MASJID DAN TRANSFORMASI SOSIAL ETIS (Upaya Pemberdayaan Masjid Dalam Kehidupan Sosial) Amril Mansur1 UIN SUSQA Riau Abstract From the perspectives of norms and history, mosques are seen as a medium to regulate people’s life in obeying the principles of either individual or social ethics. In relation to this status, the existence and the roles of mosques are inevitably associated with its capacity in responding various social issues faced by Islamic communities. This essay will discuss the attempts to enhance the roles of mosques, particularly due to the current attitude that sees mosques merely as the centre for regular and ceremonial religious activities. In regard to this problem, an improvement in the level of management and human resources of mosques is necessarily required. Keywords: Mosques, Ethics, transformation I. PENDHULUAN A. Masjid dari Normativitas ke Historisitas : Sebuah Penegasan Eksistensialitas dan Fungsionalitas Masjid merupakan wadah strategis bagi pembentukan watak Muslim dalam menghadapi realitas kehidupannya, tidak saja dalam konteks pembentukan perilaku etis normatif, tetapi juga dalam upayanya meraih kemajuan-kemajuan lain dalam hubungannya dengan kebutuhan kehidupan di dunia. Namun sayangnya masjid sebagai lembaga penumbuhkembangan umat saat ini peranannya terasa kurang maksimal, terutama bila dilihat dari perspektif normativitas keberadaannya dan historisitas kemunculannya. Dari sudut normativitas keberadaannya, masjid paling tidak dipahami sebagai lembaga sakral, karena sajada sebagai asal katanya menunjukkan makna tunduk dan merendahkan diri kepada-Nya, sedemikian rupa dari asal kata seperti ini menjadikan masjid bermakna sebagai tempat tunduk dan merendahkan diri kepada Allah sebagai Khaliq. Diakui pula bahwa kata sajada mengandung dua kandungan makna, pertama kandungan keterpaksaan atau begitu adanya, sedangkan kedua mengandung adanya semacam usaha. Untuk yang pertama menggambarkan bahwa semua makhluk seperti manusia, hewan, tumbuhtumbuhan, semua benda tanpa kecuali tunduk begitu adanya kepada Allah SWT, sedangkan yang kedua kata sajada hanya ditujukan pada manusia, yakni perintah tunduk dan beribadah pada Allah SWT kapanpun ia berada, sedemikian rupa menjadikan alam jagad raya ini merupakan tempat sajada bagi manusia. Bila ditelaah kata sajada ini maupun kata turunannya di dalam al-Qur'an, ditemukan sebanyak sembilan puluh empat buah pada berbagai surah. Dan bila ditelaah tentang kandungan 1 Dosen, Fak. Sain, UIN SUSQA Riau. Hp. 081537544818 pesan dari ayat-ayat yang memuat sajada dan kata jadiannya ini paling tidak dapat dikelompokkan dalam lima kategori, pertama sebagai klaim Allah SWT akan diri-Nya sebagai Dzat yang berhak untuk disujudi oleh seluruh makhluk-Nya dan tiada yang lainnya, di sini Allah SWT menjadikan fenomena alam dan sosial sebagai bukti bahwa ia patut untuk disujudi, kedua sebagai kata yang dipakai oleh Allah SWT untuk memerintah para Malaikat dan Iblis untuk bersujud kepada Adam, namun Iblis menolaknya, ketiga Kisah Bani Israil untuk tunduk ketika memasuki tempat tertentu, keempat sebagai perintah kepada siapa saja, juga menerangkan bahwa sujud itu dengan khidmat, kelima menerangkan bahwa alam jagad raya ini adalah tempat sajada. Dari karakteristik muatan kata sajada atau jadiannya yang ada di dalam al-Qur'an yang menarik adalah pertama; ternyata perintah sajadu kemudian diiringi dengan beribadah hanya dimuat dalam satu surah sedangkan objek sajadu dimuat dalam beberapa ayat al-Qur'an yang mengandung makna sebagai klaim Allah SWT bahwa Dialah yang berhak untuk disujudi oleh seluruh makhluk-Nya. Kedua; fenomena alam dan sosial dijadikan dasar pemikiran bagi manusia untuk melaksanakan sajada kepada-Nya, ketiga pengingkaran Iblis akan perintah Allah untuk