Case studies in Learning Mathematics for Early Grades

advertisement
LAPORAN PENELITIAN STUDI KASUS
PADA SEKOLAH DASAR
PROGRAM MBS
MATA PELAJARAN MATEMATIKA
Oleh:
Tim PGSD FIP UNJ
(Kerjasama UNESCO dengan FIP UNJ)
Tujuan dilaksanakan observasi tentang proses pembelajaran
ini agar dapat menemukan permasalahan-permasalahan
yang terjadi pada pembelajaran Matematika, khususnya
di Kelas I sekolah dasar. Dengan adanya kegiatan ini,
diharapkan guru dapat melaksanakan refleksi terhadap
proses pembelajaran yang dilaksanakannya. Temuantemuan permasalahan ini juga dapat dijadikan bahan
diskusi dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi
bagi guru/calon guru sekolah dasar. Pembahasan kasuskasus ini diharapkan menambah wawasan para mahasiswa
calon guru sebagai bekal menghadapi dunia kerja yang
sesungguhnya.
Observasi dilaksanakan di dua SDN di daerah kabupaten
Sukabumi. Pelaksanaan observasi dari tanggal 14 November
sampai dengan 30 November 2006. Metode penelitian
yang digunakan adalah studi kasus. Subjek penelitian ini
adalah tiga guru sekolah dasar pada SDN tersebut yang
mengajar di Kelas I pada semester ganjil tahun ajaran
2006/2007. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa
data ujaran dan catatan hasil pengamatan lapangan, juga
melalui pengambilan gambar dengan kamera dan alat
perekam audio-visual. Data ini dianalisis untuk kemudian
direfleksi dan dilanjutkan dengan konfirmasi data kepada
subjek penelitian untuk keabsahannya.
Temuan-temuan permasalahan dalam bidang matematika
antara lain: (1) Mengubah Soal Cerita dalam Kalimat
Matematika, (2) Mengapa Sulit Memahami Soal Cerita
Matematika? (3) Asyiknya Menjumlah dengan Bersusun
Pendek, (4) Pentingnya Menjumlah Bersusun Panjang, (5)
Sajian Soal Pada Buku Paket Tidak Selalu Mudah Dipahami
Siswa, (6) Mengapa Penyelesaian Operasi Cara Pendek
Lebih Disukai Siswa?
Metode penelitian yang digunakan untuk studi ini adalah
studi kasus (case study), dimana penelitian masuk dalam
jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sebagai
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Pendekatan studi kasus atau penelitian kasus
merupakan penelitian tentang subjek penelitian yang
berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari
keseluruhan personalitas. Data yang diperoleh dari
penelitian ini berupa data ujaran dan catatan hasil
pengamatan lapangan. Oleh karena itu, pendekatan studi
kasus memadukan metode pengamatan, wawancara, dan
analisis dokumen. Data ini dianalisis untuk kemudian
direfleksi dan dilanjutkan dengan konfirmasi data kepada
subjek penelitian untuk keabsahannya.
Subjek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan
peneliti. Subjek penelitian studi kasus ini adalah tiga guru
sekolah dasar negeri dari dua sekolah. Adapun kedua
sekolah yang dijadikan tempat penelitian adalah sekolahsekolah yang selama ini telah dibina oleh UNESCO dan
UNICEF dalam pengembangan MBS dan pembelajaran
berdasarkan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efisien,
dan Menyenangkan).
Untuk memasuki pekerjaan di lapangan, peneliti perlu
memahami latar penelitian terlebih dahulu. Selain perlu
mempersiapkan diri baik dari segi penampilan, sikap,
tingkah laku sehingga orang-orang yang menjadi subjek
penelitian akan memberi respon positif dan peneliti dapat
mengenal lebih akrab kepada subjek penelitian serta
beradaptasi dengan lingkungan.
Pada penelitian ini, peneliti adalah satu tim terdiri atas
tujuh orang yang mengamati secara bersama tiga guru
yang menjadi subjek penelitian. Mata pelajaran
yang diamati adalah Matematika dan Bahasa
Indonesia. Pengamatan dilakukan selama tiga
belas hari kerja dengan mengamati kegiatan
pembelajaran yang dilakukan subjek penelitian
dan setiap aktivitas dicatat dalam catatan
lapangan.
Peneliti bertindak sebagai observer murni.
Dengan kata lain, tidak terjadi campur tangan
atau pemberian tindakan pada kelas maupun
subjek penelitian selama pengamatan
berlangsung. Peneliti hanya memotret
pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas
selama pelajaran berlangsung, menggunakan
catatan lapangan, mengambil gambar (foto) dan
merekam secara audio-visual semua kejadian.
Dalam pengumpulan data kualitatif di lapangan,
peneliti harus cukup dekat dengan orang-orang
dan situasi yang diteliti, sehingga
memungkinkan pemahaman mendalam dan
rinci tentang apa yang sedang berlangsung.
Peneliti juga harus berupaya menangkap apa
yang secara aktual terjadi. Oleh karena itu,
metode pengumpulan data dilakukan dengan
membuat catatan lapangan yakni mencatat halhal yang terjadi selama proses pembelajaran
baik yang dilakukan di dalam maupun di luar
kelas. Di samping membuat catatan lapangan,
data juga dikumpulkan melalui pengambilan
gambar dengan kamera dan alat perekam audiovisual. Pengambilan gambar-gambar ini selain
diperlukan sebagai alat konfirmasi, juga
digunakan untuk pengamatan ulang dan
pengkajian kembali hasil pengamatan yang telah
dilakukan.
Di samping mengamati kegiatan pembelajaran
di dalam kelas, juga dilakukan wawancara
dengan guru dalam rangka konfirmasi mengenai
apa yang telah terjadi di dalam kelas. Data juga
dikumpulkan melalui dokumentasi pekerjaan
murid yang berisi hasil kerja selama proses
belajar. Berdasarkan hal ini, data terdiri dari
kutipan langsung dari berbagai orang, yakni apa
yang mereka katakan dan tuliskan.
Data dianalisis secara deskriptif untuk mendapat
kesimpulan akhir dari tujuan penelitian. Analisis
data dilakukan selama pengumpulan data. Data
yang terkumpul dari hasil pengamatan lapangan
berupa pelaksanaan KBM, selanjutnya dianalisis,
direduksi, dan dicerna ulang dengan melihat
hasil rekaman video. Selanjutnya data dianalisis
dan dilakukan refleksi untuk menduga secara
mendalam apa yang terjadi di dalam kelas dan
apa yang ada dalam pikiran guru selama
melakukan proses KBM. Dari hasil ini diperoleh
beberapa temuan menarik yang selanjutnya
akan dikonfirmasi kepada guru. Kesimpulan
dilakukan selama penelitian berlangsung dengan
cara memikir ulang selama penyusunan,
tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan,
peninjauan kembali dan tukar pikiran sejawat.
Berdasarkan hasil analisis dan refleksi
selanjutnya disusun beberapa pertanyaan
dimaksudkan untuk dikonfirmasikan kembali
kepada guru agar diperoleh kepastian dari data
temuan yang diperoleh. Setelah konfirmasi dilakukan
barulah temuan-temuan itu disusun, dihaluskan dan
kemudian ditulis agar nantinya temuan ini dapat dijadikan
bahan diskusi dalam proses pembelajaran di perguruan
tinggi bagi calon guru sekolah dasar yang akan memasuki
dunia kerja.
Beberapa kasus yang menarik berkenaan dengan proses
belajar-mengajar materi pelajaran Matematika dan Bahasa
Indonesia berhasil ditemukan. Temuan berupa kasus-kasus
berikut menarik untuk dijadikan bahan kajian bagi
mahasiswa calon guru sekolah dasar dengan cara
mendiskusikan dan selanjutnya menemukan solusi
terbaiknya. Kasus-kasus yang diangkat ini adalah kasuskasus yang sangat mungkin banyak terjadi di kelas-kelas
awal sekolah dasar dan dilakukan oleh guru-guru ketika
mereka mengajar. Pembahasan kasus-kasus ini diharapkan
menambah wawasan para mahasiswa calon guru sebagai
bekal menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya selepas
menyelesaikan perkuliahan di perguruan tinggi. Berikut
adalah kasus-kasus tersebut.
