Laporan Kasus 1 Poliklinik Perempuan 35 Tahun Dengan Parese Nervus VII LMN Oleh: Titian Rakhma Pembimbing: dr. Indriany W, Sp.S. PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF FK UNS-RSUD Dr. Moewardi Surakarta 2014 I. ANAMNESIS A. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Agama Alamat Tgl pemeriksaan No CM : Ny. W : 35 tahun : Perempuan : Karyawati Pabrik : Islam : Bekonang, Mojolaban,Sukoharjo : 5 Januari 2014, jam 11.00 WIB : 01050606 B. KELUHAN UTAMA Kelumpuhan wajah bagian kiri C. KELUHAN YANG MENYERTAI KELUHAN UTAMA Mata kiri tidak bisa menutup dengan rapat, bibir merot ke kanan, sulit mengangkat alis, nyeri dibelakang telinga kiri D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Penderita merasakan lumpuh pada wajah bagian kanan sejak 2 hari sebelum datang ke Poliklinik Saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Keluhan ini terjadi secara tiba-tiba saat bangun tidur. Selain itu pasien juga mengeluh mata kiri tidak bisa menutup dengan rapat bila dipejamkan. Penderita kesulitan dalam menggerakkan alis, penderita merasa bila menaikkan alis, alis bagian kiri tertinggal dan wajahnya perot ke arah kanan. Penderita mengeluh pada waktu mencucukan bibir, bibir bagian kiri lebih tertinggal atau lemah. Penderita tidak mengeluh mata kiri nrocos. Penderita merasa tidak nyaman bila mengunyah makanan pada mulut sebelah kiri. Sering penderita mengeluhkan makanan menumpuk pada pipi sebelah kiri, tetapi masih bisa makan minum tanpa tersedak. Penderita tidak mengeluh lidah bagian kiri lebih kering dan lebih mati rasa dalam merasakan rasa asam, asin, dan manis makanan dibanding lidah bagian kanan. Keluhan mudah haus, sering lapar, sering kencing dan penurunan berat badan dibantah oleh penderita. Penderita tidak pernah mengalami muntah tanpa mual sebelumnya. 2 Penderita tidak mengeluh nyeri pada wajah bagian kiri, tidak mengeluh hidung bagian kiri pilek atau kering. Penderita tidak pernah mengalami cedera kepala atau kecelakaan sebelumnya. Penderita tidak mengeluh nyeri kepala, pusing berputar, lumpuh separuh, atau mati rasa separuh. Penderita tidak mengeluh pandangan kabur atau buta atau silau, tidak mengeluh berkurang pembauannya. Penderita tidak mengeluh kelemahan jika mengangkat bahu. Buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan. Penderita tidak pernah mengalami pandangan dobel atau pandangan yang semakin lama semakin kabur. Penderita tidak mengeluhkan terdapat penurunan pendengaran pada telinganya. Tiga hari sebelum terjadi kelumpuhan pada wajah kirinya penderita mengeluhkan bengkak di belakang telinga kiri sampai rahang bawah sebelah kiri dan terasa nyeri. Saat ini bengkak pada belakang telinga kiri sampai rahang kiri sudah hilang dengan sendirinya tetapi masih terasa sedikit nyeri. Pada penderita tidak terdapat benjolan, ataupun bintil-bintil kecil berisi cairan di depan telinga ataupun wajah sebelah kiri. Penderita menyangkal pernah sakit dompo pada wajah bagian kiri. Selama ini penderita tidak mengeluarkan cairan dari telinga dan telinga tidak berdenging. E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Riwayat sakit serupa : (-) Riwayat infeksi telinga : (-) Riwayat herpes (dompo) : (-) Riwayat tumor otak : (-) Riwayat DM : (-) Riwayat mondok : (-) Riwayat cedera kepala : (-) F RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Riwayat penyakit yang sama : (-) Riwayat hipertensi : (-) Riwayat DM : (-) Riwayat penyakit jantung : (-) 3 F. KEADAAN SOSIAL EKONOMI Pasien adalah seorang karyawati pabrik, tinggal serumah dengan suami dengan 2 orang anak. Pasien berobat dengan fasilitas Jamsostek. G. RIWAYAT KEBIASAAN DAN GIZI Riwayat olahraga : jarang Keadaan gizi : kesan cukup II. PEMERIKSAAN FISIK A. STATUS INTERNA 1. Kesan umum 2. Tanda vital 3. Kepala dan leher : kesadaran kompos mentis, gizi kesan cukup : tensi : 120/70 mmHg nadi : 