Produk dan Produktivitas Oleh Arianto A. Patunru 1 Peneliti, Australian National University Istilah ‘produk’ tentu tidak asing bagi kita. Demikian juga berbagai turunannya: ‘produksi’, ‘produktif’, atau ‘produktivitas’. Semua telah kita terima apa adanya. Namun dalam disiplin ekonomi, masing-­‐masing mereka punya arti yang lebih khusus. Produk, misalnya, erat kaitannya dengan ukuran aktivitas perekonomian, Produk Domestik Bruto (PDB). Istilah ini tampaknya kita adopsi dari bahasa Inggris (gross domestic product) dan bahasa Belanda (bruto binnenlands product). Ia berarti penjumlahan dari seluruh nilai tambah hasil produksi di suatu negara, baik berupa barang ataupun jasa, dalam satu rentang waktu tertentu. Karena setiap produksi menyangkut kompensasi atau pembayaran kepada input (atau ‘faktor produksi’), maka PDB juga besarnya sama dengan jumlah upah, gaji, sewa, bunga, dan laba di dalam perekonomian. Terakhir, PDB bisa dilihat sebagai akumulasi dari kegiatan ekonomi rumah tangga, perusahaan, pemerintah, baik aktivitas domestik, maupun yang menyangkut transaksi dengan pihak asing. ‘Bruto’ (yang kadang diterjemahkan menjadi ‘kotor’) dalam istilah PDB tersebut mengacu kepada “total, sebelum dikurangi”. Ia akan menjadi ‘neto’ (dari ‘netto’ atau ‘net’ yang berarti ‘bersih’), setelah dikurangi dengan penyusutan modal (depresiasi, misalnya aus atau rusaknya mesin-­‐mesin) – ukurannya lalu menjadi Produk Domestik Neto. Istilah ‘domestik’ sendiri mengacu kepada semua penduduk (baik warga negara maupun pendatang). Ia berubah menjadi ‘nasional’, jika produksi oleh pihak atau perusahaan asing dikeluarkan – maka indikator yang relevan adalah Produk Nasional Bruto (atau Produk Nasional Neto setelah dikurangi penyusutan). Perubahan PDB (atau varian-­‐variannya di atas) dari waktu ke waktu disebut ‘pertumbuhan ekonomi’. Akan halnya ‘produktif’, kita biasanya mengacu kepada kemampuan suatu negara menghasilkan barang dan jasa, relatif terhadap negara lain. Maka kita bisa katakan negara A lebih produktif daripada negara B jika PDB yang pertama lebih besar daripada PDB yang kedua. Namun dalam diskursus ekonomi, istilah ini perlu diasosiasikan dengan indikatornya sendiri. Di sini konsep yang lebih relevan adalah ‘produktivitas’. Dalam tataran mikro, kita biasa mengukur produktivitas dengan nisbah atau rasio dari produk (‘output’) terhadap input: dengan input yang sama, satu pihak lebih produktif ketimbang yang lain jika outputnya lebih besar. Pada level makro, ukuran yang jamak adalah total factor productivity (TFP), salah satu dari banyak indikator ekonomi yang kontroversial. Ia dikritik karena sesungguhnya ia adalah sisa atau residu perhitungan. Output dihasilkan melalui suatu proses produksi tertentu (disebut ‘fungsi produksi’) dengan menggunakan berbagai input. Celakanya, tidak semua input dapat diukur dengan mudah. Kalaupun secara teoretis ia dapat diukur, seringkali datanya tidak tersedia. Yang paling mudah didapatkan adalah data untuk modal (capital) dan pekerja (lebih tepatnya ‘jumlah jam kerja’, labor). Maka kita hitung 1 Tulisan ini dimuat di majalah TEMPO, 13 Oktober 2014 kontribusi modal dan pekerja di dalam setiap satuan output. Sisa output yang tak bisa dijelaskan oleh kedua input tersebut adalah ‘hal-­‐hal lain’, yang kita sebut proudktivitas total dari faktor-­‐faktor produksi (atau sekedar ‘produktivitas’). Sepintas lalu, pendekatan ini memang tampak vulgar. Tak bisa disalahkan, pengritik yang mengatakan bahwa ukuran produktivitas yang digunakan ekonom hanyalah sisa hitungan yang tidak mampu mereka jelaskan. Bahkan di kalangan ekonom ada otokritik bahwa TFP sesungguhnya adalah ‘a measure of our ignorance’. Tapi, jika dimaknai lebih dalam, indikator tersebut tidaklah sejelek definisi matematisnya. Jika output perekonomian dihasilkan oleh mesin (mewakili ‘modal’) dan waktu yang didedikasikan untuk menggerakkannya (mewakili ‘pekerja’), maka kita bisa bayangkan bahwa mesin yang sama serta jumlah jam yang sama mustinya menghasilkan output yang sama di negara A maupun B. Tapi perbedaan dalam keterampilan, kualitas manusia, kebijakan, dan lain-­‐lain, bisa membuat proses-­‐proses produksi itu berbeda tingkat efisiensinya, sehingga output pun bisa berbeda. Di sinilah kontribusi dari TFP – dan ada banyak sekali studi yang mencoba menguraikan apa saja unsur-­‐unsur TFP di negara-­‐negara yang berbeda. Terakhir, satu hal tentang istilah pertumbuhan ekonomi yang disebut di atas. Ia dihitung dari PDB, dan PDB adalah tambahan produk. Tidak ada unsur distribusi pendapatan dalam formula itu. Jadi, kritikan seperti “pertumbuhan ekonomi tidak mencerminkan keadilan distribusi” adalah benar – tapi sekaligus tidak perlu. Ada ukuran lain untuk distribusi, misalnya rasio Gini. Pertumbuhan ekonomi juga bukan satu-­‐satunya indikator sosial-­‐ekonomi. Ia adalah subset dari ‘pembangunan ekonomi’. Indikator seperti Indeks Pembangunan Manusia (HDI) tidak hanya mencakup ekonomi yang diwakili oleh PDB, tapi juga kesehatan dan pendidikan. Sama halnya, “PDB mencerminkan kebahagian” adalah kritikan yang salah alamat. Ada beberapa indikator lain untuk itu, misalnya Indeks Kebahagiaan Manusia – yang masih terus diperdebatkan. Kritikan atas PDB yang mungkin lebih valid adalah bahwa PDB tidak mencerminkan kerusakan lingkungan. Kabar baiknya, mulai ada inisiatif untuk memperbaiki formula perhitungan PDB dengan memasukkan unsur-­‐unsur seperti polusi dan degradasi hutan. ***