II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Data, Informasi dan

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Data, Informasi dan Pengetahuan
Manajemen pengetahuan diperlukan dalam rangka meningkatkan kinerja
perusahaan atau untuk membuat perusahaan mampu mempertahankan daya saing,
atau untuk mempertahankan posisi utama di pasar. Pengetahuan berkaitan dengan
data dan informasi.
Pengetahuan adalah informasi yang mengubah sesuatu atau seseorang, hal
itu terjadi ketika informasi tersebut menjadi dasar untuk bertindak, atau informasi
tersebut memampukan seseorang atau institusi untuk mengambil tindakan yang
berbeda atau tindakan yang lebih efektif (Drucker, 1998). Davenport dan Prusak
(1998) mendefinisikan pengetahuan sebagai campuran dari pengalaman, nilai,
informasi kontektual, pandangan pakar dan intuisi mendasar yang memberikan
suatu lingkungan dan kerangka untuk mengevaluasi dan menyatukan pengalaman
baru dengan informasi. Pada organisasi, pengetahuan sering terkait tidak hanya
pada dokumen atau tempat penyimpanan barang berharga, tetapi juga pada
rutinitas, proses, praktik dan norma perusahaan.
Davenport dan Prusak (1998) membedakan pengertian antara data,
informasi dan pengetahuan yaitu pengetahuan bukanlah data, bukan pula
informasi, namun sulit sekali dipisahkan dari keduanya. Data bersifat diskrit, yaitu
fakta-fakta objektif mengenai kejadian atau objek-objek tertentu. Data akan
menjadi informasi jika diolah (disortir, dianalisis, dan ditampilkan dalam bentuk
yang dapat dikomunikasikan melalui bahasa, grafik atau tabel). Data dan
informasi merupakan bahan baku yang diolah oleh aksi atau tindakan menjadi
pengetahuan. Proses perubahan data menjadi informasi dilakukan beberapa
tahapan yang dimulai dari huruf C, yaitu:
ƒ
Contextualized: memahami manfaat data yang dikumpulkan
ƒ
Categorized: memahami unit analisis atau komponen kunci dari data
ƒ
Calculated: menganalisis data secara sistematik atau secara statistik
ƒ
Corrected: menghilangkan kesalahan (error) dari data
ƒ
Condensed: meringkas data dalam bentuk yang lebih singkat dan jelas
10
Data adalah kumpulan fakta objektif mengenai sebuah kejadian.
Sementara informasi adalah data yang telah diolah, biasanya menggunakan aturan
statistika sehingga mengandung arti. Sedangkan pengetahuan didefinisikan
sebagai
kebiasaan,
keahlian/kepakaran,
keterampilan,
pemahaman,
atau
pengertian yang diperoleh dari pengalaman, latihan atau melalui proses belajar
(Pratomo yang dikutip Tjakraatmadja dan Lantu, 2006).
Menurut Teskey (dalam Tjakraatmadja dan Lantu, 2006) dalam tulisannya
User Models and World Models for Data, Information, and Knowledge,
menjelaskan bahwa data merupakan hasil pengamatan langsung terhadap suatu
kejadian atau suatu keadaan. Data merupakan entitas yang dilengkapi dengan nilai
tertentu. Informasi merupakan kumpulan data terstruktur untuk memperlihatkan
adanya hubungan antar entitas. Sedangkan pengetahuan merupakan model yang
digunakan manusia untuk memahami dunia, dan yang dapat berubah sejalan
dengan perkembangan informasi yang dimiliki dalam pikirannya.
Powell (dalam Tjakraatmadja dan Lantu, 2006) menyatakan bahwa data
adalah koleksi terstruktur dari kumpulan fakta. Informasi adalah data atau fakta
yang memiliki arti. Sedangkan pengetahuan merupakan hasil atau keluaran atau
nilai dari informasi. Menurut Davenport dan Prusak (1998), proses transformasi
informasi menjadi knowledge melalui empat tahapan yang dimulai dengan huruf
C, yaitu:
ƒ
Pembandingan (Comparison): membandingkan informasi pada situasi tertentu
dengan situasai-situasi yang lain yang telah diketahui
ƒ
Konsekuensi (Consequences): menemukan implikasi-implikasi dari informasi
yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan dan tindakan
ƒ
Hubungan (Connections): menemukan hubungan-hubungan bagian-bagian
kecil dari informasi dengan hal-hal lainnya.
ƒ
Percakapan (Conversation): membicarakan pandangan, pendapat serta
tindakan orang lain terkait informasi tersebut.
Dixon (2000) menyatakan bahwa informasi adalah data “di dalam
informasi”. Tiwana (2000) menggambarkan bahwa informasi adalah data yang
telah
memiliki
nilai
(value)
karena
telah
(dikategorikan, dikalkulasi, diperbaiki dan diolah).
mengalami
kontekstualisasi
11
Dari berbagai pendapat diatas bahwa maka dapat disimpulkan bahwa data
merupakan kumpulan simbol, fakta, gambar-gambar, angka-angka, huruf-huruf
terhadap suatu kejadian/kondisi tertentu yang belum dianalisis, diolah maupun
disortir. Informasi adalah data yang sudah diolah, dianalisis serta disortir yang
memiliki arti dan dikomunikasikan kepada orang lain. Sedangkan pengetahuan
diperoleh dari sekumpulan infomasi terstruktur yang didapat untuk melakukan
aksi serta dapat dipakai dasar untuk mengambil suatu keputusan.
Polanyi membagi pengetahuan menjadi dua jenis, yaitu
1.
Pengetahuan Tacit (tacit knowledge)
Pengetahuan tacit adalah pengetahuan yang diam di dalam benak manusia
dalam bentuk intuisi, judgement (pendapat), ketrampilan (skill) dan
kepercayaan (belief) yang sangat sulit diformalisasikan dan dibagi dengan
orang lain
2.
Pengetahuan Eksplisit (explicit knowledge)
Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang dapat atau sudah
terkodifikasi dalam bentuk dokumen atau bentuk berwujud lainnya sehingga
dapat dengan mudah ditransfer dan didistribusikan dengan menggunakan
berbagai media. Bentuknya dapat berupa formula, kaset/CD Video dan
audio, spesifikasi produk atau manual.
Tiwana (2001) membedakan tacit knowledge dan explicit knowledge yang disusun
berdasarkan karakteristik. Karakteristik tersebut dilihat berdasarkan sifat,
formalisasi, proses pengembangan, lokasi, proses konversi, dukungan IT dan
sarana komunikasi dari kedua pengetahuan tersebut. Perbedaan karakteristik
pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah
ini.
