BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat sampai sejauh mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya. Individu yang memiliki keterlibatan yang tinggi lebih mengidentifikasikan dirinya pada pekerjaannya dan menganggap pekerjaan sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupannya. Brown (dalam Muchinsky, 2003) mengatakan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merujuk pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Ia menegaskan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya. Robbins menambahkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki Job Involvement yang tinggi akan melebur dalam pekerjaan yang sedang ia lakukan. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan Organizational Citizenship Behavior dan performansi kerja. Sebagai tambahan, tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dapat menurunkan jumlah ketidakhadiran karyawan (Robbins, 2009: 306). Hiriyappa (2009) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai tingkat sampai sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, secara aktif berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap performansi yang dilakukannya penting untuk keberhargaan dirinya. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi akan menurunkan tingkat ketidakhadiran dan pengunduran diri karyawan dalam suatu organisasi. Sedangkan tingkat keterlibatan kerja yang rendah akan meningkatkan ketidakhadiran dan angka pengunduran diri yang lebih tinggi dalam suatu organisasi. Patchen (dalam Srivastava, 2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi kerja internal yang tinggi. Individu akan memiliki keterlibatan kerja yang rendah jika ia memiliki motivasi kerja yang rendah dan merasa menyesal dengan pekerjaannya. Artinya, individu yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah adalah individu yang memandang pekerjaan sebagai bagian yang tidak penting dalam hidupnya, memiliki rasa kurang bangga terhadap perusahaan, dan kurang berpartisipasi dan kurang puas dengan pekerjaannya. Berdasarkan dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merupakan komitmen seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dalam lingkungan kerjanya, serta keterlibatan kerja berhubungan langsung dengan Organizational Citizenship Behavior dalam menentukan kinerja. Dengan adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang ia lakukan, maka karyawan akan merasa bahwa pekerjaanya sangat penting dalam kehidupan kerja dan mempunyai keyakinan kuat akan kemampuan dalam menyelesaikan masalah. 2.1.1.1 Karakteristik Job Involvement Ada beberapa karakteristik dari karyawan yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi dan yang rendah (Cohen, 2003), antara lain: a. Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi: 1) Menghabiskan waktu untuk bekerja 2) Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan perusahaan 3) Puas dengan pekerjaannya 4) Memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi 5) Memberikan usaha-usaha yang terbaik untuk perusahaan 6) Tingkat absen dan intensi turnover rendah 7) Memiliki motivasi yang tinggi b. Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah: 1) Tidak mau berusaha keras untuk kemajuan perusahaan 2) Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan 3) Tidak puas dengan pekerjaan 4) Tidak memiliki komitmen terhadap pekerjaan maupun perusahaan 5) Tingkat absen dan intensi turnover tinggi 6) Memiliki motivasi kerja yang rendah 7) Tingkat pengunduran diri yang tinggi 8) Merasa kurang bangga dengan pekerjaan dan perusahaan 2.1.1.2 Dimensi Job Involvement Menurut Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003), Job Involvement memiliki dua dimensi, yaitu: a. Performance self-esteem contingency Keterlibatan kerja merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga dirinya (selfesteem). Harga diri didefinisikan sebagai suatu indikasi dari tingkat dimana individu mempercayai dirinya mampu, cukup, dan berharga. b. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri totalnya. Dubin (dalam Cohen, 2003) mengatakan bahwa orang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) adalah orang yang menganggap pekerjaan sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya. Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan (Robbins, 2009:303). 2.1.