WP/ 1 /2013 Working Paper KAJIAN KEMUNGKINAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DYNAMIC PROVISIONING DI INDONESIA Diana Yumanita, Justina Adamanti, Arsya Helmi Desember, 2013 Ke si m p ul an, p en d a p at , d an p an d an ga n ya ng d is a m pa i ka n o le h p en ul is da la m p a per in i m er u p a ka n ke si m p ul a n, p en d a pat da n p an d an ga n p en u li s d an b u ka n mer u p a k an k es im p u l an, p en d a pat d an p a nd an ga n r e s mi B an k I nd on e si a. 1 KAJIAN KEMUNGKINAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DYNAMIC PROVISIONING DI INDONESIA Diana Yumanita, Justina Adamanti, Arsya Helmi1 ABSTRAK Pembentukan provisi perbankan bersifat procyclical, yaitu rendah pada saat ekspansi ekonomi dan tinggi pada saat krisis. Rendahnya pembentukan provisi pada saat ekspansi ekonomi disebabkan oleh rendahnya kredit berkualitas buruk, sedangkan tingginya pembentukan provisi pada saat krisis disebabkan oleh meningkatnya kredit berkualitas buruk. Pola procyclical pada pembentukan provisi pada akhirnya dapat membebani bank ketika krisis terjadi karena bank harus membentuk provisi lebih tinggi dengan menggunakan profit. Guna mengurangi procyclicality provisioning diperbankan, otoritas keuangan di beberapa negara mencoba mengatasinya dengan menerapkan dynamic provisioning. Tujuan utama dynamic provisioning adalah pemerataan (smoothing) pembentukan provisi sepanjang siklus ekonomi. Penerapan dynamic provisioning dipelopori oleh Spanyol pada tahun 2000, selanjutnya diikuti oleh Kolombia, Peru Uruguai, dan Bolivia. Dynamic provisioning mewajibkan bank untuk membentuk provisi tambahan berdasarkan formula tertentu sehingga bank diharapkan dapat membentuk provisi yang lebih besar pada saat ekspansi ekonomi untuk men-smoothing pembentukan provisi ketika ekonomi memburuk. Dalam penelitian ini dilakukan empat simulasi penerapan dynamic provisioning dengan menggunakan data agregat perbankan Indonesia. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penerapan dynamic provisioning dapat mengurangi beban bank untuk membentuk provisi padasaat krisis. Hal itu ditunjukkan oleh profit dan CAR bank yang lebih tinggi pada saat krisis jika dibandingkan dengan tanpa penerapan dynamic provisioning. Selanjutnya, terdapat beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan untuk penerapan dynamic provisioning di Indonesia, di antaranya adalah pilihan mekanisme yang tepat dan belum adanya guideline dari BCBS terkait kebijakan tersebut. Kata Kunci: Countercyclical, Dynamic Provisioning Klasifikasi JEL: E44, E61, G21 1 Peneliti ekonomi senior, Peneliti ekonomi dan Peneliti ekonomi di Grup Riset dan Pengaturan Makroprudensial (GRMP), Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP), Bank Indonesia. Pendapat dalam paper ini merupakan pendapat penulis dan bukan merupakan pendapat resmi DKMP atau Bank Indonesia. E-mail: [email protected], [email protected]., dan [email protected]. Penulis mengucapkan terima kasih kepada peserta diskusi kajian ini pada tanggal 9 Januari 2014 atas masukannya yang dapat menyempurnakan penelitian ini. 1 I. 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai lembaga intermediasi perilaku bank sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian yang sedang berlangsung. Saat kondisi ekonomi boom, bank cenderung untuk menurunkan loan loss provision-nya sehingga lebih banyak dana yang tersedia untuk disalurkan. Pada pasar kredit yang kompetitif bank akan melonggarkan syarat pemberian kredit dan menyalurkan kreditnya dengan suku bunga atau premi risiko yang rendah/kompetitif. Kondisi tersebut membuka ruang timbulnya risiko kredit ketika ekonomi memasuki tahap kontraksi. Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Angklomkliew, et al. (2009), Laeven dan Majnoni (2003), Davis dan Zhu (2005), dan Bikker dan Metzemekers (2005) menunjukkan bahwa perbankan cenderung untuk meningkatkan loan loss provision ketika kondisi ekonomi menurun karena terjadi penurunan kualitas kredit atau peningkatan risiko kredit. Praktik semacam itu akan menggerus modal perbankan dan memaksa regulator untuk mewajibkan bank menambah modalnya hingga pada level yang dapat menyerap unexpected loss yang mungkin timbul. Pada kondisi ekonomi yang menurun, bank akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan tambahan modal karena terbatasnya likuiditas yang tersedia di pasar. Keadaan tersebut akan mendorong bank menahan atau mengerem aktivitas penyaluran kredit. Hal itu berpotensi memperburuk kondisi ekonomi yang sedang menurun karena kredit yang diperlukan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi hanya tersedia dalam jumlah terbatas. Praktik perbankan selama ini adalah meningkatkan provisi ketika ekonomi menurun dan menurunkan provisi ketika kondisi ekonomi membaik. Hal semacam itu merupakan salah satu pola procyclical. Guna mengurangi procyclicality provisioning diperbankan, otoritas keuangan di beberapa negara mencoba mengatasinya dengan menerapkan dynamic provisioning. Tujuan utama dynamic provisioning adalah melakukan pemerataan (smoothing) pembentukan provisi sepanjang siklus 2 ekonomi. Penerapan dynamic provisioning dipelopori oleh Spanyol pada tahun 2000, selanjutnya diikuti oleh Kolombia, Peru, Uruguai, dan Bolivia. Framework provisioning mewajibkan bank untuk membentuk provisi tambahan berdasarkan formula tertentu sehingga bank diharapkan dapat membentuk provisi yang lebih besar pada saat ekspansi ekonomi untuk men-smoothing pembentukan provisi ketika ekonomi memburuk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wimboh, et al. (2010), pembentukan provisi di Indonesia juga bersifat prosiklikal. Hal itu ditunjukan dengan koefisien negatif sebesar 0.65 antara provisi dan pertumbuhan PDB (data perbankan periode 1995–2009). Berkaitan dengan hal tersebut, kajian ini akan mencoba untuk menelaah kebijakan makroprudensial dynamic provisioning yang telah diterapkan pada beberapa negara dan melihat kemungkinannya untuk diterapkan di Indonesia. Selain itu, beberapa pertanyaan menarik untuk dicermati dari penerapan kebijakan provisi ini di negara lain, antara lain, adalah apakah penerapan dynamic provisioning terbukti dapat mengurangi beban sektor perbankan dalam pembentukan provisi pada saat ekonomi memburuk dan apakah keberadaan dynamic provisioning mampu membantu terjadinya countercyclicality kegiatan perbankan. 1.2 Tujuan Penelitian Kajian ini berupaya untuk melihat kesesuaian penerapan dynamic provisioning terhadap perbankan Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk: (1) melakukan pendalaman pemahaman mengenai dynamic provisioning dan penerapannya pada negara Spanyol, Kolombia, dan Peru; (2) melakukan tinjau ulang (review) terhadap kondisi pembentukan provisi di perbankan Indonesia saat ini; (3) menyusun simulasi dengan menggunakan data Indonesia untuk melihat dampak penerapan kebijakan dynamic provisioning di Indonesia, terutama terhadap profit dan permodalan bank; serta (4) menentukan pola penerapan dynamic provisioning yang tepat bagi Indonesia, termasuk di dalamnya adalah jenis penerapan 3 (individual/ industri), prosedur untuk mengaktifkan dan menonaktifkan kebijakan (rule-based/discretion), dan formula penghitungan tambahan provisi yang harus dicadangkan. Hasil penelitian ini diharapkan akan mendukung BI dalam mengambil keputusan untuk menerapkan kebijakan dynamic provisioing secara optimal dan sesuai dengan kondisi yang ada. 1.3 Batasan Penelitian Penelitian ini hanya membahas provisi yang dibentuk untuk aset produktif yang berupa kredit karena kredit memiliki pangsa yang cukup besar pada aset produktif perbankan, yaitu rata-rata 63.57% dalam 3 tahun terakhir (2010--2012). Selain itu, kredit masih merupakan salah satu risiko terbesar yang dihadapi perbankan ketika ekonomi mengalami perburukan. Fokus penelitian ini cenderung menggali pemahaman tentang konsep dan praktik dynamic provisioning yang telah diterapkan oleh negara lain untuk mendesain konsep pengimplementasian dynamic provisioning yang tepat di Indonesia. 1.4 Skema Penulisan Organisasi penulisan ini adalah sebagai berikut. Bab 1 menjelaskan latar belakang, tujuan, dan batasan penelitian. Bab 2 peninjauan ulang kebijakan dynamic provisioning secara umum dan penerapannya di Spanyol, Kolombia, dan Peru. Bab 3 peninjauan ulang kebijakan pembentukan provisi yang digunakan di Indonesia hingga saat ini, yang dilanjutkan dengan pemaparan metode dynamic provisioning yang dirasakan sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Selanjutnya Bab 4 akan menguraikan simulasi penerapan dynamic provisioning dengan menggunakan data perbankan Indonesia. Sebagai penutup, bab 5 akan memaparkan simpulan dan rekomendasi untuk penerapan dynamic provisioning. 4 II. 2.1 TINJAUAN LITERATUR Tinjauan Umum Dynamic Provisioning Provisi adalah penyisihan yang dibentuk untuk mengantisipasi kerugian bank dari kegiatan intermediasi, di antaranya berupa penyaluran kredit. Menurut pandangan umum perilaku pembentukan provisi bank adalah prosiklikal, yaitu menguatkan pergerakan siklus bisnis yang sedang berlangsung. Ketika kondisi membaik (booming) yang biasanya ditandai dengan membaiknya kinerja perekonomian, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan membaiknya kemampuan bayar debitur, bank akan menurunkan pembentukan provisinya. Hal itu sejalan dengan menurunnya persentase provisi dibandingkan dengan total kredit. Pada akhirnya pertumbuhan kredit akan mengalami peningkatan saat ekonomi membaik. Jika perekonomian memburuk (kontraksi) atau bahkan resesi, bank akan menurunkan kredit yang diberikan karena naiknya risiko kredit yang dipersepsikan (supply side) dan pada saat yang sama terjadi penurunan permintaan kredit (demand side) akibat melemahnya daya beli mesyarakat yang berimbas pada kemampuan bayar debitur. Selanjutnya bank akan menaikkan pembentukan provisi dengan menggunakan profit yang pada akhirnya dapat pembentukan menurunkan provisi akan pembentukan berkorelasi negatif modal. Secara umum dengan pertumbuhan ekonomi dan modal akan berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi yang kemudian menimbulkan prosiklikalitas (Laeven and Majnoni, 2003; Bikker and Hu, 2002). Perilaku tersebut akan menguatkan siklus perekonomian, baik ketika turun maupun ketika naik. Selain itu, dalam kajiannya Terrier et al. (2011) dijelaskan perbedaan antara pembentukan provisi dan capital buffer. Pembentukan provisi bertujuan untuk menyerap kerugian yang sudah diharapkan (expected loss), sedangkan pembentukan capital buffer bertujuan untuk melindungi bank dari potensi kerugian yang akan terjadi pada masa yang akan datang (unexpected loss). Hal itu menyebabkan pembentukan capital buffer yang 5 bersifat lebih fleksibel jika dibandingkan dengan pembentukan provisi. Grafik 1. menunjukkan perbedaan pembentukan provisi dan capital buffer. Sumber: Terrier et al. (2011) Grafik 1. Pembentukan Capital Buffer and Provisioning Pada dasarnnya tujuan utama Dynamic Provisioning adalah meratakan (smoothing) besarnya provisi yang diterapkan oleh bank dengan besaran yang tergantung pada kemampuannya menghilangkan efek prosiklikalitas