penyu hijau, chelonia mydas l. yang senang

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXIV, Nomor2,1999 : 13-20
ISSN 0216-1877
PENYU HIJAU, CHELONIA MYDAS L. YANG SENANG MELAHAP
LAMUN HIJAU YANG SEGAR
oleh
Muhammad Husni Azkab
ABSTRACT
GREEN TURTLE, CHELONIAMYDAS L. LIKES TO FEED FRESH GREEN
SEAGRASS. The green turtle a herbivorous reptile of tropical anda subtropical waters, cunsumes both algae and seagrasses along continental coasts and coral reefs. Green
turtles appear to graze on algae in some habitats, e.g. coral reef area, but in inshore
bays and estuaries, the graze almost totally on seagrass. Green turtles feed principally by
day, but spend much of their time in non-feeding activities. When feeding on
seagrasses, green turtles do not disturb the substrate or underground stem system of the
seagrasses, and they feed principally on young leaves. Green turtles feeding seagrasses
seem to deal with it in two ways. Firstly the have a cellulolytic hind gut microflora that
digests approximately 90% of the cellulose in their diet and produces volatile fatty
achids which which are an important energy source for turtles, and secondly, they can
select a more digestible forage by recropping of young blades.
Hewan herbivora tersebut adalah penyu hijau
(Chelonia mydas) dan duyung (Dugong
dugon) (Tabel 1).
Penyu hijau merupakan reptil herbivora
yang dapat ditemukan baik diperairan tropis
maupun di daerah subtropis. Penyu dewasa
dapat mencapai berat sekitar 250 kg yang
makannya berupa rumput laut (algae) atau
lamun (seagrass) yang tumbuh disepanjang
pantai sampai daerah terumbu karang.
Kombinasi dan komposisi makanan dari kedua
tumbuhan ini (algae dan lamun), sangat
tergantung pada tingkat kehidupan penyu
(HIRTH 1971; MORTIMER 1981;
GARNETT et al. 1985).
PENDAHULUAN
Lamun adalah komponen utama detritus dalam makanan di setiap laut dangkal.
Tumbuhan laut ini menyediakan nutrient pada
sejumlah hewan invertebrata dan ikan
(PHILLIPS & McROY 1980). Sebenarnya
lamun jarang dikonsumsi langsung oleh hewan
herbivora. Disamping itu lamun yang dimakan
oleh hewan herbivora tersebut hanya sedikit
bila dibandingkan dengan produksi lamun
secara keseluruhan. Pada penelitian di bagian
utara Australia, diketahui ada dua hewan
herbivora besar yang secara teratur
mengkonsumsi lauk untuk makanannya.
1)
Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI
13
Oseana, Volume XXIV no. 2, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Dari tujuh jenis penyu yang hidup
dilaut, penyu hijau merupakan jenis penyu
yang banyak menarik perhatian baik diluar
negeri seperti Costa Rica (Amerika Tengah).
Serawak (Malaysia) dan Australia maupun di
Indonesia. Hal ini karena penyu hijau
mempunyai nilai ekonomi penting yaitu telur
dan daging sebagai sumber protein serta
kulitnya sebagi bahan industri. Di Indonesia,
penyebaran penyu hijau cukup merata, karena
hal ini berkaitan dengan tempat-tempat
persinggahan penyu hijau tersebut.
Penyu hijau muncul untuk memakan
algae hanya pada beberapa habitat yaitu pada
daerah terumbu karang, sedangkan pada daerah
pesisir baik di teluk maupun di estuaria
makanan penyu hijau adalah lamun (LIMPUS
& REED 1985a, 1985b). Disamping itu, penyu
hijau juga memakan keduanya (algae dan
lamun) pada beberapa daerah seperti di Selat
Torres dan daerah karang di Pulau Yorke
(GARNETT et al. 1985).
