JALAN BERLIKU MENCARI TUHAN DALAM PERSPEKTIF “TEORI AMUTER TUTUR” DARI MPU KANWA Oleh Ketut Sumadi Dosen Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar Email: [email protected] ABSTRAK Mpu Kanwa menyuarakan pemikirannya tentang teks yang kontekstual dalam konsep “amuter tutur pinahayu” untuk mengingatkan umat manusia agar terus berbuat kebaikan dan mengikuti jalan berliku, meningkatkan keyakinan tentang adanya Tuhan. ide dan konsepkonsep yang diwacanakan Mpu Kanwa melalui Kakawin Arjuna Wiwaha bersumber dari ajaran Veda, khususnya Upaveda yakni Purana dan Itihasa. Dari kriteria ideal dan pragmatis, konsep Mpu Kanwa mencerminkan identifikasi aspek-aspek kehidupan sosial keagamaan yang bisa diuji secara empiris yang diwujudkan dalam abstraksi atau narasi kisah Arjuna bertapa di Gunung Indrakila berbentuk kakawin dengan berbagai tembang atau pupuh berbahasa Jawa Kuno sebagai simbol untuk mewujudkan idenya. Konsep ini layak disebut sebagai sebuah teori, yakni “Teori Amuter Tutur”. Kata Kunci: Kekawin Arjuna Wiwaha, Mpu Kanwa, Teori, Amuter Tutur. Ndan Sanghyang Veda, paripurnakena sira makasadhana Sanghyang Itihasa, Sanghyang Purana, apan atakut Sanghyang Veda ring akedik ajinya, ling nira kamung hyang, haywa tiki umara ri kami, ling nira mangkana rakwa atakut. (Sarasamuccaya, 39). I. PENDAHULUAN Tulisan ini lahir dari diskusi-diskusi kecil menjernihkan pemahaman tentang teoriteori sosial budaya dikaitkan dengan fenomena keagamaan Hindu ketika mengajar Matakuliah Teori Sosial Budaya para karyasiswa S3 Program Studi Ilmu Agama di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Para karyasiswa S3 ini selalu galau dan tidak yakin bahwa pemikiran-pemikiran tokoh Hindu yang terhimpun dalam berbagai kitab suci ajaran Agama Hindu atau dalam bentuk lontar-lontar di Bali, bisa disebut sebagai sebuah teori. Mengapa mahasiswa dan karyasiswa Institut Hindu Dharma hanya berorientasi pada teori-teori hasil pemikiran orang Barat dan sangat ketakutan meyakini pemikiran tokoh-tokohnya sendiri sebagai sebuah teori untuk membantunya menganalisis data hasil penelitian keagamaan Hindu? Karena itu, petunjuk Bhagawan Wararuci dalam kitab Sarasamuccaya di atas sengaja dimunculkan dalam tulisan ini untuk meyakinkan, pemikiran tokoh Hindu sebagai sebuah teori sosial keagamaan banyak terdapat dalam Purana dan Itihasa. Sloka itu menyiratkan sebuah langkah panjang yang mesti dilakoni untuk sampai pada tujuan hidup manusia mencapai moksa—manunggal dengan Brahman. Purana dan Itihasa sebagai sebuah teks adalah kitab suci yang tergolong Upaveda yaitu kitab suci pelengkap Veda, ibarat sebuah jalan berliku bagi umat Hindu untuk mencari Tuhan. Purana adalah kitab-kitab suci terutama bagi golongan Waisnawa dan Siwa yang isinya terdiri atas berbagai macam cerita kuno yang dikumpulkan dari cerita-cerita yang hidup di kalangan rakyat mengenai hakekat Ketuhanan, kehidupan para dewa, penciptaan, dan lain sebagainya (Soekmono, 1973:30). Belajar Purana dan Itihasa dalam pemikiran Bhagawan Wararuci, sesungguhnya menelusuri liku-liku perjalanan ajaran Veda—sumber ajaran tentang Ketuhanan — yang kontekstual, mengalir ke berbagai daerah menembus lintas batas negara, etnis, dan budaya. Ajaran Veda hidup, tumbuh, dan berkembang seiring sejalan seirama dengan nafas kehidupan kearifan lokal masyarakat yang mencita-citakan kesejahteraan, kebahagiaan serta kedamaian hidup abadi. Dalam konteks jalan berliku inilah, Mpu Kanwa menyuarakan pemikirannya tentang teks yang kontekstual dalam konsep “amuter tutur pinahayu” untuk mengingatkan umat manusia agar terus berbuat kebaikan dan mengikuti jalan berliku, meningkatkan keyakinan tentang adanya Tuhan. Masalahnya, mungkinkah pemikiran Mpu Kanwa yang tersurat dalam Kekawin Arjuna Wiwaha, menjadi sebuah teori untuk mencari kebenaran adanya Tuhan yang menciptakan, memelihara, dan memrelina alam semesta beserta isinya? Tulisan ini diharapkan dapat menggelitik kesadaran umat Hindu untuk bersama-sama mengangkat pemikiran para leluhur Hindu Nusantara, tokoh-tokoh spiritual yang banyak mewariskan konsep-konsep atau filosofi kehidupan yang tetap diyakini kebenarannya sampai sekarang, kemudian