SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | KASUS STUDI Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan 1800 - 1942 Annisha Ayuningdiah [email protected] Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. Abstrak Penyebaran agama Islam tidak hanya terjadi di bagian timur Jawa saja, tetapi terjadi juga di bagian Jawa Barat. Berawal dari kota-kota pelabuhan, Islam menyebar sampai ke bagian selatan Jawa Barat selama lebih dari 4 abad lamanya. Kebudayaan yang dibawa agama Islam pun terwujud dalam sebuah bentuk arsitektur di mana umatnya melakukan ritual ibadah: masjid. Penggunaan masjid yang krusial menyebabkan pengadaannya terjadi di titik-titik pusat kota. Selama masa penyebaran Islam, terjadi pula perubahan yang terjadi akibat Belanda yang menduduki kota-kota di Jawa Barat. Kota-kota ini kemudian dibuat sistem pemerintahan tersendiri oleh Belanda dengan nama karasidenan. Pada daerah Priangan kota-kota tersebut termasuk Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Adanya campur tangan Belanda pada sistem pemerintahan tentunya akan mempengaruhi bentukan arsitektur masjid yang berada di pusat pemerintahan. Masjid ini sering disebut Grote Moskee atau Masjid Agung. Kata-kunci : Belanda, masjid, perubahan, Priangan Pendahuluan Agama Islam di Jawa Barat menyebar pada beberapa titik yaitu Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Kota-kota pelabuhan ini menjadi awal dari persebaran agama islam yang dibawa oleh pedagang Islam yang berasal dari Pasai, Arab, India, Parsi, Malaysia, Singapura, Palembang, dan Cina pada awal abad ke-14. Sejarah mencatat bahwa penyebaran Islam pertama di Jawa Barat berasal dari Syekh Maulana Saifuddin, yaitu orang Islam Pertama yang menetap di Cirebon Girang. 1 Selanjutnya penyebaran Islam menuju daerah lain di Jawa Barat diprakarsai oleh Syarif Hidayat pada abad ke-15. Hingga abad ke-18, agama Islam telah menyebar ke daerah Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Adanya agama Islam pada masa ini tentunya meninggalkan jejakjejak dalam penyebarannya, baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik. Salah satu peninggalan yang berwujud fisik adalah masjid, di mana fungsinya sangat penting karena merupakan wadah tempat ibadah utama. Namun seiring dengan waktu penyebaran islam, terjadi pula peristiwa pendudukan Nusantara oleh Belanda yang memberikan pengaruh kepada bentukan masjid yang dibangun. Bambang Setia Budi mengklasifikasikan jenis-jenis masjid kesultanan di Jawa menjadi 4 kategori berdasarkan fungsi dan lokasinya.2 Kategori tersebut berupa Masjid Agung, Masjid (Langgar) Keraton, Masjid Komunitas, dan Masjid Terisolasi. Masjid Agung merupakan masjid yang berada di pusat kota dan menjadi simbol keagungan pemerintahan setempat. Lokasi Masjid Agung berada di sebelah barat alun-alun kota, mengikuti konfigurasi alun-alun yang dibawa oleh Belanda melalui adanya sistem keresidenan. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 441 Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan 1800 - 1942 Pembahasan masjid pada makalah ini berpusat pada perubahan yang terjadi pada masjid-masjid Agung yang berada di karasidenan Priangan. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat diakibatkan penambahan kapasitas masjid, keadaan masjid yang sudah rusak, maupun faktor lainnya. Makalah ini dimaksudkan untuk menilik seberapa jauh perubahan yang terjadi dari bentuk asal Masjid Agung dan menguraikan sebuah kritik adanya perubahan dalam konteks sejarah berdirinya masjid tersebut. Masjid Agung di Priangan Masjid sebagai fungsi dapat dipandang sebagai pusat aktivitas beribadah umat Islam. Namun jika dilihat lebih jauh, masjid juga merupakan tempat pendidikan, peristirahatan, dan kegiatan sosial lainnya. Pada perkembangannya, masjid merupakan suatu bangunan yang tidak memiliki suatu kriteria tertentu kecuali menghadap kiblat. Hal ini menyebabkan bentuk masjid yang memiliki bentuk yang bebas, sesuai dengan kreativitas sang arsitek, selama bentuk tersebut dapat mengakomodasi fungsi utamanya. Dalam perkembangan arsitektur masjid di Indonesia, pengaruh yang didapat berasal dari agama yang menyebar sebelum Islam, pengaruh dari adanya masa penjajahan oleh Belanda, dan perkembangan pasca kemerdekaan Indonesia. Awal keberadaan Masjid agung di Priangan dibangun pada masa-masa 1880 s.d. 1925. Masa-masa selanjutnya merupakan pemugaran dari bentuk asli masjid tersebut. Karakteristik yang ditemukan pada masjid-masjid sebelum adanya pengaruh kolonial yaitu denah yang cenderung berbentuk bujur sangkar dan pejal, beratap tumpang dua atau lebih dan berbentuk semakin lancip ke atas (sering disebut dengan istilah bale nyuncung), memiliki serambi, terdapat kolam, dan memiliki pagar.3 Selain itu masjid-masjid tersebut tidak memiliki menara yang berfungsi sebagai tempat muadzin mengumandangkan adzan. Masyarakat Islam dahulu masih berpendapat tempat yang tinggi merupakan tempat untuk orang berstatus tinggi pula. Sehingga sebagai pengganti menara terdapat sebuah area bedug atau adanya sebuah ruang di bawah atap ( attic). Material yang digunakan juga masih tradisional seperti atap yang terbuat dari ijuk, tiang-tiang kayu, dan dinding papan dengan banyak bukaan. Perkembangan selanjutnya mulai terlihat adanya penggunaan batu bata sebagai material dinding. Tabel 1. Foto Awal Masjid Agung Priangan Lokasi Foto Sukabumi Cianjur Bandung Sumedang Tahun Sumber Foto Lokasi Foto 1890 KITLV Garut 1880 KITLV Tasikmalaya 1880 KITLV Ciamis 1880 KITLV 1901-1902 KITLV 1925-1933 Tropen Museum Tahun 1880 Sumber Foto KITLV Sumber: KITLV, Tropen Museum, 2017 442 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Annisha Ayuningdiah Pembahasan 1. Masjid Agung Sukabumi Pembangunan Masjid Agung Sukabumi dilaksanakan pada tahun 1838 di tanah wakaf Patih Sukabumi, Tumenggung Raden Surya Natabrata, atas inisiatif H. Said. Masjid ini lebih dikenal sebagai Masjid Kaum di antara masyarakat sekitar karena memiliki kedekatan dengan permukiman yang berada di dekatnya yaitu Kampung Kauman. Dalam sejarah, pemugaran yang terjadi di Masjid Agung Sukabumi tercatat terjadi sebanyak dua kali yaitu pada 1912 dan 1936. Pemugaran yang terjadi pada tahun 1912 yaitu perubahan atap tumpuk susun dua menjadi susun tiga. Terlihat pula penataan lanskap sekitar masjid mulai diatur dengan adanya pohonpohon damar di sekitar masjid. Tahun 1936 masjid ini mengalami perubahan total dari bentuk atap yang semula berbentuk bale nyuncung berubah menjadi atap kubah. Selain itu dibuat pula dua buah menara pada sisi kiri dan kanan depan masjid. 1901 1920-1925 1939 Gambar 1. Foto Masjid Agung Sukabumi dari Masa ke Masa Sumber: KITLV dan Tropen Museum, 2017 Gambar 2. Unsur Dekoratif pada Menara Masjid Agung Sukabumi Tahun 1939 Sumber: Tropen Museum, 2017 Pengaruh arsitektur Belanda mulai terasa pada pemugaran 1912 dari segi bentuk pagar. Selain dari sisi penggunaan material yang baru, motif pagar yang serupa dapat ditemukan pada masjidmasjid agung lainnya di kota karasidenan pada masa itu. Kolom yang digunakan masih berupa kolom-kolom kayu. Pengaruh Belanda dengan arsitektur neoklasik sangat terasa pada pemugaran tahun 1939. Pengaruh budaya yang