Berbeda, dengan duyung, yang mulai
memakan lamun segera setelah kelahiran,
penyu hijau menghabiskan beberapa tahun
kehidupannya di habitat laut dalam dan tidak
menghuni habitat lamun sampai mereka
dewasa (beberapa dekade) (Gambar 1). Habitat lamun berfungsi sebagi daerah makanan
utama untuk penyu hijau dewasa. Pada habitat
lamun di Delta Sungai Macarthur, Teluk
Shoalwater dan Teluk Moreton, Australia,
ditemukan banyak penyu hijau yang
"immatur" dan dewasa. Hal ini berbeda dengan
yang ditemukan pada habitat terumbu karang
yang banyak ditemukan penyu hijau ukuran
kecil sampai medium dari tingkat "immatur"
(LIMPUS & REED 1985, LIMPUS 1975;
PARMENTER 1980).
Walaupun telah diketahui bahwa
produksi oraganik dari lamun memegang
peranan dalam siklus makanan pada herbivora
dan detrivora, tetapi secara umum diketahui
bahwa proporsi yang besar dari hewan yang
yang hidup di padang lamun tergantung dari
tersedianya karbon dan nitrogen yang melalui
siklus detritus (FENCHEL 1972, THAYER
et al. 1975; FRY & PARKER 1979;
ROBERSON & MANN 1980). McROY &
HELFRICH (1980) telah mengemukakan
bahwa ada 154 jenis hewan yang kadangkadang makan lamun, tetapi hanya beberapa
jenis yang telah diketahui secara pasti dapat
mencernakan lamun. Pada percobaan dan
pengamatan tentang aktivitas makan dan isi
lambung, telah ditunjukkan bahwa beberapa
Amphipoda. Isopoda, Bulu Babi dan beberapa
vertebrata secara rutin mengkonsumsi lamun
(LAWRENCE 1975; NIENHUIS & Van
IERLAND 1978; OGDEN 1980).
Salah satu herbivora utama yang sering
makan lamun adalah penyu hijau dewasa,
Chelonia mydas. THAYER & ENGEL (1982)
telah mengeluarkan hipotesis bahwa hewan
herbivora yang berukuran besar mengembalikan secara cepat nutrient lamun yang kaya
melalui produksi pencernaan/kotorannya.
Kotoran tersebut akan dikonsumsi oleh hewan
detrivora lebih cepat bila dibandingkan dengan
proses fisik secara normal pada proses
dekomposisi. Pada penelitian ZIEMAN (1975)
tenatang kecepatan dekomposisi pada daun
lamun membutuhkan 8 minggu untuk
menghilangkan berat 60%.
Pada tulisan ini akan dibicarakan
tentang kebiasaan makan, pencernaan yang
berkaitan dengan dekomposisi makanan serta
interaksi penyu hijau dengan lamun dan
pengelolaan/perlindungan.
KEBIASAAN MAKAN
Penyu hijau dalam hidupnya tidak
bergerombol. Biasanya berenang sendirisendiri kecuali bila akan kawin. Mereka
berkumpul pada suatu area bila terdapat
makanan yang melimpah. Tidak ada tingkah
laku yang agresif baik pada saat mencari
makan atau pada saat istirahat sehingga dapat
dikatakan bahwa tidak ada indikasi adanya
14
Oseana, Volume XXIV no. 2, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
hiraki sosial (BJORNDAL 1980). Pada
prinsipnya penyu hijau makan setiap hari,
tetapi biasanya hanya menghabiskan sebagian
waktunya untuk kegiatan makan. Menurut
BJORNDAL (1980) penyu hijau yang
ditemukan di Union Creek, Bahama, mulai
aktif bergerak dari tidurnya tidak untuk makan,
setelah dua jam lebih baru mulai mencari
makanan. Diperkirakan waktu untuk mencari
makan sekitar jam 08.00 - 10.00 dan antara
jam 14.00 - 17.00. Jarang ditemukan penyu
hijau mencari makan pada malam hari terutama
pada saat bulan purnama.
Penyu hijau jika memakan lamun
sangat berbeda dengan duyung, penyu hijau
ini tidak mengganggu substrat .atau sistem
rhizome dari lamun. Di Karibia, penyu hijau
memakan daun muda dari lamun Thalassia
testudinum dengan membuang hewan-hewan
epifitik yang menempel (BJORNDAL 1980;
MORTIMER 1981). Rhizome dan sponge
hanya sedikit yang ditemukan dalam lambung
duyung dan material ini tidak dicernakkan.