80 kali/menit respirasi : 18 kali/menit suhu : 36,5 o C : kepala leher : dalam batas normal (dbn) : pembesaran KGB(-), JVP tidak meningkat ketiak dan lipatan paha : pembesaran KGB (-) 4. Jantung 5. Paru & dada : Inspeksi : iktus cordis tidak tampak Palpasi : iktus cordis tidak kuat angkat Perkusi : kesan batas jantung melebar Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-) : Inspeksi Palpasi Perkusi : pengembangan simetris, : fremitus raba kiri sama dengan kanan, : sonor/sonor Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) suara tambahan (-/-) 6. Abdomen Inspeksi : cembung, vena tidak tampak 4 Palpasi : supel, hepar,lien dan massa tak teraba Perkusi : timphani Auskultasi : bising usus (+) kesan normal B. STATUS PSIKIATRI Emosi : dbn Proses berpikir : dbn Kecerdasan : daya ingat : dbn menghitung : dbn pengertian : dbn persamaan ; dbn Perhatian : dbn C. STATUS NEUROLOGIS 1. Kesan Umum dan Fungsi Luhur a. Kepala : dbn b. Kesadaran / GCS : kompos mentis / E4 V5 M6 c. Cara berbicara : dbn d. Disorientasi kanan-kiri : (-) e. Fingeragnosia : (-) 2. Tanda Rangsangan Selaput Otak Kaku Kuduk : (-) Tanda Brudzinski I : (-) Tanda Lasegue : (-/-) Tanda Brudzinski II : (-) Tanda Kernig : (-/-) Tanda Brudzinski III : (-) Tanda Brudzinski IV : (-) 3. Kolumna Vertebralis Kelainan bentuk : (-) Nyeri tekan/ketok lokal : (-) 5 Tanda Patrick : (-/-) Tanda Anti Patrick : (-/-) Lasseque : (-/-) Tanda Nafzinger : (-) Tes Valsava : (-) Gerakan vertebrae cervikal : fleksi, ekstensi dan rotasi pasif Gerakan tubuh : membungkuk, ekstensi dan deviasi lateral : dbn : dbn 4. Saraf Otak a. Nervus I Kanan Kiri Anosmia : - - Parosmia : - - Halusinasi : - - b. Nervus II Kanan Kiri > 3/60 Visus : > 3/60 Kacamata : (-) (-) Lapang Pandang : dbn dbn Warna : dbn dbn Funduskopi : - - C. Nervus III, IV, VI Kanan Kiri Celah mata : simetris simetris Posisi bola mata : ditengah ditengah Gerak bola mata : dbn Pupil : ukuran : 3 mm Bentuk : dbn 3 mm bulat bulat 6 R. cahaya langsung : (+) (+) R. cahaya tidak langsung : (+) Konvergensi : (+) (+) Akomodasi : (+) (+) (+) c. Nervus V Kanan Kiri Sensorik I : dbn dbn Sensorik II : dbn dbn Sensorik III : dbn dbn Otot kunyah : dbn dbn Refleks masseter : dbn dbn Refleks kornea : + + d. Nervus VII Saat diam Kanan Otot dahi : Tinggi alis : Sudut mata Saat gerak kiri kanan asimetris : kiri kiri tertinggal asimetris kiri lebih rendah asimetris kiri lebih rendah Sudut mulut : lebih rendah kiri Lipatan nasolabial : lebih datar bagian kiri Memejamkan mata : Meringis : Sekresi air mata : tertarik ke kanan lebih datar bagian kiri lebih lemah kiri mencong ke kanan dbn (schirmer test : 30 mm) / dbn (schirmer test : 25 mm) Pengecap lidah : dbn Hiperakusis : / dbn (- / -) 7 e. Nervus VIII Kanan kiri dbn dbn Pendengaran : Vertigo : (-) Nistagmus : (-) f. Nervus IX dan Nervus X Kanan Kiri Refleks muntah : dbn dbn Pengecapan : dbn dbn Posisi uvula : ditengah Arkus faring : simetris Menelan : Bersuara : dbn Fenomena Vernet Rideau : simetris dbn g. Nervus XI Kanan Kiri Bentuk otot : dbn dbn Mengangkat bahu : dbn dbn Berpaling : dbn dbn Kanan Kiri (-) (-) h. Nervus XII Atrofi lidah : Kekuatan : Fasikulasi : (-) (-) Gerak spontan : N N Simetris 8 Posisi diam : Di tengah Posisi dijulurkan : Di tengah 5. Pemeriksaan Sistem Koordinasi Ekstremitas Kanan Kiri a. Gerakan abnormal : (-) (-) b. Uji jari-jari tangan : dbn dbn c. Uji jari hidung : dbn dbn d. Uji pronasi dan supinasi : dbn dbn e. Uji hidung-jari-hidung : dbn dbn f. Tapping jari-jari tangan : dbn dbn g. Uji tumit lutut : dbn dbn h. Tapping jari-jari kaki : dbn dbn i. Cara berjalan : dbn j. Uji Romberg : dbn 6. Pemeriksaan Sistem Sensorik Lengan Tungkai Kanan Kiri dbn dbn kanan kiri a. Rasa eksteroseptif Rasa nyeri superficial : Rasa suhu : dbn dbn Rasa raba ringan : dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn b. Rasa proprioseptif