Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di Bidang

advertisement
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di Bidang Ketenagakerjaan setelah
diberlakukannya Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Oleh : Agus Budi Susilo, SH., MH
(Hakim PTUN Medan 2004-2008, saat ini Hakim PTUN Semarang)
A. Latar Belakang Penulisan
Sebagai negara berkembang, Indonesia saat ini sedang membangun diberbagai sektor. Di
sektor perekonomian misalnya, sejalan dengan isu globalisasi yang tidak dapat dielakkan
lagi, negara kita tidak dapat menutup mata begitu saja terhadap dampak perkembangan
ekonomi dunia.
Dilihat dari sudut pandang ekonomi politik, globalisasi merupakan proses perubahan
organisasi dari fungsi kapitalisme yang ditandai dengan munculnya integrasi pasar dan
perusahaan-perusahaan transnasional dan tertinggalnya institusi supranasional. Pengertian
globalisasi disini memberikan indikasi bahwa deregulasi dan privatisasi merupakan ciri
utama globalisasi yang mengarah pada pengurangan peran pemerintah dibidang ekonomi
termasuk di bidang ketenagakerjaan di satu pihak, dan peningkatan peran pasar di lain pihak.
Berangkat dari konsep globalisasi tersebut, pembahasan implikasi globalisasi terhadap
masalah hukum ketenagakerjaan menjadi sangat penting dan menarik untuk ditelaah. Hal ini
dikarenakan akhir-akhir ini banyak permasalahan yang timbul terhadap para pekerja (buruh)
baik mengenai tidak sesuainya UMR (upah minimum regional), PHK (pemutusan hubungan
kerja), kurang harmonisnya hubungan serikat pekerja dengan pengusaha maupun antar serikat
pekerja, dll.
Karena peliknya masalah yang berkenaan dengan para pekerja, perlu upaya-upaya dari
pemerintah dalam menghadapi era globalisasi yang kaitannya dengan ketenagakerjaan. Oleh
sebab itu dituntut peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut, setidak-tidaknya
meminimalisir permasalahan ketenagakerjaan/ perburuhan yang timbul.
Sebelum tahun 2004, pemerintah dalam melakukan upaya tindakan preventifnya adalah
dengan membentuk lembaga P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) dan
P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, agar masalah
ketenagakerjaan/
perburuhan
dapat
diselesaikan
dengan
baik
dan
adil.
Disinilah dituntut suatu lembaga penyelesian sengketa perburuhan yang dapat bekerja
optimal menuju suatu keadilan dengan tidak mengesampingkan independensinya. Akan tetapi
lembaga P4D dan P4P bagaimanapun juga eksistensinya masih dirasakan cukup lemah,
karena keberadaannya dibawah lembaga eksekutif yaitu Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Meskipun demikian, keputusan yang dihasilkan oleh P4D maupun P4P tidaklah bersifat final
melainkan masih dimungkinkannya suatu upaya hukum lagi bila pihak yang merasa
dirugikan belum merasa puas akan hasil penyelesaian sengketa perburuhan oleh P4D dan
P4P. Upaya hukum yang dimaksud yaitu upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Adanya upaya administratif ini adalah merupakan bagian dari suatu sistem peradilan
administrasi, karena upaya administratif merupakan kombinasi atau komponen khusus yang
berkenaan dengan PTUN, yang sama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan memelihara
keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, sehingga tercipta hubungan rukun antara
pemerintah dan rakyat dalam merealisasikan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 (1).
Meskipun dengan adanya upaya administrasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa
ketenagakerjaan yang masuk dalam lingkup hukum administrasi negara, tetapi dalam
perkembangannya banyak kalangan (terutama yang awam terhadap hukum administrasi
negara) berpendapat perkara khusus harus diselesaikan dengan peradilan khusus, artinya agar
dicapainya suatu keadilan perlu dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus untuk
menyelesaikan perkara-perkara tertentu. Salah satunya adalah dengan dibentuknya
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang kedudukannya berada dibawah Peradilan Umum
serta menghapuskan keberadaan P4D dan P4P.
