PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF FK UNS

advertisement
Laporan Kasus 1 Poliklinik
Perempuan 35 Tahun Dengan Parese Nervus VII LMN
Oleh:
Titian Rakhma
Pembimbing:
dr. Indriany W, Sp.S.
PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF
FK UNS-RSUD Dr. Moewardi
Surakarta
2014
I.
ANAMNESIS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Agama
Alamat
Tgl pemeriksaan
No CM
: Ny. W
: 35 tahun
: Perempuan
: Karyawati Pabrik
: Islam
: Bekonang, Mojolaban,Sukoharjo
: 5 Januari 2014, jam 11.00 WIB
: 01050606
B. KELUHAN UTAMA
Kelumpuhan wajah bagian kiri
C. KELUHAN YANG MENYERTAI KELUHAN UTAMA
Mata kiri tidak bisa menutup dengan rapat, bibir merot ke kanan, sulit mengangkat alis,
nyeri dibelakang telinga kiri
D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Penderita merasakan lumpuh pada wajah bagian kanan sejak 2 hari sebelum datang
ke Poliklinik Saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Keluhan ini terjadi secara tiba-tiba saat
bangun tidur. Selain itu pasien juga mengeluh mata kiri tidak bisa menutup dengan rapat
bila dipejamkan. Penderita kesulitan dalam menggerakkan alis, penderita
merasa bila
menaikkan alis, alis bagian kiri tertinggal dan wajahnya perot ke arah kanan. Penderita
mengeluh pada waktu mencucukan bibir, bibir bagian kiri lebih tertinggal atau lemah.
Penderita tidak mengeluh mata kiri nrocos.
Penderita merasa tidak nyaman bila mengunyah makanan pada mulut sebelah kiri.
Sering penderita mengeluhkan makanan menumpuk pada pipi sebelah kiri, tetapi masih bisa
makan minum tanpa tersedak. Penderita tidak mengeluh lidah bagian kiri lebih kering dan
lebih mati rasa dalam merasakan rasa asam, asin, dan manis makanan dibanding lidah
bagian kanan. Keluhan mudah haus, sering lapar, sering kencing dan penurunan berat
badan dibantah oleh penderita. Penderita tidak pernah mengalami muntah tanpa mual
sebelumnya.
2
Penderita tidak mengeluh nyeri pada wajah bagian kiri, tidak mengeluh hidung
bagian kiri pilek atau kering. Penderita tidak pernah mengalami cedera kepala atau
kecelakaan sebelumnya. Penderita tidak mengeluh nyeri kepala, pusing berputar, lumpuh
separuh, atau mati rasa separuh. Penderita tidak mengeluh pandangan kabur atau buta atau
silau, tidak mengeluh berkurang pembauannya. Penderita tidak mengeluh kelemahan jika
mengangkat bahu. Buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan.
Penderita tidak pernah mengalami pandangan dobel atau pandangan yang semakin
lama semakin kabur. Penderita tidak mengeluhkan terdapat penurunan pendengaran pada
telinganya. Tiga hari sebelum terjadi kelumpuhan pada wajah kirinya penderita
mengeluhkan bengkak di belakang telinga kiri sampai rahang bawah sebelah kiri dan terasa
nyeri. Saat ini bengkak pada belakang telinga kiri sampai rahang kiri sudah hilang dengan
sendirinya tetapi masih terasa sedikit nyeri. Pada penderita tidak terdapat benjolan, ataupun
bintil-bintil kecil berisi cairan di depan telinga ataupun wajah sebelah kiri. Penderita
menyangkal pernah sakit dompo pada wajah bagian kiri. Selama ini penderita tidak
mengeluarkan cairan dari telinga dan telinga tidak berdenging.
E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
 Riwayat sakit serupa
: (-)

Riwayat infeksi telinga
: (-)

Riwayat herpes (dompo)
: (-)

Riwayat tumor otak
: (-)

Riwayat DM
: (-)

Riwayat mondok
: (-)

Riwayat cedera kepala
: (-)
F RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
 Riwayat penyakit yang sama : (-)