menjadikannya sebuah teori. II. PEMBAHASAN 2.1 Teori dan Fakta Teori merupakan salah satu unsur penelitian yang sangat penting. Menurut Usman dan Akbar (2000: 8), Zamroni (1992: 1-4) teori adalah set konsep atau construct yang berhubungan satu dengan yang lain, suatu set dari proposisi yang mengandung suatu pandangan sistimatis dari gejala. Teori menunjukkan hubungan antara fakta-fakta. Fakta didapat atau dibuktikan secara empiris. Teori berfungsi : (1) untuk mengarahkan perhatian atau menerangkan; (2) merangkum pengetahun; (3) meramalkan fakta; (4) memeriksa gejala. Teori dan fakta saling berhubungan. Teori dapat mengungkapkan fakta-fakta baru, sebaliknya, fakta dapat melahirkan teori-teori baru. Fakta berfungsi: (1) menolak teori yang ada; (2) melahirkan teori baru; (3) mempertajam teori yang telah ada. Suatu teori dapat diterima dengan dua kriteria: (a) Kriteria ideal; (b) Kriteria pragmatis. Secara ideal sebuah teori akan diakui apabila memenuhi persyaratan; (a) Sekumpulan ide yang dikemukakan mempunyai hubungan logis dan konsisten; (b) Sekumpulan ide yang dikemukakan harus mencakup seluruh variabel yang diperlukan untuk menerangkan fenomena yang dihadapi; (c) Kumpulan ide tersebut harus mengandung proposisi-proposisi, di mana antara ide yang satu dengan yang lain tidak tumpang tindih; (d) Kumpulan ide tersebut dapat diuji secara empiris. Secara pragmatis ide-ide tersebut memiliki; (a) Asumsi dan paradigma; (b) Kerangka fikir yang mengidentifikasi aspek-aspek kehidupan sosial yang akan diuji secara empiris; (d) Memiliki abstraksi atau simbol sebagai wujud suatu ide; (e) Variabel atau penjabaran konsep yang mengandung dimensi; (f) Proposisi atau hubungan antara konsep; (g) Hubungan yang sistimatis dan bersifat kausal di antara konsep dan proposisi. 2.2 Ide-Ide dan Konsep Mpu Kanwa Sebagai Sebuah Teori Secara ontologis ide dan konsep-konsep yang diwacanakan Mpu Kanwa melalui Kakawin Arjuna Wiwaha bersumber dari ajaran Veda yakni Purana dan Itihasa. Dari kriteria ideal dan pragmatis, konsep Mpu Kanwa mencerminkan identifikasi aspek-aspek kehidupan sosial keagamaan yang bisa diuji secara empiris yang diwujudkan dalam abstraksi atau narasi kisah Arjuna bertapa di Gunung Indrakila berbentuk kakawin dengan berbagai tembang atau pupuh berbahasa Jawa Kuno sebagai simbol untuk mewujudkan idenya. Variabel atau penjabaran konsep yang mengandung dimensi usaha seseorang untuk mencari kasujatian Tuhan dipaparkan melalui konsep yang berhubungan secara sistimatis, dari fenomena sosial religius dan orang-orang bijaksana memuja Tuhan. Menurut Mpu Kanwa, bagi orang bijaksana yang tengah menapaki jalan berliku mencari Tuhan, bukan karena ingin mendapatkan pujian atau penghargaan sosial tujuan hidupnya, tetapi untuk menegakkan kebenaran dan kesejahteraan masyarakat yang selalu diusahakannya. Teguh pendiriannya dan terpusat fikirannya, meskipun jarak langkahnya seperti berbatas kelir (sehelai kain tipis) dengan Sang Pencipta. Karena itu, Mpu Kanwa mengawali idenya dengan kalimat; Ambek sang paramartha pandita huwus limpad sakeng sunyata, Tan sangkeng wisaya prayojana nira lwir sanggraheng lokika, Siddhaning yasa wiryya donira suka ning rat kininkin nira, Santosaheletan kelir sira sakeng Sang Hyang Jagatkarana. (Arjuna Wiwaha 1.1) Dari sudut epistimologis, pemikiran Mpu Kanwa di atas dapat diuji secara empiris menggunakan metode kualitatif, di mana metode kualitatif menekankan proses daripada produk, cendrung menganalisis data secara induktif atau berangkat dari hal-hal khusus yang berhasil dikumpulkan, serta mementingkan peran makna atau penafsiran, di mana sesuatu prilaku atau gejala bisa banyak mempunyai arti atau makna. Perhatikan makna kalimat berikut ini: Tan sangkeng wisaya prayojana nira lwir sanggraheng lokika, Siddhaning yasa wiryya donira suka ning rat kininkin nira. Ini artinya, jika orang hendak melangkah di jalanjalan Tuhan, hindari keinginan-keinginan untuk mendapat pujian atau penghargaan orang lain dari setiap langkah yang dilakukan. Bulatkan tekad untuk membangun kesejahteraan semua mahluk dan alam semesta. Orang yang senang menggunakan metode kualitatif dalam mengkaji