di bali

advertisement
PERMASALAHAN SOSIAL BUDAYA
DALAM PEMANFAATAN POTENSI PANAS BUMI (GEOTHERMAL)
DI BALI
Oleh
I Made Adhika
PPLH-UNUD Jl PB Sudirman Denpasar –Bali
[email protected]
ABSTRAK
Perkembangan pembangunan yang pesat di Bali pada umumnya dan pada kawasan-kawasan pariwisata
khususnya telah menyebabkan kebutuhan akan energy listrik semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pasokan
energy listrik di Bali didapat dari hasil pembangkit listrik tenaga disel (PLTD) dan dari interkoneksi Jawa-Bali.
Namun demikian, pengadaan listrik di Bali masih sangat kritis terutama pada jam-jam puncak penggunaan. Secara
nasional memang ada kekurangan kebutuhan energy listrik dalam beberapa tahun mendatang. Oleh karena itu
pemerintah mengenluarkan kebijakan percepatan pengadaan listrik secara nasional, namun sampai saat ini belum
nampak secara signifikan perkembangannya.
Bali sebetulnya memiliki potensi energy yang terbaharukan yang berupa panas bumi di kawasan BedugulPancasari, namun energy tersebut belum dapat dimanfaatkan. Pada tahun 1996 Bali Energi Limited telah
berencana memanfaatkan potensi sumber tersebut belum dapat dimanfaatkan walaupun potensinya mencukupi,
ramah terhadap lingnkungan, terbaharukan, serta berkelanjutan. Hal itu disebabkan oleh social budaya
masyarakat yang tidak sejalan dengan pengembangan kawasan di daerah gunung.
Makalah akan membahas tentang bagaimana potensi panas bumi di kawasan Bedugul Bali, bagaimana
pandangan masyarakat Bali umumnya tentang kawasan pengembangan sehingga rencana ekploitasi sumber panas
bumi tidak jadi dilakukan. Penelitian dilakukan dengan menelaah proses pembuatan dokumen analisa mengenai
dampak lingkungan rencana pembangunan pembangkit tersebut, serta melakukan wawancara dengan tokoh
masyarakat yang terkait. Hasil telaah tersebut kemudian dideskripsikan, dinarasikan, serta dinterpretasi sehingga
tersusun makalah ini.
Dengan telaah yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa, pemanfaatan energy panas bumi karena
factor social budaya masyarakat yang tidak dapat menerima kehadiran rencana tersebut, selain factor social
politik. Dengan telaah ini dapat dijadikan acuan dalam pertimbangan social budaya dalam pengembangan
kawasan.
Kata kunci: lingkungan, pemanfaatan, panas bumi, sosial budaya.
CULTURE AND SOCIAL ISSUES
THE POTENTIAL GEOTHERMAL UTILIZATION
IN BALI
By
I Made Adhika
PPLH-UNUD Jl PB Sudirman Denpasar, Bali
[email protected]
ABSTRACT
Development of rapid development in Bali in general and in particular in tourist destination areas energy has
resulted in the need for electricity is increasing from year to year. The electric energy in Bali obtained from the
energy grid diesel (PLTD) and the Java-Bali interconnection. However, the provision of electricity in Bali is still
very critical, especially during peak usage hours. Nationally there is a shortage of electric energy needs in the
coming years. Hence, the acceleration of government procurement policies electric power nationally, but have yet to
see a significant development.
Bali actually has the potential renewable energy in the form of geothermal in Bedugul-Pancasari, but the energy
can not be used. In 1996 Bali Energy Limited has plan utilize these resources can not be used even if the potential is
sufficient, friendly environment, renewable, and sustainable. This is due to the social culture that is not in line with
the development in the mountain regions.
Papers will discuss about how geothermal potential in Bedugul Bali, how society views generally on the
development of Bali to plan exploitation geothermal resources are not so committed. Research done by studied
process documents within the article analyzes the impact of the development assistance ", and did interviews with
public figures, respectively. The result is will be describe, and so arranged interpretation this article.
With telaah done so it can be concluded that, the utilization of geothermal energy for social cultural factors that can
not accept the presence of the article, other social factors, and political. Studied can be made by molding in a
culture of social considerations in the development of the area.
Keywords: environment, exploitation, geothermal, socio-cultural.
PENDAHULUAN.
