AIR DAN HIDUP MANUSIA SECARA SAINTIS DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA Oleh Bhikkhu Dhammasubho Puisi Air Aku berpikir tentang ”Alam dan Air” Alam mengungguli segalanya Alam tanpa batas usia Yang bersekutu dengan alam, jaya Yang melawan alam, sirna Alam itu, bumi, langit, angkasa, panas api, dingin dan air Air Samodra Engkau memiliki empat sifat yang nyata : pertama, luas tak bertepi kedua, induk dari semua aliran anak sungai ketiga, hanya satu rasa-Mu asin keempat, tidak menyimpan sampah, kotoran, bangkai-bangkai, Engkau usir minggir. Daya guna air : Air berdaya serba guna bagi hidup Tanpa air, hidup akan berhenti bergerak Tanpa air, hidup tidak bisa berkarya Tanpa air, hidup pasti mati Lebih dari separoh, tubuh manusia berisi air. Manusia, pernahkah berpikir ? Manusia ibarat setetes dari air samodera Manusia bisa berkekuatan sehebat air setetes Yang menyatu dengan air samudera raya Jagad, bumi buwana kita, dua pertiga berisi air Sifat air adalah hadir dan mengalir Lentur dapat menembus ke semua sela Jika hanya setetes, air tidak banyak berdaya Jika setetes air, bersatu dengan samodra raya Air akan berdaya dahsyat kuat raksasa. Hidup itu bergerak lunak, lentur seperti air Tidak keras seperti batu Batu-batu bila bertemu dengan sesamanya Benturan dengan suara pintar Kepintaran yang sering membuat benturan Sama-sama kerasnya berkepala batu. Untuk itu, Mari menjadikan hidup kita lentur seperti air Hadir dan mengalir, membasahi, menyirami, membersihkan, menyejukkan, memadamkan kobar api kemarahan, merembes, menembus ke semua sela, menyatu dengan samodera kehidupan, menjadikan hidup berkekuatan dahsyat bayu raksa. Barang siapa semakin jauh meninggalkan yang asli alam, seseorang akan kehilangan daya tahan, hilang kekuatan sehat, hilang keharmonisan. *** ------------------(Oleh: Bhikkhu Dhammasubho) PARA FISUF memandang sembarang melalui teropong rasionalitas abstrak murni secara sestematis. Agama pun tidak luput dari peneropongan secara mereka. Ini hak dan tugas filsafat. Tentu saja agama, apalagi hidup religius pribadi yang lebih mendalam paling intim, tidak mungkin dapat dipahami lewat rasionalitas melulu, semurni apa pun. Derita batin, tawa-tangis manusia, keichlasan berkorban, kepercayaan, rasa bersalah, tekad untuk memulai lagi di atas puingpuing kegagalan, dengan tersenyum, juga cinta apalagi iman, jauh melampui batasbatas rasionalitas melulu. Namun toh ada manfaatnya kadang-kadang kita melihat fenomena agama dari mata filsuf maupun ilmuwan eksakta. Seperti kadang-kadang kita membaca buku psikologi anak-anak. Paling tidak sebagai bahan perbandingan atau rechecking. Dan lagi bukan-kah rasionalitas bisa menjadi panggung pijak bersama dari penganut sekian ragam agamawan. Karena nalar, paling tidak sebagai potensi (yang tentu saja belum pasti diaktualisasi) berstruktur universal. Filsuf A.N. Whitehed yang pernah disebut ”pemikir heroik yang memberanikan diri menantang singa-singa intelektualisme, materialisme, dan positivisme (termasuk sains dan teknologi), mengkatagorikan agama-agama dalam tiga bentuk tetapi ciri-ciri dasarnya sama: Yang pertama, agama yang citra dasarnya memandang Tuhan sebagai semacam Maharaja Imperial. Mahapenguasa Tunggal yang perintah-perintahNya harus ditaati mutlak, jika orang ingin sela-mat. Kategori kedua, punya citra Tuhan sebagai Sumber Awal dan Terakhir dari energi-energi moral dan etika. Yang Mahabaik Tanpa Cela, dan Yang Memberi dorongan dan kekuatan dasar demi sikap dan kelakuan yang baik, terpuji, menjauhi hal-hal yang jahat. Yang ketiga ialah, Tuhan selaku Prinsip Mutlak yang menjadi dasar mengapa segala sesuatu yang ada (bumi, langit, alam semesta beserta isi-isinya) dan yang terjadi ini masuk akal dan sah secara rasional. Ini Tuhan dari para pemikir dan filsuf. Namun juga dari kalangan sangat kaum intelektual, ahli sains dan teknologi. (YB. Mangunwijaya. Kompas, Senin, 20 Nopember 1989) Dua pandangan seolah bertentangan, tidak mungkin bisa bertemu, saling sorot, saling tentang dari ruang di dalam lubang sarang dahsyat mereka sendiri. Akan tetapi kedua-duanya juga selalu berdampingan di dalam banyak daya guna dan dunia, spiritualitas agama dan intelektualitas eksakta dari jaman ke jaman. Lebih hebat dan dahsyat dua pandangan kelimuan berbeda bertemu dan berperlawanan dalam satu benak yang terjadi pada satu badan dalam satu kehidupa yang sama fisikawan Stephen Hawking. Dengan bukunya tahun 1988 tampaknya dia memerima kemungkinan adanya seorang pencipta, dengan mengatakan bahwa penemuan sebuah teori yang komplit akan merupakan kemenangan akal budi manusia---karena kita akan mengetahui ”pikiran Tuhan.” Lain dengan dalam buku barunya The Grand Design yang ditulis bersama ahli fisika dari A.S., Leonard Mlodiniw. Tuhan tidak lagi mempunyai tempat dalam teori penciptaan alam semesta karena serangkaian perkembangan dalam fisika, kata Stephen Hawking, ilmuwan Inggris itu. Menurut Hawking, dalam sikapnya terhadap agama yang berbeda dibandingkan dalam bukunya A Brief History of Time, Big Bang hanyalah konsekuensi dari hukum gaya berat. ”Karena adanya hukum seperti gaya berat, alam semesta dapat dan akan menciptakan dirinya dari ketiadaan. Penciptaan spontan adalah alasan adanya sesuatu dan bukanya tidak ada, mengapa alam semesta ada. Mengapa kita ada. ”Tidak perlu pertolongan Tuhan untuk membuat alam semesta tercipta” tulis Hawking. (Kompas hal 10, Sabtu, 4 September 2010) Nama Galileo Galilei ahli astronomi Italia abad 17, yang pernah divonis oleh suatu dewan tinggi ahli agama Gereja Roma, karena dia