masalah-masalah humaniora, cenderung menggunakan pendekatan emic atau subjektif. Pendekatan emic adalah pengkategorian fenomena budaya menurut warga setempat atau pemilik budaya sehingga validitas data terjamin serta pemahaman akan unsur budaya setempat semakin baik (Jennings, 2001: 127). Karena itu, dalam aksiologisnya, “Teori Amuter Tutur” dari Mpu Kanwa sudah dilakukan dan dibuktikan kebenarannya oleh umat Hindu selama berabad-abad yang lalu sampai sekarang, dalam berbagai bentuk aktivitas seperti dharmagita, dharmatula, dharmayatra, dharmawacana, tirtayatra, persembahan sesaji, atau melaksanakan tapabrata di hutan, gunung, jurang, sungai, pantai, dan bahkan kini di hotel-hotel berbintang orang bisa melakukan tapabrata. Paradigma pemikiran Mpu Kanwa terinspirasi oleh pemikiran Bhagawan Wararuci dalam Sarasamuccaya yang merupakan sari-sari dari Mahabharata. Melalui kisah Arjuna bertapa kemudian berperang melawan Raksasa Niwatakwaca, Mpu Kanwa mewacanakan “Teori Amuter Tutur” agar umat manusia tidak tersesat dalam menelusuri jalan berliku mencari Tuhan. Teori Mpu Kanwa ini dapat menggelitik kesadaran nurani manusia, bahwa untuk mengetahui kebenaran ajaran agama sebelum akhirnya bisa bertemu dengan Tuhan, bukan merupakan hal yang mudah dan diperlukan adanya kontinyuitas diskursus. Harus dilakukan melalui jalan mendiskusikan ajaran atau pengetahuan Ketuhanan; —-amuter tutur— perilaku yang baik dan yang dapat meningkatkan keyakinan tentang adanya Tuhan di tengah godaan duniawi yang menyesatkan serta hasrat-hasrat liar keraksasaan. Menurut Mpu Kanwa, perlu adanya diskursus wacana yang berkesimbangungan yang dapat mengingatkan serta meningkatkan kesadaran umat manusia dalam mencari keberadaan Tuhan yang disimbolkannya sebagai Hyang Siwa. Perhatikan kutipan konsep Mpu Kanwa berikut ini: Ong sembah ning anatha tinghalana de triloka sarana, wahyadhyatmika sembah i nghulun i jongta tan hana waneh, sang lwir agni sakeng tahen kadi minak sakeng dadhi kita, sang saksat metu yan hana wwang amuter tutur pinihayu. (Arjuna Wiwaha 10.1) Wyapiwyapaka sarining parama tatwa durlabha kita, icchanta ng hana tan hanaganal alit lawan hala hayu, utpatti sthiti lina ning dadi kitata karana nika, sang sangkan paraning sarat sakala niskalatmaka kita. (Arjuna Wiwaha 10.2) Kekuatan sraddha (kayakinan) dan sujud bhakti yang tulus ke hadapan Sang Penguasa Ketiga Dunia, merupakan variabel yang harus diperhatikan dalam perjalanan hidup berliku mencari Tuhan. Menurut Mpu Kanwa, yakin saja akan adanya Tuhan ternyata tidak cukup untuk bekal mencari Tuhan, tetapi juga harus ditopang keuletan mempelajari serta mengamalkan sarining tattwa sehingga muncul ketulusikhlasan dalam berpikir, berkata, dan bertindak—- wahyadhyatmika sembah i nghulun i jongta tan hana waneh. Di sinilah Sang Arjuna yang berkeinginan membantu saudaranya Sang Yudistira sebagai Raja menegakkan kebenaran, dihadirkan oleh Mpu Kanwa melakukan tapabrata sebagai simbolisasi suatu kepasrahan berserah diri kepada Tuhan jika hendak membantu seseorang membangun keadilan dan kesejahteraan rakyat. 2.3 Teori Amuter Tutur Dalam Globalisasi Kekawin Arjuna Wiwaha yang ditulis Mpu Kanwa pada zaman pemerintahan Raja Airlangga dii Jawa Timur pada Tahun Icaka 941 – 964 (Poerbatjaraka, 1981: 15), jika disandingkan dalam ranah teori-teori sosial budaya atau teori-teori sosial kritis yang muncul dari pemikiran para sarjana Barat dewasa ini, Di tengah globalisasi saat ini yang menghadirkan teori-teori kritis posmodern, Teori Amuter Tutur Mpu Kanwa, bisa seide dengan Teori Praktik/Generatif dari Bourdie. Teori Generatif dicetuskan oleh Bourdieu untuk memperkuat pendapatnya tentang modal yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Istilah modal digunakan oleh Pierre Bourdieu (1984) untuk menjelaskan suatu praktik kekuasaan sosial berkaitan dengan Teori Marx tentang kelas-kelas sosial di masyarakat. Terjadinya perbedaan posisi kelas-kelas sosial di masyarakat, menurut Bourdieu sangat ditentukan oleh akumulasi modal-modal seperti modal budaya, modal ekonomi, modal politik, atau modal simbolik berupa intelektualitas atau pendidikan. Konsep modal meskipun