- Prof. Dr. Jamal Wiwoho

advertisement
HARMONISASI PEMBANGUNAN HUKUM DAN
PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA1
Oleh :
Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum.2
A. Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupan sosialnya tidak akan pernah
terlepas dari adanya kebutuhan dalam menunjang kelangsungan kehidupannya, oleh
sebab itulah manusia yang satu dengan manusia yang lainnya akan saling memiliki
kepentingan masing-masing dalam memenuhi kebutuhan mereka. Namun karena
manusia identik dengan sifat egois (mementingkan diri sendiri) dan angkuh yang
menyebabkannya seringkali merugikan orang lain ketika menjalankan dan mengejar
kepentingannya, jadi tidak mustahil akan sering terjadi konflik di antara manusia dalam
melaksanakan dan mengejar kepentingannya tersebut, disinilah muncul yang biasa
disebutkan dengan masalah. Dari needs dan problem itu, kemudian hukum hadir untuk
meminimalisir konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, agar manusia
merasa aman dalam menjalankan dan mengejar kepentingannya masing-masing.
Hukum juga sering diartikan sebagai teks yang tertera di dalam UndangUndang, sebagai aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim), dalam kajian
tentang budaya hukum (Legal Culture), terlihat bahwa hukum itu disini difungsikan
sebagai motor keadilan, kemudian dalam berbagai kajian lainnya terkadang hukum
disebut sebagai institusi sosial, dan juga sebagai alat rekayasa sosial, bahkan sebagian
orang menyatakan hukum itu sebagai mitos dari kenyataan. Perbedaan yang demikian
tidak menjadi suatu permasalahan dalam mendefenisikan serta memfungsikan hukum
tersebut. Namun ada hal yang menarik dalam kajian sosiologi hukum, yaitu ketika
melihat prilaku manusia sebagai hukum.
Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa sistem hukum itu terdiri atas
struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (beruba perundangundangan), dan kultur hukum atau budaya hukum. Dimana ketiga komponen itulah
yang mendukung berjalannya sistem hukum di suatu Negara. Tapi tidak dapat
dipungkiri bahwa secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam
masyarakat itu akan mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh dari
modernisasi atau globalisasi, baik itu secara evolusi maupun revolusi. Atau bisa juga
karena disebabkan oleh beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi hukum. Demikian
1.
2.
Disampaikan dalam Seminar Hukum Nasional Pembangunan Hukum Nasioanal di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya, !4 September 2016.
Dosen S1, S2, dan S3 UNS serta menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
1
halnya dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat (sosial), tentunya bisa
mengalami perubahan-perubahan seperti yang terjadi pada hukum itu sendiri. Lantas
bagaimana jika hukum dan masyarakat itu mengalami perubahan. apakah hukum itu
yang menyebabkan perubahan masyarakat, atau sebaliknya. dan bagaimana peran
social control dan social enginering dalam perkembangan masayarakat tersebut.
B. Model Pembangunan Hukum di Indonesia
Perkembangan masyarakat intemasional dalam abad globalisasi dan kini
memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai sejak 1 januari 2016 di
seluruh aspek kehidupan masyarakat, terasa penting, mendesak dan relevan untuk
memotivasi dan mendorong menemukan model hukum yang cocok dengan nilai-nilai
yang berkembang dan dianut dalam masyarakat global disatu sisi, dan disisi lain,
tidak meninggalkan atau menghapuskan sama sekali nilai-niIai lokal (hukum adat)
yang positif bagi pembangunan hukum saat ini. Upaya penemuan model hukum
(Recht Vinding) penting bagi bangsa Indonesia yang memiliki heterogenitas sosial,
budaya dan geografis serta merniliki sumber daya alam strategis bagi kehidupan
bangsa Indonesia di masa yang akan dating (Romli Atmasasmita, tt, 194).
1. Model Hukum Pembangunan Generasi I (Mochtar Kusumaatmadja)
Hukum nasional (Indonesia) sebagai suatu sistem belum terbentuk secara
hoIistik, belum
komprehensif dan belum diperkaya niIai-niiai kehidupan
masyarakat adat untuk beradaptasi dengan kehidupan masyarakat maju. Usaha
untuk menyatakan bahwa telah terdapat suatu sistem hukum nasional terbukti
hanya merupakan pewarisan sistem hukum warisan pemerintah Hindia Belanda
yang menganut "Civil Law System"sernata­mata yang dipaksakan berlakunya
ditengah-tengah masyarakat (hukum) adat. Perubahan terhadap KUHP, pasca
kemerdekaan RI, dilakukan antara lain memasukkan ketentuan mengenai,
pembajakan udara dan larangan ideologi marxisme komunisme.
Hukum pidana, hukum perdata dan hukum tata negara yang diajarkan di
fakultas hukum terkemuka di Indonesia (UI, Unpad, UGM, Unair, UNS) dan
beberapa fakultas hukum swasta, masih merujuk pada referensi­referensi buku
teks yang bersumberkan pada sistem hukum Belanda yaitu sistem hukum Civil
Law. Langkah pemerintah Indonesia untuk "menasionalisasikan" sistem hukum
asing (Belanda) sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 (untuk Kitab Undang-
2
Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Perdata), dimulai dengan penggantian ketentuan Hukum Acara
Pidana warisan pemerintah Kolonial Belanda, Het Herziene Inlands Reglement.
(HIR) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pi dana (baru).
