pemanasan global - Jurnal Tekno Efisiensi

advertisement
Tekno Efisiensi
Jurnal Ilmiah KORPRI Kopertis Wilayah IV,
Vol 1, No. 1, Mei 2016
PEMANASAN GLOBAL – PROTOKOL KYOTO
DAN PENERAPAN KAIDAH ‘ARSITEKTUR EKOLOGIS’
Oleh:
Udjianto Pawitro
Program Studi Teknik Arsitektur FTSP – Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung
ABSTRAK - Perubahan kondisi lingkungan hidup termasuk terjadinya pemanasan global
menjad iisu menarik di banyak negara di belahan dunia. Pada saat sekarang ini upaya-upaya terus
dilakukan untuk mencegah terjadinya pemanasan bumi (global warming) termasuk dibentuknya
dibentuknya IPCC (Inter-govermental Panel On Climate Change), sebuah badan di tingkat PBB
yang menangani masalah perubahan iklim. Dampak pemanasan global yang terjadi akan
membawa pengaruh pada perubahan-perubahan antara lain : naiknya permukaan air laut pada
skala global, meningkat terjadinya cuaca yang ekstrim, terpengaruhnya wilayah budi daya
pertanian hingga mencairnya gletser di kutub-kutub bumi. Agenda PBB yang berkaitan dengan
perubahan iklim dunia dibentuk pada tahun 1997 dengan nama: Protokol Kyoto. Isu-isu pokok
yang menjadi topik bahasan dalam Protokol Kyoto ini antara lain : (a) pembangunan yang
berkelanjutan, (b) aspek ekonomi dalam pembangunan, (c) privatisasi dalam kegiatan
pembangunan, (d) pengentasan masalah kemiskinan, dan (e) aspek kesetaraan (equality) dalam
kegiatan pembangunan. Demikian pula pada saat sekarang ini agenda kegiatan perubahan iklim
sudah menjadi kegiatan yang bersifat nasional di Indonesia, dengan terbentuknya DNPI (Dewan
Nasional Perubahan Iklim). Salah satu upaya dalam rangka mengurangi terjadinya perubahan
iklim dunia berupa pemanasan global, dalam bidang arsitektur kita dapat melakukan penerapan
arsitektur ekologis. Arsitektur ekologis didefinisikan sebagai bentuk atau aliran dalam arsitektur
yang memberi perhatian lebih pada aspek lingkungan (ekologis). Terdapat banyak turunan secara
lebih detail apa-apa yang termasuk didalam kaidah arsitektur ekologi. Upaya di bidang arsitektur
untuk menuju tercepainya kondisi lingkungan yang berkelanjutan adalah dengan memperkenalkan
kaidah-kaidah arsitektur ekologis di dunia pendidikan arsitektur.
Kata Kunci: pemanasan global, protocol Kyoto, arsitektur ekologis.
ABSTRACT - Changes in environmental conditions, including the occurrence of global warming
become interesting issue in many countries around the world. At the present time efforts are made
to prevent global warming, including the establishment of the establishment of the IPCC (Intergovermental Panel On Climate Change), an intergovernmental body at the level of the United
Nations that deal with climate change. The impact of global warming is happening will take effect
on the changes include: rising sea levels on a global scale, increased occurrence of extreme
weather, its impact on arable areas to the melting of glaciers in the poles of the earth. UN agenda
related to 'climate change' the world was formed in 1997 under the name: 'Kyoto Protocol'. Key
issues are the subject of discussion in the Kyoto Protocol, among others: (a) sustainable
development, (b) the economic aspects of development, (c) privatization in development activities,
(d) the alleviation of poverty, and (e) equality aspects in development activities. Similarly in the
present climate change agenda has become national activities in Indonesia, with the formation of
DNPI (= National Council on Climate Change). One effort in order to reduce the occurrence of
climate change such as global warming, in the field of architecture we can do the application of
ecological architecture. Ecological architecture is defined as a form or a stream on architecture
that gives more attention to the environmental aspects. There are many derivatives in more detail
what is included in the rules of ecological architecture. Efforts toward the achievement in the field
of architecture for a sustainable environment is to introduce the principles of the ecological
architecture in archi-tectural education.
Keywords: global warming, Kyoto protocol, ecological architecture.
1
I. LATAR-BELAKANG
Kegiatan pembangunan yang berlangsung di berbagai belahan dunia, baik di Negara-negara
maju maupun di Negara-negara sedang berkembang pada kenyataannya saat sekarang ini
memiliki dampak terhadap perubahan iklim global. Akibat langsung dari kegiatan
pembangunan ini adalah dampak negatif terhadap lingkungan hidup berupa: (a) makin
rusaknya lingkungan alam sekitar (degradasi ekologis) dan (b) timbulnya efek pemanasan
global atau global - warming. Efek pemanasan global yang terjadi ini terutama sekali
disebabkan oleh dua hal penting, yaitu: (a) makin sedikit dan rusaknya hutan dunia yang
berfungsi sebagai paru-paru ‘dunia’, dan (b) makin tingginya lapisan CO2 di lapisan
atmostif bumi sehingga menimbulkan efek ‘rumah kaca’.
