MISSIO ECCLESIAE Jurnal Institut Injil Indonesia Edisi No. 4/Th. 4/Juni/2013 Pelindung: Rektor Institut Injil Indonesia Dr. Stevri I. Lumintang, DTh, Th.D. Penasehat: Dr. Awasuning Manaransyah Dr. Gunaryo Sudarmanto Dr. Robert C. Wagey Dr. Ferdinan S. Manafe Morris Ph. Takaliuang, Th.D. Pemimpin Redaksi: Dr. Erni Takaliuang-Efruan Dewan Redaksi: Dr. Maria Hanie E. Chresty T. Tupamahu, S.Th. Alamat Redaksi: Jl. Indragiri No.5 Batu-65301 Jawa Timur Telp. (0341)591283; Fax. (0341)597974 Email: [email protected] Website: www.i3 batu.ac.id Diterbitkan Dep. Multimedia YPPII BATU Batu – 65312 Jawa Timur MISSIO ECCLESIAE Jurnal Institut Injil Indonesia Edisi No. 4/Th. 4/Juni/2013 DAMAI SEJAHTERA MENANTI KIAMAT: MATIUS 25:14-30) ...... Dr. Awasuning Manaransyah 1 SPIRITUALITAS CIPTAAN MATTHEW FOX .................................. Morris Ph. Takaliuang, Th.D. 16 IBADAH DALAM KITAB WAHYU .................................................... Dr. Ferdinan S. Manafe 29 HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA MENURUT LUTHER DAN CALVIN SERTA IMPLIKASINYA BAGI GEREJA DAN NEGARA PANCASILA .......................................................................................... Dr. Erni Takaliuang-Efruan KEMESIASAN YESUS BERDASARKAN LUKAS 4:18-19 SEBAGAI DASARHOLISTIC MINISTRY GEREJA ......................... Dr. Dina Elisabeth Latumahina MASA ‘ADOLESCENCE’ DAN POSTMODERINTAS: TUGAS PERKEMBANGAN ANAK REMAJA DAN ANCAMAN TATA NILAI “NEW MORALITY” MELALUI MEDIA TELEVSI ............... Dr. Dra. Magdalena Grace K. Adipati-Tindagi 58 78 90 JATI DIRI PEREMPUAN MENURUT KEJADIAN 1-2 DAN RELEVANSINYA BAGI SIKAP KRISTIANI TERHADAP PENGARUH GERAKAN FEMINISME DI INDONESIA ................... 107 Dr. Maria Hanie Endojowatiningsih POSTMODERNISME DAN GEREJA .................................................. 122 Dr. Ridwan Henry Simamora USIA EMAS (‘GOLDEN-AGE’): MENYOAL KEPEDULIAN ORANGTUA TERHADAP PAUD ........................................................ 141 Yustus Adipati, S.Psi., M.Th., M.Pd.K., Mont-Trained MEMBANGUN KEMITRAAN GEREJA DALAM PELAYANAN MISI MASA KINI ................................................................................ Leonard A.P. Hutapea, M.C.L. HAKEKAT MISI YESUS KEPADA PARA MURID DALAM MATIUS 10:1-15 SEBAGAI DASAR MISI GEREJA DALAM MENJALANKAN MISI ALLAH ......................................... Yohanis Udju Rohi, M.Th. 160 179 Sekapur Sirih Syalom, Pembaca yang dikasihi Tuhan, kiranya bersukacita bahwa Jurnal edisi keempat dapat diterbitkan dalam waktu yang tidak terlalu jauh dari edisi ketiga. Jurnal No. 4/Th.4/Juni/2013 dterbitkan selain karena tuntutan pemerintah agar para dosen Institut Injil Indonesia terus melakukan penelitian ilmiahnya, dan juga sebagai wadah untuk menuangkan karya ilmiah para dosen, baik yang dihasilkan sewaktu menuntut ilmu maupun yang dihasilkan saat menyiapkan materi ajar bagi mahasiswanya. Dalam edisi keempat ini, membahas tentang Kemesiasan Yesus menurut teks sebagai dasar pelayanan Gereja secara holistik. Yesus sendiri sebagai pelaku dan teladan pelayanan holistik Gereja, yang tidak hanya memenuhi kebutuhan spiritual manusia, melainkan kebutuhan manusia dari segala dimensi. Sementara itu, gerakan Feminisme yang telah menyusup ke dalam Gereja, sehingga kaum perempuan Kristiani harus memahami jati dirinya menurut Kitab Kejadian pasal 1-2, sehingga pembelaan terhadap hak-hak azasi perempuan tidak kebablasan, melainkan dipahami dan dimaknai secara tepat guna, termasuk dalam perannya sesuai citra Ilahi. Topik penting lainnya adalah pembahasan tentang anak, sejak usia dini, hingga remaja dan menyiapkan mereka untuk kemuliaan Tuhan. Tiap keluarga yang dipercayakan Tuhan untuk mengasuh dan mendidik anakanak mereka sebagai tanggung jawab di hadapan Tuhan. Tiap anak adalah pribadi yang utuh, yang harus dipahami, baik perkembangan maupun pergumulan dalam tumbuh kembang mereka. Jika mereka dibimbing dan diajar secara benar, mereka akan menjadi penerus estafet pemberitaan Kabar Baik, dan penerus Gereja dan Negara. Harus selalu disadari bahwa tiap orang percaya adalah pelaksana Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus. Namun dalam pelaksanaannya harus sungguh memahami dasar-dasar misi, dan yang tidak kalah penting adalah kemitraan. Tiap orang percaya akan mempertanggungjawabkan hidup dan kinerjanya pada kedatangan Tuhan Yesus Kristus, baik kepada masingmasing maupun secara kolektif pada akhir zaman. Kiranya seluruh pembahasan dalam edisi ini benar-benar menjadi berkat, sambil menantikan jurnal Edisi Khusus dalam waktu tidak lama lagi. Dari Kami Redaksi DAMAI SEJAHTERA MENANTI KIAMAT: MATIUS 25:14-30 AWASUNING MANARANSYAH PENDAHULUAN Kiamat merupakan satu isu yang tidak ada habis-habisnya dibicarakan dari waktu ke waktu. Kiamat selalu digambarkan dengan keadaan yang sangat mengerikan, yang mana terjadi kehancuran bumi dan kebinasaan seluruh makhluk hidup. Sehingga ketika seseorang mendengar istilah kiamat, maka yang muncul dalam pikirannya adalah suatu gambaran peristiwa yang sangat menyeramkan dan menakutkan. Tapi saya yakin bahwa Saudara sudah pernah mendengar begitu banyak isu tentang datangnya kiamat. Dan respon setiap orang yang mendengar isu itu pun berbeda-beda. Ramalan tentang kiamat 21 Desember 2012 menjadi isu yang paling spektakuler di seluruh belahan dunia. Mengapa? Pada akhir tahun 2009, dunia gempar dengan munculnya film 2012 yang sangat fenomenal. Film hasil produksi Hollywood ini berhasil menarik ratusan juta penonton di seluruh dunia. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan bagi perusahaan perfilman. Berbondong-bondong manusia memasuki gedung bioskop, silih berganti karena ingin mengetahui bagaimana kiamat yang digambarkan dalam film tersebut, berhubung jarak antara tahun 2009 dengan tahun 2012 sangat dekat. Banyak orang yang bertanya, benarkah kiamat akan terjadi pada tahun 2012? Munculnya film ini juga mengundang reaksi penolakan keras dari tokoh-tokoh agama, terutama dari kalangan Muslim. Para ulama melarang keras umatnya untuk menonton film yang menurut mereka dapat menyesatkan iman para penganut agama Islam. Selain dari pada itu, akhirnya banyak cendikiawan yang akhirnya melakukan penelitian, baik itu di bidang ilmu pengetahuan, budaya maupun di bidang agama untuk memastikan bahwa kiamat 2012 hanyalah isu isapan jempol yang tidak berdasar. Isu kiamat 2012 menjadi sangat spektakuler oleh karena negara Mexico justru menawarkan Wisata Kiamat, dengan mengunjungi beberapa tempat/wilayah dimana suku Maya tinggal dan beberapa situs-situs ritual suku ini, termasuk kuilnya. PENGERTIAN KIAMAT SECARA UMUM Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, kiamat dalam bentuk kata benda artinya hari kebangkitan sesudah mati, yaitu orang yang telah meninggal dihidupkan kembali untuk diadili perbuatannya. Selain itu juga berarti hari akhir zaman dimana dunia dan isinya rusak binasa dan lenyap. Sedangkan dalam bentuk kata kerjanya diartikan berakhir, tidak akan muncul lagi atau juga dapat berarti celaka sekali, bencana besar, rusak binasa.1 Dengan demikian, kiamat secara sederhana dimengerti sebagai hari berakhirnya kehidupan dunia ini yang ditandai dengan kehancuran bumi dan benda angkasa, bersamaan dengan bangkitnya kembali orang-orang yang telah meninggal untuk diadili perbuatannya yang pernah dilakukan selama hidupnya. Kiamat juga sering disebut dengan akhir zaman, hari penghakiman terakhir atau hari Tuhan. Dalam bahasa Inggris disebut end of the days, yang memiliki pengertian demikian: when everything is taken into consideration.2 Pengertian-pengertian tersebut di atas tentu masih sangat umum sifatnya. Jika kiamat berbicara tentang akhir dari kehidupan, maka saya mencoba membuat klasifikasi kiamat. Kiamat yang Bersifat Personal Kiamat yang bersifat personal, tidak ada kaitannya dengan akhir zaman dunia ini, apalagi dengan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Kiamat personal menyangkut tentang kematian atau akhir hidup seseorang di dunia. Dalam Alkitab, misalnya Kej 5 yang mencatat tentang kematian orang-orang semasa 10 generasi. Kejadian 23:23:7-8 tentang kematian Abraham. Kejadian 35:28-29, tentang kematian Ishak. Kejadian 49:33, tentang kematian Yakub. Kejadian 50:26, tentang kematian Yusuf. Ulangan 34 tentang kematian Musa, Yosua 24:29 tentang kematian Yosua dan sebagainya. Seluruh teks ini menunjuk kepada akhir hidup dari seseorang. 3 Alkitab yang kita percayai sebagai Firman Allah, telah membukakan suatu kebenaran yang nyata, yaitu bahwa setiap orang/manusia pasti memiliki masa hidup yang terbatas, dalam arti bahwa semua orang pasti 1 http://kamusbahasaindonesia.org/kiamat#ixzz2K5CIqBq2 Soanes Catherine & Angus Stevenson, Concise Oxford English Dictionary 11th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2004). 3 Peter Wongso, Hermeneutika Eskatologi (Malang: SAAT, 2000), 5. 2 akan berakhir hidupnya alias meninggal dunia. Namun tidak ada satu orang pun yang mengetahui kapan ajalnya akan tiba. Maka setiap orang mau tidak mau; suka tidak suka harus menyiapkan dirinya untuk meninggal suatu saat yang tidak diketahui mengenai tanggal, hari dan jamnya dan bagaimana cara kematian itu akan datang. Dengan kata lain, tidak ada seorang pun yang mampu menunda kematian dan tidak seorang pun yang berhak mempercepat kematiannya. Hal tersebut hanyalah kesia-siaan dan kebodohan yang merupakan dosa di hadapan Tuhan. Namun demikian, kita tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa adanya upaya-upaya di bidang medik yang berusaha memenuhi keinginan para pasiennya. Mereka melakukan berbagai penelitian untuk menghasilkan peralatanperalatan yang mutakhir guna memperlambat proses kematian seseorang. Kelihatannya memang sangat baik, namun jika dikaji lagi, maka itu hanya akan menimbulkan kerugian yang luar biasa. Keadaan si pasien sepertinya semakin baik, namun sesungguhnya dia justru mengalami kesakitan yang sangat menyiksa dia. Di sisi lain, pihak keluarga akan berusaha keras untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya supaya dapat membayar biaya pengobatan yang sangat mahal. Lalu di mana letak keuntungannya??? Di sisi lain, ada juga penawaran di bidang medik untuk membantu pasien (keluarganya?) supaya si pasien cepat meninggal dengan cara perlahan dan tidak mengalami penderitaan karena penyakit. Hal ini disebut euthanasia. Kemungkinan hal ini dilakukan karena merasa kasihan kepada pasien yang sangat menderita atas penyakit yang dialami, atau juga mungkin keluarga telah menyerah karena tidak lagi sanggup membiayai pengobatan dan perawatan yang begitu mahal. Sebagaimana kelahiran dan kehidupan manusia telah dirancang oleh Tuhan sedemikian rupa, demikian juga dengan kematian manusia. Hidup dan matinya manusia adalah kehendak dan rencana Tuhan, baik berkenaan dengan waktu, tempat dan cara matinya seseorang. Kiamat Komunal Kiamat Komunal yang dimaksud adalah kematian sejumlah besar manusia dalam waktu yang bersamaan akibat adanya bencana yang terjadi. Kita tentu mengingat peristiwa Tsunami di Aceh, gempa berskala besar di Nias, Jogjakarta, gunung meletus, longsor, kebakaran rumah-rumah, hutan dan lain sebagainya, yang memakan korban jiwa. Selain bencana alam, juga bencana perang dan kelaparan baik karena perang, maupun karena terjadinya kekeringan sehingga tidak tersedianya bahan-bahan makanan yang dibutuhkan. Sekalipun organisasi besar yang bersifat internasional, seperti PBB selalu berupaya untuk mengirimkan bantuan pangan, namun tidak dapat menghentikan kematian dari sejumlah orang oleh bencana kelaparan tersebut. Kiamat Global Kiamat global adalah kiamat yang akan dibahas secara panjang lebar dalam buku ini. Karena kiamat global menyangkut kesudahan zaman dimana nubuatan Tuhan Yesus akan terjadi. PENGERTIAN KIAMAT DALAM ALKITAB Tuhan Yesus secara khusus menkhotbahkan tentang kiamat yang dalam bahasa Alkitabnya Akhir Zaman. Yang paling jelas dan khusus, pengajaran tentang akhir zaman ini dikhotbahkan oleh Tuhan Yesus kepada para murid menjelang akhir pelayanan-Nya. Hal ini dapat kita baca dalam Injil Matius 24-25. Pada pasal 24:3, para murid bertanya kepada Tuhan Yesus tentang tanda-tanda dari dua hal, yaitu tanda kedatangan Tuhan Yesus dan tanda kesudahan dunia. Hal yang sangat menarik kita lihat dari hal ini, yaitu para murid menghubungkan antara kedatangan Tuhan Yesus dengan kesudahan dunia. Tuhan Yesus berjanji kepada para murid, dan tentu kepada kita juga sebagai orang percaya yang adalah murid Tuhan Yesus, demikian: “Aku pasti datang kembali”. Istilah ini senada dengan perkataan Tuhan Yesus: “Anak Manusia datang di atasa awan-awan di langit” (Mat 24:30), “kedatangan Anak Manusia” (Mat 24:37,39), “Anak Manusia datang” (Mat 24:44), “tuannya itu datang” (Mat 24:46, 48, 50), “mempelai datang” (Mat 25:6), “pulanglah hamba-hamba tuan itu” (Mat 25:19), “Anak manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia” (Mat 25:31, 26:14). Semua istilah tersebut digunakan untuk menunjuk kepada kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Selain dari pada itu, dalam Alkitab juga kita menemukan tandatanda kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Wongso membagi tandatanda kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali menjadi dua macam, yaitu: tanda-tanda yang bersifat universal (global) dan tanda-tanda yang bersifat gerejawi/keagamaan.4 Namun, saya tidak akan menguraikan hal-hal tersebut pada kesempatan ini, saya akan lebih memfokuskan pada bagaimana kita menjalani hidup dalam menantikan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. APA YANG HARUS DILAKUKAN DALAM MENANTIKAN KIAMAT Mengelola Kepercayaan Tuhan Dalam teks ini dituliskan bahwa hal kerajaan Sorga seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil dan mempercayakan hartanya kepada hamba-hambanya. Kata mempercayakan dalam bahasa Yunani adalah pare,dwken (paredoken) dengan bentuk kata kerja orang ke3 tunggal aorist aktif Indikatif,5 dari kata dasar paradidwmi (paradidomi) yang muncul sebanyak 119 kali dalam Perjanjian Baru. Artinya adalah menyerahkan, mengkhianati, menyampaikan, meneruskan, mengajar, mengizinkan.6 Dalam NIV dipakai kata entrusted, yang dalam Oxford Advance Learner’s Dictionary dijelaskan to give responsibility.7 Hasan Sutanto menerjemahkan: menyerahkan. Bentuk kata paredoken menyatakan suatu tindakan yang hanya dilakukan satu kali saja (tidak berulang-ulang) di masa lampau dan dianggap sudah selesai. Hal ini dapat juga ditafsirkan sebagai “kesempatan” karena tidak akan pernah terulang lagi. Sang tuan menyerahkan/mempercayakan hartanya kepada hambanya bukan suatu tindakan yang berulang-ulang, melainkan hanya satu kali dan hal ini menjadi satu kesempatan yang sangat berharga bagi para hamba. Istilah hamba yang digunakan pada teks ini adalah doulous dari kata dasar yang berarti “hamba, pegawai raja, orang yang bergantung pada” 8 sesorang atau sesuatu. 4 Wongso, Hermeneutika Eskatologi..., 291-299. Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear dan Konkordansi Perjanjian Baru. Jilid I (Jakarta: LAI, 2006), 147. 6 Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear dan Konkordansi Perjanjian Baru. Jilid II (Jakarta: LAI, 2006), 605. 7 Jonathan Crowther, Oxford Advanced Learner’s Dictionary (England: Oxford University Press, 1995), 386. 8 Ibid., 224. 5 Jika seorang tuan rela mempercayakan hartanya kepada orang yang berstatus sosial rendah, maka sesungguhnya hal itu suatu kesempatan emas bagi seorang hamba membuktikan integritas, dedikasi dan loyalitasnya kepada sang tuan selama kepergian tuannya. Karena bagaimanapun pada akhirnya yang diminta adalah kesiapan si hamba untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dipercayakan itu. Hal ini berarti bahwa dalam masa penantian kedatangan sang tuan, hambanya tidak menantikan dengan pasif melainkan menerimanya dengan bekerja keras dan membuat lebih banyak kesempatan yang dipercayakan. 9 Satu prinsip yang tidak boleh kita abaikan dari teks ini adalah bahwa sang tuan memberikan talenta itu “masing-masing menurut kesanggupannya” (ay.15). Itu berarti bahwa tuan itu mengetahui batas-batas kesanggupan dari tiaptiap hambanya dan karena pengenalan yang baik sang tuan terhadap tiaptiap pribadi hamba-hambanya. Dari hal tersebut, kita dapat mengerti bahwa tidak ada tekanan-tekanan yang berlebihan dari sang tuan kepada hambahambanya. Aplikasinya bagi kita orang percaya sebagai hamba Tuhan adalah: Pertama, Allah mempercayakan “harta-Nya” kepada kita, sesuai dengan kesanggupan kita karena Tuhan mengenal kita jauh sebelum kita mengenal siapa diri kita dan Ia mengenal kita lebih dalam dari pengenalan kita akan diri kita sendiri. Kedua, Kita tidak boleh bersungut-sungut ataupun merasa iri hati kepada orang lain yang mungkin kita lihat memiliki lebih banyak kelebihan atau talenta dari pada kita. Tuhan tahu apa dan mana yang pas untuk kita masing-masing. Ketiga, Kita seharusnya bersyukur kalau Allah masih mau mempercayakan kita berbagai bentuk talenta, meskipun sebenarnya kita menyadari bahwa kita tidak layak untuk menerimanya. Kita lemah, terbatas, berdosa, sering berbuat hal yang bodoh. Itulah namanya anugerah, yang harus kita syukuri dan kita kelola/kembangkan dengan maksimal. Nilai Kepercayaan Tuhan Dalam teks ini kepercayaan yang diberikan oleh sang tuan kepada hamba-hambanya adalah berupa talenta. Istilah talenta dalam bahasa Yunani berasal dari kata ta,lanta (talanta/talanton). Kata ini merupakan kata 9 937-938. D.A. Carson, New Bible Commentary (USA: Intervarsity Press, 1994), benda neuter jamak yang menyatakan objek. ta,lanta muncul 14 kali dalam Alkitab Perjanjian Baru. Arti kata talanton adalah suatu ukuran berat yang bervariasi dari 26-36 kg. Kemudian menjadi dasar ukuran uang logam yang nilainya tergantung pada zaman, tempat dan jenis logamnya. Dengan demikian nilainya selalu cukup tinggi. Satu talanton perak senilai 6000 dinar, yaitu upah 6000 hari seorang buruh. Sedangkan satu talanton emas bernilai 30 kali lipat dari satu talanton perak.10 Untuk mendapatkan satu talenta perak, maka seseorang harus bekerja selama lebih dari enam belas tahun, sedangkan untuk memperoleh satu talenta emas, seseorang harus bekerja selama lebih dari empat ratus sembilan puluh tiga tahun (tidak ada manusia sekarang yang mencapai usia 493 tahun). Kita dapat membayangkan bahwa seseorang akan menghabiskan masa hidupnya untuk mendapatkan lima talenta perak, yaitu lebih dari delapan puluh tahun, sedangkan untuk mendapatkan lima talenta emas sangatlah mustahil karena tidak ada seorangpun manusia yang pernah hidup di dunia selama dua ribu empat ratus tahun. New International Version menerjemahkan talents of money. Berdasarkan keterangan Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, 1 talenta sama dengan 960 dolar Amerika setara dengan 2.160.000 rupiah.11 Dalam konteks nats ini yang menjadi tekanan utamanya bukan besarnya jumlah talenta yang diberikan, melainkan besarnya nilai dari talenta yang diberikan sang tuan kepada hambanya. Vines mencatat bahwa talenta merupakan sesuatu pemberian (hadiah) atau kemampuan, secara khusus dalam menafsirkan perumpamaan.12 Senada dengan hal tersebut, Carson menulis sebagai berikut. It is this parable which has given the word a metaphorical meaning in English, as it has been applied to the God given gifts and abilities which we are responsible for using. This is probably a valid application of the story, but we should not imagine that the Greek word itself conveys anything more than its literal monetary meaning.13 10 Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear dan Konkordansi..., II, 744. J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini. Jilid II M-Z (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2005), 519; (kemungkinan ini perhitungan sesuai dengan tahun ditulisnya ensiklopedi ini, yaitu tahun 1988 atau tahun cetakan pertama, yaitu tahun 1995). 12 W.E. Vine, Vine’s Complete Expository Dictionary, (Nashville: Thomas Nelson, Inc., 1996), 617. 13 D.A. Carson, New Bible Commentary (USA: Intervarsity Press, 1994), 938. 11 Hal tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia adalah sebagai hadiah/pemberian Allah dan hadiah/pemberian Allah memiliki nilai yang sangat spektakuler, apalagi jika dikelola dengan baik dan benar. Sekali lagi saya ingin menekankan kembali bahwa Tuhan menyerahkan kepada kita kepercayaan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Tuhan sangat mengenal siapa manusia karena Dialah yang menjadikannya sesuai dengan inisiatif, cara dan tujuan Allah sendiri. Tuhan mengetahui potensi tiap-tiap orang karena Dia sendirilah yang memberikannya kepada manusia. Smith menyebut talenta sebagai kecakapan. Dia menyatakan bahwa kita bukan hanya memiliki talenta, tetapi juga memiliki potensi untuk mengembangkannya sehingga dapat mengalami kemajuan yang sangat berarti.14 Berarti manusia yang sehat dan normal mempunyai potensi yang luar biasa yang telah Tuhan tanamkan dalam hidupnya. Bentuk-Bentuk Kepercayaan Tuhan Istilah uang pada ayat 16 dalam terjemahan NIV adalah money namun dalam bahasa Yunani ditulis auvtoi/j (autois) yang menunjuk pada talenta yang sudah diterima oleh hamba dari tuannya. Istilah uang pada ayat 18 adalah avrgu,rion (argurion) dalam bentuk tunggal dan pada ayat 27 avrgu,ria (arguria) dalam bentuk jamak yang artinya perak, uang perak, uang. Argurion Adalah sejenis uang logam perak yang bernilai empat (drakhme), atau sama dengan upah rata-rata sehari buruh.15 Memang dalam teks ini hal yang dipercayakan sang tuan kepada hambanya adalah harta berupa uang (materi). Bentuk-bentuk talenta (kepercayaan) Tuhan kepada manusia berbedbeda. Namun jika kita melihat lebih luas lagi, sesungguhnya Tuhan bukan hanya mempercayakan bagi manusia harta kekayaan yang bersifat materi, yang dapat dilipatgandakan dengan usaha dan kerja keras yang aktif. Tetapi juga segala sesuatu yang diberikan Allah kepada manusia dapat dikelola dan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi manusia. Segala sesuatu yang dimaksudkan di sini bukan hanya yang bersifat material, namun juga pemikiran (mind), kemampuan (ability) dalam berkreasi. 14 M. Blaine Smith, Anda Unik di Mata Tuhan (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2000), 126. 15 Smith, Anda Unik di Mata..., 111. Manusia dapat mengembangkan talenta itu melalui profesi yang dimilikinya. Sesungguhnya semua profesi di hadapan Tuhan adalah sama mulianya karena profesi itu adalah pemberian Tuhan yang mulia. Jadi tidak ada profesi yang rendah, sekalipun itu buruh kecil dan kasar. Pada suatu acara hari doa di yayasan dimana saya melayani, kami sungguh berdecak kagum ketika mendengar dan memperhatikan seorang tukang sampah mempresentasikan karyanya, yang mana ia berhasil menciptakan satu sistem pengolahan sampah setelah dia melakukan berbagai penelitian yang kelihatannya sangat sederhana, namun cukup penting bukan hanya bagi kesehatan manusia, juga memiliki nilai ekonomi yang cukup menguntungkan, bahkan berdampak bagi pelestarian bumi yang Tuhan ciptakan ini. Belakangan ini, media menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Sampah-sampah rumah tangga yang tidak dapat didaur ulang, ternyata dapat diolah dan dijadikan berbagai bentuk peralatan rumah tangga, peralatan khusus untuk laki-laki, perempuan termasuk anak-anak (misalnya: keranjang pakaian, keranjang belanja, tempat sampah, tas wanita, tas sekolah, rak gantungan sepatu, travelbag, dan lain-lain). Sampah-sampah rumah tangga dapat diolah menjadi bentuk apapun yang diinginkan, yang dapat berguna, yang juga memiliki kualitas eksport dengan omset ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Selain itu, segala yang dimiliki oleh manusia mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku memiliki nilai ekonomi yang bisa dieksplorasi, yang mendatangkan keuntungan besar bagi orang tersebut juga bagi orang lain. Contohnya: seorang peraga busana yang ingin menata dan menghias kukunya, berdampak ekonomis baginya karena dia mendapatkan upah yang besar pada saat tampil sempurna di catwalk. Sedangkan pihak salon yang menata dan menghias kuku itu juga mendapatkan keuntungan ekonomis, perancang busana juga akan menerima pesanan-pesanan busana rancangannya yang tentunya akan mendatangkan untung besar baginya, dan seterusnya. Keuntungan besar itu baru dilihat dari segi eksplorasi kuku jari tangan dan kaki dan tentunya masih banyak hal lain lagi yang dapat dilakukan. Apa yang ingin saya tekankan melalui hal-hal tersebut? Penekanan saya bukan pada hasil yang diperoleh atau dicapai oleh manusia dari apa yang dikerjakan dan dikelola. Hal yang paling penting adalah bagaimana seseorang itu menemukan potensi/talenta yang dianugerahkan Tuhan dan mengelolanya serta mengembangkannya dengan baik dan maksimal. Persoalan yang sering kita kita lihat ataupun mungkin kita alami bahwa seringkali manusia itu tidak menemukan potensi dirinya sebagai talenta dari Tuhan sehingga ia membiarkan dirinya selalu berada di di bawah kebodohan, kemiskinan, ketidakmampuan/ketidak-berdayaan, ketidaktahuan dan lain sebagainya. Kemudian kebodohan itu diberi label/nama “nasib” dengan ungkapan “Yah, memang sudah seperti itu, mau bilang apa lagi?” Kita harus menyadari bahwa dalam diri setiap orang pasti ada kekuatan, baik itu kekuatan spiritual, intelektual, fisikal (jasmani), psikologikal, sosial ataupun kekuatan yang lainnya. Oleh sebab itu, setiap orang percaya harus menemukan talentanya, melatihnya dan mempergunakannya secara maksimal. Cara Mengelola Kepercayaan Tuhan Istilah menjalankan diterjemahkan Hasan Sutanto berdagang. Dalam bahasa Yunani hvrga,sato (ergasato) dari kata dasar h.rgasomai. (ergazomai) yang berarti bekerja, berdagang, berbuat, menghasilkan. Kata ini muncul sebanyak 41 kali dalam Perjanjian Baru. 16 Ergasato adalah kata kerja orang ke-3 tunggal, aorist middle Indicative.17 Bentuk kata ini memberi pengertian bahwa “menjalankan” adalah suatu pekerjaan yang hanya satu kali di masa lampau, menekankan kesungguhan dan dedikasi. Juga dapat berarti “mulai menjalankan,” menunjukkan tindakan yang langsung dilakukan setelah menerima kepercayaan yang diberikan. Teks ini memberikan pengertian bahwa menjalankan uang yang dimaksud lebih kepada konotasi bekerja keras dengan memanfaatkan uang yang ada untuk menghasilkan keuntungan yang besar. Hal itu dapat dilakukan dengan cara berdagang, atau menciptakan kreasi yang baru dengan modal yang sudah ada. Tiga tahun terakhir ini, di televisi banyak disiarkan tentang industri rumah tangga yang menghasilkan mutu dan nilai seni yang berkualitas ekspor. Kendatipun bahan dasar yang dipakai adalah limbah, namun dapat menghasilkan keuntungan yang sangat mencengangkan.yang terutama harus disadari bahwa dalam diri setiap orang ada potensi besar yang harus dikembangkan. Sedangkan dalam ayat 27 dituliskan keheranan sang tuan kepada si hamba yang tidak melakukan apapun untuk mengembangkan talenta yang dipercayakan kepadanya. Istilah “orang yang menjalankan uang” dan dalam bahasa Yunani adalah trapezi,taij (trapezitais) dari kata dasar trapezithj (trapezites) yang muncul hanya dalam nats ini dari kitab Perjanjian Baru, 16 17 Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear dan Konkordansi..., II, 311. Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear dan Konkordansi..., I, 147. yang memiliki pengertian orang-orang yang mengusahakan bank atau orang-orang yang bekerja di bank.18 Dengan demikian, sesungguhnya sekalipun hamba yang ketiga hanya menerima satu talenta, dia bisa saja menyimpan uang itu di bank sehingga berbunga. Atau dengan kata lain uang itu dapat disimpan sebagai deposito, karena itu sama dengan meminjamkan uang ke bank untuk dikelola oleh pihak bank dan keuntungan bank itu juga menjadi keuntungan orang yang menyimpan uang. Orang yang menemukan potensi dirinya dengan baik, dan ia tahu bahwa hal itu dianugerahkan/dipercayankan Tuhan kepadanya, maka ia pasti tahu apa yang harus dilakukannya dengan potensi tersebut. DR. Petrus Octavianus adalah salah seorang Kristen, yang menyerahkan hidupnya menjadi seorang hamba Tuhan. Beliau seorang hamba Tuhan yang sungguh-sungguh menemukan talenta yang luar biasa, yang Tuhan percayakan kepada beliau. Beliau tidak hanya bangga dengan begitu banyak kekhususan yang Tuhan berikan kepada beliau, melainkan beliau bekerja keras, giat dalam pekerjaan Tuhan, selalu melihat setiap tantangan sebagai peluang untuk terus maju.19 Beliau seorang pemimpin yang visioner, dan suara kenabiannya menembus sampai ke pemerintahan di negara ini,20 bahkan menyuarakan suara kenabian sampai kepada pemimpin dunia.21 Beliau memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh hamba Tuhan yang lain, dan beliau disejajarkan dengan pemimpin-pemimpin lainnya yang memberikan dampak bagi bangsa ini dan bagi dunia. Setiap orang Kristen memiliki keunikan/kekhususannya masingmasing dan memiliki kemungkinan untuk maju di berbagai bidang. Kita harus mewaspadai dan menolak mentalitas karyawan, yang pada umumnya dimiliki oleh penduduk negara ini. Lulus SD, SMP, SMU, S1 kemudian mencari pekerjaan dan hidup berharap pada upah. Setiap orang Kristen harus memiliki kreativitas karena Allah kita adalah Allah yang kreatif, berani berinovasi dan menciptakan manuver-manuver yang berdampak spektakuler. Namun demikian, ada proses demi proses pembelajaran yang harus kita jalani. Kita harus terus belajar dari Tuhan melalui buku-buku, melalui situasi-situasi yang kita hadapi, dan melalui 18 Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear dan Konkordansi..., I, 147. Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear dan Konkordansi..., II, 762. 20 Baca Buku Otobiografi Petrus Octavianus, Hidupku Hanya Oleh Anugerah TUHAN (Batu: Departemen Multimedia YPPII, 2007). 21 Baca Buku Petrus Octavianus, Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) Dan Indonesia Adidaya (2030-2055). I, II, III (Batu: Departemen Literatur YPPII, 2004-2006). 19 orang-orang yang ada di hadapan kita. Karena itu, jika kita adalah petani, harus maksimal sebagai petani; jika kita adalah pedagang, harus maksimal sebagai pedagang; jika kita pegawai negeri atau swasta, harus maksimal sebagai pegawai; jika kita adalah pemimpin, harus maksimal menjalankan kepemimpinannya; dan lain sebagainya. APA YANG AKAN DILAKUKAN PADA SAAT KIAMAT DATANG Tuhan Menuntut Pertanggungan Jawab Pada saat tuan itu kembali pada waktu yang tidak diberitahukan sebelumnya, ia memanggil hamba-hambanya untuk melakukan perhitungan. Dengan kata lain, sang tuan datang dengan tiba-tiba tanpa ada isu-isu ataupun tanda-tanda sebelumnya. Pada perumpamaan sebelumnya dalam Matius 24:36, 44, 50; 25:13, Tuhan Yesus telah menyatakan berulang kali bahwa kedatangan Tuhan yang kedua kali tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Bapa sendiri. Dalam bahasa Yunani, kata perhitungan terdiri dari dua kata yaitu sunai,rei (sunairei), dan lo,gon (logon) yang mana kedua kata ini selalu dipakai bersama-sama yaitu dalam Matius 18: 23 dan 24, Matius 25:19 dan ketiga teks tersebut berbicara tentang perumpamaan untuk mengajarkan tentang kerajaan sorga. Kata sunairei dari akar kata sunai,rw (sunairo) yang berarti memeriksa (catatan keuangan) yang hanya muncul 3 kali dalam Perjanjian Baru, Kata logon dari kata dasar logoj (logos) muncul sebanyak 330 kali dalam Perjanjian Baru dengan banyak pengertian, di antaranya laporan, buku, catatan keuangan, pertanggungjawaban, dan lain-lain. Dalam NIV diterjemahkan settled accounts artinya membereskan laporan/catatan/rekening, sedangkan dalam KJV diterjemahkan reckoneth yang artinya perhitungan. Selain itu, hal yang menarik, kata ini dalam bentuk orang ke-3 tunggal Present Aktif Indikatif yang menunjukkan suatu tindakan yang langsung dilakukan pada saat itu juga. Jadi, kata ini dapat ditafsirkan demikian: (1) Pada waktu tuannya pulang, langsung memeriksa catatan keuangan, laporan, pertanggungjawaban hamba-hambanya. Tidak diberikan waktu untuk membereskannya lagi; (2) Tuannya tidak mengulurulur waktu untuk meminta pertanggung-jawaban hamba-hambanya. Sehingga tidak ada waktu untuk membuat laporan atau pembukuan yang menyeleweng. Oleh sebab itu, tidak ada alasan dan tidak ada waktu untuk bermalas-malasan. Karena akan tiba saatnya, Tuhan akan meng-audit kita sesuai dengan apa yang telah dipercayakan kepada kita. Maka tiap saat, tiap detik kita harus menyiapkan diri untuk itu. Jika Tuhan datang, waktu untuk hidup dan bekerja selesai, maka siap atau tidak siap, hidup kita harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Hamba Mempertanggungjawabkan Kepercayaan Tuhan Segala sesuatu yang dianugerahkan Tuhan kepada orang percaya bukan berarti tanpa pertanggungjawaban/perhitungan. Hamba yang dipercayakan lima talenta telah menghasilkan lima talenta, hamba yang dipercayakan dua talenta telah menghasilkan dua talenta, sedangkan hamba yang menerima satu talenta tidak menghasilkan apapun yang disebut keuntungan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa hamba yang menerima satu talenta itu bukan karena bodoh (tidak memiliki kemampuan), bukan karena malas melainkan tidak taat dan jahat. Hal ini dapat dilihat dari jawabannya kepada tuannya saat dimintai pertanggungjawaban, demikian: “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan memungut dari tempat dimana tuan tidak menanam” (ay. 24). Setiap keputusan dan tindakan pasti ada konsekuensinya. Hamba yang menerima lima dan dua talenta telah bekerja keras, telah mengelola talenta itu secara maksimal. Kita tidak pernah tahu pasti akan waktu dan harinya Tuhan Yesus datang kedua kalinya, tetapi yang harus pasti bagi kita sekarang adalah bahwa kita tiap-tiap hari bekerja keras dan maksimal dalam mengaktualisasikan diri dalam melayani pekerjaan Tuhan sesuai dengan karunia kita masing-masing, di bidang kita masing-masing. Tuhan Memberi Upah Kelimpahan Para hamba yang memutuskan untuk melipatgandakan talenta yang dipercayakan oleh tuannya mendapat nilai A (Baik Sekali) dan predikat sebagai Hamba yang Baik dan Setia. Hamba yang mengusahakan lima talenta dan menguntungkan lima talenta diberi berkelimpahan. Berkelimpahan berasal dari bahasa Yunani perisseutesetai22 dengan kata dasar perisseuo muncul 39 kali dalam Perjanjian Baru23 yang artinya 22 Baca Buku, Petrus Octavianus, Surat Kepada Presiden Amerika George W. Bush, Jr. (Batu: Departemen Literatur YPPII, 2003). 23 Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear dan Konkordansi..., II, 632. berlimpah, berkelebihan, berlimpah-limpah, bertambah, maju, ada keuntungan, melimpahkan, membuat bertambah. Dalam NIV dan KJV diterjemahkan abundance yang artinya kelimpahan atau keadaan berlimpah-limpah. Kata ini digunakan dalam bentuk kata kerja orang ke-3 tunggal Futurum Pasif Indikatif.24 Bentuk Futurum Indikatif selalu berbicara mengenai masa depan maka artinya adalah akan dibuat berlimpah, atau dengan kata lain akan diberikan lebih banyak dari hasil yang telah didapatkan dengan jerih payahnya. Selain itu, hamba yang baik dan setia itu mendapatkan kesempatan yang lebih besar sebagaimana yang dikatakan Sang Tuan: “engkau telah setia dalam perkara kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Dengan demikian, jaminan masa depan bagi setiap hamba yang bekerja keras dalam mempertanggungjawabkan kepercayaan Tuhan berupa talenta-talenta yang dikaruniakan sangat pasti terjamin. Kelimpahan yang ia terima menyangkut reputasinya yang juga akan mengangkat dia ke posisi yang lebih tinggi. Tuhan Memberi Hukuman Hamba yang menerima satu talenta tidak menghasilkan apapun yang disebut keuntungan. Hamba yang memutuskan untuk menyembunyikan talenta yang dipercayakan itu mendapat nilai F (Fail=Gagal) dengan predikat Jahat dan Malas dan ditambahkan lagi pada ayat 30 disebut sebagai hamba yang tidak berguna. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa hamba yang menerima satu talenta itu bukan karena bodoh (tidak memiliki kemampuan), bukan hanya karena malas melainkan tidak taat dan jahat. Hal ini dapat dilihat dari jawabannya kepada tuannya saat dimintai pertanggungjawaban, demikian: “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan memungut dari tempat dimana tuan tidak menanam.” (ay. 24). Dengan demikian, Alkitab juga mencatat bahwa akibat dari sikap dan keputusan yang salah dari hamba tersebut adalah: pertama, talenta yang dipercayakan sebelumnya diambil dari padanya, kedua dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap. 24 Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear dan Konkordansi..., I, 147. PENUTUP Sebagai penutup dari khotbah saya ini, saya ingin menegaskan beberapa hal untuk senantiasa kita renungkan dan lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari, dimana pun Tuhan percayakan kita melayani Dia. Petama, Ucapan Syukur. Mari kita menjalani hidup ini dengan penuh ucapan syukur, karena Tuhan telah mengaruniakan talenta-Nya kepada kita masing-masing. Kedua, Menemukan Talenta. Siapapun kita, terutama yang percaya dan mengenal Tuhan Yesus, pasti ada talenta tertentu yang Tuhan telah karuniakan kepada kita masing-masing. Maka langkah pertama yang dapat kita lakukan adalah menemukan talenta apa yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing. Ketiga, Bekerja Keras. Kita harus meninggalkan kebiasaan santai, malas, hidup tanpa tujuan dan mari kita mengembangkan kebiasaan “berani bermimpi”, berani melangkah dan bekerja keras, maksimal bahkan berusaha sampai “sempurna”. Kita harus berani berinovasi melayani pekerjaan Tuhan. Keempat, Senantiasa Siap Diaudit. Mulai dan akhiri setiap hari dengan ucapan syukur dan menyerahkan diri kepada Tuhan Yesus, jalani hidup sesuai dengan rencana dan kehendak Tuhan Yesus. Apabila Tuhan Yesus datang secara tiba-tiba, kita didapati berkenan di hadapan-Nya. Amin. SPIRITUALITAS CIPTAAN MATTHEW FOX MORRIS PHILIPS TAKALIUANG PENDAHULUAN Teologi terkini yang muncul di Amerika Utara adalah Spritualitas Ciptaan. Teologi tersebut berusaha membawa Gereja kembali kepada akarakar mistik dan radikalisme. Pendiri dan pencetus utama Spiritualitas Ciptaan, yang juga dikenal sebagai spiritualitas yang berpusat pada menciptakan pada masa sebelumnya, adalah seorang pendeta Dominican bernama Matthew Fox. Spiritualitas Ciptaan bukanlah hanya suatu tradisi, tetapi juga merupakan suatu Gerakan. Fox menyatakan bahwa orang-orang yang menemukan Spiritualitas Ciptaan menginginkan roh yang membebaskan jiwa mereka untuk dimanfaatkan dengan baik dalam membebaskan yang lain. Mattew Fox menemukan ide mengenai dosa asali sangat menjijikkan, dan lebih senang memusatkan perhatiannya pada berkat mulamula sebagai dasar teologinya. Umat manusia dapat melakukan dosa, namun mereka tidak harus melakukannya. Segala aksi yang bersifat indrawi, kreatif, dan estetika merupakan langkah-langkah ke arah pemulihan kembali berkat mula-mula tersebut. Fox menyalahkan Augustinus karena telah membujuk Gereja menjauh dari warisan Alkitabiah yang sesungguhnya. Dosa bukan aksi-aksi kehidupan yang dikutuk Gereja karena secara moral bersifat jahat. Namun ini adalah pemikiran yang salah mengenai Allah dan ciptaan-Nya. Kejahatan tidak ditemukan sedemikan besar dalam tingkah laku manusia namun lebih di dalam institusi-institusi tersebut, seperti Gereja, yang melestarikan ide-ide yang salah mengenai ekosistem, kaum wanita, dan masyarakat pribumi. Fox telah dipengaruhi oleh Mistik Kristen Abad Pertengahan. Dua orang yang berperan penting bagi dirinya adalah Hildegard dari Bingen dan Meister Eckhart. Pada tahun 1960 Fox menjadi anggota Dominican dan setelah lulus dari perguruan tinggi ia ditahbiskan menjadi pendeta Dominican tahun 1967. Pada tahun yang sama, akibat pengaruh Thomas Merton, Fox masuk program doktoral di Institut Catholique de Paris, lulus dengan gelar dalam bidang sejarah dan Teologi Spiritualitas. Tujuan Spiritualitas Ciptaan adalah membawa Gereja kembali kepada akar-akar mistik dan radikalisme, dan mulai memengaruhi Pendidikan Pastoral Klinis, baik di Kanada maupun di Amerika. Sasaran awal Fox adalah menjadikan spiritualitas dan teologia diterima publik secara luas. DEFINISI SPIRITUALITAS CIPTAAN Menurut Fox, “Spiritualitas Ciptaan” adalah sekaligus suatu tradisi dan suatu gerakan. Konteksnya ditemukan dalam kosmologi yang didefinisikan secara benar. Suatu kosmologi yang hidup dibentuk oleh trinitas kudus ilmiah, mistikisme, dan seni. Ketiga hal ini sebagai komponen-komponen Spiritualitas Ciptaan. SEJARAH PERKEMBANGAN Fox mengklaim, bahwa Spiritualitas Ciptaan bukan sesuatu yang baru, kecuali hanya bagi orang-orang Barat abad ke-20. Ini merupakan tradisi masa lalu. Semua bangsa telah memusatkan eksistensi mereka pada kosmologi. Mattew Fox menjadi terkenal melalui publikasi beberapa buku dengan judul fantastik: On Becoming a Mucal, Mystical Bear: Spirituality American Style (1972); Whee! We, Wee All the Way Home: A Guide to a Sensual Prophetic Spirituality (1976; dan A Spirituality Named Compassion (1979). Karya-karya utama lainnya meliputi Original Blessing: A Primer in Creation Spirituality (1983); The Coming of the Cosmic Christ (1988); dan Creation Spirituality (1991). Pada tahun 1977, Fox mendirikan Institute of Culture and Creation Spirituality di kampus Holy Names College, Oakland, California (Original Blessing menyajikan prinsip-prinsip berdasarkan program institut tersebut). Meskipun ada wakil dari banyak denominasi, namun kebanyakan siswanya adalah Katolik Roma. Fox juga menerbitkan majalah Crastion, setiap dua bulan, yang mempresentasikan pandangan-pandangan institut tersebut. ASPEK-ASPEK GERAKAN SPIRITUALITAS CIPTAAN MATTHEW FOX Gerakan Spiritualitas ciptaan Matthew Fox mencakup beberapa aspek, yakni antara lain: Teori Sumber, Mistikisme, Panenteisme, Esoterisisme, Gerakan Zaman Baru, Pluralisme, Kristus Kosmik, Humanisme, Gnostisisme, dan Eskatologis Konsisten. Teori Sumber Menurut Matthew Fox, Spiritualitas Ciptaan merupakan tradisi paling kuno dalam Yudaisme dan Alkitab. Sumber Yahwis (atau J) dalam Alkitab Ibrani merupakan tradisi paling tua dalam Alkitab, dan teologinya adalah teologi yang berpusat pada ciptaan. Dengan demikian Fox adalah penganut Teori Sumber JEDP. Pembentukan sejarah dogma dan proses pembentukan kanon PB dilihat dalam terang tesis, antitesis, sintesis. Julius Wellhausen, dengan cara yang sama menginterpretasikan Pentateuch dan berakhir dengan teori JEDP (Yahwis, Elohis, Deuteronomis, Priest). Dokumen J (Yahwis) ditulis oleh seorang pengarang di Yudea selama abad ke-9 SM. Nama Yahweh menonjol dalam naskah ini, yang ditandai oleh gaya epik dan bermacam-macam cerita rakyat, menitikberatkan iman pada leluhur, dan cenderung menggunakan anthropomorfiesme. Julius Wellhausen (1844-1918), dipengaruhi oleh Hegelisme,1 dan mencoba menafsirkan Alkitab dari sudut perkembangan sejarah. Kesimpulan Wellhausen, Alkitab (Pentateukh) bukanlah catatan sejarah, melainkan hanya merupakan susunan karya sastra kuno. Teori Sumber kepenulisan Pentateukh berakar dalam rasionalisme dan skeptisisme zaman itu. Gagasan deisme mengendalikan teologi, sehingga Allah tidak dianggap leluasa campur tangan dalam ciptaan-Nya. Jadi, mujizat-mujizat, nubuat dan bahkan ilham ilahi tidak mungkin terjadi dalam alam semesta yang diciptakan oleh Allah tetapi tertutup bagi keterlibatan-Nya dalam sejarah umat manusia. 1 Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) adalah seorang Panteis, berdasar sumber-sumber JEDP dan tokoh penting bagi Idealisme. Idealisme menunjukan pandangan bahwa pikiran dan nilai-nilai rohani lebih penting dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat materi. Dialektika Idealisme Hegel memberi kontribusi bagi karak-teristik teologi Historis Kritis. Pada akhirnya, PL (bahkan seluruh Alkitab) diturunkan statusnya menjadi sekadar karya sastra manusia biasa, sejenis antologi agama orang Ibrani, dan nalar manusia ditinggikan di atas Alkiab sebagai otoritas yang menentukan. Mistikisme Mistik atau kebatinan adalah paham yang secara sederhana disebut Panteisme yang mempercayai bahwa alam (pan) adalah (Theos). Menurut Prof DR Harvie M. Conn, Mistikisme bukan suatu gerakan khusus bagi Timur Jauh atau Timur Dekat, atau bahkan bagi sekte-sekte ekstrim Asia. Mistikisme dapat ditemui di seluruh dunia, dan unsur-unsurnya atau karakteristiknya kadang-kadang dapat ditemukan di mana bentuk yang lebih sistematis.2 Saat ini, di dunia terdapat paling sedikit 5.000 aliran agama mistik. Frank Gaynor mendefinisikan esensi Mistikisme sebagai suatu filsafat, doktrin, ajaran atau kepercayaan yang lebih berpusat pada dunia roh daripada alam semesta yang bersifat materi, dan bertujuan untuk penggabungan rohani atau kesatuan mental dengan Roh Universal, melalui pengertian induktif dan emosional tentang realitas rohani, dan melalui berbagai bentuk perenungan rohani atau disiplin.3 Mistikisme dalam arti yang paling sederhana dan paling dasar adalah semacam agama yang menekankan kesadaran langsung akan adanya hubungan dengan Allah, kesadaran akan kehadiran oknum ilahi yang langsung dan intim. Unsur-unsur dari gerakan Mistikisme adalah: Pertama, ciri intinya adalah kepercayaan pada wahyu khusus di luar Alkitab. Alkitab hanyalah suatu kesaksian tentang pewahyuan sambil menanti kehadira Allah dalam dialog dengan orang berdosa untuk menjadi pewahyuan khusus. Kedua, dengan hilangnya patokan obyektif, mistikisme menekankan subyektivisme dan emosionalisme. Ketiga, kurang menekankan Gereja yang ada dan berpusat pada satu pemimpin. 2 Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1988), Cet. ke-2, 113. 3 Frank Gaynor, Dictionary Of Mysticism (New York: Philosophical Library, 1953), 119. Keempat, penekanan mistis ada pada hal yang menakyubkan. Yang ditekankan bukan karunia-karunia Roh Kudus yang biasa, tetapi karunia Roh Kudus yang luar biasa. Kelima, menekankan eskatologi dalam arti terbatas. Jadi, Fox memandang Mistikisme sebagai bentuk prosedur keagamaan yang berpusat pada pengalaman pribadi dengan yang ilahi. Baginya, semua agama memiliki aspek-aspek mistik; orang-orang percaya mempertahankan keyakinan penting di dalam realitas transcendental hanya selama mereka berkomunikasi dengan realita tersebut melalui pengalaman langsung. Karena setiap manusia berpotensi untuk memperoleh pengalaman keagamaan, maka setiap individu memiliki kemungkinankemungkinan mistik. Panentheisme Fox memposisikan Yesus sebagai model utama Panenteisme dalam Alkitab. Matius menekankan Yesus dalam Injilnya sebagai Immanuel (Mat 1:22), merupakan penekanan pada sifat imanensi keilahian dalam pribadiNya dan dalam tatanan ciptaan melalui kehadiran-Nya.4 Menurutnya, Panentheisme bersifat Alkitabiah. Esoterisme Ketika Hawa melihat bahwa buah pohon itu amat menarik bagi matanya, ia pun melanggar perintah Allah dan memakan buah itu. Setan menjanjikan bahwa matanya akan terbuka. Filsafat Setan ini dikenal sebagai esoterisisme, yang merupakan jantung Zaman Baru. Kepada kita dikatakan bahwa terdapat suatu transformasi kesadaran yang mendorong kita kedalam kerohanian sejati. Secara historis, kaum esoterik meyakini bahwa mereka mengetahui rahasia pengetahuan khusus yang tersembunyi bagi khalayak ramai. Kita harus meninggalkan agama di belakang kita dan memasuki petualangan ke dalam dimensi-dimensi pengetahuan dan penerangan baru. Sasaran akhirnya adalah perubahan rohani. Doktrin tidaklah penting. Yang penting adalah suatu pengalaman keagamaan, perasaan kebersatuan dengan kekuatan atau energi yang disebut Allah. Nalar tidaklah menolong Anda. Anda harus menggunakan 4 1988), 69. Matthew Fox, The Coming of the Cosmic Christ (New York: Harper and Row, teknik yang benar untuk masuk ke dalam realitas tertinggi. Hal-hal irasional diterima; nalar ditolak.5 Gerakan Zaman Baru Gerakan Zaman Baru dikenal dengan berbagai macam nama. Beberapa sebutan yang paling lazim adalah Zaman Aquarius, Kesadaran Baru, Orientalisme Baru, Humanisme Kosmik, Tatanan Dunia Baru, Esoterisme Baru dan Globalisme Baru. Apapun namanya, pendirian dasarnya sama. Fox dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Zaman Baru. Keyakinankeyakinan Timur yang terdapat dalam inti Gerakan Zaman Baru adalah; Allah bukanlah pribadi–kekuatan, energi, dan satu-satunya realitas yang meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya, segala sesuatu adalah Allah, dan Allah adalah segala seuatu. Keselamatan diperoleh melalui meditasi. Keyakinan-keyakinan dasar Gerakan Zaman Baru telah diberikan oleh Setan di Taman Eden dan telah menjadi bagian paganisme kuno (Kej 3: 4-5). Kamu akan menjadi seperti Allah (Panteisme) Sekali-kali kamu tidak akan mati (Reinkarnasionalisme) Kamu akan mengetahui yang baik dan yang jahat (Relativisme) Matamu akan terbuka (esoterisme) Zaman Baru berubah menjadi suatu kebangkitan kembali Zaman Kuno, sebab pengajaran dalam agama-agama misteri di zaman kekafiran Yunani dan Romawi juga didasarkan pada ide adanya pengetahuan rahasia yang dapat diperoleh dengan menyelidiki kedalaman jiwa seseorang. Melalui perjumpaan mistis dengan kekuatan-kekuatan kosmis, menjadi mungkin menerima penerangan. Pluralisme Menurut Fox, Yesus adalah juga satu jalan kepada Allah, namun pastilah bukan satu-satunya jalan kepada Allah. Menurut Gustave H. Todrank, Yesus adalah salah satu Kristus atau a Christ bukan the Christ. 5 Erwin W. Lutzer & John F. DeVries, Strategi Setan Dalam Zaman Baru (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1989), 15-16. Dalam kategori inilah, Todrank menyamakan Gandhi, Albert Schweitzer, J.F. Kennedy, Martin Luther King, Mao Tse Tung sebagai kristus-kristus yang lain.6 Pluralisme menolak semua klaim agama yang bersifat absolut, mutlak, unik, normatif eksklusif atau finalitas. Pluralisme agama menolak finalitas Kristus sebagai dasar dari iman Kristen. Karena itu dapat juga disebut Pluralisme adalah merupakan suatu ajaran antikristus, yang berusaha menyamakan bahkan menggantikan Kristus dari Nazareth dengan kristus yang kosmis yang panteistis atau kristus-kristus palsu. Konsep kebenaran pluralisme merupakan perpaduan antara relativisme dan subyektivisme. Tidak ada standard normatif dan obyektif tentang kebenaran. Pluralisme bukanlah sekadar suatu konsep sosiologis, melainkan lebih merupakan doktrin teologis yang didasarkan pada relativisme yang bersumber pada pandangan dunia individualis Barat, maupun pandangan dunia Oceanis (Hindu), sehingga keunikan dan finalitas Kristus dianggap sebagai sebuah mitos yang perlu ditinggalkan. Fox mengangkat Revolusi Copernicus dalam agama. Umat manusia tidak perlu lagi menganggap diri mereka sendiri sebagai makhluk ciptaan yang jatuh dan tersesat. Revolusi Kopernikus adalah suatu istilah yang dipakai oleh kaum pluralis untuk menggambarkan adanya peralihan paradigma atau transformasi radikal dari posisi teologis kristosentris kepada theosentris. Mengacu pada Allah sebagai pencipta semesta dengan pluralitasnya, maka menurut kaum pluralis tidak ada alasan bagi siapapun dan agama apapun untuk mengklaim memiliki kebenaran maupun pengetahuan yang mutlak dan normatif. Kristus Kosmik Fox bersama beberapa mistikus termasuk Teilhard de Chardin, salah satu mistikus terkemuka pada abad ke-20 memberi simbol pada Teologi Spiritualitas Ciptaan. Ia berusaha membentuk spiritualitas yang berpusat pada manusia yang makin berkembang menuju titik Omega Kristus (sejarah manusia berkembang ke arah klimaks, semua disempurnakan dalam Kristus).7 Teilhard tidak menolak pandangan tradisional mengenai Kristus 6 Lih. Gustave H. Todrank, The Secular Search or A New Christ (Philadelphia: The Westminster Press, 1969). 