Bab II Tinjauan Pustaka

advertisement
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1.
Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan komoditas perkebunan yang
memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan
penghasil devisa perkebunan nomor tiga setelah kelapa sawit dan karet. Indonesia
merupakan negara penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Côte
d'Ivoire atau Ivory Coast (Pantai Gading) dan Ghana (http://www.icco.org).
Sebanyak 40% produksi kakao dunia berasal dari Pantai Gading, Ghana dan
Indonesia masing-masing menghasilkan 15% buah kakao, Brazil, Nigeria,
Kamerun, Guatemala, Honduras, Ekuador, Kolombia, Venezuela memproduksi
dalam jumlah yang lebih kecil (http://en.wikipedia.org.htm).
Menurut Dewanto (1989), kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
makanan karena memiliki citarasa yang khas, bahan baku kosmetik, dan bahan
baku pembuatan obat. Dalam buku yang berjudul Medicinal Herb Index in
Indonesia disebutkan bahwa, beberapa negara penghasil kakao seperti Ghana,
Meksiko, Panama, dan Venezuela telah mengembangkan kakao sebagai bahan
baku pembuatan obat antidiuretik, antiseptik, reumatik, antibisa ular, penambah
nafsu makan, dan obat batuk (PT. Esai Indonesia, 1995; Prameswari, 2004).
Sebagai bahan makanan, kakao kerap disebut dengan istilah cokelat yang berasal
dari
bahasa
Aztec
yaitu
chocolatl
yang
berarti
air
yang
pahit
(http://en.wikipedia.org.htm). Suku Aztec percaya bahwa dewa Quetzalcoatl yaitu
naga besar penjaga kebun di surga membawa biji kakao dari surga ke bumi dan
mengajarkan mereka cara menanamnya (http://heartsmuseum.berkeley.edu).
Cokelat merupakan salah satu produk makanan olahan tertua di dunia yang
ditemukan pertama kali oleh bangsa Amerika Tengah dan memiliki nilai gizi
tinggi. Suku Aztec dan beberapa suku asli bangsa Meksiko, Guatemala, dan
Honduras memproses biji kakao menjadi minuman cokelat yang telah berlangsung
di Amerika Tengah sejak 4.600 tahun yang lalu (Smith, 2005). Minuman cokelat
7
pada awalnya disajikan terbatas pada kalangan tertentu saja yaitu bangsawan,
prajurit dan pedagang (http://heartsmuseum.berkeley.edu).
Terdapat dua pendapat mengenai asal muasal tanaman kakao. Pendapat pertama
menyatakan bahwa tanaman kakao berasal dari Meksiko Tenggara dan disebarkan
ke lembah Amazon yaitu ke Lacandon di Amerika Tengah dan dataran rendah
Orinoco di Amerika Selatan. Pendapat kedua berdasarkan studi genetik tanaman
kakao, tanaman tersebut diperkirakan berasal dari Amazon dan didistribusikan ke
Amerika Tengah. Minuman cokelat diyakini telah dikonsumsi sejak tahun 800 1.100 SM oleh penduduk asli Amerika yaitu suku Maya dan Suku Aztec (http://
heartsmuseum.berkeley.edu). Tanaman kakao masuk ke Indonesia tahun 1560
dibawa oleh bangsa Spanyol ke daerah Sulawesi tepatnya ke Kepulauan Sangir
dan Minahasa. Berdasarkan letak geografisnya, tanaman kakao akan tumbuh
dengan baik di daerah yang terletak antara 10° LU - 10° LS, dengan ketinggian
kurang dari 600 m di atas permukaan laut dan di daerah yang beriklim tropis
dengan kondisi pH tanah netral (Chatt, 1953). Perkebunan kakao di Pulau Jawa,
secara besar-besaran dimulai tahun 1880 ketika penyakit daun kopi merajalela,
sehingga sejak itu tanaman kopi diganti secara bertahap dengan tanaman kakao
(Siregar, 1964).
Usaha kakao melibatkan lebih dari 965.000 keluarga petani pedesaan dan untuk
perkebunan besar melibatkan kurang lebih 84.000 tenaga kerja yang sebagian
besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Menurut Ditjenbun (2006),
pengusahaan kakao di Indonesia dilakukan melalui tiga bentuk usaha yaitu
perkebunan rakyat seluas 887.735 Ha (89,45%) dengan produksi sebesar 586.672
ton (89,92%), perkebunan besar negara seluas 49.976 Ha (5,03%) dengan
produksi sebesar 32.946 ton (5,06%) dan perkebunan besar swasta seluas 54.737
Ha (5,52%) dengan produksi sebesar 32.778 ton (5,02%).
II.1.1. Botani Tanaman Kakao
Carrolus Linnaeus seorang taksonom yang berasal dari Swedia memberikan nama
Theobroma cacao bagi tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini.
8
Theobroma berarti “Makanan para Dewa” sedangkan cacao berasal dari Nahuatl
(bahasa Aztec) yaitu cacahuatl sedangkan suku Maya menyebutnya kakaw.
Tanaman ini termasuk ke dalam famili Sterculiaceae dari ordo Malvales
(http://en.wikipedia.org.htm).
sumber: dokumentasi pribadi
http://heartsmuseum.berkeley.edu
Gambar II.1. Tanaman kakao (Theobroma cacao L.)
Klasifikasi tanaman kakao menurut Backer & Van der Brinck (1968) adalah
sebagai berikut:
Divisio
: Spermathophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Klas
: Dicotyledonae
Ordo
: Malvales
Famili
: Sterculiaceae
Genus
: Theobroma
Spesies
: Theobroma cacao L.
Menurut Siregar et al., (1992) kakao digolongkan ke dalam tanaman caulifloris
yaitu tanaman yang dapat menumbuhkan bunga dari batang atau cabang (Gambar
II.1). Tanaman kakao memiliki tinggi 4 - 8 m, mulai dapat dipanen buahnya pada
umur 5 tahun dan mencapai produksi buah tertinggi pada umur 12 tahun. Buahnya
9
dapat terus menerus dipanen sampai tanaman berumur 50 tahun dengan panen
besar dua kali dalam satu tahun (Nasution et al., 1976).
Berdasarkan nilai ekonomisnya yang dapat dibedakan dari bentuk buah, warna
buah, dan warna biji terdapat tiga varietas kakao yaitu:
a. Criollo, merupakan varietas unggul, hampir seluruh bijinya berwarna putih
dengan waktu fermentasi singkat. Kulit buah tipis dan mudah diiris, warna
buah merah ketika muda dan kuning setelah masak dengan aroma khas, tidak
tahan terhadap hama dan penyakit serta kurang produktif (Nasution et al.,
1976; Rohan 1963).
b. Forastero, merupakan varietas yang produktivitasnya lebih tinggi dan lebih
tahan terhadap hama. Buah muda berwarna hijau, setelah matang berwarna
kuning dengan aroma yang lebih lemah dan rasa agak pahit. Kulit buah keras
dan sulit diiris, biji gepeng dan berwarna ungu.
c. Trinitario, merupakan hibrida dari kakao varietas Criollo dan Trinitario
memiliki sifat di antara keduanya.
Kakao Criollo dan Trinitario menghasilkan cokelat dengan aroma khas, disebut
edel cacao atau kakao murni, sedangkan varietas Forestario menghasilkan cokelat
dengan aroma yang biasa dan dikenal sebagai bulk cacao, kakao curah atau kakao
lindak. Kurang lebih 93% kakao dunia adalah kakao curah dihasilkan oleh Afrika
Barat, Brazil, dan Dominika sedang kurang dari 7% kakao mulia dihasilkan
Equador, Venezuela, Trinidad, Grenada, Jamaica, Srilanka, Indonesia, dan Samoa
(Minifie, 1980).
Di Indonesia tanaman yang dikembangkan dari varietas kakao mulia adalah klon
DR (Djati Runggo) sedangkan dari varietas kakao curah adalah klon Afrika Barat
dan Upper Amazon Hybrid (UAH). Dari klon tersebut yang paling banyak
dikembangkan adalah UAH (Effendi, 1982). Kematangan buah kakao ditandai
dengan perubahan warna buah. Pada buah kakao klon UAH warna berubah dari
hijau menjadi agak kekuningan. Seteleh dipetik dan dikelompokkan berdasarkan
kematangan kemudian dipecah untuk mendapatkan bijinya, lalu difermentasi.
10
II.1.2. Karakteristik Buah dan Biji Kakao
Buah kakao berbentuk bulat lonjong (ovoid) dengan panjang 15 - 30 cm dan lebar
8 - 10 cm terdiri dari 4 bagian utama yaitu kulit buah, plasenta, arillus / pulp dan
biji (Gambar II.2). Buah yang telah masak berwarna kuning terang sedangkan
buah muda berwarna hijau atau merah tergantung jenisnya (http://en.wikipedia.
org.htm). Bagian buah kakao yang diolah menjadi cokelat adalah bijinya.
keping biji
kakao yang
diselimuti
pulp
plasenta
arillus/ pulp yang
berwarna putih
kulit buah
kakao
sumber: http://en.wikipedia.org
http://hearstmuseum.berkeley.edu
Gambar II.2. Penampang Melintang dan Memanjang Buah Kakao
Biji kakao terdiri dari dua bagian yaitu kulit biji dan keping biji. Sekitar 86 90% dari berat kering biji merupakan keping biji, sedangkan sisanya adalah kulit
biji yang meliputi 10 - 14% dari berat kering biji (Rohan, 1963). Biji kakao ketika
masih berada dalam buah yang matang belum terkontaminasi berbagai
mikroorganisme. Segera setelah pemecahan buah dilakukan, biji kakao segar
langsung mengalami kontak dengan udara di sekitarnya dan arilus yang
mengelilingi biji terpapar oleh berbagai populasi mikroorganisme yang berasal
dari kulit buah, tangan, wadah yang digunakan untuk mengangkut biji, sisa-sisa
arilus dari proses fermentasi sebelumnya pada peti-peti fermentasi dan juga oleh
lalat buah (Drosophila melanogaster).