bersujud kepada manusia menjadikan komunitas mereka tersingkir dari makhluk Allah SWT, terakhir keempat alam jagad raya termasuk fenomena di dalamnya ini ternyata merupakan tempat dan sarana sujud bagi makhluknya, khususnya manusia untuk bersujud kepada-Nya. Dari muatan makna kata sajada dan jadiannya seperti diungkap al-Qur'an di atas dapat dipahami bahwa perbuatan sajada kepada Allah SWT sangat terkait dengan perenungan dan pengapresiasian dan pengrefleksian akan fenomena alam dan sosial. Dalam hal ini dapat dipahami pula bahwa perenungan akan segala sesuatu akan fenomena alam dan sosial dalam kehidupan manusia, apakah dalam keteraturannya, sehingga menghasilkan kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan manusia, ataupun dalam gonjang-ganjingnya sehingga mendatangkan problema dalam kehidupan manusia, merupakan bagian dari aktivitas sajada. Dalam konteks pemahaman seperti ini dapat dikatakan pula bahwa kandungan aktivitas dalam sajada ternyata tidak hanya sebatas aktivitas ibadah yang hanya tertuju langsung kepada-Nya, seperti shalat, sujud syukur, tilawah dan seumpamanya, tetapi ternyata aktivitas dalam sajada sangat luas dan beragam asalkan tetap dalam kerangka pemikiran terhadap fenomena alam dan sosial sebagai ciptaan-Nya. Dari perspektif yang kedua, misalnya, pendirian masjid Quba yang didirikan olah Muhammad SAW sebagai masjid pertama dalam catatan perjalan sejarah umat Islam dimaksudkannya sebagai lembaga penyebaran dan pembentukan strategi umat dalam kancah kehidupan religio-politik di samping pembenahan dan penyempurnaan keagamaan umat. Dan pada tahun-tahun kehidupan Nabi Muhammad SAW di Madinah sebagai pemimpin umat sekaligus sebagai Rasul, diakui bahwa hampir semua kebijakan-kebijakan fatwanya dikeluarkan di masjid, singkatnya dapat dikatakan bahwa masjid benar-benar menjadi lembaga yang amat strategis dalam pengembangan umat di masa Rasulullah SAW dan juga pada masa era Islam klasik, demikian pula pada hampir seluruh wilayah Islam dalam masa konversi utamanya di nusantara. Bila muatan makna sajada seperti yang diungkap di atas dikaitkan dengan kata masjid sebagai kata jadian dari kata sajada tentunya masjid tidak lagi dilihat semata tempat sajada dalam pengertian melaksanakan ibadah shalat dan teman-temannya seperti selama ini lazimnya dilakukan di masjid, tetapi lebih dari itu masjid juga dituntut untuk melakukan kajian-kajian akan fenomena alam dan sosial dalam konteks rekonstruksi sosial guna terwujudnya masyarakat yang baik dalam kerangka kepatuhan kepada Allah SWT. Namun ironisnya dalam kehidupan empiris kelaziman umat Muslim saat ini, kecuali pada daerah dan kelompok tertentu, aktivitas masjid lebih pada pelaksanaan ibadah-ibadah yang bersentuhan dengan masyarakat, itu pun dilakukan dalam bentuk rutinitas dan seremonial yang juga tetap berorientasi pada pembentukan keshalihan individu, sehingga kurang menampakkan fungsionalitas rekonstruktif dan tranformatifnya bagi kebaikan umat. Pada hal bila dilihat dari apa yang dilakukan Muhammad SAW terhadap masjid, terlihat bahwa bagi beliau masjid menjadi lembaga yang amat strategis bagi penumbuhkembangan keshalehan individual dan keshalehan sosial. Untuk peranan masjid yang terakhir inilah sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berperan sebagai pemimpin religion-politik bagi umat Muslim di samping sebagai pembawa risalah-Nya. B. Transformasi Sosial Etis: Pemberdayaan Masjid ke Kebaikan Sosial Dimaksud dengan transformasi sebagaimana yang dikemukakan adalah penekanan pada dimensi keadilan dalam setiap proses perubahan sosial, yakni pengubahan sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat itu sendiri ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emasipatoris. Sedangkan dalam perspektif teologi