Pada penelitian yang dilakukan di habitat
bagian selatan dan utara Autralia menunjukkan
bahwa dalam lambung atau mulut penyu hijau
ditemukan banyak daun muda dibandingkan
dengan rhizome dan daun tua dari jenis-jenis
lamun; Cymodocea serrulata, Halodule
pinifolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis,
Halophila spinulosadan Zostera Capricorn. Hal
ini mungkin merupakan selektifitas yang
merupakan karakteristik dari penyu hijau
dalam memakan semua jenis lamun.
Efisiensi sistem pencernaan dari penyu
hijau dapat merupakan kesempatan yang baik
bagi para pakar/ahli kebiasaan makan. Penyu
hijau di Bahama tidak memakan secara acak
dari padang lamun Thalassia testudinum tetapi
hanya memakan plot-plot daun mudanya. Jadi
hal ini berarti memaksimalkan protein dan
meminimalkan selulosa dan lignin dari makan
yang tersedia (BJORNDAL 1980). Lebih
lanjut dikatakan bahwa, penyu hijau yang
hanya memakan daun muda tentunya hanya
memakan sedikit epifit yang biasanya
beasosiasi dengan daun tua.
PENCERNAAN MAKANAN
THOMPSON (1980) menerangkan
secara rinci tentang anatomi dan histologi
sistem pencernaan dari penyu hijau. THOMPSON (1980) juga telah menerangkan secara
umum karakteritik penyu hijau khususnya
sebagai hewan herbivora. Penyu tidak
mempunyai gigi, fungsi gigi ini diganti oleh
keratin yang berbentuk paruh yang akan
memotong seperti gunting. Bagian tanaman
yang kasar tidak dihancurkan atau digiling
tetapi langsung dicerna oleh mikroba
fermentasi dalam usus (Tabel 1). Bagaimana
penyu dalam menindentifikasi makanannya
belum diketahui, karena tidak ada zat perasa
dilidahnya dan paruh keratin hanya berfungsi
sedikit dalam pengenalan tipe-tipe makanan
(THOMPSON 1980). Penyu hijau mungkin
saja menggunakan suatu sensor kimiawi atau
penciuman untuk mengetahui tipe-tipe
makannya (MANTON et al. 1972). Lambung
dan usus dari penyu hijau relatif lebih besar
bila dibandingkan dengan penyu lainnya, hal
ini merupakan adaptasi penyu hijau sebagai
hewan herbivora (THOMPSON 1980).
Penyu hijau mempunyai kecepatan
mencerna yang lambat, dimana jika makan
lamun T. testudinum yaitu hanya mengkonsumsi ekuivalen 0,24 - 0.33% dari berat
tubuhnya perhari (berat kering dengan rasio
berat basah) (BJORNDAL 1980). Pencernaan
pada penyu hijau akan sangat tergantung pada
kehadiran bakteri mikroflora selulosa dan protozoa; trichotstoma ciliata dan zooflagellata
dalam perut besar untuk membantu otot
pencernaan (FENCHEL et al. 1979).
Konsentrasi bakteri dan protozoa pada usus
besar penyu hijau sama dengan yang terdapat
pada sapi.
Penyu hijau mempunyai tingkat
pencernaan yang tinggi untuk selulosa dan
15
Oseana, Volume XXIV no. 2, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Perbandingan "grazing" antara penyu hijau dengan duyung di ekosistem lamun
(LANYON et al. 1989).
hemiselulosa (BJORNDAL 1979). Pada
penelitian BJORNDAL (1980) di Bahama
ditemukan tidak adanya signifikasi antara
ukuran penyu hijau dengan presentase
pencernaan selulosa. Tingkat penurunan pada
Hiusim panas sekitar 90%, tetapi pada musim
dingin berkisar 72-91%. Pada penyu kecil (8
kg) mempunyai pencernaan rendah bila
dibandingkan dengan ukuran besar (30, 48, 66
kg). Lebih jauh dikatakan bahwa penyu hijau
dapat mencerna selulosa lebih efisien
dibandingkan dengan hewan pemamah biak
(ruminant), tetapi belum jelas keuntungan dari
pemecahan selulosa ini bagi penyu dalam
keseimbangan energinya. Dalam keperluan
produksi asam lemak dan metabolisme,
diperlukan 15,2% selulosa dalam usus setiap
hari (BJORNDAL 1979).