7 Tony Lane, Runtut Pijar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), Cet. ke-4, 262. yang hitoris sebagai Anak Allah yang menjelma. Tetapi ia lebih menitikberatkan Kristus yang kosmis. Kristus seutuhnya atau tubuh Kristus yang mistik berkembang di dalam kerangka evolusi manusia. Penebusan harus dilihat sebagai proses evolusi ini. Jadi, peran apa yang dimainkan oleh Yesus Kristus dalam Spiritualitas Ciptaan Fox? Yesus Kristus berfungsi sebagai prototipe untuk ciptaan baru tersebut. Dia adalah model utama bagaimana manusia memperbarui gambar Allah yang adalah diri kita sendiri. Yesus adalah juga satu jalan kepada Allah, namun pastilah bukan satu-satunya jalan. Yesus Fox bukanlah satu pribadi historis harfiah, namun lebih sebagai Dia adalah suatu prinsip potensialitas ilahi yang mungkin ditemukan dalam setiap makhluk hidup (makluk ciptaan yang hidup). Prinsip ini dia sebut Kristus Kosmik. Humanisme Fox mengajarkan bahwa umat manusia adalah pencipta–bahkan pencipta Allah sendiri. Humanisme telah memutuskan untuk memandang manusia sebagai ukuran atau kaidah segala sesuatu. Itu berarti menarik mundur dari Allah, dan juga penolakan terhadap Allah yang mahakuasa. Prof. Dr. Eta Linnemann mengatakan bahwa, orang-orang Humanis berbicara tentang Allah dan memakai nama-Nya, tetapi apa yang mereka katakan tentang Allah tidak didasarkan atas Firman Allah. Mereka memandang dirinya sebagai orang Kristen, tetapi mereka tidak tunduk kepada Firman Tuhan. Pikiran mereka didasarkan atas pikiran manusia yang makin lama makin jauh dari Firman Allah.8 Doktrin Gerakan Zaman Baru mengajarkan, jika segala sesuatu adalah Allah, maka manusia adalah Allah juga. Fox mengangkat Revolusi Copernicus dalam agama. Umat manusia tidak perlu lagi menganggap diri mereka sendiri sebagai makhluk ciptaan yang jatuh dan tersesat. Pandangan ini akan mengganggu misi sejati mereka dalam kehidupan, yang adalah menjadi pelaku transformasi. Tentang Pencerahan, Fox menyatakan bahwa telah merampas dari masyarakat kita nilai firman tersebut; ada banyak jalan memperoleh persekutuan dengan Allah. Ini mencakup ekstasi natural, dan ekstasi taktis. Fox mengutip pernyataan Yesus bahwa seseorang harus menjadi seperti 8 Eta Linnemann, Teologi Kontemporer: Ilmu Atau Praduga (Batu: Institut Injil Indonesia, 1991), 21. anak kecil sebelum masuk ke dalam Kerajaan Allah–itu berarti mengambil crayon, bekerja dengan gambar-gambar, main dengan permainan. Manusia bukan hanya dapat menjadi rekan pencipta bersama Allah, tetapi bahkan menjadi pencipta Allah! ...manusia bertanggung-jawab untuk melahirkan dan memelihara Allah. Nikos Kazantzakis, yang mengarang The Last Temptation of Christ, pernah mengatakan, Bukanlah Allah yang akan menyelamatkan kita– kitalah yang akan menyelamatkan Allah, dengan memperjuangkan, dengan menciptakan dan mengubah ke dalam roh.9 Shirley Maclaine mengatakan bahwa kata atonement (penebusan) berarti At-one-ment (kesatuan) dengan pencipta yang semula atau dengan ciptaan yang semula.10 Kita adalah pencipta dan sekaligus juga ciptaan, dan kita dapat membawa keduanya menjadi lebih dekat. Kemungkinan terjadi atonement tegantung pada kita. Panteisme mengajarkan bahwa Allah jatuh dan manusia menyelamatkan-Nya! Tetapi manusia tidak pernah jatuh. Manusia menyelamatkan Allah dengan membawa kembali aspek keilahian material ke dalam keharmonisan dengan hal yang spiritual. Maharishi, yang seringkali dikenal sebagai bapa meditasi transcendental mengatakan, Tenanglah dan sadarilah bahwa Anda adalah Allah. Terry Cole-Whittaker, yang pernah mengaku sebagai seorang penginjil Kristen, berkata, Anda adalah Allah. Kita bersama adalah Alah. Dan bersama dengan kesadaran, kebangkitan dan pilihan kita sendiri, kita menciptakan kerajaan Allah. Sembahlah diri Anda sendiri, Anda adalah terang.11 Gnostisisme Gerakan Fox bersifat radikal dalam semangat heresi Gnostikisme, berusaha menurunkan Allah dari takhta demi esoterik yang kacau, berdasarkan tehnik-tehnik meditatif dan usaha manusia. Nama gnostikisme berasal dari kata Yunani gnosis yang berarti pengetahuan dan menekankan karakter dari bidat ini. Istilah Gnostik 9 AFA Journal, Juli 1988, 22. Shirley Maclaine, Out on a Limb (New York: Bantam Books, 1983), 107. 11 Terry Cole-Whittaker, The Inner Path from Where You Are to Where You Want to Be (New York: Fawcett Crest, 1986), 39. 10 khusus dipakai sebagai sebutan bagi beberapa aliran kepercayaan (aliran Valentinus dan Basilides), pada abad ke-2. Ajaran Gnostik bersumber dari percampuran antara agama timur, yaitu agama Mesir yang menyembah Dewi Isis dan Dewa Osiris, Agama Siria yang menyembah Dewa Baal, Agama Persia yang menyembah Dewa Mitras dan Agama Asia yang menyembah Dewi Khibele; dan filsafat barat, yaitu: Pikiran filsafat Plato tentang dunia idea (materi adalah jahat sedangkan roh adalah baik), dan ditambah lagi konsep pemikiran tentang keselamatan dari agama Kristen. Dengan demikian, wujud Gnostikisme pada hakikatnya adalah Sinkretisme yang dualistis panteistis. 12 Azas-azas ajaran Gnostik: PB dipisahkan dari PL. Keberadaan pengantara dalam rangkai-an ini adalah demiurgos, yaitu Allah PL yang tak disukai.13 Allah pencipta tidak sama dengan Allah Bapa Yesus Kristus Materi (zat jasmani) bukanlah ciptaan Allah yang baik, melainkan dianggap jahat menurut hakikatnya Kehidupan jasmani manusia adalah jahat, dan patut diingkari Tidak ada kebangkitan daging dan tidak ada dunia yang baru, sebab seluruh materi akan binasa kelak Eskatologi Konsisten Fox mengantisipasi penciptaan Zaman Baru, Zaman Aquarius tersebut, yang dia duga, akan mengganti Era Pisces (Era Kekristenan) menjelang tahun 2000. Seringkali bilangan 666 dimasukkan ke dalam berbagai diagram dan tanda. Semua ini menandakan bahwa kita sedang mengucapkan salam perpisahan kepada Zaman Pisces dan menyambut kedatangan Zaman Baru Aquarius. Fox mengutip pernyataan Albert Schweitzer sebagaimana satu di antara beberapa umat Kristen Modern yang mengutip Yesus sebagai satu mistik. Aliran eskatologi yang dipimpin Albert Schweitzer (1875-1965) dan J. Weiss (1863-1914), lazim dikenal sebagai aliran Eskatologi Konsisten. 12 Paulus Daun, Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa (Manado: Yayasan Daun Family, 1999), Cet. ke-11, 46. 13 Paul Enns, The Moody Handbook of Theology. Jilid 2. Terj. (Malang: Literatur SAAT, 2004), 33. Dalam buku Geschichte der Leben-Jesu-Forschung (Sejarah Penelitian Hidup Yesus) Schweitzer menulis, bahwa Yesus itu seorang yang mempunyai gagasan-gagasan yang aneh-aneh dan menakutkan. Sebab Ia adalah ahli apokaliptik, yang hidupnya jauh dari dunia ini, yang mengharapkan kedatangan Kerajaan masa depan itu pada masa hidup-Nya dan bahwa Ia benar-benar kecewa pada waktu Ia dibawa ke pengadilan lalu disalibkan. Ia keliru dalam harapan-Nya.14 E VALUAS I Matthew Fox merupakan pendukung satu gerakan yang sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Zaman Baru. Spiritualitas Ciptaan merupakan bidat Kristen yang terjalin dengan pikiran mistik Timur. Terbukti adalah mistik Kristen, namun mereka tidak sendirian. Walau Fox mengklaim sebagai seorang Panenteisme dalam doktrinnya tentang Allah, namun sukar menerima pandanganpandangannya yang sangat berbeda dengan Panteisme. Fox telah menyingkirkan Allah dari Alkitab dan mengganti posisi Allah dengan manusia dan ciptaan yang diallahkan. Fox mengajarkan bahwa umat manusia adalah pencipta–bahkan pencipta Allah sendiri. Namun Alkitab mengajarkan bahwa Allah adalah trans-cendental; Dia adalah yang–Lain. Dia adalah sang Pencipta, dan baik kita maupun dunia ini di mana kita hidup bukanlah perpanjangan Keberadaan-Nya. Kita telah diciptakan oleh Allah dan Dia berotoritas atas kita; kita tidak berotoritas atas Dia. Kita mungkin dapat menegaskan keinginan Fox untuk mengasihi dan peduli pada ciptaan. Salah satu fungsi dari imago Dei dalam manusia adalah untuk mempresentasikan Allah dalam ciptaan; kita adalah pengurus ciptaan. Namun kebaikan ciptaan tidak bersifat intrinsik; ciptaan itu baik karena Allah telah mendeklarasikan demikian. Bahwa bumi diciptakan dan bukan bersifat ilahi tidak mengurangi kebaikannya. Kita mungkin setuju dengan Fox bahwa umat manusia diilhami kreativitas. Ini adalah bagian dari kesatuan–utuh manusia, juga sepa-kat bahwa Allah mengundang manusia untuk berpartisipasi bersama Dia dalam karya penciptaan tersebut. Namun sebutan manusia sebagai rekan pencipta adalah tindakan yang berlebihan. Apapun yang kita mungkin ciptakan tidak pernah bersifat ex nihilo, namun dari bahan yang telah ada yang sebelumnya diciptakan oleh Allah. 14 Lih. Harun Hadiwijono, Theologia Reformatoris Abad Ke 20 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 23. Yesus Kristus menempati posisi yang terlalu kecil dalam sistem Matthew Fox. Jika iman di dalam Kristus bukan satu-satunya jalan menuju Allah–dan Fox mengatakan ada banyak jalan–maka Yesus dapat disingkirkan karena tidak dibutuhkan. Fox mengklaim bahwa penyaliban Kristus memiliki kepentingan tertentu. Namun kita menemukan bahwa kematian-Nya hanya memiliki nilai simbolis sampai pada tingkatan bahwa itu berfungsi sebagai suatu model bagi usaha untuk mentransformasi kemanusiaan. Sebagai kemenangan obyektif atas dosa dan kematian ini tidak memiliki nilai. Dengan demikian, Spiritualitas Ciptaan bertentangan dengan ajaran Alkitab yang menempatkan Yesus sebagai satu-satunya jalan menuju Allah (Yoh 14:6) dan kematian-Nya sebagai sarana merekonsiliasi manusia kepada Allah (Rm 5:10). Juga, pemahaman Fox tentang Roh Kudus bukan bersifat orthodox. Usaha menghubungkan Pribadi ketiga dalam Trinitas dengan Dewi kafir sebagai usaha untuk menjangkau pribadi feminin dalam ketuhanan adalah kafir, bukan Kristen. Fox mengklaim bahwa Roh Kudus tidak tinggal dalam semua manusia.15 Menurut Alkitab Roh Kudus diam di dalam manusia milik Kristus (Kis 2:38). Ketika sampai pada dosa, Gerakan Spiritualitas Ciptaan menjadi kacau, baik disebut buruk dan buruk disebut baik. Fox mengatakan bahwa hal-hal yang disalahkan Alkitab karena jahat seperti homo-sexualitas, penggunaan obat-obatan, astrologi, dan tenung–sebenar-nya merupakan alat penunjang kerohanian yang secara potensial berguna. Fox mengutuk Gereja karena Gereja dianggap sebagai kubu pertahanan bagi kejahatan. Mungkin tidak semua setuju dengan Agustinus, namun Alkitab– bukan dia–yang bertanggungjawab untuk mencacat kejatuhan dan kejahatan manusia. Dan meskipun kita simpati dengan keinginan Fox untuk memberi lingkungan kehidupan, kaum wanita dan masyarakat-masyarakat pribumi posisi yang terhormat dan layak di dunia, namun pelanggaran terhadap kelompok-kelompok ini–yang diakui bersifat jahat–bukanlah satu-satunya kejahatan di duni ini. Tingkah laku manusia yang tidak memenuhi standardstandard Allah adalah juga dosa (lih. Gal 5:19). Manusia tidak mampu mentrasformasi keberadaannya sendiri. Meditasi–jenis apapun itu–bukan kunci untuk bersekutu dengan Allah atau untuk suatu kehidupan yang diubahkan. Kristus yang dapat mengefektifkan keduanya. Wayne Boulton mengkritik Fox sebagai simplistik, sedikit seperti seorang Robert Schuller dari sayap kiri. 15 Fox, Creation Spirituality, 105. Kapan Zaman Baru, atau kerajaan tersebut datang? Ini berada dalam jadwal Allah dan bukan hasil inisiatif manusia. Tidak ada usaha manusia yang sebesar apapun akan mengefektifkan satu transformasi universal atas dunia ini. Teologi Fox berorientasi pada usaha, selalu mengandalkan manusia untuk menarik dirinya sendiri, secara total untuk menyelamatkan keberadaannya sendiri. Menurut Boulton kesalahan Fox yang paling berbahaya adalah bahwa dalam arti Kristen dia tidak cukup bersifat mistik. Ketika beberapa hal terpenting dari PB–surga, kehidupan yang akan datang, dan penghakiman atas dunia ini–Fox bungkam tentang hal ini; spiritualitasnya yang berpusat–kepada ciptaan menyingkirkan hal ini. KESIMPULAN Sesungguhnya Teologi Matthew Fox bersifat radikal. Dia tidak mendukung ide Yesus Kristus satu-satunya jalan kepada Allah, yang diyakini ratusan orang percaya mula-mula sehingga dengan sukacita menjalani kematian mereka. Gerakan Fox bersifat radikal dalam semangat heresi Gnostikisme yang berusaha menurunkan Allah dari takhta demi esoterik yang kacau, berdasarkan tehnik-tehnik meditatif. Sesungguhnya nilai Spiritualitas Ciptaan bukan terletak pada teologi namun dalam kepedulian pastoral. Ajaran gerakan tersebut telah menjadi mode diantara banyak lembaga pendidikan pastoral dan para praktisi yang peduli pada pastoral. Penolakan Fox akan Worm Theology patut dipuji sebagaimana juga keinginannya untuk membimbing umat manusia menemukan kembali berkat mula-mula. Usaha apapun untuk meredakan penderitaan manusia, mengangkat yang terinjak-injak, dan menekankan belas kasih akan mendapatkan posisi yang terhormat di mata manusia. Mungkin Fox telah memberi kontribusi bagi penegasan harga diri dan nilai kepribadian, tetapi pada saat yang sama pastilah kita bertanyatanya, bagaimana usaha spiritual yang dibangun di atas fondasi yang rapuh pada akhirnya bisa bernilai? Telah terbukti, bahwa doktrin Panentheistik Fox tentang Allah dan dosa adalah salah dan diputarbalikkan. Bagaimana satu teologi bisa bermanfaat jika secara keseluruhan keliru sejak awal??? IBADAH DALAM KITAB WAHYU FERDINAN S. MANAFE PENDAHULUAN Ibadah adalah tugas utama Gereja. Gereja masa kini mau atau tidak, suka atau tidak harus memperhatikan dan menata ibadahnya dengan baik. Mengapa? karena kecenderungan jemaat masa kini, ingin menikmati ibadah (baca: suasana ibadah) yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Ibadah yang baik dalam pandangan jemaat pada umumnya adalah ibadah yang menyenangkan dan dapat memenuhi kebutuhan psikologisnya. Dan ibadah yang baik itu adalah yang memiliki faktor “entertain” di dalamnya, misalnya dengan full band, tarian tamboring, liturgi yang tidak kaku dan semua jemaat diberi kebebasan dalam berekspresi. Apakah ibadah seperti itu adalah ibadah yang baik? Apa kata Alkitab tentang ibadah? Melalui tulisan ini penulis ingin memaparkan bagaimana ibadah dalam kitab Wahyu. Bagaimana ibadah itu terjadi dalam konteks kitab Wahyu, dan prinsip apakah yang dapat kita aplikasikan dalam konteks ibadah Gereja masa kini? LATARBELAKANG KITAB WAHYU Judul kitab Wahyu dalam bahasa Yunani ditulis Apokalypsis artinya sesuatu yang disingkapkan, sekalipun ada pembaca yang menyatakan bahwa tidak banyak yang disingkapkan.1 Kata Apo artinya “jauh dari” dan kalupsis artinya “kerudung” atau “penutup.” Jadi, Apokalupsis berarti ”jauh dari ketertutupan.” Atau dengan kata lain berarti menyingkapkan, menyatakan, membukakan, sehingga tidak lagi tersembunyi atau tertutup. 2 Untuk mengerti lebih lanjut tentang kitab Wahyu, berikut ini, penulis akan memaparkan latarbelakang penulis, waktu dan tempat penulisan, alamat dan tujuan penulisan, metode penafsiran, teologia dan secara khusus ibadah dalam kitab Wahyu. 1 Simon J. Kistemaker, Revelation; New Teatament Commentary (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2001), 3. 2 Eddy Fances, Wahyu kepada Rasul Yohanes (Jakarta: YASINTA, 2001), 9. Penulis Kitab Wahyu Penulis kitab Wahyu empat kali disebut sebagai Yohanes (1:1, 4; 21:2; 22:8). Para bapa gereja mendukung pendapat ini bahwa Yohanes adalah penulis kitab Wahyu. Sebagaimana ditulis oleh Steve Gregg bahwa; Para Bapa Gereja - misalnya, Justin Martyr (d.165), Irenaeus (c.180), Clement dari Alexandria (wafat 215), Tertulianus (d.220) – Sepakat bahwa penulis kitab ini adalah Yohanes, anak Zebedeus, salah satu dari dua belas rasul, dan "murid yang dikasihi" Kristus, yang kepada dipercayakan untuk menulis Injil keempat dan ketiga surat. 3 Meneguhkan pendapat di atas, Dave Hagelberg menulis sebagai berikut. Justinus Martyr menulis dalam Dialog dengan Trypho (tahun 135) bahwa Rasul Yohanes adalah penulis Kitab Wahyu. Pernyataan itu dapat diterima kebenarannya, karena selama beberapa tahun Justinus tinggal di Efesus. Eusebeus, Irenius, Clement, Origen, Tertullianus dan Hippolytus juga mendukung pengertian ini, yaitu Rasul Yohanes sendiri penulis Kitab Wahyu.4 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Rasul Yohanes anak Zebedeus, salah seorang dari 12 Rasul, dan yang disebut sebagai murid yang dikasihi Tuhan Yesus adalah penulis kitab Wahyu. Waktu Dan Tempat Penulisan Kitab Wahyu ditulis pada zaman Kaisar Domitian di Roma (tahun 81-96). Rasul Yohanes dibuang ke Pulau Patmos (1:9). Menurut Eusebius dan Jerome, sejarahwan dan bapa gereja yang terkenal, diperkirakan kitab ini ditulis antara tahun 83-96 AD. Maka tidak heran kalau latar belakang politik dan sosial dari kitab ini sangat dipengaruhi oleh warna penjajahan Romawi atas bangsa Yahudi. Domitian memaksa semua orang dibawah jajahannya agar memanggilnya sebagai “Allah” dan menyembahnya.5 3 Steve Gregg, Edit., Revelation; Four Views A Parallel Commentary (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1997), 12. 4 Dave Hagelberg, Tafsiran Kitab Wahyu Dari Bahasa Yunani (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1997), 1-2 5 Fances, Wahyu…, 9-10. Dalam konteks inilah Rasul Yohanes menulis kitab Wahyu. Maka berdasarkan data dari dalam kitab Wahyu dan pendapat bapa-bapa gereja, Rasul Yohanes menulis kitab Wahyu tahun 95,6 menjelang berakhirnya pemerintahan Kaisar Domitian (81-96 M). Dan tempat penulisan adalah Pulau Patmos. Alamat Dan Tujuan Penulisan Secara khusus, kitab ini ditulis untuk tujuh jemaat di tujuh kota di Asia Kecil yaitu Propinsi Asia yang terletak di bagian barat negara Turki (Why 1:11). Jarak antara tujuh kota itu sekitar 50-80 kilometer. Setiap tujuh kota tersebut mempunyai kantor pos besar untuk wilayah Propinsi Asia bagian barat-tengah.7 Secara umum, sebagai bagian dari Alkitab, kitab ini juga ditulis untuk setiap orang Kristen (Why 2:7, 17, 29; 22:18). Kitab Wahyu ditulis dan dikirim kepada orang-orang Kristen dari ketujuh jemaat (dan kepada kita) untuk mendorong, menegur, dan membesarkan hati mereka (dan hati kita), demikian pendapat Hagelberg. 8 Kistemaker lebih jauh menuliskan bahwa; ” Tujuan Wahyu adalah untuk mendorong dan menghibur orang percaya dalam perjuangan mereka melawan Setan dan para pengikutnya.9Jadi, tujuan kitab Wahyu ditulis bukan untuk menakutkan orang percaya justru sebaliknya. “membuka 6 Data-data yang mendukung pendapat ini adalah: (1) Irenius mengatakan bahwa Wahyu ditulis pada akhir kerajaan Domitianus. (2) Sudah ada pengalaman yang matang dari ketujuh jemaat itu. Jika hal itu terjadi pada masa kerajaan Nero, belum ada waktu untuk memungkinkan terjadinya kemerosotan jemaat Tiatira, Sardis, dan Laodikia, ataupun ketekunan jemaat Efesus, Smirna, dan Filadelfia yang diceritakan dalam pasal 2-3. (3) Kota atau jemaat di Laodikia menganggap dirinya kaya (Wahyu 3:17), tetapi pada masa kerajaan Nero kota itu terkena gempa bumi (tahun 60 atau 61), sehingga pada saat itu mereka tidak lagi menganggap diri kaya. (4) Adanya penganiayaan (1:9; 2:10, 13; 3:10) cocok dengan zaman Domitianus. Setelah musibah kebakaran kota Roma, Nero mengambinghitamkan orang Kristen di kota Roma, dan mereka dianiaya secara kejam. Penganiayaan tesebut bukanlah yang diceriterakan dalam kitab Wahyu, karena penganiayaan tersebut hanya terjadi di kota Roma, sedangkan yang disebutkan dalam kitab Wahyu juga terjadi di Asia Kecil. Pada zaman kerajaan Kaisar Domitianus penyembahan kepada Kaisar sudah menjadi kewajiban yang membawa hukuman maut. Orang Kristen yang tidak siap menyembah Kaisar Domitianus dianiaya disetiap tempat. Inilah pendapat Mounce yang dikutip Dave Hagelberg, Tafsiran Kitab Wahyu (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1997), 4. 7 Hagelberg, Tafsiran…, 5. 8 Ibid. 9 Kistemaker, Revelation…, 53. rahasia bahwa dalam konflik antara Kristus dan Setan, Kristus adalah pemenang dan setan telah dikalahkan.” 10 Dengan demikian, tujuan kitab Wahyu ditulis adalah untuk memberi pengharapan bagi orang percaya, bahwa Kristus yang telah menang akan memelihara umat-Nya. Ia akan memimpin umatnya masuk ke dalam kekekalan yang penuh berkat (19:1-9; 21:2,9). Konteks Penulisan Untuk memperoleh pemahaman yang memadai, penulis akan memaparkan konteks dimana kitab Wahyu ditulis, untuk menolong mengerti situasi ibadah jemaat di Asia dan jemaat pada umumnya. Gereja Yohanes menulis tujuh surat kepada gereja-gereja di Propinsi Asia. Isi dari surat- surat ini menyatakan konteksnya dan refleksi waktu ketika disusun. Nampaknya penerima surat ini adalah orang-orang Kristen generasi kedua. Kondisi ketujuh jemaat menunjukkan bahwa mereka baru saja menerima Injil. Hal itu nampak dalam isi surat tentang kasih yang mula-mula, ajaran pengikut Nikolaus, penganiayaan, para martir, ajaran Bileam, perzinahan, seluk beluk Setan, dan menjadi kaya dengan kekayaan duniawi. Bahkan gereja-gereja ini tidak menunjukkan sikap sebagai gereja yang pernah didirikan dan digembalakan oleh Rasul Paulus pada tahun 50an. Misalnya, Paulus melayani selama tiga tahun (53-56) di Efesus dan menulis surat-surat kepada Timotius, yang menjadi gembala di sana tahun 60-an. Tak ada satupun, di dalam Kisah Para Rasul atau surat-surat Paulus menyatakan kondisi umum di gereja Efesus, ketika Yohanes menulis surat yang didiktekan oleh Yesus. Kemerosotan iman telah terjadi di Efesus dan gereja-gereja lain. Surat-surat pribadi kepada Timotius tahun 60-an bahkan surat-surat Am dari Rasul Petrus dikirim ke daerah yang sama pada waktu itu, merefleksikan situasi yang digambarkan oleh Yesus dalam surat-surat kepada gereja-gereja di Propinsi Asia. Paulus melawan Yudaisme yang menyelinap masuk ke dalam gereja; ajaran Nikolaus, pengikut Bileam, dan pengikut Izebel.11 Milligan yang dikutip oleh Kistemaker menulis bahwa; 10 11 Kistemaker, Revelation…, 53. Ibid., 34. Ketika kita membaca tujuh, khususnya empat terakhir, surat-surat dalam Wahyu, kita berada dalam suasana yang berbeda. Tidak sesempit Yudaisme, tetapi imoralitas liar dan keduniawian kekafiran kini berjuang untuk menang, dan orang Kristen harus dikalahkan, bukan agama Yahudi, tapi dunia dalam arti luas.”12 Dengan demikian kondisi gereja waktu itu sedang dalam kondisi yang sangat merosot. Gereja kembali kepada hidup yang lama. Penganiayaan Melalui kitab Wahyu, Yohanes menyinggung soal penganiayaan yang umat Allah harus pikul. Ia sendiri mengalami kesukaran melalui pembuangan ke Pulau Patmos oleh karena “firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus” (1:9). Dan ia menuliskan kata-kata yang memberi semangat dan dorongan kepada jemaat di Smirna; ” Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita! Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (2:10). Ia menunjuk kepada orang-orang kudus yang telah mati dibunuh (2:13; 6:9-10; 16:6; 17:6; 18:24; 19:2; 20:4), dan ia memperingatkan para pembaca akan waktu pencobaan (3:10). Kekaisaran Romawi dipimpin oleh kaisar Nero (tahun 54-68). Mengingat nama kaisar Nero, selalu dikaitkan dengan kebakaran besar di kota Roma dan penganiayaan orang Kristen setelah kebakaran itu. Pagipagi sekali pada tanggal 19 Juli 64 ada api di Circus Maximus (tempat perlombaan kereta pertempuran). Selama lima hari, api memakan kota Roma.13 12 Kistemaker, Revelation…, 34. Tentang terbakarnya kota Roma: menurut beberapa saksi mata ada orang yang membesarkan api itu dengan sengaja, dan orang yang berusaha untuk memadamkannya dihalangi orang lain. Menurut kabar angin, api itu dinyalakan atas perintah Kaisar Nero, karena dia mau membangun kembali kota Roma sesuai dengan impiannya. Nero menuduh orang Kristen dan menghukum orang-orang Kristen dengan sangat kejam. Ada yang disalibkan, ada yang dijahit dalam kulit binatang, kemudian diburu dan dimakan anjing yang lapar, ada yang dilumuri dengan ter dan dinyalakan sebagai obor. Menurut tradisi yang cukup kuat, Rasul Paulus dan Petrus juga mati syahid dalam penganiayaan yang dilakukan oleh Nero; Dave Hagelberg, Tafsiran Kitab Wahyu Dari Bahasa Yunani (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1997), 6-7. 13 Nero meninggal pada tanggal 9 Juni 68. Selama satu tahun, yaitu antara kematian Kaisar Nero dan kedatangan Vespasian, terjadi perang saudara di kota Roma, dimana empat Kaisar naik takhta Kekaisaran Romawi. Akhirnya, Kaisar Vespasian-lah yang menghentikan kekacauan politis itu. Maka dimulailah wangsa Flavianus didirikan.14 Kitab Wahyu ditulis pada akhir wangsa Flavianus, yang terdiri dari Kaisar Vespasian (69-79), Kaisar Tituts (79-81) dan Kaisar Domitianus (8196). Pada waktu itu, wilayah Kekaisaran Romawi sangat luas. Pada dinasti Flavianus, Kekaisaran mencapai kepulauan Inggris dan daerah Jerman. Sistem pemerintahannya totaliter, kaisar berkuasa mutlak. 15 Pada waktu Kitab Wahyu ditulis, menyembah Kaisar Domitianus sudah diwajibkan sebagai tanda kesetiaan politis. Perlawanan Orang Yahudi Pada dekade pertama setelah Pentakosta dan berdirinya gereja, orang Kristen menikmati perlindungan dari kekuasaan Romawi karena mereka ditempatkan dalam level yang sama dengan orang Yahudi. Pemerintahan Romawi menyetujui secara hukum keberadaan agama 14 Dave Hagelberg, Tafsiran..., 7. Mengutip F.F. Bruce, Hagelberg menjelaskan; menyebutkan dua peristiwa di mana kuasa mutlak dinyatakan. Yang pertama, menurut Eusebius, Kaisar Domitianus memanggil dua cucu dari Yudas, saudara Tuhan Yesus, untuk menentukan apakah mereka, sebagai keturunan raja Daud, akan memperjuangkan kerajaannya. Ternyata mereka, sebagai dua buruh yang rendah, tidak tertarik pada masalah politis, maka Kaisar Domitianus membebaskan mereka. Peristiwa yang kedua, keponakan dari Kaisar Domitianus, yang bernama Flavius Clemens, dihukum mati oleh Domitianus atas dakwaan “ateisme, suatu dakwaan yang mengena banyak orang yang terbawa ke dalam kebiasaan orang Yahudi.” Pada zaman itu, orang Kristen dikatakan ateis karena mereka tidak mau menyembah dewa-dewa Roma. Juga, agama Kristen dianggap aliran dari agama Yahudi. Oleh karena itu, banyak sarjana berpikir bahwa Clemens adalah orang Kristen. Atas dakwaan yang sama, istrinya dibuang ke pulau Pandateria. Menurut tradisi gereja, Clemens dan istrinya, Flavia Domitilla, percaya pada Tuhan Yesus. (Jauh sebelum peristiwa tersebut, dua anak Clemens dan Domitilla ditentukan oleh Domitianus sebagai pengganti dan pewarisnya. Hampir-hampir ada Kaisar yang dibesarkan di rumah Kristen!). Beberapa bulan setelah Domitilla dibuang, seorang pegawai Domitilla membunuh Kaisar Domitianus. Penggantinya, Kaisar Nerva, membatalkan beberapa tindakan Domitianus, misalnya, Domitilla dapat pulang dari pembuangannya. Keadaan dua anaknya itu tidak diketahui. Dave Hagelberg, Tafsiran Kitab Wahyu Dari Bahasa Yunani (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1997), 7-8. 15 Yahudi, dan pengikut-pengikutnya mendapat pengecualian dari ibadah kepada kaisar.16 Para pengikut Kristus menemukan perlindungan di bawah payung pemerintahan Romawi yang telah disediakan bagi orang Yahudi. Ketika Yerusalem dan Bait Allah dihancurkan, maka mulailah terjadi pemisahan secara hukum antara orang Yahudi dan orang Kristen secara permanen. Orang-orang Yahudi adalah yang pertama membawa perlawanan terhadap orang Kristen sebelum pemerintahan Romawi, sehingga orang Yahudi menjadi ancaman bagi gereja. Kistemaker menuliskan bahwa; “Orangorang Yahudi berusaha untuk mengekspos orang Kristen dengan mengusir mereka dari rumah-rumah ibadah mereka dan menolak perlindungan sipil. Mereka memang penganiaya dari komunitas Kristen dan menjadi agenagen setan.”17 Dalam suratnya kepada jemaat di Smyrna dan Filadelfia, Yohanes menyatakan tentang synagogue orang Yahudi dan menghubungkan mereka dengan Setan. “Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu -namun engkau kaya -- dan fitnah mereka, yang menyebut dirinya orang Yahudi, tetapi yang sebenarnya tidak demikian: sebaliknya mereka adalah jemaah Iblis.” (2:9); “Lihatlah, beberapa orang dari jemaah Iblis, yaitu mereka yang menyebut dirinya orang Yahudi, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, melainkan berdusta, akan Kuserahkan kepadamu. Sesungguhnya Aku akan menyuruh mereka datang dan tersungkur di depan kakimu dan mengaku, bahwa Aku mengasihi engkau.”(3:9). Dengan demikian, dekade terakhir dari abad pertama penganiayaan tidak dapat dihindari lagi. Kitab Wahyu merefleksikannya sebagai periode hidup dan matinya orang percaya. Metode Penafsiran Ada empat metode penafsiran terhadap kitab Wahyu; preterist, historis, futurist dan idealist. Berikut ini penulis akan memaparkan keempat metode tersebut yang akan dipakai dalam menggali teologi ibadah dalam kitab Wahyu. Preterist Istilah preterist adalah kombinasi dari dua kata latin yaitu; ”praeter” (past) dan ”ire” (to go), yang berarti; “...sudah masa lalu, milik 16 17 Kistemaker, Revelation…, 37. Ibid. masa lalu.”18 Menurut pandangan ini, segala sesuatu yang dicatat di dalam kitab Wahyu telah digenapi pada abad pertama waktu Yohanes menulis kitab Wahyu. Preterist mengajar bahwa symbol-symbol dalam kitab Wahyu melukiskan peristiwa-peristiwa bersejarah selama abad pertama; kitab Wahyu dihubungkan dengan kejadian-kejadian masa lampau tetapi tidak memiliki hubungan dengan masa sekarang maupun masa yang akan datang.19 Lebih lanjut, Hagelberg menuliskan bahwa, “Menurut mereka, seluruh Kitab Wahyu hanya menceritakan keadaan umat Allah pada zaman Kekaisaran Romawi saja. Segala tafsiran dari penafsir Preterist dikaitkan dengan jemaat Kristus dan lingkungan mereka pada zaman itu.”20 Bahkan menurut Ola Tulluan, mereka menafsirkan Wahyu 17:10 tentang ketujuh raja, “diartikan: Agustus, Tiberias, Gayus, Klaudius, Nero, Vespasian dan Domitian, yaitu tujuh kaisar besar yang memerintah pada abad pertama”.21 Keberatan terhadap pandangan ini, menurut Kistemaker22 adalah; (1) Walaupun preterist mengatakan bahwa berita kitab Wahyu dapat dipakai pada segala zaman maupun generasi, mereka gagal untuk menghargai progressnya peristiwa dalam kitab Wahyu. Kitab Wahyu melukiskan progressnya peristiwa-peristiwa yang bersifat prediksi, yang berakhir pada kedatangan hakim yang akan datang untuk mengadili umat manusia. Hal ini menjadi jelas di dalam tujuh meterai, tujuh sangkakala dan tujuh cawan. Hal ini sulit untuk dimengerti bahwa rentetan peristiwa dalam setiap lukisan ini menunjuk hanya kepada kejadian-kejadian kontemporer pada setengah dari abad pertama; (2) Pandangan preterist menyampaikan pemikirannya bahwa berita kitab Wahyu hanya bermakna secara mendasar pada orang percaya abad pertama. Karena itu, bagi orang percaya pada era berikutnya, berita ini hanya merupakan informasi sekunder, yang kurang penting. Penganiayaan orang Kristen pada masa Nero menerima kata-kata penghiburan dari kitab Wahyu Yohanes ketika mereka mendengar kemenangan Kristus dialamatkan langsung kepada mereka. Tetapi Gereja secara universal pada sepanjang masa juga mendengar suara yang sama dari Kristus yang berbicara secara langsung kepada mereka di dalam situasi mereka sendiri. Seperti Paulus menulis surat-suratnya kepada Gereja dan secara khusus kepada individu, tetapi berita surat-surat ini relevan kepada Gereja secara menyeluruh pada masa kini sebagaimana orang Kristen pada 18 19 20 21 22 Kistemaker, Revelation…, 38. Ibid. Hagelberg, Tafsiran…, 11. Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Dep. Lit. YPPII, 1999), 297. Kistemaker, Revelation…, 39. pertengahan abad I; (3) Preterist menunjukkan bahwa binatang buas pada Wahyu 13 adalah kaisar Nero, secara khusus dalam hal angka 666 dalam ayat 18. Tetapi cara mengeja yang tidak biasa terhadap nama Nero dalam bahasa Ibrani menuntut penemuan terhadap makna angka 666 tidak meyakinkan. Tidak perlu diragukan lagi bahwa Yohanes secara lengkap mengetahui penganiayaan Nero, tetapi untuk membatasi hanya kepada satu kaisar dalam periode sejarah yang khusus, tidaklah realistis; (4) Tujuh surat kepada tujuh Gereja di Propinsi Asia meninggalkan kesan yang berbeda bahwa Yesus mengalamatkan surat-surat ini kepada generasi kedua bahkan ketiga yang sedang dalam kemerosotan rohani. Kebanyakan penafsir modern memakai pendekatan preterist. Tetapi kemenangan total yang diceritakan dalam pasal 18-22 sulit ditafsirkan oleh para penafsir yang mempergunakan pendekatan ini, karena tidak ada kemenangan yang seperti itu pada zaman Kekaisaran Romawi, demikian pendapat Hagelber.23 Historis Menurut pandangan ini, kitab wahyu adalah suatu nubuatan kejadian-kejadian penting dalam sejarah dari zaman para rasul sampai akhir zaman. Kistemaker menuliskan bahwa; “Wahyu, menurut pendekatan historis-berlanjut, menyajikan garis ringkas pembangunan Gereja dari hari Pentakosta sampai penyempurnaan”.24 Selanjutnya Tulluan menuliskan bahwa; “hanya bagian akhir (ps.19-22) yang akan digenapi pada saat kedatangan Tuhan kelak”.25 Searah dengan pendapat tentang metode penafsiran historis, Hagelberg menuliskan bahwa; “Menurut mereka, Kitab Wahyu merupakan nubuatan yang menguraikan sejarah Eropa Barat sampai kedatangan Tuhan Yesus pada hari kiamat”.26 Pendapat ini dilatarbelakangi oleh pemahaman tentang sejarah umum yang disatukan dengan sejarah agama, sebagaimana yang dituliskan oleh Kistemaker bahwa; “sejarah sekuler dan sejarah agama terjalin baik, dan para pendukung telah mencoba untuk menafsirkan peristiwa pada masa mereka sendiri dalam sejarah seperti yang diramalkan dalam Kitab Wahyu. 27 Untuk memperjelas pandangan ini, Henry Barclay Swete yang dikutip Kistemaker menuliskan; 23 24 25 26 27 Hagelberg, Tafsiran…,11. Kistemaker, Revelation…, 40. Tulluan, Introduksi…, 297. Hagelberg, Tafsiran…,11. Kistemaker, Revelation…, 40. Pada akhir abad kedua belas Joachim dari Fiore, yang meninggal pada tahun 1202, menyamakan binatang yang keluar dari dalam laut (13:1) dengan Islam, yang dilukai oleh Perang Salib. Baginya, Babel adalah Romawi, dan ia menyamakan beberapa kepala binatang itu (17:3, 9-10) sebagai penguasa pada zamannya. Lebih dari satu abad kemudian, para pengikut Fransiskus dari Paris menafsirkan Antikristus sebagai Paus-Tiruan.28 Masih ada pendapat yang lain, yang menganggap kitab Wahyu sebagai sebuah kalender dari peristiwa-peristiwa yang dimulai ketika Yohanes berada di Pulau Patmos tahun 96. Mereka menentukan tujuh meterai dan enam sangkakala kepada Gereja mula-mula dan abad pertengahan, serta mengerti Wahyu 10 dan 11 sebagai masa Reformasi dan untuk menjawab berita dari tujuh sangkakala kepada Gereja sejati. Dua binatang buas dalam pasal 13 adalah Paus dan kekuasaannya, tujuh wabah penyakit digenapi pada revolusi Prancis dan pergolakan modern, serta hancurnya Babel adalah kejatuhan kepausan.29 Keberatan terhadap pandangan historis dituliskan Kistemaker 30 sebagai berikut; (1) Teks kitab Wahyu tidak memberi kemungkinan untuk suatu presentasi historis terus-menerus; literatur sejarah dan wahyu adalah tidak sesuai. (2) Jika wahyu berarti sejarah yang terus berkelanjutan, Gereja mula-mula dan generasi pengganti tidak akan mampu memperoleh manfaat dari sebuah berita yang diberikan kepada mereka. Juga, para penafsir memakai kitab itu untuk Gereja barat seakan-akan Gereja di timur tidak ada. Selanjutnya, para pengikut pandangan historis sering menganggap remeh penafsiran yang kemudian tidak hanya aneh, tetapi tidak menghargai Kitab Suci. Futurist Pandangan ini juga disebut sebagai pandangan eskatologis, dengan menggaris bawahi bahwa kitab Wahyu bersifat nubuat tentang kejadiankejadian yang akan terjadi menjelang kedatangan Tuhan Yesus kedua kali, untuk menyempurnakan Kerajaan Allah.31 Selanjutnya, Tulluan menuliskan bahwa ada dua pandangan futuris yang berbeda, yaitu; 28 29 30 31 Kistemaker, Revelation…, 40. Ibid. Kistemaker, Revelation…, 41. Tulluan, Introduksi…, 298. (1) Beberapa penafsir menganggap fasal 2 dan 3 sebagai periodeperiode di dalam sejarah gereja sampai kedatangan Kristus yang kedua kali; (2) Ada penafsir-penafsir yang lain yang tidak menganggap fasal 2 dan 3 sebagai periode-periode sejarah gereja, tetapi sebagai satu gambaran mengenai keadaan gereja-gereja itu pada zaman Yohanes sendiri. 32 Berbeda dengan pernyataan di atas, bagi Kistemaker, “Pendekatan futuris terhadap penafsiran Wahyu adalah bahwa dimulai pada 4:1, terjadi di masa depan”.33 Sedangkan Hagelberg menegaskan bahwa, “menurut pendekatan futuris, pasal 1-3 menceritakan mengenai zaman penulis, dan pasal 4-22 merupakan nubuatan mengenai akhir zaman”.34 Morris dan Mounce yang dikutip Hagelberg, mengritik pandangan ini, karena menurut mereka, dengan pandangan ini pasal 4-22 tidak mempunyai arti bagi kita, kecuali kita terlibat langsung, hingga Tuhan Yesus datang dalam masa kehidupan kita.35 Sebenarnya kritikan ini tidak memiliki dasar yang kuat. Berita mengenai kedatangan Tuhan Yesus tetap relevan pada setiap generasi umat Allah karena berita tersebut menghibur umat Allah yang setia, dan menakutkan bagi orang Kristen yang tidak setia. Penulis kitab Wahyu menunjuk keseluruhan kitab ini pada hari kedatangan Kristus kembali. Elemen nubuatan adalah komponen yang tidak terelakkan, karena Yohanes memakai kata prophecy tujuh kali dalam kitab Wahyu (1:3; 11:6; 19:10; 22:7,10,18,19). Yohanes menulis dalam terang keagungan dan mengagumkan janji hari kedatangan Yesus. Maka beritanya bersifat nubuatan.36 Pandangan futurist membandingkan perkataan dalam Wahyu 1:1 dan 19 dengan 4:1. Pada dua bagian pertama (1:1,9), Yohanes menekankan pada hal-hal yang segera terjadi dan menuliskan hal-hal yang ia lihat, yang 32 Tulluan kemudian memberi kesimpulan bahwa; Menurut pendapat kami, tafsiran futuris adalah yang paling tepat, karena tafsiran ini yang paling sesuai dengan maksud dan isi dari kitab ini. Dengan demikian kitab Wahyu bersifat nubuatan (bnd. 1:3; 22:7). Di dalam Perjanjian Baru ada bagian-bagian lain yang juga menyangkut zaman akhir (lih. Mat 24-25; Mrk 13; Luk 21; 1Tes 4:15-17; 2Tes 2:1-12; 1Kor 15:23-28). Di samping itu Allah mengatur sedemikian indah sehingga ada satu kitab khusus yang menguraikan apa yang akan terjadi berhubungan dengan kedatangan Tuhan Yesus untuk kedua kali. Dengan demikian iman dan pengharapan orang-orang percaya diperkuat. Tulluan, Introduksi…, 298. 33 Kistemaker, Revelation…, 41. 34 Hagelberg, Tafsiran…, 11. 35 Ibid. 36 Kistemaker, Revelation…, 41. akan terjadi kemudian. Pada bagian terakhir Yohanes berkata; “Naiklah ke mari dan Aku akan menunjukkan kepadamu apa yang harus terjadi sesudah ini. (4:1) Para futurist membagi dalam dua kategori: pertama, hal-hal yang ada pada waktu Yohanes hidup; kemudian, semua hal milik masa depan.37 Ada beberapa masalah muncul dalam kaitan dengan pandangan futurist ini. Diantaranya; tiga pasal pertama kitab Wahyu menjadi tidak relevan bagi Gereja masa kini. Masalah yang lain adalah bahwa nubuatan menekankan fokus pada kedatangan Kristus. Tidak seorangpun akan membantah bahwa Gereja harus memiliki keinginan yang kuat untuk mengharapkan kembalinya Kristus, tetapi hal ini tidak berarti bahwa nubuatan-nubuatan dalam kitab Wahyu tidak akan digenapi sampai kedatangan kedua. Jika benar demikian, maka Gereja dari zaman Yohanes sampai sekarang tidak dapat memakai berita-berita nubuatan ini sampai waktu sesudah abad pertama.38 Dengan demikian bagi penulis, Yohanes menulis kitab ini adalah untuk Gereja di masa hidupnya, maupun untuk generasi berikutnya bahkan sampai saat ini dan seterusnya, sampai Kristus kembali kedua kali. Kitab ini dipenuhi dengan kata-kata penghiburan bagi umat Allah di segala tempat dan di segala waktu. Idealis Menurut pandangan ini, kitab Wahyu tidak menceriterakan kelakuan atau peristiwa, melainkan hanya menguraikan prinsip-prinsip yang bersifat teologis.39 Searah dengan pernyataan di atas, Kistemaker menulis bahwa; Wahyu bukanlah sejarah peristiwa yang telah terjadi di masa lalu atau nubuat peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Ini adalah buku tentang umat Allah dengan kenyamanan dan motivasi untuk bertahan sampai akhir. Penekanan idealis memberi prinsip-prinsip sehingga pesannya berlaku bagi orang Kristen dari semua generasi, dari waktu Yohanes sampai akhir zaman. 40 37 38 39 40 Kistemaker, Revelation…, 41. Ibid. Hagelberg, Tafsiran…, 12 Kistemaker, Revelation …, 42. Selanjutnya, Hendricksen yang dikutip Kistemaker menyatakan maksud kitab Wahyu dengan menuliskan bahwa; Kitab ini penuh dengan penghiburan bagi yang dianiaya dan orang Kristen yang menderita. Bagi mereka diberi jaminan bahwa Allah melihat air mata mereka (7:17; 21:4), doa-doa mereka yang berpengaruh dalam berbagai urusan dunia (8:3,4) dan kematian mereka adalah berharga di mata-Nya. Kemenangan terakhir mereka dijamin (15:2), darah mereka akan dibalaskan (19:2); Kristus mereka hidup dan memerintah selama-lamanya. Ia memerintah dunia untuk kepentingan Gereja-Nya (5:7-8). Dia akan datang kembali untuk membawa umat-Nya kepada diri-Nya dalam "perjamuan kawin Anak Domba" dan hidup bersama mereka selamanya di alam semesta yang baru. (21:22).41 Keberatan terhadap pandangan ini terletak pada kurangnya penekanan pada faktor sejarah dan nubuatan. Hal ini harus menjadi peringatan kepada mereka yang menggali kebenaran kitab Wahyu untuk memperhatikan bahwa sejarah dan nubuatan perlu diperhatikan, tidak boleh diabaikan. Dengan demikian, untuk menganalisa teologi ibadah dalam kitab Wahyu, penulis akan memperhatikan dan memakai keempat metode penafsiran untuk mendapat suatu pemahaman yang menyeluruh dan memadai. TEOLOGI KITAB WAHYU Sebagai puncak dari firman Allah yang tertulis, kitab Wahyu secara konsekuen menyatakan pengajaran secara teologis sebagai berikut. Allah Yang Mahatinggi Allah Bapa sebagai yang menyatakan diri dan yang memerintah. Allah yang mahatinggi. Tiga pasal pertama melukiskan Yesus Kristus, sebelum seluruhnya dari kitab ini fokus kepada Allah. Allah adalah figur sentral. Inilah wahyu Yesus Kristus, yang dikaruniakan Allah kepada-Nya, 41 Kistemaker, Revelation …, 42. supaya ditunjukkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya apa yang harus segera terjadi. Dan oleh malaikat-Nya yang diutus-Nya, Ia telah menyatakannya kepada hamba-Nya Yohanes (1:1), menyatakan firman-Nya (19:13), mempersiapkan tempat yang aman bagi umat-Nya (12:6), dan baginya, hamba-hamba-Nya kemuliaan dan hormat (1:2, 4-6).42 Salah satu keistimewaan kitab Wahyu adalah nama Allah ada di setiap pasal, menekankan bahwa Allah dari awal sampai akhir tetap adalah Allah yang memerintah, suci dan adil. Pendapat Bauckham yang dikutip oleh Kistemaker menuliskan bahwa, “Teologi Kitab Wahyu sangat Theosentris. Selain doktrin Allah yang khusus, hal ini adalah merupakan sumbangsih terbesar untuk teologi Perjanjian Baru ". 43 Itulah sebabnya, menurut Wongso; Allah adalah sumber segala wahyu, wahyu Kristus juga adalah apa yang dikaruniakan Allah (Why 1:1). 44 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Allah adalah pusat berita kitab Wahyu. Karena firman (logos) adalah milik Allah, maka disebut Firman Allah (Why 1:2,9). Firman Allah sudah ada sejak semula, maka Firman itu adalah Allah (Bnd. Yoh 1:12), demikian pendapat Wongso. 45 Kemenangan Kristus Lebih dari 60 tahun setelah Yesus naik ke Sorga, Ia menampakkan diri-Nya kepada Yohanes di Pulau Patmos. Ketika Yesus berada di dunia, Ia menampakkan diri dalam kemuliaan kepada tiga murid terdekatnya, yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes (Mat 17:1-8). Petrus menulis peristiwa ini dengan mengatakan bahwa ia dan murid-murid yang lain adalah saksi mata dari Yesus yang dimuliakan. Karena Dialah yang layak menerima hormat dan kemuliaan dari Allah Bapa ketika ada suara datang kepada-nya dari kemuliaan yang penuh keagungan (2Ptr 1:16-17). Setelah kebangkitan-Nya, Yesus menampakkan diri sepuluh kali kepada para pengikut-Nya, walaupun pada waktu itu mereka tidak mengenal-Nya di dalam keadaan-Nya yang mulia (Luk 24:16, 37; Yoh 21:4). Dengan cara yang sama, Yesus menampakkan diri kepada Yohanes dengan hebatnya, sehingga bagi seorang rasul tidak mudah untuk memahaminya, maka Yohanes tersungkur 42 Kistemaker, Revelation…, 54. Ibid. 44 Peter Wongso, Eksposisi Doktrin Alkitab Kitab Wahyu (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1996), 112. 45 Ibid. 43 di kaki Yesus ”as though dead” (1:17). 46 Kitab Wahyu adalah wahyu Kristus sendiri.47 Kristus adalah anak Allah. Kistemaker menuliskan bahwa; Yohanes menggambarkan kemuliaan penampakan Yesus seperti ia melukiskan takhta Allah. Dia tidak menyebut nama Yesus, sebagaimana dia menghindari menggunakan nama Allah dalam menggambarkan takhta. Dalam bahasa simbolis, ia menggambarkan anak Manusia sebagai pribadi supranatural yang begitu cemerlang: wajahnya seperti matahari, kepala dan rambutnya putih seperti bulu domba atau salju, mataNya bagai nyala api, kakinya seperti tembaga membara, suaranya seperti desau air bah; mulutNya seperti pedang tajam (Firman Allah); dan Ia memakai jubah panjang yang mencapai kakinya, dengan sabuk emas di sekitar dadanya (1:13-16).48 Yohanes juga menggambarkan kemenangan Kristus dengan menunggang seekor kuda putih; memakai mahkota di kepala-Nya (19:1115). Bahkan Yesus juga digambarkan dengan tegas, kemungkinan oleh karena Yohanes melihat pandangan mata yang mematikan pada wajah kemuliaan Kristus yang menyinarinya seperti matahari yang terik. Mata Yesus yang menyala menyebabkan setiap orang yang melihatnya tersungkur di hadapannya dan menyembah.49 Dengan demikian, di dalam kitab Wahyu, Yesus yang pernah dihina bahkan direndahkan itu, dimuliakan oleh Bapa yang mengutus Yesus ke dunia (Yoh 3:16; Flp 2:5-9).50 Ia layak disembah oleh semua ciptaan-Nya. 46 Kistemaker, Revelation…, 56. Wongso, Eksposisi…, 119. 48 Kistemaker, Revelation…, 56. 49 Ibid. 50 Yohanes 3:16; Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Filipi 2:5-10; Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa! 47 Roh Kudus Paulus dan Petrus mengajar doktrin Trinitas dalam bagian pendahuluan dari dua surat mereka (Rm 1:1-4; 1Ptr 1:1-2). Secara tidak langsung, Yohanes juga memberi perhatian kepada Tiga Pribadi dalam Trinitas. Pada salam kepada tujuh Gereja di Propinsi Asia, Yohanes menyebutkan Allah Bapa sebagai “Dia yang ada, dan sudah ada, dan yang akan datang”.51 Yohanes juga menyebut Yesus Kristus dengan nama dan memperkenalkan Yesus sebagai “Saksi yang setia, yang pertama bangkit dari antara orang mati, dan yang berkuasa atas raja-raja bumi ini” (1:5). 52 Dan Roh Kudus digambarkan sebagai “tujuh roh yang ada di hadapan takhta Allah”.53 Istilah tujuh Roh Allah, juga diterjemahkan sebagai “Ketujuh Roh Allah”54 yang menunjuk kepada kesempurnaan Roh (3:1; 4:5; 5:6). Searah dengan pernyataan di atas, Wongso menuliskan bahwa, “angka ‘tujuh’ melambangkan kesempurnaan, keutuhan, kelimpahan”.55 Roh Kudus adalah Roh Allah, dan juga adalah Roh Kristus. Pekerjaan Roh Kudus dalam konteks kitab Wahyu, dituliskan oleh Kistemaker, bahwa, “Peran Roh Kudus adalah untuk mengungkapkan kebenaran Allah melalui Yesus Kristus. Dia adalah Pewahyu dan Penginspirasi, seperti dinyatakan oleh pernyataan penutup berulang-ulang dari tujuh surat kepada ketujuh jemaat”.56 Selain itu, Roh Kudus juga bekerja melalui pembawa berita yang bersaksi tentang Yesus dan yang memproklamasikan kesaksian tentang Yesus (1:9). IBADAH DALAM KITAB WAHYU Wahyu kepada Yohanes adalah kitab penting tentang ibadah dalam Perjanjian Baru. Disusun dalam bentuk drama yang agung tentang kemenangan Kristus, hal ini dimulai dengan surat-surat yang dialamatkan kepada tujuh jemaat di tujuh kota di Asia Kecil dan diakhiri dengan penglihatan tentang Yerusalem baru dimana Allah tinggal di tengah umatNya (21:3), dalam menggenapi formulasi ringkas para nabi Israel tentang 51 52 53 54 55 56 Kistemaker, Revelation…, 59. Ibid. Ibid. Ibid. Wongso, Eksposisi…, 131. Kistemaker, Revelation…, 60. perjanjian, “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku (Yer 31:33).57 Tentang ibadah dalam kitab Wahyu, Peterson menuliskan: Tema utama dari kitab ini adalah perbedaan antara ibadah sejati dan penyembahan berhala. Yohanes membagi manusia ke dalam dua kategori, para penyembah naga dan binatang dan penyembah Allah dan Anak Domba. Kontras antara dua kelompok jamaah mencapai puncaknya dalam dua penglihatan di akhir kitab. 58 Untuk memahami penjelasan lebih lanjut, penulis akan memaparkan dasar teologi ibadah, karakteristik ibadah dan elemen ibadah untuk memahami teologi ibadah dalam kitab Wahyu secara menyeluruh. Dasar Teologi Untuk memahami dasar teologi ibadah dalam kitab Wahyu, maka penulis akan menjelaskannya dalam konteks Trinitas, mulai dengan Allah kemudian Yesus Kristus dan Roh Kudus. Allah Allah adalah sumber segala wahyu, wahyu Kristus juga adalah apa yang dikaruniakan Allah (1:1). Sedangkan Firman (logos) adalah milik Allah, maka disebut Firman Allah (1:2,9). Firman Allah sudah ada sejak semula, maka Firman itu adalah Allah (bnd. Yoh 1:1,2). Allah adalah yang dahulu ada, sekarang ada, dan yang akan datang (1:4). Di dalam kurun waktu, Ia adalah yang pernah ada, sekarang ada; dalam konteks lintas waktu, Ia adalah yang akan ada selama-lamanya. Oleh karena sifat, kehendak, kuasa, hikmat, kekuatan, otoritas-Nya selamalamanya sama, maka Allah itu kekal adanya. Allah adalah pencipta segala sesuatu (3:14; 4:11). Segala sesuatu diciptakan berdasarkan kehendak Allah (4:11). Allah menciptakan langit dan segala yang ada di langit; bumi dan segala yang ada di dalamnya, laut 57 Robert E. Webber, Edit., The Biblical Foundations of Christian Worship (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1993), 21. 58 David Peterson, Engaging with God (England: APOLLOS, 1992), 264. dan segala yang ada di dalamnya (10:6). Dia yang menciptakan langit dan bumi, laut dan segala sumber air itu patut menyembah-Nya (14:7). Allah duduk di takhta (1:4; 4:3-11; 5:1-14; 7:9-17; 8:3; 12:5; 14:3; 16:17; 19:4, 11, 12; 21:3,5; 22:1,3). Hal ini menyatakan pengontrolan, kuasa serta wibawa-Nya. Di sekeliling takhta ada 4 makluk hidup, 24 tuatua, serta orang percaya yang tak terbilang banyaknya, juga disertai dengan perhiasan yang indah. Semua ini bersifat rohani dan non material. TakhtaNya sudah ada sejak semula dan berada untuk selama-lamanya. Dalam rencana Allah yang kekal, Ia ingin agar orang percaya umat tebusan-Nya menjadi warga kerajaan-Nya dan imamat-Nya (1:6; 20:6). Untuk menjadi warga kerajaan-Nya harus mengalami tebusan darah Kristus (1:5). Allah adalah Mahakuasa (1:8; 11:17) menunjukkan kuasa dan kekuatan kesempurnaan-Nya. Allah Mahatahu, tidak ada sesuatupun di luar pengetahuan-Nya; “Aku tahu perbuatanmu”(3:1). Allah adalah hakim. Ia melaksanakan penghakiman pada waktunya (14:7). Ia adil (16:5,7); Ia mengadili seturut dengan perilaku manusia (20:12,13). Menurut Wongso; Jika ditinjau dari seluruh kitab Wahyu, maka pasal 2 dan 3 adalah penghakiman atas para pemimpin jemaat; enam malapetaka dalam pasal 6, enam sangkakala dalam pasal 8,9,11; tujuh malapetaka dalam pasal 15,16 ditujukan kepada orang non-percaya di sepanjang abad, serta penghakiman atas para penganiaya jemaat; Wahyu 17:18 adalah penghakiman atas Babel, Pezinah, penyembah berhala serta usaha dagang ilegal dan ekonomi memegang peranan paling penting; penghakiman atas Setan (20:1-3,7,10); penghakiman atas segenap umat manusia di dunia (20:11-15).59 Itulah sebabnya otoritas Allah nampak dengan jelas dalam ungkapan, “Segera aku dikuasai oleh Roh dan lihatlah, sebuah takhta terdiri di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang dan keempat makhluk itu masingmasing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: "Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang." (4:2,8). Menurut Scheunemann, istilah takhta menyatakan; Allah memerintah.60 Mounce 59 Wongso, Eksposisi…, 117. D. Scheunemann, Berita Kitab Wahyu (Batu: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1994), 70. 60 menulis bahwa, “Hal pertama yang dilihat Yohanes di surga adalah takhta. Simbol ini muncul lebih dari empat puluh kali dalam kitab Wahyu. Ini melambangkan kedaulatan mutlak Allah.” 61 Istilah Takhta Allah sering digunakan dalam literatur Yahudi, seperti; “Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci” (Yes 6:1) dan di dalam Mazmur 47:8; “Allah memerintah sebagai raja atas bangsa-bangsa, Allah bersemayam di atas takhta-Nya yang kudus.” Dengan demikian Allah dalam konteks kitab Wahyu adalah pusat ibadah. Dengan kata lain, dasar Ibadah dalam kitab Wahyu adalah pada Allah yang duduk di takhta. Dia yang duduk di takhta adalah Dia yang mencipta dunia dan segala isinya. Dia yang menyatakan diri-Nya kepada manusia, baik melalui Firman yang menjadi manusia, maupun Firman yang tertulis. Dia yang menebus manusia dari ikatan kuasa dosa. Hanya kepada Dia, segala puji, hormat dan kuasa serta kemuliaan, dari sekarang sampai selama-lamanya. Yesus Kristus Selain Allah yang duduk di atas takhta, dalam kitab Wahyu ‘Anak Domba’ yang menunjuk kepada Kristus juga adalah pusat ibadah. Mengapa? Mounce menjelaskan bahwa, “Anak Domba dalam kitab Wahyu adalah 'Tuhan atas segala tuhan, dan Raja atas segala raja' yang telah menang melawan binatang dan sekutu nya (17:12-14) Dan mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu: "Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu (6:15-17).”62 Anak Domba disembah karena Dia adalah Tuhan atas segala tuhan dan Raja atas segala raja. Searah dengan pernyataan di atas, Scheunemann menuliskan bahwa; Di tengah-tengah penglihatan Yohanes tentang takhta Allah muncullah sebagai puncak penglihatan Anak Domba Allah antara 61 Robert H. Mounce, The Book of Revelation (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmands Publishing, Co. 1977), 134 62 Mounce, The Book of Revelation…, 145. takhta Allah dan empat zat hidup dan duapuluh empat tua-tua (5:6). Namun sekarang Anak Domba Allah mempunyai wujud yang baru. Kata yang dipakai Yohanes, ialah ”anak domba kecil yang ditandai luka kematian” (bahasa Yunani: arnion).63 Dengan demikian yang dimaksudkan dengan Anak Domba Allah adalah Yesus Kristus. Istilah Anak Domba Allah dipakai untuk menunjuk kepada penggenapan perjanjian64 yang Allah telah berikan kepada Adam dan Hawa setelah mereka jatuh ke dalam dosa. Dan kemudian diberikan kepada Abraham65 serta keturunannya. Jadi dasar teologi ibadah dalam kitab Wahyu adalah penggenapan perjanjian Allah kepada manusia di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Roh Kudus Karya Roh Kudus dalam konteks kitab Wahyu lebih banyak menyatakan penggenapan dari janji Tuhan Yesus tentang ‘penolong yang lain’66, yang akan datang dan yang menginsyafkan manusia. Tujuh Roh dalam kitab Wahyu dipakai sebanyak empat kali (1:4; 3:1; 4:5; 5:6).67 Roh Kudus disebut tujuh Roh, untuk menyatakan kesetaraan Roh Kudus dengan Kristus dan Allah Bapa. Dalam kitab Wahyu, empat kali mencatat Yohanes digerakkan Roh Kudus (1:10; 4:2; 17:3; 22:6). Dan empat kali gerakkan Roh Kudus membuat Yohanes mendengar, melihat fakta rohani.68 Hal ini berarti tanpa Roh Kudus Yohanes tidak dapat melihat dan mengalami penglihatan yang dahsyat itu. Dengan kata lain Roh Kudus adalah dinamisator ibadah dalam kitab Wahyu. 