Prediksi Tingkat Kekeringan Propinsi Sulawesi Selatan Rosmini Maru’ dan Abdul Mollah Jaya2) 1) Dosen FM1PA Universitas Negeri Makassar 2) Dosen Faperta Universitas Hasanuddin Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui Tingkat Kekeringan daerah penelitian. Metode yang dipakai adalah perhitungan neraca air dengan metode Thornthwaite-Mather. Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh Tingkat kekeringan Sulawesi Selatan terdiri dan tiga kelas yakni tingkat kekeringan rendah di Gowa bagian utara, Bone bagian selatan, Pinrang bagian utara, Enrekang, Luwu Utara dan Luwu Timur. Sementara itu, indeks kekeringan tinggi tersebar pada wilayah Palopo, Sidrap, Wajo, Makassar, Takalar, Jeneponto, Bulukumba dan Selayar. Kata Kunci: Tingkat Kekeringan Abstract: This study aims to: Determine the level of aridity of the study area. The method used is the calculation of water balance with Thornthwaite-Mather method. Based on the research results obtained in South Sulawesi The level of aridity in South Sulawesi consists of three classes of low-level aridity in northern Gowa, Bone southern, northern Pinrang. Enrekang, North Luwu and Luwu East. Meanwhile, a high aridity index in the region spread Palopo, Sidrap, Wajo, Makassar, Takalar, Jeneponto, Bulukumba and Selayar. Keywords: Aridity Level Indonesia Sebagai daerah yang beriklim muson tropis memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan yang datang bergantian secara alamiah. Keadaan keduanya sangat ditentukan oleh kondisi meteorologis. Kondisi meteorologis yang tidak seimbang telah menyebabkan berbagai bencana berupa banjir besar yang ditandai dengan meningkatnya curah hujan yang sangat ekstrim dan biasanya dikenal sebagai badai LaNina. Kekeringan yang berkepanjangan dengan suhu yang cukup tinggi disebabkan oleh rendahnya suhu udara di Samudera Fasifik dan suhu udara atmosfer bagian bawah disebut sebagai badai El-Nino. Keduanya merupakan bencana yang sering terjadi terutama El-Nino yang telah beberapa kali melanda Indonesia. Kekeringan juga memicu terjadinya kebakaran hutan serta menyebabkan perubahan ekosistem antara lain hama belalang. seperti yang pernah terjadi di beberapa tempat yaitu di Halmahera, Kalimantan Timur, Sumatera, Pulau Sumba dan Sulawesi Selatan, masing-masing pada tahun 1990, 1997, dan 1998 (Maru,2001). Kekeringan (drought) adalah berkurangnya curah hujan yang cukup besar dan berlangsung lama yang dapat mempengaruhi kehidupan dan hewan pada suatu daerah dan akan menyebabkan berkurangnya keperluan hidup sehari-hari maupun untuk kebutuhan tanaman, terutama terjadi di daerah-daerah yang biasanya cukup untuk tujuan semacam itu Biro Cuaca Amerika Serikat (dalam Chow, 1964). Selanjutnya Chow (1964) menyatakan bahwa kekeringan dapat terjadi secara local maupun meluas yang meliputi beberapa bagian Negara, atau dengan kata lain bahwa istilah kekeringan mmempunyai konotasi yang berbeda pada berbagai tempat di dunia. Besarnya kekeringan di suatu daerah dirumuskan sebagai indeks kekeringan yang diperhitungkan berdasarkan besarnya curah hujan tahunan dengan besarnya evapotranspirasi potensial tahunan (Thornthwaite,1975). Berdasarkan data BMG bahwa pada tahun 2009 diketahui bahwa di Indonesia termasuk Sulawesi Selatan telah mengalami musim kemarau yang berkepanjangan dan bulan April 2009 hingga November 2009. Kejadian tersebut menyebabkan lahan pertanian tidak berproduksi bahkan sebagian mengalami gagal panen terutama pada wilayah pertanian lahan kering yakni sawah tadah hujan. Selain terjadinya gagal panen juga dapat memicu terjadinya ledakan hama belalang kembara pada wilayah-wilayah