HARMONISASI PEMBANGUNAN HUKUM DAN PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA1 Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum.2 A. Pendahuluan Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupan sosialnya tidak akan pernah terlepas dari adanya kebutuhan dalam menunjang kelangsungan kehidupannya, oleh sebab itulah manusia yang satu dengan manusia yang lainnya akan saling memiliki kepentingan masing-masing dalam memenuhi kebutuhan mereka. Namun karena manusia identik dengan sifat egois (mementingkan diri sendiri) dan angkuh yang menyebabkannya seringkali merugikan orang lain ketika menjalankan dan mengejar kepentingannya, jadi tidak mustahil akan sering terjadi konflik di antara manusia dalam melaksanakan dan mengejar kepentingannya tersebut, disinilah muncul yang biasa disebutkan dengan masalah. Dari needs dan problem itu, kemudian hukum hadir untuk meminimalisir konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, agar manusia merasa aman dalam menjalankan dan mengejar kepentingannya masing-masing. Hukum juga sering diartikan sebagai teks yang tertera di dalam UndangUndang, sebagai aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim), dalam kajian tentang budaya hukum (Legal Culture), terlihat bahwa hukum itu disini difungsikan sebagai motor keadilan, kemudian dalam berbagai kajian lainnya terkadang hukum disebut sebagai institusi sosial, dan juga sebagai alat rekayasa sosial, bahkan sebagian orang menyatakan hukum itu sebagai mitos dari kenyataan. Perbedaan yang demikian tidak menjadi suatu permasalahan dalam mendefenisikan serta memfungsikan hukum tersebut. Namun ada hal yang menarik dalam kajian sosiologi hukum, yaitu ketika melihat prilaku manusia sebagai hukum. Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa sistem hukum itu terdiri atas struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (beruba perundangundangan), dan kultur hukum atau budaya hukum. Dimana ketiga komponen itulah yang mendukung berjalannya sistem hukum di suatu Negara. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat itu akan mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh dari modernisasi atau globalisasi, baik itu secara evolusi maupun revolusi. Atau bisa juga karena disebabkan oleh beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi hukum. Demikian 1. 2. Disampaikan dalam Seminar Hukum Nasional Pembangunan Hukum Nasioanal di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya, !4 September 2016. Dosen S1, S2, dan S3 UNS serta menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 1 halnya dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat (sosial), tentunya bisa mengalami perubahan-perubahan seperti yang terjadi pada hukum itu sendiri. Lantas bagaimana jika hukum dan masyarakat itu mengalami perubahan. apakah hukum itu yang menyebabkan perubahan masyarakat, atau sebaliknya. dan bagaimana peran social control dan social enginering dalam perkembangan masayarakat tersebut. B. Model Pembangunan Hukum di Indonesia Perkembangan masyarakat intemasional dalam abad globalisasi dan kini memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai sejak 1 januari 2016 di seluruh aspek kehidupan masyarakat, terasa penting, mendesak dan relevan untuk memotivasi dan mendorong menemukan model hukum yang cocok dengan nilai-nilai yang berkembang dan dianut dalam masyarakat global disatu sisi, dan disisi lain, tidak meninggalkan atau menghapuskan sama sekali nilai-niIai lokal (hukum adat) yang positif bagi pembangunan hukum saat ini. Upaya penemuan model hukum (Recht Vinding) penting bagi bangsa Indonesia yang memiliki heterogenitas sosial, budaya dan geografis serta merniliki sumber daya alam strategis bagi kehidupan bangsa Indonesia di masa yang akan dating (Romli Atmasasmita, tt, 194). 1. Model Hukum Pembangunan Generasi I (Mochtar Kusumaatmadja) Hukum nasional (Indonesia) sebagai suatu sistem belum terbentuk secara hoIistik, belum komprehensif dan belum diperkaya niIai-niiai kehidupan masyarakat adat untuk beradaptasi dengan kehidupan masyarakat maju. Usaha untuk menyatakan bahwa telah terdapat suatu sistem hukum nasional terbukti hanya merupakan pewarisan sistem hukum warisan pemerintah Hindia Belanda yang menganut "Civil Law System"sernata­mata yang dipaksakan berlakunya ditengah-tengah masyarakat (hukum) adat. Perubahan terhadap KUHP, pasca kemerdekaan RI, dilakukan antara lain memasukkan ketentuan mengenai, pembajakan udara dan larangan ideologi marxisme komunisme. Hukum pidana, hukum perdata dan hukum tata negara yang diajarkan di fakultas hukum terkemuka di Indonesia (UI, Unpad, UGM, Unair, UNS) dan beberapa fakultas hukum swasta, masih merujuk pada referensi­referensi buku teks yang bersumberkan pada sistem hukum Belanda yaitu sistem hukum Civil Law. Langkah pemerintah Indonesia untuk "menasionalisasikan" sistem hukum asing (Belanda) sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 (untuk Kitab Undang- 2 Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata), dimulai dengan penggantian ketentuan Hukum Acara Pidana warisan pemerintah Kolonial Belanda, Het Herziene Inlands Reglement. (HIR) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pi dana (baru). Pembaruan hukum acara perdata dan hukum perdata yang bersumber pada "Burgerlijke Wetboek" belum dilakukan secara terencana dan sistematis serta tuntas karena karakteristik hukum perdata yang kompleks dibandingkan hukum pidana. Upaya pemerintah mengganti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van het Strafrecht), telah berlangsung se1ama lebih dari 30 tahun, dan pada tahun 2009 telah dirampungkan penyelesaiannya. Pandangan Mochtar Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional, kemudian dikenal sebagai Model Hukum Pembangunan, diletakkan di atas premis-premis yang merupakan inti ajaran atau prinsip; sebagai berikut (Romli Atmasasmita, tt, 196): 1. Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur menurut Mochtar, dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi keduanya. Beliau menolak perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata. 2. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan awal dari pada masyarakat yang sedang membangun maka hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tak dapat diabaikan dalam proses pembangunan 3. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui kepastian hukum dan juga hukum (sebagai kaidah sosial) harus dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat 4. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. 5. Implementasi fungsi hukum tersebut diatas hanya dapat diwujudkan jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan akan tetapi kekuasaan itu sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditentukan didalam hukum itu. 3 Kelima inti ajaran model hukum pembangunan tersebut mencerminkan bahwa kepastian hukum tidak boleh dipertentangkan dengan keadilan, dan keadilan tidak boleh hanya ditetapkan sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan melainkan harus sesuai dengan nilai-nilai (baik) yang berkembang dalam masyarakat. Model Hukum Pembangunan (Nasional) menurut Mochtar Kusumaatmadja tidak meninggalkan sepenuhnya pandangan aliran analytical jurisprudence, bahkan telah "merangkul" baik aliran "analytical jurisprudence", aliran "sociological jurisprudence", dan aliran "pragmatic legal realism". Bertolak dari ketiga aliran teori hukum tersebut, model Hukum Pembangunan dalam praktik, hanya dapat dilakukan me1alui cara pembentukan perundang­undangan atau melalui keputusan pengadilan atau melalui kedua-duanya. Model Hukum Pembangunan yang telah dinyatakan sebagai Kebijakan Hukum dalam Pembangunan NasionaI (GBHN Bab 27 Tahun 1973) ketika itu belum terrnasuk mempertimbangkan faktor lainnya seperti, sistem politik, sistem birokrasi dan prinsip-prinsip "good governance" dan tidak sebesar saat ini gaungnya di dalam birokrasi ketika itu. Kenyataan yang terjadi dalam praktik pembangunan hukum (pembentukan hukum dan penegakan hukum) sejak awal orde baru sampai saat ini (orde reforrnasi), perkembangan masyarakat Indonesia belum selesai menjalani masa transisi, yaitu dari sistem politik otoritarian kepada sistem demokrasi: dari sistem hukum yang berpola pada "patron-client relationship" kepada sistem hukum yang terbebas dari intervensi kekuasaan dan kepentingan kelompok; dari sistem sosial ekonomi yang mementingkan nepotisme dan kolusi kepada sistem ekonomi pasar, profesionalisme, dan berpihak pada kerakyatan. Keadaan sosial, ekonomi, politik dan hukum yang berada di persimpangan jalan ini diperkeruh oleh suasana perkembangan intemasional didalam hampir seluruh bidang kehidupan yang meneguhkan bahwa globalisasi abad 21 bukan lagi semata-mata sebagai proses atau sebagai suatu sistem yang harus dijalankan melainkan telah dikukuhkan sebagai suatu ideologi masyarakat internasional. Globalisasi sebagai ideologi dilandaskan pada 7 (tujuh) prinsipprinsip: (1) keunggulan dan ketahanan pasar (supremacy and infallibility of the market); (2) keluasan kepemilikan dan harta kekayaan (unlimited right of appropriation and property); (3) kepentingan swasta melebihi kepentingan publik (primacy of private interests over the state and public interests); (4) persaingan dengan segala risikonya (competition at all costs); (5) fleksibilitas tenaga kerja 4 (labour flexibility); (6) segala sesuatu merupakan komoditas (everything is commodity); (7) pertumbuhan yang tidak terbatas (infinite growth). Dalam konteks kondisi sebagaimana diuraikan di atas sangat jelas bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pembangunan hukum era tahun 1970-an dan di era tahun 1980-an sehingga diperlukan evaluasi mendasar, yang disebut reorientasi pembangunan hukum (Romli Atmasasmita, tt, 201). Reorientasi ini meliputi, Pertama, masalah reaktualisasi sistern hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal (hukum adat) kedalam sistem hukum nasional dan juga terhadap hukum lain yang bersumber pada perjanjian internasional yang telah diakui. Kedua, masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih mengedepankan egoisme sektoraI, miskomunikasi dan miskoordinasi antar lembaga penegak hukum. Semua itu disebabkan miskinnya pemahaman aparatur hukum mengenai prinsip "good governance";"due process of law";"praduga tak bersalah";dan "the right to counsel". Ketiga, masalah