Pada penelitian BJORNDAL (1980)
menunjukkan bahwa walaupun dalam daun
T testudinum mengandung nitrogen tinggi
(2,7% nitrogen atau 16,7 protein), tetapi
koefisien protein untuk penyu hijau adalah
rendah (sekitat 50%) dan banyak nitrogen yang
terbuang melalui kotoran (faeces). Hal ini
mungkin juga disebabkan karena adanya tanin
pada daun tersebut.
Pada penelitian tersebut diketahui
bahwa penyu hijau memakan lamun dengan
dua cara yaitu : 1. adanya mikroflora pemecah
selulosa yang memecah selulosa sekitar 90%
dari makanan yang memproduksi asam lemak
yang merupakan sumber energi penting untuk
penyu, dan 2. mereka menyeleksi makanan
yang dicerna dengan memotong daun muda
lamun (BJORNDAL 1979, 1980).
16
Oseana, Volume XXIV no. 2, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Berdasarkan studi penyu hijau di
padang lamun Thalassia testudinum di Karibia
bahwa penyu hijau mempunyai sumber
makanan yang relatif konstan dalam
kelimpahannya, konstan dalam kandungan
nutrien dan relatif bebas dalam berkompetisi
dengan penyu hijau lainnya (BJORNAL 1982,
1985). GARNET et al. (1985) beranggapan
bahwa algae hanya sumber maknan yang
miskin bagi penyu hijau dibandingkan dengan
lamun. Dapat dikatakan bahwa keberadaan
penyu hijau mungkin ada hubungannya antara
padang lamun dengan sistem ekologi lainnya
yang berhubungan dengan produksi pencernaan pada area yang jauh dari sumber
makanan penyu hijau.
LIMPUS & NICHOLLS (1988) telah
memperlihatkan hubungan antara fenomena
iklim ENSO (El Nino Southern Oscillation)
dengan jumlah penyu hijau yang kawin di
timur Australia pada dua tahun terakhir.
Hubungan antara efek ENSO dengan
perubahan fisiologis pada penyu hijau belum
dikethui, tetapi LIMPUS & NICHOLLS
(1988) mengganggap bahwa hal ini mungkin
melalui faktor nutrisi.
Mengingat bahwa sampai saat ini
ancaman terhadap kelestrian penyu hijau sudah
sangat mengkhawatirkan terutama ancaman
dari manusia dang tangkapan jaring para
nelayan, maka sangat penting untuk
menyelematkan habitat penyu hijau tersebut.
Hancurnya habitat penyu akan menggangu
kehidupan penyu ditambah lagi dengan
lambatnya perkawinan dengan waktu yang
cukup lama (CAUGHLEY 1985). Padang
lamun sebagai habitat penyu hijau pada daerah
pesisir atau laut dangkal perlu dilindungi.
Perlindungan terhadap habitat padang lamun
telah dilakukan oleh the Great Barrier Reef
Marine Pack Authority yang sangat berguna
bagi kehidupan penyu, khususnya di bagian
utara Australia.
INTERAKSI PENYU HIJAU DENGAN
LAMUN DAN IMPLIKASI
PENGELOLAANNYA
"Grazing" penyu hijau mungkin mempunyai pengaruh bolak-balik yang posistif
terhadap komunitas lamun. Hasil efisiensi dari
pemecahan selulosa dan penguraian yang tidak
sempurna dari nutrient, terutama nitrogen pada
proses lamun di lambung yang pada gilirannya
penyu akan kembali ke alam menghasilkan
kotoran sebagai nutrisi dengan kualitas superior yaitu C;N sebagai sumber makanan. Studi
tentang penyu hijau di Karibia menunjukkan
bahwa rata-rata 2,9 gram N per hari diproduksi
berasal dari kotoran. Hal ini sangat kontras
dengan perkiraan 0,04 N perhari yang
dihasilkan melalui dekomposisi pada jumlah
material daun yang ada disekeliling penyu
(THAYER et al. 1982). Jadi penyu hijau
dengan waktu yang pendek dalam siklus detritus akan menaikkan kecepatan kembalinya
nutrien di lamun.
