Jurnal Ilmu Arsitektur 1 (1) 2011 1 Konsep Berkesinambungan Dalam Perancangan Arsitektur Hijau Bustari1 1 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Email: [email protected] ABSTRACT Keywords: Arsitektur hijau, berkesinambungan, lingkungan Strategi desain dengan memberikan pertimbangan khusus terhadap aspek lingkungan dan ekologi semakin menjadi salah satu keharusan diberbagai belahan dunia. Bahkan para praktisi atau profesioanalis yang bergerak dalam dunia usaha jasa pengembang atan biro konsultan Arsitek diharuskan berjalan dalam suatu koridor peraturan bangunan (legal aspec) untuk lebih memperhatikan dampak rancangannya terhadap kesinambungan eksistensi lingkungan sekitar. Walau bagaimanapun juga desain yang berkesinambungan telah menjadi suatu landasan dalam berpikir perancangan suatu bangunan. Pada masa kini, dengan gencarnya sosialisasi penerapan tema-tema hijau dan berkelanjutan telah memberikan dampak yang besar bagi dunia Arsitektur untuk ikut serta menjaga keseimbangan lingkungan. Oleh karena itu peran para Arsitek dan pengembang mutlak dituntut untuk berperan serta dalam menciptakan suatu siklus pembangunan yang berkesinambungan bagi masyarakat dan lingkungan. ©2011 JIA JAFT UNSYIAH 1. PENDAHULUAN Beberapa keputusan dalam strategi desain yang dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan, sangat dipengaruhi oleh keinginan, bentuk dan nilai estetika bangunan. Dengan demikian, melalui rancangan, para arsitek memiliki otoritas secara bersamaan memenuhi keinginan mereka untuk mengekspresi nilai estetika, bentuk dan fungsi dari bangunan yang dapat beradaptasi dengan lingkungan. Para arsitek berperan besar dalam memperlakukan kondisi lingkungan. Bahkan dalam memenuhi ekspresi keinginan atau tuntutan dapat berbalik menjadi perusak yang ekstrim terhadap keserasian lingkungan. Pengaruh manusia terhadap lingkungan global terus meningkat secara menakutkan akibat pertumbuhan populasi manusia. Kebutuhan yang membahayakan tanpa disadari adalah tuntutan energi bahan fosil yang takterhingga sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi. Norbert Lechner (2001), menciptakan sebuah bangunan arsitektur hijau yang berkelanjutan (a suistainable green building) melibatkan beberapa aspek perancangan yang memerlukan banyak pembahasan. Namun demikian terdapat satu topik yang sangat penting untuk dijabarkan ialah Energi. Pengaruh tersebut merupakan indikasi besar terhadap pengrusakan elemen lingkungan kehidupan yang berkesinambungan. Maka eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan energi akan memaksa terjadinya eksploitasi sumber daya energi dari seluruh potensi bumi. Eksploitasi besar-besaran pada lingkungan akan mempengaruhi generasi yang akan datang dimana sukar memenuhi kebutuhan manusia sendiri jika lahan dan tanah terdegradasi, kualitas lingkungan rusak dengan berbagai pencemaran. Dalam suasana masa depan yang sangat mencekam bagi kelangsungan kehidupan manusia , peran arsitek termasuk perancang kota pada satu sisi dituntut berperan aktif untuk bereaksi menyelamatkan keseimbangan lingkungan. Arsitektur hijau sebagai wujud dari arsitektur yang berkelanjutan merupakan salah satu strategi pemecahan permasalahan arsitektur yang sadar terhadap visi garakan hemat energi dan stabilitas keadaan lingkungan. Sebuah bangunan atau tempat hunian dapat dikatakan layak huni atau sehat apabila dampaknya tidak menimbulkan gangguan terhadap kesehatan penghuni. Sebaliknya keberadaan penghuni 2 Nama/JIA Vol.1 No.1 Desember 2011 atau bangunan tidak menjadi pemicu kerusakan keseimbangan lingkungan. 