BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Latar belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Bahasa Baku dan Tidak Baku adalah karena Sebagai bahasa yang hidup, bahasa Indonesia telah dan akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia dan keanekaragaman penuturnya serta cepatnya perkembangan masyarakat telah mendorong berkembangnya berbagai ragam bahasa Indonesia dewasa ini. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh kelompokkelompok masyarakat penutur yang berbeda latar belakangnya baik dari segi geografis maupun dari segi sosial menyebabkan munculnya berbagai ragam kedaerahan (ragam regional) dan sejumlah ragam sosial. Salah satu jenis ragam sosial yang bertalian dengan pokok bahasan makalah ini adalah ragam bahasa Indonesia yang lazim digunakan oleh kelompok yang menganggap dirinya terpelajar. Ragam ini diperoleh melalui pendidikan formal di sekolah. Karena itu, ragam ini lazim juga disebut ragam bahasa (Indonesia) sekolah. Ragam ini juga disebut ragam (bahasa) tinggi. Dalam kaitan ini patut dicatat bahwa bahasa Melayu yang diikrarkan sebagai bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 tentulah ragam bahasa Melayu Tinggi pada waktu itu. Ragam bahasa kaum terpelajar itu biasanya dianggap sebagai tolok untuk pemakaian bahasa yang benar. Oleh karena itulah maka ragam bahasa sekolah itu disebut juga (ragam) bahasa baku (lihat Alwi et al. 1993). 1.2 Rumusan masalah 1.2.1. Apa itu Bahasa Baku? 1.2.2. Apa Ciri-Ciri Lafal Baku Bahasa Indonesia? 1.2.3. Apa Fungsi Lafal Baku Bahasa Indonesia? 1.2.4. Apa saja Faktor Penunjangnya ? 1.2.5. Apa Penghambat Pertumbuhan Lafal Baku? 1.2.6. Apa Isu Persatuan dan Kesatuan? 1.2.7. Apa Isu Pendidikan? 1.2.8. Apa Isu Kesempatan Kerja? 1.2.9. Apa Isu Keunggulan Bahasa Baku? 1.2.10. Apa Isu Demokrasi dalam Bahasa? 1 1.2.11. Upaya Pembakuan Lafal Bahasa Indonesia 1.2.12. Pembakuan lafal melalui jalur sekolah 1.3.Ruang Lingkup Masalah Bahasa baku atau bahasa standar adalah ragam bahasa yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat, dan rapat resmi. Bahasa baku terutama digunakan sebagai bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa. Bahasa baku umumnya ditegakkan melalui kamus (ejaan dan kosakata), tata bahasa, pelafalan, lembaga bahasa, status hukum, serta penggunaan di masyarakat (pemerintah, sekolah, dll). 1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1. Sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir semester genap 1.5.Sistematika Penyajian Sistematika Penyajian pada karya ilmiah ini lima bab. Bab pertama pendahuluan,bab kedua Rumusan masalah,bab ketiga metode penelitian,bab keempat pembahasan,bab kelima penutup. Di dalam bab pertama pendahuluan terdiri atas lima subbab,di antaranya yaitu latar belakang,rumusan masalah,ruang lingkup masalah,maksud dan tujuan,sistematika penyajian. Bab 2 sesuai landasan teori Bab 3 yaitu metode penelitian.Di dalam bab3 terdapat empat hal yaitu sumber data,cara memperoleh data,instrumen penelitian dananalisis data. Bab 4 dalah pembahasan.Di dalam pembahasan terdapat... Bab 5 yaitu penutup terdiri dari kesimpulan dan saran. 2 BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Penulisan kata Berikut adalah ringkasan pedoman umum penulisan kata. 1. Kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan. Contoh: Ibu percaya bahwa engkau tahu. 2. Kata turunan (lihat pula penjabaran di bagian Kata turunan) 1. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata dasar. Contoh: bergeletar, dikelola [1]. 2. Jika kata dasar berbentuk gabungan kata, awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya. Tanda hubung boleh digunakan untuk memperjelas. Contoh: bertepuk tangan, garis bawahi 3. Jika kata dasar berbentuk gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus, unsur gabungan ditulis serangkai. Tanda hubung boleh digunakan untuk memperjelas. Contoh: menggarisbawahi, dilipatgandakan. 4. Jika salah satu unsur gabungan hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata ditulis serangkai. Contoh: adipati, mancanegara. 5. Jika kata dasar huruf awalnya adalah huruf kapital, diselipkan tanda hubung. Contoh: non-Indonesia. 3. Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung, baik yang berarti tunggal (lumba-lumba, kupu-kupu), jamak (anak-anak, buku-buku), maupun yang berbentuk berubah beraturan (sayur-mayur, ramah-tamah). 4. Gabungan kata atau kata majemuk 1. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, ditulis terpisah. Contoh: duta besar, orang tua, ibu kota, sepak bola. 2. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan pengertian, dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian. Contoh: alat pandang-dengar, anak-istri saya. 3. Beberapa gabungan kata yang sudah lazim dapat ditulis serangkai. Lihat bagian Gabungan kata yang ditulis serangkai. 5. Kata ganti (kau-, ku-, -ku, -mu, -nya) ditulis serangkai. Contoh: kumiliki, kauambil, bukumu, miliknya. 3 6. Kata depan atau preposisi (di [1] , ke, dari) ditulis terpisah, kecuali yang sudah lazim seperti kepada, daripada, keluar, kemari, dll. Contoh: di dalam, ke tengah, dari Surabaya. 7. Artikel si dan sang ditulis terpisah. Contoh: Sang harimau marah kepada si kancil. 8. Partikel 1. Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai. Contoh: bacalah, siapakah, apatah. 2. Partikel -pun ditulis terpisah, kecuali yang lazim dianggap padu seperti adapun, bagaimanapun, dll. Contoh: apa pun, satu kali pun. 3. Partikel per- yang berarti "mulai", "demi", dan "tiap" ditulis terpisah. Contoh: per 1 April, per helai. 9. Singkatan dan akronim. Lihat Wikipedia:Pedoman penulisan singkatan dan akronim. 10. Angka dan bilangan. Lihat Wikipedia:Pedoman penulisan tanggal dan angka. Kata turunan Secara umum, pembentukan kata turunan dengan imbuhan mengikuti aturan penulisan kata yang ada di bagian sebelumnya. Berikut adalah beberapa informasi tambahan untuk melengkapi aturan tersebut. Jenis imbuhan Jenis imbuhan dalam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi: 1. Imbuhan sederhana; hanya terdiri dari salah satu awalan atau akhiran. 