Rasa getar : dbn Rasa tekan : Rasa nyeri tekan : dbn dbn dbn dbn Rasa gerak dan posisi : dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn 9 dbn dbn c. Rasa kortikal Stereognosis : dbn dbn Barognosis : dbn dbn Pengenalan 2 titik : dbn dbn 7. Pemeriksaan Sistem Otonom a. Miksi : dbn b. Defekasi : dbn c. Salivasi : dbn d. Sekresi keringat : dbn 8. Pemeriksaan Sistem Motorik dan Refleks a. Ekstremitas superior Lengan Atas Kanan Bawah Kiri Kanan Tangan Kiri Kanan Kiri Pertumbuhan : normal/normal normal/normal normal/normal Tonus : normal/normal normal/normal normal/normal Kekuatan Fleksi : 5/5 Ekstensi : 5/5 5/5 5/5 5/5 5/5 Reflek fisiologis Bisep : (+2/+2) Trisep : (+2/+2) Reflek patologis Hoffman : (- / -) Tromner : (- / -) 10 b. Inferior Tungkai Atas Kanan Bawah Kiri Kanan Kaki Kiri Kanan Pertumbuhan : normal / normal normal / normal Tonus : normal / normal normal / normal Kekuatan : Fleksi : 5/5 5/5 5/5 Ekstensi : 5/5 5/5 5/5 Kiri normal / normal normal / normal Klonus Lutut : (- / -) Kaki : (- / -) c. Refleks kanan kiri Refleks Patella : +2 +2 Refleks Achilles : +2 +2 Reflkes Babinski : (-) (-) Refleks Chaddock : (-) (-) Refleks Openheim : (-) (-) Refleks Gordon : (-) (-) Refleks Stransky : (-) (-) Refleks Gonda : (-) (-) Refleks Schaeffer : (-) (-) Refleks Mendel B : (-) (-) Refleks Rosolimo : (-) (-) Refleks Dinding Perut : (+) (+) 11 d. Refleks Primitif Refleks memegang : (-) Refleks snout : (-) Refleks menghisap : (-) Refleks palmo-mental : (-) III. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. EMG Motorik : not respon N. Facialis sinistra Blink Reflek: stimulasi dekstra : R1 dan R2 ipsilateral dalam batas normal. R2 kontralateral memanjang. Stimulasi sinistra : R1 dan R2 ipsilateral memanjang. R2 kontralateral dalam batas normal. Kesan : mendukung gambaran lesi N. Facialis sinistra incomplete B. CT-SCAN CT-Scan (dilakukan oleh TS THT-KL): - Tampak deviasi setum nasi ke kiri - Tak tampak lesi hipo/iso/hiperdense di bagian parenchime - Midline shifting (-) - Sulci dan gyri tak tampak kelinan - Sistem ventrikel dan sisterna tak tampak kelainan - Tak tampak kalsifikasi abnormal - Orbita, sinus paranasalis dan mastoid kanan dan kiri tak tampak kelainan - Cranioserebral space tak tampak melebar - Calvaria intak - Kesan : deviasi septum nasi kekiri, tak terdeteksi kelainan intrakranial. 12 Laboratorium : darah rutin HB 14,2 g/dl Hct 43,9 % RBC 4,97x103 u/L WBC 8,0x103 u/L PLT 158X103 u/L GDS 95 mg/dl IV. RESUME a. Anamnesis : Wajah sebelah kiri merot secara tiba-tiba saat bangun tidur Mata sebelah kiri tidak bisa menutup dengan rapat Bila menaikkan alis, alis bagian kiri tertinggal Pada waktu mencucukan bibir, bibir bagian kiri lebih tertinggal atau lemah Makanan menumpuk pada pipi sebelah kiri Tidak ada kelemahan separuh tubuh Tidak ada tanda-tanda infeksi Tidak terdapat penurunan pendengaran Terdapat nyeri dibelakang telinga kiri Tidak ada riwayat trauma b. Pemeriksaan Fisik Status interna : dalam batas normal Status neurologis : Kesadaran : GCS E4V5M6, compos mentis 13 c. Fungsi sensoris : dalam batas normal Fungsi motorik : dalam batas normal Fungsi otonom : dalam batas normal Fungsi koordinasi : dalam batas normal Nervi craniales : lesi N. VII sinistra perifer Pemeriksaan Penunjang EMG : mendukung gambaran lesi N. Facialis sinistra incomplete CT-SCAN : deviasi septum nasi kekiri, tak terdeteksi kelainan intrakranial Laboratorium darah rutin : dalam batas normal V. DIAGNOSIS Diagnosis neurologis Diagnosis klinis : Parese Nervus VII sinistra LMN, otalgia auricula sinistra Diagnosis topis : Nervus VII sinistra (infra chorda timpany sekitar foramen stilomastoideus) Diagnosis etiologi : Bell’s Palsy (Grade IV House and Brackmann-disfungsi moderat) VI. PENATALAKSANAAN Medika mentosa : - Prednison 1 mg / kgBB (5 hari), diturunkan 2 tablet / hari sampai 10 hari (stadium