dan melakukan tindakan yang berlawanan dari kondisi nomal, seperti meningkatkan provisi dalam kondisi baik dan menurunkan besaran provisi dalam kondisi menurun. Seperti yang digambarkan pada grafik 2 panel kiri, pembentukan provisi yang dilakukan oleh bank bersifat prosiklikal, yaitu rendah pada saat ekspansi ekonomi dan tinggi pada saat krisis. Penerapan dynamic provisioninig diharapkan dapat meningkatkan pembentukan provisi pada saat ekspansi ekonomi melalui suatu perhitungan yang dikalibrasi berdasarkan data historis sehingga ketika krisis, provisi yang dibentuk tidak perlu tinggi. Grafik 2 panel kanan menunjukkan pembentukan provisi yang cenderung flat. 6 Sumber: Fernandez & Herrero (2010) Grafik 2. Siklus Provisioning Normal dan Dynamic Provisioning Bikker dan Metzemakers (2003) meneliti hubungan provisioning dengan siklus bisnis dengan menggunakan delapan ribu observasi bank di negara-negara anggota OECD. Mereka menemukan bahwa provisioning meningkat ketika GDP turun yang menunjukkan naiknya risiko portofolio kredit. Namun, provisioning naik ketika laba bank makin besar (income smoothing behavior) dan kredit tumbuh makin besar (risiko naik). Angklomkliew (2009) melakukan studi dan menganalisis praktik loan loss provisioning di beberapa negara Asia dan menyimpulkan manfaat utama yang didapat dari praktik loan loss provisioning, yaitu sistem perbankan yang lebih kuat. Pada sisi lain terdapat pandangan bahwa terjadi akumulasi risiko kredit yang semakin besar selama periode booming bersamaan dengan makin longgarnya penilaian risiko kredit dan makin ketatnya persaingan antarbank (Borio et al., 2001; Lowe, 2002). Situasi itu berpotensi untuk memperburuk kondisi perekonomian ketika resesi terjadi (periode burst). Untuk mengantisipasinya, bank dapat menerapkan provisioning yang bersifat countercyclical2 dengan cara menaikkan provisioning pada saat kondisi perekonomian boom dan memanfaatkannya pada saat perekonomian memburuk. Dengan kata lain, pandangan countercyclical 2 Istilah countercyclical provisioning sering bergantian dengan dynamic provisioning, prudent provisioning, atau statistical provisioning. 7 adalah bahwa pada level provisioning seharusnya dibuat berkorelasi positif dengan siklus bisnis, yaitu bank harus mengidentifikasi pola cyclical risiko kredit dan membentuk cadangan kerugian pada saat yang tepat. Pola pembentukan provisi tambahan sesuai dengan konsep dynamic provisioning menjadikan provisi tambahan sebagai countercyclical tool atau dampener, yaitu mendistribusikan pembentukan provisi sepanjang siklus ekonomi. Namun, kegagalan Spanyol dalam memperkirakan besarnya provisi tambahan yang harus dibentuk untuk men-smoothing pembentukan provisi pada masa krisis menimbulkan pemikiran bahwa dynamic provisioning lebih bersifat sebagai buffer (Fernandez et.al., 2012). Grafik 3 menjelaskan perbedaan peran dynamic provision sebagai buffer dan dampener. Ketika bersifat sebagai buffer, pembentukan provisi akan lebih tinggi sepanjang siklus ekonomi jika dibandingkan tanpa provisi tambahan. Hal itu dapat terjadi karena perburukan kualitas kredit yang terjadi pada masa resesi melebihi perkiraan sehingga pembentukan provisi juga mengalami kenaikan pada masa resesi walaupun telah dibentuk provisi tambahan pada masa ekspansi ekonomi. Grafik 3. Dynamic Provision sebagai buffer dan dampener Karakteristik Implementasi Dynamic Provisioning Implementasi dynamic provisioning memiliki beberapa karakteristik. Ren (2011) mengategorikan jenis implementasi dari beberapa sisi 8 (selengkapnya pada tabel 2.1). Dua karakteristik yang utama adalah (i) bagaimana mengaktifkan dan menonaktifkan akumulasi provisi tambahan (apakah menggunakan formula (rule) atau diskresi) dan (ii) cakupan implementasi (apakah spesifik per institusi atau sama untuk semua institusi). Tabel 1. Karakteristik Implementasi Dynamic Provisioning Karakteristik Keterangan Rule/discretion Seberapa besar tambahan provisi yang harus dibentuk. menggunakan Apakah formula dihitung (rule) atau berdasarkan diskresi Continuous/flexible Apakah akumulasi (proses on/off) dilakukan dan penggunaan dynamic provisioning sepanjang waktu atau berdasarkan kondisi tertentu, misalnya pertumbuhan ekonomi. Criteria for buildup and Apakah implementasi DP bersifat spesifik release untuk setiap institusi, atau sama untuk semua institusi Requirement based on Tambahan provisi diterapkan sesuai riskiness dengan resiko kredit, misalnya resiko by type of exposures berdasarkan kelompok debitur atau kualitas kredit General/specific provision Apakah tambahan diimplementasikan pada provisi general atau specific provision Sumber: dirangkum dari Ren (2011) Sejalan dengan Ren, Wezel et al. (2012) mengategorikan mekanisme implemenetasi dynamic provisioning menjadi tiga, yaitu (i) through the cycle accumulation system, (ii) trigger-based surcharge system, dan (iii) expected loss provisioning system. Pada mekanisme through the cycle accumulation, 9 digunakan formula (rule) yang implementasinya akan berbeda berdasarkan kondisi institusi terletak pada masing-masing. waktu aktifiasi Umumnya dan perbedaan penonaktifan antarinstitusi akumulasi provisi tambahan, sedangkan untuk rate akumulasi provisi tambahan yang harus dibentuk dapat berbeda atau sama untuk setiap institusi. Sistem ini dianggap baik karena mempertimbangkan karakteristik individual bank, tetapi kalibrasi yang dilakukan menjadi lebih rumit. Contoh negara yang menerapkan sistem ini adalah Spanyol. Mekanisme yang kedua adalah trigger-based surcharge system, yaitu aktivasi dan penonaktifan akumulasi provisi tambahan dilakukan berdasarkan trigger dari indikator makroekonomi dan finansial tertentu. Penggunaan indikator tertentu mengakibatkan waktu yang sama untuk aktivasi dan penonaktifan dynamic provisioning bagi semua institusi. Hal tersebut memudahkan pembuat kebijakan, tetapi di sisi lain dapat berdampak buruk pada individual institusi karena tidak semua institusi (bank) siap untuk mulai membentuk provisi tambahan meskipun indikator terpilih telah menyatakan situasi ekonomi yang kondusif. Contoh negara yang menerapkan sistem ini adalah Peru dengan menggunakan PDB sebagai indikator aktivasi dan penonaktifan dynamic provisioning. Mekanisme yang ketiga adalah expected loss provisioning system. Pada mekanisme ini akan dibentuk specific provision untuk setiap kredit baru yang diberikan meskipun belum terdapat bukti impairment. Tujuan pembentukan specific provision dalam setiap kredit baru adalah untuk antisipasi kerugian. Keuntungan mekanisme ini adalah pembentukan specific provision akan sesuai dengan karakter individu debitur yang akan mempengaruhi kinerja kredit sehingga menjadi akurat. Kelemahan dari sistem ini adalah apabila terjadi kesalahan estimasi rate provisi dapat menyebabkan kelebihan atau kekurangan provisi secara umum, tetapi tidak dapat dilakukan offset provisi antarportfolio. Selain itu, dibutuhkan data terperinci dari setiap debitur bank untuk estimasi specific provision yang harus dibentuk. Contoh negara yang menerapkan mekanisme ini adalah Meksiko, probability of default dihitung menggunakan model regresi yang 10 menyertakan karakteristik debitur seperti jumlah total dan sisa pinjaman serta jumlah keterlambatan bayar. Alasan utama untuk memilih mekanisme provisi berdasarkan rule adalah lebih objektif dan natural dibandingkan dengan berdasarkan diskresi. Mekanisme ini dianggap sesuai ketika kredibilitas regulator masih diragukan. Namun, sistem diskresi dianggap lebih fleksibel, terutama jika kondisi perekonomian mengharuskan regulator untuk merespons situasi secara lebih efektif. Kritikan utama pada provisi berdasarkan diskresi adalah pada kemampuannya dalam menjaga kualitas dan independensi diskresi yang diputuskan yang sering kali menjadi pertanyaan bagi kalangan perbankan. 2.1 Penerapan Dynamic Provisioning di Spanyol, Kolombia, dan Peru Dalam implementasinya dynamic provisioning harus menghadapi beberapa isu utama. Pertama, bank sering kali menggunakan kebijakan provisioning untuk melakukan earning management, yaitu income smoothing. Beberapa studi empiris membuktikan bahwa provisioning berhubungan positif dengan laba (earnings) (Greenwald and Sinkey, 1988; Collins et al., 1995; Ahmed et al.,1999) meskipun fakta tersebut tidak ditemukan pada penelitian lain (Beatty et al., 1995). Sejalan dengan hipotesis income smoothing, studi lain di US memperlihatkan bahwa pasar saham bereaksi negatif pada saat bank membuat perubahan level provisioning yang besar (Docking, 1997). Kedua, standar akuntansi yang berlaku saat ini (termasuk International Accounting Standar 39) menyatakan bahwa item-item keuangan harus dinyatakan dan diakui berdasarkan apa yang telah terjadi (evidence based), termasuk pengakuan adanya kerugian atas kredit yang disalurkan bank dibandingkan dengan perkiraan kerugian yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Prinsip ini membuat dynamic provisioning yang bersifat forward looking menjadi tidak mudah untuk diimplementasikan dan membuat kebijakan bank menjadi sedikit terlambat dalam kontek siklus kreditnya. Pada April 2009 financial stability board (FSB) menganjurkan rumusan standar akuntansi agar dapat mengakui kerugian dalam suatu 11 siklus kredit pada periode lebih awal sehingga dapat mengurangi dampak procyclicality pada loan provisioning (FSF, 2009) Namun, terlepas dari berbagai isu yang melekat pada kebijakan dynamic provisioning tersebut, beberapa negara sebagaimana telah disebutkan di atas telah menerapkan kebijakan ini, seperti Spanyol, Colombia, dan Peru. Dalam sub bab ini akan diulas secara lebih terperinci mengenai praktik implementasi kebijakan dynamic provisioning pada ketiga negara tersebut. 