menurut Moeslim Abdurrahman tranformasi adalah semacam gerakan kemanusiaan yang mampu menghantarkan kehidupan sosial yang sederajat di hadapan Allah SWT, suatu gerakan transformatif yang menumbuhkan kepedulian terhadap nasib sesama dan aksi solidaritas. Gerakan atau pemikiran transformatif diakui memang belum populer dalam keberagaman sekalipun paradigma pemikirannya pada dasarnya menginginkan terjadinya perubahan sosial yang sangat signifikan dalam kehidupan umat, terutama dalam kehidupan sosial mereka yang selama ini ditandai dengan ketimpangan dan ketidakadilan. Terlebih lagi ada kesan agama saat ini dinilai pada satu aspek tidak lagi mampu melahirkan kebaikan sosial etis, memberantas ketidakadilan dan dehumanisasi sebagai akibat modernisme dan pembangunan. Dalam sosiologi, agama memang bisa saja berfungsi legitimatif, tapi semestinya dapat pula berfungsi kontrol secara kritis asalkan agama independen dari struktur yang mungkin akan menjeratnya. Pada fungsi pertama memang agama diinginkan sebagai pionir perubahan dan melegitimasinya, namun tidak jarang pada fase selanjutnya agama terjebak dalam struktur yang bisa jadi sangat tidak lagi membawa kebaikan sosial bagi umatnya lantaran perjalanan historisitasnya yang pincang sebagai akibat perubahan sosial. Untuk tetapnya agama benar-benar berpihak pada kebaikan sosial umatnya maka pada fungsi kedua ini sejatinya terus dihidupsuburkan, namun sayang terlupakan oleh banyak sebagian agamawan, pada hal kualitas keimanan kita juga diukur dari kualitas kepedulian kita terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang telah merajalela dalam kehidupan sosial, bahkan tidak jarang ketimpangan dan ketidakadilan sosial ini merupakan hasil tangan kita sendiri lantaran kita terlalaikan oleh fungsi legitimatif agama. Ketidakpedulian keberagamaan sosial kita bisa saja muncul tanpa kita sadari lantaran kita terikat dengan kepentingan internalitas dan subjektivitas ideologis sebagai akibat kuatnya cara pandang kita terhadap fungsi legitimatif agama seperti disebutkan di atas. Dalam konteks seperti ini boleh jagi seorang pemimpin agama misalnya cenderung berperilaku agama lebih dekat dengan saudara-saudara in group feeling dari pada keteguhan memegang prinsip-prinsip keadilan sosial yang ditekankan oleh ajaran agama. Boleh jadi pula keberagaman kita telah dibentuk oleh jebakan struktur priomordialitstik sejarah keagamaan kita. Akibatnya dasar-dasar perilaku etis keagamaan kita tidak lagi peka memandang ketidakadilan dan penindasan dalam kehidupan sosial yang terjadi di luar diri kita, atau di luar sahabat kita. Sedemikian rupa menjadikan kita dengan serta merta tidak menaruh kepedulian akan ketimpangan sosial di luar diri kita dan akan masih banyak lagi perilaku subjektivitas keberagaman kita akan muncul manakala kita tidak menempatkan fungsi kritis agama dalam perilaku keberagaman kita. Sehubungan akan pentingnya fungsi kritis agama seperti diungkap sekilas di atas, menjadikan pemikiran dan aktivitas transformasi agama sangat mutlak dihidupsuburkan. Hal ini dikarenakan tidak saja agar kita tidak terjebak dalam perilaku keberagaman yang statis dan subjektif, tetapi lebih dari itu pemikiran transformasi agama akan dapat menggiring pada kepedulian akan fungsionalisasi sosial agama terus hidup dalam diri kita yang secara mendasar sangat ditekankan dalam ajaran agama kita. Untuk hal ini patut dicatat di sini akan pendapat M. Dawam Raharjo, seorang peneliti sosial agama, menyebutkan seperti yang dikutip oleh Budhy Munawar-Rahman bahwa al-Qur'an sangat mendorong dan merangsang kita berfikir sosiologis yang emansipatoris melalui pendekatan analisis historis. Demikian pula yang digagas oleh Kuntowijoyo akan pentingnya ilmu sosial profetik yang pada dasarnya tidak lain