1. Awalan: me-, ber-, di-, ter-, ke-, pe-, per-, dan se2. Akhiran: -kan, -an, -i, -lah, dan -nya 2. Imbuhan gabungan; gabungan dari lebih dari satu awalan atau akhiran. 1. ber-an dan ber-i 2. di-kan dan di-i 3. diper-kan dan diper-i 4. ke-an dan ke-i 5. me-kan dan me-i 6. memper-kan dan memper-i 7. pe-an dan pe-i 4 8. per-an dan per-i 9. se-nya 10. ter-kan dan ter-i 3. Imbuhan spesifik; digunakan untuk kata-kata tertentu (serapan asing). 1. Akhiran: -man, -wan, -wati, dan -ita. 2. Sisipan: -in-,-em-, -el-, dan -er-. Awalan mePembentukan dengan awalan me- memiliki aturan sebagai berikut: 1. tetap, jika huruf pertama kata dasar adalah l, m, n, q, r, atau w. Contoh: me- + luluh → meluluh, me- + makan → memakan. 2. me- → mem-, jika huruf pertama kata dasar adalah b, f, p*, atau v. Contoh: me- + baca → membaca, me- + pukul → memukul*, me- + vonis → memvonis, me- + fasilitas + i → memfasilitasi. 3. me- → men-, jika huruf pertama kata dasar adalah c, d, j, atau t*. Contoh: me- + datang → mendatang, me- + tiup → meniup*. 4. me- → meng-, jika huruf pertama kata dasar adalah huruf vokal, k*, g, h. Contoh: me+ kikis → mengikis*, me- + gotong → menggotong, me- + hias → menghias. 5. me- → menge-, jika kata dasar hanya satu suku kata. Contoh: me- + bom → mengebom, me- + tik → mengetik, me- + klik → mengeklik. 6. me- → meny-, jika huruf pertama adalah s*. Contoh: me- + sapu → menyapu*. Huruf dengan tanda * memiliki sifat-sifat khusus: 1. Dilebur jika huruf kedua kata dasar adalah huruf vokal. Contoh: me- + tipu → menipu, me- + sapu → menyapu, me- + kira → mengira. 2. Tidak dilebur jika huruf kedua kata dasar adalah huruf konsonan. Contoh: me- + klarifikasi → mengklarifikasi. 3. Tidak dilebur jika kata dasar merupakan kata asing yang belum diserap secara sempurna. Contoh: me- + konversi → mengkonversi. Aturan khusus Ada beberapa aturan khusus pembentukan kata turunan, yaitu: 5 1. ber- + kerja → bekerja (huruf r dihilangkan) 2. ber- + ajar → belajar (huruf r digantikan l) 3. pe + perkosa → pemerkosa (huruf p luluh menjadi m) 4. pe + perhati → pemerhati (huruf p luluh menjadi m) 2.2.Konsensus penggunaan kata Tiongkok dan tionghoa Cina adalah bentuk dan penggunaan baku menurut KBBI. Ada imbauan untuk menghindari kata ini atas pertimbangan kesensitifan penafsiran. Sebagai alternatifnya diusulkan menggunakan kata "China". Ini sebuah argumen yang tidak bisa dideskripsikan dan dijelaskan secara ilmiah bahasa, apalagi bunyi ujaran "China" - "Cina" adalah hampir sama (China dibaca dengan ejaan Inggris). Padanan untuk kata Cina yaitu Tiongkok (negara), Tionghoa (bahasa dan orang). ayat dan mati mati: hindari penggunaannya dalam penulisan biografi. Gunakan kata wafat, meninggal, gugur, atau tewas (tergantung konteks). mayat: hindari penggunaannya dalam penulisan biografi. Gunakan kata jasad atau jenazah. 2.3.Penggunaan "di mana" sebagai penghubung dua klausa Untuk menghubungkan dua klausa tidak sederajat, bahasa Indonesia TIDAK mengenal bentuk "di mana" (padanan dalam bahasa Inggris adalah "who", "whom", "which", atau "where") atau variasinya ("dalam mana", dengan mana", dan sebagainya). Penggunaan "di mana" sebagai kata penghubung sangat sering terjadi pada penerjemahan naskah dari bahasabahasa Indo-Eropa ke bahasa Indonesia. Pada dasarnya, bahasa Indonesia hanya mengenal kata "yang" sebagai kata penghubung untuk kepentingan itu dan penggunaannya pun terbatas. Dengan demikian, HINDARI PENGGUNAAN BENTUK "DI MANA", apalagi "dimana", termasuk dalam penulisan keterangan rumus matematika. Sebenarnya selalu dapat dicari struktur yang sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia. 6 Contoh-contoh: (1) Dari artikel Kantin: ... kantine adalah sebuah ruangan dalam sebuah gedung umum di mana para pengunjung dapat makan ... . Usul perbaikan: ... kantine adalah sebuah ruangan di dalam sebuah gedung umum yang dapat digunakan (oleh) pengunjungnya untuk makan ... . (2) Dari artikel Tegangan permukaan: Teganganpermukaan = F / L dimana : F = gaya (newton) L = panjang m).[sic] Usul perbaikan: Apabila F = gaya (newton) dan L = panjang (m), tegangan permukaan S dapat ditulis sebagai S = F / L. Di sini tampak bahwa "apabila" menggantikan posisi "di mana" (ditulis di kalimat asli sebagai "dimana"). (3) Dari kalimat bahasa Inggris: Land which is to be planted only with rice ... . Usul terjemahan: Lahan yang akan ditanami padi saja ... . Contoh-contoh lain silakan ditambahkan. Kata penghubung "sedangkan" Kesalahan penggunaan kata penghubung yang juga sering kali terjadi adalah yang melibatkan kata "sedangkan". "Sedangkan" adalah kata penghubung dua klausa berderajat sama, sama seperti "dan", "atau", serta "sementara". Dengan demikian secara tata bahasa ia TIDAK PERNAH bisa mengawali suatu kalimat (tentu saja lain halnya dalam susastra!). Namun justru di sini sering terjadi kesalahan dalam penggunaannya. "Sedangkan" digunakan untuk mengawali kalimat, padahal untuk posisi itu dapat dipakai kata "sementara itu". Contoh: Dari harian Jawa Pos: 7 "Sebelumnya disebutkan, dalam pilgub Banten kali ini, 6.208.951 pemilih terdaftar dalam DPT (daftar pemilih tetap). Sedangkan jumlah total TPS se-Banten ada 12.849." Usulan perbaikan 1: "Sebelumnya disebutkan, dalam pilgub Banten kali ini ada 6.208.951 pemilih terdaftar dalam DPT (daftar pemilih tetap) sedangkan jumlah total TPS se-Banten ada 12.849." Usulan perbaikan 2: "Sebelumnya disebutkan, dalam pilgub Banten kali ini ada 6.208.951 pemilih terdaftar dalam DPT (daftar pemilih tetap). Sementara itu, jumlah total TPS se-Banten ada 12.849." Daftar kata 2.4.Gabungan kata yang ditulis serangkai 1. acapkali 2. adakalanya 3. akhirulkalam 4. alhamdulillah 5. astagfirullah 6. bagaimana 7. barangkali 8. bilamana 9. bismillah 10. beasiswa 11. belasungkawa 12. bumiputra 13. daripada 14. darmabakti 15. darmasiswa 16. dukacita 17. halalbihalal 8 18. hulubalang 19. kacamata 20. kasatmata 21. kepada 22. keratabasa 23. kilometer 24. manakala 25. manasuka 26. mangkubumi 27. matahari 28. olahraga 29. padahal 30. paramasastra 31. peribahasa 32. puspawarna 33. radioaktif 34. sastramarga 35. saputangan 36. saripati 37. seringkali 38. sebagaimana 39. sediakala 40. segitiga 41. sekalipun 42. silaturahmi 43. sukacita 44. sukarela 45. sukaria 46. syahbandar 47. titimangsa 48. wasalam 9 2.5.Kata yang sering salah dieja Daftar ini disusun menurut urutan abjad. Kata pertama adalah kata baku menurut KBBI (kecuali ada keterangan lain) dan dianjurkan digunakan , sedangkan kata-kata selanjutnya adalah variasi ejaan lain yang kadang-kadang juga digunakan. 