HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS DI UNIT HEMODIALISA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MAJALAYA KAB. BANDUNG TAHUN 2012 Raihany Sholihatul Mukaromah, Rizki Muliani, Vina Vitniawati ABSTRAK Sampai saat ini penderita penyakit gagal ginjal tergolong banyak, hingga tahun 2015 diperkirakan sebanyak 36 juta orang warga dunia meninggal dunia akibat penyakit gagal ginjal. Stresor-stresor yang dialami pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa diantaranya proses hemodialisis, beban ekonomi, komplikasi proses dialisis, ketergantungan pada mesin, aturan diet ketat, mobilitas yang terbatas dan stressor-stresor lainnya. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan perasaan tertekan bahkan dapat menimbulkan gangguan mental dan masalah psikologis yaitu depresi sehingga dukungan keluarga diperlukan untuk memotivasi pasien. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di unit hemodialisa RSUD Majalaya Kab. Bandung Tahun 2012. Rancangan penelitian yang digunakan deskriptif korelasional dengan pendekatan cross-sectional. Populasinya semua pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis, dengan teknik sampel yang digunakan sampling jenuh sehingga jumlah responden sebanyak 41 orang. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner BDI (Beck Depression Inventory) dan dukungan keluarga. Sebagian besar dari responden (70,73%) mengatakan dukungan keluarga dalam kategori mendukung dan hampir setengahnya dari responden (41,46%) termasuk dalam kategori mengalami tingkat depresi berat. Hasil perhitungan koefesien korelasi rank spearman (rs) sebesar -0,731 menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi merupakan hubungan yang kuat. Diharapkan dapat dibuat Standar Asuhan Keperawatan (SAK) untuk dukungan keluarga khususnya dalam perawatan dan pemberian pendidikan kesehatan kepada keluarga pasien tentang pentingnya pemberian dukungan keluarga dalam menurunkan gejala depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. Kata Kunci : Gagal Ginjal Kronik, Hemodialisa, Dukungan Keluarga, Depresi. ABSTRACT Until now, patients with kidney failure quite a lot, by 2015 an estimated 36 million peoples world citizens died from kidney failure. Stressors experienced by patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis therapy such as hemodialysis process, the economic burden, complications of dialysis, dependence on machines, strict dietary rules, limited mobility and other stressors-. Things like this can lead to feelings of anxiety can even cause mental disorders and psychological problems: depression that family support is needed to motivated patients. The research objective was to determine the relationship of family support with the level of depression in patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis therapy in hemodialysis unit Majalaya Regency Hospital Bandung 2012. The study design used a descriptive correlational cross-sectional approach. Its population all patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis therapy, the sampling technique used samples saturated so that the number of respondents by 41 people. Data collection techniques using questionnaires from BDI (Beck Depression Inventory) and family support. Most of the respondents (70.73%) said support the family in supporting categories and nearly half of the respondents (41.46%) belong to the category experiencing severe levels of depression. The results of calculation of Spearman rank correlation coefficient (rs) of -0.731 suggests that the relationship between family support with the level of depression is a strong relationship. Expected to be made Nursing Standards (IFRSs) to support families, especially in health care and education to the families of patients about the importance of family support in reducing depressive symptoms in patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis therapy. Keywords: Chronic Kidney Failure, Hemodialysis, Family Support and Depression. Bhakti Kencana Medika, Volume 2, No. 4, September 2012 PENDAHULUAN Ginjal adalah bagian tubuh yang sangat penting. Fungsi ginjal sebagai penyaring darah dari sisa-sisa metabolisme menjadikan keberadaannya tidak bisa tergantikan oleh organ tubuh lainnya. Kerusakan atau gangguan pada ginjal menimbulkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh. Akibatnya, aktivitas kerja terganggu dan tubuh jadi mudah lelah dan lemas (Colvy, 2010). Gangguan ginjal tersebut dapat terjadi secara akut dan kronis. Gagal ginjal kronik (GGK) atau Chronic Renal Failure (CRF) adalah kelainan dimana penurunan fungsi ginjal terjadi secara progresif sehingga menimbulkan berbagai keluhan dari ringan sampai berat (Colvy, 2010). Sampai saat ini penderita penyakit gagal ginjal tergolong banyak, hingga tahun 2015 diperkirakan sebanyak 36 juta orang warga dunia meninggal dunia akibat penyakit gagal ginjal (Soelaeman, 2009). Berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry, pada tahun 2009 jumlah pasien hemodialisis baru mencapai 8193 orang dan pada tahun 2010 terdapat 9649 orang. Sedangkan untuk pasien hemodialisis aktif pada tahun 2009 mencapai 4707 orang dan pada tahun 2010 terdapat 5148 orang. Dari angka yang cukup banyak tersebut, Jawa Barat menduduki urutan pertama pada tahun 2010 dengan jumlah pasien hemodialisis baru sebanyak 3271 orang dan jumlah pasien hemodialisis aktif terdapat 1435 orang. Disusul Jawa Timur di tempat kedua (Roesli, 2011). Berdasarkan sumber data yang diperoleh dari Medical Record RSUD Majalaya Tahun 2011 – 2012, angka kunjungan pasien yang menjalani terapi hemodialisis rutin mengalami peningkatan, dalam waktu 1 tahun dari bulan Januari sampai Desember 2011 terdapat 23 pasien baru yang menjalani terapi hemodialisis yang jumlah rata - rata perbulannya terdapat 1 atau 2 pasien baru. Sedangkan 6 bulan terakhir dari bulan Januari sampai Juni 2012 terdapat 15 pasien baru yang kalau di rata -rata kan terdapat 2 atau 3 pasien baru perbulannya yang menjalani terapi hemodialisis. Hemodialisa adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akurat atau secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Arif dan Kumala, 2011). Pasien harus menjalani dialisis sepanjang hidupnya atau sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan (Bare dan Smeltzer, 2002). Stresor-stresor yang dialami pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa diantaranya proses hemodialisis, beban ekonomi, komplikasi proses dialisis, ketergantungan pada mesin, aturan diet ketat, mobilitas yang terbatas dan stressor-stresor lainnya. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan perasaan tertekan bahkan dapat menimbulkan gangguangangguan mental, salah satu masalah psikologis yang penting pada pasien hemodialisis adalah depresi. karena dapat mempengaruhi medical outcome, meningkatan resiko hospitalisasi, bunuh diri, kematian, kepatuhan dialisis, pengobatan, status nutrisi, ketahanan tubuh dan insiden peritonitis. Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010). Timbulnya depresi merupakan respon dari ketidakpastian masa depan dan ketakutan akan kematian (Hasrini, 2009). Depresi adalah masalah yang lazim dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa dalam jangka panjang sehingga dukungan sosial diperlukan untuk memotivasi pasien (Suciadi, 2010). Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010). Kring dkk (2006) mengemukakan bahwa dukungan sosial memprediksi pemulihan yang lebih cepat serta berkurangnya simptom-simptom depresi. Oleh karena itu penderita gagal ginjal kronik sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang yang ada di dekatnya atau yang dikenal dengan dukungan sosial (Colvy, 2010). Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial meliputi pasangan (suami atau istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan dan konselor (Nursalam dan Kurniawati, 2007). Dukungan keluarga menurut Francis dan Satiadarma (2004 dalam Ambari, 2009) merupakan bantuan atau sokongan yang diterima salah satu anggota keluarga dari anggota keluarga lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam sebuah keluarga. House dalam Depkes (2002, dalam Nursalam dan Kurniawati, 2007) membedakan 4 jenis atau dimensi dukungan keluarga yaitu : dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif. Pada pasien dialisis, dukungan sosial dengan tingkat yang lebih tinggi telah positif membantu terkait dengan mengurangi tingkat kematian dan gejala depresi, meningkatkan kepatuhan dengan pembatasan makanan dan cairan, dan tingkat yang lebih rendah dari rawat inap (Thong et al, 2007). Dari wawancara yang dilakukan kepada