adalah untuk lebih menfungsionalisasikan peranan sosial keagamaan ditengah-tengah umat, terutama dalam peranan kritik agama terhadap kondisi sosial umat yang sangat ditelantarkan dalam pemikiran dan aktivitas perilaku keberagamaan. Menurut Kuntowijoyo ilmu sosial profetik adalah ilmu sosial yang tidak hanya menyelidiki dan mengubah fenomena sosial, tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk siapa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Ilmu sosial ini menurutnya dibangun di atas tiga pilar yang diambilnya dari surah Ali Imran ayat 110, yakni amar ma'ruf (humanisasi) nahi mungkar ( liberasi) dan tukminu billah (transedensi). Dari uraian singkat di atas bahwa maksud akan makna mesjid dan transformasi sosial etis seperti yang tertera pada judul di atas adalah upaya pemahaman dan apresiasi terhadap masjid yang benar-benar dapat memfungsionalisasikannya dan mengeksistensikannya di tengah-tengah kehidupan agar kondisi sosial umat menjadi lebih baik. Peran masjid seperti ini sangat memungkinkan mengingat masjid sebagai lembaga keagamaan dan keberagaman hidup di tengah-tengah masyarakat, demikian pula sebaliknya masyarakat hidup ditengah-tengah masjid seperti yang pernah diperankan masjid pada masa kehidupan Rasulullah SAW dan perjalanan kesejarahan Islam awal. Posisi masjid yang transformatif inilah yang akan sangat memungkinkan perjalanan kehidupannya dapat berfungsi di tengah-tengah umatnya sebaliknya umatnya akan mengeksistensialitaskan jati diri masjid sebagai lembaga rekaya sosial yang humanis, liberatif dan transendentif. Posisi masjid seperti ini akan terwujud manakala apresiasi umatnya terhadap agama tidak lagi sebatas pemupukan keshalehan individual, tetapi juga sebagai penumbuhkembangan keshalehan sosial di mana masjid memiliki arti yang amat strategis untuk mewujudkan hal itu. II. MASJID: DARI KESADARAN ETIS INDIVIDUAL KE KESADARAN ETIS SOSIAL VIS A VIS Berangkat dari konsep normativitas akan masjid dan historisitas faktual yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya, menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW terhadap masjid, ternyata tidak sebatas pada pemaknaan sajada yang formal dan sederhana sebagaimana yang lazim dipahami dan diapresiasi oleh masyarakat Muslim saat ini, yakni sebagai tempat shalat dan melaksanakan aktivitas-aktivitas rutin yang lebih teraksentuasi pada penumbuhkembangan keshalehan individual, tetapi lebih dari itu masjid dijadikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai lembaga penumbuhkembangan keshalehan sosial dalam rangka menciptakan masyarakat religion-politik menurut tuntunan ajaran Islam. Sedemikian rupa menjadikan masjid pada masa ini betul-betul berperan sebagai lembaga rekayasa sosial sesuai dengan tuntunan ajaran agama dalam dimensi kekiniannya pada masa itu. Dalam hubungan seperti ini juga dapat dipahami bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW masjid benar-benar telah menjadi milik masyarakat Muslim, karena memang masjid mampu merekonstruksi dan mentransformasi masyarakat Muslim pada saat itu. Sehingga terciptalah generasi dan masyarakat masjid. Artinya masjid memberikan kontribusi perbaikan dan pengembangan masyarakat Muslim pada masa itu, baik mikro maupun makro. Dengan demikian masjid betul-betul berada pada posisi pusat penataan budaya, pendidikan, ekonomi dan segala bentuk tatanan sosial masyarakat pada masanya. Dalam konteks seperti inilah dapat dikatakan bahwa keberhasilan Nabi Muhammad SAW memfungsionalisasikan dan mengeksistensialisasikan masjid dengan masyarakatnya, sedemikian rupa menjadikan masjid bagian dari kehidupan umat, sebaliknya umat menjadi bagian pula dari masjid. Dalam konteks masyarakat Muslim kekinian, kelihatannya adanya "keterasingan dan pereduksian" akan