1. aktif, aktip 2. aktivitas, aktifitas 3. Alquran, al-Qur'an, Al-Qur'an, al Qur'an, Al Qur'an (maupun tanpa [']) 4. analisis, analisa 5. Anda, anda 6. apotek, apotik (ingat: apoteker, bukan apotiker) 7. asas, azas 8. atlet, atlit (ingat: atletik, bukan atlitik) 9. bus, bis 10. besok, esok 11. diagnosis, diagnosa 12. Ekstrakurikuler, ekstrakulikuler 13. ekstrem, ekstrim 14. embus, hembus 15. Februari, Pebruari 16. frekuensi, frekwensi 17. foto, photo 18. gladi, geladi 19. hierarki, hirarki 20. hipnosis (nomina), menghipnosis (verba), hipnotis (adjektiva) 21. ibu kota, ibukota 22. ijazah, ijasah 23. imbau, himbau 24. indera, indra 25. inderagiri, indragiri 26. istri, isteri 27. izin, ijin 10 28. jadwal, jadual 29. jenderal, jendral 30. Jumat, Jum'at 31. kacamata, kaca mata 32. kanker, kangker 33. karier, karir 34. Katolik, Katholik 35. kendaraan, kenderaan 36. komoditas, komoditi [2][3] 37. komplet, komplit 38. konkret, konkrit, kongkrit 39. kosa kata, kosakata 40. kualitas, kwalitas, kwalitet [2] 41. kuantitas, kwantitas [2] 42. kuitansi, kwitansi 43. kuno, kuna [4] 44. lokakarya, loka karya 45. maaf, ma'af 46. makhluk, mahluk, mahkluk (salah satu yang paling sering salah) 47. mazhab, mahzab 48. metode, metoda 49. mungkir, pungkir (Ingat!) 50. nakhoda, nahkoda, nakoda 51. napas, nafas 52. narasumber, nara sumber (berlaku juga untuk kata belakang lain) 53. nasihat, nasehat 54. negatif, negatip (juga kata-kata lainnya yang serupa) 55. November, Nopember 56. objek, obyek 57. objektif, obyektif/p 58. olahraga, olah raga 59. orang tua, orangtua 60. paham, faham 61. persen, prosen 11 62. pelepasan, penglepasan penglihatan, pelihatan; pengecualian permukiman, pemukiman perumahan, pengrumahan; baik untuk arti housing maupun PHK pikir, fikir Prancis, Perancis [5] praktik, praktek (Ingat: praktikum, bukan praktekum) provinsi, propinsi putra, putera putri, puteri realitas, realita risiko, resiko saksama, seksama (Ingat!) samudra, samudera sangsi (=ragu-ragu), sanksi (=konsekuensi atas perilaku yang tidak benar, salah) saraf, syaraf sarat (=penuh), syarat (=kondisi yang harus dipenuhi) sekretaris, sekertaris sekuriti, sekuritas [2] segitiga, segi tiga selebritas, selebriti sepak bola, sepakbola silakan, silahkan (Ingat!) sintesis, sintesa sistem, sistim surga, sorga, syurga subjek, subyek subjektif, subyektif/p Sumatra, Sumatera standar, standard standardisasi, standarisasi [6] tanda tangan, tandatangan takhta, tahta 12 teknik, tehnik telepon, tel(f/p)on, telefon, tilpon teoretis, teoritis (diserap dari: theoretical) terampil, trampil ubah (=mengganti), rubah (=serigala) -- sepertinya kedua-duanya berlaku utang, hutang (Ingat: piutang, bukan pihutang) walikota, wali kota Yogyakarta, Jogjakarta zaman, jaman 2.6.Kata dasar Kata dasar (bahasa Inggris: word stem) adalah kata yang menjadi dasar bentukan kata yang lebih besar [1]. Dalam bahasa Indonesia, jual adalah kata dasar dari jualan, sedangkan jualan selanjutnya dapat menjadi kata dasar dari berjualan [1] . Dalam bahasa Inggris, tie dan untie adalah kata dasar yang masing-masing dapat membentuk kata turunan ties dan unties dengan menambahkan sufiks –s 2.7.Ejaan Ejaan adalah penggambaran bunyi bahasa (kata, kalimat, dsb) dengan kaidah tulisan (huruf) yang distandardisasikan. Ejaan biasanya memiliki tiga aspek yaitu 1. aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad 2. aspek morfologis yang menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis 3. aspek sintaksis yang menyangkut penanda ujaran berupa tanda baca. 2.8.Kalimat Kalimat, dari bahasa Arab, adalah satuan linguistik yang terkecil yang bisa berdiri sendiri. Dalam bahasa Latin disebut sintaks atau sintaksis. Linguistik 13 Dalam linguistik, kalimat adalah satuan dari bahasa, atau arus ujaran yang berisikan kata atau kumpulan kata yang memiliki pesan atau tujuan dan diakhiri dengan intonasi final. Kalimat tunggal Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu pola kalimat. Kalimat majemuk Kalimat majemuk adalah kalimat yang mempunyai dua pola kalimat atau lebih. Setiap kalimat majemuk mempunyai kata penghubung yang berbeda, sehingga jenis kalimat tersebut dapat diketahui dengan cara melihat kata penghubung yang digunakannya. Jenis-jenis kalimat majemuk adalah: 1. Kalimat Majemuk Setara 2. Kalimat Majemuk Bertingkat 3. Kalimat Majemuk Campuran 4. Kalimat Majemuk Rapatan Kalimat majemuk setara Yaitu penggabungan dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya sejajar atau sederajat. Berdasarkan kata penghubungnya (konjungsi), kalimat majemuk setara terdiri dari lima macam, yakni: Kalimat Majemuk Setara Penggabungan: Menggunakan kata penghubung `dan` Kalimat Majemuk Setara Penguatan: Menggunakan kata penghubung `bahkan` Kalimat Majemuk Setara Pemilihan: Menggunakan kata penghubung `atau` Kalimat Majemuk Setara Berlawanan: Menggunakan kata penghubung `tetapi`, `sedangkan`, `melainkan` Kalimat Majemuk Setara Urutan Waktu: Menggunakan kata penghubung `kemudian`, `lalu`, `lantas` Kalimat majemuk bertingkat Yaitu penggabungan dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya berbeda. Di dalam kalimat majemuk bertingkat terdapat unsur induk kalimat dan anak kalimat. Anak kalimat timbul akibat perluasan pola yang terdapat pada induk kalimat. Contoh: Induk 14 Kalimat: Kemarin ayah mencuci motor. Selanjutnya kata `kemarin` yang menduduki pola keterangan, diperluas