1 MENJADI GENERASI MUDA HINDU YANG BERKARAKTER

advertisement
MENJADI GENERASI MUDA HINDU YANG BERKARAKTER*)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------A. Rasional
Sesuai dengan Tema yang diangkat pada Pesamuan Madya Siswa Hindu ke-7 yakni: Siswa Hindu
Bali Agen Potensial Pengembang Ilmu Pengetahuan dan Agama dalam Mewujudkan Bali sebagai
Pulau Ilmu Pengetahuan. Tema tersebut sangat relevan dengan keadaan zaman saat ini, yaitu makin
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sehingga arus komunikasi dan
informasi sudah tidak ada sekat pembatas. Informasi apapun sangat mudah untuk diakses melalui
jaringan internet. Di samping itu, Bali telah dikenal oleh masyarata dunia sebagai Pulau Dewata,
Pulau Sorga, Pulau Seribu Pura yang memiliki panorama alam yang indah dan penduduknya sangat
ramah sehingga menarik para wisatawan nusantara maupun manca negara berkunjung ke Bali untuk
menikmati alam yang indah dan berbagai atraksi seni budaya tradisional Bali.
Kemudian, ada suatu gagasan untuk mewujudkan Bali sebagai Pulau Ilmu Pengetahuan
merupakan suatu pemikiran yang sangat cemerlang. Oleh karena penduduk Pulau Bali mayoritas
beragama Hindu yang dalam hidup kesehariannya berlandaskan nilai-nilai ajaran Veda, maka ilmu
pengetahuan yang utama yang sepatutnya dikembangkan pada setiap pribadi orang Bali Hindu
adalah ilmu pengetahuan spiritual (rohani) yang bersumber pada Kitab Suci Veda, sebagai landasan
untuk mengembangkan budaya spiritual dan pariwisata spiritual, di samping harus pula menguasai
ilmu pengetahuan material dan teknologi yang dibutuhkan untuk membangun Bali. Dengan demikian,
nantinya Bali akan dikenal bukan hanya sebagai Pulau Sorga atau Pulau Dewata saja, tetapi juga akan
dikenal sebagai Pulau Spiritual, sehingga akan banyak orang-orang suci, para sadhu, para acarya, para
spiritualis dunia, pemerhati moralitas dan kemanusiaan akan berkunjung dan mengadakan studi
banding ke Bali. Seperti dijelaskan dalam Kitab Suci Bhagavadgita (IV.33): “Wahai penakluk musuh
(Arjuna), korban suci yang dilakukan dengan pengetahuan lebih baik dari pada hanya mengorbankan
harta benda material. Wahai Putra Prtha, bagaimanapun, maka segala jenis korban suci yang terdiri
atas pekerjaan memuncak dalam pengetahuan rohani”. Lebih lanjut dalam sloka 36 disebutkan,
bahwa: ”Walaupun engkau dianggap sebagai orang yang paling berdosa di antara semua orang yang
berdosa, namun apabila engkau berada di dalam kapal pengetahuan rohani, engkau akan dapat
menyeberangi lautan kesengsaraan”.
Pertanyaan yang mendasar yang harus dijawab adalah apakah generasi muda (pemuda dan
pelajar Bali) Hindu mampu untuk mewujudkan Pulau Bali sebagai Pulau Ilmu Pengetahuan Rohani
atau Pulau Spiritual? Hal-hal apa saja yang seharusnya diperbuat oleh Generasi Muda Hindu untuk
mewujudkan Pulau Bali sebagai Pulau Spiritual? Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak cukup ruang
jika dibahas pada session ini saja. Dalam kesempatan yang baik ini, yang akan dibahas adalah
bagaimana cara untuk mewujudkan Bali sebagai Pulau Spiritual yakni, selain menuntut ilmu
pengetahuan setinggi-tingginya, kemudian salah satunya adalah menjadilah generasi muda Hindu
yang berkarakter.