Lingkungan alamiah atau natural environment di semua tempat di muka bumi dipandang
sebagai habitat atau eksistem dimana seluruh mahluk hidup beserta lingkungan alamiahnya
melakukan kegiatannya secara timbal-balik yang saling mempengaruhi. Dari sudut pandang
ekologis maka bumi dapat dipandang sebagai suatu ekosistem yang dapat memberi
pengaruhi pada rangkaian kegiatan mahluk hidup yang menghuni didalamnya. Perubahan
iklim di berbagai wilayah di permukaan bumi, termasuk terjadinya pemanasan global juga
akan berpengaruh pada adanya perubahan dan keberlangsungan ekosistem yang terjadi di
bumi.
Sebagai lingkungan alamiah bumi dan mahluk hidup (tumbuhan, hewan dan manusia) pada
kenyataannya memiliki ketergantungan timbal-balik dalam aktifitas hidup dimana seluruh
mahluk hidup dipengaruhi pula oleh perubahan kondisi bumi. Mahluk hidup (berupa
tumbuh-tumbuhan, aneka hewan dan manusia) melakukan aktifitas hidupnya secara
terbatas dalam alam lingkungan sekitar yaitu: bumi. Bumi sebagai bentuk ekosistem dan
habitat memberii dukungan bagi keberlangsungan kehidupan makluk hidup yang
mendiaminya. Kondisi hubungan timbal balik antara lingkungan alamiah dan mahluk hidup
yang mendiaminya diusahakan menuju ‘kondisi stabil’ dan berkelanjutan. Manusia sebagai
salah satu mahluk hidup yang mendiami bumi pada kenyataannya dapat mengintervensi
atau mempengaruhi kondisi lingkungan alam kearah kondisi tidak stabil secara ekologis.
Kegiatan manusia seperti kegiatan-kegiatan dalam proses pembangunan yang dilakukannya
dapat memberi pengaruh langsung dan tidak langsung pada perubahan lingkungan bumi
sebagai habitat atau ekosistem. Bentuk kegiatan manusia yang disebut sebagai ‘proses
pembangunan’ yang dapat mempengaruhi lingkungan alamiah bumi patut untuk dicermati
dan diperhatikan secara seksama. Kegiatan pembangunan dimaksud dapat berupa :
pembangunan perumahan & permukiman, proses industrialisasi yang banyak
mengkonsumsi bahan bakar minyak, pendirian dari pabrik-pabrik sebagai pusat-pusat
pengolahan sumber daya alam, kegiatan transportasi yang banyak menggunakan bahan
bakar minyak dan gas, pembangunan gedung-gedung atau bangunan di kawasan perkotaan,
hingga pengrusakan hutan tropik dunia kesemuanya memberi pengaruh terhadap
perubahan iklim bumi.
Pertambahan jumlah penduduk dunia yang makin meningkat member pengaruh pada
perubahan pola aktifitas manusia seperti : pola pengelolaan pangan, pola pengelolaan
sumber daya alam, pola konsumsi energi minyak bumi (bbm) yang berakibat pada rusaknya
kondisi lingkungan hidup di muka bumi. Kegiatan-kegiatan seperti : penebangan hutan
tropik dunia, serta konsumsi berlebihan dari bahan-bakar munyak bumi dan gas
2
menyebabkan pula terjadi laju emisi ‘gas rumah kaca’ di atmosfir bumi. Fungsi hutan
khususnya hutan tropik dunia adalah menjadi paru-paru bumi yang bertugas menyerap gas
CO2, CO, NO2, dsb. yang kemudian diolah menjadi O2 (oksigen) yang sangat bermanfaat
bagi kelangsungan mahluk hidup keseluruhan di muka bumi.
Sejak memasuki era revolusi industri pada abad 17 dan 18 perubahan lingkungan alamiah
di bumi menjadi sangat kentara terutama perubahan yang mengarah pada kerusakan
lingkungan hidup atau ekologi. Dengan meningkatnya gas buang berupa CO2, CO dan
NO2 ke udara akibat proses industrialisasi di berbagai belahan dunia serta kegiatan
transportasi yang menggunakan bahan bakar minyak bumi dan gas dalam jumlah besar
menyebabkan gas buang industri dan transportasi menjadi lapisan gas yang ‘menggantung’
di udara serta mempengaruhi keadaan atmosfir bumi. Lapisan atmosfir bumi menjadi
semakin tebal tersebut berakibat terjadinya fenomena ‘pemanasan global’ (= global
warming).
II.
MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk membahas dan mengungkap tiga subtopik yang berkaitan dengan judul utama penelitian, yaitu: (a) apa itu fenomena ‘pemanasan
global’ (= global warming), (b) apa dan bagaimana implementasi dari ‘Protokol Kyoto’
berkaitan dengan perubahan iklim global, dan (c) kaidah-kaidah ‘arsitektur ekologis’ yang
berkaitan dengan upaya pencegahan fenomena pemanasan global.