63 Scheunemann, Berita Kitab…, 73. Kejadian 3:15: Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya." 65 Kejadian 12:1-3: Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." 66 Yohanes 14:16 Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya. 67 Wongso, Eksposisi…, 131. 68 Ibid. 64 Penulis menyimpulkan bahwa dasar teologi ibadah dalam kitab Wahyu adalah ibadah Trinitarian. Allah Bapa dengan takhta-Nya adalah center ibadah kitab Wahyu. Yesus Kristus adalah kegenapan ibadah Perjanjian Lama. Roh Kudus adalah dinamisator ibadah dalam kitab Wahyu. Lumintang menuliskan bahwa; “Ibadah Kristen adalah ibadah kepada Allah Bapa di dalam dan melalui Tuhan Yesus oleh Roh Kudus.” 69 Karakteristik Dalam perikop ini, penulis akan menggambarkan karakteristik ibadah dalam kitab Wahyu, antara lain; Trinitarian, Theocentric, Redeemptif, Theistik, Covenental, Transformatif. Trinitarian Kitab Wahyu dimulai dengan salam dari Tiga Pribadi dalam Trinitas (1:5b,6); “...Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya, dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, -- bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin.” Doxology (1:4-8) ini berkembang secara signifikan sebagai formula dasar yang dapat ditemukan dalam surat-surat kiriman. Karya penebusan Kristus adalah penting dalam doxology. Perhatikanlah bahwa sekalipun Tiga Pribadi dari Trinitas disebut, dalam doxology ini diarahkan langsung secara jelas kepada Kristus. Dalam posisi-Nya sebagai raja, dan oleh kebajikan dalam karya penebusan yang sempurna, Kristus membuat umatNya menjadi “imamat yang rajani” (Bnd. 1Ptr 2:9). Umat Tuhan yang berkumpul di Gereja dan di Sorga (7:9-15) adalah penggenapan dari perjanjian yang dibuat untuk Israel di Sinai; “Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel.” (Kel 19:6; bnd. 1Ptr 2:9). Konteks menyatakan bahwa doxology ini lebih merefleksikan Perjanjian Lama dan secara sederhana mengindikasikan penggenapan perjanjian Sinai. Kemudian diikuti dengan doxology pengumuman bahwa Kristus “datang di awan-awan.” Hal ini menyatakan satu kiasan yang kuat kepada “seorang seperti anak manusia” dalam Daniel 7:13. 69 Lumintang, Teologi…, 29. Dalam pasal 4:1-5:14, doxology diarahkan kepada “seorang yang duduk di atas takhta” dan “anak domba” (4:9,11; 5:12,13). Ini adalah salah satu dari sekian banyak liturgy yang kaya dari seluruh kitab. Memuat tidak lebih dari lima lagu pujian yang dikumandangkan keluar dari lingkaran takhta itu. Dengan kata lain, kalau dicermati, pasal 4-5 memberi alasan mengapa Allah (Bapa) dan Kristus (Anak) layak disembah: Allah menciptakan segala sesuatu (4:11) dan Kristus melalui kematian-Nya menebus manusia bagi Allah (5:9). Atau dapat dikatakan bahwa umat Tuhan menyembah Allah pencipta langit dan bumi, dan Anak domba yang menebus mereka di pihak yang lain, maka penyembahan menjadi powerful. Ungkapan “Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh” (1:10) menunjuk kepada karya Roh Kudus. Itu sebabnya penulis menyimpulkan bahwa dalam konteks kitab Wahyu, Ibadah bersifat Trinitarian. Yang penulis maksudkan adalah dalam ibadah, jemaat menyembah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Dengan kata lain, dalam ibadah, jemaat masuk dalam relasi dengan Allah (Bapa) melalui Allah (Anak) dan oleh Allah (Roh Kudus). Theocentric Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian theologia kitab Wahyu, Allah yang duduk di takhta menjadi pusat ibadah, maka sifat ibadah dalam konteks kitab Wahyu bersifat Theocentric. Wahyu 4:1-11 adalah penglihatan Yohanes yang kedua. Penglihatan yang kedua ini terfokus pada “Takhta” (Ayat 2-3). Muncul 3 kali dalam ayat 2 dan 3, dan muncul 13 kali dalam seluruh pasal ini. Takhta merupakan simbol; “Otoritas Tertinggi, Kekuasaan yang Maha Agung, Kedaulatan yang mutlak.” Jadi, kedaulatan Allah merupakan sentral dalam penglihatan Yohanes. Sentralitas dari penglihatan ini, bukanlah mengenai Sorga, melainkan pusat dari Sorga ialah Takhta, mengenai Kedaulatan Allah. Tahkta/Kedaulatan Allah, hanya mungkin dimengerti oleh orang percaya yang dikuasai Roh Kudus. Karena hanya kepada orang yang diundang oleh Tuhan Yesus sendirilah, yang dikuasai oleh Roh Kudus untuk mengerti mengenai Allah yang berdaulat.70 Jadi, pusat ibadah dalam kitab Wahyu adalah Allah, yang sedang bekerja dan memerintah dunia ini, mengontrol semua kejadian dalam dunia ini, sehingga tidak satu pun peristiwa yang luput dari kedaulatan-Nya. 70 Lumintang, Theologia…, 30. Sentralitas Takhta yang dilihat Yohanes, terletak pada Dia Yang Duduk Di Atas Takhta, yaitu Dia yang berdaulat. Siapakah Dia yang duduk di atas Takhta itu? Yohanes tidak bisa mengidentifikasikan dengan jelas. Karena itu, Yohanes hanya mampu melukiskan “Dia yang duduk di Takhta itu” dengan menggunakan istilah “bagaikan.. Bahasa manusia tidak mampu menampung bahasa Sorga. Penglihatan manusia tidak mampu membahasakan apa yang dilihatnya tentang Allah. 71 Redeemptif Sifat ini menunjuk pada karya penebusan Kristus. Istilah “Anak Domba” dalam kitab Wahyu menunjuk kepada Yesus. Hal ini dapat ditemukan dalam kitab Wahyu bahwa Ia hampir selalu diperkenalkan dengan nama pribadi Yesus (1:9; 12:17) daripada Kristus (11:15). 72 Nama Yesus menunjuk kepada karya keselamatan yang dikerjakan-Nya. Dalam pasal 5, penyembahan ke-24 tua-tua diarahkan kepada “Anak Domba” karena karya penebusan-Nya.73 Yesus Kristus menerima penyataan Allah, yang kemudian Ia lanjutkan kepada Yohanes (1:1); Ia adalah Anak Domba yang disembelih dan dengan darah-Nya ia telah menebus orang kudus bagi Allah (5:6,9); dan sebagai Anak Domba, Ia akan menyambut mempelainya, itulah Gereja, ke dalam pesta perkawinan (19:7-9; 21:9). Yohanes mengajarkan bahwa Kristus adalah agen Allah dalam penciptaan, penebusan dan penyempurna.74 Dengan demikian, karakteristik ibadah dalam kitab Wahyu ialah Redemptif, sebagaimana ditunjukan dalam penyembahan kepada Anak Domba Allah dan Dia yang duduk di Takhta. Sifat redemptif ini berimplikasi kepada penyembah, yaitu seorang yang datang menyembah adalah seorang yang sudah mengalami karya penebusan Kristus. 71 Lumintang, Theologia…, 30. George Barker Stevens, The Theology of the New Testament (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 536. 73 Mounce, The Book of Revelation…, 147. 74 Kistemaker, Revelation…, 58. 72 Theistik Teologi ibadah Kristen, bukanlah teologi yang deistik, yaitu teologi yang menekankan pada penyembahan kepada Allah yang bersifat transenden, yang jauh di “sana” (Allah yang ada di Sorga), juga bukanlah teologi penyembahan yang pantheistik, yaitu teologi yang semata-mata menekankan pada ibadah yang imanen (Allah ada di mana-mana, di manamana ada Allah), melainkan teologi yang theistik, yaitu teologi yang mengemukakan penyembahan kepada Allah yang transenden sekaligus imanen.75 Pelukisan tentang Allah dalam penglihatan Yohanes menunjukkan betapa mulia dan tak terjangkaunya manusia berdosa untuk menghampiri Takhta yang suci itu. Kemuliaan Allah yang tak terhampiri itu menunjuk kepada sifat transcendent. Yohanes begitu takut, bahkan seperti orang mati (1:17), hal ini menunjukkan bahwa Yohanes sedang berhadapan dengan Allah yang transcendent. Tetapi ayat 17 juga menyatakan bahwa; “tetapi Ia meletakkan tangan kanan-Nya di atasku”, hal ini menunjukkan bahwa Yohanes juga sedang berhadapan dengan Allah yang imanent. Maka memahami sifat ibadah yang theistik membuat penyembah dengan rasa hormat dan gentar datang beribadah kepada Allah, tetapi di sisi lain ibadah Kristen adalah ibadah dengan rasa nyaman, dan dekat dengan Allah yang imanen. Covenental Wahyu kepada Yohanes adalah satu dokumen perjanjian. Janice E. Leonard dalam “Covenant Worship In The New Testament” menuliskan bahwa; “Perkembangan angka tujuh adalah petunjuk untuk isi kitab perjanjian, dan sebagai pengingat pengambilan sumpah perjanjian, yang dalam bahasa Ibrani secara harfiah "ketujuh diri”.76 Kitab Wahyu adalah juga merupakan sebuah lukisan tentang ibadah perjanjian sebagai respons manusia baru kepada Allah yang telah membebaskan mereka. Yohanes juga memberikan satu pola Gereja mengikuti deskripsi 24 tua-tua yang tersungkur di hadapan Anak Domba. “Lalu aku mendengar 75 Lumintang, Theologia…, 31. Janice E. Leonard, Covenant Worship In The New Testament, in The Biblical Foundations of Christian Worship, edit by Robert E. Webber, (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, Inc., 1993), 63. 76 seperti suara himpunan besar orang banyak, seperti desau air bah dan seperti deru guruh yang hebat, katanya: “Haleluya! Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia.” (19:6,7). Di dalam ibadah Gereja, “Kota suci, Yerusalem baru”, perjanjian itu mendapat penggenapannya: “Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka” (21:3). Dengan demikian, sifat ibadah covenental menuntut penyembah mengalami rekonsiliasi yang adalah merupakan pintu masuk kepada ibadah. Karena perjanjian Allah digenapi di dalam diri Tuhan Yesus, maka penyembah terlebih dahulu harus mengalami rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini terjadi di kayu salib. Itu berarti, dengan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Jurus’lamat, seseorang memperoleh “pintu” masuk ke dalam ibadah. Transformatif Sifat ibadah yang transformatif ini dapat dicermati dalam kitab Wahyu, khususnya pada saat berhadapan dengan Takhta Allah. “Ketika aku melihat Dia, tersungkurlah aku di depan kaki-Nya sama seperti orang yang mati; tetapi Ia meletakkan tangan kanan-Nya di atasku, lalu berkata: “Jangan takut! Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir, (1:17).” maka tersungkurlah kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selamalamanya. Dan mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu, sambil berkata: “Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima pujipujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan” (4:10). Transformasi terjadi ketika Yohanes berhadapan atau melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya. Menyadari ketidaklayakan di hadapan Dia yang layak menerima segala hormat dan pujian, serta kemuliaan, 77 adalah transformasi pikiran. Transformasi berikut adalah sikap 24 tua-tua yang tersungkur di hadapan Dia yang duduk di atas Takhta, serta tindakan melemparkan mahkota, juga menyatakan ketidaklayakan, di hadapan Dia yang layak 77 Kistemaker, Revelation…, 99. menerima penyembahan umatnya. Kistemaker menuliskan tentang sikap 24 tua-tua demikian; “mereka telah menerima mahkota kemenangan ini dari Tuhan, tetapi dengan hormat mengembalikannya kepada Allah untuk memberikan kepadaNya segala kemuliaan dan hormat.”78 Dengan demikian, orang yang beribadah harus menunjukkan transformasi: baik pikiran, maupun sikap hidup. Transformasi karena karya Roh Kudus yang mengaplikasikan karya penebusan Kristus bagi kita. Elemen Ibadah Yang penulis maksudkan dengan elemen ibadah adalah unsur-unsur yang membentuk ibadah dalam kitab Wahyu, antara lain; Pujian, Penyembahan, Doa, Khotbah & Pengajaran, Ketaatan dan Disiplin. Pujian Dalam kitab Wahyu, elemen ini sangat menonjol (4:8; 5:9,10,12,13; 7:10,12; 12:10-12; 15:3,4; 16:5-7; 19:1-9). “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.” (4:8) Pujian ini menunjuk kepada kekudusan, kuasa yang eksklusif, dan kekekalan Allah tetapi tidak mengatakan sesuatupun tentang penebusan manusia. Pasal 4 berbicara tentang takhta dan kekudusan Allah, sementara pasal 5 melukiskan Anak Domba dan penebusan manusia.79 Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru80 katanya: “Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi” (5:9,10). Ini adalah bagian pertama dari tiga nyanyian yang meninggikan Anak Domba karena karya penebusan-Nya di kayu salib. Dua 78 Kistemaker, Revelation…, 193. Ibid., 192. 80 Tentang “Nyanyian Baru”; Mounce menjelaskan; “The song to the Lamb is a new song because the covenent established through his death is a new covenent. It is not simply new in point of time, but more important, it is new and distinctive in quality”; Robert H. Mounce, The Book of Revelation (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1977), 147. 79 nyanyian yang lain dinyanyikan dengan penuh hormat oleh para malaikat dan semua ciptaan.81 Dengan demikian pujian dalam kitab Wahyu diarahkan kepada Allah pencipta, dan Yesus Kristus untuk karya penebusan-Nya (5:12,13). Penyembahan Sikap menyembah adalah bagian integral dari pujian dalam kitab Wahyu. Setiap kali makhluk-makhluk mempersembahkan pujian, maka ke 24 tua-tua tersungkur, dan melemparkan mahkotanya di hadapan takhta, sambil mengakui bahwa yang layak untuk disembah hanya Allah pencipta (4:9, 10). Hal yang luar biasa dalam kitab Wahyu, adalah penyataan tentang ke 24 tua-tua yang jatuh tersungkur dan menyembah di hadapan takhta itu (5:8,14; 7:11; 11:16; 19:4).82 Ini adalah contoh bagi ibadah masa kini. Tentu menyembah tidak selalu dalam pengertian harafiah, seperti yang dilakukan oleh para tua-tua. Doa Doa dalam kitab Wahyu bercirikan pujian, memuliakan dan meninggikan Allah pencipta dan Yesus Kristus penebus manusia berdosa. Bagian terbesar dari doa dalam kitab Wahyu adalah pujian dan penyembahan. Permohonan pribadi Yohanes dalam doanya berkaitan dengan pengalaman yang luar biasa di hadapan kemuliaan Allah pencipta dan Anak Domba. Doa dalam kitab Wahyu di symbolkan dengan cawan emas yang penuh dengan kemenyan (5:8), yaitu doa orang-orang kudus.83 Kata yang perlu diperhatikan dalam kaitan dengan doa adalah Maranatha. Maranatha adalah bagian yang berharga dari doa, artinya “Our Lord, come”.84 “Ya, Aku datang segera!” Amin, datanglah, Tuhan Yesus! (22:20). Maranata biasa dipakai dalam doa pembukaan ibadah, memohon Tuhan yang bangkit untuk datang, atau pada pelayanan perjamuan kudus.85 81 Mounce, The Book ..., 209. Kistemaker, Revelation …, 193. 83 Mounce, The Book..., 146. 84 Ralph P. Martin, The Worship of God (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1982), 35. 85 Ibid. 82 Proklamasi Firman Kitab Wahyu sebagai kitab yang terakhir dari keseluruhan kanon Alkitab, menyatakan semua penggenapan nubuatan mulai dari Perjanjian Lama sampai kedatangan Kristus yang pertama, dan menyatakan kejadiankejadian yang akan mendahului kedatangan Kristus yang kedua kali. Maka semua bentuk proklamasi firman tergenapi di dalam kitab Wahyu. Melalui kitab Wahyu, Allah menyatakan isi kesaksian yang menempatkan Kristus sebagai pusat atau inti berita. Hal ini berarti, isi khotbah dan pengajaran dalam ibadah harus Kristosentris. “Yohanes telah bersaksi tentang firman Allah dan tentang kesaksian yang diberikan oleh Yesus Kristus, yaitu segala sesuatu yang telah dilihatnya” (1:2). Dalam konteks ini, firman Allah adalah “segala sesuatu yang dilihatnya”.86 Yang dilihat Yohanes adalah Allah pencipta yang duduk di atas takhta dan Anak Domba yang menebus dan membebaskan manusia dari dosa. Dengan demikian, proklamasi firman yang disampaikan dalam kitab Wahyu bersifat Kristosentris, tetapi juga menunjuk kepada Allah sendiri, yang berdaulat, yang berkenan menyatakan diri-Nya di dalam dan melalui Tuhan Yesus. Ketaatan Ibadah dalam konteks Wahyu juga menunjukkan sikap atau respons berupa ketaatan. Pertama-tama Yesus sebagai inti berita kitab Wahyu telah menunjukan ketaatan-Nya kepada Bapa yang mengutus-Nya. Ketaatan itu dibuktikan sampai ke Salib. Itu sebabnya dalam kitab Wahyu Anak Domba ditinggikan dan dimuliakan oleh karena Ia pernah di hina dan direndahkan. Hal ini tidak berarti kemuliaanNya disebabkan oleh karena penghinaan yang Ia terima. Yesus adalah Allah, sebab itu Ia mulia dan layak untuk disembah. “... dan dari Yesus Kristus, Saksi yang setia, yang pertama bangkit dari antara orang mati dan yang berkuasa atas raja-raja bumi ini. Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya (1:5). Ungkapan “...yang mengasihi kita” ditulis dalam bentuk ‘present tense’ ditulis sejajar dengan “yang telah melepaskan kita” dalam bentuk ‘past tense’ untuk menunjukkan kontras tindakan yang terus berlanjut dan yang sudah selesai atau digenapi. 87 Hal ini berarti, Yesus 86 87 Mounce, The Book …, 66. Kistemaker, Revelation…, 84. menyatakan bahwa kasih-Nya yang kekal, yang diekspresikan dalam ketaatan-Nya sampai mati di kayu salib. Terhadap pernyataan penulis sebelumnya, selanjutnya Robert Thomas yang dikutip Kistemaker menuliskan bahwa, “ini adalah satu-satunya contoh Perjanjian Baru di mana kasih-Nya dijelaskan”.88 Dengan demikian, konteks ibadah kitab Wahyu menuntut ketaatan kepada Allah dan firman-Nya. KESIMPULAN Dasar teologi ibadah dalam kitab Wahyu adalah ibadah Trinitarian. Allah Bapa dengan takhta-Nya adalah center ibadah kitab Wahyu. Yesus Kristus adalah kegenapan ibadah Perjanjian Lama. Roh Kudus adalah dinamisator ibadah dalam kitab Wahyu. Dengan kata lain, kalau dicermati, pasal 4-5 memberi alasan mengapa Allah (Bapa) dan Kristus (Anak) layak disembah: Allah menciptakan segala sesuatu (4:11) dan Kristus melalui kematian-Nya menebus manusia bagi Allah (5:9). Atau dapat dikatakan bahwa umat Tuhan menyembah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan anak domba yang telah menebus mereka di pihak yang lain, maka penyembahan menjadi powerful. Ungkapan “Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh” (1:10) menunjuk kepada karya Roh Kudus. Itu sebabnya penulis menyimpulkan bahwa dalam konteks kitab Wahyu, Ibadah bersifat Trinitarian. Yang penulis maksudkan adalah dalam ibadah, jemaat menyembah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Dengan kata lain, dalam ibadah, jemaat masuk dalam relasi dengan Allah (Bapa) melalui Allah (Anak) dan oleh Allah (Roh Kudus). 88 Kistemaker, Revelation…, 84. HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA MENURUT LUTHER DAN CALVIN SERTA IMPLIKASINYA BAGI GEREJA DAN NEGARA PANCASILA ERNI M.C. TAKALIUANG-EFRUAN PENDAHULUAN Alkitab mengajarkan bahwa Gereja adalah milik Tuhan, dimana Kristus menjadi Kepala Gereja dan sumber dari segala otoritas, di bumi dan di sorga. Namun Gereja yang terdiri atas orang-orang yang dikuduskan Tuhan itu, juga diperintahkan untuk menaklukkan diri kepada Negara. Bagaimana hubungan Gereja dan Negara harus diwujudkan di Negara Pancasila, bukanlah sesuatu yang gampang dirumuskan, bahkan relasi tersebut telah menimbulkan keprihatinan yang semakin mendalam bagi pihak-pihak terkait. Dalam kurun beberapa tahun terakhir ini, Pancasila semakin tidak disebut-sebut di dalam wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, meskipun kita “setuju” bahwa Pancasila adalah harga mati, dan walaupun hingga amandemen IV dari UUD 1945 pada tahun 2002 disepakati bahwa pembukaan UUD itu yang didalamnya terdapat rumusan Pancasila hingga saat ini tidak diubah, tetapi dalam praktiknya semakin banyak kebijakan, dan Perda-Perda yang tidak bernafaskan Pancasila. Dengan dicabutnya UU yang mengharuskan organisasi politik dan kemasyarakatan mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas pada Anggaran Dasar masing-masing, semakin banyaklah orpol dan ormas yang menganut dan memperjuangkan ideologi lain, terutama yang bermuatan agama. Dalam perjalanan sejarah dunia pun terlihat “perlombaan” agama (Gereja) dan penguasa (Negara) untuk saling mendominasi satu terhadap yang lainnya. Sejak Konstantinus Agung (Abad ke-4 M) menjadi Kristen, kecenderungan Negara untuk ikut menentukan apa yang baik dan tidak baik, yang patut dan tidak patut bagi Gereja telah merupakan kenyataan. Søren Kierkegaard di Denmark menghadapi persoalan serupa, ketika Gereja Lutheran menjadi Gereja resmi di Negara tersebut. Gereja menjadi pranata Negara, pendeta-pendeta menjadi pegawai negeri, beragama Kristen identik dengan berwarganegara, tanpa ada ketegangan sedikit pun di antara keduanya. Itulah alasan, mengapa Søren Kierkegaard sangat gelisah dan mengadakan “pemberontakan.” Inti pemberontakannya adalah: “Bagaimana setiap orang secara eksistensial berdiri di hadapan Tuhan (Gereja) dan sekaligus juga di hadapan dunia (Negara)?” Di Indonesia, khususnya pada zaman kolonial, kita juga menghadapi kasus serupa. Sebagian Gereja diatur oleh pemerintah kolonial (pengangkatan/pemberhentian pendeta melalui “besluit” dan sebagainya). Namun beberapa saat kemudian Gereja-gereja di Negara ini (khususnya Gereja Negara) mendapat haknya untuk mengatur dirinya sendiri. Tetapi memang yang menjadi persoalan adalah, bagaimanakah memilah-milah Gereja sebagai obyek iman dan Gereja di dalam kenyataan sejarahnya. Kedua hal ini sebenarnya sangat jalin-menjalin erat sekali. Karena itulah tulisan ini berusaha menelusuri, menganalisis, menggali, menafsirkan, menanggapi dan merumuskan kembali gagasan-gagasan dan praksis Luther maupun Calvin mengenai relasi Gereja dan Negara, serta implikasinya bagi Negara Pancasila, Negara yang multietnis dan multireligius ini. ANALISA HISTORIS HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA Pada abad I-IV (30-250 M), masalah Gereja dan Negara hanya sedikit dibicarakan. Gereja masih berbentuk Gereja bawah tanah. Gereja dicurigai oleh Negara, namun pada umumnya Gereja dibiarkan. Orang Kristen dianggap sebagai warga negara yang baik, taat dan setia kepada kekaisaran Romawi. Perlawanan hanya dilakukan terhadap penyembahan Kaisar, dalam hal-hal lainnya tidak.1 Tahun 250-311, Pemerintah Romawi berusaha melenyapkan Gereja. Abad IV di bawah pemerintahan Kaisar Konstantinus (272-337) yang beragama Kristen, pemisahan sebagai tema yang dominan mengalami perubahan menjadi asimilasi.2 Eusebius (260-340) adalah tokoh utama dalam konsep ini, suatu pengungkapan dari ide Eskatologi Terwujud (Realized Eschatology).3 Kaisar dipahami sebagai penguasa absolut. Konstantinus sering mengintervensi urusan Gereja, akibatnya banyak orang masuk Gereja karena pertimbangan politik. 1 Bnd. Th. van den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 47-50; Rosemary Radford Ruether, “The Recorporation of Christology into Society: Eusebian Political Theology,” in Unpublished Manuscript, 369-372. 2 Van den End, Harta Dalam ..., 57. 3 Bnd. F. Edward Cranz, “Kingdom and Polity in Eusebius of Caesarea” dalam Harvard Theological Review, 45, I (Jan, 1953), 47-66; S.L.Greenslade, Church and State from Constantine to Theodosius (London: SCM, 1954), 20-30; Bnd. Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja (Malang: Dep. Lit. YPPII, 1992), 59-60. Subordinasi Gereja di bawah Kaisar segera berakhir dengan kematian Konstantinus.4 Banyak protes muncul terhadap perpaduan kekaisaran, antara yang sakral dan kekuatan politik. Protes-protes ini berasal dari: (1) Kelompok-kelompok Nasionalis di dalam Gereja yang menuntut otonomi Regional mereka, yang tercermin didalam berbagai perpecahan, seperti misalnya pertengkaran kaum Monofisit atau Nestorian, (2) Kelompok Dualis yang memperbarui pandangan-pandangan pemisahan (Athanasius dan Ambrosius), (3) Aliran Biarawan-Biarawati. Pada Abad Pertengahan, hubungan Gereja dan Negara begitu erat. Tetapi beberapa saat kemudian timbul perselisihan antara Paus (Gereja) dan Kaisar (Negara). Perselisihan muncul karena upaya Paus untuk membebaskan Gereja dari Negara. Pertikaian antara Paus dan Kaisar antara lain berelasi erat dengan Paus Gregorius VII (1073-1085) dan Kaisar Heinrich IV (1056-1106). Pertikaian meledak karena Gregorius VII melarang pengangkatan pejabat Gereja oleh Negara (investitur awam). Kaisar Heinrich IV melawan tindakan Paus ini, yang begitu mencampuri pemerintahan Negara. Ia menolak larangan Paus. Akibatnya ia mengalami eks-komunikasi. Jabatan Kaisar dicabut darinya. Tetapi lima puluh tahun kemudian terjadi kompromis dalam Konkordat Worms (1122), ditetapkan bahwa Gereja mengangkat Uskup melalui persetujuan Kaisar. 5 Dalam upaya untuk menguasai dunia, para Paus dibantu oleh hukum Gereja. Sejak awal 1150 terbentang waktu 5 abad, tersedia teori-teori yang membenarkan kuasa Paus atas Kaisar dan Raja-Raja. Menurut Christian de Jonge, bukan kebetulan bahwa Paus-Paus dan semua ahli hukum Gereja, bukan ahli teologi.6 Teori terkenal yang dipakai dalam perebutan kuasa antara Gereja dan Negara pada Abad Pertengahan adalah teori Dua Pedang. Paus Gelasius I (Paus 492-496) adalah orang yang pertama kali memunculkan ide Dua Pedang ini.7 Teori tersebut berangkat dari cerita Injil Lukas 22:35-38. Dua Pedang ditafsirkan sebagai kuasa rohani (Gereja) dan kuasa duniawi (Negara). Menurut kepausan, kedua macam kuasa tersebut diberikan oleh Kristus kepada Paus. Tetapi Kaisar tidak menerima teori tersebut. Menurutnya, Kristus hanya memberi pedang (kuasa) rohani kepada Paus, 4 Namun pada tahun-tahun selanjutnya hal ini masih terus terjadi. Bnd. Christian de Jonge, Gereja Mencari Jawab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 14-16. 6 Ibid., 17. 7 Bnd. Frederick Copleston, A History of Philosophy. Vol. 3 (Image, 1950), 180. 5 sedangkan pedang duniawi langsung diberikan kepada Kaisar, sehingga Kaisar hanya bertanggung jawab kepada Kristus saja. Kekuasaan Paus mencapai klimaks pada Paus Innocentius III (11981216). Baginya, Kaisar menerima kuasa dari Paus. Masalah timbul saat otoritas Paus tidak diakui. Hal ini dialami ole Paus Bonifasius VIII (12941308). Paus melarang Negara menarik pajak dari Gereja, sedangkan Raja melarang Gereja mengekspos uang ke Paus di Roma. Akibatnya, Paus mengeluarkan bulla Unam Sanctam. Kesimpulan Paus bahwa semua orang yang mau memperoleh keselamatan harus takluk kepada Paus, akan tetapi raja Perancis tidak takluk. Akibatnya kepausan dikuasai oleh Perancis. Terjadilah Skisma Besar (1378-1415). Peristiwa skisma tersebut menimbulkan banyak pertanyaan tentang: Apakah tepat Paus berperan di bidang politik atau lebih baik kuasa Gereja dibatasi pada bidang rohani saja? Setelah skisma selesai, kuasa politik Paus terbatas pada NegaraGereja. Paus-Paus akhir Abad Pertengahan begitu sibuk mengurus Negara mereka sendiri sehingga tidak mampu mengatasi krisis-krisis Gereja yang memuncak dalam Reformasi. HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA MENURUT LUTHER Pada tahun 1520 Martin Luther lebih memusatkan perhatiannya pada penelitian Sejarah Gereja dan Alkitab, secara khusus Perjanjian Baru. Luther menghabiskan waktunya untuk menulis dan menerbitkan risalahrisalah, yang kebanyakan mengenai pembangunan jemaat. Kelak karyakarya Luther ini memicu munculnya ke permukaan berbagai aliran, gerakan radikal dan revolusioner yang menamakan diri gerakan Reformasi tetapi justru membelokkan Reformasi Luther, tetapi buah pena Luther ini juga menjadi dasar perumusan ajaran dan tata Gereja Lutheran. 8 Wawasan Teologis Luther Sejarah konflik yang panjang antara kekuasaan Paus (Gereja) dan kekuasaan Kaisar (Negara) telah menimbulkan asumsi bahwa Reformasi 8 Bnd. W.J. Kooiman, Martin Luther (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 8290; Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 31-35; Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 267-275; Bnd. Van den End, Harta Dalam..., 165-166. Gereja itu secara murni merupakan masalah Gereja itu sendiri. Kaum awam, apakah petani atau penguasa sekular seperti Kaisar itu sendiri, tidak memiliki otoritas untuk melakukan Reformasi Gereja. Hal ini mendorong Luther mengembangkan ajaran tentang imamat am semua orang percaya dalam risalahnya yang terkenal (1520) berjudul “Kepada para Pangeran Bangsa Jerman,” yang mendeskripsikan bahaya dari kekuasaan Paus serta kesukaran-kesukaran rakyat Jerman, secara kemasyarakatan maupun rohani. Ini merupakan tembok pertama dari 'tiga tembok' Yerikho modern yang dikemukakan Luther untuk dirobohkan. Luther mengajak para pangeran untuk berjuang, sebab mereka sebagai anggota Gereja, berdasarkan imamat am orang-orang percaya, berhak menangani pembaharuan Gereja: Semua orang Kristen adalah sungguh-sungguh anggota dari kaum rohaniwan. Tidak ada golongan tersendiri imam-imam, yang mempunyai hak-hak istimewa yang tertentu dalam Gereja dan masyarakat. Seorang paus atau uskup tidaklah lebih kedudukannya dari imam yang paling rendah, dan orang ini tidaklah lebih kedudukannya dari seorang Kristen sederhana, sekalipun itu perempuan atau anak, sebab jabatan pemberitaan rahmat itu diserahkan kepada semua orang percaya. Seorang pemberita Injil melakukan jabatan ini sebagai wakil; itu dilakukannya berdasarkan imamat am orang-orang percaya.9 Menurut Luther, tidak ada tempat di dalam kekristenan bagi pemahaman apapun tentang suatu kelas profesional di dalam Gereja yang mempunyai hubungan spiritual yang lebih dekat dengan Allah daripada anggota-anggotanya. Setelah menghapus kelas atau tembok-tembok dalam Gereja, Luther mengembangkan suatu teori alternatif tentang bidang-bidang kekuasaan yang didasarkan atas suatu perbedaan antara pemerintahan 'spiritual' dan 'duniawi' atas masyarakat. Di dalam buku “Sejarah Pemikiran Reformasi,” Alister McGrath menuliskan bahwa pemerintahan 'spiritual' dari Allah diberlakukan melalui Firman Allah dan tuntunan Roh Kudus. Orang percaya yang berjalan menurut Roh tidak memerlukan tuntunan lebih lanjut lagi dari siapa pun tentang bagaimana ia seharusnya bertindak. Pemerintahan 'duniawi' Allah diberlakukan melalui raja-raja, pangeranpangeran dan hakim-hakim, dengan mempergunakan pedang dan hukum negara. Apakah raja-raja, pangeran-pangeran atau hakim ini adalah orang9 Kooiman, Martin..., 84; Bnd. Van den End, Harta Dalam..., 166. orang percaya yang sungguh-sungguh atau bukan, mereka tetap melaksanakan suatu peran ilahi (bnd. Rm 13:1-7, 1Ptr 2:13-14).10 Bagi Luther, sama sekali tidak realistis mengharapkan bahwa masyarakat diperintah dengan ajaran Khotbah di Bukit. Mungkin setiap orang harus diperintah demikian, tetapi tidak setiap orang akan seperti itu. Baginya, Roh dan pedang harus berada bersama dalam pemerintahan suatu masyarakat Kristen. Teori Dua Kerajaan yang diperkenalkan olehnya, amat menekankan pemisahan dan pembagian wewenang yang jelas. Bagi Luther, kerajaan spiritual (Gereja) dan kerajaan temporal (Negara) keduanya adalah manifestasi dari Kerajaan Kristus. Namun lingkup temporal dan spiritual hendaknya diresponi dengan cara-cara yang berbeda.11 Jürgen Moltmann mendeskripsi ajaran ini secara jelas: Luther's two kingdom doctrine is in polemic separation between God and Caesar. It permits neither a Caesaro-papalism nor a clerical theocracy. I intended to teach that the world and politics may not be deified, nor may they be religiously administered. One should give to Caesar what belong to Caesar – no more and no less – and give to God that which is God's. One should turn the selfdeified world into the world, and let be God be God. One should deal rationally with the world, with the law, and with force. The world is not and it never will become the kingdom of God; rather it is a goodearthly order against evil chaos. One should deal spiritually – which means with faith – God and his Gospel. The Gospel does not create a new world but saves people through faith.12 Luther melihat eksistensi Negara dari perspektif kejatuhan manusia ke dalam dosa. Artinya, sekiranya saja dosa tidak ada, maka yang berlaku adalah hukum kasih dan karena itu, negara juga tidak ada. Untuk mencegah kehancuran yang fatal maka Tuhan menciptakan institusi – Negara – sebagai bagian dari ordo pemeliharaan. Menurut pandangan Luther, eksistensi Negara itu pada dirinya bersifat negatif dalam dua arti. Pertama, fungsi Negara bukanlah untuk menghasilkan yang baik, melainkan untuk mencegah yang jahat. Ia merupakan 'hukuman atas dosa.' Kini manusia harus hidup di bawah kekuasaan manusia, dengan segala akibat tragisnya. 10 McGrath, Sejarah Pemikiran..., 270. Kooiman, Martin..., 205. 12 Jürgen Moltmann, On Human Dignity: Political Theology and Ethics (London: SCM, 1984), 70-71. 11 Kedua, Luther menyadari bahwa dengan kekuasaan dan wewenang yang diberikan oleh Negara, maka kekuasaan Negara yang tidak terlepas dari dosa, pasti mempunyai kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Dengan demikian, kewenangan Gereja bersifat persuasif, tidak memaksa dan menyangkut jiwa seorang individu. Sedangkan kewenangan Negara bersifat memaksa daripada membujuk serta menyangkut tubuh dan harta milik seseorang. Kritik yang fundamental dari Luther atas sistem pemerintahan Paus dari Abad Pertengahan adalah bahwa sistem ini telah mencampur-adukan kedua bidang kekuasaan ini. Dapat disimpulkan bahwa wawasan teologis Luther mengenai hubungan Gereja dan Negara bersifat pragmatik. Baginya, Allah memerintah dunia, termasuk Gereja, melalui pangeran-pangeran danhakim-hakim. Gereja berada di dalam dunia dan dengan demikian harus menundukkan dirinya pada peraturan dari dunia. 13 Bagi Luther, orang Kristen tidak boleh memberontak atau melawan kekuasaan tiran yang bagaimanapun lalimnya.14 Hanya di dalam hal ketika Negara mencampuri wewenang Gereja dalam hal-hal spiritual, maka orang Kristen harus melawan. Namun melawan bukanlah memberontak secara fisik melainkan melawan secara spiritual, yaitu kerelaan untuk menderita demi ketaatannya kepada Tuhan. Menurut Charles Villa-Vicencio, persepsi teologis Luther ini dipengaruhi oleh kesatuan pemikiran logika, negosiasi bahkan kompromi.15 Bagi W.J. Kooiman, Luther tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran Abad Pertengahan, yang menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, pemerintah berhak mencampuri urusan-urusan kegerejaan.16 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap lunak Luther dipengaruhi oleh posisi sosial dirinya di dalam lingkungan tersebut. Ia dipengaruhi oleh relasinya yang baik dengan Frederick the Wise, sehingga tidak pernah terlintas dalam pikiran Luther untuk mengadakan tindakan subversif.17 13 Bnd. Kooiman, Martin..., 157-158; McGrath, Sejarah Pemikiran..., 272. Bnd. Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought. Vol. II: “The Age of Reformation,” 192; Bnd. Helmut T. Lehmann (ed.), Luther's Work's. Vol. 45 (Philadelphia: Forthress Press, 1976), 87-104. 15 Charles Villa-Vicencio, Between Christ and Caesar: Classic and Contemporary Texts on Church and State (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans, 1986), 41. 16 Kooiman, Ibid..., 159. 17 Bnd. Villa-Vicencio, Ibid., 40-42. 14 Praksis Luther Empat tahun setelah Luther menerbitkan tulisannya, “Kebebasan Seorang Kristen” (1520, maka tahun 1524-1525 terjadi gerakan pemberontakan petani yang dipimpin oleh Thomas Münzer (1491-1525). Gerakan ini dilatarbelakangi tirani dan kesewenangan para penguasa politik Jerman. Para petani menghendaki pembebasan dari bunga uang, rodi, pajak yang terlalu berat, penindasan dan pembentukan trust (aliansi perusahaan). Bagi mereka, tulisan Luther ini menawarkan tempat bertumpu dalam mengungkapkan ketidakpuasan mereka. Tulisan Luther dijadikan alasanalasan untuk mendukung perlawanan mereka terhadap pemerasan oleh kaum rohaniwan dan bangsawan. Münzer telah menafsirkan gagasan Luther secara materialistis. Hanya orang-orang miskin (harta benda dan melarat) yang dapat menerima Roh, Terang batiniah itu. Merekalah orang-orang yang berbahagia, yang berkenan kepada Allah, menurut Matius 5:3. Sebaliknya, orang-orang kaya justru karena kaya, adalah orangorang fasik. Orang-orang miskin yang saleh hendaklah membasmi orang-orang kaya yang durhaka dan mendirikan Kerajaan Allah di bumi.18 Gagasan Münzer tersebut menginspirasi Karl Marx melahirkan Marxisme. Gerakan Münzer telah menjadikan Injil sebagai program agraris. Tetapi Luther menolak bahkan melawan gerakan pemberontakan petani tersebut dengan keras.19 Pada satu sisi, Luther menilai gerakan revolusi ini sebagai hukuman Allah terhadap para pemimpin yang melawan Injil. Pada sisi yang lain, ia menghendaki gerakan ini dilakukan secara damai. Ia mengecam revolusi tersebut melalui tulisannya “Terhadap Gerombolan Para Petani yang Bernafsu untuk Merampas dan Membunuh.” Melalui karya tulis tersebut, Luther mendorong para pemimpin politik untuk mengambil tindakan keras terhadap gerakan ini. Baginya, gerakan tersebut adalah manifestasi setan yang ingin menghancurkan gerakan Reformasi. Para pemimpin politik meresponi kecaman Luther melalui cara membasmi gerakan tersebut dengan jalan kekerasan. Banyak kaum pemberontak tewas, termasuk Münzer. Dalam buku “Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar 18 19 Van den End, Harta Dalam..., 175. Bnd. Kooiman, Martin..., 139; Bnd. Aritonang, Berbagai Aliran..., 33-35. Gereja,” Jan S. Aritonang menulis bahwa pemberontak yang tewas, termasuk Münzer, sangat mendukakan hati Luther.20 Di sini sepertinya Luther bersikap ambivalen, namun perlu dicatat bahwa Luther tak dapat dibedol dari konteks zaman. Charles Villa-Vicencio mengomentari sikap Luther tersebut secara tepat: While he was never uncritical of the German princis, and at times he was severe in his criticism of their rule, he was essentially supportive of them. This needs to be contextually understood.21 Luther adalah seorang gembala, bukan politikus. Ketika revolusi petani muncul di cakrawala, tampak kekurangan-kekurangan pemahaman politisnya. Etika Sosialnya bersifat mengalah. Ia lebih menyukai penindasan terhadap revolusi. Para petani diibaratkan memberi pipi yang lain kepada penindas-penindas mereka. Sedangkan para penguasa itu dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menegakkan keteraturan sosial.22 Pada akhirnya, jalan dibuka untuk supremasi Negara atas Gereja yang akan menjadi satu ciri universal dari Lutheran. Bahkan Adolf Hitler (1889-1945) bagi sebagian orang Kristen Jerman dipandang sebagai alat Allah. Kini aliran atau denominasi Lutheran adalah yang terbanyak penganutnya. Menurut Jan S. Aritonang, jumlah penganut Lutheran berkisar 60 juta jiwa, yang tersebar di Jerman, Amerika, Afrika, Australia, dan Asia.23 Di Negara Pancasila, Indonesia, tidak ada Gereja yang murni menganut aliran Lutheran. Gereja-gereja beraliran Lutheran (HKBP, GKPS, GPKB, GKPI, HKI, GKLI, GKPA dan GKPM [kecuali GPKB]) adalah hasil pelayanan Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG) yang menganut aliran campuran Lutheran dan Calvinis Jerman. HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA MENURUT CALVIN Yohanes Calvin (1509-1564), seorang Sarjana Hukum Perancis keturunan Swiss, yang berminat pada teologi di Perancis (Jenewa). Ia 20 21 22 Aritonang, Berbagai Aliran..., 34. Villa-Vicencio, Between Christ..., 40. Bnd. David C. Steinmez, Luther in Context (Bloomington, Indiana: 1986), 112-115. 23 Aritonang, Ibid., 22-23. adalah anak zaman. Pemahamannya tentang hubungan Gereja dan Negara tidak terlepas dari realitas awal abad ke-16. Peranannya pada doktrin hubungan Gereja dan Negara, seperti Luther, hendaknya juga dipahami secara kontekstual. Jenewa memilih Reformasi sebelum kedatangan Calvin. Seribu pendeta atau pekerja Gereja telah diusir dari Jenewa, digantikan oleh 19 pendeta dan salah satu di antaranya adalah Yohanes Calvin. Ia dan kawankawannya tidak diijinkan menjabat posisi politis. Tidak lama kemudian semua dipecat kecuali Calvin. Namun delapan belas bulan kemudian Calvin juga dipecat. Dengan latar belakang ini, maka dapat dipahami bahwa setelah Calvin diminta kembali ke Jenewa untuk melaksanakan program Reformasinya, sampai kematiannya, Calvin tidak menaruh keyakinan penuh pada para penguasa. Wawasan Teologis Calvin Pemikiran-pemikiran yang paling matang mengenai hubungan Gereja dan Negara yang tidak hanya memperhatikan hal-hal yang mendasar tetapi juga hal-hal praktis terdapat pada Calvin. Bagi Calvin, ada pemisahan antara hubungan Gereja dan Negara tetapi tidak ada keterpisahan. Tidak ada subordinasi atau separasi total, melainkan koordinasi. Dasar teologis dari gagasan Calvin ini adalah karena sekalipun ada pemisahan, tetapi keduanya, Gereja dan Negara, memperoleh otoritas dari Allah. Dan sekalipun keduanya melaksanakan fungsi yang berbeda-beda, tetapi keduanya melayani rencana Allah yang satu, bagi dunia yang satu dan kemanusiaan yang satu.24 Pemerintahan Rohani yang diselenggarakan oleh Gereja, membina manusia agar memperoleh keselamatan abadi, sedangkan pemerintahan sipil, yang diselenggarakan oleh Negara, membina kehidupan bersama di dunia ini. 25 Pemahaman mengenai perbedaan pemerintahan ini dirumuskan dalam Institutio. Namun maksud pembedaan itu bukanlah supaya kita mengira bahwa seluruh pemerintahan sipil itu adalah suatu perkara yang kotor yang bukan urusan orang Kristen. Orang-orang fanatik,26 yang 24 Bnd. Skinner, The Foundations of..., 192-193. Bnd. Christian de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), 267-270. 26 Orang-orang Anabaptis dan para “Schwärmer” 25 menyukai kebebasan tak terkendali, membual berteriak: “Karena kami telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari rohroh dunia (Kol 2:20) dan telah dibawa ke dalam Kerajaan Allah dan duduk di tengah-tengah penduduk surgawi (1Kor 15:47; Ef 2:6)... ” Tetapi sebagaimana sebelumnya telah kami peringatkan bahwa jenis pemerintahan ini berbeda dari Kerajaan Kristus yang rohani dan batiniah sifatnya itu, maka harus pula diketahui bahwa antara keduanya itu tidak ada pertentangan mengenai hal apapun. 27 Bagi Calvin, cara memerintah ditentukan oleh masing-masing pemerintah. Gereja memerintah dengan kuasa rohani, yaitu kasih. Negara memerintah dengan kuasa dan paksaaan, bahkan kalau perlu dengan kekuasaan pedang. Menurutnya, kedudukan Gereja dalam masyarakat harus dibela oleh pemerintah. Setiap gangguan terhadap Gereja dan setiap pelanggaran hukum Allah yang dilakukan secara terbuka, harus ditindak oleh Negara. Negara harus menopang dan mengasuh Gereja. Negara harus membantu Gereja menjalankan kedaulatan Allah. Di pihak lain, Calvin menegaskan bahwa Negara dalam menentukan undang-undang langsung taat kepada Allah. Namun dia menolak pendapat bahwa UU Negara langsung harus diambil dari Alkitab, malah Calvin menyangkal kemungkinan menerapkan Hukum Taurat Perjanjian Lama secara langsung dalam Negara pada zamannya, termasuk Negara Kristen. Dengan demikian, secara teologis, Calvin menolak atau menghindari adanya Negara Teokrasi.28 Menurut Christiaan de Jonge, kata teokrasi secara hurufiah berarti pemerintahan Allah dan dipakai untuk menunjuk kepada masyarakat yang langsung dipimpin oleh petugas-petugas agama berdasarkan undangundang yang dianggap berasal dari Allah (seperti Israel di padang gurun yang dipimpin oleh Musa, yang menerima Hukum Taurat dari Alah). 29 Bagi Calvin, sebutan teokrasi hanya tepat bagi sistem pemerintahan yang dicita-citakannya, bahwa pemerintah seharusnya takluk kepada Allah yang menciptakannya dan taat pada kehendak-Nya yang dapat dikenal dari hukum alamiah dan oleh pemerintah Kristen, juga dari Alkitab. Dari uraian di atas jelas bahwa Calvin menekankan semua orang harus taat kepada pemerintah, bahkan harus menghormatinya sebagai 27 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen. Terj. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 254 atau IV, xx, 2. 28 Bnd. De Jonge, Apa Itu..., 272; Calvin, Institutio, IV, xx, 10. 29 Ibid., 273. hamba Allah (Kel 18:20-21; Mat 17:24-27; Rm 13; 1Ptr 2:13-14).30 Baginya, ketaatan itu wajar kalau pemerintah melakukan tugasnya sesuai dengan kehendak Alah. Tidak berarti bahwa pemerintah harus beragama Kristen. Pemerintah Kafir yang memerintah berdasarkan UU yang mencerminkan hukum alamiah, patut ditaati, namun bukan ketaatan yang buta. Bila penguasa memerintah bertentangan dengan perintah Allah, orang “harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis 5:29). 31 Pada sisi lain, Calvin melarang orang Kristen pribadi memakai kekerasan apapun kalau ia menjadi petugas pemerintah, ia hanya boleh membunuh berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dan itu pun hanya untuk kepentingan masyarakat yang adalah sesuai dengan perintah Allah. Petugas pemerintah tidak boleh menjatuhkan hukuman mati demi membalas dendam pribadi. Praksis Calvin Wawasan Calvin mengenai pemerintahan sipil dan hubungan antara Gereja dan Negara tidak terlepas dari kenyataan konkrit yang dialaminya. Negara mendukung agama dan menindak mereka yang melakukan pelanggaran dalam kehidupan maupun ajaran. Pendeta Jenewa tidak segansegan mengemukakan tanggapan mengenai hal-hal yang terjadi dalam pemerintahan sipil ('berpolitik'). Dukungan pemerintah terhadap siasat ajaran tampak dari keputusan untuk membuang dari kota orang-orang yang tidak mau menerima teguran Gereja karena ajaran mereka tidak disetujui. Nasib ini antara lain dialami oleh Michael Servetus (1553), ia menolak ajaran Trinitas. Perbuatan Servetus ini menurut Calvin adalah kejahatan. Calvin menyetujui vonis hukuman mati bagi Servetus. Kasus Servetus dijadikan bukti bagi intoleransi Calvinisme. Pemahaman Calvin mengenai hubungan Gereja dan Negara sangat berpengaruh pada sejarah Gereja-Gereja Calvinis. Kaum Puritan yang memberontak di Inggris (± 1640-1660) memakai teori pemerintahan 30 Bnd. Skinner, The Foundations of..., 194; Bnd. Van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 17; Bnd. Calvin, Institutio..., XXIX, 39-40. 31 Bnd. Villa-Vicencio, Between Christ..., 51-52; Bnd. Calvin, Institutio..., IV, xx, xxxii. Calvin.32 Sejarah memperlihatkan bahwa Calvinisme cocok untuk orang yang tertindas di seluruh dunia, sebagai sumber dari pembebasan politik mereka. Di Indonesia, melalui kolonial Belanda (Verenigdie Oost Indische Compagnie/VOC; 1602-1799), Calvinisme sampai ke Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda menempatkan apa yang disebutnya Commisarissen di dalam majelis-majelis jemaat De Indische Kerk, yang pada waktu itu merupakan Gereja Negara.33 Para pejabat Gereja harus mendapat Besluit dari pemerintah kolonial. Ini adalah pembiasan dari ajaran Calvin yang mana Gereja disubordinasi oleh Negara. Yang Calvin maksudkan, pemerintah (Negara) harus membantu Gereja untuk memberlakukan kedaulatan Allah. Walaupun Gereja pada zaman VOC kurang berhasil untuk menjadikan umat Protestan di Indonesia umat yang saleh dan suci sesuai dengan cita-cita Calvinis yang dipegang di negeri induknya, patut diperhatikan bahwa Gereja ini tetap Gereformeerd. Hal itu berarti bahwa bentuk-bentuk kehidupan gerejawi yang dibawa ke Indonesia adalah bentuk-bentuk yang dipakai di Gereja Gereformeerd di Negeri Belanda. Oleh sebab itu orang-orang Indonesia yang masuk Kristen (Protestan), dipengaruhi oleh bentuk-bentuk ini, sekurang-kurangnya di pusat-pusat gerejawi seperti kota-kota di Jawa dan di luar Jawa (GPIB, GPM, GMIM, GMIT, dan seterusnya). Pada tahun 1935 diadakan pemisahan administratif antara Gereja dan Negara; Gereja Protestan mendapat hak untuk mengurus masalahnya sendiri. Sesudah penyerahan kedaulatan, maka tahun 1950 hubungan keuangan antara Gereja (GPI) dan Negara pun (Republik Indonesia) diputuskan.34 PERBANDINGAN PANDANGAN LUTHER DAN CALVIN Secara fundamental, ada banyak kesamaan dalam tulisan Luther dan Calvin mengenai hubungan Gereja dan Negara, namun ada juga perbedaan dalam wawasan. 32 33 34 1967), 225. Bnd. De Jonge, Gereja Mencari..., 47-48. Bnd. Van den End, Harta Dalam..., 218-220. Bnd. J. Verkuyl, Etika Kristen: Ras, Bangsa, Gereja, Negara (Djakarta: BPK, Persamaan Calvin sepaham dengan Luther untuk melihat Negara dari perspektif kejatuhan manusia ke dalam dosa dan oleh karena itu (berbeda dengan GKR) ia setuju dengan Luther bahwa eksistensi Negara adalah sebagai hukuman atas dosa (penalty of sin). Luther dan Calvin menyadari bahwa kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan inheren di dalam eksistensi Negara. Di dalam keadaan seperti itu, tidak ada tempat dan alasan bagi orang Kristen untuk memberontak dan melakukan anarki. Namun Calvin melangkah sedikit lebih jauh daripada Luther: ketika penguasa politik menyalahgunakan kekuasaannya, maka lapisan kekuasaan yang ada di bawahnya (the lesser magistrates) mempunyai wewenang untuk melawan. Perbedaan Luther menulis hubungan Gereja dan Negara dari perspektif pemerintah kaum elit Jerman, sedangkan Calvin menulis dari perspektif kota pengungsi. Bagi Luther, politik adalah “urusan masyarakat,” bagi Calvin politik adalah “urusan Allah.” Calvin mencoba melakukan sintesis antara pandangan GKR dan Luther. Luther membuat pemisahan Gereja dan Negara terlampau tajam, tetapi Calvin tak dapat menerima sepenuhnya. Baginya, ada pemisahan tetapi tak ada keterpisahan. Teori pemerintahan Luther bersifat pragmatis, asimilatif, teosentris dan berbeda dengan pandangan Calvin yang bersifat asimilatif dan teokratis. Sejarah menunjukkan bahwa Calvinisme cocok untuk orang yang tertindas di seluruh dunia, sebagai sumber dari pembebasan politik mereka. Teologi Luther sering mendapat kecaman dari orang yang tertindas tetapi mendapat pujian dari masyarakat yang lebih stabil. Tanggapan Terhadap Luther Luther adalah anak zamannya. Pemahaman tentang hubungan Gereja dengan Negara tidak terlepas dari realitas awal abad ke-16. Apapun pendapat orang mengenai pemikiran Luther, penting untuk diingat bahwa sebenarnya secara esensial Luther mendukung para penguasa Jerman. Ini perlu dipahami secara kontekstual. Sepanjang hidupnya, Luther dibayangi ketakutan terhadap kekacauan politik dan disintegrasi. Baginya, ada hierarki natural dalam tatanan masyarakat dan para pangeran Jerman merupakan penguasa legitimate yang paling baik. Luther terlibat dalam politik dan menghimbau para pengikutnya untuk melakukan hal yang sama, namun ia tidak pernah berkeinginan melakukan subversi. Ia tidak surut untuk mengingatkan para pangeran bahwa rakyat tidak tahan terhadap penindasan mereka lagi, Allah tidak akan mentolerir tindakan mereka. Namun ketika para petani memberontak, ia menasehati para pangeran untuk menindas para petani. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa ajaran Luther mengenai hubungan Gereja dengan Negara bersifat subyektif (dipengaruhi hubungan baik dengan Frederick the Wise, bukan kolusi). Analisanya mengenai lingkungan dari zamannya jelas dipengaruhi posisi sosial dirinya di dalam lingkungan tersebut. Hal ini tampak dalam persepsi teologisnya yang merupakan satu kesatuan pemikiran logika, negosiasi bahkan kompromi. Etika Luther dapat dipermodern untuk situasi-situasi yang kompleks. Tetapi perlu dipahami secara esensi bahwa lingkup temporal (Negara) dan spiritual (Gereja) hendaklah diresponi dengan cara-cara yang berbeda: Beri kepada Kaisar (Negara) apa yang menjadi milik Kaisar, beri kepada Allah (Gereja) apa yang menjadi milik Allah. Prof. Dr. Jan S. Aritonang pernah mengatakan bahwa perumusan atau formulasi kredo tidak terlepas dari konteks zamannya. Dengan demikian segala sesuatu dapat berubah, termasuk ajaran Luther. Yang tidak berubah hanyalah Tuhan Yesus Kristus.35 Dengan demikian, kita yang hidup zaman sekarang tidak terjebak dalam pandangan yang terlalu sempit, yang menilai bahwa Luther tidak konsisten dalam ajarannya (satu pihak Luther menyarankan Gereja tidak mencampuri urusan Negara, pada pihak lain Luther mencampuri urusan Negara melalui ajarannya untuk menindas pemberontak). Ini penilaian yang tidak ilmiah. Luther bertindak demikian karena ajaran Dua Kerajaan dibelokkan. Luther selalu menekankan bahwa tidak dibenarkan memberontak melawan penguasa yang legal manapun. 36 Memang antara tanggal 25-28 Oktober 1530 Luther mengeluarkan formulasi kapitulasi yang ditulis dengan tangannya sendiri namun pada saat itu ia berada dalam tekanan krisis politik, sehingga akhirnya ia berkata, “Ahli teologi sebenarnya tidak berkompetensi untuk mempertimbangkan masalah tersebut, peran mereka tidak lebih dari sekadar mensahkan posisi yang telah 35 Di dalam ruang kuliah S-2, Institut Injil Indonesia di Batu, 06 September 36 Bnd. Skinner, The Foundations of..., 206. 