Dengan didudukannya PHI sebagai peradilan khusus mungkin para penganut paham tadi
mengasumsikan bahwa masalah hubungan industri ketenagakerjaan merupakan masalah
khusus sehingga harus diselesaikan secara khusus pula. Selain itu, upaya dari pemerintah dan
DPR membentuk PHI adalah agar penyelesaian sengketa hubungan industrial dapat cepat,
tepat, adil dan murah. Tetapi bagaimanakah realisasi setelah dibentuknya PHI, apakah
sengketa ketenagakerjaan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara
(KTUN) bukan lagi menjadi kewenangan PTUN ?. Dari permasalahan tersebut, penulis
mencoba mendeskripsikan serta mengajak rekan-rekan atau para pembaca untuk mengkaji
lebih lanjut dengan menggunakan analisa yuridis normatif dan mengenyampingkan anasiranasir non yuridis, akan tetapi aspek penekanannya menggunakan hukum administrasi negara
di Indonesia.
B. PHI Sebagai Pranata Penegakan Hukum Ketenagakerjaan
Berangkat dari permasalahan diatas, penulis mencoba untuk mengkaji fungsi dan
kedudukan PHI menurut Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Aspek filosofis dibentuknya PHI adalah adanya suatu keinginan agar terwujud suatu
hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan yang secara optimal sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Apabila kita melihat nilai yang terkandung diatas, maka
keberadaan PHI memang sangat dibutuhkan bahkan sangat urgen melihat masalah
ketenagakerjaan yang semakin kompleks.
Dalam hal ini, eksistensi PHI dapat dijadikan sebagai pilar hukum ketenagakerjaan.
Dikatakan “pilar” karena hukum ketenagakerjaan yang pada umumnya berupa norma tidak
dapat diterapkan atau dipatuhi bila tidak ada suatu lembaga hukum yang mempunyai daya
paksa untuk mengimplementasikan norma hukum ketenagakerjaan tersebut, untuk itulah
condito sine quanon dibentuk PHI.
Meskipun sudah ada lembaga penegakan hukum ketenagakerjaan baik yang berada
dibawah naungan lembaga eksekutif ( dahulu seperti P4D dan P4P) maupun lembaga
yudikatif, tetapi masih dirasa belum mumpuni dalam hal penegakan norma hukum
ketenagakerjaan. Oleh karena masalah-masalah ketenagakerjaan mempunyai nilai
problematik yang khas, maka disepakati baik oleh pemerintah maupun DPR perlu lembaga
penegak hukum khusus masalah ketenagakerjaan dan lembaga itu adalah PHI.
Dengan adanya kekhasan penyelesaian sengketa ketenagakerjaan, maka dalam PHI inipun
membatasi perselisihan hubungan industrial ke dalam beberapa jenis, yaitu : perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara
para serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (Pasal 2 Undang-Undang
tentang PPHI).
Tetapi dengan adanya perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tersebut, bukan
berarti setiap perselisihan ketenagakerjaan ini selalu harus diselesaikan melalaui PHI. Karena
adanya PHI merupakan jalan terakhir apabila perselisihan dalam ketenagakerjaan, sedangkan
upaya yang harus dilalui terlebih dahulu menurut nilai-nilai dalam Pancasila adalah
dirundingkan atau dimusyawarahkan karena dengan adanya musyawarah para pihak yang
berselisih diyakini apabila terselesaikan akan lebih baik dibanding diselesaikan melalui PHI.
Karena penyelesaian sengketa ketenagakerjaan melalui PHI merupakan jalan terakhir,
maka diberikan kesempatan kepada para pihak yang berselisih melakukan penyelesaian
melalui beberapa macam cara, seperti : bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi.
Segi positif dalam sistem penyelesaian sengketa perselisihan hubungan industrial menurut
Undang-Undang tentang PPHI adalah penyelesaian lewat PHI lebih sederhana karena proses
penyelesaian sengketa harus sudah selesai dalam kurun waktu kurang lebih 140 hari (2), dan
ini berbeda dengan penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan sebelumnya yang bisa
memakan waktu sampai 3 tahun.
Tugas dan wewenang PHI menurut Pasal 55 Undang-Undang tentang PPHI adalah
memeriksa dan memutus :
1.
2.
3.
4.
Perselisihan Hak sebagai pengadilan tingkat pertama.
Perselisihan Kepentingan sebagai pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir.