akut) - Mecobalamin 3 x 500 mcg 14 Nonmedikamentosa : - Fisioterapi VII. KONSULTASI / RAWAT BERSAMA Rehabilitasi Medik Penatalaksanaan : FT : IR massage OT : Mirror eye untuk latihan penguatan otot wajah THT-KL Penatalaksanaan : audometri, timpanometri, CT-Scan mastoid Terapi : sesuai TS Neurologi 15 Follow up kunjungan pasien : Tanggal kunjungan 5-01-2014 Kelainan Gangguan Gangguan motorik pengecapan pendengaran v - - Terapi Prednison 2x30 mg (selama 5 Grade IV hari) House and Brackmanndisfungsi berat 10-01-2014 v Grade IV House and Brackmanndisfungsi sedang - - Prednison ditappering off Hari 6 : 2x25 mg Hari 7 : 2x20 mg Hari 8 : 2x15 mg Hari 9 : 2x10 mg Hari 10 : 2x5 mg 16 TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya (1). Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (2). Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun (3). Anatomi Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada satu sisi, komponen sensorik kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang mempersarafi glandula lakrimalis (2, 4). Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm (2, 4). 17 Etiologi dan Patofisiologi Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s Palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini (2, 5, 6). Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes simplex (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s Palsy (7). Murakami et al menggunakan teknik reaksi rantai polymerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1di dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat (8). Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf (9). Manifestasi Klinis Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda (4). Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut. Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama. Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah (2). Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. 18 Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh. Grading Sistem penilaian yang dikembangkan oleh House dan Brackmann mengkategorikan Bell’s palsy pada skala I sampai VI, sebagai berikut : • Grade I - fungsi wajah normal. • Grade II - disfungsi ringan. Sedikit kelemahan pada pemeriksaan dekat. Pasien mungkin memiliki sedikit synkinesis. Simetri normal saat istirahat. Gerak dahi adalah moderat sampai baik; penutupan mata lengkap dicapai dengan sedikit usaha, dan mulut sedikit asimetri. 19 • Grade III - disfungsi sedang. Perbedaan yang jelas antara 2 sisi. Synkinesis terlihat, tetapi tidak parah, kontraktur, atau didapatkan hemifacial spasm. Simetri normal saat istirahat. Gerakan dahi adalah sedikit sampai sedang; penutupan mata lengkap dicapai dengan usaha, dan gerakan mulut sedikit lemah dengan upaya maksimal. • Kelas IV - disfungsi cukup parah. Kelemahan jelas atau asimetri jelas terlihat. Simetri saat istirahat. Tidak ada gerak dahi yang bisa diamati. Penutupan mata inkomplit, dan mulut asimetris dengan upaya maksimal. • Kelas V - disfungsi berat. Gerakan nyaris tak terlihat. Asimetri saat istirahat. Tidak ada gerak dahi yang bisa diamati. Penutupan mata inkomplit, dan gerakan mulutnya hanya sedikit. 20 • Kelas VI - kelumpuhan total. Asimetri jelas terlihat. Tidak ada gerakan. Dalam sistem ini, nilai I dan II dianggap hasil yang baik, nilai III dan IV merupakan disfungsi yang moderat, dan nilai V dan VI menjelaskan hasil yang buruk. Kelas VI didefinisikan sebagai kelumpuhan wajah lengkap/komplit; semua kelas lainnya didefinisikan sebagai tidak lengkap/inkomplit. Diagnosis Banding Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan status mental atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; multipel sklerosis bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya (1, 3, 4, 9). 