mengajukan tesis, bahwa bukan matahari yang bergerak mengitari bumi yang diam, melainkan bumilah yang mengitari matahari yang diam, memperteguh teori Copernicus rahib Polandia yang lebih pagi menulis tentang planet-planet memutari matahari. (Y.B. Mangunwijaya. Kompas, Selasa, 7 Nopember 1989). Dari ketiga-tiganya pandangan agama-agama, tentu bervariasi macem-macem dari yang murni terang benderang sampai yang buram sangat mengakabut. Dan apabila ketika ditanya tentang adanya manusia, dan alam semesta beserta isi-isinya, dan apabila harus menjawabnya menurut bahasa agama do’a dan dogma. Soal adannya manusia, dan alam semesta beserta isinya, jwabnya sama, adanya adalah karena ”Ciptaan Tuhan”. Bahkan ”Tuhan” ditulis dengan tanda petik dan titik, berarti jawaban menurut bahasa agama do’a dan dogma tidak boleh diutak-atik. *** Pandangan Buddha Dalam sebuah catatan sejarah dapat ditemukan, dua puluh lima abad lampau di Tamnan Lumbini, kerajaan Kapilawastu (masuk wilayah Nepal sekarang). Dari keluarga Gotama raja Suddhodana dan permaisyuri Dewi Maya, seorang putra mahkota Pangeran Siddharta Gotama lahir, pada purnama bulan Wesak 623 S.M. Pertumbuhan dan perjalanan hidupnya, Siddharta mengembara dari waktu ke waktu melintasi dua lorong hidup ekstrem. Pertama, lorong ekstrem kemewahan materi duniawi seorang putra mahkota, dan kedua, lorong ekstrem menyiksa diri hidup dalam pertapaan di hutan Uruvelasenanigama selama enam tahun hampir saja Ia mati. Di penghujung perjalanan pengembaraan spiritual emperis penuh tesis, sintesis, antitesis, hipotesis melintasi dua lorong ekstrem. Dalam kesendiriannya yang mandiri, bermeditasi total secara intologi wadag dan rohani, dinaungi payung alam cakrawala sempurna, dihias bintang-bintang beterbaran di langit angkasa raya, dihibur suara burung-burung bersahut-sahutan merona mengharu kalbu, serta sayup-sayup terdengar desis semilir angin berirama seruling sunyi. Siddharta duduk bersila kaki bersilang posisi padmasana mudera di bawah rindang pohon Bodhi bersamadhi. Tepat pada purnama sempurna bulan Wesak 588 SM. Seberkas cahaya memancar terang mencerahkan lelaku bertapa Siddharta sampai pada titik simpul penemuan yang sejak jutaan tahun dicari melalui ribuan kali sirkular kelahiranya penuh tesis, sintesis, antitesis, hipotesis. Saat itu Siddharta sukses menemukan multiplechoice jawaban yang mudah bisa demengerti, bukan saja jawaban sulit dipahami, berupa jawaban yang hanya berdasarkan pasrah mentah-mentah pada kauasa allah guna menyelesaiakn sebuah masalah. Sangat cerah Siddharta bisa membaca bahasa bisik alam, mampu membuka kunci rahasia semesta, dapat memutar roda hukum kehidupan, menjadi seorang Buddha guru para dewa dan manusia, pembimbing semua mahkuk tiada taranya, patut dimuliyakan. Pokok pikiran dari ajaran dan anjuran Buddha; ”Dengan daya usaha benar seseorang mampu menciptakan kesenangan, kebahagiaan, ketenangan lahir batin tanpa berdampak penderitaan. Dengan cara, ”Anti kekerasan, tidak setuju dengan pembunuhan, tidak melakukan kejahatan, menambah kebajikan, membersihkan batin”. Cara yang lain, ”Menempatkan harga hidup di atas harga diri. Menempatkan harga diri, di atas harga materi. Memberi garis batas wilayah hukum dua dunia; dunia sekular dan dunia spiritual, meliputi hukum adat, hukum negara, dan hukum alam semesta, jelas.” Hingga harmoni kehidupan dapat amat terasa, meresap, menenteramkan. Mahkluk-mahkluk sekecil apa pun merasa aman tanpa terancam kehilangan hidupnya. Isi alam semesta gegap gempita berpesta raya turut menyambut sukses pertapa Siddharta Gotama menjadi Buddha. Genap usia 80 tahun Buddha Gotama mangkat, purnama bulan Wesak/Mei 543 S.M. Empat tempat peninggalannya, yaitu tempat kelahiran (Lumbini); mencapai pencerahah (Bod Gaya); tempat pertama Memutar roda hukum Dhamma (Varanasi); dan tempat wafat (Kusinara); masih dikunjungi ribuaan orang dari berbagai belahan dunia hingga saat ini. Bumi, langit, samudera raya menjadi saksi. Buddha mengajar selama 45 tahun, rata-rata setiap hari memberikan statemant 5-6 kali, diberikan di berbagai tempat dalam bermacam kejadian. Terdapat 84.000 judul kotbah yang disampaikan meliputi percakapan panjang, percakapan sedang dan syairsyair pendek. Setelah ajaran dihimpun dan disusun kembali sesuai isi dan kejadian pesan yang disampaikan dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok; Vinayapitaka, Suttapitaka, Abhidhammapitaka. Kelompok pertama Vinaya Pitaka; ditujukan untuk pedoman tata kehidupan bhikkhu. Yang membedakan hikkhu dengan kaum awam tata aturan kehidupannya. Bhikkhu terikat dengan 227 tata aturan kemoralan, menganut azas ”3 AT”; taAT, kuat tirakAT, selibAT. TaAT artinya, (patuh tata tertib peraturan yang diberlalukan hidup kebhikkhuan 227 sila kemoralan), kuat tirakAT (dalam 24 jam hanya makan 12 kali dari jam 06-12 siang waktu setempat, selewatnya tidak makan lagi tinggal minum ringan tanpa susu), dan selibAT (tidak menikah). Kelompok kedua Sutta Pitaka; memuat tentang tata hidup masyarakat awam, para negarawan, rohaniwan yang biarawan, dalam hubungannya secara vertikal, horisontal, dan internal (hubungan pribadi dengan yang maha suci; hubungan pribadi dengan sesama pribadi dan lingkungan, dan mengenal pribadi diri sendiri berwatak, berkelakuan). Kelompok ketiga Abhidhamma Pitaka, memuat tentang meta fisika, mekanisme batin dan cara berkerja pikiran. Ketiga-tiganya dihimpun menjadi satu Kitab Tipitaka (Pali), Tripitaka (Sankerta). Untuk selanjtnya Tipitaka menjadi kitab suci keagamaan Buddha. Buddha Gotama mengajar menggunakan tiga media