1 ASOSIASI POLIMORFISME GEN KCNJ11 DAN ABCC8 DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2 PADA POPULASI MASYARAKAT BALI AGENG WIYATNO DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 2 ASOSIASI POLIMORFISME GEN KCNJ11 DAN ABCC8 DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2 PADA POPULASI MASYARAKAT BALI AGENG WIYATNO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 3 Judul Skripsi : Asosiasi Polimorfisme Gen KCNJ11 dan ABCC8 dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Populasi Masyarakat Bali Nama : Ageng Wiyatno NRP : G84070047 Disetujui Komisi pembimbing Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc. Ketua Dr. drh. Safarina G. Malik, M.S. Anggota Diketahui Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc. Ketua Departemen Biokimia Tanggal Lulus : 4 PRAKATA Assalamualaikum wr.wb Penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat-Nya penelitian ini telah selesai. Salawat dan salam mudah-mudahan selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Laporan hasil penelitian ini berjudul “Asosiasi Polimorfisme Gen KCNJ11 dan ABCC8 dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Populasi Masyarakat Bali”. Penelitian telah dilakukan di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada bulan Maret hingga bulan September 2011, dibimbing oleh Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc. dan Dr. drh. Safarina G. Malik, M.S. Penulis sampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc. dan Dr. drh. Safarina G. Malik, M.S. atas kesediaan untuk membimbing penulis. Terima kasih untuk Prof. dr. Sangkot Marzuki, AM., PhD., DSc. dan Prof. dr. Herawati Sudoyo, PhD. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Lembaga Eijkman. Tidak lupa terima kasih kepada Sukma Oktavianthi, Clarissa Asha Febinia, Tri Cita Hutama, Pradiptajati Kusuma, Yumni Khairina Ghassani dan Leli Nurfitriyani yang membantu penulis dalam melakukan penelitian ini. Terima kasih untuk Bapak, Ibu dan adik-adikku yang terus memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis. Mudah-mudahan penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Oktober 2011 Ageng Wiyatno 5 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2 Protein Integral KATP channels dan Mekanisme Sekresi Insulin ..................... 2 Analisis SNP Menggunakan Metode PCR-RFLP ............................................ 3 Gen KCNJ11 Penyandi Kir6.2 ........................................................................ 4 Gen ABCC8 Penyandi SUR1 ........................................................................... 4 Desa dan Penduduk Nusa Ceningan, Legian, Penglipuran dan Pedawa Bali .. 5 BAHAN DAN METODE ....................................................................................... 5 Bahan dan Alat ................................................................................................. 5 Metode Penelitian ............................................................................................ 6 HASIL DAN PEMBAHASAN......... ...................................................................... 9 Karakteristik Klinis dan Sebaran Sampel Secara Umum ................................ 9 Asosiasi Jenis Kelamin dengan kriteria DMT2 ............................................... 9 Asosiasi Kelompok Usia Tertentu dengan kriteria DMT2 ............................ 10 Deteksi SNP E23K Gen KCNJ11 dan SNP A1369S Gen ABCC8 ................ 12 Asosiasi SNP E23K Gen KCNJ11 dan SNP A1369S Gen ABCC8 dengan kriteria DMT2 ................................................................................................ 13 Haplotipe Gen KCNJ11 dan ABCC8 ............................................................. 15 Asosiasi Haplotipe Gen KCNJ11 dan ABCC8 dengan kriteria DMT2 .......... 15 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 16 Simpulan ........................................................................................................ 16 Saran .............................................................................................................. 16 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16 LAMPIRAN .......................................................................................................... 17 6 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur KATP channel pada membran sel β pankreas .......................................... 2 2 Mekanisme sekresi insulin pada sel β pankreas ................................................... 3 3 Letak empat desa terpilih di Bali ......................................................................... 5 4 Pengaturan suhu dan waktu yang digunakan pada reaksi PCR gen KCNJ11 dan ABCC8 ........................................................................................................... 8 5 Asosiasi jenis kelamin dengan kriteria DMT2 berdasarkan konsentrasi FPG pada masing-masing desa..................................................................................... 9 6 Representasi deteksi polimorfisme SNP E23K gen dan A1369S gen ABCC8 yang dilakukan dengan teknik PCR-RFLP ........................................................ 12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kriteria individu berdasarkan konsentrasi FPG ................................................... 1 2 Karakteristik klinis dan sebaran sampel secara umum ...................................... 10 3 Asosiasi kelompok usia dan jenis kelamin dengan kriteria DMT2 pada masingmasing desa ........................................................................................................ 11 4 Nilai Frekuensi Alel Minor (MAF) gen KCNJ11 pada masing-masing populasi .............................................................................................................. 12 5 Nilai Frekuensi Alel Minor (MAF) gen ABCC8 pada masing-masing populasi ............................................................................................................................ 13 6 Asosiasi SNP E23K dan SNP A1369S dengan DMT2 di tiap populasi ............ 14 7 Asosiasi haplotipe gen KCNJ11 dan ABCC8 dengan kriteria DMT2 ................ 15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Alur penelitian ..................................................................................................... 21 2 Tahap-tahap perancangan primer ....................................................................... 22 3 Primer untuk deteksi polimorfisme SNP E23K dan A1369S ............................ 23 4 Contoh script perhitungan statistik .................................................................... 24 7 ABSTRAK AGENG WIYATNO. Asosiasi Polimorfisme Gen KCNJ11 dan ABCC8 dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Populasi Masyarakat Bali. Dibimbing oleh I MADE ARTIKA dan SAFARINA GOLFIANI MALIK. Diabetes mellitus Tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor. Kombinasi faktor genetik, kurangnya aktivitas fisik dan asupan nutrisi yang berlebih merupakan penyebab utama timbulnya penyakit ini. Single Nucleotide Polymorphisms (SNP) seperti SNP E23K pada gen KCNJ11 dan SNP A1369S pada gen ABCC8 diketahui dapat meningkatkan resiko DMT2. Kedua gen tersebut memiliki fungsi yang komplementer dalam membentuk KATP channel yang berperan penting dalam mekanisme sekresi insulin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prevalensi penyakit DMT2 di Bali dan asosiasinya dengan keberadaan SNP E23K dan A1369S. Analisis terhadap 184 sampel dari empat desa di Bali (Nusa Ceningan, Legian, Penglipuran dan Pedawa) dilakukan dengan metode potong lintang (cross sectional), kemudian sampel dipilih dengan mencocokkan jenis kelamin dan usianya (matched). Analisis asosiasi antara konsentrasi gula darah puasa (Fasting Plasma Glucose; FPG), letak geografis dan genetik telah dilakukan. Metode yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan SNP adalah Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphisms (PCR-RFLP). Prevalensi DMT2 pada total populasi terpilih di Bali adalah 4,3%, sedangkan prevalensi hiperglikemia sedang adalah 10,9%. Berdasarkan tingginya prevalensi hiperglikemia sedang, dapat diperkirakan bahwa prevalensi DMT2 di Bali akan meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang. Prevalensi hiperglikemia sedang berasosiasi dengan kelompok usia 51-65 tahun dengan frekuensi 25% (p=0,007). Prevalensi DMT2 tidak berasosiasi dengan jenis kelamin (p=0,607). Walaupun tidak signifikan, populasi yang terletak di daerah pesisir pantai (Nusa Ceningan dan Legian) cenderung memiliki konsentrasi FPG yang relatif lebih beragam (96,0±29,4 mg/dL) dibandingkan populasi yang terletak di dataran tinggi (Penglipuran dan Pedawa)(98,2±13,8 mg/dL). Pada penelitian ini, nilai MAF SNP E23K (26,3%) mirip dengan MAF SNP A1369S (26,9%). Polimorfisme E23K dan A1369S beserta kombinasi haplotipe yang terbentuk dari kedua SNPs tersebut tidak menunjukkan asosiasi yang signifikan dengan DMT2 pada populasi total yang dianalisis. 1 PENDAHULUAN Diabetes mellitus Tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit endemik di dunia (Riedel et al. 2004). Pada tahun 2010, penderita DMT2 di dunia telah mencapai 300 juta jiwa dengan peningkatan sebanyak 7 juta jiwa per tahun (International Diabetes Federation /IDF 2011). Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan penderita DMT2 akan meningkat dua kali lipat antara tahun 2005 hingga 2030. Lebih dari 80% penderita DMT2 terdapat di negara berkembang dengan angka pertumbuhan yang lebih tinggi daripada di negara maju (WHO 2011). Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita DMT2 terbanyak keempat setelah India, Cina dan Amerika Serikat (WHO 2011). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, proporsi penyebab kematian akibat DMT2 pada usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki peringkat ke-2, yaitu 14,7% dan di daerah pedesaan menduduki peringkat ke-6, yaitu 5,8% dari seluruh penyebab kematian di Indonesia (Depkes 2010, Mihardja et al. 2009). Diabetes mellitus Tipe 2 merupakan penyakit kronis yang hingga saat ini belum dapat diobati. Penyakit ini muncul akibat gangguan mekanisme pengaturan glukosa darah berupa ketidakmampuan pankreas memproduksi insulin atau sel target tidak mampu merespon insulin yang diproduksi (IDF 2011). Manifestasi klinis DMT2 dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik (O’Rahilly et al. 2005; Gloyn dan McCarthy 2001). Kurangnya aktivitas fisik dan tingginya kadar nutrisi yang dikonsumsi adalah pencetus utama DMT2 (McCarthy 2010; Misra dan Khurana 2008). Secara genetik, DMT2 dipengaruhi oleh interaksi kompleks beberapa gen yang mengatur metabolisme energi di dalam tubuh. Polimorfisme yang terjadi pada banyak gen penyandi komponen sel pengatur metabolisme glukosa berimplikasi secara signifikan terhadap timbulnya DMT2 (Riedel 2004). Genome Wide Association Study (GWAS) melaporkan lebih dari 20 gen sebagai faktor resiko penyakit DMT2, diantaranya ABCC8, KCNJ11, PPARγ, UCP2, TCF7L2, CDKAL1, CDKN2A/B, IGF2BP2, HHEX/IDE, FTO, dan SLC30A8 (Jablonski et al. 2010; Pirie et al. 2010; Zhao et al. 2010; Feng et al. 2008). Mutasi pada gen-gen tersebut berpengaruh terhadap aktivitas komponen sel yang berperan dalam metabolisme glukosa. Salah satu komponen sel yang penting dalam metabolisme glukosa adalah KATP channel pada sel β pankreas. Protein integral ini berfungsi mengatur sekresi insulin (Nichols dan Koster 2002). Kerusakan pada protein ini dapat mengakibatkan hiperinsulinemia dan hiperglikemia. Protein integral KATP channel disandi oleh dua gen, yaitu KCNJ11 yang menyandi subdomain Kir6.2 dan ABCC8 yang menyandi subdomain SUR1 (Florez et al. 2004; Schwanstecher et al. 2002). Studi genetika pada berbagai populasi menunjukkan bahwa kedua gen tersebut berasosiasi dengan DMT2 (Florez et al. 2004; Gloyn et al. 2004; Nielsen et al. 2003; Sakura et al. 1996). Analisis genetik dibutuhkan untuk mengetahui keterlibatan latar belakang genetik sebagai faktor resiko penyakit DMT2 dalam merancang strategi pencegahan, penanganan dan pengobatan DMT2. Analisis genetik juga membuka jalan bagi terciptanya metode pengobatan yang spesifik terhadap pasien dan klasifikasi subtipe penyakit yang lebih baik (Vejrazkova dan Bendlova 2005). Salah satu kriteria diagnosis diabetes mellitus yakni berdasarkan konsentrasi glukosa darah puasa (Fasting Plasma Glucose/FPG) (Tabel 1). Pada kondisi normal, konsentrasi FPG berada di bawah 110 mg/dL. Penderita diabetes akan memiliki konsentrasi FPG di atas 126 mg/dL setelah berpuasa selama 8 jam. Individu dengan konsentrasi FPG diantara 110-126 mg/dL perlu berhatihati karena termasuk dalam kriteria hiperglikemia sedang (WHO-IDF 2006). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi DMT2 pada populasi empat desa terpilih di Bali, yaitu populasi Nusa Ceningan, Legian, Penglipuran dan Pedawa. Penelitian ini juga bertujuan menganalisis asosiasi polimorfisme E23K pada gen KCNJ11 dan polimorfisme A1369S pada gen ABCC8 dengan DMT2 berdasarkan keberadaan Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs). Tujuan selanjutnya dari penelitian ini adalah menganalisis haplotipe yang terbentuk dari kedua gen tersebut dan asosiasinya dengan DMT2. Tabel 1 Kriteria individu berdasarkan konsentrasi FPG. Konsentrasi FPG Kelompok (mg/dL) Normal < 110 Hiperglikemia sedang 110-126 Diabetes mellitus >126 Sumber : WHO-IDF 2006:5. 2 Hipotesis penelitian ini adalah prevalensi penyakit DMT2 pada populasi empat desa di Bali, yaitu Nusa Ceningan, Pedawa, Penglipuran dan Legian mirip satu sama lain karena latar belakang genetik yang relatif homogen. Nilai prevalensi yang diperoleh berasosiasi dengan polimorfisme E23K pada gen KCNJ11 dan A1369S pada gen ABCC8 sebagai penyandi subdomain KATP channel. DMT2 di keempat desa berasosiasi dengan haplotipe tertentu yang dibentuk oleh polimorfisme kedua gen tersebut karena fungsi kedua gen berkaitan erat satu sama lain. Penelitian ini bermanfaat dalam merancang upaya penanganan dan pencegahan DMT2 di masa depan, khususnya di daerah Bali. TINJAUAN PUSTAKA Protein Integral KATP channel dan Mekanisme Sekresi Insulin Protein integral KATP channel merupakan protein kanal yang terletak pada sel jantung, sel β pankreas, sel syaraf, jaringan otot halus dan ginjal (Minami 2004). Protein ini memiliki fungsi yang spesifik pada tiap jaringan. KATP channel berperan sebagai penghubung antara keadaan metabolik dengan keseimbangan elektrik sel. KATP channel merupakan protein heterooktamer yang bersifat uniport terletak di membran sel. Protein ini terdiri atas subunit potassium inwardly rectifying channel (Kir) dan subunit Sulfonylurea Receptor (SUR) seperti yang terlihat pada Gambar 1 (Inagaki et al. 1995). Protein integral KATP channel berperan penting dalam berbagai mekanisme biokimiawi, diantaranya sekresi hormon, penghantaran sinyal neuron, respon sel otot halus dan perlindungan sel jantung dan otak terhadap iskemia (Ashcroft et al. 1998). KATP channel pada sel β pankreas berperan dalam mengatur jumlah insulin. Adenosin Triphosphat (ATP) yang dihasilkan dari metabolisme glukosa akan berikatan dengan reseptor yang terdapat pada subunit Kir6.2 menyebabkan penutupan channel dan terjadi depolarisasi membran plasma. Terjadinya depolarisasi mengaktifkan pembukaan Voltage Dependent Calcium Channel (VDCC) yang menyebabkan masuknya Ca2+ melalui membran sel. Peningkatan konsentrasi Ca2+ di dalam sel akan memicu sekresi granulagranula insulin ke aliran darah. Produksi insulin akan memicu respon reseptor insulin pada sel target untuk meningkatkan penyerapan glukosa darah (Gong 2001). Sebaliknya, pada saat tidak ada ATP yang tersedia, protein channel ini akan memompa K+ keluar sel sehingga terjadi hiperpolarisasi. Pada keadaan tersebut, penyerapan glukosa berjalan lambat sehingga dapat melindungi sel dari kerusakan akibat kurangnya energi seperti yang terjadi pada iskemik otak dan jantung (Fischer et al. 2008). Mekanisme sekresi insulin dapat diamati pada Gambar 2. Gambar 1 Struktur KATP channel pada membran sel β pankreas. (A) Letak KATP channel pada membran sel dengan beberapa senyawa aktivator dan inhibitornya; (B) dan (C) KATP channel merupakan protein herterooktamer yang terdiri atas dua jenis subunit, yaitu Kir6.2 dan SUR1 (Inagaki et al. 1995). 3 Gambar 2 Mekanisme sekresi insulin pada sel β pankreas. Glukosa yang masuk ke dalam sel dipecah menghasilkan ATP yang akan berikatan dengan KATP channel. Akibatnya, KATP channel menutup dan menyebabkan depolarisasi membran. Depolarisasi membran menyebabkan Voltage Dependent Calcium Channel (VDCC) menjadi aktif dan memompa Ca2+ ke dalam sel sehingga memicu sekresi granula-granula insulin (Gong 2001). Kerja KATP channel dikendalikan oleh perbandingan ATP/ADP dan konsentrasi MgADP di dalam sel (Wasada 2002). Protein KATP channel pada sel β pankreas terdiri atas delapan buah subunit yang dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu Kir6.2 yang berperan sebagai kanal selektif K+ dan SUR1 yang berperan sebagai pengatur kerja protein channel (Sakamoto et al. 2007). Subunit SUR1 merupakan komponen Sulfonylurea receptor (SUR) yang menyebabkan protein integral KATP channel dapat dikendalikan dengan penambahan sulfonylurea (contohnya: tolbutamida dan glibenklamida) (Hansen et al. 1998). Protein-protein subunit KATP channel (Kir6.2 dan SUR1) disandi oleh gen KCNJ11 dan ABCC8 (Aguilar-Bryan dan Bryan 1999). Keberadaan polimorfisme pada kedua gen dapat mempengaruhi aktivitas KATP channel. Polimorfisme tersebut berupa Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) yang dapat dianalisis dengan berbagai metode, diantaranya dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphisms (PCRRFLP) (Yokes MB et al. 2001). Analisis SNPs Menggunakan Metode PCR-RFLP Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) adalah perbedaan satu basa pada urutan nukleotida tertentu yang muncul secara signifikan (lebih dari 1%) pada populasi (Ke et al. 2008). Polimorfisme tersebut dapat muncul pada daerah ekson maupun intron dengan frekuensi 1/100 basa hingga 1/300 basa (Human Genome Project Information 2011). SNPs yang muncul di daerah ekson dapat mempengaruhi protein yang disandi oleh gen sehingga mengakibatkan perubahan karakteristik protein yang disandinya. Perubahan karakteristik ini dilaporkan berkaitan dengan berbagai penyakit. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode sintesis asam nukleat secara in vitro untuk mengamplifikasi segmen DNA secara spesifik berdasarkan pengulangan siklus termal. Tahap-tahap yang terjadi pada proses PCR yaitu, denaturasi, annealing dan ekstensi. Pada tahap denaturasi, terjadi pemisahan utas ganda DNA menjadi satu utas DNA. Pada tahap annealing primer kemudian menempel pada masing-masing utas DNA. Dengan bantuan enzim Taq 4 polimerase, DNA akan tersusun di sepanjang utas tunggal sehingga membentuk DNA utas ganda baru (Sambrook et al. 2001). Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP) adalah teknik analisis DNA untuk membedakan variasi yang terdapat pada sekuen-sekuen homolog. Prinsip metode ini adalah pemotongan DNA menjadi beberapa bagian oleh enzim restriksi. Letak situs pemotongan enzim restriksi bersifat spesifik terhadap urutan basa nukleotida tertentu yang disebut palindrom. Potonganpotongan DNA akan terpisah ketika dielektroforesis berdasarkan ukurannya. Hasil visualisasi potongan-potongan DNA tersebut berupa pita-pita DNA yang dapat diukur panjangnya menggunakan marka DNA (Sambrook et al. 2001). Perbedaan basa pada SNPs menentukan urutan nukleotida yang dapat dikenali oleh enzim restriksi. Jika urutan basa membentuk urutan yang sama dengan situs pengenalan enzim restriksi tertentu, maka nukleotida tersebut akan dipotong oleh enzim restriksi tersebut. Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan situs pengenalannya, maka urutan basa tersebut tidak akan dipotong. Akibatnya visualisasi dengan elektroforesis dua jenis alel yang berbeda akan menghasilkan pita dengan ukuran yang berbeda (Sambrook et al. 2001). Gen KCNJ11 Penyandi Kir6.2 Salah satu gen yang banyak dilaporkan berasosiasi dengan DMT2 adalah gen penyandi potassium inwardly rectifying channel (KCNJ11). Gen ini terletak di kromosom 11p.15.1. dengan panjang 4.083 bp dari urutan basa ke 17.406.795 hingga 17.410.878, menyandi 390 asam amino dengan ukuran protein sebesar 43.541 Da. Gen ini menyandi Kir6.2, yaitu subdomain pada protein integral KATP channel sel β pankreas yang berfungsi sebagai membran selektif K+ (Vejrazkova dan Bendlova 2005). Salah satu SNPs yang ditemukan pada gen ini adalah polimorfisme E23K (rs5219). Pada polimorfisme tersebut terjadi perubahan basa adenin menjadi guanin di nukleotida ke 1222 yang menyebabkan perubahan asam amino asam glutamat (E) (asam amino negatif) menjadi lisin (K) (asam amino positif) pada kodon ke 23. Perubahan tersebut terjadi di ujung sitosolik N-terminal Kir6.2 yang menyebabkan penurunan afinitas KATP channel terhadap ATP sehingga channel terbuka lebih lama dan tidak terjadi depolarisasi membran. Akibatnya, VDCC tidak aktif dan ion kalsium (Ca2+) tidak dapat masuk ke dalam sel. Tidak adanya kalsium sebagai pemicu sekresi granula insulin menyebabkan gangguan sekresi insulin (Riedel et al. 2004, Schwantecher et al. 2002). Gen ABCC8 Penyandi SUR1 Gen ABCC8 merupakan anggota dari subfamili protein ATP Binding Cassette yang memiliki ukuran DNA sepanjang 4.980 basa dari urutan basa ke 17.414.431 hingga 17.498.448 menyandi 1.581 asam amino dengan ukuran 176.992 Da. Pada gen ini ditemukan sekitar 150 SNPs yang telah dianalisis di berbagai populasi (Campbell et al. 2003). Salah satu SNPs yang terbentuk pada gen ABCC8 adalah SNP A1369S (rs757110). Polimorfisme tersebut mengubah basa timin menjadi guanin yang terletak pada nukleotida ke 4321. Perubahan asam amino yang terjadi adalah serin (S) yang bersifat polar menjadi alanin (A) yang bersifat non polar pada kodon 1369 (Feng et al. 2008). Perubahan tersebut menyebabkan penurunan afinitas SUR1 terhadap Magnesium Adenosin Diphosphat (MgADP) (Hansen et al. 1998). Meskipun ada penelitian menunjukkan bahwa SNP A1369S tidak berasosiasi dengan DMT2 (Sakamoto et al. 2007), namun SNP A1369S dilaporkan memiliki asosiasi yang kuat dengan SNP E23K pada gen KCNJ11 dengan nilai OR= 1,17 (p=0,003) >90% (Florez et al. 2004). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada populasi Kaukasia polimorfisme pada SUR1 berasosiasi dengan neonatal diabetes dan penyakit jantung (Lefer et al. 2009; Giurgea et al 2006; Hansen et al 1997). Protein subunit yang disandi oleh gen ABCC8 adalah SUR1yang berfungsi mengatur kinerja KATP channel, dikendalikan oleh keberadaan MgADP yang akan meningkatkan aktivitas KATP channel. Ikatan antara MgADP dengan subunit SUR1 menyebabkan K+ terpompa keluar sel dan menurunkan jumlah produksi Ca2+ sehingga mengurangi sekresi insulin (Campbell 2003). Sebaliknya, senyawa sulfonylurea (contohnya: tolbutamida dan glibenklamida) dan nonsulfonylurea (contohnya nateglinida dan repaglinida) dapat mengaktifkan SUR1 melalui pembentukan ikatan dengan reseptor sulfonylurea. Ikatan tersebut menyebabkan protein KATP channel aktif sehingga terjadi depolarisasi membran yang akan meningkatkan sekresi insulin (Bryan et al. 2004). Hingga saat ini, senyawa sulfonylurea dan nonsulfonylurea merupakan obat yang digunakan dalam penanganan diabetes (Kristiansen et al. 2010). 5 Desa dan Penduduk Nusa Ceningan, Legian, Penglipuran dan Pedawa Bali Bali merupakan provinsi yang terletak di sebelah selatan Indonesia, tepatnya di 8°3'40"8°50'48" Lintang Selatan dan 114°25'53"115°42'40" Bujur Timur. Provinsi Bali terbagi menjadi 9 kabupaten dan 55 kecamatan. Berdasarkan relif dan topografi, bagian utara Bali terdiri atas gunung-gunung dan dataran tinggi, sedangkan bagian selatan berupa dataran rendah yang dialiri sungai-sungai dan pulau-pulau kecil. Sekitar 92,3% penduduk Bali memeluk agama Hindu yang membuat penduduk Bali cenderung menikah dengan orang sesama Bali. Oleh karena itu, diduga bahwa populasi Bali cenderung bersifat homogen secara genetik. Namun, khusus untuk daerah pesisir, lebih besar kemungkinan untuk terpapar pengaruh genetik lain karena letaknya yang di pesisir. Nusa Ceningan, Legian, Pedawa dan Penglipuran merupakan desa yang terletak di Provinsi Bali, Indonesia (Gambar 3). Keempat desa ini memiliki karakteristik yang berbeda dari segi topografi maupun kebudayaannya (Pemerintah Provinsi Bali 2010). Nusa Ceningan adalah sebuah pulau kecil yang terletak di daerah selatan Bali di Kabupaten Klungkung. Mayoritas penduduk Nusa Ceningan berprofesi sebagai nelayan, petani rumput laut dan pedagang. Masyarakat Desa Nusa Ceningan lebih terbuka terhadap turis karena Nusa Ceningan terletak dekat dengan tempat wisata Bali. Namun, dampak dari turisme terhadap gaya hidup masyarakat Nusa Ceningan belum banyak diketahui. Desa Legian terletak di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Desa Legian merupakan desa yang terletak di pesisir pantai sebelah barat daya Pulau Bali, terletak dekat dengan daerah wisata Pantai Kuta. Penduduk di Desa Legian mayoritas berprofesi sebagai pedagang dan buruh. Desa ini berkembang menjadi salah satu tujuan wisata yang cukup diminati oleh turis. Dampak turisme terhadap gaya hidup masyarakat Legian sangat terlihat, karena masyarakat di sini telah terpapar westernisasi selama setidaknya 20 tahun (Malik et al. 2011). Berbeda dengan Nusa Ceningan dan Legian, Penglipuran dan Pedawa merupakan desa yang terletak jauh dari pantai. Penglipuran merupakan desa yang terletak di bagian tengah Pulau Bali, Kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli, Bali. Desa ini terletak di kaki Gunung Batur yaitu sekitar 500-700 meter di atas permukaan laut. Penduduk Penglipuran mayoritas berprofesi sebagai petani, hal ini terlihat dari topografi Desa Penglipuran yang berupa subak/sawah berundak-undak. Desa Penglipuran merupakan salah satu tujuan wisata di Bali karena letaknya yang dekat dengan Denpasar (Murni 2009). Pedawa terletak di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng Bali. Desa tersebut terletak di dataran tinggi dan letaknya jauh dari tempat wisata. Berbeda dengan penduduk di tiga desa lainnya, penduduk di populasi Pedawa cenderung terisolasi dari kehidupan modern dan turisme. Mayoritas penduduk di Desa Pedawa berprofesi sebagai petani dan buruh. Potensi pertanian di desa ini sangat baik. Hal ini terlihat dari organisasi desa yang berkembang pesat berupa subak. Kebudayaan di Desa Pedawa masih terus dijaga dan dilestarikan (Pemerintah Kabupaten Buleleng 2009). BAHAN DAN METODE Gambar 3 Letak empat desa terpilih di Bali Pedawa dan Penglipuran berada di dataran tinggi, sedangkan Legian dan Nusa Ceningan berada di pesisir pantai. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi kelompok bahan untuk tahap isolasi DNA, PCR, RFLP dan elektroforesis. Bahan-bahan untuk tahap isolasi DNA terbagi menjadi dua, yaitu untuk isolasi DNA dari darah dan isolasi DNA dari Guthrie Cards. Bahan-bahan untuk isolasi DNA dari darah adalah: larutan pelisis sel darah merah (NH4Cl [Merck, France]; EDTA [BDH, Canada]; KHCO3 [Merck, France]); larutan pelisis sel darah putih (Tris-HCL [Invitrogen, USA], EDTA [BDH, Canada], 6 dan SDS [Sigma, USA]; enzim RNase (5mg/µL) [Qiagen, Germany]; ammonium asetat 5 M; isopropanol [Malinckrodt, USA]; etanol 70% [Malinckrodt, USA]; dan buffer Tris-EDTA yang mengandung Tris-HCL 10 mM pH 7,5 [Invitrogen, USA], EDTA 1 mM [BDH, Canada]. Bahan yang digunakan untuk isolasi darah dari Guthrie Cards adalah larutan PBS (Phosphate Buffer Saline) yang terdiri atas NaCl, KCl, Na2HPO4, KH2PO4 [Merck, France] yang dilarutkan ke dalam ddH2O, saponin 5% dan larutan Chelex 20% dibuat dari Chelex 100% [Bio-Rad, USA]. Bahan-bahan untuk teknik PCR terdiri atas: PCR buffer (Tris-HCL 10 mM [Invitrogen, USA] dan KCl 50 mM [BDH, Canada]); 1,5 mM MgCl2 [Merck, France]; campuran dNTP 10 mM (dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP) [Invitrogen, USA]; masing-masing primer forward dan reverse SNPs rs5219 dan SNPs rs727110 sebanyak 4 pmol/µL, [1st Base Singapore]; 1,25 unit enzim Taq DNA polimerase [Gibco-BRL, USA]. Bahan-bahan tahap RFLP adalah ultrapure ddH2O, enzim BanII 5u/µL, enzim MwOI 5u/µL, NEB buffer 3 dan NEB buffer 4 (terdiri atas 50 mM NaCl; 10 mM Tris –HCl; 10 mM MgCl2; dan 1 mM dithiothreitol pH 7,9); 100 ug/mL BSA pH 7,4 [New England Biolabs, USA]. Bahan untuk elektroforesis adalah: bubuk agarosa [Seakem LE Agar, USA]; etidium bromida (EtBr) 10 mg/mL [Sigma, USA]; buffer Tris-borat EDTA (TBE) 1x (terdiri atas Tris [Invitrogen, USA]; asam borat [Merck, France]; dan EDTA [BDH, Canada]); loading buffer 6x (terdiri atas bromofenol biru 0,25% [Merck, France]; dan sukrosa 40% (b/v) [Merck, France]). Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah vorteks [Thermolyne 37600, USA]; mesin sentrifugasi [Eppendorf 5415C dan Sorvall RT 6000D, Germany]; neraca digital [Sartorius AC 121S, Germany]; inkubator waterbath [Forma Scientific, USA]; spektrofotometer [Nanodrop ND-1000 V3.5.2., UK]; mesin thermal cycler [GeneAmpR PCR System 9700, USA]; thermomixer Eppendorf 1.5 mL; aparatus elektroforesis wide-mini sub cellR GT [BioRad, USA]; sumber arus listrik [BioRad,USA]; lemari es [National dan Forma Scientific, USA]; tabung mikrosentrifus(0,2; 0,5, dan 1,5 mL) [Molecular Bio Product, CA]; gelas ukur (25 mL dan 250 mL) [Duran, Germany]; labu Erlenmeyer 250 mL [Duran, Germany]; tabung sentrifugasi (15 mL dan 10 mL) [Falcon, USA]; mikropipet [Eppendorf dan Finpippett, Germany]. Metode Pengambilan Sampel Darah Sampel darah manusia diambil dari empat desa di Bali, yaitu Desa Nusa Ceningan, Legian, Penglipuran dan Pedawa menggunakan metode potong lintang (crosssectional), yaitu hanya satu kali pengambilan sampel. Sampel yang diambil dari Desa Nusa Ceningan, Pedawa dan Penglipuran berupa sampel darah utuh, sedangkan sampel dari Desa Legian berupa darah yang diteteskan pada permukaan Guthrie Cards dan didiamkan hingga mengering. Pengambilan sampel dilakukan oleh dokter dan peneliti dari RS Sanglah/Fakultas Kedokteran Udayana dan Lembaga Eijkman dengan persetujuan relawan di populasi Bali. Pengambilan sampel telah mendapatkan izin dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan Komisi Etik Riset Lembaga Eijkman (Malik et al. 2011). Pengambilan sampel dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan sebaran sampel secara umum sehingga asosiasi antara karakteristik sampel dengan kriteria DMT2 dapat dianalisis. Beberapa karakteristik klinis diambil dari tiap relawan, yaitu: jenis kelamin, usia dan konsentrasi glukosa puasa relawan sebagai parameter DMT2. Sebanyak 46 sampel dipilih dari tiap desa dengan jenis kelamin dan usia yang dicocokkan (matched). Sampel-sampel tersebut dikelompokkan menjadi kelompok usia <35 tahun, 36-50 tahun, 51-65 tahun dan >65 tahun. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel DNA yang diisolasi dari darah manusia berusia di atas 25 tahun. Sebanyak 2 mL darah diisolasi dari pembuluh darah perifer relawan kemudian disimpan pada suhu 4°C hingga tahap isolasi DNA dilakukan, sedangkan untuk sampel Desa Legian, darah diteteskan di permukaan Guthrie Cards dan dibiarkan mengering. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam amplop pada suhu ruang hingga proses isolasi DNA dilakukan. Perancangan Primer dan Pemilihan Enzim Restriksi Primer yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas dua pasang primer, satu pasang untuk mendeteksi SNP E23K pada gen KCNJ11 dan satu pasang lainnya untuk mendeteksi SNP A1369S pada gen ABCC8. Primer untuk mendeteksi polimorfisme E23K diperoleh dari literatur (Hansen et al. 2005; Nielsen et al. 2003), sedangkan primer untuk mendeteksi SNP A1369S dirancang oleh asisten peneliti di Lembaga Eijkman. 7 Tahap-tahap perancangan primer dilakukan dengan bantuan software Primer3, REHelper, NetPrimer, Blastn, PCRproducts dan Restriction Digest. Pemilihan enzim restriksi dilakukan bersamaan dengan perancangan primer. Tahap perancangan primer diuraikan dalam Lampiran 2. Primer yang digunakan adalah sebagai berikut: - SNP E23K pada gen KCNJ11 Forward Primer : 5-GACTCTGCAGTGAGGCCCTA-3 Reverse Primer : 5-ACGTTGCAGTTGCCTTTCTT-3 - SNP A1369S pada gen ABCC8 Forward Primer : 5-CGCTACGACAGCTCCCTGAAG-3 Reverse Primer : 5-GTCTCCTTGGTGGATGAGTGAG-3 Enzim restriksi yang digunakan untuk memotong produk PCR gen KCNJ11 adalah BanII, dengan situs restriksi : 5’....GRGCYˇC....3’ 3’....CˆYCGRG....5’ Enzim restriksi yang digunakan untuk memotong produk PCR gen ABCC8 adalah MwoI, dengan situs restriksi : 5’....GCNNNNNˇNNGC....3’ 3’....CGNNˆNNNNNCG....5’ Keterangan : R=A/G, Y=C/T, N= A/T/G/C; = Letak polimorfisme Isolasi DNA a) Metode PuregeneR yang Telah Dimodifikasi (2003) Sebanyak 6 mL larutan pelisis sel darah merah dicampur dengan 2 mL darah di dalam tabung Falcon™ bervolume 10 mL. Tabung tersebut dibolak-balik sebanyak 2-3 kali kemudian diinkubasi pada suhu ruang (1525°C) selama 10 menit. Setelah itu, dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada 1500 rpm (Sorvall RT 6000D) untuk mengendapkan sel darah putih. Supernatan dalam tabung dibuang dan dua tahap terakhir diulang tanpa melalui proses inkubasi. Pelet sel darah putih yang diperoleh kemudian divorteks hingga homogen dan ditambahkan 500 µL larutan pelisis sel darah putih. Campuran kemudian dihomogenasi kembali dengan menggunakan pipet transfer. Sebanyak 2 µL enzim RNase A 5 mg/mL dicampurkan ke dalam larutan kemudian dihomogenasi dan diinkubasi di suhu 37°C dalam shaker waterbath selama 45 menit. Sebanyak 334 µL amonium asetat 5 M dimasukkan ke dalam larutan agar terjadi presipitasi protein. Tabung divorteks hingga homogen kemudian disentrifugasi pada 3.000 rpm (Sorvall RT 6000D) dengan suhu 4°C selama 15 menit. Supernatan dengan volume ±800 µL yang mengandung DNA dituang ke dalam tabung Falcon™ baru berukuran 15 mL yang berisi 1.540 µL isopropanol. Isopropanol akan mengikat air sehingga menyebabkan koagulasi DNA yang dapat diamati berupa gumpalan-gumpalan berwarna putih. Larutan dibolak-balik sebanyak 25-30 kali hingga pelet DNA terlihat. Sentrifugasi dilakukan kembali dengan kecepatan 3000 rpm (Sorvall RT 6000D) pada suhu 4°C selama 15 menit. Supernatan yang berisi pengotor dibuang, kemudian dilakukan pencucian dengan 166 µL etanol 70%. Tabung disentrifugasi kembali, kemudian supernatan berupa etanol 70% dibuang. Pelet DNA kemudian dikeringkan pada suhu ruang selama semalam. Pelet tersebut selanjutnya direhidrasi dengan menambahkan 100 µL buffer TE dan diinkubasi pada suhu 37°C dalam shaker waterbath selama 2 jam. Pelet DNA yang telah dilarutkan disimpan pada suhu -20°C. b) Isolasi DNA dari Guthrie Cards Daerah pada permukaan Guthrie Cards yang mengandung darah kering dipotong kecil dengan ukuran kira-kira 0,7x1cm. Potonganpotongan tersebut dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf 1,5 mL. Saponin 0,5% ditambahkan ke dalam tabung Eppendorf tersebut sebanyak 1 mL. Tabung dibolak-balik beberapa kali lalu diinkubasi selama semalam pada suhu 4°C. Setelah melalui proses inkubasi, tabung disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm (Sorvall RT 6000D) selama 5 detik kemudian supernatan dibuang. Selanjutnya, ke dalam tabung ditambahkan Phosphate Buffer Saline (PBS) sebanyak 1 mL dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 4°C kemudian disentrifugasi pada kecepatan dan waktu yang sama. Langkah tersebut dilakukan kembali sebanyak 3 kali ulangan tanpa melalui proses inkubasi. Supernatan dibuang kemudian dilakukan penambahan Chelex 20% sebanyak 50 µL dan larutan TE pH 8,0 steril sebanyak 100 µL. Sampel diinkubasi selama 10 menit pada suhu 100°C kemudian divorteks selama 1-2 menit. Setelah itu, sampel disentrifugasi kembali pada 12000 rpm (Sorvall RT 6000D). Supernatan dipindahkan ke tabung baru kemudian disentrifugasi pada kecepatan yang sama selama 10 menit. Supernatan yang mengandung DNA dipindahkan ke tabung baru lalu disimpan pada suhu 20°C. 8 Pengukuran Konsentrasi DNA Pengukuran konsentrasi DNA dilakukan dengan prinsip spektrofotometri berdasarkan Sambrook et al. (2001). Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer Nanodrop ND-1000 V3.5.2 pada panjang gelombang 260 nm untuk DNA dan 280 nm untuk protein pengotor. Nilai perbandingan antara DNA dengan protein pengotor (A260/A280) berada diantara 1,8-2,0 (Sambrook et al. 2001). Setelah konsentrasi DNA diketahui, sampel DNA diencerkan menjadi 50 ng/µL dengan menambahkan Ultrapure ddH2O. Amplifikasi Gen dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) Bahan campuran reaksi PCR memiliki total volume 25 µL dalam tiap tabung, bahan tersebut terdiri atas ddH2O; PCR buffer 1x; MgCl2 1,5 mM; dNTP 0,2 mM; forward primer 4 pmol; reverse primer 4 pmol; 0,5 unit Taq polimerase; dan 50 ng DNA sampel. DNA tersebut diamplifikasi di mesin PCR yang sudah diatur waktu dan suhunya seperti ditampilkan pada Gambar 3. Fase predenaturasi dilakukan pada suhu 95°C selama 5 menit, dilanjutkan dengan tahap denaturasi pada suhu yang sama selama 1 menit. Tahap annealing terjadi pada suhu 60°C selama 30 detik, kemudian diikuti tahap ekstensi pada suhu 72°C selama 1 menit. Tahap denaturasi, annealing dan ekstensi diulang sebanyak 30x, diakhiri dengan tahap pos ekstensi pada suhu 72°C selama 5 menit. Gambar 4 Pengaturan suhu dan waktu yang digunakan pada reaksi PCR gen KCNJ11 dan ABCC8. Elektroforesis Produk PCR Produk PCR dielektroforesis menggunakan gel agarose yang terlarut dalam buffer (TBE) 1X hingga mencapai konsentrasi 1% menggunakan microwave oven. Setelah agarose terlarut dengan sempurna, selanjutnya dilakukan penambahan EtBr sebanyak 5 µL ke dalam larutan tersebut. Proses elektroforesis dilakukan pada tegangan 100 V selama 30 menit. Jumlah DNA yang diisikan ke dalam sumur elektroforesis adalah 4 µL dengan loading buffer sebanyak 2 µL. Hasil PCR yang telah dikonfirmasi kemudian dipotong dengan enzim restriksi. Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP) Produk PCR dipotong dengan enzim restriksi. Perbedaan satu basa nukleotida atau lebih menyebabkan enzim tidak dapat mengenali situs pemotongannya. Karakteristik ini merupakan prinsip dasar deteksi SNPs dengan metode RFLP. Enzim restriksi akan memotong SNPs dengan jenis alel tertentu, namun tidak memotong alel lainnya. Akibatnya, produk PCR dengan polimorfisme yang berbeda akan memiliki ukuran produk restriksi yang berbeda. Produk PCR gen KCNJ11 didigesti dengan 3 unit enzim BanII untuk mendeteksi SNP E23K yang dicampur dalam larutan buffer NEB 4. Produk PCR gen ABCC8 didigesti dengan 1 unit enzim MwoI untuk mendeteksi SNP A1369S yang dicampur di dalam buffer NEB 3. Produk PCR yang akan didigesti diinkubasi di dalam thermomixer selama 7 jam pada suhu inkubasi 37°C untuk gen KCNJ11 dan 16 jam (overnight) pada suhu 60°C untuk gen ABCC8. Hasil restriksi kemudian dielektroforesis pada gel agarose 2,5% dengan tegangan 80 V selama 1 jam untuk gen KCNJ11, sedangkan untuk gen ABCC8 digunakan gel 3% dengan tegangan 80 V selama 1,5 jam. Pada saat elektroforesis, seluruh DNA hasil restriksi diisikan ke dalam well agarose yang dicampur dengan loading buffer sebanyak 2 µL. Hasil elektroforesis menunjukkan beberapa pita yang dapat diidentifikasi ukurannya dengan menggunakan marker DNA ϕx174RTDNA yang dipotong dengan enzim HaeIII. Analisis Statistik Analisis statistik dilakukan menggunakan perangkat lunak R-Statistics 2.13.0 (Rproject.org©2011). Hasil analisis yang signifikan diperoleh pada p-value <0.05. Kesesuaian frekuensi genotipe dengan kesetimbangan Hardy-Weinberg (HWE) diuji menggunakan Fisher’s Exact Test. Asosiasi genotipe dengan DMT2 diuji dengan ChiSquare test. Analisis haplotipe dilakukan dengan Expectation Maximization Algorithms yang tersedia pada software haplo.stats dengan model aditif. 