisan dalam berbagai bentuk yang diterimakan oleh perkembangan sejarah manusia di suatu wilayah itu sendiri. Kebudayaan sendiri juga muncul sebagai bagian dari usaha manusia dalam menghadapi tantangan alam maupun tantangan sekelompok manusia itu sendiri, agar dapat bertahan hidup dan mencapai kehidupan yang lebih makmur. Warisan sejarah tersebut antara lain menyangkut bahasa lokal, 1 Mahasiswa jurusan Sejarah, FIS UM Angkatan 2007 nilai-nilai dan kaidah dalam masyarakat, kepercayaan, kesenian, maupun bentukbentuk kebudayaan lain. Malang merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang memiliki cukup banyak warisan sejarah. Salah satunya adalah kesenian drama tari wayang topeng. Seperti halnya di daerah lain, wayang topeng Malangan merupakan pertunjukan drama tari dengan pelaku-pelaku bertopeng dan diiringi oleh gamelan. Dalam pertunjukannya sebagian besar bercerita tentang Panji. Murgiyanto & Munardi (1979/1980:16) menyatakan bahwa wayang topeng Malang menunjukkan ciri-ciri sub kultur Jawa Timuran. Dari gaya tari, dialog, tata busana, gending-gending pengiring dan bahkan dalam embat gamelan pelognya yang berlaras “sendaren” atau “sundari”. Murgiyanto (1982/1983:54) juga menjelaskan bahwa di daerah Malang dan Madura, wayang topeng memiliki penutup kepala (irah-irahan) yang dibuat mirip busana kepala wayang wong Jawa, sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Barat penari topeng mengenakan tekesatau sobrah, yaitu busana kepala khas topeng yang terbuat dari rambut berbentuk pipih melintang di bagian atasnya dengan hiasan untaian bunga panjang yang tergantung di bagian kiri dan kanan di atas telinga. Adapun yang pembeda yang sekaligus menjadi ciri khas sebagai wayang topeng Malangan adalah pada embrio atau awal munculnya kesenian ini. Berdasarkan penuturan Ki Soleh Adi Pramono seorang seniman wayang topeng pada Padepokan Mangun Dharma di Tumpang, menyebutkan bahwa topeng telah dikenal sejak zaman kerajaan Kanjuruhan di bawah Raja Gajayana (760 M) di Malang. Topeng awalnya merupakan simbol atau pemujaan raja Gajayana terhadap arwah ayahandanya, Dewa Simha. Berawal dari upacara pemujaan arwah yang bersifat magis-religius ini, kemudian berkembang menjadi kesenian rakyat. Pada masa kepemimpinan Wisnuwardhana di Singhasari, topeng digunakan pada drama tari wayang wwang dengan menampilkan cerita Ramayana dan Mahabarata. Namun, terjadi perubahan ketika masa Kertanegara (1190-1214 Saka atau 1268-1298 M) yang ingin mengangkat kisah-kisah dari leluhur kerajaan di Jawa Timur sendiri, hingga tercipta lakon Panji pada pertunjukan wayang topeng dan dikenal hingga ke luar nusantara. Kesenian ini kemudian berkembang pesat pada masa Majapahit, serta masa penyebaran Islam oleh para wali. Pada masa-masa kerajaan kuno, kesenian wayang topeng hanya berperan sebagai kesenian yang dikhususkan bagi kalangan kerajaan saja. Namun dalam perkembangannya, kesenian wayang topeng digunakan sebagai kesenian rakyat. Setelah mengalami pasang surut pada masa kerajaan kuno, kesenian ini kemudian diperkirakan muncul kembali pada akhir abad XIX, dan menyebar luas di kawasan Malang. Kesenian ini telah berkembang dan tersebar di beberapa pelosok daerah di Malang. Selain itu, perkembangan kesenian ini terbagi dalam dua kawasan besar, yaitu Kedungmonggo di bagian selatan dan Jabung di bagian timur Malang. Kedua kawasan inilah yang menjadi pusat sumber dalam mencari informan ataupun data primer. Penelitian mengenai bagaimana pengaruh politik terhadap perkembangan wayang topeng Malangan di era tahun 1959 hingga 1978 masih sangat sedikit. Pertimbangan temporal ini tidak terlepas dari