Pada migrasi tahunan penyu, khususnya pada saat perkawinan dari padang lamun
ke daerah perkawinan yang menggambarkan
secara kuantitatif merupakan nutrien dari
sistem lamun (Gambar 1). Pada migrasi penyu
akan ikut juga lemak secara akumulatif yang
diperkirakan lebih dari 6 kg kuning telur untuk
setiap betina penyu dan juga akan membuang
sampah metabolik serta telurnya. Untuk
komunitas lamun yang didukung oleh
sekelompok penyu yang banyak, tentunya
migrasi penyu ini akan diperhitungkan dalam
perhitungan nutrien/siklus energi.
Proses pencernaan dan pengambilan
protein yang rendah dapat mempengaruhi
kecepatan tumbuh yang dalam hal ini dapat
diukur pada saat penangkapan penyu hijau
yang "immatur". BJORNDAL (1980, 1985)
memperkirakan bahwa kecepatan tumbuh yang
rendah pada penyu hijau di alam akan
dipengaruhi oleh nutrisi dibandingkan dengan
kontrol genetikanya.
17
Oseana, Volume XXIV no. 2, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1. Siklus Hidup Penyu Hijau Secara Umum (LIMPUS et al. 1984)
Jumlah populasi penyu hijau di Laut
Karibia telah beberapa kali mengalami
penurunan akibat eksploitasi yang dilakukan
oleh manusia. Data tahun 1971-1981
menunjukkan bahwa rata-rata jumlah penyu
hijau betina adalah 23.000 di bagian Barat Laut
Karibia. Jumlah populasi ini lenih tinggi bila
dibandingkan dengan tahun 1950-an, tetapi
jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan
abad sembilan belas atau tahun sebelumnya
(THAYER & ENGEL 1982).
BJRNDAL, K.A. 1980. Nutrition and grazing
behavior of the green turtle Chelonia
mydas. Mar. Biol 56 : 147-154.
BJORNDAL, k.a. 1982. Consequences of
herbovory for the life history pattern of
the Caribbean green turtle Chelonia
mydas. In : Biology and conservation
of sea turtle (K.A. Bjorndal, ed.).
Smithsonian Instituion Press, Washington, D.C.: 111-116.
BJORNDAL, K.A. 1985. Nutritional ecology
of sea turtles. Copeia 1985 : 736-751.
DAFTAR PUSTAKA
CAUGHLEY, G. 1985. Problema in wildlife
management. In: The study of populations. (H. Messel, ed). Ch. 13.
Pergamon Press, Sydney : 15-22.
BJORNDAL,. K. A. 1979. Cellulose digestion
and volatile fatty acid production in the
green turtle, Chelonia mydas, Comp.
Biochem. Physion 63A : 127-133.
18
Oseana, Volume XXIV no. 2, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
FENCHEL, T. 1972. Aspects of decomposer
food chains in marine benthos. Verh.
Dutsch. Zool. Ges. 65 : 14-22.
LIMPUS, C.J. and C.P. REED 1985b. Green
sea turtle stranted by cycone Kathy on
the south-western coast of gulf of
Carpentaria. Aust. Wild. Res. 12: 523533.
FENCHEL, T.M., C.P. Me. ROY, J.C.
OGDEN, P. PARKER and W.E.
RAINEY 1979. Symbiotic cellulosa
degradation in green turtled, Chelonia
mydas L. appl. and Envron.micrbiol 37:
348-350.
LIMPUS, C.J. and N. NICHOLLS 1988. The
southern Oscillation regulates the annual numbers of green turtle (Chelonia
mydas) breeding around nothern
Astralia. Aust. Wildl. Res. 15: 23-32.
FRY, B. nd P.L. PARKER 1979. Animal diet in
Texas seagrass meadowps 13C evidence for the importance of benthic
plants. /Estuarione Coast. Mar. Sci. 8:
499-509.