Riwayat hipertensi
: (-)

Riwayat DM
: (-)

Riwayat penyakit jantung
: (-)
3
F. KEADAAN SOSIAL EKONOMI
Pasien adalah seorang karyawati pabrik, tinggal serumah dengan suami dengan 2 orang
anak. Pasien berobat dengan fasilitas Jamsostek.
G. RIWAYAT KEBIASAAN DAN GIZI
 Riwayat olahraga
: jarang

Keadaan gizi
: kesan cukup
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS INTERNA
1. Kesan umum
2. Tanda vital
3. Kepala dan leher
: kesadaran kompos mentis, gizi kesan cukup
: tensi
: 120/70 mmHg
nadi
: 80 kali/menit
respirasi
: 18 kali/menit
suhu
: 36,5 o C
: kepala
leher
: dalam batas normal (dbn)
: pembesaran KGB(-), JVP tidak meningkat
ketiak dan lipatan paha : pembesaran KGB (-)
4. Jantung
5. Paru & dada
: Inspeksi
: iktus cordis tidak tampak
Palpasi
: iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi
: kesan batas jantung melebar
Auskultasi
: BJ I-II reguler, bising (-)
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: pengembangan simetris,
: fremitus raba kiri sama dengan kanan,
: sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan (-/-)
6. Abdomen
Inspeksi
: cembung, vena tidak tampak
4
Palpasi
: supel, hepar,lien dan massa tak teraba
Perkusi
: timphani
Auskultasi
: bising usus (+) kesan normal
B. STATUS PSIKIATRI
Emosi
: dbn
Proses berpikir
: dbn
Kecerdasan
: daya ingat : dbn menghitung : dbn
pengertian : dbn persamaan ; dbn
Perhatian
: dbn
C. STATUS NEUROLOGIS
1. Kesan Umum dan Fungsi Luhur
a. Kepala
: dbn
b. Kesadaran / GCS
: kompos mentis / E4 V5 M6
c. Cara berbicara
: dbn
d. Disorientasi kanan-kiri
: (-)
e. Fingeragnosia
: (-)
2. Tanda Rangsangan Selaput Otak
Kaku Kuduk
: (-)
Tanda Brudzinski I
: (-)
Tanda Lasegue
: (-/-)
Tanda Brudzinski II
: (-)
Tanda Kernig
: (-/-)
Tanda Brudzinski III : (-)
Tanda Brudzinski IV : (-)
3. Kolumna Vertebralis
Kelainan bentuk
: (-)
Nyeri tekan/ketok lokal
: (-)
5
Tanda Patrick
: (-/-)
Tanda Anti Patrick
: (-/-)
Lasseque
: (-/-)
Tanda Nafzinger
: (-)
Tes Valsava
: (-)
Gerakan vertebrae cervikal
: fleksi, ekstensi dan rotasi pasif
Gerakan tubuh
: membungkuk, ekstensi dan deviasi lateral : dbn
: dbn
4. Saraf Otak
a. Nervus I
Kanan
Kiri
Anosmia
:
-
-
Parosmia
:
-
-
Halusinasi
:
-
-
b. Nervus II
Kanan
Kiri
> 3/60
Visus
:
> 3/60
Kacamata
:
(-)
(-)
Lapang Pandang
:
dbn
dbn
Warna
:
dbn
dbn
Funduskopi
:
-
-
C. Nervus III, IV, VI
Kanan
Kiri
Celah mata
:
simetris
simetris
Posisi bola mata
:
ditengah
ditengah
Gerak bola mata
:
dbn
Pupil : ukuran
:
3 mm
Bentuk
:
dbn
3 mm
bulat
bulat
6
R. cahaya langsung
:
(+)
(+)
R. cahaya tidak langsung
:
(+)
Konvergensi
