1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta merupakan

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jakarta merupakan kota berkembang yang masih menghadapi masalah
kesehatan. Masalah kesehatan yang dialami tidak saja masalah kesehatan
terkait fisik tetapi juga masalah kesehatan jiwa masyarakat. Sesuai dengan
definisi sehat sebagaimana yang tertuang dalam UU Kesehatan No.23 tahun
1992 yang menyebutkan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa
dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
Definisi kesehatan tersebut diatas mengatakan bahwa manusia selalu
dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dari unsur badan, jiwa dan sosial yang
tidak dititikberatkan pada penyakit tetapi pada kualitas hidup yang terdiri dari
kesejahteraan dan produktifitas sosial ekonomi. Kesehatan jiwa mempunyai sifat
yang harmonis (serasi), memperhatikan semua segi kehidupan manusia dalam
hubungannya dengan manusia lain. Oleh karena itu, kesehatan jiwa mempunyai
kedudukan yang penting di dalam pemahaman kesehatan, sehingga tidak
mungkin kita berbicara tentang kesehatan tanpa melibatkan kesehatan jiwa.
Saat ini kesehatan jiwa mahasiswa DKI Jakarta banyak yang bermasalah
dikarenakan berbagai faktor yang bisa mempengaruhi kehidupan setiap individu.
Mahasiswa Jakarta sangat rentan mengalami gangguan mental dan emosional.
Tingginya tekanan hidup dan kurangnya kemampuan adaptasi mahasiswa
terhadap perubahan lingkungan menyumbang pada tingginya gangguan mental
dan emosional itu. Jumlah penderita gangguan jiwa ringan di Jakarta semakin
2
banyak. Tahun 2010, ada 159.029 orang yang mengalami gangguan jiwa ringan.
Hingga triwulan kedua tahun 2011, sudah ada 306.621 orang yang mengalami
gangguan jiwa ringan (Kompas, 2012).
Gangguan jiwa ringan banyak dialami orang di perkotaan. Gejalanya
seperti
mudah
melamun,
susah
tidur,
gangguan
makan,
atau
sukar
berkonsentrasi (Kompas, 2012). Echeverriaa, Diez-Rouxc, Shea, Borrell, dan
Jackson (2008) menyatakan bahwa kohesi sosial yang rendah berhubungan
dengan meningkatnya depresi, tingkah laku merokok, dan ketiadaan aktivitas
berjalan untuk berolahraga dari warga. Sebaliknya, individu yang mengalami
kohesi sosial secara signifikan kurang mungkin depresi, merokok, atau minum
minuman keras. Dijelaskan oleh mereka bahwa hubungan ini adalah independen
(bebas) dari faktor sosial ekonomi individu, karakteristik sosial ekonomi tetangga,
dan ras/etnisitas.
Dalam seminar ”Urban Mental Health” yang digelar dalam rangka
peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada 10 Oktober. Irmansyah (2011)
mengatakan, lingkungan fisik dan psikis di Jakarta membuat warganya
cenderung mengalami gangguan perilaku. ”Jakarta tergolong tinggi untuk
gangguan mental dan emosional, seperti depresi dan perilaku agresif,” katanya.
Akibatnya terjadi gangguan makan dan tidur, tawuran, penyalahgunaan narkoba,
kekerasan dalam rumah tangga, serta kenakalan remaja. Gangguan mental itu
juga mengakibatkan terjadinya perceraian, kekerasan massal, dan bunuh diri.
Banyak fenomena bunuh diri yang telah terjadi belakangan ini, membuat
terlihatnya buruknya kesehatan jiwa mahasiswa Jakarta.
Tewas karena
meloncat dari gedung tinggi rasanya sering sekali terjadi di Jakarta. Alasan untuk
mengakhiri hidup juga bermacam-macam. Mulai dari urusan asmara, orangtua,
3
hingga pendidikan. Demikian pula, kejahatan perampokan dan pemerkosaan di
angkutan kota pada tahun 2011 (Kompas, 2011).
Sosiolog Musni Umar (dalam Ninik dan Sulistyawaty, 2011) mengatakan,
orang yang tidak betah di rumah lantas lebih banyak menghabiskan waktu di
sekitar lingkungan mereka. Tidak ada ruang publik yang memadai di sekitar
lingkungan mereka membuat orang akhirnya menghabiskan sebagian waktu
dengan nongkrong di ujung gang atau di tepi jalan. Hal ini diperparah dengan
kesibukan pribadi setiap orang. Orangtua sibuk mencari nafkah, memiliki
lingkungannya sendiri, dan membereskan rumah. Akibatnya, remaja sering kali
tidak mendapatkan perhatian. ”Pada tataran tertentu, orangtua tidak lagi memiliki
wibawa di mata anak-anak mereka,” ujar Musni.