Baru-baru ini di Nusa Dua - Bali diselengarakan pertemuan bertaraf internasional yang
membahas tentang energi panas bumi (geothermal) yang sudah dikenal dengan energi yang
ramah lingkungan dan terbarukan. Energi terbarukan dan ramah lingkungan memang menjadi
topik yang manarik mengingat adanya kekawatiran para ilmuwan akan terjadinya pemanasan
global (global warming) yang dapat mempengaruhi suhu di permukaan bumi yang pada akhirnya
mempengaruhi seluruh kehidupan di permukaan bumi. Oleh karena itu, manusia yang
melangsungkan kehidupan di permukaan bumi akan terkena dampak bila tidak awas dalam
memanfaatkan sumber-sumber energi.
Bali sebagai salah daerah tujuan wisata di Indonesia, sangat ramai (1.386.448 orang
tahun 2005) dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.
Konsekuensi dari ramainya kunjungan tersebut adalah meningkatnya fasilitas-fasilitas penunjang
pariwisata, seperti: hotel, restaurant, villa, biro perjalanan, usaha, dan jasa-jasa lainnya.
Konsekuensi lanjutannya adalah meningkatnya kebutuhan akan energi listrik di Bali rata-rata
9,83 % per tahun (Bapeda Bali, 2004). Berdasar keterangan dari General Manager PLN Wilayah
Bali Nusra yang berkekdudukan di Denpasar, menyatakan bahwa kebutuhan listrik pada saat
puncak mencapai 360 MW, sedangkan energi yang tersedia 453,8 MW yang disuplai dari:
PLTG/PLTD Pesanggaran dengan kapasitas 120 MW, PLTG Gilimanuk dengan kapasitas 133,8
MW, dan jaringan interkoneksi Jawa-Bali dengan kapasitas 200 MW. Dengan demikian maka
terdapat cadangan energi listrik 93,8 MW bila kondisi pensuplai energi listrik stabil. Bila ada
gangguan pada salah satu sumber, perbaikan/pemeliharaan mesin pembangkit, maka akan terjadi
kekurangan energi listrik pada jam puncak. Berdasarkan Rencana Kelistrikan Daerah (RUKD)
Provinsi Bali 2004 memprakirakan kebutuhan listrik Bali tahun 2010 adalah 880,95 MW dan
pada tahun 2018 mencapai 1.543,79 MW (adhika, 2007:339).
Mengingat prediksi kebutuhan listrik di Bali cukup besar, dan dengan kebijakan
pemerintah dalam diversifikasi sumber energi dalam upaya mengurangi penggunaan bahan bakar
minyak (BBM), maka pemerintah telah malakukan kebijakan dalam memanfaatkan sumber
energi panas bumi (geothermal) yang ada di Kawasan Daya Tarik Wisata Bedugul-Pancasari,
tepatnya di kawasan hutan lindung Batukaru, pada Gunung Tapak, Pohen, Sengayang, dan
Gunung Lesung. Realisasi dari kebijakan tersebut Pertamina telah melakukan kerjasama dengan
PT. Bali Energi Limited (BEL) dalam memanfaatkan sumber energi tersebut. Studi-studi
pendahuluan telah dilakukan untuk mendapatkan jaminan potensi panas bumi yang ada, dan
jaminan terhadap kelayakan dalam pencarian penyandang dana dalam pembiayaan pemboran
panas bumi tersebut. Selain itu, studi tentang analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) juga
dilakukan guna mengetahui, mengantisipasi, serta mengelola dampak yang ditimbulkan oleh
kegiatan pemboran panas bumi tersebut. hasil studi amdal tersebut menunjukan bahwa masalah
lingkungan yang terjadi pada umumnya dapat dikelola kecuali untuk amblesan yang sulit
diprediksi, maupun masalah kawasan suci bagi masyarakat Bali yang sulit diukur.
Namun demikian, usaha untuk menindak lanjuti ke tahap kegiatan eksploitasi yang
dilakukan BEL mengalami kebuntuan. Hal ini disebabkan oleh rekomendasi layak lingkungan
tidak didapat dari pemerintah setempat. Hal ini disebabkan oleh sebagian masyarakat Bali, wakil
rakyat Bali menolak rencana tersebut. Penolakan disebabkan oleh lokasi pemboran yang terletak
di daerah pegunungan, sedangkan gunung yang dianggap suci oleh umat Hindu di Bali,
walaupun masyarakat setempat menyetujui hal tersebut.
METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian pada dasarnya memuat uraian tentang kegiatan sebelum penelitian
dilaksanakan, yang di dalamnya mencakup komponen-komponen penelitian yang diperlukan
(Moleong, 1990: 236). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang lebih
condong pada persepektif kajian budaya. Penelitian ini merupakan hasil catatan kegiatan
penyusunan studi mengenai dampak lingkungan (amdal) pemboran panas bumi oleh PT BEL,
dan pendalaman terhadap litratur dan hasil studi yang terkait lainnya. Dalam penelitian ini akan
dikemukakan tentang kondisi fisik lingkungan pemboran, pandangan masyarakat Bali pada
lokasi pemboran panas bumi tersebut, serta proses dialog antara pemrakarsa dengan pemangku
kepentingan lainnya di Bali. Dari paparan tersebut akan diinterpretasikan, dianalisis, dan
dideskripsikan dari sudut pandang sosial kritis.
Hasil dari deskripsi tersebut akhirnya ditarik simpulan pembahasan masalah sosial
budaya dalam studi penyususnan analisis mengenai dampak lingkungan pemboran panas bumi di
Kawasan Daya tarik wisata Bedugul-Pancasari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi eksplorasi/pemboran panas buni terletak di kawasan daya tarik wisata BedugulPancasari yang di dalamnya terdapat wilayah hutan lindung Batukaru. Secara administratif
lokasi ini terletak di daerah perbatasan. Sebagian termasuk dalam wilayah Kecamatan Baturiti,
Kabupaten Tabanan, dan sebagian lagi termasuk wilayah Kecamatan Banjar, Kabupaten
Buleleng. Di dalam kawasan hutan lindung Batukaru terdapat tiga kawasan Cagar Alam yang
terletak di Gunung Tapak, Gunung Lesung, dan Gunung Pohen. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Puslitbang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 1992
menunjukkan bahwa cagar alam di kawasan hutan lindung Batukaru merupakan kawasan khusus
tegakan murni cemara pandak (Podocarpus imbricatus) flora/tumbuhan yang tergolong langka,
sedangkan tumbuhan lainnya yang ada di kawasan tersebut didominir oleh jenis bunut (Ficus
indica), sompang (Laplaceae sp), seming (Engelhardia spicata), cemara geseng (Casuarina
junghuniana), udu (Litsea velutina), belantih (Homalanthus giganteus), lateng (Laportea sp),
kedukduk (Astronia spectabilitas), dan yang lainnya. Bila dibandingkan dengan daerah lain yang
ditumbuhi tanaman sejenis di Wilayah Indonesia, interaksi antara sifat genetis dengan faktor
klimatik merupakan suatu keunikan yang tersendiri. Untuk daerah Bali, jenis tumbuhan ini
penyebarannya hanya terdapat di daerah Bedugul mulai pada ketinggian  1400 m dpl, sehingga
kondisi ini merupakan suatu keunikan vegetasi di lokasi rencana pemboran. Selain cemara
pandak (Podocarpus imbricatus), pada beberapa tempat teridentifikasi cemara geseng
(Casuarina junghuniana) yang relatif jarang. Ke dua jenis cemara ini masih tergolong langka
di Provinsi Bali, namun secara nasional kedua jenis tumbuhan ini belum tergolong tanaman yang
dilindungi, namun perlu mendapatkan perlindungan. Walaupun cemara pandak mempunyai
persebaran yang luas, namun jarang dijumpai keberadaannya secara mengelompok sebagai jenis
yang dominan (umumnya tersebar secara sepasial). Perbedaan persebaran sepasial cemara
pandak kemungkinan karena adanya variasi ataupun perbedaan sifat genetika. Cemara pandak di
Bali cenderung memperlihatkan suatu keunikan dibandingkan di tempat lain.
Kawasan Bedugul- Pancasari merupakan rangkaian pegunungan vulkan dengan puncakpuncanya Gunung Sengayang (2.087 m), Gunung Pohen (2.069 m), G. Tapak (1.909 m) dan G.
Lesong (1.663 m). Merupakan kaldera dengan tebing terjal di bagian utara, bagian tengah
merupakan danau-danau ( Beratan, Buyan, dan Tamblingan) yang dibentuk oleh dinding kaldera.