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Klinis dan Sebaran Sampel Secara Umum Penelitian ini menggunakan 184 sampel darah yang diperoleh dari 108 orang relawan laki-laki dan 76 orang relawan perempuan pada rentang usia 26-81 tahun pada populasi Bali. Sebaran konsentrasi FPG berkisar antara 60 mg/dL hingga 283 mg/dL. Nilai rata-rata konsentrasi FPG populasi total adalah 96,91 mg/dL dengan rata-rata konsentrasi tertinggi dimiliki oleh Desa Pedawa (103,9 mg/dL), sedangkan nilai rata-rata konsentrasi FPG terendah dimiliki oleh Desa Nusa Ceningan (91,9 mg/dL) (Tabel 2). Hasil analisis statistik pada tiap desa menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata konsentrasi FPG satu desa dengan desa lainnya (p=0,092) (Tabel 2). Nilai rata-rata konsentrasi FPG di populasi pesisir (Nusa Ceningan dan Legian) sebesar 96,0 mg/dL, lebih rendah daripada rata-rata konsentrasi FPG populasi dataran tinggi (Penglipuran dan Pedawa) sebesar 98,2 mg/dL, namun tidak berbeda secara signifikan (p=0,452). Nilai standar deviasi gabungan daerah pesisir (Nusa Ceningan dan Legian) dua kali lebih tinggi daripada populasi dataran tinggi (Penglipuran dan Pedawa). Artinya, konsentrasi FPG populasi di daerah pesisir pantai lebih bervariasi dibandingkan dataran tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruh turisme yang lebih aktif di Legian dan Nusa Ceningan, sehingga mempengaruhi gaya hidup masyarakat di daerah tersebut. Kemungkinan lain penyebab tingginya variasi FPG adalah faktor makanan yang relatif lebih bervariasi di daerah pesisir bila dibandingkan dengan daerah dataran tinggi. Analisis asosiasi letak geografis (pesisir pantai dan dataran tinggi) dengan kriteria DMT2 tidak signifikan (p=0,052). Hasil analisis konsentrasi FPG menunjukkan nilai prevalensi DMT2 total di empat populasi Bali adalah 4,3% (Tabel 2) lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi DMT2 di Indonesia yaitu 5,7%. Prevalensi hiperglikemia sedang pada populasi total adalah 10,9%, mendekati prevalensi nasional 10,7% (Depkes 2010). Tingginya prevalensi hiperglikemia sedang perlu diwaspadai karena satu dari tiga kasus hiperglikemia sedang akan berkembang menjadi DMT2 dalam kurun waktu 5 tahun (Mihardja et al. 2009). Berdasarkan prevalensi hiperglikemia sedang, dapat diperkirakan sekitar 10-15 tahun mendatang jumlah penderita diabetes akan meningkat sebanyak dua kali lipat di keempat populasi Bali. Prediksi tersebut diperoleh berdasarkan perhitungan berikut ini : Prevalensi DMT2 2x lipat = 2x 4,3% = 8,6% Kurun Waktu Prevalensi IH DMT2 5 tahun 1/3 x 10,9% = 3,6% 10 tahun 2(1/3 x 10,9%) = 7,2% 15 tahun 3(1/3 x 10,9%) = 10,8% 7,2%< prev. DMT2 2x lipat (8,6%)< 10,8% Prevalensi DMT2 di masing-masing populasi Nusa Ceningan (2,2%), Legian (8,6%) Penglipuran (2,2%) dan Pedawa (4,3%). Prevalensi hiperglikemia sedang di Desa Nusa Ceningan (2,2%), Legian (8,7%), Penglipuran (13%) dan Pedawa (19,6%) (Tabel 2). Asosiasi Jenis Kelamin dengan Kriteria DMT2 Analisis asosiasi jenis kelamin dengan kriteria DMT2 pada populasi total tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p=0,607) (Tabel 2). Perbandingan rata-rata konsentrasi FPG tiap jenis kelamin pada masing-masing desa ditampilkan pada Gambar 5. Asosiasi jenis kelamin dengan kriteria DMT2 tidak berbeda secara signifikan baik pada populasi total (p=0,607) maupun di tiap-tiap desa (Nusa Ceningan p=0,479); Legian (p=0,860); Penglipuran (p=0,623); dan Pedawa (p=0,335) (Gambar 5). Berbeda dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa di Indonesia, kriteria DMT2 berasosiasi dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 1,2-1,4 kali lebih tinggi daripada laki-laki (Mihardja et al. 2009). Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh jumlah sampel yang sedikit (n=184), sehingga tidak mewakili seluruh populasi. Gambar 5 Asosiasi jenis kelamin dengan kriteria DMT2 berdasarkan konsentrasi FPG pada masingmasing desa. Laki-laki Perempuan 10 Tabel 2 Karakteristik klinis dan sebaran sampel secara umum Rata-rata FPG Rata-rata FPG Prevalensi Prevalensi Karakteristik kelompok p* gabungan Hiperglikemia DMT2 (mg/dL) (mg/dL) Sedang (%) (%) Populasi Desa 91,9 ± 30,2 2,2 2,2 Nusa ceningana 96,0±29,4 100,1 ± 28,5 8,7 8,6 Legiana 0,092 92,4 ± 15,4 13,0 2,2 Penglipuranb 98,2±13,8 b 103,9 ± 12,2 19,6 4,3 Pedawa Jenis Kelamin Laki-laki (108) 98,0±24,6 10,2 5,5 Perempuan (76) 95,4±21,5 0,607 11,8 2,6 Total (184) 96,91±23,3 10,9 4,3 Kelompok Usia <35 (33) 94,0 ± 14,2 9,1 6,1 36-50 (75) 96,0 ± 29,8 4,0 2,7 0,007 51-65 (40) 99,5 ± 18,3 25,0 2,5 >65 (36) 99,4 ± 19,9 11,1 8,3 * Nilai asosiasi karakteristik dengan kriteria DMT2; a Populasi daerah pesisir pantai; b Populasi daerah dataran tinggi; Hiperglikemia Sedang (110<FPG<126); DMT2 (FPG>126 mg/dL); nilai p yang bercetak tebal menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05); Semua nilai p dihitung dengan menggunakan Chi-square test. Asosiasi Kelompok Usia Tertentu dengan Kriteria DMT2 Sampel yang diperoleh dari keempat desa dibagi menjadi 4 kelompok usia, yaitu <35 tahun (17,9%), 36-50 tahun (40,7%), 51-65 tahun (21,7%) dan >65 tahun (19,6%). Karakteristik sampel berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin tiap desa ditampilkan pada Tabel 3. Sampel yang dianalisis pada penelitian ini banyak tersebar pada rentang usia 36-50 tahun, berjumlah 75 sampel (40,7%). Asosiasi kelompok usia dengan kriteria DMT2 menunjukkan bahwa jumlah penderita hiperglikemia sedang di kelompok usia 51-65 tahun berbeda secara signifikan dari kelompok usia lainnya (p=0,007) (Tabel 2). Perbedaan yang signifikan juga terlihat di populasi Legian (p=0,024), dan populasi lakilaki di Desa Penglipuran (p=0,027). Namun, pada tiga desa lainnya distribusi konsentrasi FPG relatif seragam pada semua kelompok usia (Nusa Ceningan (p=0,452); Penglipuran (p=0,088); dan Pedawa (p=0,071). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Mihardja et al. 2009) yang menyatakan bahwa prevalensi DMT2 di Indonesia meningkat pesat pada kelompok usia 35-44 tahun. Tingginya prevalensi hiperglikemia sedang pada kelompok usia 5165 tahun disebabkan oleh menurunnya aktivitas sel β pankreas (Biggs et al. 2010, Mihardja et al. 2009). Prevalensi DMT2 relatif tinggi pada kelompok usia <35 tahun (6,1%) dan >65 tahun (8,3%). Tingginya prevalensi DMT2 di usia >65 tahun merupakan hal yang wajar sebagai akibat menurunnya efektivitas sel β pankreas dalam memproduksi insulin sehingga banyak orang lanjut usia mengalami DMT2. Namun, tingginya prevalensi DMT2 di usia <35 tahun mungkin disebabkan perubahan gaya hidup penduduk usia muda sebagai dampak westernisasi. Nilai prevalensi DMT2 di usia <35 tahun merupakan kontribusi dari Desa Penglipuran dan Legian. Desa Legian memang telah dipengaruhi westernisasi setidaknya selama 20 tahun. Hal ini berdampak pada perubahan gaya hidup dan tingkat sosial-ekonomi yang relatif lebih tinggi daripada tiga desa lainnya. Pekerjaan penduduk Legian yang tadinya nelayan dan petani berubah menjadi pekerja hotel dan pedagang sehingga aktivitas fisik mereka berkurang. Makanan yang mereka konsumsi banyak mengandung karbohidrat tinggi, kaya lemak jenuh dan kolesterol (Malik et al. 2011). Berbeda dengan penduduk di Desa Pedawa, Penglipuran dan Nusa Ceningan yang belum terpengaruh oleh westernisasi. Kehidupan mereka relatif lebih sederhana dengan gaya hidup yang masih tradisional. Perubahan gaya hidup dan tingkat sosialekonomi yang lebih tinggi berkorelasi dengan meningkatnya prevalensi DMT2 (Mihardja et al. 2009). 11 Tabel 3 Asosiasi kelompok usia dan jenis kelamin dengan kriteria DMT2 pada masing-masing desa Desa Nusa Ceningan Total (n=46) Laki-laki (n=27) Perempuan (n=19) Legian Total (n=46) Laki-laki (n=27) Perempuan (n=19) Penglipuran Total (n=46) Laki-laki (n=27) Perempuan (n=19) Pedawa Total (n=46) Usia Frekuensi (%) Rata-rata FPG (mg/dL) <35 36-50 51-65 >65 <35 36-50 51-65 >65 <35 36-50 51-65 >65 17,4 39,1 23,9 19,6 8,7 19,6 13,0 13,0 8,7 15,2 10,9 6,5 84,5+4,7 96,9+46,9 87,9+9,6 93,0+13,7 87,0+5,3 106,0+59,1 89,7+11,4 93,0+16,7 82,0+2,4 82,7+4,6 85,8+7,5 93,0+6,0 <35 36-50 51-65 >65 <35 36-50 51-65 >65 <35 36-50 51-65 >65 17,4 34,8 21,7 19,6 8,6 23,9 13,0 13,0 8,6 10,9 8,6 6,5 93,9+17,9 100,7+35,8 107,3+24,4 96,1+24,7 90,8+10,1 91,8+6,0 110,7+29,7 101,9+29,8 97,0+24,9 113,0+54,3 102,2+15,9 86,3+2,1 <35 36-50 51-65 >65 <35 36-50 51-65 >65 <35 36-50 51-65 >65 19,6 41,3 19,6 19,6 8,6 23,9 13,0 13,0 10,9 17,4 6,5 6,5 96,6+16,9 86,3+9,8 96,7+19,0 97,0+17,8 102,3+20,4 85,5+11,9 98,2+23,9 100,5+12,8 92,0+14,2 87,5+6,3 93,7+1,5 90,0+27,4 P Rata-rata FPG gabungan (mg/dL) 0,452 91,9 + 30,2 0,535 96,7+38,6 - 85,0+6,31 0,024 100,1+ 28,5 0,096 97,9+20,7 0,541 103,2+37,3 0,088 92,4 + 15,4 0,027 94,1+17,3 0,330 90,1+12,3 Prevalensi Hiperglike mia Sedang (%) Prevalensi DMT2 (%) 0 0 0 2,2 0 0 0 3,7 0 0 0 0 0 2,2 0 0 0 3,7 0 0 0 0 0 0 0 2,2 6,5 0 0 0 7,4 0 0 5,3 5,3 0 2,2 2,2 2,2 2,2 0 0 4,8 4,8 5,3 5,3 0 0 2,2 0 6,5 4,3 0 0 11,1 3,7 5,3 0 0 5,3 2,2 0 0 0 3,7 0 0 0 0 0 0 0 <35 17,4 100,6+9,6 4,3 0 36-50 41,3 100,2+6,8 4,3 0 0,071 103,9 + 12,2 51-65 21,7 106,8+11,5 8,1 0 >65 19,6 111,3+19,7 2,2 4,3 Laki-laki <35 8,6 93,3+7.8 0 0 (n=27) 36-50 23,9 99,5+8,3 7,4 0 0,197 103,2+14,9 51-65 13,0 102,7+11,6 3,7 0 >65 13,0 117,2+22,4 3,7 7,4 Perempuan <35 8,6 108,0+2,9 10,5 0 (n=19) 36-50 17,4 101,1+4,5 0 0 0,054 104,8+7,2 51-65 8,6 113,0+9,5 15,7 0 >65 6,5 99,7+0,6 0 0 nilai p yang bercetak tebal menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05); Semua nilai p dihitung dengan menggunakan Chi-square test. 12 Deteksi SNP E23K Gen KCNJ11 dan Gen ABCC8 Deteksi SNP E23K dan SNP A1369S telah berhasil dilakukan dengan mengamplifikasi gen menggunakan reaksi PCR kemudian mendigesti produk PCR tersebut dengan enzim restriksi yang spesifik. Representasi deteksi polimorfisme SNP E23K gen KCNJ11 ditampilkan pada Gambar 6 (kiri). Genotipe EE menghasilkan tiga pita, masing-masing berukuran 150bp, 32bp dan 28bp. Genotipe EK menghasilkan empat pita, masing-masing berukuran 178bp, 150bp, 32bp dan 28bp. Genotipe KK menghasilkan dua pita, masingmasing berukuran 178bp dan 32bp. Representasi deteksi polimorfisme SNP A1369S ditampilkan pada Gambar 6 (kanan). Genotipe SS menghasilkan 3 pita masingmasing berukuran 203bp, 92bp dan 8bp. Genotipe SA menghasilkan lima pita, masingmasing berukuran 203bp, 92bp, 51bp, 41bp dan 8 bp. Genotipe AA menghasilkan empat pita, masing-masing berukuran 203bp, 51bp, 41bp dan 8bp. Pita-pita berukuran 32bp, 28bp dan 8bp tidak