Lemahnya kohesi sosial dapat berkontribusi atau menyumbang tindakan
seseorang melakukan tindakan bunuh diri, memandang orang lain dengan rasa
curiga. Para pelaku dari golongan menengah ke atas memilih cara yang nyaris
seragam, melompat dari mal, apartemen, atau bangunan tinggi lainnya. Meski
relatif bebas dari tekanan ekonomi, mereka menghadapi persoalan eksistensi
diri, seperti merasa teralienasi atau merasa hidup sia-sia karena kehadirannya
tidak lagi dianggap berarti bagi orang lain, atau kebingungan karena mengalami
situasi anomi (kesimpangansiuran norma).
Oleh sebab itu, persoalan ini menjadi hal mendasar yang harus dibahas.
Kita bisa mulai bagaimana semua pihak meminimalkan rasa alienasi warga di
perkotaan yang kian menguat.
Kohesi sosial melemah. antara lain, karena kian mengecilnya ruang untuk
saling menyapa, saling berbagi, dan membuka diri dengan sesama. Ruang-
4
ruang itu mengecil oleh persaingan dan pola kerja, prosedur resmi, hedonisme,
sikap ortodoks, serta kian canggihnya alat telekomunikasi yang membuat
manusia merasa jauh meski dekat (Adi, Yudistira dan Nusrat, 2012). Sebagai
contoh, orang yang kurang memanfaatkan ruang terbuka publik karena sebabsebab tersebut, akan memiliki persepsi kerekatan yang rendah dengan sesama
warga kota lainnya.
Kohesi sosial mencakup perasaan kebersamaan (sense of belonging),
kepercayaan sosial (social trust),
dan kerjasama timbal balik (generalised
reciprocity and cooperation), serta keharmonisan sosial (social harmony)
(Harpham, Grant, & Thomas, 2002).
Ruang terbuka membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat atau
meningkatkan kohesi, dan tata ruang terbuka publik mampu menjadi lebih dari
sekedar tempat untuk rekreasi: mengintegrasikan infrastruktur hijau ke dalam
infrastruktur masyarakat yang dibangun dan akan menghasilkan manfaat
lingkungan yang kuantitatif (Braza, 2003).
Pemanfaatan ruang terbuka publik adalah penggunaan ruang terbuka
publik sebagai ruang yang melayani kebutuhan fisik, mental, dan sosial
masyarakat kota, dan memberikan pengetahuan kepada pengunjungnya.
Pemanfaatan ruang terbuka publik oleh masyarakat, antara lain sebagai tempat
untuk bersantai, bermain, berjalan-jalan dan membaca (Nazarudin, 1994). Ruang
terbuka publik adalah simpul dan sarana komunikasi pengikat sosial untuk
menciptakan interaksi antarkelompok masyarakat (Carr, 1992).
Menurut Kepala Instalasi Rehabilitasi Medik Psikososial RSJ Soeharto
Heerdjan dr Desmiarti SpKJ (Health Kompas, 2011), ketersediaan ruang publik
5
untuk bersantai dan tempat hiburan murah sangat membantu bagi penderita
gangguan jiwa ringan.
”Di taman, orang bisa datang tanpa harus mengeluarkan biaya. Daripada
pergi ke diskotek, duduk bersantai di bawah pohon sangat membantu
membuat pikiran seseorang rileks. Melihat dan mengalami suasana segar
dan santai ada pengaruhnya juga terhadap hormon otak,” katanya.
Banyaknya gedung-gedung tinggi yang membuat area ruang terbuka publik
semakin
sedikit,
membuat
mahasiswa
tidak
memiliki
keinginan
untuk
memanfaatkan ruang terbuka publik dan tidak memiliki kepedulian terhadap
ruang terbuka publik yang tersisa di Jakarta. Wujud rasa ketidakpedulian adalah
dengan banyaknya pengrusakan fasilitas milik pemerintah seperti membuang
sampah tidak pada tempatnya, merusak tanaman, mencorat-coret tembok, dll
(Health Kompas, 2011).