Pembaruan hukum acara perdata dan hukum perdata yang bersumber pada
"Burgerlijke Wetboek" belum dilakukan secara terencana dan sistematis serta
tuntas karena karakteristik hukum perdata yang kompleks dibandingkan hukum
pidana. Upaya pemerintah mengganti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(Wetboek van het Strafrecht), telah berlangsung se1ama lebih dari 30 tahun, dan
pada tahun 2009 telah dirampungkan penyelesaiannya.
Pandangan Mochtar Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam
pembangunan
nasional,
kemudian
dikenal
sebagai
Model
Hukum
Pembangunan, diletakkan di atas premis-premis yang merupakan inti ajaran atau
prinsip; sebagai berikut (Romli Atmasasmita, tt, 196):
1. Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan
dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi
dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur menurut Mochtar, dapat
dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi
keduanya. Beliau menolak perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan
kekerasan semata-mata.
2. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan awal
dari pada masyarakat yang sedang membangun maka hukum menjadi suatu
sarana (bukan alat) yang tak dapat diabaikan dalam proses pembangunan
3. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui
kepastian hukum dan juga hukum (sebagai kaidah sosial) harus dapat
mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat
4. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the
living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.
5. Implementasi fungsi hukum tersebut diatas hanya dapat diwujudkan jika
hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan akan tetapi kekuasaan itu sendiri
harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditentukan didalam hukum itu.
3
Kelima inti ajaran model hukum pembangunan tersebut mencerminkan bahwa
kepastian hukum tidak boleh dipertentangkan dengan keadilan, dan keadilan tidak
boleh hanya ditetapkan sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan melainkan
harus sesuai dengan nilai-nilai (baik) yang berkembang dalam masyarakat. Model
Hukum Pembangunan (Nasional) menurut Mochtar Kusumaatmadja tidak
meninggalkan sepenuhnya pandangan aliran analytical jurisprudence, bahkan telah
"merangkul" baik
aliran "analytical
jurisprudence",
aliran "sociological
jurisprudence", dan aliran "pragmatic legal realism". Bertolak dari ketiga aliran
teori hukum tersebut, model Hukum Pembangunan dalam praktik, hanya dapat
dilakukan me1alui
cara pembentukan perundang­undangan
atau
melalui
keputusan pengadilan atau melalui kedua-duanya.
Model Hukum Pembangunan yang telah dinyatakan sebagai Kebijakan
Hukum dalam Pembangunan NasionaI (GBHN Bab 27 Tahun 1973) ketika itu
belum terrnasuk mempertimbangkan faktor lainnya seperti, sistem politik, sistem
birokrasi dan prinsip-prinsip "good governance" dan tidak sebesar saat ini
gaungnya di dalam birokrasi ketika itu. Kenyataan yang terjadi dalam praktik
pembangunan hukum (pembentukan hukum dan penegakan hukum) sejak awal
orde baru sampai saat ini (orde reforrnasi), perkembangan masyarakat Indonesia
belum selesai menjalani masa transisi, yaitu dari sistem politik otoritarian kepada
sistem demokrasi: dari sistem hukum yang berpola pada "patron-client
relationship" kepada sistem hukum yang terbebas dari intervensi kekuasaan dan
kepentingan kelompok; dari sistem sosial ekonomi yang mementingkan nepotisme
dan kolusi kepada sistem ekonomi pasar, profesionalisme, dan berpihak pada
kerakyatan. Keadaan sosial, ekonomi, politik dan hukum yang berada di
persimpangan jalan ini diperkeruh oleh suasana perkembangan intemasional
didalam hampir seluruh bidang kehidupan yang meneguhkan bahwa globalisasi
abad 21 bukan lagi semata-mata sebagai proses atau sebagai suatu sistem yang
harus dijalankan melainkan telah dikukuhkan sebagai suatu ideologi masyarakat
internasional. Globalisasi sebagai ideologi dilandaskan pada 7 (tujuh) prinsipprinsip: (1) keunggulan dan ketahanan pasar (supremacy and infallibility of the
market); (2) keluasan kepemilikan dan harta kekayaan (unlimited right of
appropriation and property); (3) kepentingan swasta melebihi kepentingan publik
(primacy of private interests over the state and public interests); (4) persaingan
dengan segala risikonya (competition at all costs); (5) fleksibilitas tenaga kerja
4
(labour flexibility); (6) segala sesuatu merupakan komoditas (everything is
commodity); (7) pertumbuhan yang tidak terbatas (infinite growth).
Dalam konteks kondisi sebagaimana diuraikan di atas sangat jelas bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara pembangunan hukum era tahun 1970-an dan di
era tahun 1980-an sehingga diperlukan evaluasi mendasar,
yang disebut
reorientasi pembangunan hukum (Romli Atmasasmita, tt, 201).
Reorientasi ini meliputi, Pertama, masalah reaktualisasi sistern hukum yang
bersifat netral dan berasal dari hukum lokal (hukum adat) kedalam sistem hukum
nasional dan juga terhadap hukum lain yang bersumber pada perjanjian
internasional yang telah diakui.
Kedua, masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang
masih
mengedepankan egoisme sektoraI, miskomunikasi dan miskoordinasi antar
lembaga penegak hukum. Semua itu disebabkan miskinnya pemahaman aparatur
hukum mengenai prinsip "good governance";"due process of law";"praduga tak
bersalah";dan "the right to counsel".