2.1.1 Spanyol Spanyol merupakan negara pertama yang mengimplementasikan dynamic provisioning dan telah mengalami satu siklus ekonomi (ekspansi dan kontraksi) sehingga banyak kajian dynamic provisioning mengacu pada Spanyol. Implementasi dynamic provisioning dimulai pada tahun 2000, kemudian direvisi pada tahun 2004. Implementasi kebijakan ini dipicu oleh beberapa alasan, di antaranya adalah (i) Spanyol pada tahun 1999 memiliki rasio loan loss provision terendah di antara negara OECD, (ii) pembentukan provisi Spanyol bersifat prosiklikal karena korelasi antara provisi dan PDB adalah -0.97 untuk periode 1991–1999, dan (iii) Spanyol mengalami ekspansi ekonomi yang belebihan pascabergabung dengan European Economic and Monetary (EMU) dan mengadopsi Euro. Ekspansi juga dipicu oleh kondisi moneter yang terlalu relaks, yaitu suku bunga acuan yang dipandang terlalu rendah (4%). Ekspansi ekonomi yang berkepanjangan tercermin dari pertumbuhan kredit domestik yang melonjak dari 5%--10% pada pertengahan 1990-an menjadi di atas 15% pada 1998—2000. Selain itu, Spanyol juga mengalami peningkatan permintaan domestik, khususnya investasi menjadi 3,5%. Akibatnya, inflasi meningkat dari 1,9% pada tahun 1997 menjadi 2,2% pada tahun 1999 dan menjadi 3,5% pada tahun 2000. Peningkatan harga juga terjadi pada harga perumahan yang meningkat sekitar 10% dalam periode yang sama. Kondisi tersebut diperparah dengan terjadinya depresiasi Euro versus USD pada tahun awal EMU. Otoritas Spanyol menyadari kondisi ekspansi ekonomi yang mulai overheating (memanas), di 12 sisi lain mereka tidak lagi memiliki kebijakan moneter dan nilai tukar. Oleh karena itu, dipergunakan kebijakan makroprudensial, dynamic provisioning. Implementasi dynamic provisioning diatur oleh The Banco de Espana, bank sentral Spanyol. Tujuan utama implementasi dynamic provisioning adalah (i) membatasi pertumbuhan kredit dengan menaikkan biaya pemberian kredit baru (biaya yang dimaksud adalah provisi) dan (ii) melindungi perbankan Spanyol dari kerugian yang lebih besar akibat kemudahan yang diberikan bank dalam memberikan kredit pada periode ekspansi ekonomi. Sebelum implementasi dynamic provisioning, terdapat 2 jenis provisi, yaitu generic provision dan specific provision. Besaran generic provision adalah 1% dari stok kredit, sedangkan specific provision tergantung pada kredit dengan kualitas buruk. Setelah implementasi dynamic provisioning, terdapat tambahan statistical provision yang ditujukan untuk mengimbangi specific provision dan besarnya tergantung dengan pertumbuhan kredit. Dalam menghitung statistical provision yang harus dibentuk, bank dapat menggunakan model internal yang disetujui regulator atau menggunakan pendekatan standar berdasarkan set koefisien yang ditentukan oleh regulator. Mekanisme provisi yang baru ternyata menuai kritik karena (i) lembaga akuntasi internasional berpendapat bahwa Spanyol melakukan profit smoothing sepanjang siklus ekonomi dengan menutupi kondisi bank yang sebenarnya dan (ii) lembaga keuangan (bank) Spanyol merasa keberatan dengan pembentukan provisi yang tinggi dibandingkan dengan negara kompetitornya sehingga mereka tidak lebih kompetitif dengan sistem keuangan tunggal di Euro zone. Kritisi yang terjadi memicu otoritas Spanyol untuk melakukan reformasi kebijakan dynamic provisioning pada tahun 2004. Hal itu didukung fakta bahwa provisi yang dibentuk telah berlebihan, yaitu mencapai 2,5% dari total kredit dan kurang dari 0,5% dari total provisi adalah specific provision. Selain itu, provisi telah mencapai 500% dari total NPL. 13 Terdapat beberapa perubahan yang terjadi setelah revisi pada tahun 2004, statistical provision diintegrasikan ke dalam generic provision sehingga hanya terdapat 2 jenis provisi, yaitu generic provision dan specific provision. Besaran generic provision mengikuti formula dynamic provision, sedangkan specific provision tergantung pada kredit dengan kualitas buruk. Dalam menentukan besarnya generic provision yang harus dibentuk, bank dapat mempergunakan formula yang dibuat oleh regulator atau menggunakan model internal perkembangannya yang semua telah bank disetujui memilih regulator. Namun, menggunakan pada model dari regulator. Adapun formula generic provision yang dikembangkan oleh regulator adalah sebagai berikut. πππππππ ππππ£ππ ππππ‘ = πΌ. βπΆπ‘ + (π½ − π πππππππ ππππ£ππ ππππ‘ ) πΆπ‘ πΆπ‘ (2.1) Keterangan: πΌ = rata-rata kerugian kredit yang diestimasi berdasarkan resiko kredit π½ = rata-rata historis specific provision untuk setiap jenis kredit πΆπ‘ = stok kredit pada akhir periode t βπΆπ‘ = πΆπ‘ − πΆπ‘−1 Ketika periode ekspansi berjalan, specific provision yang dibentuk relatif rendah sehingga generic provision akan bernilai positif yang merupakan masa akumulasi provisi tambahan bagi bank, sedangkan ketika periode kontraksi, specific provision yang dibentuk relatif tinggi (seiring dengan meningkatnya NPL) sehingga generic provision akan bernilai negatif yang merupakan masa penggunaan provisi tambahan untuk mengurangi beban bank membentuk specific provision. Adapun nilai untuk koefisien πΌ dan π½ sesuai dengan risiko kredit tampak seperti pada Tabel 2. Dalam menanggapi keluhan bank yang menjadi tidak kompetitif karena beban pembentukan provisi tambahan, Spanyol menerapkan batasan maksimum generic provision, yaitu 125% x πΌ x total kredit. 14 Tabel 2. Nilai πΌ dan π½ sesuai dengan jenis risiko kredit Jenis Risiko πΆ π· No apparent risk 0,0% 0,00% Low risk 0,6% 0,11% medium 1,5% 0,44% Lowrisk Medium risk 1,8% 0,65% Medium – high 2,0% 1,10% risk High risk 2,5% 1,64% Karakteristik utama dari implementasi dynamic provisioning Spanyol bersifat through the cycle accumulation, yang mempergunakan formula yang implementasinya tergantung dari kondisi tiap-tiap bank. Hal itu menyebabkan implementasi bersifat spesifik untuk setiap bank. Akibatnya, kalibrasi model membutuhkan informasi sangat detail yang berasal dari credit register. Namun, dynamic provisioning gagal mengatasi krisis di Spanyol. Pascarevisi tahun 2004 pertumbuhan kredit terus meningkat hingga 25% pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2007 terjadi krisis yang menyebabkan pertumbuhan PDB dan kredit menjadi negatif dan NPL mengalami kenaikan sangat tinggi, yaitu sekitar 10 kali lipat. Akbiatnya, provisi tambahan yang telah diakumulasi tidak mampu menutupi kenaikan specific provision. Adapun tiga penyebab kegagalan dari desain dynamic provisioning Spanyol adalah (i) masa ekspansi ekonomi yang lebih panjang dari yang diperkirakan, periode ekspansi berlangsung delapan tahun dari perkiraan empat tahun, dan rata-rata tahunan pertumbuhan kredit diperkirakan menjadi 16% dari yang diperkirakan sebesar 13%; (ii) krisis yang terjadi jauh lebih parah dari yang diperkirakan, yaitu masih berlangsung hingga saat ini dari perkiraan yang hanya 4 tahun. Selain itu, rata-rata tahunan pertumbuhan kredit 6% dari perkiraan awal 1%; dan (iii) dynamic provisioning bekerja asimetris, hanya berdampak sedikit/tidak ada sebagai anti-cyclical efek pada masa krisis. Akibat bank tidak mempergunakan generic 15 provision untuk men-smoothing profit (menaikkan modal), persentase total provisi terhadap kredit meningkat ketika pertumbuhan kredit menurun. Pada tahun 2012 dilakukan perubahan terhadap sistem provisi, terutama untuk real estate, tetapi informasi lengkap mengenai sistem baru belum didapatkan. 2.1.2 Kolombia Implementasi dynamic provisioning di Kolombia dimulai sejak 2007. Latar belakang implementasi kebijakan itu adalah regulator merasa perlu untuk membentuk provisi tambahan untuk kredit komersial dan konsumsi yang memiliki pangsa kredit terbesar mencapai sekitar 90%. Setelah implementasi, terdapat countercyclical provision, tiga jenis provisi, yaitu dan generic provision. individual provision, Individual provision ditujukan untuk kredit kualitas buruk yang besarnya sesuai dengan karakteristik risiko untuk setiap debitur dan jenis kredit. Countercyclical provision ditujukan untuk menutupi risiko kredit karena terjadi perubahan pada siklus ekonomi. Selain itu, countercyclical provision memiliki karakteristik yang sama dengan individual provision, sedangkan generic provision besarnya minimal 1% dari total kredit dan dapat dipergunakan untuk memenuhi countercyclical provision. Individual dan countercyclical provision menggunakan balance account yang sama sehingga sempat dikritisi karena generic provision menurun ketika terjadi peningkatan individual provision yang disebabkan oleh peningkatan countercyclical provision. Pada implementasi tahun 2007, keputusan untuk akumulasi dan penggunaan dynamic provisioning bersifat diskresi. Regulator menyusun dua skenario, yaitu A dan B. Skenario A menggunakan data historis, yaitu setiap skenario memiliki matriks default probability untuk setiap jenis kredit dan debitur, sedangkan skenario B merupakan skenario kondisi yang lebih beresiko jika dibandingkan dengan skenario A. Formula yang digunakan untuk menghitung provisi adalah sebagai berikut. π = πππΏ × ππ· × πΏπΊπ· (2.2) 16 Keterangan: OVL = outstanding value of the loan; jumlah total kredit PD = probability default LGD = loss given default Pada periode ekspansi ekonomi digunakan skenario A dan B untuk menghitung individual dan countercyclical provision. Individual provision dihitung dengan menggunakan skenario A dan countercyclical provision dihitung dari selisih antara skenario B dan A, sedangkan pada periode kontraksi ekonomi hanya digunakan skenario A untuk menghitung individual provision dan tidak ada countercyclical provision. Penggunaan countercyclical provision untuk mengompensasi kenaikan individual provision pada masa kontrasi ekonomi ditentukan berdasarkan diskresi regulator. Pada perjalanannya sistem diskresi dikritisi karena menimbulkan ketidakpastian yang tinggi. Pada tahun 2010 dilakukan revisi yang menyebabkan implementasi beralih dari diskresi menjadi rules-based system. Adapun revisi yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Indikator yang dipergunakan untuk menentukan kapan tambahan provisi mulai diakumulasi atau digunakan. Terdapat empat indikator untuk mengindikasi kontraksi ekonomi yang digunakan untuk menentukan kapan tambahan provisi mulai diakumulasi dan digunakan, yaitu a. perburukan portfolio berdasarkan variasi yang terjadi pada individual provisions ππππ£ππ ππππ‘ βππππ£ππ ππππ = ( ) − 1 ≥ 9% ππππ£ππ ππππ‘−3 (2.3) b. efisiensi berdasarkan rasio antara provisions net of recoveries (PNR) dan pendapatan bunga (πΌ × πΆ = interest income) πππ ≥ 17% πΌ×πΆ (2.4) c. stabilitas berdasarkan rasio antara provisions net of recoveries dan gross financial margin. ππΉπ΅π = margin operasional sebelum 17 depresiasi dan amortisasi ditambah PNR kredit dan leasing portfolio (2.5) πππ 0≤( ) ≥ 42% ππΉπ΅π d. pertumbuhan dari portfolio kredit. βπΆ = (2.6) πΆπ‘ − 1 < 23% πΆπ‘−1 Akumulasi provisi dilakukan jika terdapat minimal 1 indikator tidak terpenuhi. Jika dalam tiga bulan berturut-turut semua indikator terpenuhi, provisi dapat digunakan. 2. Sistem provisi Sistem provisi dibedakan sesuai dengan jenis kredit, yaitu sebagai berikut: (i) kredit komersial dan konsumsi: individual provision (procyclical dan countercyclical) dan tidak ada generic provision, dan (ii) kredit lainnya (terutama perumahan): individual provision dengan sistem lama (hanya untuk non performing loan) dan generic provision sebesar 1%. Pada periode akumulasi, individual provision (procyclical dan coutercyclical) menggunakan matriks default probability dari skenario B, sedangkan pada periode penggunaan provisi, procyclical provisi tetap diakumualsi, yaitu kredit dengan kualitas baik menggunakan matriks default probability skenario A, sedangkan kredit dengan kualitas buruk menggunakan matriks default probability skenario B. Karakteristik utama implementasi dynamic provisioning di Kolombia adalah peralihan dari diskresi menjadi rule-based system untuk akumulasi dan pengguna provisi tambahan. Selain itu, pada awalnya implementasi bersifat sama untuk semua bank, tetapi kemudian berubah menjadi spesifik untuk setiap bank. Sebagai tambahan, countercyclical provision bukan merupakan bagian dari generic provision seperti di Spanyol. Hal itu berhubungan dengan tujuan untuk mengelola tax deductibility pada specific 18 provision. Tidak seperti di Spanyol, Kolombia tidak menerapkan batasan maksimum untuk akumulasi countercyclical provision. Revisi mekanisme dynamic provisioning menyebabkan sistem tersebut dinilai lebih demanding jika dibandingkang dengan Spanyol karena hanya bank yang benar-benar kesulitan yang dapat menggunakan provisinya (dicerminkan oleh indikator ke-3). 