2001. diambil oleh para dewan juru.” Dan satu hal yang perlu diingat, Luther adalah seorang rohaniwan berlatar belakang konservatif. Tanggapan Terhadap Calvin Sebagaimana Luther demikian pula Calvin. Kedua reformator ini adalah anak zaman. Ajaran Calvin mengenai Gereja dan Negara lahir di tengah-tengah konteks Negara dan masyarakat Kristen (berbeda dengan Indonesia yang mayoritas beragama Islam). Masyarakat merupakan satu kesatuan, dengan Gereja sebagai jiwa dan Negara sebagai tubuh (Corpus Christianum). Sebenarnya, secara teologis, Calvin menghindari adanya teokrasi model Perjanjian Lama dan eklesiokrasi, namun dalam prakteknya pada waktu ia menjadi pendeta di Jenewa ia justru mempraktekkan kedua hal tersebut dengan bantuan Dewan Kota, bahkan dengan sangat ketat. Menghadapi kasus Servetus, Calvin meminta bantuan Dewan Kota untuk menanganinya, karena bagi Calvin kedudukan Gereja dalam masyarakat harus dibela oleh pemerintah. Di Indonesia, pada waktu Gereja mencantumkan Pancasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Tata Gerejanya, maka saat itu sebenarnya sejarah Kota Jenewa atau Dewan Kota sedang diulangi. Gereja sudah membuka kemungkinan intervensi Negara di dalam urusan-urusan Gerejawi. Menurut UU No.8/1985 mengenai keormasan, Gereja di mata pemerintah adalah suatu organisasi massa. Dengan demikian Gereja dapat “dibina” dan “diayomi” oleh Negara (hanya aspek organisasi, kasus HKBP misalnya). Dengan menilik perjalanan dan peristiwa-peristiwa sejarah di atas, maka pertanyaannya: Tidakkah ada hal-hal yang mendorong justru di dalam perjalanan sejarah dari Gereja yang menyebabkan Negara “diizinkan” untuk mencampuri urusan-urusan Gerejawi? Haruskah kita menganggap “final” perumusan yang mengatakan bahwa Negara tidak boleh mencampuri urusan Gereja (organisasi) dan sebaliknya? Ataukah kita harus terbuka kepada suatu proses sejarah, di mana akan ditemukan suatu “model” yang lain samasekali, justru ketika interaksi antara Gereja dan Negara terjadi, yang ikut ditentukan oleh kenyataan-kenyataan sosio, budaya, dan lain-lain (Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Sejarah Gereja) yang memperlihatkan “model” hubungan justru tidak statis tetapi dinamis. IMPLIKASI TEOLOGIS Alkitab menempatkan Gereja (orang percaya) dalam suatu posisi yang paradoksal, bertanggung jawab kepada Allah dan sekaligus kepada pemerintah (Yer 29:7). Israel sebagai umat diinstitusionalisasikan menjadi Negara. Konsekuensi dari adanya kerajaan (Negara) adalah pemakaian kekuasaan, yang dalam banyak hal dapat saja disalahgunakan. Dalam institusionalisasi umat menjadi kerajaan (Negara). Jelas bahwa Raja (Negara) tidak senantiasa memiliki relasi yang harmonis dengan Imam maupun Nabi. Allah sering memakai Nabi (Gereja) untuk menyampaikan maksud-Nya kepada Raja (Negara) (2Sam 7:1-17, 12:1-25, dan seterusnya). Pada pihak lain Negara juga dipakai Allah untuk menyampaikan maksudnya kepada Gereja (Qahal). Bahkan Raja-raja asing pun dipakai Allah untuk menyelamatkan umat-Nya (Kisah Koresy dalam Ezr 1:3). Raja Ahasyweros (melalui Ester) mencegah musnahnya umat Israel dari muka bumi ini sebagai akibat rencana genoside Haman (Est 3:1-5:14). Dengan demikian Allah mempergunakan tangan “Negara” untuk menyelamatkan umat-Nya dalam keadaan sangat kritis. Tetapi ini bukan satu pola baru. Di Dalam Perjanjian Baru, warga negara Kristen diwajibkan untuk setia kepada pemerintah (Rm 13:1-7), namun paradigma Paulus tentang ketaatan kepada pemerintahan, bukanlah di atas segala-galanya, karena Gereja harus lebih taat kepada Allah, dalam segala hal. 37 Gereja juga wajib berdoa untuk seluruh pejabat (1Tim 2:2). Para pemimpin diangkat untuk menghukum para pelanggar dan menghormati warga yang berbuat baik (1Ptr 2:13). Gereja diutus oleh Tuhan ke dalam dunia. Tugas Gereja ialah menjadi “Garam” dan “Terang” (Mat 5:13-16) dan hidup sebagai Gereja yang taat kepada Tuhan (Ibr 13:8). IMPLIKASI PRAKTIS Menerapkan semua pembahasan di atas ke dalam koteks Indonesia, sebenarnya tidak harus menulis secara panjang lebar. Paling sedikit pada aras prinsipil dan kontekstual, segala sesuatu telah amat jelas. 37 Kata “takluk” (Rm 13:1-2) u[potassw – hupotasso (subject, subordinate) dalam bentuk passive voice menjadi u[potassesqai – hupotassesthai dapat diterjemahkan menempatkan diri di bawah atau mengambil tempat yang lebih rendah. Dengan demikian, seruan Paulus untuk takluk keada pemerintah merupakan suatu nasehat merendahkan diri dan bersedia menempatkan diri lebih rendah dari para penguasa, sejauh tidak berlawanan dengan iman kristiani; Bnd. W.E. Vine, Vine's Complete Expository Dictionary of Old and New Testament Words (Nashville: Thomas Nelson Publisher, 1985), 606. Indonesia yang berlandaskan Pancasila adalah sebuah Negara hukum, bukan Negara kekuasaan, bukan Negara totaliter atau otoriter. Negara Pancasila menjamin kebebasan beragama. GBHN 1988-1993 menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang paling mendasar. Negara Pancasila bukanlah negara sekular, dan karena itu tidak mengenal pemisahan yang mutlak antara Agama (Gereja) dengan Negara. Namun Negara Pancasila juga bukan sebuah Negara Agama, dan oleh karena itu juga menolak sobordinasi Negara oleh Agama (Gereja) dan subordinasi Agama (Gereja) oleh Negara. Secara prinsipil, supremasi Negara terhadap Gereja harus ditolak. Jika Negara menguasai Gereja dan intervensi di dalam urusan-urusan Gereja (ajaran maupun organisasi) implikasinya, Gereja telah kehilangan kebebasannya. Maka pedang Roh, yaitu Firman Alah, telah menjadi tumpul (Ef 6:17). Jadi, kalau kita konsekuen dan konsisten, maka sebenarnya tidak ada pilihan dan kemungkinan yang lain; Negara harus menjamin kebebasan dan otonomi semua kelompok agama di Negara ini untuk mengatur dirinya sendiri, sesuai dengan keyakinan yang dianutnya dan aturan-aturan yang ditetapkannya sendiri, selama hal itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Bahkan mengenai “hukum yang berlaku” inipun harus dengan kualifikasi: Sepanjang hukum yang berlaku itu menjamin otonomi individu dan masyarakat. Kurang dari itu yang kita hadapi adalah gejala totalitarianisme atau paling sedikit otoritarianisme, keangkuhan, kekuasaan yang destruktif dan demonis, pelanggaran mandat yang diberikan oleh Allah sendiri. Adalah kewajiban (bukan cuma hak) bagi setiap pencinta demokrasi untuk melawannya, dan setiap anak Allah untuk melaksanakan tugas profetisnya, sebagai bagian dari iman dan ketaatannya kepada Allah (Kis 5:29). Tugas ini hendaknya disampaikan dengan hati-hati dan rendah hati serta berhikmat sebagaimana dikatakan DR. Petrus Octavianus: “Hal ini harus disampaiakan dengan rendah hati di dalam kasih. Jangan bertindak seolah-olah kita lebih tahu dari pemerintah.” 38 38 P. Octavianus, Mengapa Umat Kristen Menerima Pancasila sebagai SatuSatunya Azas? (Batu-Malang: Dep. Lit. YPPII, 1985), 28. PENUTUP: KESIMPULAN Setelah menelusuri akar-akar kristiani dalam ajaran Luther dan Calvin dalam hubungannya dengan Gereja dan Negara serta implikasinya bagi Gereja dan Negara Pancasila, maka sekarang dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, Gereja mengakui eksistensi dan fungsi Negara sebagai alat Allah untuk mencegah/menghukum kejahatan dan mengusahakan keadilan bagi seluruh rakyat. Kedua, Gereja menyadari dan mewaspadai potensi serta kecenderungan yang inheren ada pada Negara untuk menyalahgunakan wewenang yang dapat berubah menjadi kekuatan yang destruktif dan demonis. Ketiga, Justru agar Negara dapat melaksanakan fungsinya dengan baik dan benar, kekuasaan Negara harus diatur dan dibatasi. Keempat, hubungan Gereja dan Negara secara inheren mengandung potensi konflik. Ini disebabkan karena baik Gereja maupun Negara mempunyai klaim yang menyeluruh atas kehidupan manusia, dalam artibahwa semua faset kehidupan manusiawi mempunyai dimensi spiritual dan politis. Ketegangan hubungan antara Gereja dan Negara ini tidak boleh dipadamkan dengan menundukkan (mensubordinasikan) yang satu kepada yang lain, baik dalam bentuk “Gereja-Negara” maupun “Negara-Gereja.” Oleh karena itu, di samping menolak totalitarianisme dan otoritarianisme, Gereja juga harus menolak teokrasi dan eklesiokrasi. Kelima, Gereja hendaknya mempertahankan serta memelihara hak yang ada padanya untuk di mana perlu melaksanakan “ketidaktaatan yang bertanggung jawab” terhadap kekuasaan Negara. Sehingga meminimalkan terjadinya seperti yang pernah dikatakan Prof. Dr. Jan S. Aritonang: “Nabinya sudah jinak.”39 Hak ini bukanlah pemberian Negara, walaupun Negara seharusnya menjamin hak-hak individu dan masyarakat untuk bersikap sesuai dengan hati nurani dan keyakinannya, selama hal tersebut tidak menimbulkan anarki. Tetapi diakui atau tidak oleh Negara, Gereja wajib memwujudkan kebebasannya itu dan kalau perlu bersedia menderita demi suara hati nurani dan keyakinannya. Akhirnya, kita, Gereja, dapat berkata seperti Luther: “Suara hati saya sudah terikat oleh perkataan 39 2001. Di dalam ruang kuliah S-2, Institut Injil Indonesia di Batu, 06 September Kitab Suci dan saya tertangkap dalam Firman Allah, menarik kembali, saya tidak dapat dan saya tidak mau sama sekali.” 40 Di akhir tulisan ini, saya merujuk kata-kata Eka Darmaputera: “Bersikap sesuai dengan keyakinan dan suara hati nurani bukanlah anarkisme. Ia tidak memaksakan kehendak sendiri kepada orang lain dan merugikan hak serta kebebasan orang lain (1Kor 13:40).” 41 Dan sebagai pengikut Kristus, Gereja (secara organis) tidak pernah boleh putus asa, sebagaimana nasehat Dietrich Bonhoeffer melalui suratnya dari penjara, sebelum ia mati di tiang gantungan di bawah hukuman Adolf Hitler pada tanggal 9 April 1945.42 40 Dikutip oleh Van den End, Harta Dalam..., 167. Eka Darmaputera, “Aspek-Aspek Etis-Teologis Hubungan Gereja-Negara Dan Implikasinya Dalam Negara Pancasila” dalam Weinata Sairin (peny.), Hubungan Gereja Dan Negara Dan Hak-Hak Asasi Manusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 21. 42 Dietrich Bonhoeffer, Letters and Papers from Prison (London: SCM Press, 1981). 41 KEMESIASAN YESUS BERDASARKAN LUKAS 4:18-19 SEBAGAI DASAR HOLISTIC MINISTRY GEREJA DINA ELISABETH LATUMAHINA PENDAHULUAN Secara global, masyarakat dunia sedang menghadapi tiga masalah besar yaitu masalah degradasi lingkungan hidup, disintegrasi sosial dan masalah kemiskinan. Pertama, masalah degradasi lingkungan hidup. Sumber-sumber daya dunia sedang dihabiskan lebih cepat daripada mereka dapat digantikan. Pencemaran lingkungan dan Global Warming menjadi masalah utama dunia saat ini. Kedua, masalah disintegrasi sosial yang telah menghancurkan tatanan masyarakat. Masalah perceraian yang sedang booming, bunuh diri, tawuran, pemakaian obat-obat terlarang yang tidak dapat dibendung lagi. Relasi sosial antar masyarakat telah diwarnai diskriminasi, intimidasi, anarkhisme. Yang ketiga, masalah kemiskinan. Pada dewasa ini dunia menghadapi kenyataan bahwa lebih dari satu milyard umat manusia (seperlima penduduk dunia) hidup dalam kemiskinan yang mutlak dan jumlah bilangan ini terus bertambah. Ada kesenjangan sosial yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin. Melihat semua masalah di atas, Gereja tentunya tidak boleh menutup mata atau melipat tangan dan mengatakan bahwa itu bukan urusan Gereja. KEMESIASAN YESUS DALAM PERJANJIAN LAMA Mulai zaman Perjanjian Baru sampai sekarang, pengertian tentang Mesias bahwa Dia adalah Yesus Kristus yang telah datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia berdosa sehingga memperoleh hidup yang kekal adalah pengertian yang sudah baku. Tetapi sebelum itu, orang-orang Israel zaman Perjanjian Lama sudah memiliki pengharapan mesianis menurut pengertian yang diperoleh dari nubuat-nubuat para Nabi Perjanjian Lama.1 Berdasarkan nubuat-nubuat tersebut, dan atas bimbingan Roh Kudus, Yohanes Pembaptis dan para Rasul Perjanjian Baru mengenali Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama. 1 S.M. Siahaan, Pengharapan Mesias Dalam Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 3. Terminologi Kata Mesias diambil dari bahasa Ibrani Meshiah yang berarti yang diurapi. Kata dasarnya masah artinya mengurapi. Bahasa Yunani menyebut Kristos, dari kata kerja khrio yang berarti mengurapi. Dalam Perjanjian Lama, jabatan-jabatan resmi yang selalu didahului oleh pengurapan adalah jabatan Raja, Imam dan Nabi.2 Minyak yang dituangkan dalam pengurapan tersebut adalah lambang Roh Kudus, seperti yang telah dikatakan dalam Yesaya 61:1; Zakharia 4:1-6, juga sekaligus melambangkan pengubahan satu pribadi sehingga dipenuhi Roh-Nya. Sebagai tanda, ada tiga hal yang dilihat sebagai dampak pengurapan yaitu: (1) pengesahan yang menunjukkan sahnya pekerjaan tersebut sekaligus diberi kemampuan untuk melaksanakannya; (2) Penetapan relasi dengan Allah, ada status bagi yang diurapi sehingga orang lain tidak boleh berbuat sembarangan terhadap ‘yang diurapi’3; (3) Komunikasi dengan Allah yang bersifat dinamis fungsional. Sebagai contoh, ketika Roh Tuhan berkuasa atas Daud dan Roh Kudus sebagai meterai yang menjamin orang yang diurapi Tuhan, seperti Mazmur 2:2; Kisah Para Rasul 4:27. Pada umumnya dalam Perjanjian Lama, pengurapan merupakan penetapan atau pentabisan untuk tugas tertentu, memberi wewenang, wibawa dan kuasa, kekuatan, kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut.4 Tindakan pengurapan adalah hak mutlak Allah yang diberikan kepada Raja, Imam dan Nabi dengan tujuan melayani-Nya. Mesias sebagai Raja Mesias sebagai Raja berasal dari keturunan Yehuda. Tongkat Kerajaan akan tetap pada Yehuda sampai dituntut oleh penguasa terakhir yaitu Mesias sebagai Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan. Dia-lah yang berhak untuk duduk di atas tahta Daud. Dia tidak hanya memerintah Kerajaan Daud tetapi bangsa-bangsa lain akan takluk juga kepada-Nya. Sang Mesias akan diberkati, akan memerintah pada zaman kelimpahan, Dia akan menambatkan keledai-Nya pada pohon anggur, dan anak keledainya pada pohon anggur pilihan; dia akan mencuci pakaiannya 2 (Kel 29:7; Im.4:3; Hak 9:8; 1Sam 9:16; 10:1; 2Sam 19:10). (Bnd. 1Sam 24:7; 26:9; 2Sam 1:14). 4 TGR Boeker, Apa Kata Alkitab Tentang Roh Kudus (Batu-Malang: Institut Injil Indonesia, 1991), 13. 3 dengan anggur dan bajunya dengan darah buah anggur; matanya akan merah karena anggur dan giginya akan putih karena susu. 5 Mazmur-mazmur berbicara mengenai watak dan tugas Mesias sebagai Raja; Dia akan menghadapi perlawanan dunia, tetapi Dia akan menang. Dia akan memerintah dunia, pemerintahan-Nya kekal, kerajaan damai sejahtera, ketaatan-Nya kepada Yahwe tak tergoyahkan. Dia sahabat orang miskin dan musuh para penindas. Dia pewaris Perjanjian Yahwe dengan Daud, Dia anak Yahwe, duduk di sebelah kanan-Nya dan Dia sendiri Ilahi.6 Kitab Yesaya juga banyak menubuatkan mengenai Mesias sebagai Raja.7 Yesaya berbicara mengenai Raja Keturunan Daud yang dikaruniai Roh Allah, Kerajaan-Nya adalah Kerajaan Moral dan keadilan, rohani, penuh damai sejahtera Ilahi, meliputi bangsa-bangsa, dan Israel akan dipulihkan. Mesias sebagai Nabi Dalam Ulangan 18:15-19, Musa mengatakan bahwa: “Seorang Nabi ‘seperti aku’ akan dibangkitkan oleh Yahwe”. Umumnya para penafsir dan para teolog sepakat bahwa yang dimaksudkan dengan ‘seorang nabi seperti aku’ itu adalah Mesias yang lebih pantas untuk itu dibandingkan dengan para Nabi yang lain dalam Perjanjian Lama. Musa adalah pengantara Perjanjian Sinai; para Nabi lain adalah pemberita perjanjian ini dan menubuatkan penggantinya. Musa adalah pemula; para nabi lain adalah nabi penyiar. Dengan Musa, agama Israel memasuki masa baru; para nabi berjuang agar masa itu ditegakkan dan tetap ada, dan menyediakan jalan bagi masa yang akan menyusul, yang mereka idam-idamkan. Maka nubuatan tersebut hanya digenapi oleh Mesias. Mesias sebagai Imam Keimaman Mesias mengikuti peraturan Melkisedek. Dalam Mazmur 110:4, seorang Raja Keturunan Daud ditetapkan dengan sumpah Allah menjadi imam untuk selama-lamanya menurut Melkisedek. Latar 5 6 7 Kejadian 49:9-10. Mazmur 2:1-10, 72, 110, 45, 89. Yesaya 7, 9, 45. belakang penetapan ini terdapat dalam hal penaklukan Yerusalem oleh Daud tahun 1000 BC, dan berdasarkan ini Daud dan keturunannya menjadi ahli waris atas jabatan Imam-Raja dari Melkisedek. Jabatan Imam sangat jelas menjadi bagian dari kekuasaan raja, karena penguasa terhormat Yerusalem sekaligus menjadi imam besar Yerusalem. Jabatan rangkap ini dimulai Daud menurut Mazmur 110, menggantikan Melkisedek. Di dalam dirinya, dia membangun altar untuk Allah dan mempersembahkan korban; dia ingin membangun Bait Allah; dia membawa tabut Perjanjian ke Yerusalem, dengan berpakaian imam. Salomo juga menjadi imam tertinggi; dia membangun Bait Allah dan menabiskan Bait Allah tersebut, dan mempersembahkan kurban di depan tabut perjanjian sambil berkhotbah dan memberkati bangsa Israel (1Raj 8). Pekerjaan-pekerjaan tersebut sebenarnya tugas Imam Besar. Tetapi Raja adalah imam tertinggi dan bahkan dia mengurapi para imam. 8 Yesus adalah Raja yang ditetapkan dengan cara demikian, oleh orang-orang sezaman-Nya disebut Mesias Anak Daud. Dia harus menjadi imam untuk selama-lamanya menurut peraturan Melkisedek. Ibrani 5:611;6:20-7:28 menjelaskan keimaman Yesus di surga berdasarkan Mazmur 110 dengan penjelasan dari Kejadian 14:18 dan berikut. Melkisedek lebih tinggi dari Abram, maka ditetapkan bahwa keimaman Kristus bukan dari keturunan Harun tetapi dari Melkisedek, dan keimaman Kristus lebih tinggi dari keimaman keturunan Lewi dalam Perjanjian Lama. 9 Problematika Pengharapan Mesianis dalam Perjanjian Lama Beberapa pandangan tentang pengharapan Mesianis orang-orang zaman Perjanjian Lama.10 Pandangan Literal-Kritis Pandangan ini mengatakan bahwa pengharapan mesianis Israel adalah Mesias akan datang untuk mengangkat bangsa yang terhina menjadi bangsa yang dihormati kembali di antara bangsa-bangsa masa itu. 8 9 10 (2Sam 8:17, 20:15; 1Raj 2:26). Siahaan, Pengharapan Mesias…, 9-10. Ibid., 5-8. Pandangan Historis-Religius Pandangan ini berpendapat bahwa Mesias adalah tokoh yang sempurna bagi Israel yang akhirnya memberikan keselamatan tertinggi bagi manusia. Ada latar belakang politis tetapi akhirnya tersembunyi di balik pandangan religious. Selanjutnya, menurut pandangan ini, Mesias hanya satu, yang di dalam diri-Nya membawa keselamatan bagi Israel dan semua manusia, tetapi dalam perjalanan waktu pengharapan ini semakin kabur. Kemudian masuklah pemikiran-pemikiran eskatologis yang mengakibatkan pindahnya pengharapan mesianis ke waktu dekat, ataupun waktu yang jauh dari pendengar nubuat. Pandangan Konservatif Pandangan ini beranggapan bahwa tujuan Yahwe dalam Perjanjian Lama adalah membangun bangsa yang rohani dengan religi dan budaya yang benar, dan dalam kerajaan ini akan berkuasa seorang Penyelamat. Sesuai dengan tugas-Nya, Dia dinamai Pemenang atau Bintang Yakub. Setelah Kerajaan dalam bangsa Israel didirikan sesuai dengan kehendak Allah, dan Raja Daud menduduki tempat yang terhormat, maka muncul pengharapan terhadap Penyelamat dalam bentuk Raja. Jenis pengharapan itu digambarkan berhubungan dengan besarnya bangsa, nama yang masyur, akhir dari perang politik, pemerintahan yang gemilang dan damai. Pandangan dari segi Fungsi Kultus Pandangan ini berangkat dari apa yang dijelaskan Kitab Mazmur mengenai Mesias. Pandangan ini memberikan makna kepada posisi raja pada ibadah di Bait Allah untuk meneruskan kekuatan Allah kepada bangsa Israel. Dengan demikian raja adalah jaminan keselamatan. Mulanya menurut pandangan ini pengharapan Mesias masih berpusat pada kebangkitan kembali dinasti Daud tetapi kemudian pengharapan tersebut menuju Mesias yang hidup dan berkuasa kekal. Aliran yang Menekankan Ritus-Ritus Menurut pandangan ini, manusia pertama Adam adalah pemegang kekuasaan yang diberikan Allah. Dalam sejarah Israel, kekuasaan tersebut dipegang oleh raja yang sekaligus Mesias, yang membawa keselamatan untuk bangsanya. Pada zaman pembangunan, kedudukan ini diduduki oleh ‘hamba yang menderita’. Dan dalam Kitab Daniel, manusia pertama ini dinyatakan sebagai ‘Anak Manusia’. Ketiga posisi ini yaitu Raja-Mesias, Nabi dan Anak Manusia dapat ditarik kembali pada manusia pertama yang diberi Allah tiga jabatan di atas. Pandangan Historis-Tradisional Pandangan ini mengatakan bahwa penobatan Dinasti Daud belum termasuk dalam janji di Gunung Sinai. Janji kekekalan Dinasti Daud tidak menjadi bagian dari sejarah janji keselamatan Allah di masa kuno. Dinasti Daud menjadi bagian dari keselamatan baru. Dalam 2 Samuel 7 dikatakan bahwa janji Allah untuk membangun rumah dinasti Daud: janji Allah bahwa Daud akan berkuasa atas Israel dan kekuasaannya kekal; Yahwe akan menjadi Bapa bagi Daud dan keturunannya; Yahwe akan mengikat perjanjian kekal dengan Daud. Pandangan Historis-Kritis Pandangan ini mengatakan bahwa istilah Mesias pada awalnya ditujukan kepada keturunan Daud, dan baru pada masa pembuangan dialihkan kepada pengharapan eskatologis, raja kekal di masa datang. Raja itu akan duduk di tahta Daud dan akan memerintah secara adil. Mesias digambarkan sebagai tokoh politis dan eskatologis. Kesimpulan: (1) Adanya perbedaan interpretasi terhadap pengharapan Israel karena adanya perbedaan interpretasi terhadap Perjanjian Lama, (2) Adanya perbedaan konsep pengharapan mesianik dan munculnya pengharapan mesianik yang tidak utuh dan seperti yang dimaksudkan Alkitab adalah ‘wajar’ apalagi penekanannya kepada aspek kekinian, fisik dan politis, karena situasi politis bangsa Israel yang sangat lama menderita di bawah penjajahan bangsa-bangsa kafir sejak penjajahan Babel, Media-Persia, Yunani dan Romawi. KEMESIASAN YESUS DALAM PERJANJIAN BARU Interpretasi Mesias dalam Perjanjian Baru Istilah “Mesias” dalam Perjanjian Baru diterjemahkan dengan kata Yunani Kristos yang berarti yang diurapi. Dalam Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia, Mesias diterjemahkan dengan kata Kristus tetapi juga Mesias dan yang diurapi. Mesias adalah Yesus dari Nazaret yang pada saat pembaptisan-Nya diurapi dengan Roh Kudus dan kuat kuasa Allah (Kis.10:38). Tetapi Tuhan Yesus sendiri jarang menggunakan istilah Mesias untuk diri-Nya sendiri. Hal ini disebabkan karena adanya kesalah-pahaman yang timbul dari penggunaan istilah itu, baik yang terjadi pada zaman Perjanjian Lama maupun yang dapat terjadi pada zaman Perjanjian Baru, zaman Tuhan Yesus selagi di dunia. Ketika Petrus menyatakan pengakuannya bahwa ‘Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup’, Dia menerimanya, tetapi memerintahkan murid-murid-Nya untuk tidak menceriterakan itu kepada siapa pun. 11 Dalam percakapan-Nya dengan perempuan Samaria,12 istilah itu pasti dipahami dalam terang pengharapan perempuan Samaria bahwa akan datang seorang taheb atau ‘yang membetulkan’, nabi seperti Musa yang dijanjikan dalam Ulangan 18:15-19. Tetapi, ketika Dia ditantang oleh Imam Besar pada saat penghakiman-Nya, supaya Dia mengatakan apakah Dia Mesias, Anak dari Yang Terpuji atau tidak, Dia mengaku, dan kata-kata dari ucapan-Nya dijadikan dakwaan bahwa Dia menghujat Allah.13 Sekali lagi Tuhan Yesus tidak pernah memproklamasikan diri-Nya sebagai Mesias, namun Tuhan Yesus juga tidak menolak gelar Mesias bagi diri-Nya. Tetapi pengertian Yesus mengenai kemesiasan-Nya berbeda dengan gambaran umum bangsa Israel tentang Mesias yang mereka harapkan. Dia menolak setiap unsur yang berbau politis dan nasionalisme. Ketika Yesus dibaptis, suara dari surga menyambut Dia sebagai Mesias dari suku Daud dengan memakai kata-kata dari Mazmur 2:7, tetapi juga menambahkan kata-kata dari Yesaya 52:1 yang memperkenalkan Hamba Yahwe. Ini pertanda bahwa KeMesiasan-Nya akan menggenapi gambaran Hamba yang rendah hati, taat, menderita, menggenapi tugas-Nya melewati maut, sambil menyerahkan pembelaan diri-Nya kepada Allah. 11 12 13 Matius 16:13-16; Markus 8:29-30. Yohanes 4:25-26. Markus 14:61-64. Pelayanan Yesus yang dimahkotai dengan penderitaan inilah yang memberikan arti baru kepada ‘mesias’ yang jelas berbeda dengan pengertian sebelumnya. Sedangkan pembebasan yang tadinya dilihat sebagai pembebasan bersifat politis, sekarang Yesus melihatnya sebagai pembebasan dari dosa dan penghukuman. Kerajaan-Nya tidak bersifat jasmani melainkan rohani. Seperti dalam Perjanjian Lama, Mesias atau Kristus adalah Orang yang diurapi yang mempunyai jabatan dan peran sebagai Raja, Imam dan Nabi. Sebagai Raja yang bersifat Rohani, Mesias/Kristus berkuasa mengampuni dosa (Mrk 2:10; 10:45), menghakimi orang berdosa (Mat.25:31-36). Sebagai Imam, Dia menjadi Imam Besar menurut peraturan Melkisedek, Dia mempersembahkan kurban karena dosa bahkan Dia sendiri adalah kurban yang kekal (Ibr 3:4; 4:14; 5:5; 6:20; 7:26). Dia pendoa syafaat bagi umat-Nya, Dia memberkati umat-Nya atas nama Allah. Dia Tuhan atas Hari Sabat (Luk 6:5). Sebagai Nabi, telah dinubuatkan dalam Ulangan 18:15 sebagaimana juga tertulis dalam Kisah Para Rasul 3:22-23. Kristus sendiri berbicara bahwa Dia adalah seorang Nabi (Luk.13:33). Dia membawa berita dari Bapa-Nya (Yoh 8:26-28), Dia menyatakan hal-hal yang berhubungan dengan akhir zaman (Mat 24:3-35), Dia berbicara dengan otoritas, berbuat mujisat, dan masih banyak yang lain. Kemesiasan Yesus Dalam Lukas 4:18-19 Lukas banyak sekali menyebutkan Yesus sebagai Mesias atau Kristus, dan para pengikut Kristus disebut sebagai orang Kristen (bnd. Kis 11:26; 26:28). Yesus disebut sebagai Kristus ketika Dia lahir (2:11,26). Ketika berkotbah di Nazareth, Yesus diurapi oleh Roh Tuhan yang menandakan bahwa Dia adalah Kristus (4:18) sekalipun Dia melarang untuk menyiarkan bahwa Dia adalah Mesias (4:41). Larangan ini tidak boleh ditafsirkan bahwa Dia bukan Mesias atau merahasiakan ke-mesiasanNya. Dalam Lukas 9:20, Petrus secara singkat mengatakan “Mesias dari Allah’ untuk menjawab pertanyaan Tuhan Yesus: “menurut kamu siapakah Aku ini? Leon Morris mengomentari bagian ini demikian: The knowledge of Christ is always a personal discovery, not the passing on of report learnt from other people.14 14 David Imam Santoso, Theologi Lukas (Malang: Literatur SAAT, 2006), 73. Sebagai Mesias, Orang yang diurapi, Yesus dalam pengajaran dan pelayanan-Nya, tidak hanya menekankan aspek religious internal, aspek religius ekternal tetapi juga aspek sosial-ekonomi yang menyangkut kekinian. Lukas 4:18-19 merupakan salah satu bagian dalam Injil Lukas yang menunjuk kepada perhatian Yesus dalam ketiga aspek di atas. Dalam khotbah-Nya di Nazareth, Yesus mengajarkan bahwa apa yang dinubuatkan oleh Nabi Yesaya telah terwujud dalam diri-Nya. Orang yang diurapi dengan Roh Allah itu adalah Yesus sendiri. Kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nats ini sewaktu kamu mendengarkannya” (4:21). Tuhan Yesus memulai pelayanan-Nya sebagai orang yang diurapi oleh Roh Kudus atau Mesias. Semua karunia dan rahmat dari Roh diberikan kepada-Nya tanpa batas. Tidak seperti para nabi dalam Perjanjian Lama yang sangat terbatas. Yohanes 3:34 mengatakan: “sebab siapa yang diutus Allah, Dia-lah yang menyampaikan firman Allah, karena Allah mengaruniakan Roh-Nya dengan tidak terbatas.” Lalu, apa yang diperbuat-Nya sebagai seorang Mesias dalam Lukas 4:18-19? Dia Menjadi Seorang Nabi yang Besar Dia diurapi atau ditugasi (ekrise) untuk menyampaikan kabar baik (euanggelisastai) kepada orang miskin. Kepada semua orang miskin (ptokhois) di dunia. Kata ptokhos artinya: sangat miskin; yang berharap pada Tuhan, yang tidak berguna. Injil Lukas dikenal sebagai Injil untuk orang-orang miskin. Lukas memberikan tempat bagi orang miskin dalam karya keselamatan Yesus. Yesus memberi yang baik kepada yang lapar (1:53); Yesus membawa kabar baik bagi orang miskin (4:18); juga memberitakan Kerajaan Allah bagi orang miskin (6:20); memberi perhatian kepada Lazarus yang lapar dan miskin (6:19-31). Dia membawa kabar baik bagi orang miskin secara materi maupun secara rohani, orang yang sangat berharap kepada-Nya, orang yang dianggap tidak berguna bagi sesamanya. Dia juga berkhotbah untuk orang yang lemah dan rendah hati, orang-orang yang benar-benar sedih karena dosa. Kepada mereka Dia menyampaikan Injil yang mengubah hati mereka. Pokok-pokok yang dikhotbahkan antara lain: a). Pembebasan/ pengampunan bagi tawanan (perang) (aikhmalotois apesin). Injil adalah proklamasi pembebasan; pembebasan dari hal yang terburuk; b). Pemulihan atau penglihatan bagi orang buta (tuplois anablepin). Dia datang tidak hanya membawa terang Injil bagi yang duduk dalam kegelapan, tetapi kekuatan kasih karunia-Nya memberi pandangan kepada mereka yang buta atau memberi pengertian kepada mereka yang tidak sanggup mengerti. c). Dia juga datang untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Dia datang supaya dunia mengetahui bahwa Allah bersedia berdamai dengan mereka. Itulah tahun Yobel, tahun pembebasan, hari keselamatan. Dia Datang Sebagai Seorang Dokter yang Hebat Dia dikirim untuk menyembuhkan manusia yang patah hati, memberikan ketenangan kepada mereka yang bermasalah, menyembuhkan luka hati, membawa mereka yang lelah untuk beristirahat, dan yang berbeban berat karena dosa supaya dilepaskan (bnd. Mat 11:28-30). Dia Datang Menjadi Seorang Penebus yang Besar Dia tidak hanya menyatakan kebebasan bagi para tawanan tetapi memberi kebebasan kepada mereka (aposteilai tetrausmenous en apesei artinya: menyuruh pergi orang-orang yang ditindas dengan pembebasan) . Para Nabi hanya dapat memberitakan tetapi hanya Tuhan Yesus yang memberi kebebasan karena Dia-lah yang memiliki otoritas dan kekuasaan untuk mengampuni dosa. IMPLEMENTASI KEMESIASAN YESUS BERDASARKAN LUKAS 4:18-19 DALAM HOLISTIC MINISTRY GEREJA Meneladani Yesus sebagai Kepala Gereja, Gereja harus bisa mengembangkan pelayanan yang bersifat holistic yang mencakup semua aspek kebutuhan manusia, yang merupakan perpaduan antara pelayanan rohani dan pelayanan sosial/yang bersifat jasmaniah. Itulah yang dilakukan Yesus sebagai Mesias. Walaupun tidak mudah tetapi harus diusahakan karena untuk itulah Gereja dihadirkan di dunia ini. Dunia tempat Gereja berada sedang mengalami krisis multidimensi. Krisis yang satu belum sempat diatasi, muncul krisis yang lain, dan dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat termasuk orang Kristen. Misalnya Krisis ekonomi dan masalah kemiskinan. Jumlah orang miskin dari tahun ke tahun bertambah di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kemiskinan terjadi di semua bidang. Tidak hanya miskin secara materi tetapi juga miskin pendidikan, miskin kesehatan, miskin kebebeasan dan lain-lain.15 Menurut Nababan, kemiskinan ini bisa disebabkan karena keterbelakangan, kurangnya pendidikan, sistem, struktur dan peraturan warisan kolonialisme dan feodalisme dalam masyarakat lokal, nasional, universal yang tidak mencerminkan keadilan, bahkan cenderung terus mendukung yang kaya makin kaya dan miskin makin miskin, dan terus melindungi aneka ragam eksploitasi terutama dalam era globalisasi yang dikuasai oleh korporatokrasi ini. Pemahaman agama yang tidak menyeluruh, dan penyampaian ajaran agama yang cenderung tekstual dan tidak kontekstual ikut memperlambat usaha mengatasi atau mengentaskan kemiskinan.16 Selain masalah kemiskinan, masih banyak pekerjaan rumah Gereja antara lain: masalah perceraian, bunuh diri, seks bebas, tawuran remaja, narkoba yang tidak dapat dibendung lagi dan masalah degradasi lingkungan hidup yang semakin parah. Hasil analisa tersebut di atas kiranya menjadi perhatian Gereja yang serius. Gereja harus berdoa supaya Tuhan memulihkan keadaan di atas. Itu baik. Tetapi itu belum cukup. Selain berdoa, Gereja harus memikirkan tindakan-tindakan nyata-praktis sebagai upaya partisipasi dalam masyarakat. Gereja tidak boleh hanya hidup untuk diri sendiri tetapi Gereja harus berusaha memperhatikan dinamika kehidupan dalam masyarakat di sekitarnya. Gereja harus melibatkan anggotanya untuk ikut aktif menyelesaikan persoalan masyarakat di sekitarnya. Program-program Gereja, baik jangka pendek maupun jangka panjang, hendaknya tidak hanya berorientasi untuk kebutuhan rohani jemaat, tetapi juga berorientasi kepada kebutuhan masyarakat di sekitarnya baik secara rohani, secara moral, secara sosial, secara psikologis, dan sebagainya. Masalahnya, belum semua Gereja di dunia atau secara khusus di Indonesia menyadari pentingnya mengembangkan holistic ministry (aspek religious internal, aspek religius eksternal dan aspek sosial–ekonomi kekinian). Bisa jadi karena ada Gereja-gereja, baik pribadi, persekutuan atau secara lembaga masih terjebak dalam pola pikir dikotomik yang membagi realita di masyarakat dalam dua kategori yang berbeda. Yang satu berhubungan dengan dunia rohani (penginjilan, khotbah, doa, kebaktian, PA), yang sering dianggap lebih tinggi nilainya dari yang berhubungan 15 Soritua A.E. Nababan, “Misi Gereja dan Pemulihan Bangsa” dalam Holictic Global Mission (Batu: Departemen Multi Media, 2007), 306. 16 Ibid., 308. dengan hal-hal yang bersifat jasmani (pelayanan sosial). Cara pandang seperti ini jelas mempengaruhi pola pikir, cara pandang dan tindakan sehari-hari. Akibatnya, Gereja cenderung mengutamakan hal-hal yang rohani dan menjauhi hal-hal yang bersifat jasmani. Untuk hal-hal yang bersifat jasmani dan sosial, Gereja menganggap sudah cukup dengan mendoakannya. Bambang Wijaya mengatakan bahwa Injil yang otentik harus nampak terlihat dalam transformasi kehidupan manusia. Sementara Gereja memberitakan kasih Tuhan Yesus, Gereja harus terlibat dalam pelayanan kasih. Sementara Gereja mengkhotbahkan Kerajaan Allah, Gereja harus berkomitmen kepada keadilan dan damai.17 Penginjilan adalah tugas utama Gereja supaya semua orang memiliki kesempatan menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Itulah mandat yang telah diberikan Tuhan Yesus (Mat.28:1820). Dalam Pelayanan-Nya di dunia, Tuhan Yesus dengan kuasa, memberitakan dan mengajar banyak orang tentang Injil kasih karunia, tetapi sebagai Mesias, Dia juga dengan semangat dan kuasa yang sama, memperhatikan orang miskin, Dia memberi makan mereka yang lapar, melayani orang sakit, merawat orang tawanan, menolong mereka yang cacat dan membebaskan yang tertindas. Dengan kalimat lain: Dalam diri Tuhan Yesus: Kabar Baik dan perbuatan baik tidak terpisahkan. Baik hal rohani dan hal jasmani tidak dipisahkan. Inilah yang dikatakan sebagai bentuk Holictic Ministry Sang Mesias. Demikian seharusnya Gereja di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana Gereja secara praktis menjawab tantangan ini? Dan Raja itu akan menjawab mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari Saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40) 17 Bambang H. Wijaya, Pelayanan Misi Holistic Di Dalam Masyarakat Majemuk (Batu: Departemen Multi Media, 2007), 318. MASA ‘ADOLESCENCE’ DAN POSTMODERINTAS: TUGAS PERKEMBANGAN ANAK REMAJA DAN ANCAMAN TATA NILAI “NEW MORALITY” MELALUI MEDIA TELEVSI MAGDALENA GRACE K. ADIPATI-TINDAGI PENDAHULUAN Secara etimologi, televisi terdiri dari dua suku kata, yakni tele artinya jauh, visi artinya lihat. Suatu cara pengiriman gambar yang bergerak atau sinyal dari studio dan pemancar ke pesawat penerima dengan gelombang radio.1 Besarnya potensi media televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kontra. Pandangan pro melihat televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif masyarakat; sebaliknya yang kontroversial tersebut dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu; televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada, televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada; televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan anak.2 Lebih khusus pada masa pubertas (‘Adolecence’), karena kondisi ini, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu; merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obat, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.3 Sehingga, perkembangan radikal yang diakibatkan pencapaian teknologi informasi dan ilmu-ilmu sosial bukan hanya mengubah secara radikal pola pemahaman kita tentang dunia dan diri sendiri tapi juga pola relasi yang tak terelakkan antar individu, antar bangsa, atau antar negara. Tiga hal dapat diidentifikasikan dari pola relasi ini: pertama, hubungan 1 Tiur L.H Simanjuntak, Dasar-dasar Telekomunikasi (Bandung: Alumni, 2002), 182. 2 Oos M. Anwas, Jurnal T eknologi Pendidikan, Antara Televise, Anak, dan Keluarga (Jakarta: Pustekkom, 2006), 3. 3 Elsabeth Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), 207. yang sangat langsung dan terbuka (open society) sehingga siapa pun yang hidup di masa kini sangat rentan dipengaruhi, dan berkemampuan untuk mempengaruhi siapa pun. Tidak ada pihak dari sudut manapun di bumi ini dapat mengisolasi diri atau menyatakan dirinya independen dari siklus pengaruh-memengaruhi. Kedua, dunia yang kini menjadi desa sempit komunikasi ini mengambil resiko tak terelakkan sebagai medan bebas persaingan. Kebebasan yang menjadi nilai dasar pola hubungan ini memang dibuntuti azas legalitarian, walau realitasnya ia hanya menjadi piala kemenangan kekuatan global tertentu, politik, ekonomi, militer. Ketiga, konsekuensi berikut dari kenyataan di atas: dunia terbuka dan persaingan bebas itu sebenarnya hanyalah dua moral dasar, bisa juga dua prakondisi yang melandasi kemenangan ide-ide oksidental: demokrasi, hak asasi manusia, kapitalisme, individualisme. 4 Gejala perkembangan dalam masyarakat modern ini, Bambang Sugiharto membedakannya dengan istilah ‘postmodernisme’ dan ‘postmodernitas’. Beberapa kecenderungan khas yang biasa diasosiasikan dengan posmodernisme, yakni: Pertama, dalam bidang seni, adalah hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, tumbangnya batas antara budaya tinggi dan budaya pop, percampuradukan gaya yang bersifat eklektik, parody, pastiche, ironi, kermainan dan merayakan budaya “permukaan” tanpa peduli pada “kedalaman,” hilangnya keorisinalitas dan kejeniusan, yang akhirnya menghasilkan asumsi bahwa kini seni cuma bisa mengulang-ulang masa lalu belaka. Kedua, Frederich Jameson juga menggunakan istilah postmodernisme di wilayah kebudayaan. Postmoderisme adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapan-tahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli, sedangkan postmodernisme dengan kapitalis pasca Perang Dunia II diyakininya, bahwa postmodernisme muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kapitalisme multinasional. Ketiga, dalam bidang Filsafat istilah postmodern diperkenalkan oleh Jean F Lyotard dalam bukunya: “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,” pemikiran umumnya berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebut “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar dsb. Dalam abad ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak 4 2004), viii. Radhar P. Dahana, Jejak Posmodernisme (Yogyakarta: Penerbit Bentang, mungkin khususnya tentang peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkhisme, dan pluralisme “permainan bahasa” pun merajalela. Maka postmodernisme dirumuskan sebagai suatu periode di mana segala sesuatu itu dilegitimasikan. Dari perspektif ini “postmodernisme” diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi - seperti Hegelianisme, liberalisme, Marxisme atau apapun. 5 Sehingga, Postmodernisme lebih menunjuk kepada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (worldview), epistemologi, ideologi-ideologi modern sedangkan Postmodernitas menunjuk kepada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya Negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.6 GERAKAN NEW MORALITY Terminologi Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu Mos yang jamaknya disebut Mores, yang secara harafiah berarti kelakuan, kebiasaan, adat. 7 Menurut Sproul kata moral atau moralitas menggambarkan pola-pola tingkah laku umum.8 Selanjutnya istilah moralitas adalah ilmu deskriptif yang menyangkut “hal-hal yang berlaku sekarang” dan hal-hal indikatif. Moral melukiskan apa yang dilakukan orang-orang; etika menetapkan apa yang seharusnya dilakukan orang-orang.9 Kata moral sering dikaitkan dengan etika, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan berbagai hal lain yang bersangkut-paut dengan kesusilaan. Searah dengan pengertian ini, istilah New Morality menurut Marx adalah suatu paham moralitas atau kesusilaan yang baru dan ditandai dengan kemunduran yang pesat dan 5 I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), 26-28. 6 Sugiharto, Postmodernisme, 24. 7 K. Bertens, Etika (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), 3. 8 R.C. Sproul, Etika dan Sikap orang Kristen (Malang: Gandum Mas, 1991), 7; Moral dan etika dua kata yang mempunyai arti yang berbeda, kata etika = ethos (Yun) yang akar katanya kandang kuda mengandung arti, suatu tempat tinggal, suatu tempat Stabil dan tetap. Jadi, Etika adalah ilmu tentang norma-norma, ilmu ini mencari dasardasar utama yang mentukan hal-hal yang wajib “keharusan.” 9 Ibid., 8-9. nyata dalam legalisasi dan dalam tingkah laku umum, 10 di mana masyarakat mulai membiarkan dan mengiakan praktek-praktek pergaulan yang dahulu merupakan pelanggaran terhadap kesusilaan. Penulis pernah bertemu dengan sepasang muda-mudi yang berpacaran di suatu tempat pusat perbelanjaan dan mereka melakukan adegan pelukan dan ciuman, dan masyarakat sekitar telah menerima itu sebagai bagian pergaulan biasa oleh karena perkembangan peradaban modern yang dulunya dikategorikan sebagai pelanggaran susila. 11 Selanjutnya, Kuhl menjelaskan zaman sekarang diwarnai oleh suatu revolusi moral, buku-buku, reklame, majalah-majalah, film semuanya mempergunakan seks untuk menarik perhatian masyarakat. Apa yang dianggap tidak senonoh dua puluh tahun yang lalu sekarang menjadi hal biasa. Hampir tidak ada lagi pasangan yang menikah belum berhubungan seks sebelumnya.12 Kebebasan Tingkahlaku Dewasa ini terjadi suatu perkembangan moral yang baru (New Morality). Hal ini nampak dengan kemunduran yang pesat dan nyata dalam legalisasi tingkah laku umum. Secara khusus pergeseran nilai, norma pada segi kesusilaan dan pergaulan pria dan wanita, muda-mudi, maupun segala sesuatu yang menyangkut hukum-hukum pernikahan dengan perceraian, dan juga hubungan seksual di luar atau sebelum menikah. Dengan perkembangan tersebut muncullah istilah Permissive Society yaitu masyarakat yang menyambut dan menyetujui segala perubahan sikap terhadap mutu hukum kesusilaan yang lama dan mengizinkan perbuatan, tingkah laku, pandangan dan pikiran yang dahulu tidak diizinkan. Permissive Society membiarkan dan mengiyakan praktek-praktek pergaulan yang dahulu merupakan pelanggaran.13 Pemikiran filosofis yang memicu perkembangan paham kebebasan tingkah laku tidak dapat disangkal sebagai warisan problematik filosofis 10 11 Dorothy I. Marx, New Morality ( Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1994), 17. Berdasarkan pengalaman penulis pada saat ada di Bandung, Jakarta, Surabaya dan Batu. 12 Renate Kuhl, Etika Seksual (Batu. Departemen Literatur YPPII,1988 ), 21. Marx, New Morality..., 17; Bnd. Penulis memperhatikan; Iklan pembalut wanita di TV sudah diterima masyarakat, yang dulunya pembalut wanita itu tabu untuk dilihat orang lain, sekarang telah menjadi pilihan konsumen untuk produknya. 13 dari zaman sebelumnya. Hal ini dapat ditinjau dari faktor-faktor ilmiah yang sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan paham kebebasan tingkah laku. Pengaruh Filsafat Zaman modern dapat dianggap sebagai sebuah pemberontakan terhadap alam pikir abad pertengahan. Renaisans yang menghidupkan kembali kebudayaan Yunani Romawi sebagai alternatif terhadap kebudayaan kristiani, bukan hanya merupakan pemberontakan di bidang nilai-nilai kultural, melainkan menyongsong zaman baru dengan krisis abad pertengahan itu. Penemuan-penemuan penting di bidang ilmu pengetahuan juga ambil peran kunci dalam fajar zaman baru itu, yang meninggalkan alam pikir abad pertengahan. Pemikir-pemikir unggul seperti Copernicus dan Galileo Galilei yang menemukan bahwa bumi mengitari matahari dan bukan sebaliknya.14 Sampai menjelang Renaissance abad ke-14, Gereja menjadi pusat dunia, segala sesuatu berada dibawah dominasi dan kontrol Gereja. Demikianpun dengan ilmu pengetahuan berada di bawah kekuasaan Gereja. Namun pada abad ke-14, terjadilah kesadaran yang baru bagi gelombang pemikiran dan budaya. Kesadaran baru ini disebut Renaisance (kelahiran kembali), yaitu kelahiran kembali kebudayaan Eropa dari kegelapan abad-abad sebelumnya. Renaissance dimulai di Italia pada abad ke 14-15, dan pada abadke-16 meluas ke Eropa yaitu: Perancis, Jerman, Nederland, Spanyol, dan Inggris. Zaman ini memaklumkan bahwa manusia sendiri adalah kaidah atau ukuran dari segala sesuatu yang ada.15 Dan gerakan ini mempengaruhi bidang kesenian, politik, ilmu pengetahuan dan kesusteraan. Secara khusus di bidang ilmu pengetahuan dan kesusteraan, gerakan ini dinamai “humanisme” dengan semboyannya “kembalilah kepada sumber.”16 14 Muji Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para Filsafat Penentu Gerak Zaman (Yokyakarta: Kanisius, 1992), 55. 15 H.Berkhof, I.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia ,1993), 99, 256. 16 Ibid., 100; Bnd. Stevri Lumintang, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Kristen, Bahan Kuliah Pascasarjana Pendidikan Kristen, STT I-3 Batu, 18-22 Oktoder, 2004, 22 Gerakan Humanisme Kata humanisme berasal dari kata humanitas (bhs. Latin) artinya kemanusiaan, adalah tanggapan hidup atau kesadaran yang mulai timbul pada abad ke-14 dan ke-15 Masehi di Eropa Barat yang mendasarkan pada kebudayaan Yunani Romawi; teristimewa lapangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan.17 Searah dengan itu Herlianto menjelaskan bahwa latar belakang timbulnya Humanisme sebenarnya disebabkan oleh tekanantekanan terhadap kebebasan manusia yang dilakukan oleh para penguasa dan pemuka agama pada abad-abad pertengahan di Eropa. Kita melihat, memang pada abad-abad pertengahan (ke-5-15) ketika Gereja dan golongan Aristokrat berkuasa, masyarakat umum sering diperlakukan secara tidak manusiawi dengan adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan pihak penguasa yang menekan dan pada umumnya direstui oleh para pemuka agama. Tekanan atas kekuatan dan harga diri manusia merupakan lambang kecenderungan dalam pemikiran dari manusia yang terikat. Karena masa Renaisance menunjukkan bangunnya manusia dari kerterikatannya. Dan manusia mulai memproklamasikan kekuatannya pada dunia. Manusia ingin menunjukkan kekuatannya dalam menguasai dunia serta rahasia alam, serta menunjukkan kekuatan akal budinya untuk mengatur alam agar dapat memenuhi dan melayani manusia.18 Paham ini kemudian berkembang terus meresapi dunia pemikiran manusia dan kemudian muncul dalam aliran-aliran pemikiran pada abadabad berikutnya, dalam bentuk humanisme rasional seperti antara lain positivisme dan pencerahan. Pengaruh Teologia Modern Sesuai dengan pandangan filsafat, teologia modern menganggap Allah itu hanya imanen atau sangat dekat dan bukan lagi transenden. Dalam Teologia pun Allah tidak lagi dikatakan oknum Allah Bapa di surga, melainkan dasar kehidupan kita (groud of our being), Allah menjadi Impersonal.19 Memang ada perbedaan mencolok antara abad ke-17 dan 17 J. S. Siwalette, Manusia Menurut Jurger Moltman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 22. 18 Herlianto, Humanisme dan Gerakan Zaman Baru (Bandung: Penerbit Kalam Hidup, 1990), 24. 19 Marx, New Morality..., 22. abad ke-18. Abad 17 membatasi diri pada usaha memberi tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan rohani, yaitu kenyataan mengenai manusia, dunia, dan Allah. Akan tetapi pada abad ke-18 menganggap dirinya sebagai mendapat tugas untuk meneliti secara kritis (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal), segala yang ada, baik di dalam Negara maupun di bidang hukum, agama, pengajaran, pendidikan dan lain sebagainya.20 Perkembangan filsafat dari zaman pencerahan atau fajar budi, membawa dampak terhadap revolusi di bidang agama, etika, moral. Dengan argumentasi para filsuf di atas, Allah digeser dari sentral dan digantikan dengan ukuran akal sebagai kesempurnaan moral dan bukan Allah, Manusia meletakkan nilai moral pada apa yang dianggap oleh rasio, termasuk kebebasan melanggar kesusilaan. Pengaruh Sosiologi John Dewey dari Amerika Serikat pernah mengatakan bahwa Allah itu bukan suatu oknum di luar manusia, melainkan berada in man’s highest social experiences (Allah terdapat di tengah-tengah kehidupan sosial manusia yang merupakan pengalaman manusia yang paling indah. 21 Searah dengan itu, Durkheim, seorang sosiolog berpendapat bahwa agama dan etika dalam masyarakat berasal dari The Collective Mind Of Society (keyakinan dan kepercayaan masyarakat bersama). Maka yang menimbulkan kesejahteraan ialah masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang menciptakan security dan rasa aman, security terdapat dalam hidup bersama, dan menurut sosiologi itulah Allah.22 Hal ini membuktikan konsep oknum Allah digantikan. Pengaruh Psikologi Pengaruh masa pencerahan memasuki seluruh bidang ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan jiwa. Sigmund Freud, seorang psikiater dan dokter ahli saraf Austria yang berpengaruh jauh dalam ilmu jiwa, khususnya melalui pengajaran psikoanalisa dan pengaruh 20 21 22 Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat..., 47. Marx, New Morality…, 33. Ibid. ketidaksadaran dalam jiwa manusia, seorang humanis. 23 Menurut Freud larangan-larangan seks itu menjadi titik tolak perkembangan kebudayaan manusia. Energi libido yang tidak terpuaskan “disublimasikan” (diubah) menjadi tenaga pekerjaan manusia. Kebudayaan termasuk agama, adalah akibat kesediaan untuk memuaskan libido secara seksual. Daya yang membawa umat manusia sampai kepada taraf teknologis modern adalah hasil libido yang disublimasikan.24 Psikoanalisa Sigmund Freud mengajar bahwa kebutuhan utama setiap manusia adalah pemuasan insting seksualnya. Menurut pandangannnya, insting seks bukan baru menentukan kehidupan dengan mulai fase puber, melainkankan sudah mulai berbagai fase pada masa kanak-kanak. Menurut Freud dinamika jiwa manusia didorong oleh keinginan mencapai kepuasan, khususnya kepuasan syawat. 25 Freud menyangkal ketuhanan dari agama serta oknum Allah, malah merasa bahwa keagamaan dari manusia merupakan gejala-gejala psikologis yang kurang sehat. Menurut Freud manusia bukan ciptaan Allah atas peta dan teladan-Nya, melainkan suatu makhluk yang semata-mata dikuasai oleh libido.26 Jadi, implikasi dari pemahaman Freud bahwa manusia tidak perlu ada pengendalian diri tetapi mengizinkan pada hasrat libidonya, manusia harus menggunakan hak kebebasannya (homoseksual, lesbian, hubungan seks tanpa ikatan nikah, dll), bahkan aturan kekudusan Tuhan dianggap “gejala penyakit jiwa.” Masa Adolescence Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang ditandai dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu ber-reproduksi. H. Syamsu mengutip pendapat Konopka, bahwa masa remaja ini meliputi: (1) Remaja awal: 12 - 15 tahun (Early adolescence); (2) Remaja Madya: 15 - 18 tahun (Middle adolescence); (3) Remaja Akhir: 19 - 22 Tahun.27 23 Michael Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), 183-185. 24 Frans V. Magnis, Etika Umum (Yogyakarta: Penrbit Kanisius, 1979), 70; Bnd. Howard H. Kendler, Basic Psikologi (Meredith: Pubishing Company, 1963), 445. 25 D. Scheneuman, Romantika Kehidupan Orang Muda (Malang: Gandum Mas, 1989), 20. 26 Marx, New Morality…, 35-36. 27 Syanmsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 184. Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere, kata bendanya adolescentia yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.28 Menurut Piaget yang mendefinisikan remaja secara psikologis, adalah usia di mana individu remaja berintegrasi dengan mayarakat dewasa, usia di mana anak merasa pada tingkatan yang sama dengan orang-orang yang lebih tua. Termasuk juga perubahan secara intelektual yang mencolok. Tranformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini. 29 Papalia mendefinisikan remaja sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, diawali dengan masa puber yaitu: proses perubahan fisik yang ditandai dengan kematangan seksual, kognisi dan psikososial yang saling berkaitan satu dengan lainnya.30 Selanjutnya, Erickson melukiskan bahwa masa remaja sebagai “periode yang tidak menentu" diibaratkan seperti Strom and Stress frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa.31 Dalam perundang-undangan Republik Indonesia yakni Undang-undang kesejahteraan Anak (UU No. 4/1979) menganggap semua orang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah adalah sebagai anak-anak, dan karenanya berhak mendapat perlakuan dan kemudahan yang diperuntukkan bagi anak. 32 Mengacu pada kesepakatan Persatuan Bangsa-Bangsa, pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual, dalam definisi itu dikemukakan tiga kriteria yaitu biologik, psikologik, dan sosial ekonomi sebagai berikut 28 Hurlock, Psikologi..., 206; Bnd Singgih Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1980), 14; Adolescentia sering pula dikatakan pubertas, puberty (Ing), Puberteit(Belanda), berarti kelaki-lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda kelaki-lakian; Pubescence/puberty, sering dipakai dengan pengertian masa tercapainya kematangan seksuil dari aspek biologisnya. 