etnografi dukun: studi antropologi tentang praktik

advertisement
ETNOGRAFI DUKUN:
STUDI ANTROPOLOGI TENTANG PRAKTIK PENGOBATAN DUKUN
DI KOTA MAKASSAR
AN ETHNOGRAPHY OF DUKUN:
ANTHROPOLOGY STUDY OF TRADITIONAL HEALER (DUKUN) IN
MAKASSAR
Muhammad Irfan Syuhudi1, M. Yamin Sani2, M. Basir Said3
1
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar
Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin
3
Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin
2
Alamat Korespondensi:
Kantor:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar
Jalan: A.P. Pettarani No. 72 Makassar
Rumah:
Jalan Baji Ateka Timur No. 10 Makassar
Hp. 082187500080
Email: [email protected]
1
ABSTRAK
Sebagian besar masyarakat dari berbagai lapisan sosial di Kota Makassar masih mempercayai dukun untuk
mengobati penyakitnya. Penelitian bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan realitas sosio kultural praktik
perdukunan; (2) memahami strategi budaya dukun dalam mempertahankan eksistensinya. Lokasi penelitian
adalah Kota Makassar. Penentuan informan secara purposive, yang terdiri atas dukun dan orang-orang yang
berobat ke dukun (pasien). Teknik mengumpulkan data melalui pengamatan berperanserta dan wawancara
mendalam (indepth interview), sedangkan analisis data secara deskriptif etnografik. Hasil penelitian
menunjukkan, dukun menjalankan praktiknya karena orang-orang masih mempercayai pengobatan dukun. Untuk
menaikkan nilai-nilai sosialnya di masyarakat, ada dukun yang menggunakan jasa media sosial (memasang iklan
di koran, iklan di televisi, dan brosur). Penelitian memfokuskan kepada dukun yang tidak menggunakan jasa
media sosial tetapi tetap mempunyai banyak pasien. Dukun mengobati penyakit medis dan non medis (akibat
gangguan makhluk halus berupa jin dan setan) dengan cara-cara tradisional berupa doa-doa, air putih yang diisi
doa-doa, ramuan dari tumbuh-tumbuhan, menekan titik-titik syaraf pada bagian tubuh, serta kekuatan
supranatural. Dukun juga menerapkan beberapa strategi budaya untuk mempertahankan pasiennya. Pengobatan
tradisional perlu terus dilestarikan karena merupakan salah satu kearifan lokal.
Kata Kunci: Pengobatan tradisional, dukun, jaringan sosial, strategi budaya.
ABSTRACT
Most of the people in Makassar from various social strata still believe in traditional healers (dukun) to treat
their disease. This research aims to: (1) describe the reality of socio-cultural dukun practices, (2) understanding
the strategy dukun culture in maintaining its existence. This research located in Makassar city and take the
informants purposively, which consists of traditional healers and the people who went to the patient. Technique
of collecting data doing through participate observation and in-depth interviews, while the data analyses by
ethnographic descriptive. The results showed, dukun practice exists because people still believe in the traditional
medical. To increase popularity in the society, there are dukun who use social media (advertising in newspapers,
on television advertisements, and brochures). The study focuses on the dukun who did not use social media but
still have a lot of patients. Dukun can treat medical and non-medical desease (such as form of jin interference
and demons) with traditional ways such as prayer, water-filled prayers, potions from herbs, or pressing the
nerve points on the body, and supernatural powers. Dukun also implemented several strategies to maintain the
culture of the patient. Traditional medicine needs to be preserved because it is one of the local wisdom.
Keywords: traditional healers, dukun, social networks, cultural strategy.
2
PENDAHULUAN
Penyembuhan terhadap suatu penyakit di dalam sebuah masyarakat dilakukan dengan
cara-cara yang berlaku di dalam masyarakat sesuai kepercayaan masyarakat tersebut. Ketika
manusia menghadapi berbagai masalah di dalam hidup, di antaranya sakit, manusia berusaha
untuk mencari obat untuk kesembuhan penyakitnya itu. Bukan hanya pengalaman, faktor
sosial budaya, dan faktor ekonomi yang mendorong seseorang mencari pengobatan. Akan
tetapi, organisasi sistem pelayanan kesehatan, baik modern maupun tradisional, sangat
menentukan dan berpengaruh terhadap perilaku mencari pengobatan (Rahmadewi, 2009).
Secara umum, Kalangie membagi sistem medis ke dalam dua golongan besar, yaitu
sistem medis ilmiah yang merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan (terutama dalam
dunia barat) dan sistem non medis (tradisional) yang berasal dari aneka warna kebudayaan
manusia (Rahmadewi, 2009). Pengobatan kedokteran berbasis pembuktian ilmiah, sedangkan
pengobatan tradisional berdasarkan kearifan lokal yang berasal dari kebudayaan masyarakat,
termasuk di antaranya pengobatan dukun, yang dalam mengobati penyakit menggunakan
tenaga gaib atau kekuatan supranatural. Pengobatan maupun diagnosis yang dilakukan dukun
selalu identik dengan campur tangan kekuatan gaib ataupun yang memadukan antara kekuatan
rasio dan batin.
Salah satu ciri pengobatan dukun adalah penggunaan doa-doa atau bacaan-bacaan, air
putih yang diisi rapalan doa-doa, dan ramuan dari tumbuh-tumbuhan (Agoes, 1996). Pada
masyarakat Bugis dan Makassar, orang yang ahli mengobati penyakit secara tradisional
dipanggil sanro, yang juga berarti dukun (Rahman, 2006 dan Said, 1996).