Saya sebagai guru kelas harus menguasai semua
bidang studi apalagi kelas I SD kurikulumnya
tematik. Saya berusaha bagaimana dengan satu
tema bisa mencakup berbagai mata pelajaran.
Di samping itu siswa kelas I secara umum
mempunyai latar berbeda pengalamannya.
Beberapa anak sudah mempunyai kemampuan
awal membaca atau menulis huruf dan menulis
lambang bilangan, tetapi secara mayoritas
mereka belum bisa sama sekali. Sekalipun telah
mempunyai kemampuan awal, belum menjamin
mudah ditangani. Hal ini malah sering
menyulitkan terutama motorik halusnya sudah
terlatih secara salah, seperti dalam penulisan
huruf atau menulis lambang bilangan. Secara
proses mereka salah, sekalipun produknya
benar/sama. Sulit sekali mengubah kebiasaan
tersebut. Secara psikologis juga mereka
terpengaruh, karena materi SD pada awalnya
berhitung dan membaca/menulis permulaan.
Karena merasa sudah bisa, mereka menganggap
mudah sehingga malah sering mengganggu
temannya, mungkin mereka merasa bosan.
Kalau disuruh memilih saya lebih suka anak
yang belum tahu apa-apa karena lebih mudah
mengarahkannya. Namun bagaimanapun juga
menjadi guru kelas I SD mempunyai kebanggaan
dan kepuasaan tersendiri bagi saya yang sulit
digambarkan, karena dari anak yang tidak bisa
apa-apa menjadi mampu terutama dalam hal
dasar-dasar membaca, menulis dan berhitung.
Masalah yang belum terpecahkan sampai kini,
di kelas saya ada lima anak yang berkebutuhan
khusus, sehingga memerlukan waktu yang
khusus setiap kali proses pembelajaran
berlangsung.
Hari ini saya mengajar di kelas I dengan tema transportasi. Saya ingin memadukan mata pelajaran IPS,
Bahasa Indonesia, dan Matematika. Saya memulai mengajar dari materi IPS untuk mengenal jenis–jenis alat
transportasi. Kemudian masuk ke Bahasa Indonesia untuk menambah kosa kata, menulis dan membaca
tentang ala-alat transportasi. Selanjutnya ke materi Matematika, saya memberikan materi penjumlahan.
Pendekatan yang saya lakukan adalah dengan bercerita tentang permasalahan matematika yang berhubungan
dengan alat-alat transportasi supaya anak lebih mudah memahaminya. Saya mulai bercerita masalah ini: di
sebuah terminal ada 5 buah bemo, kemudian datang lagi 10 bis. Berapakah jumlah bis dan bemo? Sambil
menggambarkannya di papan tulis.
Anak-anak saya suruh menulis kalimat matematikanya di
buku, kemudian menjumlahnya. Saya berkeliling untuk
melihat pekerjaan anak secara individual dan menolong
anak yang belum mampu menuliskan lambang bilangan
dan jumlahnya, supaya semua anak bisa mengerjakannya.
Setelah selesai soal pertama, mulai memberikan soal cerita
kedua dengan bercerita lagi: di sebuah bis ada sederetan
kursi 8 buah di sebelah kiri dan 8 buah sebelah kanan, ada
berapa jumlah semua kursi? Saya menggambarkan kursi
di papan tulis dan anak saya suruh mencatat kalimat
matematika dan menjumlahkannya. Kemudian saya
berkeliling membantu anak yang belum bisa. Setelah selesai,
kemudian memberikan soal cerita ketiga. Di dalam sebuah
bis ada yang berjualan buah-buahan, seorang ibu membeli
7 jeruk dan 7 duku, ada berapa jumlahnya? Sambil saya
menggambarkannya di papan tulis, demikian pula anak
disuruh menuliskan kalimat matematika dan
menjumlahkannya di buku catatan. Demikian sampai saya
memberikan soal cerita sebanyak 7 buah soal. Saya berusaha
membuat soal cerita yang mudah dipahami oleh anak dan
diharapkan anak bisa menyelesaikannya dalam kalimat
matematika.
Setelah menyelesaikan sebanyak 7 buah soal,
kemudian saya menilai secara individual dengan
cara mendatangi setiap anak. Setelah itu anak
boleh istirahat, setengah jam kemudian anak
masuk kelas lagi dan saya memberikan PR.
Pada suatu kesempatan refleksi, saya
mengungkapkan apa yang menjadi pemikiran
saya, apakah anak bisa mengerjakannya dan
paham dengan contoh-contoh yang saya
berikan? Karena setiap diberikan soal cerita
anak sulit menyelesaikannya. Sebenarnya bukan
karena materi matematika yang tidak bisa
mengerjakannya, tetapi anak tidak dapat
memahami bahasanya. Mereka tidak dapat
mengubah soal cerita ke dalam kalimat
matematika dengan benar. Namun apabila
diberikan dalam bentuk kalimat matematika
dengan menuliskan lambang bilangannya
langsung, umumnya mereka bisa
menyelesaikannya. Saya sering dalam membuat
soal cerita mencampur bahasa Indonesia dengan
bahasa daerah, tetapi masih saja anak kesulitan
untuk memahaminya. (Pengalaman Ibu
Sumiati, guru SD di Sukabumi).
Kesulitan yang dialami oleh guru tersebut juga
dirasakan oleh guru yang lain yaitu bagaimana
supaya anak mudah memahami soal cerita.
Barangkali dengan memberikan soal cerita
dengan objek-objek yang konkret akan lebih
menolong anak untuk mudah memahaminya,
karena umumnya anak kelas I SD masih berpikir
konkret. Juga bisa dengan mencampurkan
dengan bahasa daerah setempat. Demikian pula
objek yang menjadi contoh dalam soal cerita
harus sejenis. (Sri, Guru kelas I SD di daerah).
Menanggapi masalah di atas secara materi yang
disajikan sudah cukup bagus dengan
pembelajaran model webbing (terintegrasi antar
mata pelajaran) dalam satu tema. Akan tetapi
mungkin lebih baik apabila materi tersebut
berangkat dari sesuatu hal yang sudah dekat
dengan kehidupan mereka. Di kelas rendah
terutama kelas I SD, supaya pembelajaran lebih
efektif maka soal ceritera disajikan dalam
bentuk-bentuk gambar yang menarik, diberikan
warna, ditempel di karton, kemudian digantung
di papan tulis. Dengan model pengajaran guru
menggambar langsung di papan tulis, menurut
saya kurang tepat karena dapat menyita waktu,
dan membuat keributan dalam kelas. Sebaiknya
guru tersebut harus menggunakan multi metode
dan menggunakan media agar pembelajaran
menjadi efektif. (Anwar, Mahasiswa PGSD).
Ada beberapa hal harus diperhatikan dari proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru tersebut
dengan melihat latar siswanya. Pertama dalam
pembelajaran soal ceritera bagaimana kalau
murid bukan hanya menulis hasilnya saja di buku catatan,
tapi harus dibimbing menulis soalnya, supaya ada bahan
untuk dipelajari selanjutnya di rumah. Kedua, supaya anak
tidak kesulitan dalam proses menjumlah alangkah baiknya
objek yang dijadikan contoh dalam penjumlahan harus
berkarakteristik sama. Seperti menjumlahkan jeruk dengan
duku, seharusnya dipayungi oleh buah-buahan. Karena
anak di samping menuliskannya, juga harus
mengkomunikasikan dalam bahasa lisan. Ketiga, sekalipun
merupakan materi lanjutan, bagaimana kalau penggunaan
media tetap menggunakan model konkret, karena mayoritas
murid SD kelas rendah masih berpikir konkret supaya anak
lebih memahami konsep, dan sebaiknya masalah
kontekstual soal ceritera sesuai dengan pengalaman anak
atau memanfaatkan budaya setempat. Keempat,
menghadapi anak yang berkebutuhan khusus, bagaimana
jika menyediakan waktu di luar jam pelajaran supaya tidak
mengorbankan/ mengganggu anak yang lain. (Dudung
Amir Soleh, Dosen Pendidikan Matematika di PGSD UNJ).