menjadi anak kalimat yang berbunyi: Ketika matahari berada di ufuk timur. Maka penggabungan induk kalimat dan anak kalimat berdasarkan kalimat di atas menjadi: 1. Ketika matahari berada di ufuk timur, ayah mencuci motor, atau 2. Ayah mencuci motor ketika matahari berada di ufuk timur. Kalimat majemuk campuran Yaitu gabungan antara kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Sekurangkurangnya terdiri dari tiga kalimat. Contoh: Toni bermain dengan Kevin, dan Rina membaca buku di kamar, ketika aku datang ke rumahnya Kalimat Kalimat, dari bahasa Arab, adalah satuan linguistik yang terkecil yang bisa berdiri sendiri. Dalam bahasa Latin disebut sintaks atau sintaksis. Linguistik Dalam linguistik, kalimat adalah satuan dari bahasa, atau arus ujaran yang berisikan kata atau kumpulan kata yang memiliki pesan atau tujuan dan diakhiri dengan intonasi final. Kalimat tunggal Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu pola kalimat. Kalimat majemuk Kalimat majemuk adalah kalimat yang mempunyai dua pola kalimat atau lebih. Setiap kalimat majemuk mempunyai kata penghubung yang berbeda, sehingga jenis kalimat tersebut dapat diketahui dengan cara melihat kata penghubung yang digunakannya. Jenis-jenis kalimat majemuk adalah: 1. Kalimat Majemuk Setara 2. Kalimat Majemuk Bertingkat 3. Kalimat Majemuk Campuran 4. Kalimat Majemuk Rapatan 15 Kalimat majemuk setara Yaitu penggabungan dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya sejajar atau sederajat. Berdasarkan kata penghubungnya (konjungsi), kalimat majemuk setara terdiri dari lima macam, yakni: Kalimat Majemuk Setara Penggabungan: Menggunakan kata penghubung `dan` Kalimat Majemuk Setara Penguatan: Menggunakan kata penghubung `bahkan` Kalimat Majemuk Setara Pemilihan: Menggunakan kata penghubung `atau` Kalimat Majemuk Setara Berlawanan: Menggunakan kata penghubung `tetapi`, `sedangkan`, `melainkan` Kalimat Majemuk Setara Urutan Waktu: Menggunakan kata penghubung `kemudian`, `lalu`, `lantas` Kalimat majemuk bertingkat Yaitu penggabungan dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya berbeda. Di dalam kalimat majemuk bertingkat terdapat unsur induk kalimat dan anak kalimat. Anak kalimat timbul akibat perluasan pola yang terdapat pada induk kalimat. Contoh: Induk Kalimat: Kemarin ayah mencuci motor. Selanjutnya kata `kemarin` yang menduduki pola keterangan, diperluas menjadi anak kalimat yang berbunyi: Ketika matahari berada di ufuk timur. Maka penggabungan induk kalimat dan anak kalimat berdasarkan kalimat di atas menjadi: 1. Ketika matahari berada di ufuk timur, ayah mencuci motor, atau 2. Ayah mencuci motor ketika matahari berada di ufuk timur. Kalimat majemuk campuran Yaitu gabungan antara kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Sekurangkurangnya terdiri dari tiga kalimat. Contoh: Toni bermain dengan Kevin, dan Rina membaca buku di kamar, ketika aku datang ke rumahnya. Beberapa Ciri Bahasa Indonesia Baku 16 Karena wilayah pemakaiannya yang amat luas dan penuturnya yang beragam, bahasa Indonesia pun mempunyai banyak ragam. Berbagai ragam bahasa itu tetap disebut sebagai bahasa Indonesia karena semua ragam tersebut memiliki beberapa kesamaan ciri. Ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, dan tata makna pada umumnya sama. Itulah sebabnya kita dapat saling memahami orang lain yang berbahasa Indonesia dengan ragam berbeda walaupun kita melihat ada perbedaan perwujudan bahasa Indonesianya. Di samping ragam yang berdasar wilayah penuturnya, ada beberapa ragam lain dengan dasar yang berbeda, dengan demikian kita mengenal bermacam ragam bahasa Indonesia (ragam formal, tulis, lisan, bidang, dan sebagainya); selain itu ada pula ragam bidang yang lazim disebut sebagai laras bahasa. Yang menjadi pusat perhatian kita dalam menulis di media masa adalah “bahasa Indonesia ragam baku”, atau disingkat “bahasa Indonesia baku”. Namun demikian, tidaklah sederhana memerikan apa yang disebut “ragam baku” Bahasa Indonesia ragam baku dapat dikenali dari beberapa sifatnya. Seperti halnya dengan bahasa-bahasa lain di dunia, bahasa Indonesia menggunakan bahasa orang yang berpendidikan sebagai tolok ukurnya. Ragam ini digunakan sebagai tolok ukur karena kaidah-kaidahnya paling lengkap diperikan. Pengembangan ragam bahasa baku memiliki tiga ciri atau arah, yaitu: 1. Memiliki kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Di sini, baku atau standar berarti tidak dapat berubah setiap saat. 2. Bersifat kecendikiaan. Sifat ini diwujudkan dalam paragraf, kalimat, dan satuansatuan bahasa lain yang mengungkapkan penalaran dan pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal 3. Keseragaman. Di sini istilah “baku” dimaknai sebagai memiliki kaidah yang seragam. Proses penyeragam bertujuan menyeragamkan kaidah, bukan menyeragamkan ragam bahasa, laras bahasa, atau variasi bahasa. Pemerintah, melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas) menghimpun ciri-ciri kaidah bahasa Indonesia baku dalam buku berjudul Tata Bahasa Baku bahasa Indonesia, di samping Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dalam kedua naskah tersebut terdapat banyak kaidah yang merupakan pewujudan ciri bahasa Indonesia baku. 17 Mengapa Harus Baku? Banyak orang kurang menyetujui pemakaian bahasa “baku” karena mereka kurang memahami makna istilah itu. Mereka mengira bahasa yang baku selalu bersifat kaku, tidak lazim digunakan sehari-hari, atau bahasa yang hanya terdapat di buku. Mereka berpendirian bahwa kita cukup menggunakan bahasa yang komunikatif, maksudnya mudah dipahami. Mereka beranggapan bahwa penggunaan ragam baku mengakibatkan bahasa yang kurang komunikatif dan sulit dipahami. Pemahaman semacam ini harus diluruskan. Keterpautan bahasa baku dengan materi di media massa ialah bahwa ragam ini yang paling tepat digunakan supaya bahasa Indonesia berkembang dan dapat menjadi bahasa iptek, bahasa sosial, atau pun bahasa pergaulan yang moderen. Bahasa yang baku tidak akan menimbulkan ketaksaan pada pemahaman pembacanya. Ragam bahasa baku akan menuntun pembacanya ke arah cara berpikir yang bernalar, jernih, dan masuk akal. Bahasa Inggris, dan bahasabahasa lain di Eropa, bisa menjadi bahasa dunia dan bahasa komunikasi dalam ilmu pengetahuan karena tingginya sifat kebakuan bahasa-bahasa tersebut. Di samping itu, bahasa baku dapat menuntun baik pembaca maupun penulisnya ke arah penggunaan bahasa yang efisien dan efektif. Bahasa yg efisien ialah bahasa yg mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku dengan mempertimbangkan kehematan kata dan ungkapan. Bahasa yang efektif ialah bahasa yang mencapai sasaran yang dimaksudkan (Moeliono, 2002). Ada beberapa ciri yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan kebakuan kalimat, antara lain: 1. Pelesapan imbuhan, misalnya “Kita harus hati-hati dalam menentukan sample penelitian ini” (seharusnya “berhati-hati”). 