merupakan khazanah ilmu ekonomi, dipakai oleh Bourdieu karena mampu menjelaskan hubunganhubungan kekuasaan. Modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatan modalnya. Dalam membahas modal kelas-kelas sosial itu, Bourdieu memperkenalkan konsep; (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Habitus adalah sruktur kognitif yang memperantarai individu dengan realitas sosial, modal adalah suatu konsentrasi kekuatan, ranah adalah jaringan relasi yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat, praktik adalah suatu produk dari relasi habitus, modal, dan ranah (Featherstone, 2001: 42; Jenkins, 2004: 128; Tilaar, 2005: 199; Harker, 2006:9; Lee: 2006:59-60; Ritzer, 2007: 529). Mpu Kanwa Kanwa tampaknya jauh sebelum Bourdieu mewacanakan tentang modal yang dimiliki masyarakat, telah melihat fenomena modal itu dalam kehidupan pada zaman Kerajaan Prabu Airlangga. Setiap orang termasuk seorang raja sekalipun, semestinya memanfaatkan modal simbolik atau intelektualitas spiritualnya dalam usaha membangun hidup yang harmonis di masyarakat. Modal simbolik ini ibarat jalan emas yang harus dilalui untuk mencapai moksartham jagadhita. Karena itu, Kekawin Arjuna Wiwaha dipersembahkan kepada Prabu Airlangga dan mengingatkan Sang Raja dengan idenya seperti berikut: Ujar sang pandyarum kamuni wacanan bawat kawiratin, sinambut de Sang Partha rahayu dahat ling muniwara, kunang yan dharmma ksatriya yasa lawan wiryya linewih, yayawwat ring gegwan maka putusa sang hyang kalepasen. (Arjuna Wiwaha:5.10) Dalam konteks membangun kedamaian dunia, Teori Amuter Tutur Mpu Kanwa sejalan dengan pemikiran dan langkah yang ditempuh para pemimpin agama-agama di dunia. Parlemen Agama-agama Dunia ( The Parliament of World’s Religions ) dalam pertemuannya di Chicago pada tanggal 28 Agustus sampai 4 september 1993 mengeluarkan sebuah deklarasi, Declaration Toward a Global etbic ( Deklarasi Menuju Etika Global ). Deklarasi ini bertolak dari asumsi tentang dunia dan agama-agama yang sudah berubah. Dunia telah menjadi satu, menjadi dunia yang polisentris, multi-kultural dan multi-religius. Dalam konteks kehidupan dunia semacam ini maka satu-satunya jalan bagi hubungan antar agama adalah” persaudaraan antar-agama”. Agama-agama yang memiliki nilai-nilai etik yang tinggi harus secara bersama-sama melibatkan diri dalam dialogtentang berbagai persoalan kritis kehidupan dan nasib umat manusia di masa depan. Nilai-nilai yang bersumber dari agamaagama itulah yang dijadikan sebagai dasar etika global, yakni sebuah konsensus fundamental minimum berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat, standar-standar yang tidak bisa diganggu gugat, dan sikap moral fundametal. (Solihan, 2008:133). Dengan format keberagamaan yang inklusif dan dialogis itulah, agama-agama yang memiliki nilai-nilai etik yang tinggi diharapkan dapat secara bersama-sama melibatkan diri dalam dialog untuk mencari solusi dari berbagai persoalan kritis yang dihadapi umat manusia, dalam rangka menuju masa depan yang lebih baik, lebih sejahtera,dan lebih damai. Berdialog amuter tutur pinahayu, seperti kata Mpu Kanwa, memang syarat mutlak untuk membangun kasih persaudaraan, seperti Arjuna mengasihi para bidadari dan membela saudaranya Panca Pandawa. 2.4 Substansi Implementasi Teori Amuter Tutur dalam Kehidupan Umat Hindu Indonesia — Bali Hidup umat Hindu Indonesia—Bali seperti “sebuah narasi cerita Arjuna” dalam Kekawin Arjuna Wiwaha, berkisah tentang kehidupan manusia sebagai mahluk sosial, hidup bermasyarakat yang tidak lepas dari berbagai masalah sosial kemasyarakatan baik bersifat suka maupun duka, perseteruan maupun persahabatan. Tapi sebagai homosafien, mahluk berfikir manusia bisa berusaha meningkatkan kesucian dirinya mencapai tingkat hidup seperti deva-deva, sebelum akhirnya bertemu dengan Siwa atau Tuhan. Jalan berliku itu sudah dimulai dari keberadaan dirinya dalam kandungan, kelahiran dan perjalanan hidup dalam lingkungan alam tempatnya berpijak, sampai akhirnya kembali ke sorga. Substansi implementasi Teori Amuter Tutur di kalangan umat Hindu dalam berbagai bentuk aktivitas amuter tutur atau diskursus seperti