Ketiga,
masalah
pemberdayaan
masyarakat
secara
khusus
yang
menitikberatkan pada partisipasi publik dalam pembangunan dan akses informasi
publik terhadap kinerja birokrasi. Kedua inti dari pemberdayaan masyarakat ini
dapat
dimasukkan
sebagai "budaya hukum"
karena tanpa kedua
inti
pemberdayaan ini, hukurn tidak akan dipahami secara benar atau dipahami tetapi
tidak ditempatkan pada tempat yang selayaknya dalam konteks persepsi dan
pandangan masyarakat. Hal ini telah terjadi ketika publik telah menafsirkan secara
kurang tepat mengenai asas praduga tak bersalah yang disubstitusi dengan asas
praduga bersalah (presumption of guilt). ketika pejabat pemerintah melakukan
kesalahan: disisi lain, mengakui pentingnya asas praduga tak bersalah
(presumption of innocence) sepenuhnya, ketika rakyat kecil telah melakukan
kesalahan yang sama; bandingkan kasus nenek Misnah (pencurian dua biji kopi)
dan kasus Burhanudin Abdullah, mantan Gubernur BI. Persepsi publik sedemikian
dari sudut kepastian hukum, telah melahirkan bentuk anarkisme baru yang
menimbulkan ekses pemaksaan kehendak rakyat dan mengabaikan sistem hukum
yang berlaku.
Keempat, masalah pemberdayaan birokrasi atau yang saya sebut, "bureucratic
engineering" (BE) dalarn
konteks
fungsi
dan
peranan hukum dalam
pembangunan. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, masalah pemberdayaan
5
birokrasi ini menempati posisi yang sangat strategis dan menentukan keberhasilan
pembangunan nasional karena masih merupakan titik lemah yang krusial. Model
hukum BE diharapkan dapat mengisi kelemahan model hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat yang mengedepankan peranan hukum daripada peran
birokrasi.
Pendekatan BE mengutamakan konsep "panutan" dan "kepemimpinan" untuk
mewujudkan konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat karena
konsep tersebut dapat menciptakan persamaan persepsi dan sikap yang sama
antara elemen birokrasi dan elemen masyarakat kedalam suatu wadah yang satu
yang disebut, "Bureucratic and Social Engineering" (BSE). Model BSE sebagai
inti pembangunan
hukum nasional pasca reformasi harus diartikan, bahwa
penyelenggara birokrasi memberikan dan melaksanakan keteladanan sesuai
dengan tuntutan hukum yang berlaku dan diharapkan dapat memotivasi
masyarakat mematuhi dan mengikuti langkah kepatuhan birokrasi tersebut.
Pendekatan BSE ini saya pandang sebagai model pembangunan hukum generasi
II (1980) sebagai revisi atas konsep model hukum pembangunan generasi I (1970).
Konsep pendekatan model BSE dalam pembangunan hukum nasional hanya
dapat dilaksanakan secara efektif jika penyelenggara birokrasi dan setiap warga
negara, telah memahami fungsi dan peranan serta posisi hukum sebagaimana
diuraikan di bawah ini:
a) Hukum sepatutnya dipandang bukan hanya sebagai perangkat yang harus
dipatuhi oleh masyarakat melainkan juga harus dipandang sebagai sarana
yang membatasi wewenang dan perilaku aparat hukurn dan pejabat publik;
b) Hukum bukan hanya diakui sebagai sarana pembaharuan masyarakat
semata-mata akan tetapi juga sebagai sarana pembaharuan birokrasi;
c) Kegunaan dan kemanfaatan hukum tidak hanya dilihat dari kacamata
kepentingan pemegang kekuasaan (negara) melainkan juga harus dilihat
dari kaca mata kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder), dan
kepentingan korban-korban (victims);
d) Fungsi hukum dalam kondisi masyarakat yang rentan (vulnerable) dan
peralihan (transisional) tidak dapat dilaksanakan secara optimal hanya
menggunakan pendekatan preventif dan represif semata-mata melainkan
juga diperlukan pendekatan restoratif dan rehabilitatif;
6
e) Agar fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal dalam
pembangunan nasional maka hukum tidak semata-mata dipandang sebagai
wujud dari komitmen politik melainkan harus dipandang sebagai sarana
untuk mengubah sikap dan cara berpikir (mindset) dan perilaku (behavior)
anggota masyarakat dan birokrasi.
2. Model Hukum Progresif (Satjipto Raharjo)
Ahli hukum lain, Satjipto Rahardjo telah menggagas model hukum lain, yang
dinamakan Hukum Progresif. Gagasan konsep model hukum progresif ini
berawal dari kegelisahannya bahwa setelah 60 tahun usia Negara Hukum, terbukti
tidak kunjung mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik, dengan
keprihatinannya ia berkata:
"Saya merasakan suatu kegelisahan sesudah merenungkan lebih dari enam
puluh tahun usia Negara Hukum Republik Indonesia. Berbagai rencana
nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi tidak
juga memberikan hasil yang memuaskan, bahkan grafik menunjukkan tren
yang menurun. Orang tidak berbicara tentang kehidupan hukum yang makin
bersinar; melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang makin suram",
Bertolak dari kenyataan pahit mengenai kehidupan dan peranan hukum yang
ia konstatir maka muncullah keinginan untuk kembali kepada fundamental hukum
di negeri ini. Bahkan almarhum memikirkan tentang kemungkinan adanya
kekeliruan atau kekurang tepatan dalam memahami (understanding) fundamental
hukum tersebut sehingga almarhum menegaskan adanya perkembangan hukum
tidak dapat diarahkan kepada yang benar.
Inti dan pernyataan Satjipto Rahardjo diatas adalah, bahwa hukum dalam
kenyataan sesungguhnya merupakan perilaku yang dicontohkannya dengan kasus
Millie Simpson dan kisah sepucuk surat orang Jepang kepada sesama kawan
bisnisnya orang Indonesia.