2.1.3 Peru Kebijakan dynamic provisioning di Peru mulai diaktifkan pada November 2008 ketika pertumbuhan ekonomi dan kredit tercatat cukup tinggi, yaitu 36% dan 9,8%. Tingginya pertumbuhan kredit pascakrisis emerging market yang berakhir tahun 2003 menimbulkan kekhawtiran bahwa pertumbuhannya bersifat unsustainable karena faktor kurang teliti dalam asesmen pemberian kredit baru pada masa ekspansi ekonomi. Dengan melihat kondisi tersebut, bank mulai membentuk provisi sukarela untuk mengantisipasi jika terjadi kerugian, di samping generic provision yang sudah ada. Pada akhir 2008 provisi sukarela yang telah dibentuk oleh bank diubah menjadi cyclical provision, yaitu aktivasi dan deaktivasinya tergantung dari pertumbuhan PDB. Tujuan utama pembentukan cyclical provision adalah menekan pertumbuhan kredit pada level yang lebih moderat dan mengurangi probabilitas dari debitur yang over-indebtedness. Setelah kebijakan dynamic provisioning diimplementasikan, terdapat dua jenis provisi, yaitu generic dan cyclical. Cyclical provision merupakan bagian dari generic provision, yaitu provisi tambahan yang diakumulasi ketika berlangsung masa ekspasi ekonomi. Besarnya rate untuk setiap jenis provisi dibedakan sesuai dengan kategori debitur, yaitu commercial, microfirm, consumers, dan mortage. Generic provision dibentuk untuk setiap kredit baru yang diberikan, sedangkan cyclical provision merupakan provisi tambahan yang hanya dibentuk pada masa kebijakan dynamic provisioning diaktifkan. Secara sederhana, cyclical provision dibentuk ketika masa ekspansi ekonomi dan dihentikan pada masa kontraksi ekonomi. Rate provisi yang berlaku sejak Desember 2008 selengkapnya pada tabel 3. 19 Tabel 3. Aturan Provisi Peru Sejak Desember 2008 Jenis Rate Generic Rate Cyclical Debitur Provision Provision * Commercial 0,7 0,5 Micro-firms 1,0 0,5 Consumers 1,0 1,0 Mortgage 0,7 0,4 *tambahan provisi ketika dynamic provisioning diaktifkan Sumber : SBS, Fernandez et.al., 2012 Adapun rate cyclical provision dikalibrasi dengan menggunakan data krisis ekonomi pada akhir tahun 90-an sehingga rate tersebut merupakan rate yang dianggap sesuai untuk keadaan buruk (stress situation). Hasil akumulasi dari cyclical provision tidak dapat dipindahkan ke profit, tetapi hanya dapat dipergunakan untuk mengurangi beban pembentukan provisi ketika ekonomi mengalami kontraksi. Adanya cyclical provision diharapkan dapat mengurangi pembentukan provisi ketika kontraksi ekonomi sehingga profit relatif sama sepanjang siklus ekonomi. Alasan utama menggunakan PDB sebagai trigger aktivasi dan deaktivasi cyclical provision ialah data Peru menunjukkan bahwa perubahan PDB mendahului kredit sebanyak 3 kuarter sehingga PDB dianggap lebih sesuai sebagai leading indicator kerugian bank pada masa yang akan datang. Mekanisme penggunaan PDB untuk mengaktifkan akumulasi cyclical provision diatur oleh regulator, yaitu Superintendecia de Banca, dan Seguros y AFP (SBS). Cyclical provisioning diaktifkan ketika PDB melebihi threshold tertentu yang penghitungannya melibatkan estimasi pertumbuhan potensial keluaran (output). Gambar 2.4 menjelaskan 3 kondisi aktivasi cyclical provision, yaitu (i) ketika pertumbuhan PDB meningkat dari kurang dari 5% menjadi di atas 5%, (ii) ketika pertumbuhan PDB di atas 5% dan selama 12 bulan lebih tinggi dari 2% dibandingkan satu tahun yang lalu, dan (iii) ketika akumulasi cyclical provision telah dideaktivasi selama 18 bulan. 20 Gambar 1 . Aktivasi Cyclical Provision Karakteristik utama implementasi kebijakan dynamic provisioning di Peru bersifat trigger-based surcharge system dengan indikator utama pertumbuhan PDB. Selain itu, implementasi bersifat menyeluruh (sistemik) dan tidak bergantung pada perilaku tiap-tiap bank. Dampaknya terhadap bank menjadi tidak simetris karena dapat saja terjadi bahwa bank yang lebih prudent akan meningkatkan provisinya. Dalam rangka meningkatkan keakuratan asesmen dan manajemen risiko, pada tahun 2010 regulator finansial di Peru memutuskan untuk menambah kategori debitur bank. Kategori dan rate provisi selengkapnya tampak pada Tabel 4. Tabel 4. Aturan Provisi Peru Sejak Desember 2008 Corporate 0,7 Rate Cyclical Provision * 0,40 Larger firms 0,7 0,45 Medium firms 1,0 0,30 Small firms 1,0 0,50 Micro firms 1,0 0,50 Consumer revolving 1,0 1,50 Consumer nonrevolving 1,0 1,00 Mortgage 0,7 0,40 Jenis Debitur Rate Generic Provision *tambahan provisi ketika dynamic provisioning diaktifkan Sumber: SBS, Fernandez et.al., 2012 21 Dalam hal pajak, cyclical provision tidak terhindar dari pajak karena merupakan bagian dari generic provision yang tidak tax deductible. 3. Lessons Learned Dengan melihat latar belakang dan karakteristik implementasi dynamic provisioning di Spanyol, Kolombia, dan Peru, terdapat beberapa hal penting yang perlu dicermati, yaitu sebagai berikut. 1. Pengalamanan Spanyol menunjukkan bahwa proyeksi kerugian bank akibat resiko kredit (kapan dan seberapa besar) menjadi penting dalam memutuskan seberapa besar provisi tambahan yang harus dibentuk melalui mekanisme dynamic provisioning. Selain itu, pembatasan total akumulasi dynamic provisioning terbukti memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya ialah bank tidak terbebani untuk membentuk provisi tambahan sehingga tetap kompetitif jika dibandingkan dengan bank di negara sekitar, sedangkan kekurangannya ialah provisi tambahan kemungkinan menjadi tidak cukup ketika krisis ekonomi yang terjadi lebih lama dari yang diperkirakan. Akibatnya, dynamic provisioning tidak sepenuhnya mampu meringankan beban bank dalam membentuk provisi pada saat NPL meningkat tinggi. 2. Dalam menentukan mekanisme dynamic provisioning, terdapat dua hal penting, yaitu sebagai berikut. a. Apakah bersifat spesifik atau sama untuk setiap bank Kebijakan dynamic provisioning yang bersifat spesifik untuk setiap bank diterapkan oleh Spanyol. Kelebihan sistem ini adalah mempertimbangkan karakteristik dan kondisi setiap bank, sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan informasi dan data yang detail untuk kalibrasi model. Kebijakan dynamic provisioning yang bersifat sama untuk setiap bank diterapkan oleh Peru. Pengimplementasian mekanisme ini lebih mudah, tetapi sebagai kekurangannya dapat berdampak pada asimetris pada bank karena bank yang lebih prudent justru akan meningkatkan provisinya. 22 b. Apakah digunakan formula (rule) atau diskresi untuk memutuskan waktu akumulasi dan penggunaan dynamic provisioning. Pada mulanya memutuskan Kolombia waktu menerapkan akumulasi sistem dan diskresi penggunaan untuk dynamic provisioning, tetapi kemudian diubah berdasarkan sejumlah rule karena sempat menimbulkan ketidakpastian. Dari uraian implementasi di tiga negara, terdapat dua jenis implementasi penggunaan rule untuk pemutusan waktu akumulasi dan penggunaan dynamic provisioning, yaitu bersifat spesifik atau bersifat sama untuk setiap bank. Negara yang menerapkan aturan spesifik untuk setiap bank adalah Spanyol dan Kolombia setelah revisi pada tahun 2010, sedangkan negara yang menerapkan aturan sama untuk semua bank adalah Peru. Kelebihan penerapan rule spesifik untuk setiap bank adalah sesuai dengan kondisi setiap bank sehingga dapat menghindari situasi ketika terdapat bank yang belum sehat, tetapi harus memulai proses akumulasi provisi tambahan. Namun, dibutuhkan pengawasan yang lebih detail dalam implementasinya karena bank tidak serempak dalam hal waktu akumulasi dan penggunaan dynamic provisioning. Selain itu, apabila digunakan indikator dalam rule, perlu diperhatikan kesesuaian indikator tersebut sebagai indikator kondisi kesehatan bank pada khususnya dan kondisi ekonomi pada umumnya. 4. Beberapa Simulasi Dynamic Provisioning Terdapat beberapa penelitian yang mencoba untuk menyimulasikan implementasi kebijakan dynamic provisioning, di antaranya ialah Wezel et al. (2012), Balla dan Mc. Kenna (2009), dan Burroni et al. (2009). Dalam studinya, Wezel et al. (2012) melakukan evaluasi dan simulasi atas dampak penerapan dynamic provisioning terhadap tingkat kehati-hatian perbankan di Chili. Terdapat dua metode provisi yang dipertimbangkan di dalam studi itu, yaitu metode Spanyol dan Peru. Seperti yang telah dijelaskan pada penerapan dynamic provisioning di Spanyol, formula yang digunakan untuk 23 akumulasi dan penggunaan provisi tambahan terintegrasi dalam general provision dengan mempertimbangkan (i) ekspektasi loss di dalam total penyaluran kredit baru dan (ii) rata-rata provisi disepanjang siklus terhadap total kredit yang masih outstanding pada akhir periode (setelah di-nett off dengan specific provision). Jika dibandingkan dengan Spanyol, Peru menggunakan metode yang lebih sederhana, yaitu menggunakan persentase provisi yang harus diakumulasi pada saat ekspansi. Kedua metode tersebut kemudian dievaluasi pada data agregat dan individual bank. Simulasi dilakukan dengan membandingkan distribusi provisi yang dibentuk dengan menggunakan metode simulasi Monte Carlo dari 20.000 loan loss yang terjadi dalam rentang periode 6,5 tahun, baik dalam dynamic provisioning maupun tanpa dynamic provisioning. Simulasi tersebut berhasil menunjukkan bahwa penerapan dynamic provisioning menyebabkan tingkat distribusi provisi yang lebih baik dan landai. Hal itu menunjukkan bahwa (i) pembentukan provisi menjadi lebih smooth serta (ii) kemungkinan bank mengalami kekurangan provisi semakin kecil. Secara umum, Wezel menyimpulkan bahwa dynamic provisioning dapat (i) men-smoothing biaya provisioning sepanjang siklus perekonomian, baik secara agregat maupun secara individu perbankan dan (ii) menyebabkan penurunan tingkat probability of default. Grafik 4.Perbandingan distribusi provisi dengan dynamic provisioning atau tanpa dynamic provisioning Balla dan Mc Kenna (2009) membahas perbandingan antara sistem provisioning dan metode incurred loss. Perbandingan dilakukan dengan 24 menggunakan simulasi neraca bank yang menggunakan data agregat perbankan Amerika Serikat tahun 1993–2008. Skenario simulasi yang dilakukan dengan menggunakan dynamic provisioning dan incurred loss provisioning. Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa bank mampu menahan laju loan loss dengan lebih baik ketika bank mengimplementasikan dynamic provisioning. Hal tersebut ditunjukkan dengan pembentukan provisi bank sebesar 3,9% dari total kredit pada skenario dynamic provisioning yang dibandingkan dengan 1,7% dari total kredit pada skenario incurred loss. Bahkan, total profit perbankan pada skenario dynamic provisioning menunjukkan level yang lebih tinggi pada saat siklus perekonomian turun jika dibandingkan dengan skenario incurred loss. Hal itu terjadi karena bank telah mempersiapkan lebih banyak provisi pada saat siklus ekonomi naik sehingga pada saat siklus turun, bank tidak harus menggerus profit yang terbentuk untuk mengompensasi kenaikan loan loss. Grafik 5 . Tingkat profit perbankan AS pada skenario DP vs incurred loss Burroni et al. (2009) melakukan simulasi atas perilaku dynamic provisioning di Spanyol dengan langkah sebagai berikut: (i) membentuk model expected loss, (ii) melakukan formulasi generic provision, specific provision, dan dynamic provision, serta (iii) melakukan simulasi atas perilaku dynamic provisioning pada tingkat pertumbuhan kredit dan NPL 25 tertentu. Simulasi tersebut mampu menunjukkan bahwa specific provision berperilaku sangat cyclical, sedangkan dynamic provision yang secara konstruksi berperilaku countercyclical mampu menstabilkan pembentukan total provisi di sepanjang siklus perekonomian. Di dalam penelitian ini Burroni et al. membandingkan antara dynamic provisioning—yang terbentuk dengan metode Spanyol—dan metode model expected loss (Turner). Secara umum penelitian ini menyimpulkan bahwa dynamic provisioning dapat menyebabkan perilaku provisioning bank menjadi (i) lebih countercyclical sehingga bank memiliki provisi yang cukup ketika siklus ekonomi turun, dan (ii) cenderung mempertahankan tingkat penyaluran kredit ke sektor nonkeuangan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa di antara metode-metode dynamic provisioning yang dapat diterapkan, metode yang paling cocok diterapkan hanyalah model expected loss. 26 III. KEBIJAKAN PROVISIONING DAN KONDISI PERBANKAN DI INDONESIA 3.1 Kebijakan Provisioning di Indonesia Secara umum kebijakan penetapan besaran provisi untuk aset produktif, khususnya kredit yang disalurkan oleh bank, mengalami perubahan sesuai dengan perubahan standar ketentuan akuntansi. Secara garis besar ketentuan pembentukan provisi di Indonesia dapat dikelompokan berdasarkan periode sebelum dan sesudah pemberlakuan PSAK 55 revisi 2006 mengenai Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran. Pemberlakuan PSAK 55 revisi 2006 telah membawa perubahan yang sangat mendasar bagi core system perusahaan serta praktik akuntansi yang berlaku di Indonesia. Terutama adalah perubahan prinsip dari rule based menjadi principle based. Pada prinsip rule based provisi dibentuk sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sedangkan pada principle based, provisi hanya dapat dibentuk apabila terdapat bukti penurunan nilai aset keuangan dari nilai awal (impairment). Perubahan mekanisme pembentukan provisi dimuat di dalam PBI No. 14/15/PBI/2012 tanggal 24 Oktober 2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Sebelum mengadopsi sistem provisi berdasarkan impairment, perhitungan provisi untuk kredit dikenal dengan istilah penyisihan pencadangan aktiva produktif (PPAP) yang didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia yang merujuk pada kualitas kredit yang dimiliki bank. Terdapat lima kategori kualitas kredit, yaitu (i) lancar, (ii) dalam perhatian khusus, (iii) kurang lancar, (iv) diragukan, dan (v) macet. Rate provisi yang harus dibentuk sesuai dengan peraturan Bank Indonesia selengkapnya tampak pada Tabel 5. 27 Tabel 5. Rate Provisi sesuai Peraturan Bank Indonesia Kualitas Kredit Provisi Cadangan Cadangan Umum Khusus* 1% 5% Lancar Dalam perhatian khusus Kurang lancar 15% Diragukan 50% Macet 100% * untuk kualitas kredit kurang lancar, diragukan, dan macet, besarnya rate provisi dikalikan kredit – nilai agunan Setelah pemberlakuan PSAK 55 revisi 2006, istilah PPAP kemudian diubah menjadi cadangan kerugian penuruan nilai3 (CKPN). Perbedaan mendasar antara PPAP dan CKPN adalah bahwa CKPN hanya dibentuk jika terdapat bukti objektif bahwa debitur mengalami impairment. Berbeda dengan PPAP yang didasarkan pada peraturan Bank Indonesia, pembentukan CKPN didasarkan pada evaluasi setiap bank terhadap debiturnya. Akibatnya, setiap bank dapat memiliki kebijakan yang berbeda dalam membentuk cadangan provisi untuk kredit yang disalurkannya. Akan tetapi, kebijakan bank tersebut tetap mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan oleh Pedoman Akuntansi Perbakan Indonesia (PAPI) setelah adanya revisi PSAK 55 revisi 2006. Meskipun CKPN tidak bersifat rule based, sesuai dengan PBI No. 14/15/PBI/2012, bank wajib menghitung penyisihan penghapusan aset (PPA) yang merupakan PPAP. Aturan yang digunakan untuk menghitung PPA sama dengan aturan perhitungan PPAP terdahulu. Selisih antara perhitungan PPA dan CKPN yang telah dibentuk dapat mempengaruhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM). Apabila PPA yang dihitung nilainya lebih besar daripada CKPN yang telah dibentuk, bank wajib 3 Penurunan nilai adalah kondisi terdapat bukti objektif terjadinya peristiwa yang merugikan sebagai akibat dari satu atau lebih peristiwa yang terjadi setelah pengakuan awal kredit tersebut. Peristiwa yang merugikan tersebut berdampak pada estimasi arus kas masa datang atas aset keuangan atau kelompok aset keuangan yang dapat diestimasi secara andal. 28 menutup kekurangannya dengan menggunakan modal sehingga akan menjadi pengurang modal dalam perhitungan KPMM. Sebaliknya, apabila nilai PPA sama dengan atau lebih kecil dari CKPN yang dibentuk, bank tidak perlu memperhitungkan PPA dalam perhitungan rasio KPMM. Berdasarkan PAPI revisi 2008, terdapat dua metode untuk menghitung besarnya CKPN yang perlu dibentuk, yaitu (i) individual dan (ii) kolektif. Perbedaan mendasar kedua metode tersebut ialah sebagai berikut. Pada metode individual, bank dapat melakukan prediksi terhadap kondisi debitur pada masa yang akan datang sehingga dapat menentukan besarnya CKPN yang harus dibentuk jika diperlukan, sebaliknya pada metode kolektif, bank tidak dapat melakukan hal tersebut. Debitur yang menggunakan metode individual misalnya adalah perusahaan, sedangkan yang menggunakan metode kolektif misalnya adalah debitur kartu kredit. Berikut adalah penjelasan lebih detail untuk kedua metode tersebut. 1. Metode Individual Setiap bank dapat memilih perhitungan untuk mengukur nilai CKPN individual berdasarkan data historis debitur dengan menggunakan metode seperti di bawah ini: a. discounted cash flow, yaitu estimasi arus kas masa yang akan datang (pembayaran pokok + bunga) yang didiskontokan dengan suku bunga; b. fair value of collateral, yaitu memperhitungkan nilai arus kas atas jaminan atau agunan pada masa yang akan datang; atau c. observable market price yang ditentukan berdasarkan harga pasar dari kredit tersebut. 2. Metode Kolektif Setiap bank dapat memilih beberapa ketentuan dalam menentukan nilai CKPN pada kelompok kolektif ini sebagai berikut: a. dilihat dari perhitungan arus kas kontraktual kreditur pada masa yang akan datang. b. dilihat dari perhitungan tingkat kerugian historis dari kredit debitur setelah dikurangi tingkat pengembalian kreditnya. 29 Selain metode perhitungan, PSAK 55 juga mengatur beberapa hal yang terkait, yaitu sebagai berikut. 1. Identifikasi bukti objektif penurunan nilai Penetapan peristiwa-peristiwa yang memenuhi kriteria sebagai bukti objektif terjadinya pengalaman, trend penurunan historis nilai yang (experience didasarkan credit judgement), pada dan informasi yang tersedia selama ini disertai dengan analisis dasar perhitungan. Di samping itu faktor lain yang dapat dipertimbangkan oleh tiap-tiap bank dalam menentukan ada atau tidaknya bukti objektif penurunan nilai yang telah terjadi dapat dilihat pada aspek likuiditas, solvabilitas, dan eksposur risiko usaha dan risiko keuangan pihak debitur atau pihak penerbit, trend dan kondisi ekonomi lokal dan nasional, serta informasi lain yang mendukung. Hal tersebut harus didokumentasikan dalam kebijakan bank masingmasing. Penetapan peristiwa-peristiwa yang memenuhi kriteria sebagai bukti objektif terjadinya penurunan nilai didasarkan pada pengalaman, trend historis (experience credit judgement), dan informasi yang tersedia disertai dengan analisis dasar perhitungan. Faktor lain yang dapat dipertimbangkan oleh bank dalam menentukan bukti objektif, antara lain dari sisi likuiditas, solvabilitas dan risiko usaha, risiko keuangan pihak debitur, kondisi ekonomi lokal dan nasional, serta informasi lain yang mendukung. Selanjutnya, harus dilakukan pendokumentasian terhadap metode yang dipergunakan oleh bank untuk pengidentifikasian bukti objektif penurunan nilai. 2. Signifikansi aset keuangan Penetapan kriteria dalam peengidentifikasian ada atau tidaknya penurunan nilai dari aset keuangan tersebut dilakukan secara individual atau secara kolektif/kelompok. 3. Periode evaluasi Setiap bank dapat menetapkan periode evaluasi dengan batasan setiap akhir triwulan. Apabila terdapat bukti objektif penurunan nilai sebelum tanggal evaluasi tersebut, bank wajib melakukan estimasi 30 kembali atas arus kas pada masa datang dan CKPN yang dibentuk tanpa harus menunggu tanggal evaluasi berikutnya. Secara ringkas, Tabel 6. menyajikan perbandingan antara perhitungan PPA dan CKPN. Tabel 6. Perbedaan Perhitungan PPAP dan CKPN. Perhitungan PPAP Perhitungan CKPN Nilai Penyisihan atau cadangan = Nilai Penyisihan atau cadangan = Kredit x persentase provisi Nilai tunggakan kredit sebelum – berdasarkan kualitas kredit. Nilai tunggakan terjadinya kredit impairment sesudah (penurunan nilai), dimana : ο§ Perlu pengecekan terdapat apakah bukti obyektif penurunan nilai (impairment). ο§ Perhitungan CKPN dapat dilakukan secara individual atau kolektif/ kelompok. PPAP terhadap aktiva produktif = Cakupan komponen AP sesuai PPAP yang dibentuk/Total Aktiva ketentuan kualitas AP yang berlaku Produktif Angka dihitung perposisi (tidak disetahunkan) Pemenuhan PPAP = PPAP yang telah Apabila CKPN yang dibentuk kurang dibentuk/PPAP dari yang wajib dibentuk perhitungan PPA, akan digunakan modal untuk menambah kekurangannya. Kondisi Perbankan di Indonesia Secara umum pertumbuhan kredit industri perbankan mengalami tren meningkat selama 2001–2012. Rata-rata pertumbuhan adalah 20,8% dan pada tahun 2012 sebesar 23,1%. 31 Grafik 6. Perkembangan Kredit Periode 2001–2012 Meskipun sempat mengalami beberapa krisis ekonomi, NPL cenderung memiliki tren menurun. Peningkatan NPL hanya terjadi pada saat mini crisis 2005 akibat kenaikan harga bbm. Rata-rata NPL pada periode 2001–2012 adalah 5,2%, yaitu pada tahun 2012 NPL hanya berkisar sekitar 1,9%. Grafik 7. Perkembangan NPL/Kredit Periode 2001–2012 Sementara itu, profit industri perbankan cenderung memiliki tren meningkat, meskipun sempat menurun pada tahun 2005 dan 2008. Tingginya pertumbuhan kredit disertai dengan tren penurunan NPL dan peningkatan profit menandakan pada periode 2001–2012 Indonesia berada pada periode ekspansi ekonomi. 32 Grafik 8.Perkembangan NPL/Kredit Periode 2001–2012 Secara rata-rata pembentukan provisi cenderung tinggi, yaitu berada pada kisaran 112% terhadap NPL. Namun, rendahnya NPL menyebabkan terdapat kemungkinan bank harus menggunakan banyak profit untuk membentuk provisi ketika terjadi kenaikan NPL yang signifikan pada saat terjadi krisis. Grafik 9. Perkembangan NPL/Kredit Periode 2001–2012 Apabila NPL meningkat hingga 100% (menjadi sekitar 4% terhadap kredit), bank dapat mengalami kesulitan untuk membentuk provisi yang meningkat seketika karena rata-rata profit/NPL adalah 92% dengan posisi tertinggi pada tahun 2012 sebesar 183%. 