21 Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herper zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibody virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodusa, dan kadang hiperkalsemia (1, 3, 4, 9). Pemeriksaan Penunjang Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaa penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaa radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) (2, 4, 5). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi multipel sklerosis. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostic yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG) (10). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value (PPV) 100% dan negative-predictivevalue (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapat berupa penurunan amplitude Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral (11). Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus. Tata Laksana Terapi Non-farmakologis 22 Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset (4, 5). Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam 4 bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis (12, 13). Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik (13). Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat 4 kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi (13-15). Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superficial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih (13-15). Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari (13-15). Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang dilakukan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi (13-15). Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan focus pada strategi 23 meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot uang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari (13-15). Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastic (15). Terapi Farmakologis Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam pathogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan (1, 2, 4, 16). Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama 6 hari diikuti 4 hari tapering off (17-19). Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome (19). Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Dosis pemberian asiklovir untuk dewasa adalah 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam 5 kali pemberian selama 7-10 hari (17, 18, 23). Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid. Hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et al dengan 1145 pasien menunjukkan tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibanding plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibanding kortikosteroid saja (2, 22). 24 Komplikasi Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis (2, 5, 9). Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunteer, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaaan). Prognosis Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total dalam waktu 6 bulan, bahkan pada 5060% kasus membaik dalam 3 minggu (11). Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren (1, 2, 9). Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas (2, 4). Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama (2, 4). 25 Kimura et al menggunakan blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang dilakukan dalam 14 hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif (11). Kesimpulan Bell’s Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraf fasialis yang bersifat perifer. Keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1 banyak dilaporkan sebagai penyebab kerusakan saraf tersebut, meski penggunaan preparat antivirus masih menjadi perdebatan dalam tata laksana. Peranan dokter yang diharapkan adalah dapat menegakkan diagnosis Bell’s palsy, menyingkirkan diagnosis banding yang ada, serta mengobati dengan tepat. ________________________________________________________________________________ Daftar Pustaka 1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005. p. 182. 