29 Hurlock, Ibid. 30 Diane E Papalia & Sally, Wendkos. Olds, Human Development (Boston: Mc. Graw Hill Company, Inc, 1998), 330. 31 Yusuf, Psikologi Perkembangan..., 184. 32 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1997), 5. (1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual; (2) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifiksi dari kanak-kanak menjadi dewasa; (3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.33 Remaja merupakan masa perkembangan dari sikap tergantung (dependence) terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.34 Tugas Perkembangan Remaja Semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Searah dengan tugas perkembangan, ada banyak teori perkembangan, di antaranya teori Interaksionisme, bahwa perkembangan jiwa atau perilaku anak banyak ditentukan oleh adanya dialektif dengan lingkungannya. Maksudnya, perkembangan kognitif seorang anak bukan merupakan perkembangan yang wajar, melainkan ditentukan oleh interaksi budaya. Pengaruh yang datang dari pengalaman dalam berinteraksi budaya serta dari penanaman nilai-nilai melalui pendidikan (transmit sosial) itu diharapkan mencapai suatu stadium yang disebut ekuilibrasi, yakni keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi diri anak.35 Perubahan yang terjadi pada awal masa remaja hampir semua aspek perkembangannya, yaitu meliputi perkembangan fisik, perkembangan sosial, perkembangan moral, perkembangan kepribadian, perkembangan emosional, perkembangan spiritual remaja. 33 Sarwono, Psikologi..., 9. Yusuf, Psikologi Perkembangan ..., 184. 35 Abu Ahmdi, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 94-96; Ada juga teori perkembangan, teori empirisme. Tokoh utamanya teori ini adalah Francis Bacon (1561-1626) dan John Locke (1632-1704). Teori ini berpandangan bahwa pada dasarnya anak lahir di dunia, perkembangannya ditentukan oleh adanya pengaruh dari luar, termasuk pendidikan dan pengajaran. Dianggapnya anak yang lahir dalam kondisi kosong, putih bersih, seperti meja lilin (tabula rasa), maka pengalaman anaklah yang bakal menentukan corak dan bentuk perkembangan jiwa anak. Dengan demikian menurut teori ini pendidikan dan pengajaran anak pasti berhasil dalam usahanya “membentuk.” 34 Perkembangan Fisik Remaja mengalami growth spurt, yaitu pertumbuhan fisik yang sangat pesat, yang ditandai oleh ciri-ciri perkembangan pada masa pubertas. Otot-otot tubuh mengeras, tinggi dan berat badan meningkat cepat, begitu pula dengan proporsi tubuh yang semakin mirip dengan tubuh orang dewasa, termasuk juga kematangan fungsi seksual, hal ini terjadi disebabkan adanya proses biologis yang berkaitan dengan perubahan hormonal di dalam tubuh remaja. Dengan demikian, pada saat ini remaja menjadi manusia seksual yang memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Remaja puteri mengalami menarche, yaitu mentruasi pertama, sedangkan putera mengalami spermarche yaitu pertama kalinya cairan sperma keluar, yang umumnya saat tidur.36 Perkembangan Sosial Salah satu tugas perkembangan masa remaja tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah.37 Menurut Gunarsa, hubungan remaja dengan orangtuanya mulai berpindah ke teman sebayanya, hubungan interpersonal dengan peer group-nya menjadi intensif karena penerimaan oleh teman sebaya menjadi sangat penting bagi remaja. Teman sebaya merupakan tempat berbagi perasaan dan pengalamannya, menjadi bagian dari proses pembentukan identitas diri, muncul pula suatu gejala konformitas yaitu tekanan kelompok sebaya. Sehingga ia mengadopsi sikap dan perilaku orang lain. Jika konformitasnya bersifat positif remaja akan mengadopsi yang positif juga.38 36 Singgih Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut (Jakarta: BPK.Gunung Mulia, 2004), 196-197. Bnd. Daniel Nuhamara, PAK Remaja (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 33-38; Perkembangan fisik remaja yakni, masa remaja adalah masa pubertas, adanya kesadaran baru terhadap tubuh, mengacaukan hal fisik dan spiritual, pencampuranadukan hal bersifat biologis-spiritual. 37 Hurlock, Psikologi..., 213; Karakteristik penyesuaian sosial remaja di tiga lingkungan yakni, keluarga, sekolah, masyarakat. 38 Singgih Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut (BPK.Gunung Mulia, 2004), 197-199; Sebalikya jika koformitas bersifat negatif, remaja dapat dengan mudah terbawa pada perilaku yang kurang baik (membolos sekolah, merokok, mencuri, menggunakan obat). Perkembangan Moral Ketika memasuki masa remaja anak tidak lagi begitu saja menerima kode moral dari orang tua dan guru bahkan teman sebaya. Tetapi remaja sendiri ingin membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep tentang benar dan salah yang telah diubah dan diperbaiki agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan telah dilengkapi oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orang tua dan guru, bahkan remaja melengkapi kode moralnya dengan pengetahuan yang diperoleh dari pelajaran agama.39 Searah dengan tatanan moral remaja, dapat dilihat dari dua teori tentang perkembangan yaitu: Piaget: Perkembangan Kognitif Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut konsep Piaget, yaitu: Pertama, Tahap Sensori Motor (usia 0-2 tahun), pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerik reflex, bahasa awal, waktu sekarang, dan ruang dekat saja. Kedua, Tahap Pra-opersional (usia 2-4 tahun) prakonseptual, masa intuitif dengan kemampuan menerima perangsang terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya, pemikirannya masih statis, dan belum dapat berpikir, persabstrakpsi waktu dan tempat masih terbatas. Ketiga, Tahap kongkret Operasional (usia 7-11 tahun), anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas, menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat dan membagi. Keempat, Tahap Formal Operasional (usia 11-15 tahun), anak sudah mampu berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis, menyintesis, mereflektif berpikir abstrak dan memecahkan masalah.40 Menurut teori perkembangan Piaget, masa remaja adalah masa transisi dari penggunaan berpikir konkrit secara operasional ke berpikir formal secara operasional. Remaja mulai menyadari batasan-batasan mereka.41 39 Hurlock, Psikologi..., 226. Nana S. Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), 50. 41 Sri Esti D Jiwandono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Grasindo, 2002), 96. 40 Kohlberg: Perkembangan Moral Kohlberg mengatakan bahwa ada tiga tahap perkembangan moral. Masing-masing tahap terdiri dari atas dua tingkatan sehingga seluruhnya meliputi enam tingkatan, yakni : Tingkat Pra Konvesional: Pertama, orientasi pada hukuman dan ketaatan, inilah jenjang yang merupakan awal kesadaran seorang anak atau orang dewasa yang mendasarkan perbuatannya atas pertimbangan ketakutan akan hukuman sebagai akibat tindakannya. Jadi tindakan si anak bukan sebab hal baikburuknya perbuatannya. Kedua, orientasi Relativis Instrumental, si anak kini memakai pertimbangan untuk tindakannya hanya sifatnya egoistis, yaitu demi keuntungan dirinya. Perbuatan anak dilakukan bukan demi benar salah atau keadilan, tetapi bedasarkan kesenangan bagi dirinya dan juga demi keuntungan timbal balik dengan pihak lain Tingkat Konvensional: Pertama, orientasi anak laki-laki baik atau gadis manis di sini pada perbuatan baik yang diartikan oleh si anak sebagai apa yang menyenangkan, menolong dan disetujui orang banyak. Ia patuh kepada peraturan yang oleh mayoritas dianggap baik dan benar. Kedua, orientasi Hukum dan Tata-tertib Umum: Anak dan orang telah merasa berkewajiban untuk menaati hukum, otoritas dan peraturan demi tata tertib itu sendiri. Orang menghormati dan menaati hukum yang dianggapnya bersifat universal. Tingkat Purnakonvensional: Pertama, orientasi Kontrak Sosial yang Legalistik, orang telah sadar tentang hukum sebagai persetujuan masyarakat yang membuatnya. Orang sadar akan sifat relativisnya dan menekankan hal legalitasnya. Ia sadar bahwa hukum itu dapat diubah bilamana perlu, yang benar adalah secara pribadi dan masyarakat bersama-sama setuju; ia menetapkan sendiri bebas dari hubungan-hubungan dengan kelompok yang memeganginya. Kedua, orientasi Asas Etis yang Universal: Pada tahap ini apa yang dianggap baik atau benar adalah apa yang hati nurani orang menekankan sesuai dengan asas keadilan yang universal, yang menghormati sesama harkat dan martabatnya. Ini merupakan puncak dari perkembangan moral. 42 Perkembangan Emosi Remaja Salah satu dari ciri-ciri remaja adalah penampilan reflectivity atau kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang terjadi pada pikiran diri seseorang dan mempelajari dirinya sendiri. Remaja mulai melihat dirinya untuk mendefinisikan bahwa mereka berbeda. Searah dengan itu menurut Erickson, tahap selama remaja adalah berpusat pada siapa saya, dengan identitas apa sebetulnya saya. Perubahan pubertas memerlukan remaja untuk mengubah konsep fisik mereka, menyesuaikan diri terhadap harapanharapan teman dan keluarga, serta membuat keputusan tentang peranan sekolah dan tingkah laku. Kemampuan intelektual anak remaja tumbuh, termasuk kecenderungan baru tentang refleksi dan analisis diri dan juga membuat perubahan dalam konsep diri dan integritas terhadap ketrampilan logika baru.43 Perkembangan Kesadaran Beragama Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya juga mengalami kegoncangan. Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan matangnya organ seks; yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun di sisi lain ia tahu 42 Nana S. Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), 50; Tahap i. Prekonvensional moral reasoning; a. Obidience and Punishment orientations; b. Naively Egoistic orientation; Tahap ii. a. Good Boy Orientation; b. Authority and social orther maintenance orientation; Tahap iii. Post Convensional Moral reasoning, a. Contactual legalistic orientation: Concience or principle orientation; Bnd. Elly Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen (Cipanas: STT Cipanas, 2006), 66-68. 43 Sri Esti D Jiwandono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Grasirindo, 2002), 102; Bnd. Hurlock, Psikologi ..., 218. bahwa perbuatan itu dilarang agama. Situasi ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor internal lainnya yaitu, bersifat psikologis, sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat dengan norma-norma orang tua, guru. Sedangkan eksternal berkaitan dengan perkembangan budaya dalam masyarakat yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai agama, foto-foto porno, minuman keras, ganja, dan obat-obat terlarang. Hal ini semua mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi remaja untuk mencobanya.44 Menurut Dobson bahwa dalam pembinaan remaja, kita perlu mendiskusikan bagaimana cara membangun harga diri yang benar, bagaimana memandang dan memelihara tubuh atau fisik, bagaimana mengendalikan diri dalam menghadapi gejolak cinta pertama, serta bagaimana menghadapi gejolak cinta pertama, serta bagaimana menghadapi gejolak emosi yang senantiasa berubah.45 Perkembangan Minat Seks Remaja Satu dari tantangan yang paling berat pada remaja adalah menyesuaikan diri terhadap perubahan tubuhnya. Koordinasi dan aktivitas fisik harus disesuaikan cepat-cepat seperti tinggi, berat, dan perubahan ketrampilan. Karena meningkatnya minat pada seks, remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang berharap bahwa seluk beluk tentang seks dapat dipelajari dari orangtuanya. Oleh karena itu remaja mencari pelbagai sumber informasi, misalnya bukubuku tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan masturbasi, bercumbu, bersanggama. Kegiatan seksual mengharuskan remaja berhadapan dengan kemungkinan pemindahan penyakit, konflik dengan orang tua dan kehamilan.46 44 Yusuf, Psikologi Perkembangan..., 204; Apabila remaja kurang mendapat bimbingan keagamaan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kurang harmonis, orang tua yang kurang memberikan kasih sayang, berteman dengan kelompok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi ini memicu berkembang perilaku remaja asusila (free sex), minum-minuman keras, dan lain-lain. 45 James Dobson, Menjelang Masa Remaja (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1986), 35. 46 Hurlock, Psikologi..., 226; Bnd. Sri Esti D. Jiwandono, Psikologi Pendidikan,(Jakarta: Grasirindo, 2002), 94. PENUTUP Alfred Kinsey, seorang ahli Zoology, dua buku karangannya yang telah mengguncangkan nilai-nilai kesusilaan dalam kehidupan seksual di dunia yaitu Sexual Behavior in the Human Male dan Sexual Behavior in the Human. Kinsey menuliskan “alam memenangkan kesusilaan.” Mereka yang menjalankan kehidupannya dengan berorientasi pada norma-norma agama dan dapat dicap oleh Kinsey sebagai “korban kesusilaan.” Kinsey menempatkan manusia di samping binatang. Pandangan biologis ini, mengakibatkan Kinsey menyebut manusia human animal dan human mammal, menurut Kinsey adalah baik kalau manusia memakai daya seksual seperti binatang, dan tidak baik kalau manusia menempatkan kesusilaan di atas alam.47 Menurut Scheneumann, pandangan manusia yang bilogis ini jauh berbeda dari pandangan manusia menurut Alkitab, manusia diciptakan menurut peta dan gambar Allah (Kej 1:27; 2:27). Dengan demikian manusia tidak dipimpin oleh insting, melainkan kepribadian yang terdiri dari satu trinitas kecil, yaitu roh, jiwa, tubuh; sehingga kehidupan seksual merupakan bagian integral dari kepribadian seluruhnya dan ditentukan oleh faktorfaktor fisiologis, psikologis, dan rohaniah.48 Telah dikemukakan sebelumnya tentang dasar filsafat revolusi moral, sejak zaman pencerahan (enlightenment), dunia Barat mengalami perubahan di segala bidang kehidupan termasuk teologi dan etika. Ada krisis moral yang melanda seluruh dunia, tatanan hidup masyarakat dengan nilai-nilai moral yang bersifat tradisional dan kuno, seperti pernikahan, keluarga, Negara yang dulu berlaku diubah. Revolusi moral ditujukan secara khusus di bidang etika dan kesusilaan. Moral baru ini tidak lain dari satu reaksi alam abad ke-20, yang mengganti hukum-hukum atau normanorma kehidupan yang dari perintah Allah sebagai ketaatan manusia kepada Tuhan, sumber kebahagiaan manusia diganti dengan kepercayaan pada diri sendiri dan menjadi abad dasar pada tingkah laku kebebasan perilaku terhadap aturan-aturan tradisional. Tinjauan filsafat yang melandasi paham New Morality seperti yang diuraikan dari ilmu filsafat, sosiologi, psikologi dan teologi, dan postmodernitas. Jadi, paham kebebasan tingkah laku berkembang dan bersumber dari aliran-aliran yang dikemukakan di atas. Suatu pemberontakan manusia 47 Scheneumann, Romantika Kehidupan..., 19-20. Ibid; Pengertian manusia dari Kinsey tidak mencakup motivasi, dorongan batin manusia serta rasa tanggung jawabnya. Kinsey ingin melepaskan manusia dari rasa bersalah dan berdosa, khususnya dalam sexsual behavior. 48 terhadap Allah, Gereja dan tradisi, berawal dari abad pencerahan di mana manusia merasa diri akil balig, dan menggusur keberadaan Allah dari kehidupan manusia. Dengan semboyan-semboyan, God Is dead, Glory To Man. Para penganut moralitas baru, ingin membebaskan dirinya dari kesusilaan yang berdasarkan hukum Gereja, tuntutan masyarakat yang selama ini diterima dan disetujui sebagai norma-norma perbuatan sikap manusia yang beradab. Pengaruh postmodernitas yang menunjuk pada situasi dan tata sosial, produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, dll. Manusia yang hidup di milenium baru ke-21 ini dilanda oleh gejala atau faktor yang sangat mempengaruhi norma-norma moral yang melibatkan tindakan-tindakan etisnya, yaitu apa yang dikenal dengan istilah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Teknologi informasi maju dengan pesatnya. Sebagai hasil informasi dari media cetak maupun media audio visual (televisi) yang mengubah wajah dunia. Televisi adalah media potensial sekali untuk menyampaikan informasi tetapi membentuk perilaku seseorang, baik kearah negatif maupun positif. Menurut Dwyer, sebagai media audio visual, televisi mampu merebut 94% saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu membuat orang mengingat 50% dari apa yang mereka lihat walau hanya sekali tayang, atau secara umum orang akan ingat 85% dari apa yang mereka lihat di televisi setelah 3 jam kemudian, 65% setelah tiga hari kemudian. Masa awal remaja (12-15 tahun) adalah masa yang amat meresahkan, oleh karena pada masa pubertas seseorang mengalami perubahan, baik secara fisik maupun perubahan yang lain, mulai dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, berbarengan dengan perkembangan fisik, moral, emosi dan sosial, dan minat dari kehidupan seksual sampai kepada kehidupan religiositasnya. Oleh karenanya, peran pendampingan sangat diperlukan bagi penyesuaian diri secara positif terhadap setiap perubahan yang ada, agar anak mencapai tugas perkembangannya secara maksimal di usianya. Semoga! JATI DIRI PEREMPUAN MENURUT KEJADIAN 1-2 DAN RELEVANSINYA BAGI SIKAP KRISTIANI TERHADAP PENGARUH GERAKAN FEMINISME DI INDONESIA MARIA HANIE ENDOJOWATININGSIH PENDAHULUAN Di negara-negara berkembang, kaum perempuan mengalami nasib yang kurang menyenangkan, karena diposisikan sebagai kaum yang dianggap lebih lemah, lebih rendah, kurang berarti, orang belakang, tidak punya hak suara atau menyampaikan pendapat. Hal ini disebabkan karena faktor budaya paternalistik, atau sistem patriarkat dalam masyarakat Timur juga pada negera-negara berkembang lainnya. Secara jujur dapat dikatakan bahwa budaya ini terefleksi juga dalam Gereja yang tentunya melandasi doktrin atau peraturan gerejanya dari teks-teks Alkitab, misalnya dari 1Korintus 34-35, bahwa perempuan tidak boleh mengajar atau berbicara di depan umum. Juga karena perempuan dianggap penyebab kejatuhan Adam dalam dosa (Kej 3), maka perempuan dinilai penyebab dosa, dan karena itu harus menerima kutuk “di bawah kekuasaan laki-laki/ suaminya”). Kaum perempuan yang menyadari keberadaannya sebagai ciptaan Tuhan yang sederajat dan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki, maka mereka ingin membebaskan diri dari belenggu budaya patriarkhat dan melakukan gerakan yang terorganisir, yakni Gerakan Feminisme. Gerakan ini juga memengaruhi dunia Theologia, sehingga lahir Theologia Feminis, yang juga berdampak kepada penafsiran Alkitab, yang menguntungkan kaum perempuan. Di satu sisi gerakan Feminisme bermuatan dan bertujuan sangat positif, namun seiring dengan bergulirnya waktu, maka gerakan ini menimbulkan ekses-ekses negatif, yang juga berdampak pada Gereja atau orang Kristen. Karena itu penting orang Kristen memiliki sikap yang benar terhadap gerakan ini. Di satu sisi, gerakan ini mengingatkan orang Kristen tentang jati diri perempuan sebagai ciptaan yang sama mulia dengan lakilaki, karena diciptakan menurut gambar/rupa Allah sendiri. Karena itu orang Kristen bukan karena gerakan Feminisme, baru menempatkan perempuan secara proposional. Bahkan orang Kristen perlu menolak eksesekses negatif dari gerakan ini. LATAR BELAKANG MASALAH Secara theologis, perempuan dan laki-laki diciptakan Tuhan sederajat dengan mandat yang sama dengan laki-laki, meskipun fungsinya berbeda, sebagaimana ditulis dalam kitab Kejadian 1-2. Dengan demikian jelas bahwa tidak ada perbedaan derajat, tidak ada diskriminasi gender, karena keduanya diciptakan menurut gambar Allah, atau menurut citra Ilahi. Dan di dalam catatan sejarah, baik pada Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, tidak jarang bahwa Tuhan pun memakai kaum perempuan untuk masuk dalam sejarah keselamatan, misalnya: Debora, Ruth, Rahab, Miryam, Maria, dan sebagainya. Namun tidak bisa dipungkiri, dalam realitas sosial-kultural-agama, antara keduanya seringkali terjadi diskriminasi, yang melahirkan tindak kekerasan, terutama kepada kaum perempuan. Dan diskriminasi tersebut telah merugikan perempuan atas kondisi dan posisinya, baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Di masyarakat Indonesia sendiri, sering disaksikan tindak kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai manifestasinya. Kekerasan fisik, kekerasan emosional, dan kekerasan psikhologi, baik secara domestik (dalam rumah) maupun publik (dilakukan oleh masyarakat: agama, media massa, kekuatan ekonomi, politik, dan negara), kerap menjadi tontonan gratis.1 Tindak diskriminatif terhadap kaum perempuan, secara teologis dihubungkan dengan peristiwa di Taman Eden, di mana dianggap Hawa-lah penyebab kejatuhan Adam, suaminya, dan dianggap penyebab dosa masuk menguasai seluruh umat manusia. Secara biologis dan psikhologis, laki-laki dianggap lebih kuat, lebih pemberani, lebih tegar, dan lebih cerdas khususnya dalam membuat berbagai perencanaan. Sedangkan perempuan dianggap lebih lembut, penakut, selalu memakai perasaannya. 2 Pengalaman diskriminatif terhadap kaum perempuan juga terjadi di belahan dunia lainnya. Di Afrika di satu sisi menghormati perempuan sebagai penerus dan pemelihara kehidupan. Perempuan yang berusia lanjut diakui sebagai penasihat yang berwibawa karena dianggap berhikmat. Namun ada juga tradisi yang meremehkan kaum perempuan, seperti misalnya ada ritual yang menekan janda dan menyunat anak gadis. Penjajahan yang bersifat patriarkhat, rezim otoriter, dan kebijaksanaan ekomomi, melemahkan kedudukan perempuan. Di Amerika Latin, warisan 1 Aloys Budi Purnomo, dalam artikel “Agama & Kekerasan Terhadap Perempuan”. http//www.kesrepo.info/?q=rode/186. Diakses tanggal 21-12-2009, 1. 2 Ibid., 2. kolonial masih berpengaruh kuat, misalnya perempuan harus patuh pada laki-laki. Perempuan miskin harus berjuang seorang diri demi keluarganya. Dan di Asia, perempuan pada umumnya dilihat sebagai pelengkap laki-laki, kurang berhak atas warisan dan kedudukannya sangat lemah. 3 Dari pengalaman tersebut di atas, maka lahirlah gerakan Feminisme. Lahirnya gerakan Feminisme ini tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembebasan kaum marginal, atau kaum tertindas, termasuk kaum perempuan, yang sudah dimulai di Eropa pada abad 19. Dan secara khusus di Amerika Latin, tantangan utama adalah soal pemilikan dan penggunaan tanah, yang terjadi kesenjangan tajam antara tuan tanah dengan para pekerjanya yang miskin. Juga diskriminasi berdasarkan ras. Maka dalam kesempatan inilah, kaum wanita pun membela hak-haknya, dan ingin membebaskan diri dari kungkungan patriarkat yang mendominasi di hampir semua suku dan bangsa.4 Bagaimana halnya dengan di Indonesia? Gerakan Feminisme juga telah merambah ke masyarakat Indonesia, yakni kesadaran akan citra dirinya yang sederajat dengan laki-laki. Sebagai contoh kesadaran ini adalah kerinduan dan perjuangan Raden Ajeng Kartini yang memperjuangkan agar kaum perempuan memperoleh hak dan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki, dalam hal perlakuan dan maupun kesempatan belajar, dan terlepas dari belenggu adat dan kepercayaan yang tidak menguntungkan bagi kaum perempuan. Di kalangan Gereja pun diskriminasi terhadap kaum perempuan cukup terasa di beberapa denominasi Gereja. Perempuan dianggap tidak mampu menjadi gambar Allah, sehingga dilarang menjadi pemimpin, pengkhotbah dan pengajar dalam ibadah maupun pelayanan Gereja.5 Namun di beberapa denominasi Gereja tertentu sudah memberi penghargaan kepada kaum perempuan, dan memberi tempat yang proporsional, baik dalam pelayanan maupun dalam keluarga dan dalam bermasyarakat. Dengan latar belakang inilah, penulis tertarik untuk membahas tentang: Jati Diri Perempuan Menurut Kejadian 1-2 dan Relevansinya Bagi Sikap Etis Kristen terhadap Pengaruh Gerakan Feminisme di Indonesia. 3 Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. Pengantar Teologi Feminis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 18-19. 4 Ibid., 14-15. 5 Lie Ing Sian, Sebuah Tinjauan terhadap Teologi Feminis Kristen. www.seabs.ac.id. Diakses 29-12-2009, 3. KEGUNAAN PENULISAN Dengan pokok bahasan tentang Jati Diri Perempuan Menurut Kejadian 1-2 dan Relevansinya Bagi Sikap Etis Kristen terhadap Pengaruh Gerakan Feminisme di Indonesia. Pertama, menolong orang Kristen memahami dengan sungguhsungguh jati diri manusia menurut Firman Tuhan, khususnya dalam kitab Kejadian 1-2 sehingga bisa menempatkan perempuan pada posisi yang tepat serta memberi penghargaan yang sewajarnya. Kedua, menyadarkan orang Kristen bahwa Gerakan Feminisme bukanlah jawaban atas ‘nasib’ kaum perempuan di hadapan para laki-laki. Ketiga, memberi pembekalan orang Kristen bagaimana sikap yang tepat terhadap Gerakan Feminisme. DEFINISI ISTILAH Dalam pokok bahasan ini ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan secara khusus, yaitu: (1) Kata jati diri terdiri dari dua kata yaitu jati dan diri. Kata jati berarti “sebenarnya, tulen, asli, murni, tidak ada campurannya”, sedangkan kata diri berarti “ciri-ciri gambaran atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; identitas, jiwa semangat, dan daya gerak dari dalam; spiritualitas” 6; (2) Relevansi adalah “perlunya hubungan pertalian atau sangkut pautnya dengan sesuatu hal” 7; (3) Sikap Kristiani adalah sikap orang Kristen sesuai standar Alkitab; (4) Gerakan Feminisme adalah gerakan terorganisir yang memperjuangkan pembebasan kaum perempuan untuk mendapatkan hak asasi perempuan. JATI DIRI PEREMPUAN MENURUT KEJADIAN 1-2 Nama Kitab Kejadian dalam bahasa Ibrani adalah beresyit, artinya pada mulanya, yang diambil dari kata pertama kitab tersebut. Nama ini tepat, karena Kitab Kejadian menceritakan awal dari segala sesuatu yang berhubungan dengan iman umat Allah dalam Alkitab. Alkitab bahasa 6 ______, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 352. 7 John Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 1981), 738. Yunani (Septuaginta) adalah geneseos, artinya permulaan, atau generasigenerasi, yang diambil dari bahasa Ibrani toledot, yang muncul sebelas kali dalam Kitab Kejadian, yang berfungsi sebagai petunjuk garis besar yang tepat. Alkitab bahasa Indonesia, memakai nama Kejadian. Analisa Historis Kitab Kejadian Setiap kitab di dalam Alkitab memiliki latar belakang historis masing-masing, sesuai konteks di mana, mengapa, dan untuk siapa kitab itu ditulis. Sehingga kita tidak menafsirkannya secara gegabah. Penulis dan Tahun Penulisan Kitab Kejadian Jika berbicara tentang Kitab Kejadian, tidak bisa dilepaskan dari Pentateukh atau disebut juga Torah, yaitu lima kitab Musa, Kejadian sampai dengan Ulangan. Sastra alkitabiah memperlakukan Pentateukh sebagai satu kitab, yang secara tradisional diakui bahwa Musa-lah penulisnya.8 Namun ada bermacam-macam pendapat yang sangat jauh berbeda, yang berpandangan bahwa Pentateukh disusun dengan mengambil sumbersumber, yaitu dari sumber J (Jahwist), sumber E (Elohim), sumber D (Deutoronomist), dan sumber P (Priest). Hasil temuan arkheologis dan kemajuan dalam penelitian kritis terhadap sastra Pentateukh sudah membuat perdebatan itu bertambah panas dalam abad ke-20 ini.9 Hingga tahun-tahun belakang ini, kebanyakan orang Yahudi sangat yakin bahwa Musa-lah penulis kitab-kitab Pentateukh. Pendapat ini didasarkan pada riwayat pengalaman Musa sendiri yang mendominasi kitab Pentateukh, sejak masa bayinya, masa kanak-kanaknya hingga dewasa di istana Firaun, masa pelariannya ke Midian, pemanggilan Tuhan atasnya, pengalaman membawa Israel keluar dari perbudakan Mesir, hingga bangsa Israel di tepi S. Yordan. Pengalaman Musa di istana Firaun, dengan pendidikan yang dia peroleh, memungkinkan dia memiliki kemampuan untuk menjadi seorang penulis yang baik.10 Tentang informasi yang disusun dalam kitab Kejadian, Musa mendapat bahan dari tradisi lisan (informasi 8 Andrew E. Hill & John H. Walton, Survey Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 1996), 141. 9 Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Gandum Mas, 1991), 63. 10 Ibid., 64-65. yang diceritakan turun-tumurun), catatan-catatan singkat mungkin dari prasastri-prasastri atau dari nisan, dan tentang penciptaan alam semesta, dinyatakan Allah langsung kepadanya. Bukti kepenulisan Musa antara lain.: Tuhan menyuruh Musa untuk menulis suatu laporan tentang pertempuran melawan orang Amalek yang menyerang Israel (Kel 17:14). Di Gunung Sinai, Musa menulis semua perkataan dan hukum yang difirmankan Tuhan (Kel. 24:4). Yosua disuruh Tuhan untuk merenungkan Taurat Musa (Yos 1:7-8), dan lain-lain. Tahun penulisannya tentu selama Musa masih hidup. Bisa jadi selama dalam perjalanannya di padang gurun, Musa mencatat semua yang dia alami. Diperkirakan Musa lahir tahun 1500 dan hidup selama 120 tahun. Alamat dan Tujuan Penulisan Kitab Kejadian Alamat Kitab Kejadian adalah bangsa Israel sendiri, sebagai umat pilihan yang dimulai dari pemanggilan Abraham, bapa leluhur mereka, yang dipanggil untuk menerima dan menjadi berkat (Kej 12:1-3). Berkat yang Tuhan berikan adalah keturunan seperti debu tanah, dan negeri Kanaan yang melimpah susu dan madunya (Kel 3:8). Tujuan kitab Kejadian adalah menceritakan bagaimana dan mengapa Yahweh berkenan memilih keluarga Abraham dan mengadakan perjanjian dengan mereka. Perjanjian atau covenant ini merupakan dasar teologi dan identitas umat Israel. Karena itu dapat dipahami bahwa sejarah perjanjian itu penting. Dan selanjutnya dalam kitab ini dikisahkan tentang umat pilihan-Nya harus pergi ke Mesir, dengan demikian mempersiapkan suasana untuk peristiwa keluaran (exodus).11 Demikian pun Herbert Wolf berpendapat bahwa: Kejadian ditulis sebagai suatu prolog untuk seluruh Alkitab, karena kitab ini mengisahkan asal-usul alam semesta, dunia fisik, kehidupan dan kebudayaan manusia, dan bangsa Israel. Banyak pertanyaan penting yang sudah berabad-abad lamanya membingungkan umat manusia, diuraikan dengan cekatan dan secara ringkas di pasal-pasal pembukaan. Kita tidak hanya diberikan suatu laporan singkat dan agung mengenai penciptaan, tetapi kita juga diberitahu bagaimana dosa memasuki dunia dan bagaimana dosa itu merusak ciptaan yang semula dikerjakan oleh Allah.12 11 12 Hill & Walton, Survey Perjanjian…, 147. Wolf, Pengenalan …, 104. Inti Berita Kitab Kejadian Kitab Kejadian mencatat sejarah karya Allah, yaitu karya penciptaan atas alam semesta, dan sejarah keselamatan bagi manusia ciptaan-Nya yang mulia yang telah jatuh dalam dosa. Kitab Kejadian juga membukakan tentang sifat Allah yang baik, murah hati, tetapi juga kudus dan adil adanya. Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk mulia, tetapi juga harus menghukumnya karena dosa. Dan pada waktu yang sama, Allah juga menyediakan jalan keselamatan bagi manusia yang bersedia untuk bertobat. Analisa Konteks Kejadian 1-2 Kitab Kejadian pasal 1-2 mencatat karya Allah yang menciptakan seluruh alam semesta, di mana penciptaan manusia sebagai puncaknya. Dan di pasal dua, menceritakan proses penciptaan manusia secara khusus, dan bagaimana relasi kedua gender, serta pembentukan lembaga pertama, yakni sebuah keluarga. Namun apa yang sangat indah, yang Tuhan telah ciptakan, telah menjadi rusak oleh karena ulah manusia yang tidak setia dalam memelihara perintah Allah, dan lebih cenderung memberi telinga kepada Iblis. Maka akibatnya, kutuk, baik untuk manusia pertama dan seluruh keturunannya, serta bagi seluruh alam. Jati Diri Perempuan Menurut Kejadian 1-2 Dua pasal pertama Kitab Kejadian membukakan citra (/jati diri) perempuan. Perempuan Diciptakan Segambar/Serupa Allah (Kej. 1:26) Dalam ayat 26 awal ditulis: “Dan Allah telah berfirman: “Marilah kita menjadikan manusia menurut gambar Kita seperti rupa Kita.” Dalam teks Ibrani, kata gambar dan kata rupa sebenarnya sinonim. Kata Ibrani bestalmenu, kata dasarnya adalah stelem artinya image (gambar). Terjemahan lama LAI: peta. Dan frasa seperti rupa Kita dalam teks Ibrani kidmutenu dari kata dasar demut artinya likeness (kesamaan), atau similitude (keserupaan).13 Dalam Alkitab terjemahan LAI ada kata “dan” di antara kedua kata tersebut: menurut gambar dan rupa Kita”. Terjemahan Jewish Bible ada koma di antaranya: in our emage, in the likeness of ourselves. Begitu juga terjemahan NIV: in our image, in our likeness. Terjemahan yang lebih tepat seharusnya tidak boleh disela dengan kata “dan” atau tanda koma, karena kata kedua (rupa) mempertegas kata pertama (gambar). Dengan kata lain, manusia diciptakan segambar atau serupa Allah, bukan “sama” dengan Allah. Kedua istilah ini, sebagai ungkapan figuratif tentang citra manusia, termasuk perempuan, yang memiliki relasi yang istimewa dengan Sang Pencipta, yang dikaruniai sebagian dari sifat-sifat Ilahi, dan sebagai mandataris Allah di bumi, yang diberi tugas dan otoritas sebagai manager seluruh alam semesta. 14 W.S. Lasor, D.A. Hubbard & F.W. Bush memberi komentar dengan istilah ini, demikian: Sebenarnya, maksud penulis dalam mempergunakan konsep ini tampaknya jauh lebih bersifat fungsional daripada konseptual. Ia lebih menaruh minat pada akibat-akibat pemberian itu daripada sifatnya. Keserupaan itu bersifat dinamis, yakni manusia (adam) dalam hubungan pribadinya dengan makhluk-makhluk lain menjadi wakil Allah. Ia diberi hak untuk menyelidiki, menguasai dan mempergunakan segala sesuatu di sekitarnya.15 Dari teks ini jelas bahwa tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Juga Tuhan memberi kepercayaan, tugas dan otoritas yang sama atas alam semesta. Perempuan adalah Penolong Sepadan Bagi Laki-laki/Suaminya (Kej 2:18) Jewish Bible menterjemahkan a companion suitable. NIV menterjemahkan a helper suitable. Kata penolong dalam bahasa Ibrani ezer 13 Francis Brown, The New Brown-Driver-Briggs-Gesenius Hebrew and English Lexicon (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1979), 853 & 198. 14 John F. Walvoord & Roy B. Zuck, The Bible Knowledge Commentary (Wheaton, Illinois: Victor Books, 1985), 29. 15 W.S. LaSor & D.A. Hubbard & F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama I. Malang: Gandum Mas, 2001), 123. dari kata kerja dasarnya azar artinya menolong atau mendukung. Dari arti kata ini mengindikasikan bahwa sebenarnya memiliki kelebihan tersendiri dari pada laki-laki, sehingga dia bisa menjadi penolong atau pendukung laki-laki/suaminya. Dalam kenyataan memang, dalam hal-hal tertentu, perempuan lebih kuat dari pada laki-laki/suaminya, atau sebaliknya lakilaki lebih lemah sehingga membutuhkan pertolongan atau dukungan perempuan/isterinya. Dalam hal mental, perempuan lebih tabah, misalnya para janda lebih mampu bertahan memelihara anak-anak sampai akhir, dibanding para duda yang cenderung mencari pengganti isterinya yang sudah tiada. Secara fisik perempuan lebih kuat, terbukti mampu mengandung dan melahirkan serta menyusui anaknya, serta mengerjakan banyak pekerjaan praktis dalam rumah tangganya. Secara rohani, perempuan lebih responsive dan lebih tekun dari pada laki-laki. Dalam hal integritas, perempuan lebih setia dari pada laki-laki. Istilah sepadan dalam bahasa Ibrani neged, artinya apa yang di depan mata, atau cocok/sesuai.16 Dari arti kedua kata di atas, jelas posisi dan peran perempuan di hadapan laki-laki adalah sebagai penolong atau pendukung laki-laki/suaminya, bukan pemimpin yang mendominasi, dan bukan juga sebagai budak yang boleh diperlakukan semena-mena, sebagai obyek pemuas nafsu, atau sebagai manusia kelas dua. Dalam melaksanakan mandat budaya (beranak cucu dan memelihara alam), laki-laki membutuhkan perempuan, karena tidak mungkin melaksanakannya dengan binatang. Meskipun Tuhan sudah membawa semua binatang kepada Adam untuk diberi nama, namun Adam tetap kesepian (merasa sendirian), karena binatang bukan penolong sepadan untuk Adam. David Atkinson memahami istilah penolong sepadan demikian: Kata sifat kenegdo agaknya bertalian dengan kata kerja yang berarti “menjadi jelas atau kentara”. Kata benda yang bertalian menunjuk kepada seorang yang ulung. Jadi dengan “seorang penolong yang sepadan”, mungkin yang dimaksud ialah penolong yang sama ulungnya, atau sama kekhususannya. Ini menunjukkan bahwa penolong ini pasti layak berdiri di hadapan manusia sebagai imbangannya, temannya, pelengkapnya. Tidak terkandung di sini rasa inferioritas, rasa di bawah ukuran atau rasa diperuntukkan sebagai budak, melainkan seorang yang mirip dengan dia tapi “kebalikan dari dia”.17 16 17 1996), 83. Brown, The New Brown-Driver ….., 617. David Atkinson, Kejadian 1-11 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Tubuh Perempuan Dibentuk dari Salah Satu Tulang Rusuk Laki-laki (Kej 2:21-22) Praktek pembedahan pada tubuh manusia, pertama kali dilakukan oleh Allah sendiri, untuk mengambil salah satu dari tulang-tulang rusuknya, dan kemudian Tuhan menutupnya dengan daging. Tidak perlu dipertanyakan mengapa Tuhan mengambil tulang rusuk untuk membentuk seorang perempuan. Mengapa bukan tulang kepala atau tulang tangan, atau tulang kaki? Kenyataan ini memberi penekanan tentang keterikatan yang kuat antara laki-laki dan perempuan. Atau dengan kata lain, perempuan adalah bagian dari laki-laki. Laki-laki yang lebih dulu dibentuk, baru kemudian dari laki-laki dibentuk seorang perempuan. Dari sini bisa muncul adanya hirarkhi, di mana laki-laki sebagai pemimpin keluarga, namun pemimpin yang mengatur dengan bijak dan mengayomi, karena perempuan adalah bagian dari dirinya. Matthew Henry menulis dalam commentarynya demikian: That the woman was made of a rib out of the side of Adam; not made out of his head to rule over him, nor out of his feet to be trampled upon by him, but out of his side to be equel with him, under his arm to be protected, and near his heart to be beloved. 18 Jadi, menurut Matthew Henry, perempuan dibentuk dari tulang rusuk laki-laki, untuk dilindungi dan dikasihi. Perempuan adalah mitra dalam melaksanakan mandat kebudayaan: beranak-cucu dan mengelola alam semesta ini. GERAKAN FEMINISME DI INDONESIA Dalam buku Ensiklopedia Feminisme, feminisme adalah penggabungan doktrin persamaan hak bagi perempuan (gerakan terorganisir untuk mencapai hak asasi perempuan) dan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan menciptakan dunia bagi perempuan melampaui persamaan sosial yang sederhana. Secara umum, feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya.19 Singkatnya, Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi/kesamaan dan keadilan hak dengan laki-laki. 18 Matthew Henry, Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible. McLean, vol. 1. (Virginia: MacDonald Publishing Company, 1706), 20. 19 Maggie Hunim, Ensiklopedia Feminisme (Panguntapan: Fajar Pustaka Baru, 2002), 158. Sejarah Gerakan Feminisme Gelombang pertama: Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan lahirnya era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, selatan Belanda, tahun 1785. Menjelang abad-19 Feminisme menjadi gerakan yang cukup mendapat perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, di mana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki, khususnya dalam masyarakat yang patriarkat, baik di bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik. Apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah, sedangkan kaum perempuan di rumah saja.20 Gelombang kedua: setelah berakhirnya perang dunia II, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa, maka lahirlah Feminisme gelombang kedua, tahun 1960. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih, dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Pelopor Feminisme gelombang kedua ini adalah Helene Cixous di Perancis (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis), dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria, yang kemudian menetap di Perancis). Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga, meliputi: Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Sebelumnya banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdenaan bagi laki-laki saja. Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuanperempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama.21 Gelombang ketiga: di Amerika Serikat, gerakan Feminisme lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan, tahun 1963. Friedan membentuk 20 Wapedia – Wiki: Feminisme, diakses 29 Desember 2009, 1-2. 21 Ibid., 4-6. http://wapedia.mobi/id/Feminisme, organisasi wanita bernama National Organization for Woman, tahun 1966, yang gemanya merambat ke segala bidang kehidupan. Gerakan Feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. 22 Pandangan yang merendahkan perempuan bukan hanya ada di luar kekristenan. Di dalam Gereja sendiri, tradisinya, seringkali perempuan dipandang sebagai harta milik, obyek, polusi yang membahayakan, dan yang paling keras adalah, perempuan dinilai tidak mampu menjadi gambar Allah, sehingga mereka dilarang menjadi pemimpin, pengkhotbah, dan pengajar dalam ibadah maupun pelayanan di Gereja. 23 Karena itu lahirlah Teologi Feminisme, yang memperjuangkan pembebasan dari patriarkhat dan menuju hubungan baru. Artinya pihak yang tadi berkuasa, melepaskan tuntutan dan kesombongannya, lalu membuka diri pada pihak yang lemah. Teologi Feminis di Asia, Afrika, dan Amerika Latin lahir dari pengalaman rohani dan tanggung jawab mereka yang merenungkan realitas Allah dan dunia. Teologi ini lahir dari kesengsaraan dan penghinaan kaum perempuan, dan keinginan memperoleh martabat dan keutuhan hidup. 24 Pengaruh Gerakan Feminisme dalam Gereja di Indonesia Kaum perempuan di Indonesia mengalami “nasib” yang serupa dengan para perempuan di negara-negara berkembang lainnya. Perempuan dianggap manusia kelas dua, orang belakang saja, tidak pantas tambil di forum, apalagi berbicara di khalayak ramai, menduduki posisi kepemimpinan, ataupun mendapat hak pendidikan yang layak, dan tidak memiliki hak bersuara. Perempuan juga dianggap sebagai obyek pemuas nafsu, pelampiasan emosi laki-laki, bertugas melahirkan banyak anak dan merawat anak-anaknya, dikomersiilkan (misalnya di iklan-iklan, sebagai pajangan di toko/mall, dll.), menjadi tontotan umum. Karena itu pulalah kaum perempuan di Indonesia menyambut gerakan Feminisme yang bangkit, baik di Eropa, Afrika, dan di Amerika Latin. Lain halnya dengan pelopor yang memperjuangkan nasib kaum perempuan adalah R.A. Kartini, yang kemudian diperingati perjuangannya tiap tgl. 21 April, karena dia telah memperjuangkan agar kaum perempuan 22 Wapedia – Wiki: Feminisme, …, 6-8. Lie Ing Sian, Sebuah Tinjauan terhadap Teologi Feminis Kristen. www.seabs.ac.id. Diakses 29 Desember 2009, 3. 24 Frommel, Pengantar Teologi …, 14,21. 23 mendapat kesempatan mengembangkan diri melalui bidang pendidikan. Itulah masa pencerahan bagi kaum perempuan Indonesia. Namun praktek di lapangan, diskriminasi terhadap kaum perempuan, baik secara terbuka maupun secara terselubung sulit untuk diberantas, karena hal itu sudah menjadi tradisi turun-tumurun.25 Di dalam Gereja sendiri, tidak lepas dari budaya bangsa Indonesia. Memang sudah banyak kemajuan, terbukti banyak kaum perempuan studi theologia secara formal, dan mendapat gelar, bahkan sampai ke jenjang S.3. Banyak pula perempuan yang menjadi pemimpin Gereja ataupun lembaga gerejawi. Namun ada beberapa denominasi Gereja yang masih memegang doktrin bahwa perempuan tidak boleh berbicara di depan forum dan/atau berkhotbah/mengajar. Kalaupun seorang perempuan selesaikan studi theologia, hanya sebatas menjadi majelis jemaat, melayani anak-anak, atau melayani ibu-ibu, anak-anak, dan sebagainya. SIKAP KRISTIANI TERHADAP GERAKAN FEMINISME DI INDONESIA Sikap Kristiani yang penulis maksudkan adalah bagaimana sikap orang Kristen terhadap Gerakan Feminisme. Di bawah ini penulis menjelaskan sikap Kristiani terhadap Gerakan Feminisme. Sebenarnya orang Kristen menghargai perempuan dan hak-haknya bukan karena adanya gerakan Feminisme muncul. Tetapi baik juga, bahwa gerakan Feminisme membantu orang Kristen untuk kembali mengingat ketetapan Allah tentang jati diri perempuan. Hanya saja jangan sampai mengikuti arus Gerakan Feminisme yang bermuatan negative, dengan melakukan gerakan-gerakan yang fulgar, misalnya melakukan demonstrasi massal menuntut hak-haknya, atau mengadakan gerakan-gerakan yang mau mendominasi kaum laki-laki, dan melepaskan tanggung jawabnya sebagai isteri dan ibu bagi anak-anaknya, serta tugas-tugas lain sebagai wanita. Juga Feminisme yang mempengaruhi dunia Teologi, di mana kaum perempuan melahirkan pola penafsiran Alkitab dari sudut pandang perempuan, dan demi kepentingan perempuan, sehingga jatuh pada ekstrim yang bersifat menyesatkan. Yang dapat mengubah konsep manusia tentang penilaian dan sikap terhadap kaum perempuan adalah jika benar-benar memahami jati diri perempuan menurut Firman Tuhan, terkhusus dalam Kejadian 1-2. 25 http://leeanarea_blogspot.com.id, diakses 29-12-2009, 5. Kitab Kejadian 1-2 membukakan kebenaran tentang jati diri perempuan. Itu harus difahami oleh setiap orang Kristen, baik laki-laki maupun perempuan. Sejak penciptaan, laki-laki dan perempuan diciptakan sederajat di hadapan Allah, tidak ada perbedaan kedudukan atau diskriminasi. Keduanya juga diberi tugas yang sama untuk melaksanakan amanat budaya, baik beranak cucu maupun untuk mengelola alam semesta ini. Meskipun perannya mungkin beda dalam hal-hal tertentu, namun nilainya sama di hadapan Tuhan. Karena itu sikap Kristiani terhadap perempuan juga adalah: menempatkan perempuan secara proposional, memberi hak suara, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk beraktualisasi diri, hak untuk mengungkapkan sebagai orang rendah, orang rumah saja, pemuas nafsu, obyek komersiil, dan sebagainya. Seyogyanya orang Kristen memberi penghormatan kepada perempuan, sebagaimana kepada laki-laki, meskipun tugasnya ada perbedaan dalam hal-hal tertentu. Sementara itu, kaum perempuan Kristen juga harus menghargai dirinya sendiri secara wajar, tidak rendah diri, dan juga sebaliknya tidak overacting. PENUTUP: KESIMPULAN DAN SARAN Feminisme lahir dari kerinduan para perempuan ingin keluar dari kungkungan atau tekanan budaya patriarkhat yang cenderung merendahkan dan merugikan kaum perempuan. Dan Feminisme ini juga berpengaruh dalam teologi, sehingga melahirkan Teologi Feminisme, yang melahirkan juga pola-pola penafsiran Alkitab, yang menguntungkan kaum perempuan. Gerakan Feminisme di Indonesia bisa memotivasi kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Namun gerakan ini tidak mampu secara tuntas meniadakan budaya patriarkhat yang sudah mendarah-daging di masyarakat Indonesia. Untuk itu, kaum perempuan, terma suk perempuan Kristen tidak bisa memaksakan haknya. Di kalangan Gereja, tentunya bukan karena adanya Gerakan Feminis barulah orang Kristen memberi penghargaan kepada kaum perempuan secara proporsional, melainkan berdasarkan Firman Tuhan sendiri, khususnya dalam Kitab Kejadian pasal 1-2, di mana perempuan diciptakan Tuhan sejajar dengan laki-laki, yakni menurut gambar atau rupa Allah sendiri, dengan tugas yang sama dalam melaksanakan Amanat Budaya, meskipun peran konkritnya berbeda. Dalam relasinya dengan laki-laki/suami, perempuan bertugas sebagai penolong. Ini satu tugas istimewa. Dan bahwa perempuan diciptakan untuk dikasihi dan dilindungi, karena dari satu tulang rusuk yang berasal dari laki-laki. Adapun beberapa saran konkrit bagi semua pembaca pembahasan topik ini adalah sebagai berikut. Pertama, orang Kristen penting untuk memiliki pemahaman yang benar tentang jati diri perempuan menurut Kitab Kejadian 1-2, bahwa lakilaki dan perempuan diciptakan sederajat sebagai gambar atau rupa Allah sendiri, dengan mandat yang sama, meskipun fungsinya ada yang berbeda. Perempuan ditetapkan Allah sebagai penolong bagi laki-laki/suami, bukan pemimpin yang mendominasi laki-laki, dan bukan pula budak yang bisa diperlakukan sekehendak laki-laki. Perempuan diciptakan Tuhan dari tulang rusuk laki-laki, untuk dikasihi dan dilindungi. Dengan memahami kebenaran Firman Tuhan ini, maka orang Kristen tidak perlu terpancang kepada gerakan Feminisme yang baru lahir pada abad 19. Kedua, orang Kristen perlu mengenal Feminisme dan pengaruhnya di Indonesia. Meskipun orang Kristen sudah memiliki pemahaman Firman Tuhan tentang keberadaan dan status perempuan, namun perlu juga mengenal gerakan Feminisme dan pengaruhnya di Indonesia, supaya bersikap antisipatif terhadap ekses-ekses negative dari gerakan ini, misalnya demonstrasi menuntut hak perempuan, ataupun melakukan berbagai aksi yang fulgar dan overacting. Ketiga, sistem hermeneutik gerakan Feminisme bersifat bebas, yang penting menguntungkan kaum perempuan. Maka system hermeneutik seperti ini sangat menyesatkan, karena memaksakan Firman Allah untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan si penafsir. Karena itu orang Kristen jangan mengadopsi sistem hermeneutik Feminisme. Keempat, Gereja kiranya sangat mewaspadai pengaruh gerakan ini yang bisa menyusup secara halus di dalam jemaat, dengan kedog rohani, khususnya di kalangan kaum perempuan, misalnya kaum perempuan mengadakan banyak kegiatan rohani di luar rumah, membuat organisasi tertentu dengan sering mengadakan meeting, yang pada akhirnya melalaikan tugas pentingnya di dalam keluarga, bahkan sudah tidak lagi menghargai suaminya sebagai kepala keluarga. Kelima, di sisi lain, Gereja seyogyanya memposisikan kaum perempuan secara proporsional, sesuai Firman Allah, dan sesuai talenta dan kemampuan yang dimiliki oleh tiap perempuan di dalam jemaatnya. Jangan pernah meremehkan kaum perempuan, karena Tuhan sudah meletakkan potensi-potensi khusus di dalam diri perempuan, yang kaum laki-laki tidak memilikinya, sehingga akan lengkap jika kaum perempuan dan kaum lakilaki bekerja bersama-sama. POSTMODERNISME DAN GEREJA RIDWAN HENRY SIMAMORA PENDAHULUAN Ketika kita pindah ke abad duapuluh satu dari abad dua puluh, muncullah perspektif baru tentang cara mengamati dunia. Terdapat perbedaan respons, aksentuasi makna dan semangat ketika postmodernisme difahami sebagai era kesejarahan dan arus pemikiran, meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang amat erat: yang pertama mengajak kita untuk memusatkan pada kajian sosiologis terhadap kehidupan masyarakat postmodern, sedang yang kedua pada analisa konseptual-filosofis. Kerangka berpikir postmodern dapat disebut ”postmodernisme”, yang tidak hanya berbeda dengan premodern dan sudut pandang modern tetapi juga mempunyai berbagai perspektif-perspektif modern di dalam pergerakannya. Dalam upaya pemetaan wilayah pemikiran postmodernisme, penulis berusaha untuk menyajikan fenomena dasar yang menjadi arus utama pemikiran postmodernisme, yang pada akhirnya mempengaruhi semua kultur. Penulis tidak berasumsi bahwa fenomena yang akan diuraikan dapat menerangkan secara lengkap alur pemikiran postmodernisme. Berkaitan dengan hal tersebut, materi ini juga berusaha untuk menyajikan dan memaparkan sikap gereja yang perlu dipertahankan dan dikembangkan dalam menyikapi tantangan spirit zaman postmodernisme. PENGERTIAN POSTMODERNISME Secara definitif cukup sulit untuk merumuskan terminologi postmodernisme. Istilah ”postmodern” dipergunakan dalam berbagai arti, dan tidak mudah untuk memetakan atau merumuskan satu defenisi yang bersifat menyeluruh. Kekaburan makna istilah ”postmodern” diakibatkan oleh akhiran ”isme” dan awalan ”post” yang digunakan pada istilah ”postmodernisme.” Berkaitan dengan hal itu, Bambang Sugiharto menyatakan bahwa, ”yang pertama menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Yang kedua menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.”1 Kevin O’Donnell menyatakan pendapatnya mengenai postmodernisme sebagai ”nama yang diberikan pada serangkaian pendirian filsafat dan gaya estetika yang sudah berkembang sejak tahun 1950-an. Postmodernisme merupakan gerakan yang berbeda-beda, dengan beberapa paham bertentangan, tetapi istilah ini cocok karena ia mendeskripsikan beberapa fitur dominan.” 