2. PEMBANGUNAN YANG BERKESINAMBUNGAN Berkesinambungan atau keberlanjutan menjadi suatu fokus hampir diseluruh sendi kehidupan dalam arti yang positif khususnya dalam ruang lingkup pembangunan. Namun pada umumnya permasalahan yang diperbincangkan adalah menyangkut tentang keterpaduan berbagai kepentingan manusia dan lingkungannya dari segi teknik, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam tulisan ini fokus pembahasan lebih spesifik diterjemahkan sebagai pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu para pengambil keputusan atau pemerintah dan ”arsitek” sebagai pemegang peranan penting dalam merancang pembangunan yang berkesinambungan perlu menegaskan secara detail pentahapan yang harus dijadikan kebijakan sebagai tolok ukur dalam perencanaan pembangunan dengan visi berkesinambungan. Dalam pertimbangan tingkat keberhasilan perlu berpegang pada prinsip bahwa pembangunan yang berkelanjutan harus memenuhi kualitas kehidupan masyarakat dapat meningkat atau lebih baik, dan dapat mengkonservasi sumber daya alam dan keragamannya. Menurut Jeremy Carew-Reid (1994), peningkatan kualitas kehidupan masyarakat (improving the quality of human life) adalah: 1. Berpeluang untuk mengenali potensi yang mereka miliki sendiri; 2. Dapat memperbaiki kesejahteraan hidupnya (long and healthy life); 3. Berpeluang untuk (education); mendapat pendidikan 4. Berpeluang berkehidupan yang layak (decent standard of living); 5. Berpeluang untuk (political freedom); kebebasan berpolitik 6. Jaminan hak asasi manusia mereka dilindungi (guaranted human rights); 7. Perlindungan dari tindak kekerasan (freedom from violence). Masih menurutnya pendapat yang ke dua adalah melestarikan sumber daya bumi (conserving the earth’s vitality and diversity) yaitu: 1. Konservasi dalam arti penyelamatan sistem penunjang kehidupan yang merupakan proses ekologi yang membentuk iklim, pemurnian udara dan air, mendaur ulang unsur dasar alam dan meregenerasi tanah; 2. Mengkonservasi keragaman keanekaan ekosistemnya; biologi dan 3. Memastikan penggunaan sumbar daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan berkesinambungan; 4. Menghindari pengrusakan atau menggunakan seminimal mungkin sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui; 5. Perhitungkan daya beban yang harus ditanggung oleh bumi (earth carrying capacity) karena ekosistem ada keterbatasan dan sangat tergantung pada pola kehidupan manusia. Menurut Peter Hall dan Ulrich Pfeiffer (2000), Agenda 21 di bidang perkotaan sebagai tindak lanjut pembangunan yang berkesinambungan dimana pemikiran dalam penerapannya untuk bidang perkotaan telah dikaji secara khusus yang uraiannya merupakan abad teknologi hemat pekerja (labour saving technology). Sehingga persepsi tentang perkotaan perlu direvisi dengan visi baru sebagai contoh; kota merupakan sumber masalah, menjadi kota sebagai sumber pembaharuan dan perkembangan ekonomi serta kota sebagai penunjang pembangunan pedesaan. Dalam lingkup pembangunan kota yang berkesinambugan, kota harus dilihat secara benar dan utuh dalam skala penataan ruang. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahakan antara satu dengan yang lainnya dan harus dilakukan sesuai dengan kaedah penataan ruang. Sehingga diharapkan dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berdaya guna dan berhasil guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, tidak terjadi pemborosaan dalam pemanfaatan ruang dan tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Ruang sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara di mana termasuk ruang bumi sebagai satu kesatuan wilayah merupakan tempat manusia dan makhluk lainnya melangsungkan kehidupan dan kegiatan. Untuk itu sudah menjadi kewajiban manusia untuk memelihara keberlanjutan lingkungan kehidupan. Nama/JIA Vol.1 No.1 Desember 2011 3. ARSITEKTUR HIJAU Pengertian ”Hijau” sering kali digunakan karena mengandung makna yang menginterpretasikan alam atau lingkungan. Lebih jauh ada juga yang menggunakan dengan kata ekologis. Namun pada batasan lingkup tersebut sering diterjemahkan sebagai istilah bertanggung jawab terhadap lingkungan. Menurut Jimmy Priatman (2006), Green Building dan Green Architecture tidak dapat diartikan semata sebagai bangunan atau Arsitektur yang berwarna serba hijau, melainkan menekankan pada makna keselarasan dengan lingkungan global, yaitu air, udara, tanah dan api. Green Building sendiri dapat didefinisikan sebagai bangunan yang meminimalkan dampak lingkungan melalui konservasi sumber daya dan memberikan kontribusi kesehatan bagi penghuninya. Sementara Green Architecture dimaknakan sebagai wawasan ”arsitektur baru” yang memadukan tidak saja nilai-nilai arsitektur secara umum (kekuatan, fungsi, kenyamanan, biaya, bentuk, tekstur dan estetika), namun juga dimensi-dimensi lingkungan dengan Green Building (efisiensi energi, konsep berkelanjutan, pendekatan holistik). Dengan kata lain adalah tatanan arsitektur yang melestarikan lingkungan global dan meminimalkan kerusakankerusakan yang terjadi pada elemen udara, air, tanah dan energi. Arsitektur Hijau awalnya dipelopori Ian Mc Harg, seorang Arsitek Lansekap yang berasal dari Skotlandia pada tahun 1969. Kemudian di lanjutkan dengan pemahaman-pemahaman yang mengungkapkan prinsip-prinsip hijau yang integral dan linier oleh Sim van der Ryn dan Sterling Bunnell. Perjuangan ini masih belum berakhir dan berlanjut dengan suatu penegasan yang hebat oleh Robert dan Brenda Vale (1991), mereka menyebutkan bahwa Arsitektur Hijau adalah suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu yang berdasar pada prinsip hemat, hemat energi, ramah lingkungan dan pembangunan yang berkesinambungan. Masih menurut mereka terdapat enam prinsip Arsitektur Hijau sebagai berikut: 1. Konservasi energi; yaitu melalui pemanfaatan energi surya dengan bio-solar. Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan energi dari bahan bakar fosil pada bangunan. 2. Menyatu dengan alam; yaitu dengan cara pemanfaatan cahaya alami, tanggap terhadap hujan, memanfaatkan aliran angin (untuk pendinginan buatan), orientasi bangunan sesuai dengan lintasan matahari, meminimalisir 3 perubahan tapak serta menggunakan material bangunan yang mudah didapat (material alami). 3. Meminimalkan penggunaan sumber daya alam; prinsip ini mengandung pengertian bahwa energi yang dibutuhkan untuk mengubah suatu bangunan lebih sedikit dibandingkan energi untuk menghancurkan dan membangun kembali 4. Memperhatikan penggunaan bahan bangunan; tidak dari bahan yang dapat mengganggu kesehatan, namun menjadi pelindung dari cahaya matahari, angin, sumber O2 dan sebagai penyerap polusi. 5. Memperhatikan lingkungan; meminimalisir perubahan karakter tapak, mempertahankan bentuk topografi atau kontur lahan. 