terlihat karena ukurannya kecil. Meskipun begitu, keberadaan masing-masing SNPs dapat dibedakan dengan jelas melalui hasil representasi deteksi SNPs. Pemisahan fragmen berukuran kecil (<50bp) dapat terlihat dengan jelas jika menggunakan gel poliakrilamida (Sambrook et al. 2001). Frekuensi Alel Minor (Minor Allele Frequency, MAF) merupakan alel dengan frekuensi paling rendah pada populasi (Foulkes 2009). Hasil analisis populasi total menunjukkan FAM SNP E23K (alel K) di populasi Bali adalah 27% (Tabel 4) sedangkan MAF SNP A1369S (alel A) adalah 29% (Tabel 5). MAF kedua SNPs pada penelitian ini lebih rendah daripada populasi Kaukasia (37% dan 39%), Jepang (37% dan 39%) dan Cina (38% dan 43%), namun tidak serendah populasi Afro-Amerika (8% dan 8%) (Palmer et al 2008; Florez et al 2007; Sakamoto et al 2007; Hani et al 1998). Perubahan frekuensi alel dalam suatu populasi akibat mutasi menyebabkan munculnya frekuensi alel-alel yang khas dan tetap dipertahankan dari generasi ke generasi. Hal ini yang menyebabkan perbedaan frekuensi alel-alel minor dari SNPs yang sama bervariasi di populasi yang berbeda (Li dan Graur 2001). MAF SNP E23K gen KCNJ11 dan SNP A1369S gen ABCC8 di tiap desa mirip satu sama lain, indikasi bahwa keempat desa memiliki latar belakang genetik yang sama (Tabel 4 dan Tabel 5). Jumlah MAF Legian relatif lebih tinggi daripada ketiga desa lainnya. Setelah dibandingkan dengan frekuensi gen lain dari penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan tingginya MAF di populasi Legian disebabkan oleh pemilihan sampel dan jumlah sampel yang sedikit. Berdasarkan letak geografis, MAF gen KCNJ11 (p=0,032) dan ABCC8 (p=0,148) di daerah pesisir cenderung lebih tinggi daripada dataran tinggi. Hal tersebut berlaku pada gen KCNJ11 (34% vs 21%; p=0.032) dan ABCC8 (32% vs 24%; p=0,148). Tingginya MAF di daerah pesisir mungkin disebabkan paparan pengaruh genetik dari luar di daerah pesisir lebih besar dibandingkan dataran tinggi. EE EK KK SS SA AA Gambar 6 Representasi deteksi polimorfisme SNP E23K gen KCNJ11 dan SNP A1369S gen ABCC8 yang dilakukan dengan teknik PCRRFLP (Kiri:SNP E23K; Kanan :SNP A1369S) Tabel 4 Nilai Frekuensi Alel Minor (MAF) gen KCNJ11 pada masing-masing populasi Frekuensi Frekuensi HardyMAF (%) Genotipe (%) Alel (%) Weinberg Desa N Equilibrium EE EK KK E K Pesisir 92 Nusa Ceningan 46 52 39 9 72 28 0,730 34 Legian 46 44 35 22 61 39 0,069 Dataran Tinggi 92 Penglipuran 46 70 22 9 80 20 0,047 21 Pedawa 46 63 31 6 78 22 0,413 Total 184 p=0,032 57 32 11 73 27 0,008 Angka bercetak tebal menunjukkan nilai yang signifikan p<0,05 (Tidak memenuhi HWE) 13 Tabel 5 Nilai Frekuensi Alel Minor (MAF) gen ABCC8 pada masing-masing populasi Frekuensi Frekuensi Hardy Genotipe (%) Alel (%) Weinberg Desa N Equilibrium SS SA AA S A Pesisir 92 Nusa Ceningan 46 54 37 9 73 27 0,726 Legian 46 45 35 20 63 37 0,111 Dataran Tinggi 92 Penglipuran 46 70 20 11 79 21 0,012 Pedawa 46 54 37 9 73 27 0,710 Total 184 55 33 13 72 29 0,007 MAF (%) 32 24 p=0,148 Angka bercetak tebal menunjukkan nilai yang signifikan p<0,05 (Tidak memenuhi HWE) Kesetimbangan genotipe pada populasi perlu dibandingkan dengan HWE untuk memastikan bahwa frekuensi genotipe tersebut stabil pada suatu populasi (Kang dan Shin 2004). Prinsip HWE menjelaskan bahwa jika suatu populasi dalam keadaan setimbang maka terdapat lima kondisi yang dipertahankan pada populasi tersebut, yaitu tidak terjadi mutasi dan migrasi pada populasi tersebut, ukuran populasi besar, terjadi perkawinan secara acak dan populasi tidak dalam tekanan seleksi alam (Kang dan Shin 2004). Pada populasi total, distribusi frekuensi genotipe gen KCNJ11 tidak sesuai dengan Hukum Kesetimbangan Hardy-Weinberg (HWE) dengan nilai (p=0,008). Distribusi frekuensi genotipe gen KCNJ11 populasi Penglipuran juga tidak mengikuti HWE (0,047). Sebaliknya, frekuensi genotipe gen KCNJ11 di tiga desa lainnya menunjukkan kesesuaian dengan HWE (Tabel 4). Analisis distribusi frekuensi genotipe gen ABCC8 pada populasi total (p=0,007) dan Penglipuran (p=0,012) tidak sesuai dengan HWE. Namun, frekuensi genotipe gen ABCC8 ketiga populasi lainnya sesuai dengan HWE (Tabel 5). Tidak setimbangnya frekuensi genotipe kedua gen dengan HWE dapat disebabkan oleh pemilihan sampel dan jumlah sampel yang relatif sedikit sehingga tidak dapat mewakili seluruh populasi. Asosiasi SNP E23K Gen KCNJ11 dan SNP A1369S Gen ABCC8 dengan Kriteria DMT2 Analisis asosiasi SNP E23K dengan kriteria DMT2 keempat populasi di Bali tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, baik yang dianalisis pada populasi total (p=0,158), pada jenis kelamin laki-laki saja (p=0,247), maupun pada jenis kelamin perempuan saja (p=0,463). Analisis SNP E23K pada masing- masing desa juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, baik pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan (Tabel 6). Pada populasi Nusa Ceningan dengan jenis kelamin perempuan, semua sampel termasuk dalam kriteria FPG normal, sehingga asosiasinya dengan kriteria DMT2 tidak dapat dianalisis. Analisis asosiasi SNP A1369S dengan kriteria DMT2 pada populasi total tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p=0,542), baik yang dianalisis pada populasi laki-laki saja (p=0,471), maupun pada populasi perempuan saja (p=0,510). Analisis asosiasi SNP A1369S dengan kriteria DMT2 pada masing-masing desa menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada populasi laki-laki di Desa Pedawa (p=0,014). Pada populasi tersebut genotipe AA berasosiasi dengan kriteria hiperglikemia sedang dengan frekuensi 100%. Penduduk berjenis kelamin laki-laki di Desa Pedawa yang memiliki genotipe AA SNP A1369S perlu berhati-hati karena memiliki resiko DMT2 lebih tinggi daripada populasi lainnya. Hal ini, masih perlu dibuktikan melalui analisis terhadap sampel yang lebih besar. Analisis asosiasi SNP A1369S dengan kriteria DMT2 pada desa lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, baik pada laki-laki maupun perempuan (Tabel 6). Penelitian lain menyatakan genotipe mutan pada kedua gen (genotipe KK pada KCNJ11 dan genotipe AA pada gen ABCC8) berkaitan dengan DMT2 (Lefer et al. 2009; Florez JC et al. 2007; Giurgea et al 2006; Bryan J 2004; Riedel et al. 2004; Schwantecher et al. 2002). Sebaliknya, pada penelitian ini tidak terlihat asosiasi yang signifikan antara haplotipe mutan kedua gen dengan DMT2 di populasi total. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang sedikit. 14 Tabel 6 Asosiasi SNP E23K dan SNP A1369S dengan DMT2di tiap populasi Variabel Kriteria (%) EE EK KK p SS SA Total (n=184) 14 3 11 13 5 Hiperglikemia sedang 0,158 6 2 5 4 3 DMT2 Laki-laki (n=27) 14 3 14 12 5 Hiperglikemia sedang 0,247 6 3 14 5 5 DMT2 Perempuan (n=19) 15 5 7 14 5 Hiperglikemia sedang 0,463 5 0 0 5 0 DMT2 Nusa Ceningan (n=46) Hiperglikemia sedang DMT2 Laki-laki (n=27) Hiperglikemia sedang DMT2 Perempuan (n=19) Hiperglikemia sedang DMT2 AA P 13 5 0,542 22 11 0,471 7 0 0,510 4 4 0 0 0 0 0,266 4 4 0 0 0 0 0,179 7 7 0 0 0 0 0,735 8 8 0 0 0 0 0,676 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 - 15 10 0 6 0 10 0,345 14 10 0 6 0 11 0,391 17 0 0 9 0 25 0,268 14 0 0 10 0 33 0,210 13 25 0 0 0 0 0,298 14 29 0 0 0 0 0,191 19 3 0 0 0 0 0,461 16 3 11 0 0 0 0,830 20 5 0 0 0 0 0,342 15 5 20 0 0 0 0,935 17 0 0 0 0 0 0,521 17 0 0 0 0 0 0,521 Legian (n=46) Hiperglikemia sedang DMT2 Laki-laki (n=27) Hiperglikemia sedang DMT2 Perempuan (n=19) Hiperglikemia sedang DMT2 Penglipuran (n=46) Hiperglikemia sedang DMT2 Laki-laki (n=27) Hiperglikemia sedang DMT2 Perempuan (n=19) Hiperglikemia sedang DMT2 Pedawa (n=46) 17 14 67 16 12 75 Hiperglikemia sedang 0,219 0,067 7 0 0 4 6 0 DMT2 Laki-laki (n=27) 11 13 100 8 8 100 Hiperglikemia sedang 0,138 0,014 11 0 0 8 8 0 DMT2 Perempuan (n=19) 27 17 50 23 25 50 Hiperglikemia sedang 0,647 0,722 0 0 0 0 0 0 DMT2 Angka bercetak tebal menunjukkan nilai yang signifikan p<0,05 ; Semua nilai p dianalisis dengan menggunakan Chi –square test. 15 Haplotipe Gen KCNJ11 dan ABCC8 Gen KCNJ11 dan gen ABCC8 dilaporkan terkait satu sama lain, baik letaknya pada kromosom, maupun fungsinya secara fisiologis (Florez et al. 2007; Sakamoto et al 2007; Inagaki et al 1995). Kedua gen terletak sangat berdekatan, hanya dipisahkan 4,5 kbp dengan fungsi fisiologis yang komplementer, yaitu membentuk subunit protein KATP channel. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kedua gen memiliki Linkage Disequilibrium (LD)>0,90 (Palmer et al. 2008; Florez et al. 2007; Florez et al. 2004; Aguilar-Bryan et al. 1998; Inagaki et al. 1995). Kedua gen memiliki kecenderungan yang kuat untuk diwariskan bersama-sama sehingga perlu dilakukan analisis haplotipe. Studi haplotipe dilakukan ketika studi asosiasi genetik terhadap suatu marka tidak berhasil ditemukan. Kombinasi alel-alel pada dua SNPs atau lebih dapat memberikan informasi tambahan mengenai hubungan SNPs dengan penyakit (Foulkes 2009).SNP E23K pada gen KCNJ11 dan SNP A1369S pada gen ABCC8 membentuk empat kombinasi haplotipe, yaitu ES, EA, KS dan KA. Asosiasi Haplotipe Gen KCNJ11 dan ABCC8 dengan Kriteria DMT2 Analisis asosiasi haplotipe gen KCNJ11 dan ABCC8 dengan DMT2 dilakukan menggunakan Expectation Maximization Algorithms dengan model aditif. Hasil yang diperoleh ditampilkan pada Tabel 7. Hasil analisis asosiasi haplotipe dengan kriteria DMT2 menunjukkan hanya terdapat satu haplotipe yang signifikan, yaitu haplotipe KS pada populasi Nusa Ceningan (p=0,039) meskipun frekuensinya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan frekuensi haplotipe lain (6%). Pada populasi total dan ketiga populasi lainnya (Legian, Penglipuran dan Pedawa) tidak terlihat adanya asosiasi yang signifikan Tabel 7 Asosiasi haplotipe gen KCNJ11 dan ABCC8 dengan kriteria DMT2 . Haplotipe Total (184) ES EA KS KA Nusa Ceningan (46) ES EA KS KA Legian (46) ES EA KS KA Penglipuran (46) ES EA KS KA Pedawa (46) ES EA KS KA Frekuensi Haplotipe (%) P 66 7 6 21 0,138 0,642 0,662 0,098 64 8 6 22 0,834 0,739 0,039 0,182 55 6 8 31 0,338 0,319 0,498 0,356 74 7 6 14 0,187 0,806 0,489 0,328 69 9 4 18 0,406 0,539 0,746 0,513 p merupakan nilai asosiasi haplotipe kedua gen dengan kriteria DMT2 berdasarkan konsentrasi FPG; Angka bercetak tebal menunjukkan nilai yang signifikan p<0,05; Semua nilai p dihitung dengan menggunakan Expectation Maximization Algorithms dengan model aditif. 