pemberdayaan masyarakat secara khusus yang menitikberatkan pada partisipasi publik dalam pembangunan dan akses informasi publik terhadap kinerja birokrasi. Kedua inti dari pemberdayaan masyarakat ini dapat dimasukkan sebagai "budaya hukum" karena tanpa kedua inti pemberdayaan ini, hukurn tidak akan dipahami secara benar atau dipahami tetapi tidak ditempatkan pada tempat yang selayaknya dalam konteks persepsi dan pandangan masyarakat. Hal ini telah terjadi ketika publik telah menafsirkan secara kurang tepat mengenai asas praduga tak bersalah yang disubstitusi dengan asas praduga bersalah (presumption of guilt). ketika pejabat pemerintah melakukan kesalahan: disisi lain, mengakui pentingnya asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sepenuhnya, ketika rakyat kecil telah melakukan kesalahan yang sama; bandingkan kasus nenek Misnah (pencurian dua biji kopi) dan kasus Burhanudin Abdullah, mantan Gubernur BI. Persepsi publik sedemikian dari sudut kepastian hukum, telah melahirkan bentuk anarkisme baru yang menimbulkan ekses pemaksaan kehendak rakyat dan mengabaikan sistem hukum yang berlaku. Keempat, masalah pemberdayaan birokrasi atau yang saya sebut, "bureucratic engineering" (BE) dalarn konteks fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, masalah pemberdayaan 5 birokrasi ini menempati posisi yang sangat strategis dan menentukan keberhasilan pembangunan nasional karena masih merupakan titik lemah yang krusial. Model hukum BE diharapkan dapat mengisi kelemahan model hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang mengedepankan peranan hukum daripada peran birokrasi. Pendekatan BE mengutamakan konsep "panutan" dan "kepemimpinan" untuk mewujudkan konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat karena konsep tersebut dapat menciptakan persamaan persepsi dan sikap yang sama antara elemen birokrasi dan elemen masyarakat kedalam suatu wadah yang satu yang disebut, "Bureucratic and Social Engineering" (BSE). Model BSE sebagai inti pembangunan hukum nasional pasca reformasi harus diartikan, bahwa penyelenggara birokrasi memberikan dan melaksanakan keteladanan sesuai dengan tuntutan hukum yang berlaku dan diharapkan dapat memotivasi masyarakat mematuhi dan mengikuti langkah kepatuhan birokrasi tersebut. Pendekatan BSE ini saya pandang sebagai model pembangunan hukum generasi II (1980) sebagai revisi atas konsep model hukum pembangunan generasi I (1970). Konsep pendekatan model BSE dalam pembangunan hukum nasional hanya dapat dilaksanakan secara efektif jika penyelenggara birokrasi dan setiap warga negara, telah memahami fungsi dan peranan serta posisi hukum sebagaimana diuraikan di bawah ini: a) Hukum sepatutnya dipandang bukan hanya sebagai perangkat yang harus dipatuhi oleh masyarakat melainkan juga harus dipandang sebagai sarana yang membatasi wewenang dan perilaku aparat hukurn dan pejabat publik; b) Hukum bukan hanya diakui sebagai sarana pembaharuan masyarakat semata-mata akan tetapi juga sebagai sarana pembaharuan birokrasi; c) Kegunaan dan kemanfaatan hukum tidak hanya dilihat dari kacamata kepentingan pemegang kekuasaan (negara) melainkan juga harus dilihat dari kaca mata kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder), dan kepentingan korban-korban (victims); d) Fungsi hukum dalam kondisi masyarakat yang rentan (vulnerable) dan peralihan (transisional) tidak dapat dilaksanakan secara optimal hanya menggunakan pendekatan preventif dan represif semata-mata melainkan juga diperlukan pendekatan restoratif dan rehabilitatif; 6 e) Agar fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal dalam pembangunan nasional maka hukum tidak semata-mata dipandang sebagai wujud dari komitmen politik melainkan harus dipandang sebagai sarana untuk mengubah sikap dan cara berpikir (mindset) dan perilaku (behavior) anggota masyarakat dan birokrasi. 2. Model Hukum Progresif (Satjipto Raharjo) Ahli hukum lain, Satjipto Rahardjo telah menggagas model hukum lain, yang dinamakan Hukum Progresif. Gagasan konsep model hukum progresif ini berawal dari kegelisahannya bahwa setelah 60 tahun usia Negara Hukum, terbukti tidak kunjung mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik, dengan keprihatinannya ia berkata: "Saya merasakan suatu kegelisahan sesudah merenungkan lebih dari enam puluh tahun usia Negara Hukum Republik Indonesia. Berbagai rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi tidak juga memberikan hasil yang memuaskan, bahkan grafik menunjukkan tren yang menurun. Orang tidak berbicara tentang kehidupan hukum yang makin bersinar; melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang makin suram", Bertolak dari kenyataan pahit mengenai kehidupan dan peranan hukum yang ia konstatir maka muncullah keinginan untuk kembali kepada fundamental hukum di negeri ini. Bahkan almarhum memikirkan tentang kemungkinan adanya kekeliruan atau kekurang tepatan dalam memahami (understanding) fundamental hukum tersebut sehingga almarhum menegaskan adanya perkembangan hukum tidak dapat diarahkan kepada yang benar. Inti dan pernyataan Satjipto Rahardjo diatas adalah, bahwa hukum dalam kenyataan sesungguhnya merupakan perilaku yang dicontohkannya dengan kasus Millie Simpson dan kisah sepucuk surat orang Jepang kepada sesama kawan bisnisnya orang Indonesia. Pandangan Model Hukum Progresif menurut Satjipto Rahardjo , merupakan suatu penjelajahan suatu gagasan yang berintikan 9 (sembilan) pokok pikiran sebagai berikut (Romli Atmasasmita, tt, 204): a) Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechts dogmatiek dan berbagi paham atau aliran seperti legal realism, freierechtlehre, sociological jurisprudence, interressenjurisprudenz di Jerman, teori hukum alam, dan critical legal studies. 