6. Menyeluruh; kelima prinsip disatukan dalam prinsip dan pendekatan yang menyeluruh terhadap lingkungan binaan. Arsitektur Hijau merupakan wujud pembangunan yang berkesinambungan atau kehidupan yang berkesinambungan. Telah terbukti hasil karya Arsitektur Tradisional masalalu yang masih dapat dipersaksikan hingga saat ini merupakan suatu pemikiran serta implementasi kongkrit sebagai disain yang berkelanjutan dan ramah terhadap lingkungan. Fakta ini menunjukkan bahwa peradaban manusia jauh sebelum revolusi industri yang ditandai dengan tumbuhnya gaya arsitektur modern, arsitektur tradisional telah mendahului dengan benar dan mampu beradaptasi dengan lingkungan di mana pada saat kaedah-kaedah atau kriteria yang dipasangkan pada ”Arsitektur Hijau” belakangan ini justru telah menjadi bagian atau konsep dari Arsitektur Tradisional yang sangat mendasar dan dengan penuh kesadaran bagi para pelakunya menjaga keseimbangan lingkungan. Aritektur tradisional mempunyai visi masa depan yang berkesinambungan dengan disain ramah lingkungan dan memanfaatkan material bangunan dari alam secara optimal. Di mana hasil pemikiran disainnya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan yang berkesinambungan. Para Arsitek masa kini secara nyata banyak memberi perhatian pada fungsi, estetika, bentuk, ekonomis dari segi biaya pembangunan dan kenyamanan yang membutuhkan penyerapan energi bahan fosil yang besar. Sementara faktor kontekstual dan pengaruh 4 Nama/JIA Vol.1 No.1 Desember 2011 terhadap kesinambungan perhatian yang relatif kecil. lingkungan mendapat Memenuhi keinginan yang tidak terbatas besarnya menuntut kita melakukan pengkondisian lingkungan yang dapat menyebabkan keseimbangan lingkungan itu sendiri terganggu. Secara pasti bahwa pemanasan, pendinginan dan pencahayaan dapat dirancang dengan memindahkan energi ketempat yang diinginkan, baik di dalam maupun di luar bangunan. Hal ini bermakna bahwa sektor bangunan telah menyerap energi dari bahan fosil yang besar. Kondisi ini menunjukkan eksploitasi energi telah berperan aktif dalam meningkatkan kenaikan suhu dan memberi konstribusi besar dalam pemanasan global (global warming). Timbulnya pencemaran lingkungan menambah permasalahan energi yang berkalanjutan. Secara rasional kita dapat berasumsi bahwa pertumbuhan eksponensial jelas menyatakan bahwa kita dapat saja menyeimbangkan produksi energi dengan kebutuhan walau perlu pembatasan permintaan. Oleh karenanya sudah seharusnya kita lebih memilih mengelola, mengkonservasi atau menghemat energi dari pada memenuhi permintaan terhadap nilai ekonomi. Terlalu mahal dan sulit untuk dihitung biaya yang diperlukan untuk pemulihan kehancuran lingkungan yang diakibatkan oleh intervensi ekonomi (pertumbuhan industri) terhadap kebutuhan penyediaan energi. 4. LINGKUNGAN Komisi PBB untuk lingkungan dan pembangunan melahirkan deklarasi, populer dengan Brundtland Report (1987) telah memunculkan tentang lingkup dan pemahaman Arsitektur hijau. Deklarasi ini sarat dengan kepentingan peran Arsitek sebagai perancang lingkungan binan, perancang kota, bagian kota maupun bangunan yang dituntut selaras dengan daya dukung lingkungan guna mengurangi penurunan kualitas lingkungan. Bagaimana peran Arsitek harus mampu meningkatkan kualitas lingkungan yang berarti juga menjaga kualitas hidup manusia tanpa merusak lingkungan. Standarisasi dan penilaian tingkat hijau suatu bangunan dimulai di Inggris tahun 1990 ketika lembaga penelitian bangunan milik pemerintah, Buildng Research and establishment (BRE), memformulasikan standar Building Research and Establishment’s Environmental Assessment Methode (BREEAM) yang merupakan acuan penilaian acuan tingkat hijau paling lengkap, paling ilmiah dan sangat digunakan saat ini. Acuan BREEAM membedakan terpisah delapan klasifikasi bangunan dalam penilaian; bangunan pendidikan, industri, kesehatan, penjara, pengadilan, perkantoran, perdagangan dan hunian temasuk rumah susun, apartemen dan hotel. Ada sepuluh parameter bangunan yang dinilai; manajemen, kesehatan dan lualitas hidup, energi, transportasi, air, material, limbah, tataguna lahan dan ekologi, polusi dan inovasi. Standar ini memberikan lima katagori hasil penilaian; pass, good, very good, exellent dan outstanding. Namun seluruh standar indikator tersebut tidak dapat merepresentasikan terhadap seluruh negara khususnya negara sedang berkembang seperti Indonesia. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan data dan standar bangunan pendukung lainnya. Gerakan membangun terhadap kepedulian Arsitektur Hijau di tanah air sudah dimulai seiring dengan penawaran produk-produk Arsitektur berlabel “Green” . Masyarakat pembangunan mulai beramairamai menempelkan label “Green” agar terkesan menjaga kualitas lingkungan. Oleh karenanya maka perlu disosialisasikan lebih terperinci kepada masyarakat luas tentang makna secara mendasar tentang pemahaman Hijau itu sebenarnya. Tidak ada bahan bakar fosil menghasilkan emisi CO2 yang dikonsumsi. Hampir semua aktivitas, sengaja atau tidak sengaja, minim mengkonsumsi sumber daya alam, sumber daya energi dan mineral serta minim mencemari alam dan lingkungan. Material bangunan dari kayu, bambu dan dedaunan merupakan material terbarukan yang diambil dari lingkungan setempat. Hampir semua Arsitektur Tradisional di Indonesia yang masih difungsikan memiliki ciri “Arsitektur Hijau”. Sebagaimana yang diisyaratkan bahwa karya “Arsitektur Hijau” merupakan suatu karya Arsitektur yang minim mengonsumsi sumber daya alam, minim konsumsi energi, minim emisi CO2, memanfaatkan material terbarukan, dan minim menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia. Karena Arsitektur tradisional lahir jauh sebelum istilah Arsitektur Hijau tersebut muncul, maka secara mendasar Arsitektur Hijau merupakan sublimasi Arsitektur Tradisional. Kecendrungan umtuk menerapkan konsep Arsitektur Hijau di Indonesia haruslah kembali dan bercermin pada Arsitektur Tradisional di tanah-a air yang berperilaku masyarakat tradisional yang hemat, tidak konsumtif sumber daya alam, minim menggunakan teknologi dan peralatan Nama/JIA Vol.1 No.1 Desember 2011 boros energi yang mencemari lingkungan dan mengakibatkan pemanasan global. Bercermin dari Arsitektur tradisional tidak serta merta harus mengikuti sesuatu seperti kembali ke masa lalu . Untuk memahami Arsitektur Hijau diperlukan pemahaman jiwa masyarakat tradisional dan karya arsitektur mereka. Arsitektur Hijau akan tercipta dengan sendirinya ketika menusia berpikir dan berperilaku hemat, tidak boros energi, menggunakn sesuatu seperlunya dan secukupnya. Arsitektur Hijau bukan muncul untuk label atau memberi kesan peduli 5. KONSEP BERKESINAMBUNGAN Dalam buletin Environmental Building News (1995), menyatakan bahwa terdapat sebelas masalah sangat penting dalam mengembangkan konsep perancangan yang dapat dipertahankan. Hal yang utama yang harus didahulukan adalah rancangan hemat energi dan membangun bangunan hemat energi. Lebih lanjut konsep tersebut dijelaskan sebagai konsep bangunan berkelanjutan (suistainable building) adalah sebagai berikut; 1. Bangunan hemat energi; yaitu bangunan yang dirancang dan dibangun adalah bangunan yang memiliki prinsip hemat energi; 2. Bangunan daur ulang; memanfaatkan ulang bangunan yang ada serta infrastrukturnya dari pada menggunakan ruang terbuka; 3. Membangun masyarakat; merancang masyarakat untuk mengurangi ketergantugan pemakaian kendaraan bermotor serta mendorong kepekaan