bahasa. Pertama, bahasa lisan, kedua, bahasa tubuh atau tindakan, dan ketiga, bahasa simbol atau tulisan. Zaman raja Asoka (244 S.M), kitab agama Buddha Tipitaka mulai tituliskan di atas media buku kering—kertas, kayu, batu, logam, yang sebelumnya selalu diajarankan dengan media buku basah, berupa tradisi lisan dan tindakan. Ajaran Buddha dipraktekan manusia tanpa pandang beda status sosial, tingkat strata dan bangsa hingga saat ini. Menjalar keluar dari tempat penemuannya India dan menyebar ke bebagai penjuru dunia. Pernah pelajaran tentang hukum rahasia kehidupan, hukum perundang-undangan dilarang potong pohon ajaran Buddha Gotama menjadi pedoman hidup masyarakat secara turun temurun hingga ribuan tahun di Bumi Nusantara (di Jakarta juga). Setelah ganti agama, ajaran hukum tata kehidupan, hukum perundang-undangan dilarang potong pohon ajaran Buddha Gotama, sengaja atau tanpa sengaja dihilangkan, hutan-hutan bisa bebas ditebang. Tetapi tanpa dikira, akibatnya sangat terasa. Ekosystem lingkungan hidup, ekologi tata hukum kehidupan harmoni menjadi rusak berat, amat parah dibuatnya. Karena potong pohon tanpa dilarang, maka muka bumi menjadi gundul dan gersang. Karena bumni gundul dan gersang akibantnya “sumber-sumber mata air” mengering, menjadi kering kerontang, Karena “sumber-sumber mata air” mengering, menjadi kering kerontang, dampaknya panas bumi tak terkendali. Dari hari ke hari panas bumi semakin mendunia. Menjadi proyek modern problem sosial, pemanasan global (global warming). Dua ribu lima ratus (2500) tahun lampau kehadiran Buddha Gotama di muka bumi sungguh mengejutkan kaum mapan sebelumnya. Pandangan tentang adanya manusia dan bumi dari serba ”penciptaan” tunggal, segera ternyata terganti dengan paham baru, bukan penciptaan tetapi karena adanya ”mekanisme” proses bekerjanya hukum universal alam pandangan penemuan Siddharta. Secara utuh seluruh apa yang disampaikan Siddharta Buddha Gotama berupa ”pernyataan” dan bukan ”perintah atau ”larangan” yang bersifat situasional. Secara saintis Buddha menyatakan ”hidup” artinya gerak, ”kehidupan” adalah berkembang. Hidup dan kehidupan berarti ”bergerak dan berkembang”. Kelahiran mahkluk hidup bukan buah penciptaan yang maha pencipta melainkan proses bekerjanya mekanisme hukum sebab-akibat (hukum karma) yang melibatkan banyak aspek perpaduan unsur, dan bukan satu-satunya unsur sebagai aspek juru penentu. Bentukan-bentukan perpaduan bermilyar unsur energi dan materi tersebut, dapat disebut ”mahkluk”. Suatu mahkluk dapat dibagi menjadi dua, yaitu mahkluk hidup— bergerak, dan makluk mati—benda-benda tidak bergerak. Mahkluk hidup dibagi menjadi dua, yaitu mahkluk hidup (padat) Manusia, Hewan, Tumbuh-tumbuhan, dan yang kedua, mahkluk hidup (halus) terdiri dua jenis, yaitu; mahkluk halus para Dewa energi tinggi, bertempat tinggal di 26 tingkat alam surga. Adapun mahkluk halus energi rendah adalah para mahkluk Peta (setan/syaiton), bertempat tinggal di 50 lapis alam neraka. Yang menyebabkan mahkluk terlahir di alam surga buah tindak kebajikannya, dan menyebabkab terlahir di alam neraka akibat tindak kejahatannya. Oleh karena kebajikan dan kejahatan dilakukan seseorang tidak sama bersanya, maka surga harus banyak, dan neraka harus lebih dari satu. Sebab, apabila surga hanya satu dan berlaku untuk orang-orang yang berbuat baik banyak atau pun orang-orang yang berbuat baik sedikit surganya sama, maka bagi yang berbuat baik banyak, dirugikan. Sebaliknya apabila hukuman neraka diberlakukan untuk penjahat besar maupun penjahat kecil siksanya sama, dijatuhkan di alam neraka yang sama (karena neraka hanya satu), perlakuan hukum seperti itu hukum hakim tidak adil. Itu sebabnya, kata Buddha dalam Kitab Peta Vattu, oleh karena kebajikan dan kejahatan dilakukan seseorang tidak sama bersanya, maka surga 26 tingkat, dan neraka 50 lapis. Dalam kitab Mahaparinibbanasutta Buddha menerangkan proses terjadinya kelahiran mahkluk-mahkluk. Terdapat empat system mekanik hukum universal alam bekerja, pertama, kelahiran melalui kandungan; kedua, melalui bertelur; ketiga, melalui kelembapan; dan keempat, melalui spontan. Jenis keempat spontan hanya berlaku pada kelahiran para mahkluk halus dewa dan peta/syetan. Kelembapan, berlaku bagi pembiaakan jentik, jamur, bakteri serangga teretentu, dan sejenisnya. Adapun binatang tidak berkaki, berkaki dua; berkaki banyak, menetas melalui bertelur. Sedangkan hewan-hewan berkaki empat dan berdaun telinga lahir melalui kandungan. Dan mahkluk manusia lahir melalui rahim Ibunya. Diterangkan pula, komposisi mahkluk hidup manusia terdiri dari dua bagian, bagian badan jasmani, dan bagian batin rohani. Batin merupakan perpaduan dari empat unsur daya, yaitu; daya tangkap aroma, rupa-rupa warna, suara melalui pintu-pintu indriya; kedua, daya serap rasa melalui indra perasaan; ketiga, daya cipta melalui imajinasi pikiran, dan keempat, daya ingat melaui kesadaran. Bagian badan jasmani merupakan perpaduan empat unsur, yaitu; unsur tanah (patavi), unsur api (tejo), unsur angin (wayo), dan unsur air (apo). Bijja Niyama—adalah hukum cosmos tertib alam, tentang biji-bijian organik. Mempunyai system proses bekerja universal. Kelahiran manusia tunduk pada hukum Bijja Niyama bekerja. Melalui media alam menjadi sebab terjadinya suatu kelahiran mahkluk hidup manusia, hewan dan pembiakan tumbuh-tumbuhan. Apabila melalui mediasi yang sesuai bertemu di suatu waktu dan bekerja dalam tempo 2 x 24 jam, akan terjadi kelahiran mahkluk hidup manusia baru. Mediasi empat unsur penyebab terjadinya kelahiran mahkluk hidup manusia