Saya berencana mengajarkan aplikasi
matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Materi atau bahan ini saya hubungkan dengan
penjumlahan hasil sampai dengan 20 di kelas
I-A. Bahan ajar matematika yang akan saya
sajikan pertama adalah memberikan contoh soal
cerita matematika yang diambil dari buku
sumber. Tema pembelajaran hari ini adalah
‘binatang’. Saya menuliskan soal cerita yang
berhubungan dengan binatang di papan tulis
dan menyuruh murid menyalin di buku masingmasing. Contoh soal cerita tersebut:
ayah mempunyai 10 ekor kelinci
ayah membeli lagi 4 ekor kelinci
berapa ekor kelinci ayah sekarang?
Setelah selesai menulis soal, saya menyuruh
murid memperhatikan ke depan, kemudian
membaca soal bersama-sama. Saya menekankan
cara memenggal kata dalam membaca soal,
misalnya: Berapa ekor / kelinci ayah sekarang?
Akan berbeda jika dibaca dengan pemenggalan:
Berapa / ekor kelinci ayah sekarang?
Kemudian saya menyusun jawaban bersamasama dengan murid, caranya dengan menuliskan
kembali apa yang diketahui, selanjutnya mencari
hasil dari soal cerita tersebut, seperti berikut
ini.
kelinci ayah mula-mula ada 10 ekor
ayah membeli lagi
4 ekor
kelinci ayah sekarang = 10 + 4 = 14 ekor
Murid menyalin jawaban dari soal cerita di atas. Sambil
berkeliling, saya memeriksa pekerjaan dan tulisan murid
satu persatu. Ada beberapa murid yang masih lamban
menulisnya. Saya kemudian memberikan soal latihan yang
harus dikerjakan murid, soal diambilkan dari buku sumber.
Soal latihan seperti berikut ini.
ayam kakek bertelur 12 butir
ayam nenek bertelur 7 butir
berapa jumlah telur ayam kakek dan nenek?
Saya menugaskan murid menyalin lagi soal latihan dari
papan tulis, kemudian murid menentukan jawabannya di
buku masing-masing. Saya selalu menekankan kepada
murid untuk menuliskan apa yang diketahui terlebih
dahulu, baru dihitung jumlahnya. Murid yang telah selesai
mengerjakan soal latihan kemudian saya nilai. Hasilnya,
dari 36 siswa, baru 20 orang yang menjawab benar.
Beberapa murid belum berhasil menjawab soal tersebut
dengan benar.
Saya kemudian mencoba menerangkan kembali soal cerita
matematika dengan bahasa yang dipahami anak.
Selanjutnya saya menuliskan satu soal sebagai PR. Hal
yang menggembirakan, murid-murid kelas I setiap hari
meminta sendiri dikte dan PR. Soal cerita untuk PR saya
tanyakan pada murid, “Binatang apa yang belum digunakan
contoh?” Seorang siswa menjawab “Burung Bu.” Saya
menuliskan soal cerita mengenai burung seperti berikut
ini.
burung Panji 13 ekor
ayah membelikan lagi 7 ekor
berapa burung Panji sekarang?
Semua murid menyalin soal tersebut di buku masingmasing. Hal yang tidak dapat dihindari pada pembelajaran
kelas rendah, ada beberapa murid agak gaduh, dan ada
murid yang telah selesai menyalin soal kemudian
mengganggu temannya. Saya menegur mereka untuk tidak
mengganggu teman. Mereka gaduh karena bersiap-siap
untuk pulang.
Pada suatu kesempatan refleksi, saya mengungkapkan
pemikiran saya tentang ketidakberhasilan sebagian murid
tersebut, apakah karena masih belum lancar
menulis? Namun demikian, beberapa murid
yang biasanya sudah lancar menulispun ternyata
belum dapat menjawab soal latihan tersebut
dengan benar. (Pengalaman Ibu Sumiati, guru
SD di Sukabumi).
Cara yang sudah diterapkan cukup baik, yakni
pelajaran Matematika diintegrasikan dengan
pelajaran Bahasa Indonesia, hanya saja jam
pelajaran lebih banyak untuk latihan menulis.
Akibatnya waktu belajar matematika akan
sedikit berkurang. (Wahyuni, Mahasiswa
lembaga pendidikan guru).
Soal cerita yang disampaikan pada murid kelas
I sebaiknya dengan kalimat yang jelas. Juga
masih perlu digunakan alat peraga konkret atau
media gambar, dimaksudkan murid memahami
suatu soal cerita matematika dihubungkan
dengan operasi penjumlahan. (Kurniasari,
Mahasiswa lembaga pendidikan guru).
Menurut saya, agar siswa mengetahui
manfaatnya belajar matematika, maka ketika
pembelajaran soal cerita guru memulai dari hal
konkret, bercerita yang barang/bendanya ada
di kelas. Selanjutnya, guru memperbanyak cerita
matematika tentang permasalahan yang
berhubungan dengan kehidupan yang dekat
dengan siswa sesuai tema pembelajaran hari
itu. Juga soal-soal cerita yang diberikan harus
bervariasi, jangan hanya ‘membeli’ dan ‘bertelur’,
misalnya dihubungkan dengan: beranak lagi,
diberi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal
ini memperkaya wawasan siswa tentang soal
cerita dengan operasi penjumlahan, sehingga
siswa dapat dengan mudah menuliskan dalam
bahasa matematikanya. Guru dapat memberikan
tugas soal cerita dengan cara murid bercerita
atau murid menuliskan soal cerita dari
pengalamannya sehari-hari. Ini cocok diberikan
pada murid dengan kecepatan belajar tinggi, sehingga
mereka tidak mengganggu teman yang belum
menyelesaikan tugas. Hal lain yang menyebabkan
pembelajaran soal cerita menjadi kurang efektif karena
pembelajaran terfokus pada kegiatan menulis. Bagi murid
yang lambat menulis tampak ketinggalan dari temantemannya. Memang pada kelas awal sekolah dasar, fokus
pembelajaran ditekankan pada membaca, menulis, dan
berhitung. Namun demikian, guru perlu memikirkan cara
lain agar jumlah soal latihan tentang cerita matematika
yang dapat diselesaikan siswa lebih banyak lagi. (Nafiah,
Dosen PGSD sebuah LPTK Negeri di Jakarta).
Ketika pembelajaran soal cerita matematika, saya mencoba
tanpa menggunakan benda-benda konkret lagi, karena
memang saat itu saya akan mengajak murid untuk berpikir
secara abstrak. Sebelumnya, ketika saya mengenalkan
hitung penjumlahan sampai sepuluh, saya selalu
menggunakan alat peraga, misalnya sedotan, pensil, lidi,
dan lain-lain.
Saya juga berusaha menerangkan soal cerita matematika
dengan bahasa yang dipahami anak, yakni dengan
menerjemahkan soal cerita dari bahasa Indonesia ke dalam
bahasa ibu (bahasa setempat), sehingga murid mengerti
maksud soal cerita tersebut.
Saya mengajarkan topik menjumlahkan dua bilangan dua angka dengan satu angka melalui berbagai teknik
di kelas I-A. Teknik pertama yang saya gunakan adalah mencongak. Murid langsung menjawab hasilnya,
baik secara klasikal, kelompok tempat duduk, maupun individu. Agar murid berkonsentrasi dalam menghitung
hasil penjumlahan, saya mengajak murid untuk ‘menyimpan bilangan pertama di kepala (pikiran)’ sambil
menepuk kepala agar diingat. Misalnya penjumlahan 13 + 7, simpan 13 di kepala kemudian bilangan 7
diragakan menggunakan jari tangan. Semua murid menirukan cara menghitung dengan menepuk kepala.
Soal-soal mencongak yang lain:
Saya bilang “Dulu kalau menghitung, kita pakai
bantuan sedotan, biji-bijian, lidi ya. Sekarang
bagaimana kalau menghitung dengan jumlah
lebih dari sepuluh? Misalkan 7 + 4, simpan
tujuh di kepala, tambahkan empat
menggunakan jari tangan. Selanjutnya saya
memberi contoh cara menghitung PR yang
kemarin, 13 + 7.
Mencongak dilanjutkan lagi. Saya menemukan
ada beberapa murid yang belum terampil
menghitung penjumlahan 8 + 5, saya memberi
perhatian pada murid yang masih lemah dalam
menghitung. Perhatian juga saya berikan pada
semua murid agar bersemangat mengikuti
pelajaran.