B. Kemampuan Dasar Manusia
Dr. vishwanath P. Sing (1995) menyatakan bahwa manusia mempunyai lima aspek kepribadian
yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan yakni fisik, intelek, emosional, psikis dan spiritual. Hasil
yang dapat dicapai dengan pembinaan fisik adalah tindakan yang benar (right action). Hasil yang
dicapai dengan pembinaan intelek adalah manusia dapat mengembangkan budi baik dan
menunjukkan kebenaran. Jika emosi dapat dikendalikan secara seimbang, manusia akan mengalami
keseimbangan batin atau kedamaian. Jika aspek psikis atau kejiwaan dapat berkembang secara
___________________________________________________________
*) Oleh: Drs. I Ketut Ardana, M.Pd. (Sekretaris PHDI Kab.Klungkung;
Dekan FPIPS IKIP Saraswati Tabanan)
1
2
sempurna, maka muncul kasih sayang kepada semua ciptaan Tuhan. Kasih adalah energy psikis dan
bukanlah emosi. Kemudian spiritual dapat menjadikan manusia menjadi manusia yang utuh dan
berintegritas. Aspek spiritual dapat digiatkan manakala aspek lainnya dapat berkembang dan
berpadu secara selaras. Nilai yang terlihat dalam aspek ini adalah sifat yang welas kasih, keyakinan
yang kokoh kepada Tuhan dan sifat tanpa kekerasan. Secara singkat dapat dikatakan, sesuai dengan
ajaran Bhagavadgita, bahwa manusia terdiri atas badan jasmani (panca mahabhuta), badan halus
(suksma sarira) terdiri atas budhi (kecerdasan), manah (pikiran), dan ahangkara (ego palsu), dan jiwa
atau roh (atman). Diumpamakan seperti sebuah kereta ditarik oleh lima ekor kuda. Kereta adalah
badan jasmani; lima ekor kuda adalah panca indra; tali kekang kuda adalah pikiran; kusir kereta
adalah kecerdasan; dan penumpang adalah sang roh (atman). Sang roh (sang diri sejati) memiliki sifat
atau kemampuann yang sangat luar biasa yakni, bersifat sat cit ananda. Jadi secara kualitas sang roh
sama dengan Tuhan; tetapi secara kuantitas berbeda dengan Tuhan, sang roh sangat kecil dan Tuhan
Maha Besar (acintya abhedabheda tattva).
Menurut pandangan Hindu tubuh manusia terdiri atas berbagai lapisan yang membentuk satu
kesatuan yang disebut dengan Panca Maya Kosa. Kesejatian diri kita adalah Atma yang terbungkus
dalam lima buah selaput, yaitu:
1. Annamaya kosa atau selaput yang terdiri atas bahan makanan yang sering disebut dengan
badan fisik. Annamaya kosa pada dasarnya mengendalikan dan mempengaruhi unsur prthivi
(tanah), apah (air), agni (api) yang berturut-turut berpusat pada tiga cakra yang paling
bawah, yaitu: Muladhara Cakra, Svadhisthana Cakra, dan Manipura Cakra.
2. Pranamaya kosa adalah lapisan kedua berupa lapisan nafsu dan daya hidup (prana). Lapisan
ini merupakan vayu (angin) dan akasa (ether) sebagai kekuatan atau energy yang mampu
memberi energy kepada tubuh manusia. Pusat pengendaliannya berada pada cakra tengah
yaitu Anahata Cakra dan Visuddha Cakra. Pengendalian nafas atau pranayama tidak hanya
akan mampu membangunkan tenaga dalam tetapi juga mencuci batin.
3. Manomaya kosa berupa lapisan pikiran yang membungkus jiwa. Lapisan ini memungkinkan
manusia dapat berpikir.
4. Vijnanamaya kosa merupakan selaput pembungkus jiwa berupa akal budhi atau kecerdasan.
Selaput ini memungkinkan manusia memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan untuk
membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik (viveka). Kemampuan berpikir dari
otak manusia sangat ditentukan oleh kesempurnaan fungsi vijnanamaya kosa.
5. Anandamaya kosa merupakan selaput yang paling halus, terdiri atas himpunan kebahagiaan.
Bila seseorang senantiasa merasa bahagia, selalu tersenyum, bertingkah laku harmonis,
timbul cinta kasih yang murni, maka dapat dipastikan bahwa seseorang telah berhasil
membangunkan lapisan anandamaya kosa-nya. Dalam lapisan ini bersemayam karakter
kedewataan, maka orang yang bersangkutan akan memiliki pikiran, perkataan dan perbuatan
yang selaras, gerak-gerik dan tutur katanya sangat menyenangkan. Inilah potensi yang luar
biasa yang dimiliki manusia dan dapat diaktualisasikan atau diwujudkan.