dibawa Belanda dari Timur Tengah diterapkan pada desain masjid ini dalam bentuk atap yang berubah menjadi kubah dan adanya menara. Unsur dekoratif pun terasa pada pengolahan fasad masjid yaitu berupa nat, bentuk kanopi, dan detail-detail yang berupa aksen yang mencirikan langgam artdeco yang sedang berkembang dalam perancangan masa itu. 2. Masjid Agung Cianjur Masjid Agung Cianjur dibangun pada tahun 1810. Namun pada waktu itu kapasitas masjid masih kurang untuk mewadahi masyarakat sehingga diadakan perluasan pada tahun 1820. Tahun 1879 terjadi peristiwa meletusnya Gunung Gede yang mengakibatkan masjid ini hancur. Oleh Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 443 Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan 1800 - 1942 karena itu Masjid Agung Cianjur dibangun kembali pada tahun 1880 oleh Penghulu Cianjur yaitu R.H. Soelaeman. Dokumentasi masjid sebelum meletusnya Gunung Gede hanyalah berupa reruntuhan masjid. Namun foto setelah pembangunan kembali Masjid Agung Cianjur dapat terdokumentasikan. Pemugaran selanjutnya dilakukan pada tahun 1912 oleh Penguhulu Cianjur, R.H. Moch. Said. 1879 1880 1920 Gambar 3. Foto Masjid Agung Cianjur dari Masa ke Masa Sumber: KITLV dan Tropen Museum, 2017 Gambar 4. Kolom Ganda pada Masjid Agung Cianjur 1880 Sumber: KITLV, 2017 Perubahan pada tahun 1880 sudah menunjukkan adanya pengaruh arsitektur neoklasik pada desain kolom, railing, dan pagar di sekeliling masjid. Deretan kolom ganda dengan repetisi yang teratur sangat memberikan kesan kuat, seperti peninggalan arsitektur kolonial pada umumnya. Sementara kebaruan yang dihadirkan pada pemugaran kedua yaitu adanya fungsi menara yang mengapit massa utama, meski penggunaan kolom-kolom ganda sudah tidak ditemukan. 3. Masjid Agung Bandung Masjid Agung Bandung adalah masjid yang paling banyak mengalami perubahan bentuk pada masa 1800-1942. Pembangunan pertama masjid ini masih menjadi perdebatan apakah bersamaan dengan peresmian pendopo pada tahu 1800 atau pada tahun 1812. 4 Pada saat pemerintahan R.A. Wiranatakusuma II ini, masjid yang didirikan masih berupa masjid panggung sederhana dengan kolom kayu, dinding bilik, atap rumbia, dan terdapat pula kolam. 5 Namun dengan adanya kebakaran pada tahun 1825, masjid ini dibangun kembali pada tahun 1826 dengan material kayu. Perubahan selanjutnya pada tahun 1852 yaitu penggantian material dinding menjadi batu bata dan atap genting. Dokumen pada tahun 1890 memberi info tentang perubahan bentuk atap dari bale nyuncung menjadi atap perisai yang sangat berbeda dengan atap masjid Priangan pada umumnya. Namun bentuk ini berubah kembali menjadi bentuk bale nyuncung pada tahun 1910. Pada masa ini pemerintah Belanda sudah membuat upaya untuk 444 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Annisha Ayuningdiah Belanda.6 memperbaiki kualitas arsitektur bangunan di Hindia Perubahan selanjutnya yaitu pada tahun 1925 terdapat penambahan serambi dan menara kembar yang mengapit massa utama masjid. 1910 1880 1879 1920 1932 Gambar 5. Masjid Agung Bandung dari Masa ke Masa Sumber: KITLV dan Tropen Museum, 2017 Pengaruh Belanda sangat terasa pada perubahan wajah Masjid Agung Bandung. Adanya upaya dari pemerintah Belanda untuk mengatur keindahan arsitektur Hindia Belanda menjadi pemicu perubahan yang terjadi. Perubahan pada tahun 1880 menunjukkan adanya kolom Yunani dengan repetisi yang satu rima. Kolom ini kemudian digubah lagi bentuknya dengan penambahan aksen-aksen kubah dan penggantian atap perisai. Namun sistem atap yang kurang cocok menjadi kemungkinan diubahnya kembali bentuk atap