Pandangan Model Hukum Progresif menurut Satjipto Rahardjo , merupakan
suatu penjelajahan suatu gagasan yang berintikan 9 (sembilan) pokok pikiran
sebagai berikut (Romli Atmasasmita, tt, 204):
a) Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechts dogmatiek dan
berbagi paham atau
aliran seperti legal realism, freierechtlehre,
sociological jurisprudence, interressenjurisprudenz di Jerman, teori hukum
alam, dan critical legal studies.
7
b) Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui
institusi-institusi kenegaraan.
c) Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal
hukum.
d) Hukum menolak status quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai
teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.
e) Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia
kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.
f) Hukum progresif adalah, "hukum yang pro rakyat" dan "hukum yang pro
keadilan",
g) Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa "hukum adalah untuk
manusia" bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum
tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebilh luas
dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum,
hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang
dipaksakan untuk dimasukkan ke dalatn sistem hukum.
h) Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan
sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya.
Manusialah yang merupakan penentu.
i) Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process,
law in the making).
Kesembilan pokok pemikiran model Hukum Progresif diatas, jika dibandingkan
dengan kelima pokok pemikiran model Hukum Pernbangunan, tampak persamaan
dan perbedaannya (Romli Atmasasmita, tt, 205).
Kedua model hukum tersebut tidak berhenti pada hukum sebagai sistem norma
(system of norms) yang hanya bersandar pada "rules and logic" saja melainkan
juga hukum sebagai sistem perilaku. Kesamaan pandangan keduanya adalah
terletak pada fungsi dan peranan hukum dalam bekerjanya hukum dihubungkan
dengan pendidikan hukum. Kedua model hukum tersebut berbeda pada tolak
pangkal pemikirannya. Mochtar Kusumaatmadja, beranjak dari bagaimana
memfungsikan hukum dalam proses pembangunan nasional sedangkan Satjipto
Rahardjo, beranjak dari kenyataan dan pengalaman tidak bekerjanya hukum
sebagai suatu sistem perilaku. Perbedaan kedua, Mochtar Kusumaatrnadja,
menegaskan bahwa kepastian hukum dalam arti keteraturan masih harus
8
dipertahankan sebagai pintu masuk menuju ke arah kepastian hukum dan
keadilan, sedangkan Satjipto Rahardjo, demi kepentingan manusia, maka hukum
tidak dapat memaksakan ketertiban kepada manusia, sebaliknya hukum yang
harus ditinjau kembali, dan menambahkan, bahwa hukum untuk manusia bukan
sebaliknya, dan
hukum dijalankan dengan nurani.
Sedangkan Mochtar
Kusumaatmadja, menegaskan bahwa bekerjanya hukum didalam masyarakat
tergantung dari sejauh manakah hukum telah sesuai dengan perkembangan nilai
baik yang hidup
dalam masyarakat. Perbedaan
ketiga, bagi
Mochtar
Kusumaatmadja, hukum seyogianya diperankan sebagai sarana (bukan alat)
pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering) akan tetapi Satjipto
Rahardjo, menegaskan bahwa model pemeranan hukum sedemikian dikhawatirkan
menghasilkan "dark engineering" jika
tidak disertai dengan hati nurani
(manusianya) penegak hukumnya.
Secara teoritik model Hukum Pembangunan dan model Hukum Progresif
mendasarkan pada teori hukum yang sama yaitu "pragmatic legal realism"
(Roscoe Pound) dan "sociological jurisprudence" (Eugen Ehrlich). Namun model
Hukum Progresif diperkuat dengan pengaruh aliran studi hukum kritis (critical
legal studies) yang cenderung apriori terhadap segala keadaan, dan bersikap "antifoundationalism". Model hukum ini tidak meyakini keberhasilan aliran "analytical
jurisprudence" (Austin) didalam penegakan hukum.
Model Hukum Pembangunan
tidak
meninggalkan
pandangan aliran
"analytical jurisprudence" (Austin), namun dikombinasikan dengan pandangan
Pound dan Erlich sehingga model hukum pembangunan memandang ketiga aliran
teori hukum tersebut bukan masalah yang harus dipertentangkan satu sama lain,
melainkan ketiga aliran teori hukum tersebut saling melengkapi didalam proses
pembaharuan
hukum
dalam
masyarakat.
Model
Hukum
Pembangunan
beranggapan bahwa sampai saat ini, cara pembaharuan hukum, baik melalui
pembentukan undang-undang maupun dalam pembangunan hukum nasional.
3. Model Hukum Interagratif
Bertolak dari pandangan kedua Guru besar Hukum Indonesia diatas dapat
disimpulkan bahwa, karakter hukum, adalah merupakan sistem norma (system of
norms) dan sebagai sistem perilaku (systems of behavior). Dengan demikian
hukum dapat diartikan dan seharusnya juga diartikan sebagai sistem nilai (system
of values). Ketiga hakikat hukum tersebut merupakan satu kesatuan pemikiran
9
yang cocok bagi masyarakat Indonesia memasuki abad globaIisasi saat ini dengan
tidak melepaskan diri dari sifat tradisional masyarakat Indonesia yang masih
mengutamakan nilai (values) moral dan sosial. Ketiga hakikat hukum dalam satu
wadah pemikiran yang disebut, "tripartite character of model law as a Social
and Bureucratic Engineering (SBE)" (Romli Atmasasmita, tt, 208).