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif eksploratif yang
didukung oleh kajian atau telaah pustaka yang dinilai relevan. Sasaran dari penggunaan
metode analisis deskriptif eksploratif ini adalah untuk tujuan membuka wawasan atau
perspektif dari para pembaca. Dukungan kepustakaan (reference) dari: Musdiyarso (2002)
dan Hans Fritz (2009) menjadi menentukan untuk membuka wawasan yang berkaitan
dengan perkembangan Agenda Protokol Kyoto dan kaidah-kaidah Arsitektur Ekologis.
IV. TELAAH TEORITIK (THEORETICAL REVIEW)
A.
Peristiwa Pemanasan Global (Global Warming)
Dalam selang waktu seratus tahun terakhir hingga memasuki tahun 2010, suhu rata-rata
global pada permukaan bumi telah mengalami peningkatan sebesar 0,74 ± 0,18 º Celsius
atau setara dengan 1,33 ± 0,32 º Fahrenheit. Dalam kesimpulannya, Intergovermental Panel
On Climate Change (IPCC) menjelaskan bahwa ‘sebagian besar peningkatan suhu rata-rata
global (yang terjadi sejak pertengahan abad 20), kemungkinan besar disebabkan oleh
adanya peningkatan efek rumah kaca (green house effects) yang diakibatkan oleh aktifitas
manusia. Kegiatan-kegiatan manusia dimaksud yang menyebabkan terjadinya peningkatan
efek rumah kaca antara lain: kegiatan proses industry, kegiatan transportasi, kegiatan
pembangunan gedung kawasan perkotaan, hingga kegiatan penebangan liar (illegal loging)
dari hutan-hutan tropis dunia (www.Wikia-pedia.com/climate-change).
Sekitar 30 badan ilmiah dan lembaga akademik termasuk akademi sains nasional dari
negara-negara maju yang tergabung dalam G-8 menaruh keprihatinan akan terjadinya
fenomena ‘pemanasan global’ atau dikenal dengan istilah ‘global warming’. Fenomena
‘global warming’ ini dapat didefinisikan sebagai peristiwa atau fenomena yang berkaitan
3
dengan peningkatan suhu rata-rata permukaan (di daratan) bumi, lautan dan atmosfir akibat
terjadinya peningkatan gas-gas rumah kaca. Akibat fenomena ‘global warning’ tersebut
maka PBB telah membentuk Dewan Antar Pemerintahan Negara Untuk Perubahan Iklim
(IPCC = Inter-govermental Panel On Climate Change).
Proyek ‘Model Iklim’ yang dicanangkan oleh IPCC menunjukkan bahwa suhu permukaan
global (permukaan daratan dan lautan bumi) akan mengalami peningkatan 1,1 hingga 6,4 º
Celsius atau setara dengan 2,0 hingga 11,5 º Fahrenheit, antara tahun 1990 sampai 2100.
Walaupun sebagian besar hasil penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan
dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut di masa-masa mendatang.
Dengan meningkatnya suhu rata-rata global permukaan bumi diperkirakan akan
menyebabkan beberapa perubahan dalam peristiwa alam-lingkungan. Perubahan
lingkungan atau peristiwa alam - lingkungan yang terjadi akibat fenomena ‘global
warming’ ini antara lain: (a) naiknya permukaan air laut, (b) meningkatnya intensitas
fenomena cuaca yang ekstrim, (c) perubahan jumlah dan pola presipitasi, (d)
terpengaruhnya hasil pertanian, (e) hilangnya atau mencairnya gletser serta (f)
kemungkinan punahnya berbagai jenis hewan.
Banyak ahli lingkungan telah mengindikasikan terjadinya dampak terbesar bagi lingkungan
alamiah atau lingkungan hidup serta dunia secara global akibat usaha-usaha di sektor
industri yang dilakukan dan berkembang dengan sangat pesat pada kurun waktu sepuluh
dekade ini. Dampak negatif yang terjadi adalah terjadinya pemanasan rata-rata suhu bumi
(baik di permukaan daratan bumi, permukaan laut maupun lapisan atmosfir bumi) yang
sering disebut sebagai ‘pemanasan global’ atau ‘global warming’. Masalah Global
Warming sebagai salah satu masalah lingkungan ini masih diperdebatkan kebenarannya
oleh beberapa pihak termasuk akademisi maupun politikus yang menganggap Global
Warming sebagai alasan yang diciptakan untuk membatasi laju perkembangan kegiatan
sector industry di dunia (Murdiyarso, 2002).
Munculnya isu global warming yang merupakan salah satu fenomena akibatnya adalah
peningkatan suhu rata-rata dunia juga banyak dipengaruhi oleh meningkatnya gas buang
rumah kaca akibat menumpuknya gas CO2 di lapisan atmosfir bumi. Peningkatan suhu ini
akan berdampak pada penambahan pemanfaatan energi untuk kepentingan kenyamanan
pada bangunan. Krisis energi skala dunia pada saat sekarang ini ternyata memacu
dikembangkannya konsep arsitektur baru yang lebih sadar energi. ‘Arsitektur hemat energi’
adalah bentuk atau produk arsitektur dengan mengupayakan pemenuhan energi serendah
mungkin yang bisa dicapai dengan mengurangi jumlah sumber daya yang masuk akal atau
logical.