masyarakat sekitar; 4. Mengurangi pemakaian bahan; mengoptimalkan rancangan yang mengguakan ruang lebih kecil serta memanfaatkan material dengan efisien; 5. Melindungi dan meningkatkan mutu lahan; menjaga kelestarian dan mengembalikan ekosistem local dan keanekaragaman.; 6. Memilih banhan bangunan yang berdampak paling rendah terhadap lingkungan; 7. Memaksimalkan umur panjang; merancang agar dapat bertahan lama dan mudah beradaptasi; 8. Menyelamatkan air; merancang bangunan serta ruang luar yang hemat air; 5 9. Membuat bangunan sehat; menghasilkan lingkungan ruang luar dan dalam yang aman serta nyaman; 10. Meminimalisasi sampah konstruksi dan sampah hasil penghancuran bangunan; mengembalikan, memakai ulang, serta mendaur ulang sampah dari bidang pekerjaan dan mempraktikkan sifat peduli lingkungan; 11. Menghijaukan bisnis anda; meminimalkan dampak lingkungan di tempat anda bekerja dan menyebarluaskan konsep ini. Menyadari hal tersebut maka dalam pelaksanaan pembangunan yang berkesinambungan, sumber daya alam harus diperlakukan dengan sangat rasional. Eksploitasi sumber kekayaan alam harus diusahakan dengan strategi tidak merusak tata lingkungan dan tatanan kehidupan manusia. Diantara langkah atau kiat-kiat yang diuraikan di atas maka upaya alternatif lain adalah penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan dapat memelihara kelestarianya sehingga mampu dicapai manfaatnya secara berkesinambungan. Krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini memerlukan kesadaran dan kepedulian dari seluruh komponen masyarakat. Seluruh komunitas merupakan unsur masyarakat yang penting untuk ikut andil dalam pelestarian lingkungan dan menjaga kestabilan ekosistem. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruangan dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang berpengaruh pada kebersinambungan kehidupan kesejahteraan seluruh makhluk hidup. Agenda 21 (1992), menitipkan suatu pesan kepada peserta dari berbagai pelosok dunia termasuk Indonesia, yang mana sangat sarat dengan unsur manusiawi tentang penentuan arah kebijakan berkenaan dengan pembangunan menuju masa depan yang berlandaskan pelestarian dan penyelamatan alam dan lingkungan. Sehingga saat ini kita mendapatkan berbagai istilah yang mulai populer yaitu Kota yang berkesinambungan, Arsitektur yang berkesinambungan, Disain yang berkesinambungan, pembangunan yang berkesinambungan bahkan masyarakat atau kehidupan yang berkesinambungan. Harapannya adalah slogan ini akan menjadi suatu strategi Pembangunan Nasional yang berkesinambungan. 6 Nama/JIA Vol.1 No.1 Desember 2011 6. MENUJU ARSITEKTUR HIJAU Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan pada bangunan yang dapat meminimalisasi berbagai pengaruh yang dapat membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan. Arsitektur hijau tidak saja sebatas bangunan sebagai objek, namun meliputi lebih dari sebuah bangunan yang berkaitan erat dengan eksistensi lingkungan. Dalam perencanaannya kehadiran Arsitektur Hijau harus meliputi lingkungan utama yang berkelanjutan. Untuk pemahaman dasar arsitektur hijau (green architecture) yang berkelanjutan, di antaranya perancangan ruang luar, perancangan ruang dalam terhadap penggunaan material dan aspek arsitekturnya secara keseluruhan harus menjadi satu kesatuan. Dalam penerapannya, pertimbangan rasio antara luas bangunan terhadap luas lahan haruslah menjadi perhitungan yang konsisten dan mengikat khususnya peruntukan untuk ruang terbuka hijau disamping prinsip-prinsip perancangan hemat energy atau mengurangi pemborosan