2. Pemborosan kata yang menyebabkan kerancuan atau bahkan kesalahan struktur kalimat, misalnya “Dalam rapat pimpinan kemarin memutuskan susunan pengurus baru” (kata dalam dapat dibuang). 3. Penggunaan kata yang tidak baku, termasuk penggunaan kosakata bahasa daerah yang belum dibakukan. Contoh, “Percobaan yang dilakukan cuma menemukan sedikit temuan” (Cuma diganti hanya). 18 4. Penggunaan kata hubung yang tidak tepat, termasuk konjungsi ganda, misalnya ”Meskipun beberapa ruang sedang diperbaiki, tetapi kegiatan sekolah berjalan terus.” (konjungsi tetapi sebaiknya dihilangkan karena sudah ada konjungsi meskipun). 5. Kesalahan ejaan, termasuk penggunaan tanda baca. 6. Pelesapan salah satu unsur kalimat, misalnya ”Setelah dibahas secara mendalam, peserta rapat menerima usul tersebut” (subjek anak kalimat ‘usul tersebut’ tidak boleh dilesapkan). Buku Sabarianto (2001) dalam daftar pustaka di bawah memuat beberapa contoh tentang penggunaan bahasa Indonesia baku. 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Sumber data Dalam penelitian karya tulis ini,digunakan metode penulisan dengan cara peninjauan dan cara tinjaua kepustakaan menurut buku………………………………tinjauan kepustakaan disebut juga study kepustakaan yaitu mencari data dari kepustakaan misalnya dari data buku jurnal masalah dan lain-lain. Semakin banyak sumber bacaan semakin banyak pula pengetahuan yang diteliti namun tidak semua buku bacaan dan laporan dapat diolah. 3.2 Cara memperoleh data a. Mepelajari hasil yang diperoleh dari setiap sumber yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. b. Mempelajari metode penelitian yang dilakukan termasuk metode penelitian pengambilan sampel pengumpulan data sumber data dan satuan data c. Mengumpulkan data dari sumber lain yang berhubungan dengan bidang penelitian. d. Mempelajari analisis deduktif dari problem yang tertera(analisis berpikir secara kronologis) 3.3 Instrumen penelitian Instrumen penelitian ini adalah penelitian sendiri karena subjek penelitiannya berupa pustaka yang memerlukan pemahaman dan penafsiran penelitian,penulis mencatat hal-hal yang berhubungan dengan pesan social budaya dalam menghasilkan generasi muda yang berkualitas yang digunakan sebagai instruktur penelitian seluruh data dikumpulkan dalam catatan khusus. 3.4 Analisis data ` Data yang dikumpulkan dalam catatan khusus selanjutnya dianalisis,proses analisis dilakukan dengan cermat dan dideskripsikan dengan lengkap sehingga menghasilkan analisis yang representative teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini analisis isi. 20 BAB IV PEMBAHASAN 4.1.Bahasa Baku Mengingat ragam bahasa baku itu digunakan untuk keperluan berbagai bidang kehidupan yang penting, seperti penyelenggaraan negara dan pemerintahan, penyusunan undang-undang, persidangan di pengadilan, persidangan di DPR dan MPR, penyiaran berita melalui media elektronik dan media cetak, pidato di depan umum, dan, tentu saja, penyelenggaraan pendidikan, maka ragam bahasa baku cenderung dikaitkan dengan situasi pemakaian yang resmi. Dengan kata lain, penggunaan ragam baku menuntut penggunaan gaya bahasa yang formal. Dalam hubungan dengan gaya itu, perlu dicatat perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulisan. Dari segi gaya, ragam bahasa tulisan cenderung kata-katanya lebih terpilih dan kalimat-kalimatnya lebih panjang-panjang, tetapi lebih tertata rapi. Dengan kata lain, persoalan lafal yang menjadi persoalan pokok makalah ini tidak berkaitan langsung dengan perbedaan ragam bahasa Indonesia lisan dan ragam bahasa Indonesia tulisan. Lafal bahasa Indonesia yang dipersoalkan dalam makalah ini adalah lafal (baku) yang dianggap baik untuk digunakan ketika berbahasa Indonesia baku dengan memakai bunyi sebagai sarananya baik dengan cara berbicara maupun dengan cara membaca. 4.2.Ciri-Ciri Lafal Baku Bahasa Indonesia Di atas telah disinggung bahwa bahasa baku baik ragam lisan maupun tulisan selalu dikaitkan dengan bahasa sekolah yang juga disebut ragam tinggi. Ragam bahasa tinggi ini lazim digunakan oleh mereka yang menganggap dirinya terpelajar. Salah satu ciri yang menonjol bahasa kaum terpelajar ini, yang menyangkut lafal, adalah bahwa sistem bunyinya lebih kompleks dibandingkan dengan sistem bunyi yang dimiliki kaum tak-terpelajar. Bahasa kaum terpelajar cenderung mempunyai khasanah bunyi yang lebih banyak. Karena itu, kaum terpelajar cenderung membedakan kata seni dari zeni, kata pak dari vak, kata sarat dari syarat, kata kas dari khas, dan kata teras (rumah) dari teras (dalam arti inti) sedangkan kaum tidak terpelajar cenderung tidak membedakan pasangan-pasangan kata itu dalam berbicara. Bahasa kaum terpelajar juga cenderung mempunyai kaidah fonotaktis yang lebih rumit. Kaum terpelajar akan mengacu kumpulan bangunan sejenis di suatu tempat sebagai 21 kompleks, aksi-aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sebagai demonstrasi, dan olahraga konglomerat yang dilakukan di padang-padang bekas kebun teh dan sawah rakyat sebagai golf, sementara kelompok tidak terpelajar cenderung akan mengacunya masing-masing sebagai komplek, demonstrasi, dan golop, paling tidak, dalam