Pengaruh Hindu pada Atap Masjid Agung Demak - Seminar

advertisement
SEMINAR HERITAGEIPLBI 2017 | DISKURSUS
Pengaruh Hindu pada Atap Masjid Agung Demak
Nugraha Pratama
[email protected]
Mahasiswa Sarjana, Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi
Bandung.
Abstrak
Masuknya Islam ke Indonesia telah memberikan kontribusi besar bagi dunia arsitektur Nusantara.
Indonesia sebelumnya dikuasai kerajaan Hindu seperti Kerajaan Majapahit dalam periode yang
cukup lama, sehingga menyebabkan kuatnya nilai – nilai budaya Hindu dalam masyarakat. Namun
nilai – nilai Islam yang datang ke Nusantara tidak sepenuhnya menghapus keberadaan nilai-nilai
budaya Hindu. Justru dari pertemuan kedua nilai yang berbeda tersebut melahirkan perpaduan nilai
yang tercermin dalam arsitekturnya. Kerajaan Demak yang lahir dari daerah kekuasaan Kerajaan
Majapahit memiliki contoh arsitektur perpaduan Hinduisme dan Islam. Di Kerajaan Demak didirikan
Masjid Agung Demak yang mencerminkan perpaduan tersebut. Pasalnya, meskipun berfungsi
sebagai masjid, Masjid Agung Demak didirikan dengan kaidah – kaidah bangunan Hindu, contohnya
atap masjid yang berbentuk tajug tumpuk tiga, berbeda dengan masjid di belahan dunia lain yang
biasanya beratapkan kubah. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai teori – teori dan nilai – nilai
Hinduisme yang diterapkan dalam Masjid Agung Demak.
Kata-kunci : atap, Demak, kebudayaan, Islam, masjid
Pendahuluan
Sebelum Islam masuk ke Nusantara, kerajaan-kerajaan besar yang berkuasa di Nusantara adalah
kerajaan Hindu dan Buddha. Salah satu kerajaan tersebut adalah Kerajaan Majapahit yang berpusat
di Jawa. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Dibawah pemerintahan sang Raja, Kerajaan Majapahit berhasil menguasai seluruh kepulauan
Indonesia, Singapura, dan Semenanjung Malaya.
Kerajaan Majapahit berkuasa sejak tahun 1239 M sampai akhirnya runtuh pada 1500 M.
Kekuasaannya selama 300 tahun membentuk kebudayaan Hindu yang mengakar pada masyarakat.
Dari segi arsitektur, pemerintahan Kerajaan Majapahit menghasilkan artefak arsitektur berupa candi.
Beberapa contoh dari peninggalan tersebut adalah Candi Tikus, Candi Brahu, Candi Kedaton, dan
candi – candi lainnya.
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 8 masehi melalui jalur perdagangan. Masuknya Islam ke
Indonesia perlahan mengubah kebudayaan Hindu Buddha yang sebelumnya menjadi pengaruh besar
di Nusantara. Masuknya Islam ke Nusantara juga memengaruhi kemunduran kerajaan Hindu seperti
Kerajaan Majapahit. Pada awal abad ke 14, kondisi politik Majapahit mengalami kekacauan
disebabkan terjadi perang dan adanya perselisihan diantara pemuka – pemuka kerajaan.
Kondisi kerajaan yang kacau menjadi kesempatan bagi masyarakat yang ingin mendirikan kerajaan
Islam. Dalam kondisi tersebut, Demak, salah satu daerah kekuasaan Majapahit melepaskan diri dari
kekuasaan kerajaan dan mendirikan kerajaan baru. Dari kejadian ini lahirlah Kerajaan Demak yang
merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 203
Pengaruh Hindu pada Atap Masjid Agung Demak
Kerajaan Demak terus berkembang hingga pada abad ke-16 berubah menjadi kerajaan besar.
Perkembangan pesat Kerajaan Demak ini dibantu oleh walisongo, yaitu tokoh – tokoh yang berperan
besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Dalam menyebarkan ajaran Islam walisanga menggunakan strategi sinkretisme. Proses penyebaran
sinkretis yang dilakukan walisanga berupa penambahan, pertukaran, dan pengubahan ritual – ritual
lama yang dilakukan masyarakat. Dengan cara ini ciri keberadaan kebudayaan sebelumnya tidak
benar – benar hilang dan kadang masih terlihat jelas di masyarakat. Sinkretisme ini juga nantinya
tercermin dalam arsitektur yang lahir dari masa ini. Dalam arsitektur, sinkretisme terjadi dalam
percampuran bentuk dan konsep-konsep luar dengan bentuk dan konsep – konsep lokal. Contoh
konkrit dari arsitektur karya walisongo adalah Masjid Agung Demak yang menjadi pusat penyebaran
agama Islam pada waktu itu.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam tulisan ini akan didiskusikan mengenai akulturasi budaya
yang melahirkan bentuk Masjid Agung Demak.
Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak adalah masjid peninggalan Kerajaan Demak yang terletak di Kampung Kauman,
Kelurahan Bintaro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Masjid ini didirikan pada
abad 15 oleh Raden Patah, raja dari Kesultanan Demak yang juga merupakan salah satu wali dari
walisanga. Pendirian Masjid Agung Demak dipercaya sebagai prototipe masjid – masjid yang berada
di Pulau Jawa. Morfologi Masjid Agung Demak yang memiliki atap tajug berlapis tiga, berbeda
dengan masjid timur tengah yang umumnya beratap kubah, direplikasi di sebagian besar masjid di
Jawa.
Selain bentuk atap tajug yang membedakan dengan masjid pada kawasan Islam Negara lain adalah
ketiadaan menara atau minaret. Minaret digunakan sebagai tempat muazin mengumandangkan
adzan untuk memanggil jema’ah saat waktu shalat tiba. Fungsi minaret di masjid – masjid Jawa
digantikan oleh keberadaan bedug. Saat tiba waktu shalat, bedug ini ditabuh sebelum muadzin
mengumandangkan adzan.
Bentuk masjid yang unik ini diperkirakan mendapat pengaruh dari berbagai budaya yang ada. Secara
filosofis, ada yang menyatakan bahwa pola atap tajug berlapis merupakan penggambaran dari
konsep meru yang dimiliki oleh budaya Hindu Buddha. Dari segi lokalitas, ada yang berpendapat
bahwa bentuk Masjid Agung Demak lahir dari arsitektur tradisional Jawa. Ada pula pendapat yang
menyatakan bahwa pola atap tumpang lahir dari imigran Cina yang membantu pembangunan Masjid.
Diskusi
Salah satu angapan yang ada mengenai bentuk atap Masjid Agung Demak yang berbentuk tajug
bertingkat tiga adalah anggapan bahwa bentuk tajug tersebut meminjam konsep gunung dan candi
yang dianut masyarakat Jawa. Sebelum Islam datang ke Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki
kepercayaan yang kuat bahwa tempat yang tinggi adalah tempat yang sakral. Biasanya prosesi
penyembahan nenek moyang dilakukan di tempat yang tinggi contohnya di pegunungan. Pada
tempat dilakukannya prosesi tersebut biasa diletakkan tugu menjulang tinggi yang berposisi di atas
bangunan yang berundak – undak. Penyembahan nenek moyang ini kemudian berubah menjadi
“penyembahan dewa” ketika ajaran Hindu masuk dan melebur dengan kepercayaan setempat. Pada
perkembangannya tempat – tempat penyembahan tersebut juga berubah menjadi candi – candi
tempat pemujaan dewa dan tempat abu raja disemayamkan.
204 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Nugraha Pratama
Gambar 1. Foto masjid demak dengan atap tajug berlapis tiga.
Sumber: http://collectie.wereldculturen.nl/default.aspx?idx=ALL&field=*&search=10016515
Gambar 2. Sketsa wantilan Bali.
Sumber: dokumentasi pribadi
Secara morfologis, candi – candi dibangun menyerupai bentuk gunung. Bentuk candi yang
mengerucut ke atas dan dibuat berundak – undak adalah upaya untuk mendapatkan citra gunung
yang dianggap sebagai tempat sakral. Selain pada candi, citra gunung juga dapat ditemukan pada
wantilan di Bali. Masyarakat di Bali juga menganut kuat kosmologi Gunung Meru dalam ajaran
Hindu.