Isu global warming juga akan mempengaruhi pada pola aktifitas manusia, terutama dalam
kegiatan proses pembangunan yang dilakukan baik di Negara-negara maju maupun di
negara-negara sedang berkembang. Pola aktifitas dalam proses pembangunan, makin hari
semakin nyata mempertimbangkan aspek ekologis atau lingkungan hidup sebagai bagian
yang penting untuk diperhatikan. Pembangunan gedung-gedung atau bangunan-bangunan
yang terutama sekali berkonsentrasi di kawasan kota-kota besar, dalam skala yang luas
akan pula mempengaruhi iklim lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu kegiatan
perencanaan dan perancangan pada gedung atau bangunan untuk masa mendatang perlu
kiranya dicermati secara lebih seksama atau lebih mendetail.
4
B.Agenda ‘Protokol Kyoto’ dan Penerapannya
Fenomena perumahan iklim yang terjadi secara global salah satunya ditandai dengan
adanya fenomena pemanasan global atau global warming. Pengaruh dari terjadinya
pemanasan global ini juga membawa banyak akibat atau dampak antara lain menyangkut :
(a) naiknya permukaan air laut, (b) meningkatnya intensitas cuaca yang ekstrim, (c)
perubahan jumlah dan pola presipitasi, (d) terpengaruhnya hasil-hasil dari kegiatan
pertanian, (e) mencairnya banyak gletser di kutub - kutub bumi, dan (e) terjadinya
kepunahan pada berbagai spesies hewan.
Fenomena global warming ini menjadi topik bahasan yang sudah berskala global karena
pengaruh yang diakibatkannya juga terasakan secara mendunia. Pada tahun 1997 disepakati
apa yang dicantumkan dalam agenda PBB tentang ‘Perubahan Iklim’ (UN Agenda for
Climate Change) yang kita kenal sebagai Protokol Kyoto. Dalam protokol Kyoto dimaksud
dibahas dan diagendakan kebijakan bersama, kesepakatan bersama hingga cara-cara atau
mekanisme pengurangan emisi ‘gas rumah kaca’ pada skala dunia, baik oleh negara negara
maju maupun oleh negara-negara sedang berkembang.
Latar-belakang tujuan dibentuknya ‘Protokol Kyoto’ ini adalah perlu dan pentingnya semua
pihak (baik negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang) untuk
berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca yang akan mengancam perubahan iklim secara
global. Kesepakatan yang bersifat politis dalam berbagai bentuk kompromi pada akhirnya
ditempuh dalam membuat kesepakatan bersama – terutama didalam menjembatani
kesenjangan pandangan antara negara maju (Negara-negara industri) dengan negara sedang
berkembang (negara-negara non-industri). Dalam perkembangannya, disepakati antara
lain: target pada jumlah penurunan emisi gas rumah kaca secara global, target waktu yang
ditetapkan, dan kesepakatan dalam menerima pembatasan-pembatasan yang dianggap
rasional. (lihat Murdiyarso – 2002).
Untuk mencegah banyak kebuntuan dalam perundingan, maka dibentuklah koalisi-koalisi
dari Negara-negara tertentu yang mempunyai kepentingan bersama, sehingga diharapkan
mereka saling mendukung. Demikian pula masalah perubahan iklim (climate change) yang
diakibatkan oleh peningkatan suhu udara, perubahan besaran dan distribusi curah hujan,
dan perubahan-perubahan iklim mikro terutama sekali berpengaruh pada wilayah-wilayah
di negara –negara sedang berkembang, hal diatas dapat berpengaruh langsung atau tidak
langsung pada: (a) sistem produksi pangan, (b) ketersediaan sumber daya air, (c) kondisi
permukiman skala besar, (d) kondisi kesehatan lingkungan, serta (e) penyediaan energi
skala makro.
Isu-isu pokok dan mendasar yang dibahas oleh negara-negara koalisi dalam perundingan
agenda tentang Perubahan Iklim ini, antara lain menyangkut 5 (lima) isu penting. Kelima
isu penting dimaksud, adalah : (a) Isu Pembangunan atau ‘Development Isue’ yang
berkelanjutan dan tanggap lingkungan, (b) Isu Pertumbuhan Ekonomi, dengan melihat dan
mempertimbangkan aspek ekologis, (c) Isu Privatisasi – dimana peran sector swasta dalam
kegiatan pembangunan perlu ditingkatkan, (d) Isu Pengentasan Kemiskinan – yang terjadi
di Negara-negara sedang berkembang, dan (e) Isu Kesetaraan (Equality) – yaitu bagaimana
mencapai kesetaraan internasional – tanpa harus menanggung beban domestic. (UN News Lembaran Protokol Kyoto – 1997).