C. Musuh Besar Manusia
Pada zaman Satya (Satyayuga) musuh besar manusia atau para dewa berada di antar planet
berupa bangsa Ditya atau Raksasa; pada zaman Treta (Tretayuga) musuh manusia berada di antar
pulau, yaitu pada saat Sri Rama melawan Ravana, raja Alangka pura; pada zaman Dvapara
(Dvaparayuga) musuh manusia sudah berada di dalam keluarga sendiri, seperti pada saat terjadinya
perang Mahabharata, perang saudara yaitu pertempuran antara Pandava dan Korava; kemudian
pada zaman Kali (Kaliyuga) sekarang ini musuh utama manusia sudah berada di dalam dirinya
sendiri, berupa hawa nafsu, keserakahan, kemarahan, kesombongan atau kebanggaan, hayalan,
irihati, kebencian, ketakutan dan kecemasan, keterikatan, dan musuh yang lebih halus adalah
3
ingin mendapat pujian, penghormatan, kekuasaan, dan popularitas (pujaprastistha). Sikap bangga,
sikap sombong, sikap tak peduli, amarah, sikap kasar, dan kebodohan – sifat-sifat ini dimiliki oleh
orang yang bersifat jahat. Dalam Bhagavadgita pada bab 16, sloka 7- 18, dijelaskan bahwa orang
jahat tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya. kebersihan,
tingkah laku yang pantas dan kebenaran tidak dapat ditemukan dalam diri mereka. Mereka
mengatakan bahwa dunia ini tidak nyata, tidak ada dasarnya dan tidak ada Tuhan yang
mengendalikan. Mereka mengatakan bahwa dunia ini dihasilkan dari keinginan untuk hubungan
kelamin, dan tidak ada sebabnya selain nafsu birahi. Dengan mengikuti kesimpulan-kesimpulan
seperti itu, orang-orang jahat, yang sudah kehilangan dirinya dan tidak memiliki kecerdasan sama
sekali, menekuni pekerjaan yang tidak menguntungkan dan mengerikan dimaksudkan untuk
menghancurkan dunia. Dengan berlindung kepada hawa nafsu yang tidak dapat dipuskan, terlena
dalam rasa sombong dan kemahsyuran yang palsu, orang jahat yang berhayal seperti itu selalu
bertekad melakukan pekerjaan yang tidak bersih, sebab mereka tertarik kepada hal-hal yang tidak
kekal. Mereka percaya bahwa memuaskan indra-indra adalah kebutuhan utama peradaban
manusia. karena itu, sampai akhir hidupnya, kecemasan mereka tidak dapat diukur. Mereka diikat
oleh jaringan beratus-ratus ribu keinginan dan terikat dalam hawa nafsu dan amarah. Mereka
mendapat uang untuk kepuasan indria-indria dengan cara-cara yang melanggar hukum. Orang jahat
berpikir:”Sekian banyak kekayaan kumiliki hari ini, dan aku akan memperoleh kekayaan lebih banyak
lagi menurut rencanaku. Sekian banyak kumiliki sekarang, dan jumlah itu bertambah semakin
banyak pada masa yang akan datang. Dia musuhku, dan dia sudah kubunuh, dan musuh-musuhku
yang lain juga akan terbunuh. Akulah penguasa segala sesuatu. akulah yang menikmati. Aku
sempurna, perkasa dan bahagia. Aku manusia yang paling kaya, diiringi oleh keluarga yang bersifat
bangsawan. Tiada seorang pun yang seperkasa dan sebahagia diriku. Aku akan melakukan korban
suci dan memberi sumbangan, dan dengan demikian aku akan menikmati.” Dengan cara seperti
inilah, mereka dikhayalkan oleh kebodohan. Dibingungkan oleh berbagai kecemasan seperti itu dan
diikat oleh jala khayalan, ikatan mereka terhadap kenikmatan indria-indra menjadi terlalu keras dan
mereka jatuh ke dalam neraka. Malas dalam diri sendiri dan selalu kurang sopan, khayalan karena
kekayaan dan penghormatan palsu, kadang-kadang mereka melakukan korban suci secara bangga
hanya dalam nama saja, tanpa mengikuti aturan dan peraturan sama sekali. Orang jahat
dibingungkan oleh keakuan palsu, kekuatan, rasa bangga, hawa nafsu dan amarah sehingga mereka
menjadi iri terhadap Personalitas Tuhan Yang Maha Esa (Paramatma), yang bersemayam di dalam
badan mereka sendiri dan juga di dalam badan orang lain, dan mereka menghina dharma yang
sejati. Jadi kejahatan dan kebodohan merupakan musuh besar umat manusia dan akan
menghacurkan dunia.