Hukum sebagai sistem nilai sangat penting dan tetap relevan dalam proses
pembaharuan masyarakat saat ini di tengah-tengah berkembangnya ideologi
globalisasi. Pandangan mengenai sistem nilai tersebut relevan dengan pandangan
aliran sejarah hukum (Von Savigny) yang telah menegaskan bahwa hukum harus
sesuai dengan jiwa bangsa (volkgeist); dan dalam arti negatif, hukum selalu
tertinggal dari perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny harus diartikan
bahwa akseptabilitas dan kredibilitas hukum di Indonesia terletak pada sejauh
mana nilai­ nilai yang terkandung dalam hukum telah sejalan dan sesuai dengan
Paneasila yang telah didaulat sebagai jiwa bangsa Indonesia. Pancasila sebagai
jiwa bangsa Indonesia dan merupakan nilai fundamental (fundamental values),
menghormati berbagai pandangan atau nilai-nilai yang bersifat heterogen, tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu. Karakter
Pancasila, yang memegang paham, "berbeda­beda dalam satu kesatuan" ini,
berbeda dengan tujuan globalisasi yang telah terobsesi untuk membentuk satu
kesatuan pemikiran dan sikap dalam wadah satu dunia (one world) tanpa
mempertimbangkan perbedaan­perbedaan, termasuk didalam bidang hukum
(homogenitas hukum)
Di dalam era globalisasi saat ini tampak bahwa akses kapitalisme telah
berbuah materialisme dan kini telah menguasai kehidupan masyarakat Indonesia.
Contoh nyata dari sisi negatif dari paham materialisme ini tampak dari kasuskasus persaingan curang dan monopoli dunia usaha tanpa peduli terhadap nasib
pebisnis kecil dan menengah baik pada level domestik maupun pada level
transaksi bisnis intemasional. Persoalan yang sama juga terjadi pada lapisan
birokrasi terutama penyelenggara negara dimana korupsi, kolusi dan nepotisme
yang semakin merajalela.
C. Perubahan Sosial Sebagai Dasar Perubahan Hukum
Perubahan hukum pada hakikatnya dimulai dari adanya kesenjangan antara
keadaan-keadaan yang terjadi di dalam masyarakat dengan pengaturannya oleh hukum.
10
Tuntutan bagi terjadinya perubahan hukum timbul manakala kesenjangan tersebut
sudah tidak dapat diterima lagi, sehingga kebutuhan akan perubahan semakin
mendesak. Satjipto Rahardjo memandang perubahan hukum sebagai suatu hal yang
sangat penting, antara lain karena hukum pada saat sekarang ini umumnya memakai
bentuk tertulis. Memang dengan bentuk ini kepastian hukum lebih terjamin, namun
ongkos yang harus dibayarnya pun cukup mahal, yaitu berupa kesulitan untuk
melakukan adaptasi yang cukup cepat terhadap perubahan yang terjadi disekelilingnya
(Satjipto Rahardjo, 2000: 191).
Perubahan hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual (bertahap) dalam
nilai-nilai dan sikap-sikap masyarakat. Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan
adalah hal yang buruk dan hukum harus dibuat untuk menguranginya dengan satu atau
berbagai cara. Masyarakat dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut
telah menambah praktek-praktek diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara,
perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya, dan akan mendukung
perubahan-perubahan yang melarang penggunaan hukum untuk maksud-maksud
ini. Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan begitu bebas untuk menjual
semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi pemerintah yang memadai, atau
terbang dengan pesawat yang belum memenuhi standar keselamatan pemerintah, atau
mempertontonkan apa saja di televisi semau yang punya stasiun televisi. Sehingga
hukum harus diundangkan semestinya, dan lembaga-lembaga regulatori harus
berfungsi seperti seharusnya. Masyarakat akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah
tidak jahat, atau praktek kontrasepsi adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah
tidak amoral. Oleh sebab itulah hukum dalam beberapa kejadian tersebut harus
mengalami perubahan, atau harus direvisi kembali sesuai dengan standar yang
dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri.
Perubahan-perubahan dalam kondisi sosial, teknologi, pengetahuan, nilai-nilai,
dan sikap, oleh karena itu, dapat mengarah kepada perubahan hukum. Dalam hal ini,
hukum bersifat reaktif dan mengikuti perubahan sosial. Namun perlu dicatat, bahwa
perubahan hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan
sosial. Namun perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum merepresentasikan
kewenangan
negara
dan
kekuasaan
pemberian
sanksinya
(http://mjrsusi.
wordpress.com).
Dari situlah kemudian dapat dipahami bahwa perubahan hukum merupakan
suatu konsekwensi yang terjadi pada sistem hukum, sehingga menurut sebagian
11
kalangan menyatakan bahwa hidup matinya hukum itu bergantung pada perubahan
sosial yang terjadi. Jadi perubahan hukum itu berfungsi menjembatani keinginankeinginan manusia agar tidak timbul prilaku yang anarkis, destruktif, kondisi chaos,
dan selainnya. Oleh sebab itulah perubahan hukum yang terjadi akan berujung pada
pengaturan secara tertulis (sebagai suatu dokumen yang sah menurut hukum modern),
sehingga siapapun harus tunduk pada apapun yang telah diatur dalam perubahan hukum
tersebut (Saefullah, 2007: 27).