Dari sekian banyak jenis mikroorganisme pada tahap awal fermentasi hanya ragi
yang dapat berkembang biak dan mendominasi arilus. Ini disebabkan arilus
mengandung kadar gula yang tinggi, pH rendah dan sedikit oksigen dan asam
sitrat. Hasil metabolisme mikroorganisme pada arilus akan berdifusi ke dalam
keping biji sehingga menyebabkan terbentuknya prekursor aroma, perubahan
11
warna dan perbaikan rasa biji kakao. Mikroorganisme yang terdapat pada kakao
berbeda-beda tergantung iklim, waktu fermentasi, varietas kakao yang diolah, dan
faktor geografis tempat pengolahan sehingga mengakibatkan berbeda pula citarasa
cokelat yang dihasilkan (Chatt, 1953). Ragi yang terdapat pada biji kakao akan
menyebabkan terjadinya fermentasi alkohol dengan memanfaatkan gula pada
arilus. Selain menghasilkan alkohol, metabolisme ini juga menghasilkan CO2 dan
panas dengan reaksi:
C12H22O11 + H2O
amilum/pati
C6H12O6
glukosa
2C6H12O6 + 4,5 kalori
air
glukosa
2CO2 +
karbondioksida
2C2H5OH + 22,3 kalori
alkohol
II.1.3. Pengolahan Biji Kakao
Cokelat menjadi makanan atau minuman yang digemari karena aroma dan cita
rasanya yang khas. ”The hidden flavor of the hidden fruit of a hidden tree”
merupakan motto yang dikemukakan oleh Jacobs (1951) untuk kakao. Untuk
mendapatkan aroma yang tersembunyi itu maka perlu dilakukan fermentasi
terhadap biji kakao. Menurut Knapp (1937) dalam Away (1989), biji kakao yang
tidak difermentasi tidak akan menghasilkan aroma yang khas dan memiliki rasa
yang lebih sepat dan pahit (Rohan, 1963). Pengolahan biji kakao segar di
perkebunan besar meliputi pemanenan, pengupasan, fermentasi, perendaman,
pencucian, pengeringan, dan sortasi. Proses pengolahan buah kakao menentukan
mutu produk akhir kakao, karena dalam proses ini terjadi pembentukan calon cita
rasa khas kakao dan pengurangan cita rasa yang tidak dikehendaki, misalnya rasa
pahit dan sepat (http://www.kadin-indonesia.or).
Tanaman kakao dipanen setelah buahnya masak yaitu setelah 6 bulan dari proses
pembuahan. Buah kakao yang masak mempunyai ukuran panjang 10-19 cm,
dengan berat antara 450 - 490 g dan mengandung 30 - 40 biji yang diselubungi
oleh arilus (Rohan, 1963). Setelah dipetik, buah tidak langsung dibelah melainkan
diperam dahulu selama 5-7 hari di tempat yang teduh untuk memperoleh
keseragaman kematangan buah serta memudahkan pengeluaran biji dari buah
kakao. Pemecahan atau pembelahan buah kakao dimaksudkan untuk mendapatkan
12
biji kakao, pemecahan buah kakao harus dilakukan secara hati-hati, agar tidak
melukai atau merusak biji kakao. Pemecahan buah kakao dapat menggunakan
pemukul kayu atau memukulkan buah satu dengan buah lainnya, harus dihindari
kontak langsung biji kakao dengan benda-benda logam, karena dapat
menyebabkan warna biji kakao menjadi kelabu. Biji kakao dikeluarkan lalu
dimasukan dalam ember plastik atau wadah lain yang bersih, sedang plasenta
yang melekat pada biji dibuang (http://www.kadin-indonesia.or).
Tahap yang sangat penting adalah fermentasi dan pengeringan. Selama fermentasi
biji kakao mengalami perubahan fisik, kimia, dan biologi (Rohan, 1963;
Manurung & Soelistyowati, 1976; Rahayu, 1986). Menurut Frazier (1988) tujuan
fermentasi adalah untuk melepaskan pulp dari biji, mematikan embrio,
memperbaiki rasa, membentuk prekursor (calon) aroma, dan memberi warna pada
biji yang terjadi secara enzimatis setelah kematian embrio (Roelofsen, 1958;
Effendi, 1982). Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Martelli dan Dittmar (1960)
yang menyebutkan bahwa selama proses fermentasi berlangsung terjadi
peningkatan temperatur hingga 50° C. Pada saat itu terjadi kematian embrio,
induksi autolisis pada kotiledon, perubahan warna menjadi cokelat dan
terbentuknya senyawa polifenol yang menimbulkan aroma khas pada biji kakao.
Fermentasi merupakan proses metabolisme penghasil energi yang melibatkan
proses oksidasi dan reduksi di dalam suatu reaksi berantai secara enzimatis
dengan substrat sebagai donor primer elektron sedangkan senyawa organik
sebagai akseptor elektron terminal. Proses fermentasi sesuai dengan kondisi,
proses dan hasilnya dibagi menjadi:
1. Proses fermentasi secara alkoholis, jika hasilnya adalah alkohol seperti pada
pembuatan beberapa jenis minuman seperti bir, anggur, tuak, brem, dan lain
sebagainya
2. Proses fermentasi non alkoholis, hasilnya bukan senyawa alkohol, tetapi
berupa asam organik, vitamin, asam amino, dan lain-lain seperti pada
pembuatan tempe, kecap, yoghurt dan lain sebagainya (Suriawiria, 1986).
13
Pada pengolahan biji kakao, fermentasi mencakup keduanya. Hasil yang
diinginkan terutama asam organik yang diperoleh secara langsung maupun tidak
langsung maupun melalui pembentukan alkohol terlebih dahulu pada pulp biji
kakao. Kehadiran mikroorganisme akan menghasilkan panas dan asam asetat yang
akan berdifusi ke dalam biji sehingga menyebabkan terbentukanya prekursor
aroma, perubahan warna, dan perbaikan rasa secara enzimatis di dalam keping biji
(Roelofsen, 1958; Rohan, 1963). Kematian embrio disebabkan oleh panas dan
asam asetat yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Ragi mengubah gula yang
terkandung dalam pulp menjadi alkohol dan CO2 yang kemudian akan diubah
menjadi asam asetat, H2O dan panas.
Fermentasi di perkebunan dilakukan secara alamiah menggunakan kotak-kotak
fermentasi yang terbuat dari kayu berukuran tinggi 0,9 m, lebar 1,2 m, panjang 1,5
m, dan memuat 1500 kg biji seperti ditunjukkan oleh Gambar II.3. Lama waktu
fermentasi tergantung pada klonnya umumnya memerlukan waktu 3 - 12 hari. Di
Layungsari (Cianjur) lama fermentasi biji kakao berkisar antara 5 sampai dengan
7 hari sedangkan di Bunisari (Pamengpeuk) untuk edel cacao lama fermentasi
yang optimum adalah 4 hari sedangkan untuk bulk cacao selama 6 hari (Effendi,
1982).
sumber: dokumentasi pribadi
Gambar II.3. Kotak-Kotak Fermentasi Biji Kakao
Citarasa dan aroma khas cokelat akan muncul pada biji kakao yang telah
mengalami proses fermentasi yang sempurna. Secara kualitatif, kesempurnaan
14
proses fermentasi dapat dilihat dari perubahan warna keping biji kakao dengan uji
belah yang dilakukan dengan cara membelah biji kakao memanjang di bagian
tengah. Permukaan biji yang terbelah akan memperlihatkan warna dominan ungu
(violet) pada keping biji tanpa fermentasi atau sering disebut biji slaty. Warna
tersebut secara bertahap akan berubah menjadi cokelat sejalan dengan
perkembangan proses dan waktu fermentasi. Makin panjang waktu fermentasi,
warna cokelat makin dominan.
Secara kuantitatif, tingkat kesempurnaan fermentasi dapat dianalisis dengan
metoda kimiawi. Pengujian dilakukan dengan cara menyangrai biji kakao pada
suhu dan waktu tertentu kemudian dilarutkan dengan senyawa kimia standar.
Penentuan derajat fermentasi berdasarkan warna keping biji yang diukur dengan
spektrofotometer
pada
panjang
gelombang
tertentu.
Derajat
fermentasi
berdasarkan warna keping biji dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat,
yaitu (http://www.agribisnis.net):
-
Fermentasi yang kurang akan menghasilkan keping biji berwarna ungu penuh
(tanpa fermentasi), warna ungu seperti batu tulis (fermentasi 1 hari), warna
ungu dan cokelat sebagian (fermentasi 2 - 3 hari), warna cokelat dengan
sedikit ungu (fermentasi 4 hari)
-
Fermentasi sempurna menghasilkan keping biji berwarna coklat dominan
-
Fermentasi berlebihan menghasilkan warna keping biji coklat gelap dan
berbau tidak enak.
Pulp memegang peranan yang cukup penting dalam proses fermentasi biji kakao
yaitu sebagai tempat berlangsungnya fermentasi. Di dalam pulp terkandung strain
ragi yang akan menginisiasi fermentasi selain itu juga mengandung substrat yang
dibutuhkan bagi metabolismenya (Frazier & Westhoff, 1988). Namun demikian,
setelah proses fermentasi biji kakao selesai maka lendir kakao hanyalah
merupakan hasil sampingan dari proses fermentasi tersebut.
Berbagai mikroorganisme dapat tumbuh pada pulp, tetapi yang memegang
peranan penting adalah bakteri dan ragi (Manurung & Soelistyowati, 1976). Dari
15
hasil penelitian di beberapa negara menurut Roelofsen (1958) dan Camargo et al.,
(1963) dalam Rohan (1963) bahwa jenis ragi yang banyak ditemui adalah
Saccharomyces sp., S. cerevisiae var ellipsoideus, S. pombe, Candida krusei,
Pichia fermentans, Torulopsis sp., Koeckera apiculata, Hansenula anomala.