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Job Involvement Keterlibatan kerja (Job Involvement) dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu variabel personal dan variabel situasional. a. Variabel personal Variabel personal yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja meliputi variabel demografi dan psikologis. Variabel demografi mencakup usia, pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan, jabatan, dan senioritas. Moynihan dan Pandey (2007) juga menemukan bahwa usia memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan keterlibatan kerja, dimana karyawan yang usianya lebih tua cenderung lebih puas dan terlibat dengan pekerjaan mereka, sedangkan karyawan yang usianya lebih muda kurang tertarik dan puas dengan pekerjaan mereka. Hickling (2002) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengukur pengaruh variabel demografi dan status karyawan (part-time atau fulltime) menemukan bahwa variabel demografi dan status karyawan memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa karyawan full-time dan part-time berbeda dalam karakteristik demografi, dimana wanita memiliki tingkat absen yang lebih tinggi daripada pria, yang mengindikasikan bahwa wanita memiliki keterlibatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Ia juga menemukan bahwa karyawan yang bekerja full-time lebih terlibat dalam pekerjaannya dibandingkan dengan karyawan yang bekerja part-time. Westhuizen (2008) dalam penelitiannya menambahkan bahwa variabel-variabel demografi lainnya seperti gaji memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja (Job Involvement). Sedangkan variabel psikologis mencakup intrinsic/extrinsic need strength, nilai-nilai kerja, locus of control, kepuasan terhadap karakteristik/hasil kerja, usaha kerja, performansi kerja, absensi, dan intensi turnover. Bazionelos (2004) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja pada manajer menemukan bahwa ada hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja ditinjau dari teori 5 Faktor, dimana tipe kepribadian extraversion, openness, agreeableness berhubungan dengan keterlibatan kerja. Ia menemukan bahwa manajer yang memiliki karakteristik aggreableness yang rendah menunjukkan keterlibatan kerja yang tinggi. Selain itu, ia juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara extraversion dan openness dengan keterlibatan kerja. b. Variabel situasional Variabel situasional yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja mencakup pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya. Variabel pekerjaan mencakup karakteristik/hasil kerja, variasi, otonomi, identitas tugas, feedback, level pekerjaan (status formal dalam organisasi), level gaji, kondisi pekerjaan (work condition), job security, supervisi, dan iklim interpersonal. Mehta (dalam Srivastava, 2005) mengatakan bahwa faktor-faktor seperti otonomi, hubungan pertemanan, perilaku pengawas, kepercayaan, dan dukungan menuntun pada keterlibatan kerja yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas. Irawan (2010) dalam penelitiannya tentang hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja juga menemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja. Artinya, apabila persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan demokratis positif, maka keterlibatan kerja karyawan tinggi. Variabel organisasi mencakup iklim organisasi (partisipatif/mekanistik), ukuran organisasi (besar/kecil), struktur organisasi (tall/flat), dan sistem kontrol organisasi (jelas/tidak jelas). Karia dan Asaari (2003) mengatakan bahwa praktek continuous improvement dan pencegahan terhadap masalah secara signifikan berkorelasi positif dengan keterlibatan kerja, kepuasan kerja, kepuasan karir, dan komitmen organisasi. Ada beberapa penelitian lainnya yang dilakukan mengenai keterlibatan kerja (Job Involvement). Penelitian mengenai kepuasan kerja dan keterlibatan kerja menunjukkan hubungan positif antara keduanya. Makvana (2008) menemukan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan kerja yang tinggi menunjukkan tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Brown (dalam Mantler & Murphy, 2005) juga menambahkan bahwa orang-orang dengan keterlibatan kerja yang tinggi cenderung puas dengan pekerjaannya dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi mereka. 