MANTON, M., A.KARR and D.W.
EHRENFELD 1972. Chemoreception in
the
migratory
sea
turtle,
Cheloniamydas, Biological Bull. 143:
184-195.
HIRTH, G.E. 1971. Synopsis of biological data on
the green turtle, Chelonia mydas
(Linnaeus) 1758. F.A.O. Fish Synop.
85 pp.
Me. ROY, C.P. and C. HELFFERICH 1980.
Applied aspects of a seagrasses. In :
Hamndbook of seagrass biology: an
ecosystem perspective (R.C. Pillips and
C.P. McRoy, eds.). Garland STPM
Press, New York : 297-343.
LANYON, J.M., C.J. LIMPUS and H.
MARSH 1989. Dugong and turtles :
grazers in the seagrass system, in :
Biology of seagrasses: a treatise on the
biology of seagrasses with special
reference to the Australian region.
(A.W.D. Larkum, A.J. McComb and S.A.
Shepherd, eds.) Elsevier Science
Publishers, Amsterdam : 610-634.
MORTIMER, J. A. 1981. The feeding ecology of
the west Carribean green turtle
(Chelonia mydas). Biotropica 13:49-58.
NIENHUIS, PH. and E.T. van IERLAND 1978.
Soncumption of seagrass Zostera marina,
by birds and invertebrates during the
growing season in Lake Grevelingen. Neth.
J. Sea. Res. 12: 180-194.
LAWRENCE, J.M. 1975. On the relationship
between marine plant and sea urchins.
Ocenogr. Mar. Biol. Annu. Rev. 13:
213-286.
OGDEN, J.C. 1980. Faunal relationship in
Caribbean seagrass beds. In: Handbook of
seagrass biology: an ecosystem
perspective (R.C. Pillips and C.P.
McRoy, eds.). Garland STPM Press,
New York: 173-198.
LIMPUS, C.J. 1975. The pasific ridley,
Lepidochelys olivacea (Escholtz) and
other sea turtles in north-eastern Australia.
Herpetologica 31: 444-455.
LIMPUS, C.L. and PC. REED 1985a. The
green turtle, Chelonia mydas, in
Queensland: apreliminary description of
the population structure in a coral reef
feeding ground. In : Biology of
Austaliasian Frogs and Reptiles 9G.
Grigg, R. Shine and H. Ehmann, eds.) :
47-52.
PARMENTER, C.J. 1980. Environmental factors
in turtle farming. JCUNQ> Res. Monogr.
1:23-31.
PHILLIPS. R.C. and K.H. MANN 1980. The
role of isopods and amphipods in the
initialfragmentation of seagrass detritus in Nova Scitia, Canada. Mar. Biol.
59 : 63-69.
19
Oseana, Volume XXIV no. 2, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
THAYER, G.W., D.A. WOLFE and R.B.
WILLIAMS 1975. The impact of man
on seagrass system. Am. Sci. 8: 288296.
THOMPSON, S.M. 1980. A comparative
study of the anatomy and histology of
the oral cavity and alimentary canal of
two sea turtles; the herbivorous green
turtle Chelonia mydas and the carnivorous loggerhead turtle Caretta caretta
(Unpublished B.Sc. thesis). James
Cook University of North Queensland.
Townsville : 203 pp.
THAYER, G.W. and D.W. ENGEL 1982. Evidence for short-circuiting of the detritus cycle of seagrass beds by the green
turtle, Chelonia mydas L J. ekp. Mart.
Biol. Ecol. 62: 173-183.
ZIEMAN, J.C. 1975. Quantitave and dynamic
aspects of the ecology of turtle grass.
Thalassia testudinum. Estuarine Res. 1 :
541-562.
THAYER, G.W., D.W. ENGEL and K.A.
BJORNDAL 1982. Evidence for shortcircuiting for of the detritus cycle of
seagrass beds by the green turtle,
Chelonia mydas L J. ekp. Mart. Biol.
Ecol. 62: 173-183.
20
Oseana, Volume XXIV no. 2, 1999
Download