Bruce Kapferer (Alhumami, 2010) mengatakan, kepercayaan kepada dukun dan
praktik perdukunan merupakan local beliefs yang tertanam dalam kebudayaan suatu
masyarakat. Sebagai local beliefs, keduanya (dukun dan praktik perdukunan) tak bisa dinilai
dari sudut pandang rasionalitas ilmu karena punya nalar dan logika sendiri yang disebut
rationality behind irrationality. Orang yang kemudian mempercayai dukun dan praktik
perdukunan tidak lantas digolongkan ke dalam masyarakat tradisional atau tribal, yang
melambangkan keterbelakangan. Hal ini sejalan dengan pemikiran E.E. Evans Pritchard (Pals,
2001), yang menyatakan, kepercayaan terhadap kekuatan supranatural itu tidak mengenal
batasan sosial, seperti yang dia teliti pada Suku Azande di Sudan. Baginya, orang berpikiran
modern, termasuk dirinya sekalipun, percaya terhadap kekuatan supranatural.
Pengobatan dukun masih menjadi sesuatu yang integral dan sulit terpisahkan dari
kehidupan sebagian masyarakat perkotaan, termasuk di Kota Makassar. Pengobatan dukun
3
telah membudaya dan ada yang menjadikan sebagai sebuah tradisi dalam lingkungan keluarga
mereka. Meminjam istilah Ward Goodenough (Kalangie, 1994, Al-Kumayi, 2011),
pengobatan dukun telah menjadi bagian sistem kognitif masyarakat, yang terdiri atas
pengetahuan, kepercayaan, gagasan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota
individual masyarakat.
Penelitian mengenai pengobatan tradisional telah banyak dilakukan oleh beberapa
peneliti. Antara lain, Darojat (2005), ”Terapi Ruqyah terhadap Penyakit Fisik, Jiwa, dan
Gangguan Jin,” lebih banyak mengulas terapi ruqyah berdasar atas perspektif Islam. Darojat
banyak menuangkan dalil-dalil yang bersumber dari Al-quran dan Hadis Nabi Muhammad
SAW. Menurutnya, terapi ruqyah tidak hanya bertujuan mengusir jin, melainkan juga untuk
menyembuhkan penyakit fisik dan psikis. Metode pengobatannya adalah meminumkan air
kepada pasien setelah dibacakan doa-doa yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis.
Penelitian lain adalah Said (1996), “Dukun, Suatu Kajian Sosial Budaya tentang
Fungsi Dukun Bugis Makassar di Kotamadya Ujung Pandang.” Penelitian ini mirip dengan
yang dilakukan Basir, termasuk setting lokasinya. Namun, yang berbeda, penulis juga ingin
melihat strategi dukun dalam mempertahankan pasiennya serta jaringan sosial yang terbentuk
berdasarkan jaringan teman-teman pasien dan teman-teman dukun serta jaringan keluarga
pasien maupun dan jaringan keluarga dukun. Jaringan sosial yang tercipta dan tanpa disadari
oleh pasien maupun dukun ini, sebenarnya berperan serta dalam mempertahankan keberadaan
dukun di perkotaan. Sepanjang pengetahuan penulis, kajian perdukunan lebih banyak
menguraikan mekanisme pengobatan yang mereka lakukan dan tidak memfokuskan
bagaimana dukun mempertahankan pasiennya. Selain mendeskripsikan menekanisme
pengobatan, tulisan ini juga ingin memahami cara dukun mempertahankan pasiennya.
Bertolak dari latarbelakang di atas, penelitian ini cukup penting dan menarik. Di satu
sisi, ingin mendeskripsikan apa sebenarnya yang melatari sehingga praktik perdukunan masih
eksis di Kota Makassar. Padahal, di sisi lain, sejumlah rumah sakit telah memiliki fasilitas
modern. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan realitas sosio-kultural perdukunan
dan memahami strategi budaya dukun dalam mempertahankan eksistensinya di Kota
Makassar.
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian ini adalah empat bulan, yakni November 2012 hingga akhir
Februari 2013 dan dilakukan di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pertimbangan
memilih Kota Makassar adalah: (1) Kota Makassar merupakan kota metropolitan di mana
4
kehidupan masyarakatnya heterogen, baik secara sosial, ekonomi, agama, dan kultural. (2)
Sebagai kota metropolitan, Makassar kerap kali juga diasosiasikan sebagai pintu gerbangnya
Kawasan Timur Indonesia. Dalam hal pengobatan dan peralatan kesehatan, di kota ini telah
banyak berdiri poskesdes, puskesmas, hingga rumah sakit dengan peralatan kedokteran
modern, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Dokter yang membuka praktik
sendiri-sendiri juga mudah ditemui di kota ini.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang menurut Bogdan dan Taylor,
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Endraswara, 2006).
Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, peneliti dalam hal ini sekaligus instrumen
penelitian. Penentuan informan dilakukan dengan purposive, yang terdiri atas dukun dan
pasien. Informan yang dipilih adalah mereka yang mudah diajak bicara, mengerti tentang
informasi yang peneliti butuhkan, dan yang senang diajak bekerja sama (Endaswara, 2006).
Data pada penelitian ini dibagi atas dua, yakni data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari pengamatan (observasi) langsung di lapangan dan wawancara
mendalam (indept interview). Untuk pengamatan digunakan teknik berperanserta, yakni
memasuki wilayah penelitian untuk mengungkap data hingga mendetail (Endaswara, 2006,
Moleong, 2010). Sedangkan wawancara mendalam atau wawancara etnografi, meminjam
istilah Endaswara (2006), dilakukan dengan santai dan informal, sehingga ada keterbukaan
antara peneliti dan diteliti. Ini dimaksudkan agar orang yang diwawancarai tidak merasa
sedang diwawancarai (Moleng, 2010). Wawancara dilakukan dengan dukun, keluarga dukun,
pasien, dan keluarga pasien. Di antara informan tersebut, ada yang tidak bersedia disebutkan
namanya sehingga menggunakan nama samanarn.