:
(+)
(+)
Akomodasi
:
(+)
(+)
(+)
c. Nervus V
Kanan
Kiri
Sensorik I
:
dbn
dbn
Sensorik II
:
dbn
dbn
Sensorik III
:
dbn
dbn
Otot kunyah
:
dbn
dbn
Refleks masseter
:
dbn
dbn
Refleks kornea
:
+
+
d. Nervus VII
Saat diam
Kanan
Otot dahi
:
Tinggi alis
:
Sudut mata
Saat gerak
kiri
kanan
asimetris
:
kiri
kiri tertinggal
asimetris
kiri lebih rendah
asimetris
kiri lebih rendah
Sudut mulut
: lebih rendah kiri
Lipatan nasolabial
: lebih datar bagian kiri
Memejamkan mata
:
Meringis
:
Sekresi air mata
:
tertarik ke kanan
lebih datar bagian kiri
lebih lemah kiri
mencong ke kanan
dbn (schirmer test : 30 mm) / dbn (schirmer test : 25
mm)
Pengecap lidah
: dbn
Hiperakusis
:
/
dbn
(- / -)
7
e. Nervus VIII
Kanan
kiri
dbn
dbn
Pendengaran
:
Vertigo
:
(-)
Nistagmus
:
(-)
f. Nervus IX dan Nervus X
Kanan
Kiri
Refleks muntah
:
dbn
dbn
Pengecapan
:
dbn
dbn
Posisi uvula
:
ditengah
Arkus faring
:
simetris
Menelan
:
Bersuara
:
dbn
Fenomena Vernet Rideau
:
simetris
dbn
g. Nervus XI
Kanan
Kiri
Bentuk otot
:
dbn
dbn
Mengangkat bahu
:
dbn
dbn
Berpaling
:
dbn
dbn
Kanan
Kiri
(-)
(-)
h. Nervus XII
Atrofi lidah
:
Kekuatan
:
Fasikulasi
:
(-)
(-)
Gerak spontan
:
N
N
Simetris
8
Posisi diam
:
Di tengah
Posisi dijulurkan
:
Di tengah
5. Pemeriksaan Sistem Koordinasi Ekstremitas
Kanan
Kiri
a. Gerakan abnormal
:
(-)
(-)
b. Uji jari-jari tangan
:
dbn
dbn
c. Uji jari hidung
:
dbn
dbn
d. Uji pronasi dan supinasi
:
dbn
dbn
e. Uji hidung-jari-hidung
:
dbn
dbn
f. Tapping jari-jari tangan
:
dbn
dbn
g. Uji tumit lutut
:
dbn
dbn
h. Tapping jari-jari kaki
:
dbn
dbn
i. Cara berjalan
:
dbn
j. Uji Romberg
:
dbn
6. Pemeriksaan Sistem Sensorik
Lengan
Tungkai
Kanan
Kiri
dbn
dbn
kanan
kiri
a. Rasa eksteroseptif
Rasa nyeri superficial :
Rasa suhu
:
dbn
dbn
Rasa raba ringan
:
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
b. Rasa proprioseptif
Rasa getar
:
dbn
Rasa tekan
:
Rasa nyeri tekan
:
dbn
dbn
dbn
dbn
Rasa gerak dan posisi :
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
9
dbn
dbn
c. Rasa kortikal
Stereognosis
:
dbn
dbn
Barognosis
:
dbn
dbn
Pengenalan 2 titik
:
dbn
dbn
7. Pemeriksaan Sistem Otonom
a. Miksi
: dbn
b. Defekasi
: dbn
c. Salivasi
: dbn
d. Sekresi keringat
: dbn
8. Pemeriksaan Sistem Motorik dan Refleks
a. Ekstremitas superior
Lengan
Atas
Kanan
Bawah
Kiri
Kanan
Tangan
Kiri
Kanan
Kiri
Pertumbuhan
: normal/normal
normal/normal
normal/normal
Tonus
: normal/normal
normal/normal
normal/normal
Kekuatan

Fleksi
:
5/5

Ekstensi
:
5/5
5/5
5/5
5/5
5/5
Reflek fisiologis

Bisep
: (+2/+2)

Trisep
: (+2/+2)
Reflek patologis

Hoffman
: (- / -)