Lebih lanjut Sri Krsna menyampaikan kepada Arjuna, bagaimana hasil tindakan (karmaphala)
atau hukuman yang harus dinikmati orang jahat dan bodoh seperti itu. Sri Krsna bersabda:”Orang
yang iri dan nakal, manusia yang paling rendah, untuk selamanya Ku-buang ke dalam lautan
kehidupan material, di dalam berbagai jenis kehidupan yang jahat. Setelah dilahirkan berulang-kali
di tengah-tengah jenis-jenis kehidupan yang jahat, orang seperti itu tidak pernah dapat mendekatiKu, wahai putra Kunti. Berangsur-angsur mereka merosot hingga mencapai jenis kehidupan yang
paling menjijikkan. Ada tiga pintu gerbang menuju neraka tersebut – hawa nafsu, amarah dan loba.
Setiap orang waras harus meninggalkan tiga sifat ini, sebab tiga sifat ini menyebabkan sang roh
merosot. Orang yang sudah bebas dari tiga gerbang neraka tersebut melakukan perbuatan yang
menguntungkan untuk keinsyafan diri dan dengan demikian berangsur-angsur ia mencapai tujuan
yang paling utama, wahai putra Kunti. Orang yang meninggalkan aturan Kitab Suci dan bertindak
menurut kehendak sendiri tidak mencapai kesempurnaan, kebahagiaan maupun tujuan tertinggi.
Karena itu, seharusnya seseorang mengerti apa itu kewajiban dan apa yang bukan kewajiban
menurut peraturan Kita Suci. Dengan mengetahui aturan dan peraturan tersebut, hendaknya ia
4
bertindak dengan cara supaya berangsur-angsur dirinya maju ke tingkat yang lebih tinggi.”
(Bhagavadgita, 16:19-24).
D. Manusia yang Berkarakter atau Manusia yang Memiliki Sifat Rohani (Spiritual)
Orang yang berkarakter adalah orang yang melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan atau nilai-nilai
spiritual dalam hidupnya. Secara alamiah setiap orang adalah pencari kebenaran atau menyukai
kebenaran dan kebajikan sebab menurut laporan dari laboratorium Brain Front, bahwa otak manusia
secara alami jujur dan tertarik dengan kebenaran. Itulah sebabnya mengapa orang yang memiliki
akumulasi sifat-sifat kebaikan sering disebut manusia berkarakter. Chibber, penulis buku spiritual dan
kepemimpinan menjelaskan, bahwa orang yang berkarakter adalah seseorang yang jujur; seseorang
yang mempunyai rasa kewajiban dan tugas pada posisinya, apapun posisinya itu; orang yang
mengatakan kebenaran; yang memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya; orang yang
memperhatikan orang yang lemah; orang yang mempunyai prinsip dan berdiri pada prinsip itu; orang
yang tak tersanjung oleh keberuntungan dan tertekan oleh kemalangan; orang yang setia; dan orang
yang dapat dipercaya.
Seseorang dikatakan bermoral apabila memiliki karakter yang baik. Koyan (2000:85)
mengemukakan, bahwa “Karakter yang baik terdiri atas pengetahuan tentang kebaikan, keinginan
untuk berbuat baik, dan berbuat kebaikan, atau kebiasaan pikiran, kebiasaan perasaan dalam hati,
dan kebiasaan bertingkah laku”. Ketiga hal inilah yang menentukan kehidupan bermoral. Adapun
komponen karakter dari kehidupan bermoral terdiri atas: (1) pengetahuan moral, (2) perasaan
moral, dan (3) tindakan moral. Komponen “moral knowing” atau pengetahuan moral terdiri atas
enam unsur, yaitu : kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai-nilai moral, kemampuan untuk
memberi pandangan kepada orang lain, pertimbangan-pertimbangan moral, kemampuan
pengambilan keputusan dalam menghadapi masalah moral, dan kemampuan untuk mengenal dan
memahami diri. Komponen “moral feeling” atau perasaan moral terdiri atas enam unsur penting,
yaitu: kata hati atau hati nurani, harga diri, empathy, cinta pada kebaikan, kemampuan untuk
mengendalikan diri, dan kerendahan hati. Dan komponen “moral action” atau tindakan moral,
terdapat tiga unsur penting, yaitu: kompetensi moral, kemauan, dan kebiasaan (Lickona, 1991:53).