Sedangkan bakteri yang ditemukan diantaranya Acetobacter xylinum, A.
ascendens, Propionibacterium xylinoides, P. orleanence (Eckman, 1928 dalam
Chatt 1953). Di Jawa Tengah ditemukan sejumlah besar bakteri asam laktat
(Roelofsen & Gisberger, 1974; Chatt, 1953). Jacobs (1951) telah menemukan
adanya Acetobacter aceti yang turut berperan dalam fermentasi biji kakao.
Ragi yang berperan pada awal fermentasi berfungsi mengubah gula menjadi
alkohol dan CO2 (Soetiardjo & Mangoenksoekarjo, 1980). Di samping
berkemampuan mengubah gula menjadi alkohol dan CO2, ragi juga mampu untuk
menghancurkan pulp (Rohan, 1963; Nurhidayat, 1984; Rahayu, 1986). Kegiatan
ragi dominan pada proses fermentasi selama 24 jam pertama, kadar alkohol
maksimal yang dapat dihasilkan mencapai sekitar 3,7%. Dengan meningkatnya
kadar alkohol yang dihasilkan maka jumlah ragi akan menurun karena
pertumbuhannya dihambat oleh alkohol yang bersifat sebagai desinfektan. Setelah
48 jam fermentasi, dapat dikatakan tidak terdapat ragi lagi (Nurhidayat, 1984;
Rahayu, 1986).
Bakteri fermentasi muncul pada 24 jam terakhir dari fermentasi, jumlah yang
dapat tumbuh dan jenisnya bervariasi tergantung iklim sepanjang tahun dan baik
tidaknya pengudaraan selama fermentasi (Siregar, 1964; Nurhidayat, 1984).
Dengan adanya bakteri asam asetat, maka alkohol diubah menjadi asam asetat, air,
dan panas. Konsentrasi asam asetat yang dapat dicapai setelah fermentasi
berlangsung sekitar 37 jam kurang lebih sekitar 1% dan ini sudah dapat
mematikan embrio (Nurhidayat, 1984). Sebenarnya sebelum asam asetat terbentuk
dapat dikatakan bahwa biji telah mati oleh adanya kerja ragi dan bakteri asam
laktat (Siregar, 1964).
16
Selama fermentasi berlangsung, terjadi perubahan-perubahan secara enzimatis
dalam keping biji segera setelah biji mati. Enzim-enzim dalam keping biji tersebut
sebenarnya dipersiapkan untuk perkecambahan, antara lain invertase, rattinase,
amilase, gliserofosfatase, phytase, oksidase, dan peroksidase (Rohan, 1963). Salah
satu reaksi enzimatis yang terjadi adalah pemecahan senyawa polifenol sehingga
rasa sepat menjadi berkurang. Menurut Forsyth (1955) dalam Effendi (1982)
terdapat enzim polifenoloksidase di seluruh jaringan keping biji kecuali pada sel
yang mengandung tannin. Enzim ini akan bereaksi dengan senyawa polifenol
sehingga mengurangi rasa sepat tersebut. Hal ini terjadi pada saat embrio mati dan
bila biji kakao disangrai akan terbentuk warna cokelat (browning). Apabila
embrio masih hidup maka senyawa polifenol tetap tinggal dalam sel yang
mengandung tannin sehingga reaksi di atas tidak berlangsung (Knapp 1937;
Effendi, 1983). Menurut Rohan dan Stewart (1967), prekursor aroma cokelat
adalah asam amino dan gula pereduksi. Asam amino dihasilkan dari hidrolisis
protein, yang juga menghasilkan peptida.
Menurut Forsyth (1955) biji kakao variasi curah mengandung senyawa polifenol
yang terdiri dari empat senyawa katekin, tiga leukosianidin, dua senyawa
antosianin. Sebanyak 92% dari senyawa katekin adalah epikatekin jumlah ini
sama dengan 35% dari total polifenol. Bila epikatekin tidak terurai sempurna oleh
enzim polifenolase selama pengeringan maka akan terdapat rasa sepat pada biji
kakao (Griffiths, 1960). Citarasa cokelat juga dipengaruhi oleh senyawa purin
yang sangat pahit. Theobromin sebagai senyawa purin yang utama terdapat sekitar
1,55 % dari berat kering biji, sedangkan kafein hanya sekitar 0,15 % (Minifie,
1980). Protein dapat mengakibatkan aroma yang tak enak bila biji disangrai (De
Witt, 1957). Melalui hidrolisis enzimatis selama fermentasi, konsentrasi protein
akan berkurang menghasilkan peptida dan asam amino (Rohan & Stewart, 1967).
Dari hidrolisis enzimatis sukrosa selama fermentasi akan membentuk gula
pereduksi. Menurut Rohan (1963) gula pereduksi merupakan faktor penting dalam
pembentukan
aroma
cokelat.
Pemeriksaan
dengan
kromatografi
kertas
menunjukkan bahwa gula yang terdapat pada ekstrak biji yang difermentasi
17
adalah glukosa dan fruktosa sedangkan yang tidak difermentasi hanya
mengandung sukrosa. Schonberg dan Moubasher (1952) menyatakan bahwa
glukosa dapat bereaksi dengan asam amino menghasilkan aldehida. Reaksi ini
dikenal sebagai degradasi stacker. Pada saat ini sudah dikenal adanya 200 macam
senyawa komponen aroma cokelat dari hasil fermentasi (Minifie, 1980). Di antara
jumlah ini terdapat 30 macam senyawa pirazin, 10 macam pirol, dan 15 macam
fural (Reineccius et al., 1972). Terdapat pula isovarelaldehida yaitu senyawa yang
mudah menguap dari aroma cokelat yang terbentuk dari asam amino melalui
reaksi degradasi stecker.
Tahap pengolahan biji kakao setelah fermentasi adalah perendaman, pencucian,
dan pengeringan. Maksud perendaman biji hasil fermentasi adalah untuk
mendapatkan persentase biji bulat. Perendaman selama 1-2 jam akan
menghasilkan persentase biji bulat yang besar (Soenaryo et al., 1978; Nurhidayat,
1984). Perendaman selama 4 jam akan menyebabkan kehilangan asam amino
bebas dan gula pereduksi melalui proses difusi (Effendi, 1982). Pencucian biji
kakao setelah dilakukan perendaman hanya untuk mengurangi sisa pulp. Bila
pencucian terlalu bersih akan mengurangi berat dan merapuhkan kulit biji
(Hardjosuwito, 1983). Tetapi dengan pencucian, biji akan lebih tahan terhadap
serangan jamur dan serangga serta memperbaiki penampakannya (Siregar, 1964).
sumber: dokumentasi pribadi
Gambar II.4 Pengeringan Biji Kakao dengan Penjemuran
Pengeringan dilakukan untuk mendapatkan biji kakao dengan kadar air 6 - 7%.
Proses pengeringan dapat dilakukan dengan pengeringan sinar matahari seperti
18
pada Gambar II.4. dan / atau pengeringan buatan dengan menggunakan oven dan
tungku (Gambar II.5.). Bila dalam pengeringan mencapai suhu 45-50° C, maka
biji akan mengkerut dan permukaannya keras (Siregar, 1964). Biji buah kakao
kering dapat dilihat pada Gambar II.6. Guritno dan Hardjosuwito (1983)
membuktikan bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap kadar lemak,
keasaman, dan kadar asam amino bebas. Makin tinggi suhu pengeringan, kadar
lemak makin rendah dan keasaman serta kadar asam amino meningkat. Bila biji
dikeringkan dengan cepat akan berpengaruh terhadap bau asam yang sangat tajam
sebaliknya bila terlalu lambat, jamur akan mudah tumbuh.
sumber: dokumentasi pribadi
Gambar II.5. Tungku untuk Mengeringkan Biji Kakao
Proses pengolahan biji kakao yang baik akan mempengaruhi kualitas atau mutu
biji yang dihasilkan. Standar mutu diperlukan sebagai sarana pengawasan untuk
menentukan kualitas biji kakao. Food and Drugs Adiministration (FDA) dari
USA memprakarsai penyusunan standard kakao internasional dengan mengadakan
pertemuan antara produsen dan konsumen pada tahun 1969 di Paris. Pertemuan
tersebut menyepakati ditetapkannya Standar Kakao Internasional. Standar ini telah
diadopsi oleh hampir semua negara penghasil kakao di dunia tertuma yang
mengekspor biji kakao ke Amerika.
Secara umum persyaratan yang tercantum standar kakao Indonesia sejalan dengan
dengan yang ditentukan dalam Standar Kakao International. Standar mutu biji
kakao Indonesia diatur dalam Standar Nasional Indonesia Biji Kakao (SNI 01 -
19
2323-1991). Standar ini meliputi definisi, klasifikasi, syarat mutu, cara
pengambilan contoh, cara uji, syarat penandaan (labelling), cara pengemasan dan
rekomendasi. Beberapa batasan umum yang menggolongkan biji kakao yang
layak untuk diperdagangkan di pasaran internasional (cocoa merchantable quality)
adalah sebagai berikut (http://www.agribisnis.net):
-
Biji kakao harus difermentasi, kering (kadar air 6-7 %) , bebas dari biji smoky,
bebas dari bau yang tidak normal dan bau asing serta bebas dari bukti-bukti
pemalsuan
-
Biji kakao harus bebas dari serangga hidup
-
Biji kakao dalam satu kemasan harus mempunyai ukuran seragam, bebas dari
biji pecah, pecahan biji dan pecahan kulit, dan bebas dari benda-benda asing.
Fermentasi biji kakao yang sempurna biasanya dilakukan dalam waktu 5 hari,
dengan pengadukan dan pembalikan yang dilakukan pada hari kedua. Selama
proses fermentasi, lendir/ pulp biji kakao akan mengalir keluar dari kotak atau
wadah fermentasi.
sumber: http://borumat.de.