kepala ruangan dan perawat mengatakan dari 35 pasien yang melaksanakan terapi hemodialisis rutin bulan Januari 2012 – Maret 2012 terdapat 10 pasien yang mengalami gejala depresi dan 1 pasien yang menunjukkan gejala skizoprenia. Gejala depresi yang dialami oleh pasien diantaranya : sedih, murung, mudah tersinggung, tidak kooperatif, merasa putus asa dan tidak berguna, nafsu makan menurun dan menarik diri. Penyebab depresi pada ke 11 pasien ini diantaranya, pasien ingin memiliki kehidupan yang normal tetapi pada kenyataannya pasien sangat tergantung pada mesin dan orang lain, keterbatasan kegiatan sehari-hari, beban ekonomi, dan status finansial seperti dukungan keluarga yang kurang. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisis Di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya Bhakti Kencana Medika, Volume 2, No. 4, September 2012 Kab. Bandung Tahun 2012”. METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriftif korelasional dengan pendekatan cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini untuk dukungan keluarga dan tingkat depresi yaitu semua pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis yaitu data yang didapatkan dari unit hemodialisa RSUD Majalaya Kab. Bandung sebanyak 41 pasien pada bulan Juli 2012. Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampling jenuh. Total populasi yang berjumlah 41 orang ini seluruhnya diambil menjadi sampel penelitian. Uji validitas dilakukan kepada 15 orang pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis di unit hemodialisa RSUD Dr. Slamet Garut dikarenakan karakteristik rumah sakit dan pasien yang menjalani terapi hemodialisis disana mempunyai karakteristik yang sama dengan RSUD Majalaya Bandung. Analisis univariat pada variabel dukungan keluarga diukur dengan skala likert sedangkan variabel tingkat depresi menggunakan skala BDI (The Beck Depression Inventory). Derajat korelasi dicari dengan uji korelasi Spearman Rank HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga No Kategori Frekwensi Persentase 1 Mendukung 29 70,73 2 Tidak Mendukung 12 29,27 Jumlah 41 100 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Depresi Aspek Dukungan Mendukung f % Tdk Mendukung f % f Total % Informatif 23 56,1 8 43,9 41 100 Penghargaan 29 70,7 12 29,3 41 100 Instrumental 36 87,8 5 12,2 41 100 Emosional 29 70,7 12 29,3 41 100 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Komponen Dukungan Keluarga No Kategori Frekwensi Persentase 1 Tidak Ada Gejala 8 19,51 2 Ringan 4 9,76 3 Sedang 12 29,27 4 Berat 17 41,46 Jumlah 41 100 1. Analisis Univariat Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa dukungan keluarga dari 41 responden, sebagian besar dari responden yaitu sebanyak 29 orang (70,73%) dalam kategori mendukung. Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 41 orang responden yang diteliti, hampir seluruh responden memiliki dukungan keluarga dari komponen dukungan instrumental dalam kategori mendukung yaitu sebanyak 36 orang (87,8 %). Selanjutnya sebagian dari responden memiliki dukung­ an penghargaan dan dukungan emosional dalam kategori mendukung sebanyak 29 orang (70,7%). Serta sebagian besar dari responden memiliki dukungan informatif dalam kategori mendukung sebanyak 23 orang (56,1%). Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa tingkat depresi dari 41 responden yang diteliti, ternyata hampir setengahnya dari responden yaitu sebanyak 17 orang (41,46%) termasuk dalam kategori tingkat depresi berat. 2. Analisis Bivariat Tabel 4. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis Rs t hitung t (0,05;39) -0,731 6,690 2,023 Sumber : Pengolahan Data 2012 Pada tabel 4 dapat dilihat koefisien korelasi rank spearman (rs) adalah sebesar -0,731. Dengan menggunakan kriteria Sugiyono (2009), koefisien korelasi sebesar -0,731 menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi merupakan hubungan yang kuat. Selanjutnya diketahui bahwa arah hubungan kedua nya adalah bernilai negatif yang berarti bahwa semakin tinggi (baik) dukungan keluarga yang diberikan maka akan semakin menurun gejala depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di unit hemodialisa RSUD Majalaya Kab. Bandung Tahun 2012. Hasil uji signifikansi diperoleh nilai t hitung sebesar 6,690 dan nilai t tabel dengan α = 5 % adalah sebesar 2,023, maka dapat dilihat