dharmagita, dharmatula, dharmayatra, dharmawacana, tirtayatra, persembahan sesaji, atau melaksanakan tapabrata, mengingatkan umat Hindu di Indonesia—termasuk Bali— sebagai pewaris paham Siva-Buddha Mahayana warisan masa Jawa Kuno. Ajaran agama dipadukan dengan pengetahuan kearifan lokal Nusantara - Bali yang sampai saat ini diwarisi secara turun temurun. Ajaran agama sebagai jalan berliku mencari Tuhan, secara implisit dan eksplisit dirangkum dalam konsep “Tri Kerangka Agama Hindu; Tattva, Susila, Upacara/Acara. Metode proses pembelajaran melalui konsep Tri Kerangka Agama Hindu ini disesuaikan dengan tingkat intelektual dan keterampilan seseorang. Bagi yang intelek serta intuisinya mulai mekar, suka menekuni laku spiritual, belajar agama dengan membaca kitab-kitab Tattva. Yang terampil, kreatif, dan senang berimajinasi tentang estetika akan belajar Purana melalui upacara/acara atau kesenian. Bagi yang senang bekerja, menolong orang lain dan tidak suka repot membaca dan membuat upacara atau berkesenian, akan belajar agama melalui Susila, berperilaku yang baik, menyenangkan semua mahluk, atau melakukan tapa brata. Para Sarati dan tukang paebatan mewujudkan deva-deva dalam bentuk berbagai jejahitan dari janur dan daun, tetandingan banten dan tetandingan ulam yang sekarang diwarisi dalam bentuk Panca Yadnya, dari jenisnya yang paling sederhana sampai yang terkesan mewah—-nista, madya utama. Para seniman mewujudkan deva-deva dalam berbagai bentuk karya seni, seperti seni tari, seni lukis baik dilukis di dinding tempat suci maupun di kain untuk menghias tempat suci, seni patung, seni musik, atau seni arsitektur. Berbagai deva-deva dilukiskan lengkap dengan pernik-pernik perhiasan, senjata, atau warna. Berbagai jenis suara musik (gamelan) juga ditabuh untuk mengiringi para deva yang turun ke bumi. Bermacam-macam tembang dialunkan untuk menyambut dan memuliakan para deva yang berkenan hadir dalam kehidupannya. Para penekun spiritual mewujudkan deva-deva dengan puja mantra diiringi suara genta, mereka juga suntuk dalam permainan aksara dan angka seperti tampak pada ulap-ulap, kajang, rurub, pedagingan, batu dasar bangunan, atau aksara-aksara yang ditulis pada sarana/perlengkapan upacara seperti payuk, tikar, dan lainlain. Aksara tersebut seperti Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ung, Mang, Ang. Ah. Ong. Aksara ini sebagai simbol deva-deva yang dipuja serta diharapkan hadir melindungi kehidupan umat manusia, Aksara ini bisa diringkas pengucapannya menjadi dasaksara, pancaksara, pancabrahma, triaksara, dwiaksara, dan ngewindu atau satu aksara. Penulisannya dalam aksara Bali sering dibuat dalam bentuk modre, tulisan yang menggabungkan beberapa aksara untuk meningkatkan kekuatan magisnya. Akan tetapi sebagai mahluk sosial yang terikat dalam kehidupan bersama di desa pakraman, leluhur orang Bali yang memiliki filosofi hidup paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka, asah-asih-asuh, maka pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Purana dilakukan dengan saling melengkapi, mereka tidak memisahkan diri satu sama lain. Mereka sangat yakin, pengamalan ajaran agama sesuai tradisi akan menjadi sempurna jika mampu menggabungkan ketiga unsur: Tattva, Susila, Upacara/Acara. Kehidupan akan menjadi bahagia dan sempurna seperti kisah deva-deva dalam Purana jika semua orang bisa hidup bersama saling melengkapi kekurangan dan kelebihan dirinya, memberi yang patut diberikan, atau membantu yang memang memerlukan bantuan. Untuk memudahkan dalam proses pengamalan ajaran agama yang terangkum dalam konsep Tri Kerangka Agama Hindu, maka leluhur orang Bali melahirkan konsep Tri Hita Karana; tiga unsur yang mengantarkan seseorang menuju kehidupan bahagia lahir bathin. Ketiga unsur tersebut adalah Pahyangan—hubungan harmonis dengan Yang Maha Kuasa/Sang Hyang Widhi; Pawongan—hubungan harmonis dengan sesama; Palemahan— hubungan harmonis dengan alam lingkungan. Baik unsur Pahyangan, Pawongan, maupun Palemahan memiliki sthana deva-deva dengan kemahakuasaannya masing-masing. Perpaduan konsep Tri Kerangka Agama Hindu dengan Konsep Tri Hita Karana dalam pengamalan ajaran Purana tentang