Setelah mencongak selesai, teknik kedua yang saya ajarkan
adalah penjumlahan bersusun pendek yang menjadi fokus
pembelajaran matematika hari ini. Saya menjelaskan bahwa
dalam pengerjaan hitung sampai dengan 20, selain
diperlukan penggunaan alat peraga seperti sedotan, bijibijian dan sebagainya; dapat juga diselesaikan dengan
teknik penjumlahan bersusun pendek.
“PR kita tentang soal cerita dapat ditulis 13 + 7 = ..., kemarin
kita belajar ini dengan menjumlah cara mendatar.” “Waktu
kemarin kita tulis seperti ini”, sambil menunjuk menjumlah
cara mendatar di atas. “Dapat juga sekarang Ibu
menuliskannya ke bawah.” Saya kemudian memberi contoh
langkah-langkah menuliskan soal, satuan ditulis lurus ke
bawah di kolom satuan.
Perhatikan cara Ibu menulis, angka
7 ditulisnya dimana? Di bawah
angka 3, beri garis di bawahnya,
jangan lupa beri tanda
penjumlahan lurus dengan
garisnya.
Saya sadar telah melakukan kesalahan memilih soal seperti
pada contoh di atas, yakni sudah melibatkan penjumlahan
dengan teknik menyimpan, maka saya ubah soalnya
menjadi:
Berapa 3 + 6? “Sembilan Bu Guru“,
angka 9 ditulis lurus dengan angka
3 dan 6, dijumlahkan yang belakang
dulu. Kemudian saya memberi soal
latihan yang lain.
Selanjutnya saya menjelaskan prosedur menghitung hasil
penjumlahan bersusun pendek, yaitu satuan ditambah
satuan, puluhan ditarik ke bawah di kolom puluhan. Saya
juga memberi semangat pada murid untuk berani
mengerjakan soal di papan tulis. Beberapa siswa maju
mengerjakan soal penjumlahan bersusun pendek di papan
tulis. “Siapa berani sekarang?” “Perempuan dulu yang
menghitung”. Seorang anak perempuan maju ke depan
untuk mengerjakan soal yang diberikan guru. Murid
tersebut berhasil menghitung dengan benar. “Siapa lagi
yang berani maju?” “Tuliskan soalnya dulu ya?” Seorang
siswa menuliskan soal sendiri. Saya bertanya ke seluruh
kelas, “Betul tidak jawabannya?” Seorang murid maju ke
depan dan membuat soal yang melibatkan teknik
menyimpan, saya menyuruh murid tersebut
untuk mengganti soalnya.
Untuk memunculkan kreativitas murid, saya
menyuruh murid membuat soal sendiri
kemudian mencari hasilnya, ternyata murid
yang saya tunjuk dapat melaksanakan tugas
dengan baik. Ketika berkeliling melihat
pekerjaan murid, saya menemukan seorang
murid yang menulis lambang bilangan 8 dengan
cara yang salah, oleh karena itu secara bersamasama saya mengajak semua murid menulis
lambang bilangan 8 di udara secara berulangulang, kemudian saya menuliskannya di papan
tulis. Begitu juga dengan cara murid membuat
bilangan 9, masih ada yang dari bawah.
Pembelajaran dilanjutkan, saya menuliskan soalsoal penjumlahan bersusun pendek sebagai
latihan bagi murid. Saya sengaja memberikan
soal, di mana dari delapan soal, lima soal
terakhir secara berturut-turut hasil
penjumlahannya sama yaitu 19. Hal ini saya
maksudkan agar memudahkan mengoreksinya.
Saya berkeliling memberi bimbingan. Siswa
yang telah selesai mengerjakan, kemudian
dinilai. Saya menanyakan kepada murid, “Siapa
yang betul semua?” Dari 37 murid yang hadir,
34 murid menjawab semua soal dengan benar.
Saya senang dengan hasil yang dicapai siswa,
tetapi sekaligus juga harus mawas diri. Apakah
hanya dengan melihat hasil siswa dapat
dikatakan pembelajaran di kelas telah berhasil?
(Pengalaman Ibu Kiki, guru SD di Sukabumi).
Guru tersebut sudah menekankan tentang
penulisan soal penjumlahan bersusun pendek.
Hal ini sangat penting agar murid tidak salah
dalam menjumlahkan. Guru juga sudah
melakukan perbaikan ketika menemukan murid
yang belum benar cara membuat bilangan 8.
(Nining, Guru SDN di suatu daerah).
sedotan, manik-manik. Secara bersama-sama
mengelompokkan 10 lidi/sedotan/manik-manik sebagai
puluhan dan lebihnya sebagai satuan. Cara seperti ini
secara tidak langsung mengajarkan penulisan bilangan
belasan, mana yang lebih dahulu ditulis, dan mana yang
terakhir ditulis. (Herlina, Mahasiswa lembaga pendidikan
guru).
Guru salah pilih soal, yaitu memberikan soal
bersusun pendek melibatkan teknik menyimpan.
Kalau sudah terlanjur, lebih baik dijelaskan
alasannya, bahwa 3 + 7 hasilnya 10, dan
kemukakan kepada seluruh murid bahwa jika
dijumlahkan satuannya hasilnya lebih dari 9,
soal-soal seperti ini akan kita pelajari nanti,
tidak harus mengganti soalnya. Ketika ada
seorang murid yang membuat soal sendiri
melibatkan teknik menyimpan, guru tidak perlu
menyuruh muridnya mengganti soal, hal ini
akan mematahkan semangat murid. Jika murid
memang sudah mampu sebaiknya pelan-pelan
guru memberi tahu cara menghitung
penjumlahan dengan teknik menyimpan. Murid
yang telah menyelesaikan soal sebaiknya
diberitahu agar membantu ibu guru menolong
murid lainnya. Guru juga dapat memberi
latihan-latihan tambahan kepada anak yang
cepat menyelesaikan tugasnya. (Sri Endah,
Mahasiswa lembaga pendidikan guru).
Penekanan cara menuliskan penjumlahan bersusun pendek
di mana satuan diletakkan di bawah kolom satuan sudah
dilakukan guru agar murid memahami nilai tempat. Hal
ini sangat baik karena pemahaman seperti ini akan
memudahkan guru ketika mengajarkan pokok bahasan
berikutnya, yakni menjumlahkan dua bilangan dengan
teknik menyimpan. Guru beralasan memberikan beberapa
soal dengan hasil yang sama untuk membantu
mempermudah penilaian. Akan lebih baik lagi apabila guru
menekankan bahwa kegiatan itu dapat membantu murid
dalam memperluas wawasan, yakni terdapat pasanganpasangan bilangan yang jumlahnya sama.
Kreativitas siswa sudah baik, ditumbuhkan melalui murid
disuruh membuat soal sendiri. Namun demikian, ketika
ada murid yang menuliskan soal menjumlah dengan teknik
menyimpan, biarlah dia mencoba dulu. Tidak harus sama
materi antara murid yang satu dengan lainnya, karena
siapa tahu dia akan berhasil menghitung soal tersebut.
(Nafiah, Dosen PGSD sebuah LPTK Negeri di Jakarta).
Untuk murid SD kelas I (usia 6 - 7 tahun)
pembelajaran yang digunakan adalah bermain
sambil belajar yang disertai contoh nyata dari
guru. Dalam melaksanakan pembelajaran dapat
menggunakan media yang tersedia, seperti lidi,
Pada pembelajaran penjumlahan bersusun pendek kali ini,
saya sudah tidak menggunakan alat bantu konkret, karena
tahap ini sudah terlewati pada pembelajaran-pembelajaran
sebelumnya. Pada pembelajaran saat ini saya mulai melatih
murid untuk menghitung penjumlahan dengan
menggunakan aturan (algoritma).
Ketika saya memberikan contoh soal penjumlahan cara
pendek, saya memberikan contoh penjumlahan dua
bilangan yang harus menggunakan teknik menyimpan.
Soal ini memang langsung saya ganti, karena pada saat ini
pembelajaran penjumlahan bersusun pendek belum sampai
pada teknik menyimpan.