12
Tabel 2. Pengetahuan Tacit versus Pengetahuan Eksplisit
Karakteristik
Tacit
Explicit
Sifat
Pribadi/personal, konteksspesifik
Sulit untuk diformalkan,
dicatat, dikodekan atau
diartikulasikan
Dapat dikodifikasi dan
dijelaskan
Dapat dikodifikasi dan
ditransmisikan ke dalam
bahasa yang sistematis
dan formal
Dikembangkan melalui
penjelasan dari
pemahaman tacit dan
interpretasi informasi
Formalisasi
Proses Pengembangan
Dikembangkan melalui
proses trial and error
yang ditemui dalam
praktek
Lokasi
Tersimpan di dalam
pikiran karyawan
Proses konversi
Dikonversi ke eksplisit
melalui ekternalisasi
yang sering didorong
oleh metapora dan
analogi
Sulit untuk mengelola,
membagi, atau didukung
oleh IT
Membutuhkan media
komunikasi yang
beraneka ragam
Dukungan IT
Sarana komunikasi
Tersimpan dalam
dokumen, database,
halaman web, email,
bagan, dll.
Dikonversi kembali ke
tacit melalui pengenalan
Mudah didukung oleh
IT
Dapat ditransfer melalui
saluran elektronik
konvensional
Sumber: Tiwana, 2001
Kedua jenis knowledge tersebut oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) dapat
dikonversi melalu empat jenis proses konversi, yaitu Sosialisasi, Eksternalisasi,
Kombinasi dan Internalisasi. Keempat jenis proses konversi ini dikenal dengan
SECI proses (S: Socialization, E: Externalization; C: Combination dan I:
Internalization)
13
Gambar 3. Empat Model Konversi Knowledge (SECI Process)
(Nonaka & Takeuchi, 1995)
1. Sosialiasi merupakan proses sharing dan penciptaan tacit knowledge melalui
interaksi dan pengalaman langsung. Salah satu proses sosialisasi adalah
dengan pertemuan tatap muka (rapat, diskusi, dan pertemuan bulanan).
Melalui pertemuan tatap muka ini, individu dapat saling berbagi pengetahuan
dan pengalaman yang dimilikinya sehingga tercipta pengetahuan baru.
Di dalam sistem Manajemen Pengatahuan, fitur-fitur kolaborasi seperti e-mail,
diskusi
elektronik,
komunitas
praktis
(communities
of
practice)
memungkinkan pertukaran pengetahuan tacit (informasi, pengalaman, dan
keahlian) yang dimiliki seseorang sehingga organisasi semakin mampu belajar
serta melahirkan ide-ide baru yang kreatif dan inovatif. Hal ini baik untuk
dilakukan karena bermanfaat untuk meningkatkan koordinasi, mempercepat
proses aktivitas, dan menumbuhkan budaya belajar. Proses sosialisasi juga
dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (training) dengan mengubah
pengetahuan tacit para pelatih menjadi pengetahuan tacit para peserta
pelatihan.
2. Eksternalisasi merupakan pengartikulasian pengetahuan tacit menjadi
pengetahuan eksplisit melalui proses dialog dan refleksi. Dukungan terhadap
proses eksternalisasi dapat diberikan dengan mendokumentasikan notulen
rapat (bentuk eksplisit dari pengetahuan yang tercipta saat diadakannya
14
pertemuan) ke dalam bentuk elektronik untuk kemudian dapat dipublikasikan
kepada mereka yang berkepentingan.
3. Kombinasi merupakan proses konversi pengetahuan eksplisit menjadi
pengetahuan eksplisit yang baru melalui sistemisasi dan pengaplikasian
pengetahuan eksplisit dan informasi. Media untuk proses ini dapat melalui
intranet (forum diskusi), database organisasi dan internet untuk memperoleh
sumber eksternal. Fitur-fitur Enterprise Portal seperti knowledge organization
system yang memiliki fungsi untuk pengkategorian informasi (taksonomi),
pencarian, dan sebagainya sangat membantu dalam proses ini.
4. Internalisasi merupakan proses pembelajaran dan akuisisi pengetahuan yang
dilakukan oleh anggota organisasi terhadap pengetahuan eksplisit yang
disebarkan ke seluruh organisasi melalui pengalaman sendiri sehingga
menjadi pengetahuan tacit anggota organisasi.
2.2. Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management)
Manajemen Pengetahuan adalah pendekatan-pendekatan sistemik yang
membantu muncul dan mengalirnya informasi dan pengetahuan kepada orang
yang tepat pada saat yang tepat untuk menciptakan nilai (American Productivity
and Quality Centre). Tiwana (2000) menyampaikan bahwa Manajemen
Pengetahuan adalah pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai
dan menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima. Manajemen
Pengetahuan yang sukses tidak hanya karena komputer yang impresif tetapi
sebaiknya ditinjau dari ketiga komponen yang kritis, yaitu:
ƒ
Alur
pengetahuan
yang
benar
dan
sumber
yang
dilimpahkan
ke
organisasi/institusi;
ƒ
Teknologi tepat yang disimpan dan dapat mengkomunikasikan pengetahuan
tersebut;
ƒ
Budaya tempat kerja yang benar, sehingga karyawan termotivasi untuk
memanfaatkan pengetahuan.
Oleh karena itu, Manajemen Pengetahuan akan sukses apabila terjadi
interaksi di antara komponennya dan tidak terjadi tumpang tindih (overlap) dari
ketiga komponen tadi. Meskipun demikian, Manajemen Pengetahuan memberikan
kesempatan pada organisasi tersebut untuk:
15
ƒ
Menangkap dan menganalisis informasi organisasi dan diaplikasikan secara
strategis dalam bentuk warehousing dan datamining, sistem pendukung
keputusan (Decision System Support), serta Sistem Informasi Eksekutif (EIS);
ƒ
Menciptakan proses untuk akses informasi ke seluruh dunia melalui intranet,
groupsware, dan sistem pendukung keputusan kelompok (Groups DSS) agar
karyawan mendapat informasi secara cepat, informatif dan inovatif;
ƒ
Menjadikan kekuatan pendorong dari pengetahuan yang terakumulasi dari
pengalaman masa lalu seluruh organisasi;
ƒ
Membangun dan menyelesaikan proyek dengan meningkatkan kecepatan,
ketangkasan dan keselamatan.
Bukowitz dan Williams (1999) menyebutkan bahwa dalam prakteknya
Manajemen Pengetahuan mestilah berjalan bersamaan dalam dua alur yaitu:
1. Tactical Process atau memanfaatkan pengetahuan untuk menanggapi
kebutuhan, kesempatan dan perkembangan sehari-hari.