yang potensial untuk terjadi ledakan hama belalang. Besarnya kekeringan di suatu daerah dirumuskan sebagai indeks kekeringan yang diperhitungkan berdasarkan besarnya curah hujan tahunan dengan besarnya evapotranspirasi potensial tahunan (Thornthwaite, 1975). Menurut Hounam et al., (1975) penentuan indeks kekeringan bertujuan antara lain sebagai berikut: 1. Mengevaluasi kecenderungan iklim menuju keadaan kering atau tingkat kekeringan dan suatu daerah; 2. Memperkirakan kebutuhan air irigasi pada suatu daerah tertentu; 3. Mengevaluasi kekeringan pada suatu tempat secara local; 4. Melaporkan secara berkala perkembangan kekeringan secara regional. Indeks kekeringan di suatu daerah dapat diketahui melalui metode Palmer dan metode Thornthwaite. Kedua metode tersebut menggunakan pendekatan konsep neraca air (water balance). Thomthwaite (dalam Ilaco, 1985) mengemukakan bahwa apabila presipitasi sama dengan evapotranspirasi potensial sepanjang waktu, maka tidak akan terjadi kekurangan dan kelebihan air. Kondisi yang demikian tidak akan terjadi lembab dan kering, karena masukan dan kehilangan air selalu seimbang. Berdasarkan pengertian di atas, maka indeks kekeringan dirumuskan sebagai persentase besarnya perbandingan antara total kekurangan lengas tanah dengan total kebutuhan air atau evapotranspirasi potensial, yang keduanya diperhitungkan dalam jumlah tahunan (Thornthwaite dalam Ilaco, 1985). Menurut Thornthwaite dalam Ilaco (1985) ada tiga parameter indeks iklim yaitu moister indeks (Im), humidity indeks (Ih) dan aridity indeks (Ia). Perhitungannya dilakukan dengan neraca air. Neraca air dikembangkan oleh Thornthwaite dan Mather (1975). Meskipun metode sudah lama, namun konsepnya masih tetap digunakan hingga saat ini. Thornthwaite merumuskan indeks kekeringan sebagai berikut: Ia = D/PEX100% ………………………………(1) Keterangan: Ia = indeks kekeringan D = deficit PE = evapotranspirasi potensial terkoreksi Hasil perhitungan ini kemudian diklasifikasikan ke dalam 3 tingkat kekeringan yaitu: 1) sedikit atau tanpa kekurangan air, 2) tingkat kekurangan air sedang dan 3) tingkat kekurangan air berat (Tabel 1). Tabel 1. Tingkat Kekeringan Menurut Thomthwaite Indeks Kekeringan (%) Tingkat Kekeringan 0 - 16,7 Sedikit atau tampa kekurangan air 16,7 - 33,3 Tingkat kekurangan air sedang > 33,3 Tingkat kekurangan air berat Sumber: Ilaco,1985. Teknik neraca air merupakan salah satu aspek penting dalam hidrologi yang berguna dalam pemecahan berbagai masalah hidrologi baik secara teoritis maupun praktis (Sudibyakto, 1985). Melalui pendekatan neraca air ini memungkinkan kita untuk mengevaluasi sumberdaya air secara kuantitatif dengan segala perubahannya sebagai akibat pengaruh aktivitas manusia (Sokolov dan Chapman dalam Sudibyakto, 1985). Meraca air (water balance) secara umum adalah hubungan antara aliran masuk dengan aliran keluar di suatu daerah untuk suatu periode tertentu. Sudibyakto (1985) mengemukakan bahwa dalam perkembangannya timbul banyak persamaan neraca air seperti Persamaan Umum Hounem et a1., Persamaan air oleh Thomthwaite (Thomthwaite, 1975), persamaan air oleh Chang dan persamaan air lapang untuk keperluan irigasi oleh Doorenbos dan Proit. Namun demikian, yang paling banyak digunakan adalah persamaan neraca air oleh Thornthwaite, dengan rumus persamaan sebagai berikut: P = Et+ds+Ro ……………………………………. (2) P Et : presipitasi (curah hujan); : evapotranspirasi; ds Ro : perubahan cadangan air dalam tanah; : limpasan. Berdasarkan rumus tersebut, maka diketahui bahwa neraca air di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh curah hujan, evapotranspirasi dan perubahan