2 Postmodernisme sebagai sebuah arus pemikiran ataupun sebagai fenomena sosial sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang hangat. Setiap wilayah disiplin ilmu akan melihatnya dengan cara yang beragam. Dalam salah satu karya yang paling ternama tentang subjek ini, yaitu La condition postmoderne, Lyotard berpendapat bahwa kondisi postmodern sudah dimulai bahkan sejak tahun 1950-an, ketika ”ilmu pengetahuan berubah statusnya bersamaan dengan masyarakat bergerak memasuki zaman yang disebut posindustrial dan kebudayaan masuk ke dalam zaman yang disebut posrmodern.”3 Lepas dari sikap pro dan kontra terhadap pengertian postmodernisme dan luasnya wilayah yang bersentuhan dengannya, serta kompleksitas yang dikandung oleh istilah ”postmodernisme,” maka istilah yang dapat memberi gambaran umum untuk mengacu kepada postmodernisme adalah: ”Postmodernisme sebagai bentuk sikap kritis terhadap paradigma modern baik pada tingkat reflektifteoritis maupun praksis sosio-kultural saat ini.”4 Oleh karena itu, dapat di sebutkan bahwa era postmodernisme sebagai ”spirit zaman” dari periode modern. Artinya postmodern bukanlah sebuah era baru yang sama sekali baru, seperti halnya pergerakan dari era pramodern menuju era modern. Postmodern adalah ”era modern yang sama” (jika bisa dikatakan demikian), namun spiritnya melampaui spirit zaman modern. Untuk memahami pergerakan postmodernisme harus dilihat dari etosnya, 5 bukan pengertian temporalnya, sebagai gagasan ekstrim dalam mengkritisi spirit era modern. 1 I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 24. 2 Kevin O’Donnell, Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 6. 3 Francois Lyotard, La Condition Postmoderne (Paris: Les Editions de Minuit, 1979), 11 sebagaimana dikutip oleh Radhar Panca Dahana, Jejak Postmodernisme, (Yogyakarta: Bentang, 2004), 23-24. 4 I. Bambang Sugiharto, Wajah Baru Etika & Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 13. 5 Stanley J. Grenz, menjelaskan secara luas mengenai etos postmodernisme dalam A Prime On Postmodernism (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2001), 25-27. ISU-ISU POSTMODERNISME Mengingat begitu luasnya wilayah arus kultur dan filosofi postmodernisme, maka penulis membatasi hanya pada enam aspek arus pemikiran postmodernisme yang dapat mewakili secara keseluruhan arus pemikiran postmodernisme yang dapat mempengaruhi cara hidup dan cara berpikir Gereja. Kritik Terhadap Modernitas Postmodernisme dengan agresif mengkritik tradisi modern yang berkaitan dengan kultur, teori, dan politik, dan lain-lain. Postmodernisme juga mengacu pada satu kondisi umum di dalam kultur massa Barat, hal itu dapat dilihat dengan berbagai cara yang berbeda-berbeda. Postmodernisme dapat dilihat sebagai penolakan pendekatan berdasarkan norma dari pandangan modern. ”Postmodernism has been variously referred to as a cultural theory, a way of life, an expression of disenchantment with modernism, a loosely bound collection of anti-modern ideas and as a social deconstruction - just to name a few designations.”6 Postmodernisme mengacu pada teori kultural dan cara hidup yang membebaskan diri dari ikatan bersama secara sosial. Postmodernisme mengklaim dirinya sebagai perwujudan baru dari modernisasi, progresivitas pembaruan yang hendak ditawarkannya merupakan antiklimaks dari budaya modernisasi. Modernitas sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad pertengahan oleh nilai-nilai baru modernisme dengan menggunakan kekuatan rasional untuk memecahkan segala persoalan kamanusiaan, dan menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos tradisional. 7 Era modern menggunakan kekuatan rasional untuk memecahkan segala persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos tradisional. Tetapi pada tataran perilaku budaya yang meluas pada wilayah hegemonik, bangunan modernisme dianggap telah gagal menyejahterakan umat manusia; perdamaian dan keadilan politik di muka bumi ini, sehingga dibutuhkan pembaharuan terhadap cara pandang dan cara hidup dunia yang lebih baik dari era sebelumnya, maka lahirlah perspektif baru yang disebut “Postmodernisme.” 6 7 http://www.iscid.org/encyclopedia/Postmodernism www. @rief gun' Nalar HMI Antara Modernisme dan Postmodernisme.htm Dekonstruksi Kerangka berpikir postmodernisme mempertanyakan hampir semua konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam era modern (Agama, Sosiologi, Psikologi, Antropologi, Sejarah, Fisika, dll), yang pada era modern telah diterima dan baku, kemudian dipertanyakan ulang kembali. Apa yang telah dianggap secara baku (ilmiah dan objektivitas) pada era modern yang telah dibangun secara kokoh dan berlaku secara universal, dianggap tidak lagi dapat memenuhi perkembangan pada saat ini, sehingga perlu membuat teori baru dengan perspektif baru yang lebih baik dari pada era sebelumnya. Istilah ”Deconstructionism” dipopulerkan oleh filosof perancis Jacques Derrida. Berkaitan dengan pendapat Derrida, Hick menjelaskan dengan jelas pendapat Derrida dengan mengatakan bahwa, Derrida sees reality as defined subjectively by language, and language as unable to access reality, being simply a collection of signs based on signifiers that refer to chains of other signifiers, which together formulate an incomplete, contextual and subjective reality. He is the originator of the principle of deconstruction, a process which involves detailed inspection of a text to determine its weaknesses and flaws – especially in terms of self contradiction, blind assumptions, blind spots, elements of aporia and other fallacies, to bring the intended meaning of the text undone – to deconstruct it.8 Derrida adalah pemula prinsip dari dekonstruksi, sebuah proses yang melibatkan pemeriksaan terperinci terhadap satu teks untuk menentukan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya khususnya dalam istilah-istilah pertentangan diri, asumsi-asumsi yang buta, kelemahan, unsur-unsur aporia dan buah pikiran yang keliru, untuk 8 www. Ivpress.com; Hicks, P. The Story So Far - Philosophy Through the Ages, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003); Derrida melihat kenyataan seperti yang digambarkan secara subyektif oleh bahasa, dan bahasa tidak mampu untuk mengakses kenyataan, hanya sebuah koleksi tanda-tanda berdasarkan pada yang memberi arti yang mengacu pada rantai-rantai dari yang lainnya, yang bersama-sama merumuskan suatu yang tak lengkap, kenyataan subjektif dan kontekstual. Ia adalah pemula prinsip dari dekonstruksi, sebuah proses yang melibatkan pemeriksaan terperinci terhadap satu teks untuk menentukan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya - khususnya dalam istilah dari pertentangan diri, asumsi-asumsi yang buta, kelemahan, unsur-unsur aporia dan buah pikiran yang keliru, untuk membawa makna termaksud teks yang dilepaskan - untuk dilakukan dekonstruksi. membawa makna termaksud teks yang dilepaskan - untuk dilakukan dekonstruksi. Ali Maksum menyebutkan bahwa “Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks secara interpretative atau, katakanlah, suatu hermeneutik dengan cara radikal. Berbeda dari hermeneutik “normal” yang mencoba merekonstruksi kembali isi asli sebuah makna atau suatu jaringan makna, dekonstruksi justru meninggalkan usaha rehabilitasi seperti itu.” 9 Dalam pandangan Deridda, untuk memahami teks secara baik, orang harus berani melakukan ”pembongkaran” (dekonstruksi) terhadap yang telah ada termasuk terhadap teks-teks keagamaan. Berkaitan dengan maksud Derrida tersebut, Grenz menjelaskan, bahwa: Derrida hendak melucuti cita-cita modern yang memandang filsafat sebagai ilmu murni, sebagai suatu penilaian objektif. Ia juga menolak konsep adanya hubungan langsung antara bahasa kita dan realitas di luar kita. Senjata yang Derrida gunakan adalah dekonstruksi.”10 Sehingga kebenaran tidak ditentukan oleh realitas diluar kita, melainkan ditentukan oleh bahasa. Antimetanarasi Postmodernisme menolak narasi ketunggalan yang disebut kritik terhadap ”metanarasi”. Hal ini tentu berangkat dari konvensi-konvensi naratif. Naratif tidak boleh mempunyai satu kebenaran. Berkaitan dengan hal tersebut, Richard Rorty mengemukakan bahwa, Dunia ini tidak berbicara. Hanya kita yang berbicara. Dunia bisa, ketika kita telah memprogram diri kita sendiri dengan sebuah bahasa, menyebabkan kita berpegang kepada sejumlah kepercayaan. Tetapi dunia tidak bisa menawarkan sebuah bahasa untuk kita gunakan. Hanya manusia lain yang bisa melakukannya .... Bahasabahasa dibuat dan bukan ditemukan, dan .... kebenaran merupakan suatu properti entitas-entitas linguistik, dari kalimat-kalimat.11 9 Ali Maksum, Pengantar Filsafat (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 331. Grenz, A Prime on …, 234. 11 Richard Rorty, Contigency, Irony and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 6-7, sebagaimana dikutip oleh James W. Sire, The Universe Nex Door (Surabaya: Momentum, 2005), 241. 10 Kerangka berpikir Postmodern memberi penekanan bahwa bahasa yang kita gunakan untuk menuturkan kisah-kisah kita adalah, seperti yang dikemukakan Nietzsche: Jika demikian, apakah kebenaran itu? Sepasukan metafora, metonim dan antropomorfisme yang bergerak – singkat kata, kumpulan hubungan manusia, yang telah dipertajam, diubah bentuknya, dan diperindah secara puitis dan retoris, dan telah digunakan untuk waktu yang lama menjadi terlihat teguh, kanonis, dan wajib bagi satu bangsa: kebenaran adalah ilusi yang dilupakan orang bahwa itulah sebenarnya kebenaran itu; metafora yang usang dan tanpa kuasa yang mengesankan; koin yang telah kehilangan gambarnya dan sekarang hanya logam, bukan koin lagi.12 Dengan demikian, tidak ada kebenaran yang dapat dibuat oleh manusia yang bersifat objektif, yang ada hanyalah bahasa-bahasa yang menentukan nilai kebenaran. Pada wilayah bahasa dan agama yang mengemuka adalah bahwa metanarasi telah hilang kekuatannya, karena ada banyak bahasa di dunia, maka ada banyak kebenaran yang dikisahkan oleh masing-masing bahasa. Relativisme Postmodernisme membuat pengingkaran atas setiap eksistensi obyektif dan permanen. Atas dasar pemikiran relativisme yang diyakini, pemikiran postmodernisme berusaha membangun dan mengembangkan serta menyebarkan doktrin bahwa tidak ada tolok ukur sejati dalam penentuan obyektifitas dan hakekat kebenaran. Berkaitan dengan hal itu Holmes mengatakan, bahwa: Relativism today is to be found in most areas of enquiry. Ethical relativists see moral standards as culturally relative; situational ethics rejects universally binding moral rules in favour of decisions dependent on their peculiar contexts. Religious relativists view differsent religious belief and practices as legitimate products of deifferent historical and culture setting. Relativism has even arisen in the natural sciences, with the realization that the growth of scientific of personal and sociological, rather than just experimental or mathematical, factors.13 12 Nietzsche, “On Truth and Lie in an Extra-moral Sense,” di dalam The Portable Nietzche. Terj. Walter Kaufmann (New York: Viking, 1954), 46-47); sebagaimana di kutip oleh Sire, The Universe Nex …, 240. 13 A. F. Holmes, “Relativism,” New Dictionary of Theology, Sinclair B. Ungkapan Nietzsche yang terkenal, yaitu: “God is Dead” terus merebak dan semakin digemari, serta bahkan mempesona banyak kalangan di banyak negara Barat. Nietzsche, sebagai pelopor dan penganjur ketidakpercayaan telah mempengaruhi para pakar postmodernisme. Ketika ia menyampaikan jargonnya yang terkenal ”Allah telah mati”, ia sedang menghantam dan menjungkir balikkan tradisi Kristen. Ia berbicara tentang berlalunya satu dunia di mana makna dan nilai yang sebelumnya telah berakar dalam hal-hal transenden, sekarang telah berlalu (pada era postmodern). Ernest Gellner, seorang antropolog memberi pernyataan yang baik dengan menjelaskan bahwa postmodernisme tidak lain dan tidak bukan adalah relativisme dalam bentuk dan wajahnya yang baru. 14 Berkaitan dengan hal itu, White menerangkan lebih lanjut dengan mengemukakan, bahwa: ”The value of moral relativism” state that what is moral is dictated by a particular situation in light of a particular culture or social location. The usual pharaseology is “what is true for you is true for you, and what is true for me is true for me.”15 Oleh karenanya, manusia postmodernisme dengan kerangka berpikirnya, tidak mau terikat dan tunduk pada ideologi permanen apapun, termasuk ideologi agama. Dengan demikian era postmodern dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme yang di dominasi oleh relativisme. Pluralisme Era postmodern telah menimbulkan pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. Namun kini persoalannya menjadi lain, oleh perkembangan teknologi, interaksi sosial, politik dan ekonomi pada Ferguson & David F. Wright (ed.), (Leicester: Inter-Varsity Press, 1988), 574-575; Sekarang relativisme menemukan banyak area untuk diselidiki. Relativis etis melihat standard-standard moral sebagai relatif kultural; etika situasional menolak aturan moral yang berlaku secara universal. Relativisme agama memandang perbedaan kepercayaan agama dan prakteknya sebagai produk-produk yang sah dari perbedaan latar belakang historis dan kultur. Relativisme bahkan telah muncul di dalam ilmu pengetahuan alam, dengan perwujudan bahwa pertumbuhan dari ilmiah kemasyarakatan dan pribadi, lebih dari sekedar faktor-faktor percobaan atau matematika. 14 Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion (New York: Routledge, 1992), 24. 15 James Emery White, “Evangelism in a Postmodern World,” dalam The Challenge of Postmodernism (Grand Rapids: Baker Academic, 2001), 172. era postmodern telah membawa proses globalisasi yang tidak terkendali, sehingga pluralisme menemukan bentuknya yang sempurna pada era postmodernisme. Grenz menyebutnya sebagai hidup dalam desa global, dimana penduduknya memiliki keanekaragaman budaya dibumi. Kemudian muncullah kesadaran pluralisme yang menghasilkan sikap toleransi terhadap kelompok lain.16 Pada perjalanannya, pluralitas telah mengkristal dalam bentuknya yang lebih sempurna pada era postmodern yang kemudian menghasilkan pluralisme yang lebih transparan. Sugiharto menjelaskan kondisi yang transparan tersebut telah menimbulkan bentuk pluralisme yang lebih tajam dan berbeda dengan era sebelumnya, ia menyatakan, bahwa: Pluralisme menjadi lebih luas serentak lebih tajam menantang refleksi. Kini pluralisme bukan lagi sekedar teori filosofis tentang ’yang satu’ dan ’yang banyak’ seperti yang dipikirkan para filsuf sejak zaman Yunani kuno. Bukan pula sekedar fakta yang cukup dihadapi dengan keputusan yuridis, ataupun dengan tanpa peduli, dengan koeksistensi diam dan dengan toleransi yang malas. Plurlisme kini membawa persoalan eksistensial yang serius, yakni bagaimana kita bisa hidup secara berarti di tengah demikian banyak pendapat tentang hidup, manusia, dan dunia.17 Dengan demikian bentuk pluralisme tersebut semakin menampakkan wujudnya yang transparan dan baku bila dibangdingkan dengan era sebelumnya. Gambaran bentuk pluralisme pada era postmodern semakin jelas dan memperoleh tempat yang sentral dalam segala fenomena kehidupan; budaya, agama, keluarga, etnis, ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain-lain. Industri Media Massa Teknologi Informasi adalah prestasi dan kebanggaan pada era postmodern. Dunia maju menyaksikan ledakan teknologi lebih lanjut sesudah Perang Dunia II, ketika bangsa-bangsa membangun kembali ekonomi mereka, dan penemuan berkembang. “Televisi membawa dunia lebih dekat, dan menciptakan “desa global” menurut istilah Marshal Mc Luhan. Komputer yang tadinya mahal dan besar masuk kedalam rumah 16 17 Grenz, A Prime on…, 35. Sugiharto & Rahmat. W. Wajah Baru Etika..., 146. dengan revolusi silicon. Internet–awalnya peralatan militer– menghubungkan manusia lebih cepat terlebih dengan email, yang dapat menjelajahi bulatan bumi dalam menit,” 18 Media informasi merupakan jalan raya bagi perkembangan postmodernisme dalam mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir yang berbeda dengan era sebelumnya, inilah yang disebut dengan “etos postmodernisme.” Signifikansi media massa (televisi, Internet, film, hand phone, musik, iklan, dll) di dalam mengubah atau membelokkan perspektif manusia tentang segala hal dari “kenyataan,” telah memberi kesempatan secara luas bagi pergerakan postmodernisme. Berkaitan dengan hal itu, Veith, Jr mengatakan bahwa: Postmodernist philosophers argue that all truth is a kind of fiction; postmodernist artist attempt to blur the distinction between art and reality. Such theories may seem esoteric, but they are the bread and butter television. The boundary between fiction and reality blurs every day on the news, which shapes actual occurrences into “media event.19 Meledaknya industri media massa pada era postmodern telah memberi dampak yang luas dalam tatanan hidup masyarakat, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi seperti "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku dan cara berpikir orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, seperti program televisi, musik, iklan dan film, dan di Indonesia dikenal dengan “telenovela” atau “sinetron”. Media massa telah begitu kuat memberi pengaruh ketertarikan pada apa yang dapat diakses dan yang dikonsumsi, ia bagaikan “candu” bagi penikmatnya, sehingga dapat membuat setiap penggunanya tidak mampu lagi untuk menentukan gambaran yang sesungguhnya (realitas). PENGARUH POSTMODERNISME Postmodernisme sebagai sebuah kekuatan kultur dan filosofis telah menjelma seperti menggurita dengan tangan-tangan kuatnya mencapai dan 18 O’Donnell, Postmodernisme …, 18. Gene Edward Veith, Jr, Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and Culture (Wheaton: Crossway Books, 1994), 122. 19 memberi pengaruh yang signifikan. Mengingat begitu luasnya wilayah pengaruh kultur postmodernisme dan tidak cukup tempat untuk menguraikan pada tulisan ini, maka penulis membatasi hanya pada beberapa aspek fenomena pengaruh postmodernisme yang sering terkait dengan wacana-wacana budaya, yang mulai mengarah pada entitas perilaku, termasuk dalam relasi hegemoni. Pengaruh teknologi dalam Perubahan Moralitas Teknologi informasi telah memberikan kemudahan pada masyarakat pengguna, tetapi pada sisi lain oleh penggunaan produk-produk tersebut telah menciptakan kesempatan yang amat luas pada kehidupan manusia. Grenz mengemukakan bahwa informasi pada era postmodern mengalir ke seluruh dunia secepat cahaya dengan memaparkan bahwa: Era informasi tidak hanya mengubah pekerjaan kita, tetapi juga menghubungkan seluruh belahan dunia. Masyarakat informasi berfungsi berdasarkan jaringan komunikasi yang meliputi seluruh muka bumi. Efisiensi sistem tersebut sangat mengejutkan. Pada masa lalu, informasi tidak secepat perjalanan manusia. Tetapi sekarang informasi dapat mengalir ke seluruh dunia secepat cahaya. Yang lebih mengagumkan lagi adalah kemampuan era postmodern untuk mendapatkan informasi dari mana saja secara cepat. 20 Teknologi dapat menjadi alat untuk menyebarkan Firman Allah. Tetapi kondisinya menjadi lain dan bahkan menimbulkan persoalan yang serius, ketika media massa bersatu padu dengan budaya hiburan, maka masyarakat menjadi pengguna yang radikal dimana masyarakat mendapat akses semua bentuk informasi tindak kejahatan dan pendidikan yang menyimpang. Berkaitan dengan hal itu, Blamires mengatakan dengan tegas dampak yang dialami masyarakat dalam pendidikan keluarga, dengan mengemukakan, Tetapi sekarang, mereka mendapat makanan moral intelektual dari sumber-sumber lain. Mereka dulu di didik untuk berasumsi bahwa pernikahan melibatkan komitmen seumur hidup pada pasangan mereka. Mereka sekarang dibujuk oleh surat kabar dan media lain untuk merasakan berbagai kebiasaan amoral yang dinikmati oleh 20 Grenz, A Prime on…, 34. makhluk-makhluk rusak dari dunia panggung, film, dan musik pop.21 Masyarakat semakin terbuka terhadap informasi yang negatif dan dapat melakukan tindak kejahatan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kemajuan dalam setiap produk teknologi telah memungkinkan nilai-nilai amoral, seperti pornografi, kekejaman dan tidakan sadistis dapat disalurkan dan dinikmati melalui TV, Video, Komputer, Internet, Handphone dan lain-lain secara sempurna. Kenyataan ini telah memberi model-model kriminalitas pada masyarakat, bahkan sampai bentuk-bentuk yang ekstrem di mana media tersebut merupakan bagian dari kebutuhan komunitas tersebut. Tidak hanya itu, teknologi juga telah memaksa manusia menjadi manusia yang tidak lagi spesial dan kehilangan martabat sebagai pencipta alat informasi dan dosa tidak lagi sesuatu yang esensial. Kristalisai Budaya Populer Postmodernisme mengklaim dirinya sebagai perwujudan baru dari modernisasi, progresivitas pembaruan yang hendak ditawarkannya merupakan antiklimaks dari budaya modernisasi. Dalam perilaku budaya yang meluas pada wilayah hegemonik. Berkaitan dengan hal itu, Adams menyatakan bahwa pengaruh kultural Barat begitu mempengaruhi kebudayaan masyarakat, Although primarily a Western cultural movement, the postmodern is having an effect upon the intellectual life of many cultures, including those of Asia. In Korea, for example, the state television network KBS ran a two-part series in early 1993 on postmodernism and its influence.22 Kristalisasi kultur dunia (budaya popular) yang menampakkan wujudnya dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk budaya popular tersebut dapat dilihat dari berbagai macam dan menjamurnya restoran-restoran dan tempat-tempat hiburan yang bercirikan budaya barat, menu makanan, musik, film, pakaian dan gaya hidup internasional, dan bahkan sampai kepada pemakaian obat-obatan terlarang. Budaya postmodern cenderung menciptakan manusia postmodern yang bersifat materialisme, hedonisme dan konsumerisme. Perwujudan seperangkat hasrat untuk mendapatkan 21 Harry Blamires, The Post Christian Mind: Mengenal Perlawanan Terhadap Wawasan Kristen (Surabaya: Momentum, 2003), 32-33. 22 Daniel J. Adams, Toward A Theological Understanding Of Postmodernism, http://www.crosscurrents.org/adams.htp, 2. kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme pelebelan sebagai bentuk budaya populer. Hal itu ditandai oleh dua ciri khas postmodern seperti yang dinyatakan oleh Grenz yaitu, ”Budaya pop zaman kita mempunyai dua ciri khas postmodern: Pluralisme dan anti rasionalisme. Seperti nyata dari cara mereka berpakaian dan musik yang mereka dengar .... Mereka hidup dalam dunia yang tidak membedakan antara kebenaran dan dongeng.”23 Perubahan Paradigma Spiritual Manusia postmodernis tidak boleh terikat pada ideologi permanen apapun, termasuk ideologi agama, maka kondisi ini menimbulkan pencarian jati diri dan spiritualitas yang semu. Sire mengutip pernyataan sarjana postmodern Ihab Hassan yang mendorong suatu spiritualitas yang samar, dengan mengatakan, bahwa: ”Ini yang saya tahu,” ia menjawab, ”tanpa roh perasaan kekaguman kosmis, mengenai keberadaan dan moralitas pada batas yang terluas, yang kita semua rasakan, eksistensi dengan segera tereduksi menjadi hanya keberlangsungan.” 24 Postmodernisme melihat Allah tidak lagi sebagai pusat penyembahan satusatunya, melainkan telah digantikan dengan bentuk yang lebih populer dan dapat diterima tanpa harus memberi pertanggungjawaban. Dunia yang simplistik yang diciptakan oleh teknologi media informasi telah mempermudah orang untuk menikmati egoismenya secara radikal bahkan menggiring orang menjadi hedonis-hedonis. Allah yang hidup diciutkan oleh Allah yang dapat divisualisasikan oleh teknologi. Berkaitan dengan hal itu, Webster mencermati kekuatan teknologi yang mampu memberi kenikmatan pada diri sendiri serta menghasilkan spiritualitas yang semu. Teknologi menciptakan lingkungan rohani semu yang membuat manusia percaya bahwa dia bebas dan tidak bergantung kepada Tuhan semesta alam. Pada umumnya, kegagalan dan bukan keberhasilan yang membuat manusia sadar akan Allah. Kekuatan ekonomi, pertumbuhan industri, penemuan ilmiah, kemajuankemajuan dalam pengobatan dan penjelajahan angkasa raya tidak akan membuat manusia memikirkan Allah. Perang dan bencana atau musibah dapat membuat orang tertutup bagi Allah, namun keberhasilan teknologi membuat orang mengabaikan Allah. 25 23 Grenz, A Prime on..., 60-61. Sire, The Universe Next …, 261-262. 25 Douglas D. Webster, Kehidupan Kristen Dalam Kebudayaan Dunia (Malang Gandum Mas, 1990), 63. 24 Postmodernis dalam hal penolakan mereka akan kebenaran yang objektif memiliki kesamaan dengan Hinduisme dan Buddhisme, yang mengajarkan bahwa dunia luar (external world) adalah sebuah ilusi dari pikiran manusia. Agama-agama Timur juga turut andil memberi sumbangsih dasar bagi perkembangan spiritualisme. Kondisi ini pada dataran praksis akan menghasilkan apa yang disebut dengan “nihilisme”, kekosongan. Kosong dari prinsip, ideologi, argumentasi rasional, logika sehat, pemahaman teks, dan kekosongan konsep beragama serta kekosongan spiritualitas. Perubahan Paradigma Kebenaran Postmodern melahirkan pluralisme agama-agama, karena tidak ada kisah tunggal yang menyatakan kebenaran, melainkan banyak kisah atau cerita yang menyatakan tentang kebenaran. Sire menjelaskan lebih lanjut, bahwa menurut posmodernisme ”Kebenaran adalah apa yang disepakati oleh rekan-rekan kita (komunitas kita). Jika kita bisa membuat mereka mempergunakan bahasa kita, maka – seperti para ”penulis puisi yang kuat” seperti Musa, Yesus, Plato, Freud – kisah kita sama benarnya dengan yang mungkin dicapai oleh kisah lainnya.” 26 Wahyu mengenai kebenaran diklaim tidak hanya milik agama Kristen, karena satu-satunya kebenaran yang ada adalah kebenaran yang pragmatis, tidak ada kebenaran yang korespondensi. Pemikiran postmodernisme berusaha membangun dan mengembangkan serta menyebarkan doktrin bahwa tidak ada tolok ukur sejati dalam penentuan obyektifitas dan hakekat kebenaran. Maka implikasi theologis dan logis adalah soteriologi bersifat univeralisme dan Kritus bukanlah satu-satu jalan keselamatan serta Alkitab sebagai firman Allah bukanlah kebenaran yang mutlak. Inilah yang disebut dengan dominasi pluralisme agama-agama dan hilangnya esensi kebenaran pada era postmodern. Ketiadaan dan menolak kebenaran yang tunggal. Perubahan Paradigma Teologi Cara berpikir postmodern telah mengaburkan sistem theologia yang telah diterima dan diajarkan oleh para rasul, yang dipertahankan dan disebarluaskan oleh bapa-bapa gereja, serta yang telah dipercayai dan 26 Sire, The Universe Next …, 241. dipegang teguh serta disebarluaskan oleh gereja reformasi. Dengan menyatakan tidak ada lagi klaim eksklusif dari iman Kristen yang di dasarkan pada Kristus, sebab kita juga harus mengakomodasikan imaniman kepercayaan lain, seperti yang dikemukakan oleh Phillips yaitu, thus, postmodern forms of pluralism deny the concept of revelation as given in the Bible; there is no single revealed metanarrative which encompasses all religious experience.27 Wacana dekonstruksi yang dikembangkan oleh Jacques Derrida menghantam secara radikal pemahaman keagamaan yang mengusung kebenaran mutlak. Dengan jargon menolak semua kebenaran yang objektif dan absolut menjadi ancaman yang serius bagi theologia Kristen. Berkaitan dengan hal itu, Phillips mengemukakan bahwa, In theology, not only do different “Christian” theologies contain various conflicting meta-narrative (such as evangelical theology, liberation theology, feminist theology, black theology, gay theology), but the meta-narratives of other religion have equal claim to truth – but to a truth which is non-absolute and nonnormative.28 Tidak ada yang bersifat normatif, maka Tuhan pun dipertanyakan kebenarannya. Perubahan Paradigma Hermeneutik Postmodernisme pada dasarnya menolak semua argumen mengenai otoritas Alkitab, karena tidak ada kebenaran yang objektif. Menurut Kant, bahwa diri (self) tidak dapat menemukan secara objektif apa yang ada di dalam dunia, tetapi sebaliknya yaitu,Projects order creatively upon the world.29 Ide kebebasan yang bersifat subyektifisme dalam postmodernisme ini memuncul satu budaya yang disebut dengan “Budaya Penafsiran” yang merupakan produk penting dari postmodernisme. Budaya penafsiran postmodernisme tersebut diprakarsai dan dipopulerkan oleh Derrida dengan jargon ”Dekonstruksi”. Hermeneutik dekonstruksi adalah merupakan usaha untuk membongkar setiap teks dan berusaha menemukan kontradiksikontradiksi yang terdapat di dalam teks, sebab tidak ada arti yang tetap di dalam teks itu sendiri. 27 Gary Phillips, “Religious Pluralism in a Postmodern World,” dalam The Challenge of Postmodernism (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2001), 137. 28 Ibid., 137. 29 Ibid., 67. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Phillips mengemukakan hal itu merupakan ciri hermeneutik postmodernisme dengan memaparkan bahwa, Postmodernism makes a hermeneutical distinction between the text and any objective meaning. There is no fixed meaning in any proposition or in language itself.30 Aspek inilah yang merupakan pencetus budaya tafsir postmodernisme dalam perubahan paradigma hermeneutika sebagai suatu upaya pencarian untuk menjadikan teks yang masih bisa diterima oleh pembaca yang skeptis. Dengan demikian setiap orang dapat dengan bebas memberi tafsiran terhadap teks dengan “sesuka hati”, tanpa ada aturan serta merendahkan artinya sehingga mengabaikan maksud penulisan teks. MENYIKAPI TANTANGAN POSTMODERNISME PADA MASA KINI DAN MASA YANG AKAN DATANG Gereja tidak perlu takut menghadapi postmodernisme, karena postmodernisme menyangkut realitas kesejarahan, dan atas dasar pemahaman serta kesadaran bahwa kesejarahan ada dalam kedaulatan Allah. Allah berkuasa dan memerintah sejarah. Gereja menghadapi dua raksasa besar, yaitu modernisme dan postmodernisme. Kendatipun modernitas mengalami kemerosotan, namun jejak-jejaknya masih terlihat jelas pada pergerakan postmodernitas. Pemikiran dan sikap apakah yang perlu dikembangkan dalam konteks tersebut? Ada beberapa wilayah pemikiran dan sikap, walaupun tidak menyeluruh, yang dapat dipertahankan dan dikembangkan oleh Gereja untuk masa kini dan masa yang akan datang. Mengembalikan Jemaat Kepada Alkitab Untuk menghadapi pengaruh negatif, baik faham modern maupun postmodern orang Kristen harus kembali kepada kebenaran Alkitab. Alkitab harus menjadi dasar dan ukuran bagi kehidupan orang-orang percaya. Pendekatan kepada Alkitab harus bersifat menyeluruh dan dapat menggunakan teori-teori hermeneutika yang dapat dipertanggungjawabkan. Jujur terhadap teks dan konteks. Tidak asal comot, tidak didahului oleh asumsi-asumsi, melainkan menyatakan dan mengedepankan teks. Alkitab berisi dan mengemukakan fakta adalah satu-satunya penyataan Allah 30 Gary Phillips, “Religious…, 134. (wahyu khusus), dimana Allah menyatakan dirinya kepada manusia yang berdosa, agar manusia dapat mengetahui, memahami dan memiliki hubungan dengan Allah. Gereja harus dikembalikan kepada asas kebenaran Alkitab, sebagai satu-satunya standard dalam menilai cara hidup dan cara berpikir. Dengan warisan kulminasi peradaban yang turun-temurun gereja pada era postmodern bisa berkembang tanpa rujukan Alkitab, sehingga posisi Alkitab bisa saja semakin asing meskipun secara substansial dan tanpa disadari berbagai ajarannya dilaksanakan oleh gereja. Menempatkan Alkitab sebagai dasar bangunan mengenal kebenaran Allah dalam cara berpikir dan cara hidup. Sebagai alat afirmasi, asumsi dan tradisi yang di dominasi Alkitab sebagai firman Tuhan adalah keniscayaan. Mempertahankan dan Meneruskan Warisan Teologi Apostolik Teologi dan hermeneutika postmodernisme telah menggoncangkan dasar-dasar Teologi Kristen yang hakiki dengan menyingkirkan metanarisi Injil. Ketika postmodernisme berupaya merendahkan metanarasi dan mendekonstruksikan kebenaran menjadi permainan bahasa serta menjadikan spiritualitas sebagai campuran dari unsur-unsur yang hanya mengikat secara subjektif, maka kebenaran Teologi Kristen harus kembali mengedepankan dan menyuarakan kebenaran objektif. Teologi para rasul dan Gereja mula-mula mengimani dan memberitakan Allah yang telah menyatakan diri di dalam Kristus sebagai fakta sejarah dan yang turut berperan dalam sejarah kehidupan serta mempertahankan dan memberitakan metanarasi Injil. Memulihkan Spiritualitas Kebenaran spiritualitas Kristen tidak ditemukan melalui “dekonstruksi,” “pluralisme,” “relativisme,” “anti metanarasi dan “teknologi informasi”, melainkan berdasarkan penyataan wahyu Allah yang kekal di dalam dan melalui Yesus Kristus. Akar masalah spiritualitas postmodernisme sebenarnya adalah spiritualitas selfisme dan penolakan mereka terhadap kedaulatan Allah yang nyata di dalam dan melalui Yesus Kristus serta yang dinyatakan dan ditemukan dalam kebenaran Alkitab. Pada tahun 1980-an, psikolog Paul Vitz melihat bahwa spiritualitas penyembahan diri yang sedang bertumbuh ini merupakan suatu “substitusi sekuler yang populer untuk menggantikan agama.” 31 Pencarian spiritualitas yang sesungguhnya ditemukan pada spiritualitas yang alkitabiah. Oleh karena spiritualitas Kristen bersifat teocentris, maka pemenuhan spiritualitas mengarah pada cara hidup dan cara berpikir yang dinamis dalam relasi dengan Kristus dan oleh karya Roh Kudus. Membarui Jemaat Penyataan kebenaran Allah mendemonstrasikan kasih ilahi yang melenyapkan kesalahpahaman, dan pembaharuan yang efektif. Berkaitan dengan hal itu, White mengemukakan bahwa, “Kehadiran Yesus membawa perubahan bukan saja secara moral tetapi juga penghakiman yang telah dipikul melalui kematian-Nya, berita inilah yang mengubahkan manusia.” 32 Inti berita yang mengubahkan ini seharusnya mendapat tempat sentral dari Gereja pada era postmodern, agar jemaat mengalami pembaharuan yang sesungguhnya. Satu unsur utama di dalam menantang postmodernisme adalah dengan menunjukkan bahwa dalam kaitannya dengan etika dan makna kehidupan, postmodernisme menghasilkan nihilisme.33 Kekosongan itu hanya dapat diisi oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Allah di dalam Yesus Kristus dan melalui karya Roh Kudus, sehingga pembaruan merupakan pengalaman yang dibutuhkan jemaat pada era postmodern, agar mereka tidak mengalami kekosongan dan kejenuhan spiritual dan tidak berhenti bertumbuh di dalam Kristus. Membarui dan Meneguhkan Akal Budi Postmodern telah kehilangan perspektif yang benar mengenai akal budi. Kebenaran memiliki makna ganda dan bahkan seringkali menjadi kabur artinya. Postmodernisme telah berhenti mempercayai adanya Permulaan atau Akhir yang mutlak, atau Dasar atau Kehadiran yang mutlak yang dapat diterima oleh akal budi. Dalam dunia postmodern akal budi 31 Paul C. Vitz, Psychology As Religion: The Cult of Self-Worship (Surabaya: momentum, 2005), 180-184. 32 R.E.O. White, “Reconciliation,” dalam Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids: Baker Academic, 2001), 992. 33 Douglas Groothuis, Pudarnya Kebenaran: Membela Kekristenan Terhadap Tantangan Postmodernisme (Surabaya: Momentum, 2003), 165. telah kehilangan tempatnya dan digantikan dengan kebebasan manusia dalam berkreasi dan menciptakan fiksi-fiksi yang kreatif. 34 Menempatkan akal budi pada konteks teonomi seperti yang dinyatakan oleh Alkitab (Rm 12:1-2) adalah krusial. Akal budi yang dimaksud bukan dalam ide Pencerahan yang memberi tempat pada otonami akal budi. Ronald H. Nash memberi komentar yang tajam dalam menghubungkan realita kebenaran Allah dengan akal budi Kristiani, dengan mengatakan bahwa; ”Logos Allah, Yesus menjamin rasionalitas manusia dan mengabsahkan kemampuan manusia untuk mengerti Firman Allah. Korespondensi antara akal budi Allah dan akal budi manusia (yang berdasarkan logos) memungkinkan pengertian manusia akan pengkomunikasian yang ilahi akan kebenaran.” 35 Logos ini sekaligus berpribadi, cerdas, abadi dan transenden serta memberikan kehidupan. Dengan demikian, kita dapat mengenal dan mengerti kebenarankebenaran yang obyektif, karena Allah Sang Pemikir Agung telah menyatakan dan membuka diri-Nya di dalam dan melalui Logos (Yesus). Sang pemilik Pikiran yang sempurna bukanlah intelektual yang terisolasi. Dunia material-benda-diciptakan oleh Sang pemilik Pikiran dan mereka tunduk kepada-Nya.36 Mempertahankan Kesalehan Hidup Rekonstruksi dan mempraktekkan pandangan hidup saleh berdasarkan tradisi spiritualitas Kristen merupakan hasil dari hidup dalam kebenaran Allah, dan merupakan hal yang krusial untuk ditegaskan dalam konteks masyarakat postmodern. Era postmodern telah mengaburkan semua bentuk kesalehan, segala sesuatu bersifat relatif dan samar-samar (lihat pluralisme dan relativisme). Kesalehan hidup merupakan tema penting dan menarik serta tetap relevan dalam praktek reformasi kehidupan Gereja dalam konteks masyarakat postmodernisme. Kesalehan hidup tidak hanya mengacu pada konsep-konsep dan wacana pada tataran logika dan permainan artikulasi, 34 Bnd. Kevin J. Vanhoozer, “Dunia Dipentaskan Dengan Baik? Teologi, Kebudayaan Dan Hermeneutik,” Dalam God and Culture (Surabaya: Momentum, 2002), 28 35 Ronald H. Nash, Firman Allah dan Akal Budi Manusia. Terj. (Surabaya: Momentum, 2008), 75. 36 Ibid., 75. melainkaan lahir dari spiritualitas yang memahami relasi dan mengenal kebenaran Allah. Di mana hidup Kristen adalah suatu konsep yang dinamis dan tidak dapat dipisahkan dari hidup sehari-hari dan hal-hal yang sifatnya individual dan komunal yang merupakan ekspresi konkret dan aktual dari refleksi teologi alkitabiah, serta dalam kerangka mewujudkan, mempertahankan dan mempraktekkan kesalehan hidup Gereja di dunia postmodernisme. USIA EMAS (‘GOLDEN-AGE’): MENYOAL KEPEDULIAN ORANGTUA TERHADAP PAUD YUSTUS ADIPATI PENDAHULUAN Child-Centered’: ‘Child to day, Human tommorow Menghadirkan “Kampus PAUD” di tengah nuansa ‘sekolah’ teologi (spiritual-balanced with moral-integrity in God-centered values) dirasa “sangat istimewa.” Terutama bila dilihat dari kebutuhan peran pendampingan Gereja dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta arus balik yang dihasilkannya, yang bernama “anak masa depan.” Melalui motto: Child to day, Human tommorow di masa Golden-Age ini, diharapkan akan menjadi petunjuk menyangkut kesiapan seorang anak (Child to day) serta kehidupannya di kemudian hari (Human tommorow). Laiknya sebuah “Klinik” namun dengan “nafas” teologi (Kristiani), kegiatan ini akan melewati serangkaian tes serta uji-kepekaan’dalam menyiapkan kebutuhan anak menghadapi tantangan, berikut dampak negatif dari hasil kemajuan umat manusia. Dengan tujuan, agar anak memiliki tanggungjawab bagi dirinya sendiri (take care of the ‘own’ self), bagi orang lain (take care of the others) serta bagi semua makhluk di bumi (take care of the environment). Sehingga, sejak sebagai seorang anak sampai kelak di kemudian hari, tetap memiliki hidup’secara teologis (lih. Ams 4:1-27, 6:20-23, bnd. 1:7; 9:10), maupun secara psiko-sosial yang sehat dan berkualitas (lih. Mzm 111:10). Selain upaya tripatrit: Pemerintah, Gereja, dan Keluarga bagi kebutuhan anak di tahun awal usia 0-6 tahun dengan pendekatan anak secara utuh (Child-Centered). PERAN PEMERINTAH: IN TARGET Semua yang terkait perencanaan, proses pembelajaran, dan evaluasi penilaian hasil belajar merupakan bagian penting dari pendidikan. Pemahaman ini menjadi sangat penting, terutama untuk menyiapkan masa depan anak di kemudian hari. Menurut Undang-undang (UU) bahwa setiap anak berhak atas pendidikan dan pengajaran serta pengembangan pribadi dengan tingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya. Hal mana termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2002 (dalam Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Dirjen Pendidikan Luar sekolah dan Pemuda, DEPDIKNAS, 2002) tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa: Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakuka melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Melihat tingkat usia anak, maka Pemerintah mencurahkan perhatian penuh terhadap pendidikan anak melalui PAUD. Saat ini, Pemerintah berupaya mendorong jumlah partisipasi anak dalam pelayanan PAUD. Sebagai data pembanding di tahun 2000, Fasli Jalal menuliskan: Berdasarkan data tahun 2000, baru 17,39 % dari total 12, 22 juta anak usia (4-6 tahun) yang mendapat pelayanan pendidikan. Sementara pada anak usia (0-6 tahun) yang menjadi sasaran program PAUD jumlah anak yang terlayani pendidikannya mencapai sekitar 17,9 juta dari total sekitar 26,09 juta anak.1 Berdasarkan target APK (Angka Partisipasi Kasar) - PAUD 2014, berikut ini estimasi yang pernah dilakukan pemerintah, bahwa pada tahun 2004 tercatat bahwa jumlah APK-PAUD baru mencapai 12,7 juta (27%) dan tahun 2008 APK-PAUD telah mencapai 15,1 juta (50,6%) serta diharapkan pada tahun 2009 akan mencapai 15,3 juta (53,6%).2 Melihat kondisi demikian, Pemerintah telah menetapkan rencana 5 (lima) tahun ke depan APK-PAUD diharapkan mencapai 21,3 juta (72,6%). Secara bertahap harapan untuk mencapai jumlah APK-PAUD tersebut terlihat pada tabel berikut ini. 1 KOMPAS, 18 Februari 2000. (http://pendidikananak2.blogspot.com/pendidikan-anak-usia-dinipaud.html), 2 TARGET PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DI INDONESIA TAHUN 2010 – 2014 Tahun Pencapaian Target Target / Sasaran 2010 2011 2012 2013 2014 Estimasi Jumlah Anak Usia 0-6 th 30,18 juta 30,2 Juta 30,3 juta 30,35 Juta 30,4 Juta Target Sasaran PAUD (Formal & Nonformal) 17,4 Juta (57,8%) 18,7 Juta 19,9 juta (61,8%) (65,7%) 21 Juta (69,3%) 22,1 Juta (72,6%) Target PAUD Formal 5,8 Juta (19,3%) 5,85 Juta (19,37%) 5,9 Juta 5,95 Juta (19,5%) (19,6%) Target PAUD Nonformal 11,6 Juta (38,5%) 12,85 Juta 14 Juta 15,05 Juta (42,43%) (46,2%) (49,7%) 6 Juta (19,7%) 16,1 Juta (52,9%) PERAN GEREJA: IN PRAXIS Pada esensinya, Eka Darmaputera mengatakan bahwa seluruh kegiatan Gereja mengandung dimensi Pendidikan Agama Kristen (PAK). 3 Pengembangan seluruh potensi jemaat, terlebih pada anak usia dini merupakan fondasi penting bagi Gereja. Hal ini mengingatkan akan gagasan bahwa Gereja mengerjakan 2 (dua) fungsi, yakni: fungsi ‘Pendidikan’ dan fungsi ‘Pekabaran injil.’ Fungsi pertama, sebagai pertumbuhan ke dalam, berkenaan dengan kewajiban Gereja mendidik umat-Nya (Ef 4:13-14) dan fungsi ke dua, sebagai pertumbuhan keluar berkenan dengan tanggungjawabnya dalam pemasyuran Injil ke seluruh 3 Eka Darmaputera (1989), 115. dunia (Mat 28:19-20).4 Namun, menurut Robert R Boehlke atau Wismoadi dalam tugasnya Gereja tidak memberi tempat yang penting bagi pendidikan serta pengalaman belajar secara wajar untuk seluruh anggota Gereja, terlebih pada peran sentral seorang Pendeta diharapkan agar dapat meningkatkan pelayanan paedagogisnya. 5 Eli Tanya mengatakan bahwa dalam mengelola pendidikannya, Gereja telah menetapkan struktur organisasi dengan membentuk semacam badan atau komisi yang menangani pelayanan anak, tanpa menyadari sungguh-sungguh tentang siapa yang sesungguhnya paling berperan dan bertanggung jawab penuh untuk masa depan anak.6 Kerancuan praksis terhadap jenis pelayanan serta siapa yang bertanggungjawab secara paedagogis terhadap anak di dalam jemaat, salah satunya ialah tidak adanya keterpaduan antar kegiatan, termasuk program pendidikan di mana terdapat tumpang tindih penyelenggaraan antar badan atau komisi yang ada di dalam jemaat. Masing-masing kegiatan Gereja seakan-akan terlepas satu dengan yang lainnya, serta tidak adanya badan khusus yang mengelola dan memiliki kapasitas yang jelas terhadap seluruh program pendidikan di jemaat. Pengembangan dan arah kebijakasanaan dalam pengangkatan pengurus atau pemimpin dan guru-guru Sekolah Minggu, penentuan jenis prioritas dan arah kebutuhan anggaran belanja untuk PAK, maupun perencanaan PAK dalam Gereja, dan sebagainya, belum sepenuhnya dipahami secara memadai layaknya suatu kegiatan PAK yang ideal, serta terencana dari Gereja selaku penanggungjawab penuh pendidikan iman kristiani, baik untuk pribadi maupun kelompok. 7 Termasuk dalam merespon isu-isu terbaru di luar institusi Gereja, seperti DEPDIKNAS. Misalnya, mengenai arah pembelajaran anak sebagaimana yang ditetapkan dalam acuan pembelajaran PAUD (lih. Direktorat Pendidikan Anak Dini, Usia, Menu Pembelajaran Generik, Dirjen Pendidikan dan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Sehingga, selaku organisasi masyarakat keagamaan, Gereja diharapkan serius serta tanggap terhadap programnya dan upaya sosialisasi PAUD di internal jemaat melalui peran orangtua sebagai penanggungjawab lingkungan ‘pendidikan’ yang terdekat dan pertama kali, baik aspek fisik, intelektual, moral, emosi, dan kehidupan sosial anak (bnd. Ul 6: 6-9; 4 Lih. Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen (Cianjur: Penerbit STTC, 2006), 16. 5 Ibid., 16, 84. 6 Ibid., 78, 82-83, 88. 7 Lih. Ibid., 88. 20-25). Di dalam keluargalah, seorang anak memperoleh pengalaman dan pengetahuannya sejak usia dini. PERAN KELUARGA: IN REALITY Eksekutor utama terhadap kebijakan PAUD ada di tengah keluarga. Gautama mengatakan bahwa “sebenarnya menjadi tanggungjawab orangtua dan masyarakat serta tidak memerlukan campur tangan pemerintah.” 8 Sejak usia lahir sampai dengan memasuki pendidikan dasar, bagi seorang anak merupakan masa keemasan sekaligus masa kritis bagi pencapaian tumbuh kembang yang optimal. Pembentukan demikian berlangsung di dalam keluarga. Menurut Torres ada beberapa elemen dalam pendidikan awal anak yang perlu mendapat perhatian. Pertama, kebutuhan anak akan pentingnya pengenalan diri melalui proses interaksi sosial dengan sesama; Kedua, kebutuhan anak dalam pembentukan identitas melalui kehadiran dalam kelompok; Ketiga, kebutuhan anak akan norma-norma serta nilai-nilai hidup dalam keluarga melalui kegiatan praktis kehidupan sehari-hari dalam ritme yang jelas dan teratur; Keempat, kebutuhan anak bagi pengembangan jati diri. Itulah sebagian tugas para orangtua, agar ke depannya anak menjadi matang dan mandiri.9 Para orangtua dapat mewujud-nyatakan masa usia emas (GoldenAge) seorang anak agar efektif dan maksimal. Kepada para orangtua diharapkan cakap dan mampu mengambil peran di setiap pertimbangan atau putusannya terkait dengan masalah kebutuhan anak. Kemampuan dan kemahiran para orangtua ketika mengambil keputusan, menyiratkan adanya kepedulian terhadap tumbuh kembang anak, baik fisik, intelektual, kehidupan emosi maupun psikososialnya. Perhatian utama orangtua yang terpenting adalah kebutuhan asupan makanan dan minuman, perbaikan gizi, perlindungan kesehatan serta perkembangan psikososial anak, serta kebutuhan penunjang lainnya, seperti: pemilihan sarana belajar dan tempat bermain menjadi tanggungjawab kepedulian para orangtua terhadap PAUD. 8 Kompas, 29 April 2002. Jaime Torres, Seminar Presentation (Jakarta. Open-House TK/SD PSKD Montessori, 1996). 9 Kepedulian Orangtua Terhadap PAUD: Seperti Apakah? Upaya optimal dari para orangtua di masa Golden-Age akan menentukan terbentuknya keterampilan dasar serta tugas perkembangan lebih lanjut pada seorang anak. Periode ini merupakan masa yang tepat untuk meletakkan dasar-dasar pengembangan pada kemampuan fisik, bahasa, sosial ekonomi, konsep diri, seni, moral serta nilai-nilai agama. Sehingga, upaya untuk mengembangkan seluruh potensi anak di usia dini membutuhkan perhatian serius dari para orangtua maupun pendidik dalam mengawal berlangsungnya proses tumbuh kembang anak. Montessori menyebutnya bahwa pada periode masa usia emas merupakan SensitivePeriods, bagi tumbuh kembang secara fisik, intelegensia maupun daya kreatif pada diri anak.10 Terkait dengan kepeduliaan orangtua terhadap PAUD ini, maka akan dibahas lebih jauh mengenai pengertian keluarga, fungsi keluarga, pengertian kepedulian, PAUD dalam keluarga, faktor-faktor yang mempengaruhi PAUD dalam keluarga, serta peran serta orangtua dalam PAUD. Pengertiaan Keluarga Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, lembaga keluarga dibentuk oleh Allah (Kej 2:22-24; Mat 19:5; bnd. Ef 5: 22-33). Alkitab menjelaskan bahwa pada awal penciptaan, Allah menjadikan manusia: laki-laki dan perempuan (Mrk 10:6). Sebagai ciptaan termulia, “manusia” dijadikannya serupa dengan gambarNya, yang kemudian memberkatinya agar bertambah banyak serta memberi kuasa atas semua yang diciptakan (Kej 1:26-28). Sehingga, peran lembaga keluarga menjadi sangat sentral bagi terbentuknya masyarakat yang bertanggungjawab. Dalam Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 1992 dan PP no. 27 tahun 1994 menyebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Lebih lanjut, Sopater menjelaskan bahwa anggota keluarga terdiri dari bapak dan/atau ibu dan 10 Dalam A.D. Wolf, A Parent’s Guide to Montessori Classroom (PennsylvaniaMont: Academy, 1980), 5; Maria Montessori, To Educate The Human Potential (Madras: Kalakshetra, 1973); E.G. Hainstock, Metode Pengajaran Montessori untuk Anak Prasekolah (Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1999) juga anak yang menjadi tanggungannya.11 Secara lengkapnya, Burgess dan Locke menguraikan pengertiannya tentang keluarga, demikian: Keluarga merupakan kesatuan dari jumlah orang yang saling berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka menjalankan peranan sosial sebagai suami, istri, ibu, bapak, anak-anak, anak perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan.12 Melalui beberapa uraian di atas, maka dapat dirangkum bahwa keluarga adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan dan/atau juga beserta anak yang menjadi tanggungannya, agar berfungsi sebagai lembaga sosial dari unit terkecil masyarakat, dengan adanya keterlibatan dari para anggota di dalamnya, yakni selaku warga masyarakat yang bertanggung jawab. Fungsi Keluarga Pengertian yang benar tentang keluarga merupakan hal yang sangat penting dan mendasar dalam mempersiapkan masa depan anak. Pemahaman orangtua khususnya tentang bagaimana fungsi keluarga menjadi penentu arah sekaligus juga maksud dan tujuan pendidikan anak usia dini agar terlaksana dengan baik. Tidaklah berlebihan jika kemudian, tanggungjawab pendidikan awal anak ini sangat bergantung sepenuhnya kepada keluarga. Menurut PP no. 21 tahun 1994 disebutkan fungsi keluarga. Fungsi-fungsi yang dimaksud, adalah: a) fungsi keagamaan, b) fungsi sosial budaya, c) fungsi cinta kasih, d) fungsi melindungi, e) fungsi reproduksi, f) fungsi sosial daan pendidikan, g) fungsi ekonomi, dan h) fungsi pembinaan lingkungan.. Godde menjelaskan bahwa keluarga sebagai lembaga sosial, juga diberi tanggungjawab untuk mengubah warga yang dihasilkannya menjadi manusia angggota masyarakat.13 Sehingga, bila dilihat dari perannya sebagai lembaga sosial, fungsi keluarga di tengah masyarakat merupakan salah satu bentuk tanggungjawab bersama serta saling bergantung dan membutuhkan satu dengan lainnya selaku sesama anggota masyarakat. 11 Soelarso Sopater, Peranan dan Tanggungjawab Keluarga dalam Pendidikan Anak (Jakarta: Badan pertimbangan Pendidikan Nasional, 1996), 1. 12 Dalam Tapi Omas Ihromi (Peny.), Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakulata Ekonomi UI, 1990), 5. 13 Godde dalam Soetarlinah Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan (Jakarta: Urusan Produksi dan Distribusi Alat Tes Fakultas Psikologi UI, 1998), 6. Keluarga adalah kelompok kecil masyarakat manusia. Sebagai anggota masyarakat, keluarga membutuhkan dukungan dari masyarakat yang luas dan banyak bergantung kepada masyarakat. 14 Sebagai agen perubahan sosial, lembaga keluarga terutama berperan dalam penanaman nial-nilai hidup anak melalui adat istiadat, kebiasaan maupun aturan yang berlaku di masyarakat. Terkait dengan tugas ini, Soetarlinah Sukadji menjelaskan 4 (empat) hal, ketika keluarga menjalankan fungsinya, yaitu: (1) Melahirkan warga baru; (2) Memelihara kebutuhan fisik anggota keluarga; (3) Mempersiapkan anak untuk berperan sebagai warga masyarakat; dan (4) Melakukan kontrol sosial.15 Melalui pola tertentu serta praktik nyata aturan umum yang berlaku di luar rumah, kepada seorang anak diharapkan tidak akan mengalami benturan yang berarti terhadap nilai-nilai yang telah diikuti di dalam rumah. Murray mengatakan bahwa keluarga berfungsi meletakkan dasar pendidikan dan juga meletakkan kerangka berfikir yang dinamis kepada seorang anak.16 Proses yang demikian ini, sesungguhnya telah berlangsung lama dan telah ada sepanjang usia peradaban manusia. Lebih terperinci lagi, Borgadus menjelaskan prosesnya bahwa melalui orangtua, anak menerima proses saat anak mulai belajar segala tata cara, aturan sosial, kepercayaan, kebiasaan, norma sosial, norma kesusilaan, dan lain-lain yang berlaku di masyarakat.17 Dari uraian di atas, dipahami bahwa ketika seorang anak hadir di tengah keluarga, tanggungjawab dan kewajiban para orangtua adalah memberikan fungsinya secara maksimal, seperti: perlindungan, rasa aman, dan tenteram di masa tumbuh kembang anak sebagai bentuk kepedulian orangtua terhadap PAUD. Pengertian Kepedulian Orangtua Istilah kepedulian berasal dari akar kata peduli. Menurut Poerwadarminta, akar kata peduli mengandung arti perhatian. Sehingga kepedulian berarti suatu sikap seseorang atau kelompok terhadap sesuatu, 14 Godde dalam Soetarlinah Sukadji, Keluarga..., 5. Ibid. 16 Murray dalam A. Muri Yunus, Pengantar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), 26. 17 Titi H. Roebyantho dalam Danny I Yatim dan Irwanto, Kepribadian, Keluarga, dan Narkoba (Jakarta: Penerbit Arcan, 1993), 86. 15 yang di dalamnya terdapat faktor atau unsur perhatian. 