Saya mengajarkan topik menjumlahkan dua bilangan dua angka dengan satu angka melalui teknik bersusun
panjang di kelas I-A. Pada awal pembelajaran, saya perlu mengingatkan pada murid bahwa mencongak atau
menghitung di luar kepala tidak harus menepuk kepala untuk menyimpan bilangan pertama. Saya kemudian
memberikan soal mencongak mengenai penjumlahan dua bilangan satu angka dengan satu angka. Saya
menyatakan bahwa 8 + 4 dan 4 + 8 mempunyai hasil yang sama, tetapi prosesnya berbeda. Ketika berkeliling
kelas sambil memberikan soal mencongak, saya temukan murid yang kesulitan menjumlah 8 + 6.
Saya kemudian memberikan prosedur penjumlahan bersusun panjang disandingkan dengan penjumlahan
bersusun pendek yang telah dipelajari sehari sebelumnya seperti berikut ini.
Saya menekankan kepada murid bahwa satuan harus ditulis di bawah kolom satuan, bilangan 9 ditulis di
bawah bilangan 2 dan 7. Sambil mengerjakan contoh, saya melontarkan pertanyaan: “Bilangan 7, puluhannya
ada apa tidak?” Murid menjawab dengan serentak ‘tidak ada.’ Saya bertanya kepada murid, “Ada yang belum
jelas?” Murid meminta diterangkan lagi cara mengubah bilangan 12 menjadi satu puluhan dan dua satuan.
Saya memberikan latihan soal berikut:
Ketika itu, saya mengajarkan penjumlahan bersusun pendek sehari sebelumnya, baru hari berikutnya murid
diberi pengulangan penjumlahan bersusun panjang. Pada kegiatan pembelajaran penjumlahan bersusun
panjang ternyata masih banyak murid yang mengalami kesulitan. Saya berkeliling memberi bimbingan baik
secara individual maupun kelompok, terutama bagaimana cara menuliskan penjumlahan bersusun panjang
tersebut, dan bagaimana menguraikannya menjadi puluhan dan satuan. Hasil pekerjaan murid kurang
menggembirakan, dari 36 murid yang hadir, baru beberapa murid menjawab kedua soal di atas dengan benar.
Timbul pertanyaan di sini, mengapa ketika diberikan materi penjumlahan bersusun pendek hasil sampai
dengan 20, murid pada umumnya tidak mengalami kesulitan, sedangkan ketika menggunakan teknik
penjumlahan bentuk panjang mereka mengalami kesulitan? Inilah masalah yang saya hadapi dalam
mengajarkan penjumlahan bersusun panjang. (Pengalaman Ibu Kiki, guru SD di Sukabumi).
Pada penjumlahan bersusun panjang banyak murid
mengalami kesulitan mungkin karena belum dimilikinya
konsep nilai tempat dengan baik, sehingga murid kesulitan
menguraikan bilangan yang mengandung puluhan menjadi
satu puluhan yang nilainya 10 diikuti satuannya. Murid
harus lebih banyak diberikan latihan soal-soal penjumlahan
bersusun panjang. (Suningsih, Guru SDN di daerah).
Penjumlahan bersusun panjang ini memang mempunyai
tingkatan yang lebih sulit, karena ada tahapan-tahapan
dalam penyelesaiannya, apalagi sebelumnya sudah
dikenalkan penjumlahan bersusun pendek, murid jadi
bosan. (Anasari, Mahasiswa lembaga pendidikan guru).
Sebenarnya maksud dari penjumlahan bersusun panjang
ini adalah untuk mengenalkan dan memisahkan antara
bilangan puluhan dan satuannya. Sebaiknya guru dalam
mengenalkan konsep bilangan melalui media, misalkan
dengan mengambil 14 lidi lalu diterangkan bahwa 10 satuan
merupakan 1 puluhan dan 4 adalah satuan, jika
dijumlahkan menjadi 14. Bila penguatan pada tahap ini
sering dilakukan, maka murid akan mudah paham dan
dapat diperkenalkan ke tahapan penjumlahan bersusun
panjang. (Nurhayati, Mahasiswa lembaga pendidikan guru).
Cara menghitung penjumlahan bentuk panjang harus
diberikan kepada murid terlebih dahulu, karena untuk
mengenal letak puluhan berada di depan dan satuan berada
di belakang. Setelah murid mengerti dan dapat menghitung
puluhan dan satuan baru diajarkan berhitung secara
bersusun pendek. (Sulinah, Mahasiswa lembaga pendidikan
guru).
Guru sudah mengenalkan mana angka satuan dan angka
puluhan, namun tidak dengan media konkret. Sebelum
guru memberikan penjumlahan cara panjang,
sebaiknya guru mencontohkan penjumlahan,
misalnya 8 + 6 dengan mengambil 8 lidi
digabung dengan 6 lidi, hasilnya 14 lidi. Guru
lalu mengenalkan bahwa bilangan 14 terdiri dari
angka 1 sebagai puluhan, dan angka 4 adalah
satuan. (Sandra, Mahasiswa lembaga pendidikan
guru).
Dalam pembelajaran penjumlahan bersusun
panjang, guru menyandingkan dengan
penjumlahan bersusun pendek. Seharusnya guru
mengenalkan cara penjumlahan bersusun
panjang terlebih dahulu. Mengapa? Karena
dengan cara bersusun panjang, murid akan
mampu membedakan mana puluhan dan mana
satuan. (Maymunah, Mahasiswa lembaga
pendidikan guru).
Ketika guru menyatakan bahwa 8 + 4 dan 4 +
8 mempunyai hasil yang sama, seharusnya
ditunjukkan prosesnya menggunakan alat
peraga, sehingga murid mempunyai wawasan
sifat pertukaran (komutatif). Secara urutan
materi, seharusnya teknik penjumlahan
bersusun panjang diberikan terlebih dahulu,
setelah murid dikenalkan dengan nilai tempat
satuan dan puluhan. Apabila materi ini
pengulangan, maka guru sebaiknya mengulang
penjumlahan cara panjang terlebih dahulu.
Selanjutnya baru penjumlahan bersusun pendek
diberikan sesudah cara panjang dikuasai murid.
Kesulitan murid dalam menjumlahkan bilangan
bersusun panjang dapat terjadi karena nilai
tempat belum dikuasai murid. Perlu juga
ditanamkan konsep sepuluh satuan dapat
ditukar menjadi satu puluhan. Konsep ini
penting dimiliki murid agar kelak tidak
mengalami kesulitan dalam menjumlah dengan
teknik menyimpan.
Pembelajaran matematika yang diberikan
cenderung pada tataran prosedural, kurang
kontekstual. Hal ini ditunjukkan dengan tanpa
digunakannya alat peraga lagi. Akibatnya
pembelajaran yang terjadi dapat dikatakan
belum berhasil, siswa masih menemukan
kesulitan. Apabila diberikan penjumlahan
bersusun pendek dulu itu kurang tepat, mestinya
cara bersusun panjang lebih dimatangkan dulu.
Karena menjumlah cara bersusun panjang untuk
memperoleh proses menuju cara bersusun
pendek. Cara bersusun pendek adalah teknik
menghitung, jelas di sini mudah diterima siswa,
tetapi belajar perlu penalaran, matematika
sekarang yang dipentingkan penalaran, perlu
proses secara realistik. Memang penjumlahan
cara bersusun panjang mengajarkannya pada
murid lebih susah, karena menanamkan konsep.
Juga cara bersusun panjang dari sisi murid
melelahkan karena mereka perlu menulis lebih
banyak, sedangkan murid kelas I semester
pertama belum terbiasa untuk menulis. Saran
untuk guru kelas awal SD, membelajarkan
matematika jangan terlalu cepat, alat peraga
harus dimulai lagi, matangkan dulu dengan
mengoptimalkan benda konkret. Pelajaran yang
dapat dipetik dari kasus ini adalah guru jangan
terburu-buru ke simbolik dan penjumlahan
bersusun pendek, karena guru perlu memberi
penalaran yang bagus pada muridnya. (Nafiah, Dosen
PGSD di Jakarta).
Pembelajaran penjumlahan bersusun panjang ini
sebenarnya sudah saya berikan pada pertemuan beberapa
waktu yang lalu. Karena saya menyadari bahwa
penjumlahan bersusun panjang ini sangat penting untuk
dipahami anak, yaitu pada penanaman konsep tentang
nilai tempat. Jadi bukan berarti saya memberikan
penjumlahan bersusun pendek lebih dahulu. Saat itu saya
menemukan bahwa anak lebih cepat (mudah)
menyelesaikan penjumlahan dengan cara bersusun pendek.