yang dimaksud, adalah; Unsur pria (spirma), Unsur perempuan (ovum), Unsur masa subur (temperatur), Unsur energi alam; terdiri dari unsur, Tanah (Patavi---(Pali), Pratawi—(Snkt.), Pertiwi---(Ind.), Api (tejo), Angin (wayo (Pali), Bayu (Snkt), dan Air (apo). Badan jasmani kita 2/3 berisi air. Dalam tata hidup dan kehidupan manusia di muka bumi, Buddha Gotama tidak memilah dan memilih-milih manusia berdasarkan kesukuan, kebangsaan. Tidak memihak pada bangsa terplih, atau bangsa terkutuk seperti pahan Hitlerism. Tidak memberlakukan umat pengikutnya dengan diskriminasi yang dianggap kafir minggir. Juga tidak membedakan pelayanan berdasarkan rasis, color kulit dan klaster-klaster. Melainkan menganjurkan dan mengajarkan agar menjadi manusia yang Pinter, Bener, Kober. (Pandai, Taat hukum, dan Berpeduli). Mengingat pada hakikatnya manusia terbentuk dari bahan baku tunggal sama, dari unsur tanah, angin, api, air, yang sama milik alam semesta. Kita semua bersaudara, artinya kita semua berasal dari ”satu udara” yang sama. Hingga seseorang bisa dan mau saling tolong menolong, bukan saling tolong menyolong? Pandangan Kaweruh Kejawen Dipertanyakan mana duluan, paham Buddhis atau Kejawen. Keduanya mirip sama pandangan. Dalam sebuah penuturan kisah sejarah yang amat kuno (aku durung ono (Jw.), ditemukan bukti-bukti sejarah, bahwa agama Buddha sebagai sandaran spritual agama raja dan rakyat, pernah menjadi sabuk pengikat masyarakat selama seribuan tahun di Tanah Jawa, Nusantara, hingga dinasti Madjapahit surut. Setelah seribu (1000) tahun, suku Sakya (Buddha) dan suku Drawida (Hindu) beranak pinak, turun temurun membangun peradaban dinasti di Nusantara. Dinasti Madjapahit surut abad 15. Diberbagai daerah yang pernah menjadi wilayah Madjapahit agama Hindu, agama Buddha ikut surut, kemudian memasuki babak sejarah baru. Terdapat beberapa versi tentang agama kedua yang masuk, yaitu agama Islam. Dan Islam Abangan terbentuk. Berikut disusul agama Katolik masuk, Kristen Jawi Wetan terbentuk. Pertama, penganut sepenuh-nya fanatik agama baru, dengan extrem menolak agama lama yang lain. Kedua, sementara dengan alasan tertentu kompromi mau menerima agama baru hanya saja dengan istilah indah baru yang dibuatnya sendiri. Ketiga, sedangkan kaum militansinya secara radikal menyangkal dan menolak agama baru, tetap kukuh, bersiteguh dengan agamanya yang lama meskipun harus terusir minggir jauh ke daerah pedalaman-pedalaman dan terpaksa mengasingkan diri asal aman. Setelah tinggal jauh di pedalaman dalam kurun waktu yang sangat lama, akhirnya membentuk komunitas suku-suku tersendiri. Seperti yang dikenal sekarang, di Jawa Barat suku Badui, Jawa Tengah suku Samin, Jawa Timur suku Tengger, Sulawesi Selatan suku Kajang, Sulawesi Tengah Suku Kaely, Sulawesi Utara suku Sanger, Kalimantan suku Dayak Kaharingan, Sumatera suku Karo, Bali suku Bali Age, Lombok suku Sasak (yang mungkin saja, ini hanya kemungkinan, bahkan tidak hanya kemungkinan, tetapi bisa jadi, kata ”sasak” berasal dari kata ”terdesak”). Orang Sasak pedalaman di Lombok rata-rata menganut Agama ”Wetu Telu”. Meskipun ”Wetu Telu” di Bayan, lain dengan ”Wetu Telu” Senaru, yang menurutnya berasal dari kata ”Wet, Tiu, Telu/Talu”. Apabila ditafsirkan kedalam bahasa Indonesia, kata Wet (hukum (bhs. Belanda), Tiu (tumbuh), dan Talu (bertelur, menganak, melahirkan). Isi intinya kepercayaan ini, adalah wajib merawat, mejaga kelestarian hidup tumbuh-tumbuhan, hidup binatang-binatang bertelur, dan hidup hewan bunting dan melahirkan anak, maupun hidup manusia yang melahirkan, dan dilahirkan dari rahim. Meskipun Islam Wektu Lima tidak sepaham dengan Wetu Telu, tetapi pada kehidupan sehari-hari bisa berdampingan. Selayaknya di Jawa dikenal sebuah istilah Islam Putih, Islam Abangan, kaum Kejawen, Orang Kebatinan. Semua itu, terjadi setelah masa peralihan dari jaman Madjapahit, agama Hindu dan agama Buddha yang telah menjadi keyakinan rakyat dan raja selama 1000 tahun, disesak oleh masuknya agama Islam. Muncul kemudian penganut dari agama lama, dengan tiga istilah keagamaan baru, agama Wetu Telu (Sasak), Dan di Jawa muncul istilah indah Islam Abangan, Kaweruh Kejawen, Ilmu Kebatinan. Agama lama yang tidak lagi diajarkan kepada geneasri secara terbuka, melainkan dihafal secara lisan dan dipraktekan dalam tindakan sehari-hari. Bagian-bagian inti isi penting sulit-rumit mendalam yang lain hanya dibatin-batin, setelah sekian lama tahun berlaku dan berlalu dikenal menjadi ajaran ”kebatinan”. Artinya ajaran yang mencerahkan batin, diturunkan kepada perkumpulan murid, oleh guru yang kwalitas batinnya hening, bening, suci, sunyi, bersih tanpa noda. Guru kebatinan pada jaman itu benar-benar, bersih dari tiga macam catat; tidak cacat sosial, tidak cacat moral, tidak cacat spiritual. Karena itu pantas menjadi panutan hidup harmoni dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan harmoni dengan lingkungan. Selaku guru Ilmu Kebatinan, Kaweruh Kasepuhan, Kaweruh Sangkan Paran Ajal Kamulyan, Sangkan Paraning Dumdi yang mengajarkan asal usul hidup dan kehidupan, berikut terjadinya, dan perjalanan mahkluk-mahkluk setelah kematian. Di dalam setiap sarasehan dibahas, bahwa manusia itu terdiri dari dua bagian; ”Badan jasmani dan Badan halus rohani”. atau Nama, Rupa (bhs. Pali, istilah Buddhis), dan Badan wadag, Badan Rohilapi (istilah Kebatinan). 