2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia: Medscape. 2010. 3. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of Bell’s palsy in the population of Rochester, Minnesota. Mayo Clin Proc. 1971;46:258. 4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2. 5. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. Cranial nerves and chemical senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous system: structure and function. 6th Ed. New Jersey: Humana Press; 2005. p. 253. 6. Sabirin J. Bell’s palsy. In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN, Wirawan RB, Husni A, Soetedjo, editors. Gangguan gerak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1996. p. 163-72. 26 7. Seok JI, Lee DK, Kim KJ. The usefulness of clinical findings in localizing lesions in Bell’s palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2008;79:418-20. 8. Burgess RC, Michaels L, Bale JF Jr., Smith RJ. Polymerase chain reaction amplification of Herpes Simplex Viral DNA from the geniculate ganglion of a patient with Bell’s palsy. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1994;103:775. 9. Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashino Y, Hato N, Gyo K, et al. Rapid diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facial palsy. Neurology. 1998;51:1202. 10. Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg L, editor. Lecture NotesNeurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005. p. 35. 11. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of electroneurography and electromyography in facial palsy. Laryngoscope. 2008;118:394-7. 12. Hill MD, Midroni G, Goldstein WC, Deeks SL, Low DE, Morris AM. The spectrum of electrophysiological abnormalities in Bell’s palsy. Can J Neurol Sci. 2001;28:130-3. 13. Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al. Valacyclovir and prednisolone treatment for Bell’s palsy: a multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurootol. 2007;28:408-13. 14. Lindsay RW, Robinson M, Hadlock TA. Comprehensive facial rehabilitation improves function in people with facial paralysis: a 5-year experience at the Massachussets Eye and Ear Infirmary. Phys Ther. 2010;90:391-7. 15.Van Swearingen J. Facial rehabilitation: a neuromuscular reeducation, patient-centered approach. Facial Plast Surg. 2008;24:250-9. 16. Hadlock TA, Greenfield LJ, Wernick-Robinson M, Cheney ML. Multimodality approach to management of the paralyzed face. Laryngoscope. 2006;116:1385-9. 17. Gilden DH. Clinical practice Bell’s palsy. N Engl J Med. 2004; 351:1323-31. 27 18. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam Physician. 2007;76(7):997-1002. 19. Chrousos GP. Adrenocorticosteroid & adrenocortical antagonists. In: Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 9th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2004. p. 641-60. 20. Axelsson S, Lindberg S, Stjernquist-Desatnik A. Outcome of treatment with valacyclovir and prednisone in patient with Bell’s palsy. Ann Otol rhinol Latyngol. 2003;112:197. 21. de Almeida JR, Al Khabori M, Guyatt GH, Witterick IJ, Lin VY, Nedzelski JM, et al. Combined corticosteroid and antiviral treatment for Bell’s palsy: a systematic review and metaanalysis. JAMA. 2009;302:985-93. 22. Quant EC, Jeste SS, Muni RH, Cape AV, Bhussar MK, Peleg AY. The benefits of steroids versus steroids plus antivirals for treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009;339:3354. 23. Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al. Early Treatment with Prednisolone or Acyclovir in Bell’s Palsy. N Eng J Med. 2007;357:1598-607. 24. House JW, Brackman DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol Head Neck Surg. 1985;93:146-7. 28 29