Gambar II.6. Biji Buah Kakao Kering
II.1.4. Limbah Cair Pulp Kakao
Pengolahan buah kakao sampai menjadi biji kakao akan menghasilkan limbah
baik berupa limbah padat maupun limbah cair (Lampiran H). Kedua jenis limbah
dari pengolahan biji kakao ini belum termanfaatkan dengan baik. Sampai saat ini
pemanfaatan limbah kakao terbatas hanya pada limbah padat yaitu kulit buah
kakao yang digunakan sebagai pupuk dan bahan tambahan pakan ternak. Menurut
Ginting dalam tulisannya yang berjudul Tantangan dan Peluang Pemanfaatan
20
Pakan Lokal untuk Pengembangan Peternakan Kambing di Indonesia
(disampaikan pada salah satu Lokakarya Nasional) produksi buah kakao segar
mencapai 1.750 kg/Ha dan menghasilkan limbah berupa kulit buah dengan
kandungan serat tinggi dan protein yang rendah mencapai 74% dari total berat
tersebut. Kulit buah kakao ditambahkan pada pakan ternak maksimal sebesar
15%, jika lebih akan menurunkan performa hewan ternak dalam mencerna pakan
karena kandungan seratnya yang sangat tinggi. Penggunaan kulit buah kakao
sebagai tambahan pakan ternak ini telah berlangsung di desa Bongancina
Kabupaten Buleleng, Bali sejak tahun 2000. Kulit buah kakao dihancurkan
dengan alat penggilingan dan difermentasi menggunakan Aspergillus niger
sehingga dapat meningkatkan kandungan proteinnya sebesar 18 % (Widiata,
2006).
Limbah cair selain dihasilkan dari proses pemecahan buah kakao juga dihasilkan
dari proses pencucian dan perendaman serta dari proses fermentasi biji kakao.
Fermentasi biji kakao tentunya akan menghasilkan cokelat dengan mutu yang baik
namun dalam proses fermentasi tersebut akan dihasilkan lendir kakao atau pulp
yang merupakan limbah dari industri pengolahan biji kakao dan mencapai sekitar
10 % dari berat basah biji (Quesnel, 1967). Sampai saat ini limbah pulp kakao
belum dimanfaatkan secara optimum karena dipandang kurang bernilai ekonomis
sehingga masih terdapat permasalahan dalam pengolahan limbahnya. Selain itu,
yang menjadi kendala utama dalam pemanfaatan limbah cair pulp kakao ini
adalah mekanisme pengumpulan dan pengawetan limbah tersebut sebelum
diproses lebih lanjut (Taufik, 1996).
Jika dilihat komposisi kimia lendir biji kakao (Tabel II.1) berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Rohan (1963), lendir biji kakao masih dapat dimanfaatkan
mengingat kandungan gula pada limbah ini masih cukup tinggi. Limbah pulp
kakao masih mengandung 11,60 – 15,32% glukosa. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Sulam Taufik (1996), limbah cair pulp ini ternyata dapat
digunakan untuk menghasilkan senyawa aroma diantaranya etanol, 2-metil-1propanol, 3-metil-1-butanol, benzaldehida, asam asetat, asam propanoat, 2,3-
21
butandiol. Senyawa aroma merupakan suatu senyawa atau bahan yang dapat
mengeluarkan bau atau aroma yang khas. Senyawa aroma umumnya digunakan
dalam industri makanan, pakan, kosmetika, farmasi, dan minuman (Jansens et al.,
1992; Taufik, 1996).
Tabel II.1. Komposisi Kimia Lendir Biji Kakao
Komponen
Air
Bahan kering
Asam-asam tidak menguap
Asam-asam menguap
Glukosa
Sukrosa
Pektin
Protein
Abu
Pati
Oksida Fe
Garam K, Na, Ca, Mg
Komposisi ( % berat kering biji kakao)
79,20-84,20
15,80-21,80
0,77-1,52
0,02-0,04
11,6-15,32
0,11-0,9
5,00-6,90
0,42-0,50
0,40-0,50
sedikit
0,03
0,40-0,45
sumber: Rohan, 1963
Limbah pulp kakao mengandung beberapa senyawa, seperti gula yang dapat
dijadikan substrat untuk metabolisme beberapa mikroorganisme menghasilkan
senyawa-senyawa alkohol, asam organik, senyawa ester, dan senyawa kimia
lainnya. Pulp yang mengandung glukosa, sukrosa, pektin, pati dan beberapa
senyawa lain ini dapat disterilisasi dan dijadikan minuman, atau difermentasi
menjadi etanol atau minuman fermentasi lainnya. Pernyataan tersebut diperkuat
pula oleh Kamaruddin & Sudirman (2006) yang menyatakan bahwa limbah pulp
ini dapat dimanfaatkan menjadi suatu produk yang berguna dan mempunyai nilai
jual yang tinggi yaitu cuka/asam asetat. Prameswari (2004) juga melakukan
penelitian menggunakan limbah pulp kakao untuk memproduksi vinegar dengan
cara fermentasi bertingkat menggunakan kultur murni Saccharomycess cerevisiae
dan Acetobacter aceti. Vinegar yang dihasilkan dari proses ini mengandung asam
asetat sebesar 4,8 % b/v. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa limbah
pulp kakao dapat diolah secara biologi menghasilkan produk yang bernilai
ekonomis.
22
II.2.
Pengolahan Limbah Secara Biologi
Pengolahan limbah secara biologi berdasarkan konsumsi oksigen oleh
mikroorganisme pengolahnya dapat berlangsung dalam dua kondisi yaitu aerob
dan anaerob. Kondisi aerob yaitu kondisi ketika oksigen terlarut / dissolve oxygen
(DO) dalam air buangan terdapat dalam jumlah yang cukup banyak sehingga
oksigen bukan merupakan faktor pembatas dan oksigen bertindak sebagai
akseptor elektron terakhir. Sedangkan kondisi anaerob berlangsung ketika jumlah
oksigen terlarut jumlahnya sangat sedikit atau bahkan tidak terdapat dalam air
buangan sehingga oksigen menjadi faktor pembatas dalam proses metabolisme,
dan senyawa lain selain oksigen bertindak sebagai akseptor elektron terakhir
(Wisjnuprapto dan Djajadiningrat, 1990; Chaerul, 2001).
Pengolahan secara biologi melibatkan organisme hidup sebagai pengolah limbah,
dalam hal ini mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan dapat berupa
kultur murni maupun kultur campur. Kultur murni atau pure culture merupakan
mikroorganisme yang terdiri dari satu strain mikroorganisme saja sedangkan mix
culture atau kultur campur terdiri dari dua atau lebih mikroorganisme (Johnson
dan Zeikus, 1991).
II.2.1. Mikroorganisme Mix Culture (Kultur Campuran)
Fermentasi kultur campuran adalah fermentasi yang melibatkan dua atau lebih
mikroorganisme sebaliknya fermentasi kultur murni merupakan fermentasi yang
hanya melibatkan satu strain mikroorganisme saja. Maka jika suatu fermentasi
menggunakan dua atau lebih strain mikroorganisme, meskipun berasal dari jenis
yang sama tidak termasuk ke dalam fermentasi kultur murni melainkan fermentasi
kultur campuran. Kultur campuran dapat terdiri dari jenis yang telah diketahui
seperti pada yoghurt atau campuran dari mikroorganisme yang belum diketahui
jenisnya yang terjadi pada fermentasi makanan tradisional secara alami. Kultur
campuran dapat terdiri dari satu kelompok mikroorganisme, misal bakteri saja,
atau campuran dari beberapa kelompok seperti jamur dan bakteri, atau jamur dan
ragi (Johnson dan Zeikus, 1991).
23
Menurut Johnson dan Zeikus (1991), fermentasi kultur campuran memberikan
beberapa keuntungan dibandingkan dengan fermentasi kultur murni, diantaranya
adalah:
-
Produk yield-nya lebih tinggi
-
Laju pertumbuhannya lebih tinggi
-
Kultur campuran memberikan perlindungan lebih terhadap kontaminasi
-
Pada beberapa kultur campuran dapat terjadi hubungan keterkaitan yang stabil
antara mikroorganisme yang terlibat
-
Senyawa yang terbentuk oleh mikroorganisme kadang melengkapi satu sama
lain dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak
diinginkan
-
Substrat dapat terurai dengan baik oleh kultur campuran
-
Kultur campuran dapat memberikan transformasi beberapa tahap yang
mustahil dilakukan oleh fermentasi kultur murni
-
Untuk memelihara fermentasi kultur campur dapat dilakukan oleh orang tanpa
keahlian khusus.
-
Dapat mereduksi infeksi dari bakteriofaga
-
Dapat terjadi perubahan yang simultan dari substrat
-
Dapat menggunakan substrat yang murah dan tidak murni
-
Kultur campuran dapat memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan untuk
pertumbuhan yang optimal
Sedangkan kerugian jika menggunakan kultur campuran yaitu:
-
Produk yang dihasilkan dari fermentasi kultur campuran dapat bervariasi jika
dibandingkan dengan yang menggunakan kultur murni
-
Studi ilmiah mengenai kultur campuran relatif sulit
-
Sulit untuk mendeteksi dan mengontrol kontaminasi yang terjadi
-
Ketika dua atau lebih mikroorganisme disatukan, akan memerlukan ruang dan
waktu untuk membuat beberapa inokulum
-
Masalah utamanya adalah cara mengontrol kesetimbangan optimum diantara
mikroorganisme yang terlibat.
24
II.2.2. Circulating Bed Reactor (CBR)
Dalam penelitian ini limbah diolah dengan sistem batch. Pada reaktor yang
dijalankan dengan sistem batch tidak ada aliran yang masuk maupun keluar dari
reaktor dan terjadi pengadukan terhadap larutan/limbah yang terdapat di dalam
reaktor (Metcalf dan Eddy, 2003). Dalam suatu bioreaktor diperlukan pengadukan
yang efektif agar tejadi pencampuran yang sempurna diantara semua elemen yang
terdapat di dalam reaktor. Penggunaan reaktor Circulating Bed Reactor (CBR)
pada penelitian ini didasarkan pada pencampuran yang terjadi di dalam reaktor ini
tidak merusak mikroorganisme karena rendahnya shear stress yang terjadi. CBR
merupakan modifikasi dari bubble coloumn yang prinsip kerjanya didasarkan pada
energi untuk mengangkat udara agar terjadi pengadukan sehingga terjadi
pencampuran antara mikroorgnisme dan nutriennya.