energy. Oleh karena itu haruslah memberdayakan semua potensi lingkungan sekitar. Penggunaan material untuk dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat. Selain itu, tujuan pokok arsitektur hijau adalah menciptakan eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan. Arsitektur hijau diterapkan dengan uapaya meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air, dan seluruh material bangunan, mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan melalui tata letak, konstruksi, mekanisme pelaksanan, penggunaan dan pemeliharaan bangunan. Secara matematis disebutkan bahwa hasil konsumsi air sedapat mungkin harus dapat dikembalikan sepenuhnya ke tanah, atau menggunakan prinsip dapat digunakan kembali, di daur ulang atau difungsikan untuk keperluan lain. Dalam hal estetika, arsitektur hijau terletak pada filosofi merancang bangunan yang harmonis dengan sifat-sifat dan sumber alam yang ada di sekelilingnya. Penggunaan bahan bangunan yang dikembangkan dari bahan alam dan bahan bangunan yang dapat diperbaharui. Penerapan lebih jauh adalah upaya untuk memanfaatkan sumber yang dapat diperbaharui seperti menggunakan sinar matahari melalui passive solar dan active solar, serta teknik photovoltaic dengan menggunakan tanaman dan pohon-pohon melalui atap hijau dan taman hujan, Konsep arsitektur hijau sangat mendukung program penghematan energi. Perancangan rumah tropis dengan banyak bukaan atau ventilasi dibentuk untuk mengurangi pemakaian penghawaan buatan secara mekanis dan juga penerangan. Namun, hal tersebut tidak akan ideal jika lingkungan rumah tidak di dukung dengan kehadiran vegetasi sebagai peredam panas. Sehinggaventilasi atau bukaan akan leluasa member kesempatan untuk memasukkan udara nyaman dan membuat pemiliknya tidak perlu mengkondisikan kenyamanan termal secara mekanis. Taman dan halaman dalam arsitektur hijau juga tidak sekadar memperhatikan estetika. Dengan adanya krisis pangan, gagasan penerapan system roof garden dapat menjadi apotek hidup atau kebun sayuran disamping meredam panas. Struktur bangunan tradisional di Indonesia sudah menerapkan prinsip green architecture dengan memanfaatkan bahan asli dari daerah tersebut tanpa melalui proses fabrikasi yang menyedot pemborosan energy. Konsep tersebut selaras dengan prinsip Green Architecture yang telah dicetuskan oleh salah satu pelopornya yaitu Brenda dan Robert Vale yang terkenal dengan prinsip konsep Green Architecture nya yaitu; konservasi energi, menyatu dengan alam, meminimalkan penggunaan sumber daya alam, memperhatikan pengguna bangunan, memperhatikan lingkungan dan menyeluruh. Beberapa contoh penerapan dalam perancangan yang mengacu kepada konsep keberlanjutan pada perancangan bangunan adalah sebagaimana uraian berikut: a) Efisiensi penggunaan energi Gambar 1. Bangunan yang memanfaatkan sinar matahari untuk pencahayaan alami secara maksimal pada siang hari, untuk mengurangi penggunaan energi listrik Nama/JIA Vol.1 No.1 Desember 2011 7 Gambar 2. Bangunan yang memanfaatkan penghawaan alami sebagai ganti pengkondisian udara buatan (air conditioner) dengan sistem penghawaan silang menggunakan ventilasi dan bukaan Gambar 5. Potensi hijau tumbuhan dalam lahan dapat digantikan atau dimaksimalkan dengan berbagai inovasi, misalnya pembuatan taman diatas bangunan (taman atap), taman gantung (dengan menggantung pot-pot tanaman pada sekitar bangunan), pagar tanaman atau yang dapat diisi dengan tanaman, dinding dengan taman pada dinding ,dan sebagainya. Gambar 3. Bangunan yang memanfaatkan air hujan dalam cara-cara