Sementara itu, data sekunder diperoleh dari bahan-bahan yang telah diolah. Misalkan
data dari Badan Pusat Statistik (Makassar dalam Angka, 2012), studi kepustakaan, serta
penelusuran melalui internat berkaitan fokus penelitian.
Analisis data dilakukan secara deskriptif etnografik, yakni berusaha mendeskripsikan
subjek penelitian dan cara mereka bertindak dan berkata-kata. Analisis data juga dilakukan
dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu hasil wawancara,
catatan lapangan, dokumen-dokumen, dan lain-lain. Setelah itu mereduksi data, memaparkan
data dan simpulan melalui pelukisan dan verifikasi (Endaswara, 2006). Pendekatan etnografi
yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model pendekatan emik, yakni
memandang fenomena-fenomena sosial budaya atas dasar sudut pandang masyarakat yang
menjadi objek kajian, yakni dukun dan pasien. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
5
etnografi yang bersifat holistik-integratif, yang bertujuan untuk mendapatkan data atas dasar
native’s point of view (Spradley, 1997).
HASIL
Sebagian masyarakat di Kota Makassar masih mempercayai pengobatan dukun.
Mereka berasal dari bermacam status sosial ekonomi. Ada yang berasal dari golongan bawah,
menengah atas, laki-laki, perempuan, tua, muda, serta berlatarbelakang pendidikan tinggi.
Olehnya itu, seringkali kita melihat rumah dukun didatangi oleh orang-orang yang akan
berobat (pasien) dari berbagai macam latar sosial ekonomi itu. Mereka yang berobat itu
bukanlah orang yang pertama kali datang. Malah, ada yang berkali-kali berobat ke dukun
bersangkutan.
Melihat ketertarikan sebagian masyarakat untuk berobat ke dukun, beberapa dukun
menggunakan berbagai cara untuk mempromosikan keahliannya supaya dikenal atau menjadi
terkenal. Beberapa dukun ada yang menggunakan media sosial seperti memasang iklan di
koran, televisi, dan radio. Ada pula dukun yang membuat brosur dan kemudian mengedarkan
di jalan-jalan tertentu. Ada juga dukun yang memasang reklame di depan rumahnya atau di
depan praktiknya. Hal ini mereka lakukan semata-mata sebagai proses adaptasi untuk
bertahan di perkotaan. Ketika ada orang yang datang berobat kepada dukun bersangkutan dan
berhasil disembuhkan, maka jasa pengobatan dukun tersebut biasanya akan terus digunakan
oleh si pasien. Yang menarik, ada juga beberapa dukun di Makassar yang sama sekali tidak
menggunakan media sosial untuk mempromosikan keahliannya. Meski begitu, nama mereka
tetap terkenal dan beberapa pasiennya berasal dari daerah-daerah di Sulawesi Selatan.
Penyakit yang diobati dukun, antara lain, paddaukang, kapinawangngang, poso, haid
tidak lancar, usus turun, dan batuk menahun. Mekanisme pengobatan dukun adalah dengan
cara tradisional, yaitu doa-doa yang bersumber dari ayat-ayat Al-Quran, air putih yang diisi
doa-doa, ramuan dari tumbuh-tumbuhan, menekan-nekan titik syaraf pasien, serta
menggunakan kekuatan supranatural. Dukun memperoleh keahlian mengobati tidak melalui
proses belajar atau diajarkan oleh seseorang, melainkan mengetahui dengan sendirinya secara
turun temurun dan setelah sebelumnya mengalami sakit bertahun-tahun. Bagi yang
mendapatkan keahlian melalui turun temurun, seperti dialami dukun Daeng Tommi (72
tahun), dia sebelumnya beberapa kali mimpi bertemu ibunya yang dulunya adalah seorang
dukun. Ibunya Daeng Tommi sudah meninggal. Sementara bagi yang sakit bertahun-tahun,
seperti dialami Muhammad Iqbal (40 tahun, nama samaran), dia mendapatkan keahlian
6
pengobatan itu setelah sakit dan dalam sakitnya itu mengalami “perjalanan spiritual” dan
bertemu orang-orang yang telah meninggal yang dianggap sebagai penyebar agama Islam.
Dukun bertahan di Kota Makassar karena orang masih mempercayai dukun mampu
mengobati penyakitnya dengan cara-cara tradisional. Dukun juga bertahan karena adanya
jaringan sosial, dan strategi dukun dalam mempertahankan pasiennya.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menemukan, praktik perdukunan bertahan karena orang-orang di Kota
Makassar masih mempercayai pengobatan dukun, meskipun dukun tersebut menjalankan
praktiknya tanpa menggunakan media sosial. Tanpa kehadiran pasien, eksistensi dukun
diyakini bakal punah. Artinya, tidak ada lagi orang yang berobat, karena pengobatan dukun
dianggap tidak manjur lagi. Semakin sering dukun menyembuhkan penyakit, semakin banyak
pula orang yang datang kepadanya untuk berobat.