Tromner
: (- / -)
10
b. Inferior
Tungkai
Atas
Kanan
Bawah
Kiri
Kanan
Kaki
Kiri
Kanan
Pertumbuhan :
normal / normal
normal / normal
Tonus
:
normal / normal
normal / normal
Kekuatan
:

Fleksi
:
5/5
5/5
5/5

Ekstensi :
5/5
5/5
5/5
Kiri
normal / normal
normal / normal
Klonus

Lutut
:
(- / -)

Kaki
:
(- / -)
c. Refleks
kanan
kiri
Refleks Patella
:
+2
+2
Refleks Achilles
:
+2
+2
Reflkes Babinski
:
(-)
(-)
Refleks Chaddock
:
(-)
(-)
Refleks Openheim
:
(-)
(-)
Refleks Gordon
:
(-)
(-)
Refleks Stransky
:
(-)
(-)
Refleks Gonda
:
(-)
(-)
Refleks Schaeffer
:
(-)
(-)
Refleks Mendel B
:
(-)
(-)
Refleks Rosolimo
:
(-)
(-)
Refleks Dinding Perut
:
(+)
(+)
11
d. Refleks Primitif
Refleks memegang
: (-)
Refleks snout
: (-)
Refleks menghisap
: (-)
Refleks palmo-mental
: (-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. EMG
Motorik
: not respon N. Facialis sinistra
Blink Reflek: stimulasi dekstra : R1 dan R2 ipsilateral dalam batas normal. R2 kontralateral
memanjang.
Stimulasi sinistra : R1 dan R2 ipsilateral memanjang. R2 kontralateral dalam
batas normal.
Kesan
: mendukung gambaran lesi N. Facialis sinistra incomplete
B. CT-SCAN

CT-Scan (dilakukan oleh TS THT-KL):
-
Tampak deviasi setum nasi ke kiri
-
Tak tampak lesi hipo/iso/hiperdense di bagian parenchime
-
Midline shifting (-)
-
Sulci dan gyri tak tampak kelinan
-
Sistem ventrikel dan sisterna tak tampak kelainan
-
Tak tampak kalsifikasi abnormal
-
Orbita, sinus paranasalis dan mastoid kanan dan kiri tak tampak kelainan
-
Cranioserebral space tak tampak melebar
-
Calvaria intak
-
Kesan : deviasi septum nasi kekiri, tak terdeteksi kelainan intrakranial.
12
Laboratorium : darah rutin
HB
14,2 g/dl
Hct
43,9 %
RBC
4,97x103 u/L
WBC
8,0x103 u/L
PLT
158X103 u/L
GDS
95 mg/dl
IV. RESUME
a.
Anamnesis
:
 Wajah sebelah kiri merot secara tiba-tiba saat bangun tidur
 Mata sebelah kiri tidak bisa menutup dengan rapat
 Bila menaikkan alis, alis bagian kiri tertinggal
 Pada waktu mencucukan bibir, bibir bagian kiri lebih tertinggal atau lemah
 Makanan menumpuk pada pipi sebelah kiri
 Tidak ada kelemahan separuh tubuh
 Tidak ada tanda-tanda infeksi
 Tidak terdapat penurunan pendengaran
 Terdapat nyeri dibelakang telinga kiri
 Tidak ada riwayat trauma
b.
Pemeriksaan Fisik

Status interna
: dalam batas normal

Status neurologis
:
Kesadaran
: GCS E4V5M6, compos mentis
13
c.
Fungsi sensoris
: dalam batas normal
Fungsi motorik
: dalam batas normal
Fungsi otonom
: dalam batas normal
Fungsi koordinasi
: dalam batas normal
Nervi craniales
: lesi N. VII sinistra perifer
Pemeriksaan Penunjang