5
IPCC (Inter-govermental Panel on Climate Change), dalam laporan ke-3 pada tahun 2001
menyatakan bahwa : Negara-negara berkembang di Asia umumnya dan di Asia Tenggara
pada khususnya memiliki ‘kerentanan’ (vulnerability) yang sangat tinggi terhadap
‘perubahan iklim’. Lebih spesifik lagi dalam laporan itu dinyatakan bahwa daerah-derah
yang berpenduduk padat dengan pertumbuhan tinggi, dengan kondisi miskin, dan sangat
bergantung pada sumber daya alam – akan mengalami tekanan yang lebih berat. Demikian
pula dengan Indonesia, yang memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap perubahan iklim,
membawa pengaruh pula terhadap bahaya penyebaran penyakit (seperti: malaria dan
demam berdarah).
Untuk negara Indonesia dengan adanya kenaikan permukaan laut setinggi 60 cm akan
berpengaruh langsung terhadap jutaan penduduk yang mendiami daerah-daerah pesisir.
Panjang garis pantai Indonesia dimana lebih dari 80.000 km – memiliki konsentrasi jumlah
penduduk yang sangat besar – diiringi oleh kegiatan social-ekonomi penduduknya yang
tinggi. Perubahan iklim menjadi bahasan dan persoalan yang besar bagi Indonesia. Dengan
jumlah penduduk yang besar serta kemampuan ekonomi yang masih rendah dari negaranegara berkembang, termasuk Indonesia menjadi negara yang mempunyai tingkat
kerentanan terhadap perubahan iklim yang sangat tinggi. Kerentanan dimaksud biasanya
disertai dengan rendahnya kapasitas adaptasi yang menyangkut : kemampuan teknologi,
kemampuan menggunakan kesempatan, dan rendahnya akses ke lembaga keuangan global.
V.
ANALISIS / PEMBAHASAN
Upaya dalam rangka mengurangi terjadinya perubahan iklim dunia berupa pencegahan
pemanasan global atau global-warming, dalam bidang arsitektur dapat melakukan
penerapan kaidah-kaidah arsitektur ekologis. Arsitektur ekologis didefinisikan sebagai
bentuk atau aliran dalam arsitektur yang memberi perhatian lebih pada aspek lingkungan
atau ekologis. Terdapat banyak turunan secara lebih detail apa-apa yang termasuk didalam
kaidah arsitektur ekologi. Upaya di bidang arsitektur untuk menuju tercepainya kondisi
lingkungan yang berkelanjutan khususnya untuk turut mencegah pemanasan global yaitu
dengan memperkenalkan kaidah-kaidah arsitektur ekologis di dunia pendidikan arsitektur.
Kerangka upaya dalam menghadapi fenomena perubahan iklim global khususnya
menghadapi terjadinya pemanasan-global maka untuk bidang arsitektur telah ada upayaupaya untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh hal tersebut diatas. Salah
satu upaya penting dalam menghadapi fenomena pemanasan global ini, dalam bidang
arsitektur diperkenalkan kaidah - kaidah atau aliran yang menekankan perhatian lebih pada
aspek lingkungan ekologis. Aliran atau kaidah-kaidah bidang arsitektur dimaksud antara
lain: (a) arsitektur yang berkelanjutan (the sustainable architecture), (b) arsitektur ekologis
(the ecological architecture) dan (c) arsitektur hemat energy (the saving energy
architecture) – (Udjianto Pawitro, 2010).
Dasar-dasar arsitektur ekologis adalah dasar-dasar pemikiran atau konsep yang termuat
didalamnya, yaitu:
1. Konsep Holistik
Dasar eko-arsitektur yang berhubungan dengan sistem keseluruhan, sebagai satu kesatuan
yang lebih penting dari pada sekedar kumpulan bagian kegiatan perencanaan atau
perancangan.
6
2. Konsep Memanfaatkan Pengalaman Manusia
Hal ini merupakan tradisi dalam membangun dan merupakan pengalaman lingkungan alam
terhadap manusia.
3. Konsep Tentang Pembangunan.
Kegiatan Pembangunan sebagai suatu proses dan bukan sebagai kenyataan / hasil / fakta
tertentu yang sifatnya statis.
4. Konsep Tentang Kerjasama.
Bentuk Kerja sama antara manusia (dalam kegiatannya) dengan alam sekitarnya (natural
environment) dilakukan guna keselamatan kedua belah pihak.
5. Konsep tentang Ekologi.
Kondisi lingkungan hidup di muka bumi dipandang sebagai suatu ekosistem dan sekaligus
habitat yang keseimbangannya perlu dijaga menuju kondisi stabil.
Dengan mengetahui dasar-dasar arsitektur-ekologis seperti tersebut diatas jelas sekali
bahwa dalam perencanaan, perancangan maupun pelaksanaan (konstruksi), arsitektur
ekologis tidak dapat disamakan atau diasosiasikan dengan arsitektur masa kini.