eksistensialitas dan fungsionalitas masjid, baik dari masjid kepada masyarakatnya, maupun dari masyarakat terhadap masjidnya. Keterasingan masjid dari masyarakatnya terlihat misalnya dari sisi kuantitas kunjungan shalat lima waktu berjamaah ke masjid dari masyarakatnya, menunjukkan sangat memprihatinkan bila dibanding dengan jumlah Muslim yang ada disekitarnya, atau aktivitas masjid yang sangat monoton dalam pelaksanaan ibadah dan penyelenggaraan aktivitas keagamaan lainnya. Demikian pula dari sisi kualitas akan aktivitas yang dilakukan di masjid oleh jama'ahnya, terlihat adanya kesenjangan perilaku yang dibicarakan di masjid dengan dinamika faktual di luar masjid oleh masyarakatnya. Dari paparan singkat di atas, suka ataupun tidak, tentunyan apresiasi kita menuntut semacam kesadaran rekontruksi-historis terhadap masjid. Dimaksudkannya kesadaran seperti ini adalah semacam penataan kembali kesadaran kita akan makna eksistensialitas dan fungsionalitas masjid dalam dinamika kehidupan umat. Kesadaran seperti ini akan semakin mendesak manakala kita menyadari bahwa telah terjadi perubahan sosial dalam kehidupan umat yang tidak dapat dihentikan. Sebagai contoh misalnya ada perubahan sosial yang mendasar antara masyarakat praindustri dan industri, masyarakat desa dan kota dan seterusnya. Ketidaksamaan karakter sosial pada masyarakat seperti ini misalnya tampil dalam bentuk perbedaan yang diametris. Untuk masyarkat praindustri ditandai dengan masyarakat konkrit, hemogen, riil dan tergantung pada penguasa, sedangkan masyarakat industri ditandai dengan masyarakat yang abstrak, pluralis dan penguasa yang tergantung pada masyarakat. Dalam aspek akhlak dan interaksi sosial, pada masyarakat praindustri atau petani, akhlak mereka sangat tergantung pada perorangan sedangkan masyarakat industri, akhlak mereka bersifat kolektif. Ini berarti pada masyarakat praindustri, akhlak mereka bersifat kolektif. Ini berarti pada masyarakat praindustri menekankan perilaku perorangan, sedangkan pada masyarakat industri menekankan perilaku kolektif dan institusional karena diatur oleh sistem dan setiap orang dituntut berperan dalam sistem yang abstrak dan impersonal. Sedemikian rupa pada masyarakat industri kepentingan semisal keimanan, ketaqwaan dan perilaku moral etis sangat tergantung pada sistem. Memperhatikan karakter sosial pada dua masyarakat seperti digambarkan di atas, tentunya fungsionalisasi dan eksistensialisasi masjid akan berbeda sesuai dengan karakter umat dimana masjid itu berdiri. Pada masyarakat kota atau urban, disebut sebagai masyarakat industri, tentunya peran dan fungsi masjid tidak lagi sebatas pembentukan keshalihan individual agar bengkitnya kemauan dan keinginan orang perorang berprilaku berdasarkan nilai-nilai agama tetapi yang juga sama pentingnya adalah penciptaan suatu sistem yang dapat menciptakan keshalihan sosial sehingga semua orang berperan dalam melaksanakan sistem tersebut sebagai karakter dari masyarakat seperti ini pada masyarakat seperti ini tentunya semua perilaku KKN dan variannya tidak lagi dapat dihujat dengan mengeluarkan semisal kata dosa, dikutuk oleh Allah SWT, tidak selamat di dunia dan seumpamanya dengan menghamburkan dalil-dalil normatif, tetapi yang diperlukan adalah menciptakan sebuah sistem yang benar-benar dapat mencegah seseorang pejabar untuk seenaknya melakukan penggelembungan perutnya dan konco-konconya, atau membuat sistem atau menginterpretasikan sistem demi kepentingan kekuasaannya. Tegasnya, sehubungan fungsionalisasi dan eksistensialisasi masjid tentunya perubahan dan dinamika sosial yang terjadi di tengah-tengah umat, akan menuntut kita pula untuk merubah apresiasi kita terhadap masjid seiring dengan perubahan sosial dan dinamika sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, sehingga