bahwa t hitung (6,690) > t tabel (2,023) sehingga Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi. Dukungan Keluarga Dari hasil Analisis tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 41 responden yang diteliti, sebagian besar dari responden yaitu sebanyak 29 orang (70,73 %) dalam kategori mendukung. Banyak perasaan yang mengganggu ditimbulkan akibat penyakit akut dan kronis serta pengobatan yang dibutuhkan. Beberapa reaksi emosional yang biasanya dialami oleh pasien dan keluarganya adalah ansietas, kemarahan, berduka, harapan, malu, rasa bersalah, keberanian, kebanggaan, hilang harapan, cinta, depresi, tidak berdaya, iri, kesepian dan kesetiaan. Bagaimana mereka mengalami dan mengekspresikannya tergantung pada kepribadian dasar pasien, persepsi terhadap situasi, dan besarnya dukungan dari orang lain (Brunner dan Suddarth, 2002:145). Dukungan yang diperoleh keluarga merupakan faktor yang penting karena mereka merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya yang sedang sakit. Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, bahwa keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Diantaranya adalah mengenal masalah kesehatan keluarga, memutuskan tindakan Bhakti Kencana Medika, Volume 2, No. 4, September 2012 yang tepat bagi keluarga, merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan, memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitarnya bagi keluarga (Suprajitno, 2004). Seperti halnya pasien yang baru menjalani terapi hemodialisa akan mengalami tahapan psikologis ketika dinyatakan harus dialisis diantaranya, terkejut dan penyangkalan, kemarahan, tawar menawar (Bergaining), depresi dan tahap penerimaan. Salah satu faktor yang mempengaruhi respon pasien adalah dukungan dari keluarga (Hasrini, 2009). Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap tindakan hemodialisis. Hal ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman pasien dalam menjalani hemodialisis. Dari table 2 dapat dilihat, hampir seluruh responden memiliki dukungan instrumental dalam kategori mendukung sebanyak 36 orang (87,8%). Dukungan ini mencakup bantuan langsung, misalnya orang memberi pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Salah satu masalah yang paling memberatkan bagi penderita gagal ginjal adalah mahalnya biaya untuk menjalani terapi dialisis. Rata – rata penderita harus mengeluarkan biaya yang besar untuk terapi dialisis diluar obat, laboratorium dan keperluan medis tambahan lainnya. Bagi penderita yang kebanyakan dari kalangan menengah kebawah tentunya hal ini merupakan masalah besar yang sangat dilematis karena apabila tidak dapat membiayai perawatan dari penyakit yang dideritanya akan membahayakan jiwa. Pemerintah Pusat maupun Daerah saat ini telah mempunyai program pembiayaan kesehatan bagi masyarakat khususnya yang kurang mampu yaitu Jamkesmas, SKTM dan lain-lain, dimana dengan program tersebut penderita dapat melakukan terapi dialisis dengan mendapatkan keringanan biaya bahkan gratis. Seperti halnya Unit Hemodialisa RSUD Majalaya yang melayani program jamkesmas, berdasarkan hasil penelitian pernyataan dalam kuesioner dukungan keluarga, sebagian dari responden yang mendapatkan dukungan keluarga instrumental mendukung dikarenakan keluarga memiliki sumber biaya atau akses informasi (Seperti SKTM, Jamkesmas, ASKES dan lain-lain) untuk membiayai biaya terapi cuci darah dan pengobatan selama pasien sakit, sehingga dapat membantu dan meringankan beban biaya yang dikeluarkan oleh keluarga selama mengikuti progam pengobatan di rumah sakit. Ke empat komponen dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis diatas saling berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga semua aspek merupakan komponen yang penting yang tidak bisa dipisahkan dalam pelaksanaannya. Tingkat Depresi Dari hasil Analisis tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 41 responden yang diteliti, ternyata hampir setengahnya dari responden yaitu sebanyak 17 orang (41,46%) termasuk dalam kategori mengalami tingkat depresi berat. Penyakit kronis­dapat berdampak besar pada aktivitas atau gaya hidup seseorang atau dapat mengarah pada ketergantungan terhadap teknologi canggih untuk menunjang hidup salah satu nya yaitu penyakit gagal ginjal kronik. Salah satu upaya mengatasi gagal ginjal kronik yaitu