Perencanaan dan perancangan arsitektur ekologis merupakan suatu proses dengan titik
permulaan yang lebih awal. Kegiatan perencanaan dan perancangan yang berbasis pada
‘arsitektur ekologis’ pada pokoknya adalah serangkaian kegiatan perencanaan dan
perancangan arsitektur yang memperhatikan aspek ekologis atau lingkungan alam sekitar
secara lebih besar.
Adapun pola perencanaan dan perancangan dalam arsitektur-ekologis yang berorientasi
pada lingkungan alam sekitar secara holistik adalah sebagai berikut :
a. Penyesuaian proses perencanaan dan perancangan arsitektur dengan memperhatikan
kaidah-kaidah yang berlaku pada lingkungan alam sekitar / setempat.
b. Menghemat energi alam yang tidak dapat diperbaharui dan mengirit penggunaan energi.
c. Memelihara keberlangsungan sumber daya alam lingkungan berupa : air, tanah dan
udara.
d. Memelihara dan memperbaiki peredaran alam dengan penggunaan material yang masih
dapat digunakan di masa depan.
e. Mengurangi ketergantungan pada pusat sistem energi (listrik, gas, air) maupun pada
sistem limbah (air limbah, sampah).
f. Penghuni bangunan turut secara aktif dalam perencanaan kegiatan pembangunan dan
peme-li-haraan dari gedung (bangunan) dan perumahan.
g. Kedekatan atau kemudahan akses dari dan ke bangunan.
h. Kemungkinan penghuni menghasilkan sendiri kebutuhan energy dan kebutuhan pangan
sehari-harinya.
i. Menggunakan teknologi sederhana (intermediate technology), teknologi alternatif atau
teknologi lunak sehingga kegiatan / proses pembangunan (konstruksi) tidak mahal dan
sesuai kondisi iklim sekitarnya. (Sigit, Widjiono, 2012).
Upaya-upaya penerapan kaidah ‘Arsitektur Ekologis’ yang bertujuan untuk mencapai
pencegahan terjadinya fenomena ‘global warming’ diantaranya adalah :
(a)
Perencanaan Di Tingkat (Skala) Kawasan atau Dsitrik
Kegiatan perencanaan di tingkat skala kawasan (the distric planning) – ditujukan guna
7
mencapai sasaran penggunaan lahan untuk fungsi-fungsi tertentu yang telah ditetapkan.
Tingkat tutupan lahan (BCR = Building Coverage Ratio) serta tingkat intensitas
penggunaan lahan (FAR = Foor Area Ratio) akan mempengaruhi pada tingkat kepadatan
bangunan di suatu kawasan atau distrik. Pengendalian terhadap BCR dan FAR disini sangat
kerkaitan erat dengan ‘perubahan iklim’ pada skala kawasan akibat tinggi- rendahnya
intensitas tutupan lahan oleh bangunan. Perubahan iklim skala kawasan juga dimungkinkan
terjadi secara berlebihan akibat tingkat tutupan lahan yang tinggi pada lahan di suatu
kawasan.
(b)
Perencanaan dan Perancangan Tata Guna Lahan pada Skala Site
Kegiatan perencanaan dan perancangan tata guna lahan pada skala site (tapak)
dimungkinkan untuk menuju tercapainya kondisi ‘tata-udara’ dan ‘tata-lingkungan’ yang
lebih nyaman bagi para penghuni. Skenario tingkat kepadatan penmghunian di suatu site
(tapak) akan berpengaruh pada alternatif perancangan (desain) suatu tapak. Dengan prediksi
tingkat kepadatan penghunian suatu kawasan yang bersifat ‘dinamis’, dimungkinkan
adanya alternative scenario perancangan yang dinilai sesuai dengan waktu yang ditetapkan
dalam kegiatan perencanaan skala makro.
(c)
Optimalisai Penggunaan Lahan (Site)
Lahan atau tapak (site) dipandang sebagai bagian dari ekologi skala kecil yang berfungsi
menopang berbagai aktitas dari penghuninya, termasuk didalamnya: manusia, aneka hewan
dan tumbuh-tumbuhan. Lahan (site) dipandang pula sebagai ‘lingkungan alamiah’ yang
mempunyai kemampuan mendukung aktifitas mahluk hidup, namun sekaligus juga
memiliki ambang-batas aspek lingkungan (ekologis). Akibatnya diupayakan dalam
merancang bangunan atau arsitektur, tidak semua bagian dari lahan (site) digunakan untuk
mendirikan bangunan, tetapi ada sebagian yang juga difungsikan sebagai ‘lingkungan
alamiah’ (natural environment) yang berfungsi sebagai ‘ekosistem’ atau ‘habitat’ skala
kecil. Biasanya diupayakan koefisien lantai bangunan dibuat minimum.