Salah satu ciri pengobatan dukun adalah penggunaan doa-doa atau bacaan-bacaan, air
putih, dan ramuan tradisional. Pengobatan maupun diagnosis yang dilakukan dukun selalu
identik dengan campur tangan kekuatan gaib ataupun yang memadukan antara kekuatan rasio
dan batin (Agoes, 1996). Para dukun di Jawa menggunakan teknik-teknik ilmu gaib, ucapan
mantra-mantra,
dan
memberikan
jamu
tradisional,
untuk
mengobati
pasiennya
(Koentjaraningkat, 1984). Pengobatan dukun dalam penelitian ini sama seperti yang
dikemukakan Agoes dan Koentjaraningrat. Namun begitu, dukun dalam penelitian ini juga
mengobati pasien dengan cara menekan-nekan titik-titik syaraf pada bagian tubuh, yang
bertujuan untuk melancarkan jalannya darah dan melonggarkan urat-urat yang “kaku”.
Anak yang mewarisi keahlian orang tuanya yang dulunya ahli mengobati (turun
temurun), dianggap sebagai “anak pilihan”, yang dimaknai bahwa, tidak semua anak mewarisi
keahlian pengobatan dari orang tua dan nenek moyangnya. Artinya, meskipun ada sebuah
keluarga yang mempunyai 10 anak, namun tidak semua anak itu akan mengikuti jejak orang
tuanya sebagai dukun karena hanya ada satu anak yang terpilih. Dalam penentuan “anak
pilihan” ini, tidak berlaku yang namanya penunjukan langsung dari orang tua atau nenek
moyang. Pengetahuan tentang pengobatan itu datang dengan sendirinya dan biasanya tanpa
sepengetahuan anak bersangkutan.
Hal ini dialami Daeng Tommi. Dia baru mengganggap dirinya mampu mengobati
orang ketika ibunya meninggal. Ibunya dulu seorang dukun dan punya banyak pasien di Kota
Makassar dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Selama ibunya hidup, Daeng Tommi
tidak pernah belajar dan diajar mengenai pengobatan. Daeng Tommi dapat mengobati
7
penyakit paddaukang (masuk angin dan gejala stroke), kapinawangngang (penyakit yang
diderita oleh anak berusia 0 hingga 5 tahun akibat gangguan makhluk halus berupa jin dan
setan), melancarkan haid, menyuburkan pasangan yang belum punya anak, sakit kepala
menahun, batuk-batuk, berak-berak, keseleo, patah tulang, kanker, dan sinting (pongoroq).
Hal ini sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (1984), yang
mengemukakan
bahwa, tidak ada sekolah-sekolah formal atau sekolah khusus perdukunan. Ada kesan,
keahlian menjadi dukun itu disebabkan dan atau diwariskan kepada keturunannya. Namun,
tidak semua keturunan bisa mewarisi ilmu dukun dari orang tuanya. Terlebih, jika yang
bersangkutan (keturunannya itu) dianggap tidak memiliki bakat menjadi seorang dukun.
Sebelum mendapat keahlian mengobati, seseorang mengalami beberapa kali mimpi bertemu
orang yang usianya sudah tua dan memakai pakaian putih-putih. Dalam mimpinya itu mereka
diajarkan berbagai doa dan dan berbagai ramuan yang dapat digunakan untuk mengobati
orang (Said, 1996). Dukun dalam penelitian ini juga mengalami beberapa kali mimpi bertemu
orang tuanya yang telah meninggal dan diajarkan berbagai doa dan ramuan tradisional untuk
mengobati orang.
Sementara orang yang mendapat keahlian mengobati setelah bertahun-tahun sakit
adalah pernah dianggap mati tetapi hidup kembali (mati suri). Dalam sakitnya itu, seseorang
mengalami berbagai macam peristiwa gaib dan pada akhirnya mampu mengobati orang. Hal
ini dialami Muhammad Iqbal, yang mengalami sakit selama tiga tahun lebih. Sebelum sakit,
dia sama sekali tidak mengetahui tentang ilmu pengobatan. Dia juga tidak pernah belajar atau
diajarkan oleh orang lain atau keluarganya tentang pengobatan. Dalam keluarganya, hanya
Iqbal yang punya keahlian mengobati.
Iqbal pertama kali sakit saat berusia 34. Dia sering melamun dan menyendiri. Selama
itu pula, dia tidak melakukan interaksi sosial dengan tetangganya maupun teman-temannya.
Di dalam rumah, dia juga sering berada di dalam kamar sendirian dan tidak ingin diganggu.
Selama sakit, Iqbal sering mengalami beberapa kali peristiwa gaib seperti “perjalanan
spiritual”. Di dalam “perjalanan spiritual” itu, dia bertemu orang-orang yang telah meninggal
dan dianggap suci oleh masyarakat seperti Waliullah atau penyebar agama Islam. Nama-nama
tersebut adalah Syekh Yusuf, Abdul Qader Jaelani, Al-Halaj, para Wali Songo (penyebar
agama Islam di Jawa), dan lain-lain. Ketika mengalami “perjalanan spiritual”, Iqbal tidak
sadarkan diri. Meski begitu, orang yang mengobati Iqbal sering mengajaknya berdialog.
Dalam berdialog dengan orang yang mengobatinya itu, Iqbal kerap kali mengeluarkan ayatayat Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Pada saat shalat Magrib dan Isya, suara
Iqbal juga terdengar berbeda ketika membaca surat-surat dalam Al-Quran. Bacaannya
8
terdengar lebih fasih dibandingkan dengan dirinya sebelumnya. Ketika mengucapkan salam
terakhir shalat, Iqbal langsung tidak sadarkan diri dan seperti orang tertidur. Menurut Hasan,
orang yang mengobati Iqbal, ada makhluk halus yang merasuki jasad Iqbal. Namun, makhluk
halus itu dianggap baik dan tidak jahat. Setelah mengalami sakit, Iqbal yang tadinya tidak
tahu tentang pengetahuan pengobatan, akhirnya menjadi tahu. Iqbal dapat mengobati penyakit
poso, salah urat, kapinawangngang, paddaukang, usus turun, dan kesurupan.