2.1.2 Pengertian Work Centrality Menurut Paullay, Alliger, & Stone-Romero (1994) dalam Blakely, Srivastava, Moorman (2005, p103) Work Centrality atau sentralitas kerja adalah tingkat pentingnya pekerjaan dalam kehidupan seseorang. Menurut Diefendorff, Brown, Kamin, and Lord (2002, p96) ditemukan dukungan untuk hubungan langsung antara sentralitas kerja dan OCB. Dalam studi mereka tentang hubungan antara Job Involvement dan OCB, termasuk sentralitas kerja sebagai variabel kontrol. Menurut Konungo (1982) dalam K Praveen dan Cullen (2003, p137) Work Centrality mengacu pada pentingnya pekerjaan umum dalam kehidupan seorang individu dibandingkan dengan kegiatan lain seperti rekreasi, menghabiskan waktu bersama teman, atau keluarga. Work Centrality yang tinggi berarti bahwa karyawan dapat mengidentifikasi peran pekerjaan seseorang, dan melihat pekerjaan sebagai aspek penting kehidupan (Diefendorff, Brown, Kamin, & Lord, 2002, p96). Dengan demikian, individu dengan Work Centrality yang tinggi melampirkan lebih penting untuk peran kerja dalam hidup daripada individu yang mendapat skor rendah pada sentralitas kerja. Selanjutnya, secara umum mengakui bahwa Work Centrality adalah sikap relatif stabil terhadap pekerjaan yang tidak sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan kerja tertentu. Work Centrality terutama diturunkan dari nilai-nilai dasar. Menurut Kanungo (1982) dalam Basak Ucanok (2009), Work Centrality adalah keyakinan normatif tentang nilai dan pentingnya pekerjaan dalam konfigurasi kehidupan seseorang, dan itu merupakan fungsi dari keadaan masa lalu, budaya seseorang atau sosialisasi. Beberapa peneliti (misalnya Kanungo, 1982) dalam Basak Ucanok (2009) menggunakan istilah Job Involvement (keterlibatan kerja) istilah atau 'keterlibatan dengan pekerjaan' untuk menentukan Work Centrality. Work Centrality adalah tingkat pentingnya pekerjaan pada umumnya daripada keterlibatan dalam pekerjaan ini. Oleh karena itu, Work Centrality berbeda dari konsep-konsep lain seperti, komitmen organisasi dan keterlibatan kerja. Sebuah studi empiris oleh Paullay et al (1994) dalam Basak Ucanok (2009) telah menjelaskan perbedaan antara Work Centrality dan Job Involvement dan telah menunjukkan bahwa kedua konsep ini sebenarnya tampak dua konstruksi yang berbeda. Dalam studi oleh Paullay et al, Job Involvement didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang kognitif sibuk dengan, terlibat dalam, dan peduli dengan pekerjaan seseorang, dan Work Centrality didefinisikan sebagai kepercayaan bahwa orang miliki tentang tingkat kepentingan kerja memainkan dalam hidup mereka. Meskipun korelasi, moderat positif ditunjukkan antara instrumen pengukuran Work Centrality dan Job Involvement, analisis faktor konfirmatori memberikan dukungan untuk hipotesis bahwa Job Involvement dan Work Centrality adalah dua konstruksi yang berbeda. Berdasarkan dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Work Centrality atau sentralitas kerja merupakan sikap dari para karyawan bahwa pekerjaan yang dia libatkan seberapa besar dan pentingnya dalam kepercayaan seseorang terhadap pentingnya pekerjaan tersebut. 2.1.2.1 Dimensi Work Centrality Dalam studi MOW menurut Ucanok (2011) terdapat 2 Dimensi Work Centrality : Orientasi nilai (identifikasi dengan pekerjaan, komitmen untuk bekerja) Orientasi keputusan (Kepentingan hidup, perilaku pengaturan, dan hubungan interpersonal. 2.1.3 Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu yang dalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan di-reward oleh perolehan kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunter untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan “nilai tambah karyawan.” Organizational Citizenship Behavior (OCB) atau kewarganegaraan organisasional sangat terkenal dalam perilaku organisasi saat pertama kali diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu dengan dasar teori disposisi/ kepribadian dan sikap kerja. Dasar kepribadian untuk OCB merefleksikan ciri/trait predisposes karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian, dan sungguh-sungguh. Sedangkan dasar sikap mengindikasikan bahwa karyawan terlibat dalam OCB untuk membalas tindakan organisasi (Luthans, 2006:251). Sehingga berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku organisasi yang dapat membuat karyawan benar-benar merasa terlibat seperti bagian di dalam organisasi tersebut dan berperilaku untuk bekerja lebih dari tuntutan pekerjaan yang diberikan perusahaan. 