Berikut ini adalah ciri-ciri manusia yang berkarakter atau memiliki sifat rohani menurut Kitab
Suci Bhagavadgita (bab 16, sloka 1-3):
sri-bhagavan uvaca
abhayam sattva-samsuddhir jnana-yoga-vyavasthitih
danam damas ca yajnas ca svadhyayas tapa arjavam
ahimsa satyam akrodhas tyagah santir apaisunam
daya bhutesv aloluptvam mardavam hrir acapalam
tejah ksama dhrtih saucam adroho nati-nanita
bhavanti sampadam daivim abhijatasya bharata
Artinya, Personalitas Tuhan Yang Maha Esa bersabda: “Kebebasan dari rasa takut; penyucian
kehidupan; pengembangan pengetahuan rohani; kedermawanan; mengendalikan diri; pelaksanaan
korban suci; mempelajari Veda; pertapaan; kesederhanaan; tidak melakukan kekerasan; kejujuran;
kebebasan dari sikap marah; pelepasan ikatan; ketenangan; tidak mencari-cari kesalahan; kasih
sayang terhadap semua makhluk hidup; bebas dari keserakahan (lobha); sifat lembut; sifat malu;
ketabahan hati yang mantap; kekuatan; mudah mengampuni; sifat ulet; kebersihan; dan bebas dari
rasa iri dan gila hormat – sifat-sifat rohani tersebut dimiliki oleh orang suci yang diberkati dengan
sifat rohani, wahai putra Bharata” (Prabhupada, 2000:734).
5
Ke-dua puluh enam sifat-sifat rohani tersebut sepatutnya dikembangkan menurut berbagai
tingkat susunan dan golongan masyarakat dan pencaharian (catur varnashrama dharma).
E. Upaya Membentuk Manusia yang Berkarakter
Penanaman nilai-nilai moral kepada anak memerlukan cara atau metode pendidikan moral.
Untuk menanamkan nilai pengetahuan moral kepada anak, orang tua atau pendidik dapat melakukan
pengajaran atau dialog secara terbuka, kemudian penanaman nilai-nilai perasaan moral melalui
pemberian contoh atau teladan, selanjutnya melalui kontrol orang tua atau pendidik dapat
mengevaluasi tindakan moral anak-anaknya. Bawa Atmadja (2002:4-5), mengemukakan, bahwa
“Penanaman aspek nonkognitif di lingkungan keluarga mutlak memerlukan metode… paling tidak ada
empat metode, yakni belajar sambil bermain, belajar sambil bercerita, belajar sambil bernyanyi, dan
belajar sambil bekerja”. Orang tua atau guru dapat menyisipkan nilai-nilai moral melalui permainan,
cerita, nyanyian, dan pekerjaan, atau dalam proses pembelajaran sehingga anak-anak atau peserta
didik dengan mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai moral sehingga dapat menjadi
pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua atau pendidik bersama anak-anaknya atau peserta
didik dapat berdiskusi mengenai nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita dan atau nyanyian,
sehingga anak akan memiliki pengetahuan moral. Melalui kegiatan permainan dan bekerja bersama
anak, orang tua atau pendidik memberi contoh atau menjadi teladan sekaligus mengontrol sehingga
anak menghayati tentang perasaan moral dan mengevaluasi tindakan moralnya. Sementara menurut
Bennett (1997) seperti yang dikutip oleh Koyan (2000:94-98), mengemukakan beberapa cara untuk
mengembangkan karakter yang baik, yaitu: (1) self-discipline atau disiplin diri, (2) commpassion atau
rasa terharu yang disertai rasa kasih, (3) responsibility atau tanggung jawab, (4) friendship atau
persahabatan, (5) work atau bekerja, (6) courage atau keberanian dan keteguhan hati, (7)
perseverance atau ketekunan, (8) honesty atau kejujuran, (9) loyalty atau loyalitas, dan (10) faith atau
keyakinan.