Udara atau gas dimasukkan menggunakan pompa udara untuk dialirkan melalui
bagian bawah reaktor dan diresirkulasikan melalui piringan berlubang yang
diletakkan di dasar reaktor. Pola pengadukan yang terjadi berbeda-beda sesuai
dengan konfigurasi piringan yang digunakan. Pada penelitian ini digunakan
piringan yang dilubangi sebagian karena memberikan efisiensi yang paling baik
dibandingkan yang lain. Fakta ini telah dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fynn dan Syafila (1990) dalam mengolah air buangan sintetis yang
mengandung glukosa dan pada penguraian pestisida karbaril oleh Syafila (1991).
Hal itu dapat terjadi karena gelembung-gelembung yang terbentuk terkonsentrasi
pada satu sisi kolom sehingga mengakibatkan terbentuknya pola resirkulasi yang
efektif.
II.2.3. Pengolahan Limbah secara Anaerob
Sistem pengolahan anaerob pada awalnya digunakan untuk mengolah limbah
sludge dan limbah organik kuat. Dengan semakin banyaknya penelitian yang telah
dilakukan maka penerapan sistem ini pada aliran limbah cair juga semakin banyak
ditemukan pada pengolahan limbah cair. Pengolahan secara anaerob banyak
diterapkan untuk pengolahan air buangan domestik maupun industri terutama di
negara yang sedang berkembang karena energi yang diperlukan untuk
25
pengoperasian proses lebih kecil jika dibandingkan dengan pengolahan secara
aerob (Chaerul, 2001).
Proses fermentasi anaerobik merupakan proses yang menguntungkan karena
dihasilkan biomassa dengan yield rendah dan energi dalam bentuk metana dapat
diambil dari konversi biologis dari substrat organik. Menurut Speece (1996),
pengolahan air buangan secara anaerob dapat dibandingkan dengan pengolahan
secara aerob ditinjau dari beberapa segi, diantaranya:
-
Laju pembebanan organik volumetrik anaerob 5 - 10 kali lebih tinggi daripada
proses aerobik
-
Laju sintesis biomassa anaerob 5 - 20% lebih kecil dibandingkan proses aerob
-
Biomassa anaerob dapat terjaga selama beberapa bulan bahkan tahun tanpa
gangguan aktivitas serius dibandingkan biomassa aerob
-
Tidak perlu energi untuk aerasi selama proses anaerobik dibandingkan
kebutuhan proses aerobik sebesar 500 - 2000 kwh/1000kg
-
Produksi gas methan sekitar 12.000.000 BTU/1000 kg COD terdegradasi
Proses anaerobik dapat dilakukan untuk mengolah limbah cair dengan beban yang
tinggi dan merupakan proses yang sangat cost-effectif dibandingkan dengan proses
aerobik. Hal tersebut dapat terjadi dengan adanya penghematan pada aspek energi,
penambahan nutrisi, dan volume reaktor. Namun demikian, kualitas efluen yang
dihasilkan tidak sebanding dengan hasil dari proses aerobik, maka pengolahan
anaerob ini pada umumnya digunakan sebagai pretreatment kemudian dilanjutkan
dengan proses aerob.
Menurut Sayed (1987), dalam Syafila (1997), proses anaerob dapat berlangsung
melalui 4 tahap (Gambar II.7) yaitu:
1. Hidrolisis
Pada tahap ini mikroorganisme yang berperan adalah mikroorganisme
hidrolitik. Mikroorganisme ini akan menghasilkan enzim-enzim yang akan
dilepaskan ke dalam medium untuk menghidrolisis senyawa-senyawa organik
kompleks seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, tepung dan senyawa organik
26
rantai panjang lain menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti glukosa,
asam amino dan peptida.
2. Asidogenesis
Senyawa-senyawa organik yang lebih sederhana dari proses hidrolisis akan
dimetabolisme menjadi asam-asam volatil rantai pendek seperti asetat,
propionat, butirat, H2 dan CO2
Asidogenesis merupakan reaksi biologi yang mengubah monomer sederhana
seperti glukosa, asam amino dan peptida menjadi volatile fatty acid atau asamasam lemak volatil sederhana seperti asetat, propionat, butirat, H2 dan CO2
dengan reksi-reaksi sebagai berikut:
-
Produksi asam asetat:
C6H12O6
-
Produksi asam butirat:
C6H12O6
-
2CH3COOH + 2CO2 + 4H2
CH3CH2CH2COOH + 2CO2 + 2 H2
Produksi asam asetat dan asam propionat:
C6H12O6
CH3CH2COOH + CH3COOH + CO2 + H2
3. Asetogenesis
Hasil dari proses asidogenesis berupa asam-asam lemak rantai pendek, butirat,
dan propionat akan dioksidasi menjadi asam asetat dan hidrogen oleh
mikroorganisme penghasil asetat. Pada beberapa literatur asetogenesis
seringkali digabungkan dengan proses asidogenesis karena sesungguhnya pada
proses ini masih dihasilkan asam namun lebih spesifik menghasilkan asam
asetat sehingga pada beberapa literatur, tahapan ini dipisahkan dengan tahap
asidogenesis.
4. Methanogenesis
Methanogenesis merupakan tahap akhir dari keseluruhan proses anaerob. Pada
proses ini akan dihasilkan CH4 dan CO2, sebagian besar gas methan yang
terbentuk yaitu sekitar 70 – 80 % berasal dari asam asetat, sisanya diperoleh
dari H2 dan CO2. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Speece (2003) yang
menyatakan bahwa sekitar 72% metana yang dihasilkan dari proses anaerob
berasal dari asam asetat (Gambar II.8.).
27
POLIMER
Lipida
Polisakarida
Protein
Asam
Nukleat
Monosakarida
Asam Amino
& Peptida
Purin &
Pirimidin
Hidrolisis
Asam
Lemak
& Gliserol
MONOMER dan OLIGOMER
Asidogenesis
Alkohol, propionate, asetat,
butirat, suksinat, laktat,
produk fermentasi lain
Asetogenesis
CO2 + H2
Metanogenesis
asetat
metanol
metilamina
formiat
Metana dan CO2
Gambar II.7. Skema Proses Anaerob (hidrolisis,asidogenesis, dan metanogenesis)
(Sayed, 1987; Syafila, 1997)
Reaksi oksidasi asetat dan hidrogen menghasilkan gas methan adalah:
-
-
Pembentukan gas methan dari hidrogen
4 H2 + H2CO3
CH4 + 3 H2O
4 H2 + CO2
CH4 + 2 H2O
Pembentukan gas methan dari asam asetat
CH3COOH + H2O
CH4 + H2CO3
CH3COOH
CH4 + CO2
Pada tahap ini yang memegang peranan adalah kelompok bakteri methanogens.
Terdapat dua kelompok bakteri methanogens yaitu aseiclastic methanogens yang
28
dapat mengubah asam asetat menjadi metana dan karbon dioksida serta kelompok
hydrogen-utilizing methanogens yang menggunakan hidrogen sebagai donor
elektron dan CO2 sebagai ekseptor elektron untuk menghasilkan metana.
Senyawa organik kompleks
(karbohidrat, protein, lemak)
5%
20 %
Hidrolisis
10 %
Senyawa organik sederhana
(gula, asam amino, peptida)
35 %
Asidogenesis
Asam lemak rantai panjang
(propionat, butirat, dll)
13 %
17 %
CO2 + H2
asetat
28 %
CH4 + CO2
72 %
Gambar II.8. Rangkaian Hasil Metabolisme dalam Proses Anaerob (Speece, 2003)
II.2.4. Mikroorganisme yang Berperan dalam Proses Anaerob
Menurut Grady dan Lim (1980) terdapat dua kelompok bakteri yang berperan
dalam proses anaerob yang menghasilkan metana yaitu bakteri nonmetanogenik yang terdiri dari bakteri hidrolitik, bakteri asidogenik, bakteri
penghasil asam dan penghasil hidrogen dan bakteri metanogenik yang terdiri
dari bakteri penghasil metana. Sedangkan Bitton (1994) mengemukakan bahwa
terdapat empat kategori bakteri yang terlibat dalam proses pembentukan metana
dan CO2 melalui transformasi senyawa kompleks. Kategori yang pertama adalah
bakteri hidrolitik, yang berperan dalam hidrolisis molekul organik kompleks
atau polimer seperti polisakarida, protein, dan lemak menjadi senyawa yang lebih
sederhana atau monomer seperti glukosa, asam amino, asam lemak dan gliserol.
Proses hidrolisis molekul kompleks ini dikatalisis oleh enzim seluler seperti
selulose, protease, dan lipase. Monomer ini kemudian akan dimetabolisme oleh
bakteri kategori kedua yaitu bakteri fermentatif asidogenik atau bakteri
29
penghasil asam menjadi asam organik (seperti asam asetat, propionat, format,
laktat, butirat, atau suksinat), alkohol, dan keton (etanol, methanol, gliserol, dan
aseton), CO2 dan H2. Bakteri asetogenik atau bakteri penghasil asetat merupakan
bakteri kategori ketiga yaitu bakteri yang berperan dalam mengubah hasil
metabolisme bakteri kategori kedua menjadi asetat, CO2, dan H2. Selanjutnya
ketiga senyawa tersebut akan diubah menjadi metana (CH4) oleh bakteri keempat
yaitu bakteri metanogenik atau bakteri penghasil metana. Terdapat dua sub
kategori bakteri metanogen yaitu Hydrogenotrophic methanogens yang berperan
dalam mengkonversi hidrogen dan karbon dioksida menjadi metana seperti
persamaan di bawah ini
CO2 + 4H2
CH4 +
metana
2H2O
dan Acetotropihic methanogens yang dapat menghasilkan metana dari konversi
asam asetat melalui reaksi sebagai berikut
CH3COOH
CH4 +
metana
asetat
2H2O
Mikroorganisme yang dominan dalam proses anaerob ini adalah bakteri. Sejumlah
besar bakteri anaerob dan fakultatif, seperti Bacteroides, Bifidobacterium,
Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus, terlibat dalam proses hidrolisa dan
fermentasi senyawa organik.