Perselisihan PHK sebagai pengadilan tingkat pertama.
Perselisihan antar SP/SB dalam satu perusahaan sebagai pengadilan tingkat pertama
sekaligus terakhir.
Dari ketentuan tersebut dapatlah disimpulkan ada dua perkara (perselisihan hak dan PHK)
yang dapat diupayakan hukum lagi yaitu langsung melalui Kasasi (tanpa ada Banding).
Sedangkan untuk dua perkara yang lain yaitu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
SP/SB dalam satu perusahaan tidak ada upaya hukum lagi melainkan putusan yang ada sudah
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Yang menarik untuk dikaji dalam hal komposisi Majelis Hakim pada PHI adalah satu orang
Hakim Pengadilan Negeri (yang diangkat oleh Ketua MA), satu orang Hakim Ad-hoc dari
kalangan serikat pekerja/buruh, dan satu orang Hakim Ad-hoc dari kalangan organisasi
pengusaha. Dikatakan menarik karena prosedur pengangkatan Hakim tidak sebagaimana
umumnya/ layaknya yaitu dari kalangan SP/SB serta Pengusaha, hanya berdasarkan
pengusulan yang selanjutnya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu 5
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Selain itu salah satu persyaratan
penting untuk menjadi Hakim Ad-hoc bukan harus dari seorang sarjana hukum melainkan
strata satu (S1) yang berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.
Sedangkan mengenai hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata disamping
hukum
acara
yang
ada
dalam
Undang-Undang
tentang
PPHI.
Sejak 14 Januari 2004 Undang-Undang tentang PPHI secara hukum sudah berlaku sah serta
dapat diterapkan, dan beberapa wilayah di Indonesia saat ini sudah memiliki lembaga PHI
sepeti : Jakarta, Medan, Semarang, dll.
C. Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan di PTUN sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan TUN oleh Badan atau Pejabat TUN
Sebagaimana kita ketahui, yang menjadi pangkal sengketa dalam Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN) adalah Keputusan TUN. Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (3).
Melihat pada definisi tersebut, yang menjadi pangkal sengketa dalam PTUN itu sangat
terbatas pada keputusan saja, dan ini pun dipersempit lagi hanya Keputusan TUN yang
tertulis saja. Hal ini berarti, tidak semua tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ini
dapat digugat melalui PTUN. Namun, yang dapat digugat melalui PTUN sebatas Keputusan
TUN saja. Tindakan-tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tanpa Keputusan
TUN tidak menjadi obyek sengketa tata usaha negara (4).
Dari pengertian Keputusan TUN ini pula, apabila ditelaah lebih dalam lagi ternyata
pengertian tersebut belumlah tuntas. Karena, pengertian Keputusan TUN yang termaktub
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang tentang PTUN itu masih dikurangi dengan apa yang
tercantum dalam Pasal 2 dan masih ditambah lagi dengan apa yang tercantum dalam Pasal 3
Undang-Undang tentang PTUN. Oleh karena itu Keputusan TUN yang bersifat konkret,
individual, dan final inilah yang dapat digugat ke PTUN yang kemudian di putus oleh Hakim
Tata Usaha Negara.
Apabila dipahami adanya Keputusan TUN meliputi beberapa bidang, seperti : bidang
kepegawaian, pertanahan, perpajakan, ketenagakerjaan/perburuhan, dll. Sepanjang Badan
atau Pejabat TUN mengeluarkan keputusan dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan
dan masuk dalam kriteria Pasal 1 angka 3 Undang-Undang tentang PTUN, maka apabila ada
sengketa yang berkenaan dengannya sudah masuk kewenangan absolut PTUN untuk
menyelesaikannya.
Selain Keputusan TUN yang menjadi patron untuk mengetahui kompetensi absolut PTUN,
maka perlu dikaji siapakah yang disebut Badan atau Pejabat TUN. Menurut ketentuan Pasal 1
angka 1 dan 2 Undang-Undang tentang PTUN, yang dimaksud Badan atau Pejabat TUN
adalah Badan atau Pejabat TUN (administrasi negara) yang melaksanakan fungsi atau urusan
pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Beranjak dari pengertian tersebut timbul suatu pertanyaan apa dan siapa
sajakah yang dapat melaksanakan fungsi atau urusan pemerintahan ? apakah hanya Badan
atau Pejabat TUN (eksekutif) saja ?. Untuk menjawab permasalah tersebut perlu pemahaman
secara komprehensif keilmuan hukum administrasi negara.