berbahasa lisan. Selain khasanah bunyi yang lebih banyak dan kaidah fonotaktis yang menyatakan kombinasikombinasi bunyi yang lebih kompleks, bahasa kaum terpelajar cenderung juga berbeda dari bahasa kaum tak-terpelajar dalam hal kaidah pemberian tekanan pada kata. Bahasa kaum terpelajar cenderung memperlihatkan kaidah tekanan yang lebih teratur dan lebih berdasar daripada bahasa kaum tak-terpelajar. Perbedaan lafal akibat perbedaan kaidah penempatan tekanan antara kedua kelompok penutur bahasa Indonesia itu akan lebih tajam bila kata-kata itu berada dalam untaian kalimat. Pada umumnya aspek-aspek bunyi dan tekanan yang memperbedakan ragam bahasa baku (ragam bahasa kaum terpelajar) dengan ragam bahasa tak-baku (ragam bahasa kaum tak-terpelajar) bersumber pada perbedaan sistem bunyi bahasa Indonesia dengan bahasa ibu para penutur yang cenderung menghasilkan ragam regional bahasa Indonesia yang lazim disebut logat atau aksen. Sejalan dengan itu, Abercrombie (1956) menulis bahwa ragam bahasa baku adalah ragam bahasa yang paling sedikit memperlihatkan ciri kedaerahan. Makin tinggi pendidikan seseorang cenderung akan meningkatkan status sosial seseorang--termasuk meningkatkan mutu bahasanya. Khasanah bunyi beserta kaidah-kaidah yang mengatur distribusi bunyi-bunyi itu, termasuk kombinasi-kombinasi bunyi dalam kata yang diperbolehkan oleh kaidah fonotaktik, dan kaidah penempatan tekanan pada kata-kata bahasa Indonesia ragam baku dapat dilihat di dalam Alwi et al. (1998). 4.3.Fungsi Lafal Baku Bahasa Indonesia Lafal merupakan perwujudan kata-kata dalam bentuk untaian-untaian bunyi. Lafal merupakan aspek utama penggunaan bahasa secara lisan. Dalam hubungan itu, lafal baku dapat dipandang sebagai perwujudan ragam bahasa baku dalam bentuk untaian bunyi ketika berlangsung komunikasi verbal secara lisan yang menuntut penggunaan ragam baku. Persoalannya adalah peristiwa komunikasi lisan apa saja yang menuntut penggunaan ragam baku. Kridalaksana (1975) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang menuntut 22 ragam baku itu, hanya dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan komunikasi verbal secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan dalam pembicaraan di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, dsb. atau dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan, dengan guru, dengan orang yang baru dikenal dsb. Di atas telah kita lihat bahwa ragam bahasa baku dianggap sebagai ragam bahasa yang baik yang cocok untuk keperluan komunikasi verbal yang penting, yang menjadi tolok untuk pemakaian bahasa yang benar, dan yang bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan dengan fungsi sosial bahasa baku itu, Moeliono (1975) mencatat empat fungsi pokok, yaitu (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi penanda kepribadian, (3) fungsi penanda wibawa, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan. Dengan demikian, lafal baku--sebagai perwujudan bahasa baku secara fonetis-mempunyai fungsi sosial sebagai (1) pemersatu, (2) penanda kepribadian, (3) penanda wibawa, dan (4) sebagai kerangka acuan. Pengikraran bahasa Melayu (tinggi) sebagai bahasa Indonesia 70 tahun lalu merupakan peristiwa bersejarah yang sangat penting dalam proses perkembangan bangsa Indonesia yang bersatu. Sulit untuk dibayangkan apa yang akan terjadi dengan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku bangsa dengan latar belakang kebahasaan yang ratusan pula dan menyebar di kepulauan Nusantara yang luas ini jika tidak ada satu bahasa sebagai alat komunikasi antara satu dengan lain. Kehadiran suatu lafal baku yang perlu digunakan sebagai tolok dalam berbahasa lisan pada peristiwa-peristiwa tutur resmi yang melibatkan pendengar dari berbagai kelompok suku tentulah merupakan suatu keharusan. Fungsi kepribadian lafal baku akan tampak bila kita terlibat dalam pergaulan antarbangsa. Melalui bahasa lisan seseorang, kita dapat mengenal apakah dia menggunakan logat asing ataukah logat baku. Orang asing yang belajar bahasa Indonesia dapat saja mencapai penguasaan bahasa Indonesia yang sangat baik namun itu biasanya terbatas pada bahasa tulisan. Atau, kemungkinan lain, dapat saja kita terlibat dalam percakapan dengan bangsa serumpun, misalnya dengan orang Malaysia atau Brunei Darussalam. Dari segi perawakan tentu sulit untuk membedakan satu sama lain, tetapi melalui logat/dialek yang digunakan kita dapat mengenal apakah seseorang termasuk bangsa Indonesia atau tidak. 23 Fungsi penanda wibawa lafal baku merupakan suatu fungsi yang mempunyai nilai sosial yang tinggi dalam suatu masyarakat. Kemampuan seseorang dalam menggunakan lafal baku cenderung akan ditafsirkan bahwa orang itu adalah orang terpelajar dan karena itu patut disegani. Kewibawaan lafal baku tampak jelas dalam pergaulan sehari-hari. Dalam senda gurau tidak pernah kita mendengar lafal baku dijadikan bahan olok-olok. Pada umumnya yang kita dengar adalah logat (lafal) yang bersifat kedaerahan. Fungsi lafal baku sebagai kerangka acuan berarti bahwa lafal baku dengan perangkat kaidahnya menjadi ukuran atau patokan dalam berbahasa Indonesia secara lisan pada situasisituasi komunikasi yang resmi. 