2. Strategic Process atau penggunaan pengetahuan untuk kebutuhan strategis dan
jangka panjang perusahaan.
Weggeman (1997) memvisualisasikan proses Manajemen Pengetahuan
sebagai sebuah rantai nilai pengetahuan. Rantai nilai pengetahuan ini terdiri dari
fase-fase sebagai berikut: menentukan relevansi pengetahuan dengan strategi,
membuat daftar pengetahuan yang tersedia, mengembangkan pengetahuan,
menyebarkan/menempatkan
pengetahuan,
menerapkan
pengetahuan
dan
mengevaluasi pengetahuan. Proses Manajemen Pengetahuan sifatnya kontinyu
dan berulang. Misi, visi, tujuan dan strategi organisasi menjadi tenaga pendorong
bagi rantai nilai pengetahuan. Dalam pengertian lain Diepstraten dalam Zolingen
et al. (2001) membedakan 7 fase Manajemen Pengetahuan yang berbentuk proses
sebagai berikut:
1. Ekspoitasi nilai tambah pengetahuan oleh klien
2. Pengembangan pengetahuan baru oleh klien
3. Penyebaran pengetahuan
4. Penggabungan pengetahuan
5. Pendokumentasian pengetahuan untuk kebutuhan di masa depan
6. Menerapkan dan menggunakan pengetahuan
16
7. Mendapatkan pengetahuan dari supplier.
Spek dan Spijkervet (1995) mengindikasikan proses organisasi sebagai inti
Manajemen Pengetahuan. Pengetahuan berguna karena sifatnya yang dinamis.
Beberapa hal yang menyebabkan pengetahuan dinamis yaitu:
1. Pengetahuan baru dapat dikembangkan
2. Pengetahuan baru dapat didistribusikan kepada bagian yang membutuhkan
informasi untuk melaksanakan pekerjaan dengan lebih baik.
3. Pengetahuan dapat diakses untuk keperluan masa depan demi kepentingan
kolektif.
Hal-hal tersebut menjadi bagian alasan mengapa Manajemen Pengetahuan
menjadi sangat penting bagi perusahaan. Selain itu, tumbuhnya perhatian pada
Manajemen Pengetahuan terkait dekat dengan upaya perusahaan untuk menjadi
suatu organisasi pembelajaran (learning organization), dimana para manajer giat
menciptakan budaya dan sistem untuk menciptakan knowledge baru dan mencari
knowledge dan menggunakannya pada saat dan tempat yang tepat (Marsick dan
Watkins, 1999). Berbagai kemungkinan dapat digambarkan melalui fase-fase di
dalam proses Manajemen Pengetahuan yang dikenal sebagai proses siklus yang
terdiri atas lima fase yaitu:
1. Pencarian pengetahuan
Pencarian pengetahuan berarti mengusahakan informasi baru di dalam
organisasi, Disini hanya pengetahuan strategis yang penting karena memberi
kontribusi pada pelaksanaan aktifitas inti dan mengembangkan kompetisi inti
organisasi.
2. Pengadaan pengetahuan
Pengadaan pengetahuan berarti menciptakan pengetahuan dan merubah
pengetahuan menjadi eksplisit, dan jika diinginkan, orang dapat mengakses
informasi ini setiap saat dan dimana saja.
3. Penyebaran pengetahuan
Penyebaran pengetahuan kepada pihak-pihak yang membutuhkannya dalam
pelaksanaan kerja.
17
4. Pengembangan pengetahuan
Pengetahuan dikembangkan dari pengetahuan yang sudah ada, dapat dibentuk
dan dikembangkan suatu pandangan dan pengetahuan baru.
5. Penerapan pengetahuan
Penggunaan pengetahuan yang baru dikembangkan untuk kepentingan
organisasi.
Selanjutnya Gamble dan Blackwell (2001) menyebutkan syarat penerapan
manajemen pengetahuan yaitu:
ƒ
Penangkapan pengetahuan baik dari sumber eksternal maupun internal
ƒ
Suatu metode mengkodisikasi pengetahuan tersebut dipikiran
ƒ
Suatu sarana memberi akses untuk pengetahuan kemudian diciptakan
ƒ
Merupakan pemborosan jika pengetahuan sebenarnya tidak digunakan
ƒ
Loop umpan balik dilengkapi ketika knowledge worker menambah nilai untuk
pengetahuan yang ada dengan mengubahnya melalui penggunaan pengetahuan
itu sendiri.
ƒ
Ketika pengetahuan telah hidup lebih lama penggunannya dihilangkan dari
basis pengetahuan.
Karakteristik organisasi seperti struktur, kultur dan strategi, sebagaimana
sistem pengetahuan, mempengaruhi kemajuan proses manajemen pengetahuan.
Manajemen pengetahuan merupakan cara terbaik dalam memadukan budaya
organisasi dan budaya kelompok. Selain perlunya struktur dan kultur organisasi
yang tetap, adanya suatu strategi pengetahuan berdasar pada kebijakan
pengetahuan yang jelas dan detail, mengarah pada inovasi dan pembelajaran juga
merupakan
hal
yang
penting
bagi
kelanjutan
organisasi.
Proses
mengimplementasikan manajemen pengetahuan menurut Tiwana (2001) yaitu:
1. Analisa infrastruktur yang ada
2. Penyesuaian manajemen pengetahuan dan strategi bisnis
3. Desain infrastruktur manajemen pengetahuan
4. Audit aset pengetahuan yang ada dan sistem
5. Desain tim manajemen pengetahuan
6. Membuat blueprint manejemen pengetahuan
7. Mengembangkan sistem manajemen pengetahuan
18
8. Membentuk dan menyebarkan
9. Mengelola perubahan, budaya dan struktur penghargaan
10. Evaluasi performance, mengukur ROI (return on investment), dan terus
menerus memperbaiki sistem manajemen pengetahuan.
2.3. Audit Manajeman Pengetahuan
Audit manajemen pengetahuan adalah kegiatan memeriksa secara
sistematis kualitas pengelolaan pengetahuan di suatu organisasi (Munir, 2008).
Dengan audit manajemen pengetahuan dapat diperoleh gambaran mengenai
pengetahuan yang dimiliki dan dibutuhkan organisasi/unit kerja, kesiapan
organisasi
memfasilitasi
pembelajaran
dan
kualitas
proses
pengelolaan
pengetahuan. Sebelum melakukan audit pengetahuan sebaiknya organisasi
memahami alasan untuk mengembangkan manajemen pengetahuan. Berdasarkan
hasil observasi yang dikembangkan oleh Von Krogh, Ichiyo dan Nonaka dalam
Munir (2008) terhadap 700 perusahaan, terdapat tiga alasan utama organisasi
mengembangkan manajemen pengetahuan yaitu (Munir, 2008):
1. Meminimalkan resiko
Dalam tahap ini organisasi bergegas mencari pengetahuan-pengetahuan
berharga yang dimilikinya, mengumpulkan, dan menggunakannya untuk
mengatasi
permasalahan
yang
dihadapi.
