KONTRADIKSI SISTEM PENDIDIKAN Oleh Yoseph Andreas Gual Ujian nasional (UN) tingkat sekolah menengah atas telah selesai. Namun ada peristiwa ikutannya yang dapat dijadikan batu pijakan untuk mereflekasikan sistem pendidikan kita saat ini. Di Makasar, seorang kepala sekolah swasta beserta 15 orang guru kedapatan membantu mengerjakan soal UAN. Mereka kemudia ditahan pihak kepolisian. Di Lubuk Pakam, Sumatera Utara, 16 guru SMAN 2 beserta kepala sekolahnya ditetapkan polisi sebagai tersangka pelaku kecurangan UN (Kompas, Senin/28 April 2008). Petaka yang menimpa para pendidik atas kesalahan mereka ini, merupakan tindak lanjut dari perintah Mentri Pendidikan agar mereka yang melakukan kecurangan UN dihukum. Mendiknas pun mengingatkan kepada para pemimpin universitas untuk menandai sekolah – sekolah yang bermasalah tersebut. Sungguh tragis nasib para pendidik tersebut, mencoba “membantu” namun ternyata harus mendekam di sel tahanan seperti kriminal. Maksud Mendiknas di atas sangat baik yakni untuk peningkatan mutu pendidikan nasional dengan melihat kemurnian hasil ujian akhir nasional. Namun hal inilah yang terasa ganjil. Kualitas pendidikan sepertinya hanya ditentukan oleh UN. Kualitas pendidikan hanya ditentukan oleh hasil akhir tanpa melihat proses untuk mendapatkan hasil akhir tersebut. Adilkah standarisasi nilai (5,25) dengan enam mata pelajaran ini diterapkan untuk seluruh SLTA di Indonesia? Pertanyaan ini bukan untuk menepis usaha depertemen pendidikan memajukan pendidikan nasional tetapi sebagai bahan refleksi dalam melihat realitas pendidikan kita saat ini. Dengan penetapan standar nilai kelulusan dari tahun ke tahun semakin meningkat tanpa dibarengi dengan mengubah masalah dasar pendidikan kita saat ini yakni proses pendidikan, sepertinya usaha peningkatan kualitas itu hanya bersifat utopis. Realitas pendidikan kita saat ini sangat plural. Pluralitas itu mengakibatkan perbedaan yang sangat kentara antarsekolah. Apalagi antara sekolah yang di kota dan yang di daerah terpencil. Sarana prasarana, kemampuan guru dan murid itu sendiri, perbedaan kebiasaan, adat dan budaya mengenai pendidikan, fasilitas dan akses terhadap sarana penunjang pendidikan seperti media massa terasa berbeda antarsekolah. Perbedaan - perbedaan inilah yang sebenarnya mewakili unsur proses pendidikan. Ketika terdapat perbedaan dalam mendukung proses pendidikan lalu kemudian harus dituntut agar hasil akhir sebuah pendidikan sama, pertanyaannya adilkah sistem pendidikan kita ini? Pola berpikir yang menyamaratakan seperti ini sebenarnya merupakan representasi dari pola berpikir liberal. Pola berpikir yang memberikan kebebasan yang sama kepada setiap orang tanpa melihat pluritas yang ada. Asumsinya adalah dengan kebebasan yang sama setiap orang dapat mengembangkan potensinya. Namun pola pikir ini sangat manipulatif. Kebebasan yang sama belum tentu akan membuahkan hasil yang sama. Sebab banyak pihak yang sebenarnya tidak mampu menggunakan kebebasannya karena sumber daya mereka terbatas. Kebebasan mereka kemudian menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Dengan kebebasan yang sama, mereka yang mampu akan menggunakan kebebasan dan sumber daya mereka untuk lebih berkembang dan pada akhirnya pula menundukkan mereka yang tidak mampu. Pola pikir yang sama ini juga sebenarnya sebuah bentuk cara pemerintah melepaskan diri dari tanggung jawabnya atas masalah pendidikan nasional yang sebenarnya lebih