Seiring dengan perkembangan zaman, ruang terbuka publik kemudian
berfungsi sebagai tempat bagi masyarakat untuk bertemu, berkumpul dan
berinteraksi, baik untuk kepentingan keagamaan, perdagangan, maupun
membangun pemerintahan.
Keberadaan ruang terbuka publik pada suatu kawasan di pusat kota sangat
penting artinya karena dapat meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan baik itu
dari segi lingkungan, menjalin kohesi sosial antar sesama, masyarakat maupun
kota melalui fungsi pemanfaatan ruang di dalamnya yang memberikan banyak
manfaat seperti fungsi olahraga, rekreasi dan ruang terbuka hijau.
6
Diketahui semakin sedikit ruang terbuka publik yang aman dan nyaman,
membuat mahasiswa lebih memilih tempat yang dirasa lebih nyaman
dibandingkan ruang terbuka publik (Taman Kota, Jogging Track, Hutan Kota,
dsb). Mahasiswa cenderung lebih memilih menghabiskan waktu di mall, Fitness
Center, cafe, dsb.
Seharusnya ruang terbuka publik dapat digunakan sebagai tempat
bersosialisasi seorang individu dengan individu lainnya, ataupun kelompok
dengan kelompok. Namun kurang dimanfaatkannya ruang terbuka publik
membuat tingkat kesadaran pentingnya sebuah sosialisasi secara langsung
menjadi lemah. Padahal, ruang terbuka publik adalah simpul dan sarana
komunikasi pengikat sosial untuk menciptakan interaksi antar kelompok
masyarakat (Carr, 1992). Misalnya antara generasi muda dan generasi yang
lebih tua, antar suku, agama, antar kelas sosial ekonomi, dan sebagainya.
Sedangkan saat ini mahasiswa lebih memilih mall dan sebagainya untuk
menghabiskan waktu senggang. Kesenggangan untuk mengunjungi ruang
terbuka publik pun semakin menjadi. Demikianlah terjadi semacam segregasi,
karena mall tidak dapat dimasuki, misalnya oleh orang dari semua lapisan sosial
ekonomi.
Orang
dengan
pakaian
compang-camping,
atau
anak
yang
penampilannya agak dekil, sulit masuk mall, melemahlah kohesi sosial.
Fenomena gangguan mental dan emosional yang terlihat sekarang di
Jakarta hanya puncak dari gunung es. Banyak hal yang harus diperhatikan para
pemangku kebijakan agar gunung es itu tidak meletus menjadi beragam
persoalan yang tak bisa ditangani lagi. Sasanto Wibisono, Guru Besar
Departemen Psikiatri Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia (dalam Anna
2011) mengatakan, akar persoalan terletak pada tidak adanya perencanaan
7
sebuah kota yang layak bagi penduduknya. Hal itu terlihat dari kebijakan
kependudukan atau perkotaan yang kurang tepat, kekacauan sistem nilai sosial
budaya, pola hidup yang terus berubah, toleransi dan kepedulian yang menurun,
ketidakpastian, serta persaingan, menurutnya:
”Jakarta ini sudah terlalu rumit. Proses urbanisasi tidak bisa dihindari,
tetapi banyak yang tak bisa menyesuaikan diri. Individu dan kelompok
masyarakat dari berbagai latar belakang harus masuk ke dalam lingkup
yang terbatas. Akibatnya terjadi gangguan perilaku sosial”.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara pemanfaatan ruang terbuka publik dengan
kesehatan jiwa melalui kohesi sosial?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kohesi sosial dengan
kesehatan jiwa?
2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pemanfaatan ruang
terbuka publik dengan kohesi sosial?
3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pemanfaatan ruang
terbuka publik dengan kesehatan jiwa melalui kohesi sosial?
8
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti mengharapkan dapat memberikan manfaat
berupa :
1. Memberikan informasi bagaimana hubungan antara kesehatan mahasiswa
di Jakarta dengan tingkat pemanfaatan ruang terbuka publik,dan kohesi
sosial.
2. Mengetahui dampak yang timbul akibat tingkat pemanfaatan ruang terbuka
publik,dan kohesi sosial terhadap kesehatan jiwa.
3. Untuk memberikan informasi bahwa ruang terbuka publik memiliki peranan
terhadap kesehatan jiwa seseorang.
4. Memperkaya khasanah pengetahuan di bidang psikologi perkotaan.
Download