Organisasi
memanfaatkan
pengetahuan untuk melakukan tindakan-tindakan yang reaktif, dan fokus
perhatian organisasi adalah terhadap pengetahuan itu sendiri, terutama
pengetahuan yang spesifik pada konteksnya.
2. Meningkatkan efisiensi
Pada tahap ini organisasi masih banyak memanfaatkan pengetahuan untuk
tindakan-tindakan yang bersifat reaktif dan belum ada suatu proses kreasi
pengetahuan yang terencana dengan baik. Namun organisasi sudah mulai
mencari secara aktif pengetahuan-pengetahuan baru yang terbentuk karena
proses kreasi antar anggota organisasi. Secara terencana pula organisasi
melakukan kegiatan menyebarkan pengetahuan dalam bentuk proses kerja
yang sudah teruji efektifitasnya di satu unit kerja ke seluruh unit kerja yang
ada di organisasi.
19
Hal yang menarik pada organisasi tahap ini adalah munculnya kesadaran
bahwa pemanfaatan pengetahuan, kreasi pengetahuan dan penyebaran
pengetahuan tidak dapat mengandalkan kecanggihan teknologi informasi.
Seperti yang disampaikan oleh English dan Baker (2006), teknologi informasi
hanyalah puncak gunung es yang kebanyakan hanya menangkap bagian
eksplisit dari suatu pengetahuan. Sementara untuk melakukan penyebaran
pengetahuan perlu ada upaya khusus untuk menangani bagian terbatinkan dari
pengetahuan, apalagi bila melibatkan pihak-pihak yang tidak bersedia berbagi
pengetahuan.
3. Inovasi
Merupakan tahapan pengembangan manajemen pengetahuan yang umum
dijumpai di organisasi-organisasi yang ingin menghasilkan inovasi. Kesadaran
bahwa pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya tidak cukup untuk
menunjukkan kinerja prima. Organisasi-organisasi ini memfokuskan upayanya
untuk
menciptakan
pengetahuan-pengetahuan
baru
dan
proses-proses
pengelolaan pengetahuan yang andal. Para penggiat pengetahuan di organisasi
rajin memotivasi sebanyak mungkin orang di organisasi untuk menjadi
pembelajar yang aktif mangakuisisi pengetahuan dari lingkungan eksternal,
saling
berbagi,
menciptakan
pengetahuan-pengetahuan
baru
dan
memanfaatkannya. Organisasi memiliki visi pengetahuan yang jelas dan tegas,
menyusun strategi jangka panjang berbasis pengetahuan, membangun budaya
belajar dan merekrut orang-orang dengan kompetensi belajar dan bertumbuh
yang baik.
20
Gambar 4. Perkembangan Alasan Organisasi Mengembangkan Manajemen
Pengetahuan
Audit manajemen pengetahuan terdiri dari tiga komponen, yaitu:
1. Kualitas pengetahuan
Audit kualitas pengetahuan ditujukan untuk memperoleh gambaran ragam
kelompok pengetahuan yang telah dimiliki oleh perusahaan, kualitas atau
tingkatan
relatifnya
dibandingkan
organisasi
lain,
ragam
kelompok
pengetahuan apa yang harus dimiliki perusahaan, kualitas atau tingkatnya juga
prioritasnya.
2. Kualitas pembelajaran di organisasi
Bila suatu organisasi dapat menjadi organisasi pembelajar, maka organisasi
tersebut akan mendapatkan keunggulan dalam hal kemampuan beradaptasi
dan keluwesan (flexibility) yang sangat diperlukan untuk memenangkan
persaingan di arena kompetisi yang sarat dengan perubahan. Melalui
pembelajaran
organisasi,
organisasi
memperoleh
pengetahuan,
dan
mengaktualisaikan model mental bersama yang menjadi basis berpikir dan
bertindak bagi seluruh individu
Audit kualitas pembelajaran di organisasi ditujukan untuk memperoleh
gambaran mengenai kesiapan organisasi dalam memfasilitasi pembelajaran
anggotanya dan kesiapan organisasi dalam memanfaatkan hasil pembelajaran
anggotanya untuk mengubah dan menyempurnakan dirinya.
21
Menurut Kim (1993) yang dikutip Munir (2008), pembelajaran merupakan
proses mendapatkan pengetahuan yang dilanjutkan dengan aktualisasi
pengetahuan yang sebelumnya dimiliki. Definisi tersebut meliputi dua hal:
(1) Proses mendapatkan pengetahuan untuk ‘mengetahui bagaimana caranya’
yang akan mendasari kemampuan fisik untuk memproduksi suatu
tindakan dan
(2) Proses mendapatkan pengetahuan untuk ‘mengetahui mengapa demikian’
yang menghasilkan kemampuan untuk mengartikulasikan pemahaman
konseptual dari suatu pengalaman.
Secara umum pembelajaran dapat dipahami sebagai proses peningkatan
kapasitas manusia dalam melaukan tindakan yang efektif.
3. Kualitas proses pengelolaan pengetahuan
Dalam audit proses pengelolaan pengetahuan hanya difokuskan pada empat
proses utama dari delapan proses. Empat proses tersebut yaitu proses akuisisi
pengetahuan,
proses
distribusi
dan
berbagi
pengetahuan,
proses
pengembangan dan pemanfaatan pengetahuan serta proses pemeliharaan dan
penyimpanan pengetahuan. Melalui kegiatan audit manajemen pengetahuan
ini dapat diketahui apakah proses-proses pengelolaan pengetahuan sudah ada
dan berjalan dengan efektif di organisasi.
2.4. Organisasi
Organisasi merupakan satuan sosial yang dikoordinasi secara sadar, terdiri
atas dua orang atau lebih, dan secara terus menerus berusaha mencapai tujuan
bersama. Kumpulan individu ini dalam melakukan aktivitasnya selalu saling
berinteraksi baik dengan sesama anggota organisasi maupun dengan pihak luar
organisasi (Robbins, 1996).