4.4.Faktor Penunjang dan Penghambat Pertumbuhan Lafal Baku Dengan faktor pendukung pertumbuhan lafal baku di sini dimaksudkan semua faktor yang dianggap memberikan dampak positif terhadap kehadiran lafal baku bahasa Indonesia. Sebaliknya, faktor penghambat pertumbuhan lafal baku adalah semua faktor yang dianggap memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan/kehadiran lafal baku bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pembicaraan pada seksi ini akan mencoba mengidentifikasi beberapa isu atau masalah yang bertalian dengan lafal baku kemudian melihat apa segi positifnya dan apa segi negatifnya. Masalah yang bertalian dengan lafal baku yang akan disorot dalam hubungan ini meliputi: 4.5.Isu Persatuan dan Kesatuan Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang dihuni oleh ratusan suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda jelas merupakan tantangan berat dalam rangka mempersatukan bangsa Indonesia ini. Adanya satu bahasa sebagai alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang bhineka itu merupakan suatu keharusan. Hal ini disadari benar oleh para pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Melalui Sumpah Pemuda tersebut, bahasa Melayu diikrarkan sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia. Walaupun tidak ada catatan yang menyebutkan secara eksplisit ragam bahasa Melayu mana yang dinobatkan sebagai bahasa Indonesia itu, dapat dipastikan bahwa bukan ragam bahasa Melayu pasar. Ragam bahasa Melayu yang dinobatkan sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda itu tentulah ragam bahasa Melayu Tinggi karena ragam inilah yang diajarkan di sekolah-sekolah, 24 terutama sekolah-sekolah kebangsaan. Bersamaan dengan pengikraran ragam bahasa Melayu Tinggi sebagai bahasa Indonesia, Sumpah Pemuda itu juga secara serta-merta menobatkan lafal bahasa Melayu Tinggi sebagai lafal baku. Fungsi bahasa Indonesia baku, termasuk lafalnya, sebagai alat pemersatu bangsa secara umum dapat dikatakan telah berjalan dengan baik. Hampir sebagian besar bangsa Indonesia telah dapat mengerti bahasa Indonesia. Namun, di sisi lain penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah pula mengakibatkan sebagian masyarakat yang belum menguasai atau dianggap belum mahir berbahasa Indonesia secara tidak sadar telah menciptakan pengotak-ngotakan masyarakat bangsa ini atas yang mahir berbahasa Indonesia dan yang tidak mahir berbahasa Indonesia. Upaya untuk mengendalikan pertumbuhan bahasa melalui perencanaan bahasa sesungguhnya merupakan upaya perencanaan perbedaan antara yang mahir dan yang kurang mahir berbahasa Indonesia termasuk lafalnya. 4.6.Isu Pendidikan Salah satu alasan yang sering dikemukakan dalam hubungan dengan upaya penetapan suatu ragam bahasa baku adalah pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah tentulah menuntut adanya bahasa pengantar yang dikuasai oleh guru dan murid. Pengembangan bahan-bahan ajar tentulah memerlukan satu bahasa demi penghematan. Adalah tidak ekonomis untuk menyediakan buku yang berbeda-beda dari segi bahasa bagi kelompokkelompok yang berbeda bahasa seperti Indonesia. Ini tidak hanya mahal dari segi finansial tetapi juga mahal dari segi ketenagaan. Dalam hubungan dengan penyelenggaraan pendidikan ini, peranan lafal baku sangat penting karena ragam bahasa yang digunakan sebagian besar adalah ragam lisan. Kegagalan seseorang menguasai lafal baku cenderung akan berakibat kegagalan dalam mencapai manfaat pendidikan di sekolah yang optimal. Isu pendidikan berkenaan dengan lafal baku itu baru akan menjadi persoalan bila sekolah memang menuntut penggunaan lafal baku. Murid yang tidak mahir menggunakan lafal baku cenderung akan dinilai "kurang berhasil" dalam mengikuti pendidikan. Kekurangberhasilan murid itu akan tampak menonjol dalam hal-hal yang menuntut penggunaan bahasa lisan seperti bercakap-cakap, menjawab pertanyaan secara lisan, menerangkan sesuatu, dan membaca bersuara. 4.7.Isu Kesempatan Kerja 25 Alasan lain yang biasa dikemukakan dalam usaha penetapan suatu bahasa baku termasuk lafal baku bertalian dengan kesempatan kerja. Prof. Emil Salim (1983) melaporkan bahwa hasil Sensus 1980 menunjukkan adanya hubungan positif antara penguasaan bahasa Indonesia dengan kesempatan kerja. Pendapatan per kapita rata-rata (GNP) yang menguasai bahasa Indonesia lebih tinggi daripada GNP kelompok masyarakat yang kurang menguasai bahasa Indonesia. Rendahnya GNP kelompok yang kurang menguasai bahasa Indonesia itu pastilah tidak berkaitan langsung dengan kemampuan intelektual atau keterampilan mereka. Kemungkinan besar perbedaan GNP itu lebih banyak ditentukan oleh kesan pertama yang didapatkan oleh para penyaring calon pekerja melalui lamaran tertulis dan atau wawancara dengan pencari kerja tersebut. Ketidaklancaran komunikasi antara calon pekerja dengan penyaring calon pekerja cenderung ditafsirkan sebagai ketidakmampuan tenaga pencari kerja tersebut untuk melaksanakan beban kerja lowongan yang ada. Di sini lagi-lagi isu bahasa baku, termasuk lafal baku, dapat menjadi masalah jika ragam bahasa baku itu dijadikan sebagai suatu prasyarat untuk bisa diterima sebagai tenaga kerja dalam suatu lembaga atau perusahaan. Buruh-buruh di suatu pabrik atau perkebunan serta pesuruh, tukang kebun, dan tenaga administrasi rendahan di kantor-kantor tidak perlu dipersyaratkan menguasai bahasa Indonesia baku secara lisan dan tertulis sama baik dengan mandor atau kepala bagian di kantor-kantor. 4.8.Isu Keunggulan Bahasa Baku Di atas telah disinggung bahwa ragam bahasa baku cenderung dinilai sebagai bahasa yang bergengsi yang lebih baik daripada ragam lain atau ragam kedaerahan. Sentimen sosial yang melekat pada ragam baku itu cenderung ditafsirkan bahwa ragam bahasa baku lebih unggul daripada ragam kedaerahan dalam hal daya ungkapnya. Ragam bahasa baku (ragam tinggi) dianggap mampu mengungkapkan berbagai konsep ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sedangkan ragam kedaerahan tidak. Dalam hal-hal tertentu anggapan itu memang benar, tetapi itu terjadi karena ragam baku memang sengaja dikembangkan secara khusus untuk keperluan itu, terutama dalam hal peristilahannya. Secara teoretis, ragam apa pun yang digunakan asal tersedia perangkat istilah untuk bidang-bidang yang dipercakapkan tentulah bisa. Para ahli ilmu bahasa sudah sejak lama menerima pandangan bahwa semua bahasa di dunia ini sama baiknya. Apa yang bisa diungkapkan dalam satu bahasa pastilah dapat diungkapkan dalam bahasa lain walaupun 26 dengan cara yang lebih panjang. Dalam kaitan ini, pandangan bahwa ragam bahasa baku lebih unggul dari ragam kedaerahan terletak pada kehematan dalam pengungkapan saja. 4.9.Isu Demokrasi dalam Bahasa Penilaian ragam bahasa baku sebagai ragam yang berwibawa dan bergengsi dengan segala konotasinya telah menjadi salah satu alasan mengapa perlu