besar dibebankan kepada pemerintah. Pemerintah meminta dan menuntut banyak dari guru namun kurang memperhatikan apa yang dibutuhkan guru dalam mendidik. Seakan – akan tanggung jawab pendidikan hanya ada di bahu para guru. Pola yang sama ini juga sebenarnya mengorbankan para siswa. Siswa dituntut untuk belajar mati – matian hanya untuk kelulusan dan nilai. Proses pendidikan bukan atas kesukarelaan tetapi paksaan terselubung. Siswa didikte untuk menyelesaikan sebanyak mungkin soal latihan agar lulus namun berakibat pada minimnya pembentukan nalar, logika dan kreativitas. Pada hal faktor – faktor ini sangat penting ketika seorang siswa masuk dalam jenjang pendidikan tinggi. Kontradiksi Sistem Pendidikan Apa yang saya kemukakan di atas hanya satu bagian permasalahan dalam sistem pendidikan kita saat ini. Masih banyak kontradiksi dari sistem pendidikan kita tidak kita pahami. Di satu sisi, pemerintah ingin membuat pendidikan Indonesia berkualitas namun di sisi lain kebijakan dan penerapan kebijakan tersebut kontraproduktif dari maksud yang sebenarnya. Minimal terdapat tiga aspek yang membuat sebuah sistem pendidikan berdiri kokoh dan mampu membawa perubahan bagi bangsa baik secara individual maupun secara kolektif. Ketiga aspek inilah yang coba dilihat sebagai masalah (kontradiksi). Pertama, aspek aturan. Sistem pendidikan selalu mendapat dasar pijakan, arah, tujuannya dari aturan. UUD 1945 yang telah diamandemen menyatakan secara jelas di sana tentang pendidikan. Secara khusus kita pun sudah memiliki UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005. PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. PP RI No. 48 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer. Juga ada RUU Badan Hukun Pendidikan yang kontroversi. Semua peraturan ini berhubungan dengan pendidikan berujung pada upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun kenyataannya, semua aturan ini pun tidak mampu memperbaiki sistem pendidikan kita. Misalnya, dalam UU Sisdiknas diketengahkan bahwa untuk menyokong pendidikan maka anggaran yang harus dikeluarkan sebesar 20% dari APBN dan APBD. Namun hingga kini hal tersebut belum terealisir. Aturan tentang pendidikan kita cukup representatif namun yang menjadi permasalah adalah apakah ada kemauan baik dari semua pihak untuk menjalankan amanat peraturan tersebut ? Inilah tugas terbesar kita. Kedua, aspek manajemen. Aspek ini berhubungan dengan pengelolaan bagaimana proses berlangsungnya sebuah pendidikan termasuk di dalamnya kurikulum. Ada begitu banyak sekolah di Indonesia yang hanya dikelola dengan dana pas – pasan dan dengan tenaga pendidikan yang minim baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Menjadi tidak mungkin menuntut para guru pendidik berusaha mati – matian sementara kualitas penguasaan materi mereka dari dahulu hingga kini tidak ada peningkatan. Menuntut para guru untuk berpendidikan tinggi sementara hidup mereka masih terbelit utang. Bagaimana para pendidik terutama mereka yang di pedalaman mengelola manajemen pendidikan bila mereka masih merisaukan kelangsungan hidup mereka sehari – hari. Kita tidak bisa menuntut para guru menerapkan manajemen mutakhir dalam proses pendidikan sedangkan tuntutan perut masih menjadi hal utama bagi mereka. Kita tidak dapat mempersalahkan para guru yang belum mampu meningkatkan kualitas diri mereka bila mereka satu untuk ke kota mereka harus berjalan kaki puluhan kilometer. Berhubungan