perkembangan politik di tanah air pada kurun waktu tersebut, yang mempunyai dampak yang sangat besar terhadap seni pertunjukan. Pemanfaatan kesenian dalam ranah politik yang sudah terjadi di era tahun 1950an, semakin terlihat jelas di era demokrasi terpimpin yang dimulai pada tahun 1959. Konsep Manipol-USDEK yang digagaskan oleh Presiden Soekarno memberikan celah bagi kesenian untuk berkembang, dengan tetap memberikan kesempatan politik masuk dalam ranah kesenian. Bahkan ketika Peristiwa September 1965, seluruh aktivitas kesenian dihentikan secara total. Pada masa Orde Baru, terdapat berbagai kebijakan politik pemerintah yang turut pula memberikan pengaruh bagi perkembangan kesenian. Di masa ini pula wayang topeng Malangan mulai kembali bangkit, hingga pada tahun 1978 kesenian ini diikutkan dalam festival-festival kesenian nasional di Jakarta dan Yogyakarta. Semenjak diikutkan dalam festival kesenian nasional tersebut, kesenian wayang topeng Malang semakin banyak dikenal masyarakat luas hingga kini. Kajian mengenai pengaruh kondisi politik terhadap perkembangan wayang topeng Malangan tahun 1959 hingga 1978 ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada mata pelajaran muatan lokal di tingkat SLTA, yaitu bisa dijadikan sebagai materi tambahan dalam mata pelajaran tersebut. Rumusan Masalah dalam penelitian ini menyangkut (1) Bagaimana kondisi sosial politik Malang era tahun 1959 hingga 1978 (2) Bagaimana pengaruh kebijakan politik terhadap perkembangan kesenian Wayang topeng Malangan tahun 1959 hingga 1978 (3) Bagaimana kontribusi kajian bagi pembelajaran di SLTA. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan ini menggunakan penelitian historis. Penelitian historis ini merupakan penelitian yang mencoba untuk mendeskripsikan sumbersumber sejarah secara sistematis dan obyektif dengan berbagai tahap. Pada dasarnya penulisan sejarah memiliki empat tahap utama, yakni Heuristik-KritikInterpretasi-Historiografi. Adapun Kuntowijoyo (1999:89) menyatakan bahwa penulisan sejarah mempunyai lima tahap, yaitu (1) pemilihan topik, (2) heuristik atau pengumpulan sumber, (3) kritik atau verifikasi (kritik ekstern dan kritik intern), (4) interpretasi: analisis dan sintesis, dan (5) historiografi atau penulisan sejarah. Pemilihan topik tidak terlepas dari dua hal, yaitu kedekatan emosional yang meliputi keinginan untuk mengkaji tentang sejarah kesenian lokal daerah peneliti, serta kedekatan intelektual yang diperoleh dari sumber-sumber bacaan dan tradisi lisan setempat yang menunjang topik. Dalam mencari sumber (Heuristik) penulis membagi menjadi 2 yaitu sumber primer meliputi arsip, observasi dan wawancara dengan sumber primer yang merupakan pelaku sejarah, sedangkan yang kedua adalah sumber sekunder berupa buku-buku tentang wayang topeng Malangan dan Koran yang terkait. Metode selanjutnya adalah kritik sumber-sumber yang telah diperoleh dan interpretasi dengan membandingkan sumber-sumber tersebut untuk memperoleh penulisan sejarah atau historiografi. Kondisi Sosial Politik Malang Era Tahun 1959-1978 Kondisi sosial politik Malang tidak berbeda jauh dengan kondisi Indonesia secara umum. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikatakan sebagai awal pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin di Indonesia, telah memberikan pengaruh besar dalam perubahan sistem politik di Indonesia. Pada masa ini pula di Malang juga mengalami perubahan pada struktur pemerintahan daerah, seperti munculnya DPR GR yang bertugas menetapkan peraturan-peraturan daerah. Puncak pergulatan politik Indonesia terjadi pada Peristiwa 30 September 1965, yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa ini memiliki dampak yang sangat besar dalam tatanan kehidupan sosial dan politik masyarakat. Kondisi demikian juga terjadi di Malang, dimana masyarakat dilanda ketakutan dan kecemasan akan peristiwa tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan politik penguasa dalam melakukan penumpasan terhadap PKI dan kader-kadernya yang berjalan sepihak. Dalam menindaklanjuti kebijakan tersebut, maka terdapat peningkatan keamanan dan ketentraman di Malang. Hal ini direalisasikan dengan tugas yang diserahkan kepada Mares Hansip dan DPRD-GR Malang dalam menumpas pengikut PKI dan melindungi masyarakat dari bahaya laten komunis(Kotamadya Malang, 1969:60). Dampak lebih lanjut Peristiwa 30 September 1965 adalah munculnya Soeharto sebagai presiden dengan pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini konsep dwifungsi ABRI atau militer serta ide-ide pembangunan sangat kental. Mengenai hal ini Ricklefs (2008:610) menjelaskan bahwa militer sudah mulai mengambil alih pemerintahan daerah. Pada tahun 1968, 17 dari 25 provinsi diperintah oleh perwira militer, sedangkan pada tahun 1969 lebih dari setengah dari keseluruhan bupati dan walikota adalah militer. Di Malang, peran dwifungsi ABRI ini bisa dilihat dari jabatan Bupati dipegang oleh R. Soewignjo berpangkat Letnan Kolonel yang memerintah pada era tahun 1969 hingga 1979. Pada masa ini pula, R. Soewignjo juga merealisasikan kebijakan pemerintah tentang Repelita meliputi pembangunan prasarana produksi, prasarana perhubungan, dan prasarana pemasaran. Pengaruh Kebijakan Politik terhadap Perkembangan Kesenian Wayang Topeng Malangan Era Tahun 1959 hingga 1978 Berdasarkan Data Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten Malang tahun 2010, jika sebelumnya kesenian wayang topeng Malangan merupakan kesenian keraton, maka dalam perkembangannya kesenian ini menjadi kesenian tradisional rakyat. Meredupnya peran keraton dalam masyarakat yang digantikan sistem penjajahan Belanda, menyebabkan terjadinya perubahan pada tatanan masyarakat, termasuk hidup matinya kesenian tradisional yang dikembangkan oleh keraton. Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian ini kemudian dikembangkan kembali oleh tokoh bernama Mbah Reni dari Polowijen. Melalui Mbah Reni dan muridmurid inilah kemudian kesenian wayang topeng mulai menyebar ke berbagai wilayah di bagian timur seperti Jabung dan Tumpang, serta bagian selatan seperti Kedungmonggo dan Sumberpucung. Dekrit Presiden 1959 menandakan dimulainya demokrasi terpimpin oleh Soekarno. Memasuki demokrasi terpimpin di tahun 1959, kesenian tradisional Indonesia mengalami masa yang baik, termasuk wayang topeng Malangan. Kebijakan masa demokrasi terpimpin akan konsep Manipol-USDEK yang anti terhadap budaya barat, telah menyebabkan kesenian tradisional semakin bersinar. Hal ini bisa dilihat melalui banyaknya pementasan atau pertunjukan di berbagai daerah. Perkembangan wayang topeng Malangan dapat dilihat dari berbagai hal, seperti antusiasme masyarakat, daerah persebaran, fungsi, lokasi pertunjukan, kostum dan aksesoris, hingga adanya unsur politik dalam pertunjukan. Walaupun demikian, terdapat beberapa hal yang tidak dapat berubah dalam tradisi wayang topeng Malangan yaitu masih terdapat nilai magis religius, khususnya ritual sebelum pertunjukan dimulai masih dapat dijumpai. Pada dasarnya, dominasi politik terhadap kesenian sudah terjadi di era tahun 1950an, akan tetapi semakin kuat memasuki kesenian di era tahun 1960an. Oleh karenanya, banyak kesenian tradisional pada era tersebut menjadi bagian dari partai-partai politik, baik secara langsung ataupun tidak. Mengenai hal ini, Murtiyoso, dkk (1998:28-29) menjelaskan bahwa kondisi sosial budaya di masa 1960an, termasuk dunia pedalangan, sangat diwarnai oleh persaingan antar partaipartai politik di dalam mencari pengaruh masyarakat. Akibat pola masyarakat yang demikian itu, pertunjukan wayang oleh sebagian dalang, baik secara terselubung maupun terang-terangan, telah digunakan untuk propaganda partai politik masing-masing. Walaupun tidak secara terang-terangan, wayang topeng Malangan turut dalam situasi yang sama. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pertunjukan atau tanggapan kepada masyarakat yang dilakukan untuk mengumpulkan massa, selanjutnya kemudian berpidato menanamkan gagasan partai tertentu kepada masyarakat luas. Oleh karenanya, bagi mereka seniman wayang topeng, baik penari, penabuh gendang, maupun orang-orang yang tergabung dalam kesenian tersebut, tidak merasa bahwa adanya pemanfaatan kesenian dalam politik. Adapun fokus mereka hanya melakukan pertunjukan atau ditanggap. Peristiwa 30 September 1965 merupakan masa dimana seluruh komponen masyarakat Indonesia ikut terseret dalam situasi politik yang ada. Kesenian tradisional pun ikut terseret dalam permasalahan ini. Hal ini tidak terlepas dari kondisi sebelumnya, dimana banyak kesenian yang menjadi bagian dari partai politik, terutama PKI. Mengenai hal ini, Sutarto (2004:151) menjelaskan ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) runtuh pada tahun 1965, terjadi arus balik pengganyangan, dimana semua yang berbau komunis dihancurkan. Tentu saja, karena pada waktu itu salah satu kekuatan politik yang berhasil menggalang kesenian tradisi adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) maka peristiwa itu membawa korban ganda yaitu para pelaku seni tradisi yang menjadi anggota Lekra dan produk-produk seni tradisi yang mereka geluti. oleh karenanya, perubahan suhu politik yang ada di tahun 1965 bukan semata-mata menyebabkan berhentinya kesenian wayang topeng, akan tetapi juga ketakutan masyarakat pendukungnya pasca peristiwa tersebut. Adapun kebijakan politik pemerintah dalam rangka memulihkan keamanan sosial politik negara Indonesia yang carut marut pasca peristiwa 30 September 1965, antara lain dengan dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno kepada Jendral Soeharto. Selanjutnya Soeharto melakukan berbagai kebijakan politik dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden tanggal 12 Maret 1966 tentang pernyataan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai organisasi terlarang, termasuk pembubaran semua bagian-bagian organisasinya yang seazas dengannya, serta Instruksi Presiden tanggal 14 Maret 1966 yang menginstruksikan kepada semua pimpinan organisasi partai politik dan organisasi massa untuk tidak menerima mantan anggota-anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), beserta organisasi massa yang seazas. Walaupun tidak secara langsung menegaskan untuk melarang ataupun membekukan pertunjukan kesenian tradisional, akan tetapi keputusan ini seolah mengikat masyarakat untuk mematuhi keputusan tersebut. Pasca peristiwa 30 September 1965, secara umum banyak perkumpulan kesenian wayang topeng yang meredup. Bukan hanya karena faktor keuangan semata, tetapi juga rasa trauma yang masih didera oleh sebagian seniman. Dalam perkembangan selanjutnya, perkumpulan di Kedungmonggo, Jabung, dan daerah Tumpang yang masih bertahan. Kesenian wayang topeng Malangan yang mulai bangkit kembali pada tahun 1967 hingga 1968. Pada awal Orde Baru ini terdapat dukungan dari militer dan masyarakat pula menjadikan kesenian ini kembali