Laporan studi dampak lingkungan kegiatan pemboran panas bumi Bedugul menunjukan bahwa
daerah Bedugul merupakan daerah vulkanik kuarter yang berasosiasi dengan endapan lava
andesit dan piroklastik. Berdasar pada data Resource BEL menunjukkan di bawah Kawasan
Bedugul terdapat lapisan batuan kedap air yang diistilahkan dengan cap rock (batuan penudung).
Hasil pemboran untuk uji sumur produksi dan Test Core Hole (TCH) pada sumur BEL 01, 02,
dan 03 menunjukkan bahwa terdapat selang-seling lapisan batuan piroklastik, andesit
piroklastik,
ignimbrite, dan andesit breksi,
secara bergantian. Secara keseluruhan batuan
dinominasi oleh batuan Vulkanik.
Iklim pada lokasi kegiatan pemboran menurut sistem klasifikasi iklim “Koppen”
(Handoko, 1993) termasuk tipe iklim sedang berhujan, dimana suhu bulan terdingin lebih
rendah dari 18oC dengan bulan-bulan kering pada musim dingin. Tipe iklim ini dicirikan oleh
adanya suhu yang relatif dingin, kelembaban udara yang tinggi curah hujan yang cukup banyak
dan bermusim. Menurut sistem Klasifikasi Schmidt dan Ferguson, lokasi rencana kegiatan
termasuk tipe iklim C (daerah agak basah dengan vegetasi hutan rimba). Temperatur rata-rata
bulanan di sekitar lokasi pemboran berkisar antara 17,3oC sampai dengan 19,1oC dengan
temperatur rata-rata tahunan 18,5oC. Temperatur maksimum tertinggi terjadi pada bulan april
(23,8oC), dan minimum terendah tercapai pada bulan Juli dan Agustus masing-masing sebesar
14.3OC.
Hasil pengamatan geohidrologi yang dilakukan oleh LIPI menunjukkan bahwa kawasan
Bedugul dan pada lokasi pemboran merupakan cekungan tertutup. Disebutkan pula bahwa aliran
yang terisolasi perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan air terkait dengan empat sub-DAS
sebagai pembentuk cekungan tertutup, yaitu: Sub-DAS Beratan (13,40 km2), Buyan (24,10
km2), Tamblingan (9,20 km2), dan Pulan Kuali (0,31 km2). Danau Beratan mempunyai
permukaan pada ketinggian 1.231 meter di atas permukaan laut, sedangkan Danau Buyan dan
Tamblingan air pemukaannya berada pada 1.214 meter di atas permukaan laut atau 17 meter
lebih rendah dari permukaan air Danau Beratan. Danau Beratan dengan luas 3,85 km2 dengan
kedalaman maksimum 20 meter, menampung air sebanyak 49,22 juta m3. Danau Buyan dengan
luas 3,37 km2 dengan kedalaman maksimum 69 m, menampung air sebanyak 116,25 juta m3.
Danau Tamblingan dengan luas 1,15 km2 dengan kedalaman 40,5 m, menampung air sebanyak
27,05 juta m2. Ke tiga danau ini mempunyai arti penting bagi daerah bawahannya. Selain itu
danau dan sumber mata air di daerah bawahannya yang disakralkan oleh masyarakat setempat,
sehingga keberadaannya sangat berarti bagi masyarakat di sekitarnya.
Lokasi pemboran seperti Gambar 1 berikut.
Lokasi
Pemboran
Gambar 1. Lokasi Pemboran
Lokasi pemboran tersebut merupakan kawasan suci bagi umat Hindu di Bali seperti yang
dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1996, yang diperbaharui dengan Peraturan
Daerah Nomor 3 tahun 2005, dan selanjutnya dipaduserasikan dengan Undang-Undang 26 tahun
2007 yang menjadi Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2010, tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Bali. Dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa yang disebut kawasan suci
adalah ”kawasan-kawasan suci oleh umat Hindu di Bali, seperti: gunung, danau, campuhan
(pertemuan dua sungai atau lebih), pantai laut, mata air, dan sebagainya yang diakui memiliki
nilai-nilai kesucian, yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat melangsungkan upacara
keagamaan, yang tersebar di seluruh wilayah”. Dari pertnyataan tersebut, maka lokasi pemboran
panas bumi Bedugul yang terletak di antara gunung-gunung (Gunung Tapak, Gunung Lesung,
Gunung Pohen, dan Gunung Sengayang/Sangyang) atau merupakan daerah pegunungan yang
dipandang suci oleh umat Hindu di Bali. Secara terinci lokasi pemboran seperti Gambar 2.