16 antara haplotipe tertentu dengan kriteria DMT2. Penelitian lain yang dilakukan terhadap 3400 sampel Kaukasia menjelaskan bahwa haplotipe KA yang terbentuk dari SNP E23K dan A1369S berasosiasi dengan DMT2 (p=0,003)(Florez et al. 2004). Perbedaan ini disebabkan karena jumlah sampel yang kecil dan perbedaan populasi yang dianalisis. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Nilai prevalensi DMT2 pada populasi Bali yang diamati tidak jauh berbeda dengan prevalensi nasional, yaitu 4,3% untuk DMT2 dan 10,9% untuk hiperglikemia sedang. Prevalensi DMT2 di populasi Nusa Ceningan (2,2%), Legian (8,6%) Penglipuran (2,2%) dan Pedawa (4,3%), sedangkan prevalensi hiperglikemia sedang di populasi Nusa Ceningan (2,2%), Legian (8,7%), Penglipuran (13,0%) dan Pedawa (19,6%). Berdasarkan tingginya prevalensi hiperglikemia sedang, prevalensi DMT2 pada keempat populasi diprediksi akan meningkat sebanyak 2 kali lipat dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang. Pada populasi total, hiperglikemia sedang berasosiasi dengan rentang usia 51-65 tahun. Namun, pada penelitian ini, tidak ditemukan asosiasi antara jenis kelamin dengan kriteria DMT2. MAF gen KCNJ11 dan ABCC8 di populasi daerah pesisir lebih tinggi daripada populasi di dataran tinggi. Daerah pesisir juga memiliki keragaman ratarata FPG lebih tinggi daripada dataran tinggi. Pada penelitian ini, tidak ditemukan asosiasi SNP E23K pada gen KCNJ11 dan SNP A1369S pada gen ABCC8 dengan DMT2 yang dianalisis di total populasi. Namun, ditemukan asosiasi genotipe AA pada SNP A1369S gen ABCC8 dengan hiperglikemia sedang di populasi laki-laki Desa Pedawa. Secara umum, analisis haplotipe yang dibentuk oleh kedua polimorfisme juga tidak menunjukkan asosiasi terhadap kriteria DMT2. Saran Kecilnya jumlah sampel merupakan kelemahan dari penelitian ini. Oleh karena itu, analisis cohort dan penggunaan jumlah sampel yang lebih besar diperlukan agar dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan representatif. DAFTAR PUSTAKA Aguilar Bryan L, Bryan J. 1999. Molecular biology of adenosine triphophatsensitive potassium channels. Endocrine rev 20(2):101-135. Aguilar-Bryan L, Clement JP, Gonzalez G, Kunjilwar K, Babenko A, Bryan J. 1998. Toward understanding the assembly and structure of KATP channel. Physiol Rev 78:227-245. Ashcroft FM. 1998. Adenosine 5triphosphate-sensitive potassium channels. Annual Review of Neuroscience. 11:97–118. Biggs ML, Mukamal KJ, Luchsinger JA, Ix JH. 2010. Association between adiposity in midlife and older age and risk of diabetes in older adults. JAMA Vol 303:No.24. Bryan J. 2004. Toward Linking Structure With Function in ATP-Sensitive K_ Channels. Diabetes 3: S104–S112 Campbell JD, Sansom MSP, Ascroft FM. 2003. Potassium channel regulation, structural insights into the function of the nucleotide-binding domains of the human sulphonylurea receptor. EMBO reports 4, 1038–1042. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2010. Tahun 2030 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia mencapi 21,3 juta orang. http://www.depkes.go.id. [Februari 2011] Feng Y, Mao G, Ren X, Xing H, Tang G, Li Q. 2008. Ser1369Ala variant in sulfonylurea receptor gene ABCC8 is associated with antidiabetic efficacy of gliclazide in Chinese type 2 diabetic patients. Diabetes Care 31:1939–1944. Fischer A et al. 2008. KCNJ11 E23K affects diabetes risk and is associated with the disposition index. Diabetes Care 31: Number 1. Florez JC, Burtt N, Bakker PIW, Almgren P, Toumi T, Johan T. 2004. Haplotype structure and genotype-phenotype correlations of the sulfonylurea receptor and the islet ATP-sensitive potassium channel gene region. Diabetes Vol 53. 17 Florez JC, Jablonski KA, Khan SE, Frank PW, Dabelea D, Hamman RF, Knowler WC . 2007. Type 2 Diabetes– Associated Missense Polymorphisms KCNJ11 E23K and ABCC8 A1369S Influence Progression to Diabetes and Response to Interventions in the Diabetes Prevention Program. Diabetes 56(2): 531-536. Foulkes A. 2009. Applied statistical genetics with R: for population-based study. Springer, New York: xxiii+252 hlm. Giurgea I, Bellanie-Chantellot C, Ribeiro M, Hubert L, Sempoux C. 2006. Molecular mechanisms of neonatal hyperinsulinism. Horm Res 66:289– 296. Gloyn AL,Phil D, Pearson ER, Antcliff JF, Proks P. 2004. Activating mutations in the gene encoding the ATP-sensitive potassium-channel subunit Kir6.2 and permanent neonatal diabetes. N Engl J Med 350: 1838-1849. Gloyn AL, McCarthy. 2001. The genetics of type 2 diabetes. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab 15:293-308. Gong L. 2001. Anti-diabetic drug pathway (potassium channel inhibitor PD) http://www.pharmgkb.org/do/serve?obj Id=PA153627758&objCls=Pathway [18 Februari 2011]. Hani EH, Boutin P, Durand E, Inoue H, Permutt MA, Velho G, Froguel P . 1998. Missense mutations in the pancreatic islet beta cell inwardly rectifying K+ channel gene (KIR6.2/BIR):a meta-analysis suggests a role in the polygenic basis of type II diabetes mellitus in Caucasians. Diabetologia 41:1511-1515. Hansen SK, Nielsen EMD, Jakob EK, Andersen G, Glumer C. 2005. Analysis of sparate and combined effects of common variation in KCNJ11 and PPARG on risk of type 2 diabetes. J Clin Endocrinol Metab 90(6) 3629-37. Hansen T, Echwald SM, Hansen L, Moller AM, Almind K, Clausen JO. 1998. Decreased tolbutamide-stimulated insulin secretion in healthy subjects with sequence variants in the highaffinity sulfonylurea receptor gene. Diabetes 47(4):598-605. Hansen L, Hansen T, Clausen JO, Echwald SM, Urhammer SA, et al. 1997. The Val985Met insulin-receptor variant in the Danish Caucasian population: Lack of associations with noninsulindependent diabetes mellitus or insulin resistance. Am J Hum Genet 60: 1532– 1535. Human Genome Project Information. 2011. SNP Fact Sheet. http://www.ornl.gov/ scBi/techresources/Human_Genome/fa q/snps.shtml [20 April 2011] [IDF] International Diabetes Federation. 2011. About Diabetes. http://www.idf.org/about-diabetes. [April 2011] [IDF] International Diabetes Federation. 2010. Diabetes Fact Sheet. http://www.idf.org/about-diabetes. [April 2011] Inagaki N, Glonoi P, Clement JP, Namba N, Inazawa J, Gonzalez G, Aguilar Bryan L. 1995. Reconstitution of IKATP: an inward rectifier subunit plus the sulfonylurea receptor. Science 270:1166 –1170. Jablonski KA, McAteer JB, de Bakker PI, Franks PW, Polin TI, Hanson RL. 2010. Common variants in 40 genes asssesed fo diabetes incidence and response to metformin and lifestyle interventions in the diabets prevention program. Diabetes 59(10):2672-81. Kang dan Shin. 2004. The size of chi square test for Hardy-Weinberg Law. Human Heredity 58:10-11. Ke X, Taylor MS, Cardon MR . 2008. Singleton SNPs in the human genome and implications for genome-wide association studies. European Journal of Human genetics 16:506-515. Kristiansen SB, Lofgren B, Nielsen JM, Stottrup NB, Buhl ES, Nielsen-Kudsk JE. 2010. Comparison of two sulfonylureas with high and low myocardial K(ATP) channel affinity on myocardial infarct size and metabolism in a rat model of type 2 diabetes. Diabetologia 54(2):451-8. Li WH, Graur D. 1991. Fundamental of molecular. Sinauer Associates Publisher, Sunderland:xv-284. 18 Lefer DJ, Nichols CG, Coetzee WA. 2009. Sulfonylurea receptor 1 subunits of ATP-sensitive potassium channels and myocardial ischemia/reperfusion injury. Trends Cardiovasc Med 19(2): 61–67. McCarthy M. 2010. Genomics, type 2 diabetes and obesity. Rev N Eng J Med 363:24. Malik SG, Saraswati MR, Suastika K, Trimarsanto H, Oktavianthi S, Sudoyo H. 2011. Association of beta3adrenergic receptor (ADRB3) Trp64Arg gene polymorphism with obesity and metabolic syndrome in the Balinese:a pilot study. BMC research notes 4:167. Mihardja L, Delima, Manz HS, Ghani L, Soegondo S. 2009. Prevalence and determinants of diabetes mellitus and impaired glucose tolerance in Indonesia. Acta Med Indones. 41(4):169-74. Minami K. 2004. Roles of ATP K+ channels as metabolic sensors. American Diabetes Association Rev 53. Misra A, Khurana L. 2008. Obesity and the metabolic syndrome in developing countries. J Clin Endocrinol Metab Vol 93 11:s9-s30. Murni E. 2009. Desa Adat Penglipuran. http://wisatamelayu.com/id/. Diakses pada 24 Mei 2011. Nichols CG, Koster JC. 2002. Diabetes and insulin secretion: whither KATP?. Am J Physiol Endocrinol Metab 283: E403–E412. Nielsen EM, Hansen L, Carstensen B, Echwald SM, Dhrivsholm T. 2003. The E23K variant of Kir6.2 associates with impaired post-OGTT serum insulin response and increased risk of type 2 diabetes. Diabetes 52, 573–577. O’Rahilly S, Barroso I, Wareham NJ. 2005. Genetic factors in type 2 diabetes: the end of the beginning?. Science 307:370 –373. Palmer ND, Langefeld CD, Bryer-Ash M, Rotter JI, Taylor KD, Bowden DW. 2008. Association of the Kir6.2E23K with reduced acute insulin response in African-Americans. J Clin Endocrinol Metab 93:4979-4983. Pemerintah Kabupaten Buleleng. 2009. Selayang Pandang Desa Pedawa. http://www.bulelengkab.go.id/[Septem ber 2011]. Pemerintah Provinsi Bali. 2010. Sekilas Bali. http://www.baliprov.go.id/[Februari 2011] Pirie FJ, Motala AA, Pegoraro R, Govender T, Paruk I M, Rom L .2010. Variants in PPARG, KCNJ11, TCF7L2, FTO, and HHEX genes in South African subjects of Zulu descent with type 2 diabetes. Rev African Diabetes Journals. Riedel MJ, Steckley DC, Light PE. 2004. Current status of the E23K Kir6.2 polimorphism: implication for Type 2 Diabetes. Hum Genet 116: 133-145. Sakamoto Y, Inoue H, Keshavarz P, Miyawaki K, Yamaguchi Y, Moritani M, Kunika K, Yamamura M. 2007. SNPs in the KCNJ11-ABCC8 gene locus are associated with type 2 diabetes and blood pressure levels in the Japanese population. J Hum Genet 52:781–793. Sakura H, Wat N, Horton V, Milns H, Turner RC, Ashcroft FM. 1996. Sequence variations in the human Kir6.2 gene, a subunit of the beta-cell ATP-sensitive K-channel: no association with NIDDM in white Caucasian subjects or evidence of abnormal function when expressed in vitro. Diabetologia 39:1233–1236. Sambrook J, Russell DW, Maniatis T. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual 3rd Ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Scwanstecher C, Meyer U, Scwantecher M. 2002. Kir6.2 polymorphism predisposes to type 2 diabetes by inducing overactivity of pancreatic βcell ATP-sensitive K+ Channels. Diabetes 51:875–879. Vejrazkova D, Bendlova B. 2005. PPARγ2 and KCNJ11–two promising candidate genes in the aethiopathogenesis of type 2 diabetes mellitus. Rev 144pp.721725. Wasada T. 2002. Adenosine triphosphatesensitive potassium (Katp) channel activity is coupled with insulin resistance in obesity and type 2 19 diabetes mellitus. Rev. Medicinen 41: 84-90. Internal [WHO] World Health Organization. 2011. http://www.who.int/mediacentre/factsh eets/fs312/en/[February 2011] [WHO-IDF] World Health OrganizationInternational Diabetes Federation Consultation Report. 2006. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate Hyperglycemia. WHO Document Production Services, Geneva, Switzerland. Yokes MB, Gul O, Bazak AN. 2001. A methodological comparison between RFLP analysis and the lightcycler technology-ApoE genotyping using the ApoE mutation detection kit. Biochemicha No.4. Zhao J, Bradfield JP, Zhang H, Annaiah K, Wang K, Kim CE, Glessner JT, Frckelton EC, Otieno FG, Doran J. 2010. Examination of all type 2 diabetes GWAS loci reveals HHEXIDE as a locus influencing pediatric BMI. Diabetes 59: 751-755. 20 LAMPIRAN 21 Lampiran 1 Alur penelitian Pengambilan Sampel Darah yang Berasal dari 4 Desa di Bali Karakteristik Klinis (Konsentrasi Gula Darah Puasa) Isolasi Darah Isolasi DNA PCR Elektroforesis RFLP Elektroforesis Analisis Genetik Analisis Data Asosiasi Genetik dengan DMT2 22 Lampiran 2 Tahap-tahap perancangan primer Pencarian Sekuen Gen ABCC8 www.ncbi.nlm.nih.gov Pencarian Sekuen SNP A1369S www.ncbi.nlm.nih.gov/projects/SNP Pemilihan Enzim Restriksi (Menggunakan software Lembaga Eijkman) www.biotools.eijkman.go.id/tools/ rehelper/ Hasil yang diperoleh pada tahap ini digunakan pada proses selanjutnya, meliputi pengujian pengikatan terhadap gen homolog dan simulasi PCR secara virtual Perancangan Primer dengan Software Primer3 www.frodo.wi.mit.edu/cgi-bin Pengujian Pembentukan Struktur Sekunder Primer www.en.biosoft.net/pcr/NetPrimer.html Pengujian Pengikatan terhadap Gen Homolog www.ebi.ac.uk/tools Simulasi Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP) Secara Virtual www.biotools.eijkman.go.id/sms 2/rest_digest.html Simulasi Polymerase Chain Reaction (PCR) Secara Virtual www.bioinformatics.org/sms2/pcr _ products.html 23 Lampiran 3 Primer untuk deteksi polimorfisme E23K dan A1369S Primer untuk deteksi SNP E23K pada gen KCNJ11 Forward Primer % GC Asam Nukleat Tm : : : : 5-GACTCTGCAGTGAGGCCCTA-3 60% G=6; A=4; T=4; C=6 60 °C Reverse Primer : % GC Asam Nukleat Tm 5-ACGTTGCAGTTGCCTTTCTT-3 : 45% : G=4; A=2; T=9; C=5 : 60⁰C Enzim restriksi Hasil restriksi : : (20 nukleotida) (20 nukleotida) BanII Alel G= 150 + 32 + 28 bp Alel A= 172 + 32 bp Primer untuk deteksi SNP A1369S pada gen ABCC8 Forward primer % GC Asam Nukleat Tm : : : : 5-CGCTACGACAGCTCCCTGAAG-3 (21 nukleotida) 61.9 % G=5; A=5; T=3; C=8 60 ⁰C Reverse primer : 5-GGTCTCCTTGGTGGATGAGTGAG-3 (23 nukleotida) 56.52 % G=10; A=3; T=7; C=3 60 ⁰C % GC : Asam Nukleat : Tm : Enzim Restriksi Hasil restriksi : : MwoI Alel T = 203 + 92 + 8 Alel G = 203 + 51 + 41 + 8 bp bp 24 Lampiran 4 Contoh script perhitungan statistik #read data data <- read.table(file='Scriptdatabali1.csv', header=TRUE, sep=',') #check everything that contain NA data[is.na(data$population) | is.na(data$jeniskelamin) | is.na(data$usia) | is.na(data$FPG), ] #add DMT2 catagories (3 catagories) data$cFPG [ data$FPG < 110 ] <-1 data$cFPG [ data$FPG >= 110 ] <-2 data$cFPG [ data$FPG >= 126 ] <-3 #add usia catagories data$cusia[ data$usia < 36 ] <- 1 data$cusia[ data$usia >= 36 ] <- 2 data$cusia[ data$usia >= 51 ] <- 3 data$cusia[ data$usia >= 66 ] <- 4 #genotype and allele frequencies library(genetics) test_geno_all <- function(var) { print("All Samples") geno_rs <- genotype(var, sep="") print(summary(geno_rs)) print(HWE.exact(geno_rs)) } test_geno_all( data$KCNJ11 ) test_geno_all( data$ABCC8 ) # gender dataMale <- data[data$jeniskelamin == 'Male', ] dataFemale <- data[data$jeniskelamin == 'Female', ] # Characteristic of study subjects library(psych) describe(data) describe(dataMale) describe(dataFemale) TestPval_KCNJ11 <- function(Var) { 25 Geno <- genotype(Var$KCNJ11, sep="") GenoWt <- names(table(Geno))[table(Geno)==max(table(Geno))] GenoBin <- as.numeric(Geno != GenoWt)[!is.na(Geno)] print("age") Trait <- Var$usia print(t.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) print(wilcox.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) print("Glucose Fasting") Trait <- Var$FPG print(t.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) print(wilcox.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) } TestPval_KCNJ11(data) TestPval_KCNJ11(dataMale) TestPval_KCNJ11(dataFemale) TestPval_ABCC8 <- function(Var) { Geno <- genotype(Var$ABCC8, sep="") GenoWt <- names(table(Geno))[table(Geno)==max(table(Geno))] GenoBin <- as.numeric(Geno != GenoWt)[!is.na(Geno)] print("age") Trait <- Var$usia print(t.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) print(wilcox.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) print("Glucose Fasting") Trait <- Var$FPG print(t.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) print(wilcox.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) } TestPval_ABCC8(data) TestPval_ABCC8(dataMale) TestPval_ABCC8(dataFemale) 26 Desc_KCNJ11valA <- describe.by(data, group=data$KCNJ11) Desc_KCNJ11valMale <- describe.by(dataMale, group=dataMale$KCNJ11) Desc_KCNJ11valFemale <- describe.by(dataFemale, group=dataFemale$KCNJ11) Desc_ABCC8A <- describe.by(data, group=data$ABCC8) Desc_ABCC8Male <- describe.by(dataMale, group=dataMale$ABCC8) Desc_ABCC8Female <- describe.by(dataFemale, group=dataFemale$ABCC8) print(Desc_KCNJ11valA) print(Desc_KCNJ11valMale) print(Desc_KCNJ11valFemale) print(Desc_ABCC8A) print(Desc_ABCC8Male) print(Desc_ABCC8Female) # Association with DMT2 library(Deducer) ct <- contingency.tables( row.vars=d(cFPG), col.vars=d(KCNJ11), data=data) ct <- add.chi.squared(ct) print(ct, prop.r=T, prop.c=T, prop.t=T) remove(ct) ct <- contingency.tables( row.vars=d(cFPG), col.vars=d(KCNJ11), data=dataMale) ct <- add.chi.squared(ct) print(ct, prop.r=T, prop.c=T, prop.t=T) remove(ct) ct <- contingency.tables( row.vars=d(cFPG), col.vars=d(KCNJ11), data=dataFemale) ct <- add.chi.squared(ct) print(ct, prop.r=T, prop.c=T, prop.t=T) remove(ct) ct <- contingency.tables( row.vars=d(cFPG), col.vars=d(ABCC8), data=data) ct <- add.chi.squared(ct) 27 print(ct, prop.r=T, prop.c=T, prop.t=T) remove(ct) ct <- contingency.tables( row.vars=d(cFPG), col.vars=d(ABCC8), data=dataMale) ct <- add.chi.squared(ct) print(ct, prop.r=T, prop.c=T, prop.t=T) remove(ct) ct <- contingency.tables( row.vars=d(cFPG), col.vars=d(ABCC8), data=dataFemale) ct <- add.chi.squared(ct) print(ct, prop.r=T, prop.c=T, prop.t=T) remove(ct) #Haplotype library("haplo.stats") data$geno <- cbind(substr(data$KCNJ11, 1, 1), substr(data$KCNJ11, 2, 2), substr(data$ABCC8, 1, 1), substr(data$ABCC8, 2, 2)) snp_name <- c("E23K", "A1369S") geno_em <- haplo.em( data$geno, locus.label=snp_name, control=haplo.em.control(min.posterior=1e-4)) geno_em summary(geno_em, show.haplo=TRUE) # DM score.ord.FPG <- haplo.score(data$FPG, data$geno, trait.type="ordinal", x.adj=NA, min.count=0, locus.label=snp_name, miss.val=0, simulate=FALSE) score.ord.FPG #comparison between male and female #sample characteristic (male vs female) TestjeniskelaminPval <- function(Var) { Geno <- genotype(Var$KCNJ11, sep="") GenoWt <- names(table(Geno))[table(Geno)==max(table(Geno))] #GenoBin <- as.numeric(Geno != GenoWt)[!is.na(Geno)] GenoBin <- as.numeric( Var$jeniskelamin == 'Male' ) 28 print("usia") Trait <- Var$usia print(t.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) print(wilcox.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) print("FPG") Trait <- Var$FPG print(t.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) print(wilcox.test( Trait[GenoBin==1],Trait[GenoBin==0])) } TestjeniskelaminPval(data) dataLegian <- data[ data$population == 'Legian', ] describe(dataLegian) 29 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 28 Juli 1989 dari Bapak Suyatno dan Ibu Wiwin Winarti. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan di TK Al-Munawar Bogor, SDN Kebon Pedes 1 Bogor, SMPN 1 Bogor hingga lulus dari SMAN 5 Bogor pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan pilihan mayor Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan pilihan minor Teknologi Pangan sebagai keahlian pendukung. Selama masa perkuliahan penulis aktif di beberapa organisasi intrakampus dan ekstrakampus. Pada tahun 2007-2008 penulis tergabung di Komisi A Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) TPB IPB dan Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA) Bogor, pada tahun 2008-2009 penulis diamanatkan sebagai Ketua Himpunan Profesi Community of Research and Education in Biochemistry’s Student (CREB’s). Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai asisten praktikum mata kuliah Biokimia Umum. Tahun 2009 penulis mengikuti kegiatan IPB Go Field di PT. INDOCEMENT Tbk. Tahun 2010 penulis melakukan kegiatan praktik lapang di Lembaga Eijkman dan menghasilkan sebuah karya ilmiah berjudul “Teknik Pengukuran Bilirubin Bebas pada Konsentrasi 200 dan 300 nM”. Beberapa karya ilmiah lain yang pernah ditulis selama masa perkuliahan adalah “Pembuatan Briket Arang Berbahan Dasar Kulit Jambu Mete sebagai Bahan Bakar Alternatif”, “Penerapan Mata Ajar Kesehatan pada Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Mencegah Epidemik Sindrom Metabolik”.