mengalami masa bangkit. Di awal Orde Baru ini pula terdapat penjagaan oleh aparat militer dalam jalannya pertunjukan. Hal ini tidak terlepas dari bahaya laten akan komunis. Pada masa ini pula penguasa Orde Baru dalam memanfaatkan kembali kesenian menjadi bagian dari strategi dalam kaitannya dengan gagasan tentang pembangunan kepada masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari keikutsertaan wayang topeng Malangan dalam expo pembangunan di tahun 1975. Selain itu, visi dan misi pembangunan juga bisa dititipi melalui adegan Potrojoyo dalam wayang topeng Malangan. Mengenai hal ini, Murtiyoso dkk (1998:37-38) menjelaskan bahwa semenjak awal Repelita I oleh pejabat Orde Baru telah dititipi pesan-pesan pembangunan. Para elite birokrasi, baik di tingkat pusat maupun daerah-daerah, telah bersemangat berusaha memanfaatkan posisi dalang untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan dan atau program pemerintah, dalam berbagai kesempatan, seperti sarasehan, seminar, kongres, pekan wayang, dan sebagainya. Secara umum di era tahun 1970an, hampir semua kesenian wayang topeng Malangan mengalami perkembangan yang baik. Hal ini bisa dilihat dari keikutsertaan wayang topeng Malangan dalam berbagai festival kesenian yang diadakan dalam rangka mengembangkan kembali kesenian yang meredup di era sebelumnya. Dalam perkembangan lebih lanjut, kesenian wayang topeng Malangan mendapat perhatian besar oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Malang. Pada peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-27 tahun 1972, menampilkan kesenian wayang topeng Malangan. Di Malang pada tahun 1975, Bupati Suwignyo membuka peluang tari massal topeng Malang yang diikuti oleh 500 siswa Malang. Hal ini pula yang kemudian meningkatkan dukungan pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya melestarikan kesenian yang ada. Adapun di tahun 1978, wayang topeng Malangan diikutkan dalam festival kesenian nasional di Jakarta dan Yogyakarta. Salah satu bentuk perhatian pemerintah adalah dengan memperbaiki atau membangun sarana dan prasarana dalam menyokong kelestarian kesenian wayang topeng Malangan. Pembangunan sarana dan prasarana di antaranya adalah pembangunan Padepokan Asmoro Bangun di Kedungmonggo, kecamatan Pakisaji pada tahun 1982. Kontribusi Kajian Bagi Pembelajaran di SLTA Mengenai kajian tentang Pengaruh Kebijakan Politik terhadap Perkembangan Wayang Topeng Malangan tahun 1959 hingga 1978 ini memiliki kontribusi besar dalam mata pelajaran muatan lokal pendidikan seni tari. Muatan Lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada (Wahyudi, 2010). Hal ini dapat dikatakan bahwa dalam kurikulum pendidikan seni tari, bukan hanya bagaimana cara maupun estetika tari semata, tetapi juga bagaimana perjalanan seni tersebut. Hal ini sesuai dengan salah satu standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berkaitan dengan kesejarahan tari. Adapun Standar Kompetensi tersebut adalah mempresentasikan tanggapan tentang keragaman seni tradisi nusantara dengan memperhatikan konteks masyarakat dan budayanya. Sedangkan Kompetensi Dasar adalah mengidentifikasi sejarah dan perkembangan tari daerah setempat. Wayang topeng merupakan kesenian khas Malang, sangat penting untuk diangkat dalam pendidikan seni di tingkat SLTA. Melalui kajian ini pula dapat menjadi bahan tambahan dan pengetahuan baru mengenai perjalanan wayang topeng Malang di era tahun 1959 hingga 1978, serta kaitannya dengan pengaruh politik masa itu. Hal ini penting sebagai pengetahuan awal siswa, sebelum mereka mempelajari bagaimana estetika dan gerak tari wayang