Menurut Urlich dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006) menyatakan
terdapat empat kompetensi dasar dari manusia yang dibutuhkan oleh organisasi
atau perusahaan masa kini, yaitu:
a. Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan untuk mampu
memahami karakteristik paradoks antara keseimbangan untuk berpikir global
namun mampu bertindak lokal. Teknologi merupakan alat utama untuk
membangun perusahaan agar memiliki daya saing bertaraf global. Teknologi
22
akan berperan maksimal jika implementasinya memperhatikan kesiapan faktor
manusia khususnya faktor budaya kerja, yang bersifat lokal. Teknologi yang
terlalu maju dibandingkan dengan kesiapan manusia akan sia-sia atau
teknologi yang diterapkan secara tidak kontekstual tidak akan efektif
mencapai sasaran.
b. Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan untuk mampu
menyeimbangkan antara bertindak efisien (downsizing) sambil meningkatkan
pendapatan
(revenue)
perusahaan
melalui
kreativitas,
inovasi
dan
kewirausahaan (entrepreneurship). Wujud teknologi yang makin kecil
memiliki kemampuan berlipat ganda serta berkembangnya inovasi manusia,
memungkinkan dirancangnya sistem dan organisasi yang makin downrizing.
Namun, perlu diimbangi dengan upaya merubah peran dan kompetansi kerja
manusia dalam organisasi serta meningkatkan pertumbuhan bisnis.
c. Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan untuk mampu
memahami karakteristik dan penggunaan teknologi maju – baik teknologi
proses
maupun
teknologi
informasi
(capital
structured)
untuk
memaksimumkan nilai tambah perusahaan. Upaya proses rekayasa ulang
sebaiknya mencakup pertimbangan untuk merubah struktured capital
(perubahan teknologi proses dan informasi) maupun unstructured capital
(budaya kerja) secara seimbang. Perubahan yang hanya fokus pada structured
capital, telah banyak mengalami kegagalan. Franklin et al. (2001); Hornby et
al. (1992); Williams (1995) serta Markus dan Keil (1994) telah
mengidentifikasi penyebab kegagalan aplikasi teknologi baru pada sebuah
oganisasi terutama bukan disebabkan oleh masalah teknik namun akibat
masalah psikologik dan organisasi. Penelitian MIT (1990) membuktikan
bahwa kegagalan implementasi teknologi informasi terutama disebabkan
karena investasi yang dilakukan terlalu fokus pada sisi teknologi, kurang
memperhatikan manajemen proses perubahan serta struktur dan budaya
organisasi. Lebih lanjut, Cooper dan Markus (1995) menunjukkan bahwa
kegagalan aplikasi organisasi baru lebih banyak karena adanya hambatan dari
tenaga kerja, Secara umum penelitian-penelitian menunjukkan kesimpulan
yang sama bahwa keberhasilan suatu perubahan, bukan ditentukan oleh
23
canggihnya metode dan teknik rekayasa, namun lebih ditentukan oleh adanya
komitmen dan kompetensi manusia yang terlibat dalam kerja sehari-hari.
Proses perubahan teknologi menuntut komitmen serta keberdayaan tenaga
kerja, untuk itu perlu dikelola dengan sistematik dan konsisten. Kebanyakan
yang terjadi saat ini, pihak manajemen sering ”memaksakan” keinginan suatu
perubahan, para pekerja dipaksa untuk mau menyesuaikan dengan teknologi
baru, tanpa membangun komitmen, kompetensi, kemampuan belajar serta
budaya kerja organisasi.
d. Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan yang memiliki
kompetensi individual tinggi, namun seimbang dengan komitmen serta
kemampuan untuk belajar dan berubah. Perusahaan masa depan membutuhkan
tenaga kerja yang mampu melipatgandakan kompetensinya melalui sinergi
dengan teknologi, sistem serta organisasi, sesuai dengan perkembangan
lingkungan bisnis global maupun lokal.
Organisasi dilihat dari tujuannya dibedakan menjadi dua yaitu organisasi
perusahaan (business organization) dan organisasi sosial (public organization).
Organisasi perusahaan bertujuan untuk mendapatkan laba dan prinsip kegiatannya
ekonomis rasional, sedangkan organisasi sosial bertujuan untuk memberikan
pelayanan dan prinsip kegiatannya adalah pengabdian sosial (Hasibuan, 2007).
Kusdiyono (2009) menyatakan bahwa perkumpulan adalah suatu
pengelompokan anggota-anggota masyarakat yang terorganisasi secara sistematis
untuk tujuan atau kepentingan tertentu. Perkumpulan dalam arti luas menurut
Herman (2007) yaitu meliputi suatu persekutuan, koperasi, dan perkumpulan yang
saling menanggung. Perkumpulan dalam pengertian ini terbagi menjadi dua jenis
yaitu :
1. Perkumpulan yang berbentuk Badan Hukum, seperti Perseroan Terbatas,
Koperasi, dan Perkumpulan Saling Menanggung.
2. Perkumpulan yang tidak berbentuk Badan Hukum seperti Persekutuan
Perdata, Perseroan Komanditer, dan Firma.
Ciri-ciri perkumpulan adalah :
1. Terorganisasi secara sistematis
2. Terbentuk karena memiliki tujuan tertentu
24
3. Hubungan anggota bersifat kontekstual
4. Kepemimpinan lebih bersifat hierarki dan atas dasar wewenang
Status hukum perkumpulan adalah berbentuk Perkumpulan Saling
Menanggung seperti yang diatur dalam stb 870-64 yang dikeluarkan pada tanggal
28 Maret 1870. Menurut ketentuan ini, status badan hukum akan diperoleh setelah
mendapat pengesahan menteri hukum dan HAM yang diatur dalam Pasal 1 Stb
1874, sehingga dapat melakukan perbuatan hukum, menyandang hak dan
kewajiban, dan dapat digugat maupun menggugat di pengadilan. Hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh perkumpulan adalah :
1. Perkumpulan berhak untuk mengajukan gugatan
2. Perkumpulan wajib mendaftarkan perkumpulan tersebut pada instansi yang
berwenang untuk mendapatkan status Badan Hukum
2.5. Organisasi Pembelajar
Organisasi pembelajar adalah organisasi yang mampu memfasilitasi
pembelajaran bagi seluruh anggota organisasinya dan mengubah tindakan
(transform) dan menyempurnakan dirinya berdasarkan hasil belajar anggotanya
(Pedler dan Burgoyne, 1995 dan Garvin, 2000 dalam Munir, 2008).
Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006), organisasi pembelajar
didefinisikan sebagai organisasi yang memiliki kemampuan untuk selalu
memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan dalam siklikal, karena anggotaanggotanya memiliki komitmen dan kompetensi individual yang mampu belajar
dan berbagi pengetahuan pada tingkat superfisial maupun substansial. Dilihat dari
prosesnya,
pembelajaran
organisasi
merupakan
suatu
proses
akumulasi
pengetahuan (human capital) organisasi akibat adanya proses interaksi antara
individu belajar dengan organisasi pembelajar, atau karena dorongan lingkungan
kerja yang memiliki karakteristik yang kondusif untuk terjadinya proses
pembelajaran organisasi (berbagi pengetahuan antara para anggota organisasi),
sehingga meningkatkan kualitas kehidupan kerja organisasi.