Gambar 2. Lokasi Pemboran dan Lingkungannya
Sumber: Bali Energi Limited
Permasalahannya adalah sebatas mana pada gunung yang dianggap memiliki nilai
kesucian. Ada dua pendekatan yang berbeda dalam masalah ini. Dalam studi analisis dampak
lingkungan yang dilakukan lebih mengarah pada perhitungan dampak yang sifatnya real,
sedangkan masalah kesucian sifatnya relatif, dan susah diukur karena tidak ada batasan yang
pasti. Untuk itu diundang para pakar pada bidangnya. Namun demikian, pendapat para sulinggih
(pendeta), pakar di bidang itupun tidak sama karena kesucian tidak dapat diukur dengan pasti,
tergantung dari penginterpretasian dari pakar yang bersangkutan. Oleh karenanya kawasan suci
yang menjadi lokasi pemboran panas bumi Bedugul menjadi perdebatan yang tak pernah selesai.
Masyarakat sekitar yang secara langsung akan terkena dampak laingkungannya sebagian
besar menyetujuai pembangunan tersebut. Hal ini disebabkan oleh tokoh-tokoh masyarakat
setempat diajak melihat langsung (studi banding) pada daerah yang dijadikan lokasi tempat
pemboran panas bumi di Gunung Salak. Sebelumnya mereka tidak sependapat, namun setelah
melihat langsung bagaimana kondisi hutan setelah dilakukannya pemboran, kehidupan binatang,
pengolahanan dan penanganan gasnya, maka mereka sependapat dibangunnya pembangkit panas
bumi di Bedugul tersebut. Dari tokoh-tokoh masyarakat inilah yang akhirnya menyampaikan
kondisi kegiatan pemboran panas bumi yang telah berlangsung kepada masyarakat yang menjadi
komunitasnya maupun masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian masyarakat sekitar sebagian
besar menyetujuai pembangunan tersebut. Walaupun demikian ada beberapa masyarakat yang
kurang sependapat akan hal tersebut.
Demikian pula halnya beberapa tokoh masyarakat Bali yang terkait dengan pemangku
kepentingan pemboran panas bumi diajak pemrakarsa untuk melihat langsung bagaimana proses
pemboran, pengolahan panas bumi, distribusi, serta dampaknya terhadap lingkungan sekitar.
Beberapa menyadari kondisi tersebut namun beberapa lagi tetap pada pendiriannya kurang setuju
dengan pembangunan tersebut. Guna mendapatkan kepastian ilmiah maka dilakukan pertemuan
dengan para ahli geologi, ahli geothermal, ahli lingkungan, paktisi pemboran, kehutanan, yang
ada di universitas-universitas seperti dari UGM, ITB, dan UI. Pada dasarnya mereka berpendapat
bahwa secara teknis teknologis pemboran tersebut sangat ramah lingkungan dan merupakan
energi yang terbarukan. Memang ada kemungkinan adanya dampak lingkungan berupa
amblesan, namun dari seluruh penyelenggaraan pemboran panas bumi belum ada yang terjadi
amblesan karena pemboran. Namun demikian, ketika dihadapkan pada masalah sosial
keagamaan, khususnya tentang kesucian maka mereka menyerahkan kembali kepada tokohtokoh masyarakat setempat.
Memang tampaknya pengetahuan terhadap panas bumi turut andail dalam ketidak
setujuan dari masyarakat luas di Bali. Hal ini sejalan dengan diskursus pengetahuan (Foucoult,
1983) yang menyatakan bahwa pengetahuan sangat mempengaruhi keputusan. Karena tidak
tahulah maka terjadi penolakan terhadap ide-ide yang dikemukakan. Demikian pula halnya
dengan kondisi masyarakat Bali pada umumnya, karena terbatasnya pengetahuan maka terjadi
penolakan terhadap kegiatan-kegiatan yang dicanangkan. Pengetahuan juga dapat dijadikan alat
kekuasaan.