Itulah sebabnya pada pertemuan kali ini saya menuliskan
lebih dahulu cara bersusun pendek, baru di sebelah
kanannya cara bersusun panjang. Maksudnya agar
membangkitkan dulu rasa suka anak karena mereka dapat
menyelesaikan penjumlahan ini dengan mudah.
Saya adalah seorang guru di sebuah sekolah
dasar yang telah belasan tahun mengajar.
Selama beberapa tahun terakhir saya dipercaya
mengajar di kelas I SD, Kepala Sekolah pun
menyatakan karakteristik saya cocok untuk
mengajar di kelas I. Saya memang senang
mengajar dan sangat senang memperhatikan
semua murid saya, sehingga jika ada di kelas
lain (paralel) murid yang sangat sulit ditangani,
maka murid tersebut akan dipindahkan ke kelas
saya untuk saya tangani.
Saya selalu berusaha mengenal karakteristik
murid yang saya ajar, dan telah mengenal betul
murid-murid seperti apa yang masuk ke sekolah
saya, karena mereka selalu berasal dari
lingkungan yang dekat dengan sekolah.
Beberapa murid bahkan orang tuanya dahulu
saya yang mengajarnya. Hal yang berkaitan
dengan murid, saya memang memahami dengan
baik, akan tetapi jika berkenaan dengan materi
terutama matematika saya masih merasa perlu
harus terus banyak belajar. Beberapa pelatihan
memang pernah saya ikuti, akan tetapi yang
khusus bagaimana menyajikan materi
matematika secara rinci sangat jarang saya
peroleh. Usaha saya untuk memahaminya
adalah bertanya pada teman sejawat, dan banyak
mempelajari buku paket siswa.
Ketika suatu saat memasuki pengajaran
matematika materi pengurangan, saya memulai
mengajar dengan menggunakan variasi bahan
atau peraga yang ada di lingkungan, seperti
kelereng, sedotan, pinsil warna dan sebagainya
untuk dimanfaatkan menjelaskan materi pengurangan. Masalahnya kemudian adalah bagaimana menuangkan
uraian demonstrasi itu menjadi sebuah tulisan/simbol matematika agar mudah dimengerti murid. Sebagai
contoh awalnya saya mengajarkan dengan tahapan sebagai berikut.
Ikan yang tidak
dilingkari dihitung
(Gbr. 1)
(Gbr. 2)
4 balon terbang
dan dihapus dari
papan tulis
(Gbr. 4)
(Gbr. 5)
(Gbr. 3)
Balon yang tidak
dhapus dihitung
(Gbr. 6)
Tahapan itu adalah yang saya jelaskan dan kerjakan ketika mengajarkan proses pengurangan. Tulisan awalnya
adalah seperti yang terlihat pada gambar awal (Gb.1 dan 4), sedangkan proses pengurangan adalah dengan
membuat coretan-coretan itu pada gambar awal, sehingga hasilnya seperti terlihat pada gambar akhir (Gb.
3 dan 6) yang tampak di papan tulis. Adapun langkah pengurangannya (Gb. 2 dan 5) tidak.
Pada hari berikutnya untuk lebih menguatkan konsep pengurangan tersebut, saya memberikan cara lain
untuk menyajikan penulisan proses pengurangan tersebut. Dasar dan contoh yang digunakannya untuk
menuliskan cara lain operasi pengurangan yang terdapat dalam lembar kerja siswa (LKS) yang disampaikan
kepada murid, adalah berdasarkan sebuah buku paket murid sebagai berikut.
Hasil pemahaman operasi pengurangan murid dengan menyelesaikan soal pada lembar kerja siswa (LKS)
yang diberikan ternyata menjadi masalah. Beberapa murid ternyata melakukan kesalahan, bahkan dua orang
murid yang saya anggap mampu menyelesaikan ternyata melakukan kesalahan perhitungan dengan cara ini.
Mereka ternyata bukan mengurangkannya, akan tetapi malah menjumlahkannya (hasil pada bagian akhir
menjadi 17 dan bukan 7). Ketika seorang murid saya minta untuk mempresentasikan hasil pekerjaan lainnya
berdasar LKS di depan kelas yaitu 13 - 5, murid tersebut menuliskannya seperti di bawah ini.
Hasil tersebut cukup mengagetkan saya. Ternyata cara awal yang saya ajarkan berdasarkan pengalaman
pribadi saya selama ini lebih dipahami siswa dibandingkan cara kedua, yang seperti diketahui bersumber
pada buku paket murid. Saya menjadi merasa melakukan kesalahan dengan memberikan cara kedua, karena
beberapa murid justru ada yang melakukan kesalahan dan pemahaman konsepnya menjadi tidak seperti
yang saya harapkan.
Pada suatu kesempatan wawancara saya mengungkapkan pemikiran saya, ternyata sajian soal yang ada di
buku itu tidak selamanya mudah dipahami murid. Karekteristik dan cara pemahaman murid terhadap sebuah
konsep terkadang unik, tetapi saya menyadari juga bahwa tanpa buku pegangan, saya juga merasa kesulitan
untuk mengembangkan dan melakukan variasi contoh soal dalam mengajar. Suatu dilema yang saya pikir
mungkin dialami juga oleh guru lainnya. Kita memerlukan sebuah solusi untuk ini. (Pengalaman Ibu Sumiati,
guru SD di Sukabumi).
Kita mungkin mempunyai kesamaan
pandangan, bahwa pengalaman mengajar yang
telah dilakukan oleh seorang guru bukanlah
satu-satunya jaminan terhadap keberhasilan
guru tersebut dalam membelajarkan murid.
Kemampuan guru mengenal karakteristik murid
yang diajarnya memang adalah sebuah
keharusan, akan tetapi guru juga harus selalu
meningkatkan keterampilan mengajarnya,
antara lain membaca beragam referensi
berkaitan dengan berbagai metode mengajar
yang dianggap baik.
Menurut saya, seharusnya guru di atas
melakukan bedah buku terlebih dahulu dengan
cara mengkaji dan menelaah apakah langkah
dan tahapan yang disajikan buku tersebut dalam
menyajikan materi atau contoh soal sudah baik
dan sesuai dengan karakteristik berpikir anak.
Jika hasil kesimpulan kurang bagus, maka
seharusnya buku tersebut dapat
dipertimbangkan kembali penggunaannya.
Cara mengajarkan matematika di kelas I, sesuai
dengan yang guru telah lakukan, memang harus
dimulai menggunakan benda konkret terlebih
dahulu. Apalagi operasi pengurangan bilangan
belasan dengan satuan menggunakan tehnik
meminjam seperti 12 – 5. Bagi murid yang
pandai atau memiliki daya tangkap materi yang
cepat mungkin tidak menjadi masalah, akan
tetapi bagi murid kelas I yang berasal dari
tingkatan rata-rata hal ini tentulah bukan
perkara yang mudah. Jadi saran saya kepada
guru di atas, teruslah belajar dan bertanya untuk
memperoleh pengetahuan dan menambah
wawasan tanpa mengenal lelah agar diperoleh informasi
yang berharga. (Sri Mujiati, guru kelas I SD di DKI Jakarta,
juga mahasiswa S1 PGSD UT).
Tanggapan saya terhadap kasus yang dialami guru di atas
adalah benar bahwa murid kelas I SD adalah murid yang
daya pikirnya masih pada taraf berpikir konkret. Peran
guru kelas I bila akan mengajarkan operasi pengurangan
hendaknya menggunakan benda-benda konkret, sehingga
pemahaman murid terhadap konsep pengurangan akan
lebih meresap dan melekat. Mengenai materi yang disajikan
dalam buku cetak, hendaknya guru tersebut memahami
dahulu buku tersebut sebelum menerapkannya. Apakah
ini akan mudah dipahami murid atau tidak? Jadi, janganlah
langsung menerapkannya pada anak didik agar tidak terjadi
kesalahan konsep seperti yang dialami guru tersebut.
Mungkin juga guru telah menerapkan cara tersebut pada
tahun-tahun sebelumnya dan berhasil, tetapi mengapa
tahun ini tidak berhasil? Saya kira kita perlu juga menyadari
bahwa murid itu unik, sehingga cara tertentu berhasil
untuk satu murid, tetapi tidak berhasil dengan murid lain.