kemahakuasaan deva-deva, melahirkan konsep Rwabhineda; sekala dan niskala, bhuwana alit dan bhuwana agung (microkosmos dan makrokosmos). Diri manusia, mahluk hidup, lingkungan alam semesta yang bisa dilihat atau diraba disebut sekala, bhuwana alit — dunia nyata, sedangkan yang tidak bisa dilihat atau disentuh disebut niskala, bhuwana agung—-dunia tidak nyata. Dari sini sering muncul pitutur bijak; “di paukudane ada deva, di gumine ada deva, di swargan ada deva”. Karena itu, hidup umat Hindu Indonesia—Bali seperti “sebuah narasi kitab Purana”, berkisah tentang deva-deva mulai dari keberadaan dirinya dalam kandungan, kelahiran dan perjalanan hidup dalam lingkungan alam tempatnya berpijak, sampai akhirnya di sorga, tempat yang akan ditujunya setelah meninggal. Deva-deva, bagi orang Hindu Bali, ada di dalam dirinya, ada di luar dirinya, di semua penjuru mata angin, di segala tempat baik di rumah, di jurang, di sawah, di gunung, di lautan, di langit, di bawah tanah, dan lain-lain sesuai konsep Tri Hita Karana. Diri manusia adalah bhuwana alit sebagai tiruan dari bhuwana agung, sehingga umat Hindu Bali terus menjaga hubungan harmonis antara bhuwana alit dengan bhuwana agung. 2.5 Umat Hindu Bali Menguji Teori Amuter Tutur Sesuai dengan Tri Kerangka Agama Hindu Bali, warisan ajaran serta pengamalan bentuk Purana dijumpai dalam karya-karya sastra berupa lontar, berbagai bentuk sesajen upacara, mantra termasuk kidung-kidung suci keagamaan, atau gerak mudra, sehingga umat Hindu Bali sampai sekarang tetap melaksanakan ritual bersifat Tantrik Sivaistik. Aktivitas sosial religius umat Hindu Bali yang meyakini konsep bhuwana alit dan bhuwana agung, tidak bisa lepas dari yantra, mantra, dan mudra yang merupakan cara umat Hindu Bali menguji secara empiris Teori Amuter Tutur dari Mpu Kanwa. Tidak mengherankan, jika keseharian hidup umat Hindu Bali tidak pernah sepi dari upacara keagamaan, dari upacara magedong-gedongan untuk bayi dalam kandungan, kelahiran, kepus puser, bulan pitung dina, nelubulanin, otonan, menek kelih, mapanes/matatah, masakapan/mawiwaha, mabayuh/melukat, sampai akhirnya upacara ngaben ketika meninggal. Kemudian dari bangun tidur sampai tidur kembali juga tidak lepas dari pengamalan ajaran Purana; memuja dan mohon keselamatan kepada deva-deva, seperti doa bangun tidur, mebanten saiban usai memasak, melaksanakan upacara dengan menghaturkan sesajen pada hari-hari tertentu yang disucikan seperti Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem, Tumpek Andang, Tumpek Bubuh, Tumpek Landep, Tumpek Krulut, Tumpek Wayang, Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi, Siwaratri, Piodalan di Sanggah Keluarga, Pura Paibon/Panti, Pura Kawitan, Pura Banjar, Pura Subak, Pura Melanting, Pura Kahyangan Tiga, Pura Kahyangan Jagat, dan lain-lain ritual yang bersifat insidental seperti ngenteg linggih, melaspas rumah, tempat suci, atau nuwasen saat memulai usaha baru, sampai akhirnya tidur pada malam hari dengan doa sebelum tidur (Sumadi: 2012) Sang Hyang Widhi Wasa adalah Tuhan dalam agama Hindu Indonesia. Nama ini berarti Yang Menakdirkan Yang Maha Kuasa yang dalam Bahasa Bali diterjemahkan dengan Sang Hyang Tuduh atau Sang Hyang Titah. Nama ini adalah nama yang sangat umum yang gambarannya lebih lanjut tidak disebut-sebut dalam sastra-sastra lontar. Bhatara Siwalah panggilan-Nya dalam sastra-sastra lontar, yang gambarannya selalu kita jumpai baik dalam sastra-sastra agama, maupun dalam puja, upakara, arca-arca dan tempat-tempat pemujaan. Dengan demikian umat Hindu di Indonesia yang telah memeluk agama Hindu turun-temurun memuja Ida Sang Hyang Widhi sebagai Bhatara Siwa. Dalam sastra-sastra/lontar-lontar Agama Hindu di Indonesia ajaran-ajaran tersebut sering disebut ajaran Saivasiddhanta. Nama ini mengingatkan kepada nama Saivasiddhanta di India Selatan, namun apabila diamati, terdapat perbedaan-perbedaan antara ajaran Saivasiddhanta Indonesia dengan Saivasiddhanta India Selatan. Dalam ajaran Saivasiddhanta di Indonesia terdapat jalinan ajaran Upanisad (terutama Svetasvatara Upanisad dan upanisad-upanisad Minor), ajaran-ajaran yang berasal dari kitab-kitab Tantra yang semuanya