menembus batas hukum.

advertisement
Menembus Batas Hukum
KOMPAS, Jumat, 22 Januari 2010 | 05:23 WIB
SAIFUR ROHMAN
Dalam pertemuan penulis Kompas, akhir Ramadan tahun lalu, Satjipto Rahardjo
berpesan bahwa penciptaan karya tulis yang mengendap, jernih, dan tajam tidak bisa
dilakukan dalam waktu singkat.
Memang, hingga tutup usia dalam umur 79 tahun, bila kita bersetia membaca tulisantulisannya, analisis terhadap kasus hukum yang terjadi di Indonesia diungkapkan
dengan bahasa sederhana, tetapi mengentak. Boleh dikata, kecuali Satjipto, tak ada
ilmuwan hukum mana pun yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap
keputusan-keputusan publik untuk masalah gawat dalam dua dekade terakhir di
republik ini.
Kini dia telah berpulang, meninggalkan warisan intelektual tak ternilai. Buku
terakhirnya, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (2009), merupakan
sebagian kecil dari serpihan pemikiran yang dipresentasikan dalam pelbagai
kesempatan. Melalui bahasanya sendiri, hukum progresif dimaknai sebagai ”prinsipprinsip dasar yang menjadikan hukum sebagai perangkat menegakkan kemanusiaan
(2009: 4)”. Hukum adalah alat, bukan tujuan.
Dia memberikan orientasi hukum kepada kita tentang apa yang seharusnya. Karena
sebagai prinsip dasar, pemikirannya tentang hukum positif di Indonesia tak sematamata merujuk pada UU dan pasal tertentu. Asas-asas pokok itulah yang membuat
pemikiran-pemikirannya tak berhenti pada sosiologi hukum yang menguji korelasi
praktik individu maupun institusi vice versa. Dia masuk ke wacana filsafat hukum
dan mengusung humanisme baru dalam praktik hukum di Indonesia. Dia menjawab
kebuntuan hukum selama ini yang berkubang dalam permainan kata-kata untuk
mempertahankan kepentingan pribadi/ kelompok.
Humanisme hukum itu jelas mengingatkan pada buah pikir Protagoras (500 SM)
dalam buku bertajuk Aletheia (kebenaran). Dikatakan, manusia adalah ukuran segalagalanya. Untuk mencapai itu, segala-galanya bisa digunakan untuk meneguhkan nilai
kemanusiaan. Dalam pemikiran kontemporer, humanisme hukum mengkritik
pragmatisme hukum Amerika Serikat yang berakar pada nilai praktis dan semangat
pencerahan Jerman yang berakar pada akal sehat.
Kaitannya dengan pemikiran humanisme Satjipto, hukum merupakan bagian dari
karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat kemanusiaan.
Manusia tidak menghamba pada abjad dan titik koma yang terdapat dalam UU
sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan
manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk
rasio, tetapi bagian dari intuisi.
Relevansi dengan nilai dasar kebangsaan, humanisme hukum model Satjipto
berbicara tentang mewujudkan konsepsi adil sekaligus beradab, seperti sila kedua
Pancasila. Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif
yang dirumuskan dalam pasal-pasal UU.
Keadilan bukan tugas rutin mengetukkan palu di gedung pengadilan. Keadilan juga
tak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang dibutuhkan
bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir atas UU untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia Indonesia.
Mengkritik liberalisme
Gagasan ini sekaligus melampaui liberalisme hukum model John Rawls dalam
Theory of Justice (1971: 65). Keadilan hukum menurut Rawls harus dibatasi oleh
mekanisme institusional yang telah disepakati oleh masyarakat untuk mengikat
kebebasan masing-masing individu.
Ukuran itu disebut nalar umum. Artinya, norma yang termaktub dalam UU cukup
dijadikan landasan utama mengatur perilaku masyarakat yang sedang dan akan
terjadi. Alhasil, perilaku diprediksi di dalam pasal-pasal yang diasumsikan berlaku
melampaui ruang dan waktu.
Kelemahannya, asumsi-asumsi ini menyatukan antara nilai keadilan dan institusi
keadilan. Keadilan hanya diserahkan pada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim sebagai
mata pencarian di dalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS atau polisi
bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan file di meja
penegak hukum yang harus diselesaikan.
Isu umum yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada
prinsip pekerjaan yang diukur dengan nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu
sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang populer dalam dunia hukum. Seperti
mafia hukum, UUD (ujung- ujungnya duit), pasal karet, 86, dan penyelesaian di balik
meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang di dalam institusi
pengadilan.
Humanisme hukum Satjipto memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian
aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proposisi
tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar
dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari
praktik ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini.
Satjipto membayangkan Indonesia di masa depan tidak ada lagi diskriminasi hukum
bagi kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan di
depan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan terhadap yang lemah itu mutlak.
Pesannya, manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk keadilan, tetapi atas nama
pemberadaban.
Satjipto memang telah pergi, tetapi karyanya abadi.
SAIFUR ROHMAN Ahli Filsafat dari Universitas Semarang
SUMBER: KOMPAS
Download