Penolakan pembangunan pusat listrik tenaga panas bumi di Bedugul juga di lakukan oleh
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang perduli lingkungan. Dari pantauan diskusi yang
dilakukan dengan pemrakarsa menunjukkan bahwa penolakan terjadi karena kurangnya
pemahaman atau pengetahuan di bidang geothermal. Kurangnya pemahaman ditunjukkan dengan
logika-logika umum yang sangat berbeda dengan pengetahuan geothermal. Namun demikian
semangat protes tidak surut karena kurang pemahaman, bahkan berusaha membangun wacanawacana berdasarkan pada logika-logika umum tersebut, sehingga sebagian masyarakat
terpropokasi.
Pemrakarsa sebetulnya sudah berusaha membangun citra positif pembangunan
pembangkit panas bumi di Bedugul, berusaha menghegemoni masyarakat (Gramci, 1968, 1971)
dengan menayangkan iklan di televisi. Citra positif berusaha dibangun dengan menyamakan
persepsi antara pemerakarsa dengan masyarakat. Dengan samanya persepsi dan pandangan
tentang pemboran tersebut, maka diharapkan masyarakat dapat menerima rencana kegiatan yang
akan dibangeun tersebut. Namun sebaliknya pembangunan citra yang diharapkan justru berbalik
arah menjadi ketersinggungan masyarakat taerhadap penggalan isi ajakan tersebut. Salah satunya
dalam dialog yang ditayangkan adalah ”melajah malu, mara ngomong” artinya belajar
pengetahuan terlebih dahulu baru berkomentar/ membicarakan atau mendiskusikannya hal
tersebut. Pemrakarsa ingin masyarakat mempejari dengan baik terlebih dahulu, didiskusikan
dengan pengetahuan tersebut, terakhir baru diputuskan untuk menolak ataupun mengiyakan
pembangunan tersebut. Namun demikian, maksud tersebut diinterpretasikan sebagai menggurui
masyarakat, sehingga sebagian dari masyarakat merasa direndahkan, dilecehkan
pengetahuannya. Dengan demikian timbul antipati terhadap rencana pembangunan pembangkit
listrik tenaga panas bumi tersebut.
Bila dikaji dari sudut pandang personil pengelolanya, maka penolakan oleh LSM di Bali
yang bergerak di bidang lingkungan juga disebabkan oleh karena merasa dikhianati oleh anggota
kelompoknya. Dahulu ideologinya sangat menentang pembangunan oleh investor yang
berdampak terhadap lingkungan, kini justru berada di lingkungan investor yang menguasai
modal dengan paham kapitalisme. Personel pengelola BEL adalah mantan aktivis yang sangat
intensif menyuarakan lingkungan berkelanjutan, namun sekarang dipandang sebaliknya oleh
rekan LSM sehingga. Dahulu dalam kekuasaan LSM, sekarang sudah beralih pada kekuasaan
lain yang berseberangan. Hal ini menimbulkan resistensi atau terjadi penolakan yang sebetulnya
merupakan perlawanan. Walaupun personel BEL tersebut terjun ke investor tersebut karena
pembangunan tersebut ramah lingkungan, bukan memandang dari aspek yang lain (kapitalisme).
Namun demikian, karena rekan-rekan LSM dipandang menyeberang, maka penolakan tersebut
terus berlanjut.
Bila di telusuri kronologis rencana pemboran panas bumi Bedugul, maka nampak
kegiatan tersebut tidak lepas dari sosial politik dan kekuasaan. Pembangunan pembangkit
didasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1991 dan Keputusan Presiden Nomor 49
tahun 1991 yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan kontrak JOC (Joint Operation
Contract)/ESC(Electric Sale Contract) total proyek. Berdasarkan studi LIPI maka dilakukan
survey gaya berat di Kawasan Hutan Lindung Batukaru (lokasi kegiatan) dengan surat dari
Dirjen INTAG nomor 275/A/VII-4/1996. Untuk menjamin keberlanjutan lingkungan maka
dilakukan studi lingkungan oleh LIPI berdasarkan referensi Surat dari Dirjen Migas nomor
3361/384/DMT/1996. Berdasar pada hasil studi dan kajian Tim Tetap yang dibentuk Menteri
Kehutanan dengan SK Nomor 369/KPTS-VII/1995, maka pada tanggal 30 September 1996
dikeluarkan pesetujuan pemboran eksplorasi di Kawasan Hutan lindung Batukaru dengan luas
lahan + 42,52 Ha, dengan surat Dirjen INTAG nomor 892/A/VII-4/1996.