Jadi, perlu dipraktekkan nilai-nilai kemanusiaan atau nilai-nilai spiritual untuk memperkokoh
karakter kita, antara lain: berkata tentang kebenaran; tindakan benar atau kebajikan; kedamaian;
tanpa kekerasan; kelembutan hati; kesederhanaan; sopan; toleransi; kejujuran; keberanian mengakui
kesalahan; pengertian; rasa syukur; keberanian; disiplin; kesabaran; kemurnian; rasa tanggung jawab;
peduli (empati); tidak berkata kasar dan menyakitkan; harmoni; kerjasama; keadilan; dan integritas.
F. Rekomendasi
Untuk mewujudkan manusia atau generasi muda Hindu yang berkarakter hendaknya
mengamalkan atau mempraktekkan nilai-nilai pengetahuan spiritual seperti berikut ini:
1. memiliki sifat rendah hati;
2. kebebasan dari rasa bangga;
3. tidak melakukan kekerasan;
4. toleransi;
5. kesederhanaan;
6. mendekati seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya;
7. menjaga kebersihan;
8. sifat mantap;
9. pengendalian diri;
10. melepaskan ikatan terhadap obyek-obyek kepuasan indria-indria;
11. kebebasan dari keakuan yang palsu;
12. mengerti buruknya kelahiran, kematian, usia tua, dan penyakit;
13. ketidakterikatan;
14. kebebasan dari ikatan terhadap hubungan material;
6
15. keseimbangan pikiran di tengah-tengah kejadian yang menyenangkan dan yang tidak
menyenangkan.
16. bhakti kepada-Ku (Tuhan) yang murni dan tidak pernah menyimpang;
17. bercita-cita tinggal ditempat yang sunyi;
18. ketidakterikatan terhadap khalayak ramai;
19. mengakui bahwa keinsyafan diri adalah hal yang penting; dan
20. usaha mencari Kebenaran Mutlak dalam filsafat
Dan di samping itu, hendaknya melaksanakan prinsip hidup sederhana dan berpikir tinggi
(simple life and high thinking), antara lain:
1. Bersikap jujur dan berkata yang benar (satya); dengan tidak melakukan berbagai bentuk
perjudian.
2. Menjaga kebersihan dan kesucian (saucam); dengan tidak melakukan perzinahan, berhubungan
kelamin yang tidak sah.
3. Pengendalian diri dan puasa pada hari Raya tertentu (tapasya); dengan tidak meminum
minuman keras (mabuk-mabukan), narkoba, dan obat-obat terlarang lainnya.
4. Menebar cinta kasih kepada semua makhluk ciptaan Tuhan (karunia atau daya); dengan tidak
membunuh makhluk ciptaan Tuhan. Usahakan hidup vegetarian dengan makan prasadam,
makanan yang telah dipersembahkan terlebih dahulu kepada Tuhan.
Untuk dapat mempraktekkan atau mengamalkan pengetahuan spiritual dan prinsip hidup tersebut,
minimal ada lima hal yang perlu dilaksanakan adalah:
1. bergaul dengan orang-orang suci, para acarya, guru kerohanian, dan menghindari pergaulan
dengan orang-orang jahat dan orang yang tidak percaya kepada Tuhan;
2. membaca dan mendengarkan Kitab Suci Veda setiap hari, seperti Ramayana, Mahabharata,
Bhagavadgita, Bhagavata Purana, Isopanisad, dll.
3. melaksanakan sadhana, bhajan dan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, setiap hari.
4. berjapa (Meditasi Japa) dengan mengucapkan nama suci Tuhan (nama smaranam) secara
berulang-ulang, setiap hari terutama pada pagi hari, satu setengah jam sebelum matahari terbit
(brahma-muhurta).
5. melaksanakan tirtha-yatra ke tempat-tempat suci atau tinggal di tempat suci.
SEMOGA BALI MENJADI PULAU SPIRITUAL
YANG PENDUDUKNYA MENGAMALKAN NILAI-NILAI MORAL, KEMANUSIAAN, DAN KESUCIAN
- OM TAT SAT HARI OM –
7
MENJADI GENERASI MUDA HINDU YANG BERKARAKTER
Makalah Dipresentasikan pada Acara Pesamuan Madya Siswa Hindu Ke-7
Pada Hari Jumat, 24 September 2010 di Ruang Pertemuan
Kantor Bupati Klungkung
Oleh:
Drs. I Ketut Ardana, M.Pd
Sekretaris PHDI Kabupaten Klungkung
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA (PHDI)
KABUPATEN KLUNGKUNG
2010
Download