cadangan air dalam tanah. Perubahan cadangan air dalam tanah ini sangat tergantung pada Water Holding Capacity (WHC). Menurut Thomthwaite (1957) bahwa WHC dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: tekstur tanah dan vegetasi penutup. Kedua faktor tersebut bersama-sama menentukan besarnya lengas tanah tertahan. Jenis vegetasi yang sama, apabila tumbuh pada jenis tanah yang berbeda, akan memberikan kedalaman perakaran yang berbeda. Akar tanaman pada jenis tanah yang berbeda, dalam hal ini cenderung akan mempersulit nilai air tersedia, menyebabkan pengukuran jumlah air yang tersedia dalam tanah tidak selalu ada di banyak tempat. Dengan demikian, diperlukan suatu cara pendugaan nilai itu secara tidak langsung (Sudibyakto, 1985). Lebih lanjut dijelaskan bahwa cara pendugaan tersebut memerlukan data tekstur tanah dan liputan vegetasi (bentuk penggunaan lahan). METODE PENELITIAN 1. Alat Penelitian Alat yang dipakai dalam penelitian ini juga terbagi atas dua, yaitu alat yang dipakai di lapangan dan alat dipakai di laboratorium adalah sebagai berikut. Alat yang dipakai di lapangan terdiri atas: soil test kit, kantong plastik, alat tulis menulis dan kamera. Sementara alat yang dipakai di laboratorium antara lain: computer, tekstur tanah metode pipet dengan alat: gelas piala (beaker glass) 2 liter, gelas ukur I liter, ayakan 50 µ, 100µ, 200µ, dan 500 µ, bak peredam, termometer, pipet 50 ml, cawan porselin, oven stopwatch dan timbangan analitik, serta bahan organic ditentukan dengan metode Walkey dan Black, dengan alat: neraca analisis ketelitian hingga 0,1 mg, labu ukur 100 ml, alas lunak (beledu), Erlenmeyer 50 ml, buret 25 ml atau 50 ml, dengan pembagian garis 0,05 ml. 2. Variabel penelitian Variabel yang akan diukur dalam penelitian ini, sebagai berikut. a. Indeks kekeringan, meliputi: curah hujan, temperatur udara, lengas tanah (kandungan air dalam tanah), Penggunaan lahan. dan tekstur tanah. b. Penggunaan lahan (land use) atau penutup lahan (land cover) termasuk jenis tanaman yang ditanam. c. Pola pengelolaan lahan, meliputi:Pola penanaman atau sistem lahan,Pemanfaatan lahan pada musim hujan dan musim kemarau. 3. Tingkat Kerawanan hama belalang kembara (Locusta spi yakni: agihan secara keruangan (spasial) dan agihan secara temporal. 3. Populasi dan sampel Daerah penelitian adalah Propivinsi Sulawesi Selatan, Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling pada satuan analisis. 4. Penelitian ini dilakukan meliputi beberapa tahapan, yaitu: a. Tahap Awal Pada tahap ini dilakukan penyusunan proposal pelaksanaan penelitian yang tentunya didahului dengan studi kepustakaan dan observasi awal dan mengumpulkan beberapa data awal yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan instrument penelitian peta stasiun hujan, peta rupa bumi, peta penggunaan lahan dan peta jenis tanah sulsel. b. Pelaksanaan Penelitian Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini. sebagai berikut: Peta Rupa Bumi Sulawesi Selatan skala 1: 250.000 tahun 200; Peta Tanah Sulawesi Selatan skala I : 100.000 tahun 2008; Peta Penggunaan Lahan Sulawesi Selatan skala 1: 100.000 tahun 2008; Data Posisi Lokasi Stasiun Hujan; Data hujan selama ±10 tahun (1999-2008); Data temperatur udara selama ±10 tahun (1999-2008); Data arah angin selama ±10 tahun (1999-2008); Data kelembaban udara selama ± 10 tahun (1999-2008); Peta Administrasi Sulawesi Selatan skala 1: 250.000 dan informasi penggunaan lahan tahun 2008. Data primer diperlukan untuk pengenalan kondisi wilayah penelitian; data vegetasi penutup, untuk kedalaman perakaran. Pengambilan profil tanah untuk menentukan