Menurut hukum administrasi negara (hukum publik), wewenang-wewenang dalam urusan
pemerintahan (eksekutif) bukanlah merupakan monopoli instansi-instansi resmi di
lingkungan pemerintah dibawah Presiden saja. Demikian halnya karena dalam kenyataan
kehidupan sehari-hari berbagai tugas pemerintahan berada pada instansi-instansi di luar
pemerintah, seperti : badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah sendiri (mis
: BUMN/BUMD dan Bank Pemerintah), instansi-instansi yang merupakan hasil kerjasama
antara pemerintah dengan pihak swasta (mis : Pemda DKI kerjasama dengan PT
Pembangunan Jaya), dan kadangkala suatu badan swasta murni melalui peraturan perundangundangan atau sistem perizinan diberi wewenang untuk melaksanakan dan bertindak sebagai
pelaksana suatu bidang urusan pemerintahan (mis : lembaga-lembaga swasta yang bergerak
dibidang pendidikan, kegiatan sosial, kesehatan, dll). Dengan alasan itulah, menurut
Indroharto bahwa apa saja atau siapa saja yang dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat
TUN dengan nama apapun secara garis besar dapat dikelompokkan dalam (5) :
1.
2.
3.
4.
5.
Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai kepala
eksekutif.
Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu urusan
pemerintahan.
Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah dengan maksud untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Instansi-instansi yang merupakan kerjasama antara pihak pemerintah dengan pihak
swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Lembaga-lembaga hukum swasta yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
sistem perizinan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Dari uraian diatas, menurut penulis dalam kenyataanannya hukum administrasi negara
terlihat sudah semakin berkembang pesat dan maju. Hal ini dikarenakan semakin berkembang
dan majunya suatu negara banyak terjadi pelimpahan-pelimpahan wewenang yang banyak
dimiliki oleh pemerintah. Proses pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada instansi
diluar pemerintah ini merupakan suatu keharusan karena dinamika kehidupan sosial dan
pembangunan/ modernisasi yang menuju kepada globaliasi sesuatu yang tidak bisa dihindari
lagi. Adanya era globalisasi membuat tugas-tugas yang diemban pemerintah semakin
kompleks sehingga untuk efisiensi dan efektifitas pembangunan secara politis dan sesuai
konstitusi sudah disepakati perlu adanya pelimpahan wewenang tersebut sepanjang bukan
yang berkenaan dengan pengambil kebijakan publik maupun menyangkut kepentingan hajat
hidup rakyat Indonesia.
Setelah ditelusuri mengenai apa saja yang bisa dijadikan sebagai subjek dan objek dalam
sengketa TUN, maka permasalahan selanjutnya apakah setelah dibentuknya PHI sengketa
TUN yang berkenaan dengan ketenagakerjaan sudah bukan lagi menjadi kewenangan PTUN
untuk mengadilinya ?.
Sebagaimana telah penulis nyatakan, berdasarkan uraian yuridis diatas sepanjang sengketa
TUN tersebut berupa keputusan TUN sebagaimana dimaksud dengan Pasal 1 angka 3
Undang-Undang tentang PTUN dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN menurut Pasal
1 angka 1, 2, dan 6 Undang-Undang tentang PTUN, maka tetap menjadi kewenangan PTUN
untuk memeriksa dan mengadilinya, tanpa memilah-milah bidang apa pun.
Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa melalui upaya administrasi sebagaimana
dimaksud Pasal 48 Undang-Undang tentang PTUN, penulis berpendapat setelah dibentuknya
PHI berdasarkan Pasal 125 Undang-Undang tentang PPHI, PTTUN selaku pengadilan tingkat
pertama sudah tidak berwenang lagi menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan/perburuhan
karena P4D dan P4P sudah tidak ada lagi eksistensinya.