mengalir dari Veda. Maka Veda-lah sumber pertama ajaran agama Hindu itu dan walaupun wujudnya dan pelaksanaan hidup beragama Hindu berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain, namun pada hakekatnya jiwa dan semangatnya adalah sama. Dalam Siwatattwa yaitu dalam lontar jnanasiddhanta kita dapatkan uraian tentang Tuhan adalah sebagai berikut. Ekatwanekatwa swalaksana Bhattara. Ekatwa ngaranya, kahidep makalaksana Siwatattwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepanira. Mangekalaksana Siwa karana juga, tan paprabheda. Aneka ngaranya kahidepan Bhattara makalaksana caturdha. Caturdha ngaranya laksananiran sthula suksma prasunya. Terjemahannya: Sifat Bhattara adalah eka dan aneka. Eka (esa) artinya Ia dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia hanya esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya sthula suksma para sunya. Bhuwana Kosa juga salah satu lontar yang tergolong jenis tattwa atau tutur yang dipandang sebagai lontar tertua dan sumber lontar-lontar tattwa yang bercorak Siwaistik lainnya, seperti: Wrhaspatitattwa, Tattwajnana, Mahajnana, Ganapatitattwa dan sebagainya. Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatara Siwa. Ia bersifat immanet dan transcendent. Immanent artinya ia meresapi segala, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indria (sira wyapaka). Transcendent artinya Ia meliputi segala tetapi berada di luar batas pikiran dan indria. Meskipun Ia immanent dan transcendent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Ia ada di mana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia adanya. Ganapati Tattwa menggunakan bahasa Jawa Kuna yang diselingi dengan Bahasa Sansekerta. Tokoh yang ditampilkan dalam Ganapati Tattwa adalah Bhatara Siwa sebagai mahaguru yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang bersifat abstrak dan rahasia. Disebutkan bahwa pada awal mulanya dilukiskan tida ada apaapa. Tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada sunia, tidak ada ilmu pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan nirguna, Sukha Acintya yaitu berkeadaan Maha Bahagia yang tidak terpikirkan. Kemudian terjadilah evolusi dari Sanghyang Sukha Acintya muncullah Sanghyang Jnana Wisesa yaitu pengetahuan yang mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi tidak ternoda, tak terpengaruhi oleh apapun, tak terjangkau karena ia berkeadaan wisesa, Maha Kuasa. Ia disebut Sanghyang Jagat Karana karena memiliki ilmu pengetahuan yang mahakuasa dan sebagai penyebab dunia atau alam semesta dengan segala isinya. Di sinilah Ia menampilkan diri-Nya dalam aspek saguna. Kemudian timbul keinginan beliau untuk menyaksikan keadaan-Nya sendiri yang berkeadaan sakala-niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan yang berkeadaan nyata (paras) dan yang berkeadaan tidak nyata (para) dan sunia sebagai bayangan-Nya sendiri. Sanghyang Jagat Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah beliau mengadakan ciptaan-ciptaan-Nya selanjutnya secara berturut-turut, seperti: Ongkara Suddha, suara, Windu Prana Suci yang di dalamnya terdapat Nada Prana Jnana Suddha. Dari Windu lahir Panca Dewata atau Panca Dewa Atma yaitu Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara dan Sanghyang Sadasiwa yang akan menjadi sumber ciptaan selanjutnya. Dari kelima dewa tersebut, maka Brahma, Wisnu, dan Siwalah yang dipandang sebbagai badan perwujudan Tuhan itu sendiri. sedangkan Tuhan Yang Maha Esa (Siwa) yang tidak terpikirkan dan acintya dilukiskan berada dalam batin atau hati yang suci yang disebut “guhyalaya”. Untuk memuja beliau yang sangat gaib adalah dengan menggunakan empat belas aksara suci (catur dasaksara) yaitu: Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ung, Mang, Ong. · Berbagai bentuk upakara persembahan dalam ritual umat Hindu di Indonesia — Bali, serta banyak lontar yang menguraikan tuntunan mencari Tuhan, sesungguhnya salah satu bentuk usaha umat Hindu Bali menguji Teori Amuter Tutur dari Mpu Kanwa secara empiris. Semuanya seperti jalan berliku yang harus dilalui seseorang dalam perjalan mencari Tuhan. Teori Amuter Tutur sekaligus mendorong seseorang untuk