hemodialisa. Hemodialisis merupakan suatu proses pengobatan yang kompleks dan dapat menyebabkan banyak perilaku maladaptif yang memerlukan konsultasi psikiatrik. Pasien harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan setiap perasaan marah dan keprihatinan terhadap berbagai pembatasan yang harus dipatuhi akibat penyakit serta terapi­nya disamping masalah keuangan, ketidakpastian pekerjaan, rasa sakit dan gangguan rasa nyaman yang mungkin timbul. Perasaan kehilangan yang dihadapi pasien jangan diabaikan karena setiap aspek dari kehidupan normal yang pernah dimiliki pasien telah terganggu. Jika rasa marah tersebut tidak diungkapkan, mungkin menimbulkan depresi, rasa putus asa serta upaya bunuh diri : insidens bunuh diri meningkat pada pasien-pasien dialisis (Brunner dan Suddarth, 2002:1402). Dari 41 responden yang diteliti, berdasarkan karakteristik jenis kelamin dari ke 17 pasien yang mengalami gejala depresi berat, terdapat 12 orang berjenis kelamin perempuan dan 5 orang berjenis kelamin laki-laki. Prevalensi gangguan depresi berat dua kali lebih besar pada perempuan daripada laki-laki. Alasan perbedaan ini yang telah dihipotesiskan antara lain perbedaan hormonal, pengaruh kelahiran anak, stressor psikososial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, serta model perilaku ketergantungan yang dipelajari (Kaplan, 2010:190). Depresi adalah kondisi gangguan kejiwaan yang paling banyak ditemukan pada pasien gagal ginjal. Prevalensi depresi berat pada populasi umum adalah sekitar 1,1%-15% pada laki-laki dan 1,8%23% pada wanita,­namun pada pasien hemodialisis prevalensinya sekitar 20%-30% bahkan bisa mencapai 47%. Hubungan depresi dan mortalitas yang tinggi juga terdapat pasien-pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang (Chen et al. 2010). Sementara apabila dilihat dari karakteristik usia dari ke 17 pasien yang mengalami gejala depresi berat, sebagian besar responden berada pada rentang usia dewasa akhir ini yaitu sebanyak 5 orang. Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap masalah depresi dan jenis stressor yang paling mengganggu. Gangguan depresif dapat terjadi pada semua umur, dengan riwayat keluarga mengalami gangguan depresi, biasanya dimulai pada usia 15 dan 30 tahun. Dalam penelitiannya Nevid (2003), ditemukan bukti bahwa seiring dengan bertambahnya usia terdapat kecenderungan kenaikan depresi. Indonesia nursing (2008) memaparkan usia berpenga­ruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan, masa depan dan pengambilan keputusan. Usia juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi masalah psikologis pada pasien yang menjalani hemodialisa. Sedangkan apabila dilihat dari karakteristik tingkat pendidikan dari ke 17 pasien yang mengalami gejala depresi berat, sebagian besar responden berpendidikan SD yaitu sebanyak 11 orang. Sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2005) dengan pendidikan menyebabkan pengetahuan dan wawasan seseorang menjadi luas, memahami dan menge- Bhakti Kencana Medika, Volume 2, No. 4, September 2012 tahui bagaimana cara pemeliharaan kesehatan yang baik, dengan pendidikan yang tinggi mampu mengendalikan diri. Notoatmodjo (2003) menjelaskan pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stress atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi dan pengontrolan terhadap stressor lebih baik (Siswanto, 2007). Berdasarkan karakteristik status perkawinan dari ke 17 pasien yang mengalami gejala depresi berat, sebagian besar responden berstatus kawin yaitu sebanyak 16 orang. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukankan oleh Durand dan Barlow (2006), yang mengatakan ada beberapa hal yang dapat memicu terjadinya depresi yaitu hubungan perkawinan yang tidak memuaskan, kurangnya dukungan sosial dari orang-orang terdekat. Yosep (2009) menjelaskan salah satu penyebab stress psikososial yaitu status perkawinan dimana berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stress yang dialami seseorang, misalnya pertengkaran, perpi­sahan, perceraian, kematian pasangan dan lain sebagainya.