1. ”Badan jasmani” berasal tunggal, dari bahan baku yang sama; o Bumi, Geni, Angin, Banyu (Jw.), Tanah, Api, Angin, Air (Ind.). (Patavi, Tejo, Wayo, dan Apo (Pali). o Dumadining kalahiran lumantar lakuning roda penguripan, ubenging cokro manggilingan. Kintir Gumilir Liwat Bopo, Biyung, Kaki, Nini. (terjadinya kelahiran lewat jalannya roda hukum kehidupan, berputar ulang, mengulang lewat media, Ayah, Ibu, Kakek, Nenek). o Kagontho Cipto Roso Cahyo Ponco Warno; Abang, Putih, Ireng, Kuning, Moyo-moyo. Abang ciptaning roso soko Biyung, Putih soko Bopo,Kuning soko Nini, Ireng soko Kaki. (terbentuk, cipta rasa lima warna; Merah, Putih, Hitam, Kuning, Jingga. Merah cipta rasa dari Ibu, Putih dari Ayah, Hitam dari Kakek, Kuning dari Nenek). o Manunggaling dhat kiblat papat limo pancer, Wetan—kawiwitan, kulon— kelakonan, kidul---kabul dinudul, lor---lahir, tengah----lungguhe urip. (Bertemunya daya dari empat arah, lima di tengah-tengah, artinya---asal muasal sinar memancar dari timur, barat mulai perjalanan, selatan proses pertumbuhan, utara terjadinya kelahiran, bertemu menyatu di tengah terwujudnya mahluk hidup dan kehidupan). o Dumadining maujud manungso, badan sepoto, sedulur papat, limo pancer enem nyowo, pitu pengeran, siji kang ngungkul-ungkuli, jejering ngaurip. (Terjadilah wujud badan manusia, empat, lima pintu indriya, ke enam gerak hidup, ke tujuh, daya kekuatan yang menjadi sumber kehidupan). 2. ”Badan halus rohani” terdiri dari, Sejatining Roso, Cipto, Budi, Karso, (Jw). Vedana, Saññya, Sankhara, Viññyana (Pali), atau Daya tangkap, Daya serap rasa, Daya cipta pikir, Daya ingat kesadaran (Ind.). Apabila semua pribadi dapat menembus hakikat pengertian hidup sejati, siapa pun akan sadar arti jati dirinya sendiri, dan akan tahu arti tepo seliro. Tepo = tepak, ukuran. Seliro = awak, badan. Dus, tepo seliro artinya akan tahu mengerti inti isi posisi diri sendiri, dan tahu diri orang lain. Tidak perlu lagi membeda-bedakan diri dengan membuat wadah mengkotak-kotak petak, satu sama lain, kaya atau miskin. Karena ternyata para manusia semua itu sama-sama titah Allah terbuat dari bahan baku yang sama dipinjam dari milik alamiah semesta. “Manungso iku dumadining tanpo bedo, satuhune tunggal jiwo, tunggal roso. Mulo ajo gemendung adigang, adigung, adiguno. Sok kuwoso, rumongso biso, nanging ora biso romongso”. (Manusia itu terjadinya tidak berbeda, sebenarnya tunggal jiwa, tunggal rasa. Maka jangan mentang-mentang besar, dan pembesar. Hanya merasa berkuasa, tetapi tidak bisa merasa). Yang membedakan manusia satu dengan yang lain tingkat cara berpikiran, ucapan dan perbuatannya sebagai pribadi yang baik atau pribadi yang buruk. Diukur dari azas manfaat, apakah bermanfaat buat diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Semakin besar bermanfaat positif baik diberikan, semakin berharga arti keberadaan hidupnya manusia. “IQ jongkok (amat bodoh), Kere klemprakan (melarat, kesrakat) sekalipun” selama sebagai orang baik dan dapat bermanfat hidupnya masih berharga. Ibarat kemana pun ia pergi akan dihargai oleh sesama. Adapun yang membedakan manusia dengan hewan adalah perilaku. Maka jika manusia jiwa dan perilakunya seperti hewan, serta merta oleh masyarakat seseorang dipredikati atau di-juluki “menungso sikile papat” (manusia berkaki empat). Demikian pandangan, wejangan guru ilmu kebatinan, kaweruh kejawen. Guru yang berkwalitas batin hening, bening, sunyi, suci, bersih tanpa cacat. *** Pandangan Benar Budaya dan Manusia Kata ”Benar” sinonim dengan kata ”Betul”. Akan tetapi setelah diuji kelayakan menurut ukuran dewan makna, kedua kata ”benar” dan ”betul” sungguh mempunyai arti yang amat jauh berbeda. Sangat tergantung situasi dan kondisi. Pada situasi tertentu dalan sebuah persoalan berlaku hukum ”kebetulan” bukan ”kebenaran”. Misalnya; ”kebetulan” mampu membayar sejumlah uang, maka ia, di meja sidang pengadilan menang. Normal dan sangat wajar bila setiap orang mengatakan pandangannya lah yang benar, bahkan paling benar. Akan tetapi tidak setiap orang mengukur pandangannya dengan benar. Justru karena itu, pandanganya yang semula dinyatakan sebagai kebenaran positif, sesaat kemudian menjadi pandangan salah berdampak sistemik beruntun turun temurun negatif. Untuk itu sebuah kebenaran harus diukur dan diuji dari empat sisi pandang secara benar, yaitu; benar untuk diri sendiri, benar untuk orang lain, benar untuk diri sendiri dan orang lain, dan keempat, benar untuk lingkungan. Setelah lolos uji dan benar-benar clear, semua pihak bisa menerima kebenaranya dan tidak ada lagi pihak-pihak yang masih menolak. Itulah ”kebenaran” yang sebenarnya benar. Bukan ”kebetulan” yang sengaja ”dibetul-betulkan”. Status seseorang memang tidak mungkin bisa dibuat sama tingkat sosial ekonomi, pendidikan, kecerdasan, pangkat kedudukannya. Tetapi ada satu hal yang sangat mungkin bisa dibikin sama, yaitu cara berpikir pandangan benar. Pandangan yang telah lolos uji dari empat sisi pandang, terbukti mampu menembus batas-batas nusa, manusia, bangsa, budaya, agama, yang berbeda-beda sekalipun, menjadi harmoni di banyak peradaban. Bersama Budayawan W.S. Rendra, Bhikkhu Dhammasubho suatu ketika berbicara tentang budaya dan me-manusia-kan manusia dalam pandangan benar. Manusia (Ind), Menungso (Jw), Manusa (Pali). Dalam kamus bahasa Pali sebuah kata manusa dirinci menjadi dua suku kata ”mano” dan ”usa”, artinya; mano (pikiran) dan usa (tinggi). Manusia salah satu jenis mahkluk yang berdaya pikir tinggi. Karena itu bagi pikiran yang diberi kesempatan berkembang, bisa menjadi manusia berpikiran indah-indah, cerdik, cerdas, pandai secara positif sungguh baik luar biasa mengagumkan, dan sebaliknya bisa menjadi berpikiran buruk, jahat, licik, secara negatif sungguh bahaya yang berpotensi