EMG
: mendukung gambaran lesi N. Facialis sinistra
incomplete

CT-SCAN
: deviasi septum nasi kekiri, tak terdeteksi kelainan
intrakranial

Laboratorium darah rutin
: dalam batas normal
V. DIAGNOSIS
Diagnosis neurologis
Diagnosis klinis
: Parese Nervus VII sinistra LMN, otalgia auricula sinistra
Diagnosis topis
: Nervus VII sinistra (infra chorda timpany sekitar foramen
stilomastoideus)
Diagnosis etiologi
: Bell’s Palsy (Grade IV House and Brackmann-disfungsi
moderat)
VI. PENATALAKSANAAN
Medika mentosa
:
- Prednison 1 mg / kgBB (5 hari), diturunkan 2 tablet / hari sampai 10 hari (stadium
akut)
- Mecobalamin
3 x 500 mcg
14
Nonmedikamentosa
:
- Fisioterapi
VII. KONSULTASI / RAWAT BERSAMA

Rehabilitasi Medik
Penatalaksanaan :
FT : IR massage
OT : Mirror eye untuk latihan penguatan otot wajah

THT-KL
Penatalaksanaan : audometri, timpanometri, CT-Scan mastoid
Terapi : sesuai TS Neurologi
15
Follow up kunjungan pasien :
Tanggal
kunjungan
5-01-2014
Kelainan
Gangguan
Gangguan
motorik
pengecapan
pendengaran
v
-
-
Terapi
Prednison 2x30
mg (selama 5
Grade IV
hari)
House and
Brackmanndisfungsi berat
10-01-2014
v
Grade IV
House and
Brackmanndisfungsi
sedang
-
-
Prednison
ditappering off
Hari 6 : 2x25 mg
Hari 7 : 2x20 mg
Hari 8 : 2x15 mg
Hari 9 : 2x10 mg
Hari 10 : 2x5 mg
16
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh
keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya
(1). Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah
bernama Sir Charles Bell (2).
Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun (3).
Anatomi
Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang mempersarafi
semua otot ekspresi wajah pada satu sisi, komponen sensorik kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang
menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang
sekretomotor yang mempersarafi glandula lakrimalis (2, 4).
Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus akustikus internus.
Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina
sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian
awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis;
foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm (2, 4).
17
Etiologi dan Patofisiologi
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s Palsy, yaitu iskemik
vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi
penyakit ini (2, 5, 6). Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes simplex (HSV) di ganglion
genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s Palsy (7).
Murakami et al menggunakan teknik reaksi rantai polymerase untuk mengamplifikasi sekuens
genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1di dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11
sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat (8).
Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular
saraf (9).
Manifestasi Klinis
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda (4). Bila lesi di foramen
stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot wajah. Saat
menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata
dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli
terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan
pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut.
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion
genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan
menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama.
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis
(sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan
lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah (2). Pemeriksaan
ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta
menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas.
18
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan
terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang
membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak
terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas
normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
Grading
Sistem penilaian yang dikembangkan oleh House dan Brackmann mengkategorikan Bell’s palsy pada
skala I sampai VI, sebagai berikut :
• Grade I - fungsi wajah normal.
• Grade II - disfungsi ringan. Sedikit kelemahan pada pemeriksaan dekat. Pasien mungkin memiliki
sedikit synkinesis. Simetri normal saat istirahat. Gerak dahi adalah moderat sampai baik; penutupan
mata lengkap dicapai dengan sedikit usaha, dan mulut sedikit asimetri.
19
• Grade III - disfungsi sedang. Perbedaan yang jelas antara 2 sisi. Synkinesis terlihat, tetapi tidak parah,
kontraktur, atau didapatkan hemifacial spasm. Simetri normal saat istirahat. Gerakan dahi adalah
sedikit sampai sedang; penutupan mata lengkap dicapai dengan usaha, dan gerakan mulut sedikit lemah
dengan upaya maksimal.
• Kelas IV - disfungsi cukup parah. Kelemahan jelas atau asimetri jelas terlihat. Simetri saat istirahat.
Tidak ada gerak dahi yang bisa diamati. Penutupan mata inkomplit, dan mulut asimetris dengan upaya
maksimal.
• Kelas V - disfungsi berat. Gerakan nyaris tak terlihat. Asimetri saat istirahat. Tidak ada gerak dahi
yang bisa diamati. Penutupan mata inkomplit, dan gerakan mulutnya hanya sedikit.
20
• Kelas VI - kelumpuhan total. Asimetri jelas terlihat. Tidak ada gerakan.
Dalam sistem ini, nilai I dan II dianggap hasil yang baik, nilai III dan IV merupakan disfungsi yang
moderat, dan nilai V dan VI menjelaskan hasil yang buruk. Kelas VI didefinisikan sebagai kelumpuhan
wajah lengkap/komplit; semua kelas lainnya didefinisikan sebagai tidak lengkap/inkomplit.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Kelainan
sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan
proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai
perubahan status mental atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; multipel sklerosis bila disertai
kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os
temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya (1, 3, 4, 9).
21
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan mastoiditis
apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran
infeksi; herper zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat
nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibody virus varicella-zoster;
sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis
jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot
orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus V dan
VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat
ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodusa, dan
kadang hiperkalsemia (1, 3, 4, 9).
Pemeriksaan Penunjang
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaa penunjang perlu dilakukan untuk
menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaa radiologis dengan CT-scan
atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan
sistem saraf pusat (SSP) (2, 4, 5). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di
tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi multipel sklerosis. Selain itu, MRI
dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostic
yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG) (10). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian
tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value (PPV) 100% dan negative-predictivevalue (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapat berupa penurunan amplitude Compound Motor
Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex
didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral (11). Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat
karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas
pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.
Tata Laksana
Terapi Non-farmakologis
22
Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan
membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan
saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset (4, 5).
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam 4 bulan setelah onset terbukti
memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis (12, 13). Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien
sembuh dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik (13). Rehabilitasi fasial
meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di
rumah. Terdapat 4 kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori
inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi (13-15).
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan
tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase
superficial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per
hari dan menghindari gerakan wajah berlebih (13-15).
Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat
istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan
kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap
untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali
dengan 2-4 set per hari (13-15).
Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah
ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis.
Strategi yang dilakukan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan
sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi (13-15).
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah
yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan focus pada strategi
23
meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan
ketegangan pada otot uang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari (13-15).
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri
dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas
hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu
dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastic (15).
Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam pathogenesis
Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari
pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai
dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan (1, 2, 4, 16).
Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg
per kg per hari peroral selama 6 hari diikuti 4 hari tapering off (17-19).
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2
minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan
tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome (19).
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus digunakan
dalam penanganan Bell’s palsy. Dosis pemberian asiklovir untuk dewasa adalah 2 000-4 000 mg per
hari yang dibagi dalam 5 kali pemberian selama 7-10 hari (17, 18, 23). Namun, beberapa percobaan
kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan
kortikosteroid.
Hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et al dengan 1145 pasien menunjukkan
tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibanding plasebo dalam hal angka
penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan
kortikosteroid ditambah antivirus dibanding kortikosteroid saja (2, 22).
24
Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat
diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah (1) regenerasi motor
inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus
fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan
stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis (2, 5, 9).
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan
involunter yang mengikuti gerakan volunteer, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut
mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear
phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut
otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial
spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat
terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak
terjadi bersamaaan).
Prognosis
Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total dalam waktu 6 bulan, bahkan pada 5060% kasus membaik dalam 3 minggu (11). Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren (1, 2, 9).
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat),
riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius,
wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan
kasus dengan penyengatan kontras yang jelas (2, 4).
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut
(penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi
pengecapan dalam minggu pertama (2, 4).
25
Kimura et al menggunakan blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang dilakukan dalam 14
hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua menandakan prognosis perbaikan
klinis yang positif (11).
Kesimpulan
Bell’s Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraf fasialis yang bersifat perifer. Keterlibatan
virus Herpes Simplex tipe 1 banyak dilaporkan sebagai penyebab kerusakan saraf tersebut, meski
penggunaan preparat antivirus masih menjadi perdebatan dalam tata laksana. Peranan dokter yang
diharapkan adalah dapat menegakkan diagnosis Bell’s palsy, menyingkirkan diagnosis banding yang
ada, serta mengobati dengan tepat.
________________________________________________________________________________
Daftar Pustaka
1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In: Aminoff MJ,
Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc; 2005. p. 182.
2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia: Medscape. 2010.
3. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of Bell’s palsy in the
population of Rochester, Minnesota. Mayo Clin Proc. 1971;46:258.
4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral nerve, and muscle.
In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 8th Ed. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2.
5. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. Cranial nerves and chemical senses. In:
Strominger NL, editor. The human nervous system: structure and function. 6th Ed. New Jersey:
Humana Press; 2005. p. 253.
6. Sabirin J. Bell’s palsy. In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN, Wirawan RB, Husni A, Soetedjo,
editors. Gangguan gerak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1996. p. 163-72.
26
7. Seok JI, Lee DK, Kim KJ. The usefulness of clinical findings in localizing lesions in Bell’s palsy:
comparison with MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2008;79:418-20.
8. Burgess RC, Michaels L, Bale JF Jr., Smith RJ. Polymerase chain reaction amplification of Herpes
Simplex Viral DNA from the geniculate ganglion of a patient with Bell’s palsy. Ann Otol Rhinol
Laryngol. 1994;103:775.
9. Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashino Y, Hato N, Gyo K, et al. Rapid diagnosis of
varicella Zoster Virus in acute facial palsy. Neurology. 1998;51:1202.
10. Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg L, editor. Lecture NotesNeurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005. p. 35.
11. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of electroneurography and
electromyography in facial palsy. Laryngoscope. 2008;118:394-7.
12. Hill MD, Midroni G, Goldstein WC, Deeks SL, Low DE, Morris AM. The spectrum of
electrophysiological abnormalities in Bell’s palsy. Can J Neurol Sci. 2001;28:130-3.
13. Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al. Valacyclovir and
prednisolone treatment for Bell’s palsy: a multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol
Neurootol. 2007;28:408-13.
14. Lindsay RW, Robinson M, Hadlock TA. Comprehensive facial rehabilitation improves function in
people with facial paralysis: a 5-year experience at the Massachussets Eye and Ear Infirmary. Phys
Ther. 2010;90:391-7.
15.Van Swearingen J. Facial rehabilitation: a neuromuscular reeducation, patient-centered approach.
Facial Plast Surg. 2008;24:250-9.
16. Hadlock TA, Greenfield LJ, Wernick-Robinson M, Cheney ML. Multimodality approach to
management of the paralyzed face. Laryngoscope. 2006;116:1385-9.
17. Gilden DH. Clinical practice Bell’s palsy. N Engl J Med. 2004; 351:1323-31.
27
18. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam Physician.
2007;76(7):997-1002.
19. Chrousos GP. Adrenocorticosteroid & adrenocortical antagonists. In: Katzung BG, editor. Basic
and Clinical Pharmacology. 9th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2004. p. 641-60.
20. Axelsson S, Lindberg S, Stjernquist-Desatnik A. Outcome of treatment with valacyclovir and
prednisone in patient with Bell’s palsy. Ann Otol rhinol Latyngol. 2003;112:197.
21. de Almeida JR, Al Khabori M, Guyatt GH, Witterick IJ, Lin VY, Nedzelski JM, et al. Combined
corticosteroid and antiviral treatment for Bell’s palsy: a systematic review and metaanalysis.
JAMA. 2009;302:985-93.
22. Quant EC, Jeste SS, Muni RH, Cape AV, Bhussar MK, Peleg AY. The benefits of steroids versus
steroids plus antivirals for treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009;339:3354.
23. Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al. Early
Treatment with Prednisolone or Acyclovir in Bell’s Palsy. N Eng J Med. 2007;357:1598-607.
24. House JW, Brackman DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol Head Neck Surg.
1985;93:146-7.
28
29
Download