Definisi organisasi pembelajar yang secara khusus digunakan untuk NGO
(Non Goverment Organization) adalah suatu organisasi yang secara aktif
menggabungkan pengalaman dan pengetahuan dari anggota dan mitra melalui
pengembangan program, kebijakan, prosedur dan sistem dengan cara-cara yang
25
secara kontinyu meningkatkan kemampuan untuk menetapkan dan mencapai
tujuan, memuaskan stakeholder, pengembangan program, nilai, pengembangan
masyarakat dan pencapaian misi dengan konstituen (Aike dan Britton, 1997)
Senge dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006) mengatakan bahwa untuk
menjadi organisasi pembelajar perlu menerapkan lima disiplin belajar yaitu:
(1) Disiplin keahlian pribadi (personal mastery). Disiplin yang akan mendorong
sebuah organisasi untuk terus-menerus belajar bagaimana menciptakan masa
depannya, yang hanya akan terbentuk jika individu-individu anggota
organisasi mau dan mampu terus belajar menjadikan dirinya sebagai seorang
master di bidang ilmunya. Disiplin personal mastery terbentuk dicirikan oleh
tumbuhnya keterampilan-keterampilan individual para anggota organisasi
untuk melakukan kontemplasi (refleksi) diri; keterampilan untuk memahami
akan kelebihan dan kelemahan kompetensi intelektual; emosional maupun
sosial dirinya; serta keterampilan untuk melakukan revisi atas visi pribadinya,
dan kemudian keterampilan untuk membangun kondisi kerja yang sesuai
dengan keadaan organisasinya.
(2) Disiplin visi bersama (shared vision). Organisasi pembelajar membutuhkan
visi bersama, visi yang disepakati oleh seluruh anggota organisasinya. Visi
bersama ini akan menjadi kompas dan sekaligus pemicu semangat dan
komitmen untuk selalu bersama sehingga menumbuhkan motivasi kepada para
karyawan untuk belajar dan terus belajar meningkatkan kompetensinya.
(3) Disiplin model mental (mental model). Organisasi akan mengalami kesulitan
untuk secara akurat mampu melihat berbagai realitas yang ada, jika para
anggota organisasi tidak mampu merumuskan asumsi serta nilai-nilai yang
tepat untuk digunakan sebagai basis cara berpikir maupun cara memandang
berbagai permasalahan organisasi. Keterampilan untuk menemukan prinsip
dan nilai-nilai bersama, serta tumbuhnya semangat berbagi nilai untuk
menumbuhkan keyakinan bersama sehingga menguatkan semangat dan
komitmen kebersamaan, merupakan disiplin yang dibutuhkan untuk
membangun disiplin model mental organisasi.
(4) Disiplin pembelajaran tim (team learning). Disiplin pembelajaran tim akan
efektif jika para anggota kelompok memiliki rasa saling membutuhkan satu
26
dengan yang lainnya untuk dapat bertindak sesuai dengan rencana bersama.
Kemampuan untuk bertindak merupakan prasyarat untuk menciptakan nilai
tambah organisai, karena rencana tanpa diikuti tindakan nyata, merupakan
ilusi belaka. Kemampuan untuk membangun ikatan emosional, semangat
berdialog, keterampilan bekerja sama secara tim, kemampuan belajar dan
beradaptasi, serta usaha untuk meningkatkan partisipasi merupakan disiplin
yang dibutuhkan untuk membangun disiplin pembelajaran tim.
(5) Disiplin berpikir sistemik (system thinking). Disiplin ini berfungsi untuk
melengkapi disiplin bagaimana kita belajar, yaitu disiplin untuk memahami
apa sebenarnya yang kita pelajari. Faktor utama dari konteks pembelajaran
dalam organisasi kontemporer adalah bagaimana kita dapat memahami
kompleksitas permasalahan yang terjadi di sekitar kita, serta kita mampu
berperan serta dan menciptakan perubahan yang berarti dan bermanfaat untuk
mempertahankan kemampuan hidup organisasi kontemporer. Disiplin ini
merupakan keterampilan untuk memahami struktur hubungan antara berbagai
faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi eksistensi organisasi,
keterampilan untuk berpikir integratif dan tuntas, keterampilan untuk berpikir
komprehensif, serta keterampilan untuk membangun organisasi yang adaptif.
Organisasi pembelajar memiliki tiga karakteristik menurut Garrat (1990)
dalam Munir (2008). Tiga karakteristik tersebut, yaitu:
ƒ
Pertama, organisasi pembelajar mendorong orang-orang di semua level untuk
belajar secara reguler dan bekerja keras dari pekerjaannya.
ƒ
Kedua, organisasi pembelajar memiliki sistem untuk menangkap pembelajaran
dan memanfaatkannya pada hal atau tempat yang membutuhkannya.
ƒ
Ketiga, organisasi pembelajar menghargai pembelajaran dan mampu secara
terus-menerus melakukan transformasi dirinya sebagai hasil pembelajaran.
Bangunan organisasi pembelajar dapat dilihat pada gambar di bawah ini
27
Gambar 5. Bangunan Organisasi Pembelajar
(1) Fondasi “bangunan organisasi pembelajar” berdiri di atas fondasi rasa saling
percaya dan budaya belajar.
(2) Struktur pilar pertama “bangunan organisasi pembelajar” dibangun oleh
keterampilan belajar yang minimal terdiri dari:
a. Keterampilan memecahkan permasalahan secara sistematik.
b. Keterampilan bereksperimen dengan menggunakan pendekatan baru
c. Kemampuan belajar dari pengalaman dan/atau sejarah masa lalu
d. Kemampuan belajar dari praktisi yang berhasil
e. Kemampuan mentransfer pengetahuan dengan cepat dan efisien
(3) Struktur pilar kedua “bangunan organisasi pembelajar” dibangun oleh fasilitas
belajar yang terdiri dari:
a. Informasi sistemik
b. Struktur organisasi
c. Sistem penghargaan
(4) Atap “bangunan organisasi pembelajar” dibangun oleh disipilin belajar yang
terdiri dari:
a. Disiplin keahlian pribadi
b. Disiplin berbagi visi
c. Disiplin model mental
d. Disiplin berpikir sistemik
e. Disiplin tim pembelajar
28
(5) Enabler organisasi pembelajar dipengaruhi oleh kualitas kepemimpinan
Literatur tentang organisasi pembelajar dan NGO efektif mengusulkan
delapan fungsi kunci yang harus dilakukan untuk belajar secara efektif, yaitu:
1. Menciptakan budaya yang mendukung
Hal ini berkaitan dengan pemberian penghargaan terhadap kontribusi staf,
penciptaan iklim belajar, sumber daya dan fasilitas untuk pengembangan
individu serta kebebasan untuk berdiskusi tentang isu yang berkembang.