Namun demikian, pada tanggal 20 September 1997 lebih kurang setahun setelah
persetujuan pemboran keluar Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1997 tentang Status Proyek
Ditunda. Dengan dikeluarkannya Kepres tersebut maka pemrakarsa meminta untuk melakukan
kajian lapangan yang merupakan tim terpadu dari Kehutanan, Kanwil Kehutanan, Dinas
Kehutanan, dan dari pihak BEL. Dari hasil kajian lapangan tersebut, maka tanggal 24 November
1997 keluar Persetujuan Perpanjangan dan tambahan Pemboran Eksplorasi di Kawasan Hutan
Lindung Bedugul 82,672 Ha dengan surat Dirjen INTAG Nomor 1103/A/VII-4/1997. Pada
tanggal 7 Mei 1999 keluar surat Persetujuan Ijin Perpanjangan dan Pemboran Eksplorasi di
Kawasan Hutan Lindung Bedugul 82,672 Ha dengan surat KA. BAPLAN Nomor 361/VIIPOLA/1999.
Pada tanggal 22 Mei 2002 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 15/2002 tentang
pencabutan Keputusan Presiden Nomor 39/1997 tentang Status Proyek Ditunda. Dengan
dikelurakannya Kepres tersebut maka berarti kegiatan dapat dilanjutkan kembali. Untuk itu
dilakukan negosiasi-negosiasi dengan tim yang dibentuk berdasarkan Kepres Nomor 133 sejak
2002 hingga 2004. Pada tanggal 9 Oktober 2004 dilakukan amandemen JOC dan ESC paket
Pembangunan PLTP unit I, II, III, dan IV. Berdasarkan Undang-Undang Kehutana, UndangUndang Panas Bumi, dan berdasarkan kajian lapangan tim teknis dan manajemen, total lahan
yang diijinkan adalah seluas 53,88 Ha, maka dilakukan permohonan kembali perpanjangan ijin
ekplorasi. Permohonan ini di tindaklanjuti dengan permohonan ijin ekploitasi Unit I dengan
kapasitas 10 MW. Untuk perijinan ini harus dilengkapi dengan studi mengenai dampak
lingkungan (amdal) yang disusun oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana.
Pada proses terakhir, yaitu penyusunan dokumen amdal diperlukan persetujuan dalam
bentuk rekomendasi dari pemerintah daerah yang memiliki kewenangan (kekuasaan) di daerah.
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (Bali) didasarkan pada hasil studi amdal
yang dilakukan oleh tim penyusun. Oleh karena dalam proses penyusunan kesepahaman tentang
kawasan suci tidak menemukan kesepahaman di antara pemangku kepentingan, maka akhirnya
rekomendasi dikeluarkan oleh pemerintah daerah tidak sesuai dengan yang diharapkan oelh
pemrakarsa, karena ada permasalahan sosial yang masih mengganjal. Walaupun secara faktual
energi tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat Bali pada umumnya dan para pelaku
pembangunan.
Bila dilihat dari proses dikeluarkannya Keputusan Presiden 45/1991 dan Keputusan
Presiden 49/1991 hingga penyusunan dokumen lingkungan, maka nampak proses yang panjang
dan melibatkan berbagai pihak. Pada tataran pemerintah pusat nampaknya proses ini tidak mulus
dan sarat dengan kepentingan-kepentingan yang tidak lepas dari proses politik dan kekuasaan.
Perubahan kekuasaan pada dasarnya melanjutkan kebijakan yang telah dituangkan pada periode
sebelumnya, namun demikian akan ada kepentingan tujuan yang berbeda (visi, misi yang
berbeda) sehingga terjadi penundaan ataupun penolakan (perlawanan secara halus) terhadap
ideologi yang dicanangkan. Hal ini terindikasi dari proses yang panjang (1991-2004) sampai
pada tataran daerah.