topeng. Penutup Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) Kondisi sosial politik Malang pada tahun 1959 hingga 1978 tidak terlepas dengan kondisi politik Indonesia secara umum, seperti Peristiwa 30 September 1965 yang turut menyebabkan ketakutan penduduk Malang, hingga konsep dwifungsi ABRI masa Orde Baru yang bisa dilihat dari jabatan Bupati Malang oleh R. Soewignjo berpangkat Letnan Kolonel di tahun 1969 hingga 1979. (2) Pengaruh kondisi politik di era tahun 1959 hingga 1978 sangat besar dalam perkembangan wayang topeng Malangan. Di era demokrasi terpimpin, kesenian ini berkembang baik, akan tetapi mulai meredup pasca Peristiwa 30 September 1965. Kesenian ini selanjutnya bangkit di tahun 1967 hingga 1968, dan mengalami masa keemasan di tahun 1978 dengan diikutkan dalam festival nasional. (3) Mengenai kajian tentang Pengaruh Kebijakan Politik terhadap Perkembangan Wayang Topeng Malangan tahun 1959 hingga 1978 ini memiliki kontribusi besar dalam mata pelajaran muatan lokal pendidikan seni tari. Melalui kajian ini pula dapat menjadi bahan tambahan materi mengenai kesejarahan wayang topeng Malang di era tahun 1959 hingga 1978. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : (1) Perkembangan Kesenian wayang topeng Malangan, seharusnya diimbangi oleh peran serta pemerintah daerah Kota/Kabupaten Malang, termasuk Dinas Pariwisata, agar dapat mendukung dalam upaya pelestarian kesenian ini dengan memberikan bantuan melalui penyediaan sarana dan prasarana, maupun melibatkan atau mempromosikan kesenian wayang topeng Malangan dalam berbagai acara tertentu. (2) Masyarakat Malang diharapkan turut berpartisipasi dalam mengembangkan dan melestarikan kesenian tradisional wayang topeng Malangan. (3) Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang diharapkan kajian ini dapat memperkaya wawasan dan menjadi tambahan referensi bagi Jurusan Sejarah tentang keterkaitan politik dan kesenian. (4) Peneliti Selanjutnya yang tertarik dengan tema yang sama, diharapkan mengembangkan kajian berbeda mengenai perkembangan lebih lanjut wayang topeng Malangan. Daftar Rujukan Alfian, D. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia. Alisjahbana, ST. 1985. Seni & Sastra di tengah-tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta : Dian Rakyat. Disbudpar Kabupaten Malang. 2010. Data Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten MaLang tahun 2010. Malang : Disbudpar. Kayam, U. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta : Sinar Harapan. Kotamadya Malang. 1969. Kotamadya Malang Lima Puluh Tahun. Malang : Panitia Peringatan HUT ke 55 Kotamadya Malang. Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Bentang Budaya. Buku Antar Bangsa. Kusmayanti, A. M. H, dkk. 2002. Indonesia Heritage : Seni Pertunjukan. Jakarta : Murgiyanto, S.M. 1982/1983. Pewarisan dan Pembinaan Kebudayaan Indonesia. Majalah Analisis Kebudayaan, III (2):52-62. Murgiyanto, S.M & Munardi, A. M. 1979/1980. Topeng Malang : Pertunjukan Dramatari Tradisional di Daerah Kabupaten Malang. Jakarta : Proyek Sasana Budaya Depdikbud. Murtiyoso, dkk. 1998. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta : STSI dan Sena Wangi. Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern : 1200-2008. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisai. Jakarta : Depdikbud. Sutarto, A. 2004. Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia. Jember : Kompyawisda. Wahyudi. 2010. Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal di Sekolah, (online), (file:///I:/Blognya Mr. Wahyudi Blog Archive Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal di Sekolah.htm), diakses 9 Oktober 2011.