Tingkatan atap tajug yang berjumlah tiga juga memiliki kaitan erat dengan kepercayaan masyarakat
Jawa dahulu. Tak hanya di Masjid Agung Demak saja, masjid – masjid di Nusantara pada umumnya
memiliki atap tingkat ganjil. Koentjaraningrat berpendapat bahwa orang Jawa memiliki beberapa
sister klasifikasi. Sistem tersebut antaralain: sistem dua, sistem tiga, sistem lima, dan sistem
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 205
Pengaruh Hindu pada Atap Masjid Agung Demak
sembilan. Dalam sistem dua, dikategorikan dua unsur yang memiliki sifat saling berlawanan,
contohnya atas-bawah, kiri-kanan, dst. Dalam sistem tiga, pada dasarnya sama seperti sistem dua,
hanya saja ada unsur ‘penengah’ diantara kedua unsur yang saling berlawanan. Sistem lima
merupakan sistem yang disadur dari konsep empat arah mata angina dengan satu pusat. Terakhir,
sistem sembilan adalah konsep dari empat mata angin yang dielaborasi menjadi delapan arah mata
angin dengan satu unsur pusat di tengah.
Diantara keempat sistem pengkategorian itu, sistem yang banyak ditemukan dalam ajaran Hindu
adalah sistem tiga. Terdapat konsep – konsep berunsur tiga seperti triloka (alam bhuta – alam
manusia – alam dewa), tribhuana (dunia atas – dunia tengah – dunia bawah), dan triangga (kakibadan-kepala). Mangunijaya berpendapat bahwa atap bertingkat tiga mengisyaratkan sifat keramat
pada bangunan karena merupakan manifestasi dari konsep tribuwana dalam ajaran Hindu. Pada
bangunan candi, memang pada umumnya candi memiliki tiga unsur, yaitu unsur kaki, badan, dan
kepala. Dalam kasus Masjid Agung Demak, konsep ini tercermin dari atapnya yang bersusun tiga.
Pendapat lain menyatakan bahwa bentuk atap yang bertingkat merupakan pengaruh dari bangunan
peribadatan yang sudah ada sebelumnya di kawasan Asia Tenggara dan Tiongkok. Bangunan
peribadatan yang dimaksud adalah bangunan pagoda. Dari segi sejarah memang tercatat bahwa
orang – orang dari daerah Kamboja dan Tiongkok sempat datang ke Nusantara untuk berdagang.
Kemungkinan dalam interaksi mereka dengan penduduk lokal terjadi pertukaran budaya. Namun
pendapat ini kurang kuat, pasalnya, sebelum etnis Tionghoa masuk ke Nusantara, sudah berdiri
kerajaan Hindu yang berdaulat.
Kesimpulan
Dari diskusi dalam tulisan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Masjid Agung Demak didirikan dengan
konsep dan nilai – nilai lama yang mengakar pada masyarakat Jawa sebelum masukknya Islam.
Bentuk atap tajug bersusun tiga merupakan manifestasi dari konsep meru yang mencitrakan gunung,
lalu bilangan tiga merupakan cerminan dari konsep tribhuana (dunia bawah, dunia tengah, dunia
atas) dari ajaran Hindu. Pendirian masjid dengan nilai – nilai budaya lain ini memang sejalan dengan
strategi penyebaran Islam yang dilakukan secara sinkretik oleh walisongo.
Acknowledgments
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Eng. Bambang Setia Budi, dosen pengajar mata
kuliah arsitektur islam di Program Studi Arsitektur ITB atas diskusi, informasi, dan acuan referensi
lainnya.
Daftar Pustaka
Ashadi. (2002). Masjid Agung Demak Sebagai Prototipe Masjid Nusantara: Filosofi Arsitektur. Jurnal Arsitektur –
NALARs. 1(1)
Ashadi, A. & Purnama, S. (2015). Syncretism in Architectural Forms of Demak Grand Mosque. Journal of Applied
Environmental and Biological Sciences. 5 (11), 26-30
Graaf, H.J. de. & Pigeaud, Th.G.Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Temprint.
Mangunwijaya, Y.B. (1988). Wastu Citra. Jakarta: Gramedia.
Ismudiyanto. & Parmono, A. (1987).Demak, Kudus, Jepara Mosque. A Study Of Architectural
Syncretism. Dept. Of Architecture, Engineering Faculty, Gadjah Mada University.
Koentjaraningrat.(1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Ossenbruggen, F.D.E. Van. (1975). Asal Usul Konsep Jawa Tentang Mancapat Dalam Hubungannya Dengan
Sistim-Sistim Klasifikasi Primitif. Jakarta: Bhratara.
Slamet.S. (2002). Ilmu Pengetahuan Sosial Sejarah. Bandung : Lubuk Agung.
206 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Download