7 b) Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. c) Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum. d) Hukum menolak status quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral. e) Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. f) Hukum progresif adalah, "hukum yang pro rakyat" dan "hukum yang pro keadilan", g) Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa "hukum adalah untuk manusia" bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebilh luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalatn sistem hukum. h) Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu. i) Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Kesembilan pokok pemikiran model Hukum Progresif diatas, jika dibandingkan dengan kelima pokok pemikiran model Hukum Pernbangunan, tampak persamaan dan perbedaannya (Romli Atmasasmita, tt, 205). Kedua model hukum tersebut tidak berhenti pada hukum sebagai sistem norma (system of norms) yang hanya bersandar pada "rules and logic" saja melainkan juga hukum sebagai sistem perilaku. Kesamaan pandangan keduanya adalah terletak pada fungsi dan peranan hukum dalam bekerjanya hukum dihubungkan dengan pendidikan hukum. Kedua model hukum tersebut berbeda pada tolak pangkal pemikirannya. Mochtar Kusumaatmadja, beranjak dari bagaimana memfungsikan hukum dalam proses pembangunan nasional sedangkan Satjipto Rahardjo, beranjak dari kenyataan dan pengalaman tidak bekerjanya hukum sebagai suatu sistem perilaku. Perbedaan kedua, Mochtar Kusumaatrnadja, menegaskan bahwa kepastian hukum dalam arti keteraturan masih harus 8 dipertahankan sebagai pintu masuk menuju ke arah kepastian hukum dan keadilan, sedangkan Satjipto Rahardjo, demi kepentingan manusia, maka hukum tidak dapat memaksakan ketertiban kepada manusia, sebaliknya hukum yang harus ditinjau kembali, dan menambahkan, bahwa hukum untuk manusia bukan sebaliknya, dan hukum dijalankan dengan nurani. Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja, menegaskan bahwa bekerjanya hukum didalam masyarakat tergantung dari sejauh manakah hukum telah sesuai dengan perkembangan nilai baik yang hidup dalam masyarakat. Perbedaan ketiga, bagi Mochtar Kusumaatmadja, hukum seyogianya diperankan sebagai sarana (bukan alat) pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering) akan tetapi Satjipto Rahardjo, menegaskan bahwa model pemeranan hukum sedemikian dikhawatirkan menghasilkan "dark engineering" jika tidak disertai dengan hati nurani (manusianya) penegak hukumnya. Secara teoritik model Hukum Pembangunan dan model Hukum Progresif mendasarkan pada teori hukum yang sama yaitu "pragmatic legal realism" (Roscoe Pound) dan "sociological jurisprudence" (Eugen Ehrlich). Namun model Hukum Progresif diperkuat dengan pengaruh aliran studi hukum kritis (critical legal studies) yang cenderung apriori terhadap segala keadaan, dan bersikap "antifoundationalism". Model hukum ini tidak meyakini keberhasilan aliran "analytical jurisprudence" (Austin) didalam penegakan hukum. Model Hukum Pembangunan tidak meninggalkan pandangan aliran "analytical jurisprudence" (Austin), namun dikombinasikan dengan pandangan Pound dan Erlich sehingga model hukum pembangunan memandang ketiga aliran teori hukum tersebut bukan masalah yang harus dipertentangkan satu sama lain, melainkan ketiga aliran teori hukum tersebut saling melengkapi didalam proses pembaharuan hukum dalam masyarakat. Model Hukum Pembangunan beranggapan bahwa sampai saat ini, cara pembaharuan hukum, baik melalui pembentukan undang-undang maupun dalam pembangunan hukum nasional. 3. Model Hukum Interagratif Bertolak dari pandangan kedua Guru besar Hukum Indonesia diatas dapat disimpulkan bahwa, karakter hukum, adalah merupakan sistem norma (system of norms) dan sebagai sistem perilaku (systems of behavior). Dengan demikian hukum dapat diartikan dan seharusnya juga diartikan sebagai sistem nilai (system of values). Ketiga hakikat hukum tersebut merupakan satu kesatuan pemikiran 9 yang cocok bagi masyarakat Indonesia memasuki abad globaIisasi saat ini dengan tidak melepaskan diri dari sifat tradisional masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan nilai (values) moral dan sosial. Ketiga hakikat hukum dalam satu wadah pemikiran yang disebut, "tripartite character of model law as a Social and Bureucratic Engineering (SBE)" (Romli Atmasasmita, tt, 208). Hukum sebagai sistem nilai sangat penting dan tetap relevan dalam proses pembaharuan masyarakat saat ini di tengah-tengah berkembangnya ideologi globalisasi. Pandangan mengenai sistem nilai tersebut relevan dengan pandangan aliran sejarah hukum (Von Savigny) yang telah menegaskan bahwa hukum harus sesuai dengan jiwa bangsa (volkgeist); dan dalam arti negatif, hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny harus diartikan bahwa akseptabilitas dan kredibilitas hukum di Indonesia terletak pada sejauh mana nilai­ nilai yang terkandung dalam hukum telah sejalan dan sesuai dengan Paneasila yang telah didaulat sebagai jiwa bangsa Indonesia. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia dan merupakan nilai fundamental (fundamental values), menghormati berbagai pandangan atau nilai-nilai yang bersifat heterogen, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu. Karakter Pancasila, yang memegang paham, "berbeda­beda dalam satu kesatuan" ini, berbeda dengan tujuan globalisasi yang telah terobsesi untuk membentuk satu kesatuan pemikiran dan sikap dalam wadah satu dunia (one world) tanpa mempertimbangkan perbedaan­perbedaan, termasuk didalam bidang hukum (homogenitas hukum) Di dalam era globalisasi saat ini tampak bahwa akses kapitalisme telah berbuah materialisme dan kini telah menguasai kehidupan masyarakat Indonesia. Contoh nyata dari sisi negatif dari paham materialisme ini tampak dari kasuskasus persaingan curang dan monopoli dunia usaha tanpa peduli terhadap nasib pebisnis kecil dan menengah baik pada level domestik maupun pada level transaksi bisnis intemasional. Persoalan yang sama juga terjadi pada lapisan birokrasi terutama penyelenggara negara dimana korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin merajalela. C. Perubahan Sosial Sebagai Dasar Perubahan Hukum Perubahan hukum pada hakikatnya dimulai dari adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan yang terjadi di dalam masyarakat dengan pengaturannya oleh hukum. 10 Tuntutan bagi terjadinya perubahan hukum timbul manakala kesenjangan tersebut sudah tidak dapat diterima lagi, sehingga kebutuhan akan perubahan semakin mendesak. Satjipto Rahardjo memandang perubahan hukum sebagai suatu hal yang sangat penting, antara lain karena hukum pada saat sekarang ini umumnya memakai bentuk tertulis. Memang dengan bentuk ini kepastian hukum lebih terjamin, namun ongkos yang harus dibayarnya pun cukup mahal, yaitu berupa kesulitan untuk melakukan adaptasi yang cukup cepat terhadap perubahan yang terjadi disekelilingnya (Satjipto Rahardjo, 2000: 191). Perubahan hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual (bertahap) dalam nilai-nilai dan sikap-sikap masyarakat. Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan adalah hal yang buruk dan hukum harus dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai cara. Masyarakat dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut telah menambah praktek-praktek diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara, perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya, dan akan mendukung perubahan-perubahan yang melarang penggunaan hukum untuk maksud-maksud ini. Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan begitu bebas untuk menjual semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi pemerintah yang memadai, atau terbang dengan pesawat yang belum memenuhi standar keselamatan pemerintah, atau mempertontonkan apa saja di televisi semau yang punya stasiun televisi. Sehingga hukum harus diundangkan semestinya, dan lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seperti seharusnya. Masyarakat akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah tidak jahat, atau praktek kontrasepsi adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh sebab itulah hukum dalam beberapa kejadian tersebut harus mengalami perubahan, atau harus direvisi kembali sesuai dengan standar yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri. Perubahan-perubahan dalam kondisi sosial, teknologi, pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap, oleh karena itu, dapat mengarah kepada perubahan hukum. Dalam hal ini, hukum bersifat reaktif dan mengikuti perubahan sosial. Namun perlu dicatat, bahwa perubahan hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan sosial. Namun perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum merepresentasikan kewenangan negara dan kekuasaan pemberian sanksinya (http://mjrsusi. wordpress.com). Dari situlah kemudian dapat dipahami bahwa perubahan hukum merupakan suatu konsekwensi yang terjadi pada sistem hukum, sehingga menurut sebagian 11 kalangan menyatakan bahwa hidup matinya hukum itu bergantung pada perubahan sosial yang terjadi. Jadi perubahan hukum itu berfungsi menjembatani keinginankeinginan manusia agar tidak timbul prilaku yang anarkis, destruktif, kondisi chaos, dan selainnya. Oleh sebab itulah perubahan hukum yang terjadi akan berujung pada pengaturan secara tertulis (sebagai suatu dokumen yang sah menurut hukum modern), sehingga siapapun harus tunduk pada apapun yang telah diatur dalam perubahan hukum tersebut (Saefullah, 2007: 27). Sebagaimana telah disinggung oleh Max Weber, perkembangan hukum meteriil dan hukum acara mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada charisma, sampai kepada tahap termaju dimana hukum disusun secara sistematis dan dijalankan oleh orang yang telah menjalankan pendidikan