II.2.5. Alur Degradasi Komponen Organik Secara Anaerob
Senyawa organik terdiri dari tiga kelompok utama, yaitu karbohidrat, protein, dan
lemak. Sebagian besar bahan organik tersebut terurai menjadi piruvat sebagai
produk antara. Piruvat merupakan produk antara yang umumnya terbentuk dari
penguraian karbohidrat maupun senyawa organik lainnya oleh sebagian besar
mikroorganisme (Gaudy dan Gaudy, 1980; Gottschalk, 1986).
Gambar II.9 menunjukkan macam-macam produk fermentasi yang dihasilkan dari
penguraian senyawa organik dalam hal ini karbohidrat. Karbohidrat mengalami
hidrolisis menjadi glukosa. Pada tahap pertama dari fermentasi glukosa selalu
terbentuk asam piruvat. Menurut Fardiaz (1992) dan Doelle (1994) dalam
Rosdyana (2004) terdapat empat jalur pemecahan glukosa menjadi asam piruvat:
30
1. Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) atau glikolisis, ditemukan pada fungi,
bakteri serta pada hewan dan manusia.
2. Jalur Entner-Doudoroff (ED) , hanya ditemukan pada beberapa bakteri.
3. Jalur Heksosamonofosfat (HMF), ditemukan pada berbagai organisme
4. Jalur Fosfoketolase (FK), hanya ditemukan pada bakteri yang tergolong
Lactobacili heterofermentatif. Jalur ini merupakan percabangan dari jalur
Heksosamonofosfat.
Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa produk fermentasi piruvat terdiri
dari asam-asam volatil (format, asetat, propionat, butirat), asam-asama non-volatil
(laktat dan suksinat), dan etanol serta gas-gas H2 dan CO2.
KARBOHIDRAT
GLUKOSA
EMP HMF
Asetil CoA
ED
Laktat
PIRUVAT
unit asetil
asetaldehida
Oksaloasetat
etanol
Suksinat
asetoasetat
asetoin
2 asetil + 2 format
Propionat
butirat
2 H2
asetat
butirat aseton + CO2
2CO2
etanol
2,3 butanediol
butanol
isopropanol
Gambar II.9. Produk akhir fermentasi pemecahan glukosa (Doelle, 1994;
Rosdyana, 2004)
31
II.2.5.1.
Fermentasi Alkohol
Fermentasi glukosa menjadi alkohol (etanol) dapat dilakukan oleh banyak
mikroorganisme
seperti
Saccharomyces
cerevisiae
dan
Zymomonas
sp.
Saccharomyces cerevisiae memecah glukosa menjadi piruvat melalui jalur EMP
(Embden-Meyerhof-Parnas) dapat dilihat pada Lampiran J. Pada fermentasi
alkohol ini, glukosa didegradasi menjadi piruvat, piruvat yang terbentuk akan
didekarboksilasi menghasilkan karbondioksida dan asetaldehida yang akan
berperan sebagai aseptor elektron untuk reoksidasi NADH dan menghasilkan
etanol sebagai produk akhir seperti reaksi berikut (Doelle, 1994; Rosdyana, 2004):
CH3CO COOH
CO2
Piruvat
CH3CHO
asetaldehid
NADH +
NAD+
CH3CH2OH
etanol
Transformasi piruvat menjadi etanol mencakup dua tahap. Pada tahap pertama
piruvat didekarboksilasi menjadi asetaldehida oleh piruvat dekarboksilase dengan
melibatkan tiamin pirofosfat. Pada tahap ini piruvat akan diuraikan menjadi asetilCoA yang berfungsi sebagai prekursor utama pembentukan asetaldehid.
Selanjutnya asetaldehid akan membentuk etanol dengan bantuan enzim alkohol
dehidrogenase. Reaksi-reaksi yang terjadi dapat dilihat sebagai berikut (Gaudy
dan Gaudy, 1981, Gottschalk, 1986):
CH3-OC-COOH
HCOOH + CH3-CO ScoA
piruvat
format
asetil-CoA
CH3COH
CH3CH2OH
asetaldehid
etanol
CH3COH
asetaldehid
Pada fermentasi alkohol, secara teoritis dapat dihasilkan alkohol dan CO2 dengan
jumlah 51,1% dan 48,9% dari jumlah gula yang difermentasi. Pada kenyataannya
alkohol dan CO2 yang dihasilkan tidak sesuai dengan teori karena terdapat
berbagai faktor yang mempengaruhi yaitu terdapat hasil samping yang dihasilkan
seperti asam asetat, asam laktat, asetaldehida dan gliserol, selain itu adanya
sebagian gula yang digunakan oleh mikroorganisme lain serta adanya alkohol
yang hilang karena penguapan.
32
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi alkohol adalah (Prescott &
Dunn, 1959) :
1. Konsentrasi gula
Ragi memerlukan energi yang berasal dari karbon untuk pertumbuhannya.
Gula adalah substrat yang lebih disukai, oleh karenanya konsentrasi gula
sangat mempengaruhi kuantitas alkohol yang dihasilkan.
2. pH
pH optimum untuk pertumbuhan ragi berkisar antara 4,0 sampai 4,5. Pada pH
3,0 atau lebih rendah lagi fermentasi alkohol akan berjalan dengan lambat,
selain itu dapat memacu pertumbuhan bakteri-bakteri tertentu (Prescott &
Dunn, 1959).
3. Faktor-faktor pertumbuhan ragi
Ragi membutuhkan biotin, inositol, asam nikotinat, asam pantotenat, asam paminobenzoat, piridoksin (vitamin B6) dan tiamin (vitamin B1) untuk
pertumbuhannya. Komponen-komponen tersebut tidak perlu ditambahkan lagi
ke dalam sari buah, yang merupakan substrat untuk fermentasi alkoholik,
karena pada umumnya sudah terdapat dalam jumlah yang cukup (Prescott &
Dunn, 1959).
4. Suhu
Suhu optimum untuk ragi berkisar antara 25 sampai 30°C sedangkan suhu
maksimum antara 35 sampai 47°C. (Cook, 1958). Suhu selama fermentasi
perlu diperhatikan karena disamping suhu mempunyai efek yang langsung
terhadap pertumbuahan ragi juga mempengaruhi komposisi produk akhir.
Semakin rendah suhu fermentasi maka alkohol yang dihasilkan semakin tinggi
karena pada suhu rendah fermentasi akan lebih sempurna dan kehilangan
alkohol karena terbawa oleh gas CO2 akan lebih sedikit. Pada suhu yang relatif
tinggi dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan alkohol dan senyawa
aromatik lainnya. Selain itu suhu yang relatif tinggi akan menonaktifkan ragi
dan akan menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme lainnya, misalnya
Lactobacilli yang akan tumbuh dan menyebabkan kerusakan yang tidak
diinginkan, seperti perubahan cita rasa dari produk akhir (Prescott & Dunn,
1959).
33
5. Oksigen
Fermentasi alkohol oleh ragi Saccharomyces cerevisiae dilakukan secara
anerob (Cook, 1958), tetapi beberapa ragi lain dari kultur yang diaerasi akan
menghasilkan alkohol dalam jumlah yang lebih besar apabila dibandingkan
dengan ragi dari kultur yang tanpa aerasi. Tetapi efek tersebut bervariasi
tergantung ragi yang digunakan (Hariyum, 1986).
II.2.5.2.
Fermentasi Laktat
Laktat merupakan produk akhir yang biasa terbentuk pada fermentasi yang
dilakukan oleh berbagai jenis mikroorganisme. Beberapa jenis bakteri asam laktat
(diperoleh dari bahan yang berasal dari tumbuhan, buah-buahan, susu, dan berasal
dari
saluran
pencernaan
Sporolactobacillus,
hewan)
berasal
Streptococcus,
dari
genus
Leuconostoc,
Lactobacillus,
Pediococcus,
dan
Bifidobacterium. Bakteri asam laktat merupakan mikroorganisme yang strictly
fermentatif tetapi aerotolerant. Terdapat tiga jalur utama bagi pembentukan laktat
dari glukosa (Gottschalk, 1986), yaitu :
a. Homofermentatif
Pembentukan laktat dari glukosa seperti halnya pada pembentukan alkohol
akan melalui jalur EMP menghasilkan piruvat. Piruvat yang dihasilkan tidak
didekarboksilasi menjadi asetaldehid seperti pada fermentasi alkohol tetapi
digunakan sebagai akseptor H+.
C6H12O6
2 CH3CHOHCOOH
glukosa
laktat
b. Heterofermentative
Pada jalur heterofermentatif, laktat dapat terbentuk dari glukosa melalui jalur
Pentosa Phosphate. Xilulosa-5-fosfat dipecah menjadi gliseraldehid-3-fosfat
dan asetil fosfat oleh enzim fosfoketolase (dapat dilihat pada Lampiran J).
Gliseraldehid-3-fosfat akan masuk ke dalam jalur pembentukan laktat. Asetil
fosfat akan dionversi menjadi asetil-CoA oleh enzim fosfotransasetilase
kemudian oleh enzim alkohol dehidrogenase akan diubah menjadi alkohol.
C6H12O6
glukosa
CH3CHOHCOOH + C2H5OH + CO2
aktat
34
etanol
c. Bifidium
Pada jalur ini akan terbentuk laktat dari gliseraldehid-3-fosfat dan asetat dari
asetil fosfat. Seperti pada jalur homofermentatif dan heterofermentatif,
pembentukan laktat dari gliseraldehid-3-fosfat pada jalur bifidum juga
membutuhkan kehadiran H2 yang akan diikat oleh NAD membentuk NADH
dan H+. Sedangkan pada pembentukan asetat dari asetil fosfat tidak
memerlukan adanya H2.