menjadikan masjid benar-benar menjadin bagian dari umatnya dan umatnya menjadi bagian dari masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Tegasnya, ketika kita menginginkan eksistensialisasi masjid, berarti kita melakukan pemahaman rekontruksi empiris akan masjid seiring dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Tanpa ini, masjid hanya sebatas media sakral tanpa peranan sosial dalam menampilkan umatnya kekehidupan sosial yang diinginkan. Masjid akan terus tampil sesuai dengan kehidupan sosial masyarakatnya. Sebaliknya masyarakatnya akan berperilaku adaptif dengan misi masjid. Untuk dapat mencapai peranan masjid seperti yang diinginkan di atas, maka paling tidak perlu dilakukan rekontruksi makna terhadap peran masjid dalam masyarakat yakni. 1) pendekatan strukturalisme sistem dan 2) pendekatan kesadaran perubahan faktual. Dimaksudkan dengan strukturalisasi sistem adalah peranan pada keseluruhan dan totalitas serta mempelajari unsur-unsur yang membentuk jaringan yang menghubungkan unsur-unsur tersebut. Pada strukturalisasi sistem ini sangat ditentukan bahwa fungsionalisasi dan eksistensialisasi masjid sangat terkait tidak saja dengan ibadah rutin yang selama ini dilakukan di masjid sangat terkait tidak saja dengan ibadah rutin yang selama ini dilakukan di masjid, tapi juga sangat terkait dengan kebaikan sosial umat. Keterkaitan kebaikan seperti ini, memang merupakan watak dari apa yang disebut dengan strukturalisme, baik itu keterkaitan interconectidness, logical consequences, innet structuring capacity maupun binary oposition. Kaitannya dengan peran masjid sebagai lembaga perbaikan umat tentunya masjid dicarikan keterkaitannya dengan kebaikan sosial dalam suatu sistem yang dapat melahirkan kebaikan sosial umatnya. Contoh konkrek untuk hal seperti ini misalnya ibadah shalat yang dilakukan semestinya tidak hanya diapresiasi sebatas memenuhi kewajiban kategori fiqhi tetapi juga terikutkan kewajiban sosial dengan jalan memberantas kemiskinan dan kelaparan di tengahtengah umat secara sistematis dan strukturalis. Di sini masjid perlu merumuskan langkahlangkah konkrik yang produktif bagi pemberantasan kemiskinan umat di sekitarnya, bukan dalam bentuk pemberian karitas belas kasih si kaya terhadap simiskin yang konsumtif sebagaimana yang lazim dilakukan selama ini. Dimaksudkan dengan pendekatan kesadaran perubahan faktual adalah menyadari bahwa akan selalu terjadi perubahan dalam kehidupan. Kesadaran seperti ini menuntut kita untuk selalu mengaitkan kesadaran individu yang telah tertanam ke kesadaran sosial. Dari perspektif strukturalistik di atas, pendekatan kesadaran perubahan faktual dapat dikaitkan sebagai pembentukan unsur-unsur jaringan kesadaran individual yang menyadari bahwa perubahan faktual tidak dapat dipisahkan dari kesadaran individu, sehingga perubahan faktual menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial yang akan terus berubah. Sedemikian rupa menjadikan masyarakat sebagai unsur-unsur jaringan kesadaran individual akan selalu terikutkan kesadaran keagamaan dan keberagaman. Dalam pemaknaan seperti ini, tentunya mesjid perlu memberdayakan kesalehan individu ke kesalehan sosial, karena tanpa adanya keberlanjutan kesadaran individual ke kesadaran faktual dan sosial menjadikan perilaku agama yang telah tumbuh dalam diri orang perorang terasa kurang fungsional dalam kehidupan, bahkan tidak jarang kesadaran agama individual ini bisa jadi akan membawa seseorang pada kehidupan isolatif dan mistifikatif dalam perilaku keberagaman, atau boleh jadi melakukan pemanipulasian perilaku amoral keberagaman dengan melakukan perilaku moral keagamaan yang lain. Contoh konkret untuk perilaku yang terhenti pada kesadaran keagamaan individual misalnya, betapa