menjadi bale nyuncung, karena memiliki sistem penghawaan yang baik untuk bangunan tropis. Perubahan terakhir merupakan penambahan menara yang juga merupakan pengaruh dari arsitektur luar. Bentuk kolomnya pun menyesuaikan kembali dengan langgam yang populer di masa itu. Gambar 6. Perubahan Kolom pada Masjid Agung Bandung Sumber: KITLV dan Tropen Museum, 2017 4. Masjid Agung Sumedang Masjid Agung Sumedang dibangun pada tahun 1850. Bentukan awal dari masjid ini mirip dengan bentuk awal Masjid Agung Cianjur. Pembangunan masjid ini atas inisiatif bupati Sumedang yaitu Pangeran Soeria Koesoemah Adinata. Pada masa itu Sumedang didatangi oleh pengembara dari Tionghoa dan selama pengerjaan masjid pengembara tersebut ikut serta. Susun tiga atap masjid ini disebut sebagai pengaruh dari bentuk pagoda. Ukiran yang terdapat pada Masjid Agung Sumedang juga bercorak Cina. Pemugaran masjid ini dilakukan pada tahun 1913. Arsitektur kolonial peninggalan Belanda yang terasa dari masjid ini adalah bentukan kolomnya yang merupakan kolom Yunani. Pola jendela yang besar dengan ujung setengah lingkaran juga Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 445 Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan 1800 - 1942 merupakan khas zaman Belanda. Pengadaan serambi di timur menambahkan kesan neoklasik pada masjid. Gambar 7. Masjid Agung Sumedang Tahun 1880 dan 1960 Sumber: KITLV dan sumedangtandang.com, 2017 5. Masjid Agung Garut Pembangunan Masjid Agung Garut dicatat terjadi pada tahun 1813, bersamaan dengan pengadaan fasilitas lain sekeliling alun-alun. Perubahan kemudian dilakukan pada tahun 1850 dengan penggantian dinding dengan batu bata. Perubahan selanjutnya pada tahun 1920 dengan ditambahnya serambi di bagian timur masjid dan bangunan di sayap kanan dan kiri bangunan. Pengaruh Belanda dapat terasa pada penggunaan kolom Yunani, proporsi serta bentuk jendela dan pintu, juga pagar. Pada pembangunan baru kesan neoklasik bahkan lebih terasa dengan adanya fasad dekoratif pada serambi. Gambar 8. Masjid Agung Garut Tahun 1880 dan 1920 Sumber: KITLV dan Tropen Museum, 2017 6. Masjid Agung Tasikmalaya Sebelum berpindah ke Tasikmalaya, pusat pemerintahan berada di Manonjaya. Peninggalan masjid agung terdapat baik di Manonjaya maupun di Tasikmalaya. Pada awalnya di Sukarasa (nama Manonjaya sebelum diubah) sudah terdapat sebuah masjid kecil. Namun masjid tersebut diperluas dengan adanya pembangunan fasilitas alun-alun di depannya pada tahun 1837. Kemudian direnovasi pada tahun 1889 menjadi bentuk yang lebih mencirikan arsitektur kolonial. Sementara masjid yang berada di Tasikmalaya dibangun pada tahun 1886. Perubahan yang terjadi di Masjid Agung Tasikmalaya terjadi pada tahun 1923 pada masa kepemimpinan Bupati Raden Adipati Wiratanuningrat. Meskipun renovasi tersebut membuat masjid menjadi luas, tetapi arah kiblat dari masjid mengalami kesalahan. Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan renovasi pada tahun 1939 oleh R.T.A. Wiradiputra. Kolom bentuk Yunani dengan repetisi terdapat pada masjid awal Manonjaya dan Tasikmalaya. Perubahan berikutnya merupakan hal yang menarik untuk diulas. Adanya menara pada sayap kanan dan kiri tentunya memiliki kekhasan sendiri dengan bentuk segi delapan dan ornamen dekoratifnya. Namun pada Masjid Agung Manonjaya terdapat gubahan fasad berupa ornamen 446 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Annisha Ayuningdiah dekoratif yang sangat mencirikan arsitektur neoklasik. Dari semua Masjid Agung di Priangan, hanya Masjid Agung Manonjaya yang memiliki wujud yang sama dari pemugarannya yang