Dalam hal ini pun penulis sependapat PHI berada dibawah Peradilan Umum karena
perselisihan yang terjadi antara tenaga kerja/ buruh atau SP/SB dengan organisasi pengusaha
biasanya bersifat keperdataan. Tetapi perlu dicatat, bahwa tidak selamanya sengketa yang
berkenaan dengan ketenagakerjaan/ perburuhan bersifat perdata/ privat, karena pada dasarnya
ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan/ buruh itu kadangkala masuk wilayah hukum publik.
Oleh karena itu penulis sependapat dengan Koko Kosidin yang dalam disertasinya
menyatakan mengenai pemahaman yang luas dari hukum ketenagakerjaan atau perburuhan
ini, yaitu di samping bersifat keperdataan juga bersifat publik karena menyangkut pula
pengaturan mengenai kebijakan pemerintah di dalamnya6). Pendapat yang sama diungkapkan
oleh Hari Supriyanto dalam salah satu penelitiannya tentang hukum ketenagakerjaan/
perburuhan dengan menyitir pendapat Pitlo dan Utrecht, yang menyatakan pengaturan
lapangan hukum ketenagakerjaan/ perburuhan termasuk pengaturan yang menyangkut van
openbare orde (aturan-aturan hukum publik), yaitu aturan-aturan yang menyangkut atau
meliputi bagian-bagian yang esensial daripada struktur kehidupan masyarakat, dari sinilah
pemerintah tidak dapat menghindari adanya campur tangan dilapangan ketenagakerjaan/
perburuhan. Turut campur tangannya pemerintah secara aktif di lapangan ketenagakerjaan
karena pemerintah dalam segala segi kehidupan sosial membawa suatu “enorme utibouw van
de sociale wetgeving” dan suatu “enorme groei van het adminitrative recht”, dengan
demikian aktifnya pemerintah tersebut adalah dalam rangka penyelenggaraan kesejahteraan
umum yang menuju suatu negara kesejahteraan (welfare state) 7).
D. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang ada dan argumentasi hukum oleh penulis, maka dapat
disimpulkan berkenaan dengan materi yang sedang dibahas yaitu kedudukan PHI sebagai
peradilan khusus sudah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu berada di
bawah Peradilan Umum, sedangkan mengenai fungsi dan kewenangannya adalah hanya
menangani masalah ketenagakerjaan/ perburuhan yang bersifat keperdataan maupun pidana,
sedangkan yang sifatnya sengketa tata usaha negara termasuk wilayah HAN bukanlah
merupakan kompetensi PHI untuk menyelesaikan perkara tersebut melainkan kewenangan
absolut PTUN. Dengan demikian, penulis mengajak para pembaca (terutama bagi kalangan
eksekutif, politisi, akademisi maupun praktisi) dalam membentuk dan menerapkan suatu
aturan harus memilah dari segi keilmuan hukum, atau dengan kata lain janganlah sampai
terjadi disharmonisasi atau overlap peraturan perundang-undangan (inilah yang sering terjadi
di Indonesia), oleh karenanya harus mengacu pada teori-teori suatu bidang keilmuan hukum
serta menghilangkan anasir-anasir politis/ non yuridis.
1) SF.Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty,
1997, Yogyakarta, hlm.83.
2) Menurut Pasal 103, Majelis Hakim wajib memberi putusan dalam waktu selambatlambatnya 50 hari kerja terhitung sejak hari pertama sidang dan dalam Pasal 115 apabila
salah satu pihak mengajukan Kasasi maka Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan Kasasi harus sudah memutusa perkara
tersebut.
3) Lihat : Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Tentang PTUN.
4) Menurut sistem hukum kita, kewenangan untuk menilai perbuatan materiil dari badan atau
pejabat TUN ini tidak termasuk kompetensi PTUN, Kewenangan untu menilai perbuatan ini
diserahkan kepada Peradilan Umum atau perdata, yang didasarkan penafsiran yang luas dari
Pasal 1365 KUHPerdata (tentang onrechtmatig daad)
5) Lihat Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm. 135-137.
6) Koko Kosidin, Aspek-Aspek Hukum Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Di Lingkungan
Perusahaan Perseroan (PERSERO), Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1996, hlm.305-307.
7) lihat Hari Supriyanto, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik (Studi Hukum
Perburuhan di Indonesia), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2004, hlm.77 dan 81.
Download