banyaknya orang mengaku seorang Muslim yang taat tetapi berperilaku ekonomi kapitalis yang menindas dan rakus. Begitu pula banyak pejabat, pemimpin dan penguasa yang mengaku Muslim yang baik dan taat, tetapi berperilaku premordialistis, zalim, subjektif dan KKN dalam birokratisasi dan mengambil keputusan. Pada hal dalam ajaran Islam tidak diinginkan adanya keterpisahan kesadaran keagamaan dan keberagaman individual dan kesadaran sosial, misalnya shalat dengan upaya pemberantasan kemiskinan, pengeakan syari'at dengan keadilan, iman dengan ihsan dan seterusnya. Berhubungan dengan pendekatan penumbuhan kesadaran individual kesadaran sosial, menjadikan masjid dituntut peka akan problema-problema masyarakat seperti kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan dan PEKAT yang tengah berlangsung dalam masyarakat atau umat secara aktif dan konkret. Ini semua dapat dilakukan dengan memperluas jaringan kerja masjid. Dengan demikian berarti masjid tidak hanya semata-mata untuk keperluan kesalihan individu, tetapi juga menjadikannya untuk keperluan bersama umat dalam berbagai sektor kebutuhan dan tuntutan kehidupan. Tuntutan akan fungsi masjid seperti ini, menjadikan masjid dituntut membentuk organisasi yang benar-benar dapat menjawab persoalan umat. Organisasi-organisasi di masjid tidak lagi hanya bergerak dalam wilayah semisal pembangunan masjid, kepanitiaan pengajian dan hari besar Islam dan seumpamanya seperti yang selama ini kebanyakan dilaksanakan oleh umat Muslim, tetapi juga meliputi aspek-aspek fundamental dalam pembangunan kebaikan dan kemajuan umat di sekitarnya agar menjadi umat yang kuat dan teguh dalam berbagai sektor kehidupan seperti digambarkan di depan. Kesemua ini, sekali lagi, dapat dilakukan seiring dengan pengapresiasian bahwa agama tidak saja sebatas pembentukan perilaku keshalehan individual etis tetapi juga pembentukan perilaku keshalihan sosial etis, juga menjadikan mesjid sebaai lembaga sosial umat yang akan menampakkan fungsionalitas dan eksistensionalitas dirinya di tengah-tengah umatnya dan umatnya di tengah masjidnya. Artinya tetapi juga pembentukan perilaku keshalihan sosial etis, juga menjadikan mesjid sebagai lembaga sosial umat yang akan menampakkan fungsionalitas dan eksitensionalitas dirinya di tengah-tengah umatnya dan umatnya di tengah masjidnya. Artinya pemberdayaan masjid memiliki kaitan dengan seberapa jauh kualitas kita dalam mengapresiasi agama dalam membentuk perilaku keberagaman kita; individual maupun sosial. III. KESIMPULAN Fungsionalisasi dan Eksistensionalisasi masjid tidak lepas dari kemampuannya menjawab peroalan-persoalan sosial umatnya. Kemampuan masjid seperti ini juga sangat terkait dengan pemahaman umatnya akan makna dan fungsi agama secara keseluruhan. Ketika agama dipahami sebatas pembentukan kesalehan individu, maka peranan masjid hanya sebagai tempat yang memfasilitasi bagi pelaksanaan ibadah rutin dan seremonial sebagaimana lazimnya selama ini yang dipraktekkan. Sebaliknya ketika agama dimaknai tidak lagi sebatas pembentukan kesalehan individu, maka dalam pengertian inilah kemudian keberadaan mesjid pun dipertanyakan. Dan sesungguhnya pertanyaan ini menuntut akan peranan masjid pada kategori yang kedua, yakni menciptakan kesalihan sosial secara konkrik dan produktif. Dalam posisi seperti inilah sesungguhnya peranan masjid itu diinginkan, karena memang masjid baik dari perspektif normatif maupun historis merupakan media pembentukan kehidupan kesalihan etis individual sekaligus juga pembentukan kesalihan etis sosial kemasyarakatan yang terstruktur dan mengakar dalam kesadaran setiap umat. Melalui konsep masjid seperti ini, ke depan masjid diharapkan mampu mensejajarkan kepentingan unsur-unsur kesalehan individual dengan kesalihan sosial, sehingga