(d)
Penggunaan Tata-Hijau dan Landscape dalam Arsitektur
Penggunaan ‘tata hijau’ atau landscape dalam arsitektur pada pokoknya berkaitan dengan
perhatian dari arsitek atau perencana kawasan terhadap penggunaan pepohonan guna
meningkatkan ‘nilai-hijau’ pada suatu tapak atau-pun kawasan. Penggunaan tata-hijau pada
site atau kawasan pada pokoknya ditujukan untuk meningkatkan nilai kenyamanan bagi
para peghuni suatu kawasan. Disamping itu fungsi dari ‘tata-hijau’ atau pengggunaan unsur
pepohonan selain meningkatkan kualitas ‘tata-udara’ juga akan menambah nilai visual
berupa pemandangan-pemandangan alami yang menawan.
(e)
Penghawaan Alami pada Bangunan
Prinsip penting dalam arsitektur hemat energi adalah upaya-upaya mengkondisikan iklim
atau ‘penghawaan’ pada ruang dalam dari bangunan menjadi lebih nyaman. Caranya yaitu
membuat tata penghawaan alami pada bangunan khususnya untuk daerah tropis. Upayaupaya teknis dapat dilakukan antara lain sbb. : (a) adanya tritisan atap yang cukup panjang
pada sisi bangunan, untuk mencegah silau matahari – hal ini juga untuk mendapatkan udara
sejuk dibawah tritisan atap bangunan yang akan dihembuskan kedalam bangunan, (b)
dibuatnya bukaan-bukaan pada dinding bangunan yang cukup besar dan sebagian ditujukan
8
untuk udara dari luar bangunan dapat mengalir ke ruang dalam bangunan.
(f) Pencahayaan Alami pada Bangunan
Dalam arsitektur hemat energi upaya penggunaan sistem pencahayaan alami dibuat
maksimal. Sistem pencahayaan pada bangunan pada dasarnya lebih mengadopsi atau
mengoptimalkan cahaya alami yang berasal dari sinar matahari tak langsung. Persoalan
penting disini adalah bagaimana kita meletakkan masa bangunan yang adaptif atau selaras
dengan garis edar matahari. Penempatan masa bangunan hendaknya tidak menentang arah
sinar matahari langsung. Pada banyak kasus bukaan bukaan jendela pada bangunan
diusahakan untuk memaksimalkan bukaan pada arah utara dan selatan sisi bangunan.
Upaya penanganan dinding bangunan pada sisi timur dan barat bangunan – memiliki
penanganan khusus terutama dengan komponen sun-shading.
(g)
Pemanfaatan Energi Surya pada Bangunan
Upaya penghematan energi pada bangunan (baik bangunan kecil maupun bangunan besar)
salah satunya yaitu dengan memanfaatkan energi surya atau energy matahari. Di banyak
belahan dunia penggunaan energi surya ini sudah dijadikan cara sebagai bentuk
penggunaan energi alternatif yang terbarukan. Dalam sistem energi surya digunakan
‘photo-voltaic’ yaitu komponen penting untuk menangkap energi matahari. Sel-sel photovoltaic ini terdiri dari dua lebar lapis semi-conduktor – yang berfungsi sebagai penampung
‘beda potensial’ (energy listrik) akibat beda panas penyinaran matahari ke photo-voltaic.
Beda potensial ini yang kemudian dikumpulkan sebagai sumber energi yang dapat disimpan
dalam Accu untuk waktu tertentu / sementara.
(h)
Pemanfaatan Energi Angin pada Bangunan
Di belahan dunia di kawasan–kawasan tertentu yang daerahnya memiliki potensi aliran
angin yang besar, pada bangunan modern tertentu sudah mulai digunakan penerapan
‘energi angin’. Sampai saat sekarang ini penggunaan energiy angin pada bangunan - baru
sekitar 10 s/d 18% saja energi yang dihasilkan dibandingkan dengan energi (keseluruhan)
yang diperlukan untuk operasional bangunan. Energi angin yang digunakan terutama untuk
keperluan menggerakan turbin skala kecil maupun besar yang ditempatkan pada bagian
tertentu pada bangunan. Salah satu contoh yang berhasil (sukses) dalam penerapan energi
angin pada bangunan telah dilakukan pada bangunan.
Photo 01 :
Bangunan Jakarta Allianz Tower
Dengan Konsep ‘Green-Building’.
Photo 02 :
Bangunan ‘Observation Tower’
Bangunan Hemat Energi Di Dubai.
Photo 03 :
Bangunan ‘Residensial Interlace’
Singapore – Dengan Teras Tropis
9
Photo 04 :
Photo 05 :
Photo 06 :
Bangunan ‘Solar Dezhou’ Di China Bangunan Kincir Angin Di Belanda Bangunan ‘Mesin Menara’ Karya
Menggunakan Energi Surya
Penggunaan Energi Angin
Ken Yang Dibangun di Malaysia.