tekstur dan WHC; Data ketinggian tempat; Data pola pengelolaan lahan; Data jenis tanaman pertanian; Data sistim/pola tanan tanaman pertanian; Data serangan hama belalang (frekuensi serangan, luas serangan serta daerah-daerah yang pernah terserang hama belalang kembara. c. Tahap Analisis Data Analisis SIG (Sistem Informasi Geografis). Angin. curah hujan, suhu udara, penggunaan lahan, vegetasi penutup, tekstur tanah dan lengas tanah dianalisis untuk menentukan indeks kekeringan dengan menggunakan metode Thornthwaite. Penentuan Tekstur tanah dilakukan dengan tes langsung di lapangan dan uji laboratorium. Analisis tekstur tanah di laboratorium untuk mendapatkan nilai WHC. Selanjutnya faktor iklim antara lain suhu udara, curah hujan dianalisis dengan WHC untuk mendapatkan nilai Defisit (D). Setelah itu dimasukkan ke dalam formula Ia = 100Dm, spenanaman tanaman dan pengelolaan lahan pertanian Data vegetasi penutup, suhu udara serta data ketinggian tempat. data pola pengelolaan lahan, data sistim penanaman tanaman pertanian, serta data daerah-daerah yang pernah terserang hama belalang kembara, yang telah dikumpulkan di lapangan baik melalui pengukuran langsung ataupun wawancara di input dengan menggunakan perangkat keras komputer untuk mengetahui wilayah yang memiliki potensi ledakan populasi hama belalang kembara. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Letak dan Luas Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan yang beribukota Makassar terletak di 0° 12’- 8° Lintang Selatan (LS) dan 1 16°48’ - 122°36’ Bujur Timur (BT).dengan batas wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di Utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di Timur, Selat Makassar di Barat, dan Laut Flores di Selatan. Luas wilayahnya 45.519,24 km2 meliputi 20 Kabupaten dan 3 Kota. 2. Karakteristik Satuan Lahan Pemetaan yang digunakan sebagai unit analisis untuk pengambilan sampel tanah adalah satuan lahan. Pembuatan dan penyusunan peta satuan lahan dilakukan dengan cara tumpang susun dari peta tematik. Peta tematik yang digunakan adalah peta tanah skala I 100.000 tahun 2009 yang dikeluarkan oleh BP DAS Jeneberang Walanae Sulawesi Selatan daerah penelitian terdiri dari dystropepts, eutrandepts, fuvaquents, haplustults, hunitropepts, paleudults, rendolls, sulfaquents, fropaquepts, tropofluvents, tropohemists, tropohumults, tropopsamments, troporthents, troposaprists, tropudalfi, tropudults, ustipsamments, ustropepts, unidentificated. Peta penggunaan lahan yang dikeluarkan oleh BP DAS Jeneberang Walanae Sulawesi Selatan pada tahun 2009 dengan skala 1: 100.000 daerah penelitian terdiri dan beberapa penggunaan lahan yaitu hutan lahan kering, hutan mangrove, hutan rawa, hutan tanaman industri, pelabuhan udara atau laut, pemukiman, perkebunan, pertambangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering bercampur semak. rawa, savana, sawah, semak/belukar, tambak, tanah terbuka, transmigrasi, dan tubuh air. Hasil tumpang susun menggunakan sofware mapinfo menghasilkan 197 satuan lahan. 3. Tingkat Kekeringan Penentuan tingkat kekeringan yang didasarkan atas kelebihan atau kekurangan air suatu wilayah path setiap stasiun hujan diperhitungkan dalam bentuk neraca hidrologis. Data curah hujan dan data suhu udara merupakan data utama pada perhitungan ini, selain tekstur tanah dan penutup lahan. Peta jenis tanah dan peta penggunaan lahan kemudian di overlay menjadi peta satuan lahan. Pemberian bobot/harkat berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan dan di analisis di laboratorium. Nilai dan masing olaan masing karakteristik satuan lahan secara