masjid sangat memungkinkan sebagai wadah lembaga masyarakat seperti LSM yang kita kenal hari ini. Ini juga menuntut perubahan pada manajemen masjid dan SDM sekitar masjid. Semoga..... Catatan Akhir: 1 Raghib al-Isfahani, Mu'jam Mufradat alfaz al-Qur'an, Dae al-Katib al-'Araby, t.p., t.t., h. 229 2 Ibid, h. 229 3 Muhammad Fuad Abdul Baqiy, Al-Mu'jam al-Mufaras Li al-Fadz al-Qur'an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1987, h.344-345 4 Ibid, h. 229 5 Hasil temuan Moeslim Abdurrahman pada pantai utara Jawa menunjukkan bahwa masjid menjadi alat legitimasi politik dan ekonomi bagi penguasa di daerah tersebut, sehingga kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan tidak dimungkinkan dari fungsi masjid seperti ini. Lihat lebih lanjut Moeslim Abdurrahman, Islami Transformatif, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997, h. 5-7. 6 7 8 Ibid, h.8 Ibid, h. 40-41 Ibid, h. 40 9 Lihat lebih lanjut Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Mizan, Bandung, 2001, h. 316 10 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu Epistemologi, Methodologi dan Etika, Teraju, Bandung, 2004, h.91. Selanjutnya ditulis Islam 11 Ibid, 105 12 Moeslim Abdurrahman mensinyalir bahwa di masjid pada daerah tertentu dan tidak pula tertutup kemungkinan pada daerah lain bahwa aktivitas masjid lebih pada intensitas ritual yang romantis sekalipun tidak ada jaminan akan membuahkan kashalihan individual, apa lagi keshalehan sosial. Mesjid hanya menyuarakan penyelamatan individual yang menekankan intensitas ritualitas dan karitas dalam rangka meredam tumbuhnya konflik sosial tema-tema pengajian yang dilaksanakan hanya dihiasi dengan janji-janji Tuhan yang baik nanti di sorga tanpa menyentuh problematika keseharian umat. Lihat lebih lanjut Ibid, h.5-7 13 Menurut filsuf Islam Mulla Sandra dan filsuf Barat Modern seperti Alfred North Whiteehead dan Hendry Bergensonn mengatakan bahwa dunia ini berada dalam be coming menuju kesatu titik kesempurnaan. Lihat lebih lanjut misalnya Amril m, "Pendidikan tinggi Islam Dalam Perspektif Dunia Kontemporer (Sebuah Telaah Visi, Misi dan Aksi IAIN Menuju UIN sebuah Reformulasi) dalam Amril Mansur dkk, paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, STS Press, Jakarta, 2004, h.1-5. 14 15 Kontowijoyo, Op. Cit, Islam..., h.40 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid, Mizan, Bandung, 2001, h.19 16 Ibid, h. 12-14. Lihat juga Kuntowijoyo Op. Cit Islam..., h.35 dan Peter Beilharz (ed), Social Theory: A Guide to Central Thinkers, Allen & Unwi, Sydney, 1991, h. 265-266 17 Inter-conentidness adalah keterkaitan antar unsur. Logical consequences adalah hubungan satu unsur dengan unsur lain., Innet structuring capacity adalah kekuatan pembentuk struktur. Binary oposition adalah pertentangan antara dua hal. Penjelasan yang sangat aplikatif dalam perilaku kebergaman pada istilah ini ditampilkan oleh Kuntowijoyo, Lihat lebih lanjut Kuntowijoyo, Op. Cit Islam..., h. 34-37 DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Moeslim, Islami Transformatif, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997. Baqiy, Muhammad Fuad Abdul, Al-Mu'jam al-Mufaras Li al-Fadz al-Qur'an al-Karim, Dar alFikr, Beirut, 1987. Beilharz, Peter (ed), Social Theory: A Guide to Central Thinkers, Allen & Unwi, Sydney, 1991. Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Mizan, Bandung, 2001. Isfahani, Raghib al-, Mu'jam Mufradat alfaz al-Qur'an, Dae al-Katib al-'Araby, t.p., t.t. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu Epistemologi, Methodologi dan Etika, Teraju, Bandung, 2004. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid, Mizan, Bandung, 2001. Mansur, Amril, dkk, paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, STS Press, Jakarta, 2004.