menghancurkan. Pikiran seperti air. Secara alamiah air lentur hadir mengalir kesemua sela, sedikit menjadi becek, banyak menjadi banjir, merusak semua yang ada. Air mempunyai tiga sifat dasar; pertama menolak, kedua menerima, yang ketiga tidak peduli. Ketiga sifat dasar tersebut bila dibiarkan air akan bergerak liar tidak bermanfaat. Akan tetapi apabila air dituntun diatur dibendung dialirkan secara teratur, dibuatkan saluran irigasi dapat bermanfaat buat pertanian, dibuatkan teknologi mesin dapat bermanfaat untuk membangkit tenaga listrik. Pendekkata, singkatnya ”Air” sangat memberi manfaat sungguh luar biasa mengagumkam pada alam dan kehidupan sepanjang jaman. Air sama halnya dengan pikiran, bila pikiran dibiarkan berkembang apa adanya, tanpa usaha aturan positif sesuai dengan tuntunan moral beradab kemanusiaan. Pikiran akan berkembang bersifat menolak terlalu keras menjadi kebencian, mengharap menerima terlalu banyak menjadi keserakahan, dan jika dibiarkan tanpa peduli sama sekali menjadi kedunguan. Sebaliknya apabila pikiran dituntun dengan aturan kemoralan, kemanusiaan, gemar memberi, memiliki moral yang baik, mempunyai pengendalian diri. Sungguh pikiran menjadikan manusia berdaya guna tinggi dan berharga di mana berada. Manusia yang didominasi tiga sifat berpikir keserakahan, kebencian dan kedunguan akan menjadi berpandangan sempit, seolah di ruang gelap tertutup ketidak tahuan. Tidak tahu membedakan mana kebajikan yang mencerahkan dan mana kejahatan yang menghancurkan. Sehingga kalaupun bertindak, perbuatannya sering menimbulkan sebab-sebab bencana yang merusak sendi-sendi keharmonisan hidup berbangsa, bernegara dan beragama. Sebaliknya, manusia yang dituntun dengan sifat-sifat pikiran cerdik, cerdas, pandai secara positif penuh kebajikan dan iman sesuai azas kebijaksanaan (wisdom), hingga menjadi berpikiran peduli dan mampu membina hubungan sosial kemasyarakatan secara horisontal, membangun tata hubung spiritual ke-esa-an secara vertikal yang harmoni. Ia akan tumbuh berkembang sebagai manusia beradab, berkemanusiaan, bekebajikan dan beriman di manapun berada, berdharma bhakti pada nusa bangsa, negara, dan agama. Tanda manusia berhati hening, ”Air Muka” di wajahnya ”bening” bersinar terang, tidak kusut berkerut-kerut-keriput. Menyatakan dirinya terbaik, tidak dengan mengatakan yang lain jelek ! Sebagai manusia dengan daya budaya berpikir cerdas, berwawasan luas dan memiliki pengertian mendalam akan menjadi sadar bahwa pada dasarnya mahkluk hidup manusia yang hanya berukuran ”satu depa” itu terdiri dari dua bagian, yaitu; bagian jasmani dan rohani. Terdiri dari perpaduan bahan baku tunggal sama. Badan jasmani terdiri dari perpaduan empat unsur, yaitu; unsur tanah, unsur, air, unsur api, dan unsur angin (bumi, geni, angin, banyu). Rohani batin terdiri dari perpaduan empat daya, yaitu; daya tangkap melalui pintu-pintu indriya, kedua daya serap melalui perasaan, ketiga daya cipta melalui pikiran, dan keempat daya ingat melalui kesadaran. Seseorang semakin baik kesadarannya semakin tajam daya ingatnya. Kesadaran yang baik mampu menserap dan merenungkan makna sebuah kata pepatah ”giri lusi---giri=gunung, lusi=rumput”. Artinya, setinggi-tingginya rumput di atas gunung, di atasnya lagi masih ada mendung. Ingat bahwa di dunia ini yang sudah pada posisi tinggi pun, masih ada lagi yang lebih tinggi. Puncak kesadaran agung yang dicapai melalui sebuah pencerahan, sadar bahwa yang paling tinggi hanya satu, yaitu ”hukum abadi yang tidak pernah berubah, berada sangat dekat, mengundang untuk dibuktikan.” Apabila dan bilamana demikian pencerahannya seseorang menjadi tidak sombong. Sadar akan keberadaan dirinya tidak sendiri, tetapi ada yang lain. Semata-mata tidak tergantung pada satu daya kekuatan secara individual, melainkan saling bergantungan satu sama lain secara plural. Hingga mau bergandengan tangan membentuk muzaick kehidupan bercorak warna-warni indah. Banyu Purwitosari Diantara organ tubuh paling banyak disebut sesuai jenis dan fungsi adalah AIR, yang lain tidak. TANAH, API, hanya disebut satu kali, angin dua kali saja; ”ANGIN atau UDARA”. Atau dalam tradisi kaum yoga, para yogi mempunyai istilah indah berkait dengan angin, tersendiri ”makan ANGIN”. Oleh karena segerta ternyata dan sebenernya ”Angin atau Udara” yang bersih tidak polusi mempunyai kandungan energi postif baik sehat dibutuhkan bagi tubuh. Artinya para pertapa, kaum yogiwan, orang yang sedang menjalani puasa ringan Senin-Kemis total 24 jam, puasa berat total 72 jam (puasa ngebleng empat puluhan tiga hari tiga malam tanpa makan, minum selama 72 jam). Akan tetapi, dengan hanya dapat menghirup udara bersih tidak polusi, bisa kuat bertahan menjalani puasa tanpa minum air, tidak makan padat, cukup dengan istilah indah, hanya ”makan angin”. Dibenarkan bahwa badan jasmani kita 2/3 berisi air. Tergantung konteks budaya dan manusia bersangkutan AIR diucapkan secara bahasa konvensional sesuai fungsi. Yang kita kenal saja sesuai fungsi dan warna dalam tubuh, istilah bahasa ”kedokteran” atau bahasa ”pedukunan” sehari-hari AIR disebut; Water (Ing), Yeh (Bali), Tirta (Sknt), Apo (Pali), Banyu, idhu, iler, umbel, uyuh, kopok, blobok / eluh, dan getih, (Jw. ngoko rakyat), atau darah merah, darah putih, getah bening, ingus, air pahit empedu, air liur, air mata, air keringat, air kencing, dan ASI (air susu ibu), (Indonesia.). Masih dengan istilah indah tersendiri dalam dunia industri, sesuai fungsi ”cairan air” biasa disebut ”minyak / oil”, yaitu; minyak goreng, minyak tanah, bahan bakar minyak (BBM), minyak