C6H12O6
3 CH3COOH + CH3CHOHCOOH
glukosa
II.2.5.3.
asetat
laktat
Fermentasi Butirat
Butirat dapat terbentuk dari degradasi glukosa melalui jalur Embden Meyerhof
Parnas menghasilkan piruvat dan asetil-CoA. Asetil-CoA akan diubah menjadi
butirat melalui serangkaian reaksi yang melibatkan beberapa enzim (Lampiran J).
Butirat terbentuk dari glukosa dengan reaksi sebagai berikut :
C6H12O6
CH3CH2CH2COOH + 2 CO2 + 2 H2
glukosa
II.2.5.4.
butirat
Fermentasi Propionat dan Suksinat
Beberapa bakteri anaerob seperti Clostridium propionicum dan Megasphaera
(Peptostreptococcus) elsdenii dapat memfermentasi glukosa menjadi propionat
asetat dan CO2 melalui reaksi berikut:
1,5 C6H12O6
2 CH3CH2COOH + CH3COOH + CO2
glukosa
propionat
asetat
Bakteri pembentuk propionat dapat membentuk propionat dari laktat melalui dua
jalur yaitu alur akrilat dan alur suksinat-propionat.
a. Alur akrilat
Melalui alur akrilat ini akan terbentuk propionat, asetat dan H2O:
3 CH3CHOHCOOH
laktat
2 CH3CH2COOH + CH3COOH + H2O
propionat
asetat
b. Alur Suksinat-Propionat
Pada alur suksinat-propionat, laktat akan membentuk propionat:
3 CH3CHOHCOOH
2 CH3CH2COOH + H2O
laktat
propionat
35
Suksinat merupakan produk antara pada pembentukan propionat namun dapat
pula diperoleh sebagai produk akhir fermentasi piruvat.
II.2.5.5.
Fermentasi Format
Format dapat terbentuk dari glukosa melalui piruvat. Piruvat akan membentuk
format dan asetil-CoA.
CH3COCOOH
HCOOH + CH3OCSCoA
piruvat
II.2.5.6.
format
asetil-CoA
Fermentasi Asetat
Beberapa jenis bakteri dapat memfermentasi piruvat menjadi asetat melalui asetilCoA. Alur pembentukan asetat dari berbagai senyawa dapat dilihat pada Lampiran
J. Asam asetat dapat terbentuk melalui oksidasi alkohol secara aerob dengan
bantuan bakteri asam asetat seperti reaksi berikut (Adams, 1985)
CH3CH2OH + O
CH3COH
asetaldehida
etanol
CH3COH + H2O
+ H2O
asetaldehida
CH3CH(OH)2
asetaldehida hidrat
CH3CH(OH)2 + O
CH3COOH + H2O
asetaldehida hidrat
asetat
Selain melalui reaksi tersebut di atas terdapat beberapa reaksi yang dapat
meghasilkan asam asetat secara anaerob. Beberapa spesies bakteri dapat hidup
pada pembentukan asetat dari H2 dan CO2 menurut persamaan berikut ini
(Wieringa, 1936 dalam Syafila, 1997):
4H2 + 2CO2
4CO + 2H2O
CH3COOH + 2H2O
CH3COOH+ 2CO2
4CH3OH + CO2
CH3COOH + 2H2O
Pembentukan asetat juga dapat terjadi dari etanol, butirat, dan propionat seperti
yang terlihat dalam reaksi dibawah ini:
-
Pembentukan asetat dari etanol:
CH3CH2OH + H2O
etanol
CH3COOH + 2H2 + H
asetat
36
-
Pembentukan asetat dari butirat:
CH3CH2CH2COOH + 2H2O
2CH3COOH + 2H2
butirat
-
asetat
Pembentukan asetat dari propionat:
CH3CH2COOH + 2H2O
CH3COOH + CO2 + 2H2
propionat
asetat
II.2.6. Recovery Limbah Pulp Kakao
Pengolahan limbah bukan berarti hanya terbatas pada mengolah air buangan
menjadi tidak berbahaya untuk kemudian dibuang ke badan perairan namun
pengolahan limbah juga dapat memiliki makna yang lain. Pada penelitian yang
dilakukan kali ini, pengolahan limbah pulp kakao yang dilakukan secara anaerob
tidak bertujuan untuk dibuang ke perairan. Pengolahan limbah dilakukan untuk
menghasilkan suatu produk yang dapat meningkatkan nilai ekonomis dari limbah
itu sendiri. Limbah dapat ditingkatkan nilai ekonomisnya dengan cara recovery
limbah menjadi bahan yang lebih bernilai secara ekonomis. Penelitian ini
diharapkan akan menghasilkan suatu produk dengan konsentrasi asam asetat yang
relatif tinggi.
Limbah pulp kakao merupakan limbah yang berasal dari buah-buahan yang masih
mengandung kadar gula yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai
substrat untuk pembuatan minumam fermentasi. Pada penelitian ini limbah pulp
kakao diolah menjadi asam asetat dengan teknik yang relatif sederhana sehingga
dapat pula dilakukan di rumah-rumah.
Recovery limbah pulp kakao menjadi asam asetat seperti telah disebutkan dalam
sub bab sebelumnya dapat diperoleh dari metabolisme beberapa senyawa oleh
bakteri asam asetat. Pembentukan asam asetat dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
secara aerob maupun anaerob. Secara aerob melalui oksidasi etanol menjadi asetat
namun pembentukan etanol dari glukosa berlangsung dalam kondisi anaerob.
Secara anaerob, asam asetat dapat diperoleh dari transformasi asam-asam volatil
seperti butirat dan propionat, etanol, serta melalui reaksi antara H2 dan CO2.
37
II.2.7. Asam Asetat
Asam asetat yang juga dikenal sebagai asam etanoat adalah komponen kimia
organik yang diketahui sebagai pemberi cita rasa pada vinegar. Asam asetat dalam
air murni (asam asetat glasial) berbentuk cairan higroskopik yang tidak berwarna.
Asam asetat dapat membeku di bawah 16.7° C menjadi kristal padat yang tidak
berwarna. Asam asetat bersifat korosif, uapnya dapat membuat mata dan hidung
teriritasi meskipun merupakan asam lemah (http://en.wikipedia.org.htm).
Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat yang paling sederhana (yang
kedua adalah asam format). Asam asetat digunkan sebagai reagen kimia dan
bahan baku industri kimia, diantaranya dapat digunakan dalam produksi
polyethylene terephtalate (umumnya digunkan dalam pembuatan botol softdrink),
cellulose acetate (digunakan untuk film untuk fotografi), dan polyvinyl acetate
(untuk pembuatan lem kayu). Dalam rumah tangga digunakan sebagai agen
descaling sedangkan dalam industri makanan digunakan sebagai bahan tambahan
makanan (food additive) dengan kode E260 sebagai pengatur asam. Permintaan
asam asetat di dunia dapat mencapai 6.5 juta ton per tahun, kira-kira 1.5 juta ton
per tahun diperoleh dari proses daur ulang (sisa pengolahan petrokimia atau
sumber biologi) (http://en.wikipedia.org.htm).
Penggunaan asam asetat dalam pengawetan pangan sudah dilakukan sejak lama,
seperti pada pengacaran (pembuatan pickles). Selain cuka (4% asam asetat) dan
asam asetat, bentuk-bentuk lain yang digunakan dalam makanan adalah sodium,
kalsium, dan potassium asetat. Bentuk garam-garam tersebut digunakan dalam roti
dan produk-produk bakery lainnya yanitu untuk mencegah pembentukan ropy
bread. Asam asetat digunakan dalam mengacar sayur maupun daging dan ikan.
Selain sebagai anti mikroba, asam asetat juga berkontribusi terhadap citarasa
makanan seperti pada produk mayonaise, acar, saus tomat, dan lain-lain. Aktivitas
antimikroba asam asetat meningkat dengan menurunnya pH (Siagian, 2002).
Asam asetat dapat dibuat dengan dengan dua cara yaitu sintetis dan dengan cara
fermentasi. Seperti telah dikemukakan pada Bab Pendahuluan, menurut Irdawati,
1999, larutan cuka sintetis dibuat dengan cara mengoksidasi asetaldehida yang
diperoleh dari hasil dehidrasi asetilen atau dehidrogenasi alkohol. Reaksi
38
pembentukan asam asetat ini melibatkan beberapa logam berat yang berfungsi
sebagai katalisator diantaranya Hg2+, Mn2+, dan Cu (Luthfiantho, 1995). Selain itu
digunakan pula berbagai bahan kimia lain yang dapat terakumulasi di dalam
tubuh. Asam asetat yang dibuat dengan cara fermentasi dilakukan secara aerob
maupun anaerob dengan menggunakan mikroorganisme. Asam asetat yang
dihasilkan dari proses ini dikenal dengan istilah vinegar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi asam asetat oleh bakteri adalah
(Rosdyana, 2004):
1. Jenis mikroorganisme serta jumlah kultur
Jenis bakteri asam asetat yang digunakan harus dapat menghasilkan produk yang
dikehendaki dalam jumlah yang cukup banyak (Pelczar & Chan, 1986). Jumlah
inokulum harus seimbang agar tidak terjadi kompetisi yang menyebabkan produk
yang dihasilkan tidak maksimal.
2. Suhu
Semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi, laju reaksi-reaksi ini
dipengaruhi oleh suhu, maka pola pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh
suhu. Suhu juga mempengaruhi laju pertumbuhan dan jumlah total pertumbuhan
organisme. Keragaman suhu dapat juga mengubah proses-proses metabolik
tertentu serta morfologi sel (Pelczar & Chan, 1986). Suhu optimum untuk
pembentukan asam asetat berkisar antara 23,9°C sampai dengan 29,4°C (Prescott
& Dunn, 1959). Pada suhu yang lebih rendah, fermentasi akan berjalan dengan
lambat. Pada suhu yang lebih tinggi disamping akan memperlambat proses
fermentasi juga akan mengakibatkan terjadi penguapan beberapa senyawa
aromatis. Penguapan senyawa-senyawa aromatis ini tidak dikehendaki karena
merupakan penyusun citarasa dari vinegar (Waluyo, 1984).