ada ragam baku dan bahwa setiap warga negara perlu diberi kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menguasai ragam bahasa baku, termasuk lafal baku itu. Dalam negara seperti Indonesia yang warganya terdiri atas ratusan kelompok etnis dengan bahasa daerah yang beratus pula tentulah keinginan untuk memberi kesempatan yang sama untuk menguasai bahasa Indonesia (baku) merupakan suatu keharusan. Masalah yang timbul berkaitan dengan isu demokrasi dalam bahasa ini adalah bahwa tidak jarang murid mendapat hambatan dalam menggapai kemajuan dalam pendidikannya akibat ragam bahasa Indonesia baku yang belum dikuasainya dengan baik. Acapkali dapat terjadi seseorang menjadi segan, dan mungkin berkembang menjadi benci, berbicara karena dikritik atau diperolok-olokkan baik oleh guru maupun oleh teman-temannya. Apabila tekanan-tekanan psikologis seperti itu dialami oleh murid, maka dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mencapai hasil yang memuaskan di dalam pendidikannya. Untuk menghindari tekanantekanan psikologis yang bisa diakibatkan ketidakmampuan menguasai ragam bahasa baku itu, maka murid dapat pula menuntut hak bahasa lainnya, yaitu untuk belajar di dalam dialeknya sendiri sebagaimana disuarakan oleh UNESCO belakangan ini walaupun konsekuensinya jauh lebih tidak menguntungkan dilihat dari kepentingan bangsa. 4.10. Upaya Pembakuan Lafal Bahasa Indonesia Adanya ragam baku, termasuk lafal baku, untuk bahasa Indonesia merupakan tuntutan Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang Indonesia untuk bisa berkomunikasi satu sama lain baik secara lisan maupun secara tertulis dalam bahasa persatuan. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berarti bahwa segala bentuk kegiatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dalam bahasa Indonesia. Semua kegiatan komunikasi verbal dalam bahasa Indonesia itu, secara lisan atau secara tertulis, hanya akan mencapai hasil yang baik jika ada semacam rujukan yang dimiliki 27 bersama--dalam hal ini ragam baku bahasa Indonesia. Untuk keperluan berbahasa lisan tentu saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan dua jalur yaitu : 4.11. Pembakuan lafal melalui jalur sekolah Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia sebenarnya telah dimulai jauh sebelum bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan 70 tahun lalu. Upaya pembakuan itu dimulai di sekolah-sekolah yang mengajarkan atau memakai bahasa Melayu. Kehadiran Ejaan van Ophuijsen tahun 1901 telah meletakkan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan lafal bahasa Melayu Tinggi yang kemudian dinobatkan sebagai bahasa Indonesia oleh Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Melalui tulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah, murid-murid mulai membentuk lafal baku. Melalui tulisan yang mereka pelajari, mereka belajar mengucapkan kata-kata tertulis seperti ada, apa, dan mana, sebagaimana dituliskan dan bukan sebagai [ad ], [ap ], dan [man ] seperti kita dengar dalam bahasa Melayu Riau hingga dewasa ini. Pembakuan lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak secara khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid belajar lafal baku melalui apa yang didengarnya dari guru dan, pada tahap tertentu, dari sesama murid. Melalui pelajaran baca-tulis, murid dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan untuk menuliskan kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal bahasa baku sangatlah besar. 28 BAB V PENUTUP 5.1.Kesimpulan dan Saran Di atas telah disinggung bahwa lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa baku mempunyai nilai sosial yang tinggi. Oleh karena itu, di banyak tempat di dunia itu acapkali ragam bahasa para penutur dari kalangan kelas sosial atas sering dijadikan acuan atau model. Hal ini terlihat jelas di Indonesia. Ketika presiden sering terdengar mengucapkan -kan sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan mengucapkan [-k n] walaupun mereka bukan dari suku Jawa. Untuk bisa memberikan model lafal yang baik kepada masyarakat perlu diperhatikan hal-hal berikut. 1. Setiap pemimpin dan tokoh masyarakat yang biasa dalam tugasnya berhadapan langsung dengan rakyat perlu berusaha menggunakan lafal baku. 2. Para penyiar radio dan televisi hendaklah memberikan model yang baik bagi para pendengar khususnya dalam pembicaraan yang bersifat resmi, seperti pembacaan berita atau wawancara resmi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Peranan televisi dan radio itu sangat besar dalam pembentukan lafal bahasa Indonesia yang ada dewasa ini. 3.Guru haruslah menyadari bahwa lafalnya merupakan model atau kerangka acuan bagi murid-muridnya. Karena itu, hendaklah guru mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pengetahuan fonologi akan banyak membantu tugasnya. 4.Guru perlu mengetahui aspek-aspek fonologi yang khas di daerah tempatnya mengajar agar dapat mengetahui bunyi-bunyi yang sukar bagi murid-muridnya. Di daerah Tapanuli dan sebagian besar Indonesia bagian timur, vokal / / cenderung diganti dengan /e/. Di Aceh, Jawa, dan Bali bunyi /t/ cenderung diganti dengan bunyi retrofleks /t/. 5.Guru hendaklah menyadari bahwa (ragam) bahasa menjadi lambang kelompok sosial. Karena itu guru perlu menghargai logat murid-muridnya. Apabila murid merasa direndahkan karena ketidak-mampuannya berbahasa Indonesia dengan lafal baku sebagai akibat pengaruh logat/bahasa ibunya, maka ia cenderung menolak apa saja yang berbau lafal bahasa Indonesia baku. 29 Daftar pustaka Jakarta : Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi, Prof, dkk. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Djamarah, Bahri, Syaiful, Drs dan Drs. Aswan Zain. 1995. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Fitriyah, Hidayatul. 2007. Penggunaan Media Gambar Berseri Untuk Meningkatkan Ketrampilan Mengarang Siswa Kelas V Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SDN Wiyung III/ 455 Surabaya. TA tidak diterbitkan. Surabaya. Program D-2 Unesa. 30