KESIMPULAN
proses industrialisasi di berbagai belahan dunia, kegiatan transportasi yang menggunakan
bahan bakar minyak dan gas dalam jumlah besar dan kegiatan pengrusakan hutan tropis
dunia merupakan penyebab terbesar terjadinya gas buang industry dan gas buang
transportasi yang terjadi ‘menggantung’ di udara yang mempengaruhi keadaan atmosfir
bumi. Lapisan atmosfir bumi menjadi semakin tebal akibat dari menggantungnya gas buang
tersebut mengakibatkan terjadinya fenomena pemanasan global yang juga mempengaruhi
kondisi kehidupan mahluk hidup di muka bumi. Beberapa dampak akibat terjadinya
pemanasan global antara lain : (a) naiknya permukaan air laut di dunia, (b) meningkat
intensitas terjadinya cuaca ekstrim, (c) terpengaruhnya wilayah budi-daya pertanian dan
hasil pertanian, (d) mencairnya gletser di kutub-kutub bumi, dan (f) kemungkinan
punahnya berbagai jenis hewan.
Isu-isu pokok dan mendasar yang dibahas oleh negara-negara koalisi dalam perundingan
agenda tentang Perubahan Iklim ini, antara lain menyangkut 5 (lima) isu penting. Kelima
isu penting dimaksud, adalah : (a) Isu Pembangunan atau ‘Development Isue’ yang
berkelanjutan dan tanggap lingkungan, (b) Isu Pertumbuhan Ekonomi, dengan melihat dan
mempertimbangkan aspek ekologis, (c) Isu Privatisasi – dimana peran sector swasta dalam
kegiatan pembangunan perlu ditingkatkan, (d) Isu Pengentasan Kemiskinan – yang terjadi
di Negara-negara sedang berkembang, dan (e) Isu Kesetaraan (Equality) – yaitu bagaimana
mencapai kesetaraan internasional – tanpa harus menanggung beban domestic – seperti
yang tercantum dalam Lembaran Protokol Kyoto 1997.
Kerangka upaya dalam menghadapi fenomena perubahan iklim global khususnya
menghadapi terjadinya pemanasan-global maka untuk bidang arsitektur telah ada upayaupaya untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh hal tersebut diatas. Salah
satu upaya penting dalam menghadapi fenomena pemanasan global ini, dalam bidang
arsitektur diperkenalkan kaidah - kaidah atau aliran yang menekankan perhatian lebih pada
aspek lingkungan ekologis. Aliran atau kaidah-kaidah bidang arsitektur dimaksud antara
lain: (a) arsitektur yang berkelanjutan (the sustainable architecture), (b) arsitektur ekologis
(the ecological architecture) dan (c) arsitektur hemat energi (the saving energy
architecture).
Upaya-upaya penerapan kaidah ‘Arsitektur Ekologis’ yang bertujuan untuk mencapai
pencegahan terjadinya fenomena ‘global warming’ diantaranya adalah : (a) Perencanaan Di
10
Tingkat Skala Kawasan atau Dsitrik, (b) Perencanaan dan Perancangan Tata Guna Lahan
pada Skala Site, (c) Optimalisai Penggunaan Lahan pada Site, (d) Penggunaan Tata-Hijau
dan Landscape dalam Arsitektur, (f) Penghawaan Alami pada Bangunan, (f) Pencahayaan
Alami pada Bangunan, (g) Pemanfaatan Energi Surya pada Bangunan, dan (h) Pemanfaatan
Energi Angin pada Bangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Fritz, Hanz, (2009) : Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius, Jogjakarta.
Kuswartojo, Tjuk (1998) : Gelar Nalar Prof. Hasan Poerbo: Lingkungan Binaan Untuk
Seluruh Rakyat, Yayasan Akatiga, Bandung.
Murdiyarso, Daniel, (2002), Protokol Kyoto – Implikasi Bagi Negara Berkembang,
Penerbit Kompas-Gramedia Group, Jakarta.
Ratna Arianti, (2002) : “Program Konservasi Energi Di Sektor Bangunan”, Direktorat
Energi Baru Dan Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM - RI, Jakarta.
Satwiko, Prasasto (2005) : “Arsitektur Sadar Energi”, Penerbit Andi, Jogjakarta
Wagner, Walter (1980) : ‘Energy Efficient Building”, Architectural Record Book, Mc.
Graw Hill, Co., New York.
Udjianto Pawitro, (2010) : Prinsip-prinsip Arsitektur Ekologi Dan Penerapan Bangunan
Hemat Energi Untuk Lingkungan Berkelanjutan, (Makalah), Simposium Nasional RAPIIX, FT UMS, Surakarta.
http://sigitwijionoarchitects.blogspot.com/2012/04/arsitektur-ekologi-eco-architecture.html
http://UN-News/Global-Warming.org).
http://Wikiapedia.com/global-warming.
Riwayat Penulis
Ir. Udjianto Pawitro, MSP., IAP., IAI., Adalah Staf Pengajar (Lektor Kepala) pada
Jurusan Teknik Arsitektur FTSP Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung (1989 –
sekarang), Lulus S1 Teknik Arsitektur ITB (1988) dan Lulus Magister Teknik Planologi /
Perencanaan Wilayah & Kota ITB (1994). Anggota Profesional IAI (Ikatan Arsitek
Indonesia) No. 4701 dan Anggota Profesional IAP (Ikatan Ahli Perencanaan) No. 89141.
11
Download