2. Mengumpulkan pengalaman internal
Fungsi
ini
berkaitan
dengan
prosedur-prosedur
sistematis
untuk
mengumpulkan pengetahuan yang ada di organisasi dan peningkatan kapasitas
individu.
3. Mengakses Pembelajaran Eksternal
Mengakses
pembelajaran
eksternal
berkaitan
dengan
mengumpulkan
pengetahuan dan informasi yang didapatkan di luar organisasi sebagai bahan
pembelajaran di dalam organisasi.
4. Sistem Komunikasi
Komunikasi mengalir bebas di seluruh organisasi antar divisi serta dapat
diakses informasinya dengan mekanisme yang baik.
5. Mekanisme untuk menarik kesimpulan
Pembelajaran yang didapatkan disadari sebagai kebutuhan semua anggota
organisasi serta pangawasan dan evaluasi yang dilakukan di masing-masing
program secara rutin dianalisis untuk mengidentifikasi apa yang telah
dipelajari dan apa yang dapat diterapkan di masa yang akan dating.
6. Mengembangkan Memori Organisasi
Faktor ini berkaitan dengan mekanisme penyimpanan pengetahuan melalui
pengembangan database yang mudah diakses oleh anggota organisasi dan
penyimpanan
pengetahuan
ketika
anggota
organisasi
meninggalkan
organisasinya.
7. Mengintegrasi Pembelajaran ke dalam strategi dan kebijakan
Pembelajaran yang diperoleh diintegrasikan ke dalam strategi organisasi dan
kebiijakan organisasi dengan melibatkan anggota organisasi.
29
8. Menerapkan Pembelajaran
Peningkatan kapasitas individu untuk mendukung kegiatan organisasi serta
konversi pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit yang dapat dibagi
untuk meningkatkan kapasitas organisasi dalam menjalankan programnya.
2.6. NGO (Non Government Organization)
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) semula dikenal sebagai Organisasi
Non Pemerintah atau Ornop. Istilah Ornop adalah terjemahan dari NonGovernment Organization atau NGO. Sebagian masyarakat menganggap bahwa
LSM adalah suatu lembaga swadaya yang bekerja untuk pembangunan
masyarakat kecil yang tertindas, masyarakat miskin atau mereka yang
terpinggirkan.
Chambers dalam Mudgal (2006) mengenalkan konsep ‘additionality’
untuk
menggambarkan
sumbangan
potensial
dari
Ornop
bagi
proses
pembangunan. Konsep ‘additionality’ itu dimaksudkan sebagai upaya membuat
sesuatu lebih baik daripada yang sebelumnya, yang memberi kemungkinan baik
maupun buruk. Upaya mencari ‘additionality’ yang tinggi memerlukan empat
unsur yaitu mengidentifikasikan dan mempertemukan kebutuhan dan peluang;
menilai manfaat terbandingkan (comparative advantage) yaitu melihat apa yang
dikerjakan oleh satu Ornop dibandingkan dengan yang dikerjakan Ornop lain;
belajar dan menerima lewat aksi; dan mencapai dampak yang luas. Satu Ornop
dapat
mencapai
teknologi
hingga
semakin
luas;
mengembangkan
dan
menggunakan pendekatan yang kemudian diadopsi oleh Ornop lain ataupun oleh
pemerintah; mempengaruhi perubahan kebijakan dan tindakan donor; mengambil
manfaat dan menebarkan pemahaman tentang pembangunan.
Pada mulanya Ornop dilihat sebagai organisasi yang bergerak secara
eksklusif pada tingkat lokal dengan tujuan memenuhi kebutuhan kelompok miskin
tanpa mempertimbangkan dampak yang luas, akan tetapi kemudian terjadi
pergeseran yang mendasar yakni bahwa Ornop tidak lagi hanya berupaya
‘memenuhi kebutuhan kelompok miskin’ melainkan juga membantu mereka
mengartikulasikan kebutuhan mereka dan memberikan kemampuan kepada
30
mereka
untuk
mengontrol
proses
pengambilan
keputusan
yang
dapat
mempengaruhi kehidupan mereka (Drabek dalam Mudgal, 2006).
Menurut Riker (1995) NGO merupakan organisasi yang dibentuk oleh
kalangan yang bersifat mandiri. Organisasi seperti ini tidak menggantungkan diri
pada pemerintah, negara terutama dalam dukungan keuangan dan sarana atau
prasarana.
Sekalipun
mendapat
dukungan
dana
dari
lembaga-lembaga
internasional, tidak berarti kalangan NGO sama sekali terlepas dari pemerintah,
karena tidak jarang pemerintah memberikan fasilitas penopang, seperti pemberian
bebas pajak untuk aktivitas dan asset yang dimiliki oleh NGO (Gaffar, 2002).
Pembeda NGO dengan organisasi-non pemerintah lainnya terletak pada visi, misi
dan orientasi yang melintasi kepentingan staf dan anggotanya serta cara-cara yang
ditempuh dalam rangka mencapai tujuan. Cara yang ditempuh NGO adalah
melibatkan masyarakat atau kelompok sasaran dalam setiap kegiatan yang
dilakukan serta tidak berorientasi pada kepentingan (non-profit oriented), tetapi
sebaliknya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam proses
pembangunan. Riker (1995) mengkategorikan NGO ke dalam empat kelompok,
yaitu:
1. Government organized NGOs atau Gongos, yaitu NGO yang muncul karena
mendapat dukungan dari pemerintah, baik berupa dana maupun fasilitas.
Biasanya NGO seperti ini berperan menyukseskan program-program
pemerintah. Di Indonesia NGO seperti ini dikenal dengan sebutan NGO “plat
merah”.
2. Donor organized NGOs or Dongos, yaitu NGO yang dibentuk oleh kalangan
lembaga donor, baik yang bersifat multirateral maupun unilateral. NGO
seperti ini biasanya dibentuk untuk mewujudkan program lembaga donor
tersebut.
3. Autonomous or Independent NGOs, yaitu NGO yang dibentuk, tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. NGO seperti ini sifatnya independen secara
finansial dan memiliki kepedulian yang sangat luas tentang berbagai hal dalam
kehidupan sehari-hari.