bersama-sama memberikan karakteristik masing-masing satuan lahan dan merupakan pencerminan dan tingkat potensi satuan lahan untuk terjadinya kekeringan. Menurut klasifikasi Thorenthwaite-Mather maka indeks kekeringan tersebut berada pada kategori sedang. Apabila dikaitkan dengan karakteristik iklim maka diketahui tingkat kekeringan tersebut dipengaruhi oleh rerata curah hujan wilayah yang hanya berkisar antara 100 sampai dengan 200 mm perbulan, dengan suhu rerata perbulan 270 sampai dengan 2 9°C. hal tersebut pada umumnya terjadi pada wilayah-wilayah pertanian lahan kering antara lain kebun campuran, tegalan dan sawah tadah hujan. Berdasarkan klasifikasi Thorenthwaite, maka indeks kekeringan tersebut tergolong path tingkat kekeringan tinggi atau kekurangan air berat. Hal tersebut terjadi pada wilayah DAS Nolling, Padang Sappa dan sekitarnya (Palopo), Manisa, Pangkajene (Sidrap), Takalar, Bulukumba, Selayar, Pangkep, Maros, Barru, dan Jeneponto. Khusus untuk Jeneponto, kekeningan sangat dipengaruhi oleh kondisi geomorfologisnya yang searah dengan arah angin musim timur barat, serta merupakan daerah bayangan hujan dan gunung Lompobattang sehingga curah hujan pada wilayah ini sangat rendah sehingga tingkat kekeringan wilayah Jeneponto sangat tinggi (gambar 1 dan tabel 1). Sementara itu, pada wilayah seperti Takalar, Makassar, Pangkep, Wajo, Palopo sening dipengaruhi oleh curah hujan yang rendah. Faktor lainnya adalah penggunaan lahan yang sebagian besar sudah merupakan lahan terbuka, terutama pantai barat yang semakin lama semakin dipadati oleh penduduk, sehingga banyak terjadi alih pungsi lahan, dulunya lahan mangrove berubah jadi tambak, lahan pertanian berubah jadi lahan pemukiman dan lain-lain. KESIMPULAN Tingkat kekeringan propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari tiga kelas yakni 1) tingkat kekeringan rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Tingkat kekeringan rendah terjadi pada 15 stasiun hujan yang tersebar pada wilayah Gowa bagian Utara, Bone bagian Selatan, tingkat kekeringan tinggi tersebar pada wilayah Palopo, Sidrap, Wajo, Makassar, Takalar, Jene-ponto, Bulukumba dan Selayar. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini, terutama kepada: Dirjend Dikti Depdiknas bantuan biaya yang diberikan sehingga penelitian ini dapat dilakukan. Selanjutnya terima kasih kepada Rektor UNM, Ketua Lembaga Penelitian UNM beserta jajarannya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten/Kota se Sulawesi Selatan yang telah memberikan izin penelitian dan sekaligus memberikan pelayanan administrasi dan data-data penelitian sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. DAFTAR RUJUKAN Chow, V.T. 1964, “Handbook of Apilied Hydrology”. Mc Graw Hill Book Company, New York. Haunam, C.E., J.J. Burgos, M.S.Kalik, W.C. Palmer and J.Rodda. 1975. Drought and Agricultural. Technical Note No. 138. WMO No. 329. Geneva. ILACO B.V., 1985, “Agricultural compendium For Rural Development In The Tropics and subtropics “. Elsevier Science Publishing Company TNC, Amsterdam. Maru, 2001, “Evaluasi Tingkat Kekeringan Daerah Ledakan Hama Belalang Kembara (Locusta sp) di Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur”. Thesis, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sudibyakto. 1985, “Evaluasi Kekeringan di Daerah Kedu Selatan dengan Menggunakan Indeks Palmer”. Thesis. Yogyakarta. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Thornthwaite, C.W. and J.R. Mather. 1957, “Introduction and Tables for Computing Potential Evapotranspiration and The Water Balance”. Pubi. In clim?. Vol. XNo. 3 certerton. New Jersey.