wangi, minyak kayu putih, minyak tawon, minyak ikan duyung. Dan kaum ningrat priyayi dengan istilah indah khusus tersendiri dalam bahasa kromo inggil Jawanologi mengistilahkan, banyu purwitosari, tirto kamandanu (padahal spirma lah masudnya, sebab diucapkan pejuh amat tabu dilarang sebut, dianggap tidak santun dan kasar bila diucapkan). Sedangkan sebagai menurut bahasa ilmiah kimiawi kedokteran AIR disebut H2O. Fungsi air dalam hidup dan kehidupan adalah, membasahi, menyirami, mencuci, melunak-lembutkan, dan menghidupi. Dalam dunia spiritual air berfungsi sebagi media saving energi (menyimpan kekuatan tenaga dalam) saat ucapara pemberkahan. Air yang telah di upacarakan, umat, masyarakat menyebutnya ”air berkah.” Dayaguna air berkah, diyakini mengandung kekuatan tertentu dan tersendiri tidak tampak. Terdapat banyak kisah goib ajaib, penyembuhan alternatif berkaitan dengan kekuatana air berkah. Dua puluh lima (25) abad lampau dapat dijumpai sebuah kisah tentang air berkah raja Vaisali, India (560an S.M). Dikisahkan; ”...Karena dilanda kekeringan di mana-mana seluruh wilayah negeri. Berakibat timbulnya bencana alam, wabah penyakit, dan musibah kematian. Banyak penduduk meninggal dunia secara masal, dan lahir menjadi mahkluk halus kelaparan, roh gentayangan yang menimbulkan energi negatif, berpengaruh pada suasana alam kehidupan nyata tidak nyaman. Berdampak menjadi wabah penyakit phisik maupun mental yang mengganggu masyarakat. Raja mengundang Sang Buddha datang ke istana guna memberi saran ruwatan apa yang musti dilakukan demi pemulihan suasana alam aman, gangguan kejiwaan masyarakat bisa pulih hidup tenteram. Buddha berkata, mantra-mantra paritta, yang dibacakan dengan baik dan benar membawa manfaat berkah utama tiga macam, yaitu; bisa menjadi obat pensembuhan, menciptakan ketenangan lahir batin dan lingkungan, dan ketiga memperpanjang umur kehidupan. (Bayangkan..... semua jenis kehidupan yang mengalami gangguan stress berat cepat sekali mati). Akan tetapi mantra-mantra paritta akan hilang daya kekuatan disebabkan tiga hal, tidak mempunyai keyakinan, timbul keragu-raguan, dan akibat karma buruk masa lampau terlalu berat. Karena itu, agar mantra-mantra paritta, tetap mempunyai daya, maka cara membaca mantra-mantra paritta, harus dengan penuh keyakinan, full energi menunggal cipta, budi karsa dan rasa, dan didukung banyak puja dana amal kebajikan. (misalnya, menyelamatkan nyawa mahkluk hidup, menolong penderita, melepas hewan yang tertangkap maut agar terlepas dari pembunuhan). Raja dan rakyat melakukan puja bakti, mempersembahkan puja dana sesuai tradisi sesaji, budaya puja masyarakat setempat (semacam upacara ruwatan, selamatan bersih desa). Buddha datang mengajak para bhikkhu melakukan blessing, pemberkahan. Dengan cara, menggunakan media air dibacakan mantramantra paritta suci spiritual keagamaan. Selanjutnya air yang sudah dibacakan mantra-mantra paritta, digunakan sesuai kebutuhan, diminum, dipancarkan di tempat-tempat yang terkena gangguan. Konon tidak lama kemudian, keadaan masyarakat pulih tenteram, energi alam kembali bersinar cemerlang, 560 S.M. (Ratanasutta, Sutta Pitaka.) ---------------------------------------------------------------------o Di Indonseia, Kasus serupa wabah di kerajaan Vaisali, India, pernah terjadi. Kejadiannya, pasca peristiwa Sambas, Kalimantan Tengah. Suasana mencekam setelah terjadi pembantaian massal warga Madura sebagai korban. Lantaran warga Madura asal pulau Madura, Jawa Timur, yang datang merantau dengan gaya pola pikirnya sendiri, dan tidak tahu diri secara manusiawi, berkelakuan terhadap suku Dayak di Kalimantan Tengah. Akibatnya berujung kemarahan suku Dayak memuncak. Puncuk pimpinan kepala suku dayak pedalaman turun gunung dan muncul di permukaan dengan pedang sakti berayun-ayun. Pertempuran tak dapat dihindari beratus-ratus leher warga Madura putus. Suasana sangat mencekam, siang dan malam hari keadaan kota sepi, sunyi, senyap, gelap tanpa cahaya, warga berhenti beraktifitas, aparat kehilangan daya. Baru, setelah pemerintah berindak tegas, deklarasi perjanjian damai dikumandangkan. Isi-inti warga Madura harus tau diri, suku Dayak mau mengampuni. Berikut diselenggarakan pemberkahan ”air suci” menurut upacara adat tradisi Dayak. Segera, tidak lama kemudian suasana aman pulih kembali normal, hati rakayat pulih tenang hidup tenteram, alam lingkungan, desa, kota, kembali bercahaya cemerlang terang benderang. (Sampit, 2000-2001). ---------------------------------------------------------------- Tradisi blessing menggunakan media air masih dikenal, bahkan semakin terkenal dilakukan masyarakat sesuai tradisi sesaji, budaya puja agama-agama hingga sekarang. (Kitab Vacana Pali, Ratana Sutta, buku paritta suci Sangha Theravada Indonesia (1980). Tradisi rakyat setempat soal ”ngalap air berkah” dalam kepercayaan agama non agamaagama dapat dijumpai di berbagai wilayah budaya bangsa manusia di Indonesia. Misalnya; Belum lama lalu, ribuan masayarakat dibuat terperanjat datang dengan nekat chidmat oleh AIR PONARI, di Jombang Jawa Timur (Januai 2009). Ponari, anak berusia kelas SD tiba-tiba menjadi kisah yang menambah isi lembaran sejarah masyarakat pengalab air berkah, lepas dari kajian secara ilmiah. Tetapi terbukti setiap hari hingga berhari-hari dapat dibaca di halaman berita media cetak, dan dapat dilihat dari tayangan televisi. Ribuan masyarakat datang ke Jombang ratarata untuk ”ngalab air berkah Ponari”. Yang diyakini bertuwah penyembuh murah Di Sumber Sendang Sono (mata air di bawah pohon Angsana), di perbukitan