dan latihan dibidang hukum. Tahap-tahap perkembangan hukum yang kemudian oleh Max Weber disebut merupakan lebih banyak bentuk-bentuk hukum yang dicita-citakan dan menonjolkan kekuatan social manakah yang berpengaruh kepada pembentukan hukum kepada tahap-tahap yang bersangkutan. (Soerjono Soekanto, 2009: 102-103) Hal ini yang sama dapat pula ditafsirkan terhadap teori Max Weber terhadap tipe-tipe ideal dari system hukum yaitu yang irasional dan rasional. Dengan adanya birokrasi dimasyarakat industri yang modern maka, system hukum yang formal dan rasional timbul. Dari dalam hukum tersebut maka diambillah suatu teori dasar yang berhubungan dengan perubahan social dan perubahan hukum. hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk formal, dengan prosedur-prosedur dan birokrasi penyelenggaraan hukum, materi hukum dirumuskan secara terukur dan formal dan menciptakan pula konsep-konsep baru serta konstruksi khusus juga tidak setiap orang ,menjadi operator hukum, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi khusus dan menjalani inisiasi formal tertentu. Hakim harus berijazah sarjana hukum, advokat harus mempunyai lisensi kerja, dan seterusnya (Satjipto Rahardjo, 2007: 13). Akibat hukum berubah menjadi institusi artifisial dan makin menjauh dari rakyat atau masyarakat. Bagi masyarakat umum, hukum lalu menjadi dunia yang esoteric yang hanya bisa dimasukui oleh orang-orang yang telah menjalani inisiasi atau pendidikan khusus. Sejak ketertiban diwakili oleh hukum yang terstruktur, dan diadministrasi secara rasional itu, maka tidak lagi seseorang tidak dapat bergerak secara aman dan selamat dari masyarakat, kecuali memperoleh panduan dari pawang-pawang hukum seperti advokat. Orang tidak lagi bisa memperjuangkan kebenaran, hak-haknya dan sebagainya kecuali disalurkan kedalam jalur hukum modern itu (Satjipto Rahardjo, 12 2007: 13). Seyogyanya hukum harus dapat mengayomi masyarakat, hukum harus dapat dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman, dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Kemudian hukum harus dapat dijadikan pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus terbentuk dengan berorientasi kepada masa depan (for word looking), bukan ke masa lampau (back word looking), oleh sebab itulah hukum harus dapat dijadikan pendorong dan pelopor untuk mengubah kehidupan masyarakat kepada yang lebih baik dan lebih bermanfaat. D. Peranan Budaya Hukum dalam Pembanguan Hukum Dalam konteks Indonesia, hukum nasional sebagai sistem dalam rangka pembangunan hukum terdiri dari 4 (empat) komponen atau sub sistem, yaitu : 1. Budaya hukum, 2. Materi hukum, 3. Lembaga, Organisasi, Aparatur dan Mekanisme Hukum 4. Prasarana dan Sarana Hukum (BPHN, 1996, 6). Keempat komponen itu tidak hanya berkaitan satu sama lain, tetapi juga saling pengaruh mempengaruhi, sehingga sekalipun misalnya kita berhasil menyusun materi hukum sempurna, akan tetapi apabila hal tersebut tidak didukung oleh dan berinteraksi dengan budaya hukum yang sesuai, aparatur hukum yang profesional, bahkan juga sarana dan prasarana hukum yang cukup modern dan memadai, maka seluruh materi hukum itu tidak mungkin akan dapat diterapkan dan ditegakkan sebagaimana diharapkan, sehingga materi hukum itu hanya tinggal menjadi huruf mati belaka. Itulah sebabnya seluruh komponen dan unsur-unsur Sistem Hukum Nasional (Sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Barat, dan Sistem Hukum Islam) itu harus dibangun secara simultan, sinkron dan terpadu. Hanya dengan pendekatan yang sistemik ini dapat dibentuk dan diwujudkan Sistem Hukum Nasional yang utuh menyeluruh berdasarkan Filasafat Pancasila, sesuai arti, makna dan jiwa UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus akan terpenuhi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat di masa yang akan datang. Hukum nasional kita harus benar-benar dapat mengayomi seluruh bangsa kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan menggunakan pola atau kerangka pemikiran seperti ini, kita tetap berfikir sistemik, walaupun masing-masing bidang hukum itu dapat berkembang sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Demikian juga jumlah bidang hukum terus dapat 13 berkembang tanpa batas, selama dipegang teguh asas utama dan kerangka formal hukum yang dikehendaki secara terencana. Jelas bahwa untuk setiap bidang pembangunan sub sistem hukum diperlukan keterpaduan dan kesearahan antara pembentuk hukum, pengadilan, aparat penegak hukum, aparat pelayanan hukum, profesi hukum dan masyarakat , agar supaya pada akhirnya peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan akan menjadi satu kesatuan yang terpadu. Oleh sebab itu untuk setiap bidang hukum itu sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan organisasi yang mengarahkan dan mensinkronkan semua usaha oleh masing-masing dalam proses pembentukan hukum nasional. Inilah yang menjadi tugas dalam rangka memikirkan konsep dan perencanaannnya yang mengandung asas-asas pengikat, agar supaya pembangunan seluruh Sistem Hukum Nasional (SHN) berlangsung secara terpadu dan sistemik. Berdasarkan hubungan sistem hukum yang demikian, menunjukkan bahwa sistem hukum mempunyai kaitan