mencintai kearifan lokalnya, karena kearifan lokal merupakan kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara-cara dan prilaku yang melembaga secara tradisional mengelola sumberdaya alam, sumber daya manusia dan sumberdaya budaya. Keunggulan lokal (local genius) adalah bagian dari kearifan lokal yang terseleksi, teruji dan sangat unggul dalam kualitas secara lokal dan universal, sehingga bukan saja berperan penting bagi pembentukan identitas dan kebanggaan, namun juga sangat potensial bagi pengembangan kemampuan kompetensi, baik lintas wilayah maupun lintas budaya. Akhirnya, sebagai kalimat kunci untuk mengukur keberhasilan Teori Amuter Tutur, menapaki langkah berliku mencari Tuhan, Mpu Kanwa memberikan konsep berikut ini : Sasi wimba haneng ghata mesi banu, ndan asing suci nirmala mesi wulan, Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, ring angambeki yoga kiteng sakala (Arjuna Wiwaha 11.1) Katemunta mareka si tan katemu, kahidepta mareka tan kahidep, Kawenangta mareka sitan kawenang, paramarthasiwatwa nirawarana. (Arjuna Wiwaha 11.2) III. SIMPULAN Konsep atau ide amuter tutur dari pemikiran Mpu Kanwa dalam Kakawin Arjuna Wiwaha merupakan sebuah teori untuk membantu umat manusia menelusuri jalan berliku mencari Tuhan. Paradigma berpikir Mpu Kanwa berangkat dari kesadaran bahwa ajaran agama Hindu di Indonesia—Bali menyatu dalam pengetahuan kearifan lokal masing-masing daerah yang sampai saat ini diwarisi secara turun temurun. Hidup umat Hindu Indonesia— Bali seperti “sebuah narasi cerita Arjuna”, berkisah tentang kehidupan manusia sebagai mahluk sosial, sebagai homosafien, mahluk yang bisa meningkatkan kesucian dirinya mencapai tingkat hidup seperti deva-deva, sebelum akhirnya bertemu dengan Siwa atau Tuhan. Teori Amuter Tutur menggambarkan jalan berliku itu sudah dimulai dari keberadaan dirinya dalam kandungan, kelahiran dan perjalanan hidup dalam lingkungan alam tempatnya berpijak, sampai akhirnya kembali ke sorga, tempat terakhir yang diidam-idamkannya selama bersusah payah mempelajari dan mengamalkan ajaran agama. DAFTAR PUSTAKA Ardana, 1986, “Local Genius dalam Kehidupan Beragama”, dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Penyunting: Ayatrohaedi, Jakarta: Pustaka Jaya. Freud, Sigmund. 2002. Totem dan Tabu. Yogyakarta: Jendela Hadiwijono, Harun. 1979. Sari Filsafat India. Jakarta: BPK Gunung Mulia Suamba, IBP. 1999. Siwa Sahasra-Nama (Seribu Nama Siwa) dalam Siwa Purana. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra Geriya, I Wayan. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Surabaya: Paramita. Geriya, I Wayan. 2003, “Nilai Dasar dan Nilai Instrumental dalam Keragaman Kearifan Lokal Daerah Bali”, makalah Dialog Budaya, Denpasar, Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Bali. Goudriaan. T. and C. Hooykaas. 1971. Stuti and Stava. Bauddha, Saiva and Vaisnava of Balinese Brahman priests. Amsterdam: North Holand Publishing Company. Poerbatjaraka dan Tarjan Hadijaya. 1981. Kepustakaan Jawa. Denpasar: PGAHN VI Tahun Pudja, I Gd, 1980, Sarasamuccaya, Jakarta: Depag RI Ritzer, George, Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Kencana Prenanda Media Group. Ritzer, George. 2002, Ketika Kapitalisme Berjingkang. Terjemahan Solichin dan Didik P. Yuwono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sholihin. 2008. Moderinitas, Postmodernitas & Agama. Semarang: Walisongo Press. Sumadi, Ketut. 2012. “Purana dalam Kehidupan Umat Hindu Indonesia-Bali”, makalah disampaikan dalam Diklat Calon Pandita, 6 Oktober 2012 di Denpasar. Tim Penyusun. 1999. Siwatattwa. Denpasar: Pemda Bali. Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita Turner, Bryan S, 2006. Agama dan Teori Sosial, Yogyakarta: IRCiSoD Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2000. Metodelogi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lontar Salinan dan Terjemahan milik Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Bali: Kakawin Arjuna Wiwaha, Bhuwana Kosa, Wrhaspatitattwa, Tattwajnana, Mahajnana , Ganapatitattwa, Bhuwanamabah, Bhuwana Sangksepa, Siwa Tattwa Purana, Tutur Gong Besi, Tutur Leburgangsa, Tutur Angkus Purana.