Dalam tulisan ini hanya dikemukakan beberapa penyakit yang berhasil disembuhkan
oleh dukun. Misalkan, seorang pasien, Aswan (44 tahun, nama samaran, pegawai negeri
sipil), yang mengeluhkan tiga hari tangan kirinya sulit digerakkan. Dia lalu meminta Daeng
Tommi untuk mengobati penyakitnya. Dari hasil diagnosis Daeng Tommi, Aswan menderita
paddaukang, yakni masuk angin atau gejala stroke akibat gangguan makhluk halus (jin atau
setan). Orang yang terkena paddaukang menyebabkan darahnya menumpuk di tempat
tertentu, sehingga membuat peredaran darah tidak lancar. “Angin jahat” itu masuk lewat uraturat dan tanpa diketahui oleh orang bersangkutan. Dukun mengobati dengan menggosokgosokkan beberapa lembar daun tobo-tobo yang sudah didoakan (dijampe-jampe) di tangan
pasien yang sakit. Hal ini berlangsung sekitar 7 menit. Selanjutnya, dukun meminta pasien
menyediakan air putih. Kemudian, air putih itu dijampe-jampe dan diminta untuk dihabiskan
sebagai obat. Dua hari kemudian, Aswan mengaku tangan kirinya sudah dapat digerakgerakkan dan tidak sakit lagi.
Pasien lainnya, Arfan (45 tahun, nama samaran, pegawai negeri sipil), mengalami
mulutnya miring ke kiri. Dukun yang mengobati, Muhammad Iqbal, mengatakan, Arfan
terkena paddaukang yang tergolong parah dan dapat dikategorikan sebagai gejala stroke.
Selanjutnya, dukun mengobati dengan cara mengusapi bagian wajah pasien dengan air putih
yang telah didoakan secara perlahan-lahan sekitar lima menit. Air putih itu berfungsi untuk
melemaskan urat-urat syaraf dan melancarkan peredaran darah. Setelah diobati dua kali pada
hari yang berbeda, penyakit yang diderita Arfan sembuh. Sari (40 tahun, karyawati), tidak
pernah mengalami haid selama hampir dua tahun. Akibatnya, dia mengalami pusing-pusing
dan sakit kepala. Dia sudah berobat ke dokter dan meminum obat-obataan yang diberikan
dokter, tetapi belum juga mendapatkan menstruasi. Sari kemudian berobat ke dukun Daeng
Tommi. Pada saat diobati, dukun mengurut-urut perut pasien secara pelan-pelan sekitar tujuh
menit. Pengurutan dilakukan selama tiga kali pada hari yang berbeda selama satu minggu.
Setelah diurut tiga kali, Sari kemudian menstruasi dan menjadi normal kembali.
Pada saat akan dan sedang mengobati, dukun mendengar “suara-suara” di dalam
hatinya yang dianggap sebagai kekuatan supranatural. Suara-suara inilah yang kemudian
9
memberi petunjuk mengenai apa yang harus dukun lakukan untuk pasien. Suara yang dukun
yakini berasal dari dalam hati itu berupa petunjuk mengenai penyakit yang diderita pasien,
doa-doa yang dibacakan, serta ramuan tumbuh-tumbuhan (kalau ada). Namun, setiap kali
mengobati, dukun tidak menggunakan semua media tersebut. Kadang hanya air putih yang
dijampe-jampe, dan kadang pula hanya doa-doa yang ditiupkan ke bagian tubuh yang sakit.
Terkadang juga langsung menggabungkan semuanya (air putih yang dijampe-jampe, meniupniup di bagian tertentu tubuh pasien, mengurut urat-urat untuk melongggarkan peredaran
darah, dan membuat ramuan dari tumbuh-tumbuhan).
Air putih yang telah diisi doa-doa (jampe-jampe), selain untuk diminumkan kepada
pasien, juga kadang diusap-usapkan ke bagian tubuh yang sakit. Air yang diminumkan
berfungsi untuk menetralkan bagian tubuh pasien, sedangkan air putih yang diusap-usapkan
ke tubuh yang sakit berfungsi untuk melemaskan urat-urat. Menurut dukun, air putih sejak
zaman nenek moyang sudah dipercaya bermanfaat untuk tubuh dan dapat dijadikan obat. Air
putih juga tidak punya efek samping dan tidak ada orang yang berpantangan meminumnya.
Kalau ada orang sakit dan tidak dapat makan, dia bisa langsung diberikan air putih. Hal ini
berbeda jika pasien diberikan obat (dokter) yang terlebih dulu mengharuskannya untuk
mengisi perut (makan) meskipun sedikit.
Doa-doa yang ditiupkan kepada pasien semuanya bersumber dari ayat-ayat Al-Quran,
seperti surat Al-Fatihah, Ayat Kursi, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan surat-surat lainnya.