terakhir. Gambar 9. (atas) Masjid Agung Manonjaya, (1880, 1900) (bawah) Masjid Agung Tasikmalaya, (1880, 1933) Sumber: KITLV dan Tropen Museum, 2017 7. Masjid Agung Ciamis Masjid Agung Ciamis dibangun pada tahun 1882 saat pemerintahan Raden Adipati Koesoemadiningrat. Masjid ini didirikan bersamaan dengan pengadaan fasilitas di sekeliling alun-alun. Pada masanya masjid ini digunakan juga sebagai tempat peristirahatan pedagang yang melintas. Masjid ini tidak pernah diubah pada masa kolonialisasi oleh Belanda, namun pembangunan kembali diadakan setelah masjid musnah total akibat terbakar saat peristiwa DI/TII tahun 1958. Kesimpulan Gambar 10. Masjid Agung Ciamis Sumber: Tropen Museum, 2017 Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan dapat ditemukan dalam beberapa elemen, mulai dari atap yang berubah menjadi kubah, kolom Yunani, pagar dengan motif tertentu, hingga elemen dekoratif pada fasad. Penambahan elemen menara dibawa pada awal tahun 1900. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 447 Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan 1800 - 1942 Pengaruh paling kuat yang terasa adalah campuran komposisi deretan kolom khas dengan bentukan atap bale nyuncung. Namun sayang sekali keindahan arsitektur ekletik ini sekarang hanya tersisa pada Masjid Agung Manonjaya. Masjid Agung pada kota-kota lain cenderung dituntut untuk menambah kapasitas jamaah, menambah fungsi baru, dan mengikuti perkembangan teknologi juga desain arsitektur yang lebih modern sehingga bentuk-bentuk masjid agung peninggalan Belanda ditinggalkan. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Eng. Bambang Setia Budi selalu dosen pengampu mata kuliah Arsitektur Islam yang memberi arahan pada penulisan makalah ini. Daftar Pustaka Corak Arsitektur Tiongkok di Masjid Agung Sumedang. (2016) Diakses dari http://www.wisatajabar.com/2016/04/corak-arsitektur-tingkok-di-masjid.html Gunawan, Hendra. (2012). Masjid Agung Ciamis tanpa Bangunan di Zaman Kanjeng Dalem. Diakses dari http://www.tribunnews.com/ramadan/2012/08/12/masjid-agung-ciamis-tanpa-bangunan-di-zaman-kanjeng dalem Imanuddin, A.M. (2014). Masjid Agung Sumedang. Diakses dari http://sumedangtandang.com/direktori/detail/masjid-agung-sumedang Istiqomah, E. & Budi, B.S. (2013). Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810-1955. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol. 2 No. 2 Juli 2013 KITLV. Diakses dari media-kitlv.nl/all-media Lubis, N.H. dkk. (2013). Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/SEJARAH-PERKEMBANGAN-ISLAM.pdf Masjid Agung Cianjur. (2017) Diakses dari https://su.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Cianjur Pemerintah Kota Sukabumi. (2014). Masjid Agung Kota Sukabumi dari Masa ke Masa. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=JdEVxxy7E-U&t=29s Rochym, A. (1983). Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Penerbit Angkasa Tropen Museum. Diakses dari collectie.tropenmuseum.nl/Default.aspx Catatan 1,3 Nina H. Lubis, dik. 2013. Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/SEJARAH-PERKEMBANGAN-ISLAM.pdf 2 Bambang Setia Budi. 2005. A Study on the History and Development of the Javanese Mosque, Part 2: The Historical Setting and Role of the Javanese Mosque under the Sultanates. Journal of Asian Architecture and Building Engineering. Volume 4(1) 4,5,6 E. Istiqomah, Bambang Setia Budi. 2013. Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810-1955. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol. 2 No. 2 Juli 2013 448 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017