Sebagaimana telah disinggung oleh Max Weber, perkembangan hukum meteriil
dan hukum acara mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk
sederhana yang didasarkan pada charisma, sampai kepada tahap termaju dimana hukum
disusun secara sistematis dan dijalankan oleh orang yang telah menjalankan pendidikan
dan latihan dibidang hukum. Tahap-tahap perkembangan hukum yang kemudian oleh
Max Weber disebut merupakan lebih banyak bentuk-bentuk hukum yang dicita-citakan
dan menonjolkan kekuatan social manakah yang berpengaruh kepada pembentukan
hukum kepada tahap-tahap yang bersangkutan. (Soerjono Soekanto, 2009: 102-103)
Hal ini yang sama dapat pula ditafsirkan terhadap teori Max Weber terhadap tipe-tipe
ideal dari system hukum yaitu yang irasional dan rasional. Dengan adanya birokrasi
dimasyarakat industri yang modern maka, system hukum yang formal dan rasional
timbul. Dari dalam hukum tersebut maka diambillah suatu teori dasar yang
berhubungan dengan perubahan social dan perubahan hukum. hukum modern sarat
dengan
bentuk-bentuk
formal,
dengan
prosedur-prosedur
dan
birokrasi
penyelenggaraan hukum, materi hukum dirumuskan secara terukur dan formal dan
menciptakan pula konsep-konsep baru serta konstruksi khusus juga tidak setiap orang
,menjadi operator hukum, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi khusus dan
menjalani inisiasi formal tertentu. Hakim harus berijazah sarjana hukum, advokat harus
mempunyai lisensi kerja, dan seterusnya (Satjipto Rahardjo, 2007: 13).
Akibat hukum berubah menjadi institusi artifisial dan makin menjauh dari
rakyat atau masyarakat. Bagi masyarakat umum, hukum lalu menjadi dunia yang
esoteric yang hanya bisa dimasukui oleh orang-orang yang telah menjalani inisiasi atau
pendidikan khusus. Sejak ketertiban diwakili oleh hukum yang terstruktur, dan
diadministrasi secara rasional itu, maka tidak lagi seseorang tidak dapat bergerak secara
aman dan selamat dari masyarakat, kecuali memperoleh panduan dari pawang-pawang
hukum seperti advokat. Orang tidak lagi bisa memperjuangkan kebenaran, hak-haknya
dan sebagainya kecuali disalurkan kedalam jalur hukum modern itu (Satjipto Rahardjo,
12
2007: 13).
Seyogyanya hukum harus dapat mengayomi masyarakat, hukum harus dapat
dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman, dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan
masyarakat. Kemudian hukum harus dapat dijadikan pembaru dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang harus terbentuk dengan berorientasi kepada masa depan
(for word looking), bukan ke masa lampau (back word looking), oleh sebab itulah
hukum harus dapat dijadikan pendorong dan pelopor untuk mengubah kehidupan
masyarakat kepada yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
D. Peranan Budaya Hukum dalam Pembanguan Hukum
Dalam konteks Indonesia, hukum nasional sebagai sistem dalam rangka
pembangunan hukum terdiri dari 4 (empat) komponen atau sub sistem, yaitu :
1. Budaya hukum,
2. Materi hukum,
3. Lembaga, Organisasi, Aparatur dan Mekanisme Hukum
4. Prasarana dan Sarana Hukum (BPHN, 1996, 6).
Keempat komponen itu tidak hanya berkaitan satu sama lain, tetapi juga saling
pengaruh mempengaruhi, sehingga sekalipun misalnya kita berhasil menyusun materi
hukum sempurna, akan tetapi apabila hal tersebut tidak didukung oleh dan berinteraksi
dengan budaya hukum yang sesuai, aparatur hukum yang profesional, bahkan juga
sarana dan prasarana hukum yang cukup modern dan memadai, maka seluruh materi
hukum itu tidak mungkin akan dapat diterapkan dan ditegakkan sebagaimana
diharapkan, sehingga materi hukum itu hanya tinggal menjadi huruf mati belaka. Itulah
sebabnya seluruh komponen dan unsur-unsur Sistem Hukum Nasional (Sistem Hukum
Adat, Sistem Hukum Barat, dan Sistem Hukum Islam) itu harus dibangun secara
simultan, sinkron dan terpadu. Hanya dengan pendekatan yang sistemik ini dapat
dibentuk dan diwujudkan Sistem Hukum Nasional yang utuh menyeluruh berdasarkan
Filasafat Pancasila, sesuai arti, makna dan jiwa UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan sekaligus akan terpenuhi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat di
masa yang akan datang. Hukum nasional kita harus benar-benar dapat mengayomi
seluruh bangsa kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan menggunakan pola atau kerangka pemikiran seperti ini, kita tetap
berfikir sistemik, walaupun masing-masing bidang hukum itu dapat berkembang sesuai
dengan kebutuhannya sendiri. Demikian juga jumlah bidang hukum terus dapat
13
berkembang tanpa batas, selama dipegang teguh asas utama dan kerangka formal
hukum yang dikehendaki secara terencana.
Jelas bahwa untuk setiap bidang pembangunan sub sistem hukum diperlukan
keterpaduan dan kesearahan antara pembentuk hukum, pengadilan, aparat penegak
hukum, aparat pelayanan hukum, profesi hukum dan masyarakat , agar supaya pada
akhirnya peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan akan
menjadi satu kesatuan yang terpadu. Oleh sebab itu untuk setiap bidang hukum itu
sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan organisasi yang mengarahkan dan
mensinkronkan semua usaha oleh masing-masing dalam proses pembentukan hukum
nasional. Inilah yang menjadi tugas dalam rangka memikirkan konsep dan
perencanaannnya yang mengandung asas-asas pengikat, agar supaya pembangunan
seluruh Sistem Hukum Nasional (SHN) berlangsung secara terpadu dan sistemik.