(Ramaita, seorang mahasiswa S1 PGSD yang juga seorang
guru SD di DKI Jakarta).
Saya kira para guru kelas I SD sepakat dengan saya bahwa
ketika sebuah konsep disajikan dengan menggunakan
benda konkret, murid mudah memahaminya. Masalah
baru muncul ketika guru harus mengubah peragaan
menjadi model atau bahasa matematiknya. Apa yang harus
dituliskan murid dalam bukunya mengenai, katakanlah
operasi pengurangan, agar dia dapat mempelajarinya
kembali di rumah? Proses peragaan tentu saja belum dapat
diubah murid ke dalam bentuk tulisan, karena keterbatasan
berbahasa, kosa kata, dan bahkan menulis itu sendiri.
Pilihan guru untuk menjadikan/mengubah proses peragaan
ke dalam gambar adalah salah satu alternatif yang mungkin.
Berikutnya bagaimana agar gambar atau urutan gambar
itu sesuai dengan peragaan dan sekaligus dapat dipahami murid.
Dalam hal ini, guru dapat mencoba beberapa kemungkinan
tehnik gambar, menirunya dari buku cetak ada juga baiknya.
Selanjutnya pelajari dan amatilah dengan seksama
tanggapan murid dari beragam penjelasan/sajian yang
guru lakukan. Tanyakan pada murid sajian manakah yang
paling mereka pahami dan sesuai dengan pola pikir mereka?
Bila mungkin mintalah pendapat mereka untuk membuat
urutan gambar yang bisa menjelaskan dan memudahkan
pemahaman mereka terhadap konsep itu. Jika kita
bersungguh-sungguh mendengarkan murid secara
mendalam, maka mungkin kita akan terkejut dengan
jawaban murid. Bagaimana pun mereka punya cara yang
unik dalam memahami sesuatu.
Berkaitan dengan kesalahan murid yang muncul ketika
guru mencoba menawarkan bentuk soal yang berasal dari
buku cetak murid, kiranya hal ini dapat diatasi dengan
selalu memberikan apersepsi konsep yang cukup sebelum
sebuah konsep utama akan disajikan. Guru mungkin
menduga bahwa tanpa apersepsi pun sajian soal yang ada
dalam buku cetak akan dapat mudah dipahami murid,
dengan pertimbangan konsep yang berkaitan dengan
bentuk soal itu pernah diberikan oleh guru. Kenyataannya
ternyata tidaklah seperti itu. Murid bisa saja lupa penerapan
konsep yang telah lalu, atau konsepnya terkontaminasi
penjelasan konsep yang baru saja disajikan, sehingga murid
bingung menentukan solusi dari sajian soal yang diberikan
guru.
Inilah yang kiranya dapat dijadikan dasar oleh guru untuk
membuat keputusan bagaimana menerapkan tahapan
penjelasan konsep matematika di kelas I SD melalui sajian
gambar, dan bagaimana guru memanfaatkan
sajian soal-soal yang ada dalam buku cetak
untuk diberikan kepada murid sebagai soal
latihan. Pengalaman memang guru yang paling
baik, akan tetapi perlu disadari bahwa setiap
murid mempunyai karakteristik yang unik.
Mengetahui cara bagaimana mereka (murid)
berpikir adalah cara yang paling baik untuk
mengenal mereka. (A. Noornia, Dosen Jurusan
Matematika sebuah LPTK dan pengajar PGSD).
Saya adalah guru yang beruntung ditempatkan
di sebuah sekolah yang walaupun terletak di
kaki gunung di sebuah kabupaten, akan tetapi
kebetulan terpilih oleh sebuah lembaga
internasional untuk dijadikan sebuah sekolah
percontohan dalam mengembangkan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Oleh
karena keadaan itulah, beberapa kali saya
berkesempatan memperoleh pelatihan yang
berkenaan dengan pengembangan proses
pembelajaran di dalam kelas baik tingkat
kabupaten ataupun tingkat propinsi. Sekolah
saya juga sering sekali menerima kunjungan
dari berbagai sekolah lain karena prestasi yang
telah dibuat selama ini.
Saya telah 2 tahun ini mengajar di kelas awal
SD (Kelas I) setelah beberapa tahun sebelumnya
mengajar di kelas tinggi (Kelas V). Sekolah saya
memang menerapkan rolling penempatan
mengajar setiap kurun waktu tertentu. Selama
setahun pertama saya berusaha beradaptasi
dengan materi dan karakteristik murid di Kelas
I dan itu tidaklah mudah. Akan tetapi, di tahun
kedua saya berusaha untuk mengetahui
bagaimana sebaiknya mengajar murid Kelas I.
Berdasarkan adaptasi tahun pertama itu saya
mulai dapat memilih metode mengajar yang
tepat, dan mulai mengetahui bagaimana urutan
suatu materi sebaiknya diajarkan kepada murid.
Sesuai dengan kurikulum, materi penjumlahan
atau pengurangan Bilangan Cacah di Kelas I
awal tidak memuat tehnik menyimpan untuk
operasi penjumlahan, dan tehnik meminjam
untuk operasi pengurangan. Sesuai pula dengan
kurikulum, menjumlahkan atau mengurangkan susun ke
bawah di Kelas I memiliki dua cara yaitu cara panjang dan
cara pendek. Jika mengikuti urutan materi pada buku
cetak murid yang dipakai di sekolah, maka baik materi
penjumlahan atau pengurangan cara panjang selalu lebih
dahulu diajarkan sebelum cara pendek diberikan. Saya
mengikuti saja urutan pembelajaran seperti yang dituliskan
pada buku. Saya yakin bahwa begitulah sebenarnya urutan
pelajaran diberikan, karena tentu akan sulit bagi murid
memahami penjumlahan untuk angka-angka yang lebih
besar kelak andaikan pemahaman nilai tempat yang
terkandung dalam penyelesaian cara panjang tidak dikuasai.
Seperti keharusan ketika awal menjelaskan sebuah konsep
kepada siswa Kelas I Sekolah Dasar, penggunaan alat
peraga harus dilakukan. Saya juga telah melakukan hal
itu ketika saya menjelaskan penjumlahan pada awal konsep
itu diberikan. Beragam sajian menggunakan benda konkret
seperti, kelereng, sedotan, atau krayon untuk menjelaskan
penjumlahan telah saya sajikan. Kemudian ketika saya
merasa murid telah menguasai konsepnya, saya mulai
mengganti strategi mengajar dengan lebih formal
menggunakan bahasa matematika (angka-angka).
Tanggapan yang diperoleh dari murid ketika saya
mengajarkan penjumlahan cara panjang dan kemudian
diikuti dengan penjumlahan cara pendek adalah mereka
mengatakan cara pendek ini ternyata lebih mudah. Murid
berpendapat dengan menyelesaikan cara pendek mereka
menyatakan penyelesaian menjadi lebih “gampang”. Saya
juga memperhatikan hal tersebut, dan juga menyadari
sebagian murid saya memang belum terlalu lancar dan
benar menulis. Saya juga mengamati hasil mereka ketika
menjumlahkan cara pendek tidak terlalu banyak kesalahan
yang dilakukan. Akhirnya saya membuat keputusan, untuk
materi pengurangan susun ke bawah saya mendahulukan
penulisan cara pendek dan dilanjutkan di sebelahnya bentuk
panjangnya. Hasilnya seperti yang saya duga, murid dapat
mengikutinya dengan baik. Saya mengamati, sekarang
murid menganggap operasi pengurangan itu tidak sulit.
Cara pendek mereka lakukan, akan tetapi cara panjang
pun tetap dilakukan.
Tahun kedua ini saya memutuskan, ketika masuk materi
pengurangan susun ke bawah untuk bilangan lebih dari
10, saya akan mendahulukan penyelesaian cara pendek
dan kemudian diikuti cara panjang di sebelahnya. Pendapat
saya ini didukung oleh banyak orang tua yang bertanya
dan beberapa guru yang berpendapat, apakah cara panjang
ini masih perlu diajarkan? Di satu sisi saya juga merasa
heran, mengapa murid lebih senang menyelesaikan soal
operasi penjumlahan/ pengurangan dengan cara pendek.