2.1.3.1 Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dimensi OCB menurut Organ (Purba dan Seniati, 2004:106) adalah sebagai berikut : a. Altruism Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya. b. Conscientiousness Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan tugas. c. Sportmanship Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organiasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportsmanship akan meningkatkan iklim yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan. d. Courtessy Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalahmasalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. e. Civic Virtue Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seseorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni. 2.1.3.2 Motif yang Mendasari OCB Seperti halnya sebagian besar perilaku yang lain, OCB ditentukan oleh banyak hal, artinya tidak banyak penyebab tunggal dalam OCB. Sesuatu yang masuk akal bila kita menerapkan OCB secara rasional. Salah satu pendektan motif dalam perilaku organisasi berasal dari kajian McClelland dan rekan-rekannya, Menurut McClelland, manusia memiliki tiga tingkatan motif (Hardaningtyas, 2005:14) : Motif berprestasi, mendorong orang untuk menunjukkan suatu standard keistimewaan (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau kompetisi. Motif afiliasi, mendorong orang untuk mewujudkan, memelihara, dan memperbaiki hubungan dengan orang lain. Motif kekuasaan, mendorong orang untuk mencari situasi di mana mereka dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain. Kerangka motif berprestasi, afiliasi, dan kekuasaan telah diterapkan untuk memahami OCB guna memahami orang menunjukkan OCB. Gambar 2.1 menunjukkan model OCB yang didasari oleh suatu motif. Motif Berprestasi Dengan OCB berarti : Kesempurnaan tugas Kesuksesan organisasi OCB Motif Afiliasi Dengan OCB berarti: Pembentukan dan pemeliharaan relasi Penerimaan dan persetujuan Motif Kekuasaan Dengan OCB berarti : Mendapat kekuasaan dan status Menunjukkan kesan positif Gambar 2.1 Motif OCB 2.1.3.3 Manfaat OCB dalam Perusahaan Dari hasil-hasil penelitian mengenai OCB, dapat disimpulkan hasil manfaat OCB, Sebagai berikut (Hardaningtyas, 2005): 1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja Karyawan yang menolong rekan kerja akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut. Seiring berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok. 2. OCB meningkatkan produktivitas manajer Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja. Karyawan yang sopan dan menghindari konflik dengan rekan kerja akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen. 3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan Jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer. Konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan bagi organisasi. Karyawan yang menampilkan conscentioussness yang tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting. Karyawan lama membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut. Karyawan yang menampilkan perilaku sportsmanship akan sangat menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan. 4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi kelompok Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril (morale) dan keretakan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi untuk pemeliharaan fungsi kelompok. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajemen terbuang. 5. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasikan kegiatankegiatan kelompok kerja. Menampilkan perilaku civic virtue (seperti menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam peremuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi di antara anggota keompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan efisiensi kelompok. Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling memberi informasi tentang pekerjaan dengan anggota tim lain) akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan. 6. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaik. Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan keretakan serta perasaan saling memiliki di antara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik. Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku sportsmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan- permasalahan kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi. 7. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas (dengan cara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja. Karyawan yang conscientiuous cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit kerja. 8. OCB meningkatkan kemampuan organiasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan Karyawan yang mempunyai hubungan uang dekat dengan pasar dengan sukarela memberi informasi tentang bagaimana merespon perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat. Karyawan yang secara aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuanpertemuan di organisasi akan membantu menyebabkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi. Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness (misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelejari keahlian baru) akan meningkatkan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. 2.1.4 Pengertian Kinerja Kinerja (performance) pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan (Mathis, 2006, p378). Sedangkan menurut Mangkunegara (2002, p67), kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance yang artinya hasil kerja secara kualitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Mathis (2006, p113-114), kinerja para karyawan individual adalah faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu organisasi. Selain karyawan dapat menjadi keunggulan bersaing, mereka juga dapat menjadi liabilitas atau penghambat. Ketika karyawan terus menerus meninggalkan perusahaan dan ketika karyawan bekerja namun tidak efektif, maka sumber daya menempatkan organisasi dalam keadaan merugi. Kinerja individu, motivasi, retensi karyawan merupakan faktor utama bagi organisasi untuk memaksimalkan efektivitas sumber daya manusia. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan individual – kemampuannya, usaha yang dicurahkan, dan dukungan organisasi yang diterimanya. Sebagian unit SDM dalam organisasi ada untuk menganalisis dan memnyampaikan bidang ini. Peran yang sebenarnya dari unit SDM dalam organisasi “seharusnya” tergantung pada apa yang diharapkan oleh manajemen atas. Sehubungan dengan fungsi manajemen mana pun, aktivitas manajemen SDM harus dikembangkan, dievaluasi, dan diubah bila perlu sehingga mereka dapat meberikan kontribusi pada kinerja kompetitif organisasi dan individu di tempat kinerja. Dengan demikian, dari beberapa pengertian diatas menyimpulkan bahwa kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Dan pengertian lain dari Performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika. 2.1.4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Menurut Mathis (2006, p113-114), tiga faktor utama yang memengaruhi bagaimana individu bekerja adalah sebagai berikut : 1. Kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut, yaitu Bakat Minat Faktor kepribadian 2. Tingkat usaha yang dicurahkan, yaitu Motivasi Etika kerja Kehadiran Rancangan tugas 3. Dukungan organisasional Pelatihan dan pengembangan Peralatan dan teknologi Standar kinerja Manajemen dan rekan kerja 2.1.4.2 Unsur-unsur Evaluasi Kinerja Menurut Mathis (2006, p378), kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut: Kuantitas dari hasil Pencapaian sasaran atau target dalam kuantitas dapat diukur secara absolut, dalam persentase atau indeks. Kualitas dari hasil Kualitas bersifat relatif, sehingga tidak mudah diukur, dan sangat tergantung pada selera individu. Kualitas dapat dirahasiakan, dilihat, atau diraba. Waktu dan kecepatan dari hasil Setiap pelaksanaan tugas selalu membutuhkan waktu sebagai masukkan. Waktu merupakan sumber daya yang mahal, karena dia terbatas, tidak dapat disimpan atau ditunda. Oleh karena itu setiap waktu harus digunakan secepat mungkin dan secara optimal. Penundaan penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan kerugian. Kehadiran atau absensi Kemampuan bekerja sama Rasa dapat dipercaya Hal tersebut hampir sama dengan yang diungkapkan Agus Dharma dalam bukunya Manajemen Supervisi (2003, p355) yang mengatakan bahwa hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai tersebut : 1) Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan. 2) Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran. 3) Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan. Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan. 2.1.4.3 Manfaat Evaluasi Kinerja Werther dan Davis dalam (Sirait, 2006, p129) menyebutkan manfaat atau kegunaan penilaian kinerja, sebagai berikut : 1) Memperbaiki prestasi kerja. Prestasi yang sudah baik harus ditingkatkan lagi dan prestasi yang buruk harus segera diperbaiki. Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan dapat memperbaiki prestasi kerja mereka. 2) Dapat melakukan penyesuaian kompensasi. Kompensasi tidak boleh statis, tetapi harus bersifat dinamis, yaitu dinamis dalam pengertian menurut harga pasar dan kontingensi (dihubungkan dengan prestasi karyawan masing-masing). Pembayaran akan memotivasi karyawan, jika pembayaran tersebut sesuai dengan prestasi kerjanya. 