Masjid - SIMBI

advertisement
Masjid
26 Februari 2015
Makalah Islam
Masjid
Sigit Kamseno
(Pengurus Komunitas One Day One Juz dan Kontributor di Sejumlah Media Islam
Online)
Seorang teman tak bisa menyembunyikan kekagumannya saat mengunjungi
sebuah Masjid di Kota Semarang, Jawa Tengah. Berkali-kali ia bilang bangunan
bersejarah itu mirip Klenteng, meriah dengan balutan warna merah dan gaya
arsitektur khas Tiongkok. Padahal, rumah ibadah yang dibangun pada abad XV itu
adalah sebuah Masjid, rumah ibadah umat Islam. Masjid itu bernama Masjid
Laksmana Cheng Ho. Cheng Ho atau Haji Mahmud Syams (1371-1433), adalah
penjelajah yang berlayar ke Nusantara sejak 1405 hingga 1433. Ia dikenal sebagai
orang kepercayaan kaisar Yongle, penguasa ketiga Dinasti Ming, yang
memerintah pada tahun 1403 hingga 1424 di daratan Tiongkok sana. Selain di
Semarang, Masjid Laksmana Cheng Ho juga terdapat di sejumlah kota lain seperti
Palembang, Surabaya dan Pasuruan.
Melihat arsitekturnya yang unik, saya teringat model arsitektur sejumlah
Masjid lain di Nusantara. Sebab, pola arsitektur Masjid memang sangat
dipengaruhi oleh warisan sosio-kultural lokal yang tidak bisa dipisahkan. Dalam
sejumlah literatur, kita tahu bahwa model Masjid di Indonesia banyak dipengaruhi
oleh gaya arsitektur Hindu dan Buddha yang telah tumbuh berabad-abad sebelum
kedatangan Islam ke Nusantara.
Sebagai dua contoh utama, kita bisa melihat gaya arsitektur Masjid Agung
Demak. Pola atap berundak Masjid Agung Demak yang kemudian menginspirasi
Masjid lain di Indonesia itu dipengaruhi oleh akulturasi arsitektur Jawa Kuno
pada masa kerajaan Hindu yang berhulu di India Selatan. India Selatan adalah
tempat lahirnya sejumlah kerajaan Hindu, seperti kerajaan Andra, Pallawa, dan
Colamanda. Atap yang bertingkat dan semakin mengecil ke atas lazim kita jumpai
pada Pura milik umat Hindu.
Berbeda dengan Masjid Agung Demak yang atapnya berundak-undak, atap
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, berbentuk kubah. Arsitektur kubah
Masjid Baiturrahman ini dipengaruhi oleh warisan India Utara dan Persia.
Sebagaimana model Masjid Agung Demak yang berundak, model kubah yang
serupa dengan Masjid Raya Baiturrahman juga lazim kita jumpai pada sejumlah
Masjid di Indonesia. Jika model Masjid Demak dipengaruhi warisan arsitektur
Hindu, sejumlah sejarawan menduga kubah-kubah serupa Masjid Baiturrahman
ini dipengaruhi oleh tradisi Buddha dari India Utara, tempat lahirnya kerajaan
bercorak Buddha seperti Kerajaan Maurya, atau kerajaan Gupta. Jika model atap
berundak-undak mengingatkan kita pada Pura milik umat Hindu, maka model
kubah ini mengingatkan kita pada bentuk stupa yang mudah kita temui pada candi
bercorak Buddha.
Di Afrika, arsitektur Masjid tradisional lebih unik lagi. Masjid Agung
Djenne, di Republik Mali, dibentuk bergaya Soudanese. Bangunan yang diakui
sebagai satu dari 10 Masjid terunik di dunia ini dibangun dari tanah liat dan
minim ornamen, sejumlah batang pohon nampak menyembul dari dinding-dinding
Masjid. Masjid Agung Djenne dikenal sebagai landmark terpenting di negara
beribukota Bamako itu. Selain di Mali, gaya Masjid dengan arsitektur serupa
tersebar luas di Niger, Ghana, Senegal, hingga Pantai Gading.