Berdasarkan hubungan sistem hukum yang demikian, menunjukkan bahwa
sistem hukum mempunyai kaitan erat dengan budaya masyarakat, bahkan salah satu
komponen sistem hukum itu termasuk di dalamnya pembangunan budaya masyarakat,
terutama budaya hukum, bahkan keberhasilan penegakan hukum (law enforcement)
tidak terlepas dari pembangunan budaya hukum, termasuk kultur aparatur pelaksana
hukum itu sendiri beserta masyarakat yang melingkupinya.
Dalam hubungan ini, pada dasarnya hukum yang hidup di masyarakat
sesungguhnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai sosial budaya baik yang formal
maupun non formal yang eksistensinya diyakini oleh masyarakat tentang apa yang
seharusnya (das sollen). Sejarah peradaban manusia telah banyak membuktikan bahwa
dalam perjalanan hidup bangsa-bangsa di dunia, setiap masyarakat mengalami
transformasi dari waktu ke waktu. Hal ini diakibatkan oleh adanya interaksi sosial yang
terus menenrus. Corak dan bentuk interaksi sosial, politik, ekonomi dalam perjalanan
dimensi waktu telah memperkaya dengan berbagai pengalaman sejarah yang kemudian
membentuk cara berfikir dan pandangan hidup, yang pada gilirannya membentuk
struktur dan kultur dari masyarakat itu sendiri.
Hukum itu sendiri merupakan bentuk formal dari struktur dan kultur
masyarakat. Oleh karenanya hukum positif Indonesia adalah wujud formal dari struktur
dan kultur sistem masyarakat kita yang masih diwarnai oleh berbagai corak yang
menjadi struktur dan kultur masyarakat kita sebelumnya. Dengan kata lain pada hukum
positif kita masih terlihat corak sistem hukum yang berdimensi masa lalu, masa kini,
dan arah di masa datang. Dalam hal inilah pembangunan hukum berupaya melakukan
14
orientasi terhadap fenomena ini menuju terwujudnya hukum nasional yang dicitacitakan (ius constituendum).
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam kaitannya dengan perubahan yang
dilaksanakan di Indonesia, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa aplikasi
perubahan hukum itu hendaknya dibedakan antara pembinaan hukum dengan kegiatan
sekadar mengubah suatu hukum yang sedang berlaku. Apabila kegiatan pembinaan
hukum itu disebut sebagai tindakan merencanakan suatu tata hukum baru, maka
kegiatan mengubah suatu hukum adalah mengubah suatu hukum yang telah ada
(Satjipto Raharjo dalam Abdul Manan, 2006, 9).
Walaupun kita sering berbicara tentang perubahan masyarakat Indonesia,
sesungguhnya kita belum sepakat benar, mengenai struktur dan kultur masyarakat yang
kita inginkan. Dalam hati kecil kebanyakan ahli budaya dan ilmu kemasyarakatan
mungkin menghendaki agar masyarakat kita sebaiknya jangan direkayasa, tetapi
dibiarkan berkembang sendiri mencari pola, struktur dan budaya itu sendiri. Padahal
cara ini mungkin hanya dapat ditempuh di dalam masyarakat desa yang kecil dan
sederhana, yang jauh dari pengaruh dunia luar. Di dalam masyarakat seperti ini hukum
tidak banyak peranannya untuk mengatur pergaulan masyarakat, sebab hukum yang
tertuang di dalam keputusan-keputusan kepala adat, hanya menguatkan apa yang sudah
berlaku di dalam masyarakat sebagai adat kebiasaan. Jadi dalam masyarakat tradisional
hukum hanya berfungsi sebagai pemelihara “status quo” (BPHN, 1996, 53).
Dalam konteks ini, maka membangun budaya masyarakat dalam rangka
pembangunan hukum nasional di Indonesia pada pokoknya dapat dilakukan dengan 2
(dua) pendekatan :
1. Pembinaan Struktur dan Kultur Masyarakat
Secara sempit kultur hukum Indonesia diartikan sebagai tradisi hukum yang
dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum Indonesia. Sedangakan dalam
pengertian yang lebih luas, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai keseluruhan
endapan dari kegiatan dan karya hukum masyarakat Indonesia.
Pada mulanya, budaya masyarakat hukum Indonesia adalah budaya hukum
tidak tertulis (unwritten law), atau budaya hukum yang hidup, tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat (living law). Budaya hukum ini hidup dalam
setiap kesatuan kecil masyarakat hukum Indonesia, sehingga secara keseluruhan
budaya hukum masyarakat Indonesia adalah budaya hukum living law. Tetapi
dalam perkembangannya kemudian, masyarakat hukum Indonesia juga terbiasa
15
dengan budaya hukum tertulis, yang pada dasarnya merupakan konsekuensi dari
proses kolonialisme di Indonesia.
Memperhatikan hal-hal tersebut dalam transformasi struktur dan kultur
masyarakat Indonesia perlu diperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:
a) Struktur dan kultur masyarakat-masyarakat adat/daerah yang tersebar di
seluruh Indonesia.
b) Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang secara sadar pada tanggal 28
Oktober 1928 mengikrarkan tekad untuk membangun suatu nation (bangsa),
sekalipun sadar pula bahwa asal-usul maupun kultur kebudayaan kita sangat
beraneka ragam.
c) Dianutnya suatu falsafah hidup dan falsafah kenegaraan, yaitu falsafah
Pancasila bagi bangsa (nation) tersebut, yang menamakan dirinya bangsa
Indonesia (BPHN, 1996, 60).
Menjadi persoalan, bagaimana beranekanya sub struktur dan kultur masyarakat
Indonesia itu dapat diarahkan menuju satu masyarakat yang sama-sama menganut
filsafah Pancasila dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga tidak saja merupakan satu kesatuan
politik (negara kesatuan) dan satu kesatuan hukum, tetapi juga satu kesatuan sosial
budaya.