Meniupkan doa-doa ke tubuh pasien berfungsi untuk menetralkan titik-titik saraf yang sakit
dan mengurangi rasa sakit agar proses pengobatan berjalan cepat. Namun, inti dari
pengobatan itu sebenarnya adalah doa-doa yang ditiupkan ke air putih, ramuan tumbuhtumbuhan, dan tubuh pasien. Air putih, tumbuh-tumbuhan, dan tubuh pasien hanyalah sebuah
wadah. Pada saat mengurut pasien, kedua tangan dukun spontan melakukannya pada urat-urat
tubuh orang yang diobati. Tujuannya untuk melancarkan peredaran darah sekaligus
melonggarkan urat-urat pasien yang kaku atau tegang. Iqbal percaya bahwa, sebagian besar
penyakit itu terdapat pada aliran darah yang tersumbat yang harus dilongggarkan. Makanya,
pada saat mengurut urat-urat itu, dilakukan dengan cara menggoyang-goyangkan jari-jarinya
sambil menekan pelan-pelan. Sementara ramuan tumbuh-tumbuhan dipercaya sebagai obat
untuk mengobati panyakit. Seluruh tumbuh-tumbuhan yang ada di dunia ini adalah obat.
Pengobatan dukun dengan cara-cara tradisional tampaknya disenangi oleh sebagian
masyarakat. Apalagi, dalam mengobati orang dukun banyak mengutip doa-doa yang
bersumber dari ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, komunikasi dengan dukun juga terkesan santai,
10
informal, dan bersifat kekeluargaan, dan hal inilah yang disenangi oleh sebagian orang. Itulah
sebabnya, ada juga yang menjadikan dukun sebagai “dokter” keluarga.
Sebagian orang di Kota Makassar kerap kali menggabungkan pengobatan
kedokteran dan pengobatan dukun. Sebab, mereka juga percaya bahwa penyakit yang
menyerang tubuh manusia itu ada yang disebabkan oleh intervensi makhluk halus (jin dan
setan). Dan penyakit seperti itu mereka percaya hanya mampu disembuhkan oleh dukun.
Karena itu, ketika merasakan dokter dianggap tidak mampu menyembuhkan penyakitnya,
mereka kemudian beralih ke dukun. Dalam tradisi keluarga di sebagian masyarakat di
Makassar, pengobatan dukun telah terintegrasi dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Meski begitu, dalam hal pengambilan keputusan untuk berobat, ada juga orang atau
keluarga yang tidak tergantung kepada sistem perawatan kedokteran atau dukun.
Maksudnya, apabila mereka menganggap sakitnya tidak terlalu parah, mereka hanya pergi
ke apotik atau ke toko obat untuk membeli obat sesuai sakit yang mereka rasakan. Akan
tetapi, setelah sakitnya belum kunjung sembuh, mereka biasanya menjatuhkan pilihan
antara dokter atau dukun. Dalam kepercayaan dan pengetahuan sebagian masyarakat di
Makassar, ada yang mendahulukan berobat ke dokter lantaran menganggap hanya dokter
yang mampu mengobati penyakitnya. Kalau dirasakan belum sembuh, mereka baru berobat
ke dukun. Sebaliknya, ada juga yang mendahulukan berobat ke dukun karena menganggap
penyakit yang mereka derita itu hanya mampu disembuhkan oleh dukun. Kalau tidak
sembuh, barulah mereka berobat ke dokter. Namun, ada juga yang menggabungkan antara
pengobatan dukun dan dokter, yakni minum obat yang diberikan dokter sambil menjalani
pengobatan dukun. Apabila dukun belum menemukan penyakit atau obat yang tepat buat
pasien, dukun biasa melaksanakan ritual seperti Shalat Hajat dan Tahajjud. Tujuannya,
untuk meminta petunjuk dan pertolongan Tuhan atas penyakit yang diderita pasien.
Pengobatan dukun juga mengenal istilah “jodoh-jodohan”. Artinya, dukun juga
terkadang tidak berhasil menyembuhkan penyakit seseorang meskipun penyakit yang
dialami orang itu pernah pula dialami orang lain dan berhasil disembuhkan oleh sang
dukun. Misalnya, pasien A menderita paddaukang yang mengakibatkan mulutnya miring.
Paddaukang diyakini oleh dukun sebagai masuk angin dan gejala stroke yang diakibatkan
oleh gangguan setan dan jin berupa “angin jahat” yang masuk ke tubuh manusia. Penyakit
pasien A ini berhasil disembuhkan oleh dukun dengan dua kali pengobatan. Akan tetapi,
pada kali berikutnya, datang pula pasien B kepada dukun yang sama dengan mengeluhkan
penyakit seperti dialami pasien A. Namun, dukun ternyata tidak berhasil mengobati
penyakit pasien B. Terkait hal ini, dukun tidak dapat berbuat apa-apa selain menyerahkan
11
sepenuhnya kepada Tuhan. Menurut dukun, mereka hanya berupaya sekuat tenaga untuk
menolong orang yang sakit. Hanya, apakah pasien itu dapat mereka sembuhkan, itu semua
tergantung kuasa Tuhan karena hak prerogatif penyembuhan itu berada dalam kekuasaan
Tuhan. Jadi, istilah “jodoh-jodohan” itu bagi dukun adalah semacam kepasrahan. Dukun
juga selalu mengingatkan kepada pasien bahwa, yang mengobati mereka adalah Tuhan.
Dukun selalu memposisikan diri sebagai “alat” dari Tuhan. Artinya, kesembuhan hanya
dapat terjadi apabila ada keyakinan atau iman yang kuat dari diri pasien bahwa Tuhan akan
menyembuhkan. Apabila tidak ada keyakinan, penyembuhan akan sulit terjadi, karena
menunjukan tidak adanya keyakinan akan kuasa Tuhan.