Terkadang saya juga mempertanyakan, tetapi bukan
bermaksud mengecilkan pentingnya cara penyelesaian cara
panjang. Bukankah yang paling penting dalam kenyataan
sehari-harinya adalah murid menguasai pengurangan atau
penjumlahan, tidak peduli itu dilakukan dengan cara
panjang atau pendek! Berapa besar waktu yang dapat saya
hemat untuk kemudian saya manfaatkan ketika
mengajarkan materi lain yang lebih dianggap sulit oleh
murid, dibandingkan menghabiskan waktu untuk belajar
cara panjang sementara murid telah menguasai cara
pendeknya!
Mungkin ini hanya sebuah pemikiran sebagai guru SD yang
lebih melihat kenyataan di lapangan untuk lebih banyak
menghemat dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Saya dan kebanyakan guru lain menyadari begitu padat
materi yang harus disampaikan di Kelas I SD, dan dirasakan
sangat berat untuk mencapainya. Kalau bisa memanfaatkan
peluang mengutak-atik waktu untuk sebuah materi,
sehingga waktu yang ada dapat digunakan untuk
materi lain yang dirasakan lebih memerlukan
waktu banyak, kenapa tidak? (Pengalaman Ibu
Kiki, guru SD di Sukabumi).
Masalah di dalam kelas yang dialami tiap guru
memang sangat beragam, misalnya masalah
yang dihadapi murid ketika menyelesaikan
hitungan matematika. Kasus yang dialami guru
di atas dimana dia akan menerapkan
pengurangan cara pendek baru kemudian diikuti
cara panjang di sebelahnya di Kelas I SD,
menurut saya pilihan yang paling baik sangat
tergantung kepada kemampuan daya serap
murid terhadap materi yang diberikan. Saya
berpendapat mendahulukan penyelesaian cara
panjang masih tetap diperlukan untuk diajarkan
dengan beberapa alasan berikut: (1) murid perlu
memahami letak nilai tempat antara satuan,
puluhan, ratusan, dan ribuan, (2) murid
memang akan lebih mudah menuliskan dan
menyelesaikan operasi pengurangan dengan
cara pendek, tetapi biasanya mereka akan lebih
cepat lupa, (3) dengan bentuk penyelesaian
operasi pengurangan cara panjang memang
sedikit lebih lama dalam menuliskannya, akan
tetapi mereka lebih lama mengingat.
Akan tetapi walau bagaimana pun saya tetap
memiliki prinsip bahwa semua hal tergantung
pada daya serap murid, dan guru harus
mengenal itu pada murid-muridnya. (Riris
Pasaribu seorang guru SD dan mahasiswa S1
PGSD UT).
Berdasarkan pengalaman saya mengajar selama
ini, penyelesaian operasi pengurangan cara
panjang masih sangat diperlukan. Karena
dengan cara panjang murid dapat memisahkan
bilangan yang dinyatakan dengan dua angka
antara mana angka yang berarti puluhan dan
mana angka yang berarti satuan. Hal ini penting mengingat
nantinya murid akan memasuki materi pengurangan
dengan tehnik meminjam. Apabila murid sudah mampu
memahami dan pandai menguraikan (memisahkan) mana
puluhan dan mana satuan, jika ia mempelajari soal
pengurangan dengan tehnik meminjam, maka murid akan
memahami dari bagian mana peminjaman itu dilakukan.
Hal yang perlu diingat oleh guru adalah bahwa penyelesaian
dengan cara panjang ini tidak saja hanya akan dipelajari
di kelas rendah saja, tapi juga akan diperoleh nanti di kelas
tinggi pada bilangan-bilangan yang sudah mengandung
puluh ribuan atau ratus ribuan. Berdasarkan hal ini,
nampak bahwa pemahaman pentingnya mengajarkan cara
panjang terlebih dahulu sangat diperlukan. (Kamsiati,
Guru SD dan juga mahasiswa S1 PGSD UT, telah mengajar
di SD selama + 25 tahun).
Jika kita menelaah kurikulum, maka akan terlihat bahwa
tehnik penyelesaian operasi penjumlahan/pengurangan
cara panjang dan pendek memang menjadi salah satu
materi yang diajarkan kepada murid SD. Bahkan secara
spiral cara itu diulang di tiap tingkat sesuai dengan semakin
besarnya bilangan yang dioperasikan. Guru perlu menyadari
bahwa perlunya materi itu disajikan karena di dalamnya
mengajarkan suatu pemahaman akan sebuah makna dan
sebuah konsep matematika.
Ketika sebuah materi matematika disajikan, katakanlah
dalam hal ini materi penjumlahan/pengurangan cara
panjang di Kelas I SD, maka konsep yang ingin dikenalkan
adalah mengenai nilai tempat. Nilai tempat adalah sebuah
konsep yang sangat penting dimana bilangan yang
digunakan selanjutnya adalah berbasis 10. Materi ini sangat
penting, karena ketika penjumlahan/pengurangan
kemudian berkembang dengan tehnik menyimpan atau
meminjam, maka pemahaman konsep nilai tempat menjadi
penting.
Pembelajaran penyelesaian operasi cara panjang
mengandung makna di dalamnya yaitu latihan
mengembangkan penalaran. Kemampuan menalar adalah
salah satu kecakapan yang sangat penting yang harus
dikuasai oleh seseorang setelah dia belajar matematika di
sekolah. Adapun di sisi lain, penyelesaian cara pendek
sebenarnya adalah akibat yang harus ditemukan oleh murid
sendiri sebagai hasil belajar cara panjang sebelumnya. Cara
pendek sebetulnya adalah sebuah tehnik yang mempercepat
pengerjaan. Akan tetapi apabila itu diajarkan dengan tanpa
pemahaman yang baik secara konsep, akan menjadikan
murid justru kurang bernalar dan tidak kreatif.
Lain halnya ketika murid telah memahami penjumlahan
dan pengurangan sampai ratusan, guru kiranya dapat tidak
mengajarkan kembali secara khusus materi cara panjang
ini kepada murid. Analogi dapat dikembangkan guru untuk
menyelesaikan soal operasi penjumlahan/pengurangan
pada ribuan, puluh ribuan, atau ratus ribuan, atau dengan
memberikan apersepsi secukupnya. Jadi dengan kata lain,
guru harus dapat memahami kurikulum untuk dapat
melakukan pengurangan dan penambahan waktu pada
materi-materi tertentu, agar tidak demi mengurangi waktu
maka kita mengorbankan pemahaman konsep mendasar
yang seharus dikuasai murid.
Akan halnya murid lebih menyukai cara pendek dalam
menyelesaikan masalah, padahal sebetulnya mereka belum
sebenarnya menguasai konsep operasi cara panjang,
mungkin guru perlu melihat kembali proses
pembelajarannya. Saya kira jika guru dalam menyajikan
cara panjang banyak menggunakan beragam penyajian
dan alat peraga, serta tidak langsung menggunakan tulisan
formal berupa kalimat matematika (angkaangka), maka saya menduga murid akan
menyenangi juga penyelesaian cara panjang.
Pesan saya hendaklah guru berlama-lama
mengajar sebuah konsep, dan tidak terburuburu berpindah penyajian hingga yakin siswa
menguasai konsep tersebut. (Anton N., Dosen
PGSD sebuah LPTK Negeri di Jakarta).
Kasus-kasus dalam Pembelajaran Matematika di Kelas Awal SD
(Hasil Studi Kasus di SD Program Manajemen Berbasis Sekolah)
Tim Penulis Studi Kasus: Dra Maratun Nafiah, MPd
Drs Dudung Amir Sholeh, MPd
Dra Anton Noornia, MPd
Ketua Tim Kerjasama UNESCO - FIP UNJ: Drs Karnadi, MPd
Anggota: Drs Tono Bintoro, MPd,
Drs Sri Koeswanto Wongsonadi, MSi
Tim Editor UNESCO:
Ketua: Anwar Alsaid
Anggota: Faesol Muslim, Laurens Kaluge, Rusyda Djamhur
Designer & Layout : Lorem Design
Diterbitkan oleh UNESCO Office, Jakarta
Jl. Galuh II No. 5
Kebayoran Baru
PO Box 1273 / JKT 10002
Jakarta 12110, INDONESIA
Tel. :+62 (21) 739 98 18
Fax :+62 (21) 7279 64 89
E-mail:[email protected]
©UNESCO
Cetakan pertama Desember 2007
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dicetak oleh Lorem Design
ISBN 978-979-96020-5-3
Download