3) Bahan pertimbangan penempatan. Promosi, transfer dan demosi biasanya didasarkan pada prestasi kerja masa lalu dan antisipasinya. Promosi sering merupakan bentuk penghargaan terhadap prestasi kerja masa lalu. 4) Menetapkan kebutuhan latihan dan pengembangan. Melalui penilaian prestasi kerja, perusahaan dapat menetapkan materi latihan dan pengembangan. 5) Membantu perencanaan dan pengembangan karir karyawan. Umpan balik prestasi mengarahkan keputusan-keputusan karir, yaitu tentang jalur karir tertentu. 6) Dapat mengetahui kekurangan dalam proses penempatan staf. Prestasi kerja yang baik atau buruk mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing. 7) Dijadikan patokan dalam menganalisis informasi analisis jabatan. Uraian jabatan belum tentu baik, jadi dengan penilaian prestasi kerja, perusahaan dapat menganalisis uraian jabatan yang telah disusun. 8) Mendiagnosis kesalahan-kesalahan rancangan jabatan. Prestasi kerja yang buruk mungkin merupakan pertanda kesalahan dalam desain pekerjaan. 9) Mencegah adanya diskriminasi. Penilaian prestasi kerja secara akurat akan menjamin keputusankeputusan penempatan internal dapat diambil tanpa diskriminasi. 2.1.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu Berikut ini adalah hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan, dengan penelitian yang akan dilakukan penulis : 1. Penelitian oleh Diefendorff, Michael M., Brown, Douglas J., Kamin, Allen M., & Lord, Robert G. (2002). tentang “Examining the roles of job involvement and work centrality in predicting organizational citizenship behaviors and job performance”. Studi yang mereka lakukan menunjukkan bahwa, Job Involvement berpotensi penting menentukan kinerja karyawan/individu. Dan Job involvement merupakan indikator berguna bagi OCB. bukti lebih lanjut dari kebutuhan untuk membedakan antara Job Involvement dan Work Centrality. Juga diketahui bahwa Job Involvement memiliki pengaruh yang signifikan dan korelasi positif terhadap OCB. Sementara Job Involvement dengan Work Centrality berhubungan dengan kinerja karyawan. Selanjutnya antara Job Involvement memiliki hasil pengaruh. Peran dalam grup. Job Involvement memiliki pengaruh negatif yang signifikan pada pria dan pada grup wanita memiliki pengaruh positif yang signifikan. 2. Penelitian oleh Aamir, Chughtai (2008) yang berjudul “Impact of job involvement on in-role Job Performance and Organizational Behaviours”. Hasil dari penelitian tersebut adalah mempelajari pengaruh Job Involvement terhadap kinerja peran. Umumnya studi berusaha untuk mengungkap hubungan positif antara Job Involvement dan kinerja telah bertemu dengan keberhasilan yang terbatas. Studi ini menambah literatur empiris menunjukkan bahwa dengan Job Involvement juga mengarah ke sikap yang lebih positif dan perilaku seperti Organizational Citizenship Behavior meningkat. sehingga mendorong tingginya tingkat Job Involvement karyawan dapat menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan baik bentuk kinerja dan untuk mengembangkan sikap yang lebih positif dan perilaku OCB kesejahteraan. Oleh karena itu investasi dalam kondisi, yang membantu untuk membuat karyawan lebih terlibat dalam pekerjaan mereka, kemungkinan akan menjadi penting untuk pertumbuhan dan profitabilitas organisasi. 2.2 Kerangka Pemikiran Job Involvement (X1) 1. Performance self-esteem contingency 2. Kepentingan pekerjaan Organizational Citizenship Behavior (Y) 1. 2. 3. 4. 5. Altruism Courtesy Sportsmanship Civic Virtue Conscientiousness Work Centrality (X2) 1. Orientasi nilai 2. Orientasi keputusan Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Kinerja Karyawan (Z) 1. Kemampuan individual 2. Tingkat usaha yang dicurahkan 3. Dukungan organisasi Keterangan : Menggambarkan pengaruh secara simultan Menggambarkan pengaruh secara parsial 2.3 Hipotesis a. Untuk T-1 Ho = Job Involvement (X1) dan Work Centrality (X2) tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara parsial maupun simultan terhadap Organizational Citizenship Behavior (Y) pada PT. Ms. Aishah Mandiri. Ha = Job Involvement (X1) dan Work Centrality (X2) memiliki kontribusi yang signifikan secara parsial maupun simultan terhadap Organizational Citizenship Behavior (Y) pada PT. Ms. Aishah Mandiri. b. Untuk T-2 Ho = Job Involvement (X1), Work Centrality (X2) dan Organizational Citizenship Behavior (Y) tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara parsial maupun simultan terhadap Kinerja Karyawan (Z) pada PT. Ms. Aishah Mandiri. Ha = Job Involvement (X1), Work Centrality (X2) dan Organizational Citizenship Behavior (Y) memiliki kontribusi yang signifikan secara parsial maupun simultan terhadap Kinerja Karyawan (Z) pada PT. Ms. Aishah Mandiri.