Jaringan sosial membuat dukun bersangkutan menjadi populer dan terkenal,
sehingga sebagian masyarakat masih menggunakan jasa pengobatannya. Rudito dan
Famiola (2008), menyatakan, jaringan adalah sekumpulan dari hubungan-hubungan
antarindividu. Sedangkan jaringan sosial menurut Agusyanto (2007), adalah suatu jaringan
di mana ikatan yang menghubungkan satu titik dengan titik lainnya dalam jaringan sosial
adalah hubungan sosial. Hubungan sosial dapat dipandang sebagai sebuah jalur atau
saluran, yang menghubungkan antara satu orang dengan orang-orang lainnya di mana
melalui jalur atau saluran tersebut bisa dialirkan sesuatu, misalnya barang, jasa, atau
informasi.
Jaringan sosial dalam penelitian ini adalah (1) jaringan pasien, keluarga pasien, dan
teman pasien; dan (2) jaringan teman dukun dan keluarga dukun. Jaringan pertama adalah
informasi yang diperoleh dari pasien sendiri, teman pasien, dan keluarga pasien, yang
mengetahui keahlian dukun bersangkutan karena pernah diobati, atau mendengar informasi
dari teman dan keluarga mereka yang penyakitnya pernah disembuhkan oleh dukun
bersangkutan. Sementara jaringan kedua adalah informasi yang berasal dari teman-teman
dukun dan keluarga dukun yang memberitahukan kepada orang lain kalau temannya atau
keluarganya ada yang memiliki keahlian mengobati penyakit. Dalam hal ini, dukun tidak
mempromosikan dirinya atau meminta teman-temannya dan keluarganya untuk
mempromosikan dirinya. Teman-teman dan keluarga dukun sendirilah yang secara suka
rela mempromosikan keahlian dukun bersangkutan tanpa sepengetahuan dukun tersebut.
Pengobatan dukun tetap digunakan oleh sebagian masyarakat di Makassar sampai
saat ini karena adanya kesamaan kepercayaan dan pengetahuan individu-individu serta
masyarakat terkait pengobatan dukun. Selain itu, menurut Said (1996), itu juga karena
dukun dengan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki mampu beradaptasi dengan
lingkungan perkotaan, terutama bagi orang-orang yang memiliki kesamaan pengetahuan
12
kebudayaan dengan dukun. Dengan model-model pengetahuan kebudayaan tersebut, dapat
dilihat dan dipahami sebagai model strategi adaptasi.
Adaptasi, sebagaimana dikemukakan Parsudi Suparlan (Basir, 1996), adalah suatu
proses untuk mengatasi berbagai masalah yang ada dalam lingkungan alam atau fisik,
jasmaniah dan sosial untuk dapat memenuhi syarat-syarat dasar guna kelangsungan hidup.
Sementara Mc. Elroy dan Patricia (Said, 1996), menyatakan, adaptasi adalah perubahanperubahan dan modifikasi-modifikasi yang memungkinkan seseorang atau kelompok untuk
bertahan (survive) di dalam suatu lingkungan. Dalam menghadapi lingkungannya, manusia
banyak menggunakan mekanisme adaptasi kebudayaan. Hal ini menunjukkan, dukun di
Kota Makassar juga melakukan strategi budaya agar tenaganya tetap digunakan oleh
masyarakat di perkotaan, seperti selalu menyediakan waktunya setiap saat buat pasien.
Bahkan, ketika ada pasien yang membutuhkan pertolongannya pada tengah malam (dini
hari), dukun tidak pernah menolak, sepanjang saat itu kondisinya memang sehat. Bagi
dukun, meluangkan waktu buat pasien tanpa mengenal batasan waktu merupakan salah satu
strategi untuk melanggengkan hubungan mereka. Dukun sadar bahwa penyakit yang
menyerang tubuh manusia itu juga tidak mengenal waktu. Penyakit dapat menyerang tubuh
manusia kapan saja, sehingga dukun pun selalu menyiapkan waktunya buat pasien kapan
pun dibutuhkan.
Pengobatan dukun juga terkesan santai, sehingga membuat pasien langsung cepat
akrab, meski baru pertama kali bertemu dan diobati. Dukun juga sering mengajak pasiennya
berbicara di luar dari pembicaraan penyakit. Karena itu, pasien kadang tidak menyangka
kalau dirinya sedang sakit dan diobati karena dukun biasa menyelingi dengan tertawa kecil
atau tersenyum. Kalau pasien bertanya tentang penyakitnya, dukun selalu menjawab,” Ndak
apa-apa ji. Insya Allah lekas sembuh, ya!” Apabila penyakit pasien dianggap belum
sembuh pada hari itu, dukun datang lagi ke rumah pasien keesokan hari atau beberapa hari
kemudian untuk mengontrol kondisi pasien sampai benar-benar sembuh. Komunikasi
dukun dengan pasien juga terkesan santai, informal, dan bersifat kekeluargaan. Saat
mengobati pasien, yang terlihat adalah suasana kekeluargaan. Terlebih, semua keluarga
pasien boleh mendampingi atau berada di dekat pasien, sehingga pasien merasa nyaman.
Selain itu, pasien juga merasa senang karena dukun bersedia memenuhi panggilannya untuk
diobati di rumah sendiri. Setelah mengobati pasien, dukun biasanya tidak langsung pulang,
melainkan menyempatkan waktu sekitar 5 sampai 10 menit untuk berbincang-bincang
dengan pasien dan keluarga pasien. Pada kesempatan ini, dukun kerap kali menghibur
pasien dengan menyatakan bahwa penyakit yang dideritanya tidak parah. Bagi dukun,
13
merahasiakan penyakit pasien, apalagi yang dianggap memerlukan penanganan serius,
merupakan sebuah bentuk penghormatan.