E. Konsekuensi dari Perkembangan Hukum
Dalam perpektif kekinian Perubahan hukum dan perubahan masyarakat, dikenal
dua macam perubahan hukum yaitu;
1. Perubahan hukum yang bersifat ratifikasi.
Dalam hal ini sebenarnya masyarakat sudah terlebih dahulu berubah dan sudah
mempraktikkan perubahan dimaksud kemudian diubahlah hukum untuk
disesuaikan dengan perubahan yang sudah terlebih dahulu terjadi dalam mayarakat.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam hal ini tidak serta-merta terjadi perubahan
hukum jika terjadi perubahan dalam masyarakat. Yang lebih sering ialah hukum
sulit merespons perubahan yang terjadi dimasyarakat. Sebab hakikinya hukum itu
super konservatif, dan kalaupun berkembang dia berkembang mengikuti iramanya
sendiri, berputar diorbitnya sendiri dengan logikanya sendiri dijalan yang sunyi.
Perubahan masyarakat yang menyebabkan perubahan hukum ini sering terjadi
perubahan dalam bentuk perubahan undang-undang yang ada. Tetapi sekali-kali
16
juga perubahan dalam yurisprudensi yang bersifat menggebrak”. Misalnya
yurisprudensi belanda tahun 1919 yang mengubah paradigm pranata perbuatan
hukum.
2. Perubahan hukum yang bersifat proaktif.
Dalam hal ini masyarakat belum mempraktikkan perubahan tersebut, tetapi
sudah ada ide-ide yang berkembang terhadap perubahn dimaksud. Kemudian
sebelum masyarakat mempraktikkan perubahan ynag dimaksud, hukum sudah
terlebih dahulu diubah, sehingga dapat mempercepat praktik perubahan masyarakat
tersebut. dalam hal ini, berlakulah ungkapan “hukum sebagai sarana rekayasa
masyarakat” (law as a tool social enginerring) (Munir Fuadi, 2011: 52-55).
Teori yang lain yang,menghubungkan hukum dengan perubahan social adalah
pendapat Hazairin sebagaimana dikutip Soejono Seokanto (2009: 110) tentang
hukum adat. Didalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada tahun 1952
beliau berpendapat bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung, seluruh
lapangan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan. Oleh karena itu, maka
didalam sistem hukum yang sempurna, tak ada tempat bagi sesuatu yang tidak
selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Khususnya dalam hukum adat, ada
hubungan langsung antara hukum dengan kesusilaan yang akhirnya meningkat
menjadi hubungan antara hukum dengan adat. Adat merupakan endapan kesusilaan
didalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-kaidah kesusilaan
yang sebenarnya telah mendapat pengakuan secara umum dalam masyarakat
tersebut.
Oleh Hazairin dikatakan, bahwa kaidah-kaidah hukum merupakan kaidahkaidah yang tidak hanya didasarkan pada kebebasan pribadi, akan tetapi secara
serentak mengekang pula kebebasan tersebut dengan suatu gerakan maupun
ancaman paksaan yang merupakan ancaman hukum atau penguat hukum. Dengan
penjelsan tersebut Hazairin menghilangkan batas tegas disuatu pihak dengan
kesusilaan dipihak lain. Sebaliknya, kaidah-kaidah kesusilaan dan adat dibiarkan
pemeliharaannya kepada kebebasan pribadi yang dibatasi dengan ancaman serta
dijuruskan kepada suatu ancaman paksaan, yaitu hukuman yang merupakan
penguat hukum. Kemudian tentang isi hukum adat disesuaikan dengan paham
masyarakat baik dalam arti adat sopan santun maupun dalam arti hukum.
17
F. Penutup
Berdasarkan uraian-uraian yang dikemukakan sebelumnya, menunjukkan
bahwa sistem hukum merupakan bagian yang integral dalam membangun sosial budaya
masyarakat, karena salah satu unsur komponen dari sistem hukum adalah “the legal
culture”, sehingga dalam pembangunan sistem hukum nasional, pembangunan budaya
hukum adalah merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non).
Oleh sebab itu, dalam perspektif pembangunan hukum nasional, teori hukum
yang dikembangkan adalah merupakan perpaduan dari berbagai teori hukum, baik yang
berasal dari Teori Hukum Sociological Jurisprudence dari Roscou Pound, teori
kebudayaan dari Northrop maupun teori policy oriented dari Laswell dan Mc Dougal
yang kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja menjadi teori hukum
pembangunan, yang akan diwujudkan ke dalam bentuk hukum tertulis (perundangundangan) maupun hukum tidak tertulis.
Teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo akan melengkapi penyempurnaan
pembangunan hukum di Indonesia. Dengan tanpa mengesampingkan teori
perkembangan teori hukum yang integratif, untuk membentengi dan mengisi
pembangunan dan penyempurnaan hukum pada Era Masyarakat ASEAN (MEA) yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
G. Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli. Makalah disampaikan pada Rapat/Diskusi Pokja Politik Hukum
Pidana dan Sistem Pemidanaan di BPHN : Fakultas Hukum Unpad.
Badan Pembinaan Hukum Nasional.1996. Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum
Nasional, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Fuady, Munir. 2011. Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum. Jakarta: Prenada Media
Group.
Manan, Abdul. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum dan Perilaku. Jakarta; PT Kompas Media Nusantara
Saifullah, 2007. Refleksi Sosiolagi Hukum. T.tp: PT Refika Aditama
Soekanto, Soerjono. 2009. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
18
Download