31
4. Foreign NGOs yaitu NGO yang muncul sebagai perwakilan dari NGO yang
ada diluar negeri. Kehadirannya, tentu saja harus selalu setahu atau mendapat
izin dari negara tempat NGO tersebut beroperasi.
2.7. Kajian Penelitian Terdahulu
Penelitian di bidang Manajemen Pengetahuan belum begitu banyak
sehingga penulis menggunakan jurnal sebagai kajian penelitian terdahulu. Jurnal
tersebut dijabarkan di bawah ini.
Jurnal Manajemen Pengetahuan dengan judul Analisis Keunggulan
Bersaing Melalui Penerapan Knowledge Management dan Knowledge-Based
Strategy di Surabaya Plaza Hotel ditulis oleh Anshori (2005) menjelaskan bahwa
perpaduan antara knowledge yang dimiliki, kapabilitas dan resources yang ada,
digabungkan dengan strategi bisnis yang dimiliki telah menghasilkan competitive
advantage yang menjadikan Surabaya Plaza Hotel (SPH) memiliki performance
lebih bagus dibandingkan kompetitornya. Sesuai dengan Knowledge Management
Pyramid yang dikembangkan oleh Rosenberg, Surabaya Plaza Hotel berada pada
level dua yaitu Information, Creation, Sharing, dan Management. SPH perlu
mengadakan satu jabatan baru yaitu Knowledge Management Manager dan
meningkatkan semua kapabilitas dan resources yang ada untuk memasuki tingkat
yang tinggi lagi (level tiga dalam konsep Rosenberg) yaitu Entreprise
Intelligence.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
alternatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Teknik
yang digunakan dalam menganalisis data adalah diagnosa Knowledge
Management, Identifikasi Knowledge Sources, dan Analisis Competitive
Advantage. Hasil dari penelitian menunjukkan skor dan persentase Knowledge
Management secara keseluruhan di atas rata-rata yaitu 65 persen. Dengan kata
lain SPH telah melakukan proses Knowledge Management dengan cukup baik.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Surabaya Plaza Hotel
secara umum telah melakukan management by knowledge, meskipun belum
terorganisir dengan baik. Upaya pemanfaatan pengetahuan untuk kelancaran
operasional hotel sudah berjalan cukup baik, khususnya pengetahuan yang
mempengaruhi posisi kompetitif yang bersumber pada customer knowledge,
32
stakeholder relationships, knowledge in product and services, dan knowledge in
people. Meskipun peralatan maupun software yang dipergunakan belum
terintegrasi dalam satu sistem, tetapi sudah ada upaya optimal dalam melakukan
upaya
penciptaan,
penyebarluasan,
maupun
penyimpanan
pengetahuan.
Berdasarkan The Knowledge Management Pyramid yang dikembangkan oleh
Rosenberg, Surabaya Plaza Hotel berada pada level dua yaitu Information,
Creation, Sharing, and Management.
Hal yang berbeda ditulis oleh Kosasih dan Budiani melalui penelitiannya
yang berjudul Pengaruh Knowledge Management Terhadap Kinerja Karyawan:
Studi Kasus Departemen Front Office Surabaya Plaza Hotel. Tujuan penelitian
tersebut adalah untuk mengukur pengaruh dari knowledge management terhadap
kinerja karyawan pada departemen front office di Surabaya Plaza Hotel.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa knowledge management secara
tidak langsung mempengaruhi kinerja karyawan, ada pengaruh yang signifikan
antara personal knowledge terhadap job procedure, dan faktor yang paling
dominan mempengaruhi kinerja karyawan adalah teknologi. Jenis penelitian yang
digunakan pada penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory research)
dengan metode kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah karyawan departemen
front office di Surabaya Plaza Hotel yang berjumlah 43 orang. Metode
pengambilan sampel yang digunakan adalah judgement sampling yaitu sampel
yang dipilih berdasarkan karakteristik tertentu, dalam hal ini adalah karyawan
front office Surabaya Plaza Hotel pada level operasional yang bekerja minimal 1
tahun sebanyak 26 orang.
Dalam penelitian ini penulis melakukan perhitungan distribusi frekuensi
dan mean (nilai rata-rata) untuk memberikan gambaran atau deskripsi dari data
yang diperoleh. Metode analisis path yang digunakan adalah permodelan SEM
(Structural Equation Modeling) dan partial least square sebagai alternatif untuk
situasi dimana dasar teori pada perancangan model lemah dan atau indikator yang
tersedia tidak memenuhi model pengukuran refleksif.
Hasil dari penelitian tersebut adalah pengaruh langsung antara job
prosedur ke kinerja menunjukkan arah yang positif namun nilainya sangat kecil
yaitu sebesar 0,099. Namun apabila melihat pengaruh secara total antara personal
33
knowledge dan job procedure ke kinerja maka perolehan nilainya akan lebih
tinggi, dengan arti bahwa job procedure yang diimbangi dengan personal
knowledge akan memberikan pengaruh yang baik bagi kinerja karyawan hotel.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa pemahaman Standard Operation
Procedure sebagai indikator dari job procedure dalam jangka waktu yang panjang
(long run) tidak menunjukkan pengaruh yang kuat terhadap kinerja, hal ini juga
dapat dilihat dari jumlah responden atau karyawan hotel yang lama menekuni
bidangnya saat ini kebanyakan lebih dari 9 tahun. Dengan jangka waktu yang
lama tersebut maka karyawan tidak lagi terpaku pada Standard Operation
Procedure yang ada, namun pada prosesnya karyawan juga belajar dari
pengalaman yang diperoleh. Faktor yang paling dominan mempengaruhi kinerja
adalah teknologi. Hal ini dikarenakan pada departemen front office banyak
menggunakan fasilitas teknologi untuk mendukung proses kerja.
Secara keseluruhan implementasi knowledge management di Surabaya
Plaza Hotel sudah cukup baik, hal ini juga dapat dilihat dari program-program
yang ada yang menawarkan bentuk pelatihan agar karyawan diberi kesempatan
untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Program lain yang
diadakan yaitu sharing best-practices yang menjadi wadah bagi para karyawan
untuk melakukan transfer knowledge demi peningkatan kinerja hotel.
Sampai saat ini penulis belum menemukan penelitian manajemen
pengetahuan untuk studi kasus di organisasi non pemerintah. Penulis
menggunakan kajian penelitian terdahulu di bidang yang sama dibahas pada
skripsi ini yaitu manajemen pengetahuan sehingga skripsi ini dapat dijadikan
referensi kajian penelitian untuk penulis lain yang akan membahas di organisasi
non pemerintah.
Download