33 Grafik 10. Perkembangan Profit/NPL Periode 2001–2012 Dengan merujuk pada konsep provisi sebelum diberlakukannya PBI No. 14/15/PBI/2012, terdapat cadangan umum dan cadangan khusus yang dibentuk berdasarkan kententuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Meskipun besaran cadangan umum dan khusus terus meningkat secara nominal, seiring dengan meningkatnya penyaluran kredit, persentase kedua provisi tersebut terus menurun terhadap total kredit. Grafik 11. Perkembangan Profit/NPL Periode 2001–2012 34 IV. SIMULASI PENERAPAN DYNAMIC PROVISIONING Untuk melihat dampak dari implementasi kebijakan dynamic provisioning, dilakukan simulasi menggunakan data perbankan Indonesia pada beberapa skenario implementasi. 4.1 Data dan Metodologi Data yang dipergunakan untuk simulasi adalah data tahunan industri (agregat) perbankan Indonesia periode 2001–2012 yang bersumber dari neraca dan laporan laba rugi dari laporan bank umum. Kerangka dasar simulasi adalah FSAP credit risk stress testing yang menggunakan balance sheet approch, yaitu kenaikan NPL akan mengakibatkan kenaikan provisi yang pada akhirnya akan mengurangi profit dan modal (tercermin dari penurunan CAR). Untuk mengakomodasi implementasi kebijakan dynamic provisioning, dilakukan modifikasi terhadap kerangka FSAP credit risk stress testing. Selanjutnya dengan menggunakan kerangka FSAP yang telah dimodifikasi, akan dibandingkan antara baseline (yaitu kondisi tanpa implementasi dynamic provisionig) dan beberapa skenario yang merupakan kondisi dengan implementasi dynamic provisioning. Hasil pembandingan provisi, profit dan CAR bank, tersebut akan tampak bahwa apakah kondisi perbankan akan menjadi lebih baik atau tidak ketika digunakan implementasi dynamic provisioning pada saat krisis ekonomi terjadi. 4.2 Pembentukan Data Hypothetical Simulasi kebijakan dynamic provisioning memerlukan data yang menunjukkan kondisi krisis karena kebijakan ini akan terlihat manfaatnya ketika kondisi krisis sedang terjadi. Kondisi industri perbankan yang terus membaik selama periode 2001–2012 menyebabkan tidak terdapat data aktual yang dapat dipergunakan untuk simulasi mekanisme dynamic provisioning di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk tujuan simulasi mekanisme 35 implementasi dynamic provisioning di Indonesia, akan diciptakan data hypothetical dari data aktual dengan tahapan sbb: 1. menetapkan periode 2001–2009 sebagai periode ekspansi ekonomi (good times) dan periode 2010–2012 sebagai periode kontraksi ekonomi (bad times); 2. meningkatkan NPL sebesar 25% (2010), 50% (2011), dan 100% (2012); dan 3. meningkatkan pembentukan provisi, sesuai dengan peraturan Bank Indonesia (PPA sebagai minimal provisi yang harus dibentuk oleh bank). Total peningkatan NPL pada data hypothetical adalah Rp87,8 triliun dan terdapat kekurangan provisi sebesar Rp66,6 triliun. Apabila dibandingkan dengan data yang aktual, NPL/kredit pada data hypothetical menjadi lebih tinggi. Grafik 9 menunjukan NPL/kredit pada data hypothetical yang lebih tinggi daripada data aktual. Selanjutnya, data hypothetical itu disebut dengan baseline. Tabel 7. Perbandingan NPL/Kredit antara Data Aktual dan Data Hypothetical NPL/Kredit Aktual Hypothetical Grafik 12. NPL/ Kredit Aktual vs 2010 2011 2012 2,56% 2,17% 1,94% 3,20% 3,25% 3,89% Grafik 13. Provisi Aktual vs Baseline 36 Baseline Grafik 14. Profit Aktual vs Baseline Grafik 15. Aktual vs Baseline Grafik 9 – 12 memperlihatkan perbedaan antara data aktual dan baseline untuk provisi, profit, dan CAR. Provisi mengalami kenaikan pada saat bad time. Pola pembentukan provisi pada baseline menunjukkan pola procyclicality, yaitu rendah pada saat ekspansi ekonomi dan tinggi pada saat ekonomi memburuk. Profit mengalami tren perlambatan pada saat bad time. Hal itu terjadi karena bank menggunakan profit untuk membentuk provisi yang lebih tinggi akibat kenaikan NPL. Penurunan profit menyebabkan akumulasi modal bank mengalami penurunan. Sebagai akibatnya, CAR data hypothetical lebih rendah jika dibandingkan dengan data aktual. Namun, simulasi tersebut tidak dapat terlepas dari Lucas Critique, yaitu skenario baseline tidak mempertimbangkan semua reaksi endogen yang seharusnya terjadi pada saat krisis ekonomi terjadi. 4.3 Metode Akumulasi Dynamic Provisioning Akumulasi provisi tambahan dari dynamic provisioning bersifat seperti tabugan yang dikumpulkan dari tahun ke tahun dan akan dipergunakan pada kondisi krisis. Adapun formula umumnya adalah sebagai berikut: βπ·ππ‘ = π(π_βπ·ππ‘ ), dengan keterangan βπ·ππ‘ ≤ π_βπ·ππ‘ (4.1) π·ππ‘ = π·ππ‘−1 + βπ·ππ‘ (4.2) 37 βπ·ππ‘ adalah akumulasi dynamic provisioning pada waktu t, sedangkan π_βπ·ππ‘ adalah proposal akumulasi pada waktu t. Akumulasi dynamic provisioning merupakan fungsi dari batasan-batasan dalam proses akumulasi. Beberapa contoh, antara lain, adalah batas maksimum total dynamic provisioning (jika ada) dan maksimum penggunaan profit untuk pembentukan dynamic provisioining. Pada penelitian ini dilakukan empat skenario akumulasi provisi tambahan dari dynamic provisioning, yaitu sebagai berikut. 1. Sebagai persentase dari Non-Performing Loan π_βπ·ππ‘ = πππ‘π π·π ∗ πππΏπ‘ (πππππππ) (4.3) 2. Sebagai persentase dari total kredit π_βπ·ππ‘ = πππ‘π π·π ∗ π‘ππ‘ππ ππππππ‘π‘ (πππππππ) (4.4) 3. Sebagai persentase tertimbang dari kualitas kredit (kolektibilitas). (4.5) 5 π_βπ·ππ‘ = ∑(πππ‘π π·ππ,π‘ × ππππππ‘π,π‘ ) π=1 4. Menggunakan formula dynamic provisioning Spanyol πππππππ ππππ£ππ ππππ‘ = πΌ. βπΆπ‘ + (π½ − 4.4 π πππππππ ππππ£ππ ππππ‘ ) πΆπ‘ πΆπ‘ (4.6) Mekanisme Simulasi Simulasi dilakukan dengan tahap sebagai berikut: 1. Tambahan provisi dari dynamic provisioning dilakukan pada saat kondisi ekonomi baik. Berbeda dengan sistem provisi biasa, dynamic provisioning diakumulasi dari tahun ke tahun. 2. Pada saat ekonomi memburuk akan terjadi peningkatan NPL yang akan meningkatkan provisi. 3. Bank akan membentuk provisi dari tiga alternatif (urutan sebagai prioritas), yaitu (i) dynamic provisioning (jika ada), (ii) profit, dan (iii) modal. 4. Bagaimana bank membentuk provisi pada saat ekonomi buruk akan mempengaruhi profit dan permodalan bank (CAR). 38 5. Selanjutnya dilakukan perbandingan pada pembentukan provisi, profit, dan CAR antara baseline dan beberapa skenario dynamic provisioning. Perbandingan ketiga variabel tersebut kemudian akan menghasilkan simpulan apakah penerapan dynamic provisioning akan memberikan dampak yang lebih baik pada profit dan permodalan. Mekanisme umum dari dynamic provisioning yang berlaku untuk semua skenario ditunjukkan oleh Gambar 2. Ketika ekonomi dalam kondisi baik (periode ekspansi), dilakukan akumulasi provisi tambahan yang akan dipergunakan ketika ekonomi memburuk (krisis). Sumber utama pembentukan provisi adalah profit. Ketika terjadi kenaikan NPL yang menyebabkan kenaikan pembentukan provisi, akan terjadi penurunan profit akibat digunakan untuk membentuk provisi. Ketika profit tidak lagi cukup, akan dipergunakan provisi tambahan yang diakumulasi dari mekanisme dynamic provisioning. Apabila masih tidak cukup, akan dipergunakan modal. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa dynamic provisioning dapat meniadakan/mengurangi penggunaan modal bank untuk pembentukan provisi. Sebagai dampak positif, CAR diharapkan tidak mengalami penurunan yang signifikan pada saat krisis. 39 Indikator makro & perbankan Kondisi Ekonomi baik Akumulasi DP buruk Hitung provisi akibat kenaikan NPL Provisi cukup? Ya stop Tidak Cadangan dari DP >0? Tidak Gunakan profit (maks. Sebesar profit) Kurang? Ya Ya Gunakan cadangan DP Gunakan modal Tidak stop stop Kurang? Ya Tidak stop Penggunaan Dynamic Provisioning Gambar 2. Mekanisme umum dynamic provisioning Selanjutnya Gambar 3 menunjukkan mekanisme akumulasi provisi untuk skenario 1–3, dan Gambar 4 menunjukkan mekanisme akumulasi provisi untuk skenario 4, menggunakan formula dynamic provisioning Spanyol. Mekanisme akumulasi provisi menggunakan skenario 4 berbeda dengan tiga simulasi lainnya karena terdapat batasan maksimum dari akumulasi provisi tambahan seperti yang diterapkan oleh Spanyol, batasan maksimum yang dipergunakan adalah 125 x LGD x total kredit. Sumber pembentukan provisi tambahan adalah profit, pada simulasi ini terdapat batasan sebesar maksimum 50% dari profit. 40 Tambah provisi melalui DP DP > profit Ya Maks. DP 50% dari profit Tidak Bentuk DP menggunakan profit stop Gambar 3. Mekanisme akumulasi provisi untuk skenario 1, 2, dan 3 Tambah provisi melalui DP Total DP > 125% x LGD x total kredit Ya Hitung gap dari maks Ya Maks. DP 50% dari profit Bentuk DP sebesar gap Tidak DP > profit Tidak Bentuk DP menggunakan profit stop Gambar 4. Mekanisme akumulasi provisi untuk skenario 4 41 4.5 Asumsi Beberapa asumsi yang dipergunakan dalam simulasi adalah sebagai berikut: (1) Perfect foresight dalam menentukan rate akumulasi dynamic provisioning Rate akumulasi dynamic provisioning ditentukan berdasarkan tambahan provisi yang akan diperlukan pada saat bad time. Pada simulasi menggunakan data baseline, kenaikan provisi yang harus dibentuk saat bad time dapat diketahui. Namun pada prakteknya, rate akumulasi dynamic provisioning akan tergantung dari perkiraan kenaikan kolektibilitas kredit kategori NPL yang mengakibatkan kenaikan provisi yang harus dibentuk, dan seberapa lama masa ekspansi yang tersisa sebelum krisis. (2) Maksimum penggunaan profit untuk akumulasi dynamic provisioning Agar akumulasi dynamic provisioning tidak menjadi faktor penghambat bank dalam melakukan bisnisnya, penggunaan profit disarankan untuk dibatasi. Pada simulasi ini digunakan batasan maksimum 50% profit. Sedangkan untuk implementasi akan ditentukan pada proses kalibrasi. 50% dari profit akan menjadi tambahan modal (TIER-1) ATMR tetap. (3) Distribusi kolektibilitas kredit bersifat simetris berdasarkan pangsanya Pada saat terjadi kenaikan NPL, kredit dengan kolektibilitas 3,4 dan 5 akan meningkat, sedangkan kredit dengan kolektibilitas 1 dan 2 akan menurun sesuai dengan besar pangsa masing-masing kolektibilitas. Rate akumulasi dynamic provisioning yang dipilih dalam simulasi merupakan persentase minimal yang menghasilkan karakteristik (i) dapat menghasilkan provisi yang bersifat counter cyclical, (ii) profit saat bad time lebih besar daripada profit baseline, dan (iii) CAR saat bad time lebih besar daripada CAR baseline. 4.6 Hasil Simulasi 4.6.1 Skenario 1–akumulasi DP sebagai persentase dari NPL Pada skenario ini akumulasi provisi merupakan persentase dari NPL dengan formula sebagai berikut: 42 (4.7) π_βπ·ππ‘ = πππ‘π π·π ∗ πππΏπ‘ (πππππππ) Berdasarkan hasil kalibrasi, rate DP yang dipergunakan adalah 10%. Rate ini memungkinkan penggunaan akumulasi provisi tambahan untuk membentuk provisi pada saat krisis. Grafik16. Perbandingan provisi baseline vs skenario DP – 1 Grafik 13 baseline menunjukkan pembentukan provisi saat krisis meningkat seiring dengan meningkatnya NPL. Akumulasi dynamic provisioning meningkat pada saat ekspansi dan mulai dipergunakan ketika krisis. Akumulasi dynamic provisioning yang telah dikumpulkan pada masa ekspansi ekonomi akhirnya dapat membantu mengurangi beban bank dalam membentuk provisi saat krisis. Hal itu menyebabkan pembentukan provisi pada saat krisis bersifat countercyclical, yaitu menurun pada saat krisis. Sebagai tambahan, meskipun provisi reguler lebih rendah pada skenario DP1 dibanding baseline, total provisi yang dimiliki bank tetap lebih tinggi karena terdapat ‘tabungan’ provisi dari dynamic provisioning. 