3. pH
Setiap mikroorganisme mempunyai pH optimum bagi pertumbuhannya. Sel
mikroorganisme secara signifikan sangat dipengaruhi oleh pH medium, karena
mikroorganisme tidak memiliki mekanisme untuk mengatur pH internal sel
(Frazier, 1988). pH optimum medium diperlukan oleh bakteri agar metabolisme
39
dari bakteri dapat berjalan maksimal sehingga diperoleh produk fermentasi akhir
yang diinginkan.
4. Ketersediaan oksigen
Asam asetat dapat terbentuk melalui reaksi aerob maupun anaerob tergantung
jenis mikroorganisme yang digunakan sebagai kultur/ inokulum. Pada penelitian
ini digunakan sistem anaerobik sehingga keberadaan oksigen tidak diperlukan.
Namun karena kultur yang digunakan adalah kultur campuran maka tidak
menutup kemungkinan di dalam sistem terdapat mikroorganisme yang bersifat
anaerob fakultatif sehingga dapat melakukan pembentukan asam asetat melalui
oksidasi alkohol.
II.2.8. Vinegar
Kata vinegar berasal dari bahasa Perancis yaitu vin dan aigre. Vin mempunyai arti
anggur (wine) sedangkan aigre berarti asam, maka vinegar berarti anggur yang
telah diasamkan (Prescott & Dunn, 1959). Vinegar merupakan cairan asam hasil
fermentasi yang telah banyak digunakan sejak tahun 1800-an sebagai bahan
tambahan atau penyedap masakan karena dapat memberikan citarasa dan aroma.
Ketajaman citarasa dalam vinegar disebabkan adanya asam asetat dan berbagai
senyawa ester yang terkandung di dalamnya (Adams, 1997).
Vinegar merupakan bumbu penyedap yang dibuat dari substrat yang mengandung
gula atau pati dengan fermentasi alkoholik dan kemudian dilanjutkan dengan
fermentasi asetat (Frazier & Westhoff, 1988). Menurut Salle (1961), vinegar dapat
dikelompokkan beradasarkan bahan pembentuknya, yaitu:
-
Cider vinegar, vinegar yang berasal dari sari buah-buahan seperti apel,
anggur, jeruk, pir, berri, dan lain sebagainya
-
Malt vinegar, vinegar yang berasal dari fermentasi biji-bijian yang
mengandung tepung seperti barley, rye, gandum, dan jagung
-
Wine vinegar, merupakan vinegar yang dihasilkan dari sari buah anggur.
-
Sugar vinegar, yaitu vinegar yang berasal dari bahan yang mengandung kadar
gula tinggi seperti sirup, molase, madu, dan sirup mapple, dan lain sebagainya
40
-
Spirit vinegar, berasal dari spirits atau alkohol yang berasal dari limbah
pembuatan bir oleh ragi atau berasal dari hasil destilasi yang telah diencerkan
atau proses denaturasi etil alkohol yang telah diencerkan
-
vinegar yang berasal dari sayuran yang mengandung pati seperti kentang atau
kentang manis namun pati pada sayuran tersebut telah dihidrolisis terlebih
dahulu menjadi gula.
Secara kimiawi, vinegar memiliki sifat-sifat berikut (Poultney, 1949) :
-
Biodegradable, karena vinegar merupakan asam organik ringan
-
Relatif bersifat non toksik sehingga aman untuk dikonsumsi
-
Tidak menghasilkan residu yang membahayakan.
Vinegar dibuat dengan dua langkah, yang pertama adalah fermentasi gula menjadi
etil alkohol dan yang kedua adalah oksidasi alkohol menjadi asam asetat. Langkah
pertama merupakan proses anaerob yang dilakukan oleh ragi, secara alami telah
terdapat pada bahan pembuatnya, atau dengan melakukan penambahan kultur ragi
yang memiliki kemampuan memproduksi alkohol seperti Saccharomyces
cerevisiae. Di antara langkah pertama dan kedua terdapat reaksi antara yang
menghasilkan sejumlah kecil produk akhir seperti gliserol dan asam asetat. Juga
terdapat beberapa substansi lain dalam jumlah kecil yang terbentuk dari substrat
selain gula seperti asam suksinat dan amil alkohol. Langkah kedua adalah oksidasi
alkohol menjadi asam asetat dengan reaksi aerob melibatkan bakteri asam asetat.
Senyawa antara juga dihasilkan dari reaksi kedua yaitu asetaldehid, maka pada
produk akhir ditemukan aldehid, aster dan asetoin dalam jumlah kecil. Bakteri
yang berperan dalam proses ini adalah bakteri asam asetat. Dalam Bergey’s
Manual of Determinative Bacteriology edisi ketujuh disebutkan bahwa terdapat 13
jenis bakteri pembentuk asam asetat, yaitu 7 jenis berasal dari genus Acetobacter
dan 6 jenis berasal dari genus Bacterium.
Aroma merupakan ciri khas yang dihasilkan dari pengolahan suatu substrat
menjadi vinegar, aroma dan rasa yang khas ini tergantung dari substrat atau bahan
baku pembuatnya. Aroma dan citarasa yang terandung di dalam vinegar
41
merupakan salah satu keunggulan yang membedakannya dengan larutan cuka
(asam asetat) yang dibuat secara sintetis.
II.2.8.1.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi Vinegar
Menurut Rosdyana (2004), terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan
dalam produksi vinegar karena dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas produk
yang diperoleh diantaranya :
1. Bahan mentah
Mutu vinegar sangat tergantung dari mutu bahan mentahnya (Poultney, 1949).
Buah-buahan yang digunakan harus sehat, bebas bahan pengawet dan bersih.
Sebelum diolah buah-buahan harus dicuci terlebih dahulu, karena buahbuahan merupakan sumber kontaminasi. Dengan pencucian maka jumlah
mikroorganisme yang terdapat pada kulit luar buah-buahan akan dapat
dikurangi. Mikroorganisme yang terdapat pada buah yang belum dicuci dapat
mencapai jutaan sel. Mikroorganisme tersebut dapat berasal dari tanah, air,
kotoran-kotoran, udara, binatang dan sebagainya yang menempel pada
permukaan buah-buahan. Apabila kondisi pertumbuhan dari mikroorganisme
yang menempel pada permukaan buah-buahan ini memungkinkan, maka
mikroorganisme-mikroorganisme ini akan cepat berkembangbiak sehingga
mencapai
jumlah
yang
jauh
lebih
banyak
dari
semula.
Adanya
mikroorganisme-mikroorganisme ini mungkin dapat mengganggu proses
fermentasi alkohol dan asam asetat (Waluyo, 1984).
Buah-buahan yang digunakan juga harus memiliki derajat kematangan yang
optimal. Buah-buahan yang derajat kematangannya tidak optimal yaitu dengan
kandungan glukosa yang rendah, dapat menghasilkan vinegar dengan kadar
asam asetat yang terlalu rendah (Waluyo, 1984). Vinegar yang diperoleh dari
sari buah apel (cider vinegar) di samping mengandung asam asetat 4 g setiap
100 mL (pada 20°C), juga mengandung sejumlah kecil alkohol, gliserol, esterester, gula invert, pentosa, garam-garam dan substansi lainnya. Substansisubstansi ini sangat besar peranannya dalam membentuk citarasa dari vinegar
(Waluyo, 1984 ).
42
2. Konsentrasi alkohol
Penambahan alkohol pada medium dapat meningkatkan keberhasilan proses
fermentasi (Prescott & Dunn, 1959). Alkohol pada konsentrasi 10 – 13%
secara cepat akan difermentasikan oleh bakteri asam asetat. Jika kandungan
alkohol dalam medium mencapai 14% atau lebih, maka alkohol tidak dapat
teroksidasi secara lengkap. Sebaliknya, jika konsentrasi alkohol yang
terkandung dalam medium kurang dari 2%, vinegar tidak dapat terbentuk
karena ester dan asam asetat yang dihasilkan akan segera teroksidasi. Hal ini
ditandai dengan hilangnya aroma serta rasa. Selain itu dapat pula terjadi
fermentasi lanjutan yaitu terbentuknya karbondioksida dan air dengan reaksi
sebagai berikut (Prescott & Dunn, 1959) :
CH3COOH + 2O2
2CO2 + 2H2O
3. Mikroorganisme dan jumlah kultur biomassa mikroorganisme / inokulum
Terdapat beberapa jenis mikroorganisme yang dapat memproduksi alkohol
dan asam asetat dengan hasil yang relatif sangat rendah, oleh karena itu perlu
dilakukan seleksi terhadap jenis-jenis mikroorganisme untuk fermentasi
sehingga bisa diperoleh produk vinegar seperti yang diinginkan. Pada tahap
fermentasi alkohol, biasanya ditambahkan kultur Saccharomyces cerevisiae,
karena mampu memproduksi alkohol secara optimal. Bakteri-bakteri yang
biasanya digunakan pada tahap fermentasi asam asetat adalah Acetobacter
aceti, A. pasteurianum, A. ascendense dan A. acetigenum (Adams, 1985).
Jumlah inokulum yang ditambahkan juga mempengaruhi produksi vinegar.
Diperlukan jumlah inokulum yang optimum untuk menghasilkan vinegar
dengan kualitas yang baik yaitu dengan konsentrasi asam asetat 4 g per 100
mL
(Frazier,
1988).
Pada
penggunaan
kultur
campuran
dilakukan
pengontrolan dengan rekayasa teknologi sehingga mikroorganisme yang
berperan adalah mikroorganisme yang diinginkan dan mampu menghasilkan
asam asetat.
43
Download