tandus sepanjang jaman berlokasi di daerah masuk wilayah kecamatan Salam, Borobudur, Jawa Tengah. Acara ngalap air berkah mentradisi dan membudaya di kalangan masyarakat (bukan saja umat agama Katolik merayakan misa). Lebih seru lagi, Sumber air berkah di lingkungan Candi Agung Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan juga diyakini bertuwah. Berbotol-botol setiap hari dibawa pulang oleh masyarakat adat Dayak Kaharingan. Hingga umat Muslim gedongan yang walaupun sudah pernah mendapat ”barokah air Zam-Zam” dari Mekah. Tetapi toh masih mau juga dengan air berkah, dari sumber mata air di lingkungan Candi Agung Amuntai buat digunakan berbagai keperluan. Air berkah ”Mbah Pradah”, di kecamatan Lodoyo, Blitar, Jawa Timur, menjadi event keramat tanggal 12 Syuro setiap tahun. Ribuan rakyat, pejabat kaum birokrat, hingga bupati datang berduyun-duyun dan rukun. Berjalan berlutut nomer urut, antre guna mendapat AIR BERKAH MBAH PRADAH, air yang telah digunakan untuk memandikan pusaka berupa Gong Kyai Pradah (Mpu Baradah), dan beberapa wayang kayu, peninggalan kerajaan Kediri kuno. Ngalab air berkah kirab kraton Solo, adalah ”kirab pusaka keraton yang diiring dalam satu perjalanan bersama kerbau albino kyai Slamet” Solo. Setiap acara kirab tiba, bagi yang merasa dirinya titah allah dan bertumpah darah (terlahir) di bumi wilayah Surakarto Hadiningrat, merantau dimana pun berada, mereka merasa perlu pulang. Perjalanan kirab pusaka (prosesi keliling kota), terjadi pada tanggal 1 Syuro. Pelaksanaan upacara adat kraton dipimpin oleh dewan adat pejabat istana di bawah Parentah Sampeyan Dalem Hengkang Sinuwun Sri Susuhunan Pangarso Siti Hinggil Surokarto Hadingrat yang berwenang, jam 12 tengah malam dimulai. Arak-arakan terdiri dari para punggowo abdi dalem dan krabat kraton, nayoko projo (pegawai istana), dengan khidmat mengikuti prosesi keramat berjalan tanpa alas kaki mengusung pusaka jimat-jimat. Dengan anglo pedupaan menyala kemenyan menebar aroma sakral kepulan asap putih tanpa henti. Rombongan berjalan di belakang sekawanan kerbau, dan kerbau yang dianggap keramat adalah seekor kerbau albino (belang bule) ”kyai Slamet.” Sepanjang lorong-ruas jalan yang dilalui rombongan kirab, di tepi kanan-kiri jalan ribuan masyarakat berdiri, yang lain duduk-duduk sambil mengantuk, sabar menunggu hingga prosesi lewat, mereka baru bubaran. Dan yang paling ditunggutunggu oleh ribuan masyarakat pengharap berkah adalah berkah si kerbau albino kyai Slamet, manakala dalam perjalanannya keliling kota ini kerbau albino kyai Slamet berkenan membuang kotoran (tlethong), atau kencing. Konon kalau kotoran tlethong dan ”air kencing” sang kerbau albino kyai Slamet menjadi rebutan. Jangan dibantah, tidak boleh dipersalah, sebab ini serius, ”air kencing” dan tlethong kebau albino kyai Slamet diyakini membawa berkah bertuwah. *** Akhir kisah, bahwa segerta ternyata tentang AIR BERKAH sudah dikenal sejak jaman sangat dahulu. Tradisi blessing menggunakan media AIR sejak ribuan tahun lalu dilakukan, masih dikenal, bahkan semakin terkenal dilakukan di lingkungan masyarakat masa kini, sesuai tradisi sesaji, budaya puja agama-agama sekarang. Tesis hopotesis secara saintis Doktor Marimotto tentang air, diakui sah masuk dalam wilayah kajian ilmiah abad modern paling kini, bahwa air berlaku sebagai media saving energi sesuai pesan negatif atau positif diberikan, disimpan. Oleh air ditampilkan berupa partikel-partikel disajikan kembali berdampak negatif, positif kepada para penggunanya. Inti isinya, pesan Thematik Seminar Tentang Air Dan Kehidupan Dalam Naskah Kuno Nusantara, Air dan Hidup Manusia Secara Saintis Dalam Pandangan Agama Buddha. Hendaknya dapat kembali dipahami, bahwa hidup mahkluk jenis apa pun, manusia, hewan, binatang, pepohonan, tumbuh-tumbuhan, tanaman, tanpa air pasti mati. Untuk itu, manusia secara etis, estetis, saintis, maupun tradisi budaya dogma do’a agama, harusnya sadar, dan musti hati-hati, tahu mengerti cara menjaga, merawat kelesatarian lingkungan tetap hidup agar sumber air tidak berhenti mengalir. -o0oOleh : Bhikkhu Dhammasubho Artikel disajikan pada Seminar Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Jakarta, 5-6 Oktober 2010 Buku-buku bacaan: Dhammasubho Bhikkhu, 2004, Harta Karun Yang Tertimbun I, Malang; Seni Harta Karun Yang Tertimbun II, 2009, Jakarta. ---------- Bhikkhu Dhammasubho, meghadiri dalam berbagai penyelenggaraan upacara adat, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Fisika Tuhan dalam Buku Stephen Hawking, Kompas hal 10, Sabtu, 4 September 2010 Kusaladhammo Bhikkhu, Illustrated Chronicle of the Buddha, Kronologi Hidup Buddha 2006, Ehipasiko, Jakarta Kitab Vacana Pali, Ratana Sutta, 2005. buku paritta suci Sangha Theravada Indonesia Jakarta Kencana S. Pewali, 1992. Tata dan Kesetiakawanan Sosial Dalam Ungkapan Tradisional Daerah NusaTenggara Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Diretorat Jenderal Kebudayan, Diretorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilia Buadaya. THE COMENTARY ON THE PETA STORIES (Paramatthadipani nama Petatthuattakatha) bay DHAMMAPALA Translatet bay UBAKYW Edited and Annotated bay PETTER MASEFILD, Publised bay THE PALI TEXT SOCEITY, OXFORD 1980 Tripitaka Pali Kanon, first published editions 1921 Publised bay THEA PALI TEXT SOCEITY, OXFORD Tipitaka Pali Kanon, editions, 1921. 45, 51 the books series Religions, London. Y.B. Mangunwijaya, Senin,20 Nopember 1989. Hikmah Galileo Galilei Kompas Jakarta. Yayasan Dhammadipa Arama Jakarta, 1980. Paritta Suci. Sangha Theravada Indonesia