Pada tataran daerah banyak kelompok kepentingan yang berperan dalam proses ini, baik
dalam politik praktis maupun secara terstruktur. Ada masyarakat di sekitar lokasi kegiatan
pemboran, ada masyarakat Bali yang lebih luas, ada wakil rakyat (masyarakat) Bali, ada LSM,
pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Masyarakat sekitar seperti yang disampaikan di
depan, pada dasarnya setuju dengan pembangunan tersebut karena telah memahami apa dan
bagaimana pemboran panas bumi tersebut. Namun demikian, (tokoh) masyarakat yang
menyuarakan Bali belum tentu memiliki kepentingan yang sama, sehingga sangat tergantung dari
pandangan, pengalaman, dan pengetahuan tokoh tersebut. Demikian pula halnya wakil rakyat
Bali yang mempunyai hakl legislasi, menyetujui atau menolak suatu rencana pemerintah daerah,
dan menentukan arah kebijakan, nampaknya tidak selalu berpihak kepada rakyat, namun
terkadang lebih melihat golongan yang diwakili, selain pengetahuan di bidang geotermal/panas
bumi yang masih terbatas. Hal ini berimplikasi pada keputusan-keputusan yang dimabil terkait
dengan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan. Hal yang senada juga terjadi pada LSM,
yang menyuarakan tentang dampak pemboran geothermal tanpa ataupun sedikit pengetahuan
tentang hal itu, sehingga berdampak pula masukan yang diberikan kepada penyususn dokumen
amdal. Dengan terbatasnya pengetahuan yang dimiliki, maka masalah sosial pemboran panas
bumi masih menjadi perdebatan hingga sekarang.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa secara teknis teknologis rencana pemboran
panas bumi Bedugul tersebut tidak bermasalah, karena dampak kegiatan-kegiatannya dapat
dikelola dengan teknologis. Apalagi panas bumi menurut pakar adalah energi yang ramah
lingkungan dan terbarukan, sehingga menjadikan biaya produksi listrik menjadi lebih murah jika
dibandingkan dengan pembangkit yang mempergunakan bahan bakar minyak ataupun gas.
Namun demikian, masalahnya muncul dari sosial budaya (dan politik) masyarakat
setempat maupun pemangku kepentingan lainnya. Lokasi pemboran panas bumi Bedugul yang
terletak di antara gunung Pohen, Tapak, Lesung, dan Sengayang/Sangyang dianggap suci oleh
masyarakat Bali. Dalam kawasan suci pantang dilakukan kegiatan-kegiatan yang bukan
berhubungan dengan ke-Tuhan-an. Karena kegiatan pemboran dianggap tidak berhubungan
dengan kegiatan ke-Tuhan-an, maka terjadi penolakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang
menyuarakan dirinya atas nama masyarakat Bali. Selain itu, penolakan oleh masyarakat juga
sebagai akibat kontra hegemoni masyarakat, yang pada awalnya tujuannya menghegemoni
masyarakat dengan membangun citra pembangunan kegiatan tersebut namun yang terjadi justru
sebaliknya. Penolakan oleh LSM dan pemangku kepentingan lainnya merupakan representasi
dari peperangan kekuasaan. Perubahan kekuasaan dan ideologi menyebabkan terjadinya
penolakan suatu rencana kegiatan, walaupun bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Daftar Pustaka
Adhika, I Made. Pengaruh Pemboran Panas Bumi (Geothermal ) terhadap Hutan dan Air Di BedugulBali.Lingkungan Tropis Edisi Khusus (2007): pp 339-346.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.1990:236.
Bali Energy Limited, Resource Information, 2004.
PPLH UNUD, Analisis Dampak Lingkungan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di
Kawasan Bedugul Bali, 2004.
Bappeda Bali, Rencana Umum Kelistrikan Daerah (RUKD) Bali, 2004.
Hehanusa, P.E. Penataan Ruang dan Daya Dukung Sumber daya Air di Cekungan Terkungkung Beratan – BuyanTamblingan Provinsi Bali, Prosiding Analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup di
Kawasan Bedugul, 2005.
LIPI, Puslitbang Biologi – Puslitbang Geoteknologi, Studi Daya Dukung Habitat Flora dan Fauna Endemik, serta
Hidrologi untuk Rencana Pengusahaan Panas Bumi di Batukaru, Bali, 1992.
Gramci, Antonio. Prison Notebooks. London: Laurence & Wishart, 1968.
----------. Selection from Prison Notebooks. New York: International Publisher. 1971.
Download