18 Bagi Sumadi Suryadibrata perhatian menunjukkan pada suatu bentuk pemusatan tenaga psikis yang tertuju kepada suatu obyek,19 sedangkan Totok Santoso mengatakannya sebagai kegiatan dalam bentuk proses persepsi yang melibatkan pengalaman seseorang secara sadar pada suatu obyek tertentu. 20 Dari istilah perhatian ini yang lebih menekankan pada kegiatan aspek psikisnya ketimbang pada aspek fisik, maka pengertian kepedulian lebih pada sikap seseorang atau kelompok yang bukan hanya menunjukkan aktivitas psikis semata, tetapi juga pada melibatkan aktivitas fisiknya. Akibatnya, kepedulian sebagai bentuk dan wujud perhatian yang dilakukan secara sadar dengan obyek yang jelas, akan terlihat dalam ungkapanungkapan dan/atau tindakan-tindakan yang konkrit dari orang-orang yang melakukannya. Sebagai orangtua, tindakan yang demikian ini langsung terlihat baik fisik maupun psikis melalui tindakan sadar dengan cara memperhatikan setiap kebutuhan anak di dalam keluarga. Melalui aksesnya di dalam keluarga, terbuka lebar kesempatan untuk mengembangkan secara maksimal segenap potensi anak melalui peran lingkungan yang baik bagi masa tumbuh kembangnya. Dengan demikian kepedulian adalah kecenderungan bertindak, yang dilakukan secara sadar oleh para orangtua terhadap pendidikan awal seiring dengan bertambahnya usia di masa tumbuh kembang, secara fisik, intelektual, emosi dan psikososial anak. PAUD dalam Lingkungan Keluarga Secara garis besar, seorang anak dibentuk dan dibesarkan di lingkungan yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, yakni: (1) lingkungan keluarga; (2) Lingkungan sekolah; dan (3) lingkungan masyarakat.21 Melalui ketiga lingkungan tersebut, seorang anak belajar berbagai tanggungjawab, keterampilan dan juga dalam hal kemandirian. Kegagalan maupun keberhasilan seorang anak di kemudian hari 18 W.J.S. Perwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1976), 722. 19 20 Sumadi Suryadibrata, (1984), 14. Totok Santoso, Layanan Bimbingan Belajar di Sekolah Menengah (Salatiga: 1988), 15. 21 A.A. Schneiders, Personal Adjustment and Mental Health (New York: Holt, Rinehart, and Wilson, 1988), 151. sepenuhnya ada di pundak para orangtua. Siti Hidayati Amal mengatakan bahwa berkurangnya sumber pengetahuan anak, persoalannya terletak pada keluarga.22 Sehingga, kebutuhan anak dalam keluarga menjadi bagian yang utama bagi setiap target dan kegiatan yang diupayakan pemerintah melalui program PAUD. Program PAUD Tingkat kecerdasan anak, berlangsung antara usia 0 – 6 tahun. Sebagai salah satu bentuk program PAUD pada jalur pendidikan luar sekolah dilaksanakan dalam bentuk kelompok bermain, penitipan anak, dan bentuk layanan pendidikan lainnya, seperti: dukungan pelayanan pendidikan bagi anak dan orangtua/ibu yang mengikuti kegiatan pada lembaga Bina Keluarga Balita (BKB), Posyandu, Sasana Anak, Taman Balita dan lainnya.23 Lembaga keluarga merupakan salah satu penunjang bagi terlaksananya PAUD. Apabila, pemberian stimulasi atau rangsangan kepada anak di dalam keluarga sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak memadai, dan ini dialami di masa tumbuh kembang anak, maka akan dapat mengakibatkan hilangnya peluang dan masa keemasan anak untuk berkembang secara maksimal. Oleh karena pemenuhan perkembangan yang maksimal pada usia dini ini menjadi prasyarat utama agar seorang anak tidak mengalami kesulitan ketika anak mengikuti jenjang lebih lanjut pada pendidikan formal di Sekolah Dasar. Kegiatan yang demikian ini hanya dapat dilakukan oleh para orangtua. Menurut Fasli Jalal, dalam misi program PAUD terdapat kegiatan perawataan kesehatan, pemberian gizi yang memadai dan juga pengembangan psikososial anak.24 Pengenalan terhadap periode usia anak ini sangat dibutuhkan oleh para orangtua. Pada masa tumbuh kembang di usia dini, seorang anak akan mengalami tahapan perkembangan dalam kemampuan dasar, perkembangan emosi, dan kemandirian, serta pada aspek psikomotoriknya. 22 Siti Hidayati Amal dalam Ihromi (Peny.), Para Ibu yang Berperan..., 51. Fasli Jalal, Kebijakan Mendesak PLSP Otonomi Daerah, Desentralisasi Pendidikan. Warta Plus/vol.20/No.2/Desember 2001. 24 Jalal, Kebijakan Mendesak ... 23 Periode Usia 0 – 6 Tahun sebagai Sensitive-Period Masa ini disebut Sensitive-Period. Pada periode ini seorang anak membutuhkan perkembangan, seperti: koordinasi motorik, bahasa, tata tertib, ketajaman panca indera, tanggungjawab sosial, sopan santun, serta perkembangan dalam memahami perintah (verbal) atau ketika mempelajari gerakan pada anggota tubuh (fisik).25 Montessori membaginya ke dalam 2 (dua) tahapan perkembangan, yakni: perkembangan di tahap usia 0-3 tahun dan perkembangan di tahap usia 3-6 tahun.26 Tahapan Unconcious Absorbent-Mind (Usia 0-3 Tahun) Ciri penting dalam tahapan ini unknowing, unwilling and effortless fashion,adalah pembelajaran anak yang terjadi melalui penyerapan oleh pikiran yang berlangsung oleh karena: rasa keingin-tahuan, kemauan atau keinginan terhadap sesuatu “tanpa disadari.” Proses ini ditandai, oleh: Perkembangan Pada Organ Tubuh, sebagian pertumbuhan anggota tubuh terjadi di usia 2 (dua) tahun dengan terjadinya pertambahan pada berat badan. Perkembangan Koordinasi Motorik, seorang anak melakukan orientasi sensorial pada obyek tertentu, kemudian menyentuhnya dengan cara menggunakan mulut, tangan, serta kemampuan dalam penyesuaian keseimbangan sampai pada taraf keadaan yang terkontrol sempurna (Balance and Equilibrium). Pertumbuhan Gigi, perkembangan ini dibarengi dengan berfungsinya sistem pencernaan secara sempurna, mulai dari yang paling sederhana, yakni dalam pola meyusui sampai dengan mengkonsumsi jenis makanan yang berbeda dan beragam. Perkembangan Visual dan Auditori. Perkembangan Bahasa, pada tahapan ini, seorang anak memulainya dari kondisi mendengar sampai berbicara dalam kalimat utuh. Aturan atau Tata Tertib, pada awalnya, pengalaman anak hanya sesaat dan pada hal-hal tertentu saja (temporal and special). Hal ini sangat bergantung pada kelekatan yang kuat antara si anak dengan suasana rumah dalam keluarga. Pengalaman demikian menciptakan pola penyesuaian diri 25 26 1965). Torres, Seminar... Maria Montessori, The Four Plane of Education (Newport: St. Leo League, anak terhadap lingkungan sosialnya di kemudian hari. Seorang anak memulainya dengan melakukan kegiatan eksplorasi melalui kemampuan sensorialnya yang tajam. Tahapan Conscious Absorbent-Mind (Usia 3-6 Tahun) Ciri penting dalam tahapan ini, adalah pembelajaran anak yang terjadi melalui penyerapan oleh pikiran yang berlangsung “dengan disadari.” Pada tahapan ini, seorang anak sudah menyadari atau mempunyai alasan untuk melakukannya. Kesadaran anak dalam melakukan sesuatu kegiatan adalah karena alasan suka dan juga anak menikmatinya (by pleasure and love). Pada tahapan ini, seorang anak juga memperlihatkan apa dan siapa dirinya dan juga kemandiriannya. Dalam prosesnya, kegiatan ini ditandai melalui: Pertama, Pertumbuhan fisik yang terus berkembang. Sekalipun pertumbuhan ini berlangsung perlahan, namun cepat berlangsung pada usia 4 (empat) tahun. Kedua, Kemajuan dalam perkembangan kontrol motorik. Pada tahapan ini, keseimbangan gerakan anggota tubuh anak mencapai titik kelenturan tertentu. Ketiga, Perkembangan dalam hal bersosialisasi. Dalam pencapaian ini, seorang anak telah siap untuk bermain dan bersosialisasi di lingkungan luar rumah. Keempat, Perkembangan yang sudah berpikir ke arah abstrak. Pada tahap ini, misalnya seorang anak dapat memahami ide tentang adanya “kursi” tanpa melihat keberadaan bendanya atau obyeknya secara langsung. Pada tahapan ini anak juga dapat memahami dalam bentuk berpikir secara generalis. Di dalam kehidupan nyata sehari-hari, seorang anak sudah memahami suatu peristiwa yang terjadi, misalnya bila seseorang itu pergi, seseorang itu juga pasti akan kembali. Kelima, Perkembangan dalam hal kemampuan tulis menulis dan membaca. Kemampuan demikian ini, seiring dengan perkembangan pada keterampilan motorik halus ketika anak akan menggunakan alat tulis. Dengan demikian, jelas bahwa keluarga merupakan lingkungan belajar yang terpenting bagi anak pada masa perkembangannya, baik fisik, intelektual, emosi, maupun psikososial anak seiring dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang Mempengaruhi PAUD Agar dapat tumbuh kembang secara maksimal, maka seorang anak membutuhkan di antaranya adalah pengalaman hidup praktis sehari-hari (practical Life). Seorang anak menerima pengetahuan dan pendidikan awalnya untuk pertama kali adalah di dalam keluarga. Montessori (18701952) mengatakan bahwa di masa tahun-tahun awal, seorang anak mengalami periode atau masa Absorbent-Mind, yakni: kemampuan dalam menyerap berbagai informasi sebanyak-banyaknya sesuai dengan kebutuhan yang di rasa anak saat itu. Bagi seorang anak agar tumbuh kembangnya berlangsung secara maksimal, membutuhkan sarana dan prasarana pendukung pendidikan yang tepat di dalam keluarga. Siti Hidayati Amal mengatakan bahwa berkurangnya sumber pengetahuan bagi anak, persoalannya terletak pada keluarga.27 Menurut Sastrapratedja proses yang ditempuh oleh seorang anak, mulai dari: a) memilih (segi kognitif), b) menghargai (segi afektif), c) bertindak (segi psiko-motor), d) membentuk pola, e) menjadi prinsip, pegangan atau norma hidup bagi diri anak.28 Aktivitas pembelajaran anak di dalam keluarga juga membutuhkan proses sosialisasi.29 Salah satu nilai tambah dan penunjang penting untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi anak adalah peran komunikasi antara orangtua dan anak. Lubis mengingatkan hal terpenting dalam berkomunikasi dengan anak, bahwa memberitahu tangis dan tawa sama pentingnya dan sama dapat diterima.30 Lubis mengatakan bahwa bagi anak yang sedang tumbuh kembang, ia merasa enak dan lega bila ia merasa kemarahaan atau kesedihannya dapat diterima orangtua.31 Selanjutnya, dampak dari kemampuan bersosialisasi ini, menurut Schneiders akan terlihat bagaimana seorang anak: a) memiliki hubungan yang akrab dengan/di antara anggota keluarga, b) mau menerima otoritas orangtua, c) mampu bertanggungjawab dan menerima aturan, d) mampu bekerja kelompok atau individual, e) menghargai kesamaan derajat dan kemandirian.32 Sehingga, menurutnya, unsur-unsur pendukung dalam 27 Siti Hidayati Amal dalam Ihromi (Peny.), Para Ibu yang Berperan..., 51. Sastrapratedja dalam E.M.K. Kaswardi (Peny.), Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000 (Jakarta, Grasindo, 1999), 4. 29 Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi. Cet. II. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), 140. 30 Lubis dalam KOMPAS, 18 Juli 2002. 31 Lubis dalam KOMPAS, 18 Juli 2002. 32 Schneiders, Personal Adjustment and..., 452-453. 28 keluarga yang dimaksud adalah: a) faktor fisiologis, b) faktor kematangan, c) proses perkembangan, d) kondisi psikologis, dan juga e) faktor lingkungan, seperti: kebiasan-kebiasaan, adaptasi, adat istiadat dan juga aturan dalam kehidupan keagamaan.33 Para ahli lainnya, Maliphant dan Wright mengatakan bahwa faktor-faktor tersebut, adalah: a) kesehatan fisik, b) jenis makanan yang dikonsumsi (Nutrient), c) bawaan genetik (Genetic Endowment), d) tekanan-tekanan emosi, e) pengaruh konflik dalam keluarga.34 Sementara itu, A Mudzakir dan Joko Sutrisno menyebutkan ketergantungan pelaksanaan PAUD pada: a) keadaan ekonomi keluarga, b) tingkat kemampuan orangtua dalam merawat anak, c) tingkat pendidikan orangtua, d) suasana keluarga, e) cara mendidik anak, dan e) hubungan antara orangtua dengan anak.35 Dari uraian di atas, maka dapat dirangkum beberapa faktor yang mempengaruhi PAUD di dalam keluarga, yaitu: a) latar belakang falsafah/nilai-nilai yang dianut dalam kehidupan orangtua, b) bentuk kasih sayang antara orangtua dan anak, c) cara berkomunikasi antara orangtua dan anak, d) wawasan pendidikan orangtua, e) keadaan sosial dan ekonomi keluarga, f) terpenuhinya kebutuhan anak akan rasa aman dan tenteram. Peranserta Orangtua dalam PAUD Seorang anak memiliki waktu yang panjang untuk beraktivitas dan berinteraksi di tengah keluarga. Oleh karenanya, urusan pendidikan awal anak tidak sepenuhnya diserahkan sebagai tanggungjawab pemerintah atau lembaga pendidikan formal seperti sekolah. A Samana mengatakan bahwa orangtua mempunyai peran dan hak mendidik yang paling asasi (bersifat kodrati, pertama dan utama).36 Fasli Jalal mengemukakan bahwa berkaitan dengan aktivitas PAUD dalam keluarga, tugas dan tanggungjawab dari para orangtua, mencakup 3 (tiga) hal penting, yaitu: a) perbaikan gizi; b) perlindungan kesehatan; c) stimulasi psikososial. 37 Diharapkan bahwa perkembangan di aspek fisik, intelektual, dan emosi serta psikososial anak 33 Schneiders, Personal Adjustment and..., 122. Maliphant dan Wright dalam Harre Room and Roger Lamb, The Dictionary of Developmental and Educational Psychology (Massachusetts: MIT Press, 1986), 206-208. 35 A. Mudzakir dan Joko Sutrisno, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Rineksa Cipta, 1995), 161. 36 A. Samana, Sistem Pengajaran (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 11. 37 Fasli Jalal dalam KOMPAS, 18 Februari 2002. 34 sudah berlangsung di dalam keluarga. Schneiders menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para orangtua untuk tumbuh kembang anak menjadi maksimal.38 Hal-hal yang dimaksudkan Schneiders yaitu: a) ‘skill anak’, b) pola belajar, dan c) pola respon anak dalam mengatasi konflik. Hal-hal berikut ini yang harus diperhatikan oleh para orangtua bagi tumbuh kembang anak yang dimaksudkan beserta dengan uraiannya. Skill Anak Bentuk keterampilan dasar yang diisyaratkan bagi kesiapan anak untuk memasuki sekolah formal adalah pada kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung. Dalam menunjang proses pembentukan skill anak dibutuhkan perhatian para orangtua, berupa gejala yang positif maupun hal yang negatif, seperti: kesehatan fisik serta jenis makanan yang dikonsumsi anak, kegiatannya dimulai dari pemeriksaan rutin ke dokter, tambahan asupan gizi, sampai kepada pemberian vitamin dan kebutuhan penting lainnya. Menurut Khudori, masalah gizi yang parah pada usia muda akan menghambat laju tumbuh kembang fisik anak, perkembangan kecerdasan, dan penyakit generatif.39 Dalam pertumbuhan fisik, misalnya seorang anak membutuhkan dukungan serta perhatian pada perbaikan gizi dengan asupan nutrisi yang memadai sesuai dengan bertambahnya usia dan tingkat kebutuhan sesuai usia perkembangannya. Menurut Faiqoh, ketidakpastian anak memasuki pendidikan dasar, antara lain disebabkan kurangnya intervensi pendidikan, kesehatan, dan gizi pada saat anak usia dini.89 Apalagi, pada saat pemenuhan kebutuhan tumbuh kembangnya, seorang anak sedang mengalami proses pertumbuhan otak atau kemampuan kecerdasan. Gautama menyatakan bahwa tanpa keseimbangan pelayanan kesehatan dan gizi anak, sulit diharapkan keberhasilannya. Apalagi perkembangan otak anak sebagian besar terjadi pada usia dini. 44 Sehingga, dapat dipahami bahwa sebagai penunjang untuk pembentukan ‘Skill Anak’ dibutuhkan peran para orangtua, mulai dari menyiapkan kebutuhankebutuhan vital anak, seperti: perhatian terhadap sarana penunjang bagi 38 Schneiders, Personal Adjustment and..., 64-67. Khudori, KOMPAS, 25 Agustus 2003. 89 Faiqoh, Strategi Peningkatan Kualitas Anak Plus/Vol.20/No.2/Desember 2001. 44 Gautama, KOMPAS, 29 April 2002. 39 Dini Usia. Warta kesehatan fisik anak; kemudian, pemenuhan kebutuhan gizi anak melalui makan dan minuman yang sehat, serta kebutuhan vitamin, sampai kepada pemenuhan kebutuhan asupan-asupan penunjang lainnya. Pola Belajar Anak Pemberian stimulasi sosial terhadap anak membutuhkan waktu, konsistensi serta keteraturan. Pembiasaan belajar menjadi Daily Habit yang maksimal dipraktikkan anak di tengah keluarga. Hal-hal yang terkait dengan hubungan orangtua dan anak aturan yang diterapkan di dalam keluarga. Hurlock menjelaskan bahwa hubungan anak dalam keluarga berdampak pada sikap anak terhadap sekolah, penyesuaian diri, pola peran, metode pelatihan terhadap anak, peran seks, cita-cita dan prestasi anak, kreativitas, serta kepribadian anak.45 Para orangtua memiliki peran yang penting ketika memberikan dukungan maupun rangsangan bagi tumbuh kembang anak, agar mencapai tingkat kesiapan yang memadai dalam tugas perkembangan selanjutnya. Berkaitan dengan upaya orangtua terhadap stimulasi, sarana dan prasarana terhadap tumbuh kembangnya seorang anak, Piaget menjelaskan bahwa tugas para orangtua atau pendidik bukan memberi pengetahuan, akan tetapi tugasnya ialah mencarikan, menempatkan, memberikan alat-alat, atau cara cara yang menimbulkan minat, agar anak terangsang untuk memecahkan atau mengatasi persoalannya sendiri.46 Ketika seorang anak memasuki jenjang pendidikan formal, Greeberg mengatakan bahwa keterlibatan orangtua di sekolah meringankan guru dalam membina kepercayaan diri anak, mengurangi masalah disiplin anak, dan meningkatkan motivasi anak.47 Dalam menciptakan antusiasme belajar, Gruinsburg dan Opper mengingatkan bahwa sesungguhnya, orangtua atau pendidik itu belajar dari anak dan diarahkan oleh anak-anak. Sehingga, perlu kepekaan dan keluwesan dari pihak orangtua atau pendidik agar kebutuhan anak dan rasa ingin tahu pada diri anak dapat tersalur 45 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), 170-173. 46 Piaget dalam Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 162. 47 Greeberg, 1989; Faiqoh, Strategi Peningkatan Kualitas Anak Dini Usia. Warta Plus. Vol. 20/No.2/Desember 2001. dengan baik.48 Agar pelaksanaan program PAUD di tengah keluarga berjalan baik, Blom menyebutkan beberapa peran orangtua, yaitu: a) memberikan motivasi berprestasi, b) menstimulasi pengembangan bahasa, c) menciptakan kesempatan anak dapat belajar di rumah maupun di luar rumah.49 Dari uraian di atas, diperoleh gambaran bahwa terbentuknya pola belajar anak, agar tumbuh kembang menjadi maksimal, dibutuhkan partisipasi nyata para orangtua, mulai dari pemberian rangsangan, fasilitas sarana dan prasarana belajar seperti alat bermain anak, sampai kepada kebutuhan akan rasa keingin-tahuan melalui antusiasme berbagai aktivitas pembiasaan belajar anak agar menjadi Daily Habit. Respon Anak dalam Mengatasi Konflik Seorang anak perlu belajar berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Hal ini dilakukan untuk ajang praktik berbagai keterampilan yang pernah dilakukan dan yang diperolehnya dari dalam lingkungan pertamanya, yakni lingkungan keluarga. Tujuannya adalah agar anak mempunyai pengalaman belajar, terutama dengan orang lain ketika memperluas lingkungan belajarnya. Mengenai kegiatan ini, Bernard menjelaskan lebih jauh, modal dasar dalam beradaptasi di kehidupan sosial adalah sikap menolong, pengertian, simpati, kemandirian, perhatian yang lebih, kemampuan bercakap-cakap, dan penampilan kepribadian yang menarik.50 Agar terampil dan terasah di kehidupan sosialnya yang baru, seorang anak membutuhkan peran pendamping yang tepat dari para orangtua; terutama perannya selaku ayah maupun ibu. Pada titik ini seorang anak dapat mencurahkan isi hati kepada orangtua, terutama sekali ketika menghadapi konflik. Menurut Titi H Roebyantho bahwa peran seorang ayah, di antaranya: a) sumber kekuatan dasar identifikasi, b) penghubung dunia luar, c) pelindung terhadap ancaman, d) pendidikan, disiplin, tanggungjawab, dan lain-lain.51 Sedangkan, peran seorang ibu, diantaranya: a) memberi kasih sayang, b) tempat mencurahkan hati, c) mengatur rumah 48 Dalam Gunarsa, Psikologi..., 163. Wolf dalam Gage dan Barliner, 1984: 116. 50 Bernard dalam Schneiders, Personal Adjustment and..., 455. 51 Titi H Roebyantho dalam Danny I Yatim dan Irwanto, Kepribadian, Keluarga, dan Narkoba (Jakarta: Penerbit Arcan, 1993), 86. 49 tangga. Pada umumnya, respon terhadap peran para orangtua ini, diungkapkan melalui beberapa pengalaman yang dialami anak, seperti: pelukan, ciuman, kata-kata sayang dan perasaan senang lainnya secara langsung dan nyata.52 Melalui sarana yang dibangun di dalam keluarga ini, seorang anak akan mempelajari pelbagai aturan atau norma yang berlaku, baik yang ada di dalam keluarga maupun yang ada di dalam masyarakat. Seorang anak mempelajari kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat, mengenal cara-cara untuk mengatasi konflik. Beberapa pengetahuan yang wajib diperoleh anak melalui peran pendampingan dari para orangtua, menurut Gauthy adalah: a) menghargai dan menerima anak secara baik, b) menerima perbedaan-perbedaan, c) mendahulukan kepentingan orang lain, d) meningkatkan dialog, e) bekerja dan bermain dalam tim, f) bertindak adil dalam hubungan dengan anak, g) menghargai janji, h) melaksanakan tugas panggilan, i) menghargai kekuasaan yang benar, j) menghargai dan mengusahakan perbaikan lingkungan, k) melibatkan diri dalam kelompok/partisipasi, l) menghayati kehidupan komunitas, m) menaruh perhatian dan berperan serta dalam masalahmasalah dunia, n) berdoa bersama.53 Salah satunya adalah konflik dalam persaingan. Ketika seorang anak tidak dapat menghindari dari keadaan tersebut, Stans Ismail (1999: 184) menjelaskan beberapa peran dari para orangtua, di antaranya: a) mengajarkan anak untuk bersikap adil. Misalnya menunggu giliran dan membagi sumber yang terbatas. Berarti semua orang menerima apa yang menjadi haknya, b) mengajarkan anak bersikap sportif. Misalnya anak perlu mengerti dengan baik bahwa musuh sesungguhnya dalam setiap pertandingan adalah dirinya sendiri, c) mengajarkan anak untuk bersikap sebagai ‘Good Looser’ (kalah terhormat). Misalnya kalah terhormat berarti dapat menghargai anak yang menang, dapat melihat sifat kuat lawan dan dapat mengakui kekurangan dirinya. PENUTUP Berdasarkan berbagai penjelasan berkenan dengan kepedulian orangtua terhadap PAUD, maka beberapa faktor disebutkan sebagai berikut. Pertama, Fakfor ‘Skill Anak’: Memberikan perhatian seperti 52 Stans Ismail, dalam Andar Ismail (Peny.), Ajarlah Mereka Melakukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 170. 53 Gauthy dalam Kaswadi (1993), 116-127. sarana penunjang bagi kesehatan fisik anak; pemenuhan kebutuhan gizi anak melalui makan dan minuman yang sehat, serta kebutuhan vitamin, sampai kepada pemenuhan kebutuhan asupan-asupan penunjang lainnya. Kedua, Faktor Pola Belajar Anak: Memberikan perhatian berupa kebutuhan fasilitas sarana prasarana belajar, seperti alat bermain anak untuk membangun antusiasme serta rasa keingin-tahuan anak, dengan berkesinambungan, konsistensi, keteraturan agar pembiasaan belajar itu menjadi ‘Daily Habit’ anak. Ketiga, Faktor Respon Anak dalam Mengatasi Konflik: Memberikan pengalaman mencurahkan isi hati anak kepada orangtua; menempatkan diri di tengah persaingan, serta mempelajari pelbagai aturan atau norma yang berlaku. Melalui penjelasan di atas, dapat dirangkum beberapa indikator mengenai Kepedulian orangtua terhadap PAUD, sebagai berikut. Pertama, Faktor ‘Skill Anak’, dengan indikator-indikatornya, meliputi: (1) Kesehatan Fisik; (2) Kebutuhan Gizi. Kedua, Faktor Pola Belajar Anak, dengan indikator-indikatornya, meliputi: (1) Fasilitas Belajar; (2) Fasilitas bermain; (3) Kebiasaan belajar. Ketiga, Faktor Respon Anak dalam Mengatasi Konflik, dengan indikator-indikatornya, meliputi: (1) Pencurahan hati; (2) Persainan; (3) aturan. Proficiat I-3, atas dibukanya FKIP Prodi: PAUD! Kemuliaan hanya ‘dari dan oleh serta bagi Tuhan untuk selama-lamanya! MEMBANGUN KEMITRAAN GEREJA DALAM PELAYANAN MISI MASA KINI LEONARD A.P. HUTAPEA PENDAHULUAN “Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberkan kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20) Firman Tuhan di atas dikenal sebagai Amanat Agung Tuhan Yesus ketika menampakkan diri kepada sebelas orang murid-Nya yang terjadi di Galilea, di sinilah Tuhan Yesus menyampaikan kata-kata terakhir-Nya kepada para murid. Dalam pertemuan terakhir ini setidaknya Yesus melakukan tiga hal penting yang perlu kita perhatikan: pertama, Ia meyakinkan mereka akan kuasa-Nya. Kedua, Ia memberi mereka suatu tugas. Ketiga, Ia menjanjikan mereka akan kehadiran-Nya.1 Banyak orang Kristen berpendapat bahwa Amanat Agung Yesus sudah cukup dilaksanakan dan bila Allah bermaksud dalam menyelamatkan orang-orang kafir, maka Ia dapat menggunakan cara untuk membawa mereka kepada Injil atau Injil kepada mereka. 2 Pandangan-pandangan seperti itulah yang pada akhirnya membuat orang-orang Kristen tidak melakukan tugas penginjilan dengan baik dan cenderung menghindarinya bahkan timbul pola pikir bahwa tugas penginjilan hanyalah tugas gembalagembala jemaat, orang-orang yang pernah belajar teologi, majelis Gereja, aktivis Gereja dan lain sebagainya. 1 W.Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Matius Psl 11-28 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 598. 2 Norman E.Thomas, Teks-teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 81. PENGERTIAN GEREJA DAN MISI Pengertian Gereja Pengertian Gereja secara Alkitabiah dapat dilihat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama Ada dua istilah untuk menunjuk Gereja. Pertama, Qahal (kahal) yang berarti memanggil, kata ini menunjuk arti yang sesungguhnya dari pertemuan bersama suatu umat. Kata Qahal sering kita jumpai dalam Tawarikh, Ezra dan Nehemia. Kedua, Edhah yang berarti memilih atau menunjuk atau bertemu bersama-sama di suatu tempat yang disepakati. Apabila kata ini diterapkan pada bangsa Israel maka kata itu menunjuk pada masyarakat bangsa itu sendiri yang dibentuk oleh anak-anak Israel atau kepala perwakilan mereka, bergabung bersama maupun tidak. Kata Edhah sering dipakai dalam kitab Keluaran, Imamat, Bilangan dan Yosua. Kata Qahal dan Edhah sering digunakan tanpa membedakan arti. Kedua kata tersebut seringkali digabung menjadi kumpulan jemaah dapat dilihat dalam Keluaran 12:6, Bilangan 14:5, Yereremia 26:17. Selanjutnya kata Sunagoge merupakan terjemahan yang paling umum dipakai dalam Septuaginta untuk Edhah dan juga untuk menterjemahkan kata Qahal yang dipakai dalam kitab Musa (Pentateuch). Jadi istilah Edheh dan Qahal tersebut kemudian digunakan untuk menyebut umat Allah. 3 Perjanjian Baru Ada tiga kata dalam Perjanjian Baru yang menjelaskan tentang Gereja. Pertama, kata evkklhsi,a (ekklesia) berasal dari kata evk (ek) dan k,alevw (kaleo) yang artinya memanggil ke luar.4 Tuhan Yesus pertama kali menggunakan kata evkklhsi,an (Mat 16:18). Pengertian secara umum dari evkklhsi,an yaitu: (1) Sekumpulan orang percaya di dalam tempat tertentu; (2) Sekumpulan orang percaya di suatu rumah (ekklesia Domestik) (Rm 16:23; 1Kor 16:19; Kol 4:15); (3) Perkumpulan tubuh Kristus di seluruh 3 Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Gereja (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 2008), 5-6. 4 Ibid., 6. dunia (1Kor 10:32, 11:22, 12:28); (4) Perkumpulan seluruh orang percaya (Am), baik yang hidup maupun yang sudah mati (di dunia dan di surga). Kedua, kata sunagwgh, (sunagoge), berasal dari kata sun (sun) dan agw (ago) yang berarti datang atau berkumpul bersama. Kata sunagwgh, sendiri menunjuk kepada pertemuan ibadah orang Yahudi atau menunjuk kepada bangunan tempat mereka berkumpul untuk beribadah secara umum. Ketiga, kata Kuriake terjemahan Church (Inggris), Kerk (Belanda), Kirche (Jerman) memang kata-kata ini tidak berasal dari kata ekklesia, kata Kuriake berarti milik Tuhan (Mat 4:23; Kis 13:43; Why 2:9; 3:9). Kata ini sendiri sangat menekankan kenyataan bahwa Gereja adalah milik Tuhan. Istilah yang sering muncul to kuriakon atau h kuriake pada awalnya menunjukkan tempat Gereja berkumpul, dimengerti sebagai milik Tuhan (to kuriakon), dipahami sebagai tempat yang berisi orang percaya berkumpul untuk beribadah, tidak kosong. Maka terjemahan yang tepat adalah sebagai bangunan rohani dari Allah.5 Pada masa berikutnya sebagai hasil perluasan Gereja, kata (ekklesia) mendapat pemakaian yang lebih luas Berkhof mengemukakan lima pemakaian kata dari Gereja yang penting untuk diperhatikan. Pertama, kata ekklesia menunjuk kepada arti sekumpulan orang percaya di dalam suatu tempat yang sama yaitu Gereja lokal tanpa memperhatikan apakah orang percaya datang dengan maksud beribadah atau tidak (Kis 5:11, 11:26; Rm 16:4; 1Kor 16:1). Kedua, ekklesia domestik, yaitu Gereja dalam rumah pribadi seseorang, sebuah ruangan yang besar yang disediakan untuk beribadah (Rm 16:23; 1Kor 16:19). Ketiga, menunjuk kepada sekelompok Gereja-gereja yang ada di Yudea, Galilea dan Samaria (Kis 9:31). Keempat, keseluruhan tubuh Kristus di dunia, yaitu kesatuan dari orang-orang yang beribadah kepada Kristus dan berkumpul di bawah pimpinan pejabat-pejabat yang telah dipilih. Kelima, keseluruhan tubuh orang-orang beriman, baik di bumi maupun di surga, yang telah atau yang akan dipersatukan secara spiritual dengan Kristus sebagai Juruselamat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Gereja adalah kumpulan orangorang yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang-Nya yaitu persekutuan dengan orang-orang beriman dalam Kristus. Gereja bukan berarti gedungnya saja melainkan termasuk orang-orang yang ada di dalamnya. 5 Berkhof, Teologi Sistematika ..., 9. Pengertian Misi Istilah misi (mission) berasal dari bahasa Latin mission yang diangkat dari kata dasar mittere yang berkaitan dengan kata missum yang artinya to send (mengirim/mengutus). Padanan dari kata ini dalam bahasa Yunani adalah avpo,stevvllw (apostello).6 Menurut Tomatala bahwa istilah mission menunjuk pada misi Allah (mission Dei) sedangkan missions ada tugas dari misi Allah itu (yang dipercayakan oleh Allah kepada umat-Nya).7 Sedangkan menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (KBBI): (1) Misi adalah kegiatan menyebarkan kabar gembira (Injil) dan mendirikan jemaat-jemaat setempat yang dilakukan atas dasar pengutusan sebagai kelanjutan misi Kristus; (2) Misi adalah tugas, sebagai suatu kewajiban melakukannya demi agama, ideologi, patriotisme dan sebagainya. 8 Selanjutnya hal terpenting adalah mempertahankan pengertian yang Alkitabiah, jelas, fokus, yang tepat sesuai apa yang dilakukan Gereja. Misi juga merupakan segala sesuatu yang dikerjakan Gereja; Pergi ke negeri asing; Pengumuman secara politis-negara lain; Sesuatu yang orang kerjakan untuk yang membutuhkan; Penginjilan; Pendidikan; Pengembangan SosialEkonomi; Bantuan antar Gereja; Pemasyarakatan; Pembudayaan; Penanaman Gereja. Dalam pelaksanaan Amanat Agung, jemaat harus bergantung kepada Roh Kudus dan Firman Tuhan agar taat kepada Allah dan mampu mengkomunikasikan Injil kepada semua manusia. Dalam hubungannya dengan Kerajaan Allah, Gereja dan Dunia, misi adalah suatu pelayanan yang menyeberangi batas-batas budaya melalui proklamasi berita dan perbuatan kedatangan Kerajaan Allah dalam Yesus Kristus melalui partisipasi Gereja dalam misi Allah mendamaikan manusia dengan Allah dengan diri mereka sendiri dengan sesama dan dengan dunia serta mengumpulkan mereka dalam persekutuan Gereja melalui pertobatan dan iman dalam Yesus Kristus oleh pekerjaan Roh Kudus dengan target transformasi dunia sebagai tanda dari Kerajaan Allah dalam Yesus Kristus. Pelayanan misi merupakan tanggungjawab semua orang yang telah percaya kepada Yesus Kristus. Ketika seseorang memperoleh keselamatan maka pada waktu yang bersamaan dia juga menerima suatu tugas yang baru yaitu melakukan amanat untuk memberitakan Injil. Dalam hal ini Packer 6 Barclay M.Newman Jr, Kamus Yunani-Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 20. 7 Yakub Tomatala, Teologi Misi (Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003), 19. 8 Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), 460. berpandangan bahwa kita semua (komunitas Kristen) mengemban amanat untuk membaktikan diri memberitakan kabar baik dan untuk memakai semua kemampuan kita untuk membuat Injil menjadi perhatian dunia.9 Misi dimulai dari Allah, oleh Allah dan demi kemuliaan Allah sendiri. Hal serupa dikatakan oleh Fernando bahwa Allah adalah sumber, asal-usul misi. Misi dapat dikatakan sebagai pelaksana maksud-maksud Allah untuk menggenapi tujuan-Nya di dunia ini. Tuhan Yesus mengorbankan dirinya demi keselamatan umat manusia, hal ini merupakan pesan dan teladan bagi misi, semua misionaris ataupun semua orang percaya.10 Semua orang percaya harus berpegang teguh pada Amanat Agung Tuhan Yesus dan harus semangat dalam memberitakan Injil dengan satu keyakinan bahwa Allah Tritunggal sendiri yang selalu menyertai. TUJUAN GEREJA Setiap institut yang didirikan pasti memiliki tujuan yang jelas, tidak ada orang yang mendirikan sesuatu tanpa ada tujuan yang jelas. Demikian juga dengan Gereja yang Allah dirikan dimana tujuan utama kehadiran Gereja jelas dalam Amanat Agung. Amanat Agung berisikan kehendak Allah bagi Gereja-Nya.11 Gereja merupakan tubuh dan Kristus adalah Kepalanya (Ef 4:1-16), tubuh merupakan satu kesatuan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Sebagai satu tubuh tidak ada satu bagian pun yang diabaikan dan dianggap kurang penting. Sebagai tubuh Kristus hal ini menunjukkan betapa eratnya ikatan yang mempersatukan semua orang percaya dalam mengembangkan karunia-karunia rohaninya yang berbeda untuk membangun tubuh Kristus dalam hubungan Kristus sebagai Kepala mengacu kepada dua kebenaran. Pertama, jemaat ialah sarana bagi Kristus dalam menjalankan misi-Nya. Kedua, jemaat sebagai tubuh Kristus mempunyai banyak anggota dan setiap anggota mempunyai karunia Roh. 12 9 J.I.Packer, Pengijilan dan Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum, 2009), 17. 10 Ajith Fernando, Allah Tritunggal dan Misi (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), 7. 11 Suhento Liauw, Doktrin Gereja Alkitabiah, (Jakarta: Gereja Baptis Independen Alkitabiah AGAPHE, 1996), 57. 12 Theodore Willians, Misi dan Jemaat Lokal (Jakarta:OMF), 5. Jadi, dalam hal ini sebagai tubuh Kristus, Gereja harus bersatu padu dalam menjalankan kehendak Allah bagi Gereja-Nya. Karena itu kehidupan orang-orang Kristen harus menjadi berkat dan harus berbeda dari orangorang yang tidak mengenal Kristus. Jika kehidupan orang-orang Kristen memancarkan Kristus, maka orang lain akan melihat dan pada akhirnya nama Allah dimuliakan karena orang-orang Kristen ialah duta Allah di dunia ini.13 TUGAS GEREJA Tugas pokok Gereja dan tanggungjawab Gereja dengan jelas dapat dilihat dalam Amanat Agung Tuhan Yesus. Dalam Perjanjian Baru ada 5 bagian Firman Tuhan yang berbicara tentang perintah Agung Tuhan Yesus. Matius 28:18-20 Markus 16:15-18 Lukas 24:11-49 Yohanes 20:19-23 Kisah Para Rasul 1:6-8 Ayat-ayat di atas mengajarkan bahwa dalam perintah agung dari Tuhan Yesus terdapat wewenang, perintah dan janji. Perintah ini menuntut ketaatan kepada Tuhan, ada tugas utama yaitu menjadikan murid. Tugas inti ini didukung dengan mengajar untuk taat dan membaptis tiap orang yang diselamatkan Tuhan dari segala bangsa. Ada suatu jaminan yang pasti dari perintah agung ini dan isi jaminan itu ialah penyertaan Tuhan Yesus. Apabila Tuhan menyertai, Ia sendiri menjamin bahwa tugas penginjilan akan berhasil.14 Amanat Agung masih mengikat Gereja-gereja pada masa kini, amanat ini tidak hanya diberikan oleh Tuhan Yesus kepada para rasul pada waktu itu untuk pelayanan mereka, tetapi diberikan juga kepada Gereja untuk pelayanan sepanjang zaman.15 Gereja tidak hidup untuk dirinya sendiri, Gereja sebagai umat Allah ada dan didirikan oleh Allah untuk membawa kabar baik bagi orang-orang yang belum percaya. 13 Norman E. Thomas, Teks-Teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), 123. 14 Yakob Tomatala, Penginjilan (Malang: Gandum Mas, 1998), 23-24. 15 John Piper, Jadikan Sekalian Bangsa Bersukacita (Bandung: Literatur Baptis Indonesia, 2001), 227. Gereja merupakan alat bagi Allah untuk menjadikan saksi di tengah-tengah dunia, memulihkan keutuhan itulah maksud penginjilan, dengan membawa kembali mereka yang terhilang ke tempatnya di dalam tata rumah tangga Allah.16 Belajar dari kehidupan jemaat mula-mula (Kis 2:47) bahwa jemaat mula-mula menerima tanggungjawab pemberitaan Injil. Setiap orang percaya dalam Gereja mula-mula terlibat aktif dalam memberitakan Injil di manapun mereka berada. Mereka menjadi saksi baik dalam kehidupan mereka di tengah-tengah orang-orang yang tidak percaya maupun ketika mereka secara khusus pergi untuk memberitakan Injil. Melalui pemahaman Amanat Agung Tuhan Yesus, setiap orang percaya akan memahami dengan baik tanggungjawab untuk memberitakan Injil. Dengan demikian setiap orang percaya tidak perlu diperintahkan lagi dalam melaksanakan Amanat Agung karena setiap orang-orang percaya harus menjadi saksi di manapun ia berada baik dalam melakukan tugas sehari-hari maupun dalam interaksi dengan orang-orang yang belum percaya.17 Pada waktu kita dipercayakan melakukan pelayanan di suatu Gereja serta merencanakan program-program Gereja maka hal penting yang menjadi perhatian utama yaitu bagaimana peran dari Gereja sendiri bagi persekutuan jemaat serta lingkungan Gereja tersebut berkaitan dengan misi Gereja sesuai mandat Alkitabiah? Memuliakan Allah Tujuan utama hidup manusia ialah memuliakan Allah. Hal ini sama benarnya bagi orang percaya secara pribadi maupun bagi Gereja secara keseluruhan. Alkitab berkali-kali menunjukkan hal ini sebagai maksud utama Gereja (Rm 15:6,9; Ef 1:5-6,12,14,18; 3:21; 2 Tes 1:12; 1Ptr 4:11). Tugas ini begitu mendasar sehingga bila dilaksanakan dengan setia maka tugas-tugas Gereja yang lain dengan sendirinya juga akan terlaksana. Bagaimanakah Allah dimuliakan lewat Gereja? (1) Kita memuliakan Allah dengan menyembah Dia (Yoh 4:23,24; bnd Flp 3:3; Why 22:9); (2) Kita memuliakan Allah dengan doa dan puji-pujian. Pemazmur mengatakan, “siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan 16 Thomas, Teks-Teks Klasik Tentang…, 226. Caprili Guanga, Aku dan Gereja (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara,1997), 69. 17 Aku” (Mzm 50:23); (3) Selanjutnya, kita juga memuliakan Dia dengan menjalani kehidupan yang saleh. Yesus mengatakan,“Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuat banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku” (Yoh 15:8). Petrus menyatakan bahwa kita harus “memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil [kita] dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1Ptr 2:9; bnd. Tit 2:10). Sebagai Gereja Yang Bertumbuh Rasul Paulus mengatakan bahwa Allah memberikan kepada Gereja rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita-pemberita Injil, gembala-gembala dan pengajar-pengajar “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman (Ef 4:12-16). Jelaslah, ini berarti indoktrinasi para anggota jemaat, supaya mereka dapat menjadi dewasa dan sanggup berdiri tegak menghadapi ajaran-ajaran sesat di sekitar mereka. Inilah yang dinamakan membangun tubuh Kristus (Kol 2:7). Kebaktian umum di gereja bertujuan melaksanakan hal ini (1Kor 14:26), namun setiap orang percaya juga harus membangun diri mereka sendiri dalam iman yang teramat kudus ini (Yud 20) serta “bertumbuh dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (2Ptr 3:18). Paulus menentang kita untuk memakai bahan-bahan yang baik dalam mendirikan bait rohani Allah (I Kor 3:10-15) dan memperingatkan kita agar tidak memakai bahan-bahan yang tidak baik. Maka jelaslah gereja harus mengindoktrinasi warganya, mengembangkan sikap-sikap baik kehidupan Kristen di dalam diri mereka serta mengajar mereka untuk bekerja sama satu dengan yang lain dalam pelayanan Kristus. Sebagai Gereja Yang Kudus Kristus mengurbankan diri-Nya untuk Gereja “untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan Firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef 5:26-27). Dalam hal ini ada penyucian yang dilakukan oleh Allah Bapa (Yoh 15:2), terutama dengan jalan menghukum kita (1Kor 11:32; Ibr 12:10). Ada juga penyucian yang harus dilaksanakan oleh orang percaya itu (1Kor 11:28-31; 2Kor 7:1; 1Yoh 3:2), tetapi ada juga bentuk penyucian yang harus dilakukan oleh Gereja setempat (Mat 18:17). Kekudusan orang percaya disempurnakan melalui persekutuan dengan orang-orang lain, tidak pernah terlepas darinya.18 Gereja mula-mula memang memberikan teladan dalam pelaksanaan disiplin Gereja, dan Gereja masa kini tidak dibebaskan dari tugas melaksanakan disiplin Gereja (Kis 5:11; Rm 16:17; 1Kor 5:6-8, 13; 2Tes 3:6, 14; Tit 3:10-11;). Berbagai perpecahan yang sering timbul, munculnya ajaran-ajaran sesat dan lain sebagainya dapat menjadi suatu alasan untuk memberlakukan disiplin. Disiplin dalam Gereja tentu akan menolong Gereja secara terus-menerus dalam mempersiapkan diri menyambut kedatangan-Nya (sebagai mempelai perempuan sesuai; Why 19:7). Sebagai Gereja Yang Dewasa (dalam Pengajaran) Tuhan telah mengaruniakan kepada Gereja-Nya yaitu rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita-pemberita Injil, gembala-gembala dan pengajarpengajar dengan tujuan “memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan” (Ef 4:12). Yesus juga telah memberikan Amanat Agung-Nya yang berisi perintah, bukan saja untuk menjadikan orang-orang sebagai murid dan membaptiskan mereka, tetapi setelah itu juga mengajarkan mereka untuk melakukan segala sesuatu yang telah diperintahkan-Nya (Mat 28:20). Dalam hal ini James Montgomery berpendapat: “Pekerjaan misi yang semestinya adalah pergi keluar dengan Injil, memenangkan manusia bagi Kristus, membawa mereka ke dalam persekutuan Gereja, kemudian memastikan mereka diajari kebenarankebenaran yang tercatat di dalam kitab suci.” 19 Karena itulah tidak dapat disangkal lagi bahwa Gereja harus menjalankan program pendidikan dan pelatihan bagi anggota jemaatnya secara keseluruhan. Gereja harus mengajarkan kebenaran-kebenaran Tuhan kepada jemaatnya serta secara rutin setia dalam mengajarkan ajaran para rasul. Paulus mengarahkan jemaat Filipi untuk memperhatikan semua jenis pengetahuan yang berharga. Paulus berkata, “jadi akhirnya, saudarasaudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang 18 19 2011), 757. Bnd. Simon Chan, Spiritual Theology (Yogyakarta: ANDI, 2010), 135. James Montgomery Boice, Dasar-dasar Iman Kristen (Surabaya: Momentum, disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Flp 4:8; bnd. 2Tim 2:2) Sebagai Gereja Yang Bersaksi Dalam Amanat Agung jelas sekali mengenai penugasan Gereja untuk pergi ke seluruh dunia serta menjadikan sekalian bangsa murid Tuhan (Mat 28:19; Luk 24:46-48; Kis 1:8). Alkitab tidak menyuruh Gereja menobatkan dunia, melainkan untuk menginjili dunia, artinya Gereja berhutang kepada seluruh dunia yaitu Gereja bertanggung jawab untuk memberita kesempatan kepada dunia untuk mendengarkan Injil serta menerima Kristus. Gereja juga dikatakan sebagai saksi Kristus yang berarti Gereja hadir untuk menyaksikan Kristus sehingga dapat membawa orangorang kepada-Nya.20 Kita tahu bahwa tidak mungkin seluruh dunia akan menanggapi Injil, namun Gereja berkewajiban memberi kesempatan kepada seluruh dunia untuk mengenal Kristus dan menerima keselamatan yang disediakanNya. Dewasa ini Tuhan sedang memanggil dari antara bangsa-bangsa nonYahudi suatu umat bagi nama-Nya (Kis 15:14) dan tindakan tersebut dilakukan-Nya dengan perantaraan Gereja dan Roh Kudus-Nya. Penginjilan dimulai dengan menyelidiki kebutuhan-kebutuhan yang ada (Yoh 4:28-38; bnd. Mat 9:36-38). Maka dengan demikian jelaslah bahwa setiap Gereja harus belajar dan melakukan misi. Sikap ini juga terungkap secara jelas dalam doa syafaat untuk pelayanan Gereja (Mat 9:38), penyediaan dana untuk misi (Filp 4:15-18), pengutusan para misionaris (Kis 13:1-3; 14:26; Rm 10:15) serta ikut terlibat di ladang-ladang misi (Rm 1:13-15; 15:20). Menjadi Garam dan Terang Dunia Tuhan Yesus mengatakan bahwa orang-orang percaya adalah garam dunia dan terang dunia (Mat 5:13-15). Adanya pengaruh dan kesaksian hidup yang baik maka orang-orang Kristen dapat menahan perkembangan pelanggaran hukum (2Tes 2:6-7). Tuhan masih menahan penghukuman karena kehadiran orang-orang saleh di tengah-tengah orang fasik (Kej 18:22-23). Dengan demikian diharapkan setiap orang percaya harus berani menyatakan tuntutan-tuntutan Tuhan yang adil dari manusia serta 20 Bnd. Sadikin Gunawan, Menjadi Orang Kristen Yang Berbeda (Jakarta: Pustaka Sorgawi, 2006), 85. memberitahukan perlunya pertobatan dan kelahiran kembali bagi mereka yang belum percaya dan yang belum mendengar Injil. Untuk mencapai tujuan ini, Tuhan telah menjadikan umat-Nya pemelihara kebenaran Allah (2Kor 5:19; Gal 2:7; 1Tim 1:11; 3:15). Dalam Alkitab, umat manusia senantiasa diharapkan menemukan kebenaran mengenai Allah serta hal-hal rohani. Akan tetapi lebih daripada itu, Gereja juga bertugas penuh untuk menawarkan Firman kehidupan kepada dunia (Flp 2:16) dan berjuang untuk mempertahankan kebenaran itu (Yud 3) karena memang dalam kenyataannya hanya sedikit sekali masyarakat dunia yang menyadari dan merasakan betapa untungnya mereka dengan adanya umat Allah di tengahtengah mereka. Sebagai Gereja Yang Berpengaruh Bagi Lingkungan dan Dunia Sekalipun orang percaya harus memisahkan diri dari segala ikatanikatan duniawi (2Kor 6:14-18), ia tetap harus mendukung semua usaha yang jelas-jelas berusaha memajukan kesejahteraan sosial, ekonomi, politik dan pendidikan masyarakat luas. Paulus mengatakan, “karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal 6:10). Dalam ayat ini jelas dimaksudkan adalah bahwa kita mempunyai tugas utama yaitu memperhatikan kesejahteraan kawan-kawan seiman, tetapi kita juga harus memperhatikan kesejahteraan sesama manusia lainnya. Alkitab tidak mendukung pandangan bahwa orang-orang Kristen tidak perlu menangani masalah-masalah sosial karena pandangan Kristen tentang manusia yang sudah ditebus mencakup pengakuan akan adanya kewajiban sosial dan memperbaiki lingkungan mereka.21 Apa yang dilakukan Tuhan Yesus merupakan teladan terbaik untuk diikuti. Tindakan-tindakan reformasi masyarakat, termasuk bantuan-bantuan sosial, harus selalu secara tegas datang kemudian dari tugas penginjilan. Orang Kristen harus menjadikan semua perbuatan amal dan kebajikannya suatu kesaksian bagi Kristus. Yesus mungkin saja telah memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki sebagai tindakan berperikemanusiaan, tetapi tindakan tersebut pasti dilakukan-Nya terutama sebagai suatu kesaksian terhadap kuasa dan keAllahan-Nya sendiri. Dengan kata lain, orang Kristen harus menjadikan semua perbuatan baiknya itu sebagai sarana untuk bersaksi bagi Kristus. 21 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru. Jilid 3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 298. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan Gereja harus memiliki pengaruh yang positif baik bagi persekutuan orang percaya di dalamnya maupun masyarakat di sekitarnya yang tentu harus merasakan dampak kehadiran Gereja. Selain itu Gereja sebagai komunitas orang percaya yang memiliki dampak bagi lingkungannya maka Gereja juga harus segera berperan aktif untuk membangun kemitraan nyata dalam pelayanan misi sebagai perwujudan dari Gereja yang hidup yang setia dalam menjalankan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus karena telah disadari Gereja tidak dapat bergerak dan berjalan sendiri-sendiri dalam memajukan program-program dan pelayanan Gereja. KEMITRAAN GEREJA DALAM PELAYANAN MISI Allah yang berdaulat dan berkuasa sangat mempercayai Gereja-Nya dalam melaksanakan misi. Hal ini dimulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria sampai ujung bumi (Kis 1:8). Orang percaya atau kelompok Gereja tertentu tidaklah mungkin dapat melaksanakannya secara sendiri-sendiri, namun hal ini perlu dikerjakan secara bersama-sama agar terlaksana dengan baik dan efektif. Dalam hal inilah suatu kemitraan sangat diperlukan guna mendukung pelayanan-pelayanan misi yang direncanakan baik oleh Gerejagereja lokal, sekolah-sekolah teologi serta lembaga-lembaga misi lainnya. Memulai dan membangun kerja sama ini memang merupakan tantangan yang cukup besar dan menantang terutama dalam membuat strukturstruktur misi skala nasional yang saling bergandengan tangan. Namun tidak dapat dihindari pada dasarnya Gereja memang memerlukan struktur yang saling berhubungan tersebut untuk menyatakan kesatuan dalam pelayanan misi yang akan melampaui semua batas manusia dan budaya. Kemitraan dalam Misi – Sebagai Karakter Komunitas Alkitabiah Pada dasarnya kemitraan dalam misi bukanlah sesuatu yang baru, namun telah diterapkan sejak Allah sendiri merencanakan keselamatan bagi dunia ini, di mana dalam ke-Tritunggalan-Nya Ia bersama-sama melaksanakan karya penyelamatan bagi dunia ini. Hal itu dapat kita perhatikan melalui surat Paulus kepada Jemaat di Efesus pasal 1: (1) Allah Bapa dalam Kristus telah mengaruniakan segala berkat rohani di dalam surga (ay 3); (2) Yesus Kristus melakukan pengampunan dosa di kayu salib (ay 7); (3) Roh Kudus memeteraikan orang percaya, sebagai jaminan bagiannya sampai keselamatan kekal yang dijanjikan-Nya utuh serta dinyatakan sepenuhnya (ay 13-14). Allah Tritunggal melaksanakan kemitraan yang indah dan sempurna bagi terwujudnya Gereja Tuhan di bumi ini dan dengan demikian komunitas Ilahi menjadi model kemitraan, pelayanan dan pengutusan yang tepat demi keselamatan dunia (bnd. Yoh 20:21). Melalui penyertaan serta pimpinan Roh Kudus hal tersebut dikerjakan dan dilaksanakan oleh Gereja mula-mula dalam Perjanjian Baru (Kis 13). Roh Kudus mengarahkan Gereja di Antiokhia untuk memisahkan dan mengutus Paulus dan Barnabas menyelesaikan pekerjaan misi tersebut, dan mereka menyampaikan hasilnya kepada jemaat bahwa Injil sudah tersebar sampai kepada bangsabangsa lain (Kis 14:26-27). Dalam hal inilah kita memperhatikan adanya kemitraan yang kuat antara Roh Kudus, Gereja dan misionaris yang diutus. Pada kenyataannya kerjasama pada kemitraan ini berlangsung dari waktu ke waktu dalam pelayanan Paulus dengan jemaat-jemaat lainnya, misalnya Jemaat Filipi. Paulus mengungkapkan bagaimana persekutuan mereka melalui Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini (Flp 1:5), begitu juga Euodia dan Sintikhe berjuang dengan Paulus untuk pekabaran Injil (Flp 4:2). Setelah mereka mendengar Injil dan dibina oleh Paulus, jemaat Filipi menunjukkan dukungannya kepada Paulus dalam pekabaran Injil ke tempat-tempat lain, baik dengan mengirimkan bantuan kepadanya maupun dengan mengutus Epafroditus untuk melayani kebutuhannya (Flp 2:25; 4:15-18), sehingga Injil dapat terus tersebar hingga ke tempat yang lebih jauh menjangkau banyak orang menjadi percaya kepada Kristus. Pada bagian ini Kirk menegaskan: Kemitraan dalam misi menjadi bagian dari hakikat Gereja: yaitu kemitraan bukanlah terutama apa yang Gereja lakukan, melainkan apa yang menjadi sifatnya. Gereja-gereja (secara teologis) terikat satu sama lain, sebab Allah telah memanggil masing-masing “kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita” (1Kor 1:9). Karena itu kemitraan bukanlah suatu slogan bagus yang diciptakan oleh suatu panitia yang pintar; ia merupakan pernyataan dari suatu kehidupan yang adalah satu, tidak dapat dibagi-bagi dan dimiliki bersama dalam Yesus Kristus.22 Lewat pengamatan kita melalui sejarah Gereja nampak terjadinya degradasi di dalam pertumbuhan Gereja sendiri karena Gereja-gereja yang 22 187. Andrew Kirk, What is Mission? (London: Darton, Longman, Todd, 1999), ada cenderung berpusat hanya ke dalam dan tidak menjalankan panggilannya secara utuh. Pelayanan pekabaran Injil tidak lagi menjadi proyek pelayanan bersama, namun hanya dikerjakan oleh individu-individu yang terbeban. Hal inilah yang menyebabkan adanya lembaga misi mendorong warga jemaat yang memiliki beban-beban misi dalam dirinya masing-masing untuk kembali mendorong Gereja agar melakukan dan melaksanakan kegiatan pengutusan, walaupun hal ini sering disalahmengertikan oleh Gereja yang berpikir bahwa lembaga misi hanya ingin mendapat dukungan dana agar pelayanan misinya berkembang. Dalam kenyataannya kehadiran lembaga misi diizinkan Tuhan untuk melaksanakan misi Allah serta mendorong Gereja agar kembali menggumuli panggilannya agar menjalankan Amanat Agung dari pemilik Gereja yaitu Tuhan Yesus Kristus sendiri. Dasar dan Tujuan Suatu Kemitraan Dalam Misi Saat Ini Dengan perkembangan dunia modern dan gerakan misi sedunia masa kini akan mendorong kita untuk bermitra dalam misi. Dampak era globalisasi ini adalah berkembangnya kemitraan di antara orang-orang Kristen di Barat dan Selatan/Timur serta munculnya kerjasama antara Gereja-gereja lokal dan agen-agen misi, dan di sinilah misi dikatakan multiarah. Adapun tujuan umum dari kemitraan dalam misi sendiri ialah: memaksimalkan misi global yang dapat memberikan pengaruh bagi Kerajaan Allah. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka ada beberapa alasan umat Allah perlu bekerja sama, sekaligus merupakan tujuan tertentu yang perlu dicapai, antara lain: Pertama, Kerinduan untuk saling mengasihi melalui kerjasama dan saling mendukung, supaya dunia percaya kepada-Nya (bnd. Yoh 13:35). Kedua, Mengajak seluruh Gereja Tuhan terlibat secara nasional dan internasional demi memenuhi panggilan dan melaksanakan Amanat Tuhan. Ketiga, Melakukan kerjasama untuk menjangkau suku atau golongan atau kelompok yang belum terjangkau secara lebih efektif. Keempat, Agar sedia membagikan sumber yang dikaruniakan Allah (bersinergi). Kelima, Agar bersedia membagikan kemampuan dan keterampilan dalam spesialisasi bidang yang berbeda seperti penginjilan, pelayanan sosial, pelayanan lintas budaya dan lain sebagainya. Keenam, Tidak menghambur-hamburkan sumber-sumber yang ada dan menghindari kompetisi serta mengulangi hal yang sama. Ketujuh, Agar belajar satu dengan yang lain dan saling menguatkan dalam menghadapi penderitaan.23 Kemitraan Pelayanan Misi Lintas Budaya Dalam Konteks Dunia Modern “Terlalu sedikit bagimu hanya untuk menjadi hamba-Ku, untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara. Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan daripada-Ku sampai ke ujung bumi” (Yes 49:6). Sesuai dasar Firman Tuhan di atas nyatalah bahwa Tuhan memang mengasihi bangsa Israel dan memilih mereka menjadi bangsa pertama yang mengenal dan mengalami kasih Tuhan yang menyelamatkan; namun Tuhan tidak hanya mengasihi bangsa Israel, Ia ingin memakai Israel yang sudah diselamatkan itu sebagai perpanjangan tangan-Nya untuk menjangkau bangsa-bangsa lain, segala bangsa di muka bumi. Selain itu visi Allah bagi dunia juga disingkapkan kepada Yohanes: “setelah itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat dihitung jumlahnya, dari segala bangsa dan suku dan umat dan bahasa, berdiri di hadapan tahta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka” (Why 7:9). Dari pernyataan di atas memperjelas bagi kita bahwa Ia ingin terus memakai Gereja-Nya untuk mengasihi manusia yang terhilang yaitu dengan memberitakan Injil keselamatan kepada semua yang mau mendengar, supaya semuanya juga mendapat kesempatan untuk mengenal kasih Kristus dan percaya kepada-Nya, sehingga memperoleh hidup kekal (Yoh 3:16). Namun tugas menjangkau semua suku bangsa yang teramat luas ini sangat membutuhkan pelayanan lintas budaya dan lintas golongan sosial. karena itulah orang-orang percaya perlu sekali bekerja sama dalam melaksanakan dan menyelesaikan Amanat Agung Tuhan dengan mengerahkan segala kemampuan, fasilitas dan talenta yang telah dimiliki. Dalam hal ini juga perlu menggalang kerjasama dengan sekolah teologi karena sangat memperlengkapi para pekerja dan utusan Injil dengan pengertian dan keterampilan di bidang biblika tentang seluruh misi Tuhan di dunia, pemahaman kebudayaan/antropologi, kontekstualisasi, penginjilan, perintisan jemaat, pemuridan, sejarah Gereja/misi dan lain 23 Kirk, What is Mission?..., 190-191. sebagainya. Membangun kerjasama dengan lembaga misi yang mempunyai pengalaman di daerah geografis tertentu atau golongan tertentu akan sangat dibutuhkan, selain itu perlu segera dipikirkan keterlibatan jemaat untuk mendukung proyek misi sebagai contoh: jemaat mendukung satu proyek atau satu tenaga dari beberapa jemaat untuk satu proyek atau satu tenaga yang ada dan disiapkan untuk diutus ke luar negeri. Di era globalisai, teknologi dan informasi ini sangat diperlukan, juga perlengkapan, pengertian dan pengetahuan teknis untuk menghadapi segala macam arus global serta memanfaatkan dengan baik potensi dari segala fasilitas agar dapat berkomunikasi dan membentuk jejaring secara efektif dan efisien. Maka untuk itulah perlu kerjasama dengan badan-badan atau tenaga-tenaga spesialis, dan adanya kebutuhan-kebutuhan ini bukan lagi sekedar tambahan atau alternatif melainkan sesuatu yang harus disiapkan dan dikerjakan segera. Dalam konteks Indonesia, sebagaimana diketahui berjumlah penduduk besar dan beranekaragam di mana masih banyak sekali orang yang belum pernah mendapat kesempatan mendengar Kabar Baik tentang Kristus. Sementara di sisi lain Gereja Indonesia pun cukup besar dan tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, namun tidak merata, sehingga sangat perlu diadakan kerjasama dalam berbagai bentuk kemitraan dan jejaring untuk memaksimalkan pelayanan Kabar Baik untuk sampai ke kota dan desa. Hal ini tidak hanya menyangkut proyek dan pengutusan tenaga “penuh waktu”, tetapi juga misalnya terkait penempatan tenaga “profesional” sesuai dengan bidangnya (dokter atau perawat, insinyur, guru, dst) yang memiliki kesadaran serta keterbebanan untuk menjadi alat Tuhan yang membawa damai dan pemulihan dan Kabar Baik di lokasi tertentu. Maka adanya tenaga seperti itu perlu didukung, disiapkan dan didoakan seperti halnya tenaga “penuh waktu.” Pelaksanaan Kemitraan Pelayanan Misi Dalam memikirkan, merencanakan dan melakukan kemitraan pelayanan misi terlebih dahulu kita dapat memperhatikan bagaimana pandangan Luis Bush menyangkut kemitraan dalam segi-segi praktisnya: Suatu asosiasi (hubungan kerja sama) yang terdiri atas dua atau lebih badan mandiri yang telah membentuk suatu hubungan saling mempercayai, serta telah menyepakati tujuan yang diharapkan dicapai bersama melalui membagikan kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber mereka agar saling menguatkan. Perlu disadari juga dalam membentuk hubungan kerjasama yang demikian seringkali harus menghadapi berbagai macam hambatan yang perlu diatasi bersama-sama. Menghadapi Beberapa Masalah atau Tantangan Yang Timbul Adanya pertumbuhan dan perluasan dari Gereja-gereja sedunia telah membangun suatu momentum pertumbuhan secara lebih kompleks di mana dalam bagian ini kerjasama yang semakin erat di tiap level menjadi sangat penting. Misi tidak lagi merupakan gerakan dari Barat tetapi global, dan adanya potensi pertentangan-pertentangan juga hubungan-hubungan yang terputus semakin besar.24 Selanjutnya Johnson dan Mandryk mengatakan banyak Gereja, agen misi dan sekolah teologia “berjalan sendiri” dalam memenuhi Amanat Agung sehingga menghancurkan tubuh Kristus secara luas. Di sinilah penting sekali kita perhatikan motivasi untuk membangun kerjasama dalam pelayanan agar tidak ada kelompok tertentu yang terisolasi sehingga berdampak kepada pelayanan mereka. Berikut ini beberapa hambatan yang muncul dalam pelayananan antara lain: (1) Apabila kita tidak memiliki suatu catatan program/agenda yang sama (visi dalam melakukannya untuk Kerajaan Allah); (2) Apabila kita selalu berpikir bahwa lembaga misi/Gereja kita mempunyai keahlian atau pengertian yang lebih baik dari mitra-mitra pelayanan lainnya; (3) Jika suatu pihak ingin mengendalikan atau mempergunakan pihak lain, contoh melalui keuangan yang disalurkan, akibatnya hubungan menjadi tidak seimbang; (4) Apabila tidak membangun suatu hubungan kerjasama/relasi yang erat dan teratur. Langkah Membangun Kerjasama Praktis Untuk Kemitraan Sebagai suatu gerakan atau aksi nyata untuk mengatasi masalah dan hambatan yang ada, suatu kemitraan antara Gereja dan lembaga-lembaga pelayanan misi perlu dibentuk dengan sangat hati-hati dan penuh hikmat, sambil mengutamakan pimpinan Tuhan dan memperhatikan banyak rencana-rencana praktis. Suatu kerjasama dalam kemitraan merupakan kemampuan dalam melipatgandakan kemampuan dari masing-masing 24 Patrick Johnstone & Jason Mandryk, WEC International, Operation World (Carlisle: Paternoster, 2001), 711. untuk memproduksi hasil, di mana jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak dapat dicapai. Kerjasama tentu menciptakan rasa memiliki bersama yang terus-menerus, sehingga memungkinkan kegiatan-kegiatan yang saling bergantung dan menghasilkan multiplikasi dari hasil yang ada. 25 Suatu kemitraan selanjutnya memang bukan hanya membangun komunikasi, melainkan membangun orang yang bermitra; belajar bersama sebagai suatu mitra dan menguatkan satu kepada yang lainnya dalam pimpinan Roh Kudus. Pada bagian inilah jejaring yang baik dalam membangun suatu kemitraan (Gereja dan pelayanan misi) bisa terjadi jika ada beberapa faktor: (1) Kemitraan yang ada saling membutuhkan; (2) Kemitraan tersebut bervariasi dan dinamis; (3) Kemitraan menjadi efektif melalui jejaring yang memungkinkan multiplikasi; (4) Kemitraan merupakan hubungan baik dan terpelihara. Kemitraan yang dibangun dalam suatu pelayanan pada dasarnya menggenapi apa yang Tuhan Yesus kehendaki. Tuhan Yesus mendoakan kesatuan para murid-Nya agar “... mereka menjadi satu sama seperti Kita adalah satu” (Yoh 17:20-23), sehingga dunia menjadi percaya kepada Kristus. Selanjutnya kita perhatikan bahwa kemitraan bukanlah sesuatu yang baru, bahkan sudah nampak secara jelas dalam Allah Tritunggal yang melaksanakan misi-Nya yang mulia bagi manusia. Berikut ini beberapa langkah-langkah penting untuk membangun dan membentuk suatu kemitraan: Pertama, Tahap perkenalan, di mana saling mengetahui ciri khas dan kekuatan masing-masing pihak dan menggumuli bentuk kerjasama dalam doa, sehingga saling mempercayai dan bersama-sama meyakini bahwa kemitraan itu adalah berdasarkan pimpinan Tuhan. Kedua, Menentukan bersama untuk visi dan tujuan yang akan dicapai, kemudian akan dijadikan rencana terperinci dan dilengkapi dengan perkiraan tentang SDM yang diperlukan, strategi dan sasaran tertentu mengenai apa yang diharapkan tercapai dan bagaimana caranya, serta bagaimana batas waktunya. Dalam kemitraan untuk misi, tentu visi dan tujuan-tujuan ini berhubungan dengan aspek-aspek misi, tentang penginjilan, misi holistik atau lintas budaya. Perlu diingat apabila kerjasamanya dalam program penginjilan, maka harus ada kesepakatan sebelumnya tentang proses pembinaan orang yg baru percaya, dan integrasi mereka ke dalam persekutuan setempat demi menghindari tuduhan dan saling menyalahkan pada waktu pelaksanaan kegiatan bersama itu. 25 O’Brien, The Power of...., 12. Ketiga, Perlu mengembangkan jalur-jalur komunikasi yang jelas serta kesepakatan untuk proses pemantauan dan evaluasi yang akan dijalankan. Keempat, Dalam pengelolaan sistem keuangan perlu perhatian yang khusus dan disepakati dahulu bersama untuk dijalankan secara terbuka dan transparan serta bertanggung jawab. Kelima, Adanya aturan dan prosedur khusus yang disepakati dalam menangani kesalah-pahaman, serta untuk mengakhiri atau membarui kemitraan pada waktunya (kalau tujuannya sudah dicapai atau waktunya perlu diperpanjang) atau bila didapati konflik yang tidak dapat diselesaikan. KESIMPULAN Telah disadari bersama bahwa pelayanan misi merupakan pelayanan yang teramat luas, dan dalam memikirkan, merencanakan, mengatur bahkan melaksanakannya dibutuhkan wawasan yang luas pula demi tercapainya Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus. Kehadiran Gereja sebagai komunitas orang percaya di dunia tidak dapat atau tidak akan mampu jika hanya sebagai pelaksana tunggal dalam melaksanakan mandat Ilahi “menyaksikan Kristus dalam pemberitaan Kabar Baik.” Melalui kemitraan dengan pelayanan-pelayanan misi, penting memulai penataan sistem atau pola kerja yang baik serta terorganisir, hal ini merupakan suatu gerakan yang dinamis dalam melaksanakan Amanat Agung. Kemitraan yang ada perlu sekali dukungan segala pihak karena dengan demikian kemitraan dapat mengembangkan pelayanan-pelayanan, bahkan lembaga yang ada sehingga segala program dan sasaran puncak dapat tercapai sesuai kerinduan dalam membangun kemitraan dan pelayanan bersama. HAKEKAT MISI YESUS KEPADA PARA MURID DALAM MATIUS 10:1-15 SEBAGAI DASAR MISI GEREJA MENJALANKAN MISI ALLAH YOHANIS UDJU ROHI PENDAHULUAN Kedatangan Yesus ke dunia memiliki misi yang jelas, di mana Yesus datang untuk menyatakan kasih Allah yang menyelamatkan. Gereja sebagai tubuh Kristus bukan hanya diselamatkan tetapi juga dipanggil untuk menjadi pembawa berita keselamatan bagi orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya. Oleh karena itu Gereja harus memiliki dasar pemahaman dan praktek misi yang benar sesuai dengan misi Yesus yang juga adalah misi Allah. HAKEKAT MISI YESUS KEPADA PARA MURID DALAM MATIUS 10:1-15 Peranan Yesus Dalam Misi-Nya (ay. 1-5) Yesus Sebagai Inisiator (Caller) Misi (ay. 1a) Pelayanan misi Yesus adalah prakarsa Yesus sendiri, di mana Yesus dapat disebut sebagai inisiator sekaligus sebagai pelaku misi. Hal ini nampak dalam frasa: “Yesus memanggil.” Dalam terjemahan NIV tertulis He called,1 dapat berarti: Dia memanggil atau meneriakkan. 2 Sedangkan terjemahan bahasa Yunani Kai Proska le,samenoj3 yang secara literal dapat berarti “adapun setelah memanggil datang.” 4 Kata proskale,saj berasal dari kata dasar proskale,w yang memiliki pengertian: memanggil datang, 1 Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear, Yunani-Indonesia dan Konkordansi (PBIK) Jilid I (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006), 47. 2 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramesia, 1997), 94. 3 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 47. 4 Ibid., 47. memanggil ke depan, memanggil.5 Kata proskale,saj merupakan kata kerja Aorist arah Medium Partisif maskulin tunggal. 6 Kata kerja Aorist menekankan bahwa memanggil adalah suatu tindakan yang hanya satu kali saja dilakukan pada masa lampau, arah medium menyatakan bahwa memanggil merupakan suatu tindakan yang refleksif, juga dapat menekankan suatu kesungguhan dalam memanggil. Partisip maskulin tunggal sebagai nominative menyatakan bahwa subjek bertindak untuk memanggil. Subjek dalam teks Yunani tidak disebutkan dengan jelas, namun jika dilihat perikop sebelumnya (9:35) dan ayat sesudahnya (10:5), maka jelaslah bahwa subjek yang dimaksud dalam ayat ini adalah Yesus sendiri. Dalam konteks teks ini, dapat dipahami bahwa memanggil adalah tindakan yang telah dilakukan oleh Yesus. Inisiatif dan tindakan untuk memanggil dari dan oleh Yesus sendiri, secara refleksif bukan karena didorong atau dipengaruhi oleh sesuatu di luar diri-Nya, termasuk oleh para murid. Tindakan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh sebagai bentuk keseriusan Yesus dalam kegiatan misi. Kehadiran dan keterlibatan para murid dalam pelayanan misi semata-mata dimungkinkan hanya oleh anugerah Tuhan Yesus yang memanggil. Dasar panggilan misi para murid berdasarkan pada Yesus sebagai inisiator misi. Yesus sebagai Dinamisator (ay. 1b) Yesus bukan hanya memanggil, namun sebelum mengutus para murid, Yesus juga memperlengkapi mereka dengan kuasa. Hal ini dapat terbaca dalam frasa “Ia memberi kuasa kepada mereka”, menurut terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). 7 Dalam bahasa Yunani e;dwken eivj auvtou.j evxousi,an yang secara literal dapat berarti: “Ia memberi kepada mereka kuasa.” 8 Kata e;dwken berasal dari kata dasar didwmi yang berarti memberikan, mengijinkan, membagi-bagikan, mengirim, mempercayakan, mengeluarkan, menaruh, mengenakan, mengadakan, membuat, menyerahkan.9 Kata ini dalam bentuk kata kerja 5 6 7 8 9 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 677 . Ibid., 47. Ibid. Ibid. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., II, 206. orang ketiga tunggal, aorist, aktiv, indikatif. 10 Hal itu mengindikasikan bahwa Yesus yang telah bertindak memberikan kuasa kepada para murid pada masa lampau secara factual (sungguh-sungguh pernah terjadi). Kuasa yang diberikan Yesus kepada para murid dalam bahasa Yunani evxousi,an yang berarti: kuasa, hak, tugas, kekuatan, kekuasaan, pengontrolan, kuasa supernatural, penguasa, penguasa supernatural, pemerintah, wilayah yang dikuasai, media yang memberi kuasa, tanda martabat, tanda tunduk kepada kuasa.11 Sedangkan dalam terjemahan NIV menuliskan authority12 yang berarti: wibawa, hak untuk bertindak, ahli, wewenang, sumber.13 Pasaribu, menuliskan: “Seorang utusan bertindak dengan penuh kuasa untuk menyampaikan berita dari si pengutus atau si pemberi kuasa dan Yesus memberi kuasa kepada para murid sama seperti kuasa Yesus sebab kuasa itu berasal dari Yesus.” 14 Sebelum para murid terlibat dalam pelayanan misi, mereka sudah terlebih dahulu diperlengkapi dengan kuasa, kekuasaan supernatural, kekuatan, pengontrolan wibawa oleh Yesus. Kuasa yang diberikan Yesus kepada para murid menjadikan mereka mampu melakukan hal-hal yang supernatural seperti mengusir roh-roh jahat, menyembuhkan orang sakit, melenyapkan segala penyakit dan kelemahan sebagaimana terdapat dalam ayat 7 dan 8. Kemampuan dan keberanian para murid dalam bermisi berasal dan bergantung pada Yesus sebagai sumber kuasa misi. Yesus sebagai Delegator (Sender) Misi (ay. 5) Setelah Yesus memanggil dan memperlengkapi para murid dengan kuasa, kemudian Yesus mengutus para murid untuk bermisi. Hal tersebut dijelaskan dalam frasa “diutus oleh Yesus” menurut terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).15 Dalam terjemahan NIV; Jesus sent out yang berarti: Yesus mengedarkan, memancarkan, menyuruh.16 Dalam bahasa Yunani kata avpe,steilen dari kata dasar avposte,llw yang berarti: 10 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 47. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., II, 289. 12 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 47. 13 Echols dan Shadily, Kamus Inggris…,46. 14 Marulak Pasaribu, Injil Sinoptik, Yesus Yang Diberitakan Dalam Injil Matius, Markus & Lukas (Batu: Departemen Literatur YPPII, t.t.), 172. 15 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 47. 16 Echols dan Shadily, Kamus Inggris …, 513. 11 mengirim.17 Kata itu dalam bentuk kata kerja orang ketiga tunggal aorist aktif indikatif.18 Hal itu mengindikasikan bahwa Yesus yang telah bertindak mengutus para murid pada masa lampau secara factual (sungguh-sungguh pernah terjadi). Yesus benar-benar telah mengutus para murid untuk pelayanan misi. Misi adalah misi Yesus yang mengutus, para murid hanya sebagai utusan. Sebagai utusan harus bertindak atas nama dan menyampaikan berita dari Yesus yang mengutus. Keterlibatan dan kelayakan para murid dalam misi hanya dimungkinkan oleh Yesus yang mengutus. Yesus sebagai Instructor Misi (ay. 5) Yesus memberikan arah yang jelas kepada para murid untuk bermisi dengan pesan (petunjuk) yang jelas. Hal ini terlihat pada frasa “Ia berpesan kepada mereka” menurut terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI)19 menyatakan bahwa dalam waktu yang bersamaan ketika Yesus memanggil, memperlengkapi dengan kuasa, dan mengutus, Yesus juga menjadi instruktur misi bagi para murid. Kata berpesan menurut terjemahan NIV following instructions yang berarti: menyertakan pengajaranpengajaran, perintah-perintah.20 Dalam bahasa Yunani parh,ggeilavj dari kata dasar parh,ggeillw yang berarti: memberi perintah, berpesan, menyuruh.21 Kata ini merupakan kata kerja aorist active participle maskulin singular nominatif.22 Artinya Yesus telah terlebih dahulu menginstruksikan atau memberikan pengajaran-pengajaran/perintah-perintah sebagai pedoman bagi para murid sebelum bermisi. Jadi, pelayanan dan pelaksanaan misi para murid harus berdasarkan pengajaran-pengajaran atau perintah-perintah Yesus. Pengajaran-pengajaran atau perintah-perintah itu akan dikaji dan dipahami dalam pembahasan berikutnya, tentang tanggung jawab para murid sebagai agen misi Yesus dalam bermisi berdasarkan Matius 10:1-15. 17 18 19 20 21 22 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., II, 105. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 47. Echols dan Shadily, Kamus Inggris ..., 325. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., II, 604. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 48. Tanggung Jawab Para Murid Sebagai Agen Tunggal Misi Yesus dalam Bermisi (ay. 6-8a) Dalam perikop ini nama kedua belas murid Yesus secara lengkap dituliskan, mereka ialah Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya, Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes Saudaranya, Filipus dan Bartolomeus, Tomas dan Matius Pemungut Cukai, Yakobus anak Alfeus, dan Tadeus, Simon orang Zelot dan Yudas Iskariot yang mengkhianati Yesus (ay. 2). Para murid yang dipanggil, diberi kuasa, diutus dan diberikan instruksi oleh Yesus. Selain diperlengkapi, mereka juga diberikan tanggung jawab untuk bermisi, hal itu nampak pada pembahasan berikut ini. Para Murid Harus Pergi (Going) (ay. 6) Pada pembahasan ini para murid diperintahkan untuk pergi, hal itu nampak dalam frasa “pergilah” sebagaimana terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).23 Terjemahan NIV go yang berarti: pergi, berangkat.24 Sedangkan dalam terjemahan bahasa Yunani poreu,esqe dari kata poreuw yang berarti: pergi, berangkat, bepergian, berjalan, meneruskan, perjalanan, berlalu, hidup, meninggal.25 Kata poreu,esqe dalam bentuk kata kerja orang kedua jamak present middle imperative.26 “Pergi” adalah perintah Yesus, yang mana “pergi” berlaku sejak perintah diberikan (pada masa lampau) dan secara terus menerus, sekarang dan sampai pada masa yang akan datang. Hal ini dapat dipahami bahwa Yesus telah memerintahkan para murid untuk pergi melaksanakan misi-Nya bukan hanya pada saat perintah diberikan, namun dilakukan secara berkesinambungan selama hidup para murid. Kerinduan Yesus supaya para murid menjadi pelaksana misi yang penuh antusias dan proaktif selama mereka hidup. Para Murid Harus Memberitakan (Preaching) (ay. 7) Yesus memerintahkan para murid untuk pergi dengan tujuan misi yang sangat jelas. Seperti yang nampak dalam terjemahan baru Lembaga 23 24 25 26 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 48. Echols dan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, 272. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 661. Ibid., 48. Alkitab Indonesia (LAI)27 dari frasa “… dan beritakanlah: kerajaan Sorga sudah dekat” Menurut terjemahan NIV: As you go, preach this massage: The kingdom of heaven is near.28 Dalam ayat 7 kata “pergi” ditulis bukan dalam bentuk perintah, melainkan bentuk partisip dengan arah medium. Bentuk ini menyatakan bahwa pergi merupakan tindakan yang bersamaan dengan kata kerja pokok dalam ayat 7, yakni “memberitakan.” Terjemahan NIV preach berarti: mengajarkan, berkhotbah, menasihati.29 Sedangkan dalam bahasa Yunani kata beritakanlah keruvssete30 yang berarti: memberitahukan, menceritakan, berkhotbah, memuji secara terbuka. 31 Kata keruvssete merupakan kata kerja orang kedua jamak, presen, aktif, imperative. 32 Dapat dipahami bahwa perintah Yesus untuk memberitakan harus dilakukan secara terus menerus, yakni pada saat perintah itu diberikan sampai selama hidup mereka. Yesus memerintahkan para murid untuk memberitahukan, menceritakan dan mengkhotbahkan tentang kerajaan Allah sudah dekat, harus dilakukan terus-menerus. Isi berita misi yang disampaikan oleh para murid harus jelas, yang mana hal ini ditegaskan dengan kata le,gontej33 yang bentuknya sama dengan bentuk kata “pergi” dalam ayat ini, yaitu bentuk partisip namun dengan arah aktif. Artinya bahwa Kerajaan Sorga harus diberitakan dengan perkataan atau proklamasi. Dalam terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) memakai istilah “Kerajaan Sorga” 34 dan dalam terjemahan NIV; The Kingdom of heaven.35 Dalam bahasa Yunani basilei,a tw/n ouvranw/n36 kata basilei,a memiliki pengertian: kuasa sebagai raja, kuasa kerajaan, (wilayah) kerajaan, kerajaan, kerajaan (Allah). 37 Kata ouvranw/n berarti: langit, surga.38 Penggunaan istilah “kerajaan Surga” berkaitan 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 48. Ibid. Echols dan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, 442. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 48. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., II, 447. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 48. Ibid.. Ibid. Ibid. Ibid. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., II, 144. Ibid., 588. dengan latar belakang dan tujuan penulisan Injil Matius yang dialamatkan kepada orang Yahudi.39 Penghindaran Matius terhadap penggunaan nama Allah dengan memakai kata Surga semata-mata mengingat pembacanya yang berlatar belakang Yahudi. Bagi orang Yahudi penggunaaan nama Allah itu bertentangan dengan hukum ketiga dari sepuluh hukum (Kel 20:7). 40 Vine menjelaskan istilah Kerajaan Surga, demikian: While, then, the sphere of the Kingdom of God and the Kingdom of Heaven are at times identical, yet the one term cannot be used indiscriminately for the other. In the “Kingdom of Heaven” (32 times in Matt.), heaven is in antithesis to earth, and the phrase is limited to the Kingdom in its earthly aspects for the time being, and is used only dispensationally and in connection with Israel…The Kingdom of Heaven is always the Kingdom of God, but the Kingdom of God is not limited to the Kingdom of Heaven, until in their final form, they become identical; e.g., Rev.11:15, RV; John 3:5; Rev.12:10.41 Frasa “sudah dekat” dalam terjemahan NIV is near42 yang berarti: dekat. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Yunani h;ggiken44 dari kata e,ggi,zw yang berarti: mendekat, dekat.45 Hakh memberi pandangan sebagai berikut: 43 Di sini kita melihat bahwa istilah eggiken (=sudah dekat) (lihat juga Mat. 3:2; 10:7) membentuk suatu ketegangan antara masa kini dan masa depan. Pada satu pihak istilah itu menyatakan bahwa kerajaan itu sudah dekat, begitu dekat dalam pribadi Yesus sehingga kuasa kerajaan itu secara menentukan bertindih dengan atau dialami pada masa kini. namun pada pihak lain, istilah itu (eggeken) menyatakan bahwa pemenuhan kerajaan itu belum tiba, ia (pemenuhan 39 Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur YPPII, t.t.), 35-36. 40 Samuel Benyamin Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus Menurut Injil-Injil Sinoptik (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 42. 41 W.E. Vine, Vines Complete Expository Dictionary (Amerika: Thomas Nelson Publishers, 1996), 345. 42 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. 43 Echols dan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, 391. 44 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. 45 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., II, 233. kerajaan itu) masih di depan karena Allah belum secara penuh menyatakan pemerintahan-Nya.46 Kerajaan Allah sudah dekat artinya: Dalam diri Yesus kerajaan itu telah hadir secara radikal. Arah dan tujuan dari proklamasi Injil adalah bahwa Allah dalam pemerintahan-Nya sedang datang mendekat kepada manusia dalam pribadi Yesus Kristus. Jadi penekanan pemberitaan yang harus diberitakan oleh para murid dalam pelayanan misi mereka ialah: tentang Yesus sendiri sebagai wujud kehadiran kerajaan Allah membebaskan manusia dari kuasa dosa dan kuasa iblis. Para Murid Harus Menyembuhkan (Healing) (ay. 8a) Pelayanan misi yang harus dilakukan oleh para murid bukan hanya misi pemberitaan atau proklamasi saja, karena dalam ayat 8a Yesus memerintahkan para murid untuk melakukan pelayan misi penyembuhan orang sakit. Hal itu nampak dalam Frasa “sembuhkanlah orang sakit.” 47 Dalam terjemahan NIV Heal yang berarti: menyembuhkan.48 Sedangkan dalam terjemahan bahasa Yunani qerapeu49 dari kata qerapeuw yang berarti: melayani, menyembuhkan.50 Merupakan kata kerja orang kedua jamak, present, aktif, imperative.51 Dapat dipahami bahwa pelayanan misi menyembuhkan orang sakit adalah suatu perintah yang harus dilakukan, karena bukan suatu pilihan dan harus segera dilakukan sesudah perintah itu diberikan, selain dilakukan saat itu, juga harus berlangsung terus-menerus dalam waktu di kemudian hari. Frasa “orang sakit” dalam terjemahan NIV the sick yang berarti: orang-orang yang sakit.52 Dalam terjemahan bahasa Yunani sqenou/ntaj dari kata asqenew yang berarti: menjadi lemah, atau tidak berdaya, (termasuk dalam pengertian ekonomi, rasa takut, moral, atau agama), menderita penyakit.53 Bila dipahami dari berbagai keadaan orang yang harus dilayani 46 47 48 49 50 51 52 53 Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus Menurut..., 44. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. Echols dan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, 293. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 48. Ibid., 71. Ibid., 48. Echols dan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, 525. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., II, 123. berdasarkan kata astenej maka pelayanan penyembuhan yang Yesus maksudkan bagi para murid ialah bersifat holistik. Jadi bentuk dan pendekatan pelayanan misi para murid bersifat holostik berdasarkan misi Yesus. Para Murid Harus Membangkitkan (Raising) (ay. 8b) Misi membangkitkan yang diperintahkan Yesus kepada para murid pada pembahasan ini ialah membangkitkan orang mati sebagai mana tertulis dalam terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). 54 Dalam terjemahan NIV memakai kata raise the dead,55 yang dapat berarti hidupkanlah yang mati. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Yunani nekrou.j evgei,rete56 kata nekrou.j dari kata dasar nekro.j yang berarti: mati, yang tidak berguna.57 Sedangkan kata evgei,rete dari kata dasar evgei,rw yang berarti: membangunkan (orang tidur), bangun (dari tidur), membangkitkan (agar berdiri), bangkit (berdiri), membangkitkan (orang mati), mendirikan kembali, menjadikan, tampil.58 Kata evgei,rete merupakan kata kerja orang kedua jamak presen aktif imperatif. 59 Dapat dipahami bahwa misi para murid untuk membangkitkan orang mati adalah suatu perintah yang harus dilakukan segera sesudah perintah itu diberikan dan harus berlangsung terus menerus, sebagai suatu pola pelayanan misi yang berkelanjutan. Dengan demikian membangkitkan orang mati tidak boleh dipahami secara sempit, karena kematian yang dimaksud dalam teks ini bukan hanya kematian secara fisik (tubuh), tetapi juga kematian secara roh (rohnya mati, tubuhnya masih hidup). Misi membangkitkan orang mati adalah merupakan salah satu mujizat dalam PB.60 Tujuan mujizat ialah untuk menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan atas alam (Luk.8:41-56) dan sebagai bukti bahwa Kerajaan Allah telah hadir dalam pelayanan-Nya (Mat 11:2-5, 12:28). Mujizat menjadi suatu tanda bahwa keselamatan telah hadir dalam kuasa Allah, sebab orang mati telah dibangkitkan dan setan-setan telah diikat, orang 54 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 48. Ibid. 56 Ibid. 57 Ibid., 536. 58 Ibid., 234. 59 Ibid., 48. 60 J. D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2005), 96. 55 sakit disembuhkan.61 Tujuan mujizat bukan sekedar membangkitkan orang yang telah mati saja, tetapi bertujuan misiologi dan soteriologi. Jadi pelayanan misi para murid untuk membangkitkan orang mati harus berdasarkan pada tujuan misi Yesus yang bersifat misiologis dan soteriologis. Para Murid Harus Mentahirkan (Cleansing) (ay. 8c) Misi mentahirkan merupakan bentuk misi Yesus kepada para murid, hal tersebut nampak dalam frasa, “tahirkanlah orang kusta” dalam terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). 62 Dalam terjemahan NIV memakai kata cleanse those who hev leprosy,63 dalam terjemahan bahasa Yunani leprou.j kaqari,zete,64 kata leprou.j dari kata dasar lepro.j yang berarti: yang sakit kusta.65 Sedangkan kata kaqari,zete dari kata dasar kaqari,zw yang berarti: membersihkan, mentahirkan, melenyapkan, menyatakan bersih, menyucikan.66 Berbentuk kata kerja orang ke dua jamak presen aktif imperative.67 Dapat dimengerti bahwa misi mentahirkan orang kusta adalah misi yang harus dilakukan oleh para murid karena merupakan suatu perintah dan segera dilakukan sesudah menerima perintah, serta berlangsung terus-menerus dalam pelayanan di kemudian hari. Dalam PL orang yang mengalami penyakit kusta dianggap najis dan dikucilkan dari tengah masyarakat.68 Penjangkauan para murid dalam misi berdasarkan hakekat misi Yesus, termasuk kepada orang yang termarjinalkan dalam masyarakat. Para Murid Harus Mengusir Setan (Driving Out) (ay. 8d) Selain misi pemberitaan atau proklamasi dan penyembuhan, Yesus juga memerintahkan dan mengarahkan para murid untuk melakukan pelayanan misi pengusiran setan-setan, hal itu nampak dalam frasa “usirlah 61 62 63 64 65 66 67 68 Pasaribu, Injil Sinoptik..., 147. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 48. Ibid. Ibid. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear...., II, 485. Ibid., 409. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 48. Herbert Haag, Kamus Alkitab (Flores: Nusa Indah, 1992), 241. setan-setan” dalam terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). 69 Sedangkan dalam terjemahan NIV drive out demons.70 Drive out artinya: mengusir, mengeluarkan.71 Sedangkan kata demons memiliki pengertian: setan-setan. Iblis-iblis, jin-jin.72 Dalam terjemahan bahasa Yunani daimo,nia evkba,llete73 kata daimo,nia dari kata daimo,nia yang berarti: roh jahat, dewa.74 Karena berbentuk plural, maka dapat dipahami bahwa roh jahat itu berjumlah lebih dari satu (banyak), sehingga lebih tepat memakai kata roh-roh jahat. Sedangkan kata evkba,llete dari kata evkba,llw berarti: melemparkan keluar, mengusir, membawa keluar, menyuruh pergi, membawa, mengucilkan, menghina, memfitnah.75 Kata evkba,llete berasal dari kata kerja orang kedua jamak aktif imperatif.76 Dapat dimengerti bahwa para murid harus melakukan misi pengusiran setan itu segera sesudah Yesus memerintahkannya dan dilakukan terus-menerus dalam waktu pelayan ke depan. Penjangklauan misi para murid berdasarkan misi Yesus ialah pelepasan dari kuasa setan-setan. Sikap dan Motivasi Para Murid sebagai Agen Misi Yesus (ay. 8b) Sikap dan motivasi yang Yesus ajarkan kepada para murid sebagai agen tunggal misi Yesus ialah dalam frasa “kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah juga dengan cuma-cuma.”77 Kata dengan cuma-cuma dalam bahasa Yunani dwrea.n yang berarti: dengan cuma-cuma, tanpa alasan, dengan sia-sia.77 Sedangkan kata evla,bete dari kata dasar lambanw yang berarti: mengambil, menerima, memegang, membawa. Memikul, mengenakan, memiliki, beroleh. 78 Kata evla,bete berbentuk kata kerja orang kedua jamak aorist aktif indikstif. 79 Artinya 69 70 71 72 73 74 75 76 77 77 78 79 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. Ibid., 48. Echols dan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, 199. Ibid., 173. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., I, 48. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear....., II, 480. Ibid., 256. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., II, 231. Ibid., 447. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. bahwa para murid telah benar-benar memperolehnya, sudah dimiliki dengan gratis. Yang mereka peroleh ialah: panggilan sebagai kepercayaan bermisi, kuasa sebagai kemampuan bermisi, pengutusan sebagai kelayakan dan keabsahan bermisi dan arahan, petunjuk sebagai pedoman dan strategi bermisi. Hal tersebut juga dapat mengacu kepada semua yang telah diterima oleh para murid selama bersama Yesus. Kata berikanlah yaitu do,te dari kata dasar dido,tmi yang berarti: memberikan, membagi-bagikan, mengurbankan,80 dari kata kerja orang kedua jamak aorist aktif imperative.81 Yesus telah memerintahkan para murid untuk melakukan pelayanan misi dengan penuh pengurbanan bukan mencari keuntungan. Sikap dan motivasi misi para murid berdasarkan misi Yesus ialah misi yang rela berkurban. Objek Pelayanan Misi Yesus Kepada Para Murid (ay. 6) Frasa yang menyatakan objek misi Yesus kepada para murid dapat dimengerti dari frasa “domba-domba yang hilang dari umat Israel” dalam terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). 82 Dalam terjemahan NIV memakai kata rather to the lost sheep of Israel.83 Sedangkan dalam terjemahan bahsa Yunani pro,bata ta. avpolwlo,ta oi;kou VIsrah,lÅ84 Kata tersesat avpolwlo,ta dari kata dasar avpollumi yang memiliki arti: membinasakan, membunuh, mati, menuju kebinasaan, kehilangan, rusak, terbuang, tersesat.85 Kata avpolwlo,ta (berbentuk kata kerja perfek aktif partisip maskulin plural akusiatif),86 artinya orang-orang Israel yang dianalogikan dengan domba berada dalam keadaan tersesat jauh dari Tuhan, sebagai akibat dari kehidupan mereka yang telah menjauh dari Tuhan. Dalam konteks ini, misi Yesus secara khusus dialamatkan kepada orangorang Israel yang belum percaya. Namun dalam keseluruhan kitab Matius dapat dilihat bahwa sesungguhnya misi Yesus bukan hanya menjangkau orang Israel tetapi juga menjangkau semua orang di luar bangsa Israel (bnd. Mat 28:19-20). Dengan demikian, semakin jelas bahwa misi Yesus bersifat 80 81 82 83 84 85 86 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., II, 206. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. Ibid. Ibid. Ibid. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., II, 102. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. universal. Oleh karena itu objek misi para murid harus bersifat universal sebagaimana misi Yesus yang universal. Tindakan Para Murid Terhadap Kebutuhan Pelayanan Misi (ay. 9 dan 10) Dalam terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menuliskan bahwa para murid dilarang oleh Yesus membawa: emas, perak, tembaga, bekal, baju dua helei, kasut dan tongkat. 87 Sedangkan dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dan juga dari terjemahan bahasa Yunani lebih memperjelas lagi bahwa yang dimaksud dengan emas, perak, tembaga itu ialah uang yang terbuat dari emas, perak, tembaga. 88 Larangan itu nampak dalam frasa “janganlah.” 89 Janganlah dalam bahasa Yunani Mh yang berarti: tidak, jangan, supaya jangan, apakah mungkin, jangan lagi.90 Kata Mh merupakan kata partisip negatif.91 Para murid tidak boleh membawa bekal selama mereka pelayanan misi dalam konteks teks Matius 10:1-15. Sedangkan kata membawa dalam terjemahan NIV; take yang berarti: mengambil, menerima, memerlukan, membawa, menggunakan, melakukan.92 Dalam bahasa Yunani kth,shsqe dari kata dasar ktsomai yang berarti: memperoleh.93 Kata kth,shsqe berbentuk kata kerja orang kedua jamak aorist middle subjunctive.94 Yesus telah mengajak para murid untuk tidak membawa uang, baju lebih dari dua, bekal, kasut dan tongkat. Yesus mengerti bahwa para murid tentu memerlukan kebutuhan pelayan misi, tetapi Yesus mau membawa mereka pada suatu pemahaman yang benar mengenai kebutuhan pelayan misi, hal itu nampak dalam frasa “sebab seorang pekerja patut mendapat upah.” Upah dalam bahasa Yunani trofh/j95 dari kata dasar trofh yang berarti makanan.96 Dapat dimengerti bahwa yang harus menjadi fokus dan prioritas para murid ialah pelayanan 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. Ibid. Ibid. Ibid., 517 Ibid. 48 Ibid. Ibid., 466. Ibid., 48. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 49. Ibid., 765 misi, bukan kebutuhan. Kebutuhan akan dicukupi oleh Tuhan, Ia memperhitungkan jerih lelah dan kebutuhan para misionari-Nya. Wilayah Pelayanan Misi (ay. 11) Yang mengungkapkan wilayah pelayanan misi dalam pengajaran Yesus kepada para muird nampak dalam frasa “apabila kamu masuk kota atau desa” terjamahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). 97 Dalam terjemahan NIV whatever town or village you enter.98 Whatever artinya: apa saja, apapun.99 Town artinya: kota100 dan village artinya: desa, dusun, kampung.101 Sedangkan dalam terjemahan bahasa Yunani eivj h]n dV a'n po,lin h' kw,mhn 102 kata h]n berarti: apa saja.103 Kata h]n berbentuk kata ganti (pronoun) relative feminism singular akusiatif. 104 Kata po,lin dari kata dasar po,lij yang berarti: kota (penduduk) kota.105 Sedangkan kata kw,mhn dari kata dasar kw,mh yang artinya: desa, penduduk desa.106 Jika dipahami dari bentuk kasus kata h]n memang Yesus tidak mewajibkan para murid untuk pelayanan di kota atau desa, karena bersifat relatif tidak mutlak berlaku untuk semua orang/tempat. Tetapi setidaknya lewat pengajaran Yesus pada waktu mengutus para murid dalam Matius 10:1-15 nampak adanya penjangkauan misi kepada penduduk di kota dan desa. Dapat juga dipahami bahwa bukan masalah tempat yang menjadi prioritas, tetapi orang yang tersesat (jiwa yang belum diselamatkan) yang berdomisili di kota atau desa. Maka sebenarnya melakukan pelayanan misi harus secara holistik baik dari segi geografis (wilayah), maupun strategi, metode dan jenis pelayanan, misi tidak hanya difokuskan pada daerah perkotaan atau pedesaan saja. Keberadaan orang terabaikan ada di kota maupun desa (yang miskin, pemulung). 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. Ibid., 49. Echols dan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, 644. Ibid., 599. Ibid., 630. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 49. Ibid. Ibid. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., II, 657. Ibid., 475. Strategi Pelayanan Misi (ay. 11 12 dan 13) Carilah, Tinggallah, Berilah Strategi misi Yesus sebagai instruktur misi kepada para murid dapat dipahami dari frasa: “carilah orang yang layak untuk tinggal” (ay. 11), “masuk rumah dan berilah salam” (ay 12).107 Kata carilah dalam bahasa Yunani evxeta,sate dari kata dasar evxeta,zw yang berarti: menyelidiki, bertanya, menanyai.108 Kata evxeta,sate dalam bentuk kata kerja orang kedua jamak aorist imperative.109 Artinya Yesus telah memerintahkan para murid untuk melakukan pendekatan misi lewat kehidupan sosial masyarakat, dengan mencari orang yang layak, yang mau menerima mereka untuk menginap di rumahnya. Sedangkan kata berilah salam, dalam bahasa Yunani avspa,sasqe dari kata dasar avspa,zomai yang berarti: memberi salam kepada, meminta diri, memberi hormat, menyambut, merasa berharga, mengucapkan selamat.110 Kata avspa,sasqe dalam bentuk kata kerja orang kedua jamak aorist middle imperative.111 Artinya Yesus telah memerintahkan para murid supaya menerapkan pendekatan misi etika kehidupan sosial masyarakat, dengan memberi salam dan hormat tatkala masuk ke rumah orang lain. Sikap Terhadap Penolakan dalam Pelayanan Misi (ay. 14) Bagaimana para murid harus bersikap tatkala menghadapi penolakan dalam pelayanan misi sudah diajarkan oleh Yesus seperti yang nampak dalam ayat 14 “apabila seseorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataan mu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah atau kota itu dan kebaskanlah debu dari kaki mu.” Ada dua langkah yang perlu dilakukan oleh para murid apabila ditolak, yaitu: tinggalkanlah, kebaskanlah. Kata tinggalkanlah dalam bahasa Yunani evxerco,menoi dari kata dasar evxerco,mai yang berarti: pergi ke luar, datang, pergi, berangkat, keluar turun, meninggal (dunia), menyebar, lenyap.112 Kata evxerco,menoi 107 108 109 110 111 112 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 48. Ibid., 288. Ibid., 48. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., II, 124. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 49. Ibid., 287. dari kata kerja present middle participle maskulin jamak nominatif.113 Artinya Yesus memerintahkan para murid untuk keluar dan pergi tinggalkan. Sedangkan kata evktina,xate dari kata dasar evktina,ssw yang berarti: mengebaskan (debu)-mengebaskan debu dari kaki sebagai tanda pemutusan hubungan.114 Kata evktina,xate berbentuk kata kerja orang kedua jamak aorist aktive imperative.115 Artinya Yesus telah memerintahkan para murid untuk mengebaskan debu dari kaki mereka. Sikap terhadap penolakan misi dalam ajaran misi Yesus ialah pergi dan meninggalkan, indikasinya ialah tidak boleh melakukan perlawanan dan pemaksaan misi. Penghakiman Terhadap Para Penolak Misi (ay. 15) Penghukuman terhadap orang yang menolak misi Allah tertulis pada ayat 15: “sesungguhnya pada hari penghakiman tanah Sodom dan Gomora akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu. Sedangkan dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menuliskan: “pada hari kiamat, orang-orang kota Sodom dan Gomora akan lebih mudah diampuni Allah, dari pada orang-orang di Kota itu!”116 Frasa penghakiman dalam bahasa Yunani kri,sewj dari kata dasar kri,sij yang berarti: penghakiman, pengadilan, pengadilan (lokal), tuduhan, putusan, kuasa, menghakimi, dasar menghakimi, hukuman, keadilan.117 Jelas dalam pengajaran misi Yesus bahwa setiap orang yang menolak utusan misi Yesus akan dihakimi pada hari kiamat, dengan penghukuman yang sangat berat dan pasti. Menurut terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS): “ingat! Pada hari kiamat, orang-orang kota Sodom dan Gomora, akan lebih mudah diampuni Allah dari pada orang-orang di kota ini!”. Penghakiman dan penghukuman itu pasti dan serius, hal itu dapat dipahami dari penegasan Yesus dalam frasa: “Aku berkat kepada mu:..” menurut Terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Sedangkan dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari, memakai kata Ingatlah!” dan dalam terjemahan bahasa Yunani avmh.n118 artinya: amin, sesungguhnya, sungguh-sungguh.119 Itu berarti 113 114 115 116 117 118 119 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 49. Ibid., 265. Ibid., 49. Ibid. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., II, 464. Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 49. Ibid., 55. bahwa apa yang dikatakan oleh Yesus adalah kebenaran. MISI GEREJA DALAM MENJALANKAN MISI ALLAH BERDASARKAN HAKIKAT MISI YESUS KEPADA PARA MURID Dasar Misi Gereja Gereja dipanggil Allah untuk melaksanakan misi-Nya di tengahtengah dunia ini. Gereja merupakan agen tunggal misi Yesus, sehingga seluruh kehidupan Gereja seharusnya diresapi oleh beban misi. Pelayanan misi bukan merupakan pelayanan sampingan Gereja. Oleh karena itu kekuatan pemahaman dan semangat kegerakan misi Gereja sebagai agen tunggal misi Allah yang juga adalah misi Yesus, hanya berdasarkan pada hakekat misi Yesus yang juga adalah misi Allah. Pelayanan misi Gereja tidak dapat dilepaskan dari Yesus sendiri yang memiliki peran utama dalam bermisi. Yesus-lah yang menjadi inisiator misi Gereja, di mana misi Gereja harus dilaksanakan sesuai dengan kehendak Tuhan Yesus. Selain itu Gereja juga sangat bergantung pada kuasa Tuhan yang memampukan Gereja-Nya bermisi. Tuhan Yesus memanggil Gereja-Nya bukan untuk berpangku tangan, tetapi Yesus juga mengutus Gereja-Nya untuk pergi bermisi dengan petunjuk-petunjuk yang lengkap, yang harus dikerjakan oleh Gereja. Sehingga pelayanan misi Gereja memiliki arah yang jelas dan efektif. Tanggung Jawab Gereja dalam Bermisi Gereja sebagai agen tunggal misi Yesus diperintahkan untuk pergi melaksanakan misi-Nya. Gereja tidak boleh berdiam diri dalam kenyamanan menikmati berkat-berkat Tuhan, namun Gereja harus bergerak dan memikul tanggungjawab misi yang Tuhan Yesus embankan kepada Gereja. Inti pemberitaan Gereja dalam bermisi adalah Kerajaan Allah yang terimplementasi dalam pelayanan penyembuhan orang “sakit,” yaitu yang lemah/ tidak berdaya (termasuk dalam pengertian ekonomi, rasa takut, moral, atau agama), juga yang menderita penyakit. Pelayanan misi Gereja haruslah bersifat holistic, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia (jasmani dan rohani). Selain itu, kerajaan Allah juga diimplementasikan melalui pelayanan Kebangunan Rohani (membangkitkan orang yang mati secara rohani). Gereja juga terpanggil untuk mentahirkan orang-orang yang dianggap najis, yang termarjinalkan dari tengah masyarakat serta melakukan pelayanan pengusiran roh-roh jahat, iblis, setan-setan yang merasuk dan merusak bahkan menghancurkan hidup ataupun masa depan manusia. Sikap dan Motivasi Gereja sebagai Agen Tunggal Misi Yesus Gereja dipanggil, diberi otoritas/kuasa dan diutus sebagai agen misi tunggal Allah berdasarkan kasih karunia Allah, bukan karena kelayakan Gereja. Karena itu, motivasi Gereja dalam melaksanakan misi harus benar, bukan untuk mencari kebesaran namanya sendiri, bukan pula mencari keuntungan berupa harta kekayaan. Yesus justru memerintahkan GerejaNya untuk melakukan pelayanan misi dengan penuh pengurbanan bukan mencari keuntungan. Sikap dan motivasi misi Gereja berdasarkan misi Yesus ialah misi yang rela berkurban. Objek Pelayanan Misi Gereja Pelayanan misi Gereja harus memiliki sasaran yang tepat sesuai dengan yang Tuhan Yesus maksudkan. Obyek misi Gereja bersifat universal. Misi Gereja bukan hanya kepada golongan tertentu, melainkan kepada semua orang yang berada dalam keadaan tersesat, orang-orang yang jauh karena menjauhkan diri dari Tuhan, termasuk kepada orang yang mengaku Kristen tetapi belum menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat pribadinya. Selain itu, Gereja juga harus menjangkau orang yang jauh dari Tuhan karena mereka tidak mengenal Tuhan yang telah menciptakan mereka dan yang berotoritas atas hidup mereka. Tindakan Gereja terhadap Kebutuhan Pelayanan Misi Yesus menghendaki Gerejanya tidak terikat atau tidak bergantung kepada materi dalam melaksanakan pelayanan misi. Tuhan Yesus sangat memahami bahwa pelayanan misi Gereja memiliki kebutuhan yang diperlukan untuk pelayanan misi, namun Tuhan menghendaki Gereja memilki fokus dalam bermisi, yaitu menjangkau jiwa-jiwa yang tersesat. Tuhan Yesus pasti akan mecukupkan kebutuhan pelayanan misi karena Tuhan juga menyediakan upah bagi Gereja yang bermisi. Jadi, keterbatasan materi tidak boleh menjadi alasan bagi Gereja untuk tidak bermisi. Wilayah Pelayanan Misi Gereja Pelayanan misi Gereja memiliki jangkauan yang sangat luas, yaitu di daerah perkotaan dan pedesaan, karena wilayah hunian manusia adalah kota-kota dan desa-desa. Namun penekanan dalam pelayanan misi bukan pada wilayah, namun pada manusia yang menjadi penghuni wilayah tersebut (kota atau desa). Oleh karena itu, Gereja tidak boleh melakukan pengkotakan wilayah penjangkauan misi. Strategi Pelayanan Misi Gereja Gereja perlu memiliki strategi dalam pelayanan misi, karena strategi misi sangat mempengaruhi efektifitas pelayanan misi Gereja. Tentu banyak strategi dalam pengajaran misi Yesus bahwa setiap orang yang menolak utusan misi Yesus akan dihakimi pada hari kiamat, dengan penghukuman yang pasti. Menurut terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS): “ingat! Pada hari kiamat, orang-orang kota Sodom danGomora, akan lebih mudah diampuni Allah dari pada orang-orang di kota ini!” Penghakiman dan penghukuman itu pasti dan serius, hal itu dapat dipahami dari penegasan Yesus dalam frasa: “Aku berkat kepada mu:..” menurut Terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Sedangkan dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari, memakai kata “Ingatlah!” dan dalam terjemahan bahasa Yunani avmh.n120 artinya: amin, sesungguhnya, sungguhsungguh.121 Adapun strategi misi yang dapat dilakukan oleh Gereja adalah pendekatan misi melalui kehidupan sosial masyarakat, dengan mencari orang yang layak, yang mau menerima mereka untuk menginap di rumahnya. Pendekatan misi ini dapat disebut pendekatan misi etika kehidupan sosial masyarakat. Sikap Gereja terhadap Penolakan dalam Pelayanan Misi Keseriusan Gereja dalam melaksanakan pelayanan misi bukan tanpa resiko. Resiko penolakkan dalam pelayanan misi telah diingatkan oleh 120 121 Susanto, Perjanjian Baru Interlinear..., I, 49. Ibid., 55. Tuhan Yesus pada saat mengutus para murid-Nya. Hal ini menjadi peringatan kepada Gereja bahwa akan ada resiko penolakan yang akan diterima oleh Gereja dalam menjalankan pelayanan misi. Dalam menyikapi penolakan tersebut, Gereja harus mengambil tindakan yang tepat sebagimana yang telah diajarkan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya, yakni meninggalkan orang yang menolak tanpa melakukan perdebatan, perlawanan dan pemaksaan misi kepada orang tersebut. Penghakiman terhadap Para Penolak Misi Dalam pelayanan misi, Gereja tidak boleh gentar dan tawar hati apabila ditolak karena setiap orang yang menolak utusan misi Yesus akan dihakimi pada hari kiamat, dengan penghukuman yang pasti dan serius. Oleh karena itu Gereja atau utusan misi tidak perlu menghakimi para penolak misi karena penghakiman adalah hak Allah. Di samping itu, hal ini menjadi penghiburan bagi Gereja dan setiap utusan misi, tatkala menghadapi penolakan. Maka Gereja dan para utusan misi harus tetap bersemangat dan terus maju dalam pekerjaan misi, sekalipun ada penolakan berupa penganiayaan bahkan ancaman kematian sebagaimana perkataan Tertulianus yang seringkali dikutip oleh orang percaya bahwa “darah martir adalah benih Gereja.” PENUTUP Misi Yesus tidak dapat dilepaskan dari peran Yesus sendiri sebagaimana terdapat dalam Matius 10:1-15. Yesus adalah inisiator misi, dimana Yesus sendiri berinisiatif dan bertindak memamggil para murid. Kehadiran dan keterlibatan para murid dalam pelayanan misi semata-mata dimungkinkan hanya oleh anugerah Tuhan Yesus yang memanggil. Sebagai dinamisator (authorial) misi, Yesus memberi kuasa kepada para murid untuk bermisi, kemudian Yesus juga bertindak sebagai delegator (sender) misi, yang mengirim/mengutus para murid untuk bermisi, dalam waktu yang bersamaan, Yesus juga selaku instructor misi memberikan arah yang jelas melalui petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan para murid dalam bermisi. Keempat hal tersebut di atas, menjadi pilar pelayanan misi para murid.