inovatif untuk menampung dan mengolah air hujan untuk keperluan domestik. b) Efisiensi penggunaan lahan: Gambar 6. Menghargai kehadiran tanaman yang ada di lahan, dengan tidak mudah menebang pohonpohon, sehingga tumbuhan yang ada dapat menjadi bagian untuk berbagi dengan bangunan. Gambar 4. Menggunakan seperlunya lahan yang ada, tidak semua lahan harus dijadikan bangunan, atau ditutupi dengan bangunan, karena dengan demikian lahan yang ada tidak memiliki cukup lahan hijau dan taman. Gambar 7. Desain terbuka dengan ruang-ruang yang terbuka ke taman (sesuai dengan buka-tutup yang direncanakan sebelumnya) dapat menjadi inovasi untuk mengintegrasikan luar dan dalam bangunan, memberikan fleksibilitas ruang yang lebih besar. 8 Nama/JIA Vol.1 No.1 Desember 2011 7. KESIMPULAN Arsitektur hijau adalah sebuah konsep arsitektur yang berusaha meminimalkan pengaruh buruk terhadap lingkungan alam maupun manusia dan menghasilkan tempat hidup yang lebih baik dan lebih sehat, yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber energi dan sumber daya alam secara efisien dan optimal. Konsep arsitektur ini lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan, memiliki tingkat keselarasan yang tinggi antara struktur dengan lingkungannya, dan penggunaan sistem utilitas yang sangat baik. Beberapa prinsip yang perlu menjadi pegangan dalam melakukan perancangan berkonsep keberlanjutan " adalah sebagai berikut: 1. Hemat energi (Conserving energy), meminimalkan penggunaan bahan bakar atau energi listrik (sebisa mungkin memaksimalkan energi alam sekitar lokasi bangunan). 2. Memperhatikan kondisi iklim (Working with climate), berdasarkan iklim yang berlaku di lokasi tapak kita dan sumber energi yang ada. 3. Mengurangi penggunaan sumber daya alam baru (Minimizing new resources), mengoptimalkan kebutuhan sumber daya alam yang baru, agar sumber daya tersebut tidak habis dan dapat digunakan di masa mendatang (penggunaan material bangunan yang tidak berbahaya bagi ekosistem dan sumber daya alam). 4. Tidak berdampak negatif bagi kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan tersebut (Respect for site), tidak merusak kondisi tapak aslinya, sehingga jika bangunan sudah tidak terpakai, tapak aslinya masih ada dan tidak berubah (tidak merusak lingkungan yang ada). 5. Merespon keadaan tapak dari bangunan (Respect for user), memperhatikan semua pengguna bangunan dan memenuhi semua kebutuhannya. 6. Menetapkan seluruh prinsip-prinsip green architecture secara keseluruhan . Ketentuan di atas tidaklah baku artinya dapat di pergunakan sesuai kebutuhan bangunan. DAFTAR PUSTAKA Vale, Brenda and Robert (1991). Green Architecture Design for a sustainable future, London; Tames and Hudson. Tri Harso Karyono, (2010), Green Architecture, Pengantar Pemahaman arsitektur Hijau di Indonesia, edisi 1 Rajawali Press, 2010. Jenks, Charles (1993) Architecture to day, Academy edition, london, UK. Tri Harso Karyono, (1999). Arsitektur, Kemapanan, pendidikan, Kenyamanan dan penghematan energi, jakarta: catur Libra Optima. Roaf, S, Crichton. D, Nicol, F ( 2005), Adapting buildings and cities for Climate changes are 21st. Century survivals guide, architural Press/Elsevier, UK. Woodwell, GM (1978) The Carbon Dioxid Question, in Energi and environment, USA: WH. Freeman and Co. USA Environmental protection agency, Climate change, website, 2007. Karyono, Tri. H. ( 2008) , Arsitektur hijau: peran arsitek dalam mengurangi konsumsi energi dan perusakan lingkungan kota dan permukiman, Seminar PT. Wiratman, tema: "Go Green ", Jakarta 5 Nopember 2008.