Dukun sama sekali tidak mematok tarif dalam mengobati orang. Meskipun begitu,
ada kebiasaan pasien untuk selalu memberikan uang atau hadiah-hadiah lain (beras, sarung,
pakaian, dan lain-lain) kepada dukun sebagai bentuk tanda balas jasa karena dukun
menyembuhkan penyakitnya. Karena itu, pasien juga memahami kondisi ini dan mengerti,
sehingga pasien selalu memberikan uang kepada dukun setiap kali diobati, minimal “untuk
biaya transportasi dukun”. Menjelang Idul Fitri dan Idul Adha, beberapa pasien sering
memberikan zakat fitrah dan daging hewan qurban kepada dukun. Terlebih, ada juga dukun
yang memang tidak punya pekerjaan lain selain hanya mengobati orang. Ada asumsi yang
berkembang di kalangan dukun bahwa, apabila mereka memasang atau mematok tarif,
maka khasiat ilmunya akan semakin menurun atau akan hilang dengan sendirinya. Hal
seperti inilah yang mereka hindari. Selain itu, sebagian masyarakat juga percaya bahwa
apabila ada seorang dukun telah mematok tarif pengobatan dengan cara apapun, maka
jangan lagi mempercayai dukun bersangkutan.
Pada umumnya, ada beberapa dukun yang tetap menerima uang ataupun hadiahhadiah yang diberikan pasien. Namun, uang atau pemberian hadiah lainnya bukan atas
permintaan dukun. Baginya, apapun yang diberikan pasien kepada mereka itu tidak mesti
harus ditolak. Mereka percaya, pasien memberikan uang dan hadiah itu secara ikhlas dan
tanpa beban. Kalau pemberian itu ditolak, dukun menganggap sama saja menolak rezeki
Tuhan dan itu menurutnya dilarang oleh agama. Yang pasti, dukun tidak pernah meminta
uang kepada pasien atau keluarga pasien. Malah terkadang, setelah mengobati pasien,
dukunnya sendiri yang justru memberi uang kepada pasien yang dianggap berasal dari
keluarga kurang mampu (tukang becak, tukang ojek, dan nelayan). Dalam menolong orang,
dukun lebih mengutamakan keikhlasan dan tanpa mengenal kata pamrih. Dari
keiklhlasannya menolong itulah sehingga dukun tampak berwibawa dan disegani oleh
masyarakat. Dari sinilah kemudian muncul kharisma seorang dukun. Kharisma seorang
dukun akan muncul, eksis, dan tetap terpelihara ketika keikhlasannya juga tetap terpelihara.
Kharisma dukun itu akan redup ketika mereka sudah berorientasi ke materi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, sebagian orang di Kota Makassar masih
mempercayai pengobatan dukun disebabkan oleh pengetahuan dan pengalaman mereka, baik
yang penyakitnya disembuhkan oleh dukun maupun pengalaman orang lain yang penyakitnya
14
disembuhkan oleh dukun. Hal inilah yang menyebabkan praktik perdukunan tetap ada dan
bertahan di Kota Makassar hingga kini. Oleh karena itu, meski sejumlah rumah sakit milik
pemerintah maupun swasta, serta dokter praktik telah ada di Kota Makassar dengan peralatan
kedokteran modern, pengobatan dukun perlu terus dilestarikan karena merupakan salah satu
kearifan lokal. Apalagi, masyarakat perkotaan juga telah mengapresiasi positif dan menerima
keberadaan dukun di tengah-tengah mereka.
15
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Azwar. (1996). Antropologi Kesehatan Indonesia Jilid I, Pengobatan
Tradisional. Jakarta: Buku Kedokteran B.G.C.
Agusyanto, Ruddy. (2007). Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Al-Kumayi, Sulaiman. (2011). Islam Bubuhan Kumai. Perspektif Varian Awam, Nahu, dan
Hakekat. Jakarta: Kementerian Agama RI.
Darojat, M., Ariyanto. (2005). Terapi Ruqyah Terhadap Penyakit Fisik, Jiwa, dan Gangguan
Jin. (Makalah). Surakarta: Universitas Muhammadiyah.
Endraswara, Suwardi. (2006). Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Ideologi,
Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Kalangie, S. Nico. (1994). Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan
Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: PT Kesaint Blanc Indah
Corp.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Seri Etnografi Indonesia No. 2. Jakarta:
PN Balai Pustaka.
Moleong, J., Lexy. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Cetakan
ke-28. Remaja Rosdakarya.
Pals, L., Daniel. (2001). Seven Theories of Religion: dari Animisme E.B Taylor, Materialisme
Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Rahmadewi, Ida. (2009). Pengobatan Tradisional Patah Tulang Guru Singa. (Skripsi).
Jakarta: Universitas Indonesia.
Rahman, Nurhayati. (2006). Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo (Episode
Pelayanan Sawerigading ke Tanah Cina; Perspektif Filologi dan Semiotik).
Makassar: Penerbit La Galigo Press.
Rudito, B., dan Famiola, M. (2008). Social Mapping. Metode Pemetaan Sosial. Teknik
Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti. Bandung: Penerbit Rekayasa Sains.
Said, M., Basir. (1996). Dukun. Suatu Kajian Sosial Budaya tentang Fungsi Dukun Bugis
Makassar di Kotamadya Ujung Pandang. (Tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.
Spradley, P., James. (1987). Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Internet
Alhumami, Amich. (2009). Dukun dan Politik. Maret 5th, 2009 at 1:04 PM (serial online),
diunduh
27
Agustus
2010.
Available
from:
URL:
HYPERLINK
http://www.bernardsimamora.info/?p=3780
16
Download