erat dengan budaya masyarakat, bahkan salah satu komponen sistem hukum itu termasuk di dalamnya pembangunan budaya masyarakat, terutama budaya hukum, bahkan keberhasilan penegakan hukum (law enforcement) tidak terlepas dari pembangunan budaya hukum, termasuk kultur aparatur pelaksana hukum itu sendiri beserta masyarakat yang melingkupinya. Dalam hubungan ini, pada dasarnya hukum yang hidup di masyarakat sesungguhnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai sosial budaya baik yang formal maupun non formal yang eksistensinya diyakini oleh masyarakat tentang apa yang seharusnya (das sollen). Sejarah peradaban manusia telah banyak membuktikan bahwa dalam perjalanan hidup bangsa-bangsa di dunia, setiap masyarakat mengalami transformasi dari waktu ke waktu. Hal ini diakibatkan oleh adanya interaksi sosial yang terus menenrus. Corak dan bentuk interaksi sosial, politik, ekonomi dalam perjalanan dimensi waktu telah memperkaya dengan berbagai pengalaman sejarah yang kemudian membentuk cara berfikir dan pandangan hidup, yang pada gilirannya membentuk struktur dan kultur dari masyarakat itu sendiri. Hukum itu sendiri merupakan bentuk formal dari struktur dan kultur masyarakat. Oleh karenanya hukum positif Indonesia adalah wujud formal dari struktur dan kultur sistem masyarakat kita yang masih diwarnai oleh berbagai corak yang menjadi struktur dan kultur masyarakat kita sebelumnya. Dengan kata lain pada hukum positif kita masih terlihat corak sistem hukum yang berdimensi masa lalu, masa kini, dan arah di masa datang. Dalam hal inilah pembangunan hukum berupaya melakukan 14 orientasi terhadap fenomena ini menuju terwujudnya hukum nasional yang dicitacitakan (ius constituendum). Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam kaitannya dengan perubahan yang dilaksanakan di Indonesia, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa aplikasi perubahan hukum itu hendaknya dibedakan antara pembinaan hukum dengan kegiatan sekadar mengubah suatu hukum yang sedang berlaku. Apabila kegiatan pembinaan hukum itu disebut sebagai tindakan merencanakan suatu tata hukum baru, maka kegiatan mengubah suatu hukum adalah mengubah suatu hukum yang telah ada (Satjipto Raharjo dalam Abdul Manan, 2006, 9). Walaupun kita sering berbicara tentang perubahan masyarakat Indonesia, sesungguhnya kita belum sepakat benar, mengenai struktur dan kultur masyarakat yang kita inginkan. Dalam hati kecil kebanyakan ahli budaya dan ilmu kemasyarakatan mungkin menghendaki agar masyarakat kita sebaiknya jangan direkayasa, tetapi dibiarkan berkembang sendiri mencari pola, struktur dan budaya itu sendiri. Padahal cara ini mungkin hanya dapat ditempuh di dalam masyarakat desa yang kecil dan sederhana, yang jauh dari pengaruh dunia luar. Di dalam masyarakat seperti ini hukum tidak banyak peranannya untuk mengatur pergaulan masyarakat, sebab hukum yang tertuang di dalam keputusan-keputusan kepala adat, hanya menguatkan apa yang sudah berlaku di dalam masyarakat sebagai adat kebiasaan. Jadi dalam masyarakat tradisional hukum hanya berfungsi sebagai pemelihara “status quo” (BPHN, 1996, 53). Dalam konteks ini, maka membangun budaya masyarakat dalam rangka pembangunan hukum nasional di Indonesia pada pokoknya dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan : 1. Pembinaan Struktur dan Kultur Masyarakat Secara sempit kultur hukum Indonesia diartikan sebagai tradisi hukum yang dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum Indonesia. Sedangakan dalam pengertian yang lebih luas, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai keseluruhan endapan dari kegiatan dan karya hukum masyarakat Indonesia. Pada mulanya, budaya masyarakat hukum Indonesia adalah budaya hukum tidak tertulis (unwritten law), atau budaya hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat (living law). Budaya hukum ini hidup dalam setiap kesatuan kecil masyarakat hukum Indonesia, sehingga secara keseluruhan budaya hukum masyarakat Indonesia adalah budaya hukum living law. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, masyarakat hukum Indonesia juga terbiasa 15 dengan budaya hukum tertulis, yang pada dasarnya merupakan konsekuensi dari proses kolonialisme di Indonesia. Memperhatikan hal-hal tersebut dalam transformasi struktur dan kultur masyarakat Indonesia perlu diperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu: a) Struktur dan kultur masyarakat-masyarakat adat/daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. b) Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang secara sadar pada tanggal 28 Oktober 1928 mengikrarkan tekad untuk membangun suatu nation (bangsa), sekalipun sadar pula bahwa asal-usul maupun kultur kebudayaan kita sangat beraneka ragam. c) Dianutnya suatu falsafah hidup dan falsafah kenegaraan, yaitu falsafah Pancasila bagi bangsa (nation) tersebut, yang menamakan dirinya bangsa Indonesia (BPHN, 1996, 60). Menjadi persoalan, bagaimana beranekanya sub struktur dan kultur masyarakat Indonesia itu dapat diarahkan menuju satu masyarakat yang sama-sama menganut filsafah Pancasila dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga tidak saja merupakan satu kesatuan politik (negara kesatuan) dan satu kesatuan hukum, tetapi juga satu kesatuan sosial budaya. E. Konsekuensi dari Perkembangan Hukum Dalam perpektif kekinian Perubahan hukum dan perubahan masyarakat, dikenal dua macam perubahan hukum yaitu; 1. Perubahan hukum yang bersifat ratifikasi. Dalam hal ini sebenarnya masyarakat sudah terlebih dahulu berubah dan sudah mempraktikkan perubahan dimaksud kemudian diubahlah hukum untuk disesuaikan dengan perubahan yang sudah terlebih dahulu terjadi dalam mayarakat. Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam hal ini tidak serta-merta terjadi perubahan hukum jika terjadi perubahan dalam masyarakat. Yang lebih sering ialah hukum sulit merespons perubahan yang terjadi dimasyarakat. Sebab hakikinya hukum itu super konservatif, dan kalaupun berkembang dia berkembang mengikuti iramanya sendiri, berputar diorbitnya sendiri dengan logikanya sendiri dijalan yang sunyi. Perubahan masyarakat yang menyebabkan perubahan hukum ini sering terjadi perubahan dalam bentuk perubahan undang-undang yang ada. Tetapi sekali-kali 16 juga perubahan dalam yurisprudensi yang bersifat menggebrak”. Misalnya yurisprudensi belanda tahun 1919 yang mengubah paradigm pranata perbuatan hukum. 2. Perubahan hukum yang bersifat proaktif. Dalam hal ini masyarakat belum mempraktikkan perubahan tersebut, tetapi sudah ada ide-ide yang berkembang terhadap perubahn dimaksud. Kemudian sebelum masyarakat mempraktikkan perubahan ynag dimaksud, hukum sudah terlebih dahulu diubah, sehingga dapat mempercepat praktik perubahan masyarakat tersebut. dalam hal ini, berlakulah ungkapan “hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat” (law as a tool social enginerring) (Munir Fuadi, 2011: 52-55). Teori yang lain yang,menghubungkan hukum dengan perubahan social adalah pendapat Hazairin sebagaimana dikutip Soejono Seokanto (2009: 110) tentang hukum adat. Didalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada tahun 1952 beliau berpendapat bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung, seluruh lapangan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan. Oleh karena itu, maka didalam sistem hukum yang sempurna, tak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Khususnya dalam hukum adat, ada hubungan langsung antara hukum dengan kesusilaan yang akhirnya meningkat menjadi hubungan antara hukum dengan adat. Adat merupakan endapan kesusilaan didalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan secara umum dalam masyarakat tersebut. Oleh Hazairin dikatakan, bahwa kaidah-kaidah hukum merupakan kaidahkaidah yang tidak hanya didasarkan pada kebebasan pribadi, akan tetapi secara serentak mengekang pula kebebasan tersebut dengan suatu gerakan maupun ancaman paksaan yang merupakan ancaman hukum atau penguat hukum. Dengan penjelsan tersebut Hazairin menghilangkan batas tegas disuatu pihak dengan kesusilaan dipihak lain. Sebaliknya, kaidah-kaidah kesusilaan dan adat dibiarkan pemeliharaannya kepada kebebasan pribadi yang dibatasi dengan ancaman serta dijuruskan kepada suatu ancaman paksaan, yaitu hukuman yang merupakan penguat hukum. Kemudian tentang isi hukum adat disesuaikan dengan paham masyarakat baik dalam arti adat sopan santun maupun dalam arti hukum. 17 F. Penutup Berdasarkan uraian-uraian yang dikemukakan sebelumnya, menunjukkan bahwa sistem hukum merupakan bagian yang integral dalam membangun sosial budaya masyarakat, karena salah satu unsur komponen dari sistem hukum adalah “the legal culture”, sehingga dalam pembangunan sistem hukum nasional, pembangunan budaya hukum adalah merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non). Oleh sebab itu, dalam perspektif pembangunan hukum nasional, teori hukum yang dikembangkan adalah merupakan perpaduan dari berbagai teori hukum, baik yang berasal dari Teori Hukum Sociological Jurisprudence dari Roscou Pound, teori kebudayaan dari Northrop maupun teori policy oriented dari Laswell dan Mc Dougal yang kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja menjadi teori hukum pembangunan, yang akan diwujudkan ke dalam bentuk hukum tertulis (perundangundangan) maupun hukum tidak tertulis. Teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo akan melengkapi penyempurnaan pembangunan hukum di Indonesia. Dengan tanpa mengesampingkan teori perkembangan teori hukum yang integratif, untuk membentengi dan mengisi pembangunan dan penyempurnaan hukum pada Era Masyarakat ASEAN (MEA) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. G. Daftar Pustaka Atmasasmita, Romli. Makalah disampaikan pada Rapat/Diskusi Pokja Politik Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan di BPHN : Fakultas Hukum Unpad. Badan Pembinaan Hukum Nasional.1996. Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Fuady, Munir. 2011. Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum. Jakarta: Prenada Media Group. Manan, Abdul. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media. Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum dan Perilaku. Jakarta; PT Kompas Media Nusantara Saifullah, 2007. Refleksi Sosiolagi Hukum. T.tp: PT Refika Aditama Soekanto, Soerjono. 2009. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 18