43 Grafik 17. Perbandingan profit baseline vs skenario DP – 1 Grafik 18. Perbandingan CAR baseline vs skenario DP – 1 Perbandingan profit dapat dilihat pada Grafik 13. Ketika ekspansi (good time), profit bank pada skenario DP1 lebih rendah dibandingkan profit pada baseline karena sebagian dipergunakan untuk pembentukan provisi tambahan dynamic provisioing. Ketika krisis (bad time), profit pada skenario DP1 menjadi lebih tinggi karena pembentukan provisi dibantu oleh dynamic provisioning yang telah diakumulasi. CAR juga memiliki pola serupa dengan profit menjadi lebih baik pada saat krisis karena profit merupakan komponen dari penambahan modal. Melalaui perbandingan itu dapat dilihat bahwa dynamic provisioning membantu profit dan CAR bank menjadi lebih baik pada saat krisis. 44 4.6.2 Skenario 2 – akumulasi DP sebagai persentase dari kredit Pada skenario ini akumulasi provisi merupakan persentase dari kredit. Formula yang dipergunakan adalah sebagai berikut: (4.8) π_βπ·ππ‘ = πππ‘π π·π ∗ π‘ππ‘ππ ππππππ‘π‘ (πππππππ) Berdasarkan kalibrasi rate DP yang dipergunakan adalah 1%. Rate pada skenario ini lebih rendah daripada skenario pertama karena akumulasi dilakukan sebagai persentase dari total kredit yang jumlahnya lebih besar dari NPL. Grafik 15, 16, dan 17 menunjukkan hasil simulasi yang senada dengan skenario DP–1. Tampak bahwa ketika kebijakan dynamic provisioning di implementasikan, pembentukan provisi pada saat krisis lebih rendah jika dibandingkan dengan baseline, sedangkan profit dan CAR menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan baseline. Grafik 19. Perbandingan provisi baseline vs skenario DP – 2 45 Grafik 20. Perbandingan profit baseline vs skenario DP – 2 Grafik 21. Perbandingan CAR baseline vs skenario DP – 2 4.6.3 Skenario 3–akumulasi DP sebagai persentase tertimbang dari kualitas kredit Pada skenario ini, akumulasi provisi merupakan persentase tertimbang dari kualitas kredit. Formula yang dipergunakan adalah sebagai berikut : 5 (4.9) π_βπ·ππ‘ = ∑(πππ‘π π·ππ,π‘ × ππππππ‘π,π‘ ) π=1 Tabel 8 menampilkan rate DP untuk masing-masing kualias kredit, dimana semakin buruk kualitas kredit akan mendapatkan persentase yang tinggi. 46 Hal ini mencerminkan bahwa kualitas kredit yang buruk memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi. Tabel 8. Rate DP untuk setiap kualitas kredit Kualitas Kredit % (1) Lancar 0.05% (2) Dalam Perhatian Khusus 1.00% (3) Kurang Lancar 2.00% (4) Diragukan 8.00% (5) Macet 10.00% Grafik 18, , 19, dan 20 menunjukkan hasil simulasi yang senada dengan skenario DP–1 dan 2. Saat kebijakan dynamic provisioning diimplementasikan, pembentukan provisi pada saat krisis lebih rendah jika dibandingkan baseline, sedangkan profit dan CAR menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan baseline. Grafik 22. Perbandingan provisi baseline vs skenario DP – 3 47 Grafik 23. Perbandingan profit baseline vs skenario DP – 3 Grafik 24. Perbandingan CAR baseline vs skenario DP – 3 4.6.4 Skenario 4–akumulasi DP menggunakan formula DP Spanyol Metode dynamic provisioning Spanyol bersifat spesifik untuk setiap individu bank karena setiap bank memiliki periode yang berbeda untuk akumulasi dynamic provisioning dan juga penggunaannya. Hal itu menyebabkan bahwa dalam metode ini tidak dapat diterapkan diskresi sehubungan dengan waktu akumulasi dan penggunaan dynamic provisioning. Skenario DP–4 tidak menggunakan data hypothetical sebagai baseline, melainkan menggunakan data aktual. Hal itu terkait dengan penggunaan data provisi yang lebih detail, yaitu melibatkan generic dan 48 specific provision. Sebagai penyederhanaan diasumsikan hanya terdapat 1 (satu) bank yang menggunakan data aggregat industri bank dan nilai πΌ dan π½ yang sama untuk semua kualitas kredit. Adapun formula yang dipergunakan adalah sebagai berikut: πππππππ ππππ£ππ ππππ‘ = πΌ. βπΆπ‘ + (π½ − π πππππππ ππππ£ππ ππππ‘ ) πΆπ‘ πΆπ‘ (4.10) Keterangan: πΌ = rata-rata kerugian kredit yang diestimasi berdasarkan resiko kredit = LGD = 0.06 π½ = rata-rata historis specific provision/kredit untuk setiap jenis kredit = 0.04 πΆπ‘ = stok kredit di akhir periode t βπΆπ‘ = πΆπ‘ − πΆπ‘−1 (4.11) Pada formula ini dynamic provisioning diintegrasikan ke dalam generic provision dan terdapat batasan maksimum total DP, yaitu 125% x LGD x total kredit. Pada masa ekspansi (good time), specific provision cenderung lebih rendah dari β (rata-rata historis specific provision). Akibatnya, generic provision akan bernilai positif. Pada fase ini bank akan melakukan akumulasi provisi tambahan dynamic provisioning, sedangkan pada masa krisis (bad time), specific provision lebih tinggi dari β. Akibatnya, generic provision akan bernilai negatif. Pada fase ini bank akan menggunakan provisi tambahan yang telah diakumulasi sebelumnya. Pada simulasi ini diasumsikan bahwa bank telah membentuk provisi sebelum tahun 2001. Hal itu berkaitan dengan hasil formula Spanyol yang menyatakan bahwa tahun 2001–2003 merupakan periode penggunaan DP dan tahun 2004–2012 merupakan periode masa akumulasi DP. Hal itu disebabkan oleh tingginya NPL pada awal tahun 2000-an. 49 Grafik 25. Perbandingan Provisi Baseline vs Skenario DP – 4 Hasil simulasi juga memperlihatkan pembentukan specific provision pada saat krisis lebih rendah pada skenario DP4 dibandingkan dengan baseline karena sebagian menggunakan dynamic provisioning yang telah diakumulasi sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa implementasi dynamic provisioning dapat mengurangi beban bank dalam membentuk provisi pada saat krisis terjadi. Grafik 26. Perbandingan Profit Baseline vs Skenario DP – 4 50 Grafik 26. Perbandingan CAR Baseline vs Skenario DP - 4 Grafik 22 dan 23 menunjukan perbandingan profit dan CAR antara baseline dan skenario DP–4. Pada periode kontraksi ekonomi (2001–2003) profit dan CAR pada skenario DP–4 cenderung lebih tinggi dari baseline karena adanya akumulasi provisi tambahan dari mekanisme dynamic provisioning periode sebelumnya yang dipergunakan untuk mengurangi beban bank dalam membentuk provisi ketika NPL meningkat. Selanjutnya pada periode ekspansi ekonomi (2004–2012) profit dan CAR pada skenario DP–4 lebih rendah dari baseline karena merupakan masa akumulasi provisi tambahan. Pola profit dan CAR yang ditunjukkan pada skenario ini serupa dengan pola pada tiga skenario sebelumnya. Sebagai simpulan keempat skenario menunjukkan bahwa cadangan provisi yang dibentuk oleh metode dynamic provisioning mampu mengurangi beban bank dalam membentuk provisi pada saat krisis. Hal itu membuat posisi profit dan CAR lebih baik pada masa krisis jika dibandingkan dengan tanpa dynamic provisioning. Namun, sebagai kompensasinya CAR dan profit pada masa ekspansi cenderung lebih rendah jika dibandingkan tanpa akumulasi provisi tambahan. 51 V. 5.1 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Simpulan Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, yaitu review penerapan dynamic provisioning pada beberapa negara yang dilakukan pada studi literatur dan simulasi penerapan dynamic provisioning di Indonesia, dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut. 1. Praktik di Spanyol, Peru, dan Kolombia menunjukan implementasi kebijakan dynamic provisioning yang bervariasi, baik dilihat dari penetapan indikator, target kebijakan (individu/sistem), threshold, formula akumulasi, periode akumulasi, maupun penggunaan provisi tambahan. Kebijakan dynamic provisioning di Spanyol dilakukan secara kontinu dan bersifat spesifik untuk setiap bank. Formula akumulasi dynamic provision melibatkan data kredit (baik stok maupun pertumbuhan), specific provision, dan risiko kredit. Namun, akumulasi dynamic provisioning yang dibentuk belum mempu menutupi kerugian akibat krisis yang terjadi. Hal itu disebabkan oleh krisis yang terjadi lebih panjang dari prediksi semula. Selain itu, standar akuntansi yang diterapkan oleh Spanyol berbeda dengan standar yang ditetapkan oleh ECB. Kebijakan dynamic provisioning di Kolombia bersifat spesifik untuk setiap bank berdasarkan total kredit, probability of default, dan loss given default. Perubahan yang terjadi adalah sistem penentuan waktu akumulasi dan penggunaan provisi tambahan yang pada mulanya ditentukan berdasarkan diskresi, tetapi menyebabkan ketidakpastian. Hal itu memicu regulator untuk mengubah penentuan waktu akumulasi dan penggunaan berdasarkan sejumlah indikator krisis. Perubahan itu menyebabkan waktu untuk memulai akumulasi dan penggunaan provisi tambahan berbeda untuk setiap bank. 52 Berbeda dengan kebijakan dynamic provisioning di Spanyol dan Kolombia, implementasi kebijakan DP di Peru lebih bersifat system wide dengan aktivasi yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian berdasarkan threshold yang telah ditetapkan, yaitu pertumbuhan GDP. Selain itu, besaran akumulasi provisi tambahan diperhitungkan berdasarkan tipe debitur. 2. Pembentukan provisi di perbankan Indonesia masih mengadopsi metode incurred loss, yaitu provisi hanya dibentuk berdasarkan risiko yang telah diketahui. Berdasarkan PBI No. 14/15/PBI/2012, pembentukan provisi mempergunakan istilah CKPN, yaitu provisi hanya dibentuk apabila terdapat bukti penurunan nilai aset keuangan dari nilai awal. Hal ini berbeda dengan metode yang dipergunakan sebelumnya, yaitu PPAP yang lebih bersifat rule- based. Namun, untuk mengantisipasi CKPN yang dibentuk agar tidak kurang, tetap dilakukan perhitungan PPAP. Apabila CKPN bernilai lebih kecil dari PPAP, bank harus melakukan penambahan provisi yang bersumber dari pengurangan modal sebesar selisih antara CKPN dan PPAP. 3. Hasil simulasi menggunakan pendekatan balance sheet menunjukkan bahwa penerapan kebijakan dynamic provisioning yang tepat dapat mengurangi beban bank dalam membentuk provisi ketika krisis. Hal itu ditunjukkan oleh profit dan CAR bank yang lebih tinggi pada saat krisis ketika kebijakan dynamic provisioning diterapkan. Penggunaan data baseline hypothetical dan asumsi perfect foresight dalam penentuan rate akumulasi dynamic provisioning, tabel 5.1. menjelaskan besaran rate dynamic provisioning yang dipergunakan untuk merespons kekurangan provisi sebesar Rp66,6 triliun selama 3 tahun (bad time). Simulasi skenario DP-4 menggunakan metode DP Spanyol menunjukkan pola perilaku profit dan CAR yang serupa dengan ketiga skenario lainnya. Namun, skenario 4 berbeda dalam hal (i) bersifat kontinu dan spesifik untuk setiap bank serta (ii) tidak dapat diterapkan sistem diskresi terkait dengan waktu akumulasi dan penggunaan DP. 53 Tabel 9. Rangkuman simulasi skenario 1,2 dan 3 4. Berdasarkan review implementasi kebijakan dynamic provisioning pada tiga negara dan simulasi empat skenario yang telah dilakukan serta apabila kebijakan memungkinkan kewenangan ini untuk Bank akan diimplementasikan, diterapkan Sentral adalah di Indonesia penerapan pendekatan dalam metode yang cakupan yang yang digunakan oleh Peru. Hal itu berkaitan dengan kesederhanaan (dari sisi teknis) dan pengawasan. Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut: 1. formula yang dipergunakan berlaku sama untuk semua bank atau bersifat system wide. 2. penetapan waktu akumulasi dan penggunaan dynamic provisioning berdasarkan siklus perekonomian dan diumumkan (diskresi); dan 3. Formula akumulasi dynamic provisioning yang mungkin dapat diterapkan adalah skenario DP-1 (persentase dari NPL), DP-2 (persentase dari total kredit), dan DP-2 (persentase berdasarkan kualitas kredit). 5.2 Implikasi Kebijakan Kebijakan dynamic provisioning dapat membantu meringankan beban bank membentuk provisi ketika terjadi krisis. Namun, implementasi dynamic provisioning masih terkendala dengan sistem akutansi. Dynamic provisioning merupakan salah satu implementasi metode expected loss, sedangkan yang digunakan saat ini adalah metode incurred loss. Ke depan 54 IASB akan mengganti metode incurred loss menjadi expected loss yang direncanakan selesai pada tahun 2015. Selain penyediaan itu, implementasi countercyclical dynamic regulation provisioning di dalam Indonesia rangka harus mempertimbangkan beberapa hal berikut : 1. Terkait belum terakomodasi metode expected loss pada IFRS, PSAK 55 juga belum mengakomodasi implementasi dynamic provisioning. 2. Belum terdapatnya guideline lengkap mengenai penerapan dynamic provisioning dari Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) dalam Basel III. 3. Merujuk ketentuan yang berlaku saat ini, terdapat dua kemungkinan implementasi DP, yaitu memperlakukan DP sebagai: a. provisi (CKPN) melalui metode penghitungan kolektif (incurred but not yet identified) Pada pilihan ini, pembentukan provisi tambahan akan mempergunakan profit, tetapi terdapat keterbatasan pembentukan provisi sebesar LGD dari kelompok debitur/ aset. b. PPAP Pada pilihan ini, pembentukan provisi tambahan akan mempergunakan modal, tetapi akan bertentangan dengan konsep Countercyclical Capital Buffer. 4. Pada saat akan diimplementasikan, harus dilakukan kalibrasi terkait dengan beberapa hal utama, antara lain aturan untuk akumulasi (aktivasi) dan penggunaan (nonaktivasi) dynamic provisioning, metode akumulasi beserta rate-nya, dan besaran cadangan tambahan yang harus dibentuk. Selain itu kalibrasi harus memperhatikan kondisi perekonomian dan siklus keuangan yang terjadi pada saat itu. 55 REFERENSI Ahmed, A.S., Takeda, C., Thomas, S., 1999, “Bank loan loss provisions: A reexamination of capital management, earnings management and signaling effects”, J. Acc. Econ. 28, 1–25. Angklomkliew, S., George,J., and Packer, F., 2009. “Issues and Developments in loan loss provisioning: the caseof Asia”, BIS Quarterly Review, December 2009. Balla, E., Mc.Kenna, A., 2009, “Dynamic Provisioning: A Countercyclical Tool for Loan Loss Reserves”, FRB of Richmond Economic Quarterly. BCBS (Basel Committee on Banking Supervision), 2010a, “Basel III: A Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking Systems”. Basel, Switzerland. http://www.bis.org/publ/bcbs189.pdf. _______ 2010b, “Guidance Countercyclical for Capital National Authorities Buffer”. Operating Basel, the Switzerland. http://www.bis.org/publ/bcbs187.pdf. ________ 2010c, “Financial Instruments: Amortised Cost and Impairment. Comments on Amortised IASB‘s Cost Exposure and Draft, Impairment”. Financial Instruments: Basel, Switzerland. http://www.ifrs.org/NR/rdonlyres/B7B26291-9046-4687-A6784B0944D06E02/0/CL148.pdf ______ 2010d, ”Countercyclical Capital Buffer Proposal”. Consultative Document. Basel, Switzerland. http://www.bis.org/publ/bcbs172.pdf. Beatty, A., Chamberlain, S., Magliolo, J., 1995, “Managing financial reports of commercial banks: The influence of taxes, regulatory capital and earnings”. J. Acc. Res. 33, 231–262. Berger, A.N., Udell, G., 1994, “Did risk-based capital allocate bank credit and cause a “credit crunch” in the US?”, J. Money, Credit, Banking 26, 585–628. Bikker, J.A., H. Hu, 2002, “Cyclical patterns in profits, provisions and lending of banks and procyclicality of the new Basel capital 56 requirements”, Banca Nazionale del Lavoro Quarterly Review 55, 143-175. Bikker, J.A and Metzemakers, P., 2005, “Bank provisioning behaviour and procyclicality”, Journal of International Financial Markets, Institutions and Money, vol.15, pp.29--51. Borio, C, C Furfine and Lowe, P., 2001, “Procyclicality of the financial system and financial stability: issues and policy options”, BIS Papers, No. 1. Borio, C, and M. Drehmann, 2009, “Assessing the Risk of Banking Crises – Revisited”, BIS Quarterly Review, March, pp. 29–46 Borio, C, and Lowe, P., 2002, “Assessing the Risk of Banking Crises”, BIS Quarterly Review, December, pp. 43–54. Bouvatier, V and L Lepetit, 2008, “Banks’ procyclical behaviour: does provisioning matter?”, Journal of International Financial Markets, Institutions and Money, vol 18, pp 513–26 Burroni, M, Quagliariello, M, Sabatini, E, dan Tola V, 2009, “Dynamic Provisioning: Rationale, Functioning, and Prudential Treatment”, Banca D’Italia Occational Papers No. 57, November 2009 Chan, S., 2008, “Loan loss provisioning in Australia”, Financial Stability Department, Reserve Bank of Australia. Collins, J., Shackelford, D.,Wahlen, J., 1995, “Bank differences in the coordination of regulatory capital, earnings, and taxes”, J. Acc. Res. 33, 263–292. Davis, E.P and Zhu, H. 2005. “Commercial property prices and bank performance”, BIS Working Papers, No. 175,pp.1--37. Docking, D.S., Hirschey, M., Jones, E., 1997, “Information and contagion effects of bank loan-loss reserve announcements”, J. Finan. Econ. 43, 219–239. Fernandez de Lis, Santiago and García-Herrero, Alicia, 2010, “Dynamic Provisioning: Working Some Paper Lessons from No. 218. Existing http://ssrn.com/abstract=1624750 Experiences”, Available at ADBI SSRN: or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1624750 57 Fernandez de Lis, Santiago and García-Herrero, Alicia, 2012, “Dynamic Provisioning: a buffer rather than a countercyclical tool?”, Working Paper BBVA Fernandez de Lis, S.; J. Martinez and J. Saurina, 2000, “Credit growth, problem loans and credit risk provisioning in Spain”, Working Paper no. 0018, Banco de Espana. Financial Stability Forum, 2009. Addressing Procyclicality in the Financial System. International Accounting Standards Board, 2009a: Request for Information, Financial Instruments: Impairment of Financial Assets, June. ______2009b, as amended, International Financial Reporting Standard 7, Financial Instruments: Disclosures, March. ______2009c, as amended, International Accounting Standard 39, Financial Instruments: Recognition and Measurement, April. Greenwald, M.B., Sinkey Jr., J.F., 1988, “Bank loan-loss provisions and the income-smoothing hypothesis: An empirical analysis”, 1976–1984. J. Finan. Services Res. 1, 301–318. Hess, K., Grimes, A., and Holmes, M.J., 2008, “Credit losses in Australasian Banking”. Working Paper in Economics 08/10, June 2008. IMF (International Monetary Fund), 2004, “Are Credit Booms in Emerging Markets a Concern?”, World Economic Outlook, April 2004, Chapter 4. Jiménez, G., and J. Saurina, 2006, “Credit Cycles, Credit Risk, and Prudential Regulation”, International Journal of Central Banking 2(2), pp. 65–98. Laeven, C and Majnoni, G., 2003, “Loan loss provisioning and economic slowdowns: too much, too late?”, Journal of Financial Intermediation, vol.12, pp.178-97. McGovern, D., 2010, “Spain’s Anti-crisis Stimulus Plan Poses Serious Risks to Market Financing and Economy Recovery”, Center for Financial Stability. Ren, H., 2011, “Countercyclical Financial Regulation”, Policy Research Working Paper 5823, The World Bank. 58 Saurina, J., J., Gabriel, S. Ongena, and J. Peydró, 2008, “Hazardous Times for Monetary Policy: What Do 23 Million Bank Loans Say about the Effects of Monetary Policy on Credit Risk?”, Discussion Paper No. 75, Center for Economic Research, Tilburg University Saurina, J. 2009, “Dynamic Provisioning: the Experience of Spain”. Crisis Response Note No.7. the World Bank Group. ______ 2009, “The Issue of Dynamic Provisioning. A Case Study”. Financial Reporting in a Changing World. European Commission Conference. ______ 2009, “Loan Loss Provisioning: A Working Macroprudenstial Tool”. Terrier G., et.al., 2011, “Policy Instruments to Lean Against the Wind in Latin America”, IMF working paper Turner, G and Mowatt, B., 2010, “Some observations on the current provisioning cycle for banks”. Financial Stability Department, Reserve Bank of Australia. Turner, G. 2010, “Banks provisioning: an overview of the accounting and prudential frameworks”. Financial Stability Department, Reserve Bank of Australia. Wezel, T., Chan-Lau, J.A., Columba, F., 2012, “Dynamic Loan Loss Provisioning: Simulations on Effectiveness and Guide to Implementation”, IMF workding paper Wimboh, S., Rulina, I., Deriantino, E., 2010, “Procyclicality of Loan Loss Provisioning: Issues, Development and Evidence from Indonesia”, Working Paper, Bank Indonesia 59 LAMPIRAN Tabel 1. Evolusi Perubahan Regulasi terkait dengan PPAP No. 31/148/KEP/DIR PBI No. 7/2/PBI/2005 PBI No. 14/15/PBI/2012 Tanggal 12 November 1998 Tanggal 20 Januari 2005 Tanggal 24 Oktober 2012 Pembentukan Penyisihan Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Penghapusan Aktiva Produktif Bank wajib (Penyisihan membentuk Penghapusan Produktif) Umum Umum PPAP Bank wajib membentuk PPA Terdapat pencadangan sesuai konsep Aktiva Jenis cadangan: impairment Cadangan umum dalam bentuk Cadangan Khusus Penurunan Nilai (CKPN) PPAP adalah cadangan yang harus Cadangan khusus Tetap mempertahankan PPA sebagai dibentuk sebesar persentase tertentu Besarnya cadangan prudential purposes dari CKPN nominal penggolongan berdasarkan Cadangan umum kualitas adalah penyisihan yang aktiva Sekurang-kurangnya sebesar 1% dari dibentuk apabila nilai tercatat aset produktif aktiva produktif kualitas lancar keuangan Jenis cadangan Cadangan khusus kurang dari nilai tercatat awal Cadangan umum Sekurang-kurangnya sebesar : Bank wajib menghitung PPA thd asset Cadangan khusus 5% Besarnya cadangan digolongkan dalam perhatian khusus Cadangan umum 15% dari dari Sekurang-kurangnya sebesar 1% dari digolongkan aktiva aktiva kurang produktif setelah penurunan nilai yang produktif dan non produktif, berupa cadangan umum dan cadangan khusus produktif yang sesuai lancar setelah Indonesia dengan (sama Peraturan dengan Bank peraturan 60 aktiva produktif kualitas lancar dikurangi nilai agunan Cadangan khusus 50% Sekurang-kurangnya sebesar : digolongkan 5% dari aktiva produktif dari aktiva aktiva produtif diragukan yang dikurangi nilai agunan digolongkan dalam perhatian khusus 15% dari sebelumnya) produktif 100% dari aktiva yang Bank wajib membentuk CKPN sesuai setelah standar akuntansi keuangan yang berlaku produktif yang Besarnya CKPN ditentukan secara yang digolongkan macet setelah dikurangi kolektif & individual digolongkan kurang lancar setelah nilai Apabila PPA lebih besar daripada CKPN dikurangi nilai agunan maka 50% dari digolongkan aktiva produtif diragukan yang setelah dikurangi nilai agunan 100% dari aktiva produktif bank wajib menutup kekurangannya menggunakan modal pada pengurang modal dalam perhitungan KPMM. Apabila PPA lebih yang kecil atau sama digolongkan macet setelah dikurangi nilai 61