Menikmati arsitektur Masjid di seluruh dunia, kita akan paham bahwa gaya
arsitektur dan ornamen Masjid tidak terlepas dari tradisi dan ciri khas lokal
masyarakat setempat. Mulai dari kemegahan Aya Sophia di Turki dengan ciri
khas kubah-kubahnya yang besar, hingga Masjid Raya Medan yang dipengaruhi
gaya Italia-Spanyol. Dari Masjid Xi’an yang berarsitektur Asia Timur di
Tiongkok, hingga Masjid Kubah Emas Dian al-Mahri di Depok yang dipengaruhi
gaya Persia. Dari Masjid Agung Ulugh Beg, Uzbekistan yang memesona, hingga
Masjid Raya Patimburak nan mungil dan menyejarah di Papua. Dari Masjid di
Chercell, Aljazair yang mirip polis-polis Yunani kuno, hingga menara Masjid
Kudus yang mirip candi di Jawa. Semua hadir sesuai dengan ciri khas,
bersebangun dengan perkembangan tradisi dan kebudayaan masing-masing.
Di era modern, arsitektur Masjid nampak makin menarik. Masjid e-Tobba di
Karachi, Pakistan, nyaris seluruh badannya hanya berbentuk kubah. Di Indonesia,
Masjid al-Irsyad Kota Baru Parahyangan besutan arsitek kenamaan Ridwan
Kamil, mendapat penghargaan sebagai satu-satunya tempat ibadah di Asia yang
masuk lima besar Building of the Year 2010 versi National Frame Building
Association yang melibatkan 15000 arsitek ternama dunia. Jika Anda bepergian
ke Bandung, cobalah sejenak mampir shalat Maghrib di Masjid berbentuk kubus
berkomposisi tiga warna itu. Semburat cahaya matahari akan masuk dari bagian
depan Masjid, di dekat mihrab terbuka yang dikelilingi kolam. Gemericik air dan
tiupan angin dari celah-celah dindingnya yang bertuliskan kaligrafi raksasa akan
menambah kenikmatan saat sujud menghamba, pasrah pada Dia Yang Maha
Kuasa.
Masjid, secara bahasa artinya tempat sujud. Sebutannya macam-macam,
orang Sunda kerap menyebutnya ‘Masigit’, Masjid-masjid kecil di Indonesia acap
disebut Mushalla, Surau, Langgar, dll.
di Guinea, Afrika sana, orang
menyebutnya ‘Missidi’, di Nigeria disebut ‘Massalatai’, di Inggris ia disebut
‘Mosque’. Mosque kemudian digunakan secara luas sebagai terjemahan dari kata
Masjid. Tapi sebagian orang tak mau menyebut ‘Mosque’ karena mengira kata
tersebut berasal dari ‘mosquito’ yang berarti nyamuk, binatang kecil yang mesti
dibinasakan. Kata ini dianggap penghinaan karena berhulu dari dendam Eropa
atas Perang Salib. Padahal, ‘Mosque’ sebetulnya berakar dari bahasa Spanyol,
‘Mezquita’ yang berarti Masjid. Mezquita ini juga diserap oleh Prancis
‘Mosquee’, dan Italia ‘Moschea/Moscheta’. Spanyol mengenal ‘Mezquita’ lebih
awal seiring berkuasanya Dinasti Umayyah di Andalusia sejak abad ke-8.
Masjid, tiga paling utama di antaranya adalah Masjid al-Haram di Makkah,
Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsha di Palestina. Ia dipenuhi
kedamaian dan ketenangan. Keberkahan dan ketentraman. Di Indonesia, Masjid
jumlahnya beratusribu. Mulai dari Masjid Raya, Masjid Agung, hingga Mushallamushalla kecil. Di tiap RT setidaknya ada satu Mushalla, jaraknya saling
berdekatan, adzan dari menaranya terdengar bersahutan saat waktu Shalat tiba.
Namun konon ia merupakan tempat yang paling jauh, paling tinggi dan
melelahkan. Seorang pendaki gunung siap menjelajah ribuan meter untuk
mendaki, tapi berat melangkah 100 meter menuju Masjid. Seorang pekerja kantor
naik tangga ke lantai atas untuk jalankan rutinitas, tapi berat menuju Masjid saat
tiba waktu Shalat. Seorang penyuka games habiskan waktu berjam-jam di depan
layar, tapi berat untuk sekian menit bersimpuh di dalam Masjid.
Mari merindu, saat panggilan Tuhan datang, umat berbondong menuju
Masjid, khusyu ibadah disela lelah bekerja. Mari merindu, mereka yang rajin urus
agama, berbondong ke Masjid saat waktu Shalat tiba, berpasrah dan menafakuri
perjalanan. Mari merindu, mereka yang menulis artikel dakwah, mencontohkan ke
Masjid berduyun-duyun tatkala adzan bersahutan. Mari merindu, umat ini penuhi
rumah Allah, agar ia tak kosong saat tiba waktu shalat. Sepi dan sunyi, lengang
berdebu, ditinggalkan umatnya yang sedang bekerja kelelahan. (ska/bimasislam)
Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini
Download