dengan manajemen pula, ada kontradiksi lain dari sistem pendidikan kita saat ini. Di satu sisi pemerintah menetapkan standarisasi kelulusan namun di sisi lain pemerintah masih menelorkan kebijakan sekolah Paket C yang kelulusannya diakui setara dengan SLTA dan dapat diterima di universitas. Ketiga, aspek profesionalitas. Aspek ini hanya mungkin terlaksana apabila aspek pertama dan aspek kedua di atas dapat berjalan secara baik. Bila masih ada kepincangan ataupun ketidaklarasan dari kedua aspek di atas jangan harap profesionalitas dalam sistem pendidikan kita dapat berjalan. Pemerintah memerintahkan agar para guru menjalankan sertifikasi guru demi peningkatan kualitas dan profesionalitas guru. Tetapi benarkah dengan lolos sertifikasi seorang guru sudah dapat dinyatakan profesional? Dapat saja terjadi untuk memenuhi tuntutan sertifikasi yang penuh dengan bukti – bukti (kertas) para guru memanipulasi bukti – bukti tersebut. Selanjutnya, apakah seluruh guru mampu memenuhi tuntutan setifikasi tersebut. Bagaimana dengan para guru di daerah pedalaman yang tidak pernah atau minim pengalaman dan mampu memenuhi tuntutan sertifikasi. Apakah mereka tidak profesional? Lalu apakah mereka tidak lagi boleh mengajar? Contoh – contoh di atas sebenarnya mewakili masalah besar yang sedang dihadapi oleh sistem pendidikan kita saat ini. Saya sangat yakin bahwa Depertemen pendidikan sebagai motor penggerak pendidikan nasional memiliki kemauan baik dan berusaha mengubah sistem pendidikan kita menjadi lebih baik. Namun bila tidak dicermati lebih jauh maka kita akan terjerumus pada praktek ketidakadilan pendidikan yang pada akhirnyan merugikan kita sendiri. Filsafat Pendidikan Permasalahan pendidikan kita saat ini mungkin diakibatkan oleh belum dimilikinya sebuah filsafat pendidikan yang menjadi pedoman pendidikan nasional. Yang ada mungkin falsafah pendidikan yang terpecah – pecah antarsatu daerah dengan daerah lain atau yang kita pungut dari negara – negara barat. Filsafat pendidikan harus dibangun dari pemahaman yang jelas tentang siapa manusia Indonesia. Jadi landasan dasar dari filsafat pendidikan kita adalah filsafat manusia Indonesia. Secara politis manusia Indonesia yang terbentuk sejak tanggal 28 Oktober 1928 dengan Sumpah Pemuda-nya sangat majemuk. Manusia Indonesia adalah manusia yang secara budaya, bahasa, agama, suku, ras dan geografi berbeda satu dengan yang lain. Secara antropologis historis manusia Indonesia memiliki sejarahnya sendiri – sendiri mulai dari zaman pra penjajahan hingga zaman reformasi sekarang ini (Sindunata, 2000). Dari kajian manusia Indonesia yang penuh dengan keanekaragaman dan sejarahnya sendiri – sendiri barulah kita menyusun filsafat pendidikan yang menjadi dasar sistem pendidikan nasional. Bila ini yang dipakai tentunya standarisasi nilai yang cenderung menyeragamkan peserta pendidikan yang berlaku saat ini tidak berlaku atau belum cocok diterapkan. Sebaliknya dengan pemahaman akan manusia Indonesia dari dua aspek ini, dibangun sebuah filsafat pendidikan yang menunjukkan kekhasan sistem pendidikan Indonesia yang menghargai kemajemukan. Sistem pendidikan nasional yang khas Indonesia. Itu berarti sistem pendidikan yang menjawab realitas permasalahan Indonesia (das sein) sekaligus mewujudkan cita keindonesiaan (das sollen). Ini juga berarti sistem pendidikan nasional walau khas Indonesia dan untuk Indonesia tetapi tetap saja terbuka untuk menghadapi kemajuan zaman.