­Stressor ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam keadaan kecemasan dan depresi. Berdasarkan karakteristik pekerjaan dari ke 17 pasien yang mengalami gejala depresi berat, sebagian besar responden bekerja sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 12 orang dan tidak bekerja sebanyak 3 orang. Salah satu dampak yang dialami pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa adalah tidak dapat beraktivitas kembali seperti sebelum menjalani dialisis misalnya dalam hal pekerjaan yaitu seringkali kehilangan pekerjaan atau dibebas tugaskan (Hasrini, 2009). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresi. Depresi yang berhubungan dengan pekerjaan seperti kehilangan pekerjaan diindikasikan sebagai yang paling berat. Mereka merasa kehilangan sebagian dari diri mereka dan merasa kehilangan kontrol atas kehidupan mereka. Berdasarkan karakteristik lama menjalani cuci darah dari ke 17 pasien yang mengalami gejala depresi berat, sebagian besar responden sudah lama menjalani cuci darah yaitu sebanyak 9 orang. Faktor emosional dapat mempenga­ruhi keyakinan terhadap kesehatan dan cara melaksanakannya. Seseorang mengalami respon stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya (Potter dan Perry, 2005:13). Terapi hemodialisis akan sangat dirasakan manfaatnya bagi mereka yang dari awal sudah diketahui, ada indikasi dan langsung dirujuk untuk menjalani terapi hemodialisis (Indonesia Nursing, 2008). Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terha­ dap tindakan hemodialisis. Hal ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman pasien dalam menjalani hemodialisis. Pada awal menjalani hemodialisis respon pasien seolah-olah tidak menerima atas kehilangan fungsi ginjalnya, marah dan sedih dengan kejadian yang dialami sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat beradaptasi dengan program hemodialisis. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Depresi­ pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis Hasil penelitian seperti yang terlihat pada tabel 4 diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi. Dengan menggunakan kriteria Sugiyono (2009), koefisien korelasi sebesar -0,731 menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi merupakan hubungan yang kuat. Selanjutnya diketahui bahwa arah hubungan kedua nya adalah bernilai negatif yang berarti bahwa semakin tinggi (baik) dukungan keluarga yang diberikan maka akan semakin menurun gejala depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di unit hemodialisa RSUD Majalaya Kab. Bandung Tahun 2012. Penyakit apapun yang berlangsung dalam kehidupan manusia dipersepsikan sebagai suatu penderitaan dan mempengaruhi kondisi psikologis dan sosial orang yang mengalaminya. Aspek psikososial menjadi penting diperhatikan karena perjalanan penyakit yang kronis dan sering membuat pasien tidak ada harapan. Pasien sering mengalami ketakutan, frustasi dan timbul perasaan marah dalam dirinya (Harvey S, 2007). Menurut Chen et al (2010) hubungan depresi dan mortalitas yang tinggi terdapat pasien-pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang. Kondisi afeksi yang negatif pada pasien gagal ginjal juga seringkali bertumpang tindih gejalanya dengan gejala-gejala pasien gagal ginjal yang mengalami uremia seperti iritabilitas, gangguan kognitif, encefalopati, akibat pengobatan atau akibat hemodialisis yang kurang maksimal (Cukor et al.2007). Kondisi gagal ginjal yang biasanya dibarengi dengan hemodialisis adalah kondisi yang sangat tidak nyaman. Kenyataan bahwa pasien gagal ginjal terutama gagal ginjal kronis yang tidak bisa lepas dari hemodialisis sepanjang hidupnya menimbulkan dampak psikologis yang tidak sedikit. Faktor kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada seperti kebebasan, pekerjaan dan kemandirian adalah hal-hal yang sangat dirasakan oleh para pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Hal ini bisa menimbulkan gejalagejala depresi yang nyata pada pasien gagal ginjal sampai dengan tindakan bunuh diri. Pasien harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan setiap perasaan marah dan keprihatinan terhadap berbagai pembatasan yang harus dipatuhi akibat penyakit serta terapi­nya disamping masalah keuangan, ketidakpastian pekerjaan, rasa sakit dan gangguan rasa nyaman yang mungkin timbul. Perasaan kehilangan yang dihadapi pasien jangan diabaikan karena setiap aspek dari kehidupan normal yang pernah dimiliki pasien telah terganggu. Jika rasa Bhakti Kencana Medika, Volume 2, No. 4, September 2012 marah tersebut tidak diungkapkan, mungkin menimbulkan depresi, rasa putus asa serta upaya bunuh diri : insidens bunuh diri me­ningkat pada pasien-pasien dialisis (Brunner dan Suddarth, 2002:1402). Hampir setiap orang tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri, tetapi mereka memerlukan bantuan orang lain. Dalam semua tahap, dukungan keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian akal, sehingga akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan (Nursalam dan Kurniawati, 2007:30). Efek dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi bersamaan.Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Disam­ping itu, pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stress (Setiadi, 2008). Pada pasien dialisis, dukungan sosial dengan tingkat yang lebih tinggi telah positif membantu terkait dengan mengurangi tingkat kematian dan gejala depresi, meningkatkan kepatuhan dengan pembatasan makanan dan cairan, dan tingkat yang lebih rendah dari rawat inap (Thong et al, 2007). Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa memerlukan hubungan erat dengan seseorang yang bisa dijadikan tempat menumpahkan perasaaannya pada saat-saat stress dan kehilangan semangat. Keadaan ini juga membantu mengarahkan pasien dan keluarganya kepada sumber – sumber yang ada untuk mendapatkan bantuan serta dukungan. Durand dan Barlow (2006) mengatakan bahwa kurangnya reinforcement dan interaksi yang negatif dengan orang lain menghasilkan penolakan. Selain hal tersebut ada beberapa hal yang dapat memicu terjadinya depresi yaitu hubungan perkawinan yang tidak memuaskan, kurangnya dukungan sosial dari orang-orang terdekat. Kring dkk (2006) mengemukakan bahwa dukungan sosial memprediksi pemulihan yang lebih cepat serta berkurangnya simptom-simptom depresi. Menurut Thong dkk (2006) dukungan keluarga akan mempengaruhi kesehatan (melalui perilaku sehat), psikologis dan fisiologis, dimana dukungan keluarga tersebut dapat diberikan melalui dukungan emosional, informasi ataupun memberikan nasihat. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh mengenai Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya Kab. Bandung periode bulan Juli 2012, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sebagian besar dari responden mengatakan dukungan keluarga termasuk dalam kategori mendukung. 2.Hampir setengahnya dari responden termasuk dalam kategori mengalami tingkat depresi berat. 3. Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di unit hemodialisa RSUD Majalaya Kab. Bandung Tahun 2012 dengan derajat keeratan hubungan yang kuat selanjutnya diketahui bahwa arah hubungan keduanya adalah bernilai negatif yang berarti bahwa semakin tinggi (baik) dukungan keluarga yang diberikan maka akan semakin menurun gejala depresi. Saran Bagi Instansi Penelitian (Rumah Sakit) 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi dan bahan kajian selanjutnya dalam memberikan pelayanan keperawatan khususnya kepada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa. 2) Diharapkan dapat dibuat Standar Asuhan Keperawatan (SAK) untuk dukungan keluarga khususnya dalam perawatan dan pemberian pendidikan kesehatan kepada keluarga pasien tentang pentingnya pemberian dukungan keluarga dalam menurunkan gejala depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa. Bagi Perawat di Ruangan Hemodialisa 1)Dapat belajar cara-cara mengatasi masalah psikososial yang terjadi di unit hemodialisa baik yang dialami pasien, keluarga maupun petugas kesehatan lainnya. 2) Dapat memperhatikan keadaan pasien baik secara fisik maupun psikis dan keluarga pasien harus senantiasa dilibatkan sepenuhnya (Seperti, mendampingi pasien selama proses hemoadialisis) karena dukungan keluarga sangat berperan dalam mengurangi gejala depresi. 3) Dapat membantu pasien dan keluarga untuk menceritakan perasaan mereka dalam suatu hubungan saling percaya agar dapat menyesuaikan dengan proses adaptasi dari kondisi pasien hemodiialisa. 4) Dapat memberikan edukasi dan informasi yang adekuat bagi pasien dan keluarga Seperti, gaya hidup, pola kehidupan dan cara adaptasi sehari-hari, kekuatan kepribadian dan minat, pengertian akan penyakit saat ini, persepsi terhadap pengobatan yang diberikan, tekanan hidup atau perubahan belakangan ini dan beberapa masalah yang terkait dengan penyakit. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya, penulis menyarankan untuk meneliti variabel lain yang turut mempengaruhi depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis, dengan wawancara yang mendalam dan observasi, menyempurnakan alat ukur dan memperluas subjek penelitian sehingga lebih mendapatkan data yang lengkap. DAFTAR PUSTAKA Alam, S & Hadibroto, I. (2007). Gagal ginjal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Ambari, Prinda Kartika Mayang. (2009). Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Keberfungsian Sosial pada Pasien Skizoprenia Pasca Perawatan di Rumah Sakit. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Diponogoro. Semarang. Arif & Kumala. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika. Bhakti Kencana Medika, Volume 2, No. 4, September 2012 Beck AT, Steer RA. Beck Depression Inventory (BDI) dalam Rush AJ, Pincus HA, First MB, et al, ed h 519-22. (2000). Handbook of Psychiatric Measures. Washington, DC : American Psychiatric Association. Brunner & Suddarth (Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare). (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta : EGC. Chen CK, Tsai YC, Hsu HJ, Wu IW, Sun CY, Chou CC, et al. in Depression and Suicide Risk in Hemodialysis Patients With Chronic Renal Failure. Psychosomatics 2010; 51:528–528.e6 Colvy Jack. (2010). Gagal Ginjal (Tips Cerdas Mengenali & Mencegah Gagal Ginjal). Yogyakarta : DAFA Publishing. Cukor D, Coplan J, Brown C, Friedman S, Cromwell-Smith A, Peterson RA, Kimmel PL. In Depression and Anxiety in Urban Hemodialysis Patients. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2: 484-490 Davison, G.C. Neale, J & Kring,A. (2006). Psikologi abnormal. Edisi ke -9. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Durand, V. Mark, & Barlow, David H. (2006). Psikologi Abnormal. Edisi Keempat. Jilid Pertama. Jogjakarta : Pustaka Pelajar Iyus Yosep, S. Kp., M.Si. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama. Leung DKC. Psychosocial aspect in renal patients. Proceedings of the First Asian Chapter Meeting — ISPD. December 13 – 15, 2002, Hong Kong Peritoneal Dialysis International, Vol. 23 (2003), Supplement 2 Mary Baradero, Mary Wilfrid Dayrit, Yakobus Siswadi. (2008). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : EGC. Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Beverly. (2005). Psikologi Abnormal. Edisi Kelima . Jilid Pertama. Jakarta : Penerbit Erlangga.. Terjemahan dari Abnormal Psychology In A Changing World. Niven. (2002). Psikologi Kesehatan, Edisi II. Buku Kedokteran. Jakarta : EGC. Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam .M. Nurs. (Hons), Dr. Dan Kurniawati Dian Nunik, S. Kep. Ns. (2007). Edisi 1 Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika. Price A. Sylvia. Wilson M. Lorraine. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC. Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktek Volume 2 Edisi 4. Jakarta : EGC. Roesli, MA Rully dkk. (2011). 3 rd Report Of Indonesian Renal Registry 2010. Pernefri : Regitrasi Ginjal Indonesia, IRR. Sadock J. Benjamin, Sadock A. Virginia. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta:EGC. Terjemahan dari Concise Textbook Of Clinical Psychiatry. Sarwono Wirawan Sarlito., Prof. Dr. (2010). Pengantar Psikologi Umum Cetakan Ke 2. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Setiadi. (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga Edisi I. Yogyakarta : Graha Ilmu. Siswanto. (2007). Kesehatan Mental Konsep Cakupan dan Perkembangan. Yogyakarta: Penerbit Andi. Suciadi, Paskah Leonardo, dr. (2010). Anda Bertanya, Dokter Menjawab :Kesehatan Ginjal dan Saluran Kemih. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer. Suprajitno. (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga : Aplikasi dalam Praktik. Jakarta : EGC. Soedarsono, Hasrini. (2009). Aspek Psikososial Pada Penderita Gagal Ginjal Terminal Yang Menjalani Terapi Dialisis. Bandung : RSKG. Thong, MSY, Kaptein, AA, Krediet, RT, Boeschoten, EW, & Dekker, FW. (2007). Social support predicts survival in dialysis patients. Nephrology Dialysis Transplantation , 22 